Mengenang 100 Tahun HAMKA
March 15, 2017 | Author: My al iman | Category: N/A
Short Description
Download Mengenang 100 Tahun HAMKA...
Description
Mengenang 100 Tahun HAMKA
Dan Aku pun Masukkan dalam Daftarmu aji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Ham ka, lahir 16 Februari 1908 di Ranah Minangkabau, desa Kam pung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian danau Maninjau, Luhak Agam, Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Abdul Malik, sedangkan Karim berasal dari nama ayahnya, Haji Abdul Karim dan Amrullah adalah nama dari kakeknya, Syeikh Muhammad Amrullah.
H
Hamka seorang ulama multi dimensi, hal itu tercermin dari gelar-gelar kehormatan yang disandangnya. Dia bergelar “Datuk Indomo” yang dalam tradisi Minangkabau berarti pejabat pemelihara adat istiadat. Dalam pepatah Minang, ketentuan adat yang harus tetap bertahan dikatakan dengan “sebaris tidak boleh hilang, setitik tidak boleh lupa”. Gelar ini merupakan gelar pusaka turun temurun pada adat Minangkabau yang didapatnya dari kakek dari garis keturunan ibunya; Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, Penghulu suku Tanjung. Sebagai ulama Minang, Hamka digelari “Tuanku Syaikh”, berarti ulama besar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat dengan jabatan Imam Khatib menurut adat Budi Caniago.1) Sebagai pejuang, Hamka memperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI. Sedangkan sebagai intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar “Ustadzyyah Fakhryyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir, pada Maret 1959. Pada 1974 gelar serupa diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Pada upacara wisuda di gedung parlemen Malaysia, Tun Abdul Razak, Rektor Universitas Kebangsaan yang waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri menyebut ulama karismatik itu dengan “Promovendus Professor Doctor Hamka”. Ayah Hamka bernama Muhammad Rasul, pada masa mudanya lebih dikenal dengan sebutan Haji Rasul. Setelah menunaikan ibadah haji beliau mengganti
2
namanya dengan Abdul Karim lalu melekat pada namanya gelar Tuanku. Lengkaplah nama ayah Hamka itu menjadi Tuanku Syeikh Abdul Karim bin Amrullah. Beliau adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam (tajdid) di Minangkabau. Terlahir pada Ahad, 17 Safar 1296 H/10 Februari 1879 M di Kepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau, Luhak Agam, Sumatera Barat, Haji Rasul adalah putera seorang ulama berpengaruh di Nagari Sungai Batang yang kemudian lebih dikenal sebagai wilayah Nagari Danau (Maninjau) bernama Syeikh Muahammad Amrullah. Menarik untuk disimak bahwa Syeikh Muhammad Amrullah yang bergelar Tuanku Kisa-i adalah pengikut kuat mahdzab Safi’i yang memimpin Thariqat Naqsyabandiyah di Minangkabau. Kaifiyat (tata cara peribadatan) yang diberlakukan dalam aliran-aliran thariqat, misalnya ajaran “Rabithah” yang mewajibkan pengikutnya “menghadirkan” sosok guru dalam ingatannya sebelum memulai menjalankan suluk, mendapat tentangan keras Haji Rasul yang meyakininya sebagai bid’ah. Hebatnya, walau berseberangan dalam pemahaman agama, hubungan ayah anak tetap berlangsung dengan mesra lantaran Haji Rasul adalah putera kesayangan Tuanku Kisa-i dan demikian hormat serta cintanya Haji Rasul kepada ayahanda Syaikh Amrullah. Pertentangan antara “Kaum Tua” dengan “Kaum Muda” seperti itu sebenarnya telah berlangsung hampir satu abad lamanya, ditandai dengan dimulainya gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau yang dipelopori Haji Miskin dan tujuh orang ulama Minang lainnya yang termahsyur dengan julukan “Harimau Nan Salapan”. Gerakan pembaharuan Islam ini dipengaruhi kemenangan gerakan Salafiyah pada abad ke 18 di Timur Tengah yang didirikan oleh Syeikh Muhammad bin Abdil Wahab yang bertujuan memurnikan kembali agama Islam dari bid’ah, yakni amalan-amalan ibadah yang tidak pernah diajarkan Rasulullah S.A.W. Haji Miskin yang berasal dari Pandai Sikat (Luhak Agam), beserta dua orang ulama seangkatannya yakni Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) pada masa awal gerakan pembaharuan Islam itu sedang berguru di Mekah. Pada 1802, mereka kembali ke Minang dan mempropagandakan gerakan pembaharuan Islam yang mereka dapati selama belajar di Mekah. Bersama
3
Mengenang 100 Tahun HAMKA
lima orang ulama yang kemudian mendukungnya sehingga mereka dijuluki Harimau nan Salapan, Haji Miskin beserta pengikut-pengikutnya itulah yang kemudian dikenal sebagai “Kaum Paderi” yang menempati posisi penting dalam sejarah perjuangan di masa penjajahan Belanda. Di antara delapan ulama pemimpin Paderi, yang paling menonjol karena sikapnya yang tegas dalam berdakwah adalah Tuanku Nan Renceh. Beliau inilah yang mula-mula mengobarkan semangat perlawanan kepada Belanda. Pada 1901, yakni seratus tahun setelah kembalinya Haji Miskin dari Mekah yang melahirkan gerakan pembaharuan Islam di Minang, Haji Rasul pun kembali dari Mekah ke kampung halaman membawa semangat serupa hingga mencapai puncaknya dengan didirkannya perguruan Sumatera Thawalib. Maka sebelum lebih lanjut menuturkan kehidupan Hamka, patutlah diuraikan secara singkat sosok Syeikh Muhammad Amrullah dan puteranya Haji Abdul Karim Amrullah. Diuraikan juga secara singkat tradisi keulamaan di dalam keluarga Amrullah yang menurut silsilahnya sampai kepada Tuanku Pariaman alias Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampat Koto. Tradisi keulamaan keluarga Amrullah dan pergeseran pemahaman Islam tradisional masyarakat Minangkabau menuju pemahaman Islam moderen (yang mencapai puncaknya di masa dakwah Haji Rasul) inilah yang kental mewarnai perjalanan hidup Hamka kemudian.
Nenek moyang hamka DARAH PEJUANG PANGLIMA PERANG TUANKU IMAM BONJOL Tuanku Pariaman adalah seorang panglima perang Tuanku Imam Bonjol di masa perang melawan penjajah Belanda yang dikenal sebagai “Perang Paderi” (1821-1837). Dia seorang ulama dari Pauh Pariaman bernama Abdullah Arif yang datang ke Minangkabau dan bergiat dalam dakwah di “Ampat Koto Agam” yakni Koto Tuo, Koto Gadang, Bangka, dan Guguk. Tuanku Pariaman semula tidak tertarik melibatkan diri dalam konflik melawan Belanda yang telah dikobarkan Kaum Paderi, di bawah komando Tuanku Nan Renceh. Beliau menghindari konflik fisik yang akan merugikan rakyat jelata dan memilih bergiat dalam dakwah. Apalagi, gerakan pembaharuan Islam yang dibawa Harimau
4
nan Salapan semula tidak mendapat simpati kalangan ulama tua. Tak heran kalau gelombang perang yang mereka pelopori melawan Belanda pun tidak mendapat sambutan. Tetapi keadaan berubah setelah Tuanku Suruaso menyerahkan Alam Minangkabau ke tangan Belanda pada 10 Februari 1821 dan menimbulkan perlawanan di mana-mana. Minangkabau berubah menjadi lautan api, gerakangerakan dakwah terganggu karenanya sehingga para ulama terpanggil terjun ke garis depan peperangan. Perbedaan paham dalam dakwah lebur dalam semangat anti penjajahan. Konflik senjata pertama antara Belanda dengan Kaum Paderi (ulama) terjadi setelah Nagari Sulit Air diserbu tentara Belanda pada April 1821. Setelah itu peperangan berkecamuk di mana-mana dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol yang dipilih para ulama sebagai pemimpin tertinggi Kaum Paderi. Pusat pertahanan Kaum Paderi berada di Bonjol, daerah strategis yang sulit dijangkau dan dibentengi tiga daerah yang sangat kuat yakni Lawang, Matur, dan Andalas. Mustahil menjangkau Bonjol tanpa lebih dahulu menaklukkan tiga daerah yang pertahanannya dipercayakan ke pundak Tuanku Pariaman. Karena kalah dalam persenjataan dan mulai timbul bibit-bibit pembelotan membuat beberapa kantung perlawanan Paderi berhasil dikuasai Belanda. Matur pun kemudian ditaklukkan tentara Belanda yang setelah melakukan pengepungan ketat pada Agustus 1832, sepuluh tahun lebih setelah peperangan berkecamuk. Tuanku Pariaman menarik pasukan ke Andalas dan bertahan dengan gigih di sana. Belanda nyaris gagal menaklukkan Andalas karena medan yang sangat sulit. Dengan licik, Belanda mengerahkan pasukan dari Jawa yang merupakan sisa laskar Sentot Alibasya, yakni salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro saat berkecamuk perang Diponegoro di Jawa yang berakhir pada 1820. Laskar Sentot yang telah dikuasai Belanda menyerang Andalas di bawah pimpinan Tumenggung Mondrosudiro. Meski pertahanan telah pecah dan benteng Andalas telah jatuh, empat ribu pasukan Paderi di bawah komando Tuanku Pariaman bertahan mati-matian dengan tombak dan parang. Sayangnya, kekuatan sudah tidak berimbang. Tuanku Pariaman dan beberapa pengiringnya ditangkap dan sisa laskar Paderi menarik diri ke Bonjol.
5
Mengenang 100 Tahun HAMKA
Setelah Andalas jatuh, Belanda merangsek ke Lawang, lalu menaklukkan Cubadak Lilin, Merambung, dan Sungai Puar. Di Sungai Puar Belanda berhasil menangkap panglima perang Kaum Paderi lainnya, yakni Tuanku Nan Tinggi. Tertangkapnya Tuanku Nan Tinggi menyebabkan seluruh Nagari Delapan Koto menyerah dan mengakui kekuasaan Belanda. Termasuk di antara yang menyerahkan diri adalah Tuanku Mansiangan, ulama tua paling berpengaruh yang kemudian dipenggal lehernya oleh Belanda karena dianggap sebagai biang pembakar semangat perlawanan para ulama. Para panglima Paderi di Bonjol terpecah menjadi dua kubu. Yang pertama menghendaki tetap melanjutkan perlawanan sampai tetes darah terakhir, sementara yang lain menyatakan lebih baik menyerah dan melanjutkan perjuangan dengan cara lain. Tuanku Imam Bonjol sedih menghadapi perpecahan Kaum Paderi. Beliau pun memilih mengasingkan diri ke Lubuk Sikaping. Karena banyak pimpinan Paderi yang datang menyerahkan diri, Belanda dengan mudah menaklukkan Bonjol. Dari sana, Belanda mengirim pasukan menjemput Tuanku Imam di Lubuk Sikaping. Kolonel Elout yang menjadi pemimpin pasukan Belanda menawari Tuanku Imam Bonjol untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan atas Nagari Bonjol kepada angkatan muda mengingat usia beliau telah tua (60 tahun). Ini adalah akal licik Belanda untuk menguasai sepenuhnya negeri jajahan dengan mengangkat pemimpin yang telah tunduk kepada mereka. Merasa tak mungkin lagi melanjutkan perlawanan, Tuanku Imam Bonjol menyetujui usul itu. Maka diangkatlah Tuanku Muda menjadi Regen (setingkat Bupati) Alahan Panjang (Bonjol). Di luar sepengetahuan Belanda, peralihan kekuasaan itu hanyalah taktik Tuanku Imam Bonjol. Begitu Belanda melanjutkan penyerbuan ke Nagari Rao dan wilayah lainnya, Bonjol pun kembali bangkit. Tuanku Muda yang menjabat sebagai Regen mati dibunuh Tuanku Nan Garang. Tuanku Imam kembali tampil memimpin perjuangan Kaum Paderi hingga Bonjol kembali bisa ditaklukkan pada 1837, lima tahun setelah penaklukkan pertama. Setelah pertahanan pecah, Tuanku Imam Bonjol diminta menghadap Residen di Bukit Tinggi. Ini adalah tipuan licik seperti yang digunakan Belanda saat mengundang Pangeran Diponegoro berunding di Magelang tetapi kemudian
6
melucuti senjata dan menangkap Diponegoro. Di Bukit Tinggi, Tuanku Imam Bonjol tidak mendapai Residen, melainkan satu kompi tentara Belanda yang telah bersiaga dan langsung menangkapnya. Tuanku Imam dibawa ke Padang, lalu dibawa ke Jakarta. Dari Jakarta beliau diasingkan ke Cianjur, lalu ke Ambon. Terakhir Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Manado. Di sana ulama pemimpin Kaum Paderi yang harum namanya itu meninggal. Sedangkan Tuanku Pariaman yang lebih dahulu tertangkap kemudian dibebaskan setelah terjadi perjanjian-perjanjian pembebasan tawanan perang. Pemimpin-pemimpin Paderi banyak yang mendapat jabatan baru dari Belanda sebagai Regen atau Laras, jabatan adat buatan Belanda setingkat Camat di masa sekarang. Tawaran serupa diberikan kepada Tuanku Pariaman tetapi dijawab bahwa beliau akan kembali saja ke kampung-kampung yang pernah dikuasainya untuk kembali berdakwah sebagai ulama.
HAJI RASUL, TOKOH TAJDID NUSANTARA Di antara murid-murid Tuanku Pariaman, terdapat seorang ulama terkenal asal Nagari Danau (Maninjau) bernama Abdullah Saleh yang kemudian menjadi penguasa di Guguk Katur sehingga digelari Tuanku Syaikh Guguk Katur. Abdullah Saleh dikawinkan dengan puteri Tuanku Pariaman bernama Siti Saerah. Buah perkawinan mereka adalah Amrullah dan Bayanullah. Amrullah lahir pada 6 Rajab 1256 H (1839 M). Sejak kecil dia dididik secara ketat dalam ilmu agama oleh ayahnya, Tuanku Guguk Katur. Kemudian sejak usia 14 tahun, dia dibawa kakeknya Tuanku Pariaman ke Koto Tuo untuk dididik ilmu agama yang lebih tinggi. Setelah dirasa cukup, pada 1864 Amrullah kembali ke Danau setelah sebelumnya mendapat gelar ulama yakni Fakih Kisai. Sesuai tradisi di Minangkabau, seorang yang telah mampu menghafal Al Qur’an mendapat gelar Fakih. Tingkat yang lebih tinggi adalah Syaikh, kemudian Tuanku. Nama Kisa-i diambil dari nama salah seorang di antara tujuh Qari’ (ahli membaca Qur’an) yang mahsyur di masa Rasulullah. Fakih Kisa-i kemudian menjadi ulama terkenal yang mengembangkan Thariqat Naqsyabandiyah dan segera mendapat gelaran Syaikh, kemudian bergelar ulama tertinggi yaitu Tuanku Kisa-i. Mengikuti tradisi dakwah matrilineal Minangkabau, Tuanku Kisa-i kerap melakukan perjalanan jauh
7
Mengenang 100 Tahun HAMKA
untuk berdakwah dan mengajarkan thariqat. Seiring namanya yang kian harum, Tuanku Kisa-i merasa perlu menambah ilmu agamanya, sehingga kemudian berangkat ke Mekah. Lima tahun Tuanku Kisa-i menetap di Mekah dan berguru kepada ulama mahsyur Sayid Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Hasbullah, dan beberapa ulama lain. Di antara santri seangkatannya yang lebih muda usia dari beliau adalah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabauwi yang kelak menjadi ulama besar sekaligus guru dari putera Tuanku Kisa-i yaitu Abdul Karim bin Amrullah. Sekembali dari mekah, nama Tuanku Kisa-i makin harum dan berpengaruh sehingga dalam catatan Hamka terdapat kisah-kisah di seputar kakeknya itu yang terkesan mengeramatkan sosok ulama tersebut. Walau kisah-kisah itu berasal dari saksi sejarah, namun Hamka tidak memberi penekanan berlebih karena dia lebih cenderung kepada gerakan tajdid ayahnya, Abdul Karim Amrullah, yang menentang juga pengkultusan terhadap ulama. 2) Dalam tradisi keagamaan di Minang, seorang yang dipandang sebagai ulama besar akan menarik suku-suku adat untuk “menjemput” sang ulama. Artinya, ulama tersebut diminta menikahi salah seorang anak gadis dari suku yang menjemput. Demikian halnya dengan Tuanku Kisa-i yang beberapa kali “dijemput” oleh ninik mamak suku lain sehingga beliau mempunyai beberapa istri. Dari Andung Tarwasa, istri ke tiga beliau asal Batung Panjang, Tuanku Kisa-i memiliki tujuh anak. Dua anak pertama perempuan, lalu lahir anak ke tiga pada 10 Februari 1879 yang diberi nama Muhammad Rasul. Sejak kecil Muhammad Rasul telah menunjukkan bakat kecerdasan. Orangtuanya pun mendidik secara ketat dalam kehidupan beragama karena di pundaknyalah tertumpu tongkat estafet keulamaan Tuanku Kisa-i. Sejak usia tujuh tahun, Muhammad Rasul telah diwajibkan mendirikan shalat dan puasa pada bulan Ramadan. Selanjutnya pada usia 10 tahun, paman beliau yang bernama Haji Abdus Samad membawanya ke Sibalantai, Tarusan, Painan, untuk belajar al-Quran kepada Tuanku Haji Hud dan Tuanku Pakih Samnun. Setahun kemudian beliau pulang ke Sungai Batang, lalu belajar menulis dalam huruf Arab kepada Adam, anak seorang ulama Minang bernama Tuanku Said. Tuanku Said adalah murid Tuanku Kisa-i yang menonjol. Pada usia 13 tahun, Muhammad Rasul mulai belajar ilmu Nahwu dan Sharaf
8
dari ayahnya. Setelah tamat, ayahnya mengantar anak itu ke Sungai Rotan, Pariaman, untuk menuntut ilmu kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf. Empat tahun Muhammad Rasul berguru pada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf. Pada 1894, saat berusia 17 tahun, Tuanku Kisa-i membawa anaknya ke Mekah untuk memperdalam pengetahuannya pada ulama-ulama Mekah. Menurut catatan Hamka, guru utama Muhammad Rasul ialah Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi. Beliau juga berguru kepada Syeikh Abdullah Jamidin, Syeikh Utsman Sarawak, Syeikh Umar Ba Junaid, Syeikh Saleh Ba Fadhal, Syeikh Hamid Jeddah, Syeikh Sa’id Yaman, dan seorang penganut paham pembaharuan Islam yaitu Syeikh Tahir Jalaluddin. Saat belajar di Mekah, Muhammad Rasul menunaikan ibadah haji. Sesuai tradisi pada waktu itu, beliau mengganti namanya menjadi Karim Amrullah. Tetapi sepulang beliau ke Minangkabau (1901), Tuanku Kisa-i lebih senang memperkenalkan anaknya itu kepada masyarakat dengan kata-kata, “Inilah anakku Rasul yang telah berhaji,” sehingga orang lebih sering memanggilnya Haji Rasul. Mengenai salah seorang guru Haji Rasul yang mempunyai pengaruh besar, Hamka menulis: “Dan pernah juga belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani, pengarang kitab Al-Anwarul Muhammadiyah. Syeikh ini jadi terkenal kerana dia benci kepada Syeikh Muhammad Abduh! (Karangan-karangannya itu besar pengaruhnya di kalangan ulama-ulama tua di Indonesia, sehingga payah menghapuskannya).”3) Dari keterangan Hamka di atas, hanya dua orang ulama yang berasal dari dunia Melayu yang menjadi guru Haji Rasul di Mekah. Mereka adalah Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi (Syeikh Ahmad Khatib yang berasal dari Minangkabau) dan Syeikh Utsman Sarawak. Namun Wan Mohd Shaghir Abdullah, ulama Malaysia asal Riau yang dijuluki “Penulis Ulama Nusantara” menyebut juga dari sumber-sumbernya bahwa Haji Rasul berguru kepada ulamaulama Melayu lain yang terkenal di Mekah ketika itu. Di antara mereka adalah Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh Wan Ali al-Kalantani, dan Syeikh Ahmad al-Fathani yang merupakan kakek Wan Mohd. Shaghir Abdullah.4) Shaghir Abdullah, yang disebut-sebut sebagai “Perpustakaan Hidup Manuskrip Klasik Melayu” itu, menggarisbawahi catatan Hamka yang menyebut bahwa Haji Rasul “pernah juga belajar daripada Syeikh Yusuf Nabhani”. Berdasar
9
Mengenang 100 Tahun HAMKA
penelitian yang dilakukannya, Syeikh Yusuf Nabhani adalah ulama di Beirut yang tidak pernah mengajar di Mekah. “Kemungkinan,” tulis Shaghir Abdullah, “Haji Rasul Amrullah pernah mendatangi dan belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani di Beirut. Tidak terdapat keterangan lanjut baik dari Buya Hamka maupun literatur lain mengenai hal ini.”5) Menilik masa-masa pembelajaran Muhammad Rasul di Mekah antara 1312 H/1894 M hingga musim haji 1323 H/Januari-Februari 1906 M dan kepulangan beliau ke Minangkabau tak lama setelah itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa Haji Rasul seangkatan dengan beberapa orang ulama Melayu yang agak berdekatan tahun kelahirannya dan sempat belajar kepada guru-guru yang sama di Mekah. Mereka ialah Syeikh Muhammad Sa’id dari Linggi, Kadi Haji Abu Bakar Hasan Muar, dari Johor, Syeikh Abdul Hamid Mahmud Talu, dari Minangkabau, Tengku Mahmud Zuhdi al-Fathani, dan banyak lagi. Ulama-ulama tersebut di atas dikenal sebagai tokoh-tokoh golongan menggunakan istilah populer masa itu- “Islam Tua” atau dalam istilah sekarang Islam Tradisional. Maka agak mengherankan ketika timbul pertentangan yang luar biasa antara Haji Rasul dengan ayahnya, Tuanku Kisa-i, sepulang beliau ke Minangkabau. Pertentangan itu disebabkan perbedaan tajam dalam jalan pemikiran dan pemahaman Islam di antara keduanya. Tuan Kisa-i yang berharap puteranya akan melanjutkan tradisi pemikiran “Islam Tua” ternyata mendapati di dalam diri Haji Rasul telah tumbuh pemikiran-pemikiran baru yang bertentangan dengan tradisi Islam di Minangkabau. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya hanya seorang saja guru Haji Rasul yang termasuk dalam golongan “Islam Muda” atau saat ini kita menyebutnya Islam moderen, yakni Syeikh Tahir Jalaluddin. Demikian juga kitab-kitab klasik yang didalami Muhammad Rasul seperti kitab Fath al-Mu’in, Tafsir Jalalain, dan lain-lain adalah rujukan utama golongan “Islam Tua”. Namun telah diketahui bahwa Syeikh Tahir Jalaluddin bersama Syeikh Muhammad Nur al-Fathani dan Syeikh Basiyuni Imran (Maharaja Imam Sambas) adalah murid-murid utama Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha, pelopor pembaharuan Islam di Mesir. Ajaran Tahir Jalaluddin rupanya sangat mempengaruhi pemahaman agama Muhammad Rasul. Haji Rasul sangat mengagumi kitab Tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridha. Kitab itu begitu mewarnai
10
jalan pemikirannya, melebihi pendalaman ilmu dari kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan Syeikh Muhammad Abdul Wahhab. Dari sana, Haji Rasul pun mulai mendalami kitab-kitab karangan Syeikh Muhammad Abduh, tokoh yang kemudian menjadi patron ke-Islamannya. Di dalam “Ayahku”, Hamka menguraikan dengan jujur pertentangan pemikiran Islam di antara dua tokoh yang tak lain adalah ayah dan kakeknya. Kejujuran Hamka ini mencerminkan kebesaran dirinya karena tak segan menyampaikan kepada khalayak “sesuatu yang tabu” menyangkut darah dagingnya sendiri. Namun demikian, kehalusan budi dan kebijakasanaan Hamka kuat tercermin dengan tidak menggambarkan pertentangan Tuan Kisa-i dengan Muhammad Rasul secara personal. Hamka hanya mengurai masalah perbedaan pemahaman agama yang memang harus disampaikan sebagai pelajaran untuk umat. Tulis Hamka, “Kedatangan (Haji Rasul-pen) di kampung disambut dengan gembira oleh ayahnya dan orang kampung, baik kalangan lebai-lebai atau kalangan ninik-mamak. Tetapi kegembiraan itu akhirnya akan kecewa juga ... Syeikh Ahmad Khatib (Minangkabauwi-pen) juga seorang sufi, tetapi beliau tidak menyetujui cara tarekat yang memakai kaifiat-kaifiat yang bidaah-bidaah itu. Padahal Syeikh Amrullah (Tuan Kisa-i) sendiri adalah Syeikh Thariqat Naqsyabandi.”6) Meski dengan tegas Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi melarang praktik-praktik agama yang dicemari “kaifiat-kaifiat yang bid’ah-bid’ah” (dan hal itu pula yang kemudian diajarkan oleh Haji Rasul sepulang ke Minangkabau), tetapi banyak di antara murid-murid Syaikh Ahmad Khatib yang tetap konsisten mengamalkan thariqat. Di antara mereka yang terkenal ialah Syeikh Khathib Ali bin Abdul Muthalib al-Khalidi an-Naqsyabandi yang menyusun kitab “Miftah al-Din”. Juga ulama “Kaum Tua” lain bernama Syeikh Sulaiman ar-Rasuli. Kuatnya thariqat waktu itu menyebabkan ajaran Haji Rasul banyak mendapat tentangan dari ulama-ulama Minangkabau. Yang paling keras menentang adalah Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka. Haji Rasul pernah meminta fatwa kepada guru besarnya, Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi mengenai kaifiat-kaifiat dalam thariqat Naqsyabandiyah. Pertanyaan Haji Rasul dijawab Syeikh Ahmad Khatib dengan menulis sebuah kitab yang mengupas kesalahan-kesalahan thariqat Naqsyabandiyah. Oleh
11
Mengenang 100 Tahun HAMKA
Muhammad Sa’ad Mungka, kitab itu dibantah dengan menulis kitab tandingan yang membela thariqat. Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi sangat marah membaca kitab karangan Muhammad Sa’ad Mungka sehingga menulis lagi sebuah kitab yang “menguliti” dalil-dalil pembelaan thariqat Naqsyabandiyah yang dikemukakan Muhammad Sa’ad Mungka. Haji Rasul gembira mendapatkan penegasan dari gurunya bahwa penentangannya terhadap praktik-praktik bid’ah “Kaum Tua” adalah benar. Kitab-kitab tulisan Syeikh Ahmad Khatib memberinya inspirasi untuk menulis kitab serupa guna mendukung usaha dakwahnya. Sejak saat itu, Haji Rasul rajin menulis. Setidaknya ada 26 judul kitab yang disusunnya. Oleh Hamka, karya-karya ayahnya dibagi dalam dua kategori periodisasi. Periode pertama, adalah kitab-kitab yang ditulis dalam rentang waktu 1908 hingga 1923 berjumlah 15 judul. Periode ke dua, yakni 11 judul kitab yang ditulis antara 1928 hingga 1943, yaitu setelah Haji Rasul mengikuti Kongres Islam di Mesir. Menurut Hamka, “Karangan-karangannya itulah yang menjadi ‘soal besar’ dan ‘membuat ribut’ dalam zamannya.” Melalui kitab-kitabnya, Haji Rasul menyebaran ajaran-ajaran yang dianggap “ganjil” dan “moderen”. Ajaran-ajaran itu telah menggoncangkan masyarakat Minang pada 1920-an. Sebagai gerakan pembaharuan pada masa-masa yang sangat awal, penentangan datang dari banyak pihak yang tidak suka. Bahkan di Malaysia buku-buku karangan Haji Rasul dilarang beredar. Hamka menulis, “Sehingga bukubuku itu dilarang dibaca dalam kerajaan Melayu: Johor, Pahang, Perak, Kelantan, Terengganu, Perlis, Selangor, dan Negeri Sembilan. Sebab menyebarkan bibit Kaum Muda!”. Peran Haji Rasul dalam gerakan pembaharuan Islam mencapai puncaknya ketika beliau menjadi salah seorang anggota redaksi Majalah Islam “Al Munir”. Majalah ini didirikan oleh rekan seperjuangan Haji Rasul yaitu Haji Abdullah Ahmad di Padang. Edisi perdananya terbit pada 1 April 1911. Haji Rasul mengasuh rubrik tanya jawab seputar agama Islam. Pemikiran-pemikiran beliau yang tertuang dalam rubrik itu begitu mengguncang paham Islam tradisional sehingga “Al Munir” mendapat sambutan luas dari pembaca. Di rubrik tanya jawab itu, Haji Rasul menggunakan nama pena H.A.K.A., akronim dari namanya setelah berhaji yaitu Haji Abdul Karim (bin) Amrullah. Kedalaman wawasan agama H.A.K.A. memang telah diakui masyarakat
12
luas, baik di kawasan Nusantara (Melanesia) bahkan sampai ke Timur Tengah. Pengukuhan atas intelektualitas Haji Rasul adalah dengan diterimanya penghargaan gelar Doktor Honoris Causa di bidang agama pada Konferensi Khilafah di Kairo, tahun 1926.7) Selain itu beliau juga dikenal sangat berani melawan pemerintahan kolonial Belanda, juga kepada penjajah Jepang. Pada saat pendudukan Jepang, dia terangterangan menolak kewajiban seikerei (hormat bendera yang dilambangkan dengan dewa matahari), dengan ritual sejenis ruku’ dalam Islam sebagai bentuk penghormatan kepada Kaisar Jepang. Luasnya wawasan dan keteguhan sikap seperti itulah yang kemudian diaktualisasikan ke dalam dakwah melaui “Al Munir”. Sebagai corong gerakan pembaharuan Islam, pengaruh “Al Munir” yang demikian hebat tidak hanya terasa di Minangkabau, tetapi seluruh Sumatera, bahkan hingga Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Malaysia. Di Yogyakarta, dengan meminta izin kepada Haji Abdul Karim, “Al Munir” diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan, tokoh gerakan pembaharuan Islam di Jawa, menggunakan “Al Munir” sebagai materi pelajaran bagi murid-muridnya dalam organisasi Muhammadiyah yang didirikannya pada 1912. Sebaliknya, pertemuan Haji Abdul Karim Amrullah dengan KH. Ahmad Dahlan dalam kunjungannya ke Yogyakarta pada 1917, telah mengilhami berdirinya perguruan “Sumatera Thawalib”. Perguruan ini didirikan oleh muridmurid H.A.K.A. pada 1918 dan diikuti berdirinya perkumpulan-perkumpulan murid (thawalib) di berbagai daerah di Sumatera dengan nama masing-masing. Di “Sumatera Thawalib” yang mengadopsi model sekolah modern ala Muhammadiyah, H.A.K.A. mengajar sebagai guru kelas VII. Majalah Islam pertama di Tanah Air itu diilhami Majalah Islam yang diterbitkan Muhammad Abduh dan Sayid Jamalludin Al-Afghani selama dalam masa pembuangan di Paris. Majalah berjudul “Al Urwatul Wutsqa” itu terbit perdana pada 13 Maret 1884, namun tidak berumur panjang. Kurang dari setahun dan hanya sempat terbit 18 edisi, “Al Urwatul Wutsqa” tidak lagi terbit. Sayid Jamalludin Al-Afghani wafat pada Maret 1896. Sebelumnya, Muhammad Abduh telah mendapat pengampunan dan kembali ke Mesir. Rasyid Ridha, murid utama Muhammad Abduh menyusul gurunya ke Mesir kemudian
13
Mengenang 100 Tahun HAMKA
menerbitkan kembali sebuah Majalah Islam berjudul “Al Manar” pada 1898 sebagai kelanjutan “Al Urwatul Wutsqa”. Majalah ini tutup pada 1937 setelah Rasyid Ridha wafat pada tahun yang sama. Pengaruh kedua majalah itu mendunia. Seorang ulama Singapura bernama Muhammad bin Salim Alkalali bersama sahabatnya Muhammad Taher bin Muhammad Jalaluddin Al Azhari asal Minangkabau pun menerbitkan Majalah Islam “Al Imam” pada 1906. Salah seorang wakil (kontributor) adalah Haji Abdul Karim bin Tuanku Kisa-i. Majalah ini tutup pada 1909, disusul kemudian terbitnya “Al Munir” di Padang. Produktifitas Haji Abdul Karim Amrullah dalam menulis kitab dan kepiawaiannya berdakwah melalui dunia jurnalistik ini kelak menurun kepada Hamka, suatu kelebihan yang jarang dimiliki ulama-ulama seratus tahun setelah Hamka dilahirkan.
KELUARGA HAJI RASUL Ketika pertama kali pergi ke Mekah untuk berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabauwi, Haji Rasul menetap di negeri itu selama tujuh tahun (1894-1901). Sekembali ke kampung halaman, beliau dilantik sebagai “putera mahkota” Tuanku Kisa-i dengan diberi gelar Tuanku Syeikh Nan Mudo. Bersamaan dengan itu, ayahnya pun mendapat gelar Tuanku Syeikh Nan Tuo. Tak lama berada di Nagari Danau, Haji Rasul dinikahkan dengan Raihanah binti Haji Zakaria dari suku Tanjung. Pernikahan ini berlangsung atas permintaan ayahnya. Maksud Tuanku Kisa-i adalah meredakan gelora anak muda yang baru saja menimba ilmu di seberang lautan itu. Rupanya, siasat ayahnya tersebut mengena. Haji Rasul demikian bahagia dinikahkan dengan gadis cantik yang disebutnya sebagai Raihanatu Qalbi (bunga yang mekar di hati), dan agak berkuranglah kebengalannya akibat bergaul intens dengan guru yang radikal selama tujuh tahun di Mekah. Pernikahan itu berbuah seorang puteri yang dinamai Fathimah. Sedang hangat-hangatnya membina keluarga baru, Tuanku Kisa-i kembali mengutus Haji Rasul ke Mekah untuk mengantar adik-adiknya berguru di sana. Maka Haji Rasul pun berangkat beserta istri tercinta walau harus meninggalkan Fathimah dalam asuhan salah seorang bibinya karena ibunda Raihanah (nenek
14
Fathimah) keberatan jika cucu kesayangannya dibawa ke Mekah. Di Mekah, Haji Rasul kembali menghadap Syaikh Ahmad Khatib Minangkabauwi untuk kembali menimba ilmu dari sang guru. Tetapi Syeikh Ahmad Khatib menolak maksud Haji Rasul karena dinilainya anak murid itu sudah cukup memiliki ilmu untuk menjadi seorang guru. Beliau pun ditugasi mengajar ilmu agama dan hanya diijinkan menemui gurunya jika menemukan persolan yang tak mampu dijawab sendiri oleh Haji Rasul. Demikian gembira Haji Rasul mendapat tugas baru yang diartikannya sebagai pengakuan bahwa ilmu agamanya telah cukup. Dia pun bertekad menetap lebih lama lagi di Mekah. Kebahagiaannya semakin lengkap ketika Raihanah kembali hamil. Namun di tengah kebahagiaan itu, Allah memberikan ujian berat baginya; bayi lakilaki yang dilahirkan istri tercinta meninggal dalam usia satu hari. Setelah itu, Raihanah jatuh sakit dan kondisi kesehatannya terus memburuk sehingga lima bulan kemudian menyusul putera mereka kembali ke haribaan Allah S.W.T. Haji Rasul begitu berduka. Tekadnya untuk menetap di Mekah pupus. Beliau pun memenuhi panggilan Tuanku Kisa-i untuk kembali ke Maninjau dan melanjutkan tugas sebagai pemimpin umat di kampung halaman. Setelah mengerjakan haji pada 1906 dan memakai mengganti namanya dengan Abdul Karim, beliau pulang. Pembesar-pembesar suku Tanjung yang kecewa karena terputus hubungan dengan keluarga Amrullah meminta Haji Rasul menikahi adik mendiang istrinya yang bernama Siti Syafiah Tanjung binti Haji Zakaria. Padahal waktu itu Syafiah telah ditunangkan dengan anak Tuanku Laras. Tetapi dengan segala resiko, pertunangan itu dibatalkan keluarga demi mempertahankan hubungan kekerabatan dengan keluarga Amrullah. Maka Haji Rasul pun setuju menikahi Syafiah. Sebelumnya Haji Rasul telah menikah dengan gadis bernama Hindun, mendapatkan beberapa anak yang semua meninggal di masa kecil. Hanya anak bungsu bernama Abdul Wudud yang berumur panjang. Sedangkan pernikahannya dengan Syafiah yang merupakan istri ke tiga, beliau memperoleh empat anak; putera yang paling tua dinamai Abdul Malik (Hamka), lalu Abdul Kudus, kemudian puteri ke tiga bernama Asma, dan bungsu bernama Abdul Mu’thi. Setelah Syafiah, Haji Rasul juga menikah dengan Rafi’ah binti Sutan
15
Mengenang 100 Tahun HAMKA
Palembang. Sama seperti pernikahannya dengan Hindun, dari Rafi’ah Haji Rasul memperoleh beberapa anak yang meninggal pada usia dini. Hanya anak bernama Abdul Bari yang mencapai usia 25 tahun (meninggal dalam penjara di Padang, dihukum karena menulis buku Suluh yang Gilang Gemilang). Haji Rasul kemudian bercerai dari dua istrinya, yakni Syafiah dan Rafi’ah. Beliau hidup bersama dengan Hindun dalam waktu yang lama. Pada tahun 1941 Syeikh Amrullah alias Haji Rasul ditangkap dan diasingkan oleh pihak Belanda ke Sukabumi karena fatwa-fatwa yang dikeluarkannya dianggap potensial mengganggu keamanan dan keselamatan umum pada masa itu. Akhirnya beliau wafat di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, dua bulan sebelum proklamasi. Pada 1976 makamnya dipindahkan ke kampung halamannya, Muara Pauh-Sungai Batang, Maninjau.
Abdul Malik Karim Amrullah, Melanjutkan Jejak Ayah Abdul Malik lahir pada Ahad malam, 16 Februari 1908 bertepatan dengan 13 Muharram 1326. Tangal lahir ini menjadi istimewa jika dikaitkan dengan meninggalnya Tuanku Kisa-i (kakek Abdul Malik) pada Senin, 2 Rabi’ul Akh1325 H. Jika dihitung, Abdul Malik dilahirkan tepat 9 bulan 10 hari setelah kakeknya meninggal. Suatu kali, nenek Tarwasa (istri Tuanku Kisa-i yang berusia lebih panjang daripada suaminya) pernah berkata kepada Abdul Malik bahwa secara fisik dan pembawaan diri, ia lebih mirip Tuanku Kisa-i daripada Haji Rasul. Tentu saja Allah menciptakan setiap individu sebagai mahluk-Nya yang berbeda. Adapun peristiwa serba kebetulan itu menjadi terasa istimewa, sesungguhnya rahasianya berada di tangan Allah semata. Wallahua’lam.
Masa Kecil Di masa kecilnya Abdul Malik yang biasa dipanggil Malik, hidup di kampung bersama ayah bundanya. Dia merupakan anak kesayangan Haji Rasul karena sebagai anak lelaki tertua, Malik menjadi tumpuan untuk melanjutkan kepemimpinan umat. Tetapi metode dakwah Syeikh Abdul Karim yang cenderung keras dan tak kenal kompromi terbawa pula dalam cara beliau mendidik anak-anaknya. Hal itu rupanya tidak begitu berkenan di hati Malik.
16
Ia tumbuh menjadi anak dengan jiwa pemberontak. Sebagaimana umumnya anak-anak di Minangkabau, dia belajar mengaji dan tidur di surau selain belajar pencak silat. Dia juga masuk sekolah desa sampai kelas 2 tingkat dasar. Sore harinya ia belajar agama di Sekolah Diniyah (sekolah agama-madrasah) yang didirikan oleh Engku Zainuddin Labai ElYunusi ulama yang sepaham dengan Haji Rasul.8) Oleh Hamka dilukiskan pada masa itu merupakan zaman yang seindahindahnya pada dirinya. Pagi pergi ke sekolah dengan bergegas, supaya dapat bermain sebelum bersekolah, sampai pukul sepuluh tengah hari. Kemudian bermain-main lagi, bercari-carian (petak umpet), main galah, bergelut, bertinju, main banting-bantingan, seperti layaknya anak-anak lainnya bermain. Tapi kemudian masa kecilnya yang indah itu berakhir. Malik mengikuti ayahandanya yang mengajar di Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan tinggal di sana. Ia berkesempatan belajar di perguruan Thawalib yang dipimpin oleh ayahnya selama beberapa waktu, namun tak sampai tamat. Selama belajar di Thawalib, ia bukan termasuk anak yang pandai. Malik sangat malas belajar dan seringkali meninggalkan sekolahnya selama beberapa hari. Malik berpembawaan romantis. Salah satu kesukaannya ialah mengembara mengunjungi perguruan pencak silat, mendengar senandung dan Kaba, yaitu kisah-kisah rakyat yang dinyanyikan dengan alat musik tradisional, rebab dan saluang (alat musik tiup khas Minang). Kegemarannya yang lain ialah menonton film, bahkan demi hobinya itu ia pernah mengelabui ayahandanya yang merupakan guru mengajinya, dalam memenuhi hasratnya menonton. Melalui hobbi itulah seringkali ia mendapat inspirasi untuk menulis. Mengenai sifat pemberontak dan kesenangannya mengembara, Hamka dalam salah satu bukunya berjudul “Falsafah Hidup” menulis, “Tetapi entah bagaimana, dari umur sepuluh tahun, telah tampak jiwa saya melawan beliau.... Jiwa beliau adalah jiwa diktator.... Kalau sekiranya cara beliau mendidik itu sajalah, maulah saya terbuang, menjadi anak yang tidak berguna. Saya tidak mau pulang ke rumah, saya tidak mau mengaji, saya bosan mendengar kitab Fiqh yang diajarkan di Thawalib.” Selain sifat keras Haji Rasul dalam mendidik anak-anaknya, kerenggangan hubungan itu bisa juga dipahami oleh karena kesibukan ayahnya sebagai da’i kelana dalam tradisi matrilineal Minangkabau. Haji Rasul kerap meninggalkan
17
Mengenang 100 Tahun HAMKA
rumah dalam waktu lama untuk memenuhi panggilan dakwah, sehingga Malik kecil lebih dekat kepada salah seorang pamannya. Saat Malik berusia 12 tahun, kedua orangtuanya bercerai. Hal ini berakibat terhadap perkembangan kejiwaannya. Malik merasa kurang mendapatkan kasih sayang yang sewajarnya dari kedua orangtuanya. Apalagi ibunya pun kemudian menikah lagi dengan orang lain. Perceraian itu juga mengakibatkan keretakan hubungan keluarga besar ayah-ibunya. Malik yang kemudian mengikuti ayahnya pindah ke Padang Panjang, harus menghadapi cemoohan dari keluarga ayahnya sendiri. Menurut adat Minang, seorang anak lelaki dianggap tidak pantas tinggal bersama ayahnya yang tidak lagi beristrikan ibu kandungnya. Sebaliknya, untuk tinggal bersama ibunya pun Malik tidak merasa nyaman, karena ada bapak tiri. Beruntung neneknya begitu menyayangi Malik sejak bocah itu dilahirkan. Malik pun tinggal dan lebih banyak menghabiskan masa kecil bersama Neneknya. Kondisi Malik menimbulkan kekhawatiran yang mendalam pada ayahnya, sebab seperti diutarakan sebelumnya, dia adalah tumpuan harapan Haji Rasul untuk melanjutkan kepemimpinan umat. Haji Rasul pun mengirim Malik belajar pada Syeikh Ibrahim Musa di Parabek, lima kilometer dari Bukittinggi. Saat itulah minat baca Malik mulai nampak. Ia rajin menyimak karya-karya sastra baik yang berbahasa Melayu maupun bahasa Arab. Kegemarannya membaca serta mengembara sambil menikmati sekaligus mengagumi keindahan panorama alam Minangkabau yang memiliki bukit-bukit, gunung-gunung dan danau ditambah lingkungan keluarga yang taat beragama, telah menjadi dasar pertama bagi pertumbuhan jiwa seorang Abdul Malik di masa mudanya.9)
Menemukan Jati Diri Sepanjang abad ke-19, pembaharuan Islam merupakan wacana dominan di Mekah dan Madinah. Sebagai jantung dunia Islam, perkembangan ini meluas sampai ke Ranah Minang, dibawa oleh banyak ulama negara-negara Melayu yang mengkaji langsung ilmu agama di pusatnya, Mekah. Keadaan itu mengancam posisi adat dan thareqat yang menjamur di Sumatera Barat sejak abad ke-18, menyusul kemunduran Pagarruyung sebagai pusat teladan. Serangan pertama terhadap adat-thareqat datang bersama kepulangan tiga
18
ulama (Haji Miskin dan kawan-kawan) pada 1802. Penetrasi ajaran mereka mengobarkan pertikaian, berujung Perang Paderi. Serangan kedua meledak menyusul kepulangan ayah Abdul Malik dari Mekkah (1901 dan 1906), yang mengibarkan bendera “Kaum Muda”, berhadapan dengan “Kaum Tua”, bahkan ayahnya sendiri, Syekh Amrullah (Tuanku Kisa-i) yang menjadi pemimpin thareqat Naqsabandiyah di Sumatera Barat. Pada masa-masa seperti itulah Abdul Malik mulai menapaki dunia ilmu pengetahuan (agama). Dia menyaksikan arkeologi pengetahuan yang terbelah. Jejak-jejak Islam thareqat masih tersisa yang berhadap-hadapan dengan wacana bar u pembaharuan Islam. Kondisi demikian sangat mempengar uhi perkembangan pribadi Abdul Malik karena pelaku-pelaku sentral sejarah perkembangan Islam di Nusantara, khususnya Sumatera Barat, itu tak lain kakek dan ayah kandungnya sendiri. Pergesekan antara dunia kakek dan ayah mendorong Abdul Malik untuk melampauinya. Walau hanya berbekal pendidikan formal yang minim, yakni antara 1916 sampai 1923 ia belajar agama pada lembaga pendidikan Sekolah Diniyah di Parabek, kemudian dilanjutkan belajar di Sumatera Thawalib di Padang Panjang yang didirikan murid-murid ayahnya, Abdul Malik memiliki kecerdasan alami yang menojol. Kemampuan baca tulis (Arab, Latin, dan Jawi)-nya di atas rata-rata. Dipicu keberjarakan dengan ayah dan etos perantauan Minangkabau, mendorong Abdul Malik mengembara mencari jati diri. Memasuki abad 20, di pulau Jawa mulai timbul gerakan-gerakan politik dan keagamaan, seperti Sarekat Islam yang dipimpin oleh Haji Omar Said Tjokroaminoto. Juga Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta, yang alirannya sejalan dengan paham pemikiran Haji Rasul. Selain itu gerakan-gerakan nasionalis juga mulai timbul, kesemuanya bertujuan untuk menuntut kemerdekaan Indonesia di bawah pimpinan Soekarno. Bahkan aliran komunis juga muncul di Jawa dipelopori oleh Alimin, Tan Malaka dan lain-lain. Berita-berita sekitar kebangkitan partai politik itu telah sampai juga ke Minangkabau dan menjadi buah pembicaraan khalayak di sana. Ini menjadi dorongan kuat bagi Abdul Malik sehingga pada 1924 ia merantau ke Jawa dengan Yogyakarta. Di Yogyakarta, Abdul Malik menumpang di rumah pamannya Jakfar
19
Mengenang 100 Tahun HAMKA
Amrullah, seorang pedagang batik. Selama bermukim di sana, dia aktif mengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Organisasi Sarekat Islam, bahkan masuk menjadi anggota organisasi yang kemudian menjadi partai politik itu. Dalam beberapa hal ia belajar langsung pada H.O.S. Tjokroaminoto, pimpinan Sarekat Islam. Abdul Malik juga mereguk pengetahuan sosiologi dari Soerjopranoto, filsafat dan sejarah (Islam) dari K.H. Mas Mansur, dan tafsir dari Ki Bagus Hadikusumo. Di Jawa, Abdul Malik juga sempat mengembara ke Bandung, bertemu tokoh Masyumi A. Hassan dan M. Natsir yang memberinya kesempatan belajar menulis dalam majalah “Pembela Islam”. Di luar PSI, Abdul malik aktif sebagai anggota Muhammadiyah, syarikat keIslaman yang memiliki kesesuaian paham dengannya. Dia pun berkenalan dan rajin mengikuti pengajian yang diberikan pemimpin-pemimpin Muhammadiyah seperti K.H.Mochtar, K.H.Fachruddin, dan lain-lain. Beberapa lama di Yogyakarta, Abdul Malik menemui A.R.Sutan Mansur, suami kakak tirinya Fatimah (anak Haji Rasul dari isteri pertama) di Pekalongan. Abdul Malik pun berguru pada A.R.Sutan Mansur yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Keterlibatan Abdul Malik dalam jaringan organisasi dan penambahan pengetahuan yang demikian luas membentuknya menjadi ulama muda berjiwa kosmopolitan. Namun, sebagai putera Minang, Abdul Malik tetap memiliki etos puritan dalam keluwesan pergaulan disertai kelapangan jiwa yang mengantarnya menjadi pribadi berkarakter dan produktif dengan tetap toleran dan estetik dalam usia yang masih belia. Pada 1925, Abdul Malik kembali ke Minang. Walau masih dalam usia 17 tahun, ia telah menjadi ulama muda yang disegani. Keterpikatannya pada seni dakwah di atas panggung yang ditemuinya pada orator-orator ulung di Jawa, membuatnya merintis kursus-kursus pidato untuk kalangan seusianya. Abdul Malik rajin mencatat dan merangkum pidato kawan-kawannya, kemudian diterbitkan menjadi buku. Dia sendiri yang menjadi editor buku yang diberi judul “Khatib ul-Ummah”. Inilah karya perdana Abdul Malik sebagai seorang penulis. Melihat perkembangan buah hatinya yang demikian hebat dalam hal tulis menulis dan pidato, Haji Rasul sangat gembira. Namun menuruti adatnya yang keras, yang tercetus justru sebuah kritik tajam, “Pidato-pidato saja adalah
20
percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidatopidatomu itu”.10) Dua tahun di kampung halaman, pada 1927 Abdul Malik pergi tanpa pamit kepada ayahnya untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam pengetahuan (Islam) pada ulama-ulama di sana. Dia sengaja kabur dari rumah sebagai jawaban atas kritik ayahnya. Dari Mekah, dia pun berkirim surat kepada ayahnya, memberitahukan bahwa dia telah menunaikan ibadah haji. Di Mekah, Abdul Malik sempat bekerja di perusahaan percetakanpenerbitan milik Tuan Hamid, putra Majid Kurdi yang merupakan mertua Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi, Imam dan Khatib Masjidil Haram, guru besar ayahnya. Di tempatnya bekerja itu, “kegilaan” Abdul Malik dalam membaca kitab terpenuhi dengan melimpahnya kitab-kitab klasik, buku-buku dan majalah– buletin Islam dalam Bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya. Tujuannya bekerja, selain agar bisa menumpang hidup adalah untuk menyerap ilmu Syeikh Ahmad Khatib yang begitu diidolakan ayahnya. Setelah menunaikan haji (sejak saat itu menyandang nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah - Hamka), dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa H. Agus Salim. Tokoh Muhammadiyah itu menyarankan agar Hamka segera pulang ke Tanah Air. “Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri,” kata Agus Salim.11) Kata-kata pemimpin besar itu oleh Hamka dianggap sebagai suatu “titah”. Ia pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukim di Mekah. Tetapi bukannya pulang ke Padang Panjang di mana ayahnya tinggal, Hamka malah menetap di Medan, kota tempat berlabuh kapal yang membawanya pulang.
Produktif Menulis Di Medan Hamka mulai mengirimkan tulisan-tulisannya untuk Surat kabar Pembela Islam di Bandung dan berkorespondensi dengan M. Natsir, A. Hassan, dan tokoh pembaruan Islam lainnya. Hamka juga bekerja di Harian Pelita Andalas dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekah.
21
Mengenang 100 Tahun HAMKA
Tulisannya diminati banyak orang, di antaranya adalah Muhammad Ismail Lubis, pemilik majalah Seruan Islam. Hamka pun diminta menuliskan karangan lainnya di majalah tersebut. Selain itu Hamka kerap mengirimkan tulisannya ke Suara Muhammadiyah yang dipimpin H.Fakhruddin di Yogyakarta. Walau sangat produktif, namun penghargaan atas karya tulis pada masa itu masih demikian kecil, tak cukup untuk menutup biaya hidup. Hamka bernasib baik, ia diminta oleh pedagang-pedagang kecil yang umumnya para perantau dari Sumatera Barat untuk menjadi guru agama. Dari pekerjaannya sebagai guru ini ia mendapatkan honor yang cukup untuk membiayai hidupnya. Pada tahun 1928 keluarlah buku romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau “Si Sabariyah”. Di tahun yang sama ia pun memimpin majalah Kemauan Zaman yang terbit hanya beberapa nomor. Kemudian setahun berikutnya, 1929 terbit pula buku-bukunya yang lain; “Agama dan Perempuan”, “Pembela Islam”, “Adat Minangkabau”, “Agama Islam” (buku ini disita polisi penjajah karena dianggap berbahaya bagi pemerintah jajahan), “Kepentingan Tabligh”, “Ayat-ayat Mi’raj”, dan berbagai karya lainnya. “Si Sabariyah” laris di pasaran. Kenyataan ini membuat semangat Hamka dalam berdakwah melalui tulisan menyala-nyala karena karya-karyanya mendapat apresiasi luas. Tumbuh kepercayaan dirinya bahwa dalam melaksanakan kewajiban dakwah, Hamka memiliki kualitas tersendiri karena menguasai dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan. Karya Hamka yang menjadi tonggak kepujanggaannya adalah “Laila Majnun” yang diilhami sebuah cerita pendek berjudul “Majdulin” yang dibacanya dalam sebuah majalah Arab. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit utama pada waktu itu. Hal ini sangat membesarkan hati Hamka yang masih berusia muda dan semakin memacunya untuk lebih giat lagi menulis dan mengarang. Dari karya-karyanya yang kemudian diterbitkan Balai Pustaka, nama Hamka pun dalam khasanah sastra nasional tercatat sebagai salah satu pujangga angkatan Balai Pustaka.
Rujuk, lalu Kembali Merantau Nama besar keluarga Amrullah, serta tradisi setempat yang selalu menyambut kepulangan seorang Haji dari Mekah untuk diserap ilmunya,
22
membuat keputusan Hamka tidak langsung pulang ke Padang Panjang menuai kecaman. Orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali berkirim surat memintanya pulang. Namun Hamka membangkang, bahkan ia membalas suratsurat itu dengan menyatakan bahwa tidak ada gunanya Hamka kembali ke kampung. Surat Hamka itu pun diadukan kepada Haji Rasul. Tak kalah cerdik, ulama tua itu mengirim A.R.Sutan Mansur untuk menjemput Hamka. Karisma dan pribadi lembut guru sekaligus kakak iparnya itu membuat Hamka luluh. Akhirnya ia pulang ke kampung dan diterima ayahnya dengan rasa haru yang dalam. Kata Haji Rasul, “Mengapa tidak engkau beritahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan miskin. Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah.” Hamka berurai air mendapat sambutan sehangat itu dari seorang ayah yang sepanjang masa mudanya terasa begitu jauh dari kehidupannya. Hapus sudah figur seorang ayah yang keras dan dingin. Terbuka pula tabir kasih sayang yang selama itu digunakan Haji Rasul untuk mendidik anak kesayangannya itu. Hubungan Hamka yang oleh ayahnya kerap disebut sebagai “Si Bujang Jauh” yang penuh warna dengan Haji Rasul, kelak melahirkan sebuah karya biografi yang demikian kuat yang oleh Hamka diberi judul “Ayahku”. Buku ini adalah karya apresiatif sebagai simbol cintanya pada Sang Ayah. Hamka kembali terlibat aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Pada 1928, Hamka diangkat menjadi ketua cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Di sana, Hamka mendirikan sekolah-madrasah “Kulliyatul Muballighin” bersamasama pengurus Muhammadiyah lainnya. Dia ditunjuk sebagai “Kepala Sekolah” sekaligus pengajarnya. Pada 1929, saat berusia 21 tahun Hamka dinikahkan dengan seorang gadis bernama Siti Raham. Keterlibatannya dalam pengurus Muhammadiyah membuat hubungannya dengan tokoh-tokoh organisasi semakin erat. Hamka kerap berdiskusi dan belajar pada Agus Salim mengenai tauhid, filsafat, tasauf, dan politik. Haji Agus Salim adalah seorang ulama yang begitu luas penguasaan bidang pengetahuan sehingga pantas menyandang gelar pujangga, filosof, jurnalis, orator, politikus, sekaligus pemimpin rakyat. Di mata Hamka, beliau adalah seorang manusia yang nilainya lebih dari sejuta manusia. Sehingga menurutnya, guru besarnya itu adalah seorang pembaharu Islam yang kedudukannya sama
23
Mengenang 100 Tahun HAMKA
dengan Muhammad Abduh di Mesir. Pada 1930, Konggres Muhammadiyah ke XIX dilaksanakan di Bukittinggi. Pada saat itulah Hamka menunjukkan kepiawaiannya berorasi dalam pidato yang berjudul “Agama Islam dalam Adat Minangkabau”. Pidato memikat dalam konggres nasional yang dihadiri ribuan utusan Muhammadiyah dari daerahdaerah lain itu secara tidak resmi telah menempatkan Hamka sebagai Singa Podium baru. Setahun kemudian Hamka diutus ke Makassar untuk berdakwah di sana oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta. Selain itu, Hamka mengemban tugas khusus mempersiapkan Konggres Muhammadiyah ke 21 (Mei 1932) di Makassar. Di sana Hamka menetap selama tiga tahun. Selama di Makassar, selain menjadi muballigh, Hamka tetap rajin menulis artikel untuk dikirim ke beberapa surat kabar di Jakarta dan Medan. Hamka juga menerbitkan jurnal pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan berjudul “al-Mahdi” yang redaksi sekaligus dan administrasinya diurus sendiri. Jurnal itu sayangnya hanya bertahan 9 kali penerbitan. Selain “al-Mahdi” Hamka juga menerbitkan majalah “Tentera” periode waktu dan tempat yang sama yang terbit 4 edisi. Di Muhammadiyah, karir Hamka terus berlanjut hingga pada Konferensi Muhammadiyah Sumatera Barat (1946), Hamka terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto yang diangkat menjadi Bupati Solok. Jabatan itu diembannya sampai 1949. Pada Konggres-konggres Muhammadiyah berikutnya, Hamka diangkat sebagai anggota Pimpinan Pusat. Tetapi pada Konggres tahun 1971 yang kembali diadakan di Makassar, Hamka tidak lagi bersedia duduk dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengingat faktor usia. Sejak saat itu, beliau ditetapkan sebagai Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang terus melekat padanya sampai akhir hayatnya.
Pujangga, Pejuang Pada tahun 1936 tugasnya di Makassar berakhir. Hamka pun diminta oleh teman-temannya ke Medan untuk memimpin majalah “Pedoman Masyarakat”.
24
Saat itu, tiras majalah Islam yang terbit bulanan itu baru 500 eksemplar. Di bawah kepemimpinannya (1936-1942) “Pedoman Masyarakat” berkembang dengan pesat, tiras majalah mencapai 4.000 eksemplar. Jumlah terbitan yang pada masa itu tergolong sangat besar. Di “Pedoman Masyarakat” inilah Haji Abdul Malik Karim Amrullah pertama kali menggunakan nama pena Hamka (akronim namanya) yang kemudian menjadi nama populernya. Melalui majalah ini lahirlah karya-karya besar dalam lapangan agama, filsafat, tasauf, dan roman. Ada yang dimuat di Pedoman Masyarakat ada pula yang ditulis lepas. Dalam bidang agama dan filsafat, karya Hamka antara lain “Tentang Bahagia” (yang dikemudian hari diterbitkan dengan judul; Tasauf Moderen), “Falsafah Hidup”, “Lembaga Hidup”, dan “Lembaga Budi”. Melalui rubrik cerita bersambung di majalah yang dipimpinnya, Hamka melahirkan karya-karya sastra jempolan. Di antaranya empat judul karya yang ditulisnya bersamaan dalam rentang waktu tiga tahun (1937-1940), yakni “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wyck”, “Merantau ke Deli”, dan “Di dalam Lembah Kehidupan”. Judul terakhir adalah sebuah kumpulan cerita pendek. Selain keempat judul itu, Hamka juga menuliskan beberapa karya sastra lain, di antaranya “Terusir”, “Keadilan Illahi”, dan banyak lagi. Baik Majalah “Pedoman Masyarakat” maupun buku-buku agama dan karya sastra Hamka kemudian tersebar dan dibaca luas di seluruh Indonesia, juga dibaca banyak orang di Malaysia. Pada Maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia. Pada tahun itu pula “Pedoman Masyarakat” berhenti penerbitannya. Seperti ayahnya, Hamka adalah sosok ulama yang konsisten (istiqomah) dalam beragama. Namun sebagai cucu buyut Tuanku Pariaman, panglima perang Tuanku Imam Bonjol semasa Perang Paderi, darah nasionalis juga mengalir kental di tubuhnya. Hal itu dibuktikannya dengan terjun langsung ke garis depan Laskar Gerilya Kemerdekaan yang menentang kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia di Medan pada 1945. Masa-masa konflik ini, pidatopidato Hamka yang garang berhasil membakar semangat para pejuang laiknya motivator perjuangan ulung Bung Tomo yang berhasil membakar api perlawanan semesta terhadap tentara NICA di Surabaya. Pada 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia.
25
Mengenang 100 Tahun HAMKA
Pada 1950, Hamka memulai karir sebagai Pegawai Kementrian Agama. Beliau bertugas sebagai dosen di berbagai Perguruan Tinggi Islam, yakni di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, Universitas Islam Sumatera Utara, dan bertugas sebagai dosen Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padang Panjang. Di tahun itu juga Hamka menunaikan ibadah haji ke dua dan melanjtkan lawatan ke beberapa negara Arab. Ibadah haji ke dua dan kenang-kenangan atas perjalanan ini dituliskannya menjadi tiga buah buku: “Mandi Cahaya di Tanah Suci”, “Di Lembah Sungai Nil”, dan “Di Tepi Sungai Dajlah”. Dua tahun kemudian Hamka diundang Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk berkunjung ke negara itu. Hamka melawat selama empat bulan di Amerika Serikat. Beliau berangkat melalui Eropa dan pulangnya singgah sebentar di Australia. Dari lawatannya ini, kembali Hamka menghasilkan buku berjudul “4 Bulan di Amerika” sebagai buah tangan. Pada 1958 Hamka menjadi anggota delegasi Indonesia untuk Simposium Islam di Lahore. Dari sana Hamka melanjutkan lawatan ke Mesir. Perjalanan kali ini merupakan penggal sejarah yang sangat penting dalam kehidupan Hamka seperti yang akan diuraikan pada bagian berikut. Tahun 1959 Hamka menerbitkan majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat”. Majalah yang didirikannya bersama K.H. Fakih Usman itu dibreidel oleh Soekarno pada 17 Agustus 1960 karena memuat artikel berjudul “Demokrasi Kita” tulisan Muhammad Hatta yang mengkritik tajam konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno.
Al-Azhar, Pusaka Peninggalan Buya Hamka Pada 1956, Hamka selesai membangun sebuah rumah kediaman di bilangan Kebayoran Baru. Di depan rumah itu terdapat sebuah lapangan luas yang disediakan pemerintah untuk membangun sebuah masjid agung. Rencana pembangunan masjid agung itu membuat Hamka begitu gembira karena baginya apabila sebuah masjid berada di depan rumah, maka akan mudah mendidik anak-anak dalam kehidupan Islami. Dua tahun kemudian, sebuah peristiwa penting terjadi dalam hidup Hamka.
26
Dia diundang oleh Universitas Punjab di Lahore, Pakistan, untuk menghadiri sebuah seminar Islam. Di sanalah Hamka berkenalan dengan seorang pemikir besar Islam Dr. Muhammad al-Bahay. Usai mengikuti seminar, Hamka melanjutakan lawatan ke Mesir atas undangan Mu’tamar Islamy, yang Sekretaris Jenderalnya ialah Sayid Anwar Sadat, salah seorang perwira anggota “Dewan Revolusi Mesir” di samping Presiden Jamal Abdel Nasser. Kedudukan Hamka sebagai ang gota Pimpinan Muhammadiyah, rupanya telah membuat beliau begitu dikenal oleh masyarakat Mesir, terutama di kalangan akademisi Universitas Al-Azhar. Namanya juga harum di lingkungan “As-Syubbanul Muslimun”, organisasi Islam yang berhaluan sama dengan Muhammadiyah. Hal ini tak terlepas dari peran Duta Besar Mesir di Indonesia pada waktu itu, Sayyid Ali Fahmi al-Amrousi dan Atase Kebudayaan Indonesia di Mesir, Raden Hidayat, yang memperkenalkan Hamka kepada masyarakat Mesir. Lawatan Hamka ke Mesir kebetulan bertepatan dengan kunjungan kenegaraan Presiden Soekarno ke sana sehingga Saiyid Ali Fahmi al-Amrousi pun tengah berada di negerinya. Maka, terjadilah kesepakatan antara Mu’tamar Islamy dan “As-Syubbanul Muslimun” dengan Universitas Al-Azhar untuk mengundang Hamka mengadakan suatu muhadharah (ceramah) di gedung As-Syubbanul Muslimun guna memperkenalkan lebih jauh pandangan hidup Hamka kepada masyarakat akademisi dan pergerakan di Mesir. Buya menyambut hangat undangan tersebut dan menyiapkan sebuah makalah berjudul “Pengaruh Faham Muhammad Abduh di Indonesia dan Malaya”. Ceramah Hamka beroleh sambutan luar biasa. Dari sebuah acara yang semula direncanakan sederhana saja, ceramah itu telah berubah menjadi sebuah studium generale (kuliah umum) yang dihadiri sarjana-sarjana dan ulama kenamaan Mesir. Di antara yang hadir, tercatat nama-nama seperti Prof. Dr. Osman Amin, Dr. Muhammad Al-Bahay, Syaikh Ahmad Syarbasyi, Ketua Umum As-Syubbanul Muslimun, dan Wakil Rektor Universitas Al-Azhar (kala itu) Syeikh Mahmoud Syaltout. Mereka memberikan apresiasi begitu tinggi kepada orang Indonesia yang ternyata lebih mendalami dan memahami pemikiran Muhammad Abduh daripada kebanyakan orang Mesir sendiri. Usai kuliah umum yang menghebohkan itu, Hamka melanjutkan lawatan ke Saudi Arabia memenuhi undangan Raja Saud. Kesempatan itu digunakan
27
Mengenang 100 Tahun HAMKA
Hamka untuk berziarah ke makam Rasulullah di Madinah dalam kapasitas sebagai tamu negara. Beberapa hari di Madinah, Raja Saud mengundang Buya sebagai tamu pribadi Raja Arab Saudi itu. Sedang menjadi tamu raja, tiba-tiba datang pula kawat dari Mesir yang disampaikan oleh Duta Mesir di Indonesia, Sayid Ali Fahmi alAmrousi yang berisi rencana Universitas Al-Azhar menganugerahkan gelar ilmiah tertinggi kepada Buya Hamka, yakni gelar Ustadzyyah Fakhriyah (Doctor Honoris Causa). Gelar Ustadzyyah Fakhriyah itu merupakan penghargaan kehormatan akademis pertama yang diberikan Universitas Al-Azhar kepada orang yang dianggap patut menerimanya. Penghargaan itu terwujud atas usulan Kepada Departemen Kebudayaan Al-Azhar, Dr. Muhammad Al Bahay. Namun upacara pemberian gelar kehormatan itu tidak bisa segera dilaksanakan meskipun Hamka telah kembali ke Mesir dari kunjungannya ke Saudi Arabia disebabkan panitia perlu menyusun protokol pelantikan yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Bahkan rencananya, pemberian gelar Doctor Honoris Causa itu akan disahkan oleh Jamal Abdel Nasser, Presiden Mesir waktu itu. Al-Bahay meminta Buya Hamka agar bersabar tinggal lebih lama di Mesir karena segala persiapan pelantikan itu butuh waktu satu hingga dua minggu. Minggu-minggu akhir bulan Februari 1958 itu, suhu politik di Mesir menghangat dengan penggabungan Republik Mesir dengan Republik Suriah. Suasana gegap gempita dan kesibukan luar biasa mewarnai hari-hari yang dipenuhi demonstrasi dan pawai-pawai raksasa. Kesibukan itu melanda juga ke dalam Universitas Al-Azhar sehingga rencana penganugerahan gelar Ustadzyyah Fakhriyah kepada Hamka terhambat. Pada akhirnya, disampaikan kepada Hamka untuk menunggu hingga akhir bulan Ramadhan 1378 H (awal bulan April 1958). Walau tak mudah bagi seorang Hamka untuk melakukan perjalanan ke luar negeri, tetapi pada waktu itu beliau memutuskan untuk kembali lebih dahulu ke Tanah Air karena krisis politik tengah terjadi di dalam negeri. Hamka mendapat kabar kalau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) telah melakukan pemberontakan di Sumatera. Dan pada penghujung bulan Febriari 1958 itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah membom Painan yang terletak di pesisir selatan Sumatera Barat. Mendapati Minangkabau, bumi kelahirannya
28
dalam bahaya besar, Hamka yang memiliki jiwa pejuang memutuskan pulang dan menunda urusan penganugerahan gelar kehormatan itu. Sekembali ke Tanah Air, Hamka mendapati pembangunan Masjid Agung di depan rumah tinggalnya telah selesai tetapi belum boleh digunakan untuk beribadah. Menurut Syamsurrijal, Walikota Jakarta Raya pada waktu itu yang menjadi Ketua Panitia Pembangunan Masjid Agung Kebayoran, masjid baru bisa digunakan beribadah setelah diresmikan oleh Presiden Soekarno. Hamka gusar. Beliau mendesak Syamsurrijal agar diperbolehkan menggunakan Masjid Agung sambil menunggu kesediaan Presiden Soekarno meresmikannya. Menurutnya, ruh masjid barulah menyala apabila dipakai guna beribadah. Apalagi pada waktu itu telah datang bulan Ramadhan. Demikianlah Hamka mulai melaksanakan shalat di Masjid Agung Kebayoran Baru. Berangsur jamaah mulai ramai setelah pada awalnya hanya diikuti 5 sampai 6 orang saja. Hamka pun secara tidak resmi telah diangkat menjadi Imam Masjid Agung Kebayoran Baru. Selain memimpin shalat lima waktu, setiap usai shalat Shubuh, Beliau mulai memberikan penjelasan mengenai ayat-ayat Al Qur’an selama 45 menit kepada jamaah. Inilah cikal bakal tersusunnya magnum opus Buya Hamka yang kelak dikenali sebagai kitab Tafsir Al-Azhar. Barangkali sejauh ini khalayak menilai kitab tafsir itulah puncak karya ulama multi dimensi itu. Tetapi dalam pengantar yang dituliskan sendiri oleh Hamka mengenai alasan di balik pemberian judul “Al-Azhar” pada kitab tafsirnya, jelas tersirat bahwa terdapat suatu gagasan besar yang layak disebut sebagai ruh perjuangan Buya Hamka dalam perjuangan Islam yang tidak akan pernah berhenti sampai pada tersusunnya sebuah kitab tafsir lengkap belaka. Ruh perjuangan itu tak lain sebuah institusi pergerakan Islam yang berpusat di Masjid Agung Kebayoran yang kelak sama kita kenal sebagai Masjid Agung Al-Azhar. Untuk lebih jelasnya, baik kita simak fragmen penting dalam kehidupan beliau berikutnya. Maret 1959 datang undangan dari Duta Besar Mesir yang baru, ialah Sayyid Ali Fahmi kepada Hamka. Rupanya pemberian gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Al-Azhar kepada Hamka telah dilakukan dan bel (tabung ijazah) berwarna biru pun disampaikan kepada Hamka dalam sebuah upacara
29
Mengenang 100 Tahun HAMKA
yang penuh khidmad di kantor Kedutaan Besar Mesir. Pada ijazah itu tercantum keterangan “Raqam I”, artinya penghargaan gelar akademis itu merupakan penghargaan pertama sejak Al-Azhar menetapkan peraturan mengenainya. Hamka adalah orang pertama yang mendapat gelar H.C. dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Inilah momentum penting dalam sejarah perjuangan Hamka. Dalam pengantar Tafsir Al-Azhar, mengenai hal itu Hamka menulis, “Ijazah yang amat penting di dalam sejarah hidup saya itu telah saya terima dengan penuh keharuan. Sebab dia ditandatangani oleh Presiden R.P.A. sendiri, Jamal Abdel Nasser dan Syeikh Jami’ Al-Azhar yang baru, yang Al-Azhar sangat mencapai martabat yang gilang gemilang selama dalam pimpinan beliau. Itulah Syeikh Mahmoud Syaltout, (beluai meninggal pada akhir tahun 1963). Dan beliau turut hadir dalam muhadharah saya di gedung “asy-Syubbanul Muslimun” itu.”12) Hamka menulis surat kepada Mahdoud Syaltout berisi pernyataan terimakasih kepada Al-Azhar dan semua orang yang telah membantunya memperoleh penghargaan itu. Surat itu dibalas oleh Syaikh Jami’ Al-Azhar dengan menambahkan pujian, “Sesungguhnya tatkala Al-Azhar memutuskan hendak memberikan penghargaan itu, ialah karena dia telah mengetahui betapa perjuangan tuan selama ini dalam usaha menegakkan kesatuan kaum Muslimin di Asia Timur, dan sebagaimana pula tuan telah memancangkan tonggak-tonggak untuk kekokohan Islam. Maka Al-Azhar sangatlah merasa berbahagia karena telah meletakkan kepercayaan itu ke atas diri tuan dan dianggapnyalah tuan sebagai puteranya yang setia kepadanya dan kepada pokok-pokok pendirian Islam, yang Al-Azhar telah berjuang selama ini untuk mengibarkan benderanya.”13) Gelar Ustadzyyah Fakhriyah beserta surat Mahmoud Syaltout itu begitu memotivasi Hamka untuk melanjutkan syiar Islam yang berpusat di Masjid Agung Kebayoran Baru. Hamka semakin sering menyampaikan pelajaran tafsir usai shalat Shubuh. Disebabkan oleh bermacam kegiatan pengajian dan khutbah-khutbah Jum’at Hamka yang memukau, Masjid Agung Kebayoran Baru pun mulai dipadati jama’ah. Pada Desember 1960, Syaikh Mahmoud Syaltout disertai Dr. Muhammad Al-Bahay (sosok yang diyakini Hamka berada di balik sukses Mahmoud Syaltout memajukan Al-Azhar) berkunjung ke Indonesia sebagai tamu negara. Salah
30
satu agenda kunjungan adalah menziarahi Masjid Agung Kebayoran Baru. Melihat sendiri perjuangan Hamka di Masjid Agung Kebayoran Baru, Mahmoud Syaltout dalam sambutannya antara lain menyatakan, “Bahwa mulai hari ini, saya sebagai Syeikh (Rektor) dari Jami’ Al-Azhar memberikan bagi masjid ini nama “Al-Azhar”, moga-moga dia menjadi Al-Azhar di Jakarta, sebagaimana adanya AlAzhar di Kairo.” Sejak saat itu, semua orang sepakat melekatkan nama Masjid Agung Al- Azhar sebagai pengganti nama Masjid Agung Kebayoran Baru. Diluar segala macam kesibukannya yang luar biasa, Hamka terus melanjutkan memberikan pelajaran tafsir di Masjid Agung Al -Azhar. Januari 1962, Perpustakaan Islam Al-Azhar yang didirikan setahun sebelumnya, menerbitkan sebuah majalah bernama “Gema Islam” di mana Hamka menjadi pemimpin redaksinya. Segala kegiatan Masjid Agung, terutama pelajaran tafsir oleh Hamka dimuat secara berkala di dalam majalah itu. Luasnya peredaran “Gema Islam” membuat kegiatan menyampaikan tafsir ba’da shalat Shubuh diikuti oleh takmir-takmir masjid lain di Indonesia. Rangkaian pelajaran tafsir ba’da shubuh yang dimuat dalam “Gema Islam” itu oleh Hamka diberi judul Tafsir Al-Azhar, merujuk kepada tempat di mana tafsir itu diberikan sekaligus penghargaan pribadi Hamka kepada Al-Azhar (Mesir). Tulis Hamka, “Atas usul dari tata usaha majalah di waktu itu, yaitu saudara Haji Yusuf Ahmad, segala pelajaran “Tafsir” waktu Shubuh itu dimuatlah di dalam majalah Gema Islam tersebut. Langsung saya berikan nama baginya Tafsir Al-Azhar, sebab “Tafsir” ini timbul di dalam Masjid Agung Al-Azhar, yang nama itu diberikan oleh Syeikh Jami’ Al-Azhar sendiri. Merangkaplah dia sebagai alamat terimakasih saya atas penghargaan yang diberikan oleh Al-Azhar kepada diri saya.”14) Terbetik dalam benak Hamka ketika mulai menyusun Tafsir Al-Azhar untuk menjadikannya sebagai peninggalan pusaka bagi bangsa dan ummat muslimin Indonesia sepeninggalnya kelak dari alam fana ini. Terlebih lagi, begitu besar dorongan di hatinya untuk mempersembahkan Tafsir Al-Azhar sebagai “balasan” atas penghargaan yang telah diterimanya dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Penghargaan, yang menurut Hamka, disebabkan oleh rasa cinta orang Mesir kepada seorang ulamanya (Muhammad Abduh) yang dipandang sebagai pelopor pembaharuan Islam di Mesir. Oleh karenanya, penghargaan tertinggi pantas diberikan kepada orang yang memuliakan dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran
31
Mengenang 100 Tahun HAMKA
Muhammad Abduh, yaitu kepada Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Jika disimak sedemikian dalam rasa syukur Hamka atas gelar Ustadzyyah Fakhriyah yang diterimanya dari Universitas Al-Azhar tidak aenh kalau kerja kerasnya menyusun Tafsir pun didedikasikan kepada Universitas Al-Azhar. Dan jika diingat kembali pesan Syaikh Mahmoud Syaltout agar Masjid Agung Kebayoran Baru kelak menjadi pusat gerakan pembaharuan Islam seperti halnya Al-Azhar di Mesir, maka ide-ide pembaharuan Islam yang dikobarkan Hamka dari Masjid Agung Al-Azhar merupakan pusaka peninggalan Hamka yang nilainya sama besar dengan kitab Tafsir Al-Azhar itu sendiri. Tafsir Al-Azhar, yang diakui sebagai karya terbesar Hamka telah selesai disusun melalui berbagai rintangan yang tidak mudah sebagaimana akan diuraikan selanjutnya. Tetapi ide-ide pembaharuan Islam yang dikobarkan Hamka belum dan tidak akan pernah selesai. Menjadi kewajiban generasi selanjutnyalah untuk tidak sekadar mewarisi kebesaran Haji Abdul Malik Karim Amrullah, tetapi melanjutkan perjuangan beliau dalam menegakkan Islam di bumi Indonesia dan menjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat pergerakannya.
Tafsir Al-Azhar, Hikmah di Balik Fitnah Sejak menjadi Imam Masjid, Buya Hamka memulai memberikan pelajaran tafsir Al Qur’an tiap selesai memimpin shalat subuh. Surat yang pertama kali dikaji adalah surat Al-Kahfi, juzu XV. Tafsir-tafsir yang diuraikannya, yang dimulai sejak akhir 1958, kemudian dimuat secara berkala di Majalah Gema Islam terbitan Perpustakaan Al Azhar mulai Januari 1962 hingga Januari 1964. Mulai saat itu terbetik di hati Hamka untuk menyusun tafsir dalam kitabkitab yang kemudian diberi judul Tafsir Al Azhar. Pemberian judul kitab tafsirnya itu tak lepas dari sejarah berdirinya Masjid Agung Al Azhar seperti diuraikan sebelumnya. Tetapi, meski telah berjalan selama enam tahun, belum juga seluruh ayat-ayat Al Qur’an selesai ditafsirkan. 27 Januari 1964, berlakulah takdir Allah yang oleh Hamka dikiaskan dengan kalimat, “Jika langit hendak jatuh, bagaimanalah telunjuk bisa menahannya.”15) Siang itu, usai memberikan pengajian mingguan di Masjid Agung, Buya “dijemput” empat orang polisi berpakaian preman, lengkap dengan Surat Perintah Penahanan Sementara. Di dalamnya disebutkan bahwa
32
Hamka diduga melakukan kejahatan sesuai dengan PenPres No 11/1963. Tanpa keterangan lebih jelas, Hamka digelandang ke Departemen Angkatan Kepolisian (DEPAK), ditahan selama 2 jam, kemudian dibawa ke Cimacan, Puncak, Bogor. Empat hari Hamka ditahan di sebuah bungalow Polisi di Cimacan. Pada 31 Januari 1964, beliau dipindahan ke Sekolah Kepolisian Sukabumi setelah sebelumnya sempat mampir di sebuah bu-ngalow lain di Puncak di mana beliau bersua tokoh Masyumi H. Kasman Singodimedjo yang telah dua bulan ditahan rejim Soekarno. Di tahanan Sukabumi Hamka diinterogasi secara maraton dengan bermacam cara, baik dengan bujukan lembut maupun dengan paksaan, sindiran, ejekan, hingga hinaan agar mengakui tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Masa-masa yang tak pernah terbayangkan bakal menimpa seorang ulama yang “lurus-lurus saja” itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Tapi walau berat ujian yang harus ditanggung, Hamka tak putus menjalani ibadah wajib puasa Ramadhan! Tuduhan yang ditimpakan kepadanya adalah melakukan rapat-rapat gelap, menjadi anggota gerakan gelap untuk menentang Presiden Soekarno dan Pemerintah Republik Indonesia yang sah.16) Salah satu biang tuduhan adalah kuliahnya pada Oktober 1963 di Institut Agama Islam Negeri (sekarang Universitas Islam Negeri) Ciputat yang dianggap menghasut mahasiswa untuk melanjutkan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureuh, M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara. Rupanya, di antara segelintir saja mahasiswa yang mengikuti kuliah Ilmu Tasauf yang disampaikan Hamka, terdapat intel rejim Soekarno.17) Berbagai tuduhan lain, di antaranya menjalin kontak dengan kaki tangan Tengku Abdul Rahman dalam lawatan beliau ke Pontianak pada September 1963, mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963 untuk merencanakan pembunuhan terhadap Menteri Agama waktu itu H. Saifuddin Zuhri dan melakukan kudeta, dan sebagainya. Intinya, aktivitas dakwah Buya Hamka di tengah masyarakat dianggap sebagai gerakan kontra revolusi yang ketentuan hukum bagi pelakunya ditetapkan melalui surat Penetapan Presiden. Dari Sukabumi, Hamka kembali dipindah ke Cimacan bersama seorang
33
Mengenang 100 Tahun HAMKA
tahanan lain bernama Ghazali Sahlan (dituduh sebagai komplotan makar Hamka dan kawan-kawan) pada 8 April 1964. Tiga bulan Buya Hamka ditahan di sana, lalu atas permintaan beliau karena cuaca Puncak yang dingin mengganggu kesehatannya, Hamka dipindahkan ke Megamendung pada 15 Juni. Hamka baru dibebaskan setelah terjadi peristiwa pemberontakan PKI, 30 September 1965. Keseluruhan, Hamka ditahan selama dua tahun empat bulan, hanya karena perbedaan pandangan politik dengan Presiden Soekarno, terutama mengenai Pancasila sebagai dasar/falsafah negara. Mengenai peristiwa kelam ini, Hamka menulis, “Melihat tanggal mulai Pen.Pres. itu diundangkan, beratlah persangkaan saya bahwa Pen.Pres. ini yang terutama ditujukan ialah kepada diri saya sendiri. Sebab saya dituduh mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 14 Oktober 1963, sedang Pen.Pres. itu diundang-undangkan pada tanggal 14 Oktober 1963.” 18) Fitnah keji disusul dengan penahanan tanpa peradilan itu tak pelak adalah puncak ketegangan hubungan antara Buya Hampa dengan Presiden Soekarno. Padahal, sesuai sifat Buya Hamka yang romantis, secara pribadi Presiden Soekarno adalah sosok yang dikaguminya dan pernah pula disanjung sedemikian tingginya oleh Hamka. Petikan kisah kunjungan Presiden Soekarno ke Sumatera (Barat) pada Juni 1948 ketika seluruh rakyat Sumatera mengangkat senjata menentang kembalinya penjajah Belanda di mana Hamka terjun ke garis depan, sangat pas melukiskan romantika hubungan pribadi Hamka-Soekarno.19) Dalam ziarah Presiden ke Sumatera itulah Hamka yang telah lama mengenal dan saling mengagumi dengan Soekarno memiliki kesempatan bertatap muka langsung tatkala Presiden RI itu menginspeksi pasukan TNI dan Laskar Kemerdekaan Sumatera. Usai inspeksi, dilangsungkan acara ramah tamah, dilanjutkan pemberian tanda mata oleh tokoh-tokoh Sumatera kepada Soekarno. Beragam cendera mata, mulai keris, selendang, tongkat bergagang emas, dan sebagainya, telah bertumpuk di meja sebagai hadiah kepada Soekarno. Bahkan Gubernur Sumatera waktu itu, Mr. Teuku Mohd. Daud atas nama Propinsi Sumatera menghadiahkan sebuah kapal terbang. Setelah itu acara hendak ditutup, namun Hamka menghampiri MC dan menyatakan akan memberikan hadiah pula. Mutahar, sang MC, buru-buru berseru, “Paduka yang mulia, penutup dari
34
pertemuan ini adalah Pujangga Hamka hendak memberikan hadiahnya!” Maka tampillah Hamka ke depan berhadapan dengan Soekarno. Beliau lalu berkata dengan lantang, “Paduka yang mulia, saya pun akan memberikan hadiah, tetapi bukan barang, bukan tongkat emas, bukan kapal terbang! Itu semuanya tak ada padaku. Tapi aku akan memberikan hadiah yang lebih mahal dari itu semua. Dan semua orang tak sanggup memberikannya. Hanya aku yang sanggup. Yang akan kuhadiahkan adalah rangkuman kata-kata!” Hamka melanjutkan bahwa rangkuman kata-kata itu adalah ungkapan perasaan TNI dan Barisan-barisan Laskar Kemerdekaan kepada Presidennya yang tak sanggup mereka ungkapkan. Dan hanya Hamka lah yang sanggup mewakili mereka semua untuk mengungkapkannya, maka Hamka pun membacakan puisi tanpa teks berikut:
Sansai Jua Aku Sudahnya Beliau pun lalu di depan kita Memeriksa barisan kita Hening bening, renap gema Tenang tegap ia melangkah Terdengar rumput terpijak
Sahabatku Amat Adakah engkau masih teringat Tatkala kita berdiri rapat Berbaris-baris memberi hormat, Kupegang teguh gagang bedilku Pandang tenang hadap ke muka Tidak bergerik tidak bergerak Tidak melengong ke kiri kanan Laksana patung tegak di taman Kecil rasanya bumi Allah Entah di mana aku berdiri Entah di langit entah di bumi
Aku pun tak tahu lagi Apa yang akan terjadi Tiba-tiba tak kusangka Ditentang aku beliau tegak Matanya tenang jernih dalam Dilindung alis hitam lebat Menembus jantung menimbul cinta Dipegangnya daguku Diperbaikinya hadapku
Kuingat diri Kurangkah lagi
35
Mengenang 100 Tahun HAMKA
Dilekatkannya kancing bajuku Dan beliaupun pergi Terdengar rumput terpijak ....................................
Sansai juga aku sudahnya Matanya. lidahnya, telunjuknya Mengerahkan daku menentang tofan Memandang murah harga maut
Amat, Oh Amat! Hilang segala kepayahan Hilang segala kepenatan Lupa segala penderitaan
Oh, Amat! Jika kutewas sekali ini Di medan perang di garis depan Hanya sebuah pesan harapku Kuburkan aku dengan bajuku
Amat-Amat! Kalau begini naga-naganya Hanyut juga aku sudahnya
Bekas dijamah tangan beliau.
Puisi itu telah mengungkap seberapa besar kekaguman dan kemesraan hubungan Hamka dengan Presiden Soekarno. Namun perbedaan pandangan politik, juga perbedaan tajam kedua pribadi besar itu dalam pemahaman agama Islam di kemudian hari, telah membawa Hamka tertimpa fitnah besar dalam sejarah hidupnya. Fitnah yang di baliknya ternyata tersemayam sebuah hikmah! Selama dua tahun lebih dalam tahanan, Hamka yang terkucil dari dunia ramai justru merasakan kedekatan yang demikian intim dengan Sang Khalik. Seluruh waktunya tercurah untuk menjalankan ibadah, mendekatkan diri kepada Sumber dari Segala Sumber Kehidupan. Dalam suasana yang demikian transendental, Buya Hamka melanjutkan penafsiran Al Qur’an hingga berhasil menyusunnya menjadi sebuah kitab lengkap 30 Juz Tafsir Al-Azhar. Dengan rendah hati Hamka mengakui bahwa jika tidak terjadi fitnah atas dirinya, rasa-rasanya sulit bagi beliau menyelesaikan pekerjaan besar itu mengingat faktor usia dan kesibukannya yang luar biasa dalam berdakwah. Salah seorang putera beliau pernah mengusulkan agar pada pengantar kitab tafsirnya, Hamka menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah menjatuhkan fitnah kepadanya. Sebab, lantaran fitnah itu beliau ditahan, dan
36
karena penahanan itu Hamka berhasil menyelesaikan Tafsir Al-Azhar. Hamka menolak. Beliau menegaskan untuk tetap berpegang pada pendirian tauhid; hanya mengucap syukur dan puji-pujian bagi Allah semata. Rasa syukur yang demikian besar telah menghapus segala sakit hati. Sejarah mencatat, ketika Soekarno wafat, Buya Hamkalah yang memimpin shalat jenazah Presiden pertama RI, kawan sekaligus lawan dalam kehidupannya itu.
Masukkan Daftarmu Konsistensi Ulama yang Mampu Melahirkan Umat Hamka dikenal sebagai ulama yang memegang teguh prinsip beragama. Sikap istiqamah sebagai mahluk Allah ini menempati kedudukan tertinggi di jiwanya, melebihi segala kedudukan di dunia. Hal ini tercermin dalam karir politik dan kepegawaian beliau. Sarekat Islam, organisasi yang kemudian menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) di mana Hamka menjadi salah satu anggotanya, sejak 1925 berafiliasi dengan organisasi Islam lainnya menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 1950. Karier politiknya berpuncak ketika bergabung menjadi Juru Kampanye Masyumi. Melalui pemilu 1955 yang dinilai sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Republik Indonesia, Hamka terpilih menjadi salah seorang anggota konstituante dari Masyumi. Sebagai anggota konstitante, pada sidang di Bandung (1957) Hamka menyampaikan pidato menolak gagasan Presiden Soekarno yang ingin menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Dewan Konstituante kemudian dibubarkan oleh Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959. Soekarno kemudian juga membubarkan Masyumi dan menyatakannya sebagai partai terlarang pada 1960. Sebelum Masyumi dibubarkan, Hamka yang sejak 1950 berstatus sebagai pegawai negeri di Kementrian Agama, terlebih dahulu berhadapan dengan rejim Soekarno yang melarang pegawai negeri gologan “F” merangkap sebagai anggota partai. Hamka memilih meletakkan jabatan sebagai pegawai negeri (yang pada waktu itu gajinya merupakan tulang punggung keluarga) dan melanjutkan karir politiknya di Masyumi. Sebelum mengundurkan diri, Hamka
37
Mengenang 100 Tahun HAMKA
bertanya kepada istrinya, pilihan mana yang hendak diambil: tetap menjadi PNS dan menikmati pendapatan yang pasti atau melanjutkan perjuangan untuk umat melalui parpol. Dengan ketabahan seorang istri pejuang, pendamping hidupnya menjawab tegas, “Jadi Hamka sajalah!” Perseteruannya dengan Presiden Soekarno terus berlanjut. Pada 17 Agustus 1960, majalah “Panji Masyarakat” yang diterbitkannya sebagai corong dakwah Islam dibreidel. Puncaknya pada 1964 Hamka ditangkap dengan tuduhan melanggar Penetapan Presiden Anti Subversi seperti diuraikan pada bagian sebelumnya. Tahun 1966 rejim Soekarno tumbang, digantikan rejim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Hamka bebas dan kembali menerbitkan “Panji Masyarakat” pada 1967. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dan Anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Karismanya sebagai ulama mengantarnya terpilih sebagai Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975. Pada 1981, jabatan itu diletakkannya setelah fatwa larangan mengahadiri Natal Bersama bagi umat Islam ditentang rejim Soeharto. Soeharto mengutus Alamsyah Ratuperwiranegara, Menteri Agama, agar Hamka mencabut fatwa tersebut. Tetapi kepada Alamsyah, Hamka menegaskan kembali prinsipnya yang menempatkan kebenaran agama di atas segala kepentingan dunia dan memilih meletakkan jabatan demi mempertahankan keyakinan bahwa fatwa yang dikeluarkannya adalah haq. Sejak saat itu Hamka lebih banyak mengabdikan hidupnya untuk membangun umat yang berpusat di Masjid Agung Al-Azhar. Melalui Al-Azhar, Hamka yang acap disebut dengan panggilan Buya (Abuya=ayah) Hamka berhasil menjadi peletak dasar kebangkitan komunitas Islam moderen. Oleh H. Syuhada Bachri, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Hamka disebut sebagai ulama yang mampu melahirkan ummat dengan empat karakteristik utama: memiliki iman yang bisa melahirkan keikhlasan, memiliki ilmu yang bisa melahirkan amal, memili akhlak yang bisa melahirkan keteladanan, dan memiliki wawasan kekinian yang bisa melahirkan semangat dakwah. Empat karakteristik itulah yang melekat pada sosok Buya Hamka sebagai ulama. Karakteristik Buya Hamka itu terekam dengan sangat jelas pada puisi yang
38
dituliskannya secara khusus untuk Muhammad Natsir. Puisi ini ditulis Buya Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar pidato M. Natsir yang mengurai kelemahan sistem kehidupan buatan manusia dan dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar negara RI.
Kepada Saudaraku M. Natsir Meskipun bersilang keris di leher Berkilat pedang di hadapan matamu Namun yang benar kau sebut juga benar Cita Muhammad biarlah lahir Bongkar apinya sampai bertemu Hidangkan di atas persada nusa Jibril berdiri sebelah kananmu Mikail berdiri sebelah kiri Lindungan Ilahi memberimu tenaga Suka dan duka kita hadapi Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi Ini berjuta kawan sepaham Hidup dan mati bersama-sama Untuk menuntut Ridha Ilahi Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu .......! H. Hussein Umar, Mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang telah mangkat pada 19 April 2007, adalah salah seorang pengagum Buya Hamka
39
Mengenang 100 Tahun HAMKA
dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya seperti Prof. Kasman Singodimedjo. Sebagaimana Hamka dan Kasman Singodimedjo, Hussein Umar juga seorang orator ulung yang tak hanya cakap berpidato di atas panggung, namun seluruh waktu, tenaga, dan pikiran dicurahkan untuk dakwah. Dua jam sebelum dibawa ke rumah sakit sehari sebelum beliau dipanggil pulang ke haribaan Allah, Hussein Umar bercerita tentang tokoh-tokoh yang dikaguminya itu kepada Adian Husaini, aktifis muda Dewan Dakwah. Adian mencatat, salah satu hal yang ditekankan Hussein Umar adalah puisi Hamka yang ditulis untuk M. Natsir di atas. Berikut catatan Adian Husaini yang dipublikasikannya melalui situs www.hidayatullah.com. Ketika itu, Bang Hussein bertanya kepada saya,”Sudah baca puisi Hamka yang ditulis untuk Pak Natsir dalam sidang Konstituante?” Saya jawab, “Belum!” Ia lalu berdiri, masuk ke dalam kamar dan mengambil sebuah buku berjudul “Islam Sebagai Dasar Negara”, karya Moh. Natsir, terbitan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Bang Hussein memang kami kenal sebagai orang yang rajin dan telaten dalam mengkoleksi data-data yang penting. “Ini bacalah!,” ujarnya menunjuk pada puisi Hamka yang tertera dalam bagian depan buku “Islam sebagai Dasar Negara”. Saya pun terpana membaca puisi tersebut, kata demi kata, baris demi baris. Inilah puisi gubahan Hamka yang diberi judul “Kepada Saudaraku M. Natsir”. Puisi ini ditulis Hamka di Ruang Sidang Konstituante pada 13 November 1957, setelah mendengar pidato Moh. Natsir di Majlis Konstituante. Dalam kondisi tubuh yang lemah, tapi dengan suara yang bergetar, Bang Hussein mengucapkan dua baris terakhir puisi Hamka: Dan aku pun masukkan, dalam Daftarmu! Ulama istimewa itu kembali menemui Sang Khaliq sewaktu berusia 73 tahun lima bulan, bertepatan dengan tanggal 24 Juli 1981 pukul 10.41.08 w.i.b. Beliau wafat dengan tenang disksikan oleh segenap keluarga, sahabat, dan kawan-kawan seperjuangan.
40
notes 1) Kebudayaan Minangkabau berpusat di Pagarruyung yang wilayah-wilayahnya dibagi ke dalam tiga luhak (Agam, Tanah Datar, dan Luhak Limapuluh), sekarang setara kabupaten. Di dalam luhak terdapat nagari-nagari dan koto-koto yang pada masa berkembangnya Islam memiliki hak otonomi untuk menetapkan hukum adat tersendiri bagi nagari-nagari itu. Di bawah pengaruh ulama-ulama yang usai menimba ilmu di Mekah, hukum adat telah dijiwai oleh Syari’ah walau tetap mempertahankan corak dari dua arus besar adat Minang yakni adat Koto Piliang dan adat Budi Caniago. (Hamka; Ayahku, Pustaka Panjimas, cet. IV, 1982, hal. 5-10) 2) Hamka menyinggung-nyinggung masalah kisah-kisah menakjubkan seputar kakeknya, Tuanku Kisa-i, namun dengan bijak tidak memberi komentar apapun atas kisah-kisah tersebut melainkan hanya menekankan komentar yang sampai kepadanya bahwa “doa Tuanku Kisa-i mustajab”. (Ibid, hal.47) 3) (Ibid, hal.47) 4) Wan Muhammad Shaghir Abdullah (1945-2006), lahir di Pulau Midai, Riau, Indonesia, kemudian menetap di Taman Melewar, Gombak, Kuala Lumpur, Malaysia. Ia berasal dari keluarga ulama. Kakeknya adalah Syeikh Ahmad al-Fathani (1856-1908), ulama kenamaan yang menetap di Mekah dan menjadi salah seorang guru Haji Rasul, sedangkan ibunya keturunan keluarga besar Syeikh Daud Abdullah al-Fathani. Shagir Abdullah menekuni dunia manuksrip klasik Melayu dan banyak menghabiskan hidupnya untuk menggali teks klasik tulisan ulama Nusantara. Pada usia 12 tahun beliau mengembara ke seluruh Asia Tenggara untuk menghimpun khazanah itu selama empat dekade. Shagir Abdullah berhasil menghimpun beratus-ratus manuskrip asli baik dalam tulisan Jawi (Melayu) atau Arab. Di antaranya ada yang berusia lebih dari 500 tahun. Sepanjang hidupnya, beliau telah menghasilkan 100 judul karya asli yang memaparkan biografi ulama, karya, pemikiran, dan sejarah perjuangan, dan analisis serta kritik terhadap tokoh yang ditulisnya. Karya-karyanya menjadi rujukan kalangan akademisi, di antaranya yang menyangkut rekam jejak ulama Nusantara adalah Wawasan Pemikiran Islam Ulama Asia Tenggara Jilid 1- Jilid 7. (www.ulama-nusantara-baru.com) 5) Wan Mohd. Shagir Abdullah, Haji Abdul Karim Amrullah - Tokoh Tajdid Nusantara, (www.ulama-nusantara-baru.com) 6) (Hamka, Ayahku, ibid, hal. 61) 7) (Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Pustaka Jaya, Jakarta 1985, hal. 41). 8) (Rusydi Hamka, Makalah Seminar Pemikiran Hamka di Tanah Melayu, 2000, hal. 5) 9) (Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jilid I cet. III, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hal. 68-72). 10) (Hamka, Kenang-kenangan..., ibid, hal. 105). 11) (Hamka, Kenang-kenangan..., ibid, hal. 111) 12) (Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu I-II, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1982, hal.46) 13) (Ibid, hal.47) 14) (Ibid, hal.48) 15) (Ibid, hal.52) 16) (Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, Pustaka Panjimas, cet. II, Jakarta, 1983, hal. 238) 17) (Hamka, Tafsir..., Ibid, hal.51) 18) (Hamka, Tafsir..., Ibid, hal.52) 19) (Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Pustaka Antara, Kuala Lumpur, cet. II, 1982, hal. 432442)
41
Biografi Haji Abdul Malik Karim Amrullah HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. HAMKA lebih banyak belajar sendiri dan melakukan penyelidikan meliputi pelbagai bidang ilmu pengetahuan seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik, sama ada Islam ataupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-'Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggeris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Freud, Toynbee, Jean Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. HAMKA juga rajin membaca dan bertukar-tukar fikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Chokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fakrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang pemidato yang handal.
HAMKA juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau menyertai pertubuhan itu mulai tahu 1925 bagi menentang khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cawangan Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makasar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke31 di Jogjakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Julai 1957, Menteri Agama Indonesia iaitu Mukti Ali melantik HAMKA sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 kerana nasihatnya diketepikan oleh kerajaan Indonesia. Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka dikenal sebagai seorang petualang. Ayahnya bahkan menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa untuk mempelajari seluk-beluk gerakan Islam modern dari H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), RM. Soerjopranoto (1871-1959), dan KH. Fakhfuddin (ayah KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin). Kursus-kursus pergerakan itu diadakan di Gedung Abdi Dharmo, Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak ipamya, AR. Sutan Mansur, yang waktu itu menjadi ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh ulama setempat. Pada bulan Juli 1925, ia kembali ke rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah. Pada Februari 1927, Hamka berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim lebih kurang 6 bulan. Selama di Makkah, ia bekerja di sebuah percetakan. Pada bulan Juli, Hamka kembali ke tanah air dengan tujuan Medan. Di Medan ia menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selama beberapa bulan. Pada akhir 1927, ia kembali ke kampung halamannya. Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Pada 1928, Hamka menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo, dan sejak itu hampir tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Sepulang dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, ketua Tabligh, sampai menjadi ketua Muhammadiyah Cabang Padangpanjang. Pada 1930, ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Pada 1931, ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke Ujungpandang untuk menjadi mubaligh Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan semangat menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 (Mei 1932) di Ujungpandang. Hamka pindah ke Jakarta pada tahun 1950, dan memulai karirnya sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang dipimpin KH. Abdul Wahid Hasyim. Tahun 1950 itu juga HAMKA mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Sepulang dari lawatan ini ia mengarang apa buku roman, yaitu Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajah. Sebelumnya Hamka menulis Di Bawah Naungan Ka’bah (1938), Tenggelamrrya Kapal van der Wljk (1939), Merantau ke Deli (1940), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940), dan biografi orang tuanya berjudul Ayahku (1949).
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh proMalaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam. HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Rumah Kelahiran Buya Hamka
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai. Daftar Karya Buya Hamka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab. Si Sabariah. (1928) Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929). Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929). Kepentingan melakukan tabligh (1929). Hikmat Isra' dan Mikraj. Arkanul Islam (1932) di Makassar. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka. Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934. Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940. Tuan Direktur 1939. Dijemput mamaknya,1939. Keadilan Ilahy 1939. Tashawwuf Modern 1939. Falsafah Hidup 1939.
23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58.
Lembaga Hidup 1940. Lembaga Budi 1940. Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepun 1943). Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946. Negara Islam (1946). Islam dan Demokrasi,1946. Revolusi Pikiran,1946. Revolusi Agama,1946. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946. Dibantingkan ombak masyarakat,1946. Didalam Lembah cita-cita,1946. Sesudah naskah Renville,1947. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar. Ayahku,1950 di Jakarta. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950. Mengembara Dilembah Nyl. 1950. Ditepi Sungai Dajlah. 1950. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950. Kenangan-kenangan hidup 2. Kenangan-kenangan hidup 3. Kenangan-kenangan hidup 4. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950. Sejarah Ummat Islam Jilid 2. Sejarah Ummat Islam Jilid 3. Sejarah Ummat Islam Jilid 4. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950. Pribadi,1950. Agama dan perempuan,1939. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950). Pelajaran Agama Islam,1956. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1. Empat bulan di Amerika Jilid 2. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.
59. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM. 60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta. 61. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta. 62. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang. 63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970. 64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang. 65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang. 66. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968. 67. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah). 68. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah). 69. Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970. 70. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat. 71. Himpunan Khutbah-khutbah. 72. Urat Tunggang Pancasila. 73. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974. 74. Sejarah Islam di Sumatera. 75. Bohong di Dunia. 76. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang). 77. Pandangan Hidup Muslim,1960. 78. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973. 79. [Tafsir Al-Azhar] Juzu' 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Sukarno.
Berikut akan penulis kutipkan buku-buku tersebut 1. Di Bawah Lindungan Kaabah Judul : Di Bawah Lindungan Kaabah Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Novel Mukasurat :84 halaman Cetakan Ketiga : 2006 ISBN : 9839422413 HAMKA lahir pada 17 Februari 1908 di Meninjau, Sumatera Barat dan meninggal dunia pada 24 Julai 1981 di Jakarta. Nama sebenar Hamka ialah Haji Abdul Malik bin Karim bin Amrullah. Beliau merupakan salah seorang tokoh pendakwah yang disegani di rantau Nusantara, juga seorang yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan, penulisan kreatif dan prolifik, seorang pujangga dan ahli falsafah Islam. “…Baru sekarang adinda beroleh berita di mana Abang sekarang. Telah hampir dua tahun hilang saja dari mata, laksana seekor burung yang terlepas dari sangkarnya sepeninggal yang empunya pergi. Kadangkadang adinda sesali diri sendiri, agaknya adinda telah bersalah besar, sehingga Kakanda pergi dengan tak memberi tahu lebih dahulu. Hanya kepada surat Abang itu, surat yang hanya sekali itu dinda terima selama hidup, adinda tumpahkan air mata, kerana hanya menumpahkan air mata itulah kepandaian yang paling perhabisan bagi orang perempuan. Tetapi surat itu bisu, meskipun ia telah lapuk dalam lipatan dan telah layu kerana kerap dibaca, rahsia itu tidak juga dapat dibukanya. Sekarang Abang, badan adinda sakit-sakit, ajal entah berlaku pagi hari, entah besok petang, gerak Allah siapa tahu. Besarlah pengharapan bertemu…”
2. Di Dalam Lembah Kehidupan Judul : Di Dalam Lembah Kehidupan Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Kumpulan Cerpen Mukasurat :207 halaman Cetakan Pertama : 2006 ISBN : 9839422758
Sesungguhnya kumpulan gubahan yang saya beri nama “Di Dalam Lembah Kehidupan” ini adalah kumpulan airmata, kesedihan dari rintihan yang diderita oleh segolongan manusia di atas dunia ini. Airmata mereka itu sudah mengalir ke tanah dan hilang lenyap dalam pasir. Seorang pun tidak peduli akan hal itu. Bagaimana orang akan peduli, padahal orang sedang dibayangi kesenangan dan kemewahan?Moga-moga hikayat-hikayat pendek ini terbaca juga oleh orang yang senang hidupnya. Moga-moga mereka insaf, bahawa di sebalik tabirnya adalah orang yang susah dan sulit keadaannya; bahawa tidak sedikit makhluk yang kecewa dan melarat, yang sudah patgah sayapnya sebelum terbang, terkulai dan jatuh, sehingga tidak dapat berbangkit lagi.Bagi orang yang melarat itu pun mudahmudahan cerita ini berfaedah pula. Agak kurang duka hatinya apabila diketahuinya, bahawasanya ada juga orang lain yang senasib dengan dia.Dan bagi mereka yang bersedih hati itu karangan ini aku jadikan persembahan dan peringatan bahawa saya pun turut meratap dalam ratapnya.Kandungan 3. Falsafah Hidup Judul : Falsafah Hidup Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Esei Mukasurat :489 halaman Cetakan Kedua : 2006 ISBN : 9839422480
Dengan perjuangan kita dilahirkan. Di dalam gerak tangis kita mulai membuka mata. Di dalam bedungan ibu kita menggerakkan badan melepaskan ikatan bedung. Lepas dari asuhan ibu, kita merangkak, kita ansur tegak dan kita jatuh, lalu kita tegak lagi dan jatuh lagi. Kemudian tegak terus untuk pergi berjuang ke medan permainan, lalu ke medan hidup, lalu ke perjuangan dalam batin kita sendiri, menegakkan yang baik dan melawan yang buruk. Selama hidup kita kerjakan demikian, menjalankan titah perintah Tuhan Yang Maha Esa. Berapa pun yang dapat kita kerjakan, harus kita syukuri. Setiap hari atau masa kita hitunglah laba dan rugi. Sampai kelak datang panggilan. Panggilan yang tidak dapat ditakhirkan walau satu saat dan tak dapat pula ditaqdimkan walaupun satu saat. Panggilan yang tak dapat dielakkan oleh setiap yang bernyawa.Maka terbukalah pintu kubur. Maknanya pindahlah kita dari hidup fana kepada hidup baqa, dari hidup dunia kepada hidup akhirat. Demikianlah kita menempuh hidup; lahir, berjuang dan akhirnya mati.Betapa juapun kita harus percaya, bahawa kebaikan juga yang menang. Sebab asal-usul kejahatan kita bukan jahat, hanya baik semata. Kalau kejahatan pernah menang, hanyalah lantaran dorongan nafsu. Bila nafsu telah reda, kebaikan jualah yang kita junjung. Sebab itu hendaklah kita percaya hidup penuh dengan Iman dan baik sangka kepada Tuhan. Itulah Falsafah Hidup.Kandungan 4. Falsafah Ketuhanan Judul : Falsafah Ketuhanan Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Esei Mukasurat :178 halaman Cetakan Pertama : 2006 ISBN : 9839422766
Alam terbentang luas dan manusia hidup di dalamnya. Dalam pancaindera dan akal yang ada padanya, manusia dapat mempersaksikan Alam itu dalam segala sifat dan lakunya. ADa kebesaran, keajaiban dan keindahan, dan ada perubahan-perubahan yang tetap. Kehidupan manusia itu sendiri tidak dapat diceraikan
dengan Alam itu.Maka yang mula-mula timbul pada manusia itu adalah perasaan bahawa ada sesuatu yang menguasai Alam ini. Dia yang mengatur dan menyusun perjalanannya. Dia yang menjadikan segalanya. Dia Yang Maha Kuasa atas setiap sesuatu yang ada.Kesan pertama bahawa Ada Yang Maha Kuasa itu meratalah pada segenap manusia. Kerana kesan inilah yang tumbuh bilamana akalnya sudah mulai berjalan. bahawasanya ada sesuatu kekuatan tersembunyi di latar yang nampak ini. Yang selalu dirasai adanya, tetapi tidak dapat ditunjukkan tempatnya. Tidaklah pernah terpisah perasaan ini, walaupun bagaimana kepintaran manusia ataupun dia masih berfikir sederhana. Pada zaman akal itu mulai bertumbuh (primitif), khayalnya akan adanya yang ada itu diberinya berupa, menjadi perlambangan daripada perasaannya sendiri.
5. Hak Asasi Manusia Dalam Islam & Deklarasi PBB Judul : Hak Asasi Manusia Dalam Islam & Deklarasi PBB Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Esei Mukasurat :198 halaman Cetakan Pertama : 2002 Cetakan Kedua : 2005 ISBN : 9839422499
Jika kita menilik sejarah timbulnya segala konsep Hak Asasi Manusia, sama ada dari permulaannya di Inggeris kemudian di Amerika, juga di Perancis, pada Perang Dunia Pertama, dan Perang Dunia Kedua. Malah mungkin sekarang, era dunia tanpa sempadan dengan dalih membenteras keganasan; semuanya adalah usaha manusia Barat membebaskan diri daripada perhambaan, mencari kemerdekaan yang sejati, sama ada peribadi mahupun untuk bangsa.Tetapi, apabila keadaan telah agak merdeka, mulailah timbul kembali nafsu-nafsu jahat manusia, lalu berusaha dengan pelbagai daya agar deklarasideklarasi itu tetap termaktub sebagai “Barang Suci”, tetapi tidak dijalankan kalau akan merugikan diri, dan teruslah dipropagandakan dan diperbesarkan, kalau kita yang beruntung dan orang lain dapat dirugikan.Demikian, manusia yang mencari Hak Asasi Manusia; yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka. Seperti diucapkan oleh Saidina Umar bin Khattab, Kalifah ke-2 dari Rasulullah (S.A.W.) pemimpin Daulah Islamiyah, yang berkata bahawa : “…Mengapa
hendak kau perhambakan manusia, padahal dia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?” Perkataan ini telah diucapkan lebih 14 abad yang lalu, jauh sebelum wujudnya Deklarasi ciptaan Barat.Dalam perkara inilah Prof. Dr. Hamka memberi penilaian dan pandangan Islam tentang Hak Asasi Manusia dan membandingkannya dengan Deklarasi PBB yang menjadi rujukan manusia sejagat. Kandungan BAB 1 : SYARIAT ISLAM Apakah Erti Syariat Islam? Pengertian Syariat Manusia Memerlukan Islam Dakwah Islam Untuk Seluruh Manusia Dasar-dasar Syariat Islam Tujuan Dari Jalan Mencapainya Apakah Perkara Yang Termasuk Dalam Cakupan Syariat Islam? Kesimpulan Fahaman yang Mengelirukan Tepat Pada Masanya Krisis Politik Mesir Kabinet Sa’ad Zaghlul Pasya Jatuh Ayah Saya Kembali Dari Muktamar Ulama di Kaherah (1926) Ingin Pembaharuan Kebangkitan Sarjana-sarjana Islam Apologi ? Islam Untuk Dunia dan Akhirat Khalifah Allah Kota Mekah Kekuasaan Allah Adalah Mutlak Hubungan Dengan Kuasa Ansar Bai’at Aqabah Yang Kedua Hijrah Dengan Orang Yahudi Kesan Syaikh Mahmoud Syaltout Hijrah Sebagai Deklarasi Kemerdekaan Jika Terkabul Agama : Dunia dan Akhirat
BAB 2 : ISLAM : AKIDAH, SYARIAH & IBADAH Islam, Akidah, Syariah dan Ibadah Pendahuluan Akidah Apa Erti Akidah Akidah Tumbuh SEcara Semulajadi Makruf dan Munkar Hubungan Akidah Dengan Masyarakat Mengenal Allah Keindahan Meramu Alam Mencari Tuhan Tiada Tuhan melainkan Allah Iman Kepada Muhammad (S.A.W.) Iman Kepada Qada’ dan Qadar Jika Akidah itu Diperas Melihat Islam Sebagai “Orang Dalam” Pesan Kenegaraan Ketaatan Keadilan Syariah Iman dan Amal Salih Membuat Undang-undang dan Kebebasan Berfikir Negara adalah Bahagian Dari Agama Perbandingan Masjid Dengan Gereja Kemerdekaan Belum Berisi Di Tanah Air Indonesia Kenang-kenangan Syariat Islam Prof. D.r Hazairin SH Tentang Syariat Islam Pesanan Dari Rasulullah Penegak Keadilan Korupsi Jauhi Penguasa Yang Zalim Jangan Ambisi (Inginkan Pangkat) Amar Makruf Nahi Munkar Jihad Yang Paling Besar
Ibadah Mahu Atau Pun Tidak Mahu! Bercermin Kepada Alam Nikah Kahwin Hidup dan Usaha Hadis-hadis Bangun Pagi-pagi Keberanian Hidup Masuk Pasar Saudagar-saudagar Yang Jujur Pertanian Upah Buruh Tujuh Orang Yang akan Mendapat Perlindungan Semuanya Ibadat Di Sini Perlunya Jihad BAB 3 : HUBUNGAN ANTARA AGAMA & NEGARA MENURUT ISLAM Hubungan Antara Agama dan Negara Menurut Islam Iman Sebagai Dasar Beragama Iman dan Amal Salih Kristian dan Negara Yahudi dan Negara Sikap Islam Terhadap Negara Akidah dan Syariah Pemisah Agama dengan Negara Dari mana Timbulnya Kata-kata ini? Islam dan Negara Politik Pertahanan Negara Penutup BAB 4 : HAK ASASI MANUSIA DALAM DEKLARASI PBB DAN ISLAM Perbandingan Antara Hak Asasi Manusia Dalam Deklarasi PBB dan Islam Pendahuluan Mengenai Materinya Ghetto (Daerah Kediaman Orang Yahudi) Hak Wanita
Hukum Murtad Islam Suatu Sistem Tidak Ada Paksaan Dalam Agama Islam Dimajukan Dengan Pedang Teknik Propaganda Tidak Ada yang Menyukai Murtad Negara-negara Islam Menerima? Seruan Kita Majlis Umum PBB Mengumumkan BAB 5 : ISLAM BANGKITKAN KEMERDEKAAN & KEBERANIAN Doktrin Islam Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian Hapsak Pancasila 6.
Hamka Pujangga Islam - Kebanggaan Rumpun Melayu (Menatap Peribadi dan Martabatnya) Judul : Hamka Pujangga Islam Kebanggaan Rumpun Melayu (Menatap Peribadi dan Martabatnya) Pengarang : H. Rusydi Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Biografi Mukasurat :396 halaman Cetakan Pertama : 2005 ISBN : 9839422464
Banyak perkara yang belum diketahui oleh orang ramai, perihal peribadi dan martabat Prof. Dr. Hamka, termaktub dalam buku ini. Dan banyak pula dokumen yang belum tersiar, yang selama ini ingin kita ketahui duduk perkaranya; seperti pengalaman Hamka selama dipenjarakan oleh Presiden Sukarno, dan sikap Hamka yang meletak jawatan sebagai Yang Dipertua Majlis Ulama Indonesia, sebelum habis tempoh jawatannya. Dan, banyak lagi.Selain perkara umum, agama dan politik, tak kurang menariknya ialah kehidupan peribadi Hamka sebagai seorang : Suami, Ayah, Datuk dan Mamak serta orang tua
daripada suatu keluarga Syeikh (Tuan Guru) asal Minangkabau yang punyai budaya dan adat resam tersendiri.Penulis juga mengetengahkan kemahiranj Hamka membahagi waktu antara mengarang, berkhutbah, ceramah, beri syarahan dan kuliah subuh, membaca buku dan tilawah Al-Quran serta menerima ramai tetamu yang meminta nasihat. Nasihat masalah keluarga, urusan peribadi dan lain lagi; sehinggalah orang ramai perlu beratur mengunggu giliran, seperti halnya hendak berjumpa doktor perubatan di klinik atau hospital. Semua itu dilakukannya penuh ikhlas, tanpa mendapat bayaran, apatah lagi meminta. Ia kerana Allah, demi membantu sesama insan. Itulah pengabdiannya kepada Allah, menerusi kasih sayang kepada sesama ummah.Sudah pasti, hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang amat bernilai lagi berharga bagi kita untuk mengenali, menatap peribadi dan martabah Prof. Dr. Hamka. Kandungan Pengantar Penerbit Pengantar Penerbit Pustaka Panjimas Pengantar Penulis Catatan Latar Belakang Kehidupan Hamka Tongkat-tongkat Buya Hamka Ubat Hati Ayah dan Ubat dari Anak Tanah Deli Untung-untungan Dari Hari ke Hari Fatwa Dalam Humor Muru’ah 1 Muru’ah 2 Anak-anak Kesebelas Masalah Metropolitan Merindukan Cucu Kemandang Dakwah Terpegang di Pangkal Bedil Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia Jambatan Ummah dan Pemerintah Menjelang Akhir Hayat dan Penutup Lampiran-lampiran I. Catatan Dalam Tahanan Regim Sukarno II. Sambutan Sebagai Ketua Umum Majlis Ulama III. Toleransi (Kerukunan Beragama) IV. Surat Peribadi untuk Pak Harto V. Pembahasan dari Hal Intisari UUD `45
VI. Surat kepada Pangkopkamtib Sudomo VII. Surat Jawapan dari Pangkopkamtib Sudomo VIII. Karya-karya Buku Sejak Menulis dan Mengarang 1928 (Usia, 17 Tahun) 7. Islam & Adat Minangkabau Judul : Islam & Adat Minangkabau Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Esei Mukasurat :356 halaman Cetakan Pertama : 2006 ISBN : 9839422774
Pada hakikatnya di Minangkabau orang laki-laki amat sengsara. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Hanya sebentar sahaja dia tinggal di dalam rumah ibunya, iaitu sampai umur 6 tahun. Selepas itu, dia sudah mesti tidur di surau bersama-sama temannya sambil belajar mengaji Al-Quran. Malu benar bagi anak Minangkabau tidur di rumah apabila sudah pandai melangkah ke surau. Setelah patut beristeri, dia menjadi semenda ke rumah isterinya, dan dia tidak ada kuasa di dalam rumah itu. Kalau dia bercerai dari sana, dialah yang mesti membawa bungkusannya dan berangkat.Demikian adat Minangkabau yang dikatakan sebagai :”Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah, Syarak mengatakan, Adat memakai, Masjid sebuah, balairung seruang”Ketika buku ini mulai tersiar nescaya pihak nenekmamak yang berfaham kolot dengan serta-merta menyatakan kemarahannya, malahan ada pula bermaksud hendak menculik penulis kerana dipandang hendak meruntuh adat. Bahkan ada yang menuduh bahawa penulis adalah kakitangan “Nica” (penjajah), iaitu tuduhan yang mudah saja dilemparkan kepada setiap orang yang disenangi pada masa itu.
Kandungan Pengantar Penerbit 1. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi Pendahuluan Kebesaran dan Kebudayaan Benteng yang Teguh Susunan Masyarakat Zaman Perubahan Bagaimana di Alam Minangkabau Sendiri Menghadaplah ke Muka Ratap Jiwa Anak Minang di Rantau Kedudukan Ninik Mamak Rumah Gadang Membangunkan Minangkabau Baru (Dalam Rangka Kesatuan Bangsa Indonesia) Sekolah Tinggi, Universitas & Fakultas Sastra Daerah Raja-raja Peralihan 2. Adat Minangkabau dan Harta Pusaka Pendahuluan Lambang Kesatuan Adat Keelokan ADat Minangkabau Pendapat dan Fatwa Ulama-ulama Minangkabau Tentang Harta Pusaka Segi Kelemahan Harta Tua Anak Minang Terbuka Mata Zaman Baru Ulasan 3. Hubungan Timbal Balik Adat dan Syarak Dalam Kebudayaan Minangkabau 4. Adat nan Kawi, Syarak yang Lazim 5. Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Thaher Jalaluddin Pendahuluan Zaman Perantaraan Pembaharuan Gelombang Kedua
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Empat Orang Murid Yang Pulang ke Minangkabau Syeikh Thaher Jalaluddin Al-Azhari Al-Falaki Kesimpulan Penutup 6. Muhammadiyah di Minangkabau 8. Kesepaduan Iman & Amal Salih Judul : Kesepaduan Iman & Amal Salih Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Esei Mukasurat :198 halaman Cetakan Pertama : 2003 ISBN : 9839422537
Hubungan di antara Iman dengan amal, adalah hubungan antara budi dan perangai. Kalau kita percaya kepad aAllah tentu kita cinta kepadaNya, tentu kita sudi berkorban menuruti apa yang terpakai dalam alam ini, adalah cinta palsu. Apatah lagi terhadap Allah, nescaya iman palsu, Islam palsu.Memperakui diri seorang Islam padahal tidak mengerjakan solat lima waktu, cubalah fikirkan, betulkah pengakuan itu? Mendakwa diri seorang Islam, padahal enggan mengeluarkan zakat? Sebab apa? Apakah lantaran merasa bahawa harta itu bukan pemberian Tuhan? Mengakui diri seorang Islam, pahal enggan melakukan puasa Ramadhan. Apakah sebabnya? Bukankah ini lantaran pengakuan itu belum bulat? Lain di mulut lain pula di hati?Anda hendak berjuang, menegakkan cita-cita Islam, dalam masyarakat, dalam negara, ekonomi, politik dan sebagainya, padahal solat lima waktu anda tinggalkan. Hal ini petanda rumah yang hendak anda bina itu, anda tegakkan di atas tiang yang lapuk. Atau anda mendirikan rumah tidak memakai tiang. Maka selamanya rumah itu tidak akan tegak. Rumah baru berdiri, apabila dimulai dari sendinya.Demikian pula dalam beragama, harus dimulai dari sendinya. Jika tidak, petanda bahawa pengakuan belum betul, kepercayaan belum duduk, maknanya iman belum ada. Kalau iman belum ada, nescaya Islam pun belum ada. Cubalah tanyai hati sendiri. Apakah beratnya mengerjakan perintah? … Demikian ungkapan Prof. Dr. Hamka dalam buku ini.
Kandungan Pengantar Penerbit Pengantar Penyusun Iman dan Amal Salih atau Akidah dan Syariah Mendustakan Agama Mencari Jalan Ke Luar Pertentangan Batin Mawas Diri Menuju Cita Kemuliaan Ibadah dan Hubungannya Dengan Jiwa Tanggungan Negara, Masyarakat dan Rumahtangga Sinar Cahaya Iman Makhluk Pilihan Yang Membuat Kita Gagal Kehidupan Budi Pekerti Nabi Muhammad (S.A.W.) Tujuh Belas Ramadhan 9. Lembaga Budi - Perhiasan Insan Cemerlang Judul : Lembaga Budi Perhiasan Insan Cemerlang Pengarang : Prof. Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Esei Mukasurat :224 halaman Cetakan Pertama : 2003 ISBN : 9839422529
Kelebihan dan perbezaan manusia daripada makhluk lain, ialah manusia itu bilamana bergerak, gerak dan gerinya itu timbul dari dalam, bukan dari luar. Segala usaha, pekerjaan, langkah yang dilangkahkan, semuanya itu timbul daripada suatu maksud yang tertentu dan datang dari suatu perasaan yang tinggi, yang mempunyai kekuasaan penuh dalam dirinya. Tidak demikian dengan binatang. Gerak-geri binatang hanya tunduk kepada gharizah semata-mata, tidak disertai oleh pertimbangan.Kerana, pada manusia itu ada kekuatan menimbang, wajiblah ikhtiarnya itu dibawanya kepada yang lebih dalam. Pengalamannya, penderitaannya, kejatuhannya, kegagalan dan kecewa dan seumpamanya, semua itu laksana wang
sekolah, wang bayaran bagi keinsafannya menimbang dan berusaha pada zaman yang akan datang. Keutamaan budi, itulah tujuan yang akhir. Menyingkirkan diri dari kebinatangan, itulah cita-cita yang mulia. Bukit itulah yang didaki orang budiman, setengah jatuh dan setengah bangun, ada yang tidak tahan, ada yang lemah kakinya, lalu terjatuh dan tidak bangun lagi. Ada pula yang tegak kembali, dan melangkah terus perlahan-lahan tapi pastinya, tidak mengenal putus asa.Hidup berbudi itu tujuan kita, kata Prof. Dr. Hamka : Diribut runduklah padi, Dicupak Datuk Temanggung; Hidup kalau tidak berbudi, Duduk tegak ke mari canggung. Kandungan Pengantar Penerbit Pendahuluan Budi Yang Mulia Sebab Budi Menjadi Rosak Penyakit Budi Tinjauan Ibnu Maskawih Pendapat Muhyiddin Ibnu Arabi Pendapat Ahli Falsafah Ibnu Hazm Pendapat Imam Ghazali Tanda-tanda Penyakit Jiwa dan Tanda Sembuhnya Bagaimana Mengenal Kekurangan Diri Budi Orang Yang Memegang Pemerintahan Budi Yang MUlia Pada Raja Budi Orang Yang Membuka Syarikat Budi Yang Mulia Pada Pedagang Sifat Dalam Bekerja Budi Yang Mulia Pada Pengarang
Tinjauan Budi Ubat Akhlak Tujuan Menjatuhkan Hukuman Dosa Pada Masyarakat Percikan Pengalaman 10. Merantau Ke Deli Judul : Merantau Ke Deli Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Novel Mukasurat :181 halaman Cetakan Kedua : 2004 ISBN : 9839422421 HAMKA lahir pada 17 Februari 1908 di Meninjau, Sumatera Barat dan meninggal dunia pada 24 Julai 1981 di Jakarta. Nama sebenar Hamka ialah Haji Abdul Malik bin Karim bin Amrullah. Beliau merupakan salah seorang tokoh pendakwah yang disegani di rantau Nusantara, juga seorang yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan, penulisan kreatif dan prolifik, seorang pujangga dan ahli falsafah Islam.”… O, abang! Banyak… banyak sekali yang teringat olehku. Kian lama saya menangis, kian banyak yang terupa, sehingga air mataku jatuh tak tertahan-tahan. Pertama, sudah terbayang-bayang di muka saya bagaimana kesengsaraan yang akan kita tempuh, yang berat dan ringannya akan terpikul di atas bahu abang sendiri. Akan sanggupkah abang beristeri seorang lagi? Bukanlah menurut adat kampung halaman abang sendiri… seorang lelaki ke mana pun dia merantau, maka hasil pencariannya itu mesti ditumpahkannya di muka isterinya. Hawa nafsu orang kampung mesti abang cukupkan, apa lagi hawa nafsu isteri sendiri.Dia meminta sawah dan rumah, meminta perkakas gelang dan perhiasan-perhiasan yang lain. Dan dia tidak akan tahu dari mana abang memeras tenaga untuk keperlukannya itu. Selama ini isteri abang hanya adinda seorang, adinda tidak mengharapkan senang atau harta benda abang. Berilah adinda sehelai selimut penutup badan, berilah sepertegak kain penutup tubuh, beroleh nasi setempurung pagi setempurung petang, cukuplah sudah bagiku. Tetapi kalau abang beristeri seorang lagi, apalagi dia lebih muda, sekampung pula, abang akan sengsara, percayalah!”
Kandungan 1. Malam Gajian 2. Pertemuan 3. Kahwin 4. Hakikat Rumahtangga 5. Keberuntungan 6. Pulang 7. Angin Berkisar 8. Surat Dari Kampung 9. Perkahwinan 10. Dua Kapal Satu Juragan 11. Pecah 12. Menuruti Adat Lembaga 13. Tegak Lagi 14. Memenuhi Cita-cita 15. Pertemuan dan Perpisahan 16. Penutup 11. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Judul : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Pengarang : Prof Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd Genre : Novel Mukasurat :286 halaman Cetakan Keempat : 2007 ISBN : 9833707294
HAMKA lahir pada 17 Februari 1908 di Meninjau, Sumatera Barat dan meninggal dunia pada 24 Julai 1981 di Jakarta. Nama sebenar Hamka ialah Haji Abdul Malik bin Karim bin Amrullah. Beliau merupakan salah seorang tokoh pendakwah yang disegani di rantau Nusantara, juga seorang yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan, penulisan kreatif dan prolifik, seorang pujangga dan ahli falsafah Islam.”…Di dalam usia 31 tahun (1938), masa darah muda masih cepat alirannya dalam diri, dan khayal serta sentimen masih memenuhi jiwa, pada waktu itulah ‘ilham’ Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini mula kususun dan dimuat berturut-turut dalam majalah yang kupimpin.Setelah itu ia diterbitkan menjadi buku… Belum berapa lama tersiar, ia pun habis. Ramai pemuda berkata : “Seakan-akan tuan
menceritakan nasibku sendiri.” Ada pula yang berkata : ” Barangkali tuan sendiri yang tuan ceritakan…” Kandungan Pendahuluan 1. Anak orang terbuang 2. Yatim piatu 3. Menuju negeri nenek moyang 4. Tanah asal 5. Cahaya hidup 6. Berkirim-kiriman suarat 7. Pemandangan di dusun 8. Berangkat 9. Di Padang Panjang 10. Pacu Kuda dan Pasar Malam 11. Bimbang 12. Meminang 13. Pertimbangan 14. Pengharapan yang putus 15. Perkahwinan 16. Menempuh hidup 17. Jiwa Pengarang 18. Surat-surat Hayati kepada Khadijah 19. Kelab Anak Sumatera 20. Rumahtangga 21. Hati Zainuddin 22. Dekat, tetapi berjauhan 23. Surat cerai 24. Air mata penghabisan 25. Pulang 26. Surat Hayati yang penghabisan 27. Sepeninggal Hayati 28. Penutup
12. Terusir Judul : Terusir Pengarang : Prof. Dr. Hamka Penerbit : Pustaka Dini Genre : Novel Mukasurat : 112 halaman Cetakan Pertama : 2007 ISBN : 9789833707102
Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Meninjau, Sumatera Barat dan kembali ke Rahmatullah pada 24 Julai 1981 di Jakarta. Nama sebenar Hamka ialah Haji Abdul Malik bin Karim bin Amrullah. Beliau merupakan salah seorang tokoh pendakwah yang disegani dan dihormati di rantau Nusantara, juga seorang yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan, penulisan kreatif dan prolifik. Beliau juga adalah seorang pujangga ulung dan ahli fikir Islam tersohor.”Diberinya gelaran yang buruk kepada perempuan itu, dinamainya ’sampah masyarakat’, dinamainya ‘bunga mengandungi racun’, ‘kupu-kupu malam’ dan lain-lain nama yang hina dan buruk. Padahal dia sendiri yang menyuruh mereka sesat ke dalam lembah itu.”"Dikutuk perempuan itu, ditimpakan segala macam kesalahan kepadanya, dikatakan dia wakil iblis, perdayaan syaitan, pahdal lela
Aktivitas lainnya : 1. Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, 1936-1942 2. Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956 3. Memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), 19501953 4. Tafsir Al-Azhar Online
View more...
Comments