Mazhab Sastra: Eksistensialisme dalam Cerpen "Tegak Lurus dengan Langit" Karya Iwan Simatupang

September 10, 2017 | Author: suci anggraeni | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Mazhab Sastra: Aliran Eksistensialisme dalam Cerpen "Tegak Lurus dengan Langit" Karya Iwan Simatupang oleh Su...

Description

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sebuah artikel sastra yang ditulis oleh Susanto (2006), Iwan Simatupang disebut-sebut sebagai Sartre Indonesia. Ia memaparkan, Pada beberapa esai Iwan yang terdapat dalam buku Esai-Esai Iwan Simatupang (2004) sering menyinggung dan membenarkan pemikiran Sartre. Iwan menganggap eksistensialisme Sartre itu bertuju ke suatu bentuk sosiologi yang lempang mengunjuk ke suatu acara sosial. Sartre bercondong ke suatu bentuk moral berlatar luas yakni, sosiologi yang marxistis. Sebagai pengarang Indonesia, Iwan lah yang terlihat paling loyal dan membenarkan pemikiran Sartre. Sebab itu layak dia disebut sebagai Sartre Indonesia (Susanto, 2006). Sejalan dengan itu Iwan Simatupang dalam esainya “Sastra dan 2 x Manipulasi” (dalam Sari, 2011) mengatakan bahwa sastra bukan melahirkan konsepsi, tetapi dilahirkan dan konsepsi tertentu. Sehingga, novel Iwan melahirkan tokoh-tokoh yang eksistensial, yakni orang-orang yang bergelut dengan permasalahan modus keberadaannya baik pilihan itu ditanggapi secara sadar maupun yang terhanyut di dalam kehidupan begitu saja (Sari, 2011). Tidak hanya esai dan novel. Keeksistensialan Iwan juga mewujud dalam cerpen dan dramanya. Salah satu cerpennya yang memuat eksistensialisme adalah cerpen

“Tegak

Lurus

dengan

Langit”.

Permana

(2011)

dalam

esainya

mengungkapkan, “Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu” dan “Tegak Lurus dengan Langit” adalah dua dari sedikit cerpen Iwan Simatupang berhasil menggugah kita untuk berpikir kembali tentang kesadaran meng-Ada manusia. Yang dimaksud “kesadaran meng-Ada” adalah bagaimana manusia (sebagai individu atau sebagai aku) menempatkan dirinya dalam hubungannya dengan orang lain, Tuhan, dan dengan segala sesuatu di luar dirinya. Karakter dalam kedua cerpen itu adalah aku yang memikul beban sisi gelap meng-Ada secara etre-pour-soi (Inggris: being-foritself atau “kesadaran manusia”) dalam pemahaman filsafat eksistensialisme.

1

Karakter tokoh dalam cerpen-cerpen Iwan Simatupang sangat “khas” dengan karakter-karakter asing “hilang” dan misterius. Karakter-karakter itu dalam kehidupan sehari-hari sangat mungkin kita kenal sebagai tetangga yang biasa-biasa saja, namun secara sosial mungkin dianggap aneh karena pikiran dan tingkah lakunya. Dalam eksistensialisme tidak membahas esensi manusia secara abstrak, maksudnya eksistensialisme membahas tentang hakikat manusia secara spesifik meneliti kenyataan konkrit manusia, sebagaimana manusia itu sendiri berada dalam dunianya. Eksistensialisme tidak mencari esensi atau substansi yang ada di balik penampakan

manusia,

melainkan

hendak

mengungkap

eksistensi

manusia

sebagaimana yang dialami oleh manusia itu sendiri, misalnya seperti pengalaman individu itu tersebut. Esensi atau substansi mengacu pada sesuatu yang umum, abstrak, statis, sehingga menafikkan sesuatu yang konkret, individual, dan dinamis. Sebaliknya, eksistensi justru mengacu pada hal yang konkret, individual dan dinamis. Itu dimaksudkan karena seorang individu belajar dari apa yang mereka alami sesuai faktanya. Ada beberapa tema kehidupan yang diungkap oleh para eksistensialis. Menurut mereka tema-tema tersebut selalu dialami oleh manusia dan mendasari perilaku manusia. Tema-tema tersebut diantaranya adalah kebebasan (pilihan bebas), kecemasan, kematian, kehidupan yang otentik ( menjadi diri yang otentik), ketiadaan, dll. Masalah kebebasan dan kehidupan yang otentik oleh eksistensialime dianggap sebagai dua masalah yang mendasar dalam kehidupan manusia. Manusia diyakini sebagai makhluk yang bebas dan kebebasan itu adalah modal dasar untuk hidup sebagai individu yang otentik dan bertanggung jawab. Selain itu, eksistensialisme

2

memiliki ciri-ciri filsafat, yaitu anguish (ketakutan), forlornes (kesendirian), dan despair (keputusasaan). Berdasarkan ciri khas filsafat eksistensialisme yang telah dipaparkan tersebut, maka peneliti menggunakan cerpen “Tegak Lurus Dengan Langit” karya Iwan Simatupang ini sebagai objek kajian yang akan digali melalui telaah struktural. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut. 1) Apa yang dimaksud dengan eksistensialisme : pengertian dan ciri-ciri? 2) Bagaimana eksistensialisme dalam cerpen “Tegak Lurus dengan Langit” karya Iwan Simatupang ditinjau melalui pendekatan struktural? C. Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini, yakni untuk mendeskripsikan: 1) Eksistensialisme : pengertian dan ciri-ciri; 2) Eksistensialisme dalam cerpen “Tegak Lurus dengan Langit” karya Iwan Simatupang ditinjau melalui pendekatan struktural.

BAB II PEMBAHASAN

3

A. Kajian Teoretis 1. Pengertian Eksistensialisme Istilah eksistensi berasal dari kata existere (eks=keluar, sister=ada/berada). Dengan demikian, eksistensi memiliki arti sebagai “sesuatu yang sanggup keluar dari keberadaannya” atau “sesuatu yang mampu melampaui dirinya sendiri”. Dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak ada sesuatu pun yang mempunyai ciri atau karakter exitere, selain manusia. Hanya manusia yang mampu keluar dari dirinya, melampaui keterbatasan biologis dan lingkungan fisiknya. Manusia juga berusaha untuk tidak terkungkung oleh segala keterbatasan yang dimilikinya. Oleh sebab itu, para eksistensialis menyebut manusia sebagai suatu proses “menjadi”, gerak yang aktif dan dinamis (Abidin, 2006, hlm. 34). Sedangakan, eksistensialisme sendiri adalah gerakan filsafat yang menentang esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia (Bagus, 2005, hlm. 185). Lebih lanjut, Abidin (2006, hlm. 33) mengungkapkan

bahwa

eksistensialisme berbeda dengan aliran filsafat lain. Eksistensialisme tidak membahas esensi manusia secara abstrak, melainkan secara spesifik meneliti kenyataan konkrit manusia sebagaimana manusia itu sendiri berada dalam dunianya, serta hendak mengungkap eksistensi manusia sebagaimana yang dialami oleh manusia itu sendiri. Esensi atau substansi mengacu pada sesuatu yang umum, abstrak, statis, sehingga menafikan sesuatu yang konkret, individual dan dinamis. Sebaliknya eksistensi justru mengacu pada sesuatu yang konkrit, individual dan dinamis. Sejalan dengan itu, Tafsir (2006, hlm. 218-219) menjelaskan bahwa berdasarkan pemahaman umum eksistensi berarti keberadaan. Akan tetapi, eksistensi dalam kalangan filsafat eksistensialisme memiliki arti sebagai cara berada manusia, bukan lagi apa yang ada, tapi, apa yang memiliki aktualisasi (ada). Cara manusia berada di dunia berbeda dengan cara benda-benda. Bendabenda tidak sadar akan keberadaannya, tak ada hubungan antara benda yang satu dengan benda yang lainnya, meskipun mereka saling berdampingan.

4

Keberadaan manusia di antara benda-benda itulah yang membuat manusia berarti. Cara berada benda-benda berbeda dengan cara berada manusia. Dalam filsafat eksistensialisme, bahwa benda hanya sebatas “berada”, sedangkan manusia lebih apa yang dikatakan “berada”, bukan sebatas ada, tetapi “bereksistensi”. Hal inilah yang menunjukan bahwa manusia sadar akan keberadaanya di dunia, berada di dunia, dan mengalami keberadaanya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, mengerti apa yang dihadapinya, dan mengerti akan arti hidupnya. Artinya, manusia adalah subjek, yang menyadari, yang sadar akan keberadaan dirinya. Dan barang-barang atau benda yang disadarinya adalah objek. Dari

beberapa

pengertian

tersebut,

dapat

disimpulkan

bahwa

eksistensialisme adalah gerakan filsafat yang mengacu pada aspek eksistensi atau “keberadaan”. Eksistensi mengacu pada sesuatu yang konkrit, individual, dan dinamis. Dalam hal ini, eksistensialisme memandang bahwa benda hanya sebatas “berada”, sedangkan manusia lebih apa yang dikatakan “berada”, bukan sebatas ada, tetapi “bereksistensi”. Manusia juga berusaha untuk tidak terkungkung oleh segala keterbatasan yang dimilikinya. Oleh karena itu, manusia disebut sebagai subjek yang bergerak aktif dan dinamis. 2. Ciri-ciri Eksistensialisme Jean Paul Sartre merupakan tokoh Eksistensialisme yang sangat terkenal. Ia membuat filsafat Eksistensialisme menjadi tersebar luas. Hal ini disebabkan kecakapannya yang luar biasa sebagai sastrawan. Ia menyajikan filsafatnya dalam bentuk roman dan pentas dalam bahasa yang mampu menampakkan maksudnya kepada para pembacanya. Secara garis besar, paham Sartre mengenai Eksistensialisme adalah sebagai berikut : 1) Existence precedes essence, yaitu manusia tercipta di dunia tanpa ada tujuan hidup. Manusia berada di dunia terlebih dahulu kemudian ia mencari makna dalam hidupnya. Ia mencari dengan berpetualang ke

5

berbagai tempat untuk menjumpai peristiwa yang terjadi dalam masyarakat; 2) Berada dalam diri, yaitu filsafat berpangkal dari realitas yang ada. Sesuatu dilihat dari fakta ada atau tidak di depan mata. Seperti benda yang tercipta di bumi; 3) Berada untuk diri, maksudnya bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya, ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada. Manusia berbeda dengan benda. Manusia sadar bahwa ia ada di dunia. Oleh sebab itu ia bertanggung jawab atas keberadaannya di dunia; 4) Manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Apa pun yang dilakukan manusia menjadi tanggung jawabnya sendiri. Apapun akibat yang ditimbulkannya; 5) Manusia sebagai subjek yang merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Manusia sebagai individu yang membuat peraturan atau nilai bagi dirinya sendiri bukan orang lain. (Sartre, 1948 dalam Fauzia, 2013). Eksistensialisme meliputi makna/aspek kehidupan manusia di dunia. Seorang manusia lahir untuk mencari sendiri makna hidupnya di dunia. Hal ini dilakukan dengan melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mencari makna hidup. Jika manusia banyak bepergian dan menemukan banyak peristiwa dalam perjalanannya, maka ia juga dapat menangkap makna dari peristiwa tersebut. Pada umumnya peristiwa hidup yang dialami manusia dalam kaca mata eksistensialisme mengandung elemen ateis, kebebasan, tanggung jawab dan kematian. Berikut penjelasan dari tiap elemen tersebut. 1) Ateis Di dalam ateisme Sartre di jumpai suatu penolakan adanya Tuhan. Pertama tentang ateisme berdasarkan biografi pada masa kanak – kanak. Dalam pengalaman Sartre dapat dipelajari bagaimana mengkomunikasikan gambaran mengenai Tuhan khususnya pada anak-anak dalam pendidikan religius mereka. Jika sifat Maha Adil dan Maha Tahu Tuhan ditekankan sedemikian rupa, sehingga Ia nampak sebagai hakim penghukum. Maksudnya ia mampu memasuki ruang pribadi manusia, maka bukan tidak mungkin 6

gambaran ini akan membekaas di hati sanubari anak dan menimbulkan resistensi kelak bila ia sudah dewasa (Stuttgart, 2006) dalam (Fauzia, 2013). Di samping itu, argumentasi prinsipil bagi penolakan Tuhan dalam pemikiran Sartre adalah filsafat ateistik. Rancangannya yang mengatakan karena manusia bebas dan harus sendiri bertanggung jawab, maka Tuhan dan segala penentuannya tidak boleh ada. Jika Tuhan ada maka akan membatasi kebebasan manusia itu sendiri. Manusia akan taat pada nilai-nilai dari Tuhan dan kebebasan tidak mempunyai makna. Paham kebebasan Sartre bersifat total dan radikal. Kebebasan itu merupakan kemampuan fundamental kesadaran manusia yang menegasi segala “ Ada “ yang ajeg, faktual, dan tak berubah sifatnya. Dari uraian di atas Sartre menyatakan dengan tegas bahwa manusia menghadapi fakta Tuhan tidak ada (Sartre, 1948, hlm. 56) dalam (Fauzia, 2013). Di samping itu, dunia dan benda-benda yang ada di dunia terbentuk dengan sendirinya. Terbentuknya dunia dan seisinya sekedar terbentuk tanpa ada alasan maupun tujuan mengapa dan untuk apa. Mereka tidak tercipta dan tidak ada alasan untuk hidup. Mereka sekedar ada di dunia. Tidak ada ikut campur tangan Tuhan di dunia (Sartre, 1956, hlm. lxv-lxix) dalam (Fauzia, 2013). 2) Kebebasan Para eksistensialis secara umum menekankan pentingnya kebebasan manusia dan pilihan kreatif yang bebas. Kebebasan manusia ini muncul dalam eksistensialisme sebagai konsekuensi logis dari pernyataan existence precedes essence yang berarti penegasan subyektifitas yang tidak didahului oleh sesuatu yang disebut human nature atau juga skema rasional tentang realitas. Seluruh konsep-konsep yang deterministis baik oleh hukum-hukum biologis, fisiologis, social dan historis ditolak oleh para eksistensialis. Manusia sendiri yang menentukan esensinya.

7

Kebebasan bukan suatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan, tetapi suatu realitas yang harus dialami. Kebebasan manusia yaitu bebas memilih diantara kemungkinan-kemungkinan yang ada, menetapkan keputusankeputusan serta bertanggung jawab tentang semua itu. Dalam diskursus mengenai kebebasan diantara kaum eksistensialis, Sartre adalah yang paling radikal dalam merumuskan doktrin kebebasan. Bahkan dalam sejarah pemikiran Barat. Manusia adalah bebas, manusia adalah kebebasannya. Tidak ada yang membatasi dan membelenggu manusia baik keduniaan maupun ketuhanan. Kebebasab manusia adalah absolute dengan konsekuensi pertanggung jawaban individual terhadap perilakuperilaku, pemikiranpemikiran, dan situasi-situasinya sendiri adalah juga absolut. (Abidin, 2006, hlm. 201). Sartre memandang kebebasan identik dengan kesadaran. Ia mencoba membuktikan bahwa kesadaran mengandaikan kapasitas manusia untuk menjauh dari kausalitas dunia sedemikian rupa sehingga kesadaran terbebas dari relasi-relasi kausal yang mengungkungnya. Setiap bentuk kesadaran dalam hubungannya dengan dunia selalu ditandai oleh terputusnya terhadap relasi kausal. Keberadaan manusia yang sejati merupakan produk dari perbuatanperbuatan bebas sendiri. Menjadi diri sendiri hanya mungkin kalau manusia memilih sendiri dan menentukan sendiri bentuk baik eksistensinya. Kebebasan pada prinsipnya dibebankan pada manusia dalam situasi tertentu di dunia dan bukan merupakan pilihannya. Manusia bebas sebebas-bebasnya untuk memaknai situasinya itu melalui perbuatan-perbuatan dan usaha-usaha yang dipilih dan ditentukan oleh dirinya sendiri. Situasi di dunia yang dibebankan manusia (misalnya berupa lingkungan yang buruk dan keras, cacat tubuh atau peperangan yang banyaj meminta korban), justru merupakan prasyarat bagi kebebasan. Kebebasan tidak mungkin terwujud tanpa situasi – situasi yang sudah tersedia, tahap situasi-situasi yang tidak dipilihnya sendiri di dunia (Abidin, 2006, hlm. 201). 8

Sartre menyebut situasi dunia sebagai Yang Absurd. Hal ini karena dunia tidak mempunyai alasan untuk ada “Saya tahu itulah dunia, dunia twlanjangh yang tiba-tiba memunculkan dirinya sendiri, dan saya telah menjadi gusar dengan kehidupan yang kotor dan absurd ini.” (Sartre, 1938, hlm.180) dalam (Fauzia, 2013). Absurditas ini membangkitkan dalam diri manusia suatu perasaan muak. Muak merupakan suatu ayng menjijikkaan karena kurangnnya makna dalam keberadaannya, suatu keengganan yang mendatangkan sekumpulan realitas yang hitam, tidak jelas dan tidak teratur, suatu rasa sakit yang muncul dalam diri manusia dari kehadiran eksistensi di sekelilingnya, eksistensi seperti “jelly yang lunak, lengket dan mengotori segalanya” (ibid 172-180). Dalam menghadapi kehidupan manusia mempunyai kebebasan. Sartre mengajarkan bahwa manusia berbeda dari mahkluk yang lain karen kebabasannya. Dunia di bawah manusia hanya sekedar ada, hanya disesuaikan, diberikan, sedang menusia menciptakan dirinya sendiri dalam pengertian bahwa ia menciptakan hakikat keberadaanya sendiri (Miret, 1948, hlm.27-28) dalam (Fauzia, 2013). Bahkan tuhan pun tidak ikut campur mengenai hakikat keberadaan manusia. Hakikat manusia pertama kali sebagai benda kemudian manjadi manusia sejati ketika ia secara memilih moralitas yang diinginkannya (Miret, 1948, hlm.50) dalam (Fauzia, 2013). Kebebasan digunakan untuk menentukan menjadi manusia seperti yang diinginkannya sendiri. Termasuk kebebasan memilih nilai-nilai yang di yakini sehingga manusia membentuk hakikatnya sendiri: ia menciptakan dirinya sendiri. Manusia benar-benar menjadi manusia hanya pada tingkat dimana ia menciptakan dirinya sendiri dengan tindakantindakan bebasnya sebagaimana mengekspresikannya, ”Manusia bukanlah suatu yang lain kecuali bahwa ia menciptakan dirinya sendiri” (Miret, 1948, hlm. 28) dalam (Fauzia, 2013). Dalam menciptakan dirinya sendiri dengan pilihan moralitasnya, manusia tidak mempunyai ukuran yang ia ikuti karena Tuhan tidak ada 9

norma-norma yang objektif (Miret, 1948, hlm. 33) dalam (Fauzia, 2013). Setiap orang sepenuhnya milik dirinya sendiri, maka ia harus memutuskan untuk dirinya sendiri pula harus memilih sendiri. Orang lain menasehatinya dan mencoba menunjukkan suatu atau lebih cara, tetapi tidak satupun dari mereka bisa menunjukkan kekuasaanya (Beauvoir, 1948, hlm. 142) dalam (Fauzia, 2013). Oleh sebab itu setiap orang menjadi juri moralitas tertinggi karena setiap orang merupakan penemu nilai. 3) Tanggung jawab Sartre mengatakan bahwa manusia mempunyai kesadaran terhadap dirinya sendiri. Hal ini tidak dapat diganti dengan orang lain. Keberadaan manusia berbeda dengan benda-benda yang tidak mempunyai kesadaran sendiri. Bagi manusia “ada” merupakan keterbukaan. Berbeda dengan benda lain yang keberadaanya dengan esensinya. Bagi manusia keberadaan mendahului esensi. Manusia bukan apa-apa tapi di menciptakakan dirinya sendiri. Seperti utama eksistensialisme. Dasar pertamanya mengetahui manusia berusaha mendekati subyektifitas. Manusia pencipta dirinya sendiri tidak pernah berhenti mencoba

dengan usaha. Kemudian menusia

merencanakan segalanya untuk dirinya sendiri sebagai keberadaanya untuk menghadapi masa depan. Manusia bukan berarti apa-apa tapi rencananya yanh perlu. Ia ada hanya untuk menegaskan bahwa ia dapat memenuhi kebutuhannya sendirinya. Oleh sebab itu ia tidak berarti daripada tindakannya, tidak berarti daripada hidupnya. Ini berarti bahwa mnusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Manusia dimanapun keberadaanya serta apaun makna keberadaanya tidak ada yang bertanggung jawab kecuali dirinya sendiri. Dalam membentuk dirinya sendiri, manusia mempunyai kesempatan untuk memilih apa yang bagus dan apa yang buruk bagi dirinya. Setiap pilihan yang ia pilih merupakan pilihannya sendiri. Ia tidak dapat menyalahkan orang lain bahkan mengandalkan Tuhan. Menurut Sartre, apapun yang dipilih manusia sebagia individu berarti benar-benar pilihanya yang ,mempengaruhi semua nilai kemanusiaan. Meskipun ada membuat 10

keputusan berdasarkan pertimbangannya sendidri. Sikap untuk memilih merupakan perwakilan manusia secara umum sebagai impian individu. Apa yang dipilih merupakan baik diantara pilihan yang dihadapi. (Hassan, 2001, hlm. 128). Manusia berbuat untuk dirinya sendiri manusia tidak boleh menyalahkan orang lain jika ada kesalahan, ia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Manisia mempunyai komitmen dan rasa tanggung jawab. Ia memperhatikan terhadap kepuasaanya dan perasaanya yang ditunjukkan lewat impiannya.

Tidak ada

yang

mempengaruhi

manusia

bersikap

atau

mendorongnya kedalam masa depan. Manusai benar-benar bebas untik membuat keputusan bahkan resiko dan tanggung jawab yang ia hadapi (Barnes, 1956, hlm. 256) dalam (Fauzia, 2013). Manusia menemukan sendiri nilai hidupnya di dunia. Ia berusaha tanpa peraturan apa pun meskipun agama yang datang dari Tuhan. Ia akan mengabaikannya. Ia akan menciptakan nilai yang ia suka. Untuk hal itu, ia berpergian mengitari dunia untuk mendapatkan makna hidup. Ia mendpatkan ketika berhubungan dengan orang orang lain. Ia belajar dari lingkungan dan perilaku orang lain. Hal itulah mempengarihi pemikirannya. Dengan pemikirannya ia memilih kemungkinan-kemungkinan yang ia jumpai dan berusaha untuk merealisasikannya. Dan itu menjadi tanngung jawabnya. 4) Kematian Setiap eksitensi harus diakhiri dengan tibanya maut. Ini berarti maut menjadi salah satu pembatasan bagi kebebabsan manusia. Melekatnya maut pada eksitensinya menjadi bertentanganlah gagasan kebebasan mutlak. Dikarenakan maut membuta kebebasan menjadi terbatas pula. Bagi Sartre maut adalah sesuatu yang absurd. Pertama dikarenakan oleh kenyataan bahwa maut tidak bisa ditunggu kapan tibanya sekalipun bisa dipastikan akan tiba. Maut merupakan ekspektansi oleh karena itu selalu tampil samar dalam antisipasi manusia. Manusia tidak bisa memilih tibanya

11

maut itu sebab ia bukan lagi kemungkinan melainkan kepastian nistanya manusia sebagai eksistensi. Maut adalah absurd karena tibanya diluar dugaan dan pilihan manusia sendiri. Sartre mengambil contoh seorang yang menyiapkan dirinya sebagai pengarang. Ia belajar dan berlatih terus menerus. Namun ia bisa saja mati sebelum menulis halamannya yang pertama (Barnes, 1953, hlm. 624) dalam (Fauzia, 2013). Maut juga tidak mempunyai makna apa-apa bagi eksistensi. Ketika maut tiba maka eksistensi pun selesai. Dengan tibanya maut maka eksistensi menjadi esensi. Dengan perkataan lain, bagi Sartre maut merupakan sesuatu di luar eksistensi. Seseorang mati maka kematian itu bukan untuk dia sendiri, tapi untuk mereka yang ditinggalkan. Kematian memberikan makna bagi orang lain. Merekalah yang memberi arti pada kematian seseorang bukan orangnya sendiri. Sehubungan dengan itu, Sartre berpendapat bahwa maut sebagai kefaktaan. Maut memang merupakan batas terhadap kebebasan manusia tetapi batas itu berada di luar eksistensi manusia itu sendiri. Maut tidak mempunyai hubungan dengan eksistensi manusia sebagai perwujudan yang sadar. Oleh karena itu pula, gagasan yang mutlak tidak bisa disangkal dengan mengemukakan maut sebagai batasnya. Maut membekukan eksistensi menjadi esensi, maka dengan kebekuan itu pula kebebasan sirna. Akan tetapi selama manusia masih merupakan eksistensi, maka kebebasan yang mutlak tidak bisa disangkal. Kefaktaan tetap melekat pada eksistensinya sebab ia tetap bebas untuk mengolah kefaktaan itu dalam kebebasannya sendiri serta atas tanggung jawabnya sendiri pula. B. Pendekatan Struktural Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas

12

dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hat yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1993, hlm. 32). Pendekatan struktural atau objektif menurut Ratna (2012, hlm. 73) adalah pendekatan yang memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis instrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk geografi. Oleh karena itu, pendekatan objektif juga disebut analisis mikroskopi, analisis ergocentric, pembacaan mikroskopi. Teeuw (2015, hlm. 106) mengemukakan bahwa pada prinsipnya jelas, analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, mendetail, dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pendekatan struktural adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menganalisis unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam atau instrinsik dengan mengabaikan unsur ekstrinsiknya, serta mencari relevansi atau keterkaitan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna. Berikut unsur-unsur intrinstik dalam karya sastra: 1) Tema Secara etimologis kata tema berasal dari istilah meaning, yang berhubungan arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif. 2) Alur (plot) dan Pengaluran Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat, sehingga menjadi satu kesatuan yang padu, bulat, dan utuh. Alur terdiri atas beberapa bagian:  Awal, yaitu pengarang mulai memperkenalkan tokoh-tokohnya;  Tikaian, yaitu terjadi konflik di antara tokoh-tokoh pelaku;  Gawatan atau rumitan, yaitu konflik tokoh-tokoh semakin seru;  Puncak, yaitu saaat puncak konflik di antara tokoh-tokohnya;  Leraian, yaitu saat peristiwa konflik semakin reda dan perkembangan alur mulai terungkap;

13

 Akhir, yaitu seluruh peristiwa atau konflik telah terselesaikan. Pengaluran, yaitu teknik atau cara-cara menampilkan alut. Menurut kualitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur erat dan alur longgar. Alur erat ialah alur yang tidak memungkinkan adanya pencabangan cerita. Alur longgar adalah alur yang memungkinkan adanya pencabangan cerita. Alur menurut kuantitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal ialah alur yang hanya satu dalam karya sastra. Alur ganda ialah alur yang lebih dari dari satu dalam karya sastra. Dari segi urutan waktu, pengaluran dibedakan ke dalam alur lurus dan tidak lurus. Alur lurus ialah alur yang melukiskan peristiwa-peristiwa berurutan dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus ialah alur yang melukiskan tidak urut dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus bisa menggunakan gerak balik (backtracking), sorot balik (flashback), atau campuran keduanya. (Redaksi PM, 2012) 3) Tokoh dan Penokohan Abrams dalam Nurgiyantoro (2002, hlm. 165), mengungkapkan bahwa tokoh cerita (karakter) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang ditafsirkan oleh pembaca memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang diakukan dalam tindakan. Dalam pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan, dan perwatakan. Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang sangat penting bahkan menentukan. Hat ini karena tidak mungkin ada cerita tanpa kehadiran tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya gerak tokoh yang akhirnya menbentuk alur cerita. Rangkaian alur cerita merupakan hubungan yang logis yang terkait oleh waktu. 4) Latar (setting) Latar atau setting adalah sesuatu yang menggambarkan situasi atau keadaan dalam penceritaan. Sudjiman mengatakan bahwa latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana (1992, hlm. 46). Sumardjo dan Saini K.M. (1997, hlm. 76) mendefinisikan latar bukan bukan

14

hanya menunjuk tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain sebagianya. 5) Sudut Pandang Cara bagaimana penulis cerita menempatkan dirinya pada cerita, atau dari sudut mana penulis cerita memandang cerita yang dibuatnya. Sudut pandang dapat dikatakan juga sebagai suatu teknik ataupun siasat yang disengaja dilakukan oleh penulis untuk menyampaikan ceritanya. Oleh karena itu, sudut pandang dapat mempengaruhi penyajian suatu cerita dan alurnya. Ada empat jenis sudut pandang dalam karya sastra: a) Orang pertama tokoh utama b) Orang pertama tokoh tambahan c) Orang ketiga serba tahu d) Orang ketiga terbatas 6) Amanat Sedangkan amanat berasal dari kata significance, yang berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang kias, umum dan subjektif, sehingga harus dilakukan penafsiran.Atau dengan kata lain, amanat adalah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. (Redaksi PM, 2012). 7) Gaya Bahasa Gaya bahasa merupakan bahasa yang digunakan pengarang dalam menulis cerita. Bahasa ini sendiri memiliki fungsi untuk menciptakan hubungan antara sesama tokoh dan dapat menimbulkan suasana yang tepat. Selain itu, gaya bahasa juga merupakan teknik mengolah bahasa agar karya tersebut dapat hidup. Diksi merupakan salah satu unsur pendukung dalam mengolah bahasa. Namun, tidak hanya diksi yang menjadi unsur satu-satunya, melainkan masih ada unsur lainnya yang dapat membantu pengarang dalam mengolah bahasa. Gaya bahasa dapat menciptakan suasana yang berbeda-beda nantinya. (Redaksi PM, 2012). C. Eksistensialisme dalam cerpen “Tegak Lurus dengan Langit” karya Iwan Simatupang” ditinjau melalui pendekatan struktural Berikut ini akan disajikan analisis eksistensialisme yang terdapat dalam cerpen “Tegak Lurus dengan Langit” karya Iwan Simatupang ditinjau melalui pendekatan struktural.

15

1) Sinopsis Dalam cerpen ini, Iwan menggambarkan sebuah keluarga yang gelisah, nyaris separuh gila semuanya, akibat menghilangnya sosok yang menjadi ayah dan suami di keluarga mereka. Kehilangan sosok yang tak jelas dimana rimbanya tersebut melahirkan rasa frustrasi. Si ibu tidak bisa disebut janda, karena jelas mereka belum cerai. Anak-anak tidak bisa disebut yatim karena tak ada kabar ayah mereka telah mati. Alhasil, situasi status serba tak menentu tersebut melahirkan tekanan sosial yang berimpilikasi psikologis kepada mereka semua. Sang ibu pada akhirnya mati mendadak setelah ia tak sengaja dipergoki si bungsu bermain cinta dengan pria lain. Dua kakak si bungsu dipenjara seumur hidup gara-gara membunuh petugas sensus. Kesalahan petugas sensus mungkin saja kecil, karena bertanya dimana ayah mereka. Tapi di mata kedua kakaknya, kesalahan si petugas sangat besar, membuka luka lama keluarga mereka yang selama ini tersiksa karena kehilangan ayah mereka. Lantas bagaimana dengan si bungsu? Kisahnya lebih hebat dan tragis lagi. Sang ayah yang telah 17 tahun menghilang, tiba-tiba muncul di depan rumah mereka. Sebuah kepulangan yang sangat tidak tepat, setelah satu persatu anggota keluarga tersebut tercerabut dari rumah mereka. Si ibu mati karena malu pada anak-anak karena telah melakukan hubungan di luar nikah dengan laki-laki lain, si kakak harus dikurung seumur hidup di penjara karena membunuh orang yang menanyakan ayah mereka dimana—ini jelas implikasi dari hilangnya ayah mereka. Kutukan-kutukan tersebut akibat dosa besar ayah mereka yang menghilang tanpa rimba. Kini sang ayah telah pulang. Kutukan tak lagi bisa menjadi keberkahan. Dosa tak lagi mungkin terhapus. Kutukan dan dosa itulah yang membawa si bungsu pada akhirnya membunuh ayah mereka. Pembunuhan untuk menuntaskan dendam, itulah motifnya. Langkah cepat untuk membebaskan beban pikiran, itulah tujuannya. Pada akhirnya, memang si bungsu mendapatkan apa yang ia motifkan dan ia

16

tujukan. Kebebasan dari bayang-bayang sang ayah. Dan pada akhirnya, memang ia merasakan dirinya sama-sama tegak lurus dengan langit. (Permana, 2011). 2) Tema Tema yang diangkat pada cerpen ini adalah kebebasan—pembebasan diri dari belenggu (dendam) masa lalu. 3) Alur dan Pengaluran Berdasarkan tahapan alur,

dapat

dideskripsikan

bahwa

pengarang

menggunakan tahapan alur sebagai berikut. Antiklimaks, di awal penceritaan narator mengisahkan selesainya konflik tokoh. Pada tahapan ini tokoh digambarkan telah melakukan pembunuhan dan saat ini tengah menunggu kedatangan pagi. Tokoh merasa dirinya telah bebas dari belenggu dendam. Kutipannya sebagai berikut. Tegak lurus dengan langit, ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar. Di kakinya Tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang. Dalam dadanya lesu dan bingung dari dendam yang terlalu lama dipendam, dan baru saja dapat dibalaskan. (Simatupang, 2004) Setelah itu narator mulai memberikan pengenalan, pengarang mulai memperkenalkan tokoh-tokohnya, seperti tokoh kita (ia), ayah, keluarganya— ibu dan kedua saudara laki-lakinya, petugas sensus, dan duda paruh baya. Lalu, konflik muncul ketika petugas sensus datang ke rumah tokoh kita untuk meminta informasi tentang kepala keluarga di rumah tersebut, namun petugas sensus itu kemudian dibunuh oleh kedua saudara tokoh kita. Konflik semakin rumit, ketika tokoh kita (ia) memergoki ibunya sedang bercinta dengan laki-laki lain yang membuat tokoh kita terkejut, marah, dan putus asa. Akibat peristiwa itu sang ibu menyesal dan menangis seharian hingga akhirnta meninggal. Konflik lain muncul setelah seluruh keluarganya habis, tokoh (ia) batal melangsungkan pernikahan karena calon mertua tokoh kita tidak merestuinya. Peristiwa itu membuat bekas calon istrinya sakit keras dan akhirnya meninggal.

17

Konflik mereda, setelah tokoh kita (ia) merenungi berbagai hantaman nasib jelek yang dialaminya. Klimaksnya muncul ketika ayah tokoh kita (ia) kembali kerumah. Hal ini mengguncangkan jiwa tokoh (ia) hingga berakhir pada kematian sang ayah di tangan tokoh kita. Tokoh kita membunuh sang ayah dengan menusuknusukkan belati ke jantungnya. Akhirnya, sampai pada antiklimaks (penyelesaian) yaitu kelegaan tokoh kita (ia) karena dirinya telah terbebas dari belenggu dendam. Dan pada tahapan ini tokoh

digambarkan

tengah

menunggu

kedatangan

pagi

untuk

mepertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam cerita ini digunakan beberapa teknik pengaluran, seperti pengaluran sorot balik, linier, dan pembayangan. Sorot balik di antaranya muncul di awal penceritaan, yakni pada saat tokoh kita (ia) melarikan diri ke puncak bukit karena telah membunuh ayahnya. Kutipan sebagai berikut. Tegak lurus dengan langit, ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar. Di kakinya Tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang. Dalam dadanya lesu dan bingung dari dendam yang terlalu lama dipendam, dan baru saja dapat dibalaskan. Dia baru saja membunuh seseorang. Darah masih lekat di jari-jarinya. Belati masih ia genggam. (Simatupang, 2004) Pengaluran linier digunakan untuk menceritakan pengenalan tokoh dan konflik yang dihadapi tokoh. Salah satu kutipannya adalah sebagai berikut. Suatu hari, datang ke rumah mereka petugas sensus. "Telah sekian tahun kita merdeka, katanya. Demi gengsi kita, sebagai negara dan bangsa berdaulat—ayo! jawab, siapa, di mana, kepala keluarga ini?” Mereka sekeluarga melongo. Hantu yang selama ini berhasil mereka bendung di luar pagar rumah dan tempurung kepala mereka, kini duduk di kursi di kamar tengah, balpoin di tangannya, formulir putih di hadapan-nya, suaranya lantang, wajahnya penuh prosa PGP.

18

(Simatupang, 2004) Sementara itu, pengaluran bayangan muncul pada. Nanti, setelah matahari terbit, ia akan pulang ke rumah, mandi, bersalin pakaian, sarapan pagi. Sesudah itu ia akan pergi ke kantor polisi. (Simatupang, 2004) 4) Tokoh dan Penokohan Tokoh a) Tokoh Kita b) Dua orang abang tokoh kita c) Ibu tokoh kita d) Ayah e) Duda setengah baya f) Petugas sensus g) Gadis h) Orang tua gadis Penokohan a) Tokoh Kita Tokoh kita tergolong sebagai tokoh utama karena tokoh kita merupakan tokoh yang paling disoroti. Perhatikan kutipan berikut, “Tegak lurus dengan langit, ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar. Di kakinya Tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang. Dalam dadanya lesu dan bingung dari dendam yang terlalu lama dipendam, dan baru saja dapat dibalaskan. Dia baru saja membunuh seseorang. Darah masih lekat di jari-jarinya. Belati masih ia genggam. Dia lari ke bukit itu, diburu tanya: Apa selanjutnya? Setelah berkali-kali belati itu ia dorong ke jantung sang korban. Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Ia hanya tahu, sebentar lagi fajar akan kembang di langit. Sesudah itu, seperti 2x2 = 4, matahari bakal terbit. Belati ia lempar. Tangannya ia remas-remas. Dengan berbuat begitu, ia ingin pesiang tangannya dari gumpal-gumpal darah. Juga, ia ingin panaskan tangannya dan dengan itu tubuhnya. Dingin sebelum fajar menulang sumsum.” (Simatupang, 2004)

19

Pada kutipan tersebut tokoh kita digambarkan sebagai lelaki yang pendendam yang kebingungan setelah ia membunuh ayahnya. Watak tokoh kita sebagai pendendam dan seorang yang

kebingungan

dikemukakan secara analitis. Tokoh kita juga digambarkan sebagai seorang pembunuh yang dikemukakan secara campuran, dengan teknik analitis dan dramatis. Kemudian tokoh aku digambarkan mempunyai mata yang tajam yang dikemukakan secara analitis. Terlihat dalam kutipan berikut. “Pandangan mata inilah terutama yang membuat tokoh kita bingung. Seolah kedua bola matanya adalah bara, berpijar hitam, masuk menerobos ke dalam seluruh tubuhnya. Terlebih, ada sesuatu yang khas pada mata itu. Ia menyerupai matanya sendiri! Juga menyerupai mata abangnya yang telah membunuh petugas sensus itu. Curiganya makin besar. Ulu hatinya nyeri. Darahnya berkali-kali tersirap. Bulu kuduknya tegak. Mata! Mata itu!” Kemudian tokoh kita digambarkan sebagai orang yang jujur yang dikemukakan secara dramatis. Terlihat dalam kutipan berikut. Pesta disiapkan segera. Tetapi, sehari sebelum hari perkawinan, orang tua gadis berkeras ingin kenal orang tua mempelai laki-laki. Kematian ibunya cepat ia ceritakan. Tetapi, kerongkongan-nya tersumbat ketika ia akan mulai tentang ayahnya. Apa yang harus dan dapat ia katakan? Ia berpendirian, perkawinan tak baik dimulai dengan bohong besar. Oleh sebab itu, ia ceritakan saja kejadian sebenarnya. (Simatupang, 2004) b) Dua orang abang tokoh kita Kedua abang tokoh kita digambarkan sebagai seorang pembunuh yang tidak memedulikan apakah yang dilakukan mereka itu benar atau salah karena termakan oleh dendam, sama seperti tokoh kita. Penggambaran watak keduanya dikemukakan secara analitis yang terlihat dalam kutipan berikut. Singkatnya: petugas sensus itu telah melenyapkan keseimbangan yang selama ini berhasil dipertahankan keluarga itu. Kedua abangnya membunuh petugas itu, mereka ditangkap, dihukum seumur hidup di tempat pembuangan yang sangat jauh. (Simatupang, 2004)

20

c) Ibu Tokoh ibu digambarkan sebagai seorang yang bingung akan statusnya. Apakah ia seorang janda atau bukan sejak suaminya menghilang. Penggambaran watak tersebut dikemukakan secara dramatis yang terlihat dalam pertanyaan-pertanyaan tokoh ibu. Si ibu melongo. Rohani dan jasmaninya kacau. Rohani: bagaimana perkawinan kembali seperti ini dapat ia benarkan secara hukum, adat, moral dan agama? Dia bukan janda. Di lemarinya tak ada ia simpan surat cerai maupun surat kematian suaminya. Jasmani: bagaimana kesempatan legal seperti kawin kembali ini dapat ia lewatkan begitu saja, sedangkan ia sendiri—betul tak muda benar lagi—masih sehat, cantik? Ia tak mau jadi hanya hormon bertumpuk saja .... (Simatupang, 2004) d) Ayah Tokoh ayah digambarkan sebagai seorang lelaki tua yang memiliki mata tajam dan senyuman lembut. Penggambaran watak tokoh ayah dikemukakan secara analitis yang terlihat dalam kutipan berikut. “Tokoh kita diam saja. Orang tua itu tersenyum saja— senyum lembut orang tua—sedang matanya tajam memperhatikan tokoh kita terus.” e) Petugas sensus Petugas sensus digambarkan sebagai seorang yang nasionalis, ia mempunyai suara yang lantang dengan wajah yang “penuh prosa PGP”. Penggambaran watak dari tokoh petugas sensus digambarkan secara campuran, yaitu secara analitis dan dramatis. Terlihat dalam kutipan berikut. Suatu hari, datang ke rumah mereka petugas sensus. "Telah sekian tahun kita merdeka, katanya. Demi gengsi kita, sebagai negara dan bangsa berdaulat—ayo! jawab, siapa, di mana, kepala keluarga ini?” Mereka sekeluarga melongo. Hantu yang selama ini berhasil mereka bendung di luar pagar rumah dan tempurung kepala mereka, kini duduk di kursi di kamar tengah, balpoin di tangannya, formulir putih di hadapan-nya, suaranya lantang, wajahnya penuh prosa PGP. (Simatupang, 2004) f) Gadis 21

Gadis digambarkan sebagai seorang yang mencintai tokoh kita. Tokoh ini digambarkan memiliki penyakit paru-paru. Penggambaran watak tokoh gadis digambarkan secara analitis yang terlihat pada kutipan berikut. Suatu hari, tokoh kita bertemu gadis, tunggang-langgang jatuh cinta padanya, kontan dilamarnya kawin, kontan dijawab ya, oleh si gadis. ... Bekas calon istrinya sejak itu jatuh sakit. Ia mulai batuk-batuk. Makin lama, makin kurus, makin pucat. Bulan lalu ia meninggal, di sanatorium penyakit paru-paru, juga setelah dalam gaya film India tinggalkan pesan baginya melalui juru rawat, "Sampaikan salam saya padanya. Sampaikan juga saya masih cin ...." (Simatupang, 2004) g) Orang tua gadis Secara eksplisit tidak dijelaskan bagaimana perwatakan tokoh orang tua gadis. Namun, dari pernyataan tokoh yang muncul memperlihatkan bahwa mereka pribadi yang perpegang teguh pada prinsip. Seperti pada kutipan berikut. “Cinta adalah satu, tapi nama, terutama asal-usul yang baik, jelas, adalah lain.” (Simatupang, 2004) h) Duda setengah baya Tokoh ini digambarkan sebagai seorang yang amat kaya dan baik. Watak dari tokoh ini digambarkan secara analitis. Terlihat dalam kutipan berikut. Seorang kenalan baik, duda setengah baya, amat kaya, sering datang main bridge dan halma, menyangka dapat berbuat baik terhadap keluarga itu dengan melamar si ibu. Kebaikannya begitu besarnya, hingga hal-hal seperti peri kemanusiaan, kesadaran sosial dan kebutuhan kelamin cukup disimpulkannya dalam hanya satu gagasan saja. Yakni: menghendaki istri dari kawan baiknya yang telah menghilang. (Simatupang, 2004) 5) Latar a) Latar tempat Puncak bukit Latar puncak bukit menjadi tempat tokoh kita (ia) melarikan diri setelah membunuh ayahnya. Penggambarannya muncul pada kutipan berikut.

22

Tegak lurus dengan langit, ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar. Di kakinya Tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang. Dalam dadanya lesu dan bingung dari dendam yang terlalu lama dipendam, dan baru saja dapat dibalaskan. (Simatupang, 2004) Desa Latar desa muncul dalam penantian tokoh kita (ia) menyambut matahari terbit (pagi). Kutipannya sebagai berikut. “Dari desa di kaki bukit itu, mulai dia dengar suara-suara umat manusia yang bakal bangun.” (Simatupang, 2004) Rumah tokoh kita Rumah tokoh kita adalah latar yang paling banyak digunakan dalam penceritaan. Latar ini dominan digunakan dalam penggambaran konflik, seperti pembunuhan petugas sensus, peristiwa perselingkuhan ibunya, pembunuhan sang ayah, serta pergolakan batin para tokoh. Penggambaran latar

tersebut

di

antaranya

muncul

pada

kutipan

berikut.

Ia dan kedua abangnya—mereka bertiga sesaudara—selama ini tak dapat menyebut diri yatim. Ibunya tak dapat menyebut dirinya janda. Oleh sebab itu, plat nama ayahnya masih saja tak mereka turunkan dari depan rumah. Suatu hari, datang ke rumah mereka petugas sensus. ... Kedua abangnya membunuh petugas itu, mereka ditangkap, dihukum seumur hidup di tempat pembuangan yang sangat jauh. Tempat pembuangan Tempat pembuangan merujuk pada penjara tempat kedua saudara tokoh kita

menjalani

hukuman

karena

membunuh

petugas

sensus.

Penggambarannya muncul pada kutipan berikut. “Kedua abangnya membunuh petugas itu, mereka ditangkap, dihukum seumur hidup di tempat pembuangan yang sangat jauh.” (Simatupang, 2004) Bilik ibu

23

Latar bilik ibu muncul pada saat tokoh kita hendak mengambil sisir dan tanpa sengaja memergoki ibunya sedang bercinta dengan laki-laki lain. Penggambarannya muncul pada kutipan berikut. Suatu pagi, anak bungsu, tokoh kita, perlu sisir. Ia masuk bilik ibunya yang ada di ranjang sedang dipeluk dan dikecup habis-habisan oleh kenalan baik yang suka sering datang main bridge dan halma itu. (Simatupang, 2004) Sanatorium penyakit paru-paru Sanatorium penyakit paru-paru adalah tempat yang disebutkan sebagai lokasi

meninggalnya

si

gadis—bekas

calon

istri

tokoh

kita.

Penggambarannya muncul pada kutipan berikut. Bulan lalu ia meninggal, di sanatorium penyakit paru-paru, juga setelah dalam gaya film India tinggalkan pesan baginya melalui juru rawat, "Sampaikan salam saya padanya. Sampaikan juga saya masih cin ...." (Simatupang, 2004) Kantor polisi Latar kantor polisi hadir melalui pernyataan tokoh kita yang memutuskan akan menyerahkan dirinya ke kantor polisi setelah matahari terbit karena telah membunuh ayahnya. Kutipannya adalah sebagai berikut. “Nanti, setelah matahari terbit, ia akan pulang ke rumah, mandi, bersalin pakaian, sarapan pagi. Sesudah itu ia akan pergi ke kantor polisi.” (Simatupang, 2004) b) Latar waktu Malam hari dan pagi hari Latar waktu malam tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi hadir dalam penantian menyambut pagi tokoh kita. Kutipannya sebagai berikut. Nanti, setelah matahari terbit, ia akan pulang ke rumah, mandi, bersalin pakaian, sarapan pagi. Sesudah itu ia akan pergi ke kantor polisi. Apabila ayam pertama berkokok nanti, senyum lebar kembang di wajahnya. Senyum yang sangat membebaskan. Tegaknya ia hadapkan pada matahari bakal terbit, tegak lurus dengan langit. (Simatupang, 2004) Nanti setelah matahari terbit berarti pagi belum tiba (malam).

24

17 tahun Latar waktu 17 tahun merupakan durasi penantian seluruh anggota keluarga terhadap kepulangan sang ayah. Kutipannya sebagai berikut. “Tetapi, mereka sekeluarga kini sudah menunggu lebih 17 tahun.” (Simatupang, 2004) c) Latar suasana: cemas, putus asa, terkejut, mencekam, kesepian, marah. Kecemasan, kemarahan, dan keterkejutan, misalnya terjadi pada tokoh kita (ia) saat memergoki sang ibu sedang bermain gila di biliknya. Selain itu suasana ini juga muncul ketika sang ayah pulang ke rumah setelah 17 tahun menghilang. Sementara itu, kesepian dan keputusasaan yang dialami tokoh kita (ia) muncul setelah berbagai kejadian menimpa keluarganya: ayahnya telah 17 tahun menghilang, kedua kakaknya masuk penjara karena membunuh petugas sensus, ibunya meninggal setelah menyesal atas apa yang diperbuatnya dengan duda paruh baya, rencana pernikahannya kandas dan bekas calon istrinya meninggal. Seluruh anggota keluarganya habis, tinggal ia seorang hidup sebatang kara dengan riwayat yang kelam. Suasana mencekam muncul pada saat tokoh kita (ia) menghabisi ayahnya dengan berkali-kali menusukkan belati ke jantung ayahnya. Dan pada saat ia berlari ke puncak bukit. 6. Sudut Pandang Sudut pandang dalam cerpen “Tegak Lurus dengan Langit” karya Iwan Simatupang menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu karena narator menempatkan diri sebagai seorang orang yang ada di luar cerita namun mengetahui segala yang bersangkutan dengan tokoh-tokoh dalam cerita. 7. Amanat Secara implisit amanat yang terkandung dalam cerpen “Tegak Lurus dengan Langit” karya Iwan Simatupang ini di antaranya, a) Jangan melakukan balas dendam pada perlakuan orang lain yang mengakibatkan kerugian terhadap diri kita. b) Rasa keberterimaan (keikhlasan) menjalani ketentuan yang diberikan Tuhan akan membuat kita lebih tegar dan tenang.

25

c) Menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas segala pilihan yang diambil. d) Menghilangkan nyawa orang lain tidak mengakhiri permasalahan hidup. Justru melahirkan permasalahan baru. e) Sebaiknya tidak berlarut-larut dalam keterpurukan. Karena keterpurukan lebih dekat pada keputusasaan. f) Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin. Jika Tuhan telah berkehendak maka segalanya bisa terjadi. 8. Gaya Bahasa Dalam cerpen ini ditemukan beberapa penggunaan gaya bahasa. Lebih jelasnya akan dipaparkan sebagai berikut. a) Metafora Ada banyak penggunaan majas metafora dalam cerpen ini. Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal, secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak menggunakan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Seperti pada contoh beberapa kutipan-kutipan berikut. “Ia hanya tahu, sebentar lagi fajar akan kembang di langit.” (terbit) “Dingin sebelum fajar menulang sumsum.” (terasa sangat dingin) “Surat, koran, kuitansi, formulir penetapan pajak, semuanya masih saja mendukung nama ayahnya.” (semuanya masih menggunakan atas nama ‘ayahnya’) “Mereka tiap hari bertarung melawan sejarah.” (Setiap hari mereka berusaha untuk meniadakan kenyataan bahwa sang ayah mati di peperangan 17 tahun lalu. Sebab belum ada kabar pasti terkait keberadaan sang ayah—mati atau hidup. Sehingga, mereka memilih menjalani hari dengan kenyataan baru yang mereka sepakati sendiri bahwa ayah mereka tidak mati. Ayah mereka hilang.) Hantu yang selama ini berhasil mereka bendung di luar pagar rumah dan tempurung kepala mereka, kini duduk di kursi di kamar tengah, balpoin di tangannya, formulir putih dihadapannya, suaranya lantang, wajahnya penuh prosa PGP. (Merujuk pada seseorang yang tidak diharapkan kehadirannya seperti hantu. Seseorang itu adalah pegawai sensus.)

26

(Simatupang, 2004) b) Repetisi: Anadiplosis Anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa/kalimat menjadi kata/frasa pertama dari klausa/kalimat berikutnya. (Keraf, 2007, hlm. 128). Ini tampak pada salah satu kutipan berikut. Suara dengkur di tepi lena. Suara mimpi-mimpi di babak akhirnya. Suara cumbu dan kasmaran keburu sempat. Suara di ambang hidup nyata sehari-hari. Suara dari manusia, tanpa manusia terlihat dan berkata-kata. Suara tentang manusia. Suara yang ikut mencakup ikhwal ia sendiri. Seribu satu tanya dapat ia ajukan. Seribu satu jawab dapat ia beri. (Simatupang, 2004) c) Simile Simile menurut Keraf (2007, hlm. 138) yaitu gaya bahasa untuk mengungkapkan suatu hal dengan cara mengumpamakannya dengan suatu hal yang lain yang mempunyai kesamaan, Perumpamaan tersebut dilakukan secara eksplisit dengan cara menyertakan kata-kata ‘seperti’, ‘tampak’, ‘sama seperti’, ‘mirip’, ‘sama’, ‘sebagai’, ‘bagaikan’, ‘laksana’, dll. Ini tampak pada kutipan di bawah ini. “Sesudah itu, seperti 2x2=4, matahari bakal terbit”. (2x2=4 bermakna sesuatu yang pasti) Seolah kedua bola matanya adalah bara, berpijar hitam, masuk menerobos ke dalam seluruh tubuhnya. Terlebih ada sesuatu yang khas pada mata itu. Ia menyerupai matanya sendiri! Juga menyerupai mata abangnya yang telah membunuh petugas sensus itu. (Matanya dipersamakan dengan bara yang berpijar hitam. Mata itu sama seperti mata tokoh kita dan mata kedua saudaranya. Itu berarti mata itu adalah mata yang memiliki keterkaitan—hubungan keluarga —ayahnya). “Laksana pola listrik sejenis, elektron-elektron kedua pasang bola mata itu saling bertolakan.” (Kedua pasang mata yang saling bertemu itu kemudian berpaling.)

27

(Simatupang, 2004). d) Hiperbola Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu (Keraf, 2007, hlm. 136). Seperti pada contoh kutipan berikut. “Ia masuk bilik ibunya yang ada di ranjang sedang dipeluk dan dikecup habis-habisan oleh kenalan baik yang suka sering datang main bridge dan halma itu.” (bercinta) “Bibirnya ia peras kuat-kuat menjadi satu garis tipis yang kelewat lurus.” (melipat bibir karena menahan haru) “Tokoh kita tertunduk! la kalah Kedua bola matanya lari terbiritbirit ke motif-motif permadani di bawah telapak kakinya. Mata! Mata itu!” (Dengan segera ia memalingkan pandangannya.) (Simatupang, 2004) e) Klimaks Gaya bahasa klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagadan-gagasan sebelumnya (Keraf, 2007, hlm. 124). Misalnya, tampak pada kutipan berikut. Lewat seminggu, sebulan, setahun. Keluarganya memutuskan: ia hilang. Titik. Ibunya seharian menangis, meraung-raung. Petangnya, ia meninggal, setelah dalam gaya film India meninggalkan pesan padanya, "Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Dan sampaikan juga, saya masih cin ...." Suatu hari, tokoh kita bertemu gadis, tunggang-langgang jatuh cinta padanya, kontan dilamarnya kawin, kontan dijawab, ya, oleh si gadis. Bekas calon istrinya sejak itu jatuh sakit. Ia mulai batuk-batuk. Makin lama, makin kurus, makin pucat. Bulan lalu ia meninggal, di sanatorium penyakit paru-paru, juga setelah dalam gaya film

28

India tinggalkan pesan baginya melalui juru rawat, "Sampaikan salam saya padanya. Sampaikan juga saya masih cin ...." Ia banyak membaca, mendengar, bahkan melihat sendiri keluarga yang terus-menerus dihantam nasib jelek, akhirnya lenyap sama sekali dari muka bumi, tak tinggalkan bekas apa-apa, kecuali kenangan keluarga-keluarga lainnya tentang mereka sebagai "keluarga malang". (Simatupang, 2014) Dari beberapa kutipan di atas, tampak adanya peningkatan periodik yang makin lama makin meningkat, baik secara kuantitas, kualitas, intensitas, maupun nilai dari sebuah pernyataan. f) Antiklimaks Gaya bahasa antiklimaks adalah gaya bahasa yang merupakan acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting (Keraf, 2007, hlm.125). Salah satunya seperti pada kutipan berikut. Ayahnya masih saja sewaktu-waktu bisa datang, pulang... mengetuk pintu, masuk, lalu membaca surat kabarnya, berbuat seolah tak ada kejadian apa-apa sama sekali selama ini. (Simatupang, 2004) Dari kutipan di atas, tampak adanya penurunan periodik yang makin lama makin menurun, baik secara kuantitas, kualitas, intensitas, maupun nilai dari sebuah pernyataan. g) Erotesis Erotesis adalah sejenis gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang dipergunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menuntut suatu jawaban. Gaya bahasa erotesis biasa juga disebut sebagai pertanyaan retoris dan di dalamnya terdapat suatu asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin. (Keraf, 2007) Apa, mana bukti ia ini benar ayahnya? Bila benar ia ayahnya, mengapa baru sekarang ia kembali? Kemana, di mana ia selama ini? Peristiwa

29

apa sembunyi di belakang hilangnya ia 17 tahun yang lalu? Adakah ia ikut perang, ditawan musuh dan baru dilepas sekarang? Seandainya ia tak ikut perang, pikiran fantastis mana yang telah menyergapnya untuk pergi menghilang begitu saja dari rumahnya 17 tahun lamanya? Adakah ia jadi pedagang pasar gelap? Penyelundup senjata gelap? Atau garong? Atau, pergi bertapa ke puncak salah satu gunung berapi? (Simatupang, 2004) Dari gaya bahasa erotesis yang digunakan tersebut tampak jelas tujuan pengarang untuk penekanan untuk mencapai efek mendalam. Dalam hal ini, penekanan yang dilakukan adalah pada gagasan ‘Benarkah orang itu adalah ayahnya?’ h) Elipsis Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku. Di antaranya tampak pada kutipan berikut. Ibunya seharian menangis, meraung-raung. Petangnya, ia meninggal, setelah dalam gaya film India meninggalkan pesan padanya, "Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Dan sampaikan juga, saya masih cin ...." Bekas calon istrinya sejak itu jatuh sakit. Ia mulai batuk-batuk. Makin lama, makin kurus, makin pucat. Bulan lalu ia meninggal, di sanatorium penyakit paru-paru, juga setelah dalam gaya film India tinggalkan pesan baginya melalui juru rawat, "Sampaikan salam saya padanya. Sampaikan juga saya masih cin ...." (Simatupang, 2004)

Setelah dilakukan analisis struktur cerpen “Tegak Lurus dengan Langit” melalui pendekatan struktural, maka selanjutnya akan dideskripsikan ciri-ciri eksistensialisme yang muncul pada cerpen ini. Berdasarkan alur dan pengaluran tampak bahwa tahapan peristiwa yang dialami tokoh memperlihatkan ciri adanya ketakutan (anguish), kesepian, dan keputusasaaan (despair). Manusia adalah ketakutan. Karena tanggung jawab adalah

30

untuk semua umat manusia, maka mau tidak mau mereka dihinggapi perasaan takut. Hal ini misalnya terjadi pada tokoh keluarga kita—ibu, dua kakak tokoh kita, dan tokoh kita—yang memilih hidup bukan sebagai janda dan yatim. Mereka menganggap kepergian ayahnya selama lebih dari 17 tahun sebagai kehilangan bukan kematian. Konsekuensinya mereka menjalani hidup dengan menanggung semua hal yang berkaitan dengan ayahnya. Kematian ibu sebagai rasa penyesalan; tindakan kedua saudara tokoh kita membunuh petugas sensus; dan tindakan tokoh kita membunuh ayahnya adalah wujud tanggung jawab dan keputusasaan. Beradasarkan penokohan, tokoh keluarga kita mewakili ciri-ciri yang disebut oleh Sartre sebagai manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Artinya, apa pun yang dilakukan manusia menjadi tanggung jawabnya sendiri. Apapun akibat yang ditimbulkannya; Manusia sebagai subjek yang merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Manusia sebagai individu yang membuat peraturan atau nilai bagi dirinya sendiri bukan orang lain. (Sartre, 1948 dalam Fauzia, 2013). Oleh karena itu, manusia bebas menentukan nasibnya. Hal ini misalnya terejawantahkan dalam tindakan tokoh kita yang membebaskan diri dari belenggu dendam terhadap ayahnya. Tokoh kita membebaskan dirinya dari kekelaman riwayat keluarga yang dicap bernasib malang dengan membunuh ayahnya. Setelah membunuh ia memutuskan menyerahkan diri ke kantor polisi sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Berdasarkan pemilihan latar, latar suasana yang muncul seperti telah dijelaskan dalam analisis sangat mewakili ciri eksistensialisme yaitu kecemasan, ketakutan, keputusasaan, kesendirian, dan kebebasan. Selain itu, pemilihan latar malam menjelang pagi menggambarkan dimulainya hari baru. Hal ini berkaitan dengan keputusan tokoh untuk menjalani hidupnya dengan normal sebagai pribadi yang tidak lagi terikat dengan kekelaman masa lalu. Dengan kata lain, manusia (lagilagi) menentukan nasibnya sendiri. Ia bertanggung jawab penuh atas pilihan yang dia pilih. Sebab itulah hakikat eksistensi (keberadaan

31

BAB III PENUTUP A. Simpulan

32

Istilah eksistensi berasal dari kata existere (eks=keluar, sister=ada/berada). Dengan demikian, eksistensi memiliki arti sebagai “sesuatu yang sanggup keluar dari keberadaannya” atau “sesuatu yang mampu melampaui dirinya sendiri”. Dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak ada sesuatu pun yang mempunyai ciri atau karakter exitere, selain manusia. Eksistensialisme adalah gerakan filsafat yang mengacu pada aspek eksistensi atau “keberadaan”. Eksistensi mengacu pada sesuatu yang konkrit, individual, dan dinamis. Dalam hal ini, eksistensialisme memandang bahwa benda hanya sebatas “berada”, sedangkan manusia lebih apa yang dikatakan “berada”, bukan sebatas ada, tetapi “bereksistensi”. Manusia juga berusaha untuk tidak terkungkung oleh segala keterbatasan yang dimilikinya. Oleh karena itu, manusia disebut sebagai subjek yang bergerak aktif dan dinamis. Ciri-ciri eksistensialime menurut Sartre (dalam Fauzia, 2013), yaitu sebagai berikut : 1) Existence precedes essence, yaitu manusia tercipta di dunia tanpa ada tujuan hidup. Manusia berada di dunia terlebih dahulu kemudian ia mencari makna dalam hidupnya. Ia mencari dengan berpetualang ke berbagai tempat untuk menjumpai peristiwa yang terjadi dalam masyarakat; 2) Berada dalam diri, yaitu filsafat berpangkal dari realitas yang ada. Sesuatu dilihat dari fakta ada atau tidak di depan mata. Seperti benda yang tercipta di bumi; 3) Berada untuk diri, maksudnya bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya, ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada. Manusia berbeda dengan benda. Manusia sadar bahwa ia ada di dunia. Oleh sebab itu ia bertanggung jawab atas keberadaannya di dunia; 4) Manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Apa pun yang dilakukan manusia menjadi tanggung jawabnya sendiri. Apapun akibat yang ditimbulkannya; 5) Manusia sebagai subjek yang merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Manusia sebagai individu yang membuat peraturan atau nilai bagi dirinya sendiri bukan orang lain. (Sartre, 1948 dalam Fauzia, 2013).

33

Setelah dilakukan analisis terhadap cerpen “Tegak Lurus dengan Langit” karya Iwan Simatupang melalui pendekatan struktural, maka dapat dideskripsikan bahwa eksistensialisme yang muncul pada cerpen ini, yaitu. Berdasarkan alur dan pengaluran tampak bahwa tahapan peristiwa yang dialami tokoh memperlihatkan ciri adanya ketakutan (anguish), kesepian, dan keputusasaaan (despair). Manusia adalah ketakutan. Karena tanggung jawab adalah untuk semua umat manusia, maka mau tidak mau mereka dihinggapi perasaan takut. Hal ini misalnya terjadi pada tokoh keluarga kita—ibu, dua kakak tokoh kita, dan tokoh kita—yang memilih hidup bukan sebagai janda dan yatim. Mereka menganggap kepergian ayahnya selama lebih dari 17 tahun sebagai kehilangan bukan kematian. Konsekuensinya mereka menjalani hidup dengan menanggung semua hal yang berkaitan dengan ayahnya. Kematian ibu sebagai rasa penyesalan; tindakan kedua saudara tokoh kita membunuh petugas sensus; dan tindakan tokoh kita membunuh ayahnya adalah wujud tanggung jawab keputusasaan. Berdasarkan penokohan, tokoh keluarga kita mewakili ciri-ciri yang disebut oleh Sartre sebagai manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Artinya, apa pun yang dilakukan manusia menjadi tanggung jawabnya sendiri. Apapun akibat yang ditimbulkannya; Manusia sebagai subjek yang merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Manusia sebagai individu yang membuat peraturan atau nilai bagi dirinya sendiri bukan orang lain. (Sartre, 1948 dalam Fauzia, 2013). Oleh karena itu, manusia bebas menentukan nasibnya. Hal ini misalnya terejawantahkan dalam tindakan tokoh kita yang membebaskan diri dari belenggu dendam terhadap ayahnya. Tokoh kita membebaskan dirinya dari kekelaman riwayat keluarga yang dicap bernasib malang dengan membunuh ayahnya. Setelah membunuh ia memutuskan menyerahkan diri ke kantor polisi sebagai bentuk pertanggungjawabannya.

34

Berdasarkan pemilihan latar, latar suasana yang muncul seperti telah dijelaskan dalam analisis sangat mewakili ciri eksistensialisme yaitu kecemasan, ketakutan, keputusasaan, kesendirian, dan kebebasan. Selain itu, pemilihan latar malam menjelang pagi menggambarkan dimulainya hari baru. Hal ini berkaitan dengan keputusan tokoh untuk menjalani hidupnya dengan normal sebagai pribadi yang tidak lagi terikat dengan kekelaman masa lalu. Dengan kata lain, manusia (lagi-lagi) menentukan nasibnya sendiri. Ia bertanggung jawab penuh atas pilihan yang dia pilih. Sebab itulah hakikat eksistensi (keberadaan). B. Saran Disadari bahwa dalam penyajian makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari aspek objek, teori, maupun analisis. Makalah ini hanya terbatas mengkaji ciri-ciri eksistensialisme melalui pendekatan struktural. Oleh karena itu, disarankan untuk penelitian selanjutnya untuk menggunakan pendekatan-pendekatan lain yang memang dapat menguak eksistensialisme secara mendalam.

DAFTAR PUSTAKA Abidin, Zainal. 2006. Filsafat Manusia. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya Fauzia, Nur. 2013. “Eksistensialisme Dalam Novel The Zahir Karya Paulo Coelho”. Jurnal Prosodi: Jurnal Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura Vol. 7 No. 6. [Daring]. Tersedia: http://journal.trunojoyo.ac.id/prosodi/issue/view/6 (diakses 4 Juni 2016). Fuad, Hasan. 2001. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya. Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

35

Lorens, Bagus. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Permana, Hartana A. 2011. “Kutukan Tak Lagi Bisa Menjadi Keberkahan”. Esai. [Daring]. Tersedia: http://duniasastraindo.blogspot.co.id/2011/10/analisiscerpen-tegak-lurus-dengan.html (diakses 6 Juni 2016). Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Redaksi PM. 2012. Sastra Indonesia Paling Lengkap. Depok: Pustaka Makmur. Satoto, Sudiro. 1993. Metode Penelitian Sastra. Surakarta: UNS Press. Simatupang, Iwan. 2004. Tegak Lurus dengan Langit: Kumpulan Cerpen Iwan Simatupang. Jakarta: Buku Kompas. Sari, Ade R.N. 2011. “Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia”. [Daring]. Tersedia: http://cintamenulis-cintamenulis.blogspot.co.id/2011/09/tugaskelompok-meringkas-buku-iwan.html (diakses 9 Juni 2016). Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Rosda Karya. Susanto, Sigit. 2006. “Iwan Simatupang, Sartre Indonesia”. Artikel. [Daring]. Tersedia:http://kabarindonesia.com/berita.php? pil=12&dn=20061228124833 (diakses 8 Juni 2016). Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung : Rosda Karya.

Lampiran

Tegak Lurus dengan Langit Karya Iwan Simatupang Tegak lurus dengan langit, ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar. Di kakinya Tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang. Dalam dadanya lesu dan bingung dari dendam yang terlalu lama dipendam, dan baru saja dapat dibalaskan.

36

Dia baru saja membunuh seseorang. Darah masih lekat di jari-jarinya. Belati masih ia genggam. Dia lari ke bukit itu, diburu tanya: Apa selanjutnya? Setelah berkali-kali belati itu ia dorong ke jantung sang korban. Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Ia hanya tahu, sebentar lagi fajar akan kembang di langit. Sesudah itu, seperti 2x2 = 4, matahari bakal terbit. Belati ia lempar. Tangannya ia remasremas. Dengan berbuat begitu, ia ingin pesiang tangannya dari gumpal-gumpal darah. Juga, ia ingin panaskan tangannya dan dengan itu tubuhnya. Dingin sebelum fajar menulang sumsum. Dari desa di kaki bukit itu, mulai dia dengar suara-suara umat manusia yang bakal bangun. Suara dengkur di tepi lena. Suara mimpi-mimpi di babak akhirnya. Suara cumbu dan kasmaran keburu sempat. Suara di ambang hidup nyata sehari-hari. Terpesona ia mendengarkan suara-suara tanpa definisi itu. Suara dari manusia, tanpa manusia terlihat dan berkata-kata. Suara tentang manusia. Suara yang ikut mencakup ikhwal tentang ia sendiri. Ia telah membunuh seseorang. Siapa, apa alasannya, kurang jelas. Ia hanya tahu, dengan itu ia mungkin ingin balaskan peristiwa menghilangnya ayahnya dahulu semasa perang .... Satu hari, semasa perang, ayahnya tak pulang. Lewat seminggu, sebulan, setahun. Keluarganya memutuskan: ia hilang. Titik. Mereka tak sadar, hilang adalah keadaan lebih parah lagi dari mati. Dari tewas. Duka oleh hilang tak boleh, tak pernah, tak pernah, penuh dan resmi. Esok lusa, si hilang bisa saja muncul kembali, segar bugar, tak kurang suatu apa. Bahkan, mungkin ia pulang bawa harta atau nama. Tetapi, mereka sekeluarga kini sudah menunggu lebih 17 tahun. Ibunya dalam pada itu sudah meninggal pula. Pesannya, "Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Sampaikan juga, saya masih cin." Hampir muntah ia mendengar sentimen film India begitu dari mulut ibunya sendiri. Bah! Pikirnya, ibu kandungku sendiri sampai napas terakhirnya pecandu film India. Ibunya dikubur. Sejak itulah mulai sejarah bencinya terhadap ayahnya, yang tak sempat ia kenal. Ia tiga tahun ketika ayahnya hilang. Ayahnya, yang dengan hilangnya itu telah menciptakan kekacauan metafisis di kalangan keluarganya. Ia dan kedua abangnya—mereka bertiga sesaudara—selama ini tak dapat menyebut diri yatim. Ibunya tak dapat menyebut dirinya janda. Oleh sebab itu, plat nama ayahnya masih saja tak mereka turunkan dari depan rumah. Surat, koran, kuitansi, formulir penetapan pajak, semuanya masih saja mendukung nama ayahnya. Lebih pahit lagi adalah perkumpulan dan partai ayahnya, masih saja terus melakukan tagihantagihan iuran tiap bulan. Apa yang dapat mereka lakukan, selain membayarnya saja? Menolak membayar berarti menyuruh mereka menjawab sejumlah tanya yang demi kesentosaan batin mereka sebaiknya jangan mereka jawab dahulu. Jangan sekarang ini!

37

Nanti, bila semua sudah jadi sejarah— termasuk jasad mereka sendiri—pertanyaan itu boleh saja diajukan. Yang menjawabnya nanti toh sejarah juga. Jadilah keluarga ini keluarga aneh. Mereka tiap hari bertarung melawan sejarah. Sebab, salah satu dari sekian kenyataan pahit dalam pergaulan antarmanusia adalah manusia yang satu pada dasarnya tak dapat membiarkan sendirian manusia lainnya. Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata krama, dan entah apa lagi, tiap manusia menganggap sebagai hak, bahkan kewajiban mereka untuk ikut-ikutan mencampuri urusan manusia lain. Celakalah makhluk yang mencoba-coba menentang kecenderungan zaman ini. Suatu hari, datang ke rumah mereka petugas sensus. "Telah sekian tahun kita merdeka, katanya. Demi gengsi kita, sebagai negara dan bangsa berdaulat—ayo! jawab, siapa, di mana, kepala keluarga ini?” Mereka sekeluarga melongo. Hantu yang selama ini berhasil mereka bendung di luar pagar rumah dan tempurung kepala mereka, kini duduk di kursi di kamar tengah, balpoin di tangannya, formulir putih di hadapan-nya, suaranya lantang, wajahnya penuh prosa PGP. Singkatnya: petugas sensus itu telah melenyapkan keseimbangan yang selama ini berhasil dipertahankan keluarga itu. Kedua abangnya membunuh petugas itu, mereka ditangkap, dihukum seumur hidup di tempat pembuangan yang sangat jauh. Seorang kenalan baik, duda setengah baya, amat kaya, sering datang main bridge dan halma, menyangka dapat berbuat baik terhadap keluarga itu dengan melamar si ibu. Kebaikannya begitu besarnya, hingga hal-hal seperti peri kemanusiaan, kesadaran sosial dan kebutuhan kelamin cukup disimpulkannya dalam hanya satu gagasan saja. Yakni: menghendaki istri dari kawan baiknya yang telah menghilang. Si ibu melongo. Rohani dan jasmaninya kacau. Rohani: bagaimana perkawinan kembali seperti ini dapat ia benarkan secara hukum, adat, moral dan agama? Dia bukan janda. Di lemarinya tak ada ia simpan surat cerai maupun surat kematian suaminya. Jasmani: bagaimana kesempatan legal seperti kawin kembali ini dapat ia lewatkan begitu saja, sedangkan ia sendiri—betul tak muda benar lagi—masih sehat, cantik? Ia tak mau jadi hanya hormon bertumpuk saja .... Suatu pagi, anak bungsu, tokoh kita, perlu sisir. Ia masuk bilik ibunya yang ada di ranjang sedang dipeluk dan dikecup habis-habisan oleh kenalan baik yang suka sering datang main bridge dan halma itu. Mereka bertiga serempak berteriak, Tokoh kita: terperanjat sangat, tak percaya, sangat putus asa. Ibunya seharian menangis, meraung-raung. Petangnya, ia meninggal, setelah dalam gaya film India meninggalkan pesan padanya, "Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Dan sampaikan juga, saya masih cin ...." Tetapi di balik seluruh kekacauan ini, kerangka masalah tokoh kita ini setidaknya telah punya beberapa tonggak pasti. (1) Dia kini piatu: ini tak dapat disangsikan lagi. (2) Kedua abangnya tak bakal pernah dilihatnya seumur hidup lagi. (3) Tinggal hanya ia sebatang kara saja dari seluruh keluarganya di dunia ini. (4) PS: Ayahnya masih saja sewaktu-waktu bisa datang, pulang ... mengetuk pintu, masuk, lalu membaca surat kabarnya, berbuat seolah tak ada kejadian apa-apa sama sekali selama ini.

38

Suatu hari, tokoh kita bertemu gadis, tunggang-langgang jatuh cinta padanya, kontan dilamarnya kawin, kontan dijawab ya, oleh si gadis. Pesta disiapkan segera. Tetapi, sehari sebelum hari perkawinan, orang tua gadis berkeras ingin kenal orang tua mempelai laki-laki. Kematian ibunya cepat ia ceritakan. Tetapi, kerongkongan-nya tersumbat ketika ia akan mulai tentang ayahnya. Apa yang harus dan dapat ia katakan? Ia berpendirian, perkawinan tak baik dimulai dengan bohong besar. Oleh sebab itu, ia ceritakan saja kejadian sebenarnya. Mempelai laki-laki tak tahu, apakah ia pernah punya ayah atau tidak! Begitulah kesimpulan orang tua gadis mengenai gagasan "Ayahku hilang" itu. Mungkin ia anak gamnpang. Cinta adalah satu, tapi nama, terutama asal-usul yang baik, jelas, adalah lain, demikian kata mereka, membatalkan perkawinan, memasang advertensi di koran esoknya, minta maaf sebesarnya kepada para undangan yang sempat datang. Bekas calon istrinya sejak itu jatuh sakit. Ia mulai batuk-batuk. Makin lama, makin kurus, makin pucat. Bulan lalu ia meninggal, di sanatorium penyakit paru-paru, juga setelah dalam gaya film India tinggalkan pesan baginya melalui juru rawat, "Sampaikan salam saya padanya. Sampaikan juga saya masih cin ...." Sampai dengan di sini, masih dapat ia mengikuti dan memahami jalan peristiwa. Ia banyak membaca, mendengar, bahkan melihat sendiri keluarga yang terus-menerus dihantam nasib jelek, akhirnya lenyap sama sekali dari muka bumi, tak tinggalkan bekas apa-apa, kecuali kenangan keluarga-keluarga lainnya tentang mereka sebagai "keluarga malang". Apa boleh buat! Dewa-dewa di kayangan rupanya telah memperhitungkan ia masuk ke dalam keluarga seperti itu. Takdir tak dapat dibendung. Ia telah siapkan dirinya bagi perannya dalam babak terakhir tragedi keluarganya itu. Tetapi, apa yang membuat konsentrasinya tentang drama dan tragedi keluarganya tadi tunggang-langgang, adalah kedatangan seorang laki-laki tua pagi tadi ke rumahnya. Ia ini ketuk pintu, masuk, duduk di kursi besar, baca surat kabar dan berkata dengan suara datar, "... Aku ayahmu." Tokoh kita melongo. Tak dapat, tak ingin ia berkata apa. Apa, mana bukti ia ini benar ayahnya? Bila benar ia ayahnya, mengapa baru sekarang ia kembali? Ke mana, di mana ia selama ini? Peristiwa apa sembunyi di belakang hilangnya ia 17 tahun yang lalu? Adakah ia ikut perang, ditawan musuh dan baru dilepas sekarang? Seandainya ia tak ikut perang, pikiran fantastis mana yang telah menyergapnya untuk pergi menghilang begitu saja dari rumahnya 17 tahun lamanya? Adakah ia jadi pedagang pasar gelap? Penyelundup senjata gelap? Atau garong? Atau, pergi bertapa ke puncak salah satu gunung berapi? Seribu satu tanya dapat ia ajukan. Seribu satu jawab dapat ia beri. Oleh sebab itulah ia putuskan diam saja. Lagipula, siapa tahu laki-laki tua ini bukan ayahnya sama sekali. Mungkin ia ini seorang penipu. Atau seorang sinting biasa saja yang ingin bikin gara-gara, lelucon cempulang. Akan tetapi curiganya mulai timbul ketika laki-laki tua itu berdiri, pergi ke kamar yang selama ini dianggapnya sebagai kamar ayahnya, membuka lemari yang selama ini dianggapnya sebagai lemari pakaian ayahnya, mengambil satu stel pakaian dari dalamnya. Kemudian ia pergi mandi, di kamar mandi menyanyikan lagu-lagu kesukaan ibunya

39

almarhumah.

Selesai

bersalin

pakaian,

ia

duduk

lagi

di

kursi

besar

tadi.

Tokoh kita diam saja. Orang tua itu tersenyum saja— senyum lembut orang tua—sedang matanya tajam memperhatikan tokoh kita terus. Pandangan mata inilah terutama yang membuat tokoh kita bingung. Seolah kedua bola matanya adalah bara, berpijar hitam, masuk menerobos ke dalam seluruh tubuhnya. Terlebih, ada sesuatu yang khas pada mata itu. Ia menyerupai matanya sendiri! Juga menyerupai mata abangnya yang telah membunuh petugas sensus itu. Curiganya makin besar. Ulu hatinya nyeri. Darahnya berkali-kali tersirap. Bulu kuduknya tegak. Mata! Mata itu! Ia sebenarnya telah siap dengan pembulatan satu kesimpulan dalam dirinya bahwa laki-laki tua yang duduk di hadapannya itu, adalah seorang penipu biasa saja—ketika pandangan mata mereka tiba-tiba saling bertemu. Laksana pola listrik sejenis, elektron-elektron kedua pasang bola mata itu saling bertolakan. Tokoh kita tertunduk! Ia kalah! Kedua bola matanya lari terbirit-birit ke motif-motif permadani di bawah telapak kakinya. Mata! Mata itu! Itulah tanda pengenal yang paling ia takuti. Sebab hanya kedua abangnya sajalah selama ini yang sanggup menentang pandangan matanya. Dan ini adalah, oleh karena mata kedua abangnya itu sama saja dengan matanya sendiri. Bulat, hitam pekat, putihnya bening, kedipnya penuh wibawa, sinar yang dipijarkannya penuh melankoli, sekaligus kekerasan, yang berbatasan dengan kekejaman. Tak pernah ada orang lain yang sanggup menantang pandangan mata mereka. Bahkan, ibu mereka sendiri tak dapat. Adalah pandangan mata demikian, kata ibunya, yang justru membuat ia jatuh cinta pada ayahnya. Ya, mereka bertiga mewarisi mata ayahnya. Dan kini, salah seorang ahli waris itu duduk berhadapan dengan sang pewaris.... "Ayah!" Hanya itu. Untuk selanjutnya, ia merangkul orang tua itu. Ia benamkan kepalanya dalam pangkuannya. Ia menangis. Orang tua itu kaku saja. Tampak ia keras sekali berusaha memerangi perasaannya. Sudut-sudut mulutnya yang sudah mulai keriput itu, ia rentangkan. Bibirnya ia peras kuat-kuat menjadi satu garis tipis yang kelewat lurus. Tangannya ia genggamkan erat-erat pada tangan kursi. Ia takut, kalau tangannya itu pergi menjalar, mengelus rambut ikal bergelombang yang diempaskan ke pangkuannya itu .... Masih saja mereka tak berkata-kata. Dalam pada itu, mereka sudah makan siang, tidur siang, mandi sore, bersaling pakaian, menghirup teh sore. Kini mereka kembali duduk di ruang tengah, berhadap-hadapan, tak berkata satu apa. Tokoh kita tunduk, sedang orang tua itu terus saja memandanginya. Tiba-tiba saja tokoh kita memutuskan bagi dirinya sendiri, tak dapat ia lanjutkan hidupnya begini. Yakni: tunduk tepekur saja memperhatikan motif-motif permadani di ubin. Teror yang datang menyorot dari kedua bola mata orang tua itu, tak ingin ia tanggungkan lebih lama lagi.

40

Ia telah menanggungkan nasib dari ranting terakhir satu keluarga yang ditakdirkan bakal lenyap sama sekali dari muka bumi ini. Ia bahkan telah sedia menerima tingkahan terhadap kutuk itu dengan misalnya menerima orang tua itu misalnya mungkin ayahnya sendiri, mungkin pula tidak. Ya, kesedihannya besar sekali. Sebab telah ia putuskan untuk tak mau membangun kerangkakerangka persoalan yang pelik lagi bagi dirinya sendiri, yang toh tak akan banyak berhasil memberi penyelesaian apa-apa baginya. Ia letih main catur melawan dirinya sendiri. Untuk selan-jutnya ia telah pilih sebagai filsafat hidupnya: me-remis-kan dirinya dengan hidup, termasuk dengan dirinya sendiri. Tetapi terkutuk untuk seumur hidupnya; tak bakal berani lagi ia menatap jauh-jauh ke kaki langit, tak berani melihat ke puncak-puncak gunung dan bintang-bintang di langit, hanya oleh karena ada seorang tua mempunyai sepasang mata yang sama dengan matanya sendiri, dan oleh sebab itu tak sanggup ia tantang—tidak! Ia tidak mau, tak sedia! Secepat kilat ia temui pada motif-motif permadani di bawah telapak kakinya itu jawaban bagi seluruh persoalannya. Kalau benarlah orang tua itu ayahnya, maka adalah orang tua ini juga telah menciptakan seluruh tragedi keluarganya itu. Dengan menghilangnya abangnya membunuh petugas sensus itu. Ia pulalah sebenarnya yang telah membuat ibunya terdampar ke dalam pelukan laki-laki kenalan baik mereka yang suka datang main bridge dan halma itu, dan lempang mengantarnya ke kubur. Terlebih lagi: kalau ia ini ayahnya, maka adalah ayahnya ini juga yang telah bikin lebih parah kekacauan dalam dirinya kini dengan justru pulangnya ia sekarang ini. Dan seandainya orang tua ini bukan ayahnya, tetapi cuma seorang penipu atau sinting biasa saja, maka efek kedatangannya ini masih tetap sama saja: ia telah mengingatkan tokoh kita, anak bungsu dan ranting terakhir keluarga yang terkutuk bakal lenyap dari permukaan bumi ini, kepada nasib yang sedang menanti dirinya. Bahwa dirinya sudah dapat ia anggap mulai sekarang sebagai satu pengertian yang sebenarnya tak apa-apa lagi, dan oleh sebab itu sewaktu-waktu dapat ditiadakan, baik oleh kekuatan dari luar, maupun oleh dirinya sendiri, sudah jelas baginya kini. Mengenai ini, ia tak ragu-ragu lagi dalam dirinya sebenarnya juga sudah lama tersedia satu gagasan itu— walaupun diakuinya, aktualitas itu membuatnya agak menggigil juga. Yang harus segera diselesaikannya dalam benaknya kini adalah, tafsiran apa selanjutnya dapat ia beri kepada kedatangan orang tua itu sendiri dalam kerangka gagasannya itu. Kalau ia tak salah dalam penilaiannya, orang tua inilah sebenarnya penyebab dari seluruh duka ceritanya, lepas dari persoalan benar atau tak benar ia ayahnya yang sesungguhnya. Selanjutnya, kalau ia juga tak salah dalam penilaian berikutnya, kedatangan orang tua ini kini sebenarnya hanyalah mungkin mempunyai satu arti saja. Yaitu, sebagai motif yang dapat mempercepat pelaksanaan gagasannya tadi! Setelah selesai motif-motif pada permadani di bawah telapak kakinya di ubin itu—lingkaranlingkaran spiral merah, kuning, biru—diedari matanya semua, selesailah ia mengatasi

41

gamang yang berkecamuk selama bertahun-tahun ini dalam dirinya, dan yang barusan saja beroleh klimaknya dalam menit-menit terakhir ini. Kini ia dapat bertindak. Harus bertindak! Satu ketenangan kosmis menyelubungi dirinya. Tiap keping dari napasnya, tiap fragmen dari perasaannya, pikirannya, pengideraannya, mulai kini adalah bagian dari satu perhitungan yang sangat teliti. Ia pergi ke dapur. Diambilnya sebilah belati. Dia kembali. Tenang ia tantang pandangan mata orang tua itu. Orang tua itu tersenyum. Kemudian, tenang sekali, ia tikamkan belati itu ke dalam dada orang tua itu. Berkali-kali. Orang tua itu rebah. Darahnya menutupi lingkaran-lingkaran spiral, merah, kuning, biru di permadani. Lama tokoh kita tegak memandangi mata mayat terbelalak itu. Seluruh peralihan sinarnya, dari bening hingga redup seperti susu keruh itu, disaksikannya. Akhirnya pelupuk mata redup itu dikatup-kannya. Tertutup! Tertutup sudah danau keruh itu! Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Tiba-tiba ia merasa dirinya seperti srigala hutan yang bingung, sebab danau tempat ia biasa minum, baru saja tertimbun tanah longsor. Ia menjalar sedahsyatnya. Seluruh isi hutan diam menggigil ketakutan. Kemudian ia lari. Kenapa? Tak peduli. Pokoknya: lari. Kencang! Pelan-pelan pada selimut langit terkuak warna putih abu-abu. Ke bumi memantul bayang mainan warna di langit ini. Bulan sabit miring ke tenggara. Angin daratan bertolak ke pantai. Kelelawar-kelelawar berpulangan ke pohonnya. Sekali lagi ia remas-remas tangannya. Gumpal darah penghabisan ia jentikkan dari kuku kelingking kirinya. Ia tarik napas panjang. Gagasannya kini telah selesai ia laksanakan. Ia puas. Nanti, setelah matahari terbit, ia akan pulang ke rumah, mandi, bersalin pakaian, sarapan pagi. Sesudah itu ia akan pergi ke kantor polisi. Apabila ayam pertama berkokok nanti, senyum lebar kembang di wajahnya. Senyum yang sangat membebaskan. Tegaknya ia hadapkan pada matahari bakal terbit, tegak lurus dengan langit.*** (dinukil dari Tegak Lurus Dengan Langit - Kumpulan Cerpen Iwan Simatupang, Penerbit Buku Kompas, 2004)

42

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF