Miastenia Gravis
September 13, 2017 | Author: Muhammad Fadillah | Category: N/A
Short Description
Miastenia Gravis...
Description
Tugas Review Jurnal
PERKEMBANGAN PENYAKIT GENERALIS DALAM DUA TAHUN PADA PASIEN DENGAN MIASTENIA GRAVIS OKULER
Oleh Kelompok 2
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2010
PERKEMBANGAN PENYAKIT GENERALIS DALAM DUA TAHUN PADA PASIEN DENGAN MIASTENIA GRAVIS OKULER MarkJ.Kupersmith,MD;RobertLatkany,MD;PeterHomel,PhD
ABSTRACT __________________________________________________________________________
Latar belakang Generalized myasthenia gravis akan berkembang lebih dari 50%, pasien dengan ocular myasthenia gravis. Optimalisasi pengobatan ocular myasthenia gravis, meliputi
pemakaian
kortikosteroid,
masih
kontroversial.
Disamping
itu,
prevalensi thymoma dan keoptimalan tes edrophonium chloride untuk ocular myasthenia gravis masih belum jelas.
Tujuan Untuk menilai efek terapi kortikosteroid oral pada frekuensi dari perkembangan Generalized myasthenia gravis dalam waktu 2 tahun, insidensi thymoma, dan jumlah endrophonium yang dibutuhkan untuk tes yang hasil positif pada pasien dengan ocular myasthenia gravis.
Metode Penulis mereview database 174 pasien ocular myasthenia gravis. Pasien menjalani pemeriksaan level acetylcholine receptor (AchR) antibody dan chest computed tomography. Kecuali kalau kontraindikasi, pasiend dengan diplopia direkomendasikan untuk terapi dengan prednison, hingga 40 – 60 mg/d, dengan dosis (tapered) untuk 5-6 minggu. Kebanyakan dilanjutkan menerima dosis harian 2,5-10 mg untuk mencegah diplopia. Pasien yang tidak diberikan prednison (grup yang tak teratasi) menerima pyridostigmine bromide atau tidak diberikan obat. Setelah diagnosis, gejala dan tanda ocular dan generalized myasthenia gravis didokumentasikan dan dilakukan follow-up selama 2 tahun pada 94 pasien.
Hasil
Rata-rata dosis erdophonium chlorida untuk menimbulkan respon positif adalah 3,3 mg (SD, 1.6 mg) untuk ptosis dan 2,6 mg (SD, 1.1 mg) untuk disfungsi motorik okular. Thymoma terjadi pada 1 pasien (0,7%). Generalized myasthenia gravis berkembang dalam waktu 2 tahun pada 4 dari 58 yang sembuh dan 13 dari 36 yang tidak sembuh. Odd ratio (OR) untuk perkembangan penyakit generalis di kelompok sembuh adalah 0.13 (95% confidence interval, [CI], 0,040,45) dibandingkan dengan kelompok yang tidak sembuh. Level antibodi AChR tidak memprediksi perkembangan generalized myasthenia gravis dalam waktu 2 tahun, teatpi resiko lebih tinggi pada pasien dengan level antibodi abnormal (OR, 6.33; 95% CI, 1.71-23.42). Regresi logistik meliputti usia, level antibodi abnormal, dan terapi prednisone memberikan hasil signifikan untuk level antibodi AChR abnormal (OR, 7.03;95% CI,1,35-36,64) dan pengobatan (OR, 0.06;95% Ci, 0.01-0.30).
Kesimpulan Pada 2 tahun, pengobatan prednisone memberikan hasil menurunkan insidensi generalized myasthenia gravis menjadi 7% dibandingkan pasien dengan tidak menerima prednisone yaitu 36%. Thymoma, meskipun tidak biasa, terjadi pada ocular myasthenia gravis. Hanya sebagian kecil erdophonium dibutuhkan untuk mendiagnosis ocular myasthenia gravis. ____________________________________________________________________________
Gejala awal dari myasthenia gravis adalah ptosis, extraocular muscle weakness, atau ocular misalignment meningkat pada 65% pasien. Secara klinis generalize disease berkembang menjadi ocular myasthenia gravis pada 3% pasien dan 44% terjadi selama 2 tahun. Walaupun tidak dapat diprediksi generalized myasthenia gravis, namun ditemukan kelainan pada stimulasi saraf yang berulang dengan pemeriksaan electromyografi systemic muscles dan kkeabnormalan reseptor serum acetylcholine (AChR) antibody level meningkat pada 50% pasien menunjukan gangguan subclinical systemic terjadi pada beberapa pasien ocular myasthenia gravis. Ditemukan keabnormalan dari ekstermitas atas dari single fiber electromyografi lebih sering terjadi pada ocular myasthenia gravis yang
dengan peningkatan gangguan generalized. Pasien ocular myasthenia gravis juga memperlihatkan injury pada lapisan percabangan ujung otot. Ocular myasthenia gravis dapat menggangu penglihatan sehingga bisa terjadi
cacat
visual,
dan
kelainan
fungsi
tubuh
sehingga
akan
mengganggu aktivitas sehari-hari dan sampai mengancam jiwa. Jika terjadi lowcost, maka terapi yang tepat dapat mengurangi keparahan ocular myasthenia gravis. Jika dosis yang lebih besar digunakan untuk waktu pendek maka sedikit efek samping dapat terjadi sekalipun dosis rendah digunakan untuk melanjutkan terapi. Jika perkembangan penyakit ke hipertensi systemic, DM, osteoporosis, gangguan GIT, dapat diberi terapi dari dosis sedang sampai tinggi atau diberikan alternative terapi sehingga dapat memperkecil dosis jangka panjang yaitu tidak lebih dari 10 mg/d, penggunaan cointerventions untuk mengontrol tekanan darah dan hiperglikemi, dan penggunaan dari pencegah cointerventions untuk GIT dan kelainan tulang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan prekuensi perkembangan dari generalized myasthenia gravis pada rentan waktu 2 tahun di pasien yang menunjukan gangguan ocular akan menunjukan perbaikan jika di terapi dengan corticosteroid dosis sedang dan dilanjutkan dengan dosis rendah, terlihat pada 6 minggu masa pengobatan.
METODE Design Peneliti mengevaluasi rekam medis pasien dengan ocular myasthenia gravis di pelayanan Neuro-ophtamology New York Eye and Ear Infirmary (1984-2000), dan institute of Neurology and Neurosurgery of Beth Israel Medical Center, New York (1997-2000). Kemudian data diekstrak untuk memenuhi database ocular myasthenia gravis tahun 1997. Pasien yang baru dan lama dengan ocular myasthenia gravis yang datang ke klinik dari tahun 1997 dan seterusnya memilki kartu medisnya yang dirawat dalam suatu sistem. Kriteria inkusi terdiri dari pemeriksaan neuro-opthalmologic pertama lebih dari 2 tahun atau lebih dan memiliki bukti klinis ocular myasthenia gravis dan tidak ada gejala subyektif atau
temuan klinis sugestif dari generalized myasthenia gravis. Peneliti menggunakan kriteria diagnosis untuk ocular myasthenia gravis: 1. Ptosis di salah satu atau kedua kelopak mata atas tidak karena penyakit kelopak mata, yang dapat menyebabkan kelemahan atau kembali dengan istirahat. 2. Kelemahan otot ekstraokular di salah satu atau kedua mata, tidak karena gangguan nervus ketiga. 3. Kelemahan yang dapat muncul di salah satu atau kedua orbicularis oculi tetapi tudak ada kelemahan otot di kepala dan leher 4. Tidak ada keabnormalan pupil dari penyakit lokal atau bekas pembedahan 5. Keletihan yang mempengaruhi otot dengan clear-cut membuat buruk ptosis setelah pandangan keatas selama 30 – 60 detik. Pasien dengan ocular myasthenia gravis muncul sebelum 2 tahun dieksklusi. Pasien dengan tanda-tanda restriksi myopati abduksi atau supraduksi karena dysthyiroid
ophthalmopathy
juga
dieksklusi.
Pasien
dengan
dysthyiroid
ophthalmopathy yang berkembang menjadi exotropia dan tes edrophonium positif di inklusi. Semua pasien menjalankan CT-scan dengan kontras pada dadauntuk melihat apakah ada thymoma. Serum di tes untuk gula darah puasa dan level bindingantibodi AChR. Pasien menjalani pemeriksaan darah untuk mengetahui disfungsi tiroid kecuali bila mereka telah mengetahui memiliki riwayat hipotiroid atau hipertiroid. Pasien tidak di randomisasi untuk terapi. Durasi gejala sebelum diterapi tidak seraagam. Seluruh pasien pengobatan dengan prednison diresepkan histamin blocker harian (ranitidin hydroclorida, nizatidine, atau famotidine hydrochlorida) dan suplementasi kalsium, 1000 – 1500 mg/d. Kebanyakan pasien kelompok pengobatan
dengan prednison melanjutkan menerima dosis harian atau
alternatif harian. Semua pasien diwawancarai dan diperiksa apakah ada komplikasi kortikosteroid dan generalized myasthenia gravis selama periode penelitian.
Analisis data
Tujuan utama peneliti adalah untuk menentukan insidensi pada grup yang terobati dan tidak terobati (treated and untreated grup) dari perkembangan dari generalized myasthenia gravis
dalam kurun waktu 2 tahun dan untuk
menentukan faktor resiko potensial. Faktor-faktor dasar, meliputi gender, umur, level antibodi AChR, apakah level antibodi AchR abnormal, apakah pasien dengan usia 50 tahun atau lebih, dibandingkan antara 2 grup pengobatan menggunakan 2-tailed t test. Odds ratio untuk perkembangan generalized myasthenia gravis dalam waktu 2 tahun untuk masing-masing faktor atau grup pengobatan ditunjukan dengan confidens intervals (CIs) 95%. Regresi logistik digunakan untuk menentukan apakah level antibodi AchR atau umur secara signifikan berhubungan dengan perkembangan generalized myasthenia gravis dalam waktu 2 tahun. Regresi logistik multivariat juga digunakan untuk mengetes kekuatan dari hubungan dengan generalized myasthenia gravis dalam waktu 2 tahun, kontrol terhadap faktor resiko lainnya. Estimasi Kaplan-Meier digunakan untuk menganalisis efek dari pengobatan dan level AChR abnormal dalam perkembangan generalized myasthenia gravis selama periode penelitian ini. Statistik logrank digunakan untuk mengetes perbedaan grup pada estimasi Kaplan-Meier.
Regresi
resiko
proporsional
multivariat
digunakan
untuk
mengevaluasi hubungan umur dengan perkembangan generalized myasthenia gravis selama periode penelitian ini. Regresi resiko proporsional digunakan untuk mengestimasi
model multivariat untuk waktu perkembangan
generalized
myasthenia gravis selama periode penelitian ini. Seluruh perbandingan statistik yang dilakukan menggunakan tingkat signifikansi P
View more...
Comments