Mengkaji Potensi Wilayah Pesisir Dan Lautan
December 10, 2018 | Author: Sahadi Sadly | Category: N/A
Short Description
Download Mengkaji Potensi Wilayah Pesisir Dan Lautan...
Description
Mengkaji Potensi Wilayah Pesisir dan Lautan STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA PULAU-PULAU KECIL DI KEPULAUAN BANDA PROPINSI MALUKU
Berdasarkan defenisi atau pengertian mengenai pulau-pulau kecil maka dapat dikatakan bahwa pulau kecil sering dapat dikategorikan sebagai suatu wilayah pesisir dimana dalam suatu wilayah pesisir pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem lingkungan atau ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang biasanya dijumpai di pulau-pulau kecil pesisir antara lain adalah terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pes-caprea , formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan eksistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya ( mariculture) dan kawasan pemukiman (Dahuri, 1998). Pendekatan lain bahwa ekowisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP, 1980 in Dirawan, 2003) sebagai berikut: 1. Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung mendukung sistem kehidupan. 2. Melindungi keanekaragaman hayati. 3. Menjamin kelestarian kelestaria n dan pemanfaatan spesies spesies dan ekosistemnya. Pemilihan ekowisata sebagai konsep pengembangan bagi wisata pesisir di dasarkan pada beberapa unsur utama, yaitu : Pertama, Ekowisata sangat bergantung pada kualitas sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya. Kedua, melibatkan Masyarakat. Ketiga, Ekowisata meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Keempat , tumbuhnya pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional. Kelima , Ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Dengan kata lain, ekowisata (bahari) menawarkan konsep low invest-high value bagi sumberdaya dan lingkungan kelautan sekaligus menjadikannya sarana cukup ampuh bagi partisipasi masyarakat, karena seluruh aset produksi menggunakan dan merupakan milik masyarakat lokal (Dirawan, 2003). Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya. Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan ini akan dapat mempengaruhi produktivitas sumberdaya akibat proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang berbeda dari sumberdaya pesisir kerap menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu ( I ntegrated ntegrated Coastal Zone Management , ICZM). Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et. al 1996; CicinSain and Knecht, 1998; Kay and Alder, 1999). Pendekatan yang digunakan adalah keterpaduan, partisipasi, multi stakeholders, dengan fokus pada peningkatan kapasitas lingkungan dan masyarakat setempat dalam mengelola sumberdaya laut secara berkelanjutan. Dengan demikian, demikian, diharapkan pengelolaan kawasan Kepulauan Banda dan sekitarnya dapat dilakukan secara comanagement .
Co-management didefinisikan sebagai pembagian tanggungjawab dan kewenangan antara pemerintah dan masyarakat untuk mengelola perikanan dan sumberdaya alam lainnya (Pomeroy and Williams, 1994). Argumentasi yang dikemukakan untuk alternatif co-management ini diantaranya adalah (Borrini-Feyerabend and Buchan (ed.), 2000). Komitmen dari pengguna sumberdaya dan stakeholder lainnya terhadap inisiatif pengelolaan akan lebih kuat, jika mereka merasa terlibat dalam pengembangan kesepakatan pengelolaan dan badan pengambilan keputusan yang akan dibentuk. Dari pengalaman di berbagai tempat, terlihat bahwa desentralisasi tanggung jawab pengelolaan dan membagi kewenangan pada institusi non pemerintah dan masyarakat sebagai partner dapat dihasilkan aksi yang lebih efektif. Melalui co-management, sumberdaya dari masyarakat dapat dimobilisasi, sedangkan kebutuhan untuk penegakan hukum dan kontrol dapat dikurangi. Melalui kolaborasi formal dan meletakkan sebagian kewenangan pengelolaan di tingkat masyarakat, inisiatif atau program pengelolaan dapat membantu dalam pemberdayaan masyarakat dan pengembangan institusi lokal, dalam proses yang lebih dibutuhkan. Ada beberapa prinsip dasar atau komponen keberhasilan pengelolaan yang dapat digunakan sebagai pembanding, yang dapat dikategorikan menjadi aspek governance (tata kepengurusan), sosial-ekonomi, dan ekologi. Lebih lanjut, ada beberapa prinsip yang spesifik digunakan untuk merancang dan mengelola Daerah Perlindungan LautDPL (Marine Protectec Area), yang dikembangkan oleh Agardy (Agardy, 1997), serta prinsip tata kepengurusan / penadbiran yang baik (good governance), yang dikembangkan oleh Olsen (Olsen et al ., 1997). Dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa prinsip ini, beberapa prinsip yang dapat digunakan untuk pengelolaan suatu kawasan ekowisata pulau-pulau kecil di Kabupaten Banda yang baik adalah sebagai berikut : Tujuan pengelolaan yang spesifik dan jelas, dengan sebanyak mungkin input dari semua stakeholders. Mengembangkan zonasi/penataan ruang untuk memaksimalkan perlindungan terhadap daerah yang kritis secara ekologis dengan tetap membuka peluang pemanfaatan berkelanjutan di area yang kurang sensitif atau rentan. Mengembangkan rencana pengelolaannya dengan melihat pada kelayakannya (f easibility ), dengan selalu mengupayakan operasional pengelolaan yang swadana sejak dari awalnya. Proses perencanaan dilakukan separtisipatif mungkin. Mengembangkan metode monitoring evaluasi yang sesuai dengan tujuan. Menerapkan penegakan hukum yang efektif. Memanfaatkan kawasan konservasi yang dibentuk untuk meningkatkan kesadaran, pendidikan, dan peningkatan kapasitas, tidak hanya di awal proses tetapi setiap saat. Membentuk wadah multi stakeholder yang independen untuk mengelola kawasan dan memonitor keefektifannya berdasarkan benchmark yang ditetapkan.
Mengembangkan mekanisme untuk Mengembangkan kebanggaan dan rasa kepemilikan lokal.
resolusi
konflik.
Berpihak ke Potensi yang Ada Sering kali pemerintah mengambil paradigma berbeda yang tidak bertumpu pada kekuatan potensi ekonominya sehingga pertumbuhan yang terjadi hanya dinikmati sekelompok orang. Sebanyak 13,7 persen a-tau sekitar 2.408 pulau di indonesia berada di Provinsi Kepulauan Riau. Daerah ini juga memiliki rasio luas laut lebih besar dibanding darat, yakni 24 berbanding 1, sehingga pengembangan ekonomi yang dilakukan mestinya berbasis pada kelautan. Ironisnya, sampai hari ini, belum ada cetak biru pengembangan ekonomi kelautan. Hal itu mengakibatkan kebijakan yang dihasilkan dalam rangka pembangunan daerah sering menafikan potensi yang ada, yakni sektor kelautan. Peneliti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Batam, Ir Heri Muliono MSc, dalam dialog menyoal "Pengelolaan Batam Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dalam rangka Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kelautan Kepulauan Riau" (umat (4/6), menjelaskan dalam teori ekonomi dari mahzab apa pun, pengembangan suatu kawasan seyogianya bertumpu pada kekuatan yang ada di daerah tersebut sehingga kebijakan yang dikeluarkan regulator memberi ruang dan membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada kekuatan tersebut Namun, ironisnya, seringkali pengambil kebijakan at au pemerintah mengambil paradigma berbeda yang tidak bertumpu pada kekuatan potensi ekonominya sehingga pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak banyak dinikmati rakyat secara keseluruhan, tapi hanya dinikmati sekelompok orang.Kasus yang cukup menarik, kata dia, terjadi di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Kepri merupakan kawasan yang secarageo grafis dan ekonomis memiliki potensi di sektor kelautan. Itu terlihat dari banyaknya pulau yang ada, yakni 2.408 pulau atau sekitar 13,7 persen dari seluruh pulau yang ada di Indonesia. Pulau terluar daerah itu yang berbatasan dengan negara tetangga berjumlah 20. Seluas 96 persen wilayahnya merupakan laut atau dengan rasio 24 1. Daerah itu juga dilalui jalur pelayaran tera-iii.ii di dunia, yakni Selat Malaka, da n dilintasi oleh jalur pelayaran intra-Malaysia (Semenanjung -Serawak/Sabah). Ketua Bidang Kelautan, Pangan Agribisnis dan Agroindustri Kadin Provinsi Kepri yang juga pengusaha perikanan di Kepri, Steven Hadi Tanoto, me-ngatakan sudah 20 tahun lebih dia menggeluti bisnis perikanan di Kepri, dan sa mpai hari ini tidak banyak pengusaha yang mau menekuni industri tersebut. Padahal potensinya cukup besar, terlebih 96 persen wilayah Kepri adalah laut sehingga ndak akan terlalu sulit mendapatkan pasokan hanan baku. Kondisi itu, kata Steven, disebabkan banyak faktor. Salah satunya belum ada kebijakan dari pemerintah yang berpihak pada industri kekuatan, misalnya dalam mencari pembiayaan dari bank sebagai modal untuk membeli kapal. Harga kapal, menurut dia, sangat mahal. Oleh karena itu, pengusaha harus mencari pembiayaan lewat bank, namuntidak banyak bank sampai hari ini yang berani memberi kredit untuk pembelian kapal. Kalaupun ada perbankan yang memberi kredit, bunganya relatif tinggi, hingga double digit atau sekitar 16 persen, padahal di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia bunga kredit hanya sekitar 3-4 persen. Kondisi itu seolah-olah dibiarkan pemerintah sehingga industri perikanan
kurang berkembang.Ironisnya, pada saat yang sama, pemerintah Indonesia juga banyak memberi izin mencari ikan kepada nelayan asing yang dalam pencariannya menggunakan teknologi yang cukup canggih. Karena itu, banyak nelayan dalam negeri yang kelim-pungan karena hasil tangkapannya sedikit dibanding nelayan asing tersebut Tiga Faktor Tiga faktor penting yang dibutuhkan industri perikanan dalam produksinya juga belum diperhatikan pemerintah. Pertama, soal benih. Untuk industri perikanan yang pasarnya untuk pasar global, benih yang sesuai standar sangat dibutuhkan, dan itu masih jarang di Indonesia. Kedua, tempat benih yang layak sesuai standar internasional Ini penting karena konsumen di berbagai negara maju sudah memasukkan tempat benih yang sesuai standar sebagai syarat agar produksi ikan bisa masuk ke negara tersebut untuk menghindari kontaminasi penyakit dari produksi tersebut. Ketiga, soal pakan atau makanan. Faktor ini menjadi krusial karena pakan untuk jenis ikan tertentu sering berganti-ganti untuk memenuhi syarat layak jual-bagi negara maju. Misalnya untuk ikan tertentu seperti kerapu yang dulunya diberi makan sembarangan, saat ini sudah harus diberi makanan khusus agar bisa dipasarkan di pasar global.Ketua Kadin Batam Nada Fa-za Soraya mengatakan pengembangan industri kelautan sangat luas cakupannya, tidak hanya soal industri perikanan, tapi juga menyangkut industri pelayaran, pariwisata, budi daya, dan lainnya. Oleh karena itu, pemerintah daerah seyogianya memiliki cetak biru pengembangan industri kelautan agar bisa lebih fokus dalam membuat arah, strategi, dan program bagi pengembangan industri tersebut Salah satu hal yang mesti diperhatikan oleh pemerintah dalam waktu dekat ini ialah hendaknya pemerintah menyediakan fasilitas cooling storage d i bandara internasional Batam agar pelaku industri perikanan bisa mengawetkan produksinya di pelabuhan sebelum diekspor.Selain itu, pemerintah pusat harus secepatnya mengeluarkan kebijakan soal penguasa di laut atau penjaga laut dan pantai [sea and co ast guard) yang sampai hari ini belum ada. Sebagai negara maritim, mestinya Indonesia memiliki kebijakan tersebut Negara lain seperti Singapura saja, yang wilayah lautnya terbatas, memiliki lembaga tersebut gus/E-8
PRESIDEN DUKUNG MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL
Presiden RI, Dr. Soesilo Bambang Yudhoyono menyatakan dukungan kepadagerakan pengembangan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional. ³Saya minta kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan produktivitas perikanan nasional. Pastikan kita dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tingkatkan keberadaan Anak Buah Kapal (ABK) dalam negeri dan pastikan kita jadi produsen perikanan terkemuka di dunia,´ seru Presiden pada pelaksanaan acara puncak Sail Banda 2010 hari ini (3/8) bertempat di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon. Lebih lanjut Presiden juga meminta agar sektor kelautan dan perikanan memastikan diri untuk mampu menjadi leading sector sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan penyerapan tenaga kerja nasional, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam acara puncak Sail Banda, Presiden menyampaikan bantuan pembangunan Ma sjid Al Fatah senilai Rp 1 milyar, dan Gereja St Paulus dan Gereja Maranatha masing-masing senilai Rp 500 juta. Selain itu, hibah kapal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan juga diserahkan kepada Pemerintah Daerah Propinsi Maluku. Presiden juga memberikan penghargaan kepada perwakilan peserta Operasi Surya Baskhara Jaya dari Amerika Serikat, Australia, dan Singapura. Gubernur Maluku Karel Ralahalu pada sambutannya menyatakan bahwa pihaknya siap berkomitmen membesarkan Maluku dari sektor kelautan. Sail Banda 2010 ia harapkan menjadi entry point bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Maluku ke depan. Saat ini beberapa provinsi telah mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Kepulauan, dintaranya Propinsi Maluku, Maluku Utara, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, N TB, NTT dan Riau Kepulauan. Provinsi-provinsi kepulauan tersebut sangat berminat untuk mengikuti jejak Maluku dalam me-nyelenggarakan event akbar kebaharian, seperti Sail Banda yang menurut Presiden pantas dijadikan model pembangunan bahari nasional. Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Fadel Muhammad usai pelaksanaan acara puncak Sail banda 2010 mengatakan bahwa Sail Banda 2010 merupakan momentum untuk mengubah paradigma pembangunan sehingga lebih menekankan sektor kelautan sebagai prime mover perekonomian nasional. Fadel juga menyampaikan rencananya bersama Menteri Pendidikan Nasional untuk mengembangkan pendidikan kelautan dan perikanan. Sedangkan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menghimbau media untuk mendukung Sail Banda melalui pemberitaan yang membangun. Dengan memberitakan bahwa Ambon aman, media juga membantu memasarkan event yang pada akhirnya dapat memacu perekonomian. Maluku berada di wilayah segitiga daerah penangkapan ikan (golden triangle fishing ground), yaitu: Laut Banda, Laut Arafura dan Laut Seram sehingga pantas dicanangkan sebagai Lumbung Ikan Nasional. Potensi Perikanan di provinsi yang terdiri atas 1336 pulau ini mencapai 1,64 juta ton per tahun, namun saat ini produksi baru mencapai 300.000 ton/tahun (sekitar 20%). Ke depan, Menteri Kelautan dan Perikanan akan melakukan strategi pengembangan terhadap 4 sentral produksi perikanan yang juga menjadi simpul-simpul ekonomi di Maluku, yakni Tual, Seram, Aru dan Ambon. Diyakini dalam 2 tahun langkah ini dapat mendorong pencapaian target produksi sebesar 500 ribu ton per tahun dan ke depan Tual dan Ambon mampu mengekspor ke mancanegara. ³Untuk membantu pelaksanaan rencana ini, kita akan izinkan kapal luar (asing) masuk, tapi harus diolah di Indonesia,´ tegas Fadel. Sebagai langkah pengembangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan lebih fokus melakukan penjajakan kerjasama dengan negara lain, seperti tindak lanjut dari penandatanganan kerjasama de-ngan Provinsi Henan, Cina. Selain itu, KKP juga menerima penanaman investasi di Tual dari Pemerintah dan swasta asal negara Thailand. Untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan Pelabuhan Perikanan, pengelolaan pelabuhan perikanan akan dikelola dengan konsep Kerjasama Operasional (KSO) dengan pihak swasta.
2006
- Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Di Perairan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Kelurahan Pulau Abang termasuk Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau yang letaknya sekitar 137 km sebelah selatan Kota Batam dan memiliki 62 pulau-pulau kecil yang diantaranya hanya 15 pulau saja yang berpenghuni. Batam sendiri sebagai ibu kota provinsi menjadi ikon dan barometer bagi kemajuan industri dan pembangunan di provinsi baru ini. Keluarahan Pulau Abang ini masih memiliki potensi sumberdaya laut yang besar dan dapat dikembangkan bagi kepentingan ekonomi nelayan dan pariwisata. Terumbu Karang dan ekosistem laut lainnya yang belum rusak parah di daerah ini merupakan tempat yang subur bagi perkembangbiakan berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Penduduk yang mata pencahariannya sebagian besar nelayan memiliki kearifan lokal yang masih terus dipatuhi. Kebanyakan penduduk di kelurahan ini umumnya hanya memiliki pendidikan formal sampai sekolah dasar. Sarana dan prasarana yang ada untuk kesehatan, peribadatan, perekonomian, komunikasi dan transportasi masih minim. Dengan kondisi tersebut di atas, diperlukan perencanaan kebijakan dan program pengelolaan yang dalam pelaksanaannya diterima dan didukung oleh semua pihak. Kearifan lokal yang ada perlu medapat perhatian dan menjadi acuan dalam pengembangan perikanan dan pemanfaatan sumberdaya yang adil dan lestari, sebagai amanat dari Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Kajian kearifan lokal menjadi perlu untuk diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan yang ada di daerah ini termasuk efektifitasnya dan pengaruh-pengaruh tradisi dan globalisasi/modernisasi terhadap nilai-nilai budaya lokal dan sumberdaya alam seiring dengan kemajuan teknologi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menginventarisir kearifan lokal, pengaruhnya bagi masyarakat, masalah yang timbul dalam pembangunan dan bagaimana penentuan strategi bagi kelanggengan eksistensinya. METODOLOGI
Metodologi penelitian ini dilaksanakan dengan pengumpulan data primer dan skunder baik kuantitatif maupun kualitatif dari pemangku kepentingan (stakeholder), melalului diskusi, wawancara mendalam dan pertanyaan-pertanyaan. Analisa data dilakukan secara induktif yang dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit dan secara deskriptif yang memberikan gambaran dalam bentuk laporan dan penampilan tabeltabel. HASIL
Hasil kajian ini mengungkapkan mengenai tradisi/adat, budaya, kearifan lokal dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Abang yang kebanyakan penduduknya adalah suku Melayu yang beragama Islam.
Perilaku kehidupan yang masih terus dipertahankan adalah pemberian nama bayi, khitanan, pendirian rumah, berduka cita, belah kampung dan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Pola kehidupan masyarakat adalah sederhana misal rumah umumnya terbuat dari bahan kaju dengan atap asbes dan lantai papan, kebutuhan air bersih diperoleh dari sumur/kolam dan penerangan dengan listrik yang terbatas. Kegiatan perikanan di daerah ini umumnya menggunakan kapal motor tempel kecil (pompong) yang dimiliki sendiri. Penangkapan ikan biasanya dilakukan hampir sepanjang tahun di daerah perairan pantai dengan menggunakan alat tangkap yang bervariasi seperti pacing, jaring karang, kelong dan bubu. Penggunaan alat tangkap disesuaikan musim dengan memperhatikan tradisi dan kearifan lokal. Nelayan di daerah ini seperti halnya di wilayah Kepulauan Riau pada umumnya, masih mempunyai ketergantungan tinggi kepada ³ tauke´ untuk menjual ikan dan untuk memenuhi kebutuhan operasional penangkapan ikan dan kebutuhan hidup sehari-hari. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Abang ini dilandasi prinsip agama dan kearifan lokal yaitu tidak serakah, tidak membahayakan dan tidak merugikan pihak lain seperti penggunaan racun/sianida, bahan peledak/bom dan trawl. Dalam pelaksanaan perikanan terdapat toleransi tinggi, saling menghargai dan menghormati di antara para nelayan. Ada ketentuan keseragaman alat tangkap yang dipergunakan dalam musim tertentu. Lokasi yang dianggap ³angker´ sudah tidak dihiraukan lagi dan sekarang dikunjungi serta dimanfaatkan sebagai tempat menangkap ikan dan memetik kelapa. Pembebasan larangan pukat bilis di suatu daerah dengan sistem kompensasi masih dipertentangkan karena keuntungannya tidak seimbang dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Kearifan lokal dan tradisi penangkapan ikan ramah lingkungan yang masih dipertahankan antara lain ³memancing sotong (nyomek) ³ dan penggunaan ³kelong´ untuk menangkap ikan dingkis. Keduanya memiliki criri-ciri khusus peralatan dan tatacara dalam pelaksanaannya. Menyomek dilakukan pada malam hari di musim sotong yaitu musim barat. Pelaksanaannya harus disiplin, terampil dan tertib. Mengenai areal penempatan kelong tidak sembarangan, harus memiliki kesepakatan diantara pemiliknya. Kepemilikan lokasi kelong bersifat hak guna pakai individu yang bisa turun-temurun dan bisa dijualbelikan atau disewakan. Tradisi dan kearifan lokal yang ada, sekarang sudah tidak kental lagi dipatuhi seluruhnya. Namun pengaruhnya telah menimbulkan rasa kesadaran tinggi di kalangan masyarakat terhadap perlunya menjaga kelestarian sumberdaya perikanan khususnya terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya sebagai tumpuan matapencaharian mereka. Semua kondisi tersebut di atas diharapkan dapat mendukung program kerja COREMAP dalam upaya pelestarian terumbu karang di daerah ini. REKOMENDASI Perlu pembinaan dan pelestarian kearifan lokal Pemerintah diharapkan membuat tanda batas wilayah penangkapan agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang menimbulkan keresahan masyarakat Diharapkan Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian (DKP2) Kota Batam berupaya memberikan bantuan usaha kepada kelompok nelayan dalam rangka peningkatan taraf hidupnya
Perlu langkah penyelesaian benturan pelaksanaan program dalam pemberdayaan masyarakat oleh Dana Amanah Kota Batam.
Membaca Peluang Ekonomi Kabupaten Meranti Oleh Suprapto Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan salah satu kabupaten otonomi baru, dibentuk berdasarkan UU No 12/2009. Merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkalis, memiliki 5 kecamatan dengan luas mencapai 3.707.84 km2. Kabupaten termuda ini, secara geografis, berada di jalur pelayaran dan perdagangan internasional Selat Melaka di dua negara yakni Malaysia dan Singapura, serta secara alamiah sudah menjadi daerah hinterland kawasan Free Trade Zone (FTZ) Batam dan Tanjungbalai Karimun. Posisi ini menjadikan peluang bagi Kabupaten Kepulauan Meranti dalam pengembangan potensi ekonominya ke depan. Sebagai garda terdepan untuk Provinsi Riau dalam membuat simpul ekonomi di kawasan pesisir. Kabupaten Kepulauan Meranti bisa menjadi kabupaten yang memiliki peranan penting sebagai hinterland jalur strategis antara Provinsi Riau, Kepulauan Riau da n negara tetangga Malaysia dan Singapura. Dijadikan FTZ di dua kota di Kepri yakni Batam dan Tanjungbalai Karimun, setidaknya menjadikan kawasan ini salah satu penunjang FTZ tersebut, apalagi kawasan ini bisa menghubungkan jalur darat perdagangan dari Pulau Sumatera dan Jawa. Untuk mewujudkanya, dengan posisi strategis sebagai kawasan interkoneksi, maka ke depan perlu ditunjang infrastruktur perhubungan yang memadai. Selain pelayaran, yang perlu disiapkan adalah jalur transportasi darat. Pengembangan infrastuktur jalan darat menjadi alternatif penting untuk membuka isolasi daerah dan pulau-pulau di Meranti. Jika ini berhasil, maka akan terbuka juga interkoneksi jalan darat lintas provinsi antara R iau dan Kepulauan Riau. Jalan lintas provinsi dua kawasan ini memungkinkan untuk diwacanakan menjadi jalan nasional. Posisi yang strategis untuk membuka jalur lintas Riau dan Kepulauan Riau di masa yang akan datang. Sebenarnya, Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Provinsi Riau sudah mewacanakan untuk penyatuan Pulau Sumatera, melalui Meranti sebagai jalur penghubung antara Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Skenario untuk mempersatukan pulau ini sangat penting. Ini berdasarkan kondisi Meranti yang merupakan rangkaian pulau, dan satu-satunya jalan adalah menyatukan pulau,. Setidaknya di Meranti dibutuhkan pembangunan infrastruktur jembatan dengan total panjang
15.100 meter. Dengan asumsi perlu lima jembatan penyeberangan. Di antaranya; jembatan Sungai Rawa-Meng-kikip, panjang 5.500 meter; jembatan Kampung Balak-Meranti Bunting, panjang 2.200 meter; jembatan Insit-Bantar, panjang 3.500 meter; jembatan Ketapang-Pelantai, panjang 600 meter; jembatan Ketamputih (Bengkalis)-Dakal, panjang 3.500 meter. Selain itu, interkoneksi pulau antara Riau dan Kepulauan Riau juga sudah ada. Melalui Desa Tanjung Samak di Pulau Rangsang dengan Tanjungbalai Karimun. Kawasan ini bisa dijadikan jalur lintas provinsi. Letak dua kawasan ini dekat. Bahkan jalur transportasi laut dua kawasan ini sudah lancar. Skenario untuk membuka simpul Meranti akan memberikan dampak yang besar. Pasalnya, Kepri, satu sisi sudah terbentuk sebagai daerah tujuan investasi. Berbagai industri menjamur di Bata m, Balai Karimun dan daerah daerah hinterland lainnya di Kepri. Sedangkan Riau, merupakan daerah yang sangat kaya akan material untuk berbagai kebutuhan industri. Tersedia berbagai industri minyak dan gas ( migas) dan energi fosil lain seperti batu bara. Tidak hanya itu, material lain juga banyak, seperti minyak nabati olahan sawit, kertas, dan hasil kebun lain, seperti kelapa, karet dan lain lain. Dibukanya akses dua daerah ini, akan membuka simpul ekonomi baru yang kuat dan terpadu. Investasi jangka panjang yang mungkin membuat daerah ini lebih gemilang. Apalagi, Riau dan Kepulauan Riau sudah menjadi pusat pertumbuhan ekonomi (growth pole) dan menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) untuk beragam kegiatan ekonomi. Posisi penyatuan pulau-pulau di Kabupaten Kepulauan Meranti untuk interkoneksi menjadi simpul kunci. Memanfatkan peluang strategis potensi Kepulauan Meranti sebagai daearah hinterlend, akan menunjang posisinya sebagai daerah transito perdagangan. Mungkin ini juga alasan bupati pertama Meranti, Irwan Nasir menasbihkan v isi misi pembangunan Kabupaten Meranti ke depan, untuk mewujudkan sebagai pusat niaga. Setidaknya selama ini yang terjadi, jalur keluar-masuknya barang-barang perdagangan dari Kepulauan dan penetrasi barang luar negeri, banyak yang beredar di Meranti. Sebaliknya barang barang yang masuk dari Sumatera Barat, Medan dan lain-lain yang masuk ke Kepulauan Riau sebagian masuk melalui Meranti. Kawasan ini secara alamiah sudah terbentuk sebagai kawasan transito perdagangan dan secara strategis berada di hinterland FTZ kawasan industri. Memang, posisinya sebagai kabupaten yang berada di jalur lintas antar negara, memiliki beragam sensitivitas. Satu sisi, untuk peredaran barang ilegal memang sangat mungkin terjadi. Tapi sisi lain, keuntungan di jalur strategis adalah mudahnya melakukan penetrasi penyebaran arus barang dengan pasar yang terbuka. Dua sisi yang ditentukan oleh kemampuan sumber daya manusia (SDM) di kawasan itu. Untuk itu berbagai strategi yang harus dilakukan pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti ke depan adalah: Pertama, menyiapkan SDM yang berdaya saing, yang mempu memanfaatkan potensi daerah dan
mampu mengambil peluang untuk pemenuhan kebutuhan di kawasan industri. Kedua, mensinergikan pelaku usaha tempatan, agar menjadi enterprenuer yang lebih egaliter, mampu bersaing dengan produk luar serta mampu melakukan penetrasi usaha untuk kebutuhan pasar luar negeri dan daerah hinterland. Ketiga, mampu mengeksplorasi Sumber Daya Alam (SDA) dan potensi investasi di Kabupaten Meranti sebagai cara untuk akselerasi membuka isolasi dan jarak antara dua kawasan pertumbuhan ekonomi yakni Riau dan Kepulauan Riau. Keempat, mampu mensinergikan peluang da n isu strategis posisi Kepulauan Meranti agar menjadi bagian kepentingan pembangunan ekonomi untuk kawasan Provinsi Riau, Kepulauan Riau dan kepentingan pembangunan ekonomi nasional. Usaha yang harus dilakukan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti memang tidak mudah. Meskipun banyak potensi SDA yang belum tergarap, kondisi Kabupaten Meranti memang butuh pembenahan. Informasi yang dihimpun Balitbang Riau, dari data olahan tahun 2009, sekitar 26,56 persen infrastruktur jalan di Meranti yang baik, 8,22 persen kondisinya sedang, 41,87 persen mengalami kerusakan dan 23,35 persen mengalami rusak parah. Peta SDM, 41,78 persen tidak punya ijazah, 24,65 persen tamat SD, 14,22 persen tamat SLTP, 15,84 persen tamat SLTA, 1,93 persen, tamat D1-D3, 0,76 persen S1 dan 0,83 persen S2 dan S3. Kondisi penduduk, dari 45.559 jumlah rumah tangga, sekitar 15.876 atau sekitar 34,85 persen Rumah Tangga Miskin. Dan dari 73 desa dan kelurahan, 59 desa atau 80,82 persen kategori Desa Tertinggal. Peta ini menggelitik kita, setidaknya selama ini, ketika isolasi pulau-pulau di Meranti masih sulit. Posisi Kabupaten Kepulauan Meranti terkepung dengan keterbelakangan. Salah satu cara strategis adalah, mengupayakan, membuka jalur interkoneksi dan isolasi jalur darat
PEMBANGUNAN EKONOMI MALUKU HARUS BERBASIS KEPULAUAN Kepulauan Maluku (Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara) akan dikembangkan dengan konsep yang berbasiskan karakteristik pulau/kelautan yang terbagi ke dalam 17 gugus kepulauan. Konsep ini dikemukakan perwakilan bappeda dari kedua provinsi dalam diskusi ³Reorientasi Pengembangan Wilayah Kepulauan Maluku´ yang berlangsung di Sanur, Bali, Selasa (30/06). Dalam RTR Pulau/Kepulauan, tidak lagi ditentukan atau disusun struktur ruang dan pola ruang , tutur Iman Soedradjat, Direktur Penataan Ruang Nasional, saat memberikan arahan dan membuka diskusi. RTR Pulau/Kepulauan merupakan rencana rinci, penjabaran, dan strategi operasionalisasi RTRWN, sehingga yang terpenting da lam kesempatan ini dapat ditangkap halhal yang sifatnya lintas provinsi dan hal-hal yang perlu/harus dikerjasamakan antar provinsi. Kemudian, hal-hal tersebut disinergikan dan diintegrasikan lebih lanjut k edalam RTR Kepulauan Maluku, jelas Iman. Diskusi yang dipandu oleh Lina Marlia, Direktur Penataan Ruang Wilayah IV, secara panel dengan 3 pembicara, yaitu Hadian A.W (Ditjen Penataan Ruang), Husen Ibrahim (Maluku Utara), dan M.Z Sangadji (Maluku), dimaksudkan untuk mensinergikan dan mengintegrasikan kebijakan penataan ruang daerah dengan kebijakan yang telah ditetapkan dalam RTRWN, yang pada nantinya akan dituangkan dalam kebijakan publik, yakni berupa Peraturan Presiden (Perpres) tentang RTR Kepulauan Maluku. Hamparan lautan yang lebih luas dibanding daratan, menjadikan gagasan daerah membangun perekonomian berbasis gugus-gugus kepulauan. Bila pada tahun 2004, ada 9 gugus kepulauan, namun saat ini terjadi penambahan menjadi 12 gugus kepulauan di Provinsi Maluku, jelas M.Z.Sangadji, Ketua Bappeda Provinsi Maluku. Hal serupa dikemukakan pula oleh Sekretaris Bappeda Provinsi Maluku Utara, Husen Ibrahim, namun hanya ada 5 gugus kepulauan. Dengan demikian, RTR Kepulauan Maluku harus mempertimbangkan karakteristik wilayah yang berwujud 17 gugus kepulauan. Disamping konsep pembangunan berbasis gugus kepulauan, isu pengelolaan potensi kelautan perlu diprioritaskan. Dalam kaitan ini, ke-17 gugus kepulauan ini perlu disinkronkan dengan 6 kawasan andalan darat dan 3 kawasan andalan laut yang telah ditetapkan dalam RTRWN. Kondisi kerawanan terhadap bencana dan letak geografis yang berdekatan dengan negara tetangga (Maluku ± Australia dan Maluku Utara ± Filipina/Palau), menjadi isu strategis yang dikemukakan pula oleh kedua perwakilan pemerintah provinsi. Isu ini dalam RTRWN dituangkan dalam 3 Kawasan Strategis Nasional (KSN), yaitu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Seram, Kawasan Laut Banda, dan Kawasan Perbatasan Laut RI dengan Negara Timor Leste/Australia, Kawasan Perbatasan laut RI dengan Negara P alau. (hd)
Potensi Transmigrasi di Wilayah Kepulauan
Jumat, 20 Oktober 2006
Guna merespon keinginan Forum Provinsi Kepulauan, baru-baru ini telah dilakukan "Temu Konsultasi Pembangunan Transmigrasi Kepulauan Tahun 2006". Temu konsultasi itu sekaligus untuk memberikan dukungan model pembangunan provinsi kepulauan berbasis gugus pulau dan kawasan laut pulau. Temu konsultasi yang bertajuk "Pembangunan Provinsi Kepulauan Berbasis Gugus Pulau dan Kawasan Laut Pulau Ditinjau Dari Aspek Ketransmigrasian", berlangsung di tiga kota yakni Jakarta, Denpasar, serta Manado. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) melalui pembangunan transmigrasi. Temu konsultasi diadakan juga guna membangun komitmen pemerintah, pemerintah daerah, pihak swasta, serta masyarakat selaku stakeholders. Seperti diketahui, sebagai upaya untuk memperjuangkan pengakuan dan perlakuan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional secara wajar, sesuai prinsip negara kepulauan sebagaimana UU No 17 tahun 1985, maka tujuh provinsi kepulauan di Indonesia, yakni Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat, serta Provinsi Nusa Tenggara Timur membentuk Forum Provinsi Kepulauan (FPK). Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan Pengembangan Masyarakat Kawasan Transmigras (P2MKT), Djoko Sidik Pramono, pada kesempatan temu konsultasi, di Denpasar, Bali belum lama ini memaparkan, untuk merealisasi dukungan terhadap FPK tersebut, maka Depnakertrans mempunyai strategi tertentu. Strategi itu meliputi, strategi pembangunan transmigrasi di provinsi kepulauan. Lebih jauh Dirjen P2MKT menjelaskan, strategi dimaksud dengan membangun komitmen stakeholders yakni pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dunia usaha, serta masyarakat, dalam pembangunan dan pengembangan gugus pulau dan kawasan laut pulau. Sementara, pembangunan transmigrasinya dilakukan dengan pendekatan konsep pengembangan wilayah transmigrasi (WPT), serta lokasi pemukiman transmigrasi (LPT), untuk mendukung pengembangan gugus pulau dan kawasan laut pulau. Menurut Dirjen P2MKT, pembangunan transmigrasi dalam rangka mendukung gugus pulau mengutamakan, regulasi dalam penataan ruang, kemudahan mendapatkan lahan, serta perijinan usaha. Selain itu, juga merevitalisasi pemukiman transmigrasi yang sudah ada dan yang sudah diserahkan. Sehingga, ujar Dirjen P2MKT, transmigran dapat berkembang sesuai dengan karakteristik gugus pulau, khususnya dari aspek sistem transportasi. Pembangunan kawasan transmigrasi provinsi kepulauan, jelas Dirjen P2MKT, dilakukan pula dengan cara mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam, berupa daratan, pesisir, serta hutan. "Ini untuk mendukung kemandirian pangan dan perluasan kesempatan kerja," ujar Dirjen P2MKT. Sementara, dalam rangka memperkuat basis pertahanan, kawasan transmigrasi provinsi kepulauan menurut Dirjen P2MKT, juga perlu mengikutsertakan anggota dan purnawirawan TNI dan Polri sebagai transmigran, yang ditempatkan di wilayahwilayah perbatasan. Selain pula menyertakan para mahasiswa program KKN, tematik perguruan tinggi dalam pengembangan masyarakat di kawasan transmigrasi. Pada kesempatan itu, Dirjen P2MKT juga memaparkan, tentang pokok-pokok pikiran paradigma baru sistem penyelenggaraan transmigrasi. Paradigma baru sistem
penyelenggaraan transmigrasi dimaksudkan guna, mendukung ketahanan pangan dan kebutuhan papan. Ketahanan pangan dilakukan dengan membuka areal pertanian baru (eksentifikasi), sebagai areal pengganti alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian dan intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas lahan usaha. Sehingga diperoleh pencapaian kemandirian pangan di tiap gugus pulau. Sementara untuk pemenuhan kebutuhan papan, dilaksanakan dengan melakukan pembangunan perumahan transmigrasi, yang merupakan bagian pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat. Dalam rencana strategi Depnakertrans 2005 - 2009, target penempatan transmigrasi diharapkan bisa mencapai 82 ribu kepala keluarga (KK). Kumlah tersebut setara dengan 82 ribu unit perumahan, di antaranya 12.753 unit di provinsi kepulauan. Paradigma lainnya dimaksudkan guna mendukung kebijakan energi alternatif di kawasan transmigrasi. Paradigma baru sistem penyelenggaraan transmigrasi pula diperuntukan guna mendukung ketahanan nasional. Untuk itu, dilakukan penempatan transmigran di daerah perbatasan. Dan, pulau-pulau terdepan yang dijadikan sebagai sabuk pengaman negara kita. Selanjutnya, paradigma baru sistem penempatan transmigran juga dimaksudkan untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi melalaui pembangunan kota terpadu mandiri (KTM) di kawasan transmigrasi. Yang dimaksudkan dengan KTM, jelas Dirjen P2MKT adalah, kawasan transmigrasi yang pembangunan dan pengembangannya dirancang untuk tumbuh menjadi sebuah kota, dengan fungsi pemukiman, pelayanan pemerintahan, pelayanan jasa sosial dan ekonomi melalaui pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan. Melalui konsep pembangunan KTM di kawasan transmigrasi baru dan kawasan transmigrasi, menurut Dirjen P2MKT, dimaksudkan untuk mendorong strategi pemerataan pertumbuhan perekonomian serta pemerataan investasi daerah. Karenanya, imbau Dirjen P2MKT, masing-masing Pemda provinsi kepulauan diharapkan dapat menyusun rencana pembangunan, dengan pendekatan gugus pulau dan kawasan laut pulau. Implementasi pembangunan KTM di provinsi kepulauan akan disinergikan dengan pengembangan gugus pulau, sebagai pusat-pusat pertumbuhan pada setiap kawasan produksi kepulauan. Sistem penempatan transmigrasi paradigma baru juga merupakan bagian dari sistem rencana tenaga kerja nasional dalam mengatasi permasalahan pengangguran serta kemiskinan secara berkesinambungan.
View more...
Comments