Metalografi Kualitatif Dan Kuantitatif
April 18, 2019 | Author: Asep Septiadi | Category: N/A
Short Description
METALOGRAFI KUALITATIF DAN KUANTITATIF...
Description
METALOGRAFI KUALITATIF DAN KUANTITATIF Metalografi kuantitatif adalah Ilmu yang mempelajari secara kuantitatif hubungan antara pengukuran-pengukuran yang dibuat pada bidang dua dimensi dengan besaran-besaran struktur mikro dari suatu spesimen berdimensi tiga. Metalografi kuantitatif adalah pengukuran gambar struktur dari potongan, replika, atau lapisan tipis dari logam-logam yang dapat diamati dengan mikroskop optik dan mikroskop elektron. Obyek yang diukur fasa dan butir yang meliputi A.
Fraksi volume Perhitungan fraksi volume dilakukan untuk menentukan fraksi volume dari
fasa tertentu atau dari suatu kandungan tertentu. Teknik yang paling sederhana yaitu dengan melihat struktur mikro, memperkirakan fraksi luas. Atau dengan membandingkan struktur mikro dengan pembesaran tertentu terhadap standar tertentu yang terdiri dari beberapa jenis dan gambar struktur yang ideal dengan persentase yang berbeda. Dengan metode perhitungan ada dua cara. Cara yang pertama adalah dengan analisa luas yang diperkenalkan pertama kali oleh Delesse, Geologis Jerman pada tahun 1848, yang menunjukkan fraksi luas Aa, dari potongan dua dimensi adalah suatu perhitungan perhitungan fraksi volume volume : Vv = A /AT Dimana A adalah jumlah luas fasa yang dimaksud AT adalah luas total pengukuran. pengukuran. Pengukuran dapat dengan metode planimetri atau dengan memotong foto fasa yang dimaksud dan mencoba membandingkan lebar l ebar 11 fasa yang dimaksud dengan lebar foto yang dimaksud. Metode ini kurang sesuai untuk fasa halus. Cara yang kedua adalah dengan analisa garis, metode ini diperkenalkan oleh Reziwal seorang Geologis Jerman pada tahun 1898. Ia mendemonstrasikan ekuivalensi antara fraksi garis LL dan fraksi volum. Pada analisa garis, total panjang dari garis-garis yang ditarik ditari k sembarangan memotong fasa yang diukur L dibagi dengan total panjang garis LT untuk memperoleh fraksi garis :
LL = L /LT = Vv Cara yang kedua yaitu dengan perhitungan titik, diperkenalkan oleh Thomson 1933, Glagolev 1933, Chalkley 1943. Metode ini menggunakan point grind dua dimensi. Caranya test grind diletakkan pada lensa okuler atau dapat diletakkan di depan layar proyeksi atau foto dengan bantuan lembaran plastik. Pembesaran harus cukup tinggi sehingga lokasi titik uji terhadap struktur tampak jelas. Pembesaran sekecil mungkin dimana hasil memungkinkan pembesaran disesuaikan dengan daya pisah dan ukuran area untuk ketelitian statistik. Semakin kecil pengukuran semakin banyak daerah yang dapat dianalisa dengan derajat ketelitian statistik tertentu. Titik potong adalah perpotongan 2 garis grind: Pp = P /PT = L /nPo Dimana n adalah jumlah perhitungan dan Po jumlah titik dari grind. Jadi PT = nPo, jumlah total titik uji pada lensa okuler umumnya menggunakan jumlah titik terbatas yaitu 9, 16, 25, dan seterusnya dengan jarak teratur. Sedangkan untuk grind yang digunakan didepan screenmempunyai 16, 25, 29, 64 atau 100 titik. Fraksi volume sekitar 50% sangat baik menggunakan jumlah grind yang sedikit, seperti 25 titik. Untuk volume fraksi yang amat rendah baik digunakan grind dengan jumlah titik yang banyak dalam kebanyakan pekerjaan, fraksi volume dinyatakan dengan persentase dengan dikalikan 100. Ketiga metode dapat dianggap mempunyai ketelitian yang sama. V V = A A = L L = P B.
Ukuran /besar butir Metode perhitungan besar butir ada dua cara. Cara yang pertama adalah
metode Planimetri yang diperkenalkan oleh Jefferies. Metodenya yaitu dengan rumus : G = [3,322 Log (NA) ± 2,95] Dimana NA adalah jumlah butir/ mm2 = (F) (n1+ n2/2) = NAF adalah bilangan Jefferies = M2 / 5000.
5000 mm2 = Luas lingkaran. No butir dapat dilihat di table ASTM Metoda yang kedua adalah dengan metode Intercept yang diperkenalkan oleh Heyne yaitu dengan rumus : G = [6,646 log 9L3) ± 3,298] PL = P / (LT/M) Panjang garis perpotongan ; -L3 = 1 / PL P = Jumlah titik potong batas butir deng an lingkaran LT = Panjang garis total M = Perbesaran P1 atau L3 dapat dilihat di table besar butir ASTM Sebenarnya masih banyak obyek-oblek pengukuran metalografi kuantitatif lainnya yang belum disebutkan. Seperti mengukur luas permukaan dan panjang garis volume, dan distribusi ukuran partikel dengan metode yang berbeda-beda. Semuanya dipakai sesuai dengan permintaan analisa metalografinya. Tetapi yang paling sering menjadi obyek dalam metalografi kuantitatif biasanya adalah perhitungan fraksi volume dan perhitungan besar atau ukuran butir. Pemeriksaan Makroskopik dan Mikroskopik C.
Pemeriksaan makroskopik Pemeriksaan
makroskopik
adalah
sebuah
pemeriksaan
untuk
mengamati struktur dengan perbesaran 10-100 kali, biasanya digunakan mikroskop cahaya. D.
Pemeriksaan mikroskopik Pemeriksaan mikroskopik adalah sebuah pemeriksaan untuk mengamati struktur dengan perbesaran diatas 100 kali, biasanya digunakan mikroskop cahaya ataupun mikroskop elektron dan mikroskop optik.
Nomenklatur alat polish dan mikroskop Nomenklatur mikroskop Sistem kristalografi E.
Sistem Isometrik 1. Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula dengan sistem kristal kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalnya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚). 2. Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ. Sistem isometrik dibagi menjadi 5 Kelas : Tetaoidal,
Gyroida,
Diploida,
Hextetrahedral,
Hexoctahedral.
Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold, pyrite, galena, halite, Fluorite (Pellant, chris: 1992) F.
Sistem Tetragonal Sama dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu
kristal yang masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.
Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚). Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Tetragonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ. Sistem tetragonal dibagi menjadi 7 kelas: Piramid,
Bipiramid,
Bisfenoid,
Trapezohedral,
Ditetragonal
Piramid,
Skalenohedral, Ditetragonal Bipiramid Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Tetragonal ini adalah rutil, autunite, pyrolusite, Leucite, scapolite (Pellant, Chris: 1992) G.
Sistem Hexagonal Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus
terhadap ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚ terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).mPada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ. Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Hexagonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada
sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+. Sistem ini dibagi menjadi 7: Hexagonal
Piramid,
Hexagonal
Bipramid,
Dihexagonal
Piramid,
Dihexagonal BipiramidTrigonal Bipiramid, Ditrigonal Bipiramid, Hexagonal Trapezohedral Beberapa
contoh
mineral
dengan
sistem
kristal
Hexagonal
ini
adalah quartz, corundum, hematite, calcite, dolomite, apatite. (Mondadori, Arlondo. 1977) H.
Sistem Trigonal Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain
yaitu Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam sistem kristal Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama. Perbedaannya, bila pada sistem Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik sudut yang melewati satu titik sudutnya. Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ. Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Trigonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+. Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas: Trigonal pyramid, Trigonal Trapezohedral, Ditrigonal Piramid, Ditrigonal Skalenohedral, Rombohedral Beberapa
contoh
mineral
dengan
sistem
kristal
Trigonal
ini
adalah tourmalinedan cinabar (Mondadori, Arlondo. 1977) I.
Sistem Orthorhombik Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri
kristal yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang berbeda. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚). Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ. Sistem ini dibagi menjadi 3 kelas: v Bisfenoid, v Piramid,v Bipiramid v Beberapa contoh mineral denga sistem kristal Orthorhombik ini adalah stibnite, chrysoberyl, aragonite dan witherite (Pellant, chris. 1992) J.
Sistem Monoklin Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga
sumbu yang dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus
terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang paling panjang dan sumbu b paling pendek. Pada
kondisi
sebenarnya,
sistem
Monoklin
memiliki
axial
ratio
(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring). Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Monoklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ. Sistem Monoklin dibagi menjadi 3 kelas: Sfenoid, Doma, Prisma Beberapa
contoh
mineral
dengan
ancer
kristal
Monoklin
ini
adalah azurite, malachite, colemanite, gypsum, dan epidot (Pellant, chris. 1992) K.
Sistem Triklin Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya
tidak saling tegak lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan
sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ membentuk sudut 80˚ terhadap c+. Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas: Pedial dan Pinakoidal Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Triklin ini adalah albite, anorthite, labradorite, kaolinite, microcline dan anortoclase .
View more...
Comments