Merry Christmas Felix Siauw

October 1, 2017 | Author: Nafiul Amri Syafi'i | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

jb vdskjbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb kj kj kj...

Description

Arlian Buana

Oleh: Arlian Buana

© Arlian Buana, 2015 Hak cipta dilindungi Undang-undang Penulis Layout Ilustrasi Cover

: Arlian Buana : Agus Mulyadi : Inez Kriya : Damar N. Sosodoro

Cetakan Pertama, Desember 2015 12 x 18 cm, 140 halaman Diterbitkan oleh: EA Books Drono, Gang Elang 6E No.8 RT 04 RW 33 Sariharjo, Ngaglik, Sleman,Yogyakarta ISBN : 978-602-1318-20-1

ii

Bana, Pemuda Harapan Akhir Zaman

Sebuah pengantar Anti-Islam. Menghina ulama. Liberal. Liberal lagi. Liberal bingitz. Saya yakin, sekian puluh persen dari total populasi manusia yang membaca judul buku Arlian Buana ini akan menangkap kesan demikian. Apalagi kalau sudah membaca keseluruhan isinya. Benar-benar anak ini punya otak yang berbahaya, dan layak diarak bugil secara syar’i. Saya kira, tudingan demikian sangat pantas dilemparkan sebagai balasan setimpal atas dosa-dosa Bana—panggilan kesayangan Arlian—kepada para penulis Mojok.Co. Benar, kami para kontributor di situs-web-yang-happening-tiada-henti itu sejujurnya sudah terlalu lama memendam kengerian tertentu kepada Bana, yang juga merupakan salah satu dari duo redaktur Mojok ini. Setiap kali muncul suara “Ting!” di hape kami, lalu bentuk bundar avatar Bana nongol di Facebook Messenger, oh Tuhan, suasana hati kami agaknya sama persis dengan perasaan Mbak Nikita Mirzani ketika barisan reserse Polri iii

Merry Christmas, Felix Siauw! membuka pintu kamar hotel sambil berbisik: “Kena kau Mbak...” Ya, itu Si Bana mau menagih tulisan. Dan standar tulisan Mojok acapkali membuat kami jiper ketakutan.

Mari kita lupakan dulu soal beban hidup Bana dalam menghadapi tudingan-tudingan tersebut. Biarlah dia tanggung-tanggung sendiri. Namun, terhadap konten pandangan-pandangan wagu yang tertuding ke arah mukanya, terang saja saya lebih memilih sikap kontra. Sebab bagi saya, justru anak muda cemerlang bernama Arlian Buana itu adalah prototipe ideal pemuda muslim akhir zaman. Membaca tulisan-tulisan Bana di buku ini, saya ibarat diajak mengikuti paket safari ziarah wali. Atau jika itu berlebihan, bolehlah dikatakan semacam anjangsana seorang santri untuk berguru ke deretan kiai-kiai mumpuni. Bana belajar kasih sayang dari simbah tukang masak di pesantren almamaternya. Bana belajar ketangguhan dari para perempuan perkasa yang melawan pendirian pabrik semen. Bana belajar kehidupan dari para sastrawan idola. Bana belajar kreativitas dari seorang sahabatnya yang pedagang minyak rambut. Bana belajar sikap ksatria dalam diam, dari seorang lelaki muda yang oleh jutaan orang di Indonesia mungkin dianggap sebagai iv

Arlian Buana pendosa paling nista. Bahkan tulisan-tulisannya yang oleh sebagian orang pasti akan dianggap sebagai “pelecehan ulama”, pun pada hakikatnya adalah upaya Bana untuk belajar. Belajar bahwa pandanganpandangan yang berpretensi religiositas sama sekali tak dapat diraih secara instan dan sambil lalu. Belajar, dan terus belajar. Saya kira sisi itulah yang ‘krowak’ dari tradisi keberagamaan kita di Era Digital. Belajar sih belajar, tapi tidak dalam satu varian ketelatenan dan kedisplinan tertentu. Akibatnya, kejernihan hilang. Kita jadi makhluk yang serba terburu, lupa dengan ‘tumakninah’. Lebih banyak bicara daripada menyimak, lebih banyak menulis daripada membaca. Itulah juga yang mengawali kegelisahan Bana di salah satu tulisan awalnya, hingga alumnus Pondok Pesantren Pabelan ini memuncaki kegemasannya dengan dukungan totaltotalan kepada Gerakan #AyoMondok. Belajar, dan terus belajar. Karena itu jugalah, siapa pun yang membaca buku ini, jangan pula langsung percaya dan menelan bulat-bulat isinya. Sebab bisa jadi, suatu saat nanti Bana sendiri akan merevisi satu-dua atau bahkan tujuh belas pandanganpandangannya yang tertuang di buku ini. Dan itu sah-sah saja. Bukannya ruh pembelajar adalah ruh yang gelisah, penuh pertanyaan, tak henti “bertukar tangkap dengan lepas”, dan tak kenal kata final? Iqbal Aji Daryono Perth, Desember 2015 v

vi

Daftar Isi Sebuah Pengantar Daftar Isi

iii vii

Mengislamkan dan Membukanislamkan Mbah Ngah Noah dan Puthut EA Nyanyi Sunyi dari Gang Melati Ariel Jadi Lelaki ala Alawi Pria Punya Selera yang Susunya Susu Bendera Ajip Rosidi PKI Muara Dua Orang-Orang Tegaldowo Pomade Bung Farhat Abbas Habib Rizieq Menjadi Muslim Pintar bersama Palu-Arit Menjadi Penggemar Berat Felix Siauw #SudahlahJokowi Merry Christmas, Felix Siauw Senarai Ulah Felix Siauw

vii

1 5 11 15 26 29 39 49 58 64 71 93 102 107 113 118 122 127 133

Mengislamkan dan Membukanislamkan

Akhir-akhir ini, seringkali saya gelisah melihat perilaku orang-orang yang konon muslim di internet. Di selasela kegiatan mengelola mojok.co, hampir setiap jam saya menyaksikan kebencian dan kemarahan direproduksi atas nama Islam. Orang-orang yang konon muslim itu gemar sekali teriak-teriak penuh kemurkaan, dan mudah sekali mengkafirkan orang lain. Perkembangan teknologi memang seperti dua mata pisau. Ia bisa sangat bermanfaat, bisa juga berbahaya. Perkembangan internet pun begitu. Di satu sisi ia sangat berguna, misalnya untuk mempermudah komunikasi. Namun di sisi lain, seperti hari-hari ini kita saksikan, internet adalah media paling efektif yang digunakan Islamic State of Iraq-Syiria (ISIS) untuk menebar propapaganda kebencian dan peperangan. Dan di negeri ini, kita dengan mudah menemukan “ustadz-ustadz konon” yang gemar sekali menebar amarah dan ancaman. 1

Merry Christmas, Felix Siauw! Mengingat fenomena tersebut, saya tidak tahu akan seperti apa wajah Islam-Indonesia ke depan. Indonesia adalah negara demokratis dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dan IslamIndonesia, selama ini dikenal sebagai Islam yang ramah, yang rahmatan lil ‘alamin, bukan yang hobi marah-marah. Namun rasanya, citra yang baik tersebut mungkin perlahan-lahan akan luntur jika melihat apa yang menjadi mainstream di berbagai media sosial seperti Facebook dan Twitter: munculnya gelombang besar generasi muslim yang membabi-buta, suka menyerang kelompok yang berbeda. Padahal kalau ditelusuri, pemahaman agama kelompok ini hanya sebatas didapat dari Google. Memprihatinkan sekali. Untuk menahan derasnya arus kebencian itu, beberapa orang harus mengambil inisiatif untuk membuat dan memperbanyak konten yang mencerahkan. Saya percaya, banyak sekali orang baik yang jengah terhadap ulah para makelar kebencian. Dan saya yakin, kelompok santri adalah kelompok yang pas untuk melawan pendangkalan Islam di internet, dan memiliki kemampuan berdakwah dengan cara yang baik, dengan mau’izhah hasanah. Maka ketika beberapa teman mengkampanyekan Gerakan #AyoMondok di berbagai media sosial, dengan senang hati saya langsung mendukung dan ikut bersuara. Gerakan itu penting, agar anakanak muda—yang selama ini memamah informasi2

Arlian Buana informasi yang keliru tentang Islam—mau belajar di Pondok Pesantren, mendalami Islam dengan cara yang benar, belajar sampai ke akar-akarnya, bukan belajar dengan metode serampangan mengandalkan mesin pencari. Ketika mendapati orang-orang yang sibuk bilang bahwa X kafir atau Y bukan Islam, saya selalu ingat lagi kisah yang pernah saya dapat semasa nyantri dulu. Kisah Kyai Hamam mendirikan Pondok Pesantren Pabelan selalu menjadi pengingat bagi saya. Di usia 25 tahun, beliau keliling ke rumah-rumah di desanya yang ketika itu kebanyakan tidak memiliki jendela. Sebagian besar warga Pabelan di masa itu meyakini: rezeki masuk lewat pintu, jendela dan segala jenis ventilasi lain hanya akan membuat rezeki itu kabur lagi ke luar. Kyai Hamam dengan sabar memberi penjelasan tentang pentingnya sirkulasi udara di rumah, bahwa rumah tanpa ventilasi yang cukup alih-alih mendatangkan rezeki justru mengundang penyakit. Selain itu, beliau juga menyampaikan keinginan untuk membangun pesantren dan meminta putraputri Pabelan disekolahkan di sana saja. Akhirnya hanya sembilan orang yang bergabung menjadi santri pertama, para pemula, salah satunya adalah mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat.

3

Merry Christmas, Felix Siauw! Selain belajar berbagai macam ilmu dasar, kesembilan orang itu setiap hari diajak Kyai Hamam ke Kali Pabelan. “Ayo Islamkan batu-batu itu,” kata Kyai Hamam. Batu-batu itu kemudian sebagiannya dimanfaatkan sebagai fondasi beberapa bangunan, sebagian lain dijual ke Pasar Muntilan—ditukar dengan alat-alat tulis. Begitulah batu-batu diislamkan. Kyai Hamam bersama Sembilan Pemula mengislamkan batu-batu, membangun pesantren. Selama mondok di Pabelan, saya sering sekali mendengar kisah itu diulang-ulang para guru, dengan berbagai varian, berikut pelajaran mengislamkan segala sesuatu. Kyai Hamam tidak muluk-muluk dalam mengajarkan Islam kepada santri-santrinya. Cukup dengan menunjukkan bagaimana mengislamkan batu-batu, mengislamkan sekalian manusia, mengislamkan seluruh alam. Beda dengan beberapa orang yang dipanggil “ustadz” yang belakangan gampang sekali mengkafir-kafirkan orang lain dan melabeli X atau Y bukan Islam. Kyai Hamam mengajak mengislamkan, “ustadzustadz sekadar” itu sibuk membukanislamkan. Selanjutnya, terserah Anda.

4

5

Merry Christmas, Felix Siauw!

Mbah Ngah

Ialah yang paling bertanggungjawab atas apa yang masuk ke dalam perutku, setidaknya untuk lima tahun, tiga tahun pertama dan dua tahun terakhir saya mondok di Pabelan. Untuk waktu yang lama, tangan Mbah Ngah adalah penguasa lidahku dan puluhan ribu orang lainnya. Hingga kemarin, Tuhan memanggilnya, tugas memasaknya dicukupkan sampai di situ. Tidak banyak yang seistimewa Mbah Ngah. Tidak banyak. Siapa yang pernah memasak untuk puluhan ribu orang selama puluhan tahun? Mengisi perut orang-orang itu, memanjakan lidah mereka dan memberikan tawa paling renyah yang tak ada tandingannya. Kegembiraan yang murni. Selama di Pabelan, saya memang tidak pernah menganggap Mbah Ngah istimewa. Mungkin karena keberadaannya saya anggap sama seperti rutinitas yang lain, yang mesti dijalani, disentuh dan dilihat 6

Arlian Buana setiap hari sehingga menjadi biasa saja. Baru setelah meninggalkan pondok, saat akan atau sedang menyantap makanan, saya sering tiba-tiba teringat Mbah Ngah dan keceriaannya, juga Mbak Urip yang baik, rekan kerja Mbah Ngah yang lebih muda. Ketika pertama kali datang ke pondok, Bapak hampir menangis karena mendapati masakan manis di Ruang Tamu. Hanya nasi dan Tahu Kuah (belakangan saya menyebutnya Tahu Berenang, yang disajikan saban pagi) manis! “Ai, Nak.. Kau bakal makan cak ini terus selamo enam taun,” katanya dengan mata berkaca-kaca. Bayangkanlah betapa menderitanya Lidah Palembang yang hobi pedas mencecap makanan manis. Bayangkan pula perasaan seorang bapak melow yang membayangkan anaknya akan menderita selama enam tahun karena makanan manis. Mbah Ngah lantas menjadi juru selamat bagi Lidah Palembangku. Ia tak pernah memasak tahu berenang manis. Paling-paling sesekali ia bikin tahu dan tempe bacem (menu makan siang atau malam) yang perlahan-lahan mulai kusukai. Masakan di Ruang Tamu ternyata dari Dapur Putri, yang bukan Mbah Ngah juru masaknya. Ia juru masak dari Dapur Utara untuk santri putra kelas satu hingga kelas tiga. Begitulah Mbah Ngah menjadi penguasa seleraku selama tiga tahun pertama, sebelum 7

Merry Christmas, Felix Siauw! akhirnya saya bersama teman-teman harus ganti dapur, pindah tempat makan ke Dapur Selatan waktu mulai duduk di kelas empat. Meski sudah pindah, tak jarang saya juga masih mencicipi masakan Mbah Ngah jika sedang ingin atau jika terlambat makan di Selatan. Tentu saja Mbah Ngah akan menyambut dengan omelan khasnya, tapi itu bukan berarti ia tidak mempersilakan. Sambil ngomel ia akan mengambilkan nasi, sayur, dan laukpauk. Lalu terjadilah perbincangan antara kami— perbincangan yang aneh, ia menggunakan Bahasa Jawa dan saya berbahasa Indonesia. Lebih banyak saya mengisengi atau menggodanya agar Mbah Ngah mencak-mencak. Mbah Ngah terlihat jauh lebih lucu dan menyenangkan kalau sedang marah-marah. “Aku kangen masakan Mbah Ngah. Aku pindah dapur sini lagi aja ya, Mbah. Nanti aku lapor Pak Kyai.” “Sak karepmu.” Bla-bla-bla dan panjang lebar dan saya akan terkekeh-kekeh sepanjangan. Ajong (nenek) meninggal dunia ketika saya kelas lima. Kesedihan itu semakin menjadi-jadi karena saya tak bisa pulang ke rumah, melihat wajah Ajong untuk terakhir kali dalam damainya, dan mengikuti prosesi pemakaman. Begitu mendengar kabar duka dari Bapak, yang langsung terlintas di benak saya hanya Mbah Ngah. Saat itu juga saya langsung berpikir menemui Mbah Ngah meski belum jam makan. Hanya demi melihat perwujudan Ajong dalam diri Mbah Ngah. 8

Arlian Buana Keceriaan dan kegesitan Mbah Ngah cukup membantu. Tentu saya tak memberitahunya tentang berpulangnya nenek. Saya hanya datang untuk melihat Mbah Ngah melakukan aktivitas dapurnya, mendengar kebawelannya dan sesekali saja mengajaknya ngobrol. Setelah cukup lama mengamati Mbah Ngah, saya pamit dan minta diperbolehkan untuk makan di sana di jam makan malam. Seperti biasa Mbah Ngah ngomel tapi tidak bisa bilang tidak. Saya lantas pulang dan ke kamar mandi, melakukan apa yang saya lakukan di hari pertama di sana: menangis sampai puas. Tadi pukul tujuh malam, saya baru tiba di Stasiun Senen. Setelah perjalanan panjang dari Yogyakarta, saya ngaso sambil membuka email dan media sosial, barangkali ada yang penting yang harus segera dibalas. Di Facebook, saya mendapati kabar duka dari seorang kawan di grup teman-teman seangkatan. Saya buka video rekaman Mbah Ngah yang ditautkan kawan itu. Saya harus segera pulang ke Ciputat, minum kopi di Kopi Marjinal sepuasnya. Saya hubungi beberapa teman untuk diajak ngobrol, untungnya ada satu yang sudah stand by di sana. Tapi sampai di Marjinal pun hanya sebentar kami ngobrol. Selebihnya saya banyak diam di depan layar laptop, menyunting tulisan untuk Mojok, menulis catatan ini. Dua tahun terakhir di Pabelan, saya kembali ke pelukan dapur Mbah Ngah. Kali ini dengan hak-hak 9

Merry Christmas, Felix Siauw! sebagai Guru Praktek, tidak harus antre bersama para santri, tinggal ambil di bagian dalam dapur, dan yang paling penting kesempatan bercanda dengan Mbah Ngah setiap hari. Di usianya yang semakin senja, tak banyak yang berubah dari Mbah Ngah. Di masa-masa terakhir di pondok itu, saya melihat Mbah Ngah yang sama seperti yang saya lihat pertama kali. Ia tetap gesit dan enerjik. Bicara selalu dengan gestur yang lincah, tak bisa diam, seperti sedang memasang jurus bermain silat dan selalu diikuti tawa renyah. Entah bagaimana menjelaskan stamina kegembiraan Mbah Ngah yang meluap-luap tanpa henti itu. Seolah kesedihan tak pernah berhasil memeluk dirinya. Dan Mbah Ngah selalu minum teh dari cangkir yang sama, yang katanya tidak pernah dicuci sejak pertama kali dipakai. Dasar cangkir itu berwarna merah kecokelatan, endapan ampas teh menahun. Barangkali itu rahasianya. Di Magelang, seperti berbagai tempat di Jawa, umpatan yang jamak terdengar adalah “Mbahmu!” Di saat-saat akhir mondok, teman-teman saya sering mengumpat “Mbahmu kungfu!” Atau “Mbahmu salto!” Terhadap itu saya sering menjawab dengan enteng. “Lha iya, mbahku kan Mbah Ngah.” Selamat jalan, Mbah. Selamat beristirahat.

10

Noah dan Puthut EA

“Kenapa sih Bana harus malu kalau memang mengidolakan Noah dan Ariel? Apa salah?” begitu kicauan Puthut EA di twitter. Sebentar. Saya singsingkan lengan baju terlebih dahulu sebelum kita bicara panjang lebar perkara darurat dunia- akhirat ini. Saya tahu, 90 persen orang yang menggunakan Bahasa Indonesia tahu siapa itu Ariel dan apa itu Noah. Sebagaimana mereka tahu siapa Jokowi. Saya juga maklum, barangkali tak sampai 5 persen dari fans Ariel yang tahu siapa gerangan Puthut EA. Tapi percayalah, yang tak sampai 5 persen itu adalah orang-orang beruntung, manusia-manusia terpilih. Oh, tentu saja saya tak perlu memperkenalkan Puthut EA di sini. Anda tahu fungsi Google, bukan? Saran saya, setelah Google memberi rute perjalanan untuk mengenali Mas Puthut—begitu saya memanggilnya, telusurilah karya-karya yang 11

Merry Christmas, Felix Siauw! pernah ditorehkannya. Baiklah, tak perlu basa-basi, maksud saya belilah buku- bukunya. (Mas Puthut menyuap saya dengan dua tiket menonton film dan makan malam gratis agar menuliskan ini) Enaknya bicara Mas Puthut dulu atau Ariel dulu? Oke, saya bisa tebak jawaban di otakmu. Jadi, pertama-tama saya mengenalnya sebagai cerpenis. Saya ingat dulu waktu semester satu pernah membeli kumpulan cerpennya, Dua Tangisan pada Satu Malam. Malang nian, buku itu raib sebelum saya sempat menyelesaikannya. Barangkali kurang jodoh. Setelah itu, saya justeru semakin rajin sembarangan menggondol setiap bukunya yang ada di depan mata. Entah itu di toko buku atau perpustakaan. Entah di pondokan teman. Persetan. Saya keranjingan membaca Puthut EA. Sementara di pasaran memang semakin jarang. Dan karena banyak hal, yang terlalu panjang untuk diungkapkan di sini, saya menggemari Mas Puthut. Maka saya jauh lebih bahagia berjumpa dengannya ketimbang Ariel. (Saya menuliskan ini dengan harapan ditraktir ngopi-ngopi ganteng). Saya bisa lupa bait lagu Peterpan, tapi saya selalu ingat ungkapan Mas Puthut: “Kamu harus belajar dari sejarah dan kenyataan, sejarah bangsa ini kan sejarah para makelar. Dan kenyataannya, makelar itu ada di mana-mana,” di buku Makelar Politik: Kumpulan Bola Liar. Baris itu padahal tidak dilagukan, tapi sangat 12

Arlian Buana sering terngiang-ngiang di kepala saya. Atau tentang betapa garis kerasnya ia sebagai seorang Romanisti: jika nanti anaknya mendukung klub selain AS Roma, ia akan persilakan anaknya mencari bapak lain selain dirinya. Anaknya boleh punya agama, keyakinan, pandangan dan ideologi politik berbeda dengannya, tapi tidak klub sepakbola. Ngeri-ngeri sedap. Itulah, saya sangat terperanjat ketika seminggu yang lalu Mas Puthut mengajak saya nonton film Noah Awal Semula. Dedik Priyanto, yang duduk di sebelahnya, tertawa tanpa jeda tanpa alasan yang jelas. Siapa itu Priyanto? Tidak terlalu penting. Sejujurnya saya malas nonton film itu, baru sehari sebelumnya saya membeli Kisah Lainnya di bazar buku Bintaro Plaza dan dalam empat jam saya sudah beres membacanya. Lagipula, tak ada yang saya harapkan dari film Noah. Saya tak perlu lagi sebuah dokumenter untuk mengetahui perjalanan band dengan Mimpi yang Sempurna itu. Ya, saya seorang sahabat Peterpan sejak dari pikiran, Sahabat Noah dari buaian hingga liang lahat. Banyak orang di lingkungan saya yang merendahkan pilihan ini. Apa boleh buat. Paling tidak, saya masuk golongan yang kurang dari 5 persen yang malahan lebih beruntung lagi hingga ditraktir Puthut EA— seorang Dewa Laut yang dengan rendah hati masih mengaku sebagai Detektif Partikelir. (Perihal dua julukan barusan, Anda hanya bisa paham jika telah melahap semua buku Mas Puthut. 13

Merry Christmas, Felix Siauw! Makanya Anda harus memborong semua bukunya. Ehm, tidak boleh tidak.) Nah, lantaran enggan Noah, saya masih coba merayu Mas Puthut untuk menonton film lain saja. Misalnya Thor, di mana mantan kekasih saya Natalie Portman ikut ambil bagian. Tapi Mas Puthut bersikukuh mau nonton Noah saja. Sampai-sampai saya curiga kalau-kalau ia juga seorang penggemar Ariel dkk. “Udahlah, anggap aja ini hadiah buat kamu,” katanya. Priyanto semakin menjadi-jadi, terpingkal-pingkal tanpa alur berpikir yang runtut. Priyanto ini siapa sih? Nggak penting-penting amat sebenarnya, sebut saja lelaki yang mendermakan dirinya demi digulung badai kenangan. Usaha saya memutar haluan untuk film lain akhirnya tak membuahkan hasil. Di depan antrean bioskop, diam-diam saya berani menyimpulkan bahwa Mas Puthut juga seorang Sahabat Noah. Lebih-lebih, ia tampak sumringah setelah pertunjukkan usai. Pertanyaannya sekarang, benarkah seorang Puthut EA mengidolakan Noah dan Ariel? Apa salah?

14

Nyanyi Sunyi dari Gang Melati

Aku mencintai Ciputat sebagaimana aku mencintai ketupat di hari lebaran. Di kota kecil ini, aku telah menghabiskan seperempat lebih umurku. Di sini, jutaan perempuan–errr, maksudku, jutaan pertemuan, percakapan, dan perdebatan telah mewarnai hidupku. Aku juga suka buku-buku dan diskusi sebagaimana aku menyukai opor ayam. Ah, Ciputat. Kota kecil yang menyebalkan, sebenarnya. Kemacetan. Kesemerawutan. Denyut hidup kaum pinggiran. Semuanya menyatu dalam diriku. Kautahu, betapapun menyebalkannya sesuatu, jika itu adalah bagian dari dirimu, mau tak mau kau akan menerimanya sebagai kewajaran dan perlahanlahan kau belajar mencintainya. Misalnya perutmu yang buncit atau hidungmu yang pesek. Maka aku mencintai Ciputat sebagaimana aku mencintai perutku yang sedikit buncit. 15

Merry Christmas, Felix Siauw! Pertama kali aku menginjakkan kaki di daerah kekuasaan Komaruddin Hidayat ini pada pertengahan 2007. Waktu itu aku masih kurus, belum sesubur sekarang. Sebagai perantau, aku telah menancapkan keinginanku untuk bersungguh-sungguh belajar di kampus yang katanya sedang merintis jalan menjadi kampus kelas-dunia. Sampai tahun ketiga, semuanya memang berjalan lancar. Sampai aku menemukan kebosanan-kebosanan pada diktat-diktat, ruang kuliah, dan ceramah dosen yang tak menarik. Di forum diskusi, aku lebih banyak dibuat terpesona dengan warna-warna daripada di bangku kuliah. Aku menemukan banyak hal yang lebih menggairahkan pada kajian-kajian informal dengan kawan-kawan kelompok diskusi. Aku merasa lebih hidup membicarakan karya-karya sastra, telaah sosial-budaya dan politik, serta mendalami filsafat di Piramida Circle—forum studi yang kupilih sebagai pesantrenku selama di Ciputat. Bagiku, kampus hanya mendiktekan kebosanan satu ke kebosanan lainnya. Kebanyakan aku terjelengar dibuatnya. Di Fakultas Psikologi tempatku pernah kuliah, aku melihat banyak kawanku digiring menjadi guru konseling atau bagian HRD di perusahaan-perusahaan. Tentu bukan dosa. Aku hanya tak mau menjadi bagian darinya. Otakku tidak merasa merumah di kampusku sendiri. Otakku justru menemukan rumah di berbagai kajian dan tongkrongan. Salahkah bila aku alergi 16

Arlian Buana dengan kegiatan perkuliahan di kampus ini? Oh, jangan salah, aku tak akan pernah berhenti belajar dari manapun. Meski aku merasa kampus ini bukan tempat yang cocok untukku, aku senantiasa mengejar apa, siapa dan ke mana saja agar aku bisa berguru. Jangan khawatir, aku tetap akan menjadi pembelajar seumur hidup. Apalagi yang harus kukatan tentang Ciputat? Aku telah mengenal setiap inci tanahnya, ruparupa manusianya, tempat makan termurah sampai termahal, dan yang paling penting, pergolakan pemikiran mutakhir yang lahir di kawasan tak rapi ini. Seorang kawan pernah berseloroh, aku—dengan sekian pergelutanku di Ciputat selama ini—telah mencapai Puncak Makrifat Ciputat. Tanyakan kepadaku semua yang ingin kau tahu tentangnya, aku akan menjawab dalam satu-dua kedipan mata. Asal jangan kau tanya cara memikat gadis Ciputat. Karena hingga kini aku pun masih bingung. Itulah masalahnya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku mendekati perempuan Ciputat. Barangkali karena aku terlampau sibuk dengan buku-buku, laptop, dan diskusi.

Aku gandrung akan sepakbola. Bukan hal aneh, bukan? Kepalaku bisa mendadak vertigo bila malam 17

Merry Christmas, Felix Siauw! akhir pekan kulewatkan tanpa laga sepakbola. Oh, iya, fakta bahwa hanya 0,000000001 hidupku yang kuhabiskan dengan merasakan kehangatan malam minggu bersama pacar tentu berkontribusi besar atas pusing kepala itu, tapi sepakbola selalu berhasil menjadi obat mujarab. Sepakbola adalah keajaiban bagi hidupku. Sialnya, sepakbola juga bisa merusak hari-hariku. Awalnya aku menikmati sepakbola sebagai permainan yang menyenangkan. Hanya itu. Permainan. Bermain. Main-main. Senang-senang. Berkejaran di bawah guyuran hujan memperebutkan dan menendang-nendang bola bersama kawankawan di desa tak pernah gagal membuatku riang-gembira, meski ketika pulang ke rumah pasti dimarahi orang tua. Tontonan sepakbola baik itu acara tujuh-belasan di kecamatan atau di televisi bagiku selalu lebih seru daripada film-film laga atau tembak-tembakan ala koboi mana pun. Seiring berjalannya waktu, sepakbola tak lagi sekadar perwujudan dari kesenangan bagiku, lebih dari itu, sepakbola menjadi gengsi dan lambat-laun menjelma egoku. Semua bermula sejak aku memilih dan menentukan tim sepakbola kesayangan. Pilihan yang membuatku merasa memiliki klub sepakbola itu, atau, boleh dibilang, klub itu yang memilikiku. Emosiku jadi rentan dipengaruhi hasil pertandingan. Lama-lama aku curiga jangan-jangan skor akhir itu adalah emosiku sendiri. Menang, senangnya tak alang kepalang, bunyi nafiri terus bergema di rongga dada, 18

Arlian Buana dan hari-hariku dalam sepekan akan berlangsung ringan. Kalah, bawaanku jadi marah-marah, pekanku terasa bencana. Seperti malam ini, sehabis kekalahan Inter Milan dari seekor klub semenjana, rasanya aku ingin menghancurkan semua barang di atas meja. Piring, gelas, asbak, biar berdemprang paling garang. Aku ingin kegaduhan. Bukan keberisikan yang mengusik. Kegaduhan yang memompa epinefrina. Di ujung meja sana, Zakky Zulhazmi dan Arlian Buana menciptakan keberisikan yang mengesalkan. Ingin rasanya menyumpal mulut dan membanting badan mereka berdua ke lantai lalu kutimpakan sengkang rak buku rak piring kompor gas sekalian wastafel lalu aku akan tertawa terbahak-bahak. Lalu kubakar markas besar ini dengan satu lemparan kecil korek kayu pada minyak tanah yang telah kusiramkan sebelumnya. Semua itu terjadi di kepalaku. Kenyataannya, mereka berdua yang terpingkalpingkal karena obrolan entah yang kesannya menertawakanku. “Pernah skor laga klub favoritmu mempengaruhi mood-mu dalam waktu yang panjang?” Bana bertanya. Oh, mereka memang menyindirku. Tahu kau bagaimana rasanya ditimpuk laptop, Ban? “Mempengaruhi sih iya. Tapi nggak lama juga. Paling-paling ya kecewa saja selepas nonton. Keykkeyk gimana ya… Keyk-keyk gak habis pikir aja, gitu. Tapi setelah beranjak ya sudah. Toh, hidup harus 19

Merry Christmas, Felix Siauw! dilajutkan? Banyak tugas lain menunggu. Buat apa melestarikan kekecewaan jika itu tak membantu kita berkarya?” Sok serius Zakky menjawab dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak memerlukan jawaban. Menyebalkan. Pernah kau digebuk pakai dispenser beserta galon penuhnya, Jek? Mau bilang kayak-kayak saja pakai keyk-keyk. Dasar alay! Aku membolak-balik halaman Lapar-nya Knut Hamsun. Tapi otakku masih terpaku pada percakapan dua asu buntung itu. “Bener banget. Aneh aja ada orang-orang yang gitu. Tapi ya boleh-boleh aja sih. Yang kelewatan gak jelasnya itu orang-orang yang berantem gara-gara membela klubnya. Kalo klubnya kalah, misalnya, terus di-cengin abis, dia ngamuk-ngamuk sampe ngajak berantem. Apa coba perlunya gontok-gontokan perkara klub?” Bana makin tajam menyilet. Perih ulu hatiku. Biarlah, biar dia mengoceh sampai tamam nafsunya. Lebih baik aku masuk kamar daripada terjadi perkelahian seperti sinetron Indosiar. “Iya, bener. Banyak banget emang yang gak jelas keyk-keyk gimana gitu. Ada tuh yang pernah jadi jurnalis bola tapi masih keyk gitu.” Zakky brengsek! Berani-beraninya dia terang-terangan menamparku. Nyamuk-nyamuk di sini pun tak kalah brengseknya.

20

Arlian Buana Haruskah aku bersepeda untuk memuntahkan kemarahanku? “Hahaha. Jonathan Wilson, kolumnis bola terkeren sejagad Inggris, nulis di Jurnal bola bikinannya, The Blizzard, edisi Sembilan kalo gak salah: bolakaki itu emang olahraga kemarahan. Angry sport. Kata dia, dari dulu emang gitu, dan booming-nya media sosial makin menelanjangkan fakta itu. Dia juga bilang, yang paling melelahkan dan membosankan jadi jurnalis bola itu bukan kerja sampai larut malam atau perjalanan panjang untuk liputan, tapi menghadapi fans yang marah dan tolol yang mayoritas itu...” “Nah, kalo jurnalis bola, atau minimal mantan jurnalis bola keyk gitu, berarti anehnya kuadrat dong. Hahaha.” Babi! “Seenggaknya, jurnalis bola kan mempelajari banyak hal ya. Absurd memang kalo otaknya masih cupet. Hehehe.” “Padahal jadi suporter itu nggak dibayar lhoh, ya. Malah harus membayar dengan harga yang nggak sedikit. Kita bahkan jadi papan iklan berjalan dengan jersey yang kita pakai.” “Itulah. Absurd.” Susah bicara dengan awam yang belum pernah mendengar apalagi beriman pada firman Bill Shankly. Lebih baik aku bersepeda. 21

Merry Christmas, Felix Siauw!

22

Arlian Buana Orang-orang yang menganggap sepakbola sebagai perkara hidup-mati saja mengecewakan Shankly, apalagi dua bedebah yang justru berolokolok itu. Sepakbola lebih akbar daripada urusan hidup dan mati! Lebih cepat aku mengayuh sepedaku kemungkinan pertumpahan darah akan semakin kecil.

Kau mungkin mengira aku orang yang jiwanya rusuh. Kau salah. Aku telah berdamai dengan apa pun. Dengan kesendirian, kegagalan dan kekecewaan, juga dengan nyamuk dan kenangan. Iya, kenangan. Tak semuanya menyenangkan, memang. Tapi sungguh, aku telah berdamai dengan segala. Zakky salah bila meyakini merawat kekecewaan tak membantu kita berkarya. Kau salah bila beranggapan bahwa menggarami luka tak baik bagi produktivitas. Aku akan buktikan kalian salah. Aku sedang menulis novel tentang taman kesedihan yang kukunjungi setiap malam. Semua kisahnya bersumber dari kenangan-kenangan yang kerap menindih kepalaku. Aku akan buktikan. Di setiap kelas menulis, hal pertama yang selalu kuajarkan kepada peserta didikku adalah ritual memanggil kenangan. Seburuk apa pun kenangannya tak akan pernah gagal menjadi tulisan bagus. Percayalah. Perkara kuliahku, sekali lagi aku telah berdamai. 23

Merry Christmas, Felix Siauw! Goenawan Mohamad, sastrawan besar itu, toh tidak menamatkan pendidikannya di Fakultas Psikologi, fakultas yang sama denganku. Aku punya rencana untuk menyeriusi studi sastra, entah di kampus mana. Aku akan memenuhi nubuat kawan karibku: aku akan menjadi Lumba-Lumba Sastra, suksesor HB. Jassin Sang Paus Sastra Indonesia. Kau kira aku belum pernah punya pacar? Enak saja. Gadis berkacamata itu memang tak terbit dari Ciputat. Ia datang dari kota kenangan. Ah, aku sedang tak ingin berpanjang-lebar tentangnya. Tapi kau harus tahu, paling tidak, aku pernah memenangi hatinya. Namaku Dedik Priyanto. Apa lo? Apa lo?

24

Ariel

Ia masih sibuk rapat peluncuran album terbaru ketika asistennya datang menginterupsi, membisikinya kabar mengejutkan. ”Ah, itu pasti hoax,” katanya tak ingin percaya. Rapat dilanjutkan dengan kegelisahan yang mulai menggelayuti hatinya. Konsentrasinya buyar. Selang beberapa menit, asistennya kembali menghampiri dengan wajah lebih pasti: wajah bencana di depan hidung. Ia menerima ponsel pintar yang disodorkan sang asisten untuk memastikan sendiri kebenaran kabar jahanam itu. Seketika pandangannya gelap. Kepalanya seperti hendak meledak. Di luar sana, seluruh dunia mulai membicarakannya. Riuh-rendah. Jejaring sosial. Portal berita dan forum-forum daring. Koran-koran. Stasiun-stasiun televisi tak mau ketinggalan. Hirukpikuk.

25

Merry Christmas, Felix Siauw! Demikianlah Ariel membuka Kisah Lainnya: Catatan 2010-2012. Dramatis. Indonesia gempar oleh tragedi kau-tahu-apa. Dua video terkutuk itu tersebar begitu cepat, mustahil dihentikan. Ia tak mungkin lari. Rentetan hari-hari berkebalikan 180 derajat dengan hidupnya beberapa tahun belakang telah menanti. Dan ia memilih diam ketimbang berteriak dalam kerumunan tak karuan ini. Orang-orang berlomba menghakiminya. Saya sangat ingat malam itu. Mendadak beberapa orang menghubungi, bertanya apakah saya sudah menonton, menanyakan pendapat, dan lain sebagainya, yang sebenarnya bukan urusan saya. Hanya karena saya pernah secara terbuka mendaku sebagai Sahabat Peterpan. Hanya karena semua orang tahu saya sering menyanyikan lagu-lagunya. Saya membayangkan apa yang berkecamuk di kepala Ariel saat itu. Tentu tak mudah. Video itu tak akan mengubah kesukaan saya akan Peterpan. Lagipula itu urusan pribadi. Peduli setan dengan kelakuannya. Lebih penting lagi, ia tidak melakukan tindak kriminal. Tapi sebagian orang ternyata lebih suka menghakimi. Sebagian orang merasa punya otoritas moral untuk menghukum. Saya sempat teringat bahwa Ariel mengidolakan Kurt Cobain, janganjangan ia akan mengikuti jejak pentolan Nirvana itu bunuh diri di umur 27. 26

Arlian Buana

27

Merry Christmas, Felix Siauw! Kebetulan Ariel sedang di usia yang sama. Kita semua tahu, ia tak berakhir di situ. Ia masih punya cukup kekuatan untuk bertahan, mempertahankan diri. Tentu ia bukan manusia paling suci. Tapi ia memilih sikap ksatria. Menghadapi apa pun yang harus dihadapi. Tanpa banyak bicara. “Jika saya bercerita sekarang, maka itu hanya akan membuat sebagian orang memaklumi saya dan sebagian lagi akan tetap menyalahkan saya. Tetapi itu juga akan membuat mereka memaklumi dunia yang seharusnya tidak dimaklumi. Dan tidak ada yang dapat menjamin apakah, semua dapat memetik yang baik dari kemakluman itu, atau hanya mengikuti keburukannya. Maka saya lebih baik diam… Saya hanya akan bercerita kepada Tuhan, bersuara kepada yang berhak, berkata kepada diri sendiri, lalu diam kepada yang lainnya. Lalu biarkan seleksi Tuhan bekerja pada hati setiap orang.”

28

Jadi Lelaki ala Alawi

Cecunguk forum kajian di Ciputat mana yang tak kenal Abdullah Alawi? “Mas, kenalkan, ini Alawi, calon menantu saya,” kata penyair D. Zawawi Imron memperkenalkan Abdullah Alawi kepada Atasi Amin, putra sulung penyair-cum-pelukis Jeihan Sukmantoro. Di samping Abah Zawawi, duduk pula Sapardi Djoko Damono— penyair yang puisinya sering dikutip di undangan pernikahan tapi namanya jarang tercantum. “Tapi Alawi ini orangnya segan dengan perempuan. Kalau hanya berteman, memang banyak dia berteman dengan perempuan. Tapi kalau sudah menyangkut desir-desir hati, dia ndredeg, lalu menghindar.” Abdullah Alawi, biasa saya panggil Bang Abah, diam triliunan bahasa. Tak pernah sebelumnya saya melihat ia sematikutu itu.

29

Merry Christmas, Felix Siauw! Tapi peristiwa itu beberapa jam kemudian justru menjadi senjata andalannya untuk menyerang lawanlawannya.

Ada sebuah legenda suburban di Ciputat yang sukar dipercayai oleh orang-orang di manapun di belahan dunia ini. Dongeng tentang seorang lelaki tampan, dewasa, bersahaja, pintar dan humoris yang konon jomblo sejak dari pikiran. Ada. Mula-mula saya sendiri tidak percaya kisah itu. Apalagi ketika tahu bahwa lelaki yang dimaksud adalah orang yang saya kenal baik. Semua definisi dan pujian tentang keagungannya tak kuasa saya bantah. Tapi cerita bahwa ia belum pernah punya hubungan istimewa dengan seorang perempuan bagi saya benar-benar tak masuk akal. Susah dinalar. Ia orang baik. Sangat baik. Hatinya semulia Bajak Laut dalam novel Dataran Tortilla. Dalam hal beragama, ia sereligius Jesus Maria. Kesetiakawanannya tak kalah dengan Danny. Kemampuan menyimak dan menyimpan datanya setajam kecermatan Pilon. Karena itu, kegandrungannya dalam menulis serupa dengan tergila-gilanya para Paisano pada anggur. Maka jangan heran bila suatu hari ia terdampar di tepi laut, yang pertama kali dicarinya adalah pena dan buku tulis. Seperti halnya para Paisano akan mencari setetes anggur. 30

Arlian Buana Awal Desember 2009, saya mengetuai panitia bedah buku kumpulan cerpen berjudul Perawan yang diterbitkan oleh Yayasan Rahima. Ketika akan memilih moderator, para senior di kampus meyodorkan nama Abdullah Alawi. Menurut mereka, ia juga mahasiswa UIN, pecinta sastra dan pentolan kelompok diskusi Piramida Circle. Dari beberapa kali interaksi di kegiatan itu, saya langsung tahu bahwa ia orang yang pintar dan menyenangkan. Kombinasi yang sulit didapati dalam diri setiap orang. Kombinasi yang hanya dimiliki oleh mereka yang terpilih. Ia adalah tipe orang yang, jika tanpa sengaja seperjalanan atau bertemu di kafé dengan Anda, akan dengan cepat bersahabat dan asyik dijadikan kawan bicara. Sejak itu, saya jadi sering bergaul dengan Bang Abah. Ia tak pernah membentangkan jarak di tongkrongan, walaupun saya juniornya dengan angkatan yang terpaut cukup jauh. Akhir Desember 2009, Gus Dur, tokoh yang kerap menjadi primadona dalam diskusi kami, wafat. Keesokan harinya, kami tahlilan, dilanjutkan dengan berbagi cerita dan berdiskusi tentang apa saja mengenai Gus Dur. Bang Abah cerita tentang bagaimana orang-orang di kampungnya memandang Gus Dur, lalu persentuhannya dengan pelbagai gagasan Gus Dur sejak bertungkus-lumus di forum kajian.

31

Merry Christmas, Felix Siauw! Saya semakin dalam mengenalnya ketika kami menggagas sebuah buletin bernama Bongkar— bersama Ahmad Makki dan Abi Setio Nugroho. Lebih sering begadang bersamanya, menerima penjelasan-penjelasan sederhananya tentang banyak konsep filsafat yang bikin pusing, dan yang paling menyenangkan, saya diperbolehkan membaca bermacam-macam tulisannya yang luar biasa tapi belum pernah dipublikasikan. Saya mengagumi tulisan-tulisannya. Ia mampu mengangkat banyak hal sederhana menjadi menarik dan penting, dengan gaya yang santai, sederhana dan seringkali jenaka. Jika saya ditanya siapa penulis yang paling menginspirasi saya selama di Ciputat, nama Abdullah Alawi yang saya sebut pertama. Mungkin bagi banyak penulis kawakan, tulisannya biasa saja, tapi bagi saya sungguh luar biasa, lantaran saya mengenalnya dari dekat, sedikit-banyak melihat langsung bagaimana proses kreatifnya. Ia adalah guru sesungguhnya bagi saya. Masalahnya, saya benar-benar tak pernah tahu apakah guru saya itu pernah punya pacar atau belum. Bagaimana saya harus membelanya ketika tidak sedikit orang menuduhnya telah menjomblo sedari buaian? Sedang untuk bertanya kepadanya saya rasa kurang etis. Benarkah apa yang dikatakan Abah Zawawi, Si Celurit Emas, bahwa Bang Abah menghindari desir-desir hati?

32

Arlian Buana Dengan segenap reputasinya, saya sangat yakin Bang Abah bisa memilih gadis single mana pun untuk dijadikan pacarnya. Asal pendekatannya tepat, pastinya. Entah bagaimana latar belakang dan latar depannya, ia sendiri sepertinya enggan mencari pacar. Ia bahkan membangun demarkasi bagi perempuan-perempuan yang mencoba mendekatinya. Ketika banyak remaja tanggung yang risau karena di laman profil Facebook-nya tak ada status perpacaran, Bang Abah ambil jalan pintas dengan membuat akun Nyai Ontosoroh. Akun yang hanya berteman dengan satu orang ini dijadikannya pacar. Penghias laman profilnya. Menyedihkan? Tidak juga. Ia tetap melalui hidupnya dengan riang-gembira. Cerita tentang akun Nyai Ontosoroh tak pernah bisa dijadikan orang senjata untuk menghinanya. Sebaliknya, akun itu justru menjadi kebanggan luar biasa di tangannya. Ketika jomblowan-jomblowati dipandang hina seperti tahi kuda, Abdullah Alawi justru terlihat seperti buah semangka. Menurut informasi yang telah saya himpun dari sumber-sumber terpercaya, bukan sekali dua ada gadis yang memujanya layaknya para jurnalis menyembah fakta. Gadis-gadis itu mengubernya seperti kuli tinta memburu berita. Tapi tak satu pun yang mampu merengkuh hatinya. Tak satu pun. Di telinga saya, pernah mampir kisah tentang 33

Merry Christmas, Felix Siauw! dekatnya Bang Abah dengan beberapa perempuan. Pernah dengan rekan kuliah seangkatannya, punya minat yang sama besar pada sastra dan kajian kebudayaan. Mereka berdua pada suatu masa saling tarik-menarik begitu kuatnya seperti sampo dan rambut, tapi hubungan itu berakhir entah. Ada beberapa perempuan pula yang bergantian meneleponnya berjam-jam hingga larut malam, tapi kesemuanya tak jelas juntrungannya. Di Macondo, pondokan saya, suatu malam ia masuk angin dan minta minyak kayu putih. Tanpa saya minta, ia bercerita bagaimana aroma minyak itu membangkitkan kenangan-kenangannya tentang cinta di sekolah menengah. “Gua itu…” katanya memulai. Begitulah Bang Abah, selalu bertutur tentang dirinya seolah-olah dirinya adalah orang lain. “Kalo nyium bau kayu putih selalu keingetan cewek yang gua senengin waktu aliyah.” “Dulu waktu kemah, gua itu berusaha biar baris deket-deket dia. Kebetulan mungkin waktu malem api unggun dia lagi nggak enak badan, jadi make minyak kayu putih. Dan gua itu menghirup aromanya dengan seksama.” “Makanya sampai sekarang gua selalu menganggap, bau kayu putih itu aroma cinta. Hahaha.” Saya terkesima. Mengulum senyum. Menunggu 34

Arlian Buana kelanjutan ceritanya. Tapi percakapan itu dicukupkannya. Penonton kecewa Alawi berlalu. Di mana dan bagaimana gadis kayu putih itu kini, kita semua barangkali tak akan pernah tahu.

Sabtu, 28 September 2013, pasukan Surah Sastra menyerbu Bandung. Muhaji Fikriono, Hamzah Sahal, Abi Seti Sugroho, Dedik Priyanto, Zakky Zulhazmi, Ubay Prh dan saya berangkat dari markas di Gang Melati, Bintaro, kira-kira pukul sebelas malam. Bukan pasukan lengkap, dan dengan perbekalan seadanya. Tujuan kami, Studio Jeihan, di Jalan Padasuka. Di sana, telah menunggu pameran lukisan dan puisi “Lima Rukun.” Pameran bersama lima maestro, Sapardi Djoko Damono, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, A Mustofa Bisri dan Jeihan Sukmantoro. Sepanjang perjalanan, kami telah membayangkan bagaimana melihat para maestro itu dari dekat, ngobrol ngalor-ngidul dan tentu saja belajar dengan mereka. Sebelum ke lokasi, kami terlebih dahulu menjemput Abah Zawawi di stasiun. Abah Zawawi begitu hangat, lagi baik hati. Begitu mendengar berita wafatnya ibunda Bang Morenk Beladro, beliau langsung memimpin kami melafalkan doa-doa panjang saat itu juga, di dalam mobil. Kami yang lelah dan kelaparan ditraktirnya makan, dihiburnya dengan 35

Merry Christmas, Felix Siauw! rupa-rupa humor teranyar dari tanah Madura. Dan tak lupa ia bertanya, “Mana Alawi?” Alawi yang dinanti baru tiba keesokan hari. Ia melewatkan beberapa momen puitik tentu saja. Tapi bukan Alawi namanya jika tidak membukukan kemenangannya sendiri. Meski lebih dulu kami sehari, koleksi fotonya bersama para tokoh dalam gelaran ini lebih lengkap daripada siapapun. Alawi memang tak berkutik ketika pertamatama diperkenalkan sebagai calon menantu Abah Zawawi. Menggelegar gelak tawa Dedik Priyanto, Abi Setio Nugroho cekikikan, Muhaji Fikriono dan Zakky Zulhazmi tersenyum simpul penuh arti. Tapi, sekali lagi, bukan Alawi namanya jika tidak membukukan kemenangannya sendiri. Selepas Abah Zawawi pergi, gelegar tawa Dedik Priyanto perlahan tapi pasti berubah menjadi air mata. Ceng-cengan terus berlanjut. Alawi yang malumalu dengan perempuan dan lain sebagainya terus diulang-ulang. Tatkala percakapan sedikit berbelok tentang kaos Lima Rukun, yang beberapa orang tidak kebagian, serangan balik Alawi mulai dilancarkan dengan cepat. Trengginas. “Lu udah dapet kaos, Bah?” tanya Dedik. “Ya udahlah. Kalo gua kan udah dianggap menantu! Orang-orang udah pada hormat semua sama gua gara-gara dikenalin-menantu.” Alawi mulai menemukan dirinya. Semuanya 36

Arlian Buana terpingkal-pingkal. Sambil tertawa, Dedik mulai mengumpat jancuk. “Kalo sampe gua gak dapet kaos, Abah Zawawi bisa-bisa turun tangan, ‘ini menantu saya belum dapet!’” Secepat kilat ia membelokkan percakapan menuju Dedik. Serangan yang sepertinya memang telah disiapkannya cukup rapi, tanpa ampun, dan mematikan. Dedik semakin sering mengumpat. “Emangnya elu?!” bla-bla-bla. Semua tentang Dedik, mantan kekasihnya, kenangan dan lukalukanya mendadak dikorek-korek seperti selokan mampet yang dibersihkan. Habis. Tuntas tak bersisa. Kami semua tentu saja dengan sukarela menjadi tim hore. Sampai Dedik tak sanggup lagi mengumpat dan hanya bisa termangu. Sepulang dari Bandung, beberapa kali saya terkenang tentang Bang Abah. Kisahnya membuat saya berpikir ulang tentang konsep ideal menjadi lelaki. Ia hipster sejati dalam hal percintaan. Ia tidak seperti kebanyakan orang yang berpikir dan berusaha keras mencari pasangan agar tidak dihina sebagai jomblo di perkumpulan. Jomblo tidak jomblo sepertinya tidak pernah mengganggu pikirannya. Karena hipster dalam percintaan, ia tak perlu intim dengan berbagai kosa-kota basi anak muda masa kini: patah hati, galau, move on dan seterusnya. Ia tentu saja memperhatikan itu semua, dijadikan 37

Merry Christmas, Felix Siauw! perbendaharaannya untuk menulis dan ngobrol di warung kopi, tapi ia tak penah terganggu dengan hal-hal yang begitu. Berbeda dengan Dedik, misalnya, yang kerap gelisah ketika kenangan datang tanpa diundang. Caranya memperlakukan kenangan tentang Gadis Kayu Putih, jauh berbeda dengan cara mainstream yang menggalau-balau. Alih-alih berburu cinta, Alawi justru semakin giat mencintai dirinya sendiri. Ia lebih memilih untuk sibuk dengan apa yang menggairahkan hatinya: membaca, berkenalan dengan sebanyak mungkin orang baru, mengunjungi tempat-tempat baru dan menulis. Bukan mencintai diri secara berlebihan seperti Narcissus legenda Yunani. Hingga tiba orang seperti Abah Zawawi yang dengan senang hati menyodorkan jodoh yang cocok untuknya, cinta sejati sehidup-sematinya. Bukankah mustahil kita bisa mencintai orang lain jika lalai mencintai diri sendiri? Ps: Bang Abah akhirnya menikah akhir Oktober 2015, dengan seorang Mojang Bandung.

38

Pria Punya Selera yang Susunya Susu Bendera

Di kantin Perpustakaan Universitas Indonesia, Faisal Kamandobat mengungkapkan keinginan terdalamnya sebagai penyair: puisinya dibaca atau dinyanyikan orang setiap hari layaknya puja-puji untuk nabi dan doa-doa yang dihayati para pemeluk agama yang teguh. “Aku kan paling-paling baca puisiku sendiri di panggung, terus dikasih tepuk tangan, yang tepuk tangan itu temen-temenku sendiri, habis acara mereka udah gak inget puisiku. Atau koran Minggu, tapi apalah artinya koran Minggu selain honor?” katanya. Diskusi itu sebenarnya tentang Poejangga Baroe. Majalah Surah berniat menerbitkan ulang polemik kebudayaan yang banyak digeluti oleh para punggawa Poejangga Baroe. Gagasan awalnya dari kritikus sastra sekaligus Dewan Redaksi Surah, Maman S. Mahayana, dalam rangka memperingati 39

Merry Christmas, Felix Siauw! dasawindu Poejangga Baroe dan sebagai upaya menyelami bagaimana akar kebudayaan Indonesia dibentuk. “Karena dasar-dasar yang diletakkan Poejangga Baru itulah, kesusastraan modern Indonesia bekerja melalui negara, hanya lewat lembaga-lembaga pendidikan formal yang semakin lama semakin berjarak dengan masyarakatnya. Akibatnya, karya sastra tidak benar-benar dihayati, puisi Chairil Anwar hanya jadi hafalan di Sekolah Dasar. Tidak mendarahdaging dalam derap langkah manusia sehari-hari,” tambah Kamandobat. Mahayana mengangguk pelan, matanya menerawang. Zakky Zulhazmi menganggukangguk sambil saling memandang dengan Ubay Prh. Abdullah Alawi mengangguk serius. Abi Setio Nugroho menghisap rokoknya dalam-dalam, matanya menyipit dan keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu yang sangat serius. “Sebentar. Sebentar,” sela Kamandobat. “Ada puisi lewat.” Seorang mahasiswi dengan blus putih dan rok tribal selutut melintas. Parasnya putih mulus, peralatan kecantikan modern sepertinya bekerja dengan baik di sana, kaki jenjangnya pun tanpa cacat dipercantik sepatu hak tinggi sehingga bentuk betisnya terlihat kencang meski kesan lembutnya tetep menempel. Hidung mancung. Menenteng tas 40

Arlian Buana dan berjalan dengan irama terjaga, anggun. Bentuk tubuhnya seperti rata-rata model pakaian dalam. Saya menoleh, Nugroho dan Zulhazmi nyengir. “Itu baru puisi. Berdarah-daging,” kata Kamandobat, tertawa. Obrolan dilanjutkan ngalor-ngidul. Di kejauhan, saya melihat tiga mahasiswi keluar dari Books & Beyond sambil bercengkerama. Tidak seperti mahasiswi sebelumnya, mereka terlihat tanpa polesan memadai, seperti tidak mengenal perawatan kulit yang mahal kecuali mungkin sabun cuci muka dan krim yang diiklankan televisi. Mereka semakin mendekat ke tempat kami ngobrol. “Sebentar, sebentar,” giliran saya yang menyela. “Ada tiga puisi esai mau lewat.” “Hahahaha.. Ada catatan kakinya gitu,” timpal Nugroho.

7 Maret 2014 pagi, belum tidur semalaman, saya membangunkan Alawi dan Nugroho. Rencana kami hari ini membuat kepala saya bekerja demikian kerasnya, demikian antusiasnya sampai-sampai tidur tak lagi menggoda. Setelah keduanya bangun lalu mandi bergantian, kami meluncur bersama ke Bintaro Plaza. Bazar Buku Murah Gramedia menanti kami dengan stok-stok baru yang menggiurkan. 41

Merry Christmas, Felix Siauw! Pukul setengah sebelas, di tengah lautan buku, Alawi terlihat gelisah. “Bung, ayo, udahan yuk. Pak Djoko udah nungggu kita nih,” katanya. Tapi perkiraan saya bukan Pak Djoko benar yang merisaukan Alawi, tapi buku yang telah diangkatnya di tas belanja sudah terlalu banyak. Kantongnya tentu akan kempis dalam tiga pekan ke depan. Perburuan harus segera diakhiri kalau tak ingin dompetnya kosong-melompong. Sesampainya di rumah Djokolelono, Pak Djoko yang dimaksud Alawi, saya baru sadar telepon genggam saya tak ada di tempatnya yang biasa, di kantong. Saya periksa di tas, nihil. Ada beberapa orang yang harus saya hubungi saat itu, saya mulai panik. Nugroho pun kelihatan khawatir, “Coba periksa lagi,” katanya. Saya periksa lagi di semua sudut yang mungkin secara seksama dan konsekuen. Alawi dengan wajah yang ikut gelisah bilang, “Ketinggalan di tempat makan tadi kali.” Tanpa diinstruksi, Nugroho langsung memanggil nomor saya. Nyambung, tapi tidak diangkat. Lalu dengan ringan, tanpa beban, dan wajah bercanda, si tuan rumah berkata, “Gimana? Mau pakai hape saya?” saya setengah kesal dibuatnya. Di tengah keadaan yang bagi saya saat itu sangat rumit dan memusingkan, bisa-bisanya ada orang yang menganggapnya enteng. “Lha ya gimana? Jangan bingung, toh?” lanjutnya. Duh! Saya segera mengambil langkah cepat, menghidupkan sepeda 42

Arlian Buana motor, menjemput kemungkinan hape itu tertinggal di tempat makan. Tuan rumah adalah orang yang sangat kami kagumi. Ia yang mengantarkan kami mengenal, menikmati kisah dan umrah ke Dataran Tortilla. Nama Djokolelono selamanya tak akan pernah kami lupakan karena jasanya menerjemahkan dengan sangat hebat novel karangan John Steinbeck itu. Karena sentuhan tangannya, kami bisa mengenal dari jarak yang sangat dekat perilaku para Paisano. Djokolelono, Paisano, John Steinbeck dan Tortilla Flat adalah para primadona yang sukar tergantikan saat kami masih hobi nongkrong di Warkop Tampomas. Alawi, bersama partner in crime abadinya, Ahmad Makki, bahkan membuat sebuah blog tribut untuk mereka dengan nama Anggur Torelli—air zam-zamnya Dataran Tortilla. Puji Tuhan hape itu aman. Pemilik rumah makan berbaik hati menyimpannya sampai saya datang. Saya gembira sampai-sampai berniat menciumnya. Di jalan pulang ke rumah Pak Djoko, saya beli rambutan untuk oleh-oleh sebagai ungkapan senang. Kegembiraan saya bertambah-tambah ketika ngobrol dengan Pak Djoko. Dalam waktu singkat, saya sudah lupa kekesalan saya sebelumnya. Ia ternyata memang menggemaskan dan lucu orangnya. Dalam bahasanya sendiri, ia memang kekanak-kanakan. Menurut pengakuannya, bukan hanya karena menjadi kanak-kanak selamanya 43

Merry Christmas, Felix Siauw! menggembirakan dan lebih enak baginya, tapi juga karena ia tak mau pusing dengan semua urusan orang dewasa. Ia tak suka hitung-hitungan, ia benci pertengkaran. “Semua urusan orang dewasa, istri saya yang urus. Saya nulis aja,” katanya. Alawi terlihat mengangguk-angguk khidmat sekali. Matanya tajam menatap Pak Djoko dengan kekaguman dari ujung kaki hingga ujung kepala. Alawi seperti bertatap-muka langsung dengan para Paisano. Ia seolah mengalami dua momen sekaligus: puitik dan orgasmik. Alawi begitu bersemangatnya memberondong Pak Djoko pertanyaan demi pertanyaan. Nampak benar ia bernafsu menyedot ilmu kepenulisan Djokolelono dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dan Pak Djoko, selalu menjawab dengan cara yang imut dan menggemaskan. Pertama, mencoba menjawab, tapi di tengah jalan selalu terdistraksi oleh apa yang diucapkannnya sendiri atau diceletukkan oleh Nugroho dan saya. Dari jawaban yang melenceng itu, ia kemudian terdistraksi lagi oleh hal lain hingga omongannya tak tentu arah, yang penting senang. Jadilah ngalor-ngidul dan dengan sedikit cemberut, Alawi akan meluruskan kembali pertanyaannya. Meski perhatiannya mudah terdistraksi, Pak Djoko adalah pencerita yang baik. Ada banyak cerita penting yang justru diungkapnya dengan jawaban 44

Arlian Buana yang melenceng dari pertanyaan Alawi. Ia kaget ketika kami datang langsung menanyainya tentang sastra terjemahan. Ia heran kok dia lebih dikenal sebagai penerjemah ketimbang pengarang. “Yang paling pertama, saya ini penulis. Setelah banyak menerbitkan buku, baru jadi penerjemah,” katanya terkekeh-kekeh. Ia kemudian, karena tiba-tiba saja teringat, berkisah tentang anak keduanya, Astrid. Cintanya kepada anak perempuannya itu sangat besar. Ia sengaja menulis banyak cerita anak untuk anaknya, dengan tokoh utama menggunakan nama Astrid. Ada 14 serial Astrid, beberapa dihadiahkannya untuk kami, antara lain Astrid dan Bandit dan Astrid di Palungloro. Diam-diam, dulu ia memelihara impian suatu saat Astrid jadi bintang terkenal yang mondarmandir di kotak televisi dan gambarnya dipajang di baliho hingga kemasan sampo. Sebagai penulis cerita anak, ia punya saingan dari kalangan tentara. Nama rivalnya: Darto Singo. Seiring berjalannya waktu, Djokolelono jauh meninggalkan Darto Singo. “Darto beres nulis satu novel, saya selesai delapan,” katanya kembali terkekeh. “Tapi ternyata, anaknya Darto yang jadi artis terkenal. Anak saya, Astrid, di rumah aja,” katanya sambil melirik ke dalam rumah, lalu kembali menghadapi kami dengan mata membulat lalu berbisik, “Si Astrid lagi di dalem. Pelan-pelan ya ngomonginnya..” 45

Merry Christmas, Felix Siauw! “Tau siapa anaknya Darto?” kami saling menatap, menggeleng. “Siapa, Pak?” “Anggun C. Sasmi yang jadi artis internasional itu. Sebel saya kalo inget saya kalah sama Darto.” Ia terkekeh-kekeh lagi. Meski sangat produktif menulis novel, pekerjaan utamanya adalah copy writer di biro iklan. Pernah suatu saat Ajip Rosidi menyarankan agar ia berhenti dari pekerjaan itu dan jadi penulis penuh-waktu, tapi ia menampiknya. Ia tahu betul, menjadi penulis tak menjamin kebutuhan hidupnya terpenuhi. Honor dan royalti tidak seberapa, sementara kebutuhan untuk riset sangat besar. Lagipula pekerjaannya di biro iklan juga menulis naskah. “Rumah ini kan di kompleks Unilever. Ini rumah dari biro iklannya Unilever,” terangnya. Karyanya sebagai copy writer membuat kami tercengang. Apa yang dibuatnya merupakan tagline produk-produk terkenal. Ialah otak di balik iklan Gudang Garam: Pria Punya Selera. Alawi dan Nugroho berdecak kagum. Saya hampir terlonjak dari kursi saking terpesonanya. “Iya, dulu ‘Pria Punya Selera’ itu banyak yang kritik. Katanya gak sesuai EYD. Tapi biarin aja, mereka gak ngerti sastra sih.” Terkekeh-kekeh lagi. “Saya bikin ‘Pria Punya Selera’ itu terinspirasi dari puisi Chairil Anwar, ‘Cerita Buat Dien Tamaela’” 46

Arlian Buana Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala. Beta api di pantai. Siapa mendekat Tiga kali menyebut beta punya nama. “Siapa mendekat, tiga kali menyebut beta punya nama. Beta punya nama. Pria punya selera.” Ia terkekeh-kekeh lagi. Alawi dan Nugroho berdecak kagum lagi. Saya hampir terlonjak dari kursi lagi saking terpesonanya. “Selain itu apa, Pak?” “Banyak. Kamu pasti tau, ‘terus terang, Philips terang terus,’ sama ‘susu saya, susu Bendera.’” bahunya berguncang, terkekeh-kekeh lagi. “Wow! wow.. ” Saya langsung ingat Kamandobat dan keinginan terdalamnya. Djokolelono, yang bukan penyair, justru telah berhasil menciptakan kata-kata yang menempel di otak banyak orang. Meski medianya berbeda, yang satu koran minggu atau jurnal sastra sementara yang lainnya media iklan, tetap saja kata-kata Pak Djoko dahsyat luar biasa. Dan fakta bahwa ia diingat bahkan dilagukan banyak orang itu tak bisa ditolak. Dalam beberapa hal, ia lebih sublim daripada puisi terbaik Goenawan Mohamad, “Tempo: Enak dibaca dan perlu.”

47

Ajip Rosidi

Saya biasa melihat lelaki tua itu setiap Jumat di depan pintu tengah masjid Pondok Pabelan. Saban Jumatan, ia tak pernah bergeser, begitu setia di tempat yang sama. Persis di sana, di dua ubin kali tiga ubin itu. “Itu Aki tuh,” kata Cici, sahabat saya semasa mondok, suatu Jumat, menunjuk di mana kakeknya berada. Cici sering bercerita tentang Aki. Tentang Aki yang sering mengajak cucu-cucunya ke toko buku untuk memborong buku apa saja sesuka hati. Sayang, Cici tidak terlalu pandai memanfaatkan kesempatan emas itu. Paling-paling hanya Harry Potter atau biografi musisi idolanya saja yang diboyong. Di kamar Kuwait D atau di Empang (Warung favorit kami untuk merokok diam-diam agar tak ketahuan Ustadz), Cici banyak bercerita pengalamannya berlibur di Jepang mengunjungi Aki. 48

Arlian Buana Mulai dari kebiasaan Aki yang berpuasa Senin-Kamis atau Dawud, menempuh jarak antara rumah dan kampus Osaka Gaidai dengan berjalan kaki, hingga kebiasaan Aki berlama-lama di meja kerja, membaca dan menulis. Ketika Aki mengantarkan Cici pulang ke Indonesia, Aki tak membawa apa-apa selain tumpukan kertas hasil karyanya berkoper-koper. Cici sampai kepayahan mengangkat koper-koper itu. Setamat dari SD, Cici tidak langsung nyantri di Pondok Pabelan, pondok yang sampai sekarang dipimpin ayahnya, Pak Ahmad Mushtofa, melainkan di salah-satu SMP di Muntilan. Setamat SMP, Cici pernah mencoba nyantri di Gontor, tapi tak bertahan lama. Setelah pulang dari Gontor itu, menurut cerita Cici, Aki mengkritisi pilihan pendidikan Pak Ahmad untuk anak-anaknya. “Kalau ada Kyai yang menyekolahkan anaknya di pesantren atau sekolah lain, berarti pesantren yang dipimpinnya itu bukan lembaga pendidikan yang bagus. Anaknya sendiri saja disekolahkan di tempat lain,” kata Aki, seperti dikisahkan Cici berulang kali. Cici pun akhirnya mau nyantri di Pabelan, pondok yang didirikan dan dibesarkan oleh almarhum pakdenya, KH. Hamam Dja’far. Saya bisa bersahabat dengan Cici awalnya karena kami sama-sama hobi nge-band dan penggemar berat Harry Potter. Dari hobi ngeband, kami sering berkumpul mendengarkan musik bersama, mengulik kunci dan kabur untuk latihan di luar. Dari 49

Merry Christmas, Felix Siauw! kebersamaan itu, kami semakin sering ngobrol dan berbagi cerita. Cici yang pertama kali membukakan mata saya pada internet. Dia yang pertama kali mengajari saya membuat email dan menggunakan mesin pencari, merekomendasikan beberapa portal berita, laman sastra dan situs porno terpercaya. Bersama Cici dan beberapa teman lain, saya sering kabur dari kompleks pesantren untuk main band di Muntilan atau nonton konser di Magelang atau Semarang atau Yogyakarta. Pulang dari kabur itu, karena larut malam, kami selalu menumpang di bak truk pasir. Angkutan umum hanya ada sampai pukul 9 malam. Cici, nama panjangnya Muhammad Citradi. Di buku Yang Datang Telanjang, Aki memuat salah-satu surat untuknya, bersama surat-surat kepada banyak tokoh besar, tentu saja. Isi surat itu baru saya baca belakangan setelah Yang Datang Telanjang terbit. Isinya pujian dan pesan untuk Cici yang mulai senang bersepeda, ditulis pada tanggal 1 juni 2007, kira-kira ketika Cici baru naik ke kelas 5 SD. “Bagus sekali Cici suka naik sepeda. Mengayuh Sepeda, berjalan kaki dan berenang adalah tiga macam olahraga yang baik sekali. Dan murah. Olahraga lain umumnya lebih mahal biayanya daripada ketiga macam olahraga itu. Dan ketiga macam olahraga yang murah biayanya itu, tinggi nilai aerobiknya... Aki juga dulu suka naik sepeda. Tempo hari juga waktu tinggal di Abenoku, Aki dan Nini suka naik 50

Arlian Buana sepeda. Di jepang, di jalan besar selalu ada jalur khusus untuk speda. Jadi meskipun banyak mobil, pengendara sepeda aman. Tidak seperti di Indonesia sekarang, tak ada jalan untuk sepeda. Bahkan untuk orang berjalan kaki pun tak ada. Sehingga berjalan kaki dan mengayuh sepeda di Indonesia harus hati-hati. Kalau tidak, bisa disamber mobil yang ngebut. Karena itu kalau naik sepeda, Cici harus selalu waspada. Lebih baik di jalan kampung saja, yang jarang atau tidak bisa dilalui mobil. Kalau di jalan bessar selalu diintip bahaya. Maklum sopir di Indonesia banyak yang ugal-ugalan suka ngebut.. Juga Cici harus hati-hati. Jangan seperti teman Cici yang sampai nabrak pagar. Masa pagar ditabrak! Pagar kan kelihatan dari jauh juga, kok sampai ditabrak. Dan nabrak pagar tentu saja terpental sendiri, sampai pingsan. pendeknya Cici harus hati-hati, jangan sampai main tabrak. Apa pun jangan ditabrak. Kalau mau nabrak sesuatu segera rem. Karena itu Cici harus sering periksa rem, jangan sampai los (tidak pakem).”

Perumahan itu tak seperti kebanyakan rumah lainnya di Desa Pabelan. Rumah utamanya cukup besar dengan tembok-tembok yang kukuh. Di kanan-kirinya, ada rumah besar tempat menyimpan buku-buku, ada beberapa saung tempat melakukan pertemuan atau sekadar bersantai. Mereka berdiri di tengah-tengah persawahan. 51

Merry Christmas, Felix Siauw! Di pintu masuk berdiri gapura bertuliskan “Jati Niskala.” Jalan dari Gapura ke kompleks itu beraspal. Dari rumah satu ke rumah atau saung lainnya ditaburi kerikil halus, agar penghuni rumah bisa berjalan-jalan tanpa alas kaki di pagi atau sore hari. Konon, itu baik untuk kesehatan. Siang itu, saya memberanikan diri menemui pemilik rumah untuk keperluan wawancara. Waktu itu, saya pemimpin redaksi Majalah Dialog, majalah santri Pabelan. Tema yang kami pilih untuk edisi berikutnya adalah tentang Jepang, negerinya Doraemon. Beberapa waktu sebelumnya, pemerintah Jepang memberi banyak bantuan untuk Pesantren Pabelan. Hingga kini di sana masih berdiri Gedung Jepang, dan beberapa kamar di kompleks puteri dinamai dengan nama-nama kota di Jepang. Saya agak gugup sebenarnya. Ini wawancara pertama saya dengan tokoh terkenal, sastrawan yang saya kagumi karya-karyanya pula. Dan saya masih duduk di kelas enam—3 SMA. Tapi mau tak mau wawancara itu harus dilakukan. Melewati gapura Jati Niskala, gugup semakin menjadi-jadi. Padahal itu bukan kali pertama saya ke sana. Sebelumnya, saya sering diajak Cici mampir, mengantar atau mengambil surat, beberapa kali bahkan sempat makan di dapurnya. Saya dipersilakan menunggu di salah-satu saung oleh Mbak Pon, pekerja di sana. Selama menunggu, saya semakin berdebar-debar dan waktu seperti 52

Arlian Buana berjalan lamban. Apalagi ketika Aki menampakkan muka yang sepertinya tidak terlalu ramah untuk diwawancara. “Ada perlu apa?” “Mau wawancara, Ki.” “Soal apa?” “Banyak hal, Ki. Tentang sastra, dan terutama tentang Jepang.” “Dari mana kamu tahu kalau saya bisa bicara tentang sastra?” “Dari buku-buku Aki.” “Buku saya yang mana yang pernah kamu baca?” “Lutung Kasarung, sama kumpulan puisi Cari Muatan.” “Dari mana kamu tahu kalau saya bisa bicara tentang Jepang?” Sampai di sini saya ragu. Sampai saat itu saya belum pernah membaca buku mengenai Aki dan Jepang. Saya pun tak cukup berani untuk mengarangngarang cerita. Maka saya jawab sejujurnya, “dari Cici, sama Mbak Pon.” “Masak Cici dan Mbak Pon dijadikan referensi?” “Pulang sana! Kembali lagi ke sini setelah kamu baca referensi yang lebih bisa dipercaya.” Sumpah, sampai saat ini saya sangat malu 53

Merry Christmas, Felix Siauw! mengingat jawaban bodoh itu. Tapi ketika itu, tak urung saya merutuk dalam hati. Apa salahnya Cici yang jadi referensi? Bukankah Cici cucunya sendiri? Apa masih tidak bisa dipercaya? Beberapa kerikil yang tergeletak di jalanan saya tendang. Cici terbahak-bahak mendengar tragedi pengusiran itu. Semakin kesal saya dibuatnya. Untungnya, keesokan harinya saya menemukan buku Orang dan Bambu Jepang di perpustakaan.

Cici datang tergopoh-gopoh ke kamar Kuwait D. Ia mengajak saya bersegera ikut dengannya. Situasi sangat gawat nampaknya. Beberapa pekan sebelumnya, saya kehilangan buku Protes, karangan Putu Wijaya, di kamar ini. Buku itu milik Aki, yang dipinjam Cici dari perpustakaan Jati Niskala. Buku yang hilang itu adalah buku pinjaman yang saya pinjam. Kami telah mencari dan bertanya ke sana ke mari tentang keberadaan buku malang itu. Hasilnya nihil. Buku itu seakan raib ditelan kakus. Cici bilang, Aki sangat berang setelah tahu buku itu hilang. “Kamu boleh pinjam uang Aki dan tidak mengembalikan. Tapi jangan sekali-sekali coba pinjam buku dan tidak kembali,” begitu dampratnya. Karena rasa sangat bersalah, saya bersama Cici mondar-mandir mencari buku terbitan Grafiti itu. 54

Arlian Buana Sayangnya usaha kami untuk mencari ganti pun gagal. Berbagai toko buku kami singgahi. Hingga Gramedia Yogyakarta kami sambangi. Stok 0. Beberapa tahun kemudian, baru kami tahu si brengsek penyebab malapetaka yang menggondol buku itu. Dia adalah Danil Arifin, karib kami yang hobi membual dalam logat melayu kental dan sangat gandrung membaca apa saja sampai lupa lautan. Tak tanggung-tanggung, buku itu digondolnya sampai Pontianak tanpa seorang setan pun tahu. Dan dia dengan entengnya tertawa ketika mengaku melakukan kejahatan luar biasa itu. Setan alas!

Setelah sekian lama tak jumpa, saya bersalaman lagi dengan Aki pada April 2011, karena keterlibatan saya di Gerakan Koin Sastra. Aki adalah Ketua Dewan Pembina Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, yang ketika itu terancam bangkrut lantaran Gubernur Fauzi Bowo setiap tahun menyunat subsidinya. Waktu Konser Koin Sastra di Bentara Budaya Jakarta, Aki bersama Nini hadir. Saya sangat senang bisa ngobrol-ngobrol santai dengan beliau berdua. Bulan puasa kemarin, saya bertemu lagi dengan Aki di PDS, untuk keperluan wawancara. Kali ini saya bisa lebih santai, meski Aki tetap kelihatan sangat serius. Saya bersama Bang Abah, orang Sunda yang sejak lama memuja Aki. Beberapa kali Bang 55

Merry Christmas, Felix Siauw! Abah pernah mengutarakan niatnya berkunjung ke Pabelan, tapi sampai sekarang belum kesampaian. Bang Abah yang cukup flamboyan tampak grogi bertemu dengan idolanya. Ketika kami datang, Aki tengah melakukan pekerjaan rutinnya, membaca dan menandai beberapa buku untuk difotokopi. “Saya sedang mengumpulkan tulisan Idrus di majalah-majalah lama yang saya anggap menarik,” katanya. Bahkan saat wawancara dimulai pun, pekerjaannya itu tidak dihentikan. Menambah kesan angker di mata Bang Abah. Bang Abah baru bisa mengatasi demam panggungnya untuk bertanya selepas beberapa pertanyaan dari saya. Aki menjawab pertanyaanpertanyaan sambil meneruskan pekerjaannya. “Saya sambil ngerjain ini ya, wawancaranya.” Banyak hal yang dikatakan Aki yang tidak saya setujui—terutama yang menyangkut orang-orang komunis dan Partai Komunis Indonesia. Tapi saya tidak berniat mendebatnya, saya tahu tujuan saya adalah wawancara dan saya tidak mau memperkeruh suasana. Di bagian akhir wawancara, syukurlah suasana malah menjadi sangat cair. Bang Abah melempar canda mengenai produktivitas Aki, “Judul buku Aki saja, kalau didaftar bisa makan delapan halaman.”

56

Arlian Buana “Font-nya apa dulu? Ukurannya berapa?” Gayung bersambut. Tawa berderai. Musnah sudah gemetar Bang Abah. Dengan girang dia lancang minta foto bersama. Untung tidak sampai minta dibelikan sepeda.

57

PKI

Waktu kecil, sering sekali saya mendengar orang mengumpat dengan menyebut “PKI!” atau “Yahudi!” Padahal di desa saya tidak bisa ditemui makhluk PKI ataupun Yahudi. Tapi kebencian itu ada, dan nyata. Di awal-awal Sekolah Dasar, saya bertanya kepada Bapak: PKI itu apa? Yahudi itu apa? Tuhan itu apa? Bapak memberi jawaban, Tuhan itu pencipta seluruh alam termasuk manusia—kakek, nenek, bapak, saya, pohon durian, pohon duku, Sungai Komering, Gunung Seminung, Sungai Musi, semuanya. Bapak bilang, PKI itu orang-orang yang tidak beragama, musuh Islam, musuh negara. Dan Yahudi juga musuh Islam. Sekali bertanya, sudah itu saya tak banyak memikirkannya. Sebagaimana kanak-kanak lainnya, saya lebih memikirkan bermain daripada membicarakan PKI dkk. Tapi saya tidak pernah lupa jawaban Bapak. Saya tidak pernah lupa bagaimana 58

Arlian Buana orang bersumpah-serapah dengan PKI dan Yahudi, dengan wajah yang jauh lebih keji daripada ketika mereka mengumpat “Kampang!” Beranjak besar, sekali waktu saya bertanya lagi kepada Bapak: mengapa orang kita tidak membenci Belanda dan Jepang? Mengapa kita lebih membenci PKI dan Yahudi? Di sekolah, guru-guru dan buku pelajaran membicarakan penjajahan Belanda dan Jepang, berikut kebengisan dua negara itu menjebak lalu membunuh para Pahlawan Nasional, juga kekejaman mereka terhadap nenek-moyang kita. Mengapa harus PKI dan Yahudi yang dijadikan sumpah-serapah? Saya tidak ingat jawaban Bapak. Tapi tak lama setelah pertanyaan itu, Bapak mengajak saya begadang untuk menonton film Pengkhianatan G30S/PKI, di pelataran rumah seorang uwak yang kebetulan Kepala Desa. Cukup ramai, kira-kira ada 60 orangan, cukup banyak teman sebaya saya yang ikut menonton, ada beberapa cewek juga, selebihnya kakak-kakak yang lebih tua dan orang dewasa. Televisi menyala dengan daya aki, diterangi lampu petromaks. Saya sempat terkantuk-kantuk menunggu film Pengkhianatan dimulai. Saya memang sering menemani Bapak numpang nonton film di rumah Uwak, tapi tidak beramai-ramai, dan kalau sudah di atas jam 9 biasanya saya akan jatuh tertidur, dan Bapak akan menggendong saya pulang ke rumah. 59

Merry Christmas, Felix Siauw! Menonton film Pengkhianatan adalah pengalaman pertama saya begadang sampai tengah malam. Keesokan harinya, saya dan teman-teman akan membicarakan kebiadaban PKI, pemujaan terhadap para pahlawan revolusi, dan kesedihan untuk Ade Irma Suryani. Bagaimana Ade Irma jika ia masih hidup, seperti apa wajahnya, pasti cantik sekali. Sesekali kami menirukan adegan dan dialog dalam film, seperti kami sering menirukan tokoh Khaidir Ali di TVRI. Di antara kami, ada pula yang bernama Ahmad Yani. Kakek tidak pernah merasakan kekejaman Belanda, apalagi bapak dan saya, tapi kakek sering meceritakan kisah dari kakek buyut, dan sesudah listrik masuk desa, saya bisa menyaksikan filmfilm perjuangan mengusir Belanda dan Jepang. Kakek merasakan sendiri penderitaannya di zaman pendudukan Jepang, tapi kakek tidak pernah menyumpah-nyumpahi Jepang. Kakek malah sering menyanyikan lagu-lagu Jepang yang tidak saya pahami. Saya juga mulai banyak menonton kartunkartun Jepang. Tapi saya tetap mempertanyakan kenapa PKI dan Yahudi, kenapa tidak Belanda dan Jepang, meski saya simpan sendiri. Tamat SD, saya belum juga menemukan jawaban yang memuaskan. Dan sampai sekarang pun, saya merasa semua jawaban yang saya dapatkan masih belum cukup. 60

Arlian Buana Dari apa yang saya pelajari, kurang lebih saya bisa memahami situasi politik antara tahun 1959 hingga 1965 yang demikian panas, dari atas sampai bawah, dari elite hingga akar rumput. Di era yang katanya politik sebagai panglima, ketika ideologi-ideologi masih berbenturan, ungkapan-ungkapan yang digunakan di tahun-tahun itu adalah bahasa-bahasa kasar. Saya bisa mengerti apa yang dimaksud Iqbal Aji Daryono sebagai tindakan “provokatif, ngehek, bahkan brutalnya orang-orang PKI sejak jauh hari pra1965.”, dalam artikelnya Lah, Kalian Itu Mau Rekonsiliasi atau Perang Lagi di Mojok.co. Tapi bukankah semua itu adalah pertarungan politik? Memang sampai ada gesekan, ketika PKI disebutsebut melakukan aksi sepihak terkait landreform di berbagai tempat, memprovokasi umat Islam dengan serangan subuh di Kediri, dan lain-lain. Tapi pantaskah semua itu dibayar dengan pembabatan habis orang-orang komunis dan yang dituduh komunis? Dan peristiwa 30 September—yang digunakan sebagai dalih utama pembantaian 1965-1966— masih belum terang siapa dalang sesungguhnya. Sementara jumhur ulama sejarawan berpendapat, PKI bukan otak di balik pembunuhan para jenderal seperti yang digambarkan film Pengkhianatan. PKI tak ubahnya Tyrion Lannister dalam Game of Thrones, yang didakwa membunuh Raja Joffrey Baratheon 61

Merry Christmas, Felix Siauw! dalam sebuah konspirasi perebutan singgasana. Dan seperti Tyrion yang dicelakakan ayah dan kakak perempuannya sendiri, PKI adalah anak dan saudara yang tak diinginkan. Seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit saya pun bisa memahami kenapa masyarakat desa saya, termasuk Bapak, punya pandangan miring tentang PKI. Selain karena peristiwa-peristiwa gesekan yang pernah terjadi, kebencian diawetkan oleh ceramah-ceramah para pemuka agama di masjid-masjid hingga obrolan di warung kopi. Lewat khutbah-khutbah Jumat, khutbah Idul Fitri, yang buku kumpulannya disuplai negara, dan yang paling massif tentu saja film Pengkhianatan. Ada tangan besar yang bekerja di sana. Mengenai Yahudi, mengingat belum ada keterangan persentuhan kita dengannya, sampai sekarang saya belum bisa mengerti kenapa. Kecuali beberapa potongan ayat di Kitab Suci. Perkara Jepang dan Belanda, sesederhana karena kedua bangsa itu diberi kesempatan kedua untuk berhubungan baik dengan bangsa ini. Sedangkan Yahudi, dan keluarga besar PKI, belum pernah. Tentu mudah untuk mengatakan bahwa saya, generasi saya, tidak tahu apa-apa tentang semua yang pernah terjadi. Mudah untuk bilang bahwa saya “tidak mengalami atau merasakan sendiri suasana permusuhan dengan PKI.”

62

Arlian Buana Kalau begitu, izinkan saya kembali bertanya, mengapa kita harus memendam kebencian? Untuk apa kita membenci dan bermusuhan, demi siapa?

63

Muara Dua

Terakhir saya mudik lebaran Idul Fitri kemarin. Dan tidak ada kemajuan berarti di sana. Desa saya, Ruos, masih seperti dulu bentuknya. Di depan rumah, memang sedang dibangun galeri yang rencananya akan jadi tempat dijualnya souvenir khas Ogan Komering Ulu Selatan. Tapi saya kira itu bukan kemajuan, karena saya sendiri pun tak tahu, apa saja souvenir dan oleh-oleh khas OKU Selatan itu? Siapa saja bakal pengunjung dan pembelinya? Saya masih belum paham manfaatnya, kecuali untuk menghabiskan anggaran dan mengisi kantong beberapa orang. Terpisah dua rumah di kanan rumah saya, ada kantor Kepala Desa yang sangat jarang dipakai. Seminggu penuh, tak pernah sekalipun saya mendapati aktivitas di sana. Di halaman depannya banyak ditumbuhi rumput liar. Saya khawatir nasib galeri itu nanti akan berujung 64

Arlian Buana seperti nasib kebanyakan kantor kepala desa di sini. Semoga kekhawatiran saya pada akhirnya tak terbukti. Baiklah, saya ceritakan sedikit mengenai OKU Selatan. Kabupaten ini kabupaten ingusan, hasil pemekaran dari Ogan Komering Ulu yang beribukota di Baturaja. Diresmikan pada tanggal 14 Januari 2004 di Muara Dua yang menjadi ibukota kabupaten, dua belas kilometer dari desa Ruos. Di lambang resmi kabupaten, ada gambar burung Walet, salah satu potensi besar daerah ini. Tapi yang lebih menentukan keberadaan burung Walet di sana adalah Muhtadin Serai, pengusaha Walet terkenal. Muhtadin berjasa besar, moril maupun materil, dalam usaha memperjuangkan agar OKU Selatan menjadi kabupaten. Muhtadin kini masih menjabat di periode keduanya sebagai Bupati. Ia pertama kali resmi dilantik pada Selasa, 23 Agustus 2005. Padahal waktu itu statusnya masih tersangka pemalsuan ijazah. Tapi Tadin, begitu ia biasa disapa, berhasil lolos dari lubang jarum. Pernah juga ia tersandung kasus korupsi proyek pembangunan Pasar Saka-Selabung, kasus yang kemudian tidak jelas juntrungannya. Saya mencintai kota kecil Muara Dua. Saya punya banyak kenangan masa kecil di sana. Rasanya baru kemarin pagi saya begitu girang setiap berkesempatan pergi ke Pasar Pagi bersama Ajong (nenek). Dulu belum ada Pasar Saka-Selabung. 65

Merry Christmas, Felix Siauw! Sebenarnya, seluruh bagian Muara Dua, disebut “pasar” oleh kami orang desa. Memang sepanjang jalan utamanya merupakan pasar, ada pertokoan, bank dan warung-warung makanan. Pasar Pagi yang terletak di Pasar Ilir adalah pasar tradisional, dimana orang desa seperti Ajong bisa mengulak hasil kebun; pisang, pepaya, terong atau sayur-mayur. Saban hendak ke pasar, saya selalu bangun lebih awal, mandi pagi demikian semangatnya dan memilih pakaian terbaik untuk dikenakan. Di meja makan, sambil menyantap hidangan sarapan, saya mulai ribut mau beli ini-itu, dan Ajong hampir pasti selalu mengiyakan dengan tatapan sayang. Walaupun keinginan itu nantinya ada yang tidak terpenuhi, Ajong selalu berhasil mendinginkan saya dengan alasan yang masuk akal. Ajong cuma dapat uang sekian, uang ini harus terlebih dahulu digunakan untuk ini. Kalau mendahulukan keinginan kamu yang itu, bisa begitu. Dan saya tidak pernah bisa merajuk dengan Ajong, karena sebelum pulang biasanya ia menyogok dengan makanan kesukaan: Sate Padang. Makan di tempat, plus bungkus. Kalau tidak dengan Ajong, saya biasanya ke Pasar dengan Bibi atau Bapak, atau dengan teman. Dengan Bibi biasanya jika akan membeli pakaian baru, untuk sekolah atau lebaran. Dengan Bapak untuk macammacam keperluan atau sekadar jalan-jalan. Dengan teman, membeli mainan, bahan-bahan layangan seperti kertas dan benang, atau membeli komik Petruk yang saya gemari, di Tangga Batu, Pasar Ulu. 66

Arlian Buana Muara Dua juga selalu saya kenang sebagai tempat yang mengasyikkan untuk bermain. Setiap lebaran datang, kota kecil yang di jantungya mengalir Sungai Selabung ini menjelma surga bermain bagi kami, anak-anak pedesaan dari berbagai penjuru. Di sana, para penjual mainan telah menunggu kami yang sedang berkantong tebal karena THR dari para orang tua. Mainan favorit anak-anak lelaki adalah pistolpistolan. Serunya, seperti ada kesepakatan tidak tertulis untuk segera bermain tempur-tempuran dengan kelompok dari desa lain yang baru dikenal. Bangunan-bangunan di sana segera berubah menjadi benteng-benteng tempat kami bersembunyi, berlindung sekaligus menyerang musuh. Bosan bertempur, dengan suka-cita kami menceburkan diri ke sungai, berenang, bermain “cari batu,” permainan adu ketangkasan meyelam untuk mendapatkan batu terpilih yang dilempar di tempat yang sebisa mungkin paling dalam, atau sekadar melompat dari ketinggian dengan salto dan permainan-permainan lainnya. Sangat menyenangkan. Lelah bermain air, kami biasanya menyantap “menu wajib” di pasar, Mie Tek-tek, yang bertebaran sepanjang jalan utama. Pulangnya, kami gagah-gagahan dengan naik atap angkot, agar bisa menembak gerombolan musuh yang kebetulan terlihat bersenjata di jalanan. Perbuatan itu sudah barang tentu membuat kami 67

Merry Christmas, Felix Siauw! dimarahi orangtua masing-masing jika ketahuan. Kebiasaan itu tak pernah kami tinggalkan sampai tamat SD. Kami yang tadinya ikut-ikutan rombongan yang lebih besar, perlahan-lahan juga harus membimbing dan melindungi yang lebih kecil. Makin besar, makin dituntut untuk membeli senjata lebih canggih dan mulai bertanggung jawab atas keselamatan adik-adik. Tradisi itu turun-temurun, entah generasi siapa yang memulai. Sampai sekarang, adik-adik saya di desa masih beli pistol mainan di hari lebaran lalu perang-perangan. Rejeki nomplok laten bagi para penjual mainan. Pada gilirannya, secara natural anak-anak yang telah menamatkan SD mulai malu beramai-ramai ke pasar, tak lagi mau menghabiskan uang untuk senapan tiruan. Mulai kelas 5 SD, tiga hari dalam sepekan saya rutin ke pasar. Bukan untuk bermain atau belanja, tapi mengaji di rumah Ustadz Khairul Akmal. Di rumah Wak Kemal, begitu saya memanggilnya, saya belajar tajwid dan qiraah. Sepulang dari ngaji, saya selalu takjub menikmati langit Muara Dua menjelang maghrib. Di atas gedung-gedung di sepanjang jalan utama itu, beterbangan ribuan burung Gereja dan Walet ketika gelap mulai menyelimuti bumi. Sampai sekarang saya masih terpukau oleh pemandangan itu. Mudik kemarin, sekali saya sempatkan melihatnya sambil mengenang masa kecil yang takkan terulang. 68

Arlian Buana Lalu sembahyang maghrib di Masjid Agung. Di masjid terbesar di Muara Dua, dulu saya pernah membahagiakan dan membuat bangga banyak orang. Teringat Ajong menangis haru tersedusedu sambil memeluk saya. Bibi berkaca-kaca lalu menciumi saya berulang-ulang. Dan Akas (kakek) Amer, guru ngaji sekaligus sepupu kakek saya, sinar matanya begitu merona. Beliau bilang seharian itu beliau tidak makan, bukan lantaran tidak nafsu, tapi karena merasa kenyang melihat saya, anak-didiknya, menjadi juara umum Munaqosyah Tilawatil Quran. Bapak tidak hadir di acara itu, tapi tiba-tiba menjadi sangat baik dengan menawari saya mau dibelikan apa sesampai di rumah. Nyaris tak ada yang berubah dari Masjid Agung, kecuali dindingnya yang tampak mulai ringkih dan catnya yang terkelupas di banyak titik. Tidak ada kemajuan signifikan dibanding belasan tahun lalu. Oh ya, tentu saja ada yang baru. Di taman depan masjid kini berdiri tugu dengan patung Walet di puncaknya. Apakah itu tanda kemajuan? Melihat kanan-kirinya, sah untuk bilang bahwa Muara Dua belum juga beranjak berbenah. Sementara kabupaten tetangga, OKU Timur yang sesama kabupaten baru, telah melesat dalam pembangunan fisik dan nonfisik. Sejak dulu, saya hanya memimpikan adanya perpustakaan besar di Muara Dua. Tapi jangankan perpustakaan, lapak-lapak penjual koran pun telah habis gulung tikar. Dulu sehabis mengaji, saya sering 69

Merry Christmas, Felix Siauw! mengunjungi beberapa kios koran untuk membeli majalah Bobo atau tabloid Bola. Kini kios-kios itu telah tiada, ditelan rimba entah. Dalam lima tahun belakangan, saya hanya menemukan satu tempat yang menjual koran. Itu pun bukan kios koran, melainkan toko emas yang nyambi jual koran. Koleksinya menyedihkan, koran nasional hanya Harian Kompas yang kadang ada kadang tidak. Yang selalu ada dengan kualitas lumayan adalah Sumatera Ekspres dan Sriwijaya Post. Ada pula Harian OKUS yang hanya terdiri dari 8 halaman, sedikit memuat berita kabupaten, sisanya berita dari jaringan Jawa Pos. Selebihnya adalah majalahmajalah gosip yang tak perlu saya sebut namanya dan majalah musiman dengan sampul bergambar cewek-cewek Korea. Entah dengan apa pemerintah OKU Selatan mendefinisikan dan merumuskan kemajuan.

70

Orang-Orang Tegaldowo

“Ini harus ada yang berani mati ini, biar pemerintah terbuka matanya. Harus ada yang jadi martir dulu biar pabrik semen angkat kaki dari desa kita,” kata Joko Priyanto, dalam bahasa Jawa, kepada temantemannya yang sedang cangkrukan di Warung Kopi Yu Sumi. Ia satu dari beberapa motor utama gerakan menolak Semen Indonesia di Bukit Watu Putih, Pegunungan Kendeng bagian utara, Rembang. Suwater, duduk berseberangan dengan Priyanto, hanya menanggapi ucapan itu dengan senyum. Kundono yang duduk di sebelah saya mulutnya ternganga. Di meja lain, pemilik warung beserta suaminya mengikuti percakapan. “Kalau kamu saja bagaimana, Kam?” tanya Priyanto kepada Kamidan, suami Yu Sumi. Yang ditanya reaksinya sama seperti Suwater, memamerkan barisan giginya yang putih. “Kamu saja, Peng!” kata Yu Sumi yang sedang 71

Merry Christmas, Felix Siauw! hamil besar. Priyanto sejak kecil biasa dipanggil Prin, tapi kawan-kawan akrabnya lebih sering memangil “Peng”, kependekan dari “kerempeng” karena perawakannya yang kering. “Kalau saya mati, nanti yang memberi makan anak saya siapa?” “Lho ya kalau suami saya yang mati, nanti yang memberi makan bayi yang saya kandung ini siapa?” “Kamu bagaimana, Ter?” Prin kembali pada karib yang di hadapannya. Lagi-lagi Suwater tidak menjawab, ia hanya menghisap rokoknya dalamdalam lalu kembali menyunggingkan senyum. “Ini sungguhan, Rek! Sudah dua tahun perjuangan kita dan hasilnya belum kelihatan. Kayaknya kita harus bikin aksi di depan Gubernuran, bawa tiang gantung. Empat atau lima orang gantung diri. Setelah kayak gitu, baru mungkin pemerintah mau sadar. Kalau tidak, ya, berat ini, Rek!” Hening. Beberapa menit lalu ruangan ini masih dipenuhi tawa, kini hilang tak bersisa. Suwater bahkan tak lagi menyisakan senyum, tatapannya nyaris kosong pada bara api ujung rokoknya. Kundono memainkan telepon genggam seolah itu bisa mengurangi kekikukan. “Memangnya kalau mengikuti proses hukum bakal masih lama ya, Mas?” Saya mencoba memecah kebisuan. Prin menghisap rokoknya dalam-dalam. 72

Arlian Buana “Gak tahu, Mas. Lama banget, bisa jadi. Kambing tinggal dua, ayam sudah mau habis. Duh!”

Warung Kopi Yu Sumi terletak di tengah-tengah Desa Tegaldowo. Di pinggir sisi selatan jalan utama desa, jalan yang menghubungkan Tegaldowo dan Timbrangan di sebelah barat. Sabtu menjelang malam di penghujung Januari 2015 itu, Tegaldowo mati lampu. Anak-anak muda yang berkumpul bersama saya di sana, tidak ada yang memikirkan malam minggu tanpa pacar. Semuanya jomblo, tentu saja. Priyanto duda beranak satu, kelahiran 1982. Suwater 27 tahun, duda belum beranak. Dan Kundono, sebaya Suwater yang masih bujangan dan belum punya pacar. Jauh dari bayangan anak-anak kota generasi Twitter yang doyan galau, mereka bahkan tidak memusingkan listrik yang mati bermalam-malam. Listrik yang kadang menyala di siang hari mereka manfaatkan untuk mengisi daya telepon genggam yang diperlukan agar komunikasi bisa terus terjalin di antara mereka. Warung kopi itu warung rumahan khas desa. Pelanggan harus masuk ke ruang utama; teras rumah hanya selebar semeter, berbatasan langsung dengan jalan, dipakai untuk parkir sepedamotor—itu pun harus dengan posisi miring, terutama untuk motor 73

Merry Christmas, Felix Siauw! besar. Di ruang utama, ada sebuah meja panjang membujur dengan satu bangku panjang di sisi kirinya yang muat untuk empat atau lima orang dewasa. Ada televisi 14 inci yang kerap dipakai memutar video dangdut koplo bila listrik menyala. Lampu teplok dan beberapa batang lilin dinyalakan ketika gelap telah sempurna menampakkan muka. Obrolan seputar perjuangan warga terus berlanjut. Sesekali mereka memeriksa ponsel masing-masing. Terutama Pryianto yang hampir setiap lima menit menerima pesan masuk. Suara yang dikeluarkan ponselnya ketika menerima pesan cukup mencolok: denting lonceng tanda sebuah ronde dimulai dan diakhiri dalam pertandingan tinju, disetel dengan volume maksimal. Priyanto dan Suwater membicarakan atap tenda ibu-ibu di tapal pabrik yang belum diganti sejak pertama berdiri tujuh bulan yang lalu. Ibu-ibu sudah mengeluhkan beberapa bagiannya yang bocor. Mereka berencana untuk membeli terpal pengganti esok hari. Mereka juga menimbang-nimbang rencana beberapa hari kemudian untuk Polres Rembang dan LBH Semarang. Setelahnya, mereka menyesap kopi dan menghisap rokok dengan nikmatnya. Lalu ngobrol-ngobrol ringan tentang hal-hal lucu yang mereka lewati, sejenak mereka terlihat lepas dari beban. Beberapa jam sebelumnya, Piyanto dan Kundono baru saja tiba dari Blora, membawa stiker bertuliskan 74

Arlian Buana “LAWAN PABRIK SEMEN! #saverembang” dan “WASPADA! Gunung ditambang, bencana datang. #SaveRembang”. Berkat jasa Kundono, empat malam sebelumnya, saya bisa sampai di desa ini. Tidak ada angkutan umum untuk mencapai Tegaldowo, 35 kilometer dari Kota Rembang, apalagi di malam hari. Warga kebanyakan menggunakan sepeda motor pribadi sebagai moda transportasi sehari-hari. Ibu-ibu Berangkat ke pasar Gunem biasanya menumpang pikap telanjang, duduk di bak belakang, milik salah seorang warga. Dinihari tiba di Lasem, turun dari bus jurusan Semarang-Surabaya, saya disambut Kundono dengan Satria F pinjaman. Kami menempuh 28 Kilometer yang berkelok-kelok dengan kanan-kiri yang gelap. “Ini hutan jati ya, Mas?” tanya saya dalam perjalanan setelah beberapa saat dapat mengenali pohon-pohon yang menjulang di sekitar kami. “Iya.” “Punya warga?” “Dikit yang punya warga. Sebagian besar punya Perhutani.” Kami sampai setelah kira-kira setengah jam. Setelah melalui jalan yang penuh lubang. Jalan yang sehari-hari dilalui konvoi truk pengangkut alat-alat berat pabrik semen. 75

Merry Christmas, Felix Siauw!

Priyanto sedang berada di luar kota di hari aparat negara pertama kali melakukan tindak kekerasan terhadap ibu-ibu Tegaldowo dan Timbrangan di tapak pabrik. Di hari yang naas itu pula, ibu-ibu memutuskan untuk bertahan di sana sampai PT Semen Indonesia menarik diri dari Pegunungan Kendeng—sampai waktu yang tidak bisa diperkirakan. Warga baru tahu pada malam 16 Juni 2014 kalau pihak semen mau meletakkan batu pertama keesokan hari. Dalam publikasi resmi jauh-jauh hari, pihak semen tidak menggunakan kata peletakan batu pertama. Spanduk-spanduk yang mereka sebar menyebutkan, “Gelar Doa bersama untuk Rembang.” Sepandai-pandai pabrik semen menyimpan bangkai, akhirnya tercium juga. Begitu mendengar rencana peletakan batu pertama, beberapa orang mendatangi rumah-rumah untuk menggelar rapat mendadak, warga dua desa langsung berkumpul. Pertemuan itu melahirkan kesepakatan untuk melakukan aksi pemblokiran. “Itu rangkaian panjang setelah kami melakukan aksi protes, audiensi, dan diskusi dengan pihak-pihak terkait, yang ternyata tidak ada respons,” kenang Priyanto, yang baru pulang ke desanya pada tanggal 17. Dia tidak ikut aksi pemblokiran, yang disebutnya sebagai “puncak kekesalan warga”. 76

Arlian Buana “Saya juga enggak tahu siapa yang mengunggah video bentrok di Youtube. Pemberitaan mulai ramai,” katanya. Sejak pertengahan 2012, Priyanto bersama lima kawannya sudah bertanya ke pemerintah desa. Intinya mereka meminta kejelasan terkait pendirian pabrik semen, dan secara terang menyatakan penolakan. Sambil protes, mereka juga mulai mengorganisir pemuda kampung mengenai ancaman bahaya. Mentok di desa, 17 April 2013, warga mulai mulai berdemonstrasi di kantor bupati. Juga mengirim surat ke Presiden Yudhoyono—entah dibaca entah tidak. Selain itu, mereka mulai rutin melakukan perlawanan lewat istighosah, pengajian di desa-desa. Lantaran kegiatannya, Priyanto dan kawan-kawan mendapatkan intimidasi. Dari peringatan halus perangkat desa hingga ancaman kasar dari preman dan polisi. Mereka dituduh komunis. Dari mulut ke mulut disiarkan kabar, “Hanya orang-orang komunis yang melawan pemerintah.” “Kira-kira September 2013, setiap minggu kami sering aksi di Rembang. Beberapa kali di Semarang. Terus begitu sampai tahun depannya. Tapi sampai sekarang pun, pemerintah belum menyikapi secara serius,” kata Priyanto.

77

Merry Christmas, Felix Siauw!

78

Arlian Buana Suwater menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kebrutalan polisi menghajar ibu-ibu desanya. Kalau bukan karena ingat pesan para petua agar jangan macam-macam, untuk tidak melakukan apa pun kecuali mengambil gambar, ia tentu sudah melesakkan tendangan paling bertenaga yang bisa ia lesakkan ke muka para polisi itu. Ia sebenar-benarnya tak tahan mendengar jeritan para perempuan yang dianiaya polisi. Tapi ia menahan diri, berusaha fokus pada tugas dokumentasi. Memotret pun tak berjalan lancar. Baru dapat sekitar belasan foto, tiba-tiba seorang polisi menghardik di depan hidungnya “Heh, Kamu! Media dari mana?” “Saya media dari warga.” “Kalau media dari warga, mana kartu persnya?” “Saya gak ada punya kartu pers, Pak. Saya hanya mendokumentasikan aksi ibu-ibu.” Lalu Water diringkus, digiring ke mobil patroli, dan ia tidak berusaha melawan. Tapi ketika disuruh naik ke mobil, ia menolak, ia berkeras berdiri di bawah. “Tau-tau ada yang buka tas saya. Di situ saya agak emosi, saya marah, berontak. Buka-buka tanpa izin! Polisinya balik marah dan mengancam, awas kalau ada senjata tajam. Saya tantang balik, buka saja.” “Setelah dibuka, isinya cuma sarung sama Aqua.” Suwater tersenyum puas penuh kemenangan. 79

Merry Christmas, Felix Siauw! Meski akhirnya ia terpaksa menyerah, ditahan di dalam mobil patroli selama empat jam. Pukul dua siang, Water dibebaskan. Lain Water, lain pula Deban. Bujangan tinggi besar usia 32 tahun itu, Deban, meronta-ronta ketika lima polisi menangkapnya. Tak tanggung-tanggung, perintah penangkapannya langsung keluar dari mulut Kasad Intel Rembang. Deban dituduh provokator, dan ia melawan. Pagi itu, Deban adalah orang paling bikin pusing polisi. Ia yang mengatur titik kumpul massa aksi, memberi komando agar ibu-ibu hilir-mudik sebelum pemblokiran. “Kalau polisi sudah duduk-duduk, saya komandoi ibu-ibu untuk pindah. Mereka pada bangun lagi. Saya bikin mondar-mandir, biar polisinya bekerja,” kenang Deban terkekeh-kekeh. Karena aksinya yang menarik perhatian, beberapa polisi mendekatinya dan bertanya, “Kamu siapa?” “Ya saya kenalin, saya Ngatiban,” katanya. Tak cukup sekali mengakali para polisi, setelah ditangkap, Deban kembali beraksi. “Pak, saya mau izin ambil motor saya di bawah,” katanya setelah beberapa saat duduk santai di mobil tahanan. “Ndak boleh,” jawab polisi yang jaga. “Kalau ndak boleh, kalau motor saya hilang, Bapak 80

Arlian Buana yang tanggungjawab ya..” Entah karena ancaman Deban membuat si aparat ciut, atau memang polisinya berbudi baik sesuai nilainilai Pancasila, Deban diizinkan dan diantar ambil motor lalu dibiarkan mengendarai sepedamotornya sendiri kembali ke mobil patroli. Tiba di sana, ia melihat peluang kabur karena si polisi tidak langsung menyuruhnya naik ke atas mobil dan malah berbalik melihat ke lapangan tempat aksi pemblokiran sedang berlangsung. Deban tidak membuang waktu untuk melarikan diri. “Ya saya kabur. Lolos,” kenang Deban penuh tawa kemenangan. Ketika senja datang, acara peletakan batu pertama telah usai, ibu-ibu berikrar tidak akan pulang sebelum pabrik semen menarik alat berat. Polisi mulai kalap, dan main ancam, “Kalau ada bapak-bapak yang ketahuan ngumpet di semak-semak, akan langsung kami tembak.” Barisan polisi pun menghadang di depan. Mereka yang datang membawa makanan dan minuman dan obat-obatan langsung diusir dengan bentakan dan hunusan senapan. Situasi mencekam. Hingga menjelang isya, tidak ada kontak sama sekali antara ibu-ibu di tenda dan bapak-bapak di desa. Tapi Deban lagi-lagi memecah kebuntuan dan menjadi mimpi buruk bagi gerombolan polisi yang 81

Merry Christmas, Felix Siauw! terlatih itu. Ia berhasil menyusup dari semak ke semak menuju tenda. Berkat Deban, kontak antara tenda dan desa bisa terjalin.

Pagi-pagi sekali, ibu-ibu sudah berkumpul di Posko Tolak Semen. Posko itu berdiri dua minggu sebelumnya, 1 Juni 2014, di tanah milik Sukinah, dekat dari Warung Kopi Yu Sumi. Warga bergotongroyong mendirikannya. Belakangan, setelah solidaritas tolak semen makin meluas, banyak seniman yang turut ambil bagian memperindah posko. Dinding-dindingnya ditempeli aneka ragam poster peduli lingkungan dan tolak semen dipadukan dengan kata-kata perlawanan nan apik. Pukul setengah tujuh, semua ibu-ibu, kira-kira 80-an orang, siap melakukan aksi. Dua truk ukuan sedang bergerak menuju tapak pabrik. “Kami melakukan aksi penolakan pabrik dan tambang semen. Gak ada bapak-bapak, untuk mengantisipasi gesekan dengan aparat. Selain itu, lahan kan diumpamakan seperti perempuan. Jadi kami yang maju mempertahankan tanah kami,” kata Sukinah. Setelah mondar-mandir selama tiga jam di bawah komando Deban, pukul sepuluh mereka memulai pemblokiran. Truk tangki air pabrik yang mau lewat mereka hadang, dengan memasang lesung 82

Arlian Buana besar di tengah jalan dan mendudukinya. Untuk menyingkikan hadangan, tanpa banyak basa-basi, polisi segera mengangkati ibu-ibu yang duduk di tengah jalan itu, dilempar ke semak-semak. Ibu-ibu menjerit histeris. Dua ibu pingsan karena dilempar. Tapi ada saja oknum polisi yang bilang itu pura-pura. Sambil menolong yang pingsan, ibu-ibu berkeras bertahan di tengah jalan meski beberapa kali dilempar dan disingkirkan. Keadaan semakin kacau. Aksi pembubaran dari polisi pun semakin mengganas. Semakin tinggi matahari, semakin kasar perlakuan mereka terhadap ibu-ibu. Dan semakin kehilangan akal sampai-sampai salah tangkap. “Korlapnya mana? Korlapnya mana?” teriak Kasad Intel mencari korlap aksi, setelah satu jam lebih tak berhasil memukul mundur ibu-ibu. “Tapi waktu itu saya belum tahu korlap itu apa. Jadi saya diam saja,” kenang Sukinah, “yang mau ditangkap itu sebenanya saya, tapi malah Bu Yani yang ditangkap.” Yani adalah salah satu dari puluhan ibu-ibu yang merasakan keberingasan polisi. Ia di barisan terdepan saat mengangkat dan menduduki lesung besar melintang jalan. Yani termasuk yang pertama diangkat dan dibuang ke siringan bersemak. “Ada yang diangkat dua orang, ada yang tiga, ada yang empat, tergantung berat ibu yang diangkat. 83

Merry Christmas, Felix Siauw! Saya digotong dua orang, terus dilempar di pinggir jalan,” katanya. Meski kelihatan mustahil untuk kembali ke barisan, Yani tetap bertekad kuat untuk kembali menguatkan pemblokiran. Polisi yang diturunkan hari itu jauh lebih banyak dari jumlah ibu-ibu. Operasi gabungan dari Polres Rembang, Polsek Gunem, dan Polsek Sale. Sekitar dua kompi. Tidak melihat jalan lain selain menerobos barikade polisi, ia melihat celah kecil yang masih mungkin dilaluinya: dua kaki polisi yang agak renggang. Polisi semakin mudah naik darah. Beberapa ibu dipukuli. Berang karena belum juga menemukan korlap yang bertanggungjawab atas aksi blokir, mereka pun asal tangkap. Malang bagi Yani yang aksi penerobosannya mengundang banyak perhatian, ia kemudian dituduh provokator, dianggap korlap. “Ini provokator ini, harus ditangkap ini!” kata seorang polisi sambil menunjuk Yani. Habis dibilang provokator, ia diangkat diangkat dua polisi, diseret sampai beberapa meter, sampai sandalnya copot. “Ada polisi yang teriak, ‘ngikut aja, Mbak, ngikut.’ Tapi saya tetap berontak. Itu posisi udah nggak pake alas kaki, pas diseret-seret itu gak pake alas kaki. Luka sih nggak, cuma sakit.” Yani meronta-ronta dan berteriak kesakitan. Ia pun digotong lagi, sempat ada polisi yang mencekik 84

Arlian Buana lehernya. Sampai di mobil patroli, ia mendapati sejumlah temannya yang sudah ditahan terlebih dahulu. Masuk waktu salat zuhur, Yani minta izin salat tapi tidak diperbolehkan. “Izin sama Kasad Reskrim, Mbak,” kata polisi yang jaga. “Orangnya yang mana? Solat saja kok mendadak harus izin to, Pak?” “Saya ini tugas, Mbak. Nanti diamuk atasan saya.”

Rumah Sukinah terlihat kusam dan tua. Dindingnya terbuat dari papan tampak menghitam, berdiri di atas fondasi 50 sentimeter, dengan dua anak tangga di muka teras. Setengah ruang depan dilantai semen adukan, tampak pecah-pecah di beberapa titik. Setengah lainnya, tempat satu meja panjang membujur bersama dua bangku, berlantai tanah. Ketika saya datang pada Jumat malam penghujung Januari, di atas lantai semen itu digelar tikar plastik bergambar Manchester United—klub sepakbola Inggris. Tikar gulung yang sebagian besar sablonannya telah terkelupas. Saya duduk di kursi panjang yang bersandar di dinding kanan rumah. Di seberang saya, salah satu dari dua kamar di rumah itu, gordennya terbuka sehingga terlihat ranjang diselimuti kelambu, kamar tidur. Kamar sebelahnya, 85

Merry Christmas, Felix Siauw! kamar paling depan, dimanfaatkan sebagai warung. Di dinding rumah dipajang beberapa foto: foto Sukinah seluruh badan dan foto seorang tua berjanggut yang saya duga adalah lukisan Syekh Abdul Qadir Jailani. Juga foto Sukinah dan Pesiden Jokowi bersama beberapa orang lainnya. “Itu foto waktu saya ketemu Jokowi di kantor Gubernur DKI, sebelum dia dilantik presiden,” terangnya. “Ngomongin apa aja sama Jokowi?” “Ya ngomongin semen ini.” “Jawaban Jokowi?” “Katanya sejak dari Solo dia sudah mengikuti isu semen di Jawa Tengah. Waktu itu, dia bilang lagi mempelajari lengkap. Nanti kalau sudah dilantik dia tindaklanjuti.” “Oooh...” “Semoga ucapannya dia buktikan ya, Mas.” Sukinah menyambut saya dengan hangat. Beberapa bapak datang bertamu ke rumahnya, duduk di atas tikar plastik, menghadap televisi yang sedang menyiarkan film Jackie Chan, Around the world in 80 days. Sukinah bangkit ke dapur, membuatkan kopi tamu-tamunya. Dalam hati saya mengutuk Jackie Chan yang telah melakukan blasfemi terhadap mahakarya Jules Verne. Tapi bapak-bapak yang menonton terlihat senang dan 86

Arlian Buana bersemangat. Pelan-pelan saya berusaha memaafkan aktor asal Cina itu. Film dipotong pariwara, bapak-bapak terlibat obrolan seputar penggalangan dana yang seminggu sebelumnya dilakukan di Yogyakarta. Sesekali terdengar suara Sukinah menimpali dari dapur. Tidak tampak beban mereka yang sedang melawan raksasa sebesar Semen Indonesia. Mereka memang berjuang, sebisa mungkin melindungi lahan pertanian mereka agar jangan sampai dirusak orang luar, selebihnya mereka tetap menjalani hidup dengan riang gembira, tidak kehilangan selera guyon. Sukinah datang dengan enam gelas kopi, termasuk untuk saya, Jackie Chan kembali beraksi. Orang-orang Tegaldowo menikmati hidup dengan cara sederhana: minum kopi, menghisap kretek, dan menonton televisi.

Sebelum peristiwa 16 Juni 2013, Sukinah tak penah membayangkan akan bertahan di tapak pabrik sebagaimana dia tak menduga aksinya bakal kena gebuk polisi. Keputusan untuk bertahan di tapak pabrik diambil secara spontan, karena tak menyangka aparat begitu represif. Spontan saja Sukinah berikrar tak akan mundur sampai pabrik semen hengkang dari tanah kelahirannnya. Ibu-ibu lain mengamini sumpah Sukinah. 87

Merry Christmas, Felix Siauw! “Tenda-tenda juga dibikin seadanya. Kalau di truk kan banyak terpal, buat tiker, buat duduk, nah itu yang dipakai. Bambu-bambu diambil dari hutan,” katanya. Sukinah juga tidak menyangka, apa yang dilakukannya bersama ibu-ibu Tegaldowo dan Timbrangan akan mendapat simpati yang luar biasa dari banyak pihak. Sukinah bersyukur, solidaritas untuk warga Kendeng mengalir dari berbagai penjuru, dari Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan lainlain. Beberapa hari setelah tenda berdiri, Camat Gunem datang ke lokasi. “Aku lupa tanggalnya. Pak Camat dateng katanya mau nengok ibu-ibu. Sehat-sehat apa gimana? Terus Pak Camat ditanyain (mengenai semen), gagap gitu. Pak Camat itu gak bisa jawab,” kata Sukinah Dua hari kemudian, Plt Bupati datang. Plt yang sama dengan yang meresmikan kegiatan pabrik semen beberapa hari sebelumnya. Plt bertanya, apa saja tuntutannya? Ibu-ibu meminta Plt tarik alat berat, dijawabnya dengan berkilah bahwa dia tak punya wewenang. Tapi dia mencatat dengan seksama, katanya akan disampaikan ke atasannya. “Atasan yang mana saya gak tahu. Mungkin nyangkut di pohon ya, Mas,” kata Sukinah. Mereka mengerubungi dan memegangi Plt Bupati, sampai lepas maghrib. Sempat pula diajak bersama88

Arlian Buana sama ke tapak pabrik, “Dia mau naik mobil, kami pegangi lagi. Pokoknya harus jalan. Biar merasakan sakitnya pejuangan ibu-ibu. Sakitnya bumi itu gimana.” Sepanjang perjalanan itu, Plt Bupati cuma mengulang-ulang apa yang telah dikatakannya sebelumnya. “Katanya dia gak wewenang, gitu. Yang wewenang itu Pak Gubernur, gitu. Ini bukan wewenang saya, bukan wewenang saya. Gitu…” 27 Juni, giliran Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang datang. Dengan gaya flamboyan, begitu sampai Pranowo langsung membentak: “Mulehlah, oralah!” Lalu bertanya dengan jumawa, “Apa ibu-ibu sudah baca AMDAL?” Sukinah memang diam ketika Pranowo bertanya begitu, tapi di hadapan saya, mengingat perilaku gubenurnya, ia tidak bisa lagi menyembunyikan kemarahan. “Ganjar tanya ibu-ibu yang mukanya kayak gini kok tanya AMDAL? Yang bodoh itu Ganjar atau ibu-ibu petani? Kalau ibu-ibu ditanya apa sudah mencangkul, apa sudah ambil rumput, mungkin ibuibu bisa jawab. Tapi tanyanya Amdal?! Yang bodoh itu Ganjar-nya atau ibu-ibunya?” Seharusnya Ganjar itu ya mikir, Amdal itu yang bikin ya siapa? Kalau yang bikin petani, ditanyain gitu ya mungkin pantes. Lumrah. Dari kapan ada Amdal itu, kami ndak tahu. Ndak pernah 89

Merry Christmas, Felix Siauw! dikasihtahu. Lha aku sendiri ya bingung, Amdal itu seperti apa? Makanan apa? Kalo aku sendiri, Amdal itu ya lahan kami sendiri. Lahan yang harus kami pertahankan.” Padahal waktu kampanye itu Ganjar bilang, Jawa Tengah mau dibikin ijo royo-royo, Jawa Tengah Berdikari. Kok Jawa Tengah mau ditanami tambang?” Katanya ndak korupsi, ndak ngapusi. Ternyata ngapusi—kalau korupsinya ndak tahu ya, Mas… Ngapusine sing mesti, sing wis ketok, wis keruan.” Sukinah berhenti sejenak, menarik napas dan melepaskannya tergesa-gesa, meminum air putih. “Pemilihan gubernur kemarin warga sini kebanyakan pilih Ganjar, Bu? “ tanya saya. “Iya, semua pilih Ganjar. Harapannya, mungkin ndak seperti Bibit (Waluyo). Katanya ndak korupsi, ndak ngapusi. Tapi ternyata ngapusi.” Periode Juni hingga akhir September 2014, Sukinah tak pernah pulang ke rumah. Pergi dari tenda hanya sekali saat pemilihan presiden, sesudahnya langsung kembali ke tenda. Ia sama sekali tak pernah menengok keadaan rumahnya. “Baru pas ada jadwal piket di tenda saya bisa pulang ke rumah.”

90

Arlian Buana Minggu sore di penghujung Januari, hujan turun rintik-rintik di tapak pabrik, langit masih biru. Tak terlihat aktivitas berarti dari tenda ibu-ibu Tegaldowo dan Timbrangan yang juga berwarna biru. Beberapa ibu terlihat keluar dari tenda utama menuju tenda kecil di sebelah utara. Tenda kecil itu sepertinya difungsikan sebagai kamar kecil. Di selatan tenda, beberapa satpam pabrik terlihat hanya duduk-duduk malas di poskonya. Begitu pula polisi di sebelah timur tenda. Saya berteduh di pinggiran sebuah gubug milik warga, dua orang polisi tengah tiduran di dalam. Mungkin mereka lelah. Di hadapan saya, membentang hijaunya padi yang mulai mengeluarkan bulirnya. Tak peduli hujan, sepasang petani tua masih sibuk menyiangi rumput. Capung-capung beterbangan. Sepasang capung terlihat bercinta, sambil terbang. Hebat ya. Kalau pabrik semen jadi beroperasi, saya tidak tahu apakah sepasang capung itu masih bisa bercinta di sana. Saya kembali mengalihkan pandangan ke tenda ibu-ibu yang sudah bertahan di sana selama tujuh bulan. Saya teringat film Where Do we Go Now, tentang ibu-ibu di sebuah desa di Lebanon yang berjuang mati-matian agar suami dan anak-anak mereka tidak saling hantam hanya karena perbedaan agama– Islam dan Kristen. Mengenyahkan televisi yang banyak mengabarkan perang, menguburkan senjata, mengundang pekerja seks komersial dari kota untuk 91

Merry Christmas, Felix Siauw! menyemarakkan suasana desa dan mengalihkan perhatian. Saya kembali ke hijau sawah, mencari-cari sepasang capung yang tadi bercinta. Ratusan capung masih bermain-main di sana. Saya tidak tahu apakah mereka masih akan tetap di sana bila bebatuan Pegunungan Kendeng diledakkan pekerja pabrik. Saya kehilangan jejak, tidak lagi menemukan sepasang capung yang bercinta. Semuanya sudah terbang sendiri-sendiri. Saya teringat masa kecil di desa yang kini diserbu perkebunan sawit. Gugatan ibu-ibu Rembang hari ini dikalahkan di PTUN Semarang. Saya ingat lagi film Where Do We Go Now, mengenang ketegaran ibu-ibu Tegaldowo dan Timbrangan. Where do we go now? Mau ke mana kita sekarang?

92

Pomade Bung

“Banyak yang pada kaget tuh pas gua ngeluarin pomade varian Kretek. Apa-apaan tuh, pomade kok kretek? Ya gua bilang aja kalo pomade Bung bikinan gua emang pengen konsisten make ikon budaya Indonesia. Setelah Gurindam, gua ngeluarin Kretek,” katanya. Lelaki itu masih dengan keriangannya yang sama dengan ketika kami sering nongkrong bareng bertahun-tahun lalu di sebuah warkop di depan kampus kami. Ia menerima saya di rumahnya di pelosok Bekasi yang jauh. Dari Ciputat, saya perlu waktu dua jam lebih naik sepeda motor untuk bertemu dengannya. Itu di tengah malam. Saya enggan membayangkan menempuh jarak itu di jam orang pergi atau pulang kerja. Olok-olok orang Jakarta sepertinya tidak berlebihan, Bekasi memang lebih jauh ketimbang Pluto. Ia orang yang paling berjasa mengajari saya ngeblog. Ia yang menunjukkan kepada saya bahwa 93

Merry Christmas, Felix Siauw! ngeblog pun bisa menghasilkan uang. Menjelang kelulusannya, ia menghabiskan ribuan dolar hasil ngeblog untuk melunasi semua kebutuhannya agar bisa diwisuda. Ia yang secara tak langsung banyak mengajari saya menulis. Beberapa kali, saya memintanya memeriksa naskah yang saya buat, masukan darinya selalu sangat berguna, dan disampaikan dengan cara yang menyenangkan. Dan yang jauh lebih penting, ia yang terus menjaga semangat membaca saya. Dia selalu mengajak saya berlomba-lomba memburu bukubuku bagus, untuk kemudian saling pamer apa yang telah masing-masing kami baca. Ia adalah penulis bola yang paling saya kagumi setelah Sindhunata, sebelum Zen RS, sebelum Darmanto Simaepa dan Mahfud Ikhwan. Ia sempat membangun sebuah portal sepakbola bernama sepakbolamania.com. Di situlah analisisanalisis kerennya tentang berbagai pertandingan dipublikasikan. Tapi kini ia banting stir! Sepakbolamania sudah lama gulung tikar. Ia semakin jarang menulis. “Gua juga udah jarang baca sastra. Paling buku-buku bola, gua pesen di book depository,” katanya. Tapi ia masih punya keriangan yang sama. Selera humor yang masih meluap-luap. Ia menerima saya dengan gembira, dengan guyonan-guyonan lama, dengan kue lebaran yang enak-enak, dengan kopi Jambi yang tak kalah enak. 94

95

Merry Christmas, Felix Siauw! Tapi ia kini banting stir! Ia sudah jarang menulis. Sekarang ia seorang pebisnis. Pengusaha pomade. Tapi ia tidak kehilangan karakternya. Ia tidak kehilangan wawasan kebudayaannya. Ia tidak kehilangan apa-apa yang ia yakini benar. Ia tidak kehilangan kecintaannya terhadap Indonesia. Ini bukan sekadar bualan tahi kucing. Ia masih memegang prinsip yang sama. Sejak dulu, ia seorang Indonesia yang bangga. Bukan congkak. Ia menolak gagasan bahwa bangsanya inferior, ia selalu berkeyakinan bahwa menjadi Indonesia bukanlah menjadi medioker. Ia yakin seyakin-yakinnya, dan itu bukan sekadar omongan tahi babi. “Indonesia tuh pasar pomade yang pertumbuhannya paling tinggi. Sayang banget kalo kebanyakan beli produk luar. Grup Indonesia Pomade Enthusiast itu grup pomade yang anggotanya paling banyak di dunia. Produsen-produsen luar sekarang pada ngemis reseller di sini,” ujarnya, ngakak. “Bayangin, pernah ada tiga produsen rumahan di Houston kolaborasi. Mereka bikin produk limited edition. Cuma 300. 200-nya orang Indonesia yang beli,” katanya, ngakak lagi. Gila memang. “Nah, yang kayak-kayak gini nih yang perlu dicerahkan.” Maka dimulailah perjuangannya di bidang perpomade-an sejak akhir tahun 2014. Setelah setahun sebelumnya dia mencobai berbagai jenis pomade, juga membaca banyak buku tentang itu, dia nekat terjun ke dunia yang tiga tahun yang lalu sama 96

Arlian Buana sekali asing baginya. Tapi ia pembelajar yang cepat, dan tangguh. Saya menyaksikan sendiri bagaimana ia pernah secara serius membaca segala tentang sepakbola dalam waktu relatif singkat lalu mulai menulis. Kini ia mendalami seluk-beluk pomade, saya sama sekali tidak ragu dengan kemampuannya melakukan berbagai studi, percobaan, dan penelitian. “Kami mulai memikirkan tentang Bung pada akhir tahun 2014. Setelah hampir setahun mulai menggeluti dunia pomade dan mencicipi berbagai merk, baik lokal maupun internasional, kami berpikir untuk membuat produk sendiri. “Setelah membaca berbagai referensi, ide tersebut mulai dikerjakan pada awal Februari 2015. Lewat riset kecil-kecilan di dapur sederhana, kami mencurahkan antusiasme, waktu, tenaga dan tentu modal, demi menemukan formula produk yang bekerja dengan baik,” tulisnya di blog PomadeBung. “Berapa kali percobaan, Bang?” tanya saya. “Ratusan ada kali,” jawabnya. “Rambut gua sempet rusak. Gua nyobain satu formula, jelek, langsung cuci rambut. Bikin baru lagi, gua cobain lagi. Gitu terus, bikin yang lain, cobain, sampe tiga bulanan. Pernah sehari gua harus cuci rambut sampe tiga kali. Kelinci percobaannya rambut gua sendiri.” Kali ini roman mukanya agak serius. Saya jadi ingat Thomas Alva Edison. Sampai 97

Merry Christmas, Felix Siauw! akhirnya berhasil menciptakan lampu penerang untuk peradaban manusia, Edison harus melalui sepuluh ribu lebih percobaann yang gagal. Tapi, kata Edison, “Saya tidak pernah gagal. Saya hanya menemukan 10.000 cara yang belum pas.” Saya ingat pula Kolonel Harland Sanders. Yang konon pernah gagal 1009 kali sebelum resep ayam gorengnya benar-benar diterima orang, lalu laku dan menjadi legendaris. Dan yang paling dahsyat, saya ingat pernah membaca di suatu tempat bahwa serial Twilight pernah 14 kali ditolak penerbit. Yawlaaa, kok ya ada yang mau menerbitkan novel vampire alay begitu. Yawlaaa. “Kenapa Schweinsteigger?” Saya coba alihkan pembicaraan, ia seorang pendukung Manchester United garis keras. Ia terlihat tenang, sama sekali tidak tergeragap mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu. “Kehadirannya di lapangan tengah penting. Setelah Scholes, belum ada lagi yang bisa jadi bos di lapangan tengah Emyu,” katanya. “Justru gua heran sama orang-orang yang nanya kenapa Schweini.” Ia menghisap asap kreteknya dalam-dalam, menghembuskannya, kemudian terkekeh. “Kenapa Bung?” Kembali ke pomade karyanya. “Emang ada yang lebih bagus?” Giliran saya yang tertawa. “Ada review bagus dari temen di Solo. Dia bilang, orang mbaca merk ini gak mungkin lemah-lesu. 98

Arlian Buana Orang mbacanya pasti pakai tanda seru. Gua suka reviewnya.” “Ya iyalah. Orang jualan mah pasti seneng kalo dagangannya dipuji.” Ia cekikikan. Waktu subuh hampir tiba, dari masjid di dekat rumahnya terdengar suara speaker membangunkan warga. “Tambah lagi kopinya, Ban,” katanya. “Nanti aja, Bang. Terus itu Gurindam gimana ceritanya?” “Gurindam itu pomade medium hold. Daya rekatnya sedang. Itu kan produk pertama. Gua pengen, semua tulisan di kemasan produk gua pake bahasa Indonesia. Makanya gua mikir, apa ya nama varian yang bagus. Akhirnya gua putusin pake ikon budaya aja. Yang pertama: Gurindam.” “Respons orang-orang gimana?” “Ya namanya produk baru, pasti kan banyak yang pengen tau. Itu kesempatan gua buat ngasih penjelasan. Pada nanya apaan Gurindam, ya gua jelasin ini nama varian. Di grup Indonesia Pomade Enthusiast, gua juga jelasin pentingnya Gurindam buat Indonesia. Kalo gak ada Gurindam, gak bakal ada Bahasa Indonesia. Sambutannya lumayan.” Saya manggut-manggut.

99

Merry Christmas, Felix Siauw! “Terus kalo yang Kretek, itu gimana ceritanya?” “Gara-gara gua kesel sama orang, tuh. Jadi ada orang yang ngampanyain rokok elektrik. Dia ngejelek-njelekkin rokok. Gua bilang, jangan gitulah. Maksud gua, kalo lu kampanye pake pomade, gak perlu juga njelek-njelekin yang gak make pomade. Kalo lu ngampanyein faving, ya gak perlu bilang kretek itu jelek.” “Apa sih enaknya faving? Kayak ngisep uap batu es.” “Nah, itu lu njelek-njelekkin juga namanya.” Saya nyengir kuda. “Yaudah, kebetulan gua lagi nyari ide nama varian produk kedua, pomade light, gua pake aja nama Kretek.” “Sambutannya gimana?” “Di grup anak-anak pomade, gua ceritain fragmen Agus Salim yang ngisep kretek di Buckingham. Pada seneng banget sama cerita itu.” “Terus, Bang?” “Ada juga yang nanya emangnya Gurindam sama Kretek itu ikon budaya? Mereka kan taunya ikon budaya yang mainstream, Borobudur, Ondel-ondel, Tari Kecak, gitu-gitu. Ya gua kasihtau: Gurindam itu warisan budaya yang emang udah banyak dilupain, padahal penting banget. Nah, kalo kretek, saking deketnya sama kita sehari-hari, malah gak dianggep budaya.” 100

Arlian Buana Ia terdiam sebentar, mengambil bungkus kreteknya lantas menyalakan sebatang. Setelah dua hisapan, ia beranjak. “Bentar, gua ambilin pomadenya.” Selang berapa menit, ia muncul dengan empat kaleng bulat. Saya langsung mengambil Bung: Kretek, membuka penutupnya, menghirup aromanya. Wangi cengkeh menguar di hidung saya. Aroma khas kretek. Oh iya, hampir lupa, perkenalkan: namanya Ahmad Makki.

101

Farhat Abbas

Sebagaimana Indonesia harus bersyukur atas keberadaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, para pejuang antirokok tidak boleh kufur nikmat setelah Farhat Abbas bergabung di barisan mereka. Indonesia patut bersyukur karena NU dan Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar yang baru saja menyelenggarakan muktamar, telah menjadi pagar hidup untuk membendung ekstremisme dalam beragama. Dan gerakan antirokok patut mengumandangkan puja-puji kepada Farhat Abbas yang telah demikian heroik membodoh-bodohkan, menjahat-jahatkan, dan menyampah-nyampahkan para perokok. Oh, tidak, saya tidak bermaksud menyamakan NU dan Muhammadiyah dengan Farhat Abbas. Tentu saja kedua organisasi itu tidak bisa diperbandingkan dengan es teh pletok macam Farhat. NU dan Muhammadiyah sudah berkiprah untuk keindonesiaan jauh sebelum kemerdekaan 102

Arlian Buana Indonesia diproklamasikan, sementara Farhat Abbas hingga kini masih belum jelas apa sumbangsihnya untuk Indonesia. Apakah eksistensi Farhat merupakan manfaat atau mudarat bagi Indonesia sampai sekarang masih misteri—saya juga belum jelas, sih. Saya hanya mencontohkan alasan mengapa kampanye antirokok mestinya semringah menerima Farhat. Jika Indonesia bersuka-cita menerima NU dan Muhammadiyah, maka gerakan antirokok pun sewajarnya berpesta-pora menyambut Farhat Abbas. Maksud saya begitu. Bila perlu, Tulus Abadi, Tere Liye dkk segera saja menghelat pesta akbar sekelas muktamar sebagai ucapan selamat datang untuk mantan suami Nia Daniaty itu. Tapi demi menjaga perasaan umat, baiklah, dengan lapang dada saya cabut perumpamaan di atas. Barangkali lebih tepatnya begini: kehadiran Farhat Abbas untuk kaum antirokok sama pentingnya dengan kehadiran Bastian Schweinsteiger di lapangan tengah Manchester United. Maka seperti halnya Schweinsteiger yang dianggap menjanjikan, menerbitkan harapan, Farhat Abbas pun seharusnya dianggap sebagai darah segar yang memancarkan optimisme. Sebagaimana fans Man Utd bersorak dan tak sabar menunggu kontribusi Schweini, tim hore antirokok pun semestinya bergembira dan tak sabar menanti aksi plus atraksi antirokok Farhat selanjutnya. Kalau ada pendukung Emyu yang tidak bisa terima 103

Merry Christmas, Felix Siauw! persamaan di atas, sila selesaikan ketidakterimaan anda dengan Yang Mulia Farhat di Puncak Gunung Merapi di tengah malam bulan purnama bulan ini.

Nah, sekarang saatnya kita apresiasi kicauankicauan antirokok Sang Presiden Oposisi RI: satu dan satu-satunya Farhat Abbas Law. Eh, bukan kicauan ding, kata Farhat sendiri itu kokok. Bukan Kokok Dirgantoro CEO VoxPop. Kokok saja. Kokok. “Yang merokok harap jangan emosi! Cukup kami yang emosi melihat kalian merokok! Maaf, kami banyak berkokok mengenai rokok! #BudayaTidakMerokok,” kokok blionya. Tenang, Tuan Farhat, kami sama sekali tidak emosi. Kami geli. Anda ajaib sekali. Bagaimana kami tidak geli, semua kokok anda tentang rokok adalah kebenaran absolut yang tidak mungkin dibantah. Kami tidak bisa melakukan apaapa selain manggut-manggut dan mencengkeram perut. “Biasanya orang yang merokok lebih percaya rokok daripada Tuhan.” “Merokok itu setara dengan menghisap lem aibon.” “Merokok lebih berbahaya daripada selingkuh.” “Hanya di masjid dan rumah gue aja orang gak ada yang berani merokok.” 104

Arlian Buana “Kalo gue jadi presiden, seluruh pegawai yang terima gaji dari negara, gue haramkan merokok!” Tidak satupun kokok Tuan Ajaib yang bisa disalahkan. Tidak satupun. Semuanya sahih belaka. Semuanya melampaui aforisma, manifesto, sabda, firman, atau apapun namanya. Manusia hanya bisa berencana, Tuan Farhat jua yang berkokok. Seandainya kami diperintahkan Tuhan untuk mendengarkan kokok Tuan Farhat seumur hidup, saya yakin semua perokok dalam satu hari saja pasti langsung mati geli. “Hampir semua pelaku kejahatan adalah perokok berat. Hati-hati yang merokok berat, ntar dikira penjahat,” kokok blionya lagi. Kepada para pembaca yang kebetulan santri dan punya kiai yang perokok berat, coba perdengarkan kokok Farhat. Siapa tahu nanti kiai anda dikira Don Vito Corleone. Dan buat menantu baik-baik yang kebetulan punya mertua perokok berat, coba perhatikan lagi, jangan-jangan mertua anda adalah Wise Guy. Dan puncak dari segala keajaiban Tuan Farhat adalah ketika ia berkokok: “Cewek perokok lebih gampangan daripada cewek yang tidak merokok.” Dari mana pengacara tampan dan menawan ini bisa mengambil kesimpulan sebegini dahsyat? Beberapa tahun lalu, melaui akun twitternya, Mario Teguh pernah mengeluarkan kalimat senada. 105

Merry Christmas, Felix Siauw! Bahwa wanita yang merokok dan hobi dugem tidak layak dinikahi. “Wanita yang pantas untuk teman pesta, clubbing, begadang sampai pagi, chitcat yang snob, merokok dan kadang mabuk, tidak mungkin direncanakan jadi istri,” kata Mario. Sebagai seorang motivator yang harusnya bijaksana dan bijaksini, Mario Teguh terlalu gegabah mengeluarkan pernyataan itu. Mario diprotes keras dari berbagai arah. Apa hubungannya kelayakan menjadi istri dengan kesukaan merokok dan dugem? Tidak ada, kecuali konstruksi patriarki bahwa baik dan buruk didefinisikan oleh laki-laki. Menyadari kekeliruannya, Mario Teguh kemudian minta maaf secara terbuka lalu tutup akun—dua hal yang hampir mustahil kita harapkan dari seorang Farhat Abbas. Apakah cewek perokok memang gampangan? Suer, hanya manusia yang punya kadar keajaiban tertentu yang sanggup berkokok begitu. Kadar keajaiban yang setingkat dengan matahari terbit dari barat sehingga Farhat layak masuk menjadi salah satu tanda-tanda kiamat.

106

Habib Rizieq

Ia terlihat on fire. Duduk di sebuah kursi kayu, dikelilingi pengikutnya yang sebagian besar mengenakan kopiah putih, Rizieq memegang ujung bawah mik nirkabel dengan tangan kirinya, menceramahkan pemurnian Islam, badannya meliuk ke kanan ke depan ke kiri, tangan kanannya sesekali mengepal sesekali melambai. “Assalamu ‘alaikum itu tradisi Arab. Assalamu ‘alaikum itu budaya Arab. Hey, umat Islam Indonesia, mau ngapain kamu dijajah sama Arab? Mau ngapain kalian diarabkan? Ambil Islamnya, buang Arabnya. Ambil Islamnya, buang assalamu ‘alaikum, ganti selamat pagi selamat siang!” kata Rizieq berapi-api, menirukan pendapat orang-orang yang berlawanan dengan pandangannya. Bereaksi atas ucapannya sendiri, Rizieq memegang dahi selama beberapa detik. Seolah ia ingin berkata, “Capek deeeeh…” seperti anak-anak gaul Jakarta. 107

Merry Christmas, Felix Siauw! “Kalau di Purwakarta diganti dengaaan?” Lanjutnya setelah puas memegang jidat. “Sampurasuuun…” jawab jamaah. “Sampurasun,” kata Rizieq mengulangi, lalu diam sebentar. Tanpa aba-aba, suara yang kemudian keluar dari mulutnya mirip geledek di siang bolong, “Campuracuuuun! Campuracuuuuun! Campuracuuuun!” Jamaah tertawa terbahak-bahak. Kalau Anda penggemar garis keras Arya Wiguna, mungkin Anda akan terhibur dan tidak merasa terganggu dengan teriakan Rizieq. Anda yang mencintai cara Wiguna memekikkan “Demi Tuhan!” tentu akan senang sekali mendapati ada orang yang mewarisi kemampuan Wiguna berteriak sehebat itu. Semoga para produser infotainmen terketuk hatinya agar menayangkan teriakan “campuracun” Rizieq seperti mereka menyiarkan Wiguna berbulanbulan. Sudah lama pemirsa Indonesia tidak disuguhi pemandangan seperti itu. “Betul?” tanya Rizieq kepada jamaah. Setelah terdengar koor betul, Rizieq teriak lagi: “Takbir!”. Allahu Akbar menggema. Entah siapa yang pertama kali mengunggah video ceramah Rizieq itu di Youtube, tahu-tahu muncul protes dari banyak kalangan di Jawa Barat. Angkatan Muda Siliwangi melaporkan Rizieq ke polisi karena dianggap menghina masyarakat Sunda dan melecehkan nilai-nilai budaya Sunda. Mereka bahkan 108

Arlian Buana menginisiasi terbentuknya Aliansi Masyarakat Sunda Menggugat dan melarang Rizieq masuk Jawa Barat. Mereka juga menuntut Imam Besar The Panas Dalam Front Pembela Islam (FPI) itu minta maaf secara terbuka. Tak mau kalah dengan anak muda, Walikota Bandung, Ridwan Kamil pun turut menyesalkan ceramah itu dan meminta Rizieq minta maaf. Dengan ini, sekali lagi Kang Emil menunjukkan bahwa dirinya adalah walikota yang terlalu serius. Kita perlu persyukur ada walikota seterlaluserius Kang Emil. Berkat beliau, Rizieq akhirnya dapat panggung lagi, dan terutama, anak muda perkotaan selain Jawa Barat, yang setiap hari intim dengan gajet, jadi tahu bahwa di Sunda ada salam yang seindah dan semerdu “sampurasun”. Tanpa beliau ikut campur, tentu anak muda generasi viral ini tak akan pernah tahu bahwa “sampurasun” kurang lebih artinya sama dengan assalamu ‘alaikum. Tapi tetap saja tuntutan permintaan maaf itu terlalu serius. Minta maaf kok pakai disuruh-suruh. Terlebih apabila yang dituntut ternyata tidak merasa bersalah. Habib Rizieq sedang bercanda dalam ceramahnya, dan jamaah menganggap itu lucu, apanya yang salah? Kalau Kang Emil menganggap itu tak lucu, ya sudah jangan tertawa. Simpel, kan?

109

110

Arlian Buana Kalau Kang Emil menganggap ada sesat pikir dalam becandaan tak lucu itu, ya tinggal diluruskan, atau balas dengan candaan yang lebih lucu. Kenapa harus menuntut permintaan maaf? Atau itu sudah tertulis sebagai salah satu tugas pokok walikota? Rizieq hanya sedang merasa gerah, belakangan ini, setelah kampanye massif Islam Nusantara yang dilakukan Nahdlatul Ulama, dan Islam Berkemajuan dari Muhammadiyah, gelombang penolakan terhadap Arabisasi menguat lagi. Rizieq tentu tak bisa tenang melihat anak-anak muda mulai banyak yang menelan mentah-mentah slogan “Islam bukan Arab.” Rizieq teringat lagi perdebatan lamanya dengan Gus Dur perihal “Pribumisasi Islam”. Ia tentu tak habis pikir, bagaimana mungkin gagasan Gus Dur—yang ia sebut buta mata dan buta hatinya itu—lebih diterima banyak orang. Padahal Gus Dur tidak bisa pidato seberapi-api dirinya, padahal Gus Dur bisanya cuma melucu nggak jelas. Untuk menyerang gagasan “Islam bukan Arab”, Rizieq menggunakan jurus lama, menghajar titik yang paling kontroversial: penggantian assalamu ‘alaikum dengan selamat pagi, dan campuracuuun. Rizieq tentu tak mau tahu bahwa poin utama Gus Dur bukan itu. Ia tak mau dengar pandangan Gus Dur tentang universalisme Islam yang shalihun

111

Merry Christmas, Felix Siauw! li kulli zaman wa makan, yang relevan kapan saja di mana saja, yang terbuka terhadap akulturasi, yang mengakomodasi dan dapat diserap budaya setempat, dan tampil dalam ekspresi budaya yang beragam. Rizieq tidak menganggap hal-hal demikian bisa memperkaya peradaban Islam, melainkan justru merusak Islam. Di sisi lain, Rizieq juga menganggap bahwa “Islam bukan Arab” itu sama artinya dengan anti budaya Arab. Logika Rizieq sederhana saja: jika Si A tidak sama dengan Si B, berarti A anti B; jika roti buaya bukan buaya, maka roti buaya itu anti buaya. Anda tentu tak perlu lagi mengajak debat atau diskusi Rizieq, karena bisa-bisa Anda diteriaki “campuracuuun!”. Anda tak bisa berkata bahwa “Anaantum, jubah, dan sorban tidak serta-merta membuat seseorang menjadi lebih Islami” kepada Sang Habib, salah-salah Anda malah kena fentung. Hadapilah dengan cara Dedi Magelangan Mulyadi, Bupati Purwakarta. Setelah dituduh Rizieq menikahi Nyi Roro Kidul, Dedi dengan santai bertanya, “Di KUA mana?”. Oh iya, untuk Kang Emil, santai saja, tak perlu terlalu serius. Ingatlah, masih terbuka kemungkinan 2017 nanti Anda akan maju di Pilkada Jakarta, baik sebagai cagub maupun cawagub. Bersiaflah menghadafi konfoi tanfa helm dan, yang faling fenting, fentungan FPI.

112

Arlian Buana

Menjadi Muslim Pintar bersama Palu-Arit

Saya kira tidak ada media online yang mencerminkan wajah Islam Indonesia kecuali PKS Piyungan (selanjutnya disingkat PKS-P). Wajah muslim Indonesia yang kalem, menyejukkan, cerdas, dan membawa semangat kemajuan. Saya kira. Sejak awal pekan lalu, PKS-P menggoreng isu seksi: Putri Indonesia 2015, Anindya Kusuma Putri, memposting fotonya berkaos palu-arit di Instagram. Penggorengan yang aduhai sekali. Layaknya trequartista jempolan, PKS-P mengirim umpan manis nan mematikan untuk para striker muslim internet, agar gol-gol spektakuler bisa dilesakkan ke gawang tim komunis—yang selama ini dikhayalkan sebagai musuh utama tim Islam. Dengan gagah berani, PKS-P menurunkan laporan bertajuk Sensasi Puteri Indonesia 2015 Bangga Berkaos Palu Arit. Laporan yang mudah sekali tersebar secara viral, seperti virus. Isinya? Hanya kutipan komentar 113

Merry Christmas, Felix Siauw! miring para facebooker tentang Anindya dan kaos palu-arit yang dikenakannya. Sembari membagi tautan berita, PKS-P melempar pertanyaan, memancing interaksi di Twitter, “Layakkah Anindya jadi Putri Indonesia yang jargonnya 3B: Brain, Beauty, Behaviour?” Tak lama, salah satu followernya menyambar dengan retwit ditambah cuitan: “Bego~ Bego~ Bego~.” Seorang follower lain tak kalah tangkas, datang dengan pernyataan senada yang dikemas agak lebih kreatif: “Bego, Bodoh, Bloon.” Saya kira PKS-P memang cerdas sekali. Saya langsung tepuk tangan di atas kepala begitu membaca rangkaian twit-retwit 3B PKS-P. Hampir saya menitikkan air mata, kalau saja Nody Arizona—rekan saya di Mojok.co—tidak sedang duduk di hadapan saya. Saya akui, saya memang menyalahi prinsip di mana bumi dipijak di situ air mata ditumpahkan— yang merupakan inti utama ajaran Guru Tisu Bangsa Eddward S. Kennedy dan Bapak Air Mata Nasional Nuran Wibisono. Sebagai pengikut setia beliau berdua, saya merasa gagal. Mengikuti kisah sukses “berita” PKS-P, media-media besar latah meminta klarifikasi dan cenderung ikutikutan menyudutkan Anindya. PKS-P tentu dengan senang hati menyebarkan ulang berita-berita dari portal besar yang memakan umpannya. Beberapa waktu sebelumnya, pernah pula PKS-P menunjukkan kecerdasan yang jenuin tiada banding. 114

Arlian Buana Kira-kira dia mencuit begini: Lihat dong, PKS-P mendapat kunjungan lebih dari empat juta sehari tapi servernya tidak pernah down. Luar biasa. Saya kehabisan kata-kata. Kita tahu, PKS-P menggunakan layanan Blogspot milik Google. Untuk membuat down PKS-P, Anda harus menggoyang server raksasa milik Google. Sudah barang tentu bukan pekerjaan gampang. Berbeda misalnya dengan mojok.co yang kapasitas servernya terbatas, kunjungan jutaan dalam sehari otomatis akan membuatnya down alias tidak bisa diakses. Selang beberapa menit setelah twit pamer PKS-P tadi, muncul retwit dari followernya dengan tambahan seruan; “Allahu Akbar!” Saya tidak bisa menahan air mata saya mengalir, seketika. Haru saya. Benar-benar haru. Saya yakin Yang Mulia Eddward dan Kanjeng Nuran pasti bangga. Saya lalu ingat artikel yang ditulis Gus Dur, Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme. Artikel yang mengkaji secara rinci dan jernih, hubungan Islam dan Komunisme. Gus Dur memulainya dengan membaca hubungan diametral-konfrontatif Islam vis a vis Komunisme, menjelaskan faktor-faktor yang menjadi penyebab keberhadapan keduanya, baik secara politis maupun ideologis. Pada akhirnya, Gus Dur melihat adanya titik-titik persamaan—bukan titik sambung—antara keduanya di berbagai dimensi. Sehingga tidak perlu heran kalau 115

Merry Christmas, Felix Siauw! komunisme atau bahkan partai komunis bisa tumbuh dan besar di banyak negara muslim. Di Indonesia, penolakan terhadap MarxismeLeninisme melalui TAP MPR XXV/66, menurut Gus Dur, bisa dijelaskan dengan kenyataan bahwa tim muslim pernah dua kali bergesekan dengan tim komunis pada tahun 1949 dan 1965. Bagi Gus Dur, penolakan demikian lebih berwatak politis daripada ideologis. Gesekan itu yang kemudian didramatisasi, diruncingkan oleh pemerintahan orde baru. Di masa Soeharto berkuasa, stigmatisasi kelompok komunis berkembang luas di masyarakat, dipanaskan dengan kampanye massif pemerintah tentang bahaya laten komunisme, dan tentu saja, disokong negeri Paman Sam yang berusaha setengah mampus membendung komunisme internasional. Ketika menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur mengusulkan pencabutaan TAP MPRS No XXV/1966 tentang larangan komunisme. Usul yang dimaksudkannya sebagai langkah awal terwujudnya rekonsiliasi nasional. Usul yang tak urung menuai penentangan di sana-sini, di mana-mana. Gus Dur juga meminta maaf atas pembunuhan terhadap orang-orang yang dikatakan komunis, yang jumlahnya menurut Sarwo Edhie Wibowo tak kurang dari tiga juta jiwa. Tiga juta! Itu jumlah manusia Indonesia yang dilenyapkan secara tragis dari muka bumi, bukan semata statistik kunjungan PKS-P. Sekali

116

Arlian Buana lagi, yang selanjutnya terjadi, niat baik Gus Dur dimentahkan banyak orang—terutama oleh so-called umat Islam. Tulisan Gus Dur tentang Islam dan Komunisme muncul pertama kali pada tahun 1982, ketika dunia masih diselimuti nuansa perang dingin—yang berakhir setelah Liverpool menjuarai Liga Inggris untuk terakhir kali. Kini, peta politik internasional sudah benar-benar berbeda. Pasca 11 Sepetember 2001, Islam malah pernah jadi pengganti Komunisme sebagai musuh baru dunia Barat. Sampai permusuhan Barat terhadap Islam dan Komunisme mereda, kita sebagai bangsa belum juga menyelesaikan pekerjaan rumah untuk rekonsiliasi. Melihat gegeran kaos palu-arit Anindya, barangkali Gus Dur hanya cekikikan di kahyangan sana. Dan kata-kata kunciannya akan terdengar di sela derai tawa, “Gitu aja kok repot.” Maka lihatlah, Gus, jangankan mengobati luka, melihat simbol palu-arit saja kami masih parno. Kami kesulitan bersikap adil, Gus, karena kami lebih senang merawat kebencian seperti hobi kami mengasah batu akik. Bukannya meminta maaf, kami justru terus-menerus merendahkan keluarga besar PKI yang menjadi korban. Di situ kadang saya merasa hebat, Gus. Di situ kadang saya merasa pintar, sepintar PKS Pi-yu-ngan.

117

Menjadi Penggemar Berat Felix Siauw

Saya punya ikatan sentimental dengan Islam. Sejak kecil, orang-orang tua di kampung saya berusaha sekuat tenaga agar saya bisa mengaji, salat dan puasa. Mereka pun memberikan teladan, hingga saya meyakini bahwa Islam adalah agama terbaik, terhebat. Islam adalah jalan bagi saya untuk menemukan kedamaian. Makin dewasa, kecintaan saya terhadap Islam semakin besar. Melebihi kecintaan saya terhadap Indonesia. Melihat negeri ini, saya sering sedih. Anjing, amburadul betul. Tapi menyaksikan umat Islam di Indonesia, saya jauh lebih sedih lagi. Umatnya bodoh-bodoh mampus! Mereka semakin jauh dari ketentuan-ketentuan Islam yang sebenarnya. Awal-awal kuliah di sebuah kampus Islam, saya perhatikan mahasiswa-mahasiswa yang konon muslim dan lulusan pesantren sangat urakan. Mereka pun berorganisi dengan nama tempelan Islam. Tapi kelakuan dan pikiran mereka aduhai kacau sekali. 118

Arlian Buana Sok bebas. Sok liberal. Saya pikir saya tidak bisa tinggal diam, saya tidak boleh cuma damai sendiri. Lama-lama saya bisa saja menjadi kafir kalau hidup di tengah umat yang bebal. Saya harus berbuat sesuatu. Tapi Allah memang maha adil, maha tahu apa yang dibutuhkan hambanya. Setelah beberapa semester di universitas, saya bertemu dengan sosok hebat luar biasa. Pengetahuan Islamnya luas dan mendalam. Ia sangat mumpuni untuk menjadi pemimpin spiritual. Dan yang paling penting, ia bisa bicara dalam bahasa saya, bahasa generasi saya, bahasa gue-elo. Ketika ia membicarakan Islam dan khilafah, topik ini terasa sangat dekat, membumi dan sangat masuk akal. Orang itu bernama Felix Siauw. Lihatlah bagaimana perkembangan ustadz kebanggan saya itu sekarang. Sejak pertama saya mengenalnya lima tahun yang lalu, saya sudah yakin ia akan menjadi orang besar, orang terkenal yang mondar-mandir di televisi dengan jutaan pengikut. Bukan hanya mengisi pengajian, Ustadz Felix juga menulis buku, menyebarkan tausiyahnya melalui facebook, twitter dan youtube. Bahkan di media sosial, ia biasa tertawa dengan “wkwkwk”. Gaul banget. Meski saya jarang menghadiri pengajiannya, berkat bantuan teknologi, perlahan-lahan saya pun meyakini apa yang diperjuangkan olehnya, khilafah adalah solusi semua persoalan anak manusia. Tapi khilafah, kata Ustadz Felix, dihapuskan pada tahun 1924. Istanbul, Turki, menjadi saksi pedihnya 119

Merry Christmas, Felix Siauw! umat kehilangan pelindung. Setelah Perang Dunia I, umat Islam tercerai-berai, biang keroknya tak lain tak bukan adalah penjajah Inggris. Negara yang yang dipimpin seorang ratu itu tidak hanya menaklukkan dan memecah-belah kaum Muslim secara fisik, melainkan juga, lebih parah lagi, mereka menanamkan pemikiran kufurnya. “Inggris mendoktrinasi kaum Muslim, bahwa demokrasi ialah sistem terbaik bagi mereka. Dalam demokrasi seolah mereka diperlakukan sama. Kafir Inggris juga berhasil membuat kaum Muslim lupa bahwa Khilafah-lah yang menghantarkan mereka menguasai 1/3 dunia selama 13 abad,” terang Ustadz Felix suatu kali. Amerika Serikat, negara adidaya pengganti Inggris, juga melakukan hal yang sama, mendoktrinasi seolah demokrasi sejalan dengan Islam. Mereka menyamakan demokrasi dengan musyawarah dalam Islam, padahal akar pengambilan hukum, daun, dan buahnya jelas berbeda jauh. Sistem yang diwariskan Nabi Muhammad SAW melalui lisannya nan mulia hanyalah khilafah. Dan hanya khilafah-lah sistem yang dipakai para sahabat Nabi. “Dalam musyawarah, hanya hal mubah dan baik yang boleh didiskusikan. Pada hukum yang sudah ditentukan Allah, Islam melarang musyawarah. Salat Jumat di mana, itu boleh dimusyawarahkan, tapi salat Jumat atau tidak, itu sudah hukum Allah, tidak boleh dimusyawarahkan,” begitu pesan Ustadz Felix. 120

Arlian Buana “Sedang demokrasi, semua hal bisa dimusyawarahkan. Yang halal bisa jadi haram, dan yang haram bisa jadi halal, bila banyak yang suka. Dalam demokrasi, hukum Allah hanya opsi, bisa didebat, bahkan bisa dianggap lebih rendah dari hukum manusia. Hakikat demokrasi, manusia dianggap lebih tahu daripada Allah, karenanya boleh membuat hukum sendiri. Dalam Islam, hukum Allah mutlak.” Berkat perjuangan Ustadz Siauw, Al Quran dan Sunnah telah jadi hukum di negara kita. Indonesia secara resmi sudah menerapkan Khilafah Islamiyah sebagai sistem pemerintahan. Khalifah kita Prabowo Subianto, figur luar biasa yang–didukung seluruh umat Islam–berhasil memimpin revolusi menggulingkan rezim kafir liberal setahun yang lalu. Wajah Ustadz Felix kini setiap hari nongol di televisi, bicara banyak hal. Dalam sebuah kesempatan ia menyindir negara tetangga, “Sama Syiah dia temen, sama kafir kawan, sama atheis 11-12. Tapi sama Muslim, galaknya ampun-ampunan. Ada yang kayak begini? Ada.” Yang paling fenomenal, dan membuatnya digandrungi semua generasi, Felix Siauw akhirnya jadi host Hunger Games menggantikan Caesar Flickerman. Ia berhasil menyisihkan Tantowi Yahya dan Tukul Arwana. Babi, Nody Arizona membangunkan saya dari mimpi. 121

#SudahlahJokowi

Jika memerintah diibaratkan bermain catur, maka sebenarnya Jokowi adalah pecatur yang buruk. Baiklah, kalau para pemilih Jokowi belum ikhlas dicap buruk: Jokowi telah memainkan pembukaan yang buruk. Amburadul sekali openingnya. Terlalu banyak menggerakkan satu-dua perwira, sementara banyak perwira lain lumutan di posnya, Jokowi bahkan belum sempat rokade agar posisi rajanya aman. Dibanding pendahulunya, Si Pak Beye itu, Jokowi (setidaknya dari yang nampak hingga sekarang) jelas belum ada tai-tainya, baik secara posisional maupun taktik. Di awal pemerintahannya, Pak Beye langsung dihantam tsunami (sungguhan, bukan istilah catur), posisinya tentu saja menjadi sulit. Tapi itu tak membuat Pak Beye memainkan pembukaan yang kacau, dia bersetia pada taktiknya, membangun formasi andalannya dengan sabar, meski tidak 122

Arlian Buana mudah, lalu mengamankan posisinya di DPR dengan mencaplok semua kotak kuning. Dan Pak Beye ternyata memang pecatur andal. Ia licin di middlegame (masih ingat strategi menurunkan harga BBM, mengorbankan menteri lama dan mempromosikan satu bidak untuk jadi ratu baru, “Katakan tidak pada korupsi”, “Terima kasih, Pak SBY”, dan “Lanjutkan!”?) dan lincah di endgame (mengorbankan beberapa perwira terdepannya yang menghalangi ruang tembak pasukan di belakang, tentu dengan pertukaran yang tidak terlalu merugikan, lalu sesegera mungkin membawa raja ke tengah papan). Lah, Jokowi? Di sini lawan-lawan Jokowi punya kesempatan baik untuk mengalahkan atau setidaknya mengimbanginya. Tapi apa yang dilakukan kubu seberang terhadap Jokowi selama ini? Cuma isengiseng gak mutu, seperti yang terakhir meributributkan kesalahan penyebutan kota kelahiran Bung Karno, berputar-putar pada isu Jokowi tidak Islam, segala Jokowi minum dengan tangan kiri dibesarbesarkan. Apa yang Anda harapkan dari situ? Kelahiran pemimpin yang jago menghafal? Terbitnya pemimpin yang minum selalu duduk dan menggunakan tangan kanan? Anda barangkali bisa berargumen bahwa perilaku 123

Merry Christmas, Felix Siauw! besar seorang pemimpin tercermin dari hal-hal kecil yang dilakukannya. Ya, boleh jadi begitu. Tapi masih banyak yang jauh lebih mengundang maslahat daripada meribut-ributkan hal-hal sesepele itu. Anda bisa menghantam kebijakan-kebijakan ekonominya, misalnya. Apa yang kita dapatkan dari hestek #SudahlahJokowi dan #SudahiJokowi? Selain olokolok, saya tidak melihat sesuatu yang istimewa. Saya tidak menemukan kritik tajam atas kebijakan administrasi Jokowi, kecuali hujatan dan rundungan slapstik. Sebagai awam di bidang kebijakan publik, saya sangat mengharapkan wawasan-wawasan mencerahkan dari kelompok opisisi mengenai cara pengelolaan negara. Sebagai orang biasa, saya ingin sekali melihat oposisi yang kuat dalam memainkan peran check and balances. Dan pada gilirannya, dari oposisi yang tangguh itu, kita bisa berharap lahirnya pemimpin yang lebih hebat daripada Jokowi. Begitulah yang seharusnya terjadi di negara dengan demokrasi yang matang, pemimpin baru datang mengoreksi pemimpin lama. Koreksi yang bukan sekadar tak pernah lagi selip lidah dan selalu minum pakai tangan kanan—kalau begini doang sih, anak TK juga bisa nyalon presiden. Bukankah Jokowi lahir dari oposan yang kuat dan selalu bersuara keras melawan kebijkan-kebijakan

124

Arlian Buana SBY? Dan Jokowi muncul ke permukaan dengan gayanya yang gesit, tangkas, dan mengakar sebab Pak Beye dianggap plin-plan, tidak pernah bisa menyelesaikan masalah sampai ke akar-akarnya, penuh lipstik pencitraan dan lebih suka bikin album sebagai musisi karbitan daripada legasi atau mahakarya sebagai negarawan. Dengan alur demikian pula saya berharap akan terbitnya pemimpin baru yang lebih mantap daripada Jokowi. Tapi jika kualitas oposisi terus-menerus seperti ini, saya kira saya harus siap-siap menelan ludah dan gigit jari. Jika kehidupan bernegara kita dalam empat tahun ke depan masih saja didefinisikan dengan pembelahan antara Jokower dan Prabower, saya pesimis akan ada terobosan baik dari kubu pemenang pemilu maupun yang kalah. Karena sejauh ini, dengan pembagian dua kubu tersebut, yang kita saksikan hanyalah propaganda-propaganda khas pilpres, bukan kehidupan bernegara yang sehat dengan pemerintah yang bekerja dengan baik dan oposisi yang mengkritisi langkah-langkah penguasa dengan elegan. Atau gegap-gempita dengan tagar #SudahiJokowi itu memang serius ingin menjungkalkan Jokowi dari kursi caturnya? Yakin, bisa? Kayak 20 Mei tempo hari? Oh, seandainya memang bisa, alih-alih kubu seberang yang nanti bersorak, seluruh rakyat Indonesia apalagi (jauh 125

Merry Christmas, Felix Siauw! panggang dari api), justru para pengerikit kekuasaan di sekitar Jokowi itu yang akan berpesta-pora. Hati-hati, GM Jokowi, kalau hanya memainkan satu langkah acak, dua langkah lagi Anda bisa kena family fork.

126

Merry Christmas, Felix Siauw

Tersebutlah kisah seorang ustadz bernama Felix Siauw, pujaan remaja Islam di negeri entah-berantah. Jangan persoalkan namanya yang tidak terkesan islami atau kearab-araban, karena pengetahuannya sangat mumpuni untuk menjadi kyai televisi. Jangan pula hubungkan ia dengan Juan Felix Tampubolon, pengacara keluarga cendana kenamaan. Di negeri entah-berantah, perkara mengucapkan selamat natal jauh lebih besar ketimbang kemajuan ilmu pengetahuan. Boleh-tidaknya seorang muslim mengucapkan selamat natal diperdebatkan dengan leher lebih menegang daripada urusan sistem pendidikan. Pemicunya tahun ini, ulah beberapa orang di majelis ulamanya yang melarang ucapan selamat natal. Dan penguatnya adalah ustadz-ustadz seperti Felix Siauw, ustadz generasi baru yang tertawa dengan “wkwkwk” di media sosial, ustadz gaul, pejuang khilafah islamiyah.

127

Merry Christmas, Felix Siauw! Perdebatan ini sebenarnya perdebatan klasik, -menjurus klise- di negara entah berantah. Tapi ya mereka yang duduk di majelis ulama, dan spesies Felix Siauw itu seringkali iseng untuk membesarbesarkannnya. Cenderung usil. Sebelum memasuki perdebatan teologis yang mengerutkan dahi, ada baiknya persoalan ini lebih dulu didekati dengan kacamata kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang dihayati orang-orang entah-berantah, hidup berdampingan antarpemeluk agama. Jika satu orang merayakan lebaran agamanya, penganut agama lain ikut senang dengan mengucapkan selamat, kadang-kadang dengan bonus jamuan khusus. Indah dan menggembirakan. Pertemanan semakin rekat, perbedaan keyakinan sama-sekali tidak merusak hubungan sosial. Kecurigaan dan kebencian sirna. Tiba-tiba datanglah larangan itu. Tersebarlah seruan Felix Siauw itu. Banyak orang lalu takut hanya untuk sekadar mengucapkan selamat. Seakan-akan ucapan selamat itu dosanya lebih besar daripada korupsi. Tentu banyak yang acuh, namun implikasinya jelas: konfrontasi, bukan dialog; cibiran atau minimal pandangan sinis, bukan toleransi. Negeri entah-berantah adalah negeri yang subur. Sejak ribuan tahun lalu, beraneka keyakinan dan ajaran masuk, diterima, ditolak, disesuaikan atau berkembang. Bahkan yang menebar permusuhan dan kebencian pun bisa hidup. Begitu pula ajaran 128

129

Merry Christmas, Felix Siauw! Felix. Tidak sedikit anak muda yang manggutmanggut atas hujjah-nya. Menurut Felix, mengucapkan selamat natal sama dengan mengiyakan Yesus sebagai Tuhan, seperti yang diyakini umat kristiani. Ini perkara akidah, katanya. Dalam Islam, Isa atau Yesus selamanya adalah seorang nabi, ulul azmi, nabi yang utama, tidak boleh dinaikkan pangkatnya menyatu dengan entitas (ke)Tuhan(an). Maka menurutnya, memberi selamat atas kelahirannya, seperti yang dirayakan pemeluk kristen, berpotensi menggeser akidah seorang muslim. Mengucapkan selamat dianggap murtad, seperti sudah dibaptis. Haram hukumnya. Tapi bagaimana mungkin? Seorang mahasiswa tingkat akhir yang mengucapkan selamat wisuda kepada kawannya apakah otomatis ia juga telah diwisuda? Enak sekali. Mengucapkan selamat hari lahir Ratu Inggris, kepada kawan Inggris atau langsung kepada Ratu, tidak serta merta menjadikan kita warga negara Inggris atau pengikut Sang Ratu. Atau, karena natal bersifat perayaan, seorang pendukung Chelsea yang mengucapkan selamat merayakan kemenangan Liverpool tidak otomatis menjadi Liverpudlian. Prof. Quraish Shihab tak urung angkat bicara. Dalam artikelnya, Selamat Natal dalam Al-quran, beliau memaparkan dengan jernih, kelahiran Isa dalam Al-quran bahkan memang diberkati. Umat Islam, yang memuliakannya sebagai nabi, 130

Arlian Buana bahkan dianjurkan mengirim ucapan selamat. Soal akidah, panjang lebar Quraish menjelaskan, dengan kesimpulan: “Tidak juga salah mereka yang membolehkannya (mengucapkan selamat natal), selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.”

Karena terus-menerus mencela orang-orang MUI dan Felix, saya sempat dituduh mengharuskan ucapan selamat natal. Sesat pikir lain yang harus dihadapi. Saya punya seorang kawan yang dalam hidupnya tidak pernah punya teman kristen. Kawan ini tentu saja tak perlu dan tak harus mencari-cari teman kristen untuk mengucapkan selamat. Tentu ada jutaan orang lainnya seperti kawan ini. Tapi karena kesal, saya jawab saja; karena orang-orang MUI bilang haram, maka mengucapkan selamat natal menjadi harus. Ini soal pergaulan sosial. Ini soal kerukunan, keutuhan kita sebagai bangsa. Pemahamanpemahaman yang, betatapun kecil potensinya, meruncingkan perbedaan keyakinan, hanya akan menyuburkan kebencian. Dan orang-orang yang melakukan tindak kekerasan tidak bertanggung jawab akan memiliki cukup pembenaran.

131

Merry Christmas, Felix Siauw! Lihatlah, berapa gereja yang pernah dibom saat perayaan natal. Lihat pula bagaimana jemaat GKI Yasmin dan HKBP Philadelphia tak bisa merayakan natal di gereja mereka yang sah karena disegel orangorang yang tidak bertanggung jawab. Sebelum bicara pemerintah yang lalai, apakah MUI atau Felix Siauw peduli? Mungkin mereka hanya akan peduli jika suatu saat nanti umat Islam tak bisa merayakan idul fitri. Di belahan bumi lain, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, tidak hanya mengucapkan selamat natal, bahkan ikut menghadiri misa di Bethlehem. Saya hanya bisa membayangkan, bagaimana perasaan Felix Siauw. Felix yang seringkali bersuara lantang membela Palestina, harus melihat pemimpin Palestina berbeda pendapat tajam dengannya. Semoga dia tidak patah hati dan tak pernah lelah membela kemanusiaan. Semoga Felix tetap bisa tertawa dengan “wkwkwk” dan selamanya yakin, solusi setiap masalah anak Adam adalah Khilafah Islamiyah. Salam sejahtera semoga tercurah kepada Isa, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti. Selamat Natal, MUI... Selamat Natal, Felix Siauw.

132

Senarai Ulah Felix Siauw

Felix Siauw kembali bikin ulah. Stok ulahnya seolah tak habis-habis. Atau jangan-jangan Felix adalah ulah itu sendiri? Sebagai seseorang yang konon ustadz, ahli agama, Siauw tidak seperti kebanyakan ahli agama lainnya yang menebarkan kesejukan kepada semua orang, menjadi rahmat bagi semesta alam. Siauw lebih memilih jalan keributan. Alih-alih berdakwah mengajak berakhlakul karimah, Siauw justru menggunakan cara-cara ofensif, konfrontasi, dalam banyak ceramahnya. Lebih banyak kata jangan dalam dakwahnya daripada ajakan. Lebih banyak perintah dan larangan daripada pemberian contoh dan tauladan. Siauw seperti lebih berniat mengajak perang daripada menguraikan pemahaman mendalam. Ia lebih suka meradang-menerjang daripada berkasih-sayang. 133

Merry Christmas, Felix Siauw! Contoh larangan Siauw yang terkenal adalah larangan mengucapkan selamat natal. Tidak perlu dibahas panjang lebar lagi, jelas-jelas ia larangan yang hanya menggarami curiga, lalu kebencian, lalu permusuhan, di negeri yang masih memupuk kebhinnekaan ini. Bukannya bergaul dengan sesama anak-bangsa dengan mau’izhah hasanah. Perintah Siauw yang terkenal, “Udah Putusin Aja!” kepada anak muda yang berpacaran, bisa saja gagasannya diterima dengan baik apabila disampaikan dengan pemaparan yang halus, dengan simpatik, bahwa menyegerakan pernikahan lebih indah bagi pasangan yang berpacaran. Bukan dengan antipati dengan menyuruh mereka putus. Tapi Felix memilih cara terakhir, cara menyerang. Belum lagi ketika pemerintah berencana menaikkan harga Bahan Bakar Minyak. Bagai pakar ekonomi yang paling pakar, Siauw ikut-ikutan angkat bicara, berteriak lantang menolak. Saya sendiri tidak setuju dengan kebijakan pemerintah itu, tapi saya bukan ahli ekonomi sehingga hanya bisa bersetuju dan meyakini argumen para pakar yang menolak. Saya pun kemudian berharap pada argumennya agar membuat saya semakin yakin. Tapi apa daya, argumennya ternyata membuat saya menangis. Saya akui saya salah telah berharap. Menurut Siauw, pemerintah menaikkan harga minyak lantaran menganut paham liberal dan tunduk pada kafir IMF. Jika saja, jika saja, pemerintah 134

Arlian Buana meyakini Islam sebagai sebagai paham, sebagai ideologi, tentu minyak akan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena minyak di Indonesia adalah milik seluruh rakyat Indonesia, maka setiap rakyat berhak membeli minyak dengan harga Rp. 0. Seakan-akan galon minyak tinggal petik saja seperti mangga tetangga. Saya harap Anda tidak turut menangis mendengarnya.

Kali ini Siauw bikin geger banyak cewek. Mereka protes atas tausiah-nya. Sebab dia menganjurkan agar perempuan bermanja-manjaan dan bersikap kenakak-kanakan sahaja. Tidak baik bagi cewekcewek untuk menjadi mandiri, kuat, dan tidak bergantung pada orang lain. “Ya udah, itu pilihanmu, (menjadi wanita kuat, mandiri dan independen) jarang lelaki yang mau wanita seserem itu,” tulisnya di akun twitter @felixsiauw. Seenak jidat Siauw memberi stempel “serem” bagi perempuan yang mandiri dan kuat. Seakanakan menjadi wanita hebat itu dosanya lebih menakutkan daripada membunuh. Seenak jidat pula ia memayoritaskan spesiesnya yang menyukai perempuan lemah dan punya ketergantungan tinggi pada orang lain. Sebagian besar teman saya malah tidak menyukai perempuan menye-menye 135

Merry Christmas, Felix Siauw! yang diidealkan Felix, meskipun tidak memaksa perempuan harus begini tak boleh begitu. Perkara suka tidak suka belaka. Siauw sepertinya luput membaca sejarah dan kurang lengkap memahami intisari ajaran Islam. Jelasjelas bahwa Khadijah yang dicontohkannya sebagai perempuan surga adalah seorang saudagar yang mandiri, kuat dan tidak bergantung pada orang lain. Dalam sekali ayun, dia yang berniat memukul orang lain tapi bogemnya jatuh ke mukanya sendiri. Bunuh diri. Ada juga Aisyah, wanita cantik jelita berawajah kemerah-merahan yang sangat dicintai Rasulullah, yang begitu gagah perkasa memimpin pasukan dalam Perang Jamal. Lupakah dia tentang dua perempuan hebat itu? Sudah terang bahwa Nabi Muhammad—yang saya percaya diidolakan juga oleh Felix—memuliakan kaum perempuan. Di masa pra-Nabi, kaum wanita dianggap lemah dan hanya menjadi beban bagi suku Quraisy sampai-sampai setiap bayi perempuan yang lahir dibunuh-bunuhi. Setelah Muhammad datang, derajat kaum perempuan ditinggikan. Peran mereka dalam mengasuh anak dimuliakan tiada bandingan dan peran di dalam masyarakat tiada dihalangi. Mengapa pula Felix datang dengan pola pikir yang meremehkan dan melemahkan perempuan seperti di jaman Jahiliyah? Pilihan materi dakwah Siauw sungguh kurang bijak. Berani-beraninya dia merendahkan wanita 136

Arlian Buana modern, wanita masa kini yang berpendidikan, yang berkesempatan karya dan kerja yang sama dengan pria. Berani-beraninya dia menyerang ibu-ibu setelah Indonesia menelurkan seorang presiden yang ibu-ibu. Tak urung cewek-cewek yang mulai merintis karier untuk menjadi perempuan independen mencak-mencak. Tak urung ibu-ibu yang sama-sekali tidak tergantung pendapatan suaminya menjadi panas kupingnya. Bagi mereka, menjadi wanita adalah berbagi peran dan tugas dengan pria. Bukan meringkuk di bawah ketiak suami. Belum lagi bila mencermati hadits yang dikutip Siauw, ada satu ciri wanita penghuni surga: bermanfaat bagi suami. Wanita mandiri, kuat dan independen tentu saja memberikan manfaat lebih banyak bagi suaminya ketimbang wanita lemah dan serba-tergantung. Ciri ini dengan sendirinya menggugurkan klaim wanita ideal versi Siauw. Tak cukup sampai disitu, Siauw kemudian mencoba membela diri atas apa yang dituliskannya. Bukannya berbaik-baik, dia malah menuduh orangorang yang mengoreksi dan mengkritiknya benci akut terhadap Islam atau kelompok feminis liberal. Bukannya membuka mata, dia justru menebalkan jarak dan menegaskan batas: Islam dan bukan Islam, seolah-olah Islam itu dirinya sendiri. Di bagian akhir klarifikasinya, Siauw menyatakan; “Bukan berarti kritik dan sarannya saya nggak terima. Insya Allah semua diapresiasi, dijadikan 137

Merry Christmas, Felix Siauw! masukan untuk ke depan lebih baik.” Lihatlah, untuk mengapresiasi masukan saja dia masih butuh Insya Allah. Seakan-akan terdapat kemungkinan yang kelak menghalanginya dalam berapresiasi. Betapa salehnya dia. Insya Allah itu dipakai, misalnya, kalau kamu berjanji akan menghadiri pertemuan, karena kita tidak pernah tahu akan datangnya suatu halangan. Kalau mau apresiasi ya langsung apresiasi saja, kenapa butuh Insya Allah? Catatan ulah Felix bisa jadi lebih panjang. Sayang karena keterbatasan pengamatan, daftar ini hanya sebegini. Apabila ada yang ingin menambahkan tentu akan menjadi masukan yang sangat berarti.

Tapi jangan buru-buru salah sangka. Tidak semua orang mengkritik Siauw. Muda-mudi yang manggut-manggut saja mendengar apa yang keluar dari mulutnya banyak juga. Tidak sedikit yang membelanya dalam hal ucapan selamat natal. Bukan sedikit lelaki yang batok kepalanya berisi perempuan harus begini perempuan tak boleh begitu sedemikian kaku. Tidak kurang pula yang berteriak sama dengannnya mengenai keharusan asas Islam bagi Indonesia, dus memperjuangkan khilafah Islamiyah. Entah berapa pasangan yang manut perintahnya untuk putus. Belum ada rilis survei LSI mengenai itu. 138

Arlian Buana Seperti yang pernah saya perkirakan, ilmu Felix memang cukup memadai untuk menghantarkannya menjadi kyai televisi. Panggilan tampil di televisi mulai berdatangan. Terakhir saya lihat dia ada di Bukan Empat Mata yang membuatnya terlihat jauh lebih lucu daripada Tukul. Dan oh, mimpi apa dia semalam hingga bisa duduk berdekatan dengan Olla Ramlan dan Angel Lelga. Sebentar lagi, Siauw akan menjadi ustadz kondang yang mukanya saban hari mondar-mandir di televisi. Tapi tahukah para pelaku pertelevisian Indonesia, betapa berbahayanya sikap intoleran Felix dan perjuangan khilafah Islamiyah itu bagi keutuhan NKRI? Barangkali hanya demokrasi Indonesia yang membiarkan unsur yang potensial membunuh demokrasi untuk hidup bebas. Sementara TVRI, televisi milik negara itu, telah membuka lebar-lebar pintunya agar Felix dapat unjuk gigi. Bahkan TVRI sendiri pula yang menyiarkan secara langsung perayaan besar-besaran Hizbut Tahrir di Senayan. Tahukah Olla dan Lelga bagaimana pandangan Siauw mengenai perempuan? Semoga Diandra Paramitha Sastrowardoyo dijauhkan darinya. Semoga keusilan Felix terhadap kaum perempuan itu merupakan ulahnya yang terakhir. Semoga dia ingat pesan orang tua: daripada bikin ulah lebih baik main gundu. Amin.

139

Arlian Buana

www.arlianbuana.com

Arlian Buana

@arlianbuana

arlianbuana

[email protected]

Merry Christmas, Felix Siauw!

142

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF