Materi 3. Dinamika Perumusan Dan Perjalanan Hidup Pancasila

January 21, 2019 | Author: Hezron'Dwi Setiantwo Baga | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

gghsf...

Description

Materi 3. DINAMIKA PERUMUSAN DAN PERJALANAN HIDUP PANCASILA 1. Pendahuluan

Walaupun Pancasila sudah ditetapkan sebagai dasar negara sejak tahun 1945 namun dimensi kesejarahan Pancasila itu sendiri tetap relevan untuk diperbincangkan. Sudah  barang tentu ada banyak ba nyak persoalan yang dapat dibahas bila kita berbicara tentang sejarah Pancasila. Sekedar menyebut beberapa contoh, pembahasan dapat kita lakukan mulai dari  persoalan (a) asal-usul nilai Pancasila, (b) penggali Pancasila, (c) bagaimana sila-sila Pancasila digali dan dirumuskan, sampai ke persoalan (d) bagaimana dinamika perjalanan hidup Pancasila selama ini. Uraian berikut ini akan membatasi diri pada dua persoalan yang disebut terakhir yaitu (a) proses perumusan Pancasila, dan (b) dinamika perjalanan hidup Pancasila dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia. Tentang asal-usul nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila cukup kiranya kalau dikatakan bahwa Pancasila itu bersumber dari khasanah budaya Indonesia, yang diterangi oleh ide-ide besar dunia. Pernyataan itu menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila ada yang bersumber dari kultur bangsa Indonesia sendiri namun ada pula yang berasal dari budaya luar Indonesia. Sedang mengenai penggali Pancasila dasar negara dapatlah dikatakan bahwa dalam  proses penggalian dan perumusan Pancasila sebagai dasar negara itu, Ir. Soekarno mengemukakan pandangan-pandangan yang cukup dominan pengaruhnya. 2. Dinamika Perumusan Dasar Negara

Proses perumusan dasar negara Pancasila berlangsung dalam sidang-sidang  Dokuritu Zyunbi Tyoosakai  Tyoosakai  (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, selanjutnya disebut BPUPK) yang dilanjutkan dalam sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, (selanjutnya disebut PPKI). Walaupun BPUPK bukan lembaga perwakilan partai-partai politik, namun karena  pikiran-pikiran tentang berbagai persoalan dasar hidup bernegara yang kemudian dijawab melalui Pancasila telah lama berkembang di kalangan partai politik yang ada di masa penjajahan Belanda, maka untuk memahami dinamika perumusan dasar negara Pancasila kita perlu memperhatikan aliran-aliran politik yang berkembang selama masa  pergerakan nasional, di mana persoalan prinsip-prinsip kehidupan bernegara di alam Indonesia merdeka mulai diperbincangkan. Secara ideologis dan corak aspirasi politik mereka (bukan atas dasar agama yang dipeluk oleh anggotanya) berbagai partai politik yang berkembang di masa pergerakan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (a) golongan Marxis/ Komunis, (b) golongan  Nasionalis, dan (c) golongan Islam. Dari puluhan partai politik yang hidup, berkembang dan bahkan mati di masa pergerakan dapatlah kita sebut beberapa di antaranya sebagai ilustrasi tentang pengelompokkan di atas (Pringgodigdo, 1980; Margono, 1971) sebagai  berikut ini. a) Partai-partai beraliran Marxis/Sosialis Kiri Termasuk dalam kategori ini adalah (a)  Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang (ISDV)  yang lahir tahun 1914, (b) Indische (b) Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) yang (ISDP) yang

lahir tahun 1917, dan (c)  Perserikatan Komoenis di India (PKI)  (PKI)  yang merupakan  perubahan bentuk dari ISDV pada tahun 1920.  b) Partai-partai beraliran Nasionalis/Kebangsaan Termasuk dalam kelompok ini adalah (a)  Indische Partij  Partij  yang lahir tahun 1912, (b) Perhimpoenan Indonesia (PI, 1924) yang merupakan hasil evolusi dari  Indische Vereeniging  (1908) dan  Indonesische Vereeniging   (1922), (c) Partai Nasional Indonesia (semula Perserikatan Nasional Indonesia) yang lahir tahun 1927, dan (d) Parindra (1935) yang merupakan hasil fusi dari Boedi Oetomo (1908) dan Persatuan Bangsa Indonesia (1924). c) Partai-partai beraliran Islam Termasuk di sini adalah (a) Sarekat Islam 1912 yang semula adalah Sarekat Dagang Islam (1911), (b) Partai Sarikat Islam Indonesia (1930) dan Partai Islam Indonesia (1931). Golongan Marxis/Komunis memperjuangkan terwujudnya negara komunis, golongan Islam ingin mewujudkan negara ne gara Islam, sedang golongan nasionalis/ kebangsaan ingin mewujudkan negara kebangsaan. Dalam proses pergumulan persoalan-persoalan dasar kehidupan menegara, partai partai Islam cenderung menonjolkan dimensi vertikal berdasarkan agama Islam, sedangkan kaum kebangsaan mengajukan gagasan persatuan, kebangsaan, kekeluargaan, kolektivisme dan gotong-royong. Di dalam tubuh golongan nasionalis ini terdapat pula  para penganut ideologi-ideologi modern, yang mulai berkembang di dunia Barat tetapi cepat menyebar luas di seluruh Asia (Jepang, Tiongkok dan India pada waktu itu), dan menyumbangkan gagasan kerakyatan, hak-hak dasar dan sosialisme. Cita-cita untuk mewujudkan negara komunis secara formal padam pada tahun 1927 seiring diberangusnya PKI oleh pemerintah penjajah Belanda, setelah partai itu melakukan pemberontakan. Oleh karena itu ketika BPUPK dibentuk pada tahun 1945 hanya kaum nasionalis dan Islamlah yang menduduki kursi keanggotaan badan yang  bertugas menyelidiki persiapan bangsa Indonesia untuk merdeka itu. Pranarka (1985: 47) menyebutkan bahwa bahwa di dalam tubuh BPUPK BPUPK terdapat tiga tiga kelompok ideologi yaitu Islam, kebangsaan dan Barat Modern Sekular. Dalam masalah hubungan antara negara dan agama golongan kebangsaan berbeda pandang dengan golongan Islam, sedang dalam hal jaminan hak-hak dasar manusia dan sistem  pemerintahan golongan kebangsaan berbeda pandang dengan golongan modern Barat sekuler. Secara lebih analitis Abdullah (1999) menyebutkan anggota BPUPK semula  berjumlah 63 orang (termasuk seorang Wakil Ketua bangsa Jepang) namun kemudian menjadi 68 orang menjelang sidang tanggal 10 Juli 1945 (karena ditambah dengan enam orang anggota baru dan dikurangi satu orang yaitu Wakil Ketua dari bangsa Jepang). Secara sosiologis komposisi anggota BPUPK itu terdiri atas (a) 23 orang dari kalangan  birokrat fungsional, (b) 17 1 7 orang dari da ri golongan pergerakan kebangsaan, (c) 11 orang dari kalangan birokrat pemerintahan, (d) 10 orang dari golongan „independen‟ atau swasta, swasta, dan (e) tujuh orang dari kalangan ulama (guru dan mubaligh). Dari segi status sosialnya komposisi anggota BPUPK itu terdiri atas (a) 37 orang  bangsawan lokal (28 orang dari suku Jawa dan sembilan orang dari suku Sunda), (b) delapan orang bangsawan keraton, (c) tujuh orang ulama (tiga orang dari Muhammadiyah, dan dua orang dari Nahdlatul Ulama, serta seorang dari PUI

lahir tahun 1917, dan (c)  Perserikatan Komoenis di India (PKI)  (PKI)  yang merupakan  perubahan bentuk dari ISDV pada tahun 1920.  b) Partai-partai beraliran Nasionalis/Kebangsaan Termasuk dalam kelompok ini adalah (a)  Indische Partij  Partij  yang lahir tahun 1912, (b) Perhimpoenan Indonesia (PI, 1924) yang merupakan hasil evolusi dari  Indische Vereeniging  (1908) dan  Indonesische Vereeniging   (1922), (c) Partai Nasional Indonesia (semula Perserikatan Nasional Indonesia) yang lahir tahun 1927, dan (d) Parindra (1935) yang merupakan hasil fusi dari Boedi Oetomo (1908) dan Persatuan Bangsa Indonesia (1924). c) Partai-partai beraliran Islam Termasuk di sini adalah (a) Sarekat Islam 1912 yang semula adalah Sarekat Dagang Islam (1911), (b) Partai Sarikat Islam Indonesia (1930) dan Partai Islam Indonesia (1931). Golongan Marxis/Komunis memperjuangkan terwujudnya negara komunis, golongan Islam ingin mewujudkan negara ne gara Islam, sedang golongan nasionalis/ kebangsaan ingin mewujudkan negara kebangsaan. Dalam proses pergumulan persoalan-persoalan dasar kehidupan menegara, partai partai Islam cenderung menonjolkan dimensi vertikal berdasarkan agama Islam, sedangkan kaum kebangsaan mengajukan gagasan persatuan, kebangsaan, kekeluargaan, kolektivisme dan gotong-royong. Di dalam tubuh golongan nasionalis ini terdapat pula  para penganut ideologi-ideologi modern, yang mulai berkembang di dunia Barat tetapi cepat menyebar luas di seluruh Asia (Jepang, Tiongkok dan India pada waktu itu), dan menyumbangkan gagasan kerakyatan, hak-hak dasar dan sosialisme. Cita-cita untuk mewujudkan negara komunis secara formal padam pada tahun 1927 seiring diberangusnya PKI oleh pemerintah penjajah Belanda, setelah partai itu melakukan pemberontakan. Oleh karena itu ketika BPUPK dibentuk pada tahun 1945 hanya kaum nasionalis dan Islamlah yang menduduki kursi keanggotaan badan yang  bertugas menyelidiki persiapan bangsa Indonesia untuk merdeka itu. Pranarka (1985: 47) menyebutkan bahwa bahwa di dalam tubuh BPUPK BPUPK terdapat tiga tiga kelompok ideologi yaitu Islam, kebangsaan dan Barat Modern Sekular. Dalam masalah hubungan antara negara dan agama golongan kebangsaan berbeda pandang dengan golongan Islam, sedang dalam hal jaminan hak-hak dasar manusia dan sistem  pemerintahan golongan kebangsaan berbeda pandang dengan golongan modern Barat sekuler. Secara lebih analitis Abdullah (1999) menyebutkan anggota BPUPK semula  berjumlah 63 orang (termasuk seorang Wakil Ketua bangsa Jepang) namun kemudian menjadi 68 orang menjelang sidang tanggal 10 Juli 1945 (karena ditambah dengan enam orang anggota baru dan dikurangi satu orang yaitu Wakil Ketua dari bangsa Jepang). Secara sosiologis komposisi anggota BPUPK itu terdiri atas (a) 23 orang dari kalangan  birokrat fungsional, (b) 17 1 7 orang dari da ri golongan pergerakan kebangsaan, (c) 11 orang dari kalangan birokrat pemerintahan, (d) 10 orang dari golongan „independen‟ atau swasta, swasta, dan (e) tujuh orang dari kalangan ulama (guru dan mubaligh). Dari segi status sosialnya komposisi anggota BPUPK itu terdiri atas (a) 37 orang  bangsawan lokal (28 orang dari suku Jawa dan sembilan orang dari suku Sunda), (b) delapan orang bangsawan keraton, (c) tujuh orang ulama (tiga orang dari Muhammadiyah, dan dua orang dari Nahdlatul Ulama, serta seorang dari PUI

Majalengka dan seorang dari A Ittihadiyatul Islamiyah Sukabumi), (d) delapan orang dari luar Jawa (tiga orang dari Sumatera Barat yaitu Hatta, Yamin dan HA Salim, satu dari Tapanuli, yaitu wartawan terkemuka Parada Harahap, satu dari Maluku yaitu Latuharhary, satu dari Kalimantan Selatan, Pangeran M Noor, satu dari Minahasa, Maramis, dan satu dari Lampung, Dasaad), serta (e) enam orang keturunan asing (satu Arab, satu Indo dan empat Tionghoa). Uraian di bawah ini akan menggambarkan bagaimana proses perumusan sila-sila, yang pada hakikatnya hendak menjawab lima persoalan dasar hidup bernegara. Kelima masalah pokok itu adalah (a) bagaimana hubungan antara negara dan agama, (b)  bagaimana hubungan antar bangsa, (c) apakah hakikat negara yang hendak henda k didirikan itu, (d) siapakah pemilik kedaulatan dalam negara, dan (e) apakah tujuan negara yang hendak didirikan itu. Dalam sidang pertama, yang berlangsung pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, BPUPK membahas soal dasar negara, yaitu suatu „ philosophische  philosophische grondslag atau dasar falsafah, yaitu pikiran yang sedalam-dalamnya, untuk di atasnya didirikan  gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abad i‟ (Bahar, 1995). Dasar seperti itu dipandang perlu karena negara sebagai suatu organisasi hanya akan berfungsi dengan  baik apabila terdapat suatu gambaran yang jelas tentang hakekat, dasar dan tujuannya. Oleh sebab itu, para pendiri negara pertama-tama harus mempunyai gambaran yang  jelas tentang negara yang dimaksud dan tempat/peranan warga negara di dalamnya. Berdasarkan agenda itu, beberapa anggota BPUPK mengemukakan pendapatnya mengenai dasar negara. Mengenai hal itu, ada tiga anggota yang mengemukakan  pendapat, yaitu Muh. Yamin (tanggal 29 Mei 1945), Soepomo (tanggal 31 Mei 1945), dan Soekarno yang berpidato pada hari terakhir masa sidang pertama BPUPK, 1 Juni 1945. 2.1. Masalah Hubungan Negara dan Agama. Dalam sejarah kenegaraan Indonesia, hubungan antara negara dengan agama baru dipersoalkan ketika bangsa kita memasuki masa pergerakan nasional. nasional. Sebelum itu, baik  pada masa ma sa Hindu maupun kerajaan-kerajaan kerajaan -kerajaan Islam sesudahnya, persatuan pe rsatuan antara negaraagama bukan merupakan hal yang dipersoalkan. Raja-raja pada masa lampau dipandang sebagai penjelmaan, penitisan atau inkarnasi dari Dewa Wisnu dan Sywa. Raja Airlangga dari Kediri misalnya, disamakan dengan dewa Wisnu, sedang Hayam Wuruk disebut oleh Prapanca sebagai sebagai Dewa segala Dewa Dewa (Noer, 1982). Ken Arok Arok pun setelah berhasil merebut mahkota ma hkota kerajaan Singosari dari raja Tunggul Ametung dianggap sebagai  penjelmaan Bethara Guru. Meskipun ia sebenarnya memiliki latar belakang kehidupan  pribadi yang buram, tetapi teta pi keburaman latar belakang belaka ng itu justru diyakini sebagai ekspresi kekuatan gaibnya yang tidak memperoleh penyaluran yang tepat. Kalau kemudian di tanah air ini tumbuh negara-negara Islam, maka raja-raja mereka juga akan bergelar Khalifatullah, Panotogomo atau pelindung agama Islam yang merupakan agama rakyat. Penyatuan antara negara dan agama memang tidak dipersoalkan pada waktu itu. Masalahnya menjadi lain ketika pada masa pergerakan kaum terpelajar (kebanyakan  belajar di atau dari dunia Barat), mulai memikirkan rencana mendirikan negara merdeka merde ka lepas dari penjajah Belanda. Hubungan antara negara dan agama pun kemudian menjadi  persoalan yang hangat untuk dibicarakan.

Hal itu dipicu oleh peristiwa "Jawi Hisworo" tahun 1916, ketika surat kabar milik Boedi Oetomo ini memuat tulisan yang menyatakan antara lain bahwa „nabi Muhammad  soeka minum gin dan arak‟ . Tulisan itu barang tentu menimbulkan kemarahan dari kalangan Islam. Kecaman yang diarahkan kepada pihak yang dianggap bertanggung jawab dan polemik yang mengikutinya menyiratkan perbedaan pandang antara kaum  priyayi nasionalis dan kalangan Islam. Sejak itu polemik tentang hubungan negara/politik dengan agama berlangsung, baik antara golongan Islam dengan golongan Komunis maupun antara golongan Islam dengan golongan Nasionalis. Dari polemik itu tampak bahwa kelompok Islam menghendaki adanya persatuan antara negara dan agama (Islam) seperti tersirat dari ungkapan-ungkapan yang dikemukakan para tokohnya antara lain: ,‟.... hanya kemerdekaan yang berazaskan keIslamanlah yang sesungguhnya melepaskan segala rakyat daripada perhambaan macam apapun juga‟ atau, „ Ideologi kaum Muslimin dipadatkan oleh Qur‟an‟. Di samping itu sering dikutipkan pula ayat suci Al Qur‟an seperti „ Dan tidak Kujadikan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdikan diri kepadaku.  Kesemua itu berarti bahwa  pengabdian untuk memperoleh kemenangan di dunia ini adalah untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat. Kehidupan dunia tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan batin (agama) dalam ideologi seorang Muslim‟ (Noer, 1982). Di lain pihak, golongan komunis menghendaki adanya pemisahan antara agama dan organisasi. Mereka mengan jurkan agar jangan mencampurkan agama dengan perserikatan. Sementara itu kaum nasionalis menghendaki agar negara tidak disatukan dengan agama tertentu (negara dipisahkan dari agama) Menurut Soekarno (dari kubu nasionalis) rencana Undang-Undang Dasar yang memuat persatuan agama dan negara tentu akan ditolak oleh badan perwakilan, atau apabila dipaksakan juga persatuan itu, berarti demokrasi ditinggalkan. Bagi Soekarno hanya ada dua alternatif dalam hubungan ini yaitu "Persatuan staat-agama tetapi  zonder democratie, atau democratie tetapi staat dipisahkan dari agama?"  Sejak itulah persoalan hubungan antara negara dan agama menjadi bahan wacana antara golongan nasionalis dan Islam. Dari sisi kelompok Islam wacana tersebut mengarahkan mereka kepada cita-cita mendirikan negara Islam. Pada akhir 1920-an  pemimpin Sarekat Islam seperti Surjopranoto dan Sukiman Wirjosandjojo mulai  berbicara tentang “een Islamietische Regeering ” (suatu pemerintahan Islam) atau “een eigen Islamietische bestuur onder een eigen vlag ” (suatu kekuasaan Islam di bawah  benderanya sendiri). Sukiman kemudian dikenal sebagai tokoh Masyumi dengan kalimatnya yang khas: “menciptakan negara Islam di Indonesia adalah tujuan kemerdekaan”. Polemik mengenai hal di atas menghangat lagi di paroh kedua 1930-an serta awal 1940-an. Kala itu Natsir, tokoh Sarekat Islam, berupaya menghidupkan lagi gagasan tentang keharusan memperjuangkan Islam sebagai dasar bagi Indonesia di masa depan.  Natsir menentang gagasan Soekarno mengenai pemisahan antara urusan agama dan urusan negara. Ada dua alasan Natsir dalam memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara. Pertama, karena Islam mengatur tidak saja soal hubungan manusia dengan Tuhan melainkan juga mengatur kehidupan sosial, politik atau bahkan ekonomi. Adalah tugas kaum Muslim untuk menjalankan amru bil ma‟ruf wannahyu „anil mungkar   (lakukan kebaikan dan hindari kejahatan). Semua aspek kehidupan haruslah dijalankan atas dasar

 prinsip tersebut, dengan Al Qur‟an dan Hadist Nabi sebagai ukurannya. Kedua, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga ada kewajiban bagi mereka untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Pengangkatan ideologi non Islam di Indonesia berarti memberi rakyat Indonesia ideologi asing. Di lain pihak Soekarno, seperti sudah disebut di atas, tetap pada pandangannya  bahwa agama haruslah dipisahkan dari negara karena di masyarakat terdapat sejumlah ideologi seperti nasionalisme, Islam dan komunisme. Di samping itu terdapat pula sejumlah agama yang dianut warga masyarakat. Soekarno juga menekankan pentingnya  persatuan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah Belanda. Dalam rangka persatuan  bangsa itu maka negara tidak boleh didasarkan pada agama tertentu. Soekarno tidak menghendaki Islam sebagai dasar negara karena hal itu akan membahayakan persatuan  bangsa. Pada persidangan I BPUPK (29 Mei –   1 Juni) hanya gagasan kaum kebangsaanlah yang muncul ke permukaan. Pada tanggal 31 Mei 1945 Prof Soepomo mengemukakan usulan tentang dasar negara yang antara lain menegaskan bahwa urusan negara harus dipisahkan dari urusan agama. Alasannya (a) secara geografis Indonesia tidak terletak di lingkungan negara keIslaman (corpus Islamicus); (b) kita tidak perlu mewarisi pertikaian yang masih timbul di kalangan negara-negara Islam sendiri; dan (c) jika kita mendirikan negara Islam maka berarti kita tidak mendirikan negara persatuan (Bahar, 1995). Pada tanggal 1 Juni Ir. Soekarno juga mengemukakan usulan dasar negara yang salah satu silanya adalah Ketuhanan. Mengenai hal ini Soekarno antara lain berkata “  Prinsip Indonesia  Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip  Ketuhanan!. Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan tetapi masing-masing orang  Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. .......... marilah kita semuanya berTuhan. Hendaknya negara ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya berTuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „Egoisme agama‟. Dan hendaknya Negara Indonesia  satu negara yang ber-Tuhan”. Dari usulan-usulan dasar negara di atas, tampak bahwa aspirasi golongan Islam  belum dikemukakan oleh para pendukungnya. Oleh karena itu seusai persidangan I golongan Islam (yang merupakan minoritas, hanya 15 orang dari 62 anggota BPUPK)  berupaya memperjuangkan aspirasi mereka di luar persidangan. Hasil upaya tersebut adalah diadakannya pertemuan antara Panitia Delapan (yang dibentuk pada akhir Sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945) dengan beberapa anggota BPUPK yang tinggal di Jakarta  pada tanggal 22 Juni 1945. Dalam pertemuan itu diupayakan kompromi antara pihak kebangsaan dan Islam mengenai rumusan dasar negara. Pada kesempatan itu sebuah panitia yang kemudian dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan, dibentuk untuk merumuskan kesepakatan antara kedua belah pihak. Panitia itu beranggotakan Drs. Moh. Hatta, Mr. Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A. Maramis, Ir. Soekarno (dari golongan nasionalis), K.H. Abdul Kahar Moezakhir, K.H. Wahid Hasyim (dari golongan ulama) dan, Abikusno Tjokrosuyoso dan H. Agus Salim (dari golongan „nasionalis Islam‟). Panitia itu berhasil menetapkan Rancangan Pembukaan UUD yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta. Di dalam rancangan itu termuat rumusan kompromi antara pihak Islam dan pihak Kebangsaan tentang hubungan antara negara dan agama.

Rumusan itu berbunyi “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟ at Islam bagi  pemeluk-pemeluknya”. Di samping itu dimuat pula rumusan sila sila Pancasila yang lain. Kompromi dalam Piagam Jakarta itu ternyata tidak dengan sendirinya mengakhiri  pertentangan ideologis antara golongan kebangsaan dan Islam. Ketika Piagam Jakarta dibawa ke sidang II BPUPK tanggal 10 Juli s/d 17 Juli 1945 persaingan itu justru tambah memuncak. Pada waktu itu timbul usul-usul yang hakikatnya mementahkan kembali kompromi melalui Piagam Jakarta. Sudah sejak pembahasan Rancangan Pembukaan UUD, Ki Bagoes Hadikoesoemo mempersoalkan rumusan kompromis Piagam Jakarta. Ia mengusulkan agar kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rumusan Piagam Jakarta dihapus. Agumentasinya karena hal itu akan menyulitkan pelaksanaan prinsip kewajiban menjalankan syariat Islam itu sendiri. Usulan itu ditolak sidang dengan alasan bahwa Piagam Jakarta sudah merupakan kompromi maksimal di antara dua belah pihak. Persoalan muncul kembali saat sidang BPUPK tanggal 15 Juli 1945 melanjutkan  pembahasan tentang pasal-pasal Rancangan UUD. Seorang anggota BPUPK, Pratalikrama, mengusulkan agar dalam UUD dirumuskan pula syarat Presiden yang harus “berusia minimal 40 tahun, bangsa Indonesia asli dan beragama Islam”. Usulan ini menggugah semangat Ki Bagoes Hadikoesoemo untuk mempersoalkan lagi apa sesungguhnya maksud dari rumusan “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat  Islam bagi pemeluk- pemeluknya”. Persoalan itu dipertajam dengan usulan KH Masykur untuk mensinkronkan rumusan syarat tentang Presiden dengan bunyi pasal 28 ayat 1 (29 ayat 1 sekarang). Bagi Masykur sulit diharapkan bahwa seorang Presiden non Muslim (yang dimungkinkan adanya oleh ketentuan pasal 6 ayat 1 tentang syarat Presiden) dapat menjalankan syariat Islam sebagaimana ditentukan pasal 28 ayat 1. Oleh karena itu Masykur mengusulkan agar rumusan pasal 28 ayat 1 diganti menjadi “ Agama resmi bagi Republik Indonesia adalah agama Islam”. Pihak kebangsaan bersikukuh pada rumusan Piagam Jakarta sebagai rumusan maksimal yang tak dapat diganggu gugat. Soekardjo bahkan menolak usulan syarat Presiden di atas dengan alasan bahwa hal itu bertentangan dengan prinsip persamaan hak di depan hukum dan pemerintahan. Terhadap berbagai usulan perubahan Piagam Jakarta dan pasal-pasal yang berkaitan, pihak kebangsaan bahkan mendesak diadakannya  pemungutan suara (voting ) untuk mengambil keputusan. Namun demikian pihak Islam menentang upaya pengambilan keputusan melalui voting  itu. Ketika pembicaraan menjadi berlarut-larut, karena jengkel KH Moezakir, yang kemudian didukung oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo menantang (sambil menggebrak meja) agar sidang bersikap tegas, mendasarkan negara pada agama Islam atau menghapuskan sama sekali hal-hal yang berbau Islam. Ketika sidang memanas maka Ketuapun menskors sidang sampai keesokan harinya. Malam itu tampaknya terjadi lobyloby antara anggota BPUPK sehingga ketika persidangan dibuka kembali esok harinya, Soekarno justru meminta golongan kebangsaan untuk mengalah dan menerima usulan kelompok Islam. Pada akhirnya Sidang BPUPK tanggal 16 Juli 1945 bersepakat bahwa: (a) rumusan sila I dasar negara yang terdapat dalam Piagam Jakarta tetap dipertahankan. (b) rumusan syarat Presiden menjadi berbunyi “ Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli  yang beragama Islam”, (c) rumusan pasal 28 ayat 1 (kini pasal 29 ayat 1) tetap berbunyi

“ Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi  pemeluk-pemeluknya” Kesepakatan di atas menunjukkan bahwa sampai akhir persidangan BPUPK II  pihak Islam mendapat kemajuan besar dalam memperjuangkan aspirasi mereka. Namun, keberhasilan pihak Islam tersebut hanya bersifat sementara. Sebab ketika kemudian  bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, kesepakatan kesepakatan di atas di ubah lagi sesuai dengan perkembangan keadaan waktu itu. Sesuai kesepakatan antara Moh Hatta dengan empat tokoh Islam anggota PPKI  pada pagi hari menjelang Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, maka (1) rumusan sila I Pancasila dikembalikan menjadi “ Ketuhanan Yang Maha Esa” (2) syarat Presiden cukup “ ...haruslah orang Indonesia asli”, sedang (3) rumusan pasal 28 ayat 1 (kini pasal 29 ayat 1) diubah menjadi “ Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. 2.2. Masalah Hubungan Antar Bangsa Berbeda dengan masalah hubungan antara negara dan agama, perbincangan tentang hubungan antar bangsa tidak begitu kontroversial dalam wacana politik di masa  pergerakan. Aspirasi mengenai hubungan antar bangsa ini hanya secara implisit muncul  pada saat terjadi polemik antara Soekarno (dari kelompok kebangsaan) dan Salim (dari kelompok Islam) tentang kebangsaan. Dalam hubungan ini Noer (1982) mencatat bahwa kebangsaan dalam pengertian Soekarno tidaklah sama dengan kebangsaan yang terdapat di negeri-negeri Barat melainkan kebangsaan yang toleran, yang berperi-kemanusiaan, yang tidak membenci  pada bangsa-bangsa lain. Soekarno dikutip sebagai mengatakan: “ H.A.Salim lupa mengatakan, bahwa beliau tahu bahwa rasa kebangsaan yang dimaksudkan oleh Ir. Soekarno ialah rasa kebangsaan yang tidak agressief, tidak menyerang-nyerang, tidak timbul daripada keinginan akan meraja-lela di atas dunia, .. nationalisme kita .... bukanlah nationalisme yang timbul dari kesombongan bangsa belaka; ia adalah nationalisme yang lebar ........., ia bukanlah “jinggo nationalisme” atau chauvinisme, dan bukanlah copie atau tiruan dari pada nationalisme Barat. Nationalisme kita adalah suatu nationalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahyu, dan menjalankan rasa hidupnya itu sebagai suatu bakti ........... nationalisme yang di dalam lain lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu  yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup ........... nationalisme yang membuat  kita menjadi “perkakasnya Tuhan” dan membuat kita menjadi “hidup dalam Roh ”  (Fajar )

Asia18 dan 20 Agustus 1928 Kutipan di atas menunjukkan bahwa hubungan antar bangsa yang dikehendaki oleh Soekarno adalah hubungan yang sama derajat, tidak saling meniadakan atau saling menyerang, dan tidak dilandasi oleh chauvinisme. Dalam Sidang I BPUPK, tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1945, prinsip hubungan antar  bangsa juga dikemukakan sebagai salah satu unsur dasar negara. Walaupun diberi catatan kaki bahwa “ Naskah Pidato Mr. M Yamin tidak ditemukan dalam „Koleksi Mr. M Yamin‟ maupun „Koleksi Pringgodigdo‟ yang tersimpan di Arsip Nasional ”, Saafroedin Bahar dkk (1995) tetap mencantumkan naskah Pidato M Yamin, yang disebut-sebut diucapkan tanggal 29 Mei 1945 ke dalam buku karya mereka. Satu kalimat menarik dalam naskah  pidato Yamin itu berbunyi “ Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia Merdeka adalah

berdasar perikemanusiaan yang universieel berisi humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa” (Bahar, 1995) Sementara itu dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, Soekarno antara lain menyatakan  prinsip perhubungan antara bangsa itu sebagai berikut: "Tetapi ..... tetapi memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya. Bahayanya mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berpaham 'Indonesia uber Alles'. Inilah bahayanya. Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil  saja dari dunia. Ingatlah akan hal ini!. "..... Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, y ang mengatakan „Deutschland uber Alles‟, tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsa yang minulyo, berambut jagung, dan bermata biru, „bangsa Aria‟, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian, Tuan-tuan jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagoes dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju pula persatuan dunia,  persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju kepada kekeluargaan bangsa bangsa.' “Justru inilah  prinsip saya kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada tuan-tuan, yang boleh saya namakan 'Internasionalisme'. Tetapi jikalau  saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon ....... dan seterusnya. “Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman  sarinya internasionalisme. Jadi dua hal ini saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2", yang  pertama-tama saya usulkan kepada Tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu  sama lain (Bahar, 1995)

Tampak bahwa dalam konsepsi Soekarno, sila internasionalisme ia kemukakan setelah dasar nasionalisme. Hal itu mengandung maksud agar nasionalisme tidak jatuh ke paham chauvinisme dan internasionalisme, juga tidak jatuh ke paham kosmopolitisme yaitu ajaran yang beranggapan bahwa seluruh kosmos (dunia) adalah satu. Penganut kosmopolitisme cenderung mengabaikan batas-batas negara dan yang ekstrim cenderung mengabaikan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Harus diakui bahwa uraian Soekarno tentang prinsip Internasionalisme adalah uraian terpendek dibanding uraiannya tentang sila-sila yang lain. Namun demikian secara nalar kita pahami bahwa pola hubungan antar negara yang dikehendaki oleh Soekarno adalah yang didasari oleh sikap hormat-menghormati sesama bangsa. Sehingga tidak ada kesombongan antar bangsa di dunia ini. Secara lebih dalam dapat kita pahami  pula bahwa sikap hormat-menghormati akan tumbuh kalau ada keyakinan yang sama  bahwa bangsa-bangsa yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah sama sederajat, sama merdeka dan hanya karena perkembangan kebudayaan mereka sajalah maka mereka terpisah ke dalam satuan-satuan kebangsaan tersebut. Keyakinan tersebut secara implisit mencerminkan pula keyakinan tentang harkat martabat manusia sebagai mahluk yang sama derajat dan sama merdeka, karena yang hidup membangsa atau yang disebut bangsa itu tidak lebih dari manusia-manusia yang oleh karena ikatan tertentu kemudian disebut sebagai satu bangsa.

Ketika Piagam Jakarta disusun tanggal 22 Juni 1945 ternyata rumusan sila kedua tidak berbunyi internasionalisme atau perikemanusiaan, tetapi " Kemanusiaan yang adil dan beradab". Sampai sejauh ini tidak ada petunjuk yang jelas tentang mengapa sila peri-kemanusiaan atau internasionalisme berubah menjadi kemanusiaan yang adil dan beradab. Satu-satunya komentar Soekarno sewaktu melaporkan Piagam Jakarta kepada sidang II BPUPK adalah sebagai berikut: " di dalam Preambule itu ternyatalah seperti saya katakan tempo hari (tanggal 1 Juni 1945-pen.) segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.... dan seterusnya .... masuk di dalamnya kemanusiaan atau Indonesia merdeka di dalam susunan peraturan kemanusiaan dunia ....... dan seterusnya " (Bahar 1995)

Sumber lain mengatakan bahwa perubahan itu disebabkan oleh karena: "...  setelah tercapai kata sepakat tentang penegasan mengenai pemeluk-pemeluk agama  Islam, maka perumusannya (Piagam Jakarta) diserahkan Ir. Soekarno. Kemudian Ir. Soekarno minta bantuan kepada sahabat karibnya sejak adanya Partai Nasional  Indonesia (1927) yaitu Mr. Muhammad Yamin. Kiranya sudah wajar bahwa untuk mudahnya Mr. Muh Yamin mengambil perumusannya yang berisi 5 dasar negara ..... dan ,  seterusnya." (Darmodihardjo 1979)

Rumusan sila kedua itu tidak mengalami perubahan ketika sila sila Pancasila dibahas dan ditetapkan dalam sidang PPKI tang 18 Agustus 1945. 2.3. Masalah Kebangsaan/Hakikat Negara Bangsa Kesadaran tentang kebangsaan Indonesia sesungguhnya sudah tersirat dari lahirnya  berbagai organisasi pergerakan sejak tahun 1908. Organisasi-organisasi itu lahir atas kesadaran bahwa perjuangan yang bersifat kedaerahan, kesuku-bangsaan atau golongan saja tidaklah mencukupi untuk mengusir penjajah. Oleh karena itu muncul kemudian organisasi-organisasi yang berjuang secara nasional dan mencakup berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia. Sudah barang tentu kesadaran itu tidak terbentuk secara tiba-tiba dan langsung jadi, melainkan tumbuh dan berkembang setahap demi setahap. Kita catat misalnya bahwa pada mulanya Boedi Oetomo organisasi yang lahir pada awal tahun 1900-an merumuskan tujuan mereka masih sebatas pada “ hendak memajukan „Jawa Raya‟, bukan Indonesia. Pada awalnya kaum muda juga mengorganisasikan diri dalam organisasi-organisasi kepulauan, semacam  Jong Sumatranen  Bond, Jong Java,  Jong Celebes, dan lain sebagainya, bukan bersifat nasional, Indonesia. Dengan demikian kesadaran tentang kebangsaan Indonesia itu tumbuh di kalangan bangsa Indonesia sejalan dengan pertumbuhan gerakan-gerakan perjuangan yang semula bersifat kepulauan/kesukuan. Di samping itu konsep bangsa dan kebangsaan itu memang juga masih digumuli oleh berbagai pihak di tubuh kaum pergerakan. Noer (1982) mencatat bahwa polemik antara kelompok kebangsaan dan kelompok Islam mengenai persoalan tersebut sudah  berkembang sejak tahun 1920an dan bahkan berlangsung lagi menjelang akhir tahun 1930an. Perbedaan pandang di antara kedua kelompok mengenai soal bangsa dan kebangsaan itu terkait erat dengan masalah perbedaan faham mengenai hubungan antara negara agama, seperti yang sudah dibahas di muka. Kesadaran kebangsaan, kesadaran bahwa suku-suku yang berbeda beda itu adalah satu bangsa, kemudian terkristal dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Melalui Sumpah

Pemuda generasi muda Indonesia mengakui bahwa mereka adalah bagian satu bangsa yang satu yaitu bangsa Indonesia, yang menggunakan satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia, dan hidup di wilayah yang satu yaitu tanah air Indonesia. Walaupun kesadaran sebagai kesatuan bangsa sudah diikrarkan namun bukan  berarti kesatuan bangsa itu sudah dengan sendirinya terwujud. Polemik antar dua kelompok di atas, yang masih berlangsung pada tahun-tahun menjelang kita merdeka menunjukkan bahwa masalah kesatuan bangsa memang tetap menjadi tantangan yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia secara tepat. Oleh karena itulah persoalan tersebut  juga mengemuka kembali ketika sidang BPUPK berlangsung. Di dalam sidang I BPUPK gagasan negara kebangsaan muncul lagi melalui usulan dasar negara dari Ir. Soekarno. Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 Soekarno antara lain menyatakan: “Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya apakah kita hendak mendirikan Negara  Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan,? Mendirikan Negara  Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?.  Apakah maksud kita begitu?, Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam,  semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan.  Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi.  Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan suatu Negara Kebangsaan Indonesia .(Bahar,

1995) Dalam perkembangan kemudian ternyata bahwa di dalam Piagam Jakarta sila kebangsaan itu berubah menjadi sila Persatuan Indonesia. Mengenai perubahan rumusan itu Yayasan Idayu (1987) mencatat bahwa perubahan itu terjadi dalam rapat Panitia Sembilan tanggal 22-Juni-1945, tepatnya ketika Piagam Jakarta disusun. Pada saat itu muncul kekhawatiran terhadap niat dari beberapa aliran di kalangan pemerintah Jepang yang hendak memecah Indonesia menjadi tiga atau empat negara merdeka. Kekhawatiran itu dapat dipahami mengingat pada masa penjajahan Jepang wilayah nusantara di bagi menjadi tiga bagian, yang masing-masing dibawah penguasa yang berlainan. Daerah Indonesia bagian Timur misalnya dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang. Penggunaan rumusan sila Persatuan Indonesia sebagai pengganti sila kebangsaan, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Indonesia itu satu, tidak terbagi-bagi. 2.4. Masalah Pemilik Kedaulatan Dalam Negara Cita-cita kehidupan bernegara di mana rakyat menjadi pemilik kedaulatan dalam negara, cita cita demokrasi, sudah mulai berkembang di kalangan pemimpin bangsa kita, ketika mereka berjuang mengusir penjajah melalui organisasi sosial politik. Dalam catatan Haris (1995) perkembangan aspirasi mengenai kehidupan demokrasi di masa  pergerakan ditandai oleh tiga hal pokok yaitu (a) kebangkitan kesadaran akan hak kebebasan untuk menyatakan pendapat, (b) berkembangnya aspirasi mengenai sistem kepartaian, dan (c) berkembangnya aspirasi mengenai sistem pemerintahan.

Gejala kebangkitan kesadaran akan hak kebebasan untuk menyatakan pendapat tampak dari begitu banyaknya penerbitan pers pada masa pergerakan. Hampir semua organisasi pergerakan mempunyai surat kabar sendiri sebagai corong aspirasi politik mereka. Beberapa organisasi pergerakan bahkan mempunyai lebih dari satu penerbitan  pers. Seperti tampak dalam uraian-uraian terdahulu polemik di surat-kabarpun menjadi hal yang wajar pada saat itu. Mengenai aspirasi tentang sistem kepartaian Haris (1995) mencatat bahwa “  polarisasi organisasi dan kepartaian yang tumbuh itu menggambarkan dengan jelas ke arah mana cita-cita tentang partai, yaitu kecenderungan untuk (1) menciptakan suatu  sistem banyak partai; dan (2) mempertahankan basis dan struktur partai yang bersifat  primordial ” Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa “kecuali Soekarno dan secara longgar juga Soepomo serta Sutatmo Suriokusumo, tak seorangpun menghendaki  pembatasan kebebasan berserikat. Arus utama gagasan mengenai partai pada waktu itu menghendaki pola banyak partai katimbang pengelompokkan atasnya, apalagi partai tunggal”. Masalah sistem pemerintahan (parlementer atau presidensiel) sebenarnya telah menjadi pergumulan organisasi-organisasi pergerakan di masa pergerakan nasional. Sejak Volksraad   didirikan aspirasi bangsa Indonesia tentang pemerintahan negara menjadi semakin jelas terumuskan. Pada mulanya tuntutan kaum pergerakan lebih terpusat pada  bagaimana caranya membuat Volksraad   agar dapat benar-benar menjadi parlemen atau DPR yang sesungguhnya. Dalam perkembangan aspirasi itu berkembang menjadi aspirasi tentang sistem  pemerintahan yang cocok bagi Indonesia Merdeka. Haris (1995) mencatat pula bahwa aspirasi tentang sistem pemerintahan itu dapat digolongkan menjadi dua yaitu (1) yang menginginkan sistem pemerintahan parlementer, dan (2) yang menginginkan sistem  pemerintahan presidensiel. Kecuali Soekarno, Soe pomo dan Sutatmo yang menginginkan sistem pemerintahan presidensiel, mayoritas pemimpin pergerakan waktu itu dan juga  beberapa organisasi pergerakan (GAPI, misalnya) menginginkan sistem pemerintahan  parlementer. Hal-hal di atas menunjukkan bahwa cita-cita atau keinginan untuk mendirikan negara yang demokratis sudah cukup berkembang di kalangan kaum pergerakan. Lebih dari itu di dalam kehidupan partai politik dewasa itu sudah dijalankan pula cara-cara  berorganisasi yang demokratis. Dalam persidangan I BPUPK, gagasan dasar tentang hidup bernegara secara demokratis pertama kali disampaikan oleh Soekarno dalam pidato tanggal 1 Juni 1945. Sesudah itu masalah demokrasi dibicarakan pula dalam sidang -sidang BPUPK terutama  pada saat membicarakan isi/pasal-pasal Rancangan UUD yang disusun oleh Panita Hukum Dasar. Sila kerakyatan dalam usulan Soekarno dinyatakan sebagai mufakat, perwakilan,  permusyawaratan. Mengenai sila ini Soekarno berkata : " Kemudian apakah dasar yang ketiga ? Dasar itu yalah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya, tetapi kita mendirikan negara „semua buat semua', satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan. .... Dengan cara mufakat kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan  jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa

 yang belum memuaskan kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan Perwakilan inilah tempat mengemukakan tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada  pemimpin-pemimpin rakyat apa-apa yang kita rasakan perlu perbaikan. „Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya  sebagaian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan diduduki oleh utusan-utusan Islam." .... Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiaptiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian agar supaya sebagaian besar daripada utusan-utusan yang masuk badan  perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil-fair play!" (Bahar, 1995)

Uraian Soekarno di atas menunjukkan bahwa dalam negara Indonesia merdeka semestinya (1) dianut prinsip kedaulatan rakyat, (2) dianut sistem perwakilan dalam  pelaksanaan kedaulatan rakyat, dan (3) dianut prinsip musyawarah untuk mufakat dalam lembaga perwakilan rakyat. Pada saat Piagam Jakarta terbentuk ternyata sila mufakat atau demokrasi itu diberi rumusan  Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam  permusyawaratan-perwakilan. Rumusan tersebut menurut hemat penulis tidak membawa  perubahan prinsipiil terhadap makna sila demokrasi seperti yang dikemukakan oleh Soekarno di atas. Prinsip kedaulatan rakyat, permusyawaratan dan perwakilan justru semakin mendapat penjabaran melalui pembahasan pasal-pasal Rancangan Undang-Undang Dasar dalam sidang II BPUPK. Salah satu masalah yang muncul adalah persoalan lama yaitu apakah negara Indonesia akan menganut sistem pemerintahan presidensil atau  parlementer. Dalam sidang II BPUPK persoalan tersebut muncul kembali, walau tidak menyita waktu panjang. Pembahasan persoalan tersebut secara garis besar adalah sebagai  berikut ini. a) Pada tanggal 15 Juli 1945, ketika menanggapi Rancangan UUD Muh. Yamin mengusulkan agar negara Indonesia menggunakan “sistem Menteri yang bertanggung- jawab”.  Usulan semacam itu juga datang dari Moh. Hatta yang secara tegas mengajukan pentingnya pemerintahan yang bertanggung-jawab kepada rakyat/wakil rakyat.  b) Atas usulan itu Prof. Soepomo menjelaskan bahwa : (a) UUD yang disusun mempunyai sistem tersendiri yaitu Presiden bertanggung jawab kepada MPR, bukan kepada DPR, dan para Menteri bertanggung-jawab kepada Presiden bukan kepada DPR. (b)  jika Menteri bersalah apakah Menteri itu harus mundur ataukah tidak sangat  bergantung pada kebijaksanaan (political feeling)  Kepala Negara dan juga kebijaksanaan Menteri yang bersangkutan. c) Akhirnya sidang menyetujui bahwa sistem pertanggung-jawaban para menteri/sistem parlementer tidak dianut dalam Rancangan UUD 1945. Demikianlah aspirasi dalam sidang BPUPK yang menyangkut penyelenggaraan demokrasi di negara Indonesia merdeka. Ketika prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan diajukan ke sidang PPKI, ternyata prinsip ini langsung disetujui oleh para anggota sidang tanpa pembahasan terlebih dulu.

2.5. Masalah Tujuan Negara Berbeda dengan persoalan hubungan antara negara dan agama yang menimbulkan kontroversi, masalah tujuan negara justru tidak menyita banyak perdebatan selama proses  perumusan dasar negara Pancasila. Hal itu dapat kita pahami karena cita-cita tentang kesejahteraan hidup bersama sebenarnya merupakan hal yang selalu berkembang dalam kehidupan manusia di segala jaman. Banyak prasasti yang menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan Hindu, Budha maupun Islam di Nusantara masa lampau juga mencita-citakan adanya kemakmuran hidup dalam negara. Mitos tentang Ratu Adilpun selalu berkembang dari masa ke masa, hidup di hati sanubari rakyat yang pada hakikatnya mengungkapkan harapan tentang kehidupan yang adil dan sejahtera. Dalam suasana penindasan, mitos Ratu Adil bahkan sering menjadi penggerak utama gerakan-gerakan rakyat melawan penguasa yang menindas. Lahirnya organisasi – organisasi yang ingin memerdekakan bangsa Indonesia pada masa pergerakan nasional secara implisit sudah menyiratkan aspirasi tentang kesejahteraan rakyat. Cita-cita kemerdekaan sebagai antithesa penjajahan menyiratkan aspirasi kesejahteraan sebagai antithesa kemiskinan yang diciptakan kaum penjajah. Tak mengherankan jika aspirasi tentang kesejahteraan bersama waktu itu  berkembang seiring dengan aspirasi tentang pengelolaan kekuasaan sendiri dan sekaligus diwarnai kuat oleh sentimen-sentimen terhadap segala sesuatu yang melekat pada diri  penjajah (kapitalisme, liberalisme, demokrasi Barat, dsb). Soekarno dan Hatta, misalnya  berbicara tentang kesejahteraan dalam bingkai demokrasi ekonomi yang merupakan  pasangan dari demokrasi politik. Menurut catatan Noer (1982), bagi Soekarno, juga bagi Hatta, demokrasi dalam urusan ekonomi itu akan dapat direalisasikan dengan menempatkan “semua perusahaan perusahaan besar menjadi miliknya staat (negara) ..... semua hasil-hasil perusahaan itu digunakan bagi keperluan Rakyat, semua pembagian hasil itu di bawah pengawasan  Rakyat ”. Masalah kesejahteraan bersama, kesejahteraan sosial, kembali mengumandang dalam sidang I BPUPK, saat usulan dasar negara sedang dikemukakan. Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, Ir Soekarno antara lain menyatakan: “ Prinsip No. 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka” Lebih lanjut Soekarno menyatakan: “ Apakah kita mau Indonesia Merdeka  yang kaum kapitalnya meraja-lela, ataukah yang  semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? Mana yang kita pilih saudara-saudara? Jangan saudara kira kalau  Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire-democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis meraja-lela?” “Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politike economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat  Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan faham  Ratu-Adil, ialah sociale rechvaardigheid, rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang

didalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu-Adil. Maka oleh karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan persamaan politiek,  saudara-saudara, tetapipun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan  persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik- baiknya‟ (Bahar, 1995)

Dari kutipan pidato Soekarno di atas dapat kita simpulkan bahwa : a) Menurut Soekarno demokrasi yang dijalankan di negara-negara Eropa dan Amerika hanya demokrasi di bidang politik saja dan tidak mencakup demokrasi di bidang ekonomi. Oleh karena itu di dalamnya tidak ada sociale rechtsvaardigheid , tidak ada keadilan sosial.  b) Prinsip kesejahteraan sebagai prinsip dasar keempat dalam Indonesia merdeka yang diusulkan Soekarno merupakan prinsip demokrasi di bidang ekonomi yang menghendaki serta menuju tercapainya kesejahteraan bersama melalui persamaan di  bidang ekonomi. c) Apabila prinsip demokrasi dikaitkan dengan prinsip keadilan sosial, maka selain menghendaki persamaan politik demokrasi Indonesia juga menghendaki persamaan ekonomi. Inilah ciri khas demokrasi di Indonesia merdeka yang diusulkan Soekarno. Dalam Piagam Jakarta sila kesejahteraan dari Soekarno itu dirumuskan menjadi “ Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” Dalam sidang PPKI tidak terdapat  pembahasan secara khusus mengenai sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Demikianlah secara ringkas kita telah melihat bagaimana dinamika perumusan silasila Pancasila. Berikut akan kita bahas proses finalisasi rumusan dasar negara Pancasila. 2.6. Rumusan Definitif Dasar Negara Pancasila Rumusan definitif dasar negara Pancasila baru terbentuk dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Namun demikian proses pematangan Pancasila sesungguhnya sudah dimulai sehari sebelumnya, tepatnya sore hari tanggal 17 Agustus 1945 sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Dengan mengutip Hatta, Heuken SJ, dkk (1988) melukiskan kejadian itu sebagai  berikut ini.  Menurut keterangan M Hatta, seorang opsir kaigun (A.L. Jepang) mengunjungi beliau dan memberitahukan “ bahwa wakil -wakil Protestan dan Katholik dalam daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat  Pembukaan Undang Undang Dasar  yang berbunyi „Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk - pemeluknya‟. Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas.  Jika „diskriminasi‟ itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik  Indonesia” “Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang  Panitia Persiapan bermula, saya ajak Ki Bagoes Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr.  Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat  pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan mengganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, ketika menyampaikan perubahan rumusan sila pertama dari Ketuhanan d engan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi

 pemeluk-pemeluknya  menjadi  Ketuhanan Yang Maha Esa, Moh. Hatta antara lain menyatakan: “Oleh karena hasrat kita semua ialah menyatakan bangsa Indonesia seluruhnya, supaya dalam masa yang genting ini kita mewujudkan persatuan yang bulat maka pasal-pasal  yang bertentangan dikeluarkan dari Undang Undang Dasar. Oleh karena itu maka dapat disetujui, misalnya pasal 6 alinea 1 menjadi „Presiden ialah orang Indonesia asli‟. „Yang beragama Islam‟ dicoret, oleh karena   penetapan yang kedua: Presiden Republik  Indonesia orang Islam, agak menyinggung perasaan dan pun tidak berguna, oleh karena mungkin dengan adanya orang Islam 95% jumlah di Indonesia ini dengan sendirinya barangkali orang Islam yang akan menjadi Presiden, sedangkan dengan membuang ini maka seluruh Hukum Undang Undang Dasar dapat diterima oleh daerah-daerah  Indonesia yang tidak beragama Islam umpamanya yang pada waktu sekarang diperintah oleh kaigun. Persetujuan dalam hal ini juga sudah didapat antar berbagai golongan,  sehingga memudahkan pekerjaan kita pada waktu sekarang ini” “Berhubung dengan itu juga berubah pasal 29, ini bersangkutan pula dengan preambule.  Pasal 29 ayat 1 menjadi begini: „Negara berdasar atas ke -Tuhanan Yang Maha Esa‟.  Kalimat yang dibel akang itu yang berbunyi: „dengan keajiban‟ dan lain -lain dicoret  saja”. “Inilah perubahan maha penting menyatukan segara bangsa ” (Bahar, 1995)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa semua perubahan rumusan dalam rancangan  pembukaan maupun pasal-pasal UUD dilakukan demi menjaga persatuan kesatuan  bangsa Indonesia. Dengan demikian selain menyangkut soal sila Ketuhanan yang Maha Esa, sesungguhnya perubahan itu juga menekankan pentingnya sila Persatuan Indonesia. Sejauh menyangkut sila II Pancasila, sidang PPKI hanya membahas teknis  perumusan sila itu dalam kaitannya dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam alinea IV draft Pembukaan UUD yang dikemukakan oleh Soekarno-Hatta, antara lain disebutkan bahwa “maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang  Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia  yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, ..dst”

Kata sambung “menurut dasar ” itulah yang diusulkan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo untuk dicoret karena dianggap kurang baik. Usulan tersebut disetujui oleh sidang sehingga kalimat dalam alinea IV Pembukaan itu berbunyi “.....dengan berdasar kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan  Indonesia, ..dst” Dalam sidang PPKI persoalan demokrasi sebagai dasar hidup bernegara tidaklah terlalu diperdebatkan. Hal ini dapat kita pahami karena masalah ini sudah menjadi  bahan perbincangan bahkan sejak masa pergerakan nasional. Demikian juga beberapa  persoalan yang menyangkut operasionalisasi ide itu sudah terbahas dalam sidang-sidang BPUPK II tanggal 10 s/d 16 Juli 1945. Ketika prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam  permusyawaratan-perwakilan (sebagai bagian dari Pembukaan UUD 1945) diajukan ke sidang PPKI, tanpa pembahasan lebih lanjut prinsip ini langsung disetujui oleh para anggota sidang. Lebih dari itu ketika Rancangan UUD disahkan menjadi UUD 1945 melalui sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, persoalan sistem pemerintahan juga tidak muncul kembali. Hal yang sama juga terjadi pada sila kelima Pancasila. Dalam sidang PPKI tidak terdapat pembahasan secara khusus mengenai sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat

Indonesia. Pasal-pasal yang menyangkut kesejahteraanpun (pasal 33 dan 34) langsung disetujui oleh anggota sidang tanpa adanya pembahasan. Dapat dikatakan bahwa berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai  baik dalam sidang-sidang BPUPK maupun sebelum sidang PPKI, maka pembahasan dasar negara maupun UUD negara dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menjadi lancar. Pada hari itu selain berhasil memilih Presiden dan Wakil Presiden PPKI juga  berhasil menetapkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 dan menetapkan UUD 1945 itu sendiri. Rumusan Pancasila dasar negara yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan 5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 itu, maka selesailah sudah satu babakan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merumuskan dasar bagi penyelenggaraan negara merdeka yang sudah lama dicita-citakannya. Silahkan buru Rini masuk disini!!!!! 3. Dinamika Implementasi Pancasila Setelah resmi ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila dicoba dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Upaya mengimplementasi-kan Pancasila dalam kehidupan bernegara ternyata tidak mudah. Sejarah ketatanegaraan Indonesia menunjukkan bahwa Pancasila selalu diperhadapkan kepada tantangantantangan dari ideologi alternatif. Uraian berikut akan menggambarkan bagaimana keberadaan Pancasila di dalam sejarah ketata-negaraan Republik Indonesia. 3.1. Masa berlakunya UUD 1945 I (18-8-1945 27 - 12 - 1949) Implementasi Pancasila dalam kehidupan bernegara di awal kemerdekaan ternyata tidak lancar. Gagasan dasar tentang hidup bernegara itu mendapat „tantangan‟ baik dari  penggagasnya sendiri maupun dari ideologi pesaing. Belum genap dua bulan usia Pancasila, Presiden Soekarno justru melontarkan gagasan untuk membentuk satu partai tunggal (sistem mono party), yang notabene  bertentangan dengan prinsip sila ke empat Pancasila. Walau keinginan itu bisa dipahami dari sudut kebutuhan praktis dalam rangka menggalang persatuan bangsa menghadapi Belanda, namun hal itu tidak dapat dibenarkan oleh dasar negara Pancasila. Beruntunglah  bahwa yang kemudian lahir justru Maklumat Pemerintah tanggal 1 Nopember 1945 yang  berisi anjuran agar rakyat membentuk partai-partai politik. Salah satu partai politik yang kemudian muncul adalah partai Komunis Indonesia (PKI). Kelahiran partai pendukung idelogi komunisme ini memandai telah terkonsolidasikannya kekuatan pendukung ideologi pesaing Pancasila itu. Namun pada

tahun 1948 PKI mengadakan pemberontakan, dikenal dengan Pemberontakan PKI Madiun, sehingga partai ini dibubarkan oleh pemerintah. Selain harus bersaing dengan komunisme, Pancasila ternyata juga masih harus  bersaing dengan ideologi Islam. Walaupun pembatalan rumusan sila I dalam Piagam Jakarta dilakukan atas persetujuan beberapa tokoh Islam, namun sejarah menunjukkan  bahwa upaya untuk mendirikan negara Islam masih terus berlangsung. Effendi (1998)  bahkan menyebutkan bahwa pada tanggal 14 Agustus 1945 Kartosuwiryo telah memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Tampak bahwa tidak semua pihak dapat menerima perubahan Piagam Jakarta itu sepenuhnya. Dengan perkataan lain cita-cita untuk mendirikan negara Islam tidak padam  begitu saja sesuai perumusan dasar negara Pancasila. Anggaran Dasar Partai Masyumi yang dikeluarkan pada bulan Nopember 1945 misalnya, secara tegas menyatakan tujuan  partai itu sebagai “mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dan agama Islam dan mewujudkan cita-cita Islam dalam urusan-urusan negara”.  Selanjutnya dalam  program partai Masyumi yang dikeluarkan tanggal 17 Desember 1945 dinyatakan  program untuk “menerapkan cita-cita Islam dalam urusan-urusan negara, sampai dapat mewujudkan struktur negara yang berdasar pada kedaulatan rakyat, dan masyarakat  yang adil sesuai ajaran Islam” (Karim, 1982). Di samping itu diprogramkan pula untuk “memperkuat dan melengkapi aturan-aturan dasar dalam Undang Undang Dasar  sampai dapat membentuk negara dan masyarakat Islam”. Rumusan-rumusan di atas menunjukkan bahwa sebagian dari bangsa Indonesia masih mencita-citakan terbentuknya negara Islam.  Namun demikian Partai Masyumi bukanlah satu-satunya pihak yang memperjuangkan cita-cita semacam itu. Tidak lama setelah Indonesia merdeka gerakan yang ingin mendirikan negara Islam mulai aktif kembali. Untuk meredam propaganda gerakan Darul Islam, dan untuk memperoleh dukungan lebih luas dari pihak kaum Islam dalam menghadapi penjajah Belanda, maka  pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah membentuk Kementrian/ Departemen Agama. Kehendak agar ada satu departemen agama dalam struktur pemerintahan Indonesia sebenarnya sudah dua kali dinyatakan. Pertama, dalam rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945 muncul usul agar dibentuk Departemen Agama, namun usulan tersebut ditolak dan urusan agama diserahkan kepada Departemen Pendidikan. Kedua, usulan serupa muncul lagi pada rapat-rapat KNIP bulan November 1945, dan wakil Presiden Moh. Hatta pada waktu itu menyatakan bahwa “ Pemerintah menaruh perhatian penuh tentang persoalan ini.” Dengan berdirinya Departemen Agama (Depag) maka sebuah kompromi baru antara golongan nasionalis dan Islam telah tercapai. Bagi pihak-pihak kebangsaan hal itu merupakan konsesi kepada pihak yang menginginkan negara Islam, sedang bagi kelompok Islam hal itu merupakan hasil optimal yang dapat dicapai pada waktu itu. Pada mulanya Depag hanya mengurusi agama Islam. Depag mengambil alih: (a) urusan pengajaran agama dari Departemen Pendidikan, (b) urusan perkawinan,  perceraian, pengangkatan modin dan urusan haji dari Bupati, dan (c) pengadilan agama dari Mahkamah Agung. Umat beragama lain pada mulanya tidak menaruh perhatian kepada Depag, sebab dalam pandangan mereka urusan agama seharusnya jangan menjadi urusan negara, negara tidak perlu mencampuri urusan intern agama.

Untuk sementara tampaknya persaingan ideologis antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam mereda. Alasan utamanya boleh jadi adalah adanya satu musuh bersama yang mempersatukan bangsa Indonesia yaitu Belanda. Namun demikian berbagai  persoalan yang timbul baik dalam upaya mempertahankan kemerdekaan maupun dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dalam negeri telah melahirkan gerakan-gerakan  bersenjata yang semula tidak bernuansa keagamaan menjadi gerakan yang kental nuansa keagamaannya. Gerakan-gerakan itu memperjuangkan cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia melalui penggunaan kekuatan bersenjata. Kelompok-kelompok bersenjata itu terdiri atas : 1. DI/TII S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat (1949-1962) 2. DI/TII Ibnu Hadjar di Kalimantan (1950; 1959) 3. DI/TII Batalyon 426 dan gerombolan lain di Jawa Tengah (1951-1954) 4. DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan (1951-1965) 5. DI/TII Daud Beureuh di Aceh (1953-1962) Menurut Effendy (1998) Kartosuwirjo sangat kecewa terhadap strategi para  pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan kembali kepulauan  Nusantara oleh Belanda. Karenanya, ia kemudian menarik diri dari berbagai aktivitas arus utama politik negara. Ia berkonsentrasi kepada penambahan unit-unit pasukan Hizbullah di bawah kontrolnya, dan berhasil menentang upaya penggabungan unit-unit  pasukan itu ke dalam kesatuan tentara nasional Indonesia. Ketika kontrol terhadap seluruh wilayah Indonesia merosot, Kartosuwirjo menyerukan jihad (perang suci) melawan pasukan Belanda. Ia menolak Perjanjian Renville tahun 1948 yang ditanda tangani Republik Indonesia dan Belanda., di bawah mana „ Jawa Barat dilepaskan, dan diperkirakan sekitar 30.000 tentara Republik  Indonesia menarik diri ke wilayah Republik Indonesia yang telah dibebaskan di Jawa Tengah‟. Kartosuwirjo bahkan mundur ke daerah-daerah pegunungan di Jawa Barat, sambil terus menyerukan jihad melawan Belanda. Dan sebagai respons terhadap dibentuknya negara boneka Pasundan, yang didirikan di Jawa Barat dan dikontrol Belanda (1948) ia memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam catatan Heuken SJ, dkk (1988), tujuan gerakan DI/TII adalah sebagai berikut: a)  Negara Islam Indonesia berdiri dengan sentausa dengan tegak teguhnya, ke luar dan ke dalam, 100% de facto dan de jure, di seluruh Indonesia;  b) Lenyapnya segala macam penjajahan dan perbudakan; c) Terusirnya segala musuh Allah, musuh Agama dan musuh Negara, dari Indonesia; dan d) Hukum-hukum Islam berlaku dengan sempurnanya di seluruh Negara Islam Indonesia. Dibutuhkan waktu lebih dari 14 tahun (1949-1963) untuk mematahkan gerakan Darul Islam yang ingin mendirikan negara agama dengan jalan kekerasan. Demikianlah kita mencatat bahwa sejak awal penerapannya, Pancasila memang terus harus berdahapan dengan ideologi pesaing baik dalam bentuk komunisme maupun Islam radikal.

3.2. Masa Berlakunya Konstitusi RIS (27-12-1949 17-8-1950) Sejak tanggal 27 Desember 1949 negara Republik Indonesia yang berbentuk Kesatuan berubah menjadi negara Serikat. Negara Republik Indonesia Serikat terdiri atas  beberapa negara bagian, seperti negara bagian Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, negara Sumatera Timur, negara Pasundan, Negara Jawa Timur dan lain sebagainya. Sebagaimana lazimnya sebuah negara bagian, maka setiap negara bagian dalam RIS itupun masing-masing memiliki Undang Undang Dasarnya sendiri. UUD 1945 (yang di dalamnya terdapat Pancasila dasar negara) dinyatakan hanya berlaku di negara bagian Republik Indonesia. Sedang untuk negara Republik Indonesia Serikat di berlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949. Di dalam alinea ketiga Mukadimah Konstitusi RIS dinyatakan sbb.: “Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk republik-federasi, berdasarkan pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri  Kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial”.

Alinea tersebut menunjukkan bahwa dengan rumusan yang berbeda, negara RIS  juga menganut lima dasar negara yang sama dengan Pancasila. Pada waktu itu tidak dipersoalkan tentang berlakunya “dua Pancasila” tersebut. Satu hal yang jelas adalah  bahwa dalam situasi pergantian konstitusional seperti itupun, Pancasila tetap dipertahankan sebagai dasar negara. 3.3. Masa berlakunya UUD Sementara 1950 (17-8-1950 5-7-1959)  Negara Republik Indonesia Serikat hanya berusia kurang dari 8 bulan. Melalui serangkaian proses politik dalam negeri bangsa Indonesia akhirnya kembali ke bentuk negara kesatuan. Namun demikian mereka sepakat untuk tidak menggunakan UUD 1945 dan menggunakan UUD Sementara 1950 sebagai dasar penyelenggaraan negara. Hanya saja perlu dicatat bahwa UUD 1950 itu sendiri sebenarnya menampung hal-hal yang baik dan atau penting dari UUD 1945 maupun Konstitusi RIS 1949. Walaupun UUD 1945 tidak berlaku lagi sejak UUDS 1950 dinyatakan berlaku di negara Kesatuan RI, namun Pancasila tetap dipertahankan sebagai dasar negara. Alinea keempat Mukadimah UUDS 1950 berbunyi “maka dengan ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk republik, kesatuan, berdasarkan pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan kesejahteraan,  perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia merdeka  yang berdaulat sempurna.” Tampak bahwa dengan rumusan yang berbeda Pancasila tetap menjadi dasar negara RI walau Undang Undang Dasar yang dipergunakan sudah  berubah. Seperti sudah disebut di atas gerakan-gerakan bersenjata yang bertujuan mendirikan negara Islam Indonesia justru tengah berlangsung di beberapa wilayah negara Republik Indonesia ketika UUD S 1950 dinyatakan berlaku. Dengan perkataan lain pada saat itu dasar negara Pancasila juga tetap mendapat tantangan dari pendukung idelogi lain melalui kekerasan bersenjata. Dalam perkembangannya tantangan itu bukan hanya terwujud dalam gerakan  bersenjata namun juga dalam bentuk polemik ideologis. Persaingan ideologis antara kelompok Islam dan kelompok kebangsaan mengenai hubungan antara negara dan agama muncul lagi ke permukaan di awal tahun 1950-an.

Polemik mengenai persoalan hubungan negara dan agama yang diiringi gelombang demo dari pihak-pihak yang saling bertentangan muncul karena dipicu oleh pernyataan Presiden Soekarno di Amuntai, Kalimantan awal tahun 1953. Dalam sebuah pidatonya, Presiden antara lain menyatakan bahwa: “negara yang kita inginkan adalah negara nasional yang mencakup seluruh bangsa Indonesia. Jika kita mendirikan negara berdasar Islam, beberapa wilayah yang penduduknya bukan Islam, seperti Maluku, Bali,  Flores, Kepulauan Kai dan Sulawesi akan memisahkan diri. Dan Irian Barat yang belum menjadi bagian wilayah Indonesia, tidak akan bersedia menjadi bagian Republik  ”(Feith, 1963).

Pidato itu langsung mengundang reaksi keras dari pemimpin-pemimpin Islam. Pemimpin Masyumi, Isa Anshary mengecam pidato itu sebagai tidak demokratik, tidak konstitusional, dan bertentangan dengan ideologi Islam yang dianut oleh mayoritas warga negara Indonesia. Banyak organisasi dan partai Islam juga menyatakan ketidak-setujuan mereka pada pidato Presiden itu, dengan mengajukan argumen bahwa “  Presiden Soekarno … tampil sebagai juru bicara satu kelompok yang tengah mencari dukungan, dan tidak memposisikan diri sebagai kepala negara yang tidak beripihak ” (Effendy, 1998) Di lain pihak sejumlah pemimpin PNI membela tindakan Presiden, sambil menekankan kekhawatiran kelompok minoritas apabila negara Indonesia didasarkan pada agama Islam. Mereka menyerang Isa Anshary dan menyebutnya sebagai agitator jahat dan fanatik. Mangunsarkoro bahkan menuduh Anshary sebagai teman baru bagi Darul Islam yang tengah melakukan perjuangan bersenjata melawan RI sejak tahun 1949. Tampak bahwa perbedaan pandang antara golongan Islam dan golongan Nasionalis mengenai dasar negara masih berlanjut. Bagaimanapun juga peristiwa di atas dapat kita maklumi karena pada waktu itu UUDS 1950 masih bersifat sementara, belum tetap dan oleh karenanya masih akan dibentuk satu lembaga pembuat UUD, Konstituante, melalui pemilu. Dengan demikian sesungguhnya terbuka peluang bagi siapapun untuk memperjuangkan cita-cita politik mereka (baik menyangkut dasar negara maupun aturan-aturan dasar kenegaraan) agar tertampung dalam UUD karya Konstituante. Dalam konteks semacam itu maka baik kehendak untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara maupun Pancasila sebagai dasar negara, yang adalah sama-sama merupakan cita-cita politik, layak untuk diperjuangkan oleh para pendukungnya. Perjuangan semacam itu semakin mendapat lahan ketika sejak tahun 1953 s/d 1955  bangsa Indonesia mengalami tahapan kampanye untuk mempersiapkan pemilihan umum 1955. Selama masa kampanye perbedaan pandang tentang dasar negara yang paling tepat  bagi bangsa Indonesia disebar-luaskan ke massa pemilih, sehingga ketegangan sosial semakin berkembang di tengah masyarakat. Pemilu tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar pemenang pemilu yaitu (1) PNI, (2) Masyumi, (3) Nahdatul Ulama (NU), dan (4) PKI. Melalui pemilu itu selain terbentuk DPR RI juga terbentuk Konstituante, yang anggotanya berjumlah 514 orang. Konstituante sendiri menurut Nasution (1992) terpecah ke dalam 3 kelompok yaitu (a) kelompok Pancasila, (b) kelompok Islam, dan (c) kelompok Sosial Ekonomi. Kekuatan masing-masing kelompok itu adalah (a) kelompok Pancasila 274 orang, (b) kelompok Islam 230 orang dan (c) kelompok Sosial Ekonomi 10 orang. Sejauh menyangkut dasar negara kelompok Pancasila memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara, kelompok Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dan kelompok sosial ekonomi memperjuangkan demokrasi dan ekonomi sosialis sesuai pasal

33 UUD 1945 sebagai dasar negara. Oleh karena itu dapat dipahami apabila perdebatan tajam di antara anggota Konstituante berlangsung selama persidangan. Tentang perdebatan ini Nasution (1992) menyimpulkan bahwa perdebatan mengenai dasar negara itu pada hakikatnya merupakan konfrontasi antar ideologi, atau konfrontasi di antara pandangan-pandangan yang didasarkan pada premise-premise yang oleh para pendukungnya dipandang sebagai kebenaran yang tak dapat disangkal lagi. Bagi kelompok Islam premise yang terpenting adalah sabda Allah yang termuat dalam Al Qur‟an, maupun Hadist Nabi. Bagi kelompok Pancasila, premise terpenting adalah  persatuan bangsa Indonesia berdasarkan kesepakatan yang telah dituangkan dalam rumusan Pancasila. Sedang premise kelompok sosial ekonomi adalah semangat revolusioner dari Proklamasi 1945. Masing-masing faksi mengklaim bahwa premise mereka mencakup poin-poin baik dan sekaligus tidak mencakup poin-poin buruk dari  premise kelompok lain. Kubu Islam (Effendy 1998) menolak Pancasila sebagai dasar negara karena menganggap Pancasila sebagai ideologi sekular (ladiniyah) tanpa sumber keagamaan yang pasti. Lagi pula walaupun sila pertamanya mengakui pentingnya kepercayaan kepada satu Tuhan, perumusannya pada dasarnya lebih didasarkan kepada keharusan sosiologis dan bukan keilahian Tuhan. Mohammad Natsir, seorang tokoh Islam, oleh Effendy (1998) bahkan dikutip sebagai menyatakan: “ Pancasila sebagai filsafat negara itu bagi kami adalah kabur dan tak bisa berkata apaapa kepada jiwa Umat Islam yang sudah mempunyai dan sudah memiliki satu ideologi  yang tegas, terang dan lengkap, dan hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntutan hidup dan sumber kekuatan lahir dan batin, yakni Islam. Dari ideologi Islam ke Pancasila bagi Umat Islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa”

Di lain pihak kubu kebangsaan menolak Islam sebagai dasar negara dengan alasan  bahwa Pancasila merupakan sebuah sintesis yang memadai bagi berbagai kelompok agama yang berbeda. Jika Islam harus dijadikan dasar negara hal itu akan menimbulkan diskriminasi secara konstitusional. Di samping itu mengingat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia heterogen secara sosial-keagamaan maka diragukan apakah Islam dapat berperan sebagai pandangan dunia ideologis-politis bagi seluruh masyarakat. Menanggapi Natsir, Arnold Mononutu dikutip oleh Effendy (1998) sebagai menyatakan: “Dari ideologi Pancasila ke Negara Indonesia berdasar agama Islam, bagi umat Kristen adalah ibarat melompat dari bumi yang tenang dan sentosa untuk menjalankan agamanya  sebagai manusia Indonesia yang volwaardig, ke ruang kosong, vacuum, tak berhawa” .

Walaupun kekuatan pendukung ide Islam sebagai dasar negara bersatu dalam satu front melawan kelompok pendukung Pancasila sebagai dasar negara namun kekuatan mereka bukanlah kekuatan mayoritas. Oleh karena itu perbincangan di Konstituante mengalami kebuntuan. Tawaran pemerintah agar Kontituante kembali menggunakan UUD 1945 tanpa  perubahan mendapat tanggapan berbeda dari masing-masing kelompok. Kubu Pancasila setuju terhadap tawaran itu, sementara kubu Islam menolaknya karena mereka ingin agar sila I dalam Pembukaan UUD 1945 dikembalikan terlebih dulu ke rumusan Piagam Jakarta.

Oleh karena itu setiap dilakukan pemungutan suara tidak ada satu pihakpun yang  bisa mengumpulkan suara mayoritas sebagaimana dipersyaratkan bagi sahnya  pengambilan keputusan Pasal 137 ayat (2) UUD Sementara 1950 menentukan „Undang Undang Dasar baru berlaku jika rancangannya telah diterima dengan sekurangkurangnya dua-pertiganya dari jumlah suara anggota yang hadir dan kemudian disahkan oleh Pemerintah‟ Berdasar ketentuan ini maka setiap keputusan tentang UUD memerlukan dukungan sekurang-kurangnya 342 suara anggota Konstituante Pemungutan suara (voting) itu dilakukan selama tiga kali yaitu tanggal 30 Mei, tanggal 1 dan tanggal 2 Juni 1959. Pada pemungutan suara pertama hadir 474 anggota, 269 suara setuju kembali ke UUD 1945, 199 suara tidak setuju. Pada pemungutan suara kedua, hadir 468 anggota, 264 setuju, 204 tidak setuju. Pada pemungutan suara ketiga, hadir 468 anggota, 262 setuju, 203 tidak setuju. Tampak bahwa sebenarnya suara  pendukung Pancasila lebih besar dibanding pihak lain, namun karena belum memenuhi syarat maka Konstituante gagal mengambil keputusan. Ketika keadaan menjadi berlarut-larut karena sebagian anggota Konstituante menyatakan tidak bersedia lagi hadir di persidangan Pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan (a) pembubaran Konstituante, (b) pencabutan berlakunya UUD S 1950, dan (c) pemberlakuan kembali UUD 1945. Dengan berlakunya UUD 1945 maka otomatis Pancasila juga berlaku sebagai dasar negara Republik Indonesia. 3.4. Masa Demokrasi Terpimpin (5-7-1959  –   11-3-1966) Selama masa pemerintahan terakhir Soekarno ini, kekuatan politik Islam menurun drastis. Dua pilar kekuatan politik Islam mengambil langkah dan sikap yang berbeda terhadap rejim yang ada. Dalam catatan Effendy (1998) NU mengambil sikap kompromis dengan menata kembali orientasi politiknya serta menerima Manipol-Usdeknya Soekarno. Sementara itu Masyumi justru terus mengambil sikap oposisi sehinga banyak  pemimpin mereka yang dipenjarakan. Pada tahun 1960 Masyumi dibubarkan oleh  pemerintah setelah para pemimpinnya diduga terlibat dalam pemberontakan PRRI. Dapat dikatakan bahwa posisi formal Pancasila sebagai dasar negara tak tergoyahkan selama masa demokrasi terpimpin. Namun demikian implementasi dasar negara itu justru tidak terwujud. Pelaksanaan pemerintahan waktu itu justru menyimpang dari UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. 3.5. Masa Orde Baru (11-1-1966 s/d 21-5-1998) Masa Orde Baru tercatat sebagai masa di mana (a) Pancasila telah dimanipulasi secara over-loaded   oleh rejim, sementara di lain pihak telah berlangsung pula (b) transformasi pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia. Hasil akhir dari proses transformasi itu adalah meredanya ketegangan antara kelompok kebangsaan dan Islam dalam percaturan politik di negeri ini.. (1) Manipulasi Rejim terhadap Pancasila Pancasila sudah disepakati oleh bangsa ini sebagai landasan hidup bernegara, oleh karena itu siapapun yang berkuasa di negeri ini harus "dekat" dengan Pancasila. Menjadi mudah dipahami mengapa pada masa pra Orde Baru Pancasila begitu lekat dengan figur Soekarno. Penafsiran Pancasila kala itu bahkan identik dengan pidato pidato Bung Karno baik yang disampaikan tanggal 1 Juni 1945 maupun pada masa masa sesudah itu. Tanggal dan bulan yang berkaitan dengan Pancasilapun kemudian

masuk ke dalam agenda ritual nasional. Tanggal 1 Juni selalu diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Sadar akan arti penting Pancasila sebagai alat legitimasi simbolis maka Presiden Soeharto menempuh sejumlah langkah guna mendekatkan dirinya dengan dasar negara itu. Pertama-tama dilakukan upaya "membebaskan/ menetralkan" Pancasila dari  pengaruh Soekarno. Hal itu dilakukan melalui proses "pelurusan sejarah". Pada awal Orde Baru oleh Nugroho Notosusanto (alm) dkk, tanggal 1 Juni ditempatkan ke  posisinya yang "wajar", yaitu sebagai tanggal di mana salah satu usul dasar negara dikemukakan semata. Di luar tanggal itu, demikian ditulis dalam buku-buku pelajaran sejarah dan Pendidikan Moral Pancasila, ada dua tanggal lain yang dicatat sebagai tanggal diusulkannya dasar negara versi lain, yaitu tanggal 29 (Yamin) dan 3 Mei 1945 (Soepomo). Secara cermat kemudian dibedakan pula antara hari lahirnya istilah/nama Pancasila dengan hari lahirnya Pancasila dasar negara. Hari lahir istilah Pancasila adalah tanggal 1 Juni 1945, sedang hari lahir Pancasila dasar negara adalah tanggal 18 Agustus 1945, saat di mana Pancasila secara resmi masuk ke dalam dokumen kenegaraan, Undang-Undang Dasar 1945. Walaupun peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 itu masih dekat dengan Soekarno, (sebagai Ketua PPKI yang kemudian ditetapkan sebagai Presiden pertama RI), toh proses di atas telah berhasil menetralkan kelekatan Panca sila dari figur Soekarno. Ritual kenegaraan yang berkaitan dengan Pancasila pun kemudian dialihkan dari tanggal 1 Juni ke tanggal 1 Oktober tiap tahunnya. Tanggal 1 Juni tidak diperingati lagi sebagai hari lahir Pancasila. Tanggal 1 Oktober lah yang dipilih sebagai hari yang harus diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila, untuk mengingat keberhasilan bangsa Indonesia, di bawah pimpinan LetJend. Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden RI II), dalam menumpas pemberontakan G 30 S/PKI. Perjuangan yang sukses itu dimulai tanggal 1 Oktober 1965, sehingga dipandang patut jika kita memperingati tanggal itu sebagai hari kesaktian Pancasila. Dalam kerangka pikir yang telah diajukan di muka tentu saja perpindahan hari  peringatan di atas dapat dipahami sebagai salah satu cara pemerintah untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaan yang ada. Sebab dengan cara itu Pancasila menjadi lebih lekat dengan pemerintah Orde Baru katimbang dengan figur Soekarno. Lebih dari itu Soeharto kemudian mencoba mengelaborasi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan kemudian menjadikannya etika hidup bermasyarakat,  berbangsa dan bernegara. Dalam konteks persaingan ideologi Islam dan Pancasila, maka  posisi Pancasila sebagai lawan ideologi Islam semakin kuat. Selama dua dekade pertama Orde Baru wacana mengenai hubungan antara negara dan agama didominasi oleh wacana Pancasila. Rezim Suharto tidak memberi peluang bagi berkembangnya wacana di luar Pancasila. Selain memperkuat kedudukan Pancasila melalui Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, pemerintah juga gencar mengindok-trinasikan Pancasila melalui Penataran P4. Proses penetapan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4 itu juga mendapat tentangan dari pihak Islam (FPP), sehingga keputusan diambil secara voting , karena para anggota MPR dari FPP “walk out ”.

Lebih jauh dari itu pada tahun 1985 Presiden Soeharto melalui rekayasa politiknya  berhasil menjadikan Pancasila sebagai satu satunya azas kehidupan berbangsa dan  bernegara, yang sekaligus berarti menolak adanya ideologi lain di luar Pancasila. Apakah kesemua hal di atas benar-benar mencerminkan komitmen rejim Soeharto untuk melaksanakan dasar negara Pancasila. Tampaknya tidaklah demikian halnya, karena yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa Soeharto memanfaatkan Pancasila untuk melanggengkan kekuasaannya. Pada masanya Soeharto bahkan memanfaatkan Pancasila sebagai tameng/perisai terhadap berbagai kritik terhadap perilaku kekuasaannya. Kritikkritik yang sesungguhnya ditujukan kepada perilaku kekuasaan Soeharto selalu ditepis dengan argumentasi bahwa yang ia lakukan adalah demi Pancasila sementara para  pengeritik dituduh sebagai orang-orang /kelompok yang anti Pancasila, sebagaimana tampak dalam kasus Petisi 50, misalnya. Sejalan dengan itu maka sejumlah kredo politik yang diklaim sebagai bersumber dari Pancasila dan UUD 1945 ditanamkan kepada masyarakat. Beberapa kredo politik itu adalah (a) konsensus nasional, (b) sakralisasi UUD1945, (c) dwi fungsi ABRI, (d) fusi  parpol, (e) massa mengambang (floating mass), (f) mono loyalitas Pegawai Negeri Sipil (g) normalisasi kehidupan kampus, (h) tidak ada oposisi, (i) anti voting, (j) wadah tunggal/ monisme (k) tidak ada mayoritas dan minoritas, dan lain sejenisnya. Oleh karena itu bisa dipahami apabila rejim Suharto selalu mendapat perlawanan dari berbagai kelompok. Namun secara cerdik Suharto selalu berhasil memanipulasi keyakinan-keyakinan politik rakyat agar tidak berkembang menjadi kekuatan penentang kekuasaannya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memanipulasi gagasan atau  paham integralistik. Begitu gencarnya upaya manipulasi itu sehingga wacana kenegaraan yang  berkembang selama rejim Orde Baru sering menyiratkan kesan bahwa gagasan integralistik lebih penting atau bahkan lebih tinggi kedudukannya katimbang Pancasila. Sering kita mendengar bahwa bangsa ini tidak mengenal pemikiran dikotomis seperti konsep majoritas-minoritas, pusat-pinggiran, buruh-majikan, militer-sipil. dan sebagainya karena dianggap bertentangan dengan paham integralistik. Sering juga dikatakan bahwa kepentingan individu harus dikalahkan dari kepentingan umum karena demikianlah tuntutan paham integralistik. Langkah-langkah pengembangan Golkar sebagai mayoritas tunggal,  penyederhanaan partai politik, maupun konsep Dwi fungsi ABRI sering dinyatakan sebagai sejalan dengan gagasan integralistik. Dalam kesemua kasus itu segala persoalan dikembalikan kepada gagasan integralistik, sementara upaya untuk menguji kesejajaran gagasan integralistik dengan dasar negara Pancasila belum atau jarang dilakukan. Soal eksistensi oposisi misalnya, selalu dikatakan bahwa lembaga itu tidak dikenal di Indonesia karena bertentangan dengan paham integralistik, padahal adanya oposisi itu tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Dari Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 jelas bahwa DPR itu diibaratkan seolah kawah Candradimuka yang penuh dinamika  perjuangan kelompok-kelompok kepentingan. Sidang-sidang BPUPK maupun PPKI pun (yang mencerminkan suasana kebatinan pada saat mana Pancasila dan UUD 45 dibentuk)  penuh dengan nuansa toleransi atas adanya oposisi. Selama masa Orde Baru sebenarnya telah berkembang dua kubu penafsiran yang mencerminkan sikap pro dan kontra terhadap gagasan integralistik itu sendiri. Pihak yang kontra terhadap gagasan intergralisitik mengemukakan sejumlah alasan

keberatan mereka. Dalam catatan Bourchrier (1993) terdapat tiga keberatan pokok terhadap gagasan integralistik yang berkembang selama ini. Pertama, keberatan terhadap kebenaran basis sosial ajaran tentang integralistik. Pandangan ini menyatakan bahwa gagasan integralisitik Soepomo didasarkan pada asumsi yang keliru tentang budaya asli Indonesia. Soepomo berpendapat bahwa gagasan integralistik yang dikemukakannya sesuai benar dengan budaya asli yang berkembang di  pedesaan Indonesia. Padahal komunitas desa yang ada di tanah air ini sebenarnya  berbeda-beda baik dalam budaya maupun kadar demokrasinya. Struktur kekuasaan di  pedesaan Jawa misalnya dipandang sangat sentralistik, sementara struktur kekuasaan di masyarakat "desa" Minang lebih egalitarian  karakternya. Oleh karena itu pernyataan Soepomo bahwa gagasan integralistiknya bersesuaian dengan budaya asli Indonesia patut dipertanyakan. Kedua, keberatan terhadap pendapat yang menyatakan bahwa pandangan Soepomo tentang gagasan integralistik menjiwai isi UUD 45. Keberatan ini bertolak dari fakta adanya penolakan keras Soepomo - dan juga Soekarno - terhadap masuknya ketentuanketentuan tentang hak asasi manusia dalam struktur UUD 45 yang diiringi fakta bahwa  pada akhirnya toh ketentuan tentang jaminan hak asasi manusia itu termuat pula dalam UUD 45. Fakta terakhir ini dianggap menggugurkan anggapan bahwa pandangan Soepomo masih berpengaruh terhadap isi UUD 45. Apalagi kalau diingat fakta bahwa sejak kemerdekaan hingga awal tahun 80an, gagasan integralistik itu tak pernah mendapat perhatian yang serius baik dari pemerintah maupun dari Prof. Soepomo sendiri. Ketiga, keberatan terhadap relevansi gagasan integralistik Soepomo dengan kehidupan kenegaraan dewasa ini. Para pendukung keberatan ini berpendapat bahwa terlepas dari seberapa besar pengaruh gagasan integralistik Soepomo terhadap isi UUD 45, yang jelas gagasan itu sudah tidak relevan lagi bagi Indonesia dewasa ini. Gagasan integralistik Soepomo dianggap sebagai konsep patrimonial yang anti terhadap  perlindungan hak-hak asasi manusia dan oleh karena itu tidak cocok bagi pemerintahan/ negara modern. Di lain pihak, mereka yang pro terhadap gagasan integralistik tentu berpendapat sebaliknya. Misalnya saja mereka berpendapat bahwa gagasan integralistik memang sangat relevan bagi Indonesia saat itu maupun di masa datang. Merekapun berpendapat  bahwa gagasan integralistik memang berasal dari budaya asli Indonesia sendiri. Tampaknya paham integralistik memang dapat menopang kekuasaan yang otoriter/totaliter, sehingga walau terdapat tantangan keras dari berbagai pihak, rejim Orde Baru justru mengukuhkan kedudukan paham tersebut. Setelah lama menjadi bahan "pergunjingan tanpa kata akhir" akhirnya Sidang Umum MPR 1993 lalu menetapkan sikap politik resmi lembaga tertinggi negara tersebut terhadap gagasan integralistik. Melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, gagasan integralistik dikukuhkan sebagai "Kaidah Penuntun" yang kelima bagi  pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Kini ketetapan MPR di atas sudah tidak berlaku lagi sehingga gagasan integralistik  pun surut ke belakang, menghilang dari wacana kenegaraan kita. Tetapi pada masanya gagasan integralistik benar benar telah dijadikan sarana membungkam aspirasi politik rakyat. Sedang Pancasila sendiri dijadikan jargon jargon pembungkus praktik politik totaliter/otoriter. (2) Pembaharuan Pemikiran dan Praktik Politik Islam

Umat Islam merupakan bagian dari kekuatan militan anti komunis, yang terlibat  penuh dalam usaha penumpasan G 30 S/PKI pada tahun 1965 - 1966. Oleh karena itu wajar apabila mereka berharap akan mendapatkan kekuasaan politik dan pemerintahan sesudah tumbangnya Soekarno.  Namun realitas menunjukkan bahwa secara politis kekuatan politik Islam justru dipinggirkan secara perlahan seiring kian mantapnya bangunan politik Orde Baru. Dalam  beberapa kesempatan harapan-harapan kekuatan politik Islam tidak dipenuhi pemerintah Orde Baru. Kecuali menolak usulan untuk menghidupkan kembali rumusan Piagam Jakarta dalam Sidang MPRS 1966, pemerintah juga menolak usulan untuk merehabilitasi atau menghidupkan kembali partai Islam Masyumi. Mengenai persoalan tersebut Effendy (1998) mencatat bahwa : “ Implikasi-implikasi dari berbagai perkembangan awal ini amat jauh. Pertama, harapan kelompok Islam untuk memainkan peran lebih besar di bawah pemerintahan Orde Baru  segera menyusut. Yang lebih serius, perkembangan-perkembangan itu menumbuhkan sikap  saling curiga dan memusuhi yang jauh lebih dalam antara para pemimpin serta aktivis  Islam dan elite pemerintah Orde Baru.Dalam hal ini cukuplah jika dikatakan bahwa,  sementara pihak yang pertama memandang pihak yang kedua perlahan-lahan bergerak ke arah sekularisasi dan bersimpati kepada kepentingan-kepentingan kelompok Kristen, pihak  yang kedua memandang  dukungan pihak yang pertama terhadap Pancasila hanya bersifat taktis dan sekedar untuk bermanis muka ”

Dalam situasi hubungan yang tidak harmonis itu maka akses para pemeran politik Islam ke kekuasan praktis menyusut. Posisi politik mereka selama dua dekade pertama Orde baru sangat merosot. Posisi politik Islam yang terpinggirkan itu tampak selain dari hal-hal yang sudah disebut di atas, juga tampak dari (a) dibatasinya jumlah partai-partai  politik Islam melalui fusi tahun 1973, (b) dilarangnya penggunaan Islam sebagai ideologi partai, dan (c) berkurangnya jumlah wakil-wakil Islam dalam parlemen dan kabinet. Reaksi kekuatan Islam terhadap sikap dan tindakan pemerintah Orde Baru  bermacam-macam. Dalam analisa Adnan (Budiman 1990) kekuatan Islam pada masa Orde Baru dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu (a) kelompok Akomodatif, (b) kelompok Idealis Moderat, dan (c) kelompok Idealis Radikal. Termasuk dalam kelompok akomodatif adalah Nurcholis Madjid yang pada tahun 1970 mengagetkan banyak pihak dengan kritiknya terhadap mereka yang memperjuangkan negara Islam di Indonesia. Menurut Madjid, Islam tidak pernah memerintahkan pembentukan negara Islam, karena negara semacam itu tidak pernah ada dalam sejarah Islam. Sejalan dengan Madjid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga  berpendapat bahwa Indonesia tidak siap untuk menjadi negara Islam. Oleh karena itu kaum muslim tidak perlu berjuang mewujudkan negara Islam. Sebab menurut Wahid Islam mengubah masyarakat secara budaya, Islam berkembang bukan karena ideologinya melainkan karena budayanya. Jadi untuk mengubah masyarakat, kaum muslim lebih tepat menggunakan pendekatan budaya ketimbang pendekatan ideologis, yang memerlukan kekuasaan. Kelompok akomodatif menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Kelompok Idealis Modernis juga menerima Pancasila, namun men olak penafsiran  Nurcholis mengenai Islam. Jalaludin Rahmat misalnya, lebih memperjuangkan  bersatunya pemikiran Islam katimbang sekularisasi Islam sebagaimana dilakukan  Nurcholis. Mereka berpandangan bahwa selain agama, Islam adalah juga ideologi. Kelompok ini memang mengakomodasi kemauan politik penguasa saat itu, walaupun

 pandangan ideologisnya berbeda. Mereka berupaya memperluas kesadaran ka um Muslim agar memahami bahwa Islam bukanlah sekedar agama me lainkan juga ideologi. Jika kelompok akomodatif lebih suka berjuang untuk keuntungan umat di dalam negara, maka kelompok Idealis Moderat lebih suka berjuang di luar  pemerintah, yaitu di masyarakat melalui berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kelompok Idealis Radikal berjuang dengan pendekatan yang lebih progresif, menggunakan kata-kata keras menentang negara melalui dakwah-dakwah yang menggugah emosi massa. Bagi mereka Islam adalah ideologi yang mengatasi semua ideologi lain. Mereka menolak penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas, dan tidak  percaya kepada pernyataan penguasa yang menjamin bahwa Pancasila tidak akan menggusur peran agama. Tindakan kaum idealis radikal akhirnya terwujud dalam  berbagai kekerasan politik, seperti pembajakan pesawat Woyla, kasus GPK Warsidi Lampung, dll. Jika kelompok idealis radikal harus berhadap-hadapan dengan pemerintah dan akhirnya tidak membuahkan hasil, maka dua kelompok yang lain justru mampu memecahkan kebuntuan hubungan antara Islam dan pemerintah. Di dalam kelompok Akomodatif maupun Idealis Moderat tampaknya terdapat kaum pembaru yang samasama bergerak memajukan posisi Islam dalam kehidupan bernegara. Menurut Effendy (1998) mereka menempuh tiga jalur aktivitas yang meliputi (a) pembaruan teologis/keagamaan, (b) reformasi politik/birokrasi dan (c) transformasi sosial. a) Pembaruan Teologis Seperti sudah disebutkan dimuka, landasan teologis kelompok yang memperjuangkan negara Islam adalah keyakinan bahwa Islam menyediakan ajaran yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan, dan Islam tidak mengakui pemisahan antara agama dan negara. Pemikir dan aktivis Islam generasi baru walau meyakini bahwa memuat ajaran yang menyeluruh (holistik), namun berpendapat bahwa hal itu tidak serta merta mengharuskan pencampuran antara nilai-nilai Islam dan negara. Islam tidak mengatur semua segi kehidupan. Islam hanya memberi nilai-nilai moral sebagai pedoman dasar dan umum bagi kehidupan manusia. Generasi baru intelektual Muslim ini berpendapat bahwa Islam tidak mewajibkan  para pemeluknya untuk membentuk sebuah negara Islam, melainkan lebih menekankan  pembentukkan masyarakat yang baik, yaitu masyarakat yang mencerminkan substansi  peran universal Islam. Dengan pertimbangan-pertimbangan teologis semacam itu maka mereka dapat menerima negara Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negaranya. Mereka sepenuhnya percaya bahwa bentuk negara bangsa Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar ideologinya cukup memadai untuk mengakomodasi penerapan ajaran-ajaran sosial politik Islam. Dalam pandangan kelompok ini, Pancasila bahkan disejajarkan dengan Piagam Madinah. Beberapa intelektual Muslim bahkan menyatakan bahwa “Pancasila pada kenyataannya dapat disebandingkan meski tidak persis sama dengan Piagam Madinah. Pandangan itu didasarkan pada dua premis utama yaitu bahwa (1) secara substansif, baik  piagam Madinah maupun Pancasila mengakui kaitan antara nilai-nilai agama dan masalah-masalah kenegaraan, dan (2) secara fungsional, kedua rumusan politik itu

mencerminkan titik-titik temu (common platform, kalimah sawa), yang berfungsi sebagai  prinsip-prinsip pengatur masyarakat politik dengan latar belakang sosial keagamaan yang  beragam. Mengenai Pancasila dan UUD 1945 mereka berpandangan bahwa ideo logi dan konstitusi negara itu sejalan dengan ajaran Islam. Lebih khusus lagi setiap sila dari Pancasila, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa, musyawarah dan keadilan mereka nilai sebagai mencerminkan substansi ajaran Islam. Atas dasar pemahaman itu maka terjadi pula perubahan dalam aspirasi politik Islam. Mereka tidak mengupayakan lagi berdirinya negara Islam, namun lebih menekankan pada (1) pengembangan tatanan-tatanan politik yang egalitarian  dan demokratis, dan (2) pengembangan proses-proses ke arah pemerataan ekonomi.  b) Reformasi Birokrasi/Politik Dengan pandangan yang inklusif seperti itu maka kecurigaan negara terhadap kekuatan politik Islam melemah, dan di lain pihak akses kekuatan politik Islam ke pusat pusat kekuasaan dan birokrasi pemerintahan terbuka lebar. Generasi baru intelektual muslim mengembangkan hubungan yang inklusif dengan semua partai politik yang ada (PPP, PDI dan terutama Golkar). Langkah ini sejalan dengan upaya Golkar memperoleh dukungan umat Islam. Pada waktu itu Golkar (1) menarik sejumlah pemimpin dan aktivis Muslim terkemuka ke dalam Golkar, dan (2) mengalirkan dana ke berbagai institusi Islam (masjid, dll) dan organisasi Islam. Hasil akhir dari kegiatan di atas adalah semakin banyaknya pemikir dan aktivis  politik muslim yang mampu berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan baik di lembaga eksekutif maupun legislatif, serta meningkatnya jumlah wakil-wakil Islam di lembaga legislatif. c) Transformasi Sosial Di samping melakukan pembaruan teologis dan masuk ke jajaran birokrasi  pemerintahan, kaum pembaru juga mengupayakan transformasi sosial. Melalui lembagalembaga swadaya masyarakat ( LP3ES dan lain sebagainya) diupayakan pengembangan kemampuan dan kesadaran masyarakat guna membangun suatu kelas menengah yang otonom. Hasil yang diperoleh dari ketiga kegiatan di atas adalah memudarnya hubungan antagonistik antara Islam dan negara /pemerintah Orde Baru, diganti dengan hubungan yang harmonis antara negara dengan kekuatan politik Islam. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh sejumlah kebijakan yang bersifat akomodatif dari negara terhadap Islam. Dalam catatan Effendy (1998) politik akomodasi itu mencakup empat bidang yaitu (1) akomodasi struktural, (2) akomodasi legislatif, (3) akomodasi infra-struktural dan (4) akomodasi kultural. Akomodasi struktural tampak dari direkrutnya para pemikir dan aktivis Islam  politik generasi baru ke dalam lembaga-lembaga eksekutif (birokrasi) dan legislatif negara, terutama sejak sesudah pemilu 1992, serta pembentukkan ICMI. Akomodasi legislatif negara terhadap Islam tampak dalam bentuk (1) disahkannya Undang Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (2) diberlakukannya Undang Undang Peradilan Agama tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991, (3) diubahnya kebijakan tentang jilbab pada tahun 1991, (4) dikeluarkannya SKB tentang Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqah tahun 1991, dan (5) dihapuskannya SDSB pada tahun 1993

Akomodasi infra-struktural tampak dari kebijakan yang menopang umat Islam dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama mereka. Wujud utama dari kebijakan itu adalah pembangunan masjid-masjid yang disponsori negara. Dalam APBN selalu terdapat pos untuk membiayai proyek-proyek keagamaan. Pada Repelita Pertama negara telah mengalokasikan dana sebesar 475 juta rupiah untuk membiayai pembangunan masjid-masjid. Dalam Repelita Keempat, jumlah anggaran itu telah mencapai 29 milyar rupiah. Di samping itu negara juga mengijinkan serta membantu berdirinya bank Islam, Bank Muamalat Indonesia, pada tahun 1991. Akomodasi kultural antara lain ditunjukkan oleh kehadiran idiom-idiom Islam dalam ideologi dan konstitusi Indonesia, peraturan pemerintah serta lembaga-lembaga  politik. Salam “al-salam-u‟ alaykum” juga sudah menjadi salam nasional yang selalu diucapkan oleh pejabat negara maupun pimpinan bangsa dalam membuka pembicaraan mereka. 3.6. Masa Pemerintahan Transisi (21-5-1998 s/d sekarang) Ketika reformasi kehidupan politik mulai bergulir dengan mundurnya Soeharto dari  jabatan presiden tanggal 20 Mei 1998, upaya kearah “pemurnian” kedudukan dan  peran Pancasila juga dilaksanakan. Dalam Sidang Istimewa tahun 1998 MPR mengeluarkan ketetapan yang (a) mencabut berlakunya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4, dan (b) mencabut ketentuan Pancasila sebagai azas tunggal. Lebih lanjut di dalam Undang Undang No. 1 tahun 1999 tentang Partai Politik ditentukan pula bahwa partai-partai politik boleh mempunyai azas lain di luar Pancasila, asal tidak bertentangan dengan Pancasila dasar negara. Oleh karena itu dalam Pemilu Juni 1999 lalu muncul paling sedikit 22 partai politik yang dapat dikategorikan sebagai  partai Islam, entah itu karena secara tegas menyebut Islam/Alqur‟an dan Hadist/Dienul Islam sebagai asas partai, atau karena partai yang bersangkutan mengandalkan mayoritas dukungan pemilih (konstituen)nya dari kaum Islam. Di lain pihak terdapat beberapa  partai kebangsaan, seperti PDI Perjuangan. Hasil pemilu 1999 menunjukkan bahwa PDI-P sebagai pilar utama kekuatan kebangsaan, memperoleh dukungan terbanyak dari para pemilih. Di lain pihak, kecuali PPP, partai-partai Islam lain justru kurang mendapat banyak dukungan pemilih. Boleh  jadi hal itu berkaitan dengan fakta begitu banyaknya parpol Islam sehingga suara pemilih Islam pun terpecah-belah. Walaupun demikian sesudah pemilu tahun 1999 berlangsung, polarisasi aliran  polirik Islam v.s. kebangsaan kembali mewarnai percaturan politik negeri ini. Perbedaan  pandang itu tidak hanya sebatas pada persoalan (a) siapa calon Presiden RI ke 4, namun  juga menyangkut (b) wajarkah orang-orang Kristen mendominasi daftar nama Caleg PDI Perjuangan. Pada aras lokal juga berkembang persoalan (c) pantaskah Caleg PDI P yang non muslim menjadi Ketua DPRD walau PDIP memang menguasai kursi terbanyak di DPRD setempat. Gejala di atas menunjukkan bahwa persoalan mengenai hubungan antara negara dan agama dalam wadah negara Pancasila memang belum sepenuhnya terselesaikan. Minimal kita mencatat bahwa cita cita untuk mengubah sila I Pancasila kembali ke rumusan Piagam Jakarta masih berkembang di benak sebagian warga bangsa ini. Hal itu tampak dari perjuangan FPP dan FBB untuk mengubah rumusan pasal 29 ayat 1 UUD

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF