Mata Rantai Tak Kunjung Putus Kakambah; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 Kolaka Utara

March 13, 2018 | Author: Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

"Semua orang Sulaho adalah saudara". Tidur, makan dan berbagai aktivitas dilakukan bersama dalam lingkungan ya...

Description

Mata Rantai Tak Kunjung Putus Kakambah

Cati Martiyana Tri Darma Ambo Sakka Lestari Handayani

Mata Rantai Tak Kunjung Putus, Kakambah ©2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis Cati Martiyana Tri Darma Ambo Sakka Lestari Handayani Editor Lestari Handayani Desain Cover Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749 dan LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI) Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail: [email protected]

ISBN 978-602-1099-12-4 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.

ii

Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina

: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab

: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana

: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc

Ketua Tim Teknis

: dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis

: drs. Setia Pranata, M.Si Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo Aan Kurniawan, S.Ant Yunita Fitrianti, S.Ant Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos

iii

Koordinator wilayah

:

1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat 2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama 3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai 4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak 6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo 7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir 9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao 10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon

iv

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ? Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan caracara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan

v

RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

drg. Agus Suprapto, M.Kes

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GRAFIK DAFTAR GAMBAR

v vii x xi xii

BAB 1 PENDAHULUAN

1

1.1. Latar Belakang Masalah 1.2. Penentuan Lokasi Penelitian 1.3. Metode Pengumpulan Data

1 9 10

BAB 2 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

13

2.1. Sejarah Desa 2.1.1. Cerita Nenek Sawerigading 2.1.2. Jejak Manusia Suku Bajo di Sulaho: Dahulu Hingga Kini 2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Bentang Alam Sulaho 2.2.2. Kependudukan Suku Bajo di Sulaho 2.2.3 Pemukiman Penduduk di Sulaho 2.3. Religi 2.3.1. Kosmologi 2.3.2. Siklus Perjalanan Kehidupan Manusia Suku Bajo di Sulaho 2.3.3. Praktik Keagamaan 2.3.4. Praktik Kepercayaan Tradisional 2.3.5. Pantangan Sehari-hari Masyarakat Sulaho 2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan 2.4.1. Keluarga Inti

16 16 17 26 26 33 38 42 42 45

vii

48 52 60 62 62

2.4.2. Sistem Kekerabatan 2.4.3. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal 2.5. Pengetahuan tentang Kesehatan 2.5.1. Konsepsi mengenai Sehat dan Sakit 2.5.2. Air Jappi-jappi: Daya Tarik Penyembuhan Tradisional 2.5.3. Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman 2.5.4. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan 2.6. Bahasa 2.7. Kesenian 2.7.1. Lagu Pengantar Tidur Anak 2.7.2. Menari Lulo 2.7.3. Ula-ula (Bendera) 2.8. Mata Pencaharian 2.9. Teknologi dan Peralatan 2.9.1. Cerita Memasak hingga Makan

65 67 71 71 77 91 92 93 94 94 96 97 98 104 107

BAB 3 POTRET KESEHATAN

113

3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak 3.1.1. Remaja usia 10 sampai 24 tahun 3.1.2. Pasangan Suami Istri Belum Pernah hamil 3.1.3. Masa Kehamilan 3.1.4. Persalinan dan Nifas 3.1.5. Menyusui 3.1.6. Neonatus dan Bayi 3.1.7. Anak Balita 3.1.8. Permainan Tradisional Anak 3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Orang Bajo di Sulaho 3.2.1. Pertolongan Persalinan 3.2.2. Penimbangan Balita 3.2.3. ASI Eksklusif 3.2.4. Cuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun 3.2.5. Menggunakan Kakus Sehat

113 113 123 126 137 158 162 167 168 173 175 179 181 183 185

viii

3.2.6. Aktifitas Fisik Setiap Hari 3.2.7. Konsumsi Buah dan Sayur Setiap Hari 3.2.8. Tidak Merokok dalam Rumah 3.2.9. Menggunakan Air Bersih 3.2.10. Memberantas Jentik Nyamuk 3.3. Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular 3.3.1. Penyakit Menular 3.3.2. Penyakit Tidak Menular 3.4. Sistem Pelayanan Kesehatan Formal versus Tradisional

187 188 190 192 193 195 196 208 226

BAB 4 MATA RANTAI TAK KUNJUNG PUTUS: KAKAMBAH

233

4. 1. Asal Muasal dan Perkembangan Kakambah di Tanah Sulaho 4.2. Istilah Lokal Kusta 4.3. Tanda Kusta, Terpaksa Berobat 4.4. Penyebab Kakambah 4.5. Lingkaran PenularanKusta 4.6. Gambaran Kondisi Fisik Rumah Penderita Kakambah 4.7. Kebiasaan Pemenuhan Gizi Keluarga 4.8. Dansihitang: Kedekatan Orang Sulaho 4.9. Health Seeking Behaviour Kakambah 4.10. Dampak Kakambah: Stigma 4.11. Tahun 2014, Lagi Kakambah Baru 4.12. Kendala Penanganan Kakambah

233

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

305

5.1. Kesimpulan 5.2. Rekomendasi

305 310

INDEKS GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA

315 321 329

ix

244 246 255 261 272 279 280 283 292 297 301

DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1. Tanda Utama Kusta PB dan MB Tabel 2. 1. Klasifikasi Warga Dusun 1-3 Desa Sulaho berdasarkan Suku Tabel 2. 2. Jumlah Penduduk Desa Sulaho berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Tabel 2. 3 Sapaan Kekerabatan di Desa Sulaho Tabel 2. 4. Pendapatan Keluarga Pak Dm

x

2 33 35 64 103

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. 1 Tren Angka Prevalensi Kusta di Indonesia 2007 – 2011 Grafik 1. 2 Kasus Kusta Baru Desa Sulaho 2005-2013 Grafik 3. 1 10 Penyakit terbesar di Puskesmas Lasusua tahun 2013

xi

4 8 195

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Kabupaten Kolaka Utara Gambar 2.2. Peta Kecamatan Lasusua Gambar 2.3. Rumah PKSMT Gambar 2.4. Kakus Umum dengan Sumber Dana CSR Gambar 2.5. Perkampungan desa Sulaho Gambar 2.6. Peta Desa Sulaho Gambar 2.7. Rumah Bedah P2-WKSS Gambar 2.8. Pohon Ketapang dan Pekuburan Desa Gambar 2.9. Botol Berisi Garam Mattoana telah Digantung sejak Setahun yang Lalu Gambar 2.10. Sanro Mendoakan Makanan ketika Turun Perahu Gambar 2.11. Mendorong Perahu saat Upacara Turun Perahu Gambar 2.12. Tandan Pisang dan daun Pakecce pada rumah baru Gambar 2.13. Hubungan Kekerabatan Gambar 2.14. Struktur Organisasi Desa Sulaho Tahun 19972014 Gambar 2.15. Musyawarah di Balai Desa Pasca Demonstrasi Gambar 2.16. Ranjang dan Kayu Representasi Buaya Gambar 2.17. Pohon Kayu Jawa Gambar 2.18. Tanaman Cangak Duri Gambar 2.19. Tanaman Srikaya/Sirsak Gambar 2.20. Tanaman Daun Pakkece Gambar 2.21. Tanaman Jarak Gambar 2.22. Menari Lulo

xii

15 15 20 23 27 29 41 43 54 56 56 58 63 68 70 80 87 88 89 90 90 96

Gambar 2.23. Pendapatan Nelayan Menggunakan Bom Ikan Gambar 2.24. Perahu Jolor, Jarangkah dan Sampan Gambar 2.25. Wadah Tungku, Mulut Tungku dengan Batu dan Mulut Tungku dengan Rangka Besi Gambar 2.26. Membakar Ikan di Luar Rumah Gambar 2.27. Memakan Cacing Laut Gambar 3.1. Ariango dan Gelang Hitam yang Dipakai Balita Gambar 3.2. Air Jappi-jappi dan Air Lelehan Sabun Mandi Dicampur Daun Sirsak Gambar 3.3. Sanro Mengikat Tali Pusat Bayi Gambar 3.4. Sarung Tujuh Lapis untuk Bayi Baru Lahir Gambar 3.5. Ari-ari yang Digantung pada Bagian Rumah Gambar 3.6. Ari-ari Bayi yang Sudah Kering Gambar 3.7. Area Permainan Danda Gambar 3.8. Pembesaran Gondok Gambar 3.9. Dagor dan Kompresor untuk Menyelam Gambar 3.10. Obat-obatan yang Dijual di Warung Desa Gambar 4. 1. Pemetaan Kusta pada Rumah Tangga di Desa Sulaho Gambar 4. 2 Telunjuk Tangan Kiri Mati Rasa Gambar 4. 3. Bercak Kulit pada Reaksi Kusta Gambar 4. 4. Penderita yang Mengalami Cacat Gambar 4. 5. Bercak Kusta Gambar 4. 6. Denah Ruang Rumah Keluarga Mr Gambar 4. 7. Kondisi Rumah Seorang Warga Gambar 4. 8. Bekas Luka Mantan Penderita Kusta

xiii

104 106 108 108 112 127 147 150 163 166 168 179 210 220 230 243 246 254 256 263 276 278 293

xiv

Mata Rantai Tak Kunjung Putus Kakambah

Cati Martiyana Tri Darma Ambo Saka Lestari Handayani

Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat i

Mata Rantai Tak Kunjung Putus, Kakambah

Penulis Cati Martiyana Tri Darma Ambo Saka Lestari Handayani Editor Lestari Handayani Desain Cover Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014 Diterbitkan oleh PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.

ii

Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina

: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab

: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana

: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc

Ketua Tim Teknis

: dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis

: drs. Setia Pranata, M.Si Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo Aan Kurniawan, S.Ant Yunita Fitrianti, S.Ant Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos

iii

Koordinator wilayah

:

1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat 2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama 3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai 4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak 6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo 7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir 9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao 10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon

iv

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ? Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan caracara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan

v

RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

drg. Agus Suprapto, M.Kes

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GRAFIK DAFTAR GAMBAR

v vii x xi xii

BAB 1 PENDAHULUAN

1

1.1. Latar Belakang Masalah 1.2. Penentuan Lokasi Penelitian 1.3. Metode Pengumpulan Data

1 9 10

BAB 2 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

13

2.1. Sejarah Desa 2.1.1. Cerita Nenek Sawerigading 2.1.2. Jejak Manusia Suku Bajo di Sulaho: Dahulu Hingga Kini 2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Bentang Alam Sulaho 2.2.2. Kependudukan Suku Bajo di Sulaho 2.2.3 Pemukiman Penduduk di Sulaho 2.3. Religi 2.3.1. Kosmologi 2.3.2. Siklus Perjalanan Kehidupan Manusia Suku Bajo di Sulaho 2.3.3. Praktik Keagamaan 2.3.4. Praktik Kepercayaan Tradisional 2.3.5. Pantangan Sehari-hari Masyarakat Sulaho 2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan 2.4.1. Keluarga Inti

16 16 17 26 26 33 38 42 42 45

vii

48 52 60 62 62

2.4.2. Sistem Kekerabatan 2.4.3. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal 2.5. Pengetahuan tentang Kesehatan 2.5.1. Konsepsi mengenai Sehat dan Sakit 2.5.2. Air Jappi-jappi: Daya Tarik Penyembuhan Tradisional 2.5.3. Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman 2.5.4. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan 2.6. Bahasa 2.7. Kesenian 2.7.1. Lagu Pengantar Tidur Anak 2.7.2. Menari Lulo 2.7.3. Ula-ula (Bendera) 2.8. Mata Pencaharian 2.9. Teknologi dan Peralatan 2.9.1. Cerita Memasak hingga Makan

65 67 71 71 77 91 92 93 94 94 96 97 98 104 107

BAB 3 POTRET KESEHATAN

113

3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak 3.1.1. Remaja usia 10 sampai 24 tahun 3.1.2. Pasangan Suami Istri Belum Pernah hamil 3.1.3. Masa Kehamilan 3.1.4. Persalinan dan Nifas 3.1.5. Menyusui 3.1.6. Neonatus dan Bayi 3.1.7. Anak Balita 3.1.8. Permainan Tradisional Anak 3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Orang Bajo di Sulaho 3.2.1. Pertolongan Persalinan 3.2.2. Penimbangan Balita 3.2.3. ASI Eksklusif 3.2.4. Cuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun 3.2.5. Menggunakan Kakus Sehat

113 113 123 126 137 158 162 167 168 173 175 179 181 183 185

viii

3.2.6. Aktifitas Fisik Setiap Hari 3.2.7. Konsumsi Buah dan Sayur Setiap Hari 3.2.8. Tidak Merokok dalam Rumah 3.2.9. Menggunakan Air Bersih 3.2.10. Memberantas Jentik Nyamuk 3.3. Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular 3.3.1. Penyakit Menular 3.3.2. Penyakit Tidak Menular 3.4. Sistem Pelayanan Kesehatan Formal versus Tradisional

187 188 190 192 193 195 196 208 226

BAB 4 MATA RANTAI TAK KUNJUNG PUTUS: KAKAMBAH

233

4. 1. Asal Muasal dan Perkembangan Kakambah di Tanah Sulaho 4.2. Istilah Lokal Kusta 4.3. Tanda Kusta, Terpaksa Berobat 4.4. Penyebab Kakambah 4.5. Lingkaran PenularanKusta 4.6. Gambaran Kondisi Fisik Rumah Penderita Kakambah 4.7. Kebiasaan Pemenuhan Gizi Keluarga 4.8. Dansihitang: Kedekatan Orang Sulaho 4.9. Health Seeking Behaviour Kakambah 4.10. Dampak Kakambah: Stigma 4.11. Tahun 2014, Lagi Kakambah Baru 4.12. Kendala Penanganan Kakambah

233

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

305

5.1. Kesimpulan 5.2. Rekomendasi

305 310

INDEKS GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA

315 321 329

ix

244 246 255 261 272 279 280 283 292 297 301

DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1. Tanda Utama Kusta PB dan MB Tabel 2. 1. Klasifikasi Warga Dusun 1-3 Desa Sulaho berdasarkan Suku Tabel 2. 2. Jumlah Penduduk Desa Sulaho berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Tabel 2. 3 Sapaan Kekerabatan di Desa Sulaho Tabel 2. 4. Pendapatan Keluarga Pak Dm

x

2 33 35 64 103

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. 1 Tren Angka Prevalensi Kusta di Indonesia 2007 – 2011 Grafik 1. 2 Kasus Kusta Baru Desa Sulaho 2005-2013 Grafik 3. 1 10 Penyakit terbesar di Puskesmas Lasusua tahun 2013

xi

4 8 195

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Kabupaten Kolaka Utara Gambar 2.2. Peta Kecamatan Lasusua Gambar 2.3. Rumah PKSMT Gambar 2.4. Kakus Umum dengan Sumber Dana CSR Gambar 2.5. Perkampungan desa Sulaho Gambar 2.6. Peta Desa Sulaho Gambar 2.7. Rumah Bedah P2-WKSS Gambar 2.8. Pohon Ketapang dan Pekuburan Desa Gambar 2.9. Botol Berisi Garam Mattoana telah Digantung sejak Setahun yang Lalu Gambar 2.10. Sanro Mendoakan Makanan ketika Turun Perahu Gambar 2.11. Mendorong Perahu saat Upacara Turun Perahu Gambar 2.12. Tandan Pisang dan daun Pakecce pada rumah baru Gambar 2.13. Hubungan Kekerabatan Gambar 2.14. Struktur Organisasi Desa Sulaho Tahun 19972014 Gambar 2.15. Musyawarah di Balai Desa Pasca Demonstrasi Gambar 2.16. Ranjang dan Kayu Representasi Buaya Gambar 2.17. Pohon Kayu Jawa Gambar 2.18. Tanaman Cangak Duri Gambar 2.19. Tanaman Srikaya/Sirsak Gambar 2.20. Tanaman Daun Pakkece Gambar 2.21. Tanaman Jarak Gambar 2.22. Menari Lulo

xii

15 15 20 23 27 29 41 43 54 56 56 58 63 68 70 80 87 88 89 90 90 96

Gambar 2.23. Pendapatan Nelayan Menggunakan Bom Ikan Gambar 2.24. Perahu Jolor, Jarangkah dan Sampan Gambar 2.25. Wadah Tungku, Mulut Tungku dengan Batu dan Mulut Tungku dengan Rangka Besi Gambar 2.26. Membakar Ikan di Luar Rumah Gambar 2.27. Memakan Cacing Laut Gambar 3.1. Ariango dan Gelang Hitam yang Dipakai Balita Gambar 3.2. Air Jappi-jappi dan Air Lelehan Sabun Mandi Dicampur Daun Sirsak Gambar 3.3. Sanro Mengikat Tali Pusat Bayi Gambar 3.4. Sarung Tujuh Lapis untuk Bayi Baru Lahir Gambar 3.5. Ari-ari yang Digantung pada Bagian Rumah Gambar 3.6. Ari-ari Bayi yang Sudah Kering Gambar 3.7. Area Permainan Danda Gambar 3.8. Pembesaran Gondok Gambar 3.9. Dagor dan Kompresor untuk Menyelam Gambar 3.10. Obat-obatan yang Dijual di Warung Desa Gambar 4. 1. Pemetaan Kusta pada Rumah Tangga di Desa Sulaho Gambar 4. 2 Telunjuk Tangan Kiri Mati Rasa Gambar 4. 3. Bercak Kulit pada Reaksi Kusta Gambar 4. 4. Penderita yang Mengalami Cacat Gambar 4. 5. Bercak Kusta Gambar 4. 6. Denah Ruang Rumah Keluarga Mr Gambar 4. 7. Kondisi Rumah Seorang Warga Gambar 4. 8. Bekas Luka Mantan Penderita Kusta

xiii

104 106 108 108 112 127 147 150 163 166 168 179 210 220 230 243 246 254 256 263 276 278 293

xiv

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang bersifat menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae dan penyakit jenis ini terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tinggal dan fasilitas pendukung yang tidak bersih, perilaku tidak higienis dan asupan gizi yang buruk karena dapat berpengaruh pada daya tahan tubuh seseorang (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012) Kusta memiliki dua macam tipe gejala klinis yaitu Pausibasilar (PB) dan Multibasilar (MB). Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular dan biasa disebut juga sebagai kusta kering, sedangkan kusta tipe MB atau kusta basah adalah kusta yang sangat mudah menular. Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi penyakit kusta menurut WHO tampak pada tabel 1.1. (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012). Cara penularan terjadi dengan cara kontak yang lama dengan pasien melalui saluran pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit. Penyakit kusta ini bersifat intraselular obligat, dimana saraf tepi/perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas, kemudian dapat ke organ tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012)

1

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Tabel 1.1. Tanda Utama Kusta PB dan MB Tanda Utama

Pausibasilar (PB)

Multibasilar (MB)

Penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi (mati rasa dan atau kelemahan otot di daerah yang dipersarafi saraf yang bersangkutan)

Jumlah 1-5

Jumlah > 5

Kerokan jaringan kulit

BTA negative

BTA positif

Distribusi

Unilateral atau bilateral asimetris

Bilateral Simetris

Permukaan bercak

Kering, kasar

Halus, mengkilap

Batas bercak

Tegas

Kurang Tegas

Mati rasa pada bercak

Jelas

Biasanya kurang jelas

Deformitas

Proses terjadi lebih cepat

Terjadi pada tahap lanjut

Bercak Kusta

Ciri-ciri khas

Madarosis, hidung pelana, wajah singa (facies leonina), ginekomastia pada laki-laki

Sumber: Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012

Pelaporan kasus sangat penting untuk memastikan bahwa upaya pemberantasan ditargetkan di wilayah terinfeksi terhadap jenis penyakit yang dianggap bisa dihilangkan seperti kusta. Puskesmas sebagai salah satu fasilitas rujukan pelayanan kesehatan memiliki peran (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012), 1)

2

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Menemukan dan mengobati pasien; 2) Melakukan pemeriksaan fungsi saraf dan memberikan pengobatan bila terjadi infeksi;3) Merawat luka, dan melatih pasien untuk melakukan perawatan diri di rumah sesuai tingkat dan bagian tubuh yang cacat; 4) Bila diperlukan dan memungkinkan, Puskesmas program Kelompok Perawatan Diri (KPD/self care group);5) Memberikan konseling kepada pasien dalam pengobatan maupun yang sudah Released From Treatment (RFT); 6) Memberikan penyuluhan kepada keluarga pasien dan masyarakat; 7) Merujuk pasien tepat waktu ke RSU Kabupaten, rumah sakit kusta dan atau rumah sakit lain yang mempunyai pelayanan untuk kusta. Sejak tahun 2005 sampai dengan 2012, telah terjadi penurunan jumlah kasus baru kusta yang ditemukan di Indonesia. Berdasarkan data WHO, Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan jumlah kasus kusta terbesar pada tahun 2011 dengan jumlah kasus sebanyak 20.023, setelah India dengan kasus sebanyak 127.295 dan Brazil dengan kasus sebanyak 33.955 (WHO, 2013). Pada Tahun 2012, penemuan kasus baru di Indonesia kembali turun menjadi 18.994 kasus (WHO, 2013). Berikut ini trend penemuan kasus baru kusta di Indonesia (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2011). Pada Tahun 2000, penyakit kusta telah mencapai status eliminasi yang berarti jumlah penderita terdaftar kurang dari 1 kasus per 10.000 penduduk. Dengan demikian, dunia termasuk Indonesia telah menyatakan kusta bukan lagi masalah bagi kesehatan masyarakat (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2011). Namun demikian, menurut catatan WHO, Indonesia masih menjadi negara penyumbang kasus terbesar di dunia.

3

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Grafik 1.1. Tren Angka Prevalensi Kusta di Indonesia 2007 – 2011 Sumber: Dirjen P2PL, Kemenkes, 2011

Total kasus baru pada tahun 2011 di propinsi Sulawesi Tenggara 322 (14.1%) dengan rate 8.3/100.000 (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012). Ada 1 (100%) penderita Kusta PB di Kabupaten Kolaka Utara yang menyelesaikan pengobatan (RFT) sampai tahun 2013 sebanyak 1 kasus (100%), sementara dari 9 penderita kusta MB yang telah menyelesaikan pengobatan sampai tahun 2013 sebanyak 7 kasus (78%) (Dinkes Kabupaten Kolaka Utara, 2013). Penyakit kusta ini juga seperti fenomena gunung es, yang nampak di permukaan, yang terdeteksi hanya kecil, tetapi kenyataan di lapangan dapat jauh lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa permasalahan kusta masih menjadi permasalahan kesehatan yang layak untuk dikaji. Kusta menyerang semua umur dari anak-anak sampai dewasa. Kusta banyak terdapat pada negara berkembang atau negara miskin. Dengan kondisi lingkungan yang tidak bersih, fasilitas kebersihan yang tidak memadai dan asupan gizi yang buruk sehingga menyebabkan daya tahan tubuh rendah dan rentan terhadap penyakit infeksi seperti kusta. Penelitian yang

4

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dilakukan oleh Anselmo Alves Lustosa dkk tahun 2011, menunjukkan bahwa profil sosial demografi konsisten dengan studi-studi lain yang dilakukan di berbagai daerah di Brazil bahwa kondisi sosial ekonomi yang buruk menjadi faktor yang berkontribusi terhadap penyebaran infeksi Kusta, disamping faktor-faktor penentu biologis. Dalam sejarahnya, pengobatan kusta telah dikenal dari zaman dahulu kala bahkan hampir 2000 tahun SM yang dapat diketahui dari peninggalan sejarah Mesir, India, Tiongkok dan Mesopotamia. Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H. Hansen pada Tahun 1873, maka dimulailah era perkembangan baru pengobatan kusta dan penanggulangannya. Penggunaan diamino-diphenyl-sulphone (DDS) dimulai tahun 1951. Sejak tahun 1982 pengobatan kusta dilakukan dengan Multi Drug Therapy (MDT) sesuai rekomendasi WHO (Dirjen P2PL, Kemenkes, 1998). Adapun pengobatan dan upaya pemberantasan kusta di Indonesia dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Pada tahun 1655, Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan leprozerie di Kepulauan Seribu (Teluk Jakarta), sebagai tempat penampungan para penderita kusta. Sampai dengan pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda telah mengembangkan leprozerie di berbagai daerah, seperti Ambon, Banda, Ternate, Manado, Gorontalo, Riau, Bangka, dan Bengkulu. Belanda menetapkan peraturan pengasingan bagi penderita kusta di wilayah koloninya, peraturan pengasingan paksa di leprozerie dihapus oleh Dr. J. B. Sitanala, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberantasan kusta, kemudian menggantinya dengan sistem ”tiga langkah” sebagai upaya pemberantasan kusta, yaitu ekplorasi, pengobatan, dan pemisahan (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2007).

5

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Meski penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini cukup menimbulkan dampak sosial, karena menimbulkan leprofobia di kalangan masyarakat. Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah berasal dari golongan ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila tidak ditangani maka akan menimbulkan cacat pada diri penderita yang akan menghalanginya untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya (Dirjen P2PL, Kemenkes, 1998). Untuk mengatasinya, maka didirikan rumah sakit khusus kusta, sebagai upaya pemberantasan dengan pola perawatan penderita. Penelitian Fitriah Ulfah (2010), kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat dan kepadatan penghuni yang tinggi berhubungan terhadap peningkatan kejadian kusta. K Pontes (2006), menemukan bahwa tingkat pendidikan rendah , riwayat kekurangan pangan, kebiasaan mandi di danau 10 tahun terakhir, jarang mengganti sprei dan kepadatan penghuni berhubungan dengan kejadian kusta. Andy Muharry (2014), menemukan bahwa kebersihan perorangan yang buruk mempengaruhi kejadian kusta. Persentase jumlah keluarga berperilaku hidup bersih dan sehat (ber-PHBS) di Desa Sulaho masih rendah, yaitu sebesar 37.20% dan persentase rumah sehat baru mencapai 15.75% (Puskesmas Lasusua, 2013). Penduduk dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak (kakus sehat) masih rendah, yaitu 19.5% dan akses berkelanjutan terhadap air minum berkualitas (layak) sebesar 46.05% (Puskesmas Lasusua, 2013). Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit kusta menjadi ancaman. Penelitian yang dilakukan kusta menimbulkan masalah yang sangat kompleks, bukan hanya aspek medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit

6

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan karena kurangnya pengetahuan/ pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012). Kebanyakan penderita kusta yang mengalami kecacatan disebabkan karena keterlambatan untuk memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan, meminum obat dengan tidak sempurna atau pengobatan tidak tuntas. Temuan Alam Fajar (2010), kusta selalu dipandang sebagai momok yang harus disingkirkan oleh masyarakat karena dianggap sebagai penyakit karena kutukan Tuhan, akibat dari dosa-dosa yang dilakukan oleh penderita dan keluarganya di masa lalu serta tidak dapat disembuhkan sehingga penderita kusta diberikan stigma tertentu melalui penyakitnya. Desa Sulaho merupakan sebuah wilayah yang cukup terisolir, diapit pegunungan pada bagian utara, timur dan barat dan lautan lepas pada bagian selatan. Kondisi geografis ini menyebabkan akses ke pelayanan kesehatan menjadi lebih sulit dibandingkan masyarakat yang hidup dalam wilayah yang mudah dijangkau. Kegiatan promosi kesehatan yang dilakukan melalui kegiatan penyuluhan kesehatan dan kunjungan rumah penduduk ke desa, masing-masing dilakukan sebanyak 4 kali dan 2 kali di Sulaho, berbeda dengan desa lain di wilayah kerja Puskesmas Lasusua pada wilayah yang lebih mudah dijangkau, kegiatan dilakukan masing-masing sebanyak 12 kali dan 4-6 kali (Puskesmas Lasusua, 2013). Kusta adalah salah satu penyakit yang ditemukan di Desa Sulaho. Berdasarkan register kohort program P2 Kusta Puskesmas Lasusua, Kusta di Desa ini selalu ditemukan dari tahun ke tahun sejak tahun 2005 sampai dengan 2013 (selama 8 tahun terakhir) (Puskesmas Lasusua, 2013). Pada akhir tahun 2013,

7

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

ditemukan dua penderita kasus baru kusta di Desa Sulaho (Puskesmas Lasusua, 2013). Satu diantaranya diakui terjaring melalui pemeriksaan kontak terhadap salah seorang penderita kusta yang ditemukan dengan kondisi bengkak pada bagian wajah dan satu lainnya berobat secara sukarela ke Puskesmas dengan kondisi mengalami bengkak dan cacat tingkat 1 di bagian kaki. Munculnya kasus-kasus baru menunjukkan bahwa masih terjadi proses penularan yang diakibatkan keterlambatan untuk melakukan pengobatan ke pusat pelayanan kesehatan terdekat.

Grafik 1.1. Kasus Kusta Baru Desa Sulaho 2005-2013 Sumber: Data Puskesmas Lasusua 2013

Sebagian besar merupakan kusta jenis MB yaitu sebanyak 23 (76.67%) dari 27 kasus yang muncul. Berdasarkan jenis kelamin, maka sebanyak 20 perempuan (74.07%) menjadi penderita kusta, lebih banyak daripada laki-laki sebanyak 7 orang (25.93%). Semua penderita merupakan usia produktif, sebagian besar berada pada usia 10-20 tahun (59.26%). Masih adanya kasus baru kusta di Desa Sulaho dari tahun ke tahun menggugah rasa ingin tahu tentang sejarah kasus Kusta di masa lalu dan perkembangan penyakit kusta di Sulaho pada masa selanjutnya; menjadi pertanyaan pula tentang pengetahuan masyarakat 8

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

mengenai sebab, akibat dan dampak yang ditimbulkan oleh penyakit kusta serta ingin diketahui faktor yang berperan dalam mendukung langgengnya keberadaan penyakit kusta di Sulaho. 1.2.

Penentuan Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi pada penelitian riset etnografi kesehatan ini berdasarkan prioritas permasalahan pada salah satu komponen atau indikator IPKM yang rendah. Kabupaten Kolaka Utara adalah kabupaten yang memiliki IPKM rendah dengan peringkat 397 pada tahun 2007 dan termasuk kategori Kabupaten bermasalah berat kesehatan miskin (KaA). Sasaran etnis adalah Etnik Bajo. Awalnya, tim peneliti memperoleh informasi bahwa ada dua desa yang didiami oleh Etnik Bajo di Kabupaten Kolaka Utara yaitu Desa Sulaho dan Desa Lawata. Pemilihan Desa Sulaho sebagai lokasi penelitian setelah melalui proses diskusi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka Utara dengan memperhatikan besaran masalah kesehatan dalam lingkup KIA, PHBS, penyakit menular dan penyakit tidak menular. Desa Lawata memiliki akses transportasi yang baik karena dapat dicapai melalui perjalanan darat dengan medan yang baik, disamping tidak terdapat permasalahan kesehatan yang menonjol. Desa Sulaho adalah wilayah yang terisolasi karena desa dilingkupi oleh perbukitan dan laut, sehingga transportasi utama masyarakat Bajo di desa ini menggunakan perahu. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Desa Sulaho masih rendah dan masih ditemukan penyakit kusta baru dari tahun ke tahun yang mengindikasikan bahwa mata rantai penyakit tersebut masih sustain. Berdasarkan data profil Puskesmas Lasusua tahun 2013 rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di desa Sulaho sebesar 37.2% (Puskesmas Lasusua, 2013). Selain itu hampir selalu ditemukan

9

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kasus kusta dari tahun ke tahun selama kurun waktu 8 tahun terakhir, dan ditemukan 2 kasus baru pada akhir tahun 2013. Pertimbangan terhadap kesadaran masyarakat yang diduga masih rendah salah satunya karena faktor geografis menjadi alasan kuat mengapa penelitian riset etnografi kesehatan ini dilakukan di Desa Sulaho, Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara. 1.3.

Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode etnografi. Pengamatan lapangan dilakukan untuk memperoleh gambaran utuh dan menyeluruh tentang budaya perilaku kesehatan masyarakat. Teknik yang digunakan adalah observasi partisipasi selama dua bulan. Peneliti ikut berperan serta secara langsung dalam rangkaian kegiatan sehari-hari subyek penelitian. Kegiatan ini didukung dengan penggunaan media video dan foto. Wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh data yang kaya dan mendalam terhadap tema ataupun permasalahan yang digali. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Peneliti menelusuri, mencatat, dan mempelajari kepustakaan-kepustakaan yang relevan dengan objek kajian untuk memperkaya dan memperluas wawasan dan pengetahuan peneliti tentang objek atau masalah yang akan dikaji. Penelusuran dokumen meliputi jurnal online dan buku yang berkaitan dengan objek kajian. Selain itu, studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang digunakan sebagai pendukung data. Analisis dilakukan dengan menelaah dan mengorganisasikan data yang telah diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi partisipasi dan catatan lapangan ke dalam

10

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

pola, kategori dan satuan uraian sehingga dihasilkan kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis data dilakukan dengan menerapkan metode deskripsi interpretatif yang didukung dengan triangulasi sumber (subyek penelitian yang terdiri atas anggota masyarakat, tokoh masyarakat dan tenaga kesehatan) dan metode pengumpulan data (wawancara mendalam dan observasi partisipasi). Jenis data pada penelitian ini adalah kualitatif dengan sumber data 1) Sumber data primer, merupakan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi partisipasi; 2) Sumber data sekunder, merupakan data dukung yang diperoleh dari profil kesehatan/demografi kabupaten/ kecamatan/desa penelitian) sebagai dukungan kuantitatif atas kondisi demografi ataupun permasalahan kesehatan yang muncul. Data sekunder lainnya adalah penelusuran literatur berbagai sumber (buku, jurnal, yang dikumpulkan, dibaca dan disitasi untuk memperkaya wawasan dan pengkayaan dalam melakukan analisis data. Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran secara holistik aspek sejarah, geografi dan sosial budaya terkait kesehatan dalam lingkup kesehatan ibu dan anak, PHBS, penyakit tidak menular dan penyakit menular secara spesifik penyakit kusta pada etnis Bajo di Kabupaten Kolaka Utara.

11

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

12

BAB 2 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Kabupaten Kolaka Utara merupakan pemekaran dari Kabupaten Kolaka sejak 7 Januari 2004 (Yahya Mustafa, 2008). Kabupaten Kolaka Utara berada di daratan tenggara Pulau Sulawesi dan secara geografis terletak pada bagian barat merupakan bagian dari propinsi Sulawesi Tenggara. Menuju ke Kabupaten Kolaka Utara dapat ditempuh melalui tiga jalur, yaitu jalur laut melalui pelabuhan Siwa (Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) menyeberang dengan kapal cepat selama 1,5 jam atau kapal ferry selama 2,5 jam, jalur darat melalui Malili (Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan) dengan menempuh perjalanan selama kurang lebih 20 jam dan jalur udara via Pomalaa, Kolaka dilanjutkan dengan perjalanan darat selama kurang lebih 4 jam ke Kolaka Utara. Kabupaten Kolaka Utara memanjang dari utara ke selatan berada di antara 2o 46’ 45’’ – 3o 50’ 50’’ Lintang Selatan dan membentang dari barat ke timur di antara 120o 41’ 16’’ – 121o 26’ 31’’ Bujur Timur. Keadaan permukaan wilayah di Kabupaten ini pada umumnya terdiri atas lembah, perbukitan, pegunungan dan laut yang memanjang dari utara ke selatan. Kondisi geografis tersebut menyebabkan perbedaan jarak dari setiap Kecamatan ke Ibu Kota Kabupaten, Lasusua. Keadaan musim di Kabupaten Kolaka Utara seperti halnya dengan daerah lain di Indonesia, yaitu musim hujan dan kemarau dengan suhu udara minimum sekitar 10oc dan maksimum 31oc atau rata-rata 24oc-28oc serta

13

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

curah hujan yang cukup tinggi dibandingkan dengan kabupaten lain di Sulawesi Tenggara dengan batas wilayah sebagai berikut (Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara, 2013): Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur Sulawesi Selatan; Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Uluwoi Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara; Sebelah Barat berbatasan dengan Pantai Timur Teluk Bone; Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka. Kabupaten Kolaka Utara terbagi menjadi 15 kecamatan, yaitu: Kecamatan Porehu seluas 647,23 km (19.08%), Kecamatan Batu Putih seluas 374,95 km (16.47%), Kecamatan Pakue seluas 313.25 km (9.24%) dan selebihnya Kecamatan lainnya adalah Ranteangin, Wawo, Lambai, Lasusua, Katoi, Kodeoha, Tiwu, Ngapa, Watunohu, Pakue Tengah, Pakue Utara dan Tolala. Kabupaten Kolaka Utara memiliki luas wilayah daratan sekitar 3.391.62 Km2 dan wilayah perairan laut membentang sepanjang Teluk Bone seluas 12.376 Km2. Wilayah Kecamatan Lasusua mencakup wilayah daratan dan Lautan karena terletak di pesisir Pantai Teluk Bone. Luas daratan Kecamatan Lasusua sebesar 287.67 km². Relief permukaan daratan Kecamatan Lasusua terdiri dari daerah pegunungan di bagian Timur dan Selatan, sedangkan di bagian Utara dan Barat adalah berupa dataran yang sebagian merata di sepanjang bibir pantai, sisanya adalah dataran yang landai dan terjal yang berada di wilayah bagian utara. Ketinggian wilayahnya mencapai ± 15 m dari permukan Laut.

14

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Gambar 2.1. Peta Kabupaten Kolaka Utara Sumber: longhairpictures.biz/peta/peta-infrastruktur-kabupaten-kolaka2008.html

KODEOHA

LASUSUA

RANTE ANGIN Gambar 2.2. Peta Kecamatan Lasusua Sumber: Data Penelitian Tahun 2014

15

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

2.1. Sejarah Desa 2.1.1. Cerita Nenek Sawerigading Masyarakat Etnik Bajo yang berdiam di Desa Sulaho meyakini bahwa mereka merupakan keturunan Sawerigading yang berasal dari Kampung Usu, Cengrekang, Malili, Tanah Luwu. Kini daerah tersebut merupakan bagian dari Kabupaten Luwu Timur. Cerita mengenai asal muasal Etnik Bajo yang tinggal di Desa Sulaho tersebut telah dipercaya dari generasi ke generasi secara turun temurun. Terdapat cerita bahwa dahulu istri raja Etnik Bajo melahirkan seorang anak perempuan. Pada waktu itu jika anak yang dilahirkan perempuan maka harus dibunuh, sementara jika laki-laki yang dilahirkan maka akan dirawat dan dibesarkan. Raja menyembunyikan anak perempuan tersebut hingga akhirnya ia menjadi perempuan dewasa nan cantik. Setelah kelahiran anak pertama, istri raja kembali melahirkan anak kedua yang berjenis kelamin laki-laki. Waktu terus berjalan, suatu hari anak laki-laki yang telah tumbuh dewasa itu melihat kakak perempuannya yang sengaja disembunyikan oleh orang tuanya. Iapun terpikat pada Codaik, si perempuan cantik tersebut. Ia menyampaikan keinginan untuk menikahi perempuan tersebut kepada orang tuanya. Sang ibupun membuka rahasia yang telah sekian lama disimpan rapat bahwa perempuan itu adalah saudara kandungnya, maka jika ia menginginkan istri sepertinya, ia harus pergi ke negeri Cina untuk menemukan saudara sepupu yang memiliki wajah tiada beda dengan Codaik. Ia membawa sebuah cincin dan sesampai ke negeri Cina bila dapat menemukan seorang gadis yang dapat memakai cincin tersebut dengan pas, maka dia itulah saudara sepupu yang dimaksud. Sebuah pohon besar berdaun tujuh lembar yang disebut pohon walenrang ditebang untuk dijadikan perahu menuju

16

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

negeri Cina oleh Sawerigading. Pohon tersebut diyakini sebagai tempat bersarang dan bertelur seluruh burung. Pohon walenrang itu berkali-kali dikapak, namun tak seorangpun mampu merobohkan kokohnya batang pohon walenrang itu. Codaik akhirnya dapat merobohkan pohon walenrang itu dengan satu tebasan saja. Tumbangnya pohon ini menyebabkan terjadinya banjir telur yang membuat orang-orang hanyut dan terbajo-bajo (terbayang-bayang). Banjir inilah yang menyebabkan Etnik Bajo tersebar ke berbagai tempat/wilayah. Etnik Bajo sangat identik dengan kehidupan laut, sehingga mereka mencari tempat tinggal di laut dan dalam kehidupan sehari-hari berdamai dengan laut. Tim peneliti seringkali mendengar warga Sulaho mengatakan bahwa mereka akan merasa pusing atau sakit kepala jika tidak bisa melihat laut. Pada suatu ketika ada nenek moyang Etnik Bajo yang tiba di Desa Sulaho. Nenek moyang Etnik Bajo tersebut mencari tempat tinggal yang disebut Alo-alo. Dahulu mereka menyebut kampung yang didiami dengan sebutan Alo-alo yang berarti danau di luar kampung. Danau yang dimaksud merupakan sebuah cekungan besar seperti sumur yang luas dan dalam berada di laut sekitar 10 km dari perkampungan Desa Sulaho, sehingga jika laut di sekitar danau tersebut surut, maka cekungan berisi air tersebut dengan jelas dapat terlihat. 2.1.2. Jejak Manusia Etnik Bajo di Sulaho: Dahulu Hingga Kini Sekitar 1870-an kampung Sulaho merupakan hutan primer yang tidak berpenghuni, hanya sebagai tempat berlindung dan beristirahat untuk nelayan saat ombak besar, tempat singgah mengambil kayu bakar, air tawar dan berbagai kebutuhan lain yang digunakan di laut. Selanjutnya datang orang Tolaki Mekongga yang disebut membangun rumah dan

17

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

mengembangkan usaha bercocok tanam (N. Suyuti, 2011). Kata Sulaho merupakan bahasa Tolaki Mekongga yang artinya ada suatu benda yang paling disukai ternyata menghilang. Kata “Sula” dalam bahasa Tolaki Mekongga berarti pergi meninggalkan. Seorang Tolaki Mekongga pergi menyuluh di laut dan ia kembali menemukan benda yang hilang itu. Orang tersebut berkata “Hok…Ohok” yang memiliki arti benar. Kata yang diucapkan terdengar juga oleh orang Bajo di atas perahu yang berada tak jauh di sampingnya. Orang Tolaki tersebut mendengar orang Bajo berkata “Ohok”, artinya membenarkan. Itulah artinya “Sula” tambah “Ho (Ohok)”, menjadi Sulaho. Pada umumnya desa di sekitar Sulaho memiliki nama desa yang cenderung merepresentasikan bahasa Tolaki seperti Batulaki, Rante Angin, Watunahu dan Onohu sebagai petanda bahwa Orang Tolaki Mekongga pernah berdiam di wilayahwilayah tersebut. Etnik Tolaki pada akhirnya lebih memilih meninggalkan perkampungan Desa Sulaho. Tidak ada yang mengetahui kapan tepatnya desa yang semula disebut Alo-alo oleh orang Bajo berubah menjadi Sulaho. Menurut beberapa informan, penyebutan Sulaho relatif lebih mudah daripada Aloalo, sehingga dalam perkembangannya Sulaho menjadi sebutan yang umum dan lazim dan sebutan Alo-alo menghilang bersamaan dengan ketenaran Sulaho. Kata Sulaho disebut-sebut juga merupakan bahasa Bugis yang memiliki arti sama dengan alo-alo, sehingga hanya persoalan istilah saja tetapi memiliki makna yang sama. Hal ini dikarenakan masuk pula orang Bugis pada masa selanjutnya setelah orang Tolaki Mekongga meninggalkan perkampungan Sulaho. Pada tahun 1923, terdapat gelombang kedua hadirnya manusia di wilayah tersebut. Jumlah rumah yang ada saat itu sekitar 10 unit, dibangun di atas permukaan laut dengan kondisi rumah sangat sederhana dengan fungsi rumah sebagai tempat

18

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

berlindung dan setiap saat dapat ditinggalkan (N. Suyuti, 2011). Pada masa selanjutnya orang Bajo yang berdatangan semakin bertambah dan terbentuk sebuah perkampungan karena orang Bajo memilih hidup dengan cara menetap. Dalam perkembangannya Sulaho menjadi tempat persembunyian gerombolan pemberontak Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI TII) pimpinan Kahar Muzakar. Perkampungan Sulaho dianggap sebagai daerah rawan persembunyian pasukan DI TII, sehingga dilakukan pemberantasan oleh Pemerintah yang disebut dengan “operasi tumpas”. Perkampungan dibakar dan rumah-rumah penduduk habis dibakar untuk menghindarkan kemungkinan dijadikan sebagai tempat persembunyian kembali atau dapat disinggahi sekedar untuk makan oleh pasukan DI TII. Saat informan Rh ( 56 tahun) masih kanak-kanak, salah satu yang membekas jelas dalam ingatannya adalah rumah-rumah yang dibakar. Inilah yang kemudian memaksa semua warga akhirnya menyingkir pada tahun 1960-an. Warga terpencar ke Kolaka, Rante Angin, Lasusua, Lawata dan Pakue. Setelah kondisi wilayah yang ditinggalkan cukup aman dan pemerintahan dinilai stabil, maka pada tahun 1978 mereka mulai berdatangan kembali ke perkampungan Sulaho. Ada pula rombongan orang dari Sulawesi Selatan mulai dari Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Wajo dan Luwu untuk aktivitas penggergajian kayu yang dikelola oleh PT Hasil Bumi Indonesia (PT HBI). Wilayah ini akhirnya menjelma menjadi perkampungan tua ketika Departemen Sosial datang pada tahun 1995 untuk melakukan pembinaan terhadap Etnik masyarakat terasing. Secara historis, awal mula terbentuknya Desa Sulaho dimulai dengan masuknya program Peningkatan Kesejahteraan Etnik Masyarakat Terasing (PKSMT) yang dilakukan oleh Departemen Sosial (Depsos) dalam kurun waktu 5 tahun, yaitu

19

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

sejak tahun 1995 sampai 2000. Perkampungan di wilayah ini belum tertata dengan baik dari berbagai aspek saat itu, begitu pula dengan kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat. Sebagian rumah telah berada di darat dan sebagian lainnya masih berada di atas laut. Rumah yang ditempati umumnya merupakan rumah panggung dengan dominasi bahan rumah berupa kayu dan daun nipa. Jenis rumah merupakan rumah kayu yang tiangnya diikat dengan rotan, sedangkan jendela dan atap terbuat dari daun nipa yang dijahit, pintu terbuat dari kayu, sementara lantai terbuat dari kayu atau bambu. Warga memanfaatkan apa yang dapat diperoleh dengan mudah dari lingkungan sekitar tempat tinggal untuk membangun rumah, sementara kebiasaan hidup seperti cara berpakaian dideskripsikan masyarakat layaknya kehidupan Etnik terasing yang tertutup dari masyarakat luar.

Gambar 2.3. Rumah PKSMT Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Saat itu, Sulaho merupakan sebuah dusun yang menjadi bagian sebuah desa bernama Pitulua. Setelah proses pembinaan 20

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

selama sekitar 2 tahun diadakan pemekaran menjadi desa. Pada tanggal 25 November tahun 1997, secara definitif Sulaho resmi dimekarkan sebagai desa. Pemekaran desa dipandang perlu waktu itu, bukan saja Sulaho, tetapi beberapa dusun bersamaan dimekarkan menjadi desa. Pada tahun 2000, Depsos membangun rumah sebanyak 85 unit yang diperuntukkan bagi 85 kepala keluarga. Pembangunan rumah disertai dengan pembangunan kakus cemplung pada beberapa titik strategis dalam kampung. Berdasarkan hasil pembinaan Depsos, maka terbentuklah satu wadah pemukiman Desa Sulaho yang apik. Tidak terdapat rumput liar atau sampah, benih tanaman berupa bunga dan sayur diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah. Segala program yang dianjurkan pemerintah berjalan, seperti pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) dan penanaman tanaman obat keluarga (toga) di setiap rumah tangga. Saat itu, terdapat jaminan hidup selama lima tahun (1995-2000) berupa kebutuhan sandang seperti sarung, baju dan pangan seperti beras, gula, mi instan, kopi, minyak dan ikan kering. Awalnya, aspek kebersihan tidak menjadi perhatian penting masyarakat. Masuknya pembinaan Depsos menjadi salah satu wujud peningkatan kepedulian masyarakat untuk membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal secara gotong royong. Biasanya dilakukan kegiatan bersih desa, setiap hari jumat (jumat bersih) sesuai dengan kebiasaan masyarakat yang umumnya tidak melaut pada hari jumat. Pada saat itu, warga memperoleh rumah dan lahan seluas ½ hektar, masing-masing bersertifikat. Lahan ditujukan untuk kegiatan perkebunan dan berlokasi di pegunungan Sulaho. Lahan ditanami jambu mete dan cengkeh, namun umumnya masyarakat menyatakan tidak memperoleh hasil. Pemanfaatan lahan tersebut saat ini tidak terkelola dengan baik dikarenakan kondisi jalan rusak, selain itu menurut masyarakat jalanan ke

21

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

lokasi sampai sekarang juga menjadi perdebatan dengan pemerintah setempat yang menganggap bahwa wilayah tersebut merupakan kawasan hutan lindung. Pasca pembinaan Depsos, kampung Sulaho telah bermetamorfosis menjadi sebuah desa. Etnik Bajo di Sulaho tidak lagi disebut sebagai komunitas masyarakat terasing (KMT) tetapi disebut dengan komunitas adat terpencil (KAT). Andil Depsos kala itu menjadi cikal bakal terbentuknya Desa Sulaho pada masa kini. Terjadi beberapa pembangunan infrastruktur desa dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir. Salah satu perwujudan pengembangan aspek kesehatan adalah pembangunan Balai Kesejahteraan Rakyat (Bakesra) yang berada di komplek Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) Satu Atap Sulaho pada tahun 2008. Sejak itu mulai ada tenaga kesehatan yang menjadi penanggung jawab dalam memberikan pelayanan kehamilan, persalinan dan pelayanan kesehatan dasar (pengobatan) untuk masyarakat Desa Sulaho, meskipun petugas kesehatan tidak tinggal menetap di desa. Berkaitan dengan perbaikan infrastruktur desa, maka dibangun saluran air antara jalan desa dan rumah warga pada sisi utara Desa Sulaho pada tahun 2007. Saluran mengalirkan air saat musim hujan sehingga perkampungan tidak lagi digenangi air. Fasilitas umum berupa kakus yang berada di dusun 1, tepat di sebelah masjid dan satu lainnya di tengah pemukiman padat penduduk di dusun 3 pada tahun 2013. Pembangunan kedua kakus tersebut merupakan wujud Charity Social Responsibility (CSR) perusahaan tambang di Potoa, wilayah Desa Sulaho. Satu bangunan kakus lain telah ada sebelumnya di dusun 2 dan sudah tidak digunakan sama sekali.

22

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Gambar 2. 4. Kakus Umum dengan sumber dana CSR Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Program pemerintah Kabupaten Kolaka Utara yang dikemas dalam peningkatan peranan wanita menuju keluarga sehat sejahtera (P2-WKSS) mewajibkan setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) mengucurkan dana untuk melakukan “bedah rumah” di Desa Sulaho pada tahun 2010. Masing-masing SKPD bertanggung jawab untuk memberikan bantuan pada satu rumah tangga. Kegiatan “bedah rumah” ditujukan untuk memperbaiki rumah berdasarkan tingkat kerusakan. Rumah yang dianggap masih memiliki kondisi bagus, cukup dibantu dengan membelikan bahan bangunan tertentu seperti atap, cat, semen dan sejenisnya. Ada dua rumah yang diperbaiki total, sehingga seringkali menjadi buah bibir warga bahwa rumah tersebut termasuk kategori rumah bagus yang saat ini ada di Sulaho. Di desa ini terdapat dua jalan utama berukuran sekitar 2,53 meter pada sisi selatan dan utara desa membelah dari ujung timur sampai ke ujung barat perkampungan. Saat ini, kondisi jalan terlihat tidak terawat, banyak rumput liar tumbuh dan menutup akses jalanan. Jalan utama desa sisi selatan terlihat hijau karena banyak ditumbuhi rumput “jepang”, seperti halnya rumah warga pada area tersebut banyak ditumbuhi rumput sejenis. Rumput tersebut semula hanya ditanam di depan/dekat

23

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

rumah, tapi kemudian berkembang dan menjalar sampai ke jalan utama desa. Tepat di tengah, antara jalan yang tertutup oleh rumput-rumput jepang itu ada jalan tanah yang terbentuk secara alami dan biasanya menjadi jalur melintas sepeda dan sepeda motor. Jalan utama desa sisi utara pada area tertentu tidak bisa dilewati meskipun dengan berjalan kaki karena banyak rumput liar yang tumbuh tinggi dan menutupi jalanan sehingga biasanya warga memutar melalui jalan utama atau gang-gang di antara rumah warga untuk sampai ke tujuan. Hampir separuh lapangan desa terutama pada bagian barat dan utara ditumbuhi ilalang tinggi karena sudah sejak lama tidak dilakukan pembersihan. Kegiatan warga berupa kerja bakti setiap hari Jumat yang disebut dengan “Jumat bersih” antara lain memotong rumput, sudah tidak lagi dilakukan sejak setahun terakhir. Pagar-pagar yang mengelilingi rumah warga rintisan pembinaan Depsos, sudah lama tidak diperbaiki lagi. Pagar ini dibuat agar babi liar yang turun ke wilayah pemukiman pada malam hari tidak masuk ke halaman rumah warga. Beberapa rumah yang masih memiliki pagar dan ada tanaman obat maupun tanaman keras adalah rumah pendatang. Banyak rumah yang sudah tidak memiliki pagar ataupun jika masih tersisa hanya beberapa bilah kayu yang menunjukkan bahwa pernah ada pagar pada rumah tersebut. Lingkungan sekitar rumah warga tampak kotor, sampah berupa plastik bekas bungkus makanan, kotoran kambing, kayu dan dedaunan terhambur di halaman rumah dan jalanan desa. Tidak ada lubang tanah ataupun tempat-tempat khusus yang berfungsi sebagai tempat pembuangan atau penampungan sampah. Kotoran kambing bahkan menjadi pemandangan yang biasa ada di teras rumah warga, bahkan seringkali kambing dengan mudah masuk ke dalam rumah meninggalkan kotoran

24

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

atau menghabiskan makanan yang ada di dapur seperti beras dan nasi. Kaki-kaki penduduk yang menelusuri setiap jengkal tanah desa ini sudah kebal dengan kotoran semacam itu, karena umumnya mobilitas warga dilakukan dengan bertelanjang kaki. Sampah juga banyak terlihat di sekitar bibir pantai, kadang kala juga mudah ditemukan kotoran manusia di antaranya. Setiap kehidupan komunitas/masyarakat manapun tidak dipungkiri diwarnai dengan permasalahan-permasalahan yang melekat sebagai imbas dari kebiasaan dan pola kehidupan yang berjalan. Begitu pula dengan masyarakat Desa Sulaho, salah satu permasalahan yang kini tengah benar-benar dirasakan oleh masyarakat di desa ini adalah kehilangan pekerjaan sehari-hari dikarenakan larangan menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan pasca tertangkapnya seorang warga. Mereka umumnya menangkap ikan dengan bom ikan (pangada) secara sembunyisembunyi. Nelayan yang sebagian besar memanfaatkan pangada kembali bekerja secara konvensional dengan memancing atau menjaring ikan. Hal ini selalu dikeluhkan oleh masyarakat dikarenakan hasil tangkapan yang diperoleh sehari-hari menjadi sangat berkurang dan seringkali merugi. Banyak wanita yang sebelumnya bekerja sebagai penjual ikan (palele) tidak lagi dapat bekerja. Selain itu sebagian warga yang bekerja di pertambangan Potoa (bagian wilayah desa Sulaho), sudah tidak bekerja sejak tambang dihentikan setengah tahun terakhir. Salah satu upaya mengatasi krisis ekonomi yang dirasakan, masyarakat melakukan demonstrasi kepada Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara dengan menuntut Charity Social Responsibility (CSR) untuk kepentingan pembangunan jalan, listrik dan alat penangkap ikan. Permasalahan lain dalam kehidupan masyarakat Desa Sulaho diantaranya adalah anak-anak usia sekolah yang berkeliaran saat jam belajar menjadi pemandangan yang lumrah,

25

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

baik yang bersekolah tapi sedang di luar jam pengajaran atau memang tidak bersekolah. Orang tua biasanya tidak mempermasalahkan ketika anak mereka tidak bersekolah, jika anak perempuan membantu pekerjaan rumah tangga sedangkan anak lelaki pergi melaut. Pergaulan bebas diantara remaja juga sering terjadi sehingga ditemui beberapa kasus hamil di luar nikah sejak beberapa tahun terakhir, namun tidak ada sanksi sosial terhadap perbuatan mereka. Anak-anak memiliki keleluasaan bermain sepanjang waktu tanpa adanya pengawasan orang tua. Rumah sepi ketika ditinggal melaut oleh keluarga, dermaga dan lapangan menjadi lokasi yang digunakan anak-anak remaja untuk saling bertemu. 2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Bentang Alam Sulaho Salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kolaka Utara adalah Kecamatan Lasusua. Lasusua merupakan Ibukota kecamatan sekaligus Ibukota kabupaten Kolaka Utara. Desa Sulaho merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Lasusua dan wilayah kerja Puskesmas Lasusua. Desa Sulaho terbagi atas 4 dusun, yaitu yang disebut dengan Dusun 1, 2, 3 dan 4. Masyarakat Desa Sulaho terbiasa menyebut nama dusun dengan menyebut nomor meskipun setiap Dusun sebenarnya memiliki nama. Dusun Satu (1) memiliki nama Nusa Indah, Dusun 2 dengan nama Bunga Karang, Dusun 3 dengan nama Pasir Putih, sedangkan Dusun 4 disebut dengan Lanipa-nipa karena menurut historis dahulu banyak ditemukan pohon Nipa di wilayah tersebut. Dusun Lanipa-nipa merupakan wilayah yang terpisah secara geografis dari Desa Sulaho. Berbeda dengan tiga dusun yang lain, tidak terdapat Etnik Bajo di Dusun Lanipa-nipa,

26

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

sebagian besar penduduk adalah Etnik Bugis yang berasal dari Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka mulai datang ke Lanipanipa pada tahun 1970-an, saat banyak dilakukan penggergajian kayu di Sulaho dan kemudian hidup menetap di tempat tersebut. Meskipun secara geografis terpisah dari Desa Sulaho, secara infrastruktur dusun Lanipa-nipa memiliki akses transportasi darat yang lebih baik menuju ke jalan Poros Trans Sulawesi. Hal ini merupakan imbas dari adanya pertambangan di Potoa yang merupakan wilayah Dusun Lanipa-nipa, sehingga terjadi peningkatan infrastruktur di sana. Proses kehidupan sosial ekonomi yang terjadi juga lebih berkembang dibandingkan dengan Desa Sulaho sebagai induknya.

Gambar 2. 5. Perkampungan desa Sulaho Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Pertambangan yang pernah beroperasi di Desa Sulaho, berada di wilayah Potoa yang secara geografis terpisah oleh pegunungan dan tanjung. Akan tetapi proses eksplorasi tambang pada lereng pegunungan yang sama menimbulkan dampak 27

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

terhadap lingkungan di Desa Sulaho. Jika proses kerja tambang tengah berlangsung biasanya debu tambang akan beterbangan mengarah ke Desa Sulaho terutama saat angin kencang. Selain itu jika musim hujan turun, maka air di sekitar pantai di sepanjang Desa Sulaho cenderung berwarna merah dikarenakan longsoran tanah pada area eksplorasi lahan yang dengan mudah tergerus oleh air hujan. Desa Sulaho sebelah utara berbatasan dengan Desa Totallang yang dapat menembus jalan Poros Trans Sulawesi Kolaka-Kolaka Utara, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Lambai, sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Bone yang merupakan laut sepanjang mata menyapu pandangan dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Pitulua. Desa Sulaho berada di antara pegunungan yang memiliki derajat kemiringan mulai dari 30o sampai 45o, mengelilingi belakang perkampungan (barat, utara dan timur) membentuk setengah lingkaran. Pegunungan yang mengitari Desa Sulaho tersebut oleh masyarakat setempat disebut dengan pegunungan Sulaho. Sementara depan perkampungan (selatan) sepenuhnya adalah bibir pantai. Jarak tempuh Desa Sulaho ke Kecamatan Lasusua adalah 20 km dengan waktu tempuh 30-45 menit, jarak ke ibukota kabupaten adalah 25 km dan jarak ke ibukota propinsi adalah 311 km. Topografi desa cenderung didominasi oleh perbukitan dan pegunungan seluas 300 ha dan dataran hanya seluas 50 ha yang menjadi tempat tinggal masyarakat Desa Sulaho. Tinggi daratan dari permukaan laut hanya sekitar 0,5 sampai dengan 2 meter. Jarak rumah penduduk dari bibir pantai kurang dari dua meter. Dalam kondisi surut, jarak rumah dengan air laut menjadi lebih jauh sekitar 5-10 meter. Kondisi ini dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mencari kerang laut yang disebut seya dan keba’keba’ yang dapat dikonsumsi sehari-hari. Luas Desa Sulaho

28

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

adalah 24.04 ha, yang peruntukkannya terbagi untuk pemukiman, bangunan sekolah, perkantoran, tempat ibadah berupa masjid, pemakaman, lapangan sepak bola dan volley dan padang ilalang (Daftar Isian Profil Desa Sulaho, 2003). PITULUA

TOTALLANG SULAHO

TELUK BONE LAMBAI

Gambar 2. 6. Peta Desa Sulaho Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Desa Sulaho dapat dicapai melalui jalur laut dengan menggunakan perahu dari Kecamatan Lasusua dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. Terdapat jalur darat yang dapat ditempuh dari Desa Sulaho menembus jalan poros Trans Sulawesi, akan tetapi jalan ini memiliki tingkat kemiringan yang curam, kondisi tanah cenderung labil dan licin. Meskipun demikian, ada warga desa yang menggunakan jalan tersebut dengan mengendarai sepeda motor untuk mencapai Lasusua

29

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dengan alasan lebih cepat daripada naik perahu, yaitu sekitar 30 menit perjalanan. Selain itu, Desa Sulaho juga dapat diakses dari Kecamatan Lambai, sekitar 30 menit dengan menggunakan perahu. Kondisi geografis yang ada menyebabkan perahu menjadi transportasi yang paling sering digunakan oleh masyarakat. Mereka memiliki mobilitas ke Lasusua atau ke Lambai terutama untuk kepentingan berbelanja. Hari Senin, Rabu dan Jumat adalah hari pasar di Lasusua, sementara hari Selasa, Kamis dan Minggu adalah hari pasar di Lambai sehingga banyak warga Sulaho yang pergi untuk menjual ikan dan atau membeli kebutuhan sehari-hari. Wilayah pantai Sulaho dipenuhi dengan sampah, mulai dari sampah jenis plastik, kayu, kain dan sampah rumah tangga lainnya. Sebuah pemandangan yang sudah biasa dan lumrah, melihat penduduk membuang sebagian sampah ke pantai dengan alasan sampah akan pergi terbawa ombak laut. Sampah biasanya dibuang begitu saja di sekitar rumah, sehingga terhambur di sekitar lingkungan rumah. Sampah ditumpuk di sekitar lingkungan rumah dengan menggunakan pembatas kayu ala kadarnya pada keempat sisi, sehingga dengan mudah sampah berserakan kembali. Beberapa sumur warga yang dibiarkan terbengkalai/tidak digunakan menjadi tempat pembuangan sampah sehari-hari. Tidak ada warga yang memiliki tempat penampungan atau lokasi khusus sebagai tempat pembuangan sampah di lingkungan sekitar tempat tinggal. Sebagian warga membakar sampah yang telah menumpuk di sekitar rumah. Sampah yang banyak terhambur hampir di semua tempat di desa Sulaho mulai terjadi sejak pembinaan Depsos berhenti pada tahun 2000. Aroma tajam yang bersumber dari kotoran manusia seringkali dijumpai saat berjalan di pantai, karena kebiasaan warga melakukan aktivitas

30

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

buang air besar di pinggir laut. Menurut warga biasanya mereka buang air besar dengan cara menggali pasir terlebih dahulu dan kemudian menimbun tinja setelah buang air besar selesai dilakukan. Lapangan yang ada di tengah pemukiman biasanya dimanfaatkan sebagai tempat bermain sepak bola setiap sore hari oleh anak-anak lelaki maupun lelaki dewasa. Biasanya mereka bermain sepak bola tanpa mempedulikan hujan. Dalam lingkungan kompleks SD SMP satu atap Desa Sulaho terdapat lapangan bola volley, sehingga kadang kala mereka juga bermain bola volley pada sore hari. Aktivitas olah raga berupa sepak bola dan bolla volley ini juga diikuti oleh lelaki usia muda yang sedang tidak memiliki tanggungan pekerjaan. Selain itu tepat di sebelah lapangan, terdapat sebuah Balai Kesejahteraan Rakyat (Bakesra) yang merupakan pelayanan fasilitas kesehatan di desa tersebut. Bakesra di desa ini merupakan bantuan dari Depsos. Kebutuhan listrik di Desa Sulaho diperoleh dari sumber listrik non PLN. Sumber listrik yang digunakan oleh masyarakat setempat diantaranya adalah sumber listrik tenaga surya, genset, mesin diesel dan pelita. Listrik tenaga surya yang dimiliki desa merupakan bantuan Dinas Pertambangan dan telah dimanfaatkan oleh 32 rumah tangga awalnya. Pemanfaatan listrik tenaga surya digunakan untuk bermacam kebutuhan seperti menyalakan lampu dan menonton televisi, tetapi kini dengan berjalannya waktu dan tidak adanya perawatan sumber tenaga surya, maka banyak aki pada sumber tenaga surya yang rusak sehingga mengurangi kemampuan untuk men-supply sumber listrik ke rumah-rumah penduduk. Sebagian perangkat tenaga surya (berupa payung tenaga surya dan aki) yang ada di rumah warga dijual dengan alasan rusak. Mereka menjual dengan harga sekitar Rp. 500.000,- , atau ditukar dengan sekarung beras atau dibelanjakan kebutuhan

31

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

pokok. Genset biasanya digunakan di setiap rumah tangga, sementara satu mesin diesel dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik sekitar 3 – 4 rumah tangga secara bersamaan. Pada umumnya hewan yang menjadi peliharaan warga adalah kambing dan unggas seperti ayam (jenis potong maupun kampung) dan itik. Sebagian besar kambing tidak dimasukkan kandang setiap harinya sehingga berkeliaran bebas di lingkungan rumah bahkan masuk ke dalam rumah. Banyak cerita yang menyatakan bahwa kambing yang masuk ke dalam rumah memakan nasi atau beras dan cerita semacam itu merupakan kejadian yang dianggap wajar terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Meski terdapat sebagian pemilik yang menyediakan kandang, biasanya kambing hanya dikandangkan pada malam hari saja. Menurut cerita masyarakat, seringkali ada kambing yang masuk ke dalam rumah kemudian dipukul, dilukai atau ditombak oleh pemilik rumah dan dibuang begitu saja di sekitar pantai atau jalanan desa. Pemeliharaan hewan yang membiarkan hidup liar di pemukiman menyebabkan kotoran kambing berceceran di setiap tempat, mulai dari jalan, teras rumah, bahkan di dalam rumah. Kambing menjadi aset ekonomi sementara ayam biasanya selain sebagai aset ekonomi juga dimanfaatkan ketika rumah tangga mengadakan maccera’ (potong) ayam untuk acara tertentu. Masyarakat tidak menanam sayuran di sekitar lingkungan rumah tempat tinggal. Ada dua rumah tangga yang menanam sayur berupa ubi, kacang tanah, tomat maupun cabai untuk kebutuhan sendiri di pekarangan rumah mereka. Beberapa halaman rumah dan sekitar pantai, khususnya di dusun 3 tumbuh banyak pohon kelapa. Tanah perkebunan di pegunungan Sulaho yang umumnya ditanami cengkeh maupun jambu mete tetapi tidak dirawat dengan baik oleh warga, ada yang membiarkannya begitu saja dikarenakan akses yang sulit

32

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

menuju lokasi sehingga dinilai tidak memberikan hasil, namun ada juga yang sesekali memanen hasil kebunnya. 2.2.2. Kependudukan Etnik Bajo di Sulaho Pada tahun 2011 jumlah penduduk Kabupaten Kolaka Utara sebanyak 127.015 jiwa dan pada tahun 2012 bertambah menjadi 130.531 jiwa atau meningkat 2,77 % (Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara, 2013). Jumlah penduduk kecamatan Lasusua pada tahun 2012 sebesar 24,855 jiwa, dengan jumlah penduduk terkecil adalah Desa Sulaho sebesar 621 jiwa dengan persebaran sekitar 2,50% dari total jumlah penduduk Kecamatan Lasusua (BPS, 2013). Hampir seluruh penduduk Desa Sulaho merupakan Etnik Bajo. Penelusuran terhadap data kependudukan Desa Sulaho tidak dapat diperoleh, sehingga tim peneliti melakukan pendataan secara langsung per Juli 2014. Jumlah penduduk Desa Sulaho sebanyak 682 jiwa, dengan rincian 456 jiwa tersebar di dusun 1-3 yang sebagian besar merupakan Etnik Bajo, sementara sebanyak 226 jiwa Etnik bugis berdiam di dusun 4 yang secara geografis terpisah dari dusun 1-3. Berikut jumlah penduduk Desa Sulaho di dusun 1-3 berdasarkan kategori Etnik; Tabel 2. 1. Klasifikasi Warga Dusun 1-3 Desa Sulaho berdasarkan Etnik Etnik Bajo Bugis Campuran Bajo Bugis Lain-lain Jumlah

Jumlah 313 39 42 62 456

Sumber : Data primer penelitian 2014

33

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pada umumnya masyarakat Desa Sulaho tidak hafal dengan baik tahun kelahiran mereka. Tim peneliti harus melihat kartu keluarga (KK) untuk mengetahui umur informan, bahkan ditemukan pasangan suami istri yang tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) maupun Kartu Keluarga. Seringkali pula dijumpai ketidaksesuaian data dalam KK atau KTP dengan umur riil seseorang, sehingga umur diketahui berdasarkan pengakuan informan maupun perkiraan orang sekitarnya. Ada pula mereka yang tidak dapat mengingat dengan baik kejadian di masa lampau yang dialami untuk dijadikan patokan menghitung umur sehingga akhirnya mengandalkan perkiraan saja. Sebanyak 171 jiwa merupakan usia 5-18 tahun yang masuk pada usia sekolah taman kanak-kanak (TK) sampai dengan sekolah menengah atas (SMA). Sebanyak 128 jiwa berada pada rentang usia 19-50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 65.57% penduduk Desa Sulaho merupakan usia produktif. Data penduduk Desa Sulaho (dusun 1-3) berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 2.2. Sekolah Dasar (SD) di desa ini telah berdiri sejak tahun 1982, Sekolah Menengah Pertama (SMP) berdiri pada tahun 2007 dan diikuti dengan Taman Kanak-Kanak pada tahun 2012. Tidak banyak anak yang mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di TK ini. Menurut banyak orang tua, anak-anak merasa bosan karena hanya diajarkan menyanyi saja sehingga anak enggan untuk melanjutkan KBM dan orang tuapun memaklumi hal tersebut. Biasanya anak-anak di Desa Sulaho masuk SD pada usia 6 atau 7 tahun.

34

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Tabel 2. 2. Jumlah Penduduk Desa Sulaho berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Golongan Umur 0 - 12 bulan 13 bulan – 4 tahun 5-6 tahun 7-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun 19-25 tahun 26-35 tahun 36-45 tahun 46-50 tahun 51-60 tahun 61-75 tahun >75 tahun

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 8 6 21 12 18 11 46 37 15 22 10 12 35 26 44 37 27 24 10 5 11 8 4 6 1 250 206

Jumlah 14 33 29 83 37 22 61 81 51 15 19 10 1 456

Sumber: Data primer penelitian 2014

Banyak anak yang seringkali tidak masuk sekolah dan orang tua membiarkan mereka ikut melaut pada waktu-waktu sekolah. Ada pula orang tua yang membawa anak-anak mereka pergi ke sebuah pulau tertentu untuk mencari sumber rezeki, seperti mencari ikan sunu atau teripang. Biasanya mereka pergi selama berbulan-bulan bahkan lebih dari satu tahun. Hal ini membuat anak berada pada jenjang kelas yang sama seperti saat dia pergi meninggalkan kampung, karena selama pergi biasanya tidak bersekolah. Banyak anak-anak yang seharusnya sudah duduk di bangku SMP atau SMA, masih duduk di bangku SD atau SMP. Kurangnya dorongan orang tua terhadap pendidikan anak menyebabkan angka putus sekolah di Desa Sulaho tinggi. Hal ini seperti diungkapkan oleh salah seorang guru di SDN Sulaho sebagai berikut:

35

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

“Nah itulah kekurangannya anak-anak di sini, kelalaian orang tua sebenarnya, walaupun dia orang sekolah, anaknya tinggal main, begitu, kurang dorongan…begitulah orang tuanya kurang dalam masalah pendidikan, makanya selalu bawa anaknya kesana-kemari, akhirnya tidak sekolah, sekolah sudah lama, ada muridnya, namun begitulah tidak nampak, karena tidak ada yang lanjut, begitu tamat SD sudah melaut lagi” (Sw, 56 tahun).

Pihak sekolah menyatakan telah memberikan pemahaman kepada orang tua untuk menyekolahkan anaknya, tetapi hal tersebut biasanya kurang mendapatkan respon yang baik. Orang tua membiarkan anak mereka bersahabat dengan laut seperti halnya kehidupan mereka pada masa lalu, sekaligus memupuk kemauan dan kemampuan anak untuk mencari uang (sumber penghidupan) menopang ekonomi keluarga, khususnya bagi anak laki-laki. Namun demikian, ada alumni SD dan SMP Sulaho yang kini tengah menempuh pendidikan tinggi pada jenjang S1 sebanyak empat orang dan D3 sebanyak tiga orang dan satu diantaranya kini telah bekerja. Pergaulan anak-anak yang berbeda jenis kelamin pada bangku Sekolah Dasar (SD) dengan dukungan kebiasaan pacaran pada masa tersebut, menjadi salah satu penyebab munculnya kasus hamil di luar nikah. Anak-anak di desa ini sudah mulai berpacaran sejak SD dan pada beberapa kasus terjadi kasus kehamilan saat menempuh pendidikan pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sebenarnya, usia pernikahan yang dianggap ideal oleh masyarakat adalah seorang laki-laki dan perempuan yang berusia 17 tahun karena sudah dianggap mampu mengurus rumah tangga. Namun realitanya banyak pernikahan yang terjadi pada usia 14 sampai dengan 15 tahun, sehingga seringkali dapat muncul percecokkan karena usia masih

36

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

relatif muda. Seorang perempuan berusia 15 tahun dinilai memiliki kondisi kandungan yang masih bagus untuk dapat melahirkan dan memiliki banyak anak. Sementara masuk pada usia 30 tahun sudah tidak baik bagi seorang perempuan untuk melahirkan, meskipun faktanya banyak perempuan di desa ini yang masih melahirkan pada usia di atas 30 tahun karena umumnya mereka memiliki banyak anak dengan jarak kelahiran yang relatif dekat, sekitar 1 sampai 2 tahun. Pendapat lain dari generasi yang lebih tua, menganggap bahwa perempuan sebaiknya menikah tidak lebih dari 25 tahun karena kondisi fisik di masa yang akan datang sudah tidak kuat untuk dapat mengurus anak-anaknya. Anak-anak muda biasanya berkumpul di dermaga pada sore hari. Kegiatan memancing ikan atau cumi atau anak-anak kecil yang berenang di sekitar dermaga, mencari cacing atau kerang ketika laut surut menjadi aktivitas rutin yang dilakukan. Anak-anak perempuan biasanya mengobrol di dermaga, rumah warga, atau pinggir pantai dan seringkali juga terjadi obrolan antara muda-mudi. Siang hari seringkali terlihat anak-anak muda bermain kartu yang mereka sebut dengan permainan “song”. Ada orang tua yang terlibat juga dalam permainan tersebut. Ada kebiasaan anak muda yaitu minum air tuak yang diambil dari pohon sagu yang disebut oleh masyarakat setempat dengan balok. Mereka mendapatkan minuman tersebut dengan cara membeli di Totallang yang tak jauh dari Sulaho. Kebiasaan ini tidak hanya dilakukan oleh anak muda saja, tetapi juga oleh orang tua sehingga kemungkinan kebiasaan itu merupakan perilaku duplikasi dari orang tua. Selain balok, biasanya air yang digunakan untuk minum adalah alkohol, atau minuman bersoda yang dicampur dengan minuman kemasan Kuku Bima. Orang tua umumnya telah mengetahui kebiasaan tersebut dan sepertinya

37

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

hal itu menjadi kebiasaan lumrah dan ditolerir dalam bagian kehidupan sehari-hari masyarakat Sulaho. Ketika kegiatan melaut sedang tidak dilakukan biasanya beberapa orang laki-laki berkumpul di depan rumah sekedar bercerita atau bercengkrama sambil memperbaiki jaring, pancing dan sebagainya. Berbeda dengan kaum perempuan yang dapat berkumpul setiap saat di rumah-rumah warga setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, salah satunya dengan mencari kutu secara bergiliran. Setelah penggunaan bom ikan dilarang, ibu rumah tangga yang sebelumnya berjualan ikan kini tak lagi bekerja. Mereka hanya menjalankan aktivitas rumah tangga saja dalam kesehariannya karena perempuan di Desa Sulaho umumnya tidak ikut pergi melaut, jikapun ada yang ikut melaut tidak setiap waktu. Ibu-ibu mempunyai kebiasaan mencuci atau mandi di sumur bersama-sama, sambil mandi dan mencuci terdengar suara-suara perempuan sedang bercerita dengan canda yang saling mereka lontarkan. 2.2.3. Pemukiman Penduduk di Sulaho Penataan pemukiman penduduk yang sekarang terus berkembang tidak terlepas dari campur tangan Depsos pada tahun 1995-2000. Pola pemukiman yang ada cenderung menggerombol mengikuti jalan utama desa. Rumah-rumah berjajar di sebelah utara dan selatan desa. Pada umumnya merupakan rumah yang berada di pinggir pantai sebelum adanya pembangunan rumah oleh Depsos. Pasca kehadiran Depsos rumah warga dipindahkan ke kaki pegunungan Sulaho memanjang dari arah barat ke timur. Dalam perkembangannya, banyak warga yang memindahkan rumahnya dekat pantai. Hal ini dilakukan karena alasan akses ke laut lebih mudah dibandingkan sebelumnya. Dusun satu terdiri atas 30 KK,

38

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dengan kondisi rumah warga bergerombol. Antara beberapa rumah di dusun satu ini terpisah oleh jalan dan sebuah sungai yang membelah sepanjang desa dari barat ke timur. Dusun satu ini berada di ujung barat desa. Wilayah sebelahnya adalah dusun dua yang dibatasi oleh jembatan kayu antara dusun 1 dan dusun 2. Rumah di dusun 2 ini terdiri atas 25 KK, letak rumah berdekatan antara satu dengan lainnya dengan letak berjajar. Deretan rumah terbagi menjadi dua yang terpisah oleh jalan utama desa dan fasilitas umum desa berupa lapangan, kompleks sekolah dan Bakesra. Dusun 3 memiliki jumlah KK terbanyak yaitu 41 KK. Serupa dengan tata ruang dusun 2, rumah-rumah di dusun 3 berderet terbagi atas 4 kelompok deretan yang terpisah oleh dua jalan utama. Terdapat rumah pada masing-masing sisi jalan utama desa, sehingga deretan rumah itu saling berhadapan. Ada beberapa rumah yang memiliki pagar kayu mengelilingi rumah, sementara sebagian besar hanya tersisa bekas-bekas pagar di sekeliling rumah dan lainnya sudah tidak lagi berpagar. Sebagian besar rumah warga merupakan rumah kayu, sebagian kecil lainnya merupakan rumah semi permanen dengan dinding separoh tembok di bagian bawah dan bagian atas kayu. Selain itu, ada 6 buah rumah berdinding tembok/batu (permanen) dan terdapat dua buah rumah panggung. Sebagian besar rumah adalah rumah berukuran 7x5 M yang merupakan rumah pemberian Depsos. Dalam perkembangannya, luas rumah di Desa Sulaho cukup bervariasi, seperti penambahan bangunan rumah untuk keperluan dapur. Ada pula rumah bertipe kecil 4x5 M untuk keluarga yang baru pindah dari rumah orang tua setelah menikah atau memang membangun rumah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Rumah lainnya yang lebih besar berukuran sekitar 9x6 M.

39

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Umumnya setiap rumah memiliki jendela pada bagian depan rumah dan kamar. Meskipun ada rumah yang tidak memiliki jendela, tetapi lubang udara antara dinding-dinding papan memberikan keleluasaan terjadinya proses sirkulasi udara dalam rumah. Setiap rumah batu juga telah memiliki jendela pada bagian depan rumah dan setiap kamar. Dahulu sebelum Depsos memberikan bantuan, pada umumnya rumah warga merupakan rumah jenis panggung yang berbahan kayu pada tiang, pintu dan lantai dengan ukuran 4x5 m. Penyangga rumah merupakan kayu gelondong yang terdiri atas 9 buah kayu secara berurutan menopang bagian depan, tengah dan belakang masing-masing tiga buah berjajar. Dinding terbuat dari daun nipa, begitu juga dengan atapnya. Lantai tersusun dari bahan yang terbuat dari papan. Seringkali bambu yang dibelah juga dimanfaatkan untuk lantai. Terdapat pula rumah dengan lantai pasir. Daun nipa dimanfaatkan sebagai dinding dan jendela. Sebagian diantaranya tidak terdapat pembagian fungsi ruangan dalam rumah yang ditandai dengan adanya penyekatan ruangan dalam rumah, jikapun ada penyekatan yang tidak sempurna dengan memanfaatkan daun nipa yang dijahit dengan rotan atau bahan seadanya yang mudah didapatkan di sekitar tempat tinggal. Pasca pembinaan Depsos, maka rumah-rumah di desa Sulaho mengalami perubahan yang cukup signifikan. Rumah yang dibangun merupakan rumah dengan dinding yang terbuat dari kayu. Papan kayu tersusun secara horizontal sedemikian rupa sebagai dinding, atap terbuat dari seng dan lantai adalah tanah. Terdapat dua kamar pada setiap petak rumah dan kakus cemplung dibangun untuk digunakan oleh beberapa rumah tangga secara komunal. Kini hanya tersisa satu kakus cemplung saja di Sulaho. Adanya penyekatan kamar menunjukkan bahwa telah dilakukan edukasi tentang fungsi ruangan dalam rumah.

40

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Saat ini, masih terdapat sebagian rumah yang memanfaatkan daun nipa sebagai atap. Daun nipa juga digunakan sebagai penutup bagian atas samping rumah pada sisi depan dan belakang rumah. Sebagian rumah telah dipasang plafon dengan menggunakan karung plastik yang dijahit. Rumah yang tidak memiliki plafon biasanya tampak atap rumah berupa seng dan jarak dinding papan teratas dengan kerangka atap cukup longgar, sehingga udara sangat mudah masuk ke dalam rumah. Selain itu umumnya terdapat jendela berukuran 70 x 35 cm pada setiap rumah yang terdapat di bagian depan rumah dan setiap kamar. Bagian atas rumah pada bagian depan dan belakang rumah terdapat rangka segitiga yang biasanya ditutup dengan nipa, papan atau terpal plastik yang tidak tertutup sepenuhnya.

Gambar 2. 7. Rumah Bedah P2-WKSS Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

41

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pada tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara memberikan bantuan berupa bedah dan renovasi rumah penduduk berdasarkan tingkat kerusakan. Kala itu rumah Pak Dm merupakan salah satu rumah yang dibedah total, sehingga kini rumahnya tampak kokoh dibanding rumah lainnya. Dahulu rumah yang ditempatinya hampir roboh dan kini menjadi salah satu rumah yang dianggap kokoh dan bagus di antara rumahrumah yang ada di Desa Sulaho. 2.3. Religi 2.3.1. Kosmologi Masyarakat bajo di Desa Sulaho beragama Islam, tetapi dalam kehidupan mereka sehari-hari masih mempraktekkan kepercayaan lokal seperti memberikan sesaji terhadap penjaga rumah. Berkaitan dengan kehidupan manusia yang hidup dalam lingkungan alam, maka dalam kehidupan masyarakat setempat juga masih terdapat kepercayaan adanya mahkluk halus di sekeliling kehidupan mereka. Mereka percaya adanya penunggu dalam setiap rumah yang biasanya dihormati dengan pemberian sesaji berupa doa dan makanan pada pusat rumah (possi bola). Hal ini dilakukan dalam setiap jenis acara yang digelar oleh sebuah rumah tangga. Makanan biasanya ditempatkan dalam sebuah baki (kappara) dan diletakkan tepat di tengah rumah kemudian didoakan oleh sanro kampong sembari dibakarkan “dupa-dupa” (bisa dengan dupa atau bara api yang diberikan gula pasir). Peranan upacara (baik ritual maupun seremonial) adalah untuk mengingatkan manusia dalam hubungannya dengan lingkungan. Dikenal beberapa tempat yang dianggap angker atau memiliki penunggu, yaitu dua pekuburan di bagian ujung desa juga pohon ketapang yang terdapat di dua lokasi, yaitu yang

42

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tumbuh berseberangan dengan kuburan dan sebuah lagi yang tumbuh di pinggir sungai tepat sebelah jembatan desa di dusun 1

Gambar 2. 8. Pohon Ketapang dan Pekuburan Desa Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Generasi tua di Sulaho pada umumnya mengetahui persis adanya mahkluk halus yang dipercaya dapat memberikan bermacam pertolongan untuk mereka yang disebut dengan Putri Tujuh dan Tuan Sayye’. Putri Tujuh (merupakan tujuh putri cantik jelita) dan Tuan Sayye’ (merupakan sosok lelaki yang selalu bersama dengan Putri Tujuh, ada pula warga yang mendeskripsikan sebagai biksu). Tujuh putri ini diketahui tinggal di sebuah pulau bernama Lambasina, kawasan perairan Kolaka. Sebuah pulau yang memiliki tujuh sumur dengan ukuran berbeda secara berurutan dari ukuran besar sampai terkecil. Tuan Sayye’ diakui memiliki posisi lebih tinggi dari Tujuh Putri, dan keduanya merupakan perantara yang dipercaya dapat menyampaikan doa mereka kepada Tuhan. Sebuah Ritual mattoana biasanya digelar sebagai upaya permintaan atau wujud syukur atas pertolongan yang diberikan oleh Putri Tujuh dan Tuan Sayye’. Mereka percaya adanya mahkluk halus dalam lingkungan hidup manusia. Salah satu di antaranya adalah kepercayaan adanya kandole (kuntilanak). Mahkluk tersebut dideskripsikan sebagai perempuan dengan balutan kain putih, berlubang pada

43

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

bagian punggung, beberapa menyebut pada bagian punggungnya terdapat bola api dan biasanya terbang pada malam hari. Mahkluk halus jenis ini dipercaya sebagai penjelmaan dari orang yang meninggal saat masa hamil atau dalam proses melahirkan. Bambu (buloh) diakui sebagai senjata yang ampuh untuk mencegah orang yang telah meninggal menjadi kandole. Begitu diketahui terdapat perempuan meninggal karena hamil atau melahirkan maka seseorang dengan diam-diam harus menempatkan buloh pada kedua bagian ketiak masing-masing satu buah dan pada bagian vagina satu buah sebelum dibungkus dengan kain kafan. Selain itu, bambu dapat ditajamkan terlebih dahulu pada bagian ujung dan kemudian ditancapkan di atas tanah kuburan seseorang yang diyakini menjadi kandole. Terdapat dua macam kandole, yaitu kandole yang berasal dari orang mati dan kandole dikarenakan ilmu (jadi-jadian). Dikenal adanya manusia jadi-jadian karena memiliki ilmu tinggi yang disebut dengan poppok dan parakang. Poppok biasanya mencuri bahan makanan seperti ikan, nangka dan pisang. Poppok ini bisa merubah diri menjadi benda-benda yang berada di sekitar tempat tinggal, seperti keranjang atau drum dan lain sebagainya. Menurut masyarakat, poppok yang berkeliaran merupakan roh seorang manusia. Parakang adalah makhluk jadi-jadian yang memiliki kemampuan untuk menghilang, sehingga tidak dapat terlihat secara kasat mata. Apabila menampakkan diri pada manusia, matanya terlihat merah dan lidahnya panjang menjulur keluar. Parakang dipercaya dapat menyebabkan orang meninggal. Petanda bahwa seseorang terkena parakang adalah biasanya merasa sakit pada bagian perut dan mengalami mencret dengan warna kotoran hitam. Tanda seseorang yang meninggal karena dimakan parakang, diantaranya lubang anus terlihat lebar sebesar kepalan tangan orang dewasa. Entah bagaimana caranya,

44

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

parakang diyakini telah memakan bagian isi perut orang yang meninggal. 2.3.2. Siklus Perjalanan Kehidupan Manusia Etnik Bajo di Sulaho Setiap masyarakat memiliki falsafah hidup yang dianggap sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Salah satunya adalah arti keberadaan anak dalam sebuah keluarga. Biasanya anak laki-laki dan perempuan memiliki arti yang berbeda pula dalam pandangan masyarakat, termasuk di Desa Sulaho. Anak lelaki usia 8 tahun di Desa Sulaho sudah mulai ikut melaut bersama orang tua atau kerabatnya. Hal ini menyebabkan anak laki-laki pada usia muda telah piawai dan berkontribusi dalam pekerjaan melaut sehari-hari. Laki-laki dipandang sebagai sumber kekayaan atau modal karena dapat membantu menopang ekonomi keluarga sebelum menikah. Sementara anak perempuan juga memiliki arti tersendiri. Ibu Rs (43 tahun), ia memiliki 11 anak, dan 3 anak yang lain meninggal, sehingga jika semua anaknya hidup ia mempunyai 14 anak. Jumlah anak banyak ini dipengaruhi oleh keinginannya untuk memiliki anak perempuan. Anak perempuan umumnya dianggap sebagai sosok yang tepat untuk merawat orang tua ketika telah memasuki usia lanjut. Dalam tahapan tertentu perjalanan kehidupan manusia biasanya selalu diperingati dengan kegiatan/acara sebagai tanda atau babak baru yang telah terlewati sejak manusia terlahir hingga akhirnya seorang manusia meninggal. Kelahiran anak dalam sebuah rumah tangga selalu menjadi momentum penting dalam semua konteks kehidupan, salah satunya dalam dimensi keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam penyelenggaraan aqiqah. Aqiqah merupakan sebuah ritual dalam agama Islam yang berarti menyembelih kambing pada hari ketujuh dari kelahiran seorang

45

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

bayi sebagai ungkapan syukur atas rahmat Tuhan berupa kelahiran seorang anak. Dua ekor kambing yang disembelih untuk bayi lelaki dan satu ekor kambing untuk bayi perempuan. Aqiqah biasanya disertai dengan acara cukur rambut bayi dan memberi nama. Kegiatan aqiqah di Desa Sulaho tidak selalu dilakukan pada hari ketujuh pasca kelahiran, dikarenakan aqiqah biasanya dilakukan ketika orang tua telah memiliki cukup uang untuk membeli kambing dan bahan-bahan untuk penyelenggaraan acara tersebut. Imam Desa biasanya bertugas untuk memotong hewan aqiqah dan pencukuran rambut bayi. Beberapa diantaranya melakukan kegiatan berdoa (Barasanji) yang dilakukan dengan menyertakan makanan tertentu, seperti masakan beras ketan (sokko) dan ayam sebagai syarat ketika mendoa. Makanan ditempatkan di tengah dikelilingi oleh orangorang yang berdoa. Namun demikian barasanji biasanya dipimpin oleh pemuka agama berasal dari luar Desa Sulaho karena tidak terdapat orang di Desa tersebut yang pintar dengan praktek barasanji selain barasanji merupakan kebiasaan masyarakat Bugis. Proses adat yang dilakukan pada kehidupan selanjutnya adalah sunat, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Proses adat pada tahapan laki-laki dan perempuan yang dewasa adalah menikah. Pada acara ini, dilakukan beberapa rangkaian sebelum perkawinan terjadi. Tahapan acara tersebut diantaranya adalah: 1. Mammanu’-manu’, yaitu menanyakan kepada pihak perempuan apakah bersedia untuk menikah, membicarakan jumlah uang panaik/mahar dan proses ini akan dilanjutkan pada proses pelamaran; 2. Madduta resmi, yaitu menentukan kapan uang panaik akan diberikan kepada calon mempelai perempuan. Uang tersebut biasanya digunakan untuk mengadakan pesta;

46

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

3. Perkawinan. Sebelum hari perkawinan, telah dilakukan pembentukan panitia oleh kerabat dekat, misalnya untuk konsumsi, transportasi dan lainnya, masing-masing ada penanggung jawabnya. Umumnya acara perkawinan diselenggarakan dengan mengundang hiburan berupa electone (band). Tidak ada alunan musik tradisional. Setiap pesta perkawinan yang mengundang electone memberikan kesempatan bagi muda-mudi untuk melakukan tarian lulo. Kehidupan setiap manusia akan berakhir saat datangnya kematian. Adanya informasi atau berita tentang seseorang yang meninggal diperoleh warga desa dari mulut ke mulut saja. Tidak ada pengumuman resmi misalnya melalui masjid. Mekanisme ini dianggap sudah dapat menyebarkan informasi secara cepat. Banyak anak-anak yang biasanya dengan sigap menyampaikan kabar kepada orang tua masing-masing atau orang yang ditemui di jalan sehingga berita duka tersebut dengan cepat diketahui. Biasanya orang yang meninggal di desa ini segera dikuburkan, kecuali jika harus menunggu keluarga jauh yang menginginkan melihat jenazah sebelum dikuburkan. Terdapat kepercayaan sejak nenek moyang bahwa roh seseorang yang telah meninggal masih berkeliaran di sekitar rumah selama 40 hari pasca meninggal, sehingga tempat-tempat yang biasanya digunakan oleh orang yang mati sehari-hari harus dirapikan dengan baik karena akan ditempati, hanya saja manusia tidak bisa melihat atau mendengar kedatangan dan keberadaannya. Saat seseorang meninggal diberikan sesaji yang terdiri atas nasi, telur rebus dan segelas air putih yang ditempatkan dalam sebuah kappara/baki sebagai bekal yang akan dibawa oleh orang mati tersebut. Sehingga pada hari selanjutnya sudah tidak dibuatkan sesaji semacam itu. Orang yang melayat umumnya menyumbang uang seikhlasnya, biasanya dimanfaatkan untuk

47

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

membiayai keperluan menjamu orang yang berdatangan ke rumah duka. Pada saat keranda hendak diberangkatkan ke kuburan, keranda berisi jenazah dinaik turunkan sebanyak tiga kali sembari diucapkan kalimat Allahu Akbar sebagai simbol memohon izin untuk pergi selamanya. Sebelum proses menggali liang kubur, terdapat istilah buka tanah yang dilakukan oleh orang-orang tua tertentu dengan cara mengambil segenggam tanah sebelum digali, kemudian barulah liang kubur digali. Setelah jenazah dikuburkan segenggam tanah kembali diambil dan diletakkan di atas gundukan tanah kubur sebagai penutup prosesi buka tanah. Ada kegiatan untuk mendoakan orang meninggal yang disebut dengan matta’sia yang diawali dengan kegiatan ceramah oleh salah seorang pemuka agama setempat, dilanjutkan dengan mengaji yang dipimpin oleh seseorang dan diikuti oleh semua orang yang hadir baik laki-laki maupun perempuan. Kegiatan matta’sia ini biasanya dilakukan sampai dengan hari ketiga atau sampai dengan hari ketujuh pasca kematian. Peringatan kematian dilakukan kembali pada hari ke 40 dengan melakukan matta’sia dan penyembelihan seekor kambing yang diyakini sebagai kendaraan orang mati di alamnya. Peringatan kematian terakhir dilakukan pada hari ke 100 pasca kematian seseorang. 2.3.3. Praktek Keagamaan Seluruh penduduk di Sulaho beragama Islam. Tidak banyak kegiatan di masjid yang dilakukan oleh orang dewasa di Sulaho. Hal ini turut dipengaruhi oleh faktor pekerjaan yang mengharuskan sebagian besar laki-laki dewasa pergi melaut menjelang sore hingga dini hari atau bahkan bermalam di laut, sementara ibu-ibu tinggal di rumah untuk menjaga anak atau mengerjakan pekerjaan domestik. Kegiatan keagamaan yang

48

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dilakukan berupa kegiatan dalam rangka pelaksanaan peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Isra Miraj. Tim peneliti mengikuti penyelenggaraan peringatan Isra Miraj di desa ini. Setiap rumah tangga memiliki kewajiban untuk mengumpulkan kue, makanan ringan atau minuman sesuai dengan kemampuan untuk dikumpulkan di masjid. Kue yang dikumpulkan sebagian besar adalah kue bolu yang dibuat sendiri atau diperoleh dengan cara memesan kepada tetangga. Peringatan semacam ini rupanya kurang diminati oleh kelompok orang dewasa. Anak-anak mengantarkan kue sekaligus mengikuti acara tersebut, sehingga sebagian besar jamaah yang hadir adalah anak-anak. Kaum ibu tampak duduk menyandar di dinding masjid, jumlahnya tak lebih dari 30 orang ditambah anakanak perempuan yang berkerumun di sekitar mereka. Banyak pula ibu-ibu yang memangku anak-anak mereka yang masih kecil. Tampak beberapa ibu tengah sibuk menyusun makanan yang dibawa oleh warga dan memasukkan makanan tersebut dalam kardus-kardus kecil. Tak jauh dari mimbar berderet kaum lelaki yang didominasi oleh anak-anak pula. Remaja dan orang tua tak lebih dari 20 orang di antara anak kecil yang hadir dalam acara tersebut. Pada acara seperti ini orang tua telah terbiasa mendelegasikan anak-anaknya yang masih kecil untuk mengikuti peringatan Isra Miraj dan acara sejenis. Acara dimulai dengan pembukaan, pembacaan ayat suci Al Quran, sambutan Kepala Desa, tausiyah dan diakhiri dengan makan bersama. Anak-anak mulai berebut makanan yang ada, sementara ibu-ibu berusaha membuat anak-anak tenang dengan berucap untuk tidak berebut karena setiap anak akan mendapatkan bagian. Beberapa bapak dan ibu menikmati makan mereka di masjid sementara yang lainnya bergegas pulang setelah mendapatkan bagian. Beberapa ibu tampak menyapu pandangan mencari wadah yang tadinya

49

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

digunakan sebagai tempat kue. Semua anak membawa makanan yang di dapatnya menuju luar masjid. Gambaran pelaksanaan acara tersebut, berlaku pula untuk peringatan acara keagamaan sejenis, seperti peringatan Maulid Nabi. Dalam rangka memasuki hari puasa, tepatnya sehari sebelum puasa dan hari raya idul fitri biasanya dilakukan kegiatan membaca (mabbaca) doa oleh salah satu sanro kampung yang ditujukan untuk anggota keluarga yang sudah meninggal. Sanro biasanya diundang oleh rumah tangga tertentu untuk mengirimkan doa. Ritual dilakukan dengan membakar dupa/ kemenyan, membaca doa, mantra serta membaca surat tertentu dalam Al Qur’an. Disediakan makanan yang dibuat sebagai syarat seperti sokko, leppe’-leppe’, buras dan kue lainnya tergantung kemauan pemilik hajat. Jika yang meninggal laki-laki maka ada korek api dan rokok di antara makanan yang disajikan karena semasa hidupnya mereka biasanya merokok. Sanro membacakan doa dari rumah ke rumah sesuai dengan panggilan orang yang membutuhkan jasanya sebagai perantara pengirim doa untuk orang mati. Sedekah yang dapat diperoleh sanro sebesar Rp. 15.000,- s.d Rp. 400.000,- dari semua rumah tangga yang didatanginya. Kegiatan keagamaan yang dilakukan anak-anak adalah kegiatan mengaji yang dirintis secara intensif oleh salah seorang penggerak keagamaan sekaligus guru pendidikan agama Islam di SDN Sulaho sejak tahun 1996. Ia seorang Etnik Sinjai, pendatang yang telah berdomisili di Desa Sulaho sejak tahun 1995. Berawal dari peran sebagai petugas pendamping kesehatan dalam pengembangan program PKSMT akhirnya menetap dan menjadi warga Desa Sulaho. Bersama istrinya ia memberikan pelajaran mengaji dan keagamaan kepada anak-anak. Pada tahun 1997 berdiri TK TPA yang menginduk di Kecamatan Lasusua, namun TK

50

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

TPA ini ternyata tidak dapat bertahan lama dan berhenti tahun 1998. Kegiatan keagamaan untuk anak-anak lainnya adalah membimbing tuntunan sholat, hafalan doa-doa, dan kini tengah dirintis upaya untuk meningkatkan kemampuan anak memahami terjemahan Al Qur’an, seperti surat Al Fatihah. Sebenarnya sejak lama ada guru mengaji sukarela sebanyak dua orang, satu diantaranya karena usianya sudah tua dan sibuk dengan pekerjaan mapalele, ia tidak lagi mengajar karena tidak ada cukup waktu dan tenaga, satu lainnya memilih berhenti karena mengakui bahwa bacaan tajwid-nya belum sempurna. Sebuah gambaran bahwa ritme kehidupan agama telah dipondasi sejak dini. Kegiatan mengaji dilakukan dua kali setiap hari yaitu pagi hari, sekitar jam 06.00 WITA sebelum berangkat sekolah dan siang hari sekitar jam 12.00 WITA atau sore hari, setelah sholat ashar. Pada jam 6 pagi biasanya guru mengaji mengajari anakanak selama 20-30 menit sebelum anak-anak berangkat sekolah. Biasanya anak telah mengenakan seragam sekolah. Ada sekitar 30 anak yang mengaji dan tersebar pada 4 guru mengaji. Ada pula pembinaan remaja masjid oleh guru mengaji. Selain itu terdapat maccera ayam ketika seorang anak dapat menamatkan bacaan Al Qur’an (khatam) yang disebut dengan cera’ baca. Acara biasanya dilakukan di rumah santri dengan mengundang guru mengaji. Bermacam makanan dibuat oleh empunya rumah seperti sokko hitam dan putih serta opor ayam. Ruangan sebagai tempat berlangsungnya cera’ baca telah ditata sedemikian rupa lengkap dengan makanan tersebut lalu sebuah Al Qur’an dan mukena diletakkan di atas bantal. Anak yang hendak melakukan cera’ baca mengenakan mukena dan duduk berhadapan dengan guru mengaji. Anak menirukan suratsurat tertentu dalam Al Qur’an yang dibaca oleh guru mengaji

51

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dan selanjutnya guru mengaji menyimak ayat demi ayat tertentu dalam Al Qur’an yang dibaca oleh anak tersebut. 2.3.4. Praktek Kepercayaan Tradisional 2.3.4.1. Mattoana Selain peringatan keagamaan Islam, ada pula praktek upacara lokal yang dipercaya dapat menghindarkan dari bahaya. Salah satunya adalah mattoana. Berdasarkan arti katanya, mattoana berarti menjamu tamu, namun demikian masyarakat mengartikan mattoana sebagai sebuah ritual agar terhindar dari bencana. Mattoana adalah salah satu acara yang dilakukan oleh nenek moyang Etnik bajo, secara turun temurun dipercaya sebagai upaya tolak bala terhadap bencana, penyakit dan meluluskan permintaan tertentu. “Kalo dia susah rejeki anaknya turun di laut, na bilang kasih rejeki anakku baru ada rejeki saya menghadap sama kita, namanya mattoana, meminta-minta” (Ec,41 tahun)

Mattoana juga dapat dilakukan sebagai wujud syukur dengan berniat akan melakukan mattoana jika apa yang diinginkan atau diharapkan tercapai. Saat ini tidak banyak lagi orang di Sulaho yang melaksanakan acara tersebut, karena orang-orang tua yang dahulu terbiasa untuk melakukan acara tersebut sudah meninggal dan tidak terjadi proses regenerasi memimpin pelaksanaan ritual tersebut. Kini tinggal satu orang di Sulaho yang bisa memimpin mattoana. Pada umumnya sebagian warga Sulaho hanya mengumpulkan air dan garam untuk didoakan dalam ritual mattoana. Sebagian orang memilih melakukan mattoana di luar wilayah Sulaho dengan meminta

52

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

bantuan pada orang yang telah terbiasa menyelenggarakan ritual tersebut, seperti di Pomalaa, Kolaka. Mattoana ini ditujukan untuk Putri Tujuh dan Tuan Sayye’, yaitu mahkluk halus yang dipercaya dapat mewujudkan keinginan mereka. Putri Tujuh dan Tuan Sayye’ dianggap sebagai perantara doa kepada Tuhan. Persiapan yang dilakukan untuk melakukan mattoana cukup banyak, salah satunya membuat bermacam kue dengan jumlah yang cukup banyak. Makanan yang diantaranya adalah ketupat, yang terdiri atas ketupat bawang, ketupat nabi, ketupat lalo, ketupat biasa, masing masing 47 buah; kelapa muda dan telur ayam masingmasing 7 buah; onde-onde dengan taburan kelapa, cucur toli-toli dan buah sepang masing-masing 7 buah dalam 7 piring; leppe’leppe’ 47 buah disimpan dalam loyang; sokko dan cangkuli. Makanan ditutup dengan kain putih/kaci selama acara berlangsung. Persyaratan lain adalah perlengkapan badan seperti sarung, kerudung, perlengkapan mandi dan berdandan seperti sabun cuci, pemulas alis (celak), bedak, minyak wangi merek fanbo masing-masing sebanyak 7 buah. Orang yang sedang haid tidak boleh ikut membuat makanan untuk acara mattoana, karena “mereka (Putri Tujuh)” tidak menyukai hal kotor. Proses membuat makanan harus dilakukan dengan tenang dan tidak banyak bicara, karena “mereka” juga tidak suka mendengar ribut/berisik. Selain itu orang yang ikut mempersiapkan makanan harus berpakaian bersih dan rapi karena “mereka” menyukai kondisi bersih. Biaya untuk mattoana cukup banyak karena menghabiskan biaya sekitar Rp. 1.000.000,. Prosesi mattoana melibatkan dua orang yang berperan sebagai orang yang saling berkomunikasi. Salah satunya akan dirasuki oleh Putri Tujuh dan Tuan Sayye’ secara bergantian. Pintu harus dibuka dan tidak boleh ada orang yang menutupi

53

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

pintu tersebut karena dapat menghalangi Putri Tujuh dan Tuan Sayye’ yang akan masuk ke dalam rumah. Sesaji khusus untuk Tuan Sayye’ adalah sebuah buah kelapa muda yang dibelah pada bagian atas ditambah sokko hitam dan putih, telur ayam, rokok dan korek masing-masing satu bungkus dan diletakkan dalam kappara. Kemenyan dibakar sebagai tanda datangnya Putri Tujuh dan Tuan Sayye’, begitu seterusnya beberapa kali kemenyan dibakar agar tubuh berganti dirasuki oleh yang lainnya. Dalam proses ini, Putri Tujuh dan Tuan Sayye’ dapat memberitahukan jika akan terjadi malapetaka di Sulaho. Bersamaan dengan penyelenggaraan mattoana ini, seseorang dapat meminta bantuan apapun kepada Putri Tujuh dan Tuan Sayye’, termasuk bila menginginkan segera bersuami. Selesai proses mattoana, garam dan air diambil kembali oleh orangorang untuk kemudian sebagian garam ada yang ditempatkan dalam botol kecil untuk digantung di muka rumah, sementara sebagian garam lainnya dibakar dan air ditebarkan di sekitar rumah dan bagian dapur sebagai bentuk tolak bala rumah beserta penghuni terhadap hal yang tidak baik.

Gambar 2. 9. Botol Berisi Garam Mattoana Telah Digantung Sejak Setahun yang Lalu

54

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Setelah proses mattoana dalam rumah selesai, makanan dibagikan kepada orang-orang sekitar rumah atau yang memberikan sumbangan untuk acara tersebut. Hari berikutnya biasanya orang yang terlibat dalam mattoana dan siapapun yang mau, dapat ikut ke pulau Lambasina, sebuah tempat kramat yang dianggap sebagai rumah Putri Tujuh dan Tuan Sayye’. Terdapat tujuh sumur bundar dengan berbagai ukuran secara berurutan. Orang yang datang ke tempat ini membawa persembahan untuk Putri Tujuh dan Tuan sayye’, masing-masing terdiri atas tujuh macam berupa sabun cuci, sabun mandi, pemulas alis mata (celak), bedak, sisir rambut, cermin dan minyak wangi merek fanbo. Orang-orang yang datang ke tempat ini dapat mandi dan makan bersama di tempat ini sebagai bentuk syukur atas pertolongan Putri Tujuh dan Tuan Sayye’. 2.3.4.2 Turun Perahu (Nonno’ Lopi) Masyarakat setempat memiliki kebiasaan berdoa dan makan bersama untuk perahu yang baru dibuat atau diperbaiki (perbaikan besar). Turun perahu merupakan sebuah ritual yang dimaksudkan untuk mendoakan perahu yang pertama kali turun ke laut, baik perahu baru ataupun perahu yang dilakukan perbaikan agar mudah untuk mendapatkan rezeki di lautan. Terdapat makanan yang biasanya dipersiapkan dalam rangka turun perahu tersebut diantaranya yaitu bubur kacang hijau/ketan hitam dan onde-onde ketan yang dibalut dengan parutan kelapa. Makanan tersebut bukan syarat yang harus dipenuhi, jenis makanan dapat diganti dengan jenis makanan lain sesuai kemampuan, akan tetapi umumnya ada makanan yang terbuat dari beras ketan.

55

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2. 10. Sanro Mendoakan Makanan ketika Turun Perahu Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Gambar 2. 11 Mendorong Perahu saat Upacara Turun Perahu Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Makanan yang telah dibuat diletakkan di lantai kemudian didoakan oleh sanro kampong. Sebelum berdoa, membuat dupa56

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dupa terlebih dahulu dilanjutkan dengan pembakaran gula/kemenyan, kemudian do mulai dipanjatkan. Sanro kampong duduk bersila di depan dupa-dupa kemudian mulutnya komatkamit, cukup lama hingga akhirnya sanro membuka mata dan menaruh tangannya tepat di atas asap dupa-dupa lalu menggiring asap yang menempel pada tangannya mengenai makanan yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Semua makanan yang telah didoakan diletakkan di atas perahu. Ritual turun perahu biasanya melibatkan laki-laki dewasa sekitar rumah pemilik perahu untuk mendorong perahu dari bibir pantai sampai terapung di air laut. Orang-orang yang akan membantu mendorong perahu dipersilahkan makan terlebih dahulu. Anak-anak pun seringkali ikut makan dalam acara semacam ini. Selesai makan, orang-orang mendekati perahu, mengambil posisi di samping kanan dan kiri perahu selanjutnya bersamasama mendorong perahu dengan sekuat tenaga menuju ke laut. Ketika seluruh badan perahu menyentuh air, orang-orangpun kembali ke darat, kecuali pemilik perahu. Perahu yang telah didorong diputar 360o menghadap ke arah desa menghadap gunung tertinggi. Sanro berdiri berdekatan dengan pemilik perahu, tepat di samping perahu untuk berdoa. Perahu kembali diputar 360o dan perahu siap digunakan untuk mengarungi lautan saat itu juga. 2.3.4.3. Masuk Rumah (Tama’ Bola) Rumah digunakan tidak hanya sebagai tempat bernaung dari hujan dan panas, tetapi memiliki arti yang mendalam sehingga dalam kegiatan pindah rumah atau menempati rumah baru biasanya terdapat ritual yang disebut “naik rumah”. Kegiatan ini dipimpin oleh sanro untuk membacakan doa.

57

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Sebelum doa dibaca, disiapkan makanan untuk didoakan di pusat rumah (possi bola) karena di tempat itu dipercaya ada penjaga rumah yang harus diberikan sesaji dan doa. Sebelum rumah ditempati umumnya orang Bajo di Desa Sulaho menggantung satu tandan buah pisang manurung, kelapa dan buah-buahan lainnya. Terdapat pula bahan lain yang digunakan seperti daun cocor bebek/pakkece, buah pinang dan bunga yang dipasang pada tiang rumah dengan memberikan kain kaci/kafan terlebih dahulu oleh salah satu tukang asal Bulukuma yang telah menjadi penduduk di Desa Sulaho.

Gambar 2. 12. Tandan Pisang dan daun Pakecce pada rumah baru Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

2.3.4.4. Melepas Nadzar (Mattinja’) Selain turun perahu dan memasuki rumah baru, terdapat kebiasaan masyarakat melakukan lepas tinja’/nadzar. Masyarakat desa Sulaho memiliki kebiasaan untuk mattinja’ dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa dahulu, pernah Pak Dm (46 tahun) bernadzar dalam hati bahwa bila suatu saat dapat membeli mesin dan emas 5 gram untuk istrinya, ia akan memotong ayam dan memberikan uang Rp. 3000,- di sebuah tempat yang dianggap kramat berupa sumur di daerah Kolaka. Harapan pak Dm tercapai, tetapi ia lupa tentang nadzar/tinja’ yang diniatkan 58

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

sehingga tidak melaksanakannya. Kelalaian tersebut dipercaya telah menyebabkan kedua anak kembarnya meninggal secara berurutan dalam waktu 2 bulan. Tersadar melalui ucapan seorang dukun, Pak Dm akhirnya melaksanakan niatnya, menaruh uang koin sebesar Rp. 3000- dan memotong ayam lalu meninggalkannya di bibir sumur yang dianggap kramat tersebut. Kejadian itu menjadikan mereka hatihati ketika hendak ber-mattinja’ dan biasanya lebih memilih berpuasa, seperti ketika anaknya sakit gigi hingga bagian pipi bengkak luar biasa, ibu Dm ber-mattinja’ jika anaknya sembuh maka ia akan melakukan puasa selama satu hari. Kegiatan melepas tinja’ biasanya juga dilakukan oleh orang-orang di Desa Sulaho. Sebut saja Bapak Am (64 tahun) yang berniat memotong ayam dan membuat kapurung yang dimakan bersama anaknya ketika pulang ke rumah dengan selamat setelah mencari teripang selama beberapa minggu. Sanro berperan untuk mendoakan dalam acara semacam ini. Istri pemilik rumah duduk berdampingan dengan sanro kampung, lalu mereka tampak melakukan perbincangan kecil, sebuah pertanyaan atas tujuan mattinja’ yang dilakukan. Sanro menyalakan dupa yang menancap pada segenggam beras dalam sebuah gelas kaca putih. Terlihat asap mengepul ringan dan mulai terdengar lantunan doa dalam bahasa Bugis dan Arab. Tak lama ia mengambil air dalam gelas lalu mengusap sebuah pintu kamar tepat di sebelah sanro duduk, kemudian air dialirkannya dari gelas tersebut pada pintu yang sama. Ternyata itulah pusat rumah yang selalu menjadi lokasi untuk melakukan ritual apapun. Tak lama kemudian, sanro mengisyaratkan kepada ibu untuk memanggil suaminya yang memiliki niat. Suaminya mendekat, menggantikan posisi duduk istrinya. Sanro bersalaman dengan empunya hajat, bersalaman dan terjadi proses tanya jawab kembali atas tujuan mattinja’.

59

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Proses ini menjadi sebuah bukti bahwa mattinja’ sungguh telah dilaksanakan dan berarti tidak memiliki hutang “niat”. Selesai itu sanro kembali mengucap doa sembari menengadahkan kedua tangannya. Selesai berdoa, sanro menaruh tangannya tepat di atas dupa hingga membuat asapasap dupa mengenai tangannya. Merasa tangannya terkena kepulan kecil asap itu, sanro membalik tangan dan memindahkan tangannya ke atas makanan yang ada di dekatnya. Selanjutnya, ia mengambil segelas air yang tersisa lalu mendekatkan mulut gelas tepat di bawah mulutnya dan kembali mendoa. Ia memberikan segelas air itu kepada Bapak yang tenang duduk khidmat bersila di sebelahnya. Tanpa berlama-lama bapak meneguk habis minuman yang tentu saja “sarat dengan makna”. Prosesi mendoakan makanan sebagai pelaksanaan lepas tinja’ selesai dan ditutup dengan makan bersama. Tidak semua makanan dihidangkan, tetapi sebagian lainnya diantarkan dengan menggunakan panci ke rumah-rumah saudara yang masih dianggap dekat dan sanro. 2.3.5. Pantangan Sehari-hari Masyarakat Sulaho Kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat yang dilakukan merupakan hasil interaksi antar manusia didalamnya. Tidak hanya kebiasaan baik yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat, tetapi di dalamnya juga terdapat nilai-nilai yang diyakini tidak baik untuk dilakukan yang disebut pantangan. Tim peneliti mengiventarisir pantangan-pantangan yang dipercaya oleh masyarakat Sulaho untuk dihindari atau tidak dilakukan. Pantangan yang ada dalam kehidupan sehari-hari tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa dimensi kehidupan, diantaranya: Pantangan ketika bekerja di laut

60

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

 Tidak boleh menggunakan periuk untuk menimba air atau menjatuhkan bara api yang digunakan memasak ketika melaut. Apabila dilakukan maka dapat mendatangkan musibah angin kencang. Pada masa lalu, seorang informan pernah menimba air dengan periuk ketika tengah melaut dengan salah satu anaknya yang kecil. Menurutnya itu adalah kejadian di laut yang paling mengerikan yang pernah dialaminya. Tiba-tiba saja angin kencang datang dan perahu yang dikemudikannya tenggelam, ia memasukkan anaknya dalam gabus lalu mengikatnya kuat pada perahu sementara ia berpegangan pada perahu. Mulai dari jam 03.00 WITA sampai akhirnya pada pagi hari barulah ada seseorang yang menolong mereka.  Tidak boleh mengganggu hewan di laut seperti ular, yang biasanya berwarna hitam putih atau merah kuning, karena jika diganggu dapat berbalik mengganggu manusia. Selain itu tidak boleh mengganggu ikan paus karena ikan paus dianggap sebagai penolong ketika nelayan berada di tengah laut.  Biasanya orang tidak melaut pada malam Jumat dan waktu sholat Jumat. Sebelum atau selepas sholat Jumat diperbolehkan bepergian, termasuk ke laut. Apabila memaksa pergi di waktu tersebut biasanya seseorang dapat terkena musibah. Pantangan dalam perilaku sehari-hari  Tidak boleh melangkahi bagian dari tanaman kelor, baik berupa daun maupun rantingnya. Jika seseorang melakukannya, maka orang tersebut akan merasa sakit ketika buang air kecil.  Tidak boleh buang air besar di pinggir laut saat maghrib. Hal ini dikarenakan pada waktu tersebut ada mahkluk 61

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

halus yang tidak bisa dilihat secara kasat mata dan jika tersenggol atau tersentuh maka dapat mengakibatkan seseorang meninggal seketika, namun ada yang menyebut wujudnya adalah nenek yang sedang menjala ikan.  Sisa makanan/bekal dari laut tidak boleh dimakan oleh perempuan yang belum menikah karena menyebabkan sulit mendapatkan jodoh. Pantangan membangun rumah  Kamar tidur harus berada di sebelah kanan karena jika kamar tidur berada di sebelah kiri dapat menyebabkan rezeki yang diperoleh sehari-hari tidak baik. 2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan 2.4.1. Keluarga Inti Pada umumnya keluarga yang tinggal dalam satu rumah di Sulaho adalah keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Meski demikian, terdapat beberapa keluarga lainnya yang tinggal bersama dalam satu rumah, baik dari pihak keluarga laki-laki atau perempuan. Pasangan yang baru menikah biasanya masih tinggal bersama orang tuanya. Kehidupan pada awal pernikahan umumnya dijalani dengan cara tinggal bergantian di rumah orang tua lelaki dan orang tua perempuan selama belum mampu membangun rumah sendiri. Mereka mengumpulkan uang terlebih dahulu untuk kemudian bisa membangun rumah, tinggal sendiri secara mandiri dan menetap. Namun demikian sebagian rumah tangga memiliki kebiasaan mencari sumber penghidupan ke pulau-pulau tertentu di sekitar wilayah perairan Kolaka dengan mencari teripang atau ikan sunu, sehingga satu keluarga tersebut dapat pergi selama berbulan-bulan dan hanya pulang ketika ada kegiatan atau acara

62

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tertentu di desa seperti hari raya idul fitri dan pemilihan kepala desa (Pilkades). Mereka biasanya juga meninggalkan salah satu anaknya yang dititipkan pada saudara, sehingga ada keluarga yang tinggal bersama cucu, sepupu atau keponakan. Penyebutan seseorang yang sudah menikah dan memiliki anak biasanya berubah dengan menambahkan nama anak pertama di belakang sebutan Bapak atau Ibu, misalnya Mamaknya/Mak-nya A, Bapak-nya/Pak-nya A, meskipun sebenarnya nama mamak adalah B, dan nama bapak adalah D. Panggilan nenek biasanya tidak hanya ditujukan untuk nenek perempuan tetapi kakek seringkali dipanggil juga dengan sebutan nenek, lebih lengkapnya nenek laki-laki. Seorang suami atau isteri akan memanggil pasangannya dengan sebutan Pak-nya/Mak-nya disambung dengan nama anak pertama. Penggunaan bahasa untuk percakapan sehari-hari adalah bahasa Bugis bercampur dengan bahasa Indonesia, sehingga penyebutan kerabat umumnya menggunakan bahasa Bugis dan tidak menggunakan bahasa Bajo lagi. Berikut salah satu contoh hubungan kekerabatan pada salah satu keluarga dapat digambarkan sebagai berikut: Ket: Laki-Laki Perempuan Meninggal

Ego

Gambar 2. 13. Hubungan Kekerabatan Sumber: Data Penelitian Tahun 2014

63

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Berdasarkan gambaran hubungan kekerabatan keluarga di atas, kini sapaan yang digunakan umumnya tidak lagi menggunakan bahasa Bajo yang merupakan sebutan ideal bagi kehidupan komunitas Etnik Bajo di Desa Sulaho. Sebutan atau sapaan kekerabatan tersebut digunakan secara umum oleh masyarakat setempat sebagai berikut: Tabel 2.3. Sapaan Kekerabatan di Desa Sulaho Subjek

Sebutan sekarang

Sebutan Ideal

Ibu

Ibu

Emmak

Ayah

Bapak

Uwa

Suami

Bapaknya ditambah nama anak pertama

Lile

Isteri

Ibunya ditambah nama anak pertama

Dinde

Adik/kakak laki-laki

Adik/Kakak

Lile

Adik/kakak perempuan

Adik/Kakak

Dinde

Kakek

Kakek/nenek laki-laki

Embo

Nenek

Nenek/nenek perempuan

Embo

Paman

Kakak/Adik

Kakak/Adik Lile

Bibi

Kakak/Adik

Kakak/Adik Dinde

Bapak Mertua

Bapak

Uwa/ Matoa Lile

Ibu Metua

Mamak

Emmak/ Matoa dinde

Menantu Laki-Laki

Bapaknya ditambah nama anak pertama

Kapetukite lile

Menantu Perempuan

Bapaknya ditambah nama anak pertama

Kapetukite Dinde

Cucu

Nak

Empu

Anak Cucu

Nak

Empu

64

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Pekerjaan yang bersifat domestik umumnya dikerjakan oleh ibu dibantu dengan anak perempuan. Laki-laki dewasa biasanya membantu mencari kayu bakar dan mengambil air untuk keperluan rumah tangga. Anak-anak usia SD biasanya telah membantu orang tua. Laki-laki dewasa memiliki tanggung jawab mencari uang dengan cara melaut, sementara sebagian perempuan bekerja sebagai palele saat bom ikan masih digunakan. Anak laki-laki yang putus sekolah sudah mulai membantu orang tua melaut atau ikut melaut orang lain untuk mendapatkan upah. Sementara itu pengambilan keputusan terkait kehamilan hingga proses kelahiran menjadi pertimbangan suami dan istri. Urusan di luar lingkup keluarga biasanya menjadi tanggung jawab orang tua didukung dengan peran anak yang sudah dewasa. 2.4.2. Sistem Kekerabatan Prinsip keturunan warga di Desa Sulaho bersifat bilateral. Garis keturunan ditarik melalui pihak laki-laki maupun perempuan. Terdapat istilah dansihitang yang berarti saudaraku yaitu ikatan persaudaraan dengan hubungan darah tujuh turunan ke atas dan tujuh turunan ke bawah dari ego. Selain itu terdapat istilah satu keluarga yang disebut dengan merapu-rapu, yang diibaratkan seperti pohon pisang yang selalu bertumbuh lagi ketika telah berbuah begitu seterusnya tanpa mengenal musim, menggambarkan perjalanan keturunan nenek moyang pertama sampai dengan generasi-generasi berikutnya. Pada dasarnya semua warga di Desa Sulaho menganggap bahwa di desa ini tidak ada orang lain apabila dirunut berdasarkan nenek moyang maka semua orang di Desa Sulaho adalah saudara. “Paling jauh sepupu, kemenakan, cucu, sepupu tiga kali, empat kali”, salah satu informan, Pak Th (69 tahun)

65

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

menegaskan. Mereka tinggal dalam satu wilayah dan menyebut diri mereka semua sebagai satu rumpun. Tidak ada sistem kekerabatan yang memuat aturan tertentu seperti struktur klan. Perkawinan yang dahulu terjadi pada nenek moyang merupakan pekawinan endogami sehingga menyebabkan antara satu rumah tangga dengan rumah tangga lainnya memiliki kedekatan dalam hubungan kekerabatan. Pernikahan pada generasi tua merupakan pernikahan yang dilakukan melalui proses perjodohan. Pada umumnya ada anggapan bahwa pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang terjadi antara sepupu, mulai dari sepupu satu kali hingga dua kali. Terdapat anggapan bahwa pernikahan yang dilakukan dengan orang yang masih memiliki hubungan persaudaraan tidak akan mudah goyah jika muncul pertengkaran. Hal ini seperti diungkapkan oleh Bp Ny (52 tahun): “Bagusnya sepupu satu kali bertengkar sedikit, kalo misalnya apa keluhannya sakit hati ribut-ribut, hanya sebentar saja ji, kalo orang lain pergi, kalau sepupu hanya begitu tidak parah, hanya berkelahi mulut atau apalah, kalo orang lain pergi mi ko” (Ny, 52 tahun)

Dalam perkembangannya, pernikahan yang terjadi adalah pernikahan eksogami yang dilakukan dengan orang dari Etnik yang berbeda. Beberapa Etnik yang menikah dengan warga setempat diantaranya adalah Etnik Tolaki, Bugis dan Bulukumba. Terdapat pula pernikahan antara sesama Etnik Bajo dari luar kampung desa Sulaho yang umumnya berasal dari Palopo atau Bone. Kasus-kasus perceraian yang ada umumnya cukup diselesaikan secara informal antara kedua belah pihak dan bantuan tokoh masyarakat setempat jika diperlukan. Mereka menganggap bahwa ucapan lisan yang keluar antara keduanya yang menyatakan bahwa mereka telah berpisah menjadi bukti 66

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kuat bahwa mereka tidak lagi berstatus suami isteri. Tidak terdapat proses hukum untuk menyelesaikan permasalahan perceraian di desa ini. Beberapa pelaku perceraian diketahui menikah kembali dengan orang berbeda berasal dari desa tersebut. 2.4.3. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal Kerja sama yang dilakukan oleh masyarakat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, yaitu bekerja (melaut) secara berkelompok karena tidak setiap RT memiliki perahu. Kerja sama lainnya tampak dalam kegiatan saling membantu seperti hajatan perkawinan atau terkena musibah seperti kematian, maka semua kerabat dekat maupun jauh serta tetangga akan membantu. Pada masa lampau terdapat istilah punggawa yang menjadi pemimpin komunitas Etnik Bajo. Punggawa memiliki anak buah banyak tersebar di berbagai penjuru. Konsep punggawa dalam perkembangannya secara perlahan hilang dan kini tinggal cerita. Sebelum terbentuk menjadi desa, Sulaho dipimpin oleh kepala dusun karena menginduk pada Desa Pitulua. Pemekaran Sulaho menjadi sebuah desa menyebabkan wilayah ini dipimpin oleh kepala desa. Telah terjadi pergantian kepala desa sebanyak 5 kali dalam kurun waktu 17 tahun terakhir (1997-2014). Struktur organisasi pemerintahan Desa Sulaho tidak mengalami perubahan yang signifikan sejak berdiri pada tahun 1997 hingga saat ini. Ketua RT/RW masuk dalam struktur organisasi hingga tahun 2006, masa selanjutnya Ketua RT/RW tidak lagi tersurat dalam struktur organisasi dikarenakan tidak tercantum dalam alokasi dana desa (ADD).

67

LMD

LKMD Kepala Desa

BPD

LPMD 1997-2006

Sekretaris 2006-sekarang

Kaur Pemerintahan

Kepala Dusun

Kaur Pembangunan

Kaur Umum

Imam Desa

Ketua RT/RW

Gambar 2. 14. Struktur Organisasi Desa Sulaho Tahun 1997-2014 Sumber: Data Penelitian Tahun 2014 68

Masalah yang timbul dalam masyarakat antara lain adalah sengketa tanah dan ihwal pemerintahan. Permasalahan biasanya diselesaikan secara kekeluargaan melibatkan pihak bertikai dengan bantuan orang yang dituakan (tokoh masyarakat). Jalur hukum ditempuh jika permasalahan yang dihadapi dirasa tidak dapat terselesaikan. Beberapa permasalahan pemerintahan dan sengketa tanah pernah diselesaikan melalui jalur hukum. Pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat Desa Sulaho biasanya dilakukan dengan melibatkan masyarakat melalui perwakilan kepala dusun dan tokoh masyarakat yang kemudian diteruskan kepada perangkat desa setempat. Pada awal kedatangan tim peneliti, masyarakat tengah resah berkaitan dengan sumber mata pencaharian sehari-hari (melaut) yang terhenti. Umumnya mereka berkeluh kesah bahwa sekarang sudah tidak banyak ikan lagi, tidak seperti dahulu. Banyak janda yang tidak bisa mendapatkan uang karena tidak bisa menjadi palele (penjual ikan). Ekonomi Sulaho mereka nilai berada pada titik kritis. Bagaimana tidak, perusahaan tambang yang telah beroperasi beberapa tahun di Desa Sulaho dan dapat menyerap tenaga-tenaga muda dari desa tersebut berhenti beroperasi sejak sekitar lima bulan lalu. Pada bulan April 2014, ada seorang nelayan Sulaho yang ditangkap dengan tuduhan pengeboman ikan dan hingga kini masih menjalani proses hukum. Hal ini berimbas pada tidak adanya nelayan Sulaho yang berani melaut dengan menggunakan bom ikan (pangada) sementara melaut dengan cara konvensional biasanya merugi karena tidak sesuai antara modal yang dikeluarkan dengan hasil tangkapan yang diperoleh. Mereka mengetahui persis bahwa menangkap ikan dengan cara mengebom dilarang sejak dahulu sehingga selama ini mereka bermain kucing-kucingan dengan petugas polisi air ketika bekerja mencari ikan. Titik kulminasi dari rentetan peristiwa

69

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

tersebut adalah melakukan aksi demonstrasi ke DPRD meminta dana CSR perusahaan tambang melalui perwakilan masyarakat dibantu mahasiswa. Selang beberapa waktu pasca aksi tersebut, perwakilan pemerintah Kabupaten Kolaka Utara melalui Dinas Pertambangan datang ke Desa Sulaho.

Gambar 2. 15. Musyawarah di Balai Desa Pasca Demonstrasi Sumber: Dokumentasi Penelitian 2014

Semua warga berkumpul di aula desa menyampaikan aspirasi tentang apa yang mereka butuhkan. Umumnya masyarakat menyampaikan kebutuhan atas akses jalan darat dan sumber penerangan PLN selain meminta beberapa jenis peralatan untuk mendukung kegiatan melaut seperti senter khusus dalam air, mesin atau jaring. Forum ini dimaksudkan untuk menentukan skala prioritas kebutuhan mereka. Diskusi sesama warga berjalan alot. Dalam rangka mengakomodir kebutuhan masyarakat maka permintaan diakomodir melalui kepala dusun dan tokoh masyarakat. Hingga kepulangan tim

70

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

peneliti belum ada tindak lanjut atas permintaan dana CSR oleh masyarakat. Demonstrasi serupa telah dilakukan oleh warga Desa Sulaho ke perusahaan tambang sebanyak dua kali pada tahun 2011 dan 2012, salah satu hasilnya dibangun fasilitas kakus umum di dua lokasi. Pemimpin informal memiliki peran yang besar dalam kehidupan masyarakat. Orang yang dituakan seringkali menyelesaikan permasalahan yang muncul. Kepala desa lebih banyak berperan dalam acara-acara formal desa sekaligus merupakan perpanjangan tangan dari pemerintahan tingkat Kabupaten dan Kecamatan. 2.5. Pengetahuan tentang Kesehatan 2.5.1. Konsepsi mengenai Sehat dan Sakit Masyarakat desa Sulaho memiliki keyakinan bahwa sehat adalah sebuah kondisi dimana seseorang masih bisa bekerja dan beraktivitas seperti biasanya. Sepanjang seseorang belum terbaring di tempat tidur secara terus menerus, badan masih bisa bergerak dan masih dapat melakukan kebutuhan diri sendiri secara mandiri masih dikategorikan sebagai kondisi sehat. Tandatanda klinis sakit yang muncul pada tubuhnya dianggap bukan merujuk pada sebuah kondisi yang disebut sakit. Mereka mengakui bahwa ada rasa sakit tertentu yang kadang mereka alami, seperti sakit kepala, sakit perut, bahkan pada beberapa kasus, rasa sakit terus menerus atau terjadi secara menahun yang dirasakan bukan menjadi penghalang untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Jika seseorang sudah berada dalam kondisi terbaring, tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan pribadi dan tidak bisa bekerja, maka seseorang dikatakan mengalami sakit keras atau sakit kategori berat. Sakit semacam itu

71

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dikarenakan pengaruh pekerjaan berat yang dilakukan. Secara historis, ada beberapa orang di Desa Sulaho yang kini mengalami cacat dan atau tidak normal ketika berjalan dikarenakan mengalami kejang otot/kram saat menyelam mencari teripang atau memasang bom ikan (pangada) pada kedalaman puluhan hingga ratusan meter. Salah satu informan, sebut saja Bs (30 tahun) mengaku saat ini badannya dipaksakan untuk bekerja meski terasa sakit. Dahulu ia pernah menyelam saat memasang pangada pada kedalaman 10 meter pada tahun 1995 dan ia baru bisa berjalan dua tahun setelahnya dengan cara berjalan masih terpincangpincang hingga kini dan kaki terasa sakit untuk berjalan. Ia tetap bekerja seperti biasanya. “Saya begini juga menyelam, sudah 4 kali mungkin kena begini terus-begini terus, tapi yang pertama itu begini setahun dua tahun bisa jalan, tapi kena lagi dua hari tiga hari paling bisa jalan lagi” (Bs, 30 tahun).

Meski demikian pada kali pertama sakit saja ia periksa ke tenaga kesehatan dengan pertolongan dukun sebelumnya. Sakit yang dirasakan pada waktu selanjutnya cukup diobati sendiri dengan jahe yang ditumbuk kemudian diambil airnya untuk diminum dan sebagian dicampur dengan beras ditumbuk untuk dijadikan bedak yang dioleskan pada bagian yang dirasakan sakit. Tak beda dengan dirinya, keponakan yang terkena kram serupa, kini berjalan dengan menggunakan tongkat dan tetap menjalankan aktivitas menyelam. Kejadian tersebut bukan menjadi ancaman berarti bagi mereka untuk bekerja mencari uang. Gejala kram atau kejang otot ini terjadi karena seseorang berada pada lapisan air laut yang memiliki tekanan dan suhu air berbeda sehingga menyebabkan kondisi tubuh tidak stabil. Pandangan lain menyatakan bahwa seseorang yang sakit atau meninggal di laut disebabkan karena pengaruh penunggu laut. 72

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

“Cuma menyelam saja di laut, terus dia meninggal, itu saja, bilangnya mereka kena hantu-hantu laut” papar seorang istri yang suaminya telah meninggal sekitar tiga tahun lalu saat menyelam. Kala itu almarhum suaminya melihat seekor udang sepanjang 3 meter lebih dan berusaha menarik udang tersebut. Adik iparnya telah mengingatkan untuk tidak menangkap udang tersebut dikarenakan udang itu diduga penunggu laut atau hantu laut. Terbukti begitu naik ke permukaan laut, semua badannya menghitam seperti periuk yang biasa digunakan untuk memasak ditungku dan meninggal dalam perjalanan pulang. Sakit yang disebabkan oleh pengaruh penunggu laut ini disebut dengan patikkeng. Sakit yang biasa dialami oleh anggota rumah tangga diantaranya adalah sakit gigi dan sakit kepala, seperti yang dialami keluarga Sr (26 tahun). Biasanya ia pergi ke Balai Kesejahteraan Rakyat (Bakesra) untuk meminta obat kepada Bidan Desa. Namun demikian, keberadaan Bidan desa yang tidak tinggal menetap di Sulaho, membuat Ibu Sr memilih membeli obat di warung yang dianggap memiliki khasiat baik, selain lokasi Puskesmas yang cukup sulit dijangkau. Ia terbiasa membeli asam mefenamat dipadukan dengan amoxicillin untuk sakit gigi, sementara ia membeli “paramex” untuk sakit kepala atau “inzana” untuk anaknya. Obat yang dibelinya di warung diminum dua kali sehari pada pagi dan malam hari. Setelah merasa sembuh, obat tidak akan lagi diminum. Jika dirasa belum ada perkembangan atas kesehatan anak, maka dibelikan obat di apotek secara mandiri, tanpa periksa kepada tenaga kesehatan terlebih dahulu. Perilaku tersebut meniru saudara ipar yang berprofesi sebagai bidan. Ada penyakit yang dianggap parah atau berat dan dialami oleh beberapa orang di Sulaho. Sebagian informan diantaranya

73

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

menyebut sebagai kakambah; kasuwiang tanah dan seorang informan tidak dapat menyebutkan nama penyakit tersebut, namun tanda-tanda penyakit yang diungkap merujuk pada penyakit kakambah/kusta. Keparahan ditunjukkan dengan adanya benjolan yang muncul pada muka dan badan yang cenderung memiliki warna kemerahan. Benjolan tersebut mengeluarkan air dan membuat badan lengket pada kain yang dipakai. Selain itu juga terjadi pembengkakan pada bagian tubuh tertentu. Beberapa orang di Sulaho diketahui mengidap penyakit jenis tersebut. Orang yang memiliki penyakit tersebut disembunyikan oleh anggota keluarga karena malu dan awalnya tidak mau berobat. Penyakit tersebut telah lama muncul, dan beberapa penderita dikatakan sembuh setelah berobat ke Puskesmas. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan adalah dengan membatasi pergaulan dengan penderita karena diyakini penyakit tersebut bisa menular dengan sangat mudah, diantaranya melalui kontaminasi bekas tempat duduk penderita atau bersentuhan. Berkaitan dengan adanya penyakit parah yang dimaksud, muncul rasa tidak aman di lingkungan tempat tinggal. “Karena orang sekeliling sakit, itu yang membuat kita merasa tidak aman juga, termasuk jika di sekeliling ada kena penyakit begitu ta, merasa orang-orang di sekelilingnya tidak aman juga”, ungkap Ibu Sr (26 tahun).

Penyakit yang ada dalam masyarakat biasanya dikaitkan dengan kondisi lingkungan tempat tinggal. Konsep bersih dan kotor dipersepsikan secara berbeda oleh seseorang. Umumnya konsep kotor yang diungkap oleh masyarakat adalah berkaitan dengan sampah di lingkungan tempat tinggal. Namun demikian mereka merasa telah terbiasa dengan kondisi tersebut meski mengetahui sampah dapat menimbulkan penyakit. 74

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

“Bau busuk ini juga bau dari sampah yang terdampar di pantai, binatang mati dan terumbu juga. Biasanya terumbu itu sampai masuk ke sini kalau musim barat itu. Orang di sini itu akhirnya kebal. Dibiarkan saja. Kalau orang kota kan dibenahi kalau ada di sampahnya. Memang penyakit ada di mana-mana. Ada penyakit yang muncul tumbuh sendiri. Dibuat-buat manusia sendiri. Kaya kotoran ini kan bisa membawa penyakit sendiri. Ada juga penyakit dari Tuhan.Banyak yang buang kotoran manusia di jembatan saja. Jadi bau tidak ilang itu. Itu kotor” (Sd, 37 tahun)

Mereka sudah terbiasa dengan lingkungan yang kotor, yaitu banyak sampah di sekitar tempat tinggal. Ada anggapan bahwa dengan terpapar, maka mereka akan memiliki kekebalan atau menganggap sampah bukan sebagai sumber penyakit. Sementara itu bersih dianggap berkaitan dengan keselamatan. Kebersihan menjadi sumber keselamatan agar dapat terhindar dari penyakit. “Karena orang di sini sudah kebal. Mereka tidak bisa kena penyakit karena sudah terbiasa. Baru setelah dia mati, baru dibilang penyakit. Mereka sudah biasa jdi tidak menganggap penyakit” (Sd, 37 tahun) “Selamat itu berasal dari kebersihan. Jadi asal kita bersih itu kita bisa selamat dari penyakit. Kesehatan itu berasal dari kebersihan” (Sd, 37 tahun).

Tenaga kesehatan dinilai telah melayani dengan baik oleh orang yang sering berkunjung ke Puskesmas. Namun demikian, masyarakat umumnya memanfaatkan dukun kampung/sanro kampong terlebih dahulu untuk berobat. Sanro melahirkan dianggap pintar mengobati anak sakit seperti ketika anak-anak terkena penyakit di pinggir laut yang disebabkan oleh setan/mahkluk halus atau disebut dengan patikkeng. Dalam

75

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

pandangan masyarakat terdapat perbedaan antara penyakit yang harus disembuhkan oleh sanro atau tenaga kesehatan. Penyakit yang bersumber dari mahkluk halus memiliki metode pengobatan yang berbeda dan harus disembuhkan oleh sanro. Ada sebagian informan yang menilai tidak baik terhadap tenaga dan fasilitas kesehatan, karena mereka memiliki pengalaman mendapat penanganan medis yang mereka anggap tidak tepat dan perlakuan berbeda dengan pasien berkemampuan ekonomi atas di tempat yang sama. Obat berlogo keras seperti antibiotik dijual secara bebas di warung desa, seperti amoxicillin, ampicillin, antalgin dan asam mefenamat. Obat-obat semacam itu telah dijual di warung desa sejak tahun 2010. Mereka merasa telah mengetahui khasiat obatobatan tersebut karena mendapat pengetahuan setelah sering mendapat obat yang sama saat berobat ke Puskesmas. Dapat ditemukan pula obat sisa resep dokter dijual oleh pemilik warung. Penjualan obat tersebut didukung permintaan warga, dengan alasan mereka mengetahui penyakit tertentu dapat diobati dengan obat-obatan jenis itu. Pembelian obat semacam itu menjadi pilihan dikarenakan jangkauan ke Puskesmas Lasusua (ibukota Kecamatan) jauh. Pemanfaatan obat-obatan tersebut antara lain untuk mengobati sakit gigi, sakit kepala, bisul dan sejenisnya bahkan beberapa ibu menggunakannya saat proses persalinan untuk mengurangi rasa sakit. Mereka biasa memadupadankan sendiri dua diantara keempat jenis obat itu untuk diminum. Penggunaan obat ini menggunakan prosedur/ukuran pribadi dan tidak mengikuti aturan khusus sesuai petunjuk dokter. Dosis penggunaan obat sesuai keyakinan, pemahaman dan kebutuhan masing-masing individu. Ada obat yang digunakan sebagai obat luar untuk mengobati sakit seperti bisul dan sakit gigi dengan cara diencerkan terlebih dahulu dan dioleskan pada bagian yang sakit.

76

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Bakesra sebagai fasilitas kesehatan dirasakan memberikan manfaat akan tetapi kendala yang dirasakan masyarakat adalah petugas atau tenaga kesehatan yang tidak selalu berada di tempat saat ada orang yang membutuhkan pengobatan. Tidak pelak lagi, peran sanro menjadi dominan dan sentral dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. “Selama 30 tahun saya di sini tidak pernah saya dengar ada orang meninggal karena penyakit apa penyakit apa, seperti penyakit yang dibilang para dokter itu, dinamakan jin kafir atau kena di laut” papar Bs (30 tahun) meyakinkan. Terdapat pula anggapan warga bahwa tenaga kesehatan memberikan obat-obatan yang sama untuk menyembuhkan berbagai penyakit berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa semua obat yang ada dianggap memiliki khasiat yang sama. 2.5.2. Air Jappi-jappi: Daya Tarik Penyembuhan Tradisional Dalam aspek kesehatan manusia, penyembuhan tradisional menjadi salah satu cara yang dilakukan oleh orang untuk mendapatkan kesembuhan atas penyakit yang dialami. Terdapat penyembuhan penyakit oleh sanro, baik laki-laki maupun perempuan dalam masyarakat setempat. Sebagian besar masyarakat di Sulaho memilih pergi ke sanro kampung sebagai tujuan pertama pencarian pengobatan atau penyembuhan terhadap penyakit yang dirasakan. Bentuk pertolongan dari mahkluk halus dapat terjadi melalui tenrita mata yaitu penampakan tiba-tiba mahkluk halus yang tidak bisa dilihat oleh kasat mata dan melalui mimpi untuk memberikan petunjuk pengobatan. Saat ini masih mudah ditemukan sanro yang dipercaya dapat mengobati penyakit seseorang. Hal ini menyebabkan kedudukan sanro kampong

77

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

menjadi orang yang dianggap penting, pintar sekaligus menjadi orang yang dituakan dalam kehidupan masyarakat setempat. Sanro kampong tersebut biasanya dipanggil oleh keluarga yang memiliki anggota keluarga yang sakit. Setidaknya terdapat empat sanro yang dikenal baik oleh warga desa dan seringkali melakukan pengobatan, salah satunya merangkap sebagai dukun melahirkan. Kepercayaan terhadap pengobatan tradisional yang tinggi menyebabkan orang-orang tertentu selain ke empat sanro tersebut juga dipercaya dapat memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan atas pengalaman orang tersebut dalam memberikan pengobatan kepada keluarga maupun orang-orang di sekitarnya. Sanro di Desa Sulaho umumnya mencoba menyembuhkan segala jenis penyakit. Mereka tidak mau disebut sebagai sanro, tetapi sekedar membantu orang lain. Terdapat sanro yang belajar dan dipanggil oleh orang-orang di sekitarnya serta mendapatkan petunjuk dari mimpi yang dianggap sebagai wahyu. Pengobatan yang dilakukan umumnya menggunakan air jappi-jappi disertai dengan doa (mantra) tertentu. Terdapat sanro yang tidak mau mengobati penyakit jenis ini dikarenakan penyakit yang diobati dapat menyerang dirinya. Pada dasarnya terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang membutuhkan pertolongan seorang sanro yaitu berupa satu bugkus rokok, korek api, dan uang biasanya dengan besaran Rp 5.000,- s.d Rp 10.000,- ditaruh dalam sebuah piring dan dibungkus dengan kain. Persyaratan tersebut disusun sebagai berikut: uang, rokok, korek api dalam bungkusan kain putih. Persyaratan tersebut disimpan terlebih dahulu, tidak boleh dibuka dan ditempatkan pada lantai tepat di tengah rumah sanro untuk mendapatkan petunjuk tentang penyakit dan pengobatan yang harus dilakukan (biasanya diperoleh pada malam hari). Persyaratan tersebut untuk memberikan penghormatan kepada

78

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

penunggu rumah dengan tujuan agar pengobatan yang dilakukan dapat memberikan hasil maksimal. Pemenuhan persyaratan tersebut dapat memberikan jaminan kesembuhan lebih besar (pengobatan yang dilakukan menjadi ‘tajam’). “Kalo datang berobat bawa rokok, simpan dipiring to, rokok dengan korek api, dengan uang juga isinya 5000 10000kah isinya sembaranglah, bukan isinya yang penting dibawakan kik untuk mengobat karena orang bilang kalo tidak dikasih begitu tidak mempan itu penyakit, biar diobat tidak mempan karena tidak dibawakan anu to supaya tajam” (Nj, 56 tahun)

Masyarakat percaya bahwa penyakit yang diobati tidak akan sembuh jika tidak menyediakan persyaratan tersebut. Biasanya orang yang datang membawa persyaratan adalah orang yang sakit parah, sementara penyakit yang dianggap ringan cukup memberikan sedekah seikhlasnya kepada sanro. Kini, syarat tersebut seringkali tidak dipenuhi meski syarat yang diutarakan tersebut menjadi syarat untuk sanro yang akan bekerja menyembuhkan orang sakit. Salah satu sanro mengaku terbiasa mendapatkan petunjuk pengobatan dari putranya yang dipercaya terlahir dalam wujud buaya sekaligus merupakan kembaran putri keduanya. Sebuah kayu yang diperoleh di sungai dan dianggap mirip buaya sekitar 3 tahun lalu dipercaya sebagai jelmaan putranya. Ranjang kecil dengan kelambu berwarna kuning ditempatkan dalam sebuah kamar yang menjadi tempat tinggal buaya ketika pulang ke rumah. Orang yang sedang sakit dan meminta pertolongan sanro tersebut akan bernadzar untuk memberikan baju baru berwarna merah atau kuning untuk buaya tersebut ketika telah sembuh dari penyakitnya. Hal ini telah menjadi sebuah kepercayaan dan kebiasaan untuk sebagian orang di Sulaho.

79

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2. 16. Ranjang dan Kayu Representasi Buaya Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Penyakit yang dianggap berbahaya oleh masyarakat, salah satunya adalah cacar. Mereka menyebutnya dengan istilah kasuwiang. Tanda penyakit tersebut adalah mata memerah, dapat tumbuh pada semua badan termasuk mata, badan terlihat kemerahan, panas dan terdapat bintik-bintik. Sanro Nj (56 tahun) menyebutkan bahwa penentuan sakit cacar dengan cara memeriksa persendian pada pergelangan tangan dengan memastikan kecepatan denyut nadi. Jika urat nadi yang bergerak dirasa kuat maka kemungkinan demam yang muncul juga tinggi sehingga penderita merasakan panas dalam. Tubuh penderita penyakit jenis ini tidak boleh terkena air dikarenakan penyakit cacar tersebut dapat dengan mudah masuk dalam tubuh hingga tulang. Cacar dianggap sebagai sebuah penyakit yang berasal dari Tuhan dan telah ada dalam tubuh setiap manusia sejak pertama kali terlahir di dunia. Ada

80

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kepercayaan bahwa cacar ini dapat keluar atau muncul sewaktuwaktu pada tubuh manusia sesuai kehendaknya. Jika cacar tidak ditangani dengan baik atau disebut dengan ungkapan salah obat/salah jemput maka dapat menimbulkan dampak pada keluarnya cacar di semua badan. “Cacar itu kita punya, dari dalam itu, kita punya sodara juga di dalam, ada memang di dalam badan” (Nj, 56 tahun).

Terdapat pantangan yang dipercaya oleh sanro maupun masyarakat terhadap penyakit kasuwiang (bahasa Bugis); kasubiah/sagala (bahasa Bajo). Pantangan tersebut diantaranya adalah:  Tidak boleh mengonsumsi makanan seperti jeruk, lombok, minyak kelapa;  Tidak boleh tertusuk jarum suntik karena dapat menyebabkan kematian;  Tidak boleh mandi sebelum cacar keluar karena dapat menyebabkan sakit bertambah parah;  Beberapa jenis pekerjaan RT tidak boleh dikerjakan dalam rumah seperti menggoreng, karena dapat menyebabkan orang yang sakit cacar menangis atau marah atau terasa panas seperti digoreng. Terdapat pula yang menyatakan tidak boleh menjahit dalam rumah karena penderita dapat merasa badan nyeri seperti dijahit. Jika hal ini terjadi maka orang yang mengalami cacar diminta memakai sarung putih polos karena ‘cacar’ menyukainya;  Orang yang sedang dalam masa haid tidak dapat masuk dalam rumah penderita karena menyebabkan gatal pada badan semua orang yang menderita cacar;  Tidak mengeluarkan barang-barang yang ada dalam rumah, karena dapat menimbulkan kemarahan ‘si cacar’ yang sedang

81

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

menguasai badan sehingga dapat menyebabkan penyakit bertambah parah.  Ketika sudah terlanjur menginap di rumah orang yang terkena cacar, maka tidak boleh langsung pulang jika kondisi orang yang sakit belum menunjukkan perbaikan;  Penyakit cacar harus diobati oleh orang yang tinggal di tempat yang sama, tidak boleh diobati oleh orang yang tinggal jauh dari rumah. Obat kasuwiang biasanya adalah air yang diberi doa (mantra) oleh sanro untuk diminum, selanjutnya dibuatkan air minum berupa daun peria (pare) dan kunyit dengan tambahan sedikit air kemudian diminum. Alternatif lain dapat diberikan madu dengan 1 kuning telur ayam kampung atau cukup air kelapa dicampur dengan bunga “kasumba ugi” warna merah yang dipanaskan. Minuman tersebut diberikan sebelum cacar muncul pada kulit. Selain itu, kunyit, kemiri dan beras yang ditumbuk dan dibalurkan pada seluruh tubuh secara merata. Seorang dukun atau “orang pintar” yang ingin menghilangkan atau menyembuhkan penyakit misalnya, membacakan mantra yang disebutnya sebagai doa untuk kesembuhan atau penangkal penyakit. Berbagai kegiatan yang dilakukan individu atau masyarakat terutama yang berhubungan dengan adat biasanya disertai dengan pembacaan mantra. Ada kepercayaan bahwa pembacaan mantra merupakan wujud sebuah usaha untuk mencapai keselamatan. Pada masyarakat tertentu, mantra dan masyarakat mempunyai hubungan yang erat. Kepercayaan terhadap adanya kekuatan di luar kemampuan manusia, yaitu adanya kekuatan gaib yang mendorong mereka untuk merealisasikan kekuatan tersebut ke dalam wujud nyata untuk memenuhi kebutuhan. Mereka menganggap sekumpulan mahkluk halus/gaib ada yang jahat dan dapat mengganggu kehidupan manusia, tetapi ada pula

82

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

yang memiliki sifat baik dan dianggap dapat memberikan bantuan terutama dalam hal memberikan petunjuk yang diinginkan, misalnya pengobatan untuk orang sakit. Dukun yang memberikan pengobatan memang memiliki kebiasaan membaca doa tertentu. Salah satunya, Nj (56 tahun) yang mengaku memperoleh kumpulan mantra dari saudara sepupunya yang menjadi sanro di Kolaka. Ia mencatat mantramantra untuk penyakit tertentu dalam sebuah buku tulis. Mantra untuk mengobati penyakit cacar/kasuwiang/sagala atau yang disebutnya doa, tercatat dalam lembaran buku tulis. Mantra tersebut seperti yang terlihat dalam kotak di bawah. “Kasubiah” Wadidu waddi manna ka manni na mancaji sagala. Rewekku ri wewangemmu. Raddekko ri onrong araddekemmu. Wae ri doko. Wae paodokona.oh ajiburaelu alai pellana alai keccenna urai gangka pajama (artinya: Wadidu waddi manna ka manni (kalimat tanpa arti, lafazh mantra) yang menjadi cacar. Kembalilah ke peraduanmu. Tetaplah tinggal dengan tenang di tempatmu bersemayam. Air dibungkus air. Wahai tempat meminta, angkat panasnya angkat dinginnya, obati sampai sembuh).

Mantra tersebut adalah mantra dalam bahasa bugis, meski sanro kampong adalah Etnik Bajo. Selain itu dalam mengobati penyakit serupa tim peneliti menemukan seorang ibu yang menyatakan memiliki doa-doa khusus untuk mengobati penyakit. Ia menunjukkan doa-doa yang dicatatnya dalam sebuah buku tulis. Ia menyatakan bahwa doa-doa tersebut diperoleh dari ibunya. Ia meyakini dapat menyembuhkan anaknya yang sakit dengan doa-doa tersebut, termasuk ketika anaknya sakit kasuwiang ia mencoba menyembuhkan anaknya dengan doa yang dimiliki. Doa yang dibaca diyakini dapat memberikan

83

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kesembuhan, meskipun ia tidak memahami arti doa yang sering dibacanya. Doa kasuwiang yang dimiliki ibu Ec berbeda dengan yang dimiliki oleh sanro kampong Nj. Doa kasuwiang (Ibu Ec) seperti dikatakan sebagai berikut: Rajamamuna Rajapatimang, Satimana Kapotong Rajak Gaebu Sabu Sagala (mantra menyebutkan nama-nama raja gunung yang dianggap menguasai gunung).

Jika cacar belum sembuh, dilakukan pemeriksaan dengan melihat tangan dan kaki, jika terdapat warna kemerahan maka cacar itu sudah akan menghilang/pergi. Jika telapak tangan sudah berwarna kemerahan maka artinya cacar sudah berhenti. Jika cacar sudah keluar/muncul pada kulit, maka sudah boleh mandi. Mandi dengan cara tangan kanan memegang 3 lembar daun sirih yang masing-masing dilipat secara khusus dan daun sirih dibuang begitu saja selesai mandi. Sakit lain yang diobati adalah penyakit umum seperti sakit kepala, sakit pinggang dan bermacam sakit pada badan seseorang. Pengobatan dilakukan dengan cara membuatkan air minum yang didoakan dan meniup-niup bagian yang sakit. Terdapat sakit haid yang disebut bacici atau baciciken. Tanda seseorang yang mengalami sakit ini adalah terdapat tanda memar kebiru-biruan pada bagian paha. Obat yang diminum adalah temu hitam, temu merah dan jahe yang diparut lalu diperas, ditambahkan kuning telur ayam kampung, dibacakan doa. Ada penyakit yang disebabkan karena guna-guna (pangatonang) seperti soke (menyebabkan kaki lumpuh), yaitu guna-guna yang ditempatkan di jalanan/tempat tertentu dengan tujuan untuk menyakiti seseorang dengan menggunakan jahe

84

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

yang ditusuk jarum kemudian ditanam dalam tanah. Orang yang menginjak benda tersebut akan merasa sakit seperti ditusuktusuk jarum. Guna-guna jenis lain adalah yang disebut dengan doti yang dapat menyebabkan batok kepala menjadi lembek dan muntah darah. Media perantara yang digunakan adalah jarum, benang atau bambu yang diterbangkan untuk tujuan diarahkan/dikenakan pada seseorang. Pemakaian guna-guna jenis ini dapat menyebabkan kematian. Salah satu penyakit kulit yang dapat merusak kulit disebut dengan kakambah/kasuwiang tanah/colak jampu/lasauli dan dapat disebabkan karena gunaguna, hukuman Tuhan dan disebut juga bibit penyakit telah dibawa sejak bayi. Terdapat satu sanro yang biasa mengobati penyakit jenis ini. Dikenal pula penyakit yang bersumber dari mahkluk halus, seperti kandole dan muntianak (angin, tanah, air) atau manusia jadi-jadian yang memiliki ilmu tinggi seperti parakang. Penyakit yang dikarenakan kandole dapat masuk di perut dan dapat menghancurkan jantung di dalam tubuh. Ia masuk ke sembarang bagian tubuh tanpa pilih-pilih. Kandole dipercaya sebagai orang hamil yang meninggal dan tidak cukup mendapatkan doa sebelum dikuburkan. Penyakit yang disebabkan oleh muntianak membuat seseorang menjadi tidak bisa tenang dan bergerak terus menerus dalam kesehariannya. Contoh kasus yang nyata pernah dialami adalah salah satu warga Desa Sulaho yang mengendarai motor pada jalanan terjal di tengah hutan menempuh perjalanan dari Lasusua ke Sulaho. Tiba-tiba saja di antara ban depan dan belakang muncul ular bermahkota. Mereka percaya bahwa penampakan berwujud ular merupakan penjaga kampung yang bermukim di jalanan tersebut. Pengobatan dilakukan dengan cara berdoa dengan air yang diberi mantra, meniup tiga kali pada bagian yang sakit dan

85

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

mattinja’ (berniat) untuk melakukan hal tertentu sesuai saran sanro agar penyakit yang dialami sembuh, misalnya melepaskan ayam di tempat yang dianggap menjadi sumber penyakit. Air yang digunakan untuk mengobati harus menggunakan air sumur atau air mentah yang belum direbus karena dianggap doa yang diberikan manjur. Mata pencaharian di laut menyebabkan orang rentan terkena penyakit yang disebabkan karena pengaruh tekanan air laut pada tubuh seseorang ketika menyelam yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai “kerang”/”kram”, dengan tanda kaki mati rasa, tidak dapat buang air kecil dengan lancar dan beberapa orang di antaranya mengalami kelumpuhan sehingga jika berjalan tidak lagi normal/cacat. Akan tetapi kejadian tersebut juga didukung oleh pengaruh adanya mahkluk halus dalam laut. Bagaimanapun juga terdapat hal-hal yang dianggap memiliki nilai magis dalam laut seperti apa yang pernah dilihat oleh Informan Th ( 69 tahun) dahulu saat menyelam ketika masih muda. Ia pernah melihat tempat/subyek seperti yang dapat dilihat di darat berupa kuburan dan bermacam binatang yang dapat ditemui di darat. “Waktu saya masih muda belum ada saya anak sama mamaknya, lihat kuburan di bawah air, seperti di kampong, setelah naik nanti nak bilang mungkin kramat di sini, liat kuburan atau liat macan, itu saya selalu pesan kalo ada liat di bawah seperti itu salaman” (Th, 69 tahun)

Pasca sembuh dari sakit, maka dilakukan ritual dengan cara mandi di laut, menyembelih (maccera’) ayam, dan membuat makanan berupa sokko (makanan dari beras ketan), katupa (ketupat) dan leppe’-leppe’. Ritual tersebut kini sudah tidak dilakukan, pelaksanaan tergantung pada kemauan dan kemampuan keluarga orang yang sakit.

86

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

2.5.2.1. Pengetahuan Penyembuhan Tradisional dan Biomedikal Banyak warga di desa ini yang memanfaatkan tanaman yang tumbuh di sekitar tempat tinggal sebagai sumber pengobatan. Bahan-bahan bersumber alam yang dimanfaatkan sebagai cara mengobati penyakit secara tradisional pada umumnya diberikan dengan doa tertentu agar manjur.”Kayu Jawa” merupakan salah satu sumber obat yang paling populer di kalangan masyarakat. Umumnya orang di desa ini mengenal dengan baik kegunaan kayu jawa untuk pengobatan sehingga sudah menjadi kebiasaan menggunakan kayu Jawa untuk pengobatan individu atau pada tingkat keluarga tanpa harus memeriksakan diri kepada sanro kampong. Jenis kayu yang dimanfaatkan kulit batang pohonnya ini dipercaya memberikan manfaat yang sangat banyak untuk mengobati berbagai macam sakit, diantaranya adalah luka luar dan sakit dalam. Kayu Jawa dapat digunakan sebagai obat luar seperti luka yang terbuka dengan memanfaatkan getah kulit batang pohon dengan cara diteteskan pada luka,tetapi jika luka cukup lebar maka kulit batang pohon tersebut diparut dan dioleskan pada bagian yang mengalami luka.

Gambar 2. 17 Pohon Kayu Jawa Sumber : Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

87

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Selain itu Kayu Jawa juga dapat dimanfaatkan untuk mengobati sakit dalam, seperti muntah darah. Cara pengobatan sangat sederhana yaitu dengan mengambil kulit batang kayu jawa, dibersihkan bagian kulit terluar. Ada pula orang yang meminumnya tanpa direbus (mentah) dengan cara diparut, ditambahkan sedikit air kemudian disaring dengan maksud agar lebih berkhasiat karena kandungan getah lebih banyak dan bersifat pekat. Pengobatan semacam ini merupakan terapi yang dilakukan secara kontinyu sesuai kebutuhan. Banyak warga yang mengaku telah merasakan dan membuktikan khasiat dari Kayu Jawa ini. Salah satu informan yang memiliki pengalaman “luar biasa” memanfaatkan Kayu Jawa adalah Pak Sd (37 tahun). Pada tahun 2001, ia pernah mengalami luka terbuka pada perutnya akibat sabetan samurai saat kerusuhan Poso terjadi. Ia merawat luka tersebut salah satunya dengan mengoleskan Kayu Jawa pada luka pasca operasi dalam jangka waktu yang lama dan ia meyakini Kayu Jawa tersebut membantu kulit bekas jahitan dapat merapat dengan baik.

Gambar 2. 18. Tanaman Cangak Duri Sumber: Dokumentasi Penelitian 2014

Jenis obat tradisional lain yang biasa digunakan adalah daun Cangak Duri, Tumbuhan ini dapat dijumpai di sekitar rumah warga terutama dekat dengan rerumputan karena tumbuh liar. 88

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Daun ini diramu dengan kemiri, bawang merah, dan kunyit. Bahan-bahan tersebut ditumbuk halus terlebih dahulu kemudian dioleskan pada bagian yang sakit. Ramuan ini sangat bermanfaat untuk mengobati bisul. Pengolesan dilakukan pada bagian pinggir bisul saja, dan tidak menutupi mata bisul sehingga panas akan membuat bisul naik dan keluar. Daun ini dapat mengobati bengkak dengan cara dicampur jamur merah yang biasa tumbuh pada kayu lapuk kemudian ditumbuk halus dan dioleskan pada bagian yang bengkak. Jika ramuan yang ditempelkan telah mengering maka diganti dan ditempel dengan ramuan yang baru kembali, begitu seterusnya berulang-ulang sampai kondisi membaik.

Gambar 2. 19 Tanaman Srikaya/Sirsak Sumber: Dokumentasi Penelitian 2014

Jenis tanaman lain yang dimanfaatkan adalah sirsak (srikaya). Sakit nyeri pada pinggang dan badan diobati dengan daun srikaya muda dan ditempel begitu saja atau diremas-remas terlebih dahulu baru kemudian ditempelkan pada bagian yang sakit. Masyarakat setempat menyebut pohon sirsak dengan sebutan srikaya. Daun srikaya ini juga dapat digunakan untuk mengobati sakit kepala dan sakit pada semua bagian badan. Caranya dengan menempelkan daun muda pada bagian yang sakit. Daun akan melengket pada kulit jika orang tersebut memang benar sakit.

89

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Daun Cocor Bebek atau dalam istilah lokal disebut daun dingindingin atau Pakkece, merupakan sejenis tanaman bunga yang digunakan untuk mengobati sakit kepala dan sakit gigi. Daun ditumbuk sampai agak hancur dan keluar airnya kemudian ditempelkan pada bagian jidat untuk sakit kepala atau pipi Gambar 2.20. Tanaman Daun Pakkece pada bagian gigi yang sakit. Jika daun Sumber: Dokumentasi tersebut sudah kering, maka dapat Penelitian 2014 diganti dengan ramuan yang baru. Daun Jarak yang disebut dengan Kalikepeling oleh masyarakat dipercaya dapat menghindarkan orang sakit dari gangguan manusia yang memiliki ilmu dengan kemampuan memakan bagian tubuh manusia yang disebut dengan parakang. Selain itu disebutkan oleh salah seorang Gambar 2. 21. Tanaman Jarak informan bahwa penyakit parakang Sumber: Dokumentasi juga dapat disembuhkan dengan Penelitian 2014 mantra tertentu. Mantra tersebut sebagai berikut (dibaca tiga kali): Lataliu asen tobotojammu monromu ri lagig munono rilinnoe muniasen parakangg barakkum payakum (artinya: tinggal di langit, turun di bumi, dibilang parakang, berberkah maka terjadilah).

90

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Sakit perut atau cacingan dapat diobati dengan rumput datuk yang dicampur dengan sejenis kapur, yang disebut hualik. Ramuan tersebut dioleskan pada bagian perut yang sakit. Ada sakit yang disebut “bacici”. Orang yang terserang penyakit “bacici” biasanya tidak dapat mempunyai anak. Sakit ditandai dengan sakit perut pada saat menstruasi bahkan menjalar sampai sakit punggung/bagian belakang tubuh sehingga tidak bisa bangun dari tempat tidur, keluar gumpalan darah setiap kali menstruasi. Jika saat menstruasi keluar darah berwarna hitam, berarti seorang perempuan terkena “bacici”. Tanda lain adalah munculnya memar/lebam pada bagian paha. Penyakit “bacici“ bisa menyerang laki-laki dengan tanda seperti lemah syahwat sehingga tidak bisa memiliki anak jika belum diobati. Doa penyakit “bacici” dibaca sebanyak tiga kali pada air jappi-jappi kemudian diminum dan dicampurkan pada bedak tetapi terlebih dahulu diaduk dengan menggunakan jari tengah supaya doa merata pada air. Temu hitam, temu merah dan jahe diparut lalu diperas, disaring dan ditambahkan kuning telur ayam kampung, dibacakan doa dan diminum. Luka bakar dapat diobati dengan mengoleskan odol/pasta gigi sebagai pertolongan pertama. Alternatif lain dengan garam yang dikunyah lalu disemburkan. Pengobatan selanjutnya memanfaatkan putih telur dicampur kopi kemudian dioleskan menggunakan bulu ayam pada luka, tidak boleh menggunakan tangan karena kulit dapat terkelupas. 2.5.3. Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman Lokasi pemukiman yang berada di daerah pantai menyebabkan makanan sehari-hari yang dikonsumsi adalah ikan dan hasil laut dengan variasi yang cukup beragam. Pengolahan makanan tersebut biasanya dengan cara digoreng, dibakar ataupun dimasak dengan kuah/sup. Selain ikan terdapat udang 91

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

karang/lobster, sejenis kerang yaitu joi’ dan seya, keba-keba, kima (tiram). Ikan yang kini biasa dikonsumsi di desa ini diantaranya adalah cakalang (oppo) dan bolu (bandeng). Masyarakat setempat juga biasa membuat sambal yang dibuat dari cabai, tomat, garam dan vetsin sebagai penambah selera. Umumnya sayur tidak dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat karena masyarakat hanya dapat membeli sayur ketika pergi ke pasar di Lasusua atau Lambai. Dahulu saat ikan masih mudah didapatkan (dengan bom ikan), banyak warga yang pergi ke pasar setiap hari sehingga warga sering mengonsumsi sayur. Pada hari Senin, Rabu dan Jumat warga bisa pergi ke pasar di Lasusua, sementara untuk hari Selasa, Kamis dan Minggu warga bisa pergi ke Pasar Lambai. Saat ini tidak banyak lagi hasil tangkapan ikan, tidak banyak pula ibu yang pergi ke pasar untuk menjual ikan setiap hari. Buah menjadi sumber makanan yang jarang dikonsumsi di Sulaho. 2.5.4. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan Pos obat dahulu difungsikan sebagai upaya pertolongan pertama yang didirikan oleh Depsos selama lima tahun saat dilakukan pembinaan terhadap Etnik masyarakat terasing. Penanggung jawab diberikan pelatihan terlebih dahulu sebagai petugas kesehatan. Obat disediakan oleh Dinas Kesehatan. Menurut penanggung jawab pos obat tersebut, sakit yang biasa dikeluhkan masyarakat dahulu adalah sakit kepala, mencret dan sakit perut. Dalam perkembangannya, muncul Bakesra pada tahun 2008. Masyarakat mengakui senang dengan adanya Bakesra ketika pertama kali dibangun. Petugas kesehatan (bidan desa) tinggal selama 2-3 hari setiap minggunya. Sebagian masyarakat yang sudah familiar dengan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan biasanya akan datang ke Bakesra segera setelah mengetahui 92

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

petugas kesehatan datang. Setiap 3 bulan dilakukan kegiatan Posyandu dan pengobatan umum oleh Puskesmas. Tidak banyak yang datang ke Bakesra ketika ada tenaga kesehatan yang datang. Pemeriksaan terhadap ibu hamil dan imunisasi seringkali dilakukan petugas kesehatan dengan berkunjung dari rumah ke rumah. 2.6. Bahasa Bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat adalah bahasa Bugis. Sebagian diantaranya menggunakan bahasa Bugis dengan campuran bahasa Luwu, atau bahasa Bugis dengan campuran bahasa Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh sebagian pendatang Bugis yang menikah dengan orang lokal berasal dari Palopo dan sekitarnya yang kental dengan dialek Luwu. Salah satu faktor penggunaan bahasa Bugis tersebut adalah pengaruh interaksi dengan orang Bugis di pasar atau orang dari luar Sulaho yang umumnya menggunakan bahasa Bugis. Bahasa Bajo kurang dipahami oleh orang sekitar tempat tinggal yang menggunakan bahasa Bugis. Anak-anak dan remaja tidak ada lagi yang menggunakan bahasa Bajo. Bahasa daerah sebagai pelajaran muatan lokal dahulu yang diajarkan adalah Tolaki. Kemudian dalam perkembangannya bahasa daerah ini tidak lagi menjadi bahan ajar di Sulaho, tetapi diganti dengan bahasa Inggris. Bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari adalah bahasa Bugis bercampur dengan bahasa Indonesia. Banyak alasan yang diungkapkan oleh masyarakat berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Bahasa Bugis tersebut diakui telah lama digunakan sejak pertama kali mereka tinggal di desa Sulaho karena sejak dahulu mereka telah hidup berdampingan dengan Etnik Bugis. Tim peneliti seringkali

93

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

mendengar obrolan sesama orang tua yang menggunakan bahasa Bajo. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Bajo di Sulaho belum punah karena masih ada orang tua yang menggunakan bahasa tersebut. 2.7. Kesenian 2.7.1. Lagu Pengantar Tidur Anak Banyak orang tua yang mengaku dahulu menyanyikan lagu ketika hendak menidurkan anaknya atau sekedar bernyanyi dan mengusap-usap anaknya agar segera tertidur dengan nyaman. Salah satu lagu yang sering disebut oleh orang-orang generasi tua di desa ini adalah sebuah lagu berjudul “Yabelale” yang merupakan lagu berbahasa Bugis. Meski mengetahui judulnya tidak semua orang dapat menyanyikan lagu tersebut dengan sempurna/utuh. Banyak ibu muda yang tidak mengenal lagu ini ketika ditanya. Lirik lagu tersebut adalah sebagai berikut: “Yabelale” Cakkaruddu atinronu (mata yang mengantuk, tertidurlah) Cakkaruddu atinronu (mata yang mengantuk, tertidurlah) Matinro tudang ammo (jangan hanya tertidur dalam duduk) Allae nasala nippimu (sampai tidurmu sekedar saja) Nippi mage mumalewe (mimpi, mengapa kau datang berulang kali) Rewe’go makkawaru (kembalilah bersemayam) Alla toddongiku peddi (payungi semua kesedihan) Peddi tegana mutaru (sedih, dimana kau menempatkanku) Peddi tegana mutaru (sedih, dimana kau menempatkanku)

94

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Tegani mupallinrung (dimana aku harus berlindung) Alla to massalleanno (agar aku bisa merasa aman berjalan) Lolang’no musalleanggi (keberpura-puraanmu, tinggalkanlah) Lolang’no musalleanggi (keberpura-puraanmu, tinggalkanlah) Sarai ri atimmu (resahi didalam hatimu) Alla aja mumadoko (jangan sampai membuatmu sakit) Madoko dokoni laoe (sakit perlahan lahan menghampiri) Makkale rojong rojong (sakit yang membuat rasa hampa) Alla toriwelaie (pada orang yang ditinggalkan) Toriwelaimu’ gare gare (orang yang kau tinggalkan katanya) Tudang ritengga lao (kini terduduk di tengah jalan) Alla to mappaseng nateri (mengirimimu pesan sambil menangis) To ripaseng tea mette (orang yang dikirimi pesan tidak mau menjawab) To napolei paseng (tidak mau bertanya) Alla tea makkutana (orang yang padanya pesan sampai) Pekkogana’ makkutana (orang yang padanya pesan sampai) Rilalenga’ mutama (tidak mau bertanya) Alla napole pasangta (ketika pesanmu datang) Cakkaruddu atinronu (mata yang mengantuk, tertidurlah) Cakkaruddu atinronu (mata yang mengantuk, teridurlah) Matinro tudang ammo (jangan hanya tertidur dalam duduk) Allae nasala nippimu (sampai tidurmu sekedar saja)

95

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

2.7.2 Menari Lulo Pada setiap acara pernikahan, biasa dilakukan tarian Lulo. Selain acara pernikahan, tari tersebut juga dilakukan setiap ada alunan musik di Sulaho, seperti acara tahun baru. Tari Lulo sebenarnya merupakan tarian Etnik Tolaki yang biasanya dilakukan dalam acara hajatan seperti perkawinan. Pada tahun 2010 merupakan awal dermaga dibangun di Sulaho, maka banyak remaja yang menari Lulo (malulo) di atas dermaga. Cara melakukan tarian Lulo cukup sederhana karena gerakan yang dilakukan tidak variatif.

Gambar 2. 22. Menari Lulo Sumber: http://www.beritakendari.com/lulo-tari-keakraban-masyarakatsulawesi-tenggara.html

Penari Lulo tidak terbatas pada jumlah. Penari saling bergandeng tangan dan biasanya tangan anak perempuan berada pada posisi atas jika harus bergandeng tangan dengan seorang laki-laki. Menari dengan bergerak ke arah kanan sebanyak dua

96

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

langkah, lalu bergeser ke kiri sebanyak dua langkah juga dengan gerakan gemulai, tangan dan kaki dimainkan sesuai dengan irama musik. Menurut salah seorang informan, Rh (56 tahun) tari Lulo ini memiliki filosofi persahabatan. 2.7.3. Ula-ula (Bendera) Etnik Bajo memiliki adat yang sangat kental dalam acara perkawinan yaitu dengan cara menaikkan bendera yang disebut Ula-ula. Salah satu pesta pernikahan di Sulaho yang menggunakan Ula-ula adalah Pak Ny (52 tahun) dan Ibu Ec (41 tahun). Masa selanjutnya tak pernah lagi dijumpai Ula-ula dalam proses adat perkawinan. Ula-ula berbentuk boneka menyerupai manusia yang terdiri atas 2 macam warna, yaitu merah sebagai penggambaran sosok laki-laki dan hitam sebagai penggambaran sosok perempuan. Ula-ula dilengkapi dengan accessories anting yang terbuat dari kain yang dipasang pada kedua telinga Ula-ula tersebut. Bagian muka dilengkapi dengan guratan mata, hidung dan mulut dengan tinta. Kaki Ula-ula hanya memiliki satu kaki saja. Ula-ula berwarna merah dipasang tepat di depan rumah, sementara Ula-ula berwarna hitam dipasang di belakang rumah satu garis lurus dengan Ula-ula berwarna merah yang dipasang. Panjang tiang penarik sekitar 7 meter untuk Ula-ula merah dan 5 meter untuk Ula-ula berwarna hitam. Di tengah rumah, satu garis lurus dengan Ula-ula merah dan hitam dipasang bendera merah putih. Etnik Bajo di Desa Sulaho ini sudah tidak lagi menggunakan tradisi tersebut. Kini pesta perkawinan umumnya diramaikan dengan organ tunggal atau disebut dengan electon yang didatangkan dari Kecamatan Lambai atau Lasusua. Penggunaan Ula-ula ini tidak bisa digunakan oleh sembarang orang. Mereka yang berhak menggunakan Ula-ula dalam pesta pernikahan

97

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

adalah yang masih memiliki keturunan Arung atau biasa disebut pula dengan Lolo Bajo yang merupakan bangsawan Etnik Bajo. Ula-ula ini merupakan benda pusaka Etnik Bajo yang disimpan dan dirawat secara turun temurun dan digunakan dalam pesta pernikahan. Penarikan Ula-ula dilakukan seperti halnya menarik bendera merah putih diiringi dengan orang yang memainkan gendang dan sepasang penari lelaki dan perempuan. Menurut cerita, gerakan tari yang dilakukan oleh penari tersebut bukan keinginan dari penari tersebut tetapi keinginan mahkluk halus yang merasuki tubuh penari. Tarian yang dilakukan biasanya menjadi tarian yang apik dan luwes untuk dilihat. Dalam proses pemasangan hingga selesainya proses penarikan Ula-ula, orang-orang yang terlibat adalah “orang pintar” yang biasanya mengerjakan kegiatan serupa. Ula-ula biasanya dipasang selama 3 hari selama masa pagelaran pesta perkawinan. Tidak ada lagi orang tua di Sulaho yang pintar dalam mengerjakan hal demikian. Menurut kepercayaan, jika terdapat kesalahan dalam penyelenggaraan pemasangan Ula-ula, maka dapat menimbulkan terjadinya kesakitan karena kerasukan yang dalam istilah setempat disebut dengan ampamparangeng atau bahkan dapat menimbulkan kematian. 2.8. Mata Pencaharian Etnik Bajo umumnya menetap di daerah pesisir laut karena mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Ada larangan penggunaan bom ikan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten setempat. Etnik Bajo mengakui memanfaatkan bom ikan untuk mencari ikan. Nelayan mengatur strategi untuk memperoleh ikan banyak dengan mengebom tanpa diketahui oleh pihak berwajib. Per tanggal 1 April 2014, seorang warga ditangkap oleh pihak kepolisian karena kasus penggunaan bom 98

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

ikan. Kasus masih bergulir ketika tim peneliti meninggalkan lokasi penelitian. Sebelum kejadian tersebut pemerintah Kabupaten Kolaka Utara telah memberikan peringatan terkait larangan untuk menggunakan bom dalam menangkap ikan karena dampaknya terhadap kerusakan karang laut. Kini, penangkapan ikan sebagai mata pencaharian utama cenderung menjadi stagnan. Kegiatan penangkapan ikan secara manual, seperti menjaring atau memancing dirasakan tidak dapat memberikan hasil yang baik. Kini lebih banyak warga yang mencari teripang. Kegiatan melaut biasanya dilakukan sendiri maupun bersama-sama/berkelompok. Hasil tangkapan ikan sangat variatif seperti ikan kacalang (oppo), ekor kuning, putih, sunu dan berbagai jenis ikan tangkapan lainnya. Selain ikan, masyarakat juga mencari teripang. Mereka dikenal sebagai penyelam ulung, tahan berjam-jam di kedalaman air 10-20 meter untuk berburu ikan dengan tombaknya yang berkait. Mereka juga mencari kerang mutiara, rumput laut, teripang atau sirip ikan hiu yang harganya cukup bagus (Z. Hidayah, 1997). Teripang biasanya diperoleh di karang-karang tak jauh dari pantai Desa Sulaho sampai di wilayah perairan Kolaka. Jenis teripang yang diperoleh beraneka ragam. Pertama, teripang game’. Teripang jenis ini berbentuk panjang, berwarna gelap, kulit keras dan memiliki tekstur tubuh yang berduri dan teripang jenis ini relatif mahal yaitu sekitar 100.000,-/kg. Kedua, teripang jenis polos, merupakan teripang dengan warna terang dan kulit luar cenderung lembek. Jenis teripang ini biasanya didapat sekitar 3 bulan sebelum datangnya angin barat yang berlangsung selama 6 bulan dan akan dapat diperoleh lagi setelah angin barat tersebut berakhir, yaitu sekitar bulan April sampai dengan Juni. Teripang jenis ini merupakan teripang yang murah dengan harga di bawah Rp. 100.000,-/kg. Ketiga adalah

99

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

teripang koro. Teripang jenis ini memiliki bentuk oval dan tekstur tubuh memiliki benjolan teratur. Teripang jenis ini merupakan teripang paling mahal, yaitu mencapai Rp. 400.000,- per kg atau Rp. 100.000,- per buah. Pencari teripang yang beruntung dapat memperoleh sekitar 50 ekor dalam 1 malam, sementara jika sedang tidak beruntung maka hanya diperoleh sekitar 10 ekor saja. Terdapat dua pengepul teripang kering di desa ini yang selanjutnya dijual langsung ke Kolaka, Kendari atau Makassar. Kegiatan mencari ikan tidak lagi dapat dengan mudah dilakukan di daerah pantai Sulaho dikarenakan terdapat pencemaran lingkungan oleh beberapa perusahaan Tambang yang ada di Sulaho , tepatnya di balik pegunungan Sulaho yang berhadapan dengan dusun 4 atau Lanipa-nipa. Kini perusahaan tambang telah berhenti beroperasi sejak 5 bulan yang lalu (bulan Februari). Kini sebagian besar warga Desa Sulaho dalam kesehariannya bekerja mencari teripang. Kegiatan melaut pada umumnya dilakukan oleh laki-laki dewasa, beberapa diantaranya mengajak pula anak usia sekolah sekitar umur 10 tahun lebih. Sementara sebagian besar ibu menjadi penjual ikan (mapalele). Mereka membeli ikan dari nelayan setempat dan kemudian menjualnya kepada langganan di Lasusua atau Lambai atau dijajakan secara langsung kepada konsumen. Menurut cerita dahulu, anak-anak memiliki kebiasaan mengambil beberapa ekor ikan dari setiap perahu yang datang membawa ikan dan menjualnya kepada pembeli, yang disebut dengan kegiatan matila. Kegiatan matila ini merupakan sebuah kegiatan yang dipercaya sebagai bentuk pengeluaran zakat oleh pemilik ikan. Sebut saja keluarga ibu Rs (43 tahun) dan Pak Dm (46 tahun), keluarga dengan jumlah anak yang relatif banyak yaitu 11 anak. Dua diantara anaknya telah berumah tangga dan satu anak

100

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

lelakinya tinggal bersama saudaranya di Kalimantan. Jika satu anak laki-laki dan anak kembar perempuannya tidak meninggal ketika masih usia SD, maka ia memiliki 14 anak. Pak Dm dan Ibu RS memiliki lahan seluas 1 Ha yang ditanami jambu mete, akan tetapi mereka pernah panen dikarenakan sulit untuk mencapai lokasi kebun yang berada di daerah pegunungan. Pak Dm mengaku mencari “rejeki” dengan cara memancing menggunakan kail. Pak Dm dan keluarganya takut menggunakan bom ikan (pangada) seperti yang digunakan oleh sebagian orang di Sulaho. Ibu Rs mengalami trauma dengan kejadian tragis yang menimpa adiknya yaitu meninggal karena terkena bom ikan. Ia hanyut dalam cerita sedih, matanya berkaca-kaca dan meneteskan air mata ketika menceritakan kehidupannya dahulu saat harus tinggal dalam sebuah rumah reot, bocor bila hujan, dan bangunan rumah sudah hampir roboh. Saat itu anak-anaknya masih kecil dengan jarak kelahiran dekat, sementara penghasilan setiap hari tak seberapa, bahkan kadang-kadang tidak memperoleh hasil tangkapan. Keluarga ini memiliki satu perahu jolor yang biasa digunakan untuk mencari nafkah dengan mencari ikan. Perahu bekas tersebut dibeli seharga Rp. 7.500.000,- dari orang Sulaho, karena harga perahu baru cukup mahal yaitu sekitar Rp. 20.000.000,- lebih, sehingga merasa tidak mampu untuk membelinya. Pak Dm biasa dibantu oleh salah satu anaknya untuk melaut. Tiga anak yang lain Ha (28 tahun), Hi (27 tahun), Rd (26 tahun) biasanya bekerja bersama dengan orang lain, kecuali anaknya Aj (29 tahun) yang badannya lemah dan tidak bisa bekerja berat sejak pulang dari bekerja di perkebunan kelapa sawit Malaysia. Sementara Ja (8 tahun), salah satu anaknya terbiasa ikut ke laut jika hari libur sekolah, Ro (12 tahun), tidak pernah ikut ke

101

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

laut karena sering mabuk laut dan Sa (7 tahun), satu-satunya anak perempuan biasanya tinggal di rumah. Ro (12 tahun) merupakan pengecualian dibanding anak seusianya di Sulaho yang telah ikut pergi orang tua atau saudaranya melaut. Mereka harus menahan terik matahari, menantang kerasnya ombak, merasakan berada di tengah lautan lepas dan akhirnya menjadi sebuah daya tarik dan menggantungkan seragam dan tas sekolah begitu saja. Ibu Rs mengaku pendapatan yang diperoleh setiap hari tidak seberapa. Ketiga anaknya Ha (28 tahun), Hi (27 tahun) dan Rd (26 tahun) yang tidak tamat SD sering membantu ekonomi keluarga. Sejak meninggalkan bangku sekolah, sejak itu pulalah mereka berperan menopang ekonomi keluarga. Mereka “lebih suka” mencari uang daripada duduk mengikuti pelajaran sekolah. Belajar dan bermain di sekolah rupanya bukan lagi menjadi kegiatan yang menarik untuk mereka. Saat ini ikan yang diperoleh Pak Dm dan Ibu Rs hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari saja karena tidak banyak yang diperoleh, kalaupun memperoleh tangkapan beberapa ekor lebih banyak, ikan tersebut dijual untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Biasanya dapat menjual ikan hasil memancing sebesar Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 50.000,sebanyak dua kali dalam seminggu, selain menjual teripang setiap minggunya sekitar Rp. 200.000,-. Penghasilan Ha dan Hi sekitar Rp. 200.000 per bulan, sementara Rd sekitar 120.000 per bulan karena tidak setiap hari mereka turun melaut. Jika musim “ikan” tiba sekitar bulan September sampai dengan Februari, maka pendapatan yang diperoleh biasanya lebih banyak yaitu berkisar antara Rp.300.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- yang diperoleh dua kali seminggu tergantung jenis dan kualitas ikan. Kebutuhan bahan makanan cukup besar yaitu biasanya sekitar Rp. 700.000,- per bulan karena anak Pak Dm dan Ibu Rs

102

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

yang cukup banyak. Makanan yang dimaksud diantaranya adalah beras, sayur, gula, kopi, teh dsb. Sementara untuk keperluan membeli obat di warung sebesar Rp. 50.000,-. Jika terdapat sebuah hajatan di kampung dan harus memberikan sumbangan, maka dibutuhkan uang sebesar Rp. 50.000,- akan tetapi jika keluarga atau kerabat dekat maka sumbangan yang diberikan biasanya lebih besar yaitu berupa sekarung beras. Pengeluaran jenis ini memang diakuinya sebagai kebutuhan insidental. Kebutuhan sabun cuci dan kebutuhan sejenis sebesar Rp. 300.000,- setiap bulannya. Sisa penghasilan digunakan untuk kebutuhan seperti rokok dan kebutuhan yang bersifat mendadak. Uang untuk ditabung sangat sedikit, biasa tersisa uang sekitar Rp. 20.000,- selama, disimpan dalam lemari. Pendapatan dan pengeluaran keluarga pak Dm saat hari biasa/tidak musim ikan, sebagai berikut: Tabel 2. 4 Pendapatan Keluarga Pak Dm Keterangan Pendapatan Bahan bakar minyak Pengeluaran: Makanan Sekolah/ Jajan Sabun Obat-obatan Dana sosial Tabungan Sisa pendapatan

Jumlah Rp. 1.720.000,Rp. 320.000,Rp. 1.070.000,Rp. 700.000,Rp. 180.000,Rp. 300.000,Rp. 50.000,Rp. 50.000,Rp. 20.000,Rp. 150.000,-

Sumber: Data Primer

Berbeda dengan Pak Dm, yang bekerja bersama anggota keluarga,nelayan di Sulaho yang menggunakan bom ikan bekerja sama dengan nelayan lain (anggota) untuk menangkap ikan. Biasanya seorang “bos” yang perahunya digunakan menanggung

103

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

semua bahan makanan dan perlengkapan lain yang harus dibawa saat melaut. Bahan makanan terdiri atas beras, garam, gula, susu, asam, rokok dan bahan lain yang diperlukan sesuai kebutuhan, sementara bahan atau perlengkapan penangkapan ikan (pengeboman) adalah pupuk kelapa sawit, minyak tanah, sumbu (dopis) dan botol/jerigen. Satu kelompok terdiri atas 3-4 orang. Dalam waktu dua hari, biasanya satu kelompok pengebom ikan dapat memperoleh ikan sebanyak empat gabus, yang dihargai sebesar Rp. 800.000,- s.d Rp. 1.000.000,-, tergantung jenis ikan yang diperoleh. Jika ikan putih mendominasi isi gabus, maka satu gabus bisa dibeli oleh palele sebesar Rp. 1.000.000,-. Sebagai gambaran, pendapatan yang diperoleh salah satu kelompok nelayan yang menggunakan bom ikan sekali melaut sebagai berikut:

Gambar 2. 23. Pendapatan Nelayan Menggunakan Bom Ikan Sumber: Data Penelitian Tahun 2014

2.9. Teknologi dan Peralatan Perahu menjadi alat transportasi utama di desa ini. Jenis perahu yang biasa dipergunakan adalah yang disebut jolor. Jenis

104

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

perahu ini belum lama digunakan, yaitu sejak sekitar 3 tahun yang lalu. Perahu sebelumnya yang umum digunakan adalah jarangkah/bingkak dengan ciri khas adanya sayap yang terbuat dari kayu atau bambu atau pipa pralon yang berfungsi sebagai penyeimbang perahu. Perahu jarangkah/bingkak seringkali disebut juga dengan katinting, meskipun katinting sebenarnya merupakan sebutan untuk mesin diesel. Jolor adalah jenis perahu yang tidak menggunakan sayap pada kedua sisi perahu. Ukuran perahu jenis jolor maupun jarangkah/bingkak paling besar berukuran 12 x 2 ¼ m dan paling kecil adalah sekitar 9 x 1 ½m. Selain itu, jarangkah/bingkak ada yang berukuran lebih kecil yaitu sekitar 5 x 1 m. Ukuran perahu tergantung dari kebutuhan penggunaan. Perahu besar digunakan untuk memuat barangbarang dari pasar, untuk mencari ikan di laut yang relatif dalam. Perahu untuk memancing di lokasi yang tidak jauh memanfaatkan perahu berukuran kecil. Jolor lebih unggul, perahu yang tidak bersayap ini, cukup gagah menghadapi ombak karena tidak bisa terbalik dan tidak mudah tenggelam, sementara jarangkah/bingkak mudah terbalik jika sayap perahu terlepas terutama jika angin dan ombak besar. Sayap jarangkah/bingkak dahulunya terbuat dari bambu dan dalam perkembangannya dibuat dari kayu dan pipa paralon. Kekuatan perahu juga berbeda-beda dipertimbangkan dengan beban yang dibawa oleh perahu dan besar kecilnya perahu, yaitu dengan menggunakan mesin diesel mulai dari 28 PK hingga 56 PK sebagai tenaga penggerak perahu. Semakin besar perahu maka digunakan mesin diesel dengan kapasitas yang lebih besar. Ada perahu-perahu kecil berukuran sekitar 2 x 80 cm yang disebut dengan sampan dan biasanya digunakan untuk memancing tidak jauh dari pantai. Perahu biasanya dibuat dari kayu jenis ponto. Salah satunya adalah ponto kandole yang merupakan kayu yang dinilai

105

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

tahan terhadap air. Perahu yang dimiliki pada umumnya dibuat dengan menyiapkan bahan sendiri yaitu membeli kayu dari tukang kayu (pa senso) dengan mengambil kayu di pegunungan Sulaho dan untuk membuat perahu menyewa tukang. Kayu yang dibutuhkan untuk membuat perahu dengan ukuran 12 m adalah Rp. 4.000.000,- s.d Rp. 5.000.000,-/kubik, sementara kayu yang dibutuhkan sekitar 2 kubik (kayu besar); sewa tukang sekitar Rp. 5.000.000,- belum termasuk bahan keperluan pembuatan perahu selain kayu dan biaya makan pembuat perahu. Ada beberapa orang yang pandai membuat perahu di Sulaho, meski demikian perahu juga bisa dibeli di Lambai atau Lasusua dengan kisaran harga Rp. 20.000.000,- ke atas.

Gambar 2. 24. Perahu Jolor, Jarangkah dan Sampan Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Alat transportasi pedesaan yang digunakan oleh warga adalah sepeda motor dan sepeda. Tidak banyak warga yang memiliki sepeda motor. Umumnya warga berjalan kaki untuk berinteraksi dengan warga lain, karena desa Sulaho tidak terlalu luas sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki tanpa merasa lelah. Peralatan yang biasa digunakan untuk menangkap ikan oleh warga diantaranya adalah bom ikan, bubu (perangkap ikan), jaring dan rompong (sebuah rumah gubug yang di bawahnya terdapat perangkap ikan). Peralatan lain yang digunakan dalam mendukung mata pencaharian sehari-hari untuk menangkap teripang adalah “dagor” yang disambungkan pada selang dan

106

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kompresor sebagai alat bantu pernafasan, dipakai secara bergantian ketika nelayan menyelam. Pada masa lalu terdapat kakus jenis cemplung bantuan Depsos bersamaan dengan pembanguan rumah. Pada perkembangannya, Pemerintah kabupaten Kolaka Utara memberi bantuan berupa pembagian kloset sementara biaya pembangunan menjadi tanggung jawab setiap RT. Kegiatan ini tidak berjalan dengan baik karena tidak semua RT mau memasang kloset dengan alasan tidak memiliki biaya selain kemudahan buang air besar di pantai. Pada tahun 2013 dibangun kakus umum yang berada di sebelah barat desa, tepat di sebelah masjid dan kakus lainnya dibangun di tengah pemukiman warga. 2.9.1. Cerita Memasak hingga Makan Kegiatan memasak dilakukan dengan menggunakan kompor gas, tungku kayu atau menggunakan keduanya. Wadah tungku seperti layaknya meja, biasanya dibuat dari kayu, sementara mulut tungku dibuat dari batu, rangka besi atau semen. Jenis peralatan masak yang digunakan bervariasi berupa panci-panci dengan bahan stainless, peralatan dari bahan plastik seperti gelas, mangkok, dan wadah-wadah yang juga biasa dipakai untuk mencuci sayur atau melakukan kegiatan lain dalam proses memasak. Kegiatan memasak bisa dikatakan melalui proses yang relatif sederhana. Makanan sehari-hari masyarakat adalah nasi dengan menu pelengkap ikan, umumnya dimasak dengan kuah, dibakar dengan kayu atau digoreng. Banyak jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat tergantung hasil yang diperoleh ketika memancing atau sembari mencari teripang. Ikan seperti kacalang atau dalam bahasa setempat disebut oppo relatif lebih mudah didapatkan daripada ikan lainnya. Lauk selain ikan dan telor, seperti daging atau ayam hampir tidak pernah tim peneliti jumpai. 107

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2. 25 Wadah Tungku, Mulut Tungku dengan Batu dan Mulut Tungku dengan Rangka Besi Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Makanan pokok adalah nasi, namun ada makanan pengganti nasi seperti kapurung dan sinole yang terbuat dari tepung sagu. Kapurung dan sinole ada yang menganggap sebagai pendamping nasi sehingga dimakan bersamaan. Setiap RT tidak memiliki jadwal makan rutin. Tim peneliti menemukan bahwa banyak keluarga memiliki kebiasaan tidak makan pada pagi hari. Sebut saja keluarga Pak Dr (25 tahun) bersama istrinya Rn (19 tahun). Pak Dr mengaku terbiasa sarapan pagi ketika masih bujang dan tinggal bersama orang tuanya, bahkan jam 06.30 WITA biasanya sudah makan. Pola makan secara drastis berubah ketika menikah. Istri memiliki kebiasaan tidak sarapan sehingga tidak pernah memasak pagi hari.

Gambar 2. 26. Membakar Ikan di Luar Rumah Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

108

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Pernah suatu hari tim peneliti berkunjung, pagi itu Pak Dr (25 tahun) mengambil dua buah pisang dari rumah orang tuanya yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Ia mengiris buah pisang menjadi potongan kecil dan menggorengnya lalu dimakan bersama istri dan anaknya. Saat merasa tidak dapat menahan rasa lapar atau berkeinginan untuk sarapan maka akan pergi ke rumah orang tua, sekalipun terkadang hanya makan nasi dicampur gula pasir. Pak Dr (25 tahun) bercerita bahwa pagi hari isteri dan kedua anaknya, Dn (4 tahun) dan Hl (3 tahun) makan mi rebus instan yang dikonsumsi dalam keadaan kering tanpa dimasak terlebih dahulu. Pak Dr (25 tahun) bercerita bahwa isterinya sangat menyukai jenis makanan tersebut. Mi instan tanpa diolah tersebut cukup sebagai pengganti makanan bila tidak memasak nasi. Tim peneliti mengunjungi rumah lain dengan kebiasaan yang sama. Rumah berukuran 7x5 m pada rumah induk dan bangunan tambahan berupa dapur, kamar mandi dan kakus, berukuran sekitar 2x5 m dihuni oleh 13 orang. Pak Th dan ke tujuh anaknya, Ibu Sh (30 tahun) mantan isteri, juga tinggal di rumah ini dengan 2 anak dari suami kedua. Ia tinggal di rumah tersebut semenjak suami pergi merantau ke Jakarta beberapa bulan lalu, selain ia adalah sepupu satu kali Pak Th. Adik ibu Sh serta kedua anaknya yang masih kecil juga tinggal di rumah itu terutama malam hari karena suaminya bekerja di Malaysia. Suatu hari, sekitar jam 11.00 WITA, sebagian besar anggota rumah tangga ini belum makan. Pagi sebelumnya Wt (17 tahun) telah menggoreng nasi sisa semalam dengan menambahkan bumbu nasi goreng instan, dan 5 orang anak yang lebih kecil darinya memakan nasi goreng tersebut. Tim peneliti dapati ibu Sh di tengah jalan kampung hendak meminta “air” ke seorang sanro kampong sekaligus mengambil dua ekor ikan berukuran cukup besar dan membawa sekantong plastik jajanan,

109

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

yang dikirim saudaranya dari Desa Lawata. Ikan pun dibersihkan oleh anak perempuan tertua. Ibu Nh (28 tahun) tengah memasak nasi. Api di tungku menyala-menyala dan dengan cepat membakar setiap bagian kayu. Ikan diletakkan dalam panci, namun tak ada garam dan asam sebagai rempah utama untuk memasak ikan. Wt (17 tahun) pergi ke warung membeli garam, sementara tak lama ibu muncul dengan membawa segenggam asam yang diminta dari rumah sebelah. Ikan, asam, garam dan vetsin dimasukkan dalam panci ditambah air dan diletakkan di atas mulut tungku. Anak sulung Pak Th (69 tahun) pulang, Ibu Nh (28 tahun) membuatkan satu teko kopi manis, lalu menyuruh anak itu untuk membawanya ke pinggir laut tempat Pak Th dan adiknya tengah memperbaiki perahu. Tak ada makanan yang dibawa serta, hanya dua gelas kaca yang menjadi teman teko itu. Ibu Sh (30 tahun) menyatakan bahwa jika tidak memiliki lauk maka biasanya memasak nasi dengan menambahkan bumbu penyedap seperti “masako” sehingga nasi memiliki rasa gurih dan dapat ditambahkan air pada saat dimakan. Sayur tidak lagi menjadi menu yang dapat diperoleh dengan mudah bagi keluarga ini. Meskipun setiap hari adalah hari pasar, kecuali pada hari sabtu, tetapi keluarga ini mengaku tidak dapat pergi ke pasar sekedar untuk membeli sayur karena tidak ada uang. Dahulu ketika penggunaan bom ikan masih bisa dilakukan, ada pendapatan lebih sehingga mampu membeli sayur meski tidak setiap hari. Tepat pukul 12.30 WITA, makanan disiapkan di lantai dapur, satu ceting nasi, satu wadah ikan berkuah dan piring ditata mengelilingi nasi dan lauk. Pak Th dan kedua anak lelakinya pulang. Pak Th (69 tahun) dan anak-anaknya: Wt (17 tahun), Sr (6 tahun), St (19 tahun), Sm (18 tahun) serta ibu Nh (28 tahun) dan kedua anaknya makan di lantai dapur. Sementara dua anak pak Th yang lain tidak terlihat.

110

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Ibu Sh (30 tahun) tidak makan nasi bersama mereka karena merasa tidak enak badan dan tidak bisa makan dengan baik sehingga hanya mengonsumsi kopi. Anak yang tak ada di rumah tidak dicari untuk diajak makan. Orang di Sulaho, termasuk anak-anak umumnya memiliki kebiasaan untuk tidak makan pagi. Ibu-ibu biasanya mulai memasak setelah matahari terbit, antara pukul 07.00-11.00 WITA untuk makan siang. Anak yang sudah bermain sendiri dengan teman-temannya tidak menjadi prioritas untuk mendapatkan jatah makan. Anak biasanya bermain setelah bangun tidur dan orang tua tidak menghiraukan anak-anaknya yang sedang bermain. Anak biasanya pulang ke rumah dengan sendirinya dan ketika merasa lapar mereka akan meminta makan kepada orang tua. Sementara anak-anak balita mengikuti jadwal dan menu makan ibu. Sebut saja HI yang masih berusia 3 tahun, terbiasa memakan mi instan sesuai kegemaran ibunya sewaktu-waktu dan kadang kala tanpa diolah. Terdapat minuman yang biasa dibuat dari air kelapa dan daging buah kelapa ditambahkan sirup, remahan roti dan es, menjadi minuman yang disebut simbole. Tidak setiap keluarga dapat mengonsumsi sayur setiap hari karena tidak setiap hari pergi ke pasar. Sayur yang biasa dikonsumsi warga diantaranya adalah kubis, terong, sawi, daun kelor, kacang panjang, bayam, labu, daun katuk, daun kacang, kangkung dan daun pakis. Umumnya sayur dimasak dengan kuah atau dibuat lawak, yaitu sayur yang direbus dicampur dengan parutan kelapa yang disangrai, cabai, bawang putih dan perasan jeruk nipis. Anak-anak memiliki kebiasaan jajan bermacam kudapan (snack) di warung desa. Hal ini sebagai salah satu dampak matila yang dahulu menjadi budaya di Sulaho ketika bom ikan masih digunakan. Seorang anak bisa memegang uang jajan sebesar Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 50.000,- dari hasil menjual ikan yang

111

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

diambil secara gratis dari nelayan. Salah satu makanan yang menjadi favorit anak-anak, termasuk anak balita adalah mi instan yang biasanya diremas, dicampur bumbu dan dimakan mentah. Cara lain adalah dengan kuah berupa mi siram (mi instan di siram begitu saja dengan air panas). Ada beberapa penjual mi siram di desa ini. Tidak hanya anak-anak yang biasa membeli mi siram, orang tua juga kerap terlihat memakan mi siram. Makanan pabrikan menjadi makanan camilan favorit anak-anak sehari-hari. Cacing laut biasanya dicari oleh orang dewasa maupun anak-anak di desa Sulaho ketika laut surut. Mereka membawa semacam parang atau benda tajam lain untuk menggali pasir pantai di lautan yang surut. Cacing laut dipercaya menjadi obat untuk penyakit tertentu, seperti obat sakit perut, obat sakit pinggang dan penyakit kuning yang dapat dikonsumsi secara mentah/dimasak dengan cara digoreng, ditumis atau dibakar sesuai selera dan menjadi lauk untuk dimakan bersama dengan nasi.

Gambar 2. 27. Memakan Cacing Laut Sumber: Dokumen Penelitian 2014

112

BAB 3 POTRET KESEHATAN

3.1.

Budaya Kesehatan Ibu dan Anak

Perempuan memiliki peran reproduksi yang sangat vital dalam menjaga kelangsungan kehidupan manusia. Peran reproduksi ini berkorelasi dengan peran sosialnya, setiap remaja perempuan akan mengalami menstruasi sebagai pertanda akil balik lalu akan menjalani pernikahan menjadi istri, hamil, melahirkan mengalami masa nifas dan menyusui serta memelihara anak-anaknya. Peran reproduksi ini akan dilanjutkan oleh anak perempuanya yang tumbuh menjadi remaja, mengalami menstruasi, pernikahan, hamil, melahirkan, menyusui dan menopause (masa berhentinya menstruasi) begitulah seterusnya siklus kehidupan akan terus berlanjut. 3.1.1. Remaja usia 10 sampai 24 tahun Menstruasi atau haid atau datang bulan adalah perubahan fisiologis dalam tubuh wanita yang terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon reproduksi, periode ini penting dalam fungsi reproduksi, menstruasi terjadi setiap bulan antara usia remaja sampai berhentinya masa menstruasi (menopause). Remaja perempuan Etnik bajo di Sulaho mengalami menstruasi pertama kali saat usia 9 tahun hingga 13 tahun saat mereka duduk di bangku SD/SMP. Seorang informan mengaku telah mengetahui tentang menstruasi dan cara menghadapi menstruasi pertamanya. Pengetahuan tersebut diketahui 113

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

informan dari ibu, bibi, saudara perempuan dan teman sebaya yang menstruasi terlebih dahulu. Berikut penuturan informan: “ …Saya haid pertama kali waktu itu masih sekolah di SD kelas 6, waktu pertama kali dapat, saya tau memang bilang ini haid namanya, baru waktu saya tau saya pake soffes (pembalut) supaya tidak tembus karena kalau tembus maluki dia tau semua orang, untung saya tau dari mamaku sama tante biasa juga saya liat kaka dengan temanku yang lebih dulu haid. Waktu dikenaka itu hari baru pulang sekolah, langsung mandi selesai mandi eh ada keluar astaga, ternyata darah haid…tapi ada juga temanku si D anaknya mama S masih anak-anak baru kelas 4 SD tapi sudah mulai haid, ketahuan haid karena sementara pungut rumput disekolah diliat tembus tidak pake soffes (pembalut) jadi tembus dicelananya, saya bilang astaga haid ini anak, nda ganti celananya, haidko to? Dia jawab Bilang ia haidka…” (Is,14 tahun)

Remaja Etnik Bajo mengetahui bahwa peristiwa menstruasi yang dialami merupakan pertanda kedewasaan bagi anak perempuan, dan memberi tahu orang tua saat pertama kali mereka menstruasi. Biasanya orang tua khususnya ibu memberi nasehat agar anak perempuan berhati-hati, tidak terjebak dalam pergaulan bebas. Berikut ini penuturan informan Rn (14 tahun): “…Waktu dapat haid biasa-biasa tidak ada dia bilang mamaku anuji Cuma dia bilang, jaga dirimu baik-baik karena kau sudah besar jangan terlalu sering bergaul dengan laki-laki…nanti hamil kalau sering bergaul dengan laki-laki…”(Rina, 14 tahun)

Masyarakat Etnik Bajo di Sulaho juga beranggapan bahwa remaja perempuan yang mengalami masa haid lebih dini yaitu saat mereka masih berstatus siswa sekolah dasar (SD) dianggap

114

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dipicu oleh sikap genit yang dalam istilah masyarakat lokal di sebut dengan istilah maji’ja, karena mereka terlalu sering bergaul dengan laki-laki sehingga memicu terjadinya menstruasi lebih awal. Seperti lazimnya remaja perempuan yang mengalami menstruasi, mereka mengalami rasa nyeri pada perut dan sakit pada bagian pinggang tetapi mereka tidak mengonsumsi obat penghilang nyeri yang biasanya di jual secara bebas. Rasa nyeri tersebut dibiarkan saja sampai hilang dengan sendirinya. Mereka sudah paham penggunaan pembalut sejak pertama kali menstruasi. Umumnya remaja laki-laki di Sulaho mengaku mengalami mimpi basah dan sudah mengerti tentang mimpi basah seperti informan Rd (17 tahun) yang mengaku mengalami mimpi basah pada umur 10 tahun. Informan mengaku mimpi melakukan hubungan seksual dengan teman sebaya berusia 10 tahun yang merupakan pacar Rd. Pengalaman pertama mimpi basah awalnya membuat bingung dan kaget karena dalam pemahaman Rd, mimpi basah pada anak laki-laki usia 10 tahun terlalu dini. Lebih jauh informan Rd mengaku saat hasrat seksual datang informan membayangkan pacar dan menelpon pacarnya yang berada di ibu kota kabupaten atau mengunjungi pacarnya tersebut untuk melakukan ciuman dan pelukan namun berusaha untuk mengontrol hasrat agar tidak melakukan hubungan seksual karena bertentangan dengan nila-nilai yang yakini oleh masyarakat, sedangkan hubungan sebatas ciuman dan pelukan masih dianggap boleh. Upaya yang dilakukan untuk menekan nafsu seksual adalah pergi melaut atau berkumpul dengan teman sebaya. Informan mengaku tidak biasa melakukan masturbasi untuk melampiaskan hasrat seksual. “…Itu dulu tidak kurasa tiba-tiba bangun pagi ada yang basah di celanaku baruka sadar kalau inimi di bilang mimpi basah..umurku waktu itu 10 tahun terlalu cepat

115

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

saya mimpi basah padahal tidak biasaji nonton filim porno tapi adami pacarku umur 10 tahun juga itumi yang saya temani berhubungan dalam mimpiku…setelah mimpi basah pertama sampai sekarang kalau datang itu perasaan mauka seperti waktu mimpiku, saya melamun ingat pacar di lasusua (ibu kota kabupaten) biasa kalo mau sekalika saya telponmi pacarku itu atau saya ketemu langsung…kalau ciuman sama peluk-peluk baisaji tapi tidak sampai berzinah karena tidak boleh di larang…selain itu seringka ke laut atau main-main gitar dengan teman-temanku…”(Rd, 17 tahun)

Terkait dengan pengetahuan remaja mengenai permasalahan kesehatan reproduksi, remaja Etnik Bajo di Sulaho memiliki pengetahuan mengenai hubungan seks dan upaya pencegahan kehamilan dan aborsi. Mereka tidak memiliki pengetahuan mengenai risiko penyakit menular seksual (PMS) akibat hubungan seks bebas pra nikah. Para remaja mengetahui cara agar tidak hamil ketika melakukan hubungan suami isteri, salah satunya dengan penggunaan kondom yang biasa mereka dapatkan dengan membeli di kota kabupaten atau mereka dapatkan dengan ilegal (mencuri) di fasilitas kesehatan yang ada di desa. Selain itu remaja juga biasa meminum obat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan dengan merek dagang yang dijual bebas di warung desa. Mereka meracik beberapa jenis obat flu dengan minuman berenergi atau bersoda yang dengan mudah dibeli di warung desa. Informasi mengenai obat pencegah kehamilan yang mudah diracik sendiri diketahui dari beberapa ibu rumah tangga yang mempraktekkan cara tersebut sebagai pengganti alat kontrasepsi. “…Tapi setahuku jarang mi yang begitu duluji kecuali kalo ada pesta seperti pestanya mama wandi..baru tidak

116

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

bisa hamil karena minum anu itu minuman sprite di campur bodrex tak berapa biji baru dia minum perempuan supaya tidak tinggal kayaknknya anak-anak tau karena biasa diliat ibu-ibu minum supaya tidak hamil…ada juga itu kondom biasa dia curi di BAKESRA atau di beli di Lasusua (Kota kabupaten) kakaku juga pernah ambil itu”(Rn, 14 tahun)

Sunat atau khitan atau sirkumsisi telah dilakukan sejak dahulu kala, menjadi sebuah tradisi yang berlaku untuk anak lakilaki dan perempuan di Sulaho. Sunat pada anak laki-laki dilakukan oleh petugas kesehatan (perawat, bidan dan dokter) di pelayanan kesehatan, Bakesra atau Puskesmas atau di rumah penduduk. Selain itu kondisi geografis Sulaho yang cukup sulit dijangkau maka sunat terkadang dilakukan secara massal. Sunat pada laki-laki adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan pada penis. Pelaksanan sunat pada anak perempuan Etnik bajo di Sulaho merupakan tradisi yang telah lama dilakukan. Namun dari waktu ke waktu sudah mulai mengalami pergeseran. Jika dahulu sunat disertai ritual perayaan dimana disediakan aneka makanan berbahan beras ketan putih dan hitam serta 2 ekor ayam jantan dan betina berwarna hitam dan putih. Ayam tersebut akan menjadi media pelaksanaan ritual sunat oleh sanro sekaligus sebagai persembahan pada sanro. Anak yang akan disunat dimandikan terlebih dahulu oleh sanro, selanjutnya duduk di atas bantal yang berada di pangkuan ibu atau kerabat yang mendampingi. Praktek sunat dilakukan dengan melukai bagian klitoris sehingga keluar sedikit darah, tetapi tidak jarang hingga memisahkan sedikit dari bagian klitoris tersebut seperti pernyataan informan berikut: “…Kalau mauki di sunat toh, syaratnya itu ayam tapi terserah berapa-berapa mau di kasih tapi biasanya 2

117

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

ekor ayam 1 jantan sama betina baru 1 warna hitam satu juga warna putih nanti itu kalau di sunat di potong di kasih berdarah baru di kasihmi sanro (dukun)… waktu disunat maka saya di kasih mandiki baru berwudhuki dulu sama sanro (dukun) baru tidak pake bajuki Cuma pake sarung di kasih duduk di atas bantal dia pangkuki mama…baru di potongmi itu’ta (kiltoris) sedikit sekaliji sampai berdarah sedikit baru di kasih ayam dia patok sudah itu di potongmi itu ayam yang di kasihki sanro (dukun) baru darahnya di kasih sedikit di anuta yang sudah di iris, baru itu potongan anu’ta yang sudah diiris di taruh di tempat yang berwarna putih…”(Is, 14 tahun)

Tidak ada ketentuan dalam masyarakat tentang usia paling tepat dilakukan sunat. Tradisi sunat perempuan pada masyarakat Etnik Bajo di Sulaho dapat dilakukan segera setelah lahir sampai sekitar usia 15 tahun, tetapi paling sering dilakukan adalah sekitar usia enam sampai tujuh tahun. Sunat anak perempuan dilakukan di rumah dukun, biasanya anak diantar oleh ibu mereka ke rumah dukun dan tak jarang datang sendiri atau berkelompok tanpa didampingi oleh ibu. Ada pula yang melakukan ritual sunat di rumah dan dukun yang berkunjung. Namun dalam perkembangannya, kini ritual sunat yang disertai perayaan hanya dilakukan jika keluarga tersebut memiliki kemampuan ekonomi untuk menyelenggarakan ritual perayaan tersebut. “…Saya anakku yang laki-laki disunat di bidan kalo yang perempuan disunat di sanro (dukun) tidak pake adat biasa pergi sendiriji di rumah sanro nenek S tidak kuantar karena biasa cukupi 3 atau 4 orang baru pergi sama-sama ke rumahnya sanro nenek S…biasa kalau ada uang di kasih Rp. 50 000 di kasih juga ayam kalau ada tapi kalau tidak biasa juga gratisji…kalau umurnya

118

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tergantungji tahun)

biasa 7 tahun biasa 10 tahun”(Ne, 30

Remaja Etnik Bajo cukup terbuka dan dinamis dalam pergaulan dengan lawan jenis.Tinggal di desa dengan akses ke kota kabupaten yang agak sulit dijangkau tidak menghalangi proses interaksi sesama remaja. Remaja laki-laki dan perempuan biasanya berkumpul di dermaga pada setiap sore hingga malam hari, ada yang berkelompok, ada yang berduaan dan sebagian remaja laki-laki ke laut mataripang (mencari teripang) dan ikan. Remaja perempuan berkumpul dengan teman sebaya dan menceritakan pacar termasuk saat berada di lingkungan sekolah. Malam minggu menjadi waktu favorit untuk berkumpul. Beberapa remaja sudah mulai berpacaran sejak SD dan SMP. Mereka umumnya berpacaran dengan sesama remaja di desa, walaupun ada pula remaja yang berpacaran dengan remaja dari desa lain yang kebetulan berkunjung atau datang untuk bekerja. Informan Rn (15 tahun) mengaku sudah 2 kali berpacaran. Pertama berpacaran dengan teman remaja sekampung, sedang lainnya adalah remaja desa lain yang datang bekerja di desa sebagai buruh bangunan. Perilaku pacaran mereka juga bervariasi dari sekedar mengobrol melalui telepon, mengobrol di sekolah, jalan-jalan bersama ke dermaga, melakukan ciuman, pelukan hingga hubungan seksual. Dermaga menjadi tempat favorit bagi remaja untuk berpacaran. “…Saya umur 15 tahun saya pacaran duami pacarku satu orang sini satu orang dari lapai (desa lain)…jarangka saya ketemu tadi malamji di dermaga…kalau si ‘D’ baru kelas empat SD majija’mi (genit) banyakmi pacarnya…banyak disini anak muda sering kedermaga pacar-pacaran, biasa dia kasih liat-liatka baku skumed (ciuman), peluk-pelukan ada juga yang sudah biasa

119

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

melakukan hubungan suami istri karena di dermaga kalau malam gelap sekali biasaka intip-intip kalau lagi lending (pacaran) atau biasa juga dia sendiri cerita begitunya…”(Rn, 15 tahun)

Perilaku seks bebas menyebabkan beberapa remaja hamil di luar nikah, remaja yang hamil sebelum menikah biasanya oleh orang tua langsung dinikahkan namun ada juga yang memilih untuk menggugurkan agar keluarga terhindar dari rasa malu seperti yang dialami oleh seorang informan yang menggugurkan kandungan ketika kehamilan menginjak usia 6 bulan tepat satu minggu sebelum informan Jm (25 tahun) tersebut melangsungkan pernikahan. “…Waktu hamilka seringka di pukul karena malu, waktu itu satu minggu mau kawin hamil, sudah hamil enam bulan, empat hari mau duduk pengantin keluar ada itu ‘aji’(haji) kasih obat baru sudah itu sakit-sakit perutku dia bilang bapak sakit perut biasaji waktu sakit sekali perutku menangiska datang nenek sami ‘aji’ (haji) dia bilang mau melahirkan ini baru dia kasih air untuk diminum keluarmi, pas empat hari sudahnya duduk pengantingmi bengkak teteku (payudara)”

Pada momen perayaan pernikahan dilangsungkan dengan menggelar pesta besar dilengkapi hiburan electone (organ tunggal). Remaja laki-laki biasanya mencari tempat untuk meminum minuman keras yang kerap memicu perselisihan antar remaja, ataupun hubungan bebas dengan lawan jenis. Masa remaja merupakan sebuah masa yang rentan untuk melakukan penyimpangan, namun tidak ada sanksi bagi pelaku pelanggaran nilai dan norma, termasuk sanksi bagi remaja yang hamil di luar nikah. Tidak adanya pengawasan orang tua menyebabkan munculnya kejadian hamil di luar nikah. Selain itu, fasilitas untuk

120

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

mengakses film porno telah dimiliki oleh remaja melalui handphone. “…Banyak juga yang biasa mabok disini, anak laki-laki itu S, Hn, banyak lagi, biasa mabok di dermaga, di lapangan atau biasa juga di pesta orang kawin. itu waktu kawain anak mama w yang dia minum bir, brendi, atau ballo dengan tuak (minuman keras tradisonal) tapi tidak saya tau dimana dia ambil…kalau paca-pacaran dulu itu cuma kis kis (ciuman) tapi semenjak adami handpon biasami anak-anak nonton film porno temanku anak perempuan juga biasa seperti F, RS kalau cowok banyak hampir semuami biasa, dia nonton pake Hp yang besar layar sentuh, itu punyanya Aw bagus ki karena besar diliat gambarnya dilapangan biasa berkumpul nonton” (Rn, 15 tahun)

Terkait pola makan, informan In (14 tahun) menuturkan biasanya mengonsumsi nasi dengan lauk ikan. Ikan asin menjadi ikan favorit informan. Waktu makan 3 kali sehari yakni pada waktu siang hari, sore, dan malam hari. Pagi hari informan tidak mengonsumsi nasi karena sering tidak ada persediaan lauk (ikan) di rumah sehingga menjadi kebiasaan tidak makan pagi, kecuali anak balita yang masih mengonsumsi bubur. Sayuran biasanya hanya tersedia satu kali seminggu, Sayuran yang biasa dimasak yaitu kol (kubis), terong dan kacang panjang. Terkadang saat tidak ada sama sekali persediaan ikan, mereka hanya mengonsumsi nasi satu kali atau mengganti nasi dengan bubur yang dimasak dengan gula pasir. Tak jarang keluarga informan kehabisan persediaan ikan. Selain nasi, kebiasaan informan dan keluarganya mengonsumsi mi instan. Mi instan sekaligus menjadi cemilan favoritnya. Jika berkunjung ke rumah saudara atau teman dekat maka biasanya ia dengan mudah dapat ikut makan. Informan terkadang mengonsumsi

121

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

buah apel, mangga, rambutan dan buah rambe (buah khas masyarakat sejenis langsat). “Biasa makan 3 kali atau biasa satu kaliji, waktunya biasa siang, magrib dengan malam yang dimakan nasi dengan ikan…jarangki makan pagi dirumah cuma Sb (ade informan) yang makan bubur kalau pagi, karena tidak ada ikan kalau pagi kalau tidak ada ikan lagi biasa bubur dimakan…sering juga makan intermie disiram kalausaya saya suka makan mentahki kayak garoppo (kerupuk) Cuma bapak yang tidak suka, kalau ada uang biasa beli sayur di pasar kayak kol (kubis) terong, kacang panjang satu kaliji biasa satu minggu…kalau buah-buahan biasaji makan kayak apel, mangga, rambutan, rambe (buah khas masyarakat lokal sejenis langsat) tapi jarang karena mahal ndk bisa beli biasa dikasihji)” (In, 14 tahun).

Mi instan tidak hanya menjadi makanan pokok remaja namun juga menjadi makanan cemilan favorit bagi remaja di desa ini. Camilan ini biasanya dinikmati sendiri atau bersama dengan teman lainnya, baik di sekolah atau tempat dimana remaja biasanya berkumpul. Kebiasan makan camilan mi instan tanpa diseduh dilakukan hampir setiap hari oleh remaja. “Kalau disini biasa orang sebut intermie, biasa dimakan kalau kumpul-kumpl disekolah khan seribu satu bungkus biasa di beli tak sepulu ribu di makanmi rame-rame enak sekali di pakekan itu bumbunya..apa lagi saya kuatka juga makan intermie, biasa dalam satu minggu tak dua hariji tidak makan intermie tapi biasa juga tiap hari dalam satu minggu, biasa pergiki jalan-jalan atau pergi sholat ada teman makan intermie gabungki lagi makan intermie”.

122

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

3.1.2. Pasangan Suami Istri Belum Pernah Hamil Anak memiliki nilai yang sangat berarti bagi Etnik Bajo. Umumnya masyarakat Sulaho memiliki banyak anak. Ketika tim peneliti melakukan penelusuran informasi, ditemukan 1 pasangan suami istri yang belum mempunyai anak setelah menikah selama 8 tahun. Informan mengaku berusia 19 tahun namun tercatat berusia 27 tahun di kartu tanda penduduk (KTP). Perbedaan umur yang tercatat di KTP dengan kenyataan sebenarnya disebabkan saat informan menikah 8 tahun silam masih berusia 11 tahun, masih duduk di kelas 4 sekolah dasar (SD). Usia pernikahan untuk perempuan yang memenuhi persyaratan hukum dan administrasi adalah 16 tahun, sehingga orang tua informan membuatkan kartu tanda penduduk (KTP) dengan umur jauh lebih tua dari umur informan yang sesungguhnya, dalam istilah informan disebut ‘curi umur’. Lebih jauh informan mengaku saat pernikahan dilangsungkan sudah mengalami menstruasi satu kali. Berbagai upaya telah dilakukan oleh informan untuk segera hamil, salah satunya mengonsumsi pil KB sejak 3 tahun lalu atas saran beberapa kerabatnya bahwa dengan meminum pil KB dapat merangsang kehamilan. Upaya minum pil KB sempat dihentikan setelah informan mendapatkan informasi baru dari kerabat lain bahwa pil KB dapat mengeringkan rahim sehingga sulit memiliki anak. Upaya lain yang dilakukan adalah mengonsumsi jamu penyubur kandungan yang dibeli di pasar. Jamu tersebut berbentuk pil dikemas dalam 1 bungkus berisi 100 pil, dengan aturan minum 3 kali sehari. Selain itu informan juga mendapatkan ramuan penyubur kandungan dari sanro (dukun) berupa ramuan minum berisi temulawak dicampur dengan bawang putih.

123

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Upaya lain yang dilakukan adalah mengunjungi sanro (dukun) untuk diurut (pijat). Menurut pengakuan informan, 4 dukun telah mengurut (memijat) tetapi belum ada hasil. Pemijatan terakhir dilakukan oleh dukun ‘Sn’, dipijat satu kali sehari dan diberi air ramuan yang sudah dijappi-jappi. Berdasarkan saran kerabat, informan pernah mengambil anak angkat yang dianggap dapat memancing pasangan yang belum mempunyai anak agar segera memiliki anak. Anggota keluarga seperti orang tua, mertua, dan kerabat yang lain berperan aktif agar informan segera mendapatkan keturunan baik dalam bentuk informasi mengenai obat yang ampuh atau menyarankan ke dukun yang tepat serta mengantar informan ke dukun. Bagi masyarakat Etnik Bajo anak memiliki arti yang sangat penting bagi kelangsungan garis keturunan. Anak laki-laki adalah penopang keluarga, tulang punggung keluarga atau menggantikan orang tua pergi ke laut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari. Anak perempuan biasanya membantu tugas domestik ibu seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengangkat air dari sumur. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa informan mengalami nyeri perut, mual dan muntah hingga tidak dapat bangun dari tempat tidur setiap kali menstruasi. Darah menstruasi yang keluar kerap kali menggumpal sebesar jempol kaki orang dewasa. Lama menstruasi 15 hari dan lancar pada hari pertama hingga ketiga. Kondisi yang dialami informan menurut kepercayaan masyarakat disebut dengan istilah lokal sebagai ‘bacici’ (sakit yang berlebihan pada saat menstruasi). Informan mengonsumsi penghilang rasa nyeri (analgetik) dengan merek dagang yang banyak dijual bebas di warung untuk mengatasi nyeri menstruasi berlebihan. Obat tersebut mampu mengurangi nyeri dan darah menstruasi menjadi lancar.

124

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Informan juga mengaku belum pernah melakukan upaya pengobatan secara medis. Setiap kali menstruasi dan merasakan nyeri hebat tidak pernah memeriksakan diri ke tenaga kesehatan karena informan merasa takut jika mengetahui dirinya menderita penyakit berbahaya seperti yang dialami seorang kerabatnya ‘Ha’ (45 tahun) memeriksakan diri ke tenaga medis dan didiagnosa menderita penyakit berat sehingga harus dioperasi jika ingin mempunyai anak. “…Nama ‘saya M’ umur 27 tahun tapi umur curian yang sebenarnya 19 tahun lahir 1996 karena waktu mau pengantin tidak boleh kalau mudah umur baru kelas 4 SD, kalau suami kelahiran 1987, sudah 8 tahun pengantin belum punya anak, pernah KB dari pengantingku 6 tahun saya mulai ber KB. KB anadalan kupake, dia bilang keluargaku, ada keluarga yang pernah bilang bagus untuk memancing anak tapi ada lagi yang bilang tidak boleh karena nanti kering peranakanmu (rahim) dia bilang hentikan dulu nanti tidak bisaku punya anak…pernahmi juga saya coba minum jamu penyubur kandungan yang saya beli di pasar selatang isinya 100 biji diminum 1 kapsul 3 kali 1 hari, sudah juga saya minum ramuan dari sanro (dukun) temu lawak di campur bawang putih tapi berhentika tidak bisaka tahan baunya bawang putih, berapa kali juga di urut perutku sama sanro empatmi urutka sanro, nenek SN, nenek T, nenek M dengan ada satu laki-laki, kalau di nenek S urut 1 kali satu hari selama 3 hari berturut-turut di urut pake minyak tambah irisan bawang merah, diurut supaya lebar-lebar peranakan (rahim), mauka punya banyak anak bagus kalau banyak bisa di suruh suruh, kalau mauku empat 2 laki-laki 2 perempuan yang laki pergi temani bapaknya di laut menyelam ikan yang perempuan bantuka bersih-bersih dirumah dengan angkat air karena disini pake sumur jauh sumurnya di

125

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

junjung (di naikkan di atas kepala) kalau mau dibawah ke rumah itu saya pekerjaanku kalau dirumah menyapu, mencuci, memasak, membersihkan halaman, angkat air dari sumur kadang juga temani suami ke laut mattaripang …biasa untuk berobat ke dukun orang tua sama mertua kasih tau kadang juga saya sendiri yang antarka kedukun sepupu kalau di dukun dia kasihki obat jappi-jappi biar cepat punya anak,… (mencari teripang) kalau haidka sakit sekali perut dengan belakangku kata orang bugis bacici (nyeri menstruasi yang hebat) banyak darah mengumpal warna hitam yang keluar, biasa lancar Cuma 3 hari saya kalau haisd 15 hari baru berhenti biasa ada darah mengumpal sebesar jempol kaki biasa keluar di hari ke 3 atau 4, saya kalau haid mengidamka. Muntah-muntah tidak bisa bangun dari tempat tidur, kalau hadika minumka obat bintang tujuh, kalau saya minum langsung keluar semua darah yang besar-besar saya biasa minum hari ke 4 atau ke 5 saya minum setiap haid satu kali sehari kalau sakit kalau tidak tidakji…pernahka juga angkat anak, anaknyaji keluargaku masih bayi masih merah tapi waktu saya ke selatang saya titip sama neneknya jadi diambilmi mamanya kembali, dia bilang orang angkat anak itu pemancing supaya bisa punya anak juga…hanya obat dokter yang saya belum coba kalau obat dukun saya coba semuami takutka ada dulu tante Hj. N pergi periksa katanya di dapat di rahimnya darah menumpang jadi di operasi baru punya anak.”

3.1.3. Masa Kehamilan Kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin, lazimnya masa kehamilan adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan menjadi momen berharga dan membahagiakan yang ditunggu 126

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

setiap rumah tangga hingga seorang manusia baru terlahir ke dunia. Bagi masyarakat Etnik Bajo memiliki anak adalah anugerah Tuhan karena anak akan menjadi penerus garis keturunan dan penopang ekonomi keluarga. Terdapat benda yang wajib dipakai oleh ibu hamil untuk tujuan menghindarkan ibu dan janin dari gangguan mahkluk halus. Benda-benda yang dimaksud diantaranya adalah bawang merah yang harus disematkan pada kain sarung atau baju ibu hamil saat bepergian ke luar rumah dan boleh dilepas ketika sudah berada dalam rumah karena dianggap sudah aman. Bawang putih dan jahe (pesse layya) juga sering digunakan untuk mengusir mahluk halus pada saat hamil sampai setelah melahirkan dengan cara disematkan pada baju menggunakan peniti. Ariango (bengle) biasanya digunakan oleh ibu hamil dan bayi dengan cara diikatkan pada benang yang dipakai pada tangan ibu, dan tangan bayi dan atau melingkari perut bayi.

Gambar 3. 1 Ariango dan Gelang Hitam yang Dipakai Balita Sumber: Dokumentasi Penelitian 2014

127

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Etnik Bajo di Sulaho mengenal pantangan yang diyakini berpengaruh pada kehamilan ibu, diantaranya adalah duduk di depan pintu rumah diyakini menyebabkan persalinan mengalami kesulitan atau bayi akan susah keluar. Keluar malam hari juga pantang dilakukan karena banyak mahluk halus berkeliaran yang dapat mengganggu janin. Suami tidak boleh menyembelih ayam dan semua macam binatang tidak boleh dibunuh saat istrinya hamil karena dapat mengakibatkan bayi yang terlahir mengalami cacat atau salah satu anggota tubuhnya hilang. Selain pantangan tersebut, ada pantangan memakan jenis makanan tertentu. Salah satunya adalah air es karena dapat menyebabkan anak cepat berkembang dalam kandungan sehingga janin menjadi terlalu besar dan susah dilahirkan. Mengonsumsi susu atau jagung dapat menyebabkan anak dalam kandungan menjadi gemuk sehingga susah dilahirkan. Kerak nasi diyakini dapat membuat ari-ari (plasenta) sulit lepas saat melahirkan karena lengket di dinding rahim. “…Ia, ada, biasa itu kalau bicara masalah pantangannya, banyak. Ndak boleh orang keluar malam terlalu toh. Kalau sudah larut malam tidak boleh kah banyak ditakut takuti, begitu, selama hamil sampai melahirkan. Umur 1 bulan anak tidak boleh jalan kemana mana toh Takut ada katanya setang, Itu kalau makanan yang katanya ndak bisa dimakan kita orang hamil, dilarangki minum susu, minum es, jagung, karena takut itu anakka katanya besar karena makanan bergizi semua…”(Ms, tahun) “…Banyak sebenarnya, dilarang keluar malam karena banyak parakangg (manusia jadi-jadian) kalau persoalan makanan apa di’ ndk ada kayaknya oh dilarang makan keraknya nasi karena nanti lengkat ari-ari tidak bisa keluar kalau nanti melahirkan ki kalau makan kerak nasi waktu hamil” (Nh, 31 tahun)

128

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Namun beberapa ibu hamil saat ini sudah mulai mengabaikan pantangan tersebut meskipun orang tua masih meyakini pantangan tersebut. Informan Rsm (31 tahun) yang sedang hamil anak kelima mengaku masih mengikuti pantangan tersebut pada kehamilan anak pertama sampai anak keempat tetapi pada kehamilan kali ini sudah mulai mengabaikan pantangan tersebut karena alasan merepotkan. “…Dulu waktu hamil anak pertama sampai anak keempat pakeki bawang merah di kasi peniti di taro di baju sebelah kanan. Tapi sekarang tidak lagi, dulu saya pake karena takut tapi sekarang tidak lagi karena bikin repot”(Rsm, 31 tahun)

Sementara Informan lain ibu Sh (30 tahun) yang baru melahirkan anak kesepuluh mengatakan bahwa ibu hamil sekarang mulai jarang memperhatikan pantangan-pantangan tersebut sehingga dianggap menjadi penyebab terjadinya gangguan kehamilan. Proses melahirkan anak pertama sampai ke 9, dilakukan sendiri tanpa masalah, baru memanggil dukun untuk memotong tali pusat sekaligus merawat bayi dan dirinya. Informan mengaku kehamilan anak ke sepuluh telah mengabaikan beberapa pantangan sehingga saat melahirkan mengalami kesulitan, terjadi pendarahan dan ari-ari atau plasenta sulit keluar. Informan meyakini masalah tersebut terjadi akibat mengabaikan pantangan selama masa kehamilan. Peran suami dalam perawatan kehamilan berdasarkan penelusuran pada beberapa informan diketahui kurang berperan terutama saat mendampingi istri melakukan pemeriksaan kehamilan atau Antenatal care (ANC) demikian pula saat periksa ke dukun. Suami membantu kegiatan domestik isteri seperti mengangkut air untuk kebutuhan rumah tangga karena air biasanya diambil dari sumur tetangga. Minimnya peran yang

129

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

diberikan oleh suami karena suami sibuk melaut sehingga terkadang bermalam di laut. Gizi dan nutrisi yang cukup pada ibu hamil penting diperhatikan dan harus dipenuhi selama kehamilan berlangsung. Risiko kesehatan janin dan ibu hamil akan berkurang jika mendapatkan nutrisi yang seimbang. Terkait pola makan ibu hamil pada Etnik Bajo di Sulaho, tidak ada makanan khusus atau tambahan saat kehamilan. Jenis makanan yang dikonsumsi adalah makanan yang biasa dikonsumsi sehari-hari seperti nasi dan ikan sementara untuk sayur dan buah dikonsumsi jika ada persediaan, biasanya hanya pada hari pasar atau jika ada kemampuan untuk membeli sehingga tidak setiap hari ibu hamil mengonsumsi sayur. Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan professional (dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan, perawat) untuk ibu selama masa kehamilan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan. Pelayanan antenatal juga diberikan pada waktu pelaksanaan Posyandu, bakesra atau di Puskesmas. Standar pelayanan antenatal (antenatal care/ANC) adalah memberikan pelayanan kepada ibu hamil minimal empat kali, satu kali pada trimester I, satu kali pada trimester II, dan dua kali pada trimester III serta melakukan penimbangan berat badan ibu hamil dan pengukuran lingkar lengan atas (LILA). Pola pemeriksaan kehamilan yang biasa dilakukan oleh ibu hamil (bumil) di desa ini adalah memeriksakan kehamilan ke dukun (sanro) dan beberapa ibu hamil melakukan pemeriksaan kombinasi antara pemeriksaan kehamilan ke bidan desa dan pemeriksaan kehamilan pada sanro. Ibu hamil yang memeriksakan kehamilan pada bidan desa melakukan pemeriksaan untuk memastikan kehamilan dan usia kehamilan

130

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dan beberapa ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan karena mengalami masalah/keluhan tertentu. “…Saya selau periksa sama sanro (dukun) tapi biasa periksa juga sama bidan ‘U’ di bakesra untuk tau kepastian hamil dengan berapa mi umurnya perutku atau untuk tensi tapi pertama-pertama saja, kalau sudah lewat mi masuk mi 5 atau 6 bulan ke dukun saja untuk urut…”(Sh, 30 tahun)

Bakesra adalah satu-satunya fasilitas kesehatan di Desa Sulaho namun ibu hamil tidak banyak memanfaatkan fasilitas tersebut untuk pemeriksaan kehamilan. Rendahnya kunjungan ibu hamil ke Bakesra, membuat bidan desa biasanya melakukan kunjungan ke rumah ibu hamil. Bila ibu hamil membutuhkan penanganan lebih lanjut, mereka akan dirujuk oleh bidan desa ke Puskesmas Lasusua yang terletak di kota kabupaten atau rumah sakit daerah (RSUD) Djafar Harun untuk mendapatkan perawatan sesuai mekanisme rujukan. Selain itu juga ada informan yang biasanya memeriksakan kehamilan ke Puskesmas karena bertepatan dengan waktu berbelanja di pasar yang ada di kota kabupaten. “…Saya jarang ke bakaesra tapi Ada itu bidan ‘U’ yang biasa tinggal disini dia biasa datang dirumah untuk tensi dengan periksa-periksa perut…biasa juga itu kalau sering sakit-sakit perut atau ditakutkan sunsang di suruhki sama bidan ke rumah sakit untuk di komputer perut kalau parah sekali bidan langsung anatar sendiri sampai rumah sakit tapi saya malaska apa lagi kalau tidak banyakji saya rasa masalah apa lagi jauh sekali rumah sakit itu saja kalau saya kebetulan ke pasar Lasusua belanja sekalian perigi periksa juga di puskesman Lasusua (ibu kota kabupaten) kalau kebetulan hari pasar

131

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

jadi sekalian periksa dan belaja tapi hari pasar juga cuma 3 kali seminggu…“ (Ms, 31 tahun)

Ibu hamil melakukan kunjungan pertama (K1) biasanya pada awal trimester pertama kehamilan untuk mendapatkan kepastian kehamilan serta usia kehamilan. Pemeriksaan kehamilan selanjutnya hanya dilakukan jika merasa ada masalah pada kehamilan. Informan ‘Ns’ melakukan kunjungan saat usia kehamilan 3 bulan karena mengalami masa rasa mual yang berlebihan di pagi hari (morning sickness) dan tidak memiliki selera makan sehingga melakukan pemeriksaan ke bidan desa untuk mendapatkan perawatan. Setelah melewati masa ngidam informan melanjutkan kunjungan kedua (K2) ke dukun hingga melahirkan. “…Waktu 3 bulan perutku saya periksa di Puskesmas lasusua karena itu tidak bisa makan nasi, makan ikan, selalu mau muntah muntah (mual) kalau pagi makanya saya pergi periksa karena tidak tahan sekali, di sana dikasih obat saya minum kalau tidak enak lagi perasaanku kalau sudah bagus saya berhenti minum tapi sudah itu tidak pernah lagi pergi periksa ke dokter baru 1 kali itu saja waktu 3 bulan perutku, saya periksa sama dokter di lasusua, sudah sembuh ngidamku saya periksa sama nenek S saja, nenek S itu dukun di sulaho, dia yang urut sampai nanti mau melahirkan…”(Ns,30 tahun)

Selain kunjungan ke fasilitas kesehatan, beberapa ibu hamil melakukan kunjungan pertama (K1) pada dukun sejak trimester pertama, selanjutnya, ibu hamil memeriksakan kehamilan secara rutin setelah trimester 3 (usia kehamilan 5 -9 bulan) di sanro makkiana (dukun beranak) untuk diurut dengan tujuan memperbaiki posisi bayi dalam kandungan. Peneliti menemukan informan yang sama sekali tidak melakukan

132

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

pemeriksaan kehamilan ke bidan desa. Kunjungan kehamilan baru dilakukan ke dukun pada trimester akhir kehamilan. “…Saya dulu-dulu mulai anak pertama sampai anak ke Sembilan tidak periksa nanti mau melahirkan umur 7 bulan perutku saya pergi sama sanro (dukun) untuk masaula (mengurut) nanti lagi ini anak ke sepuluh baru saya periksa di bakesra waktu 2 bulan umurnya perutku, mau cek saja, pernah juga ke Puskesmas waktu Masuk 5 bulan karena sakit belakangku tapi sekarang tidak pernah lagi di pegang bidan dukun saja yang pegang ini juga 7 bulan baru dia pegang sanro nenek S..”(Sh, 30 tahun)

Masalah kesehatan yang sering dialami ibu hamil adalah mual yang berlebihan pada pagi hari (morning sickness), sakit perut karena kontraksi yang berlebihan, nafsu makan yang menurun drastis dan berbagai keluhan lain yang dirasakan mengurangi kenyamanan dan aktifitas sehari-hari. Keluhan ibu hamil saat periksa di dukun bersalin (sanro makkiana) diantaranya adalah sakit pada bagian tulang ekor (potto), sakit pinggang, atau sakit saat buang air kecil (BAK). “…Pernah datang petugas kesehatan banyak waktu Posyandu disini sempat periksa disitu umur 1 bulan mengidam saya pergi terus kontrol disitu selama tidak bisa makan sampai hilang itu rasa mengidam tapi kalau masalah sakit banyak ini sakit anuku sering sakit disini tapi sama dukun untuk urut 1 kali, biasa 3 atau 2 kalijaka periksa sama dukun Diurut naik ,diperbaiki posisinya itu anak didalam toh. Kalau lamanya tergantung dari kita, kalau dibilang berhenti, berhentimi…“(Sh, 31 tahun) “…Itu ji kalau sakit potto (bagian tulang ekor), sakit pinggang, sakit pada saat buang air kecil keras perut

133

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kaya sakit mau melahirkan, pergi ke dukun di pegang kaya dokter baru di urut pakai minyak caplang minyak kayu putih sekitar 5 menit Setelah selesai di urut di obat di tiup-tiup perut 3 kali”(My, 27 tahun)

Perawatan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh tenaga kesehatan pada ibu hamil antara lain wawancara mengenai riwayat kehamilan (anamnesa), pemeriksaan fisik meliputi pengukuran tekanan darah, pemeriksaan denyut jantung janin (DJJ), pemberian pil besi atau sulfas ferrosus (Fe), pengukuran lingkar lengan atas (LILA). Penimbangan berat badan tidak dilakukan baik di Bakesra maupun pada kunjungan rumah karena tidak tersedianya timbangan ibu hamil. Penimbangan ibu hamil biasanya dilakukan saat pelaksanaan Posyandu terpadu oleh tim kesehatan Puskesmas Lasusua setiap 3 bulan. Meskipun beberapa ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan pada bidan desa namun pil besi atau sulfas ferrosus (Fe) yang diberikan belum tentu diminum dengan alasan lupa karena sibuk bekerja. Umumya ibu hamil di Sulaho mengaku malas memeriksakan kehamilan ke Bakesra karena bidan desa tidak tinggal menetap di desa tersebut, yaitu biasanya 2-3 kali dalam seminggu, sementara untuk kegiatan Posyandu dilakukan 3 bulan sekali oleh petugas Puskesmas. “...Kalau periksa sama bidan U disini biasa ditensi, dipegang-pegang perut, biasa juga ada alat di taroh diperut baru ditaroh di telinganya bidan katanya mau dengar suara jantung janin terus ditanya-tanyajuga, seperti anak keberapa, kapan terakhir haid macammacam dia tanyakan kalau obat tidak ada obat obatan kumakan, cuma itu karena waktunya hamil ditensi darahku dia bilang lebih seratus darahku baru dakasihka ini obat untuk diminum anu katanya Pil besi

134

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

katanya tapi tidak kumakan itu obat biasa kulupa kalau sibuka kerja …” (Sh, 30 tahun)

Sementara untuk kunjungan, informan mengaku sulit menjangkau Puskesmas atau rumah sakit yang disediakan pemerintah karena alat transportasi menuju ibukota kabupaten sulit dijumpai. Masyarakat Sulaho harus menempuh jalur laut untuk menjangkau kedua fasilitas kesehatan (faskes) tersebut dengan alat transportasi lokal berupa perahu bermesin yang biasanya hanya beroperasi pada hari pasar. Sementara jalur darat sangat sulit untuk ditempuh karena kondisi jalanan cukup sulit dan berbahaya serta hanya dapat diakses dengan kendaraan roda dua. “…Kalau masalah obat, nanti ada resep dari bidan atau, dokter, masih ada obatnya dakasihka itu kalau sudah baikan tidak diminum lagi, tapi kalau sakit diminum lagi…disinikan susah juga transportasi. Kadang tiba tiba kita sakit perut baru tidak ada perahu biasa kandas juga…baru hari pasarji ada perahu…”(Ms, 30 tahun)

Perawatan yang diberikan oleh dukun biasanya adalah urut perut (ma’saula). Menurut sanro Sn (dukun bersalin) ibu hamil harus diurut agar posisi janin sesuai dengan usia kehamilan sehingga saat melahirkan kepala janin tepat berada di panggul, selain itu ketika melahirkan tidak mengalami kesusahan mengeluarkan ari-ari atau plasenta (aerung). Jika ibu hamil malas melakukan ma‘saula (mengurut) saat hamil, maka posisi bayi dapat sungsang (melintang) atau ari-ari lengket dalam perut dan susah keluar. Lebih jauh informan mengatakan bahwa ibu hamil dapat mengurut perut saat trimester akhir yakni usia kehamilan 5 bulan hingga menjelang persalinan. Pada trimester pertama hingga kedua yakni usia kehamilan 1 hingga 4 bulan belum diperbolehkan untuk melakukan urut karena kondisi janin masih lemah. Bahan yang digunakan untuk mengurut adalah minyak 135

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kelapa (boka’) atau minyak tawon. Air jappi-jappi (air yang sudah dibacakan mantra) diyakini berkhasiat untuk menghilangkan sakit pada bagian tubuh ibu hamil jika dioleskan di perut atau diminum untuk memudahkan bayi keluar saat bersalin. Selain itu informan menganjurkan pada ibu hamil agar melakukan aktifitas fisik lebih banyak menjelang persalinan karena diyakini dapat membantu kelancaran dalam proses persalinan. “…Ibu hamil itu harus di urut kalau sudah masukmi 5 bulanya supaya nanti tidak sungsang anaknya, tidak melengket juga aerungnya (Ari-ari atau placenta) tapi tidak boleh di urut kalau masih hamil muda 1 sampai 5 bulan karena masih lemah sekali kandungan anaknya juga masih lemah, di buatkan juga air jappi-japi(air yang di bacakan mantra tertentu) bisa di oles di perut bisa juga di minum supaya tidak saki-sakit perut mudah juga nanti keluar anaknya, baru kalau sudah menjelang bulannya bagus kalau kerja berat bisa memudahkan nanti pada saat proses menjelang melahirkan justru kalau tidak kerja berat badan sakit semua dan susah melahirkan nantinya” (Ms, 30 tahun)

Pada masa kehamilan, Ibu hamil tetap menjalankan aktifitas seperti ketika belum hamil: memasak, menyapu, mengepel lantai dan mengangkat air dari sumur. Selain itu, isteri memiliki peran ganda yaitu tugas domestik dan membantu suami mencari nafkah. Sebut saja ibu Ms, yang bekerja mapalele (penjual ikan yang membeli ikan dari nelayan atau penjual ikan lain untuk di jual kembali) saat awal kehamilan (trimester I) hingga menjelang persalinan informan masih bekerja mengangkat 3-4 gabus besar berisi ikan bersama suaminya, informan yang telah mengalami kehamilan sebanyak 5 kali sudah mengalami keguguran sebanyak 2 kali dan tidak melakukan upaya pengobatan dan perawatan ketika mengalami keguguran

136

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

baik di sanro maupun petugas kesehatan, tetapi membiarkan pendarahan yang terjadi bersih dengan sendirinya. 3.1.4. Persalinan dan Nifas Persalinan adalah peristiwa yang sangat luar biasa bagi setiap ibu bersalin (Bulin) dan keluarganya, dimana pada fase ini calon ibu akan menuju peran baru sebagai ibu dan bagi ibu yang telah memiliki anak akan bersiap dengan kedatangan anggota keluarga baru, selain itu persalinan juga mengandung risiko tinggi yang bisa membahayakan jiwa ibu bersalin sehingga membutuhkan kesiapan fisik dan mental serta dukungan moril maupun materil dari orang-orang terdekat khususnya suami. Pada kondisi normal proses persalinan akan terjadi secara alami dengan adanya kontraksi rahim ibu dan diikuti dengan pembukaan jalan lahir untuk mengeluarkan bayi. Pada saat persalinan normal, bayi dilahirkan melalui vagina. Jika Persalinan normal tidak memungkinkan karena masalah posisi bayi atau persalinan berisiko maka harus dilakukan bedah sesar (sectio caesar). Dalam proses persalinan, ibu biasanya menempuh upaya medis namun tidak sedikit pula yang melakukan upaya non medis. 3.1.4.1. Menjelang Persalinan Kebiasaan masyarakat Etnik Bajo di desa Sulaho menjelang persalinan adalah menyediakan perlengkapan bayi berupa kain sarung sebanyak mungkin yang akan dipakai oleh calon bayi nantinya. Bayi baru lahir belum boleh mengenakan pakaian bayi seperti baju bayi, popok, gurita maupun celana bayi. Bayi baru lahir hanya boleh mengenakan kain sarung sampai

137

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dengan tali pusat mengering dan terlepas. Pemakaian baju dikhawatirkan menyebabkan perdarahan pada tali pusat. Kebiasaan lain menjelang persalinan adalah calon ibu berusaha menyembunyikan proses persalinan dari khalayak banyak bila tanda-tanda persalinan sudah mulai nampak. Tabu bagi mereka bila saat proses persalinan berlangsung banyak orang yang berdatangan sehingga lazimnya keluarga dekat, termasuk dukun tidak diberitahu terlebih dahulu sampai bayi lahir. 3.1.4.2. Proses persalinan Masyarakat Etnik Bajo di Sulaho memilih melahirkan sendiri atau menggunakan jasa sanro makkiana (dukun beranak) sebagai penolong persalinan. Jasa bidan desa digunakan bila perawatan tidak dapat ditangani oleh dukun. “…Kalau kita orang bajo kalau mau melahirkan pasti sama sanro makiana (dukun beranak) 10 anakku sama dukun semua tapi 9 yang hidup karena yang satu meninggal yang anak ke 7 waktu itu keguguran. Saya jatuh baru 3 bulan itu waktu jatuh duduk karena tinggi itu rumah dapur saya sementara ma’pel (ngepel lantai) lecet kakiku terus jatuh duduk, pas satu minggu itu haidka sedikit-sedikit , pas satu minggu itu pendarahann di bawa pergi rumah sakit di Lasusua sama dokter S, karena tidak adami darah kuningmi badanku apa keringmi kulitku. Di opname 2 hari baru keluar dari rumah sakit”(Sh, 30 tahun)

Masalah yang sering terjadi dalam proses persalinan yang mendapatkan penanganan medis adalah ari-ari atau plasenta (aerung) susah keluar, ibu mengalami perdarahan atau mengalami keguguran spontan (abortus). Berdasarkan

138

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

wawancara dengan seorang informan diketahui bahwa masalah yang paling sering ditemukan adalah ari-ari yang susah keluar saat persalinan. Meskipun mengalami masalah tersebut masyarakat tidak serta merta membawa ibu yang mengalami masalah persalinan ke fasilitas kesehatan. Mereka memilih tetap bertahan di rumah dan mengandalkan kemampuan dukun, tetapi setelah beberapa waktu bertahan dan dukun tidak berhasil mengatasi masalah tersebut baru kemudian dirujuk melalui kesepakatan keluarga yang didahului dengan perdebatan yang cukup alot tentang perlu tidaknya mendapat penanganan medis atau pasrah atas ketentuan Tuhan. Lebih jauh informan mengatakan bahwa pada tahun 2011 terdapat 4 ibu bersalin yang dirujuk karena ari-ari susah keluar, seperti penuturan informan ibu My (21 tahun) dan Ibu Nh (31 tahun): “…Itu ji kalau ada yang susah keluar anaknya atau aerungnya (ari-ari) baru di bawah ke rumah sakit” (My, 27 tahun) “Itu juga betul-betul tidak bisa sekalipi dukun kasih keluar ditunggu dulu sampai bermalam baru di bawah setuju semua pi keluarga karena tidak semua biasanya langsung mau bisa ribut-ribut dulu keluarga ada yang bilang pasrah saja sudah diatur tuhan tapi ada juga yang bilang bawami saja ke rumah sakit karena bisa ji mungkin di kasih selamatkan, tapi banyak kejadian begitu gampang melahirkan tapi susah keluar ari-arinya, tapi tidak semua dikirim ke rumah sakit yang saya ingat itu tahun 2011 4 di bawah ke rumah sakit gara-gara tidak bisa keluar ari-arinya” (Nh, 31 tahun)

Ada pula informan melahirkan bayinya seorang diri dan menggunakan jasa tenaga dukun ketika bayinya telah lahir dengan pertimbangan informan lebih nyaman melahirkan sendiri. Informan merasa lebih tenang dan nyaman melakukan proses

139

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

persalinan sendiri karena merasa malu dan tidak nyaman jika terdapat orang di dekatnya. Walaupun dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan tim peneliti, dukun selalu menjaga privacy ibu bersalin dengan tetap menutup bagian tubuh ibu terutama anggota tubuh yang intim untuk menjaga kenyamanan dan perasaan malu ibu. “…Saya berapami anakku semua sama dukun biasa apa lahirpi anakku baru saya panggil dukun biasa adami satu jam lahirnya, tapi yang terakhir susahi keluar jadi cepat di panggil dukun baru ada juga bidan U datang potong pusatnya jadi ituji saya panggil bidan karena takut ada apa-apa jadi dipanggil, kalau saya suka memang saya melahirkan sendiri enak dirasa tidak lain-lain tidak maluki karena rahasia sekali itu kalau kejadian melahirkan tidak boleh sembarang diliat family” (Ft, 26 tahun)

Tempat yang dipilih oleh masyarakat Etnik Bajo di Sulaho untuk melangsungkan proses persalinan adalah rumah karena umumnya ibu merasa malu jika anggota tubuh yang sangat intim dilihat oleh orang lain selain keluarga terdekat seperti suami dan ibu (orang tua/mertua perempuan). Ibu akan bersalin di fasilitas kesehatan jika dirujuk oleh dukun atau bila memiliki masalah di awal kehamilan sehingga membutuhkan penangan medis. Kebiasaan bersalin di rumah terus berlangsung karena rasa nyaman dan terlindungi hak privasinya. Menurut pendapat masyarakat, proses persalinan adalah proses yang sangat sakral dan sangat personal sehingga harus dijaga dari pandangan publik. Beberapa ibu bersalin mengalami kejadian-kejadian seperti buang air kecil dan buang air besar pada saat proses persalinan berlangsung yang menurut pemahaman informan merupakan hal memalukan yang harus dihindarkan dari pandangan orang lain. Ada kekhawatiran bahwa kejadian-kejadian yang dianggap

140

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

memalukan tersebut kemudian menjadi bahan pembicaraan publik. Selain karena alasan kenyamanan pribadi dan keamanan hak privasi ibu bersalin seorang informan juga mengaku bahwa jika disaksikan oleh banyak orang konon akan membuat bayi susah untuk lahir. “…Di rumah terus saya melahirkan tidak pernah di rumah sakit,(My, 27 tahun) “…Di rumah terus saya melahirkan tidak pernah di rumah sakit, dukun saja yang datangiki bagus kalau dirumah sendiri tidak banyak orang tidak jauh-jauh juga pergi baru tidak banyak yang liat karena rumah sendiri paling suami sama anak-anak ada dirumah bukanji orang lain itumi malaska saya kalu bidan kalau dukun iya tidak ada memang dia liat itu apa-apa’ta (anggota tubuh yang intim) karena ditutup pake sarung karena tidak boleh diliat itu apa lagi itu tempatnya anak-anak lahir (jalan lahir) we tidak bisa sekali diliat orang lain pantangan sekali saya itu”(Ft, 26 tahun) “…Karena itu biasa kalau melahirkan orang banyak orang biasa tidak keluar anak – anak, biasa itu juga kalau melahirkan orang biar tidak bilang begini – begini kebanyakan itu orang melahirkan berakmi (buang air besar) kencingmi (buang air kecil) tapi saya insaallah tidak begitu tapi Saya malu kurasa karena kalau keluarmi nanti orang na paraktekmi caranya orang bilang begini melahirkan bilang begini itu melahirkan kencing (BAK) sama berak (BAB), dia ceritami tapi saya insya allah tidakji kasiang kalau saya”(My, 27 tahun)

Seorang informan menyatakan memiliki kebiasaan mengonsumsi obat tertentu untuk menghilangkan rasa sakit akibat kontraksi rahim atau dalam istilah medis disebut His pada saat menjelang proses persalinan. Obat yang diminum biasanya

141

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

analgetik (penghilang nyeri) bermerek dagang ataupun generik dianggap dapat memperlancar proses melahirkan. Bagi informan tersebut, kontraksi rahim (His) tidak dipahami sebagai kejadian alamiah yang diperlukan untuk membantu proses keluarnya bayi dari rahim melainkan mengganggu kenyamanan sehingga rasa nyeri harus dihilangkan. “…Itu biasa itu kalau mau melahirkan perempuan sakit belakangta sakit perut kalau pas mau melahirkan, kalau saya supaya tidak menganggu waktu melahirkan, saya minum obat Antalgin dengan trisulfat tidak ada di rasakan kalau sudah diminum. Kalau mau melahirkan saya selalu minum obat, kalau sakitmi perutku kalau mual mualmi cepat saya suruh anak-ank belikan itu obat di warung saya minum dua biji satu antalgin satu trisulfat biasa juga bintang tujuh di minum biar tidak sakit badan, Itu minumnya sebelum lahir yang penting sakit perut di rasa langsung minum”(Rn, 19 tahun)

Adapun bahan yang disediakan saat proses persalinan adalah diantaranya gunting, atau bambu gurisat, pisau untuk memotong tali pusat, benang jahit untuk mengikat tali pusat. Mereka juga menyediakan baskom kecil berisi air yang diberi sabun mandi yang dilelehkan, daun srikaya yang telah dihilangkan ruasnya, diremas-remas untuk pelicin jalan lahir dan dioles diperut sebagai obat. “…Tidak ada yang disiapkan tidak sama bidan paling untuk potong tali pusatnya biasa pake bambu, biasa juga pake gunting, pisauka atau apa saja yang tersedia dirumah karena jarang dukun siapkan biasa apa yang ada dirumah saja kalau dulu waktu pake bambu bapaknya anak-anak (suami) yang pergi cari kalau melahirkanmiki tapi biasa juga apa yang ada bisa juga silet dibeli di warung, yang alain paling air yang di kasih

142

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

sabun mandi di campur daun srikaya (sirsak) ditaroh di baskom yang ada airnya ituji” (Sh, 30 tahun)

Posisi melahirkan sendiri biasanya dilakukan sesuai dengan kenyamanan yang dirasakan ibu. Ada yang menggunakan kain sarung digulung kecil kemudian diduduki dengan setengah berbaring sambil berpegangan pada dinding ketika sudah mulai proses mengejan atau dalam posisi berbaring terlentang seperti pada observasi yang dilakukan peneliti dalam proses persalinan. Tata cara yang dilakukan dukun saat menolong persalinan sebagai berikut: “Posisi ibu berbaring mengenakan kain sarung untuk menutup anggota tubuh termasuk perut dan jalan lahir dengan posisi kaki mengangkang, perut bagian atas terlebih dahulu diikat dengan kain selendang atau kain sarung. Posisi dukun dalam menolong persalinan, duduk di dekat ibu tepatnya di depan jalan lahir ibu yang tertutup dengan sarung yang dikenakkan, tangan dukun dibasuh dengan air ramuan yang sudah dibuat, selanjutnya tangan dibasuh dengan ramuan, tangan yg sudah di basuh disapukan ke perut dan jalan lahir tanpa melepas mengangkat kain sarung hanya mengangkat sedikit untuk memasukkan tangan yang dikenakan ibu selanjutnya ke dua tangan dukun menopang bagian bokong dan menekanya setiap ibu mengejang atau berkuat. Karena bayinya belum keluar maka paha kanan diinjak dilanjutkan dengan paha kiri masing-masing tiga kali, tindakan ini di maksudkan untuk memudahkan bayinya keluar dan tidak melengket. Setelah selesai melakukan tindakan tersebut dukun kembali ke posisi awal dan menuntun ibu hamil untuk mengejan sambil kedua tangan menunggu bayi di jalan lahir dan saat sebagian anggota tubuh telah keluar dukun menopang

143

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

anggota tubuh sampai seluruh anggota tubuh bayi keluar dari jalan lahir”.

Terdapat istilah bongkar balango yaitu sebuah ritual yang dilakukan oleh seorang sanro kampung ketika seorang bayi yang akan dilahirkan susah keluar dan diyakini telah meninggal dalam rahim ibu. Selain itu bongkar balango juga dilakukan untuk mengeluarkan ari-ari yang tidak kunjung keluar setelah bayi lahir. Hal ini dilakukan untuk mengeluarkan bayi sekaligus menyelamatkan nyawa ibu yang sedang melahirkan. Desa Sulaho yang merupakan daerah terisolir untuk menjangkau sarana pelayanan kesehatan membuat bongkar balango menjadi cara pilihan untuk memberikan pertolongan agar nyawa ibu dapat tertolong. Berikut keterangan dari informan Tg: “Itu saya lakukan pa karena keadaan terpaksa, keadaan terpaksa itu waktu daripada ee tidak ada mi juga ini anak-anak baru orang tuanya lagi. terpaksa sa lakukan sedangkan itu bilang ee anunya suaminya tahu apa anumu, sa bilang jangan mi anu daripada. Iya toh. Sedangkan disini kan tidak ada doktor, kita mau bawa dimana, tidak ada ee anu di sini, sedangkan desa terpencil bukan pi desa pa ee daerah terpencil kita ini, jadi kita mau pergi mana, mungkin-mungkin kita mau bawa lari ke lasusua mungkin-mungkin na nda riki sana sudah mati” (Tg, 60 tahun)

Masyarakat sangat familiar dengan istilah bongkar balango. Beberapa kasus melahirkan dengan anak hidup maupun mati melakukan ritual ini. Bongkar balango dilakukan dengan memanfaatkan air mani sisa berhubungan intim sanro dengan istri. Sanro dalam kegiatan bongkar balango adalah laki-laki. Air mani tersebut disimpan dalam kapas dan dapat digunakan sewaktu-waktu ketika terdapat orang yang

144

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

membutuhkan pertolongan. Air mani dalam kapas tersebut dicampur dengan air, didoakan dan diminumkan pada ibu yang mengalami kesulitan dalam melahirkan. Campuran mani yang diminumkan kepada ibu tidak diketahui oleh masyarakat. Tidak membutuhkan waktu lama, sekitar satu menit setelah meminum air jappi-jappi tersebut biasanya bayi dapat keluar. Pengalaman tersebut diceritakan sebagai berikut, “Kalo sudah makan seumpama sama istri ta… baru ada ketinggalan sama kita…Itu mi yang diambil, baruu ee dianu diteteskan di air ee di kapas. Kemudian di situ mi di kapas disimpan, disimpan terus mi itu kapas tempatnya anu diteteskan itu. Itu mi kalo mau dipakai na bongkara balango pa kita rendam saja, rendam di air. Iya, suruh minum yang mau dibongkar balango” (Tg, 60 tahun) “Ndak lama pa, ndak cukup satu menit langsung keluar. Itu mi na bilang orang bongkara balango. Bongkar apapun disitu na tolong i tuhan” (Tg, 60 tahun)

Tubuh bayi yang lunak sesaat keluar dari rahim ibu dipercaya akibat pengaruh prosesi bongkar balango. Tubuh bayi akan kembali memiliki tulang yang keras dan cenderung tidak melunak ketika telah disiram dengan menggunakan air yang sudah dijappi-jappi. “Tidak ada tulangnya pa pokoknya kayak papaeda itu. Ada tulangnya tapi lembek. iyee sudah pengaruh ilmu itu pa. Jadi nanti pi itu dibikinkan air. Na bilang orang anu itu air penawar toh, ee disiramkan itu anak tubuhnya baru bisa pulih kembali” (Tg, 60 tahun)

145

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

3.1.4.2.1. Sepenggal Kisah Kelahiran Anak Etnik Bajo Sulaho Kelahiran salah seorang warga desa Sulaho (ibu M) berhasil diikuti oleh tim peneliti. Merunut cerita dari ibu My (27 tahun), ia mulai merasakan sakit pada bagian perut beberapa hari sebelum proses persalinan berlangsung, tetapi pada pagi hari ia masih sempat beraktifitas dengan bekerja memasak teripang di rumah salah satu tetangganya. Merasa sakit, ibu My kembali ke rumahnya dan meminta suaminya untuk memanggil dukun bersalin. Dukun Sn tiba bersama ibu Nu yang juga biasa membantu proses persalinan, selain itu hadir pula seorang tetangga ibu My. Ibu My saat itu sudah mulai merasa mulas pada bagian perut, tetapi merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang tersebut. Ibu My memutuskan pergi ke rumah orang tuanya yang bersebelahan dengan rumahnya, ketika itu rumah orang tua ibu My sedang kosong karena orang tua ibu My sedang berkunjung ke desa lain. Sekitar jam 12.00 WITA, ibu My masuk kamar, tidur di rosbang (ranjang) dengan niat melahirkan sendiri dan setelah bayi lahir akan memanggil dukun untuk merawat bayi dan dirinya. Di luar dugaan, ibu My merasakan air ketuban sudah mulai keluar namun belum ada tanda bayi akan segera lahir. Setelah menunggu beberapa saat, ibu My menjadi panik dan berteriak memanggil dukun karena merasa takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Berbeda dengan proses kelahiran anak pertama dan kedua yang dirasakan mudah dan berjalan lancar, “begitu keluar air ketuban bayinya pun ikut keluar”, paparnya. Mendengar suara teriakan ibu My dukun menghampiri ibu My di rumah orang tuanya bersama suami ibu My dan ibu Nu serta seorang tetangga. Dukun memindahkannya ke kamar sebelah. Peneliti tiba ke rumah orang tua ibu My. Kondisi rumah sepi, pintu rumah tertutup rapat. Tim peneliti selanjutnya masuk 146

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

ke dalam kamar tempat proses persalinan berlangsung. Saat itu, ibu My telah berada pada posisi berbaring di lantai semen beralaskan tikar. Ada dukun bersalin, ibu Nu dan seorang tetangga dalam kamar, sedangkan suami ibu My berada di luar kamar tidak mendampingi istri selama proses persalinan. Kedatangan tim peneliti awalnya mendapat respon yang kurang bersahabat meskipun sebelumnya telah meminta izin dan membuat kesepakatan dengan Ibu My dan dukun untuk melakukan observasi pada proses persalinan tersebut, tetapi akhirnya bisa diterima. Proses persalinan mulai dilakukan oleh dukun, sementara ibu Nu dan tetangganya membantu saat dibutuhkan oleh dukun. Selama proses persalinan suami tetap berada di luar kamar, dan pintu rumah tetap dalam keadaan tertutup agar tidak banyak orang yang datang. Selama proses persalinan ibu My tidak mau makan karena khawatir pada saat mengejan atau berkuat, nanti keluar kotoran (faeces), ibu hanya minum air putih yang sudah dijappi-jappi oleh dukun. Peralatan yang disediakan dukun, sebuah wadah berupa baskom kecil berisi air dan sebuah sabun mandi yang dibiarkan meleleh di dalam air. Selain itu dimasukkan pula beberapa helai daun sirsak yang diremas dan dibuang ruasnya.

Gambar 3. 2. Air Jappi-jappi dan Air Lelehan Sabun Mandi Dicampur Daun Sirsak Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

147

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Ibu berbaring mengenakan kain sarung untuk menutup anggota tubuh: perut dan jalan lahir dengan posisi kedua kaki membuka lebar, perut bagian atas terlebih dahulu diikat dengan kain selendang atau kain sarung. Dukun duduk tepat di depan jalan lahir ibu yang ditutup dengan kain sarung, tangan dukun dibasuh dengan air ramuan yang sudah disiapkan, selanjutnya tangan yang basah tersebut disapukan ke perut dan jalan lahir tanpa menyingkirkan kain sarung (kain hanya diangkat sedikit untuk memasukkan tangan). Dukun menopang bagian pantat dengan kedua tangan setiap kali ibu mengejan atau berkuat. Setiap kali ibu My mengejan, kedua lututnya beradu dengan lutut dukun bersalin. Selain itu, lutut ibu My ditekan kembali dengan mengunakan kedua tangan dukun. Selama proses persalinan dukun meminta ibu My mengejan dengan kuat sekali saja ketika kontraksi terasa, karena bila berulang-ulang tanpa mengejan kuat posisi bayi akan kembali lagi seperti semula dan akan lebih susah bayi lahir. Setiap kali ibu mengejan maka perut pada batas ulu hati ditekan. Dukun menginjak paha kanan ibu dilanjutkan dengan paha kiri masingmasing tiga kali karena bayi belum juga keluar. Tindakan ini untuk memudahkan bayi keluar dan plasenta tidak lengket di dinding rahim. Sesaat menunggu, dukun merasakan belum ada kemajuan persalinan maka dukun kembali menekan paha atas kiri dan kanan dengan kaki dukun dalam posisi dukun berdiri masing 3 kali dimulai pada paha kanan disusul paha kiri. Selesai melakukan tindakan tersebut, dukun kembali ke posisi awal dan menuntun ibu hamil untuk mengejan sambil kedua tangan menunggu bayi di jalan lahir. Saat bagian kepala telah keluar disusul badan bayi, dukun menopang seluruh anggota tubuh bayi yang telah keluar dari jalan lahir.

148

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Setelah bayi lahir ibu dibangunkan setengah tegak meminum air jappi-jappi, ujung rambutnya dimasukkan dalam mulutnya sampai timbul rasa mual dan ingin muntah (peneliti: untuk meningkatkan tekanan dalam rongga perut sehingga mendorong plasenta lepas). Tak lama keluar ari-ari atau plasenta tersebut. Ibu Nu kemudian mengambilkan baki (kappara) yang diberi alas kain sarung dan bayi diletakkan di atasnya (sebagai tempat bayi pertama kali lahir), seperti kelahiran lain di desa tersebut. Ari-ari atau plasenta diletakkan di bawah sarung bayi kemudian tali pusat di urut dengan menggunakan air, mulai dari pusat sampai ari-ari atau plasenta agar bersih. Benang hitam dan bambu dalam sebuah piring telah disiapkan. Dukun bersalin mengikat tali pusat bayi baru lahir sebanyak 3 bagian, mulai diikat dari pusat. Jarak ikatan pertama dengan pusat bayi dan ikatan lainnya masing-masing adalah 3 ruas jari. Dukun bersalin menggunakan tiga ruas jari tengah sebagai pengukur untuk menandai setiap ikatan. Bagian yang dipotong adalah antara ikatan kedua dan ikatan ketiga (terluar). Sesaat sebelum tali pusat dipotong, bidan desa datang dan mengambil alih tindakan pemotongan tali pusat yang sudah diikat dengan benang oleh dukun. Bidan memasang jepit tali pusat (klem) pada tali pusat diantara ikatan pertama dan kedua yang telah dibuat oleh dukun, selanjutnya bidan memotong tali pusat beberapa sentimeter dari ikatan pertama yang dibuat oleh dukun kemudian tali pusat bayi ditutup dengan kasa dan bayi dibungkus kain sarung, tanpa baju dan celana. Sehari setelah bayi lahir terjadi pendarahan pada tali pusat maka dipanggil bidan untuk melakukan tindakan mengatasi perdarahan. Bidan mengikat kembali tali pusat yang sebelumnya telah diikat oleh dukun dan membungkus tali pusat dengan kain kasa steril yang terlebih dahulu diberi betadine. Sebelum meninggalkan rumah ibu My, bidan memberikan beberapa helai

149

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kain kasa dan betadine pada keluarga untuk merawat tali pusat. Setelah dilakukan tindakan oleh bidan, perdarahan sempat berhenti namun menjelang sore darah masih terus keluar dari tali pusat bayi. Malam hari, kembali keluar banyak darah dari tali pusat. Bapak memanggil dukun untuk mengobati agar perdarahan berhenti, tetapi darah terus keluar dari tali pusat.

Gambar 3. 3. Sanro Mengikat Tali Pusat Bayi Sumber: Dokumentasi Penelitian 2014

Hari berikutnya, warna kulit bayi berubah menguning, pucat dan timbul warna biru pada dahi bayi. Suara tangisan bayi terdengar menahan rasa sakit. Kedua orang tua tidak berniat untuk membawa bayinya ke rumah sakit karena dalam keyakinan Etnik Bajo, bayi belum boleh keluar rumah sebelum 3 hari pasca melahirkan. Akhirnya setelah melalui perdebatan dengan pihak keluarga, mereka memutuskan untuk membawa bayi ke rumah sakit. Ibu-ibu yang berkerumun dan berkumpul di sekitar rumah ibu My menyalahkan bidan karena tali pusat bayi dipotong terlalu pendek. Menurut ibu Ec pemotongan tali pusat bayi seharusnya

150

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

diukur dengan menggunakan jari tengah untuk menghindari terjadinya perdarahan pada tali pusat, namun menurut bidan pemotongan tali pusat yang dilakukan sudah memenuhi standar operasional (SOP) kebidanan. 3.1.4.3. Pasca Persalinan Perawatan pasca persalinan adalah ibu dibersihkan, dukun membuatkan satu gelas air putih yang telah dibacakan doa atau mantra. Air yang dibacakan mantra tersebut dalam istilah lokal disebut air tawe (air penawar) yang berfungsi untuk mengembalikan posisi rahim seperti semula. Masyarakat menyakini bahwa ibu yang telah melahirkan, saraf-saraf pada alat reproduksi (rahim, panggul vagina) banyak yang terputus. Menurut informan (Sn, 73 tahun) ada 40 syaraf pada bagian tersebut terputus. “…Itu perempuan kalau habis melahirkan banyak putus urat-uratnya bagaimana itu besarnya anak yang keluar baru mengejan juga lama jadi banyak yang putus ada itu sekitar 40 uratnya perempuan yang putus, urat-urat bagian rahim dengan jalan lahir vagina itu mengendormi jadi lebar jadi harus di parape pake air tawe (air penawar) supaya kembali itu urat-urat yang kendor” (Sn, 73 tahun)

Berdasarkan observasi dan wawancara dengan informan Sh terdapat ritual lain yang dilakukan oleh dukun sesaat setelah bayi lahir yakni, merapatkan kembali jalan lahir (vagina) dalam istilah lokal disebut parape (merapatkan) agar jalan lahir kembali rapat seperti semula, kandungan tidak turun dan melebar. Ritual merapatkan jalan lahir dilakukan dengan cara dukun menekan jalan lahir dengan menggunakan tumit kaki dukun sambil menarik tangan ibu. Dilakukan terlebih dahulu menggunakan kaki

151

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kanan dilanjutkan dengan kaki kiri. Merapatkan jalan lahir selain dilakukan oleh dukun pada hari pertama kelahiran, juga dapat dilakukan oleh suami beberapa hari setelah melahirkan, dalam jangka waktu hingga tiga hari pasca persalinan. Tindakan ini dilakukan sebanyak 2 kali sehari pada pagi dan sore hari. “…Kalau sudah di kasih minum air tawe (air penawar) perempuan yang baru melahirkan bisa juga di kasih rapat itunya (jalan lahir) pake cara parape (merapatkan) cara-caranya gampang pake tumit sambil di tarik tangan ibu, yang pertama dilakukan pada kaki kanan dilanjutkan dengan kaki kiri. Parape (merapatkan) bisa juga suaminya kerja kalau mau bagus biasa dikerja selam 3 hari berturut 2 kali sehari pagi dengan sore” (Sn, 73 tahun)

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan Sn, peralatan yang biasa digunakan untuk memotong tali pusat diantaranya adalah bulo tajam (bambu gurisat). Alat ini masih sering digunakan oleh dukun bersalin hingga saat ini. Selain itu dukun bersalin juga sering menggunakan silet yang dibeli di warung sekitar rumah. Silet dicuci dengan air hangat untuk melunakkan silet tersebut saat pemotongan tali pusat. Alat lain yang digunakan adalah gunting apabila tidak ada bambu gurisat atau silet. Informan Sn (73 tahun) menceritakan tentang tata cara pemotongan tali pusat, yaitu terlebih dahulu tali pusat diikat dengan benang putih atau benang hitam menjadi 3 bagian dengan jarak dari tali pusat sekitar 3 ruas jari, begitu seterusnya hingga ikatan ketiga. Menurut informan pemotongan tidak boleh terlalu pendek karena tempat tersebut adalah tempat bayi bernafas. Pemotongan dilakukan antara ikatan kedua dengan ikatan ketiga dengan tujuan agar tidak keluar darah dari tali pusat bayi.

152

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

“…Dari dulu saya sudah jadi sanro (dukun) masih gadis ka saya sudah jadi sanro, banyakmi yang sudah saya kasih melahirkan, tidak ada alat-alat tersendiri saya pake dari dulu begitu-begitu ji paling untuk potong rette loloh’na (potong tali pusat), itu yang di pake bulo (bambu), goncing (gunting) biasa pisau biasa juga silet yang di beli di warung dengan pitte pute (benang putih) sama pitte lotong (benang hitam) kalau mau mi dikerja dicuci pake air hangat supaya lembek itu silet dipake memotong, kalau mau dipotong itu di sio (dikat) dulu pake pitte (benang) jadi 3 bagian...sampai ikatan ketiga, cara pemotongnya tidak boleh terlalu pendek dipotong di tengah anara ikatan satu sama ikatan 3 karena itu tempatnyat anak bayi bernafas. Nyawa-nyawanya disitu” (Sn, 73 tahun)

Seorang informan lain mengatakan bahwa biasanya sebelum tali pusat dipotong terlebih dahulu diberikan alas berupa emas atau uang logam kemudian dibacakan doa oleh dukun bersalin (sanro makkiana). Berikut kutipan doanya: “Bismillah nabi salewe asengna bulue, nabi cella asengna darae, nabi rummu asengna jukue, nabi getting asengna urue, nabi ci gareppu asenna bukue ” artinya “ Nabi Salewa namanya bambu, nabi merah namanya darah, nabi rummu namanya ikan, nabi getting namanya urat/ syaraf, nabi cigareppu namanya tulang” (Sn, 73 tahun)

Berdasarkan penelusuran peneliti, diketahui bahwa pada tahun 2009 ada 1 kematian ibu dan bayi. Ibu meninggal beberapa hari setelah melahirkan. Ari-ari baru keluar tiga hari setelah ibu melahirkan dan perutnya membesar seperti ibu hamil. Menurut pengakuan informan, adik ibu meninggal yang sempat menyusui bayinya, berdasarkan diagnosa dokter penyebab kematian bayi adalah busung lapar. Bayi tersebut sempat mendapatkan 153

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

penangan medis di RSUD Djafar Harun (RSUD Kabupaten Kolaka Utara) namun tidak tertolong. “…Itu anak kasian meninggal mamanya waktu lahir ki tahun 2009, anaknya saya punya ade’ masih muda dia meninggal jadi kemanakanku itu anak sempat saya kasih tetek (menyusui) tapi begitumi tidak ada kasiank mamanya, sakit-sakitan tidak lama hidupnya, waktu sakit perutnya besar baru kecil badanya waktunya parah sakitnya sempat di bawah ke rumah sakit djafar Harun dia bilang dokter SR busung lapar katanya…”(Nh, 31 tahun)

Selain itu, diketahui pula bahwa sekitar tahun 2011 ada 1 kematian bayi karena perdarahan tali pusat. Persalinan tersebut dilakukan oleh dukun. Bayi baru lahir tersebut mengalami perdarahan satu minggu setelah kelahiran dan terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan untuk mendapat penangan medis dengan alasan sulit menemukan alat transportasi untuk merujuk bayi tersebut. “ …Tahun 2012 eh buka tahun 2011 itu waktu dia meninggal baru-baru lahir sama dukun itu anaknya mama “I” anu berdarah tali pusarnya satu minggu itu lahirnya baru di bawa juga ke rumah sakit tapi dia bilang dokter lambatmi di bawah tidak selamat itu anak, bagaimana itu waktu susah juga kapal apa lagi ada juga tradisi disini tidak boleh itu anak-anak dibawah pergi dari rumah kalau belum ma’bantang (ritual dimandikan) ”(Nw, 29 tahun)

Terkait dengan kematian ibu maternal, dari penelusuran yang dilakukan peneliti diketahui bahwa sekitar tahun 2006 ada 1 orang ibu meninggal dalam proses bersalin sebelum bayi dilahirkan dengan penolong persalinan adalah dukun. Selain itu

154

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

pada tahun 2009, ada 1 kematian ibu. Ibu tersebut melahirkan dengan bantuan dukun namun ari-ari/plasenta belum bisa dikeluarkan oleh dukun. Menurut cerita ibu Nh, (adik kandung ibu yang meninggal) penyebab kematian ibu tersebut adalah ari-ari (placenta) yang masih tertinggal dalam rahim atau placenta lengket pada dinding rahim dalam waktu yang lebih lama dari kebiasaan. Tiga hari setelah lahirnya bayi, placenta berhasil dikelurkan oleh dukun melalui bongkar balango setelah sebelumnya dilakukan upaya pengurutan perut oleh dukun tersebut dalam kondisi berbau busuk. Setelah placenta dikeluarkan perut dan jalan lahir (vagina) ibu membengkak, karena khawatir dukun tidak bisa melakukan upaya perawatan dan pengobatan, akhirnya keluarga memutuskan membawa ibu tersebut ke rumah sakit daerah (RSUD) Djafar Harun. Fasilitas medis di rumah sakit kabupaten belum memadai sehingga perlu dirujuk ke RSU Kendari, tetapi pasien tidak mau karena sudah pasrah menerima nasib bahwa dirinya akan meninggal. “…Kalau di sini sebenarnya gampang-gampang orang melahirkan jarang ada yang bermasalah paling biasa kejadian ari-ari yang susah keluar atau lahir anaknya tapi berdarah terus pusarnya, kalau bermasalah dikirim ke rumah sakit baikmi di bawah pulangmi tapi kalau sampai meninggal jarang tapi ada, pernah dulu ada tahun 2006 meninggal tidak bisa keluar anaknya dia mati juga kasiank dengan anak diperutnya dia bilang dukun kering mi itu ketubannya jadi tidak bisami keluar jadi mati di dalam kasian, terus kejadiannya juga itu saya punya ade sendiri melahirkan tapi lahir mi anaknya tapi tidak mau keluar ari-arinya setengah mati dikerja dukun tapi tidak keluar-keluar nanti 3 hari baru keluar setengah mati dia urut dukun baru keluar sampai busukmi itu ariari waktu keluar, sudahnya keluar itu ari-ari bengkak

155

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

perutnya sama tempat lahirnya (jalan lahir) anak-anak jadi di bawa pergi rumah sakit Djafar Harun tapi tidak bisa juga ditangani karena tidak lengkap juga alatnya jadi disuruh bawa ke rumah sakit di Kendari tapi tidak mau sekali mi saya punya ade dia pasrahmi kalau memang sudah ajal” (My, 27 tahun)

3.1.4.4. Masa Nifas Pada masa nifas, aktifitas ibu kembali normal sehari atau 3 hari pasca bersalin. Ibu sudah mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, mengangkat air dari sumur atau menjual ikan. Ibu tidak dapat beraktifitas normal pada kondisi tertentu seperti mengalami ari-ari susah keluar. Umumnya ibu harus istirahat 3 hari sampai 1 minggu untuk bisa beraktifitas kembali seperti biasa. “…Kalau sudah melahirkan biasa saja kembali kayak biasa memasak, mencuci, angkat air urus anak-anak yang lain, kalau saya anakku baru satu hari ke dapurmi memasak saya kerja semua kembali pekerjaan rumah tangga bisa malah baru 3 hari saya bantu bapaknya kerja angkat ikan ituji biasa tinggal-tinggal tidak kerja kalau waktu melahirkan susah keluar ari-ari jadi istrahat dulu tapi paling juga 3 hari atau paling lama 1 minggu” (My, 27 tahun)

Perawatan yang dilakukan pada masa nifas berdasarkan hasil observasi dan wawancara mendalam adalah perawatan payudara, perawatan ibu dan bayi dan perawatan jalan lahir (vagina). Masyarakat Etnik Bajo di Sulaho merawat ibu pada masa nifas dengan ritual ma’saula (mengurut), dilakukan oleh dukun yang menolong persalinan ibu nifas tersebut. Ritual ini berlangsung selama tiga hari setelah melahirkan, dilakukan pada

156

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

hari kedua pada pagi dan sore hari. Pengurutan dilakukan dengan menggunakan minyak kelapa/boka’. “…Selama ini dari anak pertama sampai sekarang, kalau habis melahirkan biasanya ma’ saula (mengurut) sama dukun itu yang di urut mulai tetek (payudara), bagian peranakan (rahim) sama tempat keluarnya anak-anak (jalan lahir) dikerja sama dukun satu hari sampai hari ke 3 tiap hari dukun datang biasa waktu pagi sama sore”(Ft, 26 tahun)

Pengurutan payudara bertujuan untuk merangsang produksi ASI dan melancarkan ASI sehingga ASI menjadi banyak. Pijatan pada bagian seputar perut dan pinggul untuk mengembalikan posisi rahim seperti semula karena pasca bersalin posisi rahim bergeser atau turun sehingga dibutuhkan pemijatan untuk mengembalikan posisi rahim ke tempat semula. Kegiatan perawatan jalan lahir atau dalam istilah lokal disebut dengan ma’parape (merapatkan) jalan lahir (vagina) dilakukan untuk mengembalikan dan merapatkan jalan lahir karena diyakini bahwa dalam proses persalinan banyak saraf dari organ kewanitaan yang terputus. “…Tidak ada yang disiapkan kalau mau ma’saula (mengurut) cuma minyak boka (minyak kelapa) yang ditaroh dia tas piring bisa juga di cangkir sembarang yang penting terbuka, harus diurut supaya lancer air tetek (ASI) keluar, baru banyak kalau di urut tidak terputus putus, kalau perut diurut untuk kasih kembali peranakan (rahim) kalau ma’parape (merapatkan) supaya kembali bagus jalanya anak keluar (vagina) biar tidak longgar juga he he...”(My, 27 tahun)

Adapun tata cara ma’saula (mengurut) payudara berdasarkan observasi pada ibu nifas adalah dukun berada dalam posisi duduk dengan kaki menyilang, posisi tepat di belakang ibu

157

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

yang akan di urut, kemudian dukun mulai membasuh kedua telapak tangan dengan menggunakan minyak kelapa dan mulai melakukan pijatan pada daerah payudara secara perlahan sekitar 5 menit. Selanjutnya ibu berbaring di lantai yang beralaskan tikar dengan posisi kedua kaki ditekuk seperti posisi saat akan melahirkan, posisi dukun berada di samping ibu dan mulai melakukan pijatan di daerah perut bagian bawah, pinggul dan selanjutnya pada perut bagian atas. Ibu masih dalam posisi yang sama namun posisi kedua kaki lebih lebar dari sebelumnya dan posisi dukun berada di depan jalan lahir, dukun mulai melakukan perawatan jalan lahir atau dalam istilah lokal disebut dengan ma’parape (merapatkan). Berdasarkan observasi dan wawancara diketahui bahwa, selain ritual ma’saula (mengurut) terdapat ritual lain yakni, ritual siraman pertama kali oleh dukun dengan menggunakan air yang sudah di baca mantra khusus atau dikenal dengan ma’tawe (penawar). Air yang dibacakan mantra (air tawe) bertujuan mengembalikan alat reproduksi ibu bersalin seperti semula, biasanya air tawe (penawar) diminum sesaat setelah melahirkan dan dapat pula di campur pada air yang digunakan mandi pada siraman pertama kali. Ritual ini merupakan rangkaian dari ritual ma’saula (mengurut). Ritual siraman menjadi simbol bahwa ibu telah kembali bersih dari kotoran setelah melahirkan. Berdasarkan hasil observasi tata cara siraman yang dilakukan oleh dukun adalah: mengambil air yang telah dibacakan doa atau jappi-jappi (ma’tawe) dengan gayung untuk menyiram tubuh ibu yang baru bersalin. Air dalam satu gayung digunakan untuk menyiram badan ibu dimulai dari menyiram rambut dan anggota tubuh sebanyak 3 kali. Setelah ritual siraman oleh dukun selesai, ibu melanjutkan mandi sendiri.

158

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

“…Satu hari sudahku melahirkan di mandi sama dukun tapi sebelumnya di saula (diurut) dulu sama dukun, caranya dimandi dukun ambil air di timbah (gayung) disiramkan ke badan tapi itu air dibacakan doa atau jappi-jappi sama dukun (ma’tawe) Air dalam satu satu timba dipake untuk menyiram badan’ta dimulai dari menyiram rambut terus badan sama yang lain. Air yang sudah di tawe (dibacakan mantera) yang ada dalam 1 timbah tidak langsung disiram 1 kali tapi 3 kali, seperti kalu berudhu supaya manjur, setelah ritual memandikan (siraman) oleh dukun selesai ibu baru boleh mandi sendiri” (Sh, 30 tahun)

3.1.5. Menyusui Menyusui adalah proses pemberian susu dari payudara ibu kepada bayi atau anak kecil dengan air susu ibu (ASI). Bayi menggunakan refleks menghisap untuk mendapatkan dan menelan susu. Masyarakat Etnik Bajo di Sulaho beranggapan bahwa menyusui bayi adalah hal yang sangat penting dan menjadi hak yang harus didapatkan bayi dan sudah alamiah jika seorang ibu harus menyusui bayinya. “…Kalau di Sulaho ibu dia kasih tetek (menyusi) semua anak-anak karena penting itu, cuma itu makanannya anak bayi jadi harus dikasih minum air susu jadi wajar sekali itu kalau ibu kasih tetek (menyusi) sudah kodratnya ibu kasih tetek (menyusui)” (Ne, 30 tahun)

Masa menyusui pada masyarakat Etnik Bajo adalah sejak hari kelahiran, namun batas waktu menyusui tidak ada aturan atau tradisi yang mengikat untuk berhenti memberi ASI tergantung kondisi ibu dan lingkungan. Terkadang ibu berhenti menyusui bila ibu hamil. ASI tidak serta merta dihentikan, ada beberapa ibu meminta tolong untuk menyusui anaknya, baik 159

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kepada saudara atau tetangga yang masih menyusui anaknya. Ada pula yang memberikan ASI dalam kondisi hamil, tak jarang seorang ibu menyusui dua anak mereka sekaligus. Ada ibu yang menyusui anaknya hingga usia 4 tahun. “… Dikasih tetek (menyusui) dari lahir kalau adami airnya tetek tapi kalu belum keluar biasa saya kasih saudara kalau ada juga anak kecilnya nanti baru saya kasih tetek (menyusui) kalau adami airnya, kalau lamnya tidak tentu tergantung samapinya biasa hamilki lagi kalau satu tahun hamilki biasa berhentimi tapi ada juga saya anakku tetapji saya kasih tetek (menyusui) biar hamil sampai lahir adenya masih saya kasih tetek (menyusui) kakanya bersamaan, ada malah tetanggaku dia masih kasih tetek (menyusui) anaknya sampai 4 tahun” (Ft, 26 tahun)

Biasanya anak dihentikan menyusui ketika disubstitusi dengan susu formula atau susu cair kaleng dan biasanya mereka memberikan susu kaleng merek tertentu yang mudah diperoleh. Alasan ibu memberikan ASI karena mudah diberikan, praktis, murah dan gratis dibandingkan jika harus memberikan susu formula yang harganya mahal. “…Lebih saya suka kasih tetek (menyusui) anakku, lebih gampang, tidak cape-cape dibikin di banding susu baru murah tidak dibayar gratis, tapi saya ada anakku yang cepat berhenti saya kasih tete (menyusui) karena hamil jadi saya kasih susu cap enak” (Rsm, 31 tahun)

Air susu ibu (ASI) yang keluar pertama kali berwarna kuning dan kental (colostrum) dianggap kotor dan basi, sehingga biasanya dibuang terlebih dahulu. ASI yang pertama kali keluar diperas hingga keluar ASI yang mulai jernih dan tidak kental lagi dengan tujuan untuk membersihkan puting susu. Seorang informan menyikat puting payudara dengan sikat gigi sampai

160

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

menghilang semua bercak putih yang melengket pada puting payudara ibu. Selanjutnya ASI yang sudah dianggap bersih baru disusukan kepada bayi. Hal ini berbeda dengan anggapan medis bahwa air susu yang pertama kali keluar berwarna kuning (colostrum) bermanfaat untuk dikonsumsi bayi karena mengandung zat pendukung imunitas untuk menjaga daya tahan tubuh bayi dari serangan penyakit. “…Pertama keluar air tetek (ASI) itu yang kental warna agak kuning-kuning saya buang karena sudah ditau semuami di kampong sini kalau itu susu basi, kotor jadi di buang dulu sampai bersih jernih tidak kuning, biasa saya bersihkan pake sikat gigiku saya sikat sampainya bersih tidak adami sisanya di putingnya tetek (payudara)” (Rs, 31 tahun)

Aktor-aktor yang berperan dan berpengaruh dalam masa menyusui adalah ibu, saudara kandung ibu dan bapak, atau tetangga terdekat yang masih menyusui bayinya. Hal ini dilakukan jika ASI ibu yang baru saja melahirkan belum keluar, karena pada beberapa kasus terdapat ibu yang tidak langsung mengeluarkan air susu sesaat setelah melahirkan ataupun ketika ibu bayi sedang tidak di rumah sementara bayi membutuhkan ASI. Pemberian ASI bisa dilakukan ibu dimana saja baik di rumah sendiri, di rumah tetangga maupun tempat umum. “…Di sini enak kalau kasih susu anak-anak kalau lagi banyak anak bayi, apa lagi disini jarang tidak ada anak kecil jadi saling mengerti, saling membantu kalau pergipergi tidak bisaki kasih tetek anak bayi dititip sama saudara, neneknya tetangga yang ada anak kecil jadi dia yang kasih susu saya mamaku biasa juga dia kasih susu karena ada juga anak kecilnya” (Ft, 26 tahun)

161

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Selama menyusui, makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi ibu adalah kacang tanah dan pepaya yang dipercaya dapat memperbanyak ASI selama masa menyusui. Umumnya dalam satu minggu sekitar 1-2 kali mereka mengonsumsi sayur, terutama jika ada yang pergi ke pasar. Makanan yang tidak boleh dikonsumsi selama menyusui adalah makanan yang terbuat dari beras ketan hitam dan cumi-cumi karena dapat berakibat buruk pada bayi yaitu menimbulkan penyakit diare pada anak. “…Kalau lagi kasih tetek (menyusui) begini mengenai makanan biasa saja paling disuruhki makan kacang, pepaya karena itu kacang sama papaya bisa katanya dia bikin banyak sekali air tetek, kalau makanan yang tidak boleh cumi sama makanan dibikin dari beras ketan hitam karena katanya kalau itu dimakan dia bikin berak-berak (diare) anak-anak (bayi)” (My, 27 tahun)

3.1.6. Neonatus dan Bayi Perawatan tali pusat pada neonatus sangat penting untuk menghindari terjadinya infeksi atau perdarahan. Berdasarkan observasi yang dilakukan, perawatan dilakukan dengan membersihkan tali pusat setiap hari selesai bayi dimandikan. Bahan yang digunakan untuk perawatan tali pusat adalah minyak kelapa (boka’), kunyit, kain kasa, ataupun kapas dan terkadang ada pula yang menggunakan kain sarung ataupun handuk. Tali pusat dibersihkan dengan kain kasa diberikan kunyit yang telah dicampur dengan minyak kelapa dan dioleskan pada tali pusat. Setelah itu bayi dibalut dengan kain sarung. Perawatan tali pusat dengan cara seperti ini dilakukan hingga tali pusat terlepas, yaitu 3 hingga 7 hari setelah melahirkan. Berdasarkan observasi dan wawancara dengan beberapa informan diketahui bahwa bayi hanya memakai kain sarung

162

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

selama tali pusat belum kering dan terlepas karena dikhawatirkan melukai tali pusat. Sarung yang digunakan sebanyak 7 lembar disusun berurutan sebagai alas, dipakai terus menerus hingga sarung lapisan terbawah ketika anak mengompol dan sejenisnya. Perlakuan lain adalah bayi baru lahir tidak diperkenankan untuk diurut (dipijat) sebelum tali pusat mengering.

Gambar 3. 4. Sarung Tujuh Lapis untuk Bayi Baru Lahir Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

“…Anak bayi tidak bisa di kasih pake sarung dulu karena bahaya nanti dikena tali pusatnya bisa berdarah jadi susah kering, nanti lepas kalau sudah 3 hari atau 7 hari lepas baru dikasih pake baju, baru tidak bisa juga diurut nanti lepas tali pusat baru bisa diurut” (Nj, 56 tahun)

Ada tradisi tertentu dalam perawatan ari-ari (placenta) bayi. Plasenta dibersihkan oleh dukun, dengan cara dicuci hingga sisa darah tidak lagi melekat. Ari-ari yang sudah bersih dari sisa darah ditandai dengan air bekas cucian yang sudah tidak 163

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

berwarna merah. Ari-ari bersih dicampur dengan beras, tulang ikan, asam dan garam kemudian dimasukkan dalam toples plastik dan disimpan dalam kappara dekat tempat tidur bayi sampai tali pusat bayi terlepas. Ari-ari harus dicuci sampai bersih agar anak sehat dan kulitnya tidak mengalami bentol-bentol (puru-puru). Pemberian beras dan tulang ikan pada ari-ari sebagai penghormatan atau perlakuan yang sama pada ari-ari yang diyakini sebagai saudara kembar bayi sehingga apa yang akan dimakan oleh anak kelak diberikan juga pada ari-ari tersebut. Sementara pemberian garam dan asam bertujuan untuk menghindarkan bau. Pemberian garam dan asam yang kurang dapat menyebabkan bau dan anak memiliki sifat yang buruk. “…Ari-ari di kasih bersih waktu di cuci supaya anak bayi bersih kulitnya tidak puru-puru (bentol-bentol), kalau garam sama asam supaya tidak bau itu ari-ari karena masih mau disimpan lama baru biasa kalu banyak garam sama asam tidak nakal nanti anak-anak kalau besar. Kalau beras itu dengan tulang ikan untuk itu ari-ari karena itu ari-ari kembarnya itu anak bayi jadi apa yang dimakan sam kita harus juga dikasih itu ari-ari“ (Sn, 73 tahun)

Tali pusat yang terlepas biasanya disimpan oleh ibu dan digunakan untuk mengobati bayi sampai balita kelak ketika sakit perut. Setelah tali pusat terlepas, maka diadakan ritual yang disebut ma’bantang yang berarti membedaki. Sebuah ritual yang memiliki filosofi untuk melepaskan dukun (mappaleppe sanro), yang berarti ibu dan bayi tidak terikat lagi dengan dukun. Ritual dilakukan sebagai bukti lepasnya tanggung jawab dukun kepada ibu dan bayi. Dalam keyakinan masyarakat ritual ini wajib dilakukan karena jika tidak dilakukan dapat menyebabkan dukun dapat mengalami lumpuh. Ma’bantang biasanya dilakukan

164

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

sebelum pelaksanaan selamatan bayi (aqiqah), namun pelaksanaan aqiqah biasanya dilaksanakan sesuai kemampuan keluarga, jika belum mampu biasanya hanya melakukan kegiatan ma’bantang saja. Seorang informan melakukan aqiqah untuk anak perempuannya pada usia 4 tahun bertepatan dengan penyelenggaraan sunat karena pasca kelahiran belum memiliki uang. “…Kalau lepas mi tali pusatnya itu anak bayi dilaksanakanmi acara ma’ bantang (membedaki) acara ini dilakukan untuk menandakan lepasnya tanggung jawab sanro (dukun) kepada ibu dan anak bayi karena kalau tidak dilakukan nanti dukun lumpuh. Ma’bantang biasanya sebelum aqiqah, saya dulu ada anakku tidak aqiqah Cuma ma’ bantang nanti umur 4 tahun baru saya aqiqah karena baru ada uang jadi saya aqiqah bersamaan dengan sunnatnya” (Ft, 26 tahun)

Bahan yang disediakan untuk keperluan ma‘bantang adalah buah kelapa, beras ketan dan gula merah. Gula merah dan buah kelapa dibuat makanan yang disebut cangkuli (parutan kelapa dicampur gulah merah). Beras ketan dibuat makanan yang dalam istilah lokal dikenal dengan nama leppe’-leppe’, biasanya dibuat sebanyak 40 biji, untuk persembahan dukun sebanyak 20 biji dan sisanya untuk bayi. Leppe’-leppe’ untuk bayi disimpan dalam ayunan, yang nantinya akan disantap tamu yang hadir. Dukun membacakan mantra, dilanjutkan dengan prosesi ma’bantang. Bedak dibuat dari beras dan kunyit yang ditumbuk halus. Dukun membedaki ibu dengan cara menotol bedak menggunakan sabut kelapa pada bagian pelipis kanan, kiri dan dada, dilanjutkan pada bayi, bapak dan tamu. Biasanya semua tamu harus dibedaki dalam ritual ma’bantang karena diyakini akan sakit jika orang yang hadir tidak ikut dibedaki. Ibu yang tidak

165

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dapat membuat leppe-leppe dan cangkuli, dapat mengganti dengan bahan mentah dan memberikannya kepada dukun. Pasca ma’bantang, maka ari-ari atau plasenta akan dikeluarkan dari rumah. Ari-ari umumnya digantung di pohon sekitar rumah atau pada bagian rumah. Upaya ini diyakini akan menjadikan anak memiliki jodoh yang tidak jauh dari kampung. Ari-ari juga dapat dihanyutkan di laut, kelak anak akan mengikuti jejak ayahnya sebagai nelayan dan ada pula yang meyakini bahwa kelak anak akan memiliki jodoh jauh dari kampung. Cara lain adalah ditanam dalam tanah, namun cara ini hampir tidak pernah dilakukan karena diyakini dapat menyebabkan anak menjadi bodoh.

Gambar 3. 5. Ari-ari yang Digantung pada Bagian Rumah Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Cermin dan pisau yang ditempatkan di samping bayi ditujukan agar bayi terhindar dari gangguan mahluk halus ketika tidak ada orang yang menjaganya. Masyarakat memiliki kebiasaan menggunakan tanaman ariango yang biasanya dikeringkan untuk dibuat gelang ataupun diikatkan pada

166

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

pinggang bayi dengan menggunakan benang hitam agar terhindar dari gangguan mahluk halus. Ariango yang telah dikeringkan juga bisa dipasang pada baju bayi dengan menggunakan peniti. “…Biasanya saya anak bayiku kalau ditinggal dirumah dikasih cermin di sampingnya dengan pisau supaya tidak diganggu mahluk halus biar sendiri anak-bayi ada yang jaga, tapi kalu besar-besarmi sedikit di pasangkan ariango dibikin gelang baru dikasih kering dulu baru di bikin gelang bisa juga dibikin ikat pinggang baru dipasangkan sama bayi, kalau tidak di bikin gelang bisa juga di tusuk dengan peniti di bajunya anak-anak” (Hs, 36 tahun)

3.1.7. Anak Balita Tidak ada perawatan khusus bagi anak balita pada Etnik Bajo di Sulaho termasuk dalam pola makan. Anak balita boleh makan tanpa ada batasan khusus, yang harus dan tidak boleh di konsumsi. Sebagian anak balita yang dijumpai selama penelitian, tampak mengonsumsi jajanan bahkan, tidak sedikit orang tua dengan sengaja membelikan jajanan seperti permen, es lilin atau mi instan. Tim peneliti menjumpai banyak anak balita yang tidak lengkap imunisasinya. Orang tua memberikan alasan kenapa anak tidak diimunisasi ketika petugas kesehatan datang ke rumah, diantaranya karena anak sedang sakit atau sedang tidur dan tidak boleh dibangunkan karena biasanya bayi akan kaget dan menyebabkan sakit. Sakit perut yang diderita anak balita dapat diobati dengan cara merendam ari-ari (aerung) yang biasanya masih disimpan oleh ibu dalam air hangat untuk kemudian diminumkan pada

167

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

anak. Cara ini dipercaya dapat menjadi obat yang mujarab karena ari-ari berasal dari bagian perut sehingga dapat menyembuhkan sakit perut anak.

Gambar 3. 6. Ari-ari Bayi yang Sudah Kering Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

3.1.8. Permainan Tradisional Anak Setelah selesai dengan pekerjaan domestik, biasanya kaum ibu berkumpul di depan rumah pada beberapa rumah tertentu saling mengobrol dan membicarakan tentang kejadian seharihari. Anak-anak sudah bermain sejak pagi di sekitar lapangan dan sepanjang jalan desa telah ramai dengan anak-anak yang bermain. Menjadi keunikan di Sulaho adalah permainan seharihari anak-anak sebagian besar merupakan permainan tradisional. Permainan dimainkan secara musiman, artinya saat ini bermain dengan mainan tertentu, beberapa waktu kemudian bermain dengan permainan jenis lainnya. Permainan tradisional

168

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

memanfaatkan bahan alam yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal. Permainan tradisional yang ada di berbagai belahan nusantara ini dapat menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak, seperti aspek motorik, aspek kognitif, aspek emosi, aspek bahasa, aspek sosial, aspek spiritual, aspek ekologis dan aspek nilai-nilai/moral (Misbach, 2006). Permainan yang dimainkan di antaranya adalah tembak-tembakan, danda, binta’, gasing, kelereng, galacang/dakon dan perahu-perahuan. Permainan tembak-tembakan Pada sebuah pagi terlihat anak-anak yang tengah menjelajah semak belukar tepat di depan rumah tempat tim peneliti tinggal. Semua anak laki-laki tampak membawa mainan kayu berupa tembak-tembakan yang dibuat sendiri, tanpa membeli dan mereka merasa gagah bak tentara. Anak-anak pra sekolahpun seolah tidak mau kalah dengan anak-anak yang lebih tua dari mereka dengan menyelempangkan senjata mainannya meski tidak ikut serta dalam peperangan. Sebuah basecamp berada di pos ronda, beberapa orang telah bersatu menjadi kawan di pos ronda ini, mereka memasang selembar seng sebagai perisai melindungi diri dari tembakan lawan, sementara satu kelompok lain berada tepat di depannya berhadapan di bawah sebuah gubug beratap rumbia. Mereka saling tembak menembak seperti perang sungguhan. Permainan ini umumnya dimainkan oleh laki-laki, dilakukan dengan membuat dua kubu yang memiliki basecamp dan saling melepaskan tembakan tanda perang tengah berlangsung. Ada pula anak perempuan yang memainkan permainan jenis ini. Alat permainan jenis ini dapat dibuat oleh anak-anak usia sekolah yang sudah besar, sementara anak-anak pada usia yang lebih kecil dibuatkan orang tua atau saudara yang lebih besar. Permainan tembak-tembakan ini dibuat dengan menggunakan kayu papan yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai jenis 169

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

senapan atau tembakan tertentu. Pada bagian depan senapan dipasangi dengan karet yang dapat ditarik ke belakang sehingga dapat menyangkut pada sebuah kayu kecil yang dipasang pada bagian tengah senapan dan berfungsi sebagai pelatuk. Peluru adalah biji tanaman rambat yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai tanaman katak-katak/tarere tumbuh liar di sekitar desa, seperti sekitar pantai, sekitar rumah tinggal dan lapangan desa. Danda’ “Debug, debug, debug”, suara langkah kaki-kaki kecil yang menumpukan satu kaki kanannya sambil berjalan. Kegiatan tersebut adalah bagian sebuah permainan bernama danda. Permainan dengan area bermain yang dilukis di atas permukaan tanah sedemikian rupa menggunakan kayu atau benda runcing sehingga dapat memunculkan garis membentuk geometri sebagian besar berbentuk persegi mulai bagian pangkalnya (awalan) dan setengah lingkaran sebagai bagian ujungnya (penutup). Awalan

Penutup

Gambar 3. 7. Area Permainan Danda Sumber: Data Penelitian Tahun 2014

170

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Selain area bermain tersebut, biasanya digunakan pecahan tegel sebagai alat bermain untuk setiap pemain. Permainan dilakukan secara bergiliran satu per satu hingga seseorang dianggap gagal/mati, dilanjutkan bergantian dengan teman lainnya, begitu seterusnya. Permainan ini umumnya dilakukan oleh anak perempuan, akan tetapi anak lelaki juga biasa memainkan permainan jenis ini. Gasing Sebuah kayu yang dibentuk seperti dua segitiga pada bagian atas dan bawahnya. Anak-anak lelaki bergerombol dan mengerumuni sebuah karung plastik kecil. Karung ini dimaksudkan sebagai alas untuk memainkan gasing, sebagai medan pertempuran gasing yang dimiliki oleh masing-masing anak. Gasing dilempar tepat di atas karung, berputar dengan cepat dan tak lama kemudian disusul pemain lain yang berusaha melindas gasing yang sudah terlebih dahulu berputar di atas karung plastik tersebut. Permainan jenis ini hanya dimainkan oleh anak laki-laki saja. Binta’ Anak-anak secara alami bermain dengan membagi dirinya dalam kelompok-kelompok tertentu. Dua orang sebagai pemegang tali (binta’) di kedua ujungnya sementara anak yang lainnya bergantian untuk melompat pada tali yang diayun sambil menyanyikan sebuah lagu atau dapat juga berhitung tergantung kesepakatan dalam permainan. “hom pim pa hom pim pa” menjadi sebuah penentu siapa yang akan bermain atau harus mengayun tali. Jika anak yang bermain dapat menyanyi atau berhitung dengan benar maka ia akan terus melompat. Tetapi jika ia tersangkut ketika melompat, salah lirik atau tidak dapat menyanyi atau salah berhitung maka ia akan menggantikan temannya untuk mengayun tali. Begitu seterusnya siklus

171

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

permainan ini, tapi terkadang jika pengayun tali merasa capek, teman yang bermain lompat talipun bersedia menggantikan menjadi pengayun tali. Kelereng Anak-anak lelaki biasanya juga bermain kelereng. Dengan cara bergiliran, anak-anak mencoba untuk membidik kelereng lawan yang ada di tanah dengan kelerengnya yang disentak dengan keras menggunakan jari-jarinya. Jika kelereng tersentuh berarti ia menang. Galacang/dakon Permainan ini dilakukan dengan membuat lubang pada tanah lalu mengisinya dengan kerikil. Permainan ini dilakukan seperti halnya bermain “dakon” permainan anak Etnik Jawa. Setiap anak yang bermain secara bergiliran mengisikan kerikil itu pada setiap lubang sampai kerikil dalam genggaman yang diambil dalam satu lubang habis diisikan. Ia akan berhenti ketika menaruh kerikil pada lubang yang kosong. Selanjutnya permainan berganti pada teman, begitu seterusnya. Pemenang adalah anak yang mendapat jumlah kerikil terbanyak. Perahu-perahuan (Lopi-lopian) Perahu dibuat dari gabus atau kayu. Gabus yang digunakan biasanya kotak gabus-gabus sisa atau rusak yang telah digunakan sebagai tempat untuk menyimpan ikan. Perahu biasanya dapat dibuat secara mandiri oleh anak-anak yang berusia relatif besar, sementara anak-anak kecil biasanya dibuatkan oleh orang tuanya. Kayupun merupakan kayu-kayu sisa pembuatan perahu atau kayu-kayu yang dapat diperoleh dari hutan atau dengan memungut sampah kayu di laut. Seringkali tampak anak-anak berkerumun pada beberapa tempat secara insidental. Satu diantaranya biasanya membawa sebuah toples atau tempat bekal makan yang berisi potongan

172

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kertas-kertas kecil bergambar ukuran sekitar 2x3 cm. Beberapa di antaranya tengah menggosok-gosok sebuah tanda hitam yang berputar mengelilingi sebuah gambar pada kertas kecil itu. Terdapat anak yang melempar begitu saja kertasnya, karena ia baru saja mendapatkan gambar bom dibalik tanda hitam yang digosoknya. Seseorang dianggap berhasil adalah yang dapat menggosok semua bagian bertanda hitam selain menyisakan satu tanda hitam berupa gambar bom. Sebagai hadiah penggosok ini akan mendapatkan uang sebesar Rp. 2000,- dari penjual. Satu potongan kertas kecil dijual dengan harga Rp. 500,-. Permainan jenis ini, biasa disebut dengan cabuk-cabuk merupakan permainan yang sangat popular selama masa penelitian. Penjual cabuk-cabuk biasanya anak-anak yang dibelikan oleh orang tua, beberapa di antaranya adalah ibu-ibu muda. Satu papan cabukcabuk berisi 100 potongan kertas seharga Rp. 8000,-. 3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Orang Bajo di Sulaho Suatu negara yang sehat berawal dari diri sendiri dan keluarga yang sehat. Indonesia menganut prinsip kesehatan non diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan. Dalam konstitusi di Indonesia, kesehatan didefinisikan sebagai suatu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU No 36 tahun 2009). Sehat itu masih banyak ditafsirkan bahwa harus memiliki peralatan penunjang kesehatan yang lengkap dan memadai sehingga tetap butuh biaya yang tidak sedikit untuk memenuhinya. Padahal tidak harus demikian. Langkah yang paling mudah dan sederhana untuk mewujudkan kesehatan dan menjaganya serta mencegah penyakit adalah

173

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

hanya dengan melakukan dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). PHBS dapat dipahami sebagai sekumpulan perilaku yang dipraktekkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang, keluarga, atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) dalam bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan (Kemenkes, 2011). Dengan demikian, sangat banyak jenis PHBS yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri, yang berkaitan dengan orang lain, sampai dengan lingkungan sekitar. Misalnya perilaku mengonsumsi makanan dan minuman sehat seperti sayur, buah, multi vitamin dan sejenisnya, perilaku istirahat yang cukup dan olahraga teratur, perilaku membuang sampah pada tempatnya dan tidak mencemari sumber air bersih, perilaku pengendalian diri dan mental, dan lain sebagainya. Dalam lingkup rumah tangga, PHBS adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. Setidaknya ada 10 indikator PHBS di dalam rumah tangga yaitu (Kemenkes, 2014): 1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, 2. Melakukan penimbangan bayi dan Balita (usia 0 - 59 bulan), 3. Memberikan ASI eksklusif, 4. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, 5. Memakai kakus sehat, 6. Melakukan aktifitas fisik setiap hari, 7. Mengkonsumsi buah dan sayur setiap hari, 8. Tidak merokok dalam rumah, 9. Menggunakan air bersih, dan

174

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

10. Memberantas jentik nyamuk 3.2.1. Pertolongan Persalinan Jumlah anak yang dimiliki setiap keluarga di Sulaho ratarata lebih dari 3 orang, bahkan bisa mencapai lebih dari 10 kali melahirkan bahkan 13 kali. Hampir setiap keluarga memiliki anak yang meninggal yang kebanyakannya saat masih bayi atau keguguran. Salah satu informan, Nt (catatan penulis: sesuai KTP usia 56 tahun, tapi nampaknya usia tersebut tidak sesuai, berdasarkan informasi hasil wawancara dengan membandingkan usianya saat pertama kali hamil dan usia anak pertamanya saat ini seharusnya dia baru berusia sekitar empat puluhan tahun), pernah 12 kali hamil dan melahirkan, tujuh diantaranya meninggal dunia saat masih bayi usia kurang dari satu bulan, termasuk tiga kali mengalami keguguran. Sebagaimana yang dia sampaikan saat ditanya jumlah anak yang dimiliki, “...satu lusin, tinggal 5 yang hidup, 2 perempuan 3 lakilaki... yang meninggal laki-laki semua...” (Nt, 56 tahun)

Informan yang lain Na (55 tahun, bukan usia yang sebenarnya), menyebutkan memiliki tujuh orang anak dari dua orang istri. Istri pertama memiliki 2 orang anak dan satunya meninggal dunia saat bayi. Istri kedua memiliki lima orang anak dan salah satunya meninggal dunia saat bayi. Istri pertama dicerai hidup kemudian mantan istri menikah lagi dan memiliki 5 orang anak dari suami berikutnya. Sedangkan istri kedua (istri yang sekarang) adalah seorang janda yang memiliki 3 orang anak dari suami sebelumnya. Jadi jika di total anak Na keseluruhan (anak kandung dan anak tiri dari dua orang sitri) adalah sebanyak 15 orang. Na sendiri mengaku memiliki saudara kandung lebih sepuluh orang dan saat ini yang tersisa 3 orang yang hidup. Sebagaimana yang dia tuturkan berikut: 175

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

“...Saya tinggal bertiga bersaudara, sebenarnya lebih sepuluh... yang lain mati karena sakit... saya dua kali beristri, istri pertama ada dua orang anak mati satu, yang mati laki-laki yang hidup perempuan... istri pertama cerai hidup sekarang tinggal di Pomalaa... sudah bersuami lagi... istri kedua ada lima orang anak mati satu... anak saya mati kecil karena sakit, yang satu usia 1 bulan, yang satu usia 3 bulan... istri saya sudah punya anak yang tinggal sama-sama...” (Na, 55 tahun)

Lain lagi dengan informan Sb (50 tahun, bukan usia sebenarnya), dia mengaku memiliki 12 orang anak dari 2 orang suami. Suami pertama, sudah meninggal, memperoleh 4 orang anak dan salah satunya meninggal saat bayi. Sb dengan suami kedua (suami yang sekarang) memiliki 8 orang anak dan 2 diantaranya meninggal dunia saat masih bayi. Banyaknya frekuensi kehamilan dan melahirkan ibu-ibu bajo di Sulaho berkontribusi besar terhadap jumlah Angka Kematian Bayi (AKB) desa ini. Informan Nt, memiliki 7 orang anak yang meninggal dari 12 kali kehamilan dan bersalin. Semua anaknya yang meninggal adalah kelahiran berturut-turut dari anak ke enam sampai dengan anak ke duabelas dengan usia di bawah 1 bulan. Persalinannya terakhir terjadi sekitar tiga tahun lalu yang menyebabkan dia pendarahan dan terpaksa harus dirujuk ke tenaga kesehatan di kecamatan yang akhirnya dia memutuskan untuk tidak mau lagi hamil meskipun dia mengaku sampai sekarang masih rutin datang bulan. Faktor pernikahan usia dini bisa menjadi penyebab banyaknya jumlah anak yang dilahirkan dan kerawanan pada persalinan atau pasca persalinan baik bagi bayi atau pun ibu. Nt mengaku dipaksa menikah saat baru lulus Sekolah Dasar, saat itu dia belum pernah haid. Sebagiamana penuturannya berikut ini:

176

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

“...bapakku sama mamaku meninggal waktu saya masih kecil. Sepuluh hari ka’ tamat SD dia mati mamaku, sepuluh hari lagi mati bapakku... setelah itu saya dipaksa menikah sama Omku, tapi saya tidak mau karena belum tahu apa-apa, saya bilang mau lanjut sekolah tapi Omku bilang tidak ada uang, jadi saya tetap dikasi menikah, waktu itu saya belum haid... waktu itu suamiku sudah besar memang mi... ada lima bulan saya larikan suamiku, saya pergi di Lawata, di Mala Mala, di Lambai, nanti nenekku yang bujuk baru saya mau pulang (ke Sulaho)...” (Nt, 56 tahun)

Menurut Nt, di Sulaho banyak kejadian seperti itu, dipaksa menikah saat masih kecil dengan alasan tidak ada uang untuk biaya sekolah, “...banyak begitu yang dipaksa menikah... karena na bilang siapa yang mau biayai ko...” (Nt, 56 tahun)

Seluruh persalinan Nt tidak ada yang dilakukan atau dibantu oleh tenaga kesehatan kecuali persalinannya yang ke dua belas karena terjadi pendarahan. Itupun dia bersalin sendiri di rumah, namun karena terjadi pendarahan, akhirnya dia diantar ke kecamatan dan dirujuk ke Rumah Sakit Daerah di Lasusua. Persalinan Nt sebagian besar dibantu oleh dukun beranak yang merupakan neneknya sendiri dan sebagiannya bersalin sendiri, setelah bayinya keluar baru dipanggil neneknya (dukun beranak). Sebagaimana penuturannya berikut ini: “...semua anakku melahirkan di Sulaho... pernah tiga kali pindah rumah... itu terus Nenek Saniba-ku yang bantu, karena nenek sekaliku itu, mamanya bapakku... anakku yang terakhir itu saya pendarahan... saya hampir mati waktu itu saya melahirkan sendiri di rumah, nenekku tidak bisa karena sedang sakit juga waktu itu... saya

177

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

sudah pucat jadi dibawa ke Rumah Sakit besar” (Nt, 56 tahun)

Nenek Sn (73 tahun) adalah seorang dukun beranak satusatunya yang dimiliki Desa Sulaho saat ini dan dipercayai oleh semua masyarakat Sulaho khususnya yang berdomisili di Dusun 1, 2 dan 3. Sebagaimana diketahui, Desa Sulaho terdiri atas empat dusun dimana Dusun 1,2, dan 3 berada di Sulaho Induk dan dusun ke empat, Dusun Lanipa nipa terletak terpisah dengan jarak kurang lebih 6 km dari Sulaho Induk dan dengan waktu tempuh kurang lebih 15 menit menggunakan transportasi laut atau sekitar 30 menit dengan menggunakan jalur darat berputar melalui pegunungan dengan medan yang sangat terjal dan melalui daerah bekas pertambangan. Desa 4, hanya bisa ditempuh dengan menggunakan perahu dari Sulaho Induk. Semua persalinan di Desa Sulaho menggunakan jasa dukun beranak. Meskipun di desa ini sudah ditempatkan seorang Bidan Desa, namun hanya sesekali saja jasa Bidan Desa digunakan. Kepercayaan yang tinggi pada dukun beranak merupakan salah satu faktor utama alasan persalinan di Desa Sulaho tidak menggunakan tenaga kesehatan. Disamping itu, kemudahan pada saat bersalin juga menjadi alasan mereka memilih untuk bersalin di rumah saja, baik sendiri maupun dibantu oleh suami atau dukun beranak. Informan Sb pernah 12 kali melahirkan dan semuanya dilakukan di rumah tanpa menggunakan jasa tenaga kesehatan. Bahkan empat kali diantaranya dia melahirkan sendiri. Sebagaimana penuturan mereka berikut ini: “...Cuma itu tantenya yang namanya Saniba yang bantu melahirkan, semua anaknya dibantu sama dia... kalau sudah sakit dia rasa saya pergi panggilkan, biasa juga bermalam di rumah...” (At, 49Th)

178

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

“...Saya melahirkan lancar (malomo), biasa saya sendirian, kalau bapaknya (suami) tidak ada saya melahirkan sendiri, ada empat anakku saya melahirkan sendiri... nanti setelah lahir bayinya mau dipotong ariarinya baru dipanggilkan Saniba (dukun beranak)...” (Sb, 50 tahun)

Menurut mereka, kemudahan persalinan juga diperoleh karena tetap beraktifitas meskipun sedang hamil besar, dan itu dianggap sebagai olahraga yang dapat memudahkan proses melahirkan, sebagaimana diungkapkan berikut: “...Itu istri saya, memang tidak pernah berhenti bekerja (meskipun sedang hamil), ada sebagian orang kalau sudah 3 hari menjelang melahirkan sudah tinggal saja dan tidak beraktifitas lagi, tapi istri saya tidak... termasuk olahraga juga itu...” (At, 49 tahun) “...Iya saya tetap bekerja, bahkan saya naik ke gunung ambil kayu...”(Sb, 50 tahun)

Faktor lainnya adalah Bidan Desa yang tidak tinggal di sana, sehingga pada saat akan melahirkan, ibu bersalin tidak mendapati tenaga kesehatan yang bisa membantunya, apalagi jarak ke fasilitas kesehatan cukup jauh dan harus ditempuh lewat laut. “...Kita tidak minta tolong sama bidan karena tidak susah (melahirkan), kalau pun susah dan mau minta tolong, tidak ada bidannya di kampung...”(Sb, 50 tahun)

3.2.2. Penimbangan Balita Penimbangan bayi dan balita dilakukan setiap bulan dengan maksud untuk memantau pertumbuhan. Penimbangan ini dapat dilakukan di Posyandu sejak usia 1 bulan sampai dengan

179

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

5 tahun. Dalam program Posyandu yang berlaku sampai saat ini, setiap ibu yang memiliki bayi diberikan Kartu Menuju Sehat (KMS), yang didalamnya tercatat hasil penimbangan dan pengontrolan perkembangan anak (Kemenkes, 2014). Berdasarkan pengamatan, pelaksanaan Posyandu di Desa Sulaho tidak dilakukan setiap bulan melainkan 3 bulan sekali. Ketika dikonfirmasi kepada petugas kesehatan Puskesmas mereka beralasan faktor kesulitan transportasi dan medan yang menjadi alasan. Namun demikian, masyarakat Sulaho mengaku tetap menimbang anaknya jika ada kegiatan Posyandu. “...Iya, kalau mereka (petugas kesehatan) datang yah ditimbang juga, bahkan kalau anak saya sudah agak besar dan kebetulan saya ke Lasusua (kecamatan) saya timbang di sana... semua anak saya seperti itu, ada buku yang diberikan, buku bergambar orang (maksudnya KMS)...” (Sb, 50 tahun)

Menurut tenaga kesehatan, respon masyarakat Sulaho terhadap program Posyandu sangat rendah. Meskipun ada jadwal Posyandu yang dilakukan sekali dalam tiga bulan mereka juga malas berkunjung ke tempat pelayanan dan terpaksa petugas kesehatan yang berkunjung dari rumah ke rumah. “...Tidak pernah ada anak saya yang saya timbang...” (Nt, 56 tahun)

Berdasarkan pengamatan ketika ada kegiatan Posyandu, petugas mengunjungi rumah yang teregistrasi memiliki bayi dan balita untuk ditimbang dan diimunisasi. Tidak semua rumah yang memiliki bayi dapat dikunjungi karena keterbatasan waktu dan tenaga. Sebenarnya di Desa Sulaho ada 4 orang kader kesehatan khusus untuk Dusun 1,2,3,dan 1 orang kader kesehatan di Dusun 4, tapi nampaknya tidak maksimal peran aktif mereka. Saat dilakukan kegiatan Posyandu yang dirangkaikan dengan

180

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

pelaksanaan beberapa program Puskesmas yang lain di Desa Sulaho, hanya ada 2 kader kesehatan yang hadir dan itupun tidak ikut kunjungan dari rumah ke rumah karena mereka mengikuti pelatihan untuk program yang lain. Desa Sulaho tidak memiliki gedung khusus untuk pelaksanaan kegiatan Posyandu, yang ada hanya satu gedung Bakesra yang merupakan bantuan dari Dinas Sosial yang sekaligus juga menjadi Pos Kesehatan Desa dan tempat menginap jika Bidan Desa sedang berkunjung ke Sulaho. Gedung Bakesra ini terletak di kawasan sekolah Desa Sulaho. Menurut pengakuan dari petugas kesehatan, biasanya mereka menyelenggarakan pelayanan Posyandu di ruang kelas sekolah dan melakukan kunjungan dari rumah ke rumah. 3.2.3. ASI Eksklusif Air Susu Ibu (ASI) merupakan asupan gizi terbaik yang dibutuhkan oleh bayi. Pemberian ASI tanpa makanan dan minuman tambahan yang lain dapat dilakukan saat usia bayi 0 sampai dengan 6 bulan, yang dikenal dengan ASI Eksklusif (Kemenkes, 2014). Beberapa ibu yang diwawancarai tidak memahami dengan jelas apa itu ASI Eksklusif, namun mereka mengaku saat bayinya kecil mereka memberikan ASI tanpa makanan dan minuman tambahan seperti susu kaleng dan sejenisnya. Informasi tentang manfaat ASI didapatkan dari bidan, dari orang tua atau dukun beranak. “...Air tetek (ASI) terus saya berikan, karena lancar ji air tetekku, kalau pun tidak ada air tetekku satu hari dua hari, saya tidak pernah kasih susu kaleng ... saya sebentar saja sudah keluar air tetek kalau sudah makan kacang, paya-paya (pepaya)... nenekku yang kasi tahu, katanya kalo mau lancar air tetek makan kacang, pepaya,

181

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

di urut-urut juga...nenekku yang kasi tahu bilang air tetek itu bagus, bidan juga baru-baru ini, tapi saya tidak pernah lagi melahirkan, jadi saya bilangi saja sama anakku (cucuku)...” (Nt, 56 tahun)

Informan SB mengaku memberikan ASI Eksklusif kepada anaknya namun hanya sampai usia 3 bulan dan setelah itu dibantu dengan Dot. Alasannya karena dia juga bekerja menjual ikan jadi ketika pergi berjualan anaknya dititip dan diberikan susu botol (dot). “... Biasa tiga bulan saja, setelah itu di kasi dot sampai 2 tahun, karena dulu bekerja jadi kalau pergi menjual pagipagi ke pasar di kasih dot...” (Sb, 50 tahun)

Berdasarkan pengamatan terhadap kebiasaan ibu-ibu, pemberian ASI dilakukan di mana saja saat anak itu minta, tidak begitu mempersoalkan tempat dan keadaan. Ketika anaknya minta langsung disusukan, tidak ada mencuci tangan, membersihkan payudara dan lain sebagainya. Informan Nt mengaku memberikan ASI kepada anaknya dan tidak memberikan susu tambahan. Menurutnya ibu yang menyusui memiliki banyak pantangan diantaranya dilarang makan ikan kering, sayur nangka, makan makan yang masih panas dan tidak boleh mengangkat beban yang berat dengan tangan. “...Banyak pantangannya...dilarang makan ikan kering, sayur nagka karena bisa putih mulutnya anak-anak... kalau panas makanan tidak boleh dimakan, nanti setelah dingin...tidak boleh angkat baskom atau ember, bisa tassitta...kalau tassitta biasa ibunya meninggal...” (Sb, 50 tahun)

Dia juga mengaku membiasakan mencuci payudaranya sebelum menyusui bukan karena kebersihan tapi menurut kebiasaan masyarakat jika ibu dari luar kemudian masuk rumah

182

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dan mau menyusui bayinya maka payudaranya harus dicuci karena takut ada setan yang ikut dari luar dan mengganggu anaknya sehingga bisa sakit perut atau perutnya bengkak. “...Dicuci dulu, karena biasa kalau dari keluar ada yang ikut-ikuti kita (diikuti setan), biasa kalau langsung dikasi tetek anak-anak bengka perutnya... nenekku yang kasi tahu kalau dari mana-mana harus dicuci tetek baru pergi ke dapur...” (Sb, 50 tahun)

3.2.4. Cuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun Mencuci tangan dengan air bersih terutama air mengalir dan menggunakan sabun merupakan kebiasaan yang dapat menghilangkan berbagai macam kuman dan kotoran yang menempel ditangan sehingga tangan bersih dan bebas kuman. Mencuci tangan hendaknya dilakukan setiap kali sebelum makan atau memegang makanan dan menyusui dan setelah melakukan aktifitas menggunakan tangan. Berdasarkan pengamatan terhadap kebiasaan mencuci tangan di rumah tangga oleh masyarakat Desa Sulaho sangat rendah baik orang dewasa apalagi anak-anak. Kalaupun mereka mencuci tangan ketika tangan kotor, cara mencuci tangannya pun hanya sekedar menghilangkan kotoran tanpa meperhatikan tatacara cuci tangan yang baik. Proses mencuci tangan biasanya tidak menggunakan sabun. Anak balita biasanya langsung makan begitu saja tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Hampir semua anak balita yang ada di desa sulaho tidak di ajarkan untuk cuci tangan sebelum makan bahkan mereka makan dengan menggunakan ke dua tangan kiri dan kanannya. Jikapun terdapat anak yang mencuci tangan tetapi tidak menggunakan sabun bahkan langsung saja makan pada hal dari bermain tanah dan pasir. Selain itu, anak tidak diajarkan anak untuk melakukan

183

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

cebok setelah BAB. Terdapat informan yang tidak mengetahui kapan anaknya sudah mulai bisa cebo sendiri karena tidak tahu kalau buang air besar di mana. Anak yang makan biasanya tidak didampingi oleh orang tuanya kecuali mereka makan bersama dengan orang tuanya. Terdapat pula anak-anak yang mengalami cacingan. Terdapat anggapan bahwa penyakit tersebut terjadi karena anak senang duduk di pasir bermain tanpa mengenakan baju atau celana. Pada awalnya orang tua marah, akan tetapi karena anak tidak mau maka selanjutnya dibiarkan begitu saja. Ibu yang memiliki bayi, tidak mencuci tangan setelah menceboki bayinya. Bekas BAB dibersihkan dengan cara dilap menggunakan alas tidur bayi dan air kencing biasanya dibiarkan begitu saja meski buang air kecil (BAK). Terdapat kebiasaan bahwa anak bayi tidak dipakaikan baju. Setelah mandi biasanya anak dilumuri bedak bayi yang dicampur dengan minyak telon. Hal ini dapat menghindarkan anak dari masuk angin meski tidak menggunakan baju. Namun demikian, ketika ditanyakan kepada masyarakat tentang kebiasaan cuci tangan, mereka mengaku itu baik dan untuk kebersihan. Sebagian mereka mengaku mencuci tangan pakai sabun hanya untuk menghilangkan bau ditangan misalnya ketika tangan bau amis setelah makan atau memegang ikan, tapi tidak setiap mencuci tangan memakai sabun. “...Untuk kebersihan toh...” (Nt, 56 tahun) “...Biasa kalau habis cebok, habis makan, habis makan ikan biasanya tangan bau amis...pakai sabun supaya tidak berbau lah pak...” (At, 49 tahun)

184

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

3.2.5. Menggunakan Kakus Sehat Kakus adalah ruangan yang memiliki fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya. Ada beberapa syarat untuk kakus sehat yakni tidak mencemari sumber air minum, tidak berbau, tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus, tidak mencemari tanah sekitarnya, mudah dibersihkan dan aman digunakan, dilengkapi dinding dan atap pelindung, penerangan dan ventilasi udara yang cukup, lantai kedap air, tersedia air, sabun, dan alat pembersih (Kemenkes, 2014). Lokasi pemukiman masyarakat Desa Sulaho terletak di pinggir pantai sampai dengan kaki gunung yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari pinggir pantai. Sebelum adanya bantuan Departemen Sosial untuk pemukiman masyarakat dan Program Bedah Rumah dari pemerintah kabupaten, semua masyarakat membuang hajat di pantai. Setelah masuknya program tersebut, sebagian masyarakat sudah memiliki kakus dalam rumah namun sebagian yang lain masih juga menggunakan pantai atau saluran air sebagai tempat buang hajat. Berdasarkan pengamatan, kakus yang dimiliki adalah kakus jongkok dengan bak air atau tanpa bak air di dalamnya. Mereka harus mengangkat air menggunakan ember dari sumur. Setiap rumah yang masuk dalam program bedah rumah sebenarnya mendapatkan bantuan kloset jongkok, hanya saja ada yang dipasang ada yang belum dipasang. Kloset yang dipasang pun ada yang sudah tidak digunakan karena tersumbat, dan akhirnya pantai, sungai dan saluran air menjadi alternatif tempat buang hajat. Selain kakus yang dimiliki oleh sebagian warga, terdapat pula 3 bangunan kakus umum yang ada di Desa Sulaho, di Dusun 185

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

1 bergabung dengan masjid, Dusun 2 terletak di belakang rumah salah seorang warga yang merupakan mantan Kepala Desa, dan untuk dusun 3 di belakang rumah warga. Saat ini yang berfungsi hanya 1 kakus umum. Berdasarkan pengamatan, kakus yang terawat hanya satu yaitu yang terletak di samping masjid desa, adapun yang lain sudah jarang digunakan karena rusak atau tersumbat. “...dulu sebelum ada bantuan kakus, orang buang air besar di pinggir pantai, aih tidak bisa orang duduk-duduk santai begini di pinggir pantai, bau kotoran, tapi alhamdulillah sekarang kurang mi...” (At, 49 tahun)

Salah seorang informan menceritakan bahwa dia tidak memiliki kakus di rumah, sebenarnya ada kloset bantuan tapi tidak dipasang karena keluarga belum ada dana cukup untuk membuat kakus tersebut. Selain itu dia beralasan tidak membuat kakus karena cepat tersumbat, sehingga mereka sekeluarga membuang hajat di pantai atau saluran air yang ada di depan rumah. “...Aih sedangkan itu tersumbat anunya pak kalo berak orang setengah mati orang, sedangkan itu orang dibawa ta satu kali ji na dorong air sudah mi jadi itu anu tersumbat berapa itu ndak na pake satu ji itu bisa na pake orang...” (Nt, 56 tahun) “...Sudah biasa mau di apa dilihat orang ... (caranya) digali itu pasir baru ditutup kembali, kalau sudah berak ditutup kembali sama pasir ... pake sarung, mau telanjang malu dilihat orang, hahaha... kita membersihkan di laut, kalau sudah membersihkan di laut naik di rumah disepul lagi pakai air sumur...kalau anak-anak biasa ditanggul karena mengalir air kalau hujan...” (Nt, 56 tahun)

186

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

3.2.6. Aktifitas Fisik Setiap Hari Faktor lain yang dapat mewujudkan kondisi kesehatan jasmani yang optimal adalah kebiasaan melakukan aktifitas fisik secara rutin, beberapa menit setiap hari. Aktifitas fisik yang dimaksud berupa olahraga maupun kegiatan lain yang mengeluarkan tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik, mental dan mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar sepanjang hari. Aktifitas tersebut yang dimaksud dalam penelitian ini dapat berupa menonton televisi, duduk-duduk dan sejenisnya, aktifitas sedang seperti menyapu, mengepel dan sejenisnya minimal 5 kali atau lebih dalam sepekan, serta aktifitas berat seperti berupa kegiatan yang dilakukan secara terus menerus minimal 10 menit sampai meningkatnya denyut nadi dan nafas yang lebih cepat dari biasanya seperti menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul dan sejenisnya minimal 3 hari dalam sepekan. Secara umum masyarakat bajo mempunyai aktifitas fisik yang mereka lakukan setiap hari, minimal menyapu atau mencuci bagi ibu-ibu. Berjalan kaki merupakan aktifitas fisik hampir seluruh warga desa karena kebanyakan masyarakat mengakses tempat satu dengan tempat yang lain dengan berjalan kaki. Lakilaki dewasa melakukan aktifitas sedang dan berat karena setiap hari harus bekerja melaut. Kegiatan tersebut membutuhkan aktifitas fisik yang cukup berat seperti mendorong perahu dari pantai sampai terapung, berenang, mengangkat pasir. Sebagian masyarakat masih menggunakan kayu bakar untuk memasak sehingga minimal sekali dalam sepekan mereka harus naik gunung mencari dan menebang kayu untuk kayu bakar.

187

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

3.2.7. Konsumsi Buah dan Sayur Setiap Hari Konsumsi buah dan sayur sangat dianjurkan karena banyak mengandung berbagai vitamin, serat dan mineral yang bermanfaat bagi tubuh. Kondisi topografi Desa Sulaho sebenarnya cukup baik untuk ditanami sayuran dan buahbuahan. Namun tidak satupun masyarakat di Dusun 1, 2 dan 3 yang merupakan dusun yang dihuni oleh masyarakat bajo yang memanfaatkan pekarangan untuk menanam sayur ataupun buah. Tanaman yang dimiliki oleh sebagian kecil warga adalah pisang manurung (pisang Bugis atau pisang kepok) dan hanya beberapa rumah saja yang di pekarangannya ada pohon mangga. Salah satu alasan mereka tidak menanam tanaman di pekarangan karena banyaknya kambing yang berkeliaran dan selalu merusak tanaman. Begitu juga dengan babi yang masih banyak turun ke pemukiman warga pada malam hari untuk mencari makan. Bahkan tampak semua pohon pisang yang tumbuh harus dipagari kayu ditambah dengan jaring atau seng/atap bekas agar tidak di rusak hewan liar. Masyarakat di desa ini tidak setiap hari dapat mengonsumsi sayur dan buah. Sayuran dan buah hanya dapat diperoleh di pasar di kecamatan yang tidak setiap hari. Berdasarkan pengamatan, ada dua orang ibu-ibu dari desa tetangga yang rutin datang menjual sayur sekali seminggu. Ibu tersebut harus menempuh perjalanan beberapa kilometer berjalan kaki menuruni gunung yang terjal dan mendakinya saat kembali ke rumahnya. Semua sayuran yang dibawa akan habis, tapi meskipun demikian tidak semua sayur yang dibawa akan dibayar kontan oleh pembelinya. Sebagian ada yang mengutang dan akan membayar pada kedatangan berikutnya. Sayuran yang biasa dibawa seperti kacang panjang, sayur pakis (paku-paku), kangkung, terong, bayam, dan labu. Selain itu ada juga beberapa warung yang menjual sayur yang diperoleh dari pasar. 188

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Berdasarkan pengamatan, perhatian masyarakat untuk mengkonsumsi sayur masih kurang. Sebagian mereka menganggap bahwa sayur dibutuhkan kuahnya sehingga jika memasak ikan yang berkuah dirasa sudah cukup dan sudah mewakili sayur. Sebagian lagi menggunakan mi siram sebagai pengganti sayur. Buah-buahan hanya diperoleh dari pasar pada hari pasar di Lasusua atau di Lambai. Beberapa buah yang biasa dibeli dan dikonsumsi adalah jeruk, salak, rambe, pisang burung, pepaya dan semangka. Jenis buah-buahan tersebut juga tergantung pada musim buah. Buah-buahan ini tidak setiap hari dapat dikonsumsi. Pengolahan sayur seperti biasa, dicuci dan dimasak sampai betul-betul matang. Terkadang sayur yang berupa daun-daunan terlihat lembek karena dimasak terlalu matang. Sayur lebih sering dimasak dengan kuah sebagai sayur bening, dan terkadang menggunakan santan ataupun ditumis. “... Biasa ada yang tanam sayur di dekat gunung sana, tapi sekarang tidak ada lagi gara-gara kambing... biasa juga kita makan buah, kalau orang dari pasar...jeruk, pisang kecil...” (Sb, 50 tahun) “... Biasa pergi ke pasar kalau ada uang kita beli kalau ndak ada tidak juga... biasa beli disitu kalau adai uang ... terung, paling sering terung.... tidak ada yang menanam, dibeli saja kalau ada uang... biasa ditumis-tumis, kalau ada uang kalo tidak dimasak air saja...” (Nt, 56 tahun) “... Biasa sayur kol atau terung... kalau ke pasar, kalau tidak ke pasar, tidak makan lagi sayur...” (Ni, 30 tahun)

Mereka mengonsumsi buah dan sayur hanya sekedar mengkonsumsi dan tidak mengerti manfaatnya. “...Dimakan saja, tidak ditahu apa tujuannya, sekedar melengkapi makanan...” (At, 49 tahun)

189

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

3.2.8. Tidak Merokok dalam Rumah Rumah adalah tempat berlindung bagi keluarga. Selayaknya segala gangguan yang mengancam penghuni rumah termasuk gangguan kesehatan harus disingkirkan atau dikurangi. Merokok di dalam rumah sesungguhnya adalah gangguan yang mengancam kesehatan penghuni rumah. Di dalam satu puntung rokok yang diisap akan mengeluarkan lebih dari 4.000 jenis bahan kimia berbahaya, diantaranya adalah nikotin, tar, dan karbon monoksida (CO). Jika ada anggota keluarga yang merokok (perokok aktif) di dalam rumah, maka asap yang dihasilkan dari rokok tersebut akan membahayakan penghuni rumah yang lainnya yang tidak merokok (perokok pasif), disamping tentu saja membahayakan kesehatannya sendiri (Kemenkes, 2014). Berdasarkan pengamatan, semua laki-laki dewasa di Desa Sulaho adalah perokok, bahkan sebagian besar anak-anak lakilaki yang berusia di atas 10 tahun telah merokok. Merokok menjadi kebiasaan lelaki di desa Sulaho, bahkan terdapat di antaranya masih usia sekolah dasar sudah mulai merasakan nikmatnya merokok. Orang tua lelaki yang menjaga anaknya pun terbiasa sambil menghisap rokok. Ada pula dukun yang merokok saat menolong proses persalinan. Rokok yang dihisap sebagian besar adalah jenis rokok yang memakai filter dan ada juga yang merokok jenis kretek, dan tidak ada yang menggunakan rokok daun. Ketika ditanya alasan mereka merokok, sebagian menjawab tidak tahan kalau habis makan kemudian tidak merokok, seperti mau muntah. “... saya tidak bisa tahan kalo habis makan baru tidak merokok, kayak mau muntah terus...pernah saya coba berhenti dua hari saya tidak tahan saya merokok kembali...” (At, 49 tahun)

190

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Mereka mulai merokok sejak kecil dan penyebab awalnya karena diajak teman, selanjutnya mereka beli sendiri. Biasanya mereka menghabiskan 1 bungkus sehari isi 16 batang, ada yang lebih atau kurang dari itu. “...Saya merokok sekitar beberapa puluh tahun yang lalu, waktu itu masih susah uang, saya dikasi teman... tidak sampai satu bungkus sehari, biasa satu bungkus bisa sampai 24 jam, karena kalau dibeli pagi, pagi berikutnya baru beli lagi...saya pake yang filter, tidak bagus itu yang kretek...” (At, 49 tahun) “...Sejak waktu SD..,pergaulan sama teman, pengaruh lingkungan, jadi merokok, minum, akhirnya bergaulbergaul sama teman, bergaul begitu terpengaruh lingkngn berhenti sekolah, satu minggu nggak masuk sekolah gara-gara begitu...” (Rd, 17 tahun)

Sebagian mengaku tahu bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan, biasa mendengar dari orang, tapi tetap tidak bisa berhenti. “...Biasa saya dengar orang bilang katanya bahaya itu merokok, saya yakin juga, katanya memang tidak langsung terlihat akibatnya, kalau lanjut lanjut terus baru terasa katanya, apakah betul atau tidak itu?...” (At, 49 tahun)

Berdasarkan pengamatan, para perokok paling sering merokok di ruang tamu dalam rumah, terutama ketika sedang ada tamu yang berkunjung. Biasa juga di ruang tengah pada saat menonton televisi, dan juga di dalam kamar tidur. Ketika merokok, mereka tidak peduli dengan orang disekitarnya termasuk jika ada anak bayi atau anak kecil yang lain mereka tetap saja merokok. Ketika berbincang-bincang mereka tidak

191

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

sungkan menawarkan rokok kepada teman bicara tanpa bertanya terlebih dahulu apakah dia merokok atau tidak. 3.2.9. Menggunakan Air Bersih Air adalah kebutuhan utama manusia. Menggunakan air bersih untuk segala kebutuhan adalah suatu kebiasaan yang baik dan sehat. Banyak penyakit yang timbul akibat penggunaan air yang tidak bersih seperti diare, penyakit kulit dan lain sebagainya. Warga masyarakat Desa Sulaho semuanya menggunakan sumber air dari sumur gali. Desa Sulaho terletak di pinggir pantai, tapi air sumur yang mereka gali tetap jernih dan tawar, tidak payau, meskipun jaraknya hanya beberapa meter dari bibir pantai. Berdasarkan pengamatan, beberapa sumur digali dengan kedalaman hanya beberapa meter, yang berdekatan dengan saluran pembuangan limbah ataupun selokan. Sebagian besar menggunakan cincin (gorong-gorong), ada juga yang menggunaka drum bekas yang ditanam sebagai dinding sumur. Mereka biasa mencuci dan mandi dekat sumur tanpa mempedulikan air cucian atau air mandi masuk kembali ke dalam sumur. Ada warga yang membuat sumur di dalam rumah atau di samping rumah dengan atap yang menaungi, dan ada pula yang membiarkan terbuka begitu saja. Sumber air minum dan memasak, selain menggunakan air sumur, ada juga yang menggunakan air isi ulang dalam galon. Galon biasa diisi ulang di kecamatan atau di Lambai. Berdasarkan observasi air galon yang digunakan juga tidak begitu diperhatikan kualitasnya. “... Biasa pakai air sumur..dan sama air gallon sekarang... Galon isi ulang di Lasusua... dulu kan 5 ribu sekarang 6 ribu pergalon...” (Ni, 30 tahun)

192

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Berdasarkan pengamatan, air sumur untuk minum ada yang dimasak ada juga yang diminum tanpa dimasak. Adapun air galon tidak lagi dimasak, langsung disimpan di dispenser dan diminum. “... Air minum ambil di sumur di atas dekat rumah Bu Desa...kami pakai air sumur kemudian dimasak... di rumah ada juga tempat air habis dimasak ada juga tempat air biasa... anak-anak kalau habis main minum di jumbo...” (Sb, 50 tahun) “...Iyye dimasak tidak pernah langsung diminum, dimasak karena itu anak anak kujaga semua karena itu anakku asdar bilang maa kalo bisa sakit perut kalo tidak dipanas itu air e dari dulu begitu...” (Nt, 56 tahun)

Beberapa warga ada yang menggunakan sumur tertentu untuk air minum dan memasak dan ada juga yang khusus untuk mencuci dan mandi. Tapi sebagian besar menggunakan untuk semua kebutuhan. 3.2.10. Memberantas Jentik Nyamuk Beberapa penyakit berbahaya yang diketahui saat ini menjadikan vektor penularan dan penyebarannya adalah nyamuk. Seperti Malaria dan Demam Berdarah. Tempat-tempat penampungan air di dalam rumah seperti bak mandi, kakus, vas bunga, tatakan kulkas, dan di luar rumah seperti talang air, dan lain-lain merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk berkembang biak. Perlu diperhatikan membersihkan secara berkala tempat-tempat penyimpanan air tersebut. Melakukan pemeriksaan jentik berkala (PJB) dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) melalui kegiatan 3 M (menguras, mengubur, dan menutup) adalah kabiasaan yang baik yang dapat menghentikan pembiakan nyamuk sebagai perantara penyakit.

193

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Berdasarkan pengamatan di beberapa rumah, tempat penyimpanan air yang umum digunakan adalah ember besar dengan penutup, ember kecil, baskom, periuk besar dengan penutup atau tanpa penutup dan ada juga yang menggunakan bak dan galon bekas. Tidak ada rumah yang memiliki talang air yang bisa digenangi air dan menjadi sarang nyamuk. Hasil pemeriksaan di beberapa kamar mandi juga tidak ditemukan adanya jentik nyamuk, hal ini disebabkan karena sirkulasi air cepat habis dan tidak tinggal lama. Setelah habis mereka kembali mengisi air dari sumur. Menurut salah seorang informan yang memiliki bak kecil di dalam kakus-nya menyebutkan bahwa paling lama 3 hari sekali air bak dikuras dan disikat. “...Tidak pernah ada (jentik nyamuk), karena paling lama tiga malam dua malam bak saya sikat dan airnya saya buang...” (Sb, 50 tahun)

Beberapa rumah di Sulaho terlihat meletakkan wadah dari jerigen bekas atau semacamnya di depan pintu masuk yang dipakai menampung air hujan atau dari sumur. Air tersebut yang digunakan untuk mencuci kaki ketika akan memasuki rumah. Masyarakat memiliki kebiasaan keluar rumah tidak menggunakan alas kaki, dan ketika akan masuk rumah kakinya dicelup pada wadah berisi air tersebut. Berdasarkan pengamatan, air dalam wadah tersebut tidak diganti secara rutin dan beberapa nampak jentik nyamuk di dalamnya. Selain itu, sumur-sumur di sekitar rumah yang dimanfaatkan untuk penampungan sampah juga terlihat adanya jentik nyamuk. Pada saat penelitian, ada kejadian demam berdarah yang sampai muntah darah dan dirujuk ke rumah sakit daerah dan dirawat beberapa hari. Penderita adalah seorang gadis yang menurut ibunya, anak tersebut pernah beberapa hari di Lasusua

194

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dan mulai sakit di sana sebelum kembali ke Sulaho. Ibu tersebut tahu bahwa penyakit itu ada hubungannya dengan nyamuk, tapi dia mengaku tidak ada penderita lain di dalam rumah. Obat nyamuk bakar digunakan masyarakat menghindari gigitan nyamuk terutama pada malam hari. Ada juga beberapa keluarga yang menggunakan kelambu, namun tidak ada yang menggunakan obat nyamuk semprot dan juga elektrik. Penggunaan obat nyamuk elektrik memang agak sulit karena listrik di Sulaho maksimal hanya sampai jam 10 malam. 3.3. Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Berdasarkan data Puskesmas Lasusua, jenis penyakit yang umumnya diderita oleh masyarakat diantaranya adalah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), diare, febris. Adapun jumlah 10 penyakit terbesar pada Puskesmas Lasusua tahun 2013 sebagai berikut:

Grafik 3. 1. Sepuluh Penyakit terbesar di Puskesmas Lasusua tahun 2013 Sumber: Profil Puskesmas Lasusua Tahun 2013

195

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

3.3.1. Penyakit Menular Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Terdapat beberapa kasus penyakit menular yang dapat ditemukan di desa Sulaho seperti kusta, diare dan TBC. 3.3.1.1. Sekelumit Cerita Kasus Kusta Kusta diketahui telah lama muncul di Sulaho. Muncul pertama kali sejak tahun 1970-an yang disinyalir dibawa oleh orang Sulawesi Selatan. Masa selanjutnya mulai muncul kasus serupa yang diderita oleh warga asli Desa Sulaho. Kasus demi kasus Kusta terkena sejak tahun 2005 hingga sekarang. Kasus kusta menyerang anak dan dewasa. Terdapat beberapa rumah tangga yang memiliki penderita dan atau mantan penderita Kusta lebih dari satu orang. Terdapat bermacam anggapan terkait Kusta yang diderita seseorang diantaranya disebabkan karena kepercayaan bahwa bibit penyakit tersebut sudah ada dalam tubuh manusia sejak lahir sehingga dapat muncul sewaktu-waktu, pengaruh guna-guna, kutukan, mengkonsumsi ikan pari berkulit hitam dengan bintik putih serta melakukan hubungan suami isteri saat menstruasi. Mereka yang menderita kusta memiliki pantangan yaitu makan jeruk, lombok, minyak kelapa (boka’) dan ikan kering dikarenakan dapat menyebabkan gatal-gatal. Pantangan lain adalah melakukan hubungan suami istri dikarenakan dapat memperparah kondisi penyakit. Terdapat anggapan dari masyarakat bahwa penyakit Kusta berbahaya dan menular,

196

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

sementara keluarga penderita umumnya memiliki anggapan sebaliknya. Cara penularan yang dipercaya oleh masyarakat dapat terjadi melalui nafas sehingga tidak dapat berdekatan dengan penderita, menduduki bekas tempat duduk penderita, menggunakan garam dari rumah penderita dan memakan makanan yang dibuat penderita. Syarat terjadinya penularan adalah adanya kecocokan golongan darah. Penderita dan mantan penderita umumnya pergi ke dukun terlebih dahulu sebelum akhirnya berobat ke pusat pelayanan kesehatan setelah muncul tanda klinis pada tubuh seperti bengkak dan mati rasa. 3.3.1.2. Sekelumit Cerita Kasus Diare Diare menjadi penyakit yang telah biasa dialami oleh warga Sulaho. Penyakit ini disebut dengan joli atau cika. Pada tingkatan lebih lanjut terdapat joli tangluwa/salibanang (muntaber) yang disebut disebabkan oleh pengaruh dingin. Sebut saja Dr (25 tahun), yang tim peneliti dapati mengalami keluhan diare. Ia bercerita bahwa sudah 6 bulan terakhir mengalami diare Buang Air Besar (BAB) cenderung encer, disertai darah, berlendir seperti ingus dan merasakan sakit pada bagian anus ketika BAB. Salah satu penyebab yang diingatnya adalah mengkonsumsi mi instan merek intermie disertai saos lombok. Rumah Tangga (RT) ini memang sengaja menyediakan saus lombok kemasan botol yang dibeli di pasar sebagai persediaan di rumah untuk pelengkap makan sehari-hari. “Kan saya suka dulu itu makan saus itu pertama kali kenna itu sering makan saus ada munkin satu bulan itu pas berhenti mulaimi mencret. begitu setelah berhenti makan saus 3 hari berhenti pas mencret keluar darahmi. Begitu merah dulu kadang seperti darah to

197

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kadang juga di belakang dia maksunya terakhir to. pertama keluar darah. merah kaya darah luka. itu berbusa warna kuning… encer tapi itu kalau darahnya yang keluar sakit perutnya beda dengan kotoranya to. biasa juga kadang pas begitu pas sudah berak to kadang mual… paling 3 jam 2 jam lagi begitumi sakit lagi datang lagi sakitnya terasa sakitnya baru turun lagi berak biasa kutahan-tahan dulu… biasa 5 kali 6 kali” (Dr, 25 tahun)

Pertama kali informan berobat pada bulan pertengahan bulan Mei 2014 ke Bakesra. Ia mendapatkan obat dan tidak mengalami perubahan apapun. Pertengahan Juni, ia memperoleh obat diare sisa dalam kemasan botol dan beberapa butir obat yang disimpan dalam plastik putih yang diperoleh dari kerabatnya ketika dahulu pernah sakit diare. Kemasan botol tampak sudah berkarat dan petunjuk pemakaian yang tertempel pada botolpun sudah berjamur dan rusak. Ia mengaku telah meminum obat dalam kemasan botol selama beberapa hari yaitu dua kali sehari sesuai petunjuk yang tertera dalam kemasan obat. Semenjak itu ia berobat kembali pada akhir Juni 2014 ketika dilaksanakan pengobatan umum dan Posyandu di Bakesra oleh tenaga kesehatan Puskesmas Lasusua. Istrinya yang meminta obat ke Bakesra sementara suami tengah bekerja ke laut. Pasca minum obat, ia mengaku merasa banyak perubahan dan sudah tidak diare lagi. Anak kecil yang mencret biasanya diawali dengan demam, sehingga orang tua membelikan obat di warung dekat rumah seperti paracetamol. Dosis dan cara minum obat tergantung kemauan orang tua. Sebut saja, Sm (40 tahun) seorang ibu yang anaknya sakit diare meminumkan paracetamol sekali dalam sehari selama sekitar 4 hari. Anaknya (Sl, 3 tahun) telah diobati oleh dukun dengan air jappi-jappi karena anak mengalami demam yang diduga sebagai penyakit kasuwiang. Saat dukun

198

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

mengatakan bahwa penyakit anaknya bukan kasuwiang, barulah kemudian ibu memberikan obat yang dibeli dari warung. Salah satu orang tua yang anaknya diare, awal mulanya mengantarkan anak BAB ke pinggir laut. Pantauan ibu melihat kotoran berupa cairan seperti nanah bercampur darah dan tampak berlendir. Anak mengalami mencret selama sekitar 4 hari. “3 hari mi demam, baru sembuhmi itu panasnya bera’bera’mi bera’-bera’ darahmi… mulai itu malam, paginya tu ku kasi minum obat mi paracetamol… iya 4 kali na minum, 2 biji 4 hari… sebelumnya suruh saja nenek suri bikinkan air bilang orang biknkan air diminum” (Sm, 40 tahun) “Berhenti mi panasnya jadi kuliatmi bera’ na darah mi campur nanah itu campur darah toch itu kalau orang bisulan… warna merah seperti ingus, kayak berlendir keluar… ingus yang kental yang campur darah kalu penghabisan bera’mi seperti biasmi kaya adami tapi kalau penghabisan lagi darah lagi keluar..minggu senin selasa rabu” (Sm, 40 tahun)

Ibu tidak mengetahui secara pasti penyebab anaknya mengalami diare. Sebagian besar rumah tangga di desa ini memiliki kebiasaan untuk tidak merebus air sebelum dikonsumsi. Air minum umumnya diperoleh dari sumur gali yang berada di sekitar rumah tinggal, baik milik sendiri, kerabat maupun tetangga. Air minum yang tidak direbus dirasakan lebih segar, dingin dan enak. Air minum tersebut tidak hanya dikonsumsi oleh orang tua, tetapi juga oleh anak-anak. Selain itu, terjadi 6 kasus diare lain yang dialami oleh 6 orang warga yang rumahnya berdekatan. Dimulai dari seorang pemuda yang pernah beberapa hari mencari teripang dan saat kembali dia merasa mulas dan kemudian BAB di pantai dimana

199

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

pada saat larut malam. Awalnya, tinja’ biasa, tapi selanjutnya encer (mencret) disertai rasa sakit dan mual yang sangat parah. Perut terasa melilit. “...Perut seperti diputar berkumpul ditengah kemudian terhambur. Rasanya sakit sekali, rasanya urat-uratnya itu saling menarik. Begitu memang penyakitku, saya pernah kena juga sebelumnya..” (Ka, 26 tahun)

Ibunya kemudian meminta tolong ke tetangga untuk dibuatkan obat berupa air yang dijappi-jappi, namun belum berhasil. Kemudian ibunya membuat ramuan kaloko pao beberapa potong dicampur air dan gula merah. Kaloko pao adalah mangga muda yang dikeringkan. Kaloko pao bisa diganti juga dengan asam jawa atau istilah lokalnya disebut cempa. Ramuan ini diyakini oleh masyarakat setempat sebagai obat pertolongan bagi penderita cika dan muntaber. Selain pemuda ini, ada juga beberapa orang tetangganya yang mengalami diare dalam waktu yang hampir bersamaan. Ada seorang anak sekolah yang juga terkena diare beberapa hari sebelumnya setelah jajan di sekolah, menurut informasi dia makan snack kerupuk, dan setelah itu dia mencret. Yang lain seorang ibu guru mengalami mencret setelah makan cumi (sotong, simampra) yang dimasak bersama dengan cairan hitamnya (tinta cumi). Masakan ini sudah beberapa kali dipanasi. Dan ketika dibagi ke tetangga sebelah rumahnya, suami istri yang memakan masakan itu juga mengalami diare. Adapun tetangga yang lainnya, 3 orang dalam satu rumah mengalami diare setelah sore hari makan mangga muda. Peristiwa ini terjadi dalam kurun waktu 3 hari berturut-turut. Selain ramuan kaloko pao dan gula merah yang digunakan untuk mengobati penyakit diare, masyarakat setempat juga melakukan terapi kompres air hangat yang dimasukkan ke dalam botol di mana air yang hangat dimasukkan ke dalam botol kaca 200

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kemudian diurutkan di bagian perut yang sakit. Namun terapi ini kadang berhasil dan kadang juga tidak. Ibu Nh (31 tahun) pernah mengalami sakit perut di ulu hati, kemudian dia melakukan terapi kompres botol dan langsung sembuh. “...Malam jumat saya kena sakit ulu hati, kayak ada telur itu di ulu hati saya, sampai-sam danpai saya pingsan. ...saya kompres air hangat yang dikasi masuk dibotol langsung sembuh, tidak minum obat apa-apa...” (NH, 32 tahun)

Warga lain yang mengalami diare juga melakukan terapi yang sama tapi tidak berhasil. Selanjutnya dia minum ramuan kaloko pao campur gula merah dan itu yang membuat diarenya berangsur hilang dan akhirnya sembuh. Ada juga yang menggunakan ramuan kapur campur jeruk nipis ditambah kunyit kemudian diminumkan ke penderita cika. Dalam pengobatan diare, sebagian warga juga sudah mengenal oralit atau larutan gula garam. Oralit biasa mereka peroleh dari bidan desa di Bakesra. Namun jika kehabisan, sebagian mereka sudah tahu membuat larutan gula dicampur dengan garam dan air hangat kemudian diminum. Meskipun demikian, ada juga yang tidak suka minum ramuan ini karena baunya yang tidak enak. Sehingga mengkombinasikan dengan ramuan kaloko pao campur gula. “...Sudah dibikinkan sama istri saya (larutan gula garam), tapi saya tidak minum karena baunya tidak enak, tambah mau muntah... saya dikasi tetangga ramuan kaloko pao campur gula, saya minum itu jadi agak reda (sakitnya)...” (Na, 35 tahun)

Perilaku pengobatan diare biasa diawali dengan pengobatan tradisional, membeli obat dari warung dan terakhir diperiksakan ke petugas kesehatan jika belum sembuh. Menurut

201

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

masyarakat, daun jambu biji muda juga dapat dimanfaatkan sebagai obat yang mujarab untuk diare baik dengan cara dimakan mentah atau direbus terlebih dahulu untuk diminum. Warga menceritakan bahwa sumur mereka selalu diberikan “obat” oleh tenaga kesehatan dari Puskesmas Lasusua. Menurut warga, masyarakat juga biasanya diberitahukan untuk merebus air terlebih dahulu sebelum diminum. Akan tetapi umumnya, orang di desa ini telah terbiasa untuk tidak merebus air minum mereka sehingga banyak yang tidak mengikuti himbauan tersebut. Berdasarkan pengamatan faktor sanitasi lingkungan sekitar lokasi kejadian diare serta perilaku mencuci tangan sebelum makan dapat dijadikan sebagai faktor penyebab kejadian diare yang mereka sebut cika, joli tangluwa (muntaber) atau salibanang. Selain itu dapat disebabkan karena kebiasaan konsumsi air minum yang tidak dimasak atau konsumsi makanan yang tidak bersih. Penyediaan air bersih dan dan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat menjadi faktor risiko terhadap kejadian diare. 3.3.1.3. Sekelumit Cerita Kasus ISPA Dalam masa penelitian, peneliti memperhatikan anak-anak di Desa Sulaho, baik bayi, balita maupun anak usia sekolah terlihat sering beringus. Menurut masyarakat setempat hal ini terjadi karena pengaruh cuaca sekaligus anak yang terus bermain di luar rumah tanpa mempedulikan kondisi cuaca panas atau hujan. Orang tua umumnya memang tidak pernah melarang anaknya untuk bermain di luar rumah dalam cuaca apapun. Anak dengan leluasa bermain dalam kondisi hujan, telanjang kaki dan baju basah. Hal demikian telah menjadi hal yang lumrah di Desa Sulaho.

202

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

“…Nggak diurus begitu, kita lihat saja anak-anak disini, biar hujan-hujan main…udah biasa, karena asal hujan sering panas sebentar sering anak sakit begitu…” (Dw, 34 tahun) “Biar panas, biar hujan pergi juga An (3 tahun), mandi air hujan, mandi air asin” (Pl, 21 tahun)

Tidak terdapat sebutan khusus bagi penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dengan tanda panas disertai batuk dan pilek. Sakit panas seringkali diidentikkan dengan sakit kasuwiang (cacar air), sementara batuk pilek dapat dianggap sebagai penyerta atau pembawaan dari penyakit kasuwiang. Pengobatan yang dilakukan adalah dengan membeli obat di warung. Sebut saja ibu Dw (34 tahun) yang anaknya (11 tahun) sakit panas dan batuk diobati dengan paracetamol, asam mefenamat dan ampicillin. Menurutnya, asam mefenamat dan ampicillin diberikan karena anak mengeluh badannya sakit. Batuk yang dialami dipercaya akan sembuh dengan sendirinya ketika panas sudah hilang. Setelah minum obat-obatan tersebut 3 kali ½ tablet dalam sehari selama 3 hari tapi belum benar-benar sembuh, anak disuruh untuk bermain/beraktivitas seperti biasanya dan sakit yang dialami berangsur-angsur akhirnya membaik. Ibu tidak memberikan obat-obatan tersebut lebih lama lagi kepada anaknya dikarenakan kekhawatiran bahwa anak dapat ketergantungan terhadap obat-obatan tersebut. “Panas batuk…saya kasih paracetamol, asam mefenamat sama amphicillin, dua minggu yang lalu, saya pergi ke pasar saya beli obat, nanti demam sekali mi nggak bisa sekolah…3 kali sehari saya potong dua, sepotong semua, pagi siang malam. Sakit badan asam mefenamat kalo habis kerja berat sama amphicilin, batuk sendiri asal panas berhenti batuknya berhenti. 3 hari minum belum

203

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

sembuh, jangan kau tinggal terus pergi kau main berangsur-angsur sembuh mi” (Dw, 34 tahun)

Penyebab lain yang terjadi pada salah satu anak informan adalah terkait dengan pola makan yang kurang baik. Sc yang kini berusia 1 tahun, pada saat berusia 8 bulan ditinggal ibunya selama 3 bulan sehingga tidak mendapatkan ASI dan hanya mengonsumsi teh gelas sebagai pengganti ASI. Selain itu, menu makan sehari-hari anak tersebut adalah bubur. Menurut kerabat yang merawat, hal tersebut yang menyebabkan anak tersebut sakit panas disertai dengan batuk. “Ditinggal mamaknya nggak netek selama 3 bulan, minum teh gelas, kalo malam habis dua, kalo siang nggak tahu, salah makan kapang, umur 8 bulan, makan bubur dibikinkan” (Dw, 34 tahun)

Selain itu obat-obatan yang biasa diberikan kepada anak balita ketika mengalami panas, batuk dan pilek diantaranya adalah obat “bodrex” atau “inzana” yang dibeli di warung. Selain itu orang tua biasanya juga memanggil dukun untuk menyembuhkan anaknya dengan cara dipijat dan ditiup-tiup oleh dukun. “begitu ji b**rex i**ana, neneknya obat ji, dipijat, ditiuptiup” (Pl, 21 tahun)

3.3.1.4. Sekumit Cerita Kasus TBC Terdapat seorang ibu yang sudah lama menderita batuk sekitar 1 tahun. Pada awalnya merupakan batuk biasa dan satu bulan kemudian mulai muncul lendir (galaga) berwarna hijau. Tak lama kemudian ketika batuk keluar lendir bercampur dengan darah merah. Belum lama diketahui ibu Pl (21 tahun) batuk

204

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

disertai dengan darah tetapi ia tidak memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan. “Batuknya kaya parah, batuk terus-batuk terus nggak mau keluar…ludah, apa itu namanya galaga, warna hijau, kalau batuk minta ampun” (Pl, 21 tahun) ”satu malam darahnya banyak keluar, ada dua sarung, itu darah keluar terus nggak mau berhenti, merah sekali, encer kaya lendir, ini baru-baru lagi keluar darah” (Pl, 21 tahun)

Keluhan yang dirasakan diantaranya adalah sakit kepala, sesak nafas, sakit pada bagian tulang belakang dan semua anggota tubuh ikut terasa sakit saat batuk. Saat itu memanfaatkan obat tradisional dengan meminum kayu jawa berupa kulit batang pohonnya yang diparut dan diminum sebanyak satu sendok. Ia juga berobat ke dukun. Saat itu pula di antar oleh mertua berobat di sebuah klinik swasta dan dinyatakan bahwa, penyakit yang diderita adalah TBC batuk kering. Ia mendapatkan obat untuk dikonsumsi selama dua minggu tetapi tidak ada perubahan, disamping masih mengonsumsi air jappi-jappi. Setelah itu keluarga membawa ibu Pl ke Puskesmas. Ia mengaku melakukan pemeriksaan darah, mendapatkan obat tetapi tidak meminumnya dan direkomendasikan ke rumah sakit untuk dapat melakukan rontgen tetapi tidak mau. Setelah itu ia berobat ke Bone dengan bantuan keluarga, tetapi ia tidak meminum obat yang diberikan dan tidak mendapatkan informasi tentang penyakit yang dialami. Ibu Pl (21 tahun) menyatakan tidak suka minum obat, terutama tidak dapat mengonsumsi obat berukuran besar bahkan membuang obat-obatan yang dibelikan oleh saudaranya. “Biasa ji saya sering minum kayunya diambil saya parut, saya minum pagi-pagi, berhenti batukku, sudah keluar

205

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

lender, sering dulu saya minum, diparut diambil airnya diminum satu sendok, sama darah dulu mi itu, campur, kaget dulu mi semua orang, darah merah darah luka, kadang kalo meludah ada lagi, ada lagi” (Pl, 21 tahun)

Menurut cerita, sebelumnya ia merawat mertuanya yang waktu itu sakit TBC sebelum meninggal. Ia selalu minum sisa air minum atau makanan mertuanya tersebut. Mereka mempercayai tentang pantangan terhadap penyakit ini yaitu makan lombok dan asam karena dapat merusak paru-paru penderita. Selain itu terkena angin akan menyebabkan penyakit dapat bertambah parah. Berbaring terus dapat menyebabkan sakit kepala ketika bangun. Meskipun demikian pantangan tersebut tidak diindahkan oleh ibu Pl (21 tahun). “Sering kuhabiskan minum air putih, teh, sering juga ku makan sisa makanya, nggak bisa habis...dibilang makan Lombok, asam rusak paru-paru…dilarang kena angin, baring terus penyakit dapat bertambah parah, kalo baring terus pusing orang, tapi saya nggak peduli karena enak kalo baring terus, kalo kau mau mandi mandi air panas atau air asin, ambil daun pakecce baru mandi, biar batuk cepat sembuh” (Pl, 21 tahun)

Belum lama, PI pernah tidak sadar dikarenakan merasa sesak, bahkan orang-orang di sekitarnya menganggap dirinya sudah meniggal tetapi dengan pengobatan dukun kampung keadaannya dapat membaik. Tanggapan orang terhadap penderita TBC diantaranya adalah menggunjing tentang kondisi yang dialami oleh penderita, diantaranya dengan mengatakan kondisi badan yang kurus sekali atau jijik. “Itu saya malu juga, kalo saya kesana-sana melihat-lihat semua orang, pergi nanti dia baru cerita, bilang kurus sekali apa, tapi ndak saya peduli, saya dengar dari mulutnya, mamaknya “T” bilang begitu, tapi ndak ku

206

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

ambil hati, malu jijik nanti orang, meludah-meludah begini” (Pl, 21 tahun)

Ia terbiasa membersihkan badan sekitar 4 hari sekali karena tidak bisa mandi dengan air dingin. Ia dianjurkan oleh dukun untuk menggunakan air hangat dengan daun pakecce ketika mandi dengan tujuan lendir dapat mudah keluar dari dalam tubuh karena pengaruh panas, namun nasehat tersebut tidak dilakukan. Tidak setiap hari batuk yang keluar bersama dengan darah tetapi jika darah ikut keluar biasanya berupa darah segar, seperti darah luka. Ia tetap menyusui anaknya yang berusia (1 tahun) meski dalam kondisi terbatuk-batuk. Selama sakit Ia tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehingga ia menyuruh anak-anak kecil di sekitar rumah untuk mencuci piring dan pakaian, sementara memasak menjadi tugas suami sehari-hari. Selain itu ia pernah periksa di bidan diberikan obat tetapi tidak diminum karena pahit. Ia juga disarankan periksa ke rumah sakit tetapi tidak mau karena takut diinfus. Pengobatan tradisional yang dilakukan diantaranya adalah meminum parutan kulit batang pohon kayu jawa yang diperas sebanyak 1 sendok makan dan diminum pada pagi hari. Hal ini pernah dilakukan ketika ia mengalami batuk disertai dengan darah dan tidak dilakukan secara rutin/kontinyu. Kayu jawa dipercaya dapat menyembuhkan penyakit dalam, seperti muntah darah termasuk ketika sakit TBC. Seorang dukun kampung mengatakan bahwa sakit berupa TBC kering tidak bisa diobati. Dahulu terdapat penderita TBC kering meniggal meski telah coba diobati oleh banyak dukun. Sakit sesak nafas bisa diobati dengan cara badan digantung selama sekitar 30 menit dengan posisi kepala di bawah dan dukunya berniat sembari dibuatkan air jappi-jappi. Pengobatan jenis ini menjamin sakit sesak nafas tidak

207

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

akan lagi kambuh. Pendapat lain menyatakan bahwa TBC kering ini merupakan penyakit keturunan. Adapula kasus yang sama yang dialami oleh warga yang lain. Dalam catatan Puskesmas dia positif menderita TBC dan pernah menjalani pengobatan 6 bulan. Berbeda dengan warga di atas, dia rutin dan mau berobat. Saat penelitian dilakukan, dia sudah menyelesaikan pengobatan, namun kondisi badan yang kurus dan batuk terus menerus masih dialami meskipun pengakuannya sudah tidak sakit lagi. Penderita ini memiliki kebiasaan merokok yang tidak bisa ditinggalkan meskipun ketika sakit dan batuk-batuk. Pengakuan kepada peneliti dia mengalami sesak napas atau disebut hosa dan bukan TBC. Bahkan salah seorang anaknya juga pernah menjalani pengobatan 6 bulan karena mengalami gejala yang sama dan bahkan sempat muntah darah. Saat ini sudah sembuh karena rutin dan disiplin mengkonsumsi obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Dalam catatan petugas Puskesmas, penyakit TBC masih ada di Desa Sulaho meskipun dengan angka kejadian yang rendah. Saat dilakukan penelusuran kasus dan penderita, peneliti hanya mendapatkan 3 kasus tersebut. 3.3.2. Penyakit Tidak Menular Beberapa kasus penyakit tidak menular ditemukan di Desa Sulaho diantaranya adalah kasus Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI), stroke, hipertensi dan penyakit akibat kecelakaan kerja.

208

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

3.3.2.1. Sekelumit Cerita Kasus Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) Ada seorang ibu rumah tangga yang telah memeriksakan diri ke tenaga kesehatan dan menurutnya dinyatakan sakit gondok tidak beracun. Pertama kali gondok yang muncul diketahui sebesar buah kemiri dan informan Si (43 tahun) tidak merasakan keluhan apapun. Pada tahapan selanjutnya, ia mulai merasakan keluhan berupa perasaan yang tidak enak karena susah tidur, sesak nafas, susah makan dan cenderung merasa mudah marah. Adanya pembesaran pada bagian leher mulai dirasakan sejak memiliki anak pertama. “ndak baik perasaanku, susah tidur…kalo malam kencing (anaknya) ini ganti sarung, nggak bisa tidur, nggak bisa bernapas-napas,jadi biasa marah-marah…” (Si, 43 tahun) “sudah lama mi itu bu… pertama seperti kemiri besare, waktu anak pertamaku, itu mi dua anakku periksa pergi ke rumah sakit di bawah…mamakku bilang besar e gondokmu, baru saya periksa doktere, bertanya bilang gondok apakah anu ini, bukan gondok beracun…” (Si, 43 tahun)

Namun demikian, ibu tidak segera memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan karena alasan tidak memiliki uang, akan tetapi setelah merasa bertambah besar ia baru memeriksakan diri ke Puskesmas ketika anak keduanya telah terlahir. Jarak antara keluhan yang muncul dan dirasakan dengan keputusan informan untuk melakukan pengobatan medis sangat lama dan jika diperkirakan lebih dari satu tahun. Informan Si mengaku tidak mendapatkan obat apapun ketika memeriksakan diri ke Puskesmas.

209

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3. 8. Pembesaran Gondok Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Upaya pengobatan yang dilakukan pada mulanya dilakukan oleh dukun (sanro) dengan dibuatkan air jappi-jappi. Selanjutnya sanro menyarankan informan untuk periksa ke rumah sakit karena khawatir penyakit yang diderita adalah jenis gondok dalam. Saat itu ia tidak mendapatkan obat apapun. Satusatunya obat yang dikonsumsi oleh informan sejak menderita gondok adalah jenis obat yang dibeli dari pedagang obat keliling di kampung sekitar 10 tahun yang lalu. Obat tersebut dibeli satu bulan setelah berobat ke Puskesmas dan diminum selama 10 hari. Ia menyatakan bahwa obat itu memberikan pengaruh pada kondisi dirinya menjadi lebih baik. “Itu obat cinae lama mi bu…ada mi kapang 10 tahun…1 bulan dari itu ada cina menjual, banyak orang beli disini, orang bilang ada obat gondokmu…kasihan ada anakku, aku ambil uange, 1 kali saja ji datang ke sini, orang ndak hamil juga dia bawa, itu mi, kubeli mi…ada kapang 10 hari dimakan, biarpun mahal kubeli asal ada perubahan, 300 ribu, bentuknya begini segiempat…iye, kalo minum obat bagus perasaanku, makananku…” (Si, 43 tahun)

Meskipun informan merasakan bermacam keluhan pada dirinya tetapi ia tidak memeriksakan diri lagi ke pusat pelayanan 210

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kesehatan, seperti rumah sakit atau Puskesmas. Ia menjalankan rutinitasnya sebagai penjual ikan. Hanya saja ia tidak mengangkat beban berat karena menurut masyarakat setempat kegiatan itu dapat menyebabkan gondok di leher semakin membesar. “Nggak baik perasaanku, nggak kuat makan, nggak kuat tidur, ada 2 bulan 3 bulan, besar lagi, ada ko gondok kata mamakku, pergi jual ikan di lambai di lasusua, nggak kupedulikan itu bu…jangan kau menjunjung ikan, itu kasihan lelakie belum pintar cari ikan, bilang belum ada obat gondok dijual, itu di orang cinae” (Si, 43 tahun)

Terakhir kali, informan memeriksakan diri sekitar dua bulan yang lalu ke Rumah Sakit Umum Kabupaten Kolaka Utara. Pemeriksaan itu merupakan pemeriksaan kedua sepanjang informan menderita gondok. Ia mendapatkan tawaran untuk melakukan operasi, namun ia tidak berkeinginan untuk melakukan operasi tersebut dikarenakan kekhawatiran mengeluarkan biaya tambahan untuk proses pengobatan yang tidak ditanggung Jamkesmas. Menurut informan, hasil pemeriksaan di RS menyatakan bahwa yang diderita adalah gondok tidak beracun. Informan menyebut bahwa gondok yang dideritanya adalah jenis gondok luar. “Belum pi itu periksa, besar baru periksa…baru kapan dua kali, besar baru saya periksa, bukan gondok beracun…gondok luar aja itu bu, belum pi besar” (Si, 43 tahun)

Menurut informan, yang dimaksud dengan “gondok dalam” oleh masyarakat setempat adalah benjolan yang tumbuh dalam tenggorokan sehingga dapat mengalami kesusahan untuk menelan dan bernafas jika membesar. Gondok jenis ini disebut sebagai gondok yang berbahaya karena dapat menyebabkan kematian jika tidak dilakukan operasi. Sementara “gondok luar”

211

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

berada di bawah lapisan kulit, sehingga tidak memberikan dampak pada kesulitan minum atau makan bagi penderita. “…Ndak kelihatan mi kalo besar di dalam nggak bisa makan…besar di dalam, nggak kelihatan, kalo inikan di luar saja, nggak apa-apa, kalo ndak diperasi gondok dalam bisa mati… di tempat nasi, nggak bisa makan, nggak bisa menelan, ndak bisa kik bernapas” (Si, 43 tahun)

Pemakaian garam halus disebut bagus untuk dikonsumsi oleh orang yang memiliki gondok dan dapat membuat ukuran gondok mengecil. Informasi tersebut diketahuinya dari keluarga yaitu ibu dan adik yang tinggal di luar wilayah Sulaho. Namun demikian informan tidak selalu menggunakan garam halus, karena di warung desa tidak dapat diperoleh garam halus, maka digunakan garam seadanya. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengoleskan garam halus pada bagian leher menjelang tidur. Ibu telah mempraktekkan kebiasaan tersebut sejak anaknya yang mengalami sakit polio pada waktu masih kecil, namun ia tidak dapat mengingat berapa umur anaknya waktu itu. “Ada itu dulu, orang, adikku kasih tahukan di pakue, kalo gondok orang, garam halus, bagus dimakan ndak besar, kubilang doktere periksa nggak ada obat dikasih kik, kalo sudah makan ikan orang, sudah makan, kuambil garam kasih begini, mau kak tidur, seperti pake bedak, hari-hari pake kalo mau tidur” (Si, 43 tahun)

Informan memiliki 9 anak, 6 diantaranya meninggal saat masih balita. Terdapat dua orang anak yang menurut informan anaknya terkena penyakit polio. Sejak kecil diakuinya anak tidak mendapatkan imunisasi. Satu diantaranya telah meninggal pada usia sekitar 20 tahun.

212

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Satu lainnya masih hidup hingga kini dan berusia 24 tahun, sebut saja An. Kelainan pada anak tersebut (An) mulai dirasakan sejak usia sekitar lima bulan. Gejala yang muncul diantaranya adalah badan panas, kejang dan anak mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik yang dianggap tidak seperti tumbuh kembang pada anak normal. Pengobatan yang dilakukan melalui sanro dengan dibuatkan air jappi-jappi dan ibu tidak pernah membawa anaknya berobat ke pusat pelayanan kesehatan. Menurut sanro, penyakit yang dialami anaknya sudah dibawa sejak anak masih dalam kandungan. Namun informan sendiri tidak mengetahui apa yang menyebabkan anaknya memiliki penyakit sejak masih dalam kandungan. “...Kecilnya sampai besarnya tidak bisa jalan , dari anu itu…itu mi kalau datang ki penyakitnya begitu mi kasi anu ki itu matanya kedalam begini (kejang)…itu waktu kecil-kecilnya gemuk…tidak pergi mi dibawa-bawa kerumah sakit ka sehat ji dibilang. Itu waktu 5 bulan 6 bulan bilangka kenapa lagi ini anak-anak begini tidak pernah duduk. Itu anak-anak kalau hampir mi 8 bulan 7 bulan duduk-dudukmi baru dikasi berdiri sama kursi begitu na ini tidak pernah” (Si, 43 tahun) “Kalau datang mi itu nenekku (sanro) obati biar kadang sembuh kadang ndak na bilang nenekku jangan mi pale obati anakmu ka ada memang penyakitnya dari dalam perut” (Si, 43 tahun)

Menu sehari-hari yang biasa dikonsumsi oleh informan dan keluarga adalah nasi sebagai makanan pokok dengan ikan sebagai lauk, yang didominasi oleh ikan kacalang. Selain itu ikan lain yang dikonsumsi adalah ikan rambe dan ikan putih yang diperoleh dari tetangganya yang pergi melaut. Kini, ikan jenis tersebut sudah jarang diperolehnya karena tidak ada lagi nelayan

213

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

di Sulaho yang memanfaatkan bom ikan untuk mencari ikan. Sayur yang biasa dikonsumsi diantaranya adalah sayur kolu (kol), sempu (daun katu), marolare (kangkung), buah pepaya, kacang panjang, daun kacang panjang, terong. Pemilihan jenis sayur seperti terong dan kol adalah jenis sayur yang dapat disimpan selama beberapa hari. “Kalo terong, kol bagus disimpan, biar 3 malam, 4 malam, setiap ke pasar pasti beli, kalao sayur lain nggak bagus disimpan kalo sudah lama” (Si, 43 tahun)

Jenis masakan ikan biasanya berkuah dan goreng. Garam dibubuhkan bersama dengan ikan dan bumbu lain serta air sebelum mulai dimasak. Selain itu, garam dimasukkan pada proses awal memasak sebelum sayur mendidih. “Kalo ikan dimasak, baru dianu semua garam, asamnya, itu bawange, baru dikasih minyak, baru dikasih vetsinnya, dimasak mi…periuk, ini kompor, baru disimpan itu anu e garam, vetsin, mendidih itu mi bu, dismpan itu sayure, baru dicoba mi” (Si, 43 tahun)

Pantangan terhadap penyakit gondok adalah memakan makanan yang berminyak. Tetapi informan tidak mengetahui alasan pantangan makanan jenis tersebut, dan tidak berusaha menghindari makanan yang berminyak. Menurut informan gondok juga dapat meletus ketika tidak dapat ditemukan obatnya. “Biasa ji juga makan sama saya, jangan kau makan anu e minyak-minyak apakah, jangan banyak tumistumis, itu kasihtahukan orang disini , itu mi ada penyakitmu, biarku makan, mati tak nanti…gondok bisa meletus kalo nggak ada obatnya, banyak orang meletus kalo nggak ada obatnya” (Si, 43 tahun)

214

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

3.3.2.2. Sekelumit Cerita Kasus Stroke Seorang bapak, sebut saja namanya Sh (60 tahun, bukan usia sebenarnya). Pertama kali mengalami stroke ketika mengangkat kayu dan mendadak tangan sebelah tidak bisa digerakkan. Ia mengalami stroke dimana tangan kirinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. “...Awalnya saya mau potong kayu pakai kapak tangan kiri pegang kayu... tiba-tiba kayunya jatuh dan saya sudah tidak bisa rasakan tangan kiri saya... tidak ada kesemutan tidak ada kram atau nyut-nyut, langsungbegitu saja tidak terasa...” (Sh, 60 tahun)

Pengobatan yang dilakukan diantaranya adalah berobat pada dukun selama satu bulan dengan tinggal di rumah dukun tetapi tidak ada perubahan. Akhirnya memutuskan pulang ke kampung halaman di Sulaho dan berobat kepada dukun yang mengobati dengan cara menyembur air pada bagian tangan yang mati rasa. Ketika ditanyakan penyebabnya, Sh hanya menyebutkan kayu yang akan dipotong itu saja penyebabnya. Pengobatan yang dilakukan sebelumnya adalah berobat pada sanro selama satu bulan dengan tinggal di rumah dukun tetapi tidak terdapat perubahan. Sanro tidak menyebutkan penyakit yang sebenarnya diderita termasuk penyebabnya. Setelah menggunakan jasa sanro, kemudian berobat di rumah sakit dan menurut dokter menderita sakit stroke ringan. Dia pernah berobat ke Lasusua sebanyak 3 kali namun tidak ada perubahan. Dia mengonsumsi obat-obat dari dokter dan pernah juga berobat di dokter praktek di Kolaka, namun sampai saat ini tangannya masih tidak bisa digerakkan. Sebelum mengalami stroke, Sh bekerja sebagai nelayan. Saat ini dia tinggal sendiri di rumahnya. Adapun kebutuhan makan sehari-hari disiapkan oleh anaknya yang rumahnya

215

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

berhadapan langung dengan rumah tinggalnya. Beberapa bulan yang lalu isteri Sh meninggal dunia dan untuk menghilangkan kedukaannya Sh pernah ikut bersama adiknya ke pulau dan baru kembali beberapa hari sebelum berakhirnya penelitian ini. Peneliti mendapati, Sh adalah seorang perokok berat. Berdasarkan pengakuannya, dia telah mulai merokok sejak masih anak-anak. Dia seorang pekerja keras namun tidak pernah peduli untuk memeriksakan kesehatannya. Dia mengaku pernah merasa sering tegang-tegang di leher sebelum akhirnya tangannya lumpuh. 3.3.2.3. Sekelumit Cerita Hipertensi Penyakit tidak menular lainnya yang dapat ditemukan di Desa Sulaho adalah hipertensi. Seorang ibu, Ny yang berusia sekitar 65 tahun pernah mengalami pingsan dan tidak sadarkan diri. Dia mengaku terkena stroke, namun tidak sampai lumpuh hanya pernah pingsan saja. Ketika dikonfirmasi ke anaknya ternyata dia mengalami hipertensi, tekanan darahnya naik sampai 200 namun tidak sampai lumpuh. “...Dia pernah pingsan, mengorok... dibilang stroke karena tekanan darahnya naik sampai lebih 200... seringsering ini mamaku masuk rumah sakit, pernah masuk rumah sakit sampai 1 bulan...” (Nh, 32 tahun)

Nymengaku pernah mengalami badan kaku dan tidak bisa bergerak sehingga dibawa ke rumah sakit. Kejadian itu sudah belasan tahun yang lalu. Namun dia tidak mengalami lumpuh, badan yang kaku dirasakan hanya ketika terjadi serangan darah tinggi itu terjadi. Akhir-akhir ini, tekanan darahnya masih sering naik dengan gejala leher bagian belakang atau tengkuk tegang maka memeriksakan diri ke bidan desa, diberikan obat dan selanjutnya pulih.

216

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

“...Pernah baru-baru ini naik lagi tekanan darahnya 180, tapi bu bidan kasi obat, sudah sembuh lagi...” (Nh, 32 tahun)

Kejadian hipertensi yang dialami oleh Ibu Ny, bisa dipahami karena faktor usia dan kebiasaan konsumsi makanan olahan hasil laut yang diduga mengandung kadar kolestrol yang tinggi seperti udang atau cumi-cumi dan beberapa jenis ikan yang lain. Hal ini dapat dimaklumi mengingat penghasilan utama warga Desa Sulaho berupa hasil laut yang sebagian juga dikonsumsi. 3.3.2.4. Sekelumit Cerita tentang Penyakit Akibat Kecelakaan Kerja Pekerjaan sebagian besar masyarakat berhubungan dengan laut. Berdasarkan pengamatan tak satupun perahu nelayan yang dilengkapi pelampung. Ketika ditanyakan bagaimana cara mereka menyelamatkan diri ketika perahu karam atau tenggelam, mereka hanya mengandalkan papan perahu atau jerigen kosong atau apa saja yang bisa membantu mengapung. Jika jarak dengan daratan tidak terlalu jauh maka mereka berusaha berenang menuju daratan. Pada dasarnya mereka menyadari risiko tersebut dan tahu bahwa cara mereka bekerja tidak aman dan sangat berbahaya namun mereka memilih jalan itu karena lebih murah atau lebih terjangkau. "...Pernah waktu itu perahu saya dihantam ombak dan terbalik (tenggelam). saya cuma cari papan-papan dari perahu yang hanyut, dan saya berusaha naik di lambung perahu... untung cepat ada yang lewat saya minta tolong, lalu perahu saya ditarik sampai ke daratan... setelah itu saya tidak pernah lagi turun melaut..." (Sw, 56 tahun)

217

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

"...Kita tidak pakai tabung oksigen karena butuh banyak uang juga itu, kalau ada bantuan mungkin kita bisa pakai, minimal seperti rompi pelampung..." (Rh, 32 tahun)

Mereka seringkali memanfaatkan bom ikan untuk mencari ikan. Bahan bom ikan diantaranya adalah pupuk kelapa sawit yang diperoleh secara sembunyi-sembunyi, minyak tanah, sumbu yang disebut dengan dopis dan wadah bom yang berupa botol kaca maupun jerigen. Beberapa bom ikan digunakan untuk menangkap komunitas ikan tertentu dengan tujuan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Penggunaan bom ikan ini dapat membahayakan diri nelayan bahkan dapat menimbulkan kematian. Pekerjaan bom ikan menyebabkan bahan peledak dapat meledak di tangan, menghancurkan perahu dan orang/nelayan sekaligus. Pada masa lalu, terdapat dua orang informan yang pernah kehilangan anggota keluarganya karena meninggal terkena ledakan bom ikan tersebut. Salah satu diantara mereka pun mengaku trauma sehingga keluarganya tidak pernah melaut dengan menggunakan bom ikan. “…Saya punya adik cowok kan, dia mak bom di situ...dia pergi pencariannya jauh dari pomala…jadi itu sama bapak saya pergi mak bom, dia melempar di lautan, apa itu ada temannya itu dia kasih bom…jadi kita kasih adik saya bom, nah saya punya adik meletus bom di tangannya itu dia langsung meninggal” (Rs, 43 tahun)

Pekerjaan sebagai nelayan membuat mereka piawai berenang maupun menyelam. Mereka dapat menyelam hingga kedalaman puluhan meter, nelayan biasanya mencari teripang dengan cara menyelam. Dalam kegiatan tersebut, beberapa orang di desa ini pernah mengalami sakit ketika menyelam yang disebut dengan kram atau kerang. Akibat kejadian yang dialami tersebut beberapa orang di desa ini mengalami cacat permanen 218

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

yang menyebabkan sakit pada badan secara terus menerus ketika diam ataupun bergerak, berjalan tidak normal atau lumpuh. Pemulihan untuk dapat bisa berjalan kembali membutuhkan waktu yang relatif lama. Salah satu contoh adalah kasus yang terjadi pada informan Bs (30 tahun) yang baru dapat berjalan setelah dua tahun mengalami kram/kerang. “Pernah saya menyelam ikan bom bu, terus terang bu ikan bom, kedalaman itu 10 meter…lalu saya naik, lalu saya tidak ingat lagi bahwa saya sudah di rumah, hilang kesadaran, orang bilang disini kerang…kerang sehingga sampe sekarang, saya bisa jalan lebih sekitar satu tahun karena saya itu kena setelah selesai sekolah tahun 95 kena tahun 97 baru bisa jalan itu, mungkin ada dua tahun, sampe sekarang weh masih susah sekali untuk jalan normal bu” (Bs, 30 tahun)

Nelayan tidak memakai perlengkapan khusus ketika menyelam kecuali menggunakan apa yang disebut dengan dagor, yaitu alat bantu pernafasan (respirator) yang disambungkan dengan selang sepanjang puluhan meter dan dihubungkan dengan kompresor di atas perahu. Dagor ini digunakan secara bergantian oleh para penyelam. Penyakit akibat kerja yang banyak dialami oleh warga adalah lumpuh atau kram dan sakit kepala akibat menyelam dalam waktu yang lama dan dalam. Terutama ini diderita bagi para penyelam teripang. Untuk mendapatkan teripang yang banyak, para penyelam tidak jarang harus menyelam sampai kedalaman 60 meter dengan hanya mengandalakan udara dari mesin kompresor yang disambung selang, bukan tabung oksigen. Prosedur penyelaman yang tidak benar ditambah alat keselamatan yang sangat terbatas menyebabkan risiko kecelakaan yang besar pada pekerjaan tersebut.

219

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3. 9. Dagor dan Kompresor untuk Menyelam Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Biasanya penyelam teripang tidak berangkat melaut sendirian, minimal berdua atau bertiga. Penyelam teripang berbagi tugas, ada yang menyelam, ada yang harus menjaga mesin kompresor dan menarik ke atas. Seorang penyelam teripang menggunakan pemberat yang diikat di pinggang (perut) berupa batangan timah atau batu. Biasanya beratnya bisa mencapai 5 kg. Pemberat ini digunakan untuk membantu mereka tenggelam dan tetap berada di dasar laut. "...Semakin dalam kita menyelam semakin panjang selang yang dipakai, biasa habis satu bal kira-kira 60 meter... kalau begitu biasa di bawah sudah lembek anginnya, jadi orang di atas harus kasi naik lagi gasnya mesin kompresor... biasanya anginnya minimal 150 atau 200 sudah aman itu..." (Rh, 32 tahun)

Ketika mereka menyelam mengetahui teripang yang ada di dasar laut banyak, biasanya mereka lupa diri dan tanpa sadar berada cukup lama dalam air. Ketika mereka naik dengan segera ke atas, tiba-tiba merasa kram, kaki mati rasa dan kepala pusing. Ada juga yang langsung keluar darah dari hidung atau telinga. "... Biasa pak, kalau istilahnya banyak sekali teripang di bawah, kita bisa lupa pak, pas naik sudah tidak terasa

220

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

lagi kaki, kram semua kepala pusing ada juga teman sampai keluar darah dari hidung kalau sudah parah..." (Rh, 32 tahun)

Tanda yang ditunjukkan oleh penyakit kram/kerang tersebut diantaranya adalah air kencing yang tidak dapat keluar, bagian tubuh terutama badan dan kaki mengalami mati rasa sehingga tidak bisa menggerakkan badannya dengan leluasa. “Waktu kencing tidak keluar, tidak rasa, tidak dirasa ini (badan, kaki), biar dipotong-potong nggak kerasa, Diurut saja disini (memegang kaki), Banyak, banyak yang lumpuh, Itu kalo misalnya sudah lama di laut bu, kakinya tidak bisa jalan, cacat, itu di situ “b”, “y” (Th, 69 tahun)

Kram/kerang yang dialami dapat terjadi karena pengaruh tekanan air laut tergantung pada kedalaman penyelaman. Terjadi perbedaan tekanan pada kedalaman yang terkena sinar matahari dengan yang tidak terkena sinar matahari. Selain itu terjadinya kram/kerang juga dapat disebabkan karena adanya pengaruh penunggu laut. “…Dingin sekali, karena itu kalo menyelam orangnya dari 15 meter ke bawah mungkin dalam pertengahan masih panas karena matahari masih tembus ke bawah lewat daripada itu membeku laut di bawah, tidak pernah kena arus, ada nanti tembus matahari ke bawah bu tapi arus kencang jadi semua bergerak ini sehingga misalnya sudah masuk air dingin tidak dirasa masih bisa dari bawah nanti nak kena matahari baru mi tidak ada perasaan..biasa juga campuran mi bu, karena juga biasa bu kita waktu dulu pertama misalnya ada penangkap ikan menyelam, waktu saya masih muda belum ada saya anak sama mamaknya, lihat kuburan di bawah air, seperti di kampong, setelah naik nanti nak bilang mungkin kramat di sini…” (Th, 69 tahun)

221

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pertolongan pertama yang dilakukan terhadap orang yang mengalami kram/kerang adalah dengan melakukan beberapa cara oleh sanro sesuai keyakinan masing-masing. Salah satu sanro diantaranya menentukan terlebih dahulu apakah kram/kerang yang dialami disebabkan karena penunggu laut atau bukan. Cara yang dilakukan dengan meneteskan satu sendok air pada kedua mata. Jika mata merasa pedih maka kram/kerang yang dialami disebabkan oleh penunggu laut. Selain itu untuk menolong orang yang mengalami kram/kerang tersebut dilakukan penindihan pada urat saraf tertentu pada bagian punggung atau dilakukan pengurutan pada bagian kaki dengan menggunakan minyak boka’ (kelapa) atau pesse laya (jahe). Upaya pengobatan air jappi-jappi sebagai bagian yang tidak boleh ditinggalkan. “Saya kena di situ artinya ada hal-hal gaib yang juga ikut, sehingga dia ambil air tetes di mata saya, sehingga bilangnya kalo pedih ada yang merasuk, tapi kalo tidak ya biasa saja, sekali tetes di mataku ternyata pedis, baru itu juga belum bisa melihat dengan jelas, samar-samar orang saya lihat, waktu dia tetes air di mata saya bisa normal. Itu bu kalo kena orang di laut pasti ada dukun yang bilang kerasukan atau apa” (Bs, 30 tahun)

Kejadian kram/kerang yang dianggap parah adalah badan dan kaki yang tidak dapat digerakkan dalam jangka waktu lama. Badan dan kaki diobati dengan cara diurut oleh sanro kampung. Pengurutan setiap kali dilakukan sekitar setengah jam, tetapi jika kram/kerang yang dialami sudah parah, maka biasanya akan dirujuk ke rumah sakit. Gejala bahwa penyakit parah ditandai dengan badan dan kaki yang tidak bisa bergerak cepat meskipun sudah dilakukan pengurutan serta tidak bisa mengeluarkan air kencing.

222

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

“Air mi didoa-doa…diurut terus saya suruh kencing putus-putus, terus saya suruh bawa ke rumah sakit to di lasusua, dikasih obat…dilihat keadaannya kalo masih bisa goyang-goyang pake minyak kelapa biasa, 2 hari…ndak sampe setengah jam diurut” (Th, 69 tahun) “orang itu kena di laut, orang itu tidak bisa bergoyang terus habis napas, jadi heran orang katanya sudah meninggal, jadi saya bilang tolong dibalik, pegang uratnya di sini (menunjuk punggung) belakangnya to, kalo masih ada, ada ji coba kamu tarik 3 kali, sudah ada kembali…” (Th, 69 tahun)

Beberapa penyakit atau bahkan kematian yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja lainnya yang dialami oleh beberapa warga Di Desa Sulaho tidak terlepas dari ketiadaan penggunaan alat pelindung diri (APD) saat bekerja termasuk alat keselamatan. Penyebab kecelakaan kerja yang pernah terjadi diantaranya adalah mati karena menyelam atau tenggelam, kaki terkena baling-baling mesin, tertimpa dahan dan tertimpa pohon setelah ditebang. Mati Karena Menyelam Beberapa tahun yang lalu seorang warga Desa Sulaho meninggal dunia setelah menyelam. Sebut saja Haji S, salah seorang warga terkaya di desa ini dan termasuk segelintir orang yang sudah naik haji. Almarhum adalah pengepul teripang sekaligus penyelam teripang. Menurut cerita istrinya, Ny H, bahwa dia tidak punya firasat apa-apa pada saat kejadian kecelakaan itu. Menurut penuturan temannya, bahwa kejadian itu bermula saat Haji S turun menyelam dan melihat banyak teripang, kemudian dia juga melihat seekor udang besar dan panjang yang sangat menarik. Setelah dia naik dia langsung turun lagi menyelam dengan maksud mau menangkap udang tersebut. Setelah beberapa lama di dalam air, ia tidak berhasil menangkap

223

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

udang itu dia kemudian naik dan berkata saya kena. Maksudnya, bahwa ia terkena sesuatu dari bawah. Setelah itu dia sudah tidak bisa bergerak dan beberapa temannya di perahu sudah panik dan segera pulang, namun di tengah perjalanan dia menghembuskan nafas terakhir. Menurut istrinya kondisi badan suaminya itu berwarna hitam ketika meninggal. Cerita tersebut pernah dikonfirmasi kepada salah satu dukun kampung yang biasa dimintai tolong oleh warga Desa Sulaho ketika mereka mendapat masalah terutama yang berhubungan dengan pekerjaan mereka melaut. Baik berupa penyakit ataupun gangguan makhluk halus di laut. Sebut namanya Pak Tg (56 tahun). Menurutnya, kejadian yang menimpa Haji S itu akibat kemarahan dari penunggu laut. Udang yang dia lihat adalah penunggu laut yang berganti wujud. menurutnya dia sudah memperingatkan Haji S, tetapi tidak didengarkan, sehingga mereka berkelahi di bawah dan Haji S kalah. Mati Karena Tenggelam Cerita kecelakaan kerja yang mengakibatkan kematian (lebih tepat hilang) juga dialami oleh Pak S yang kisahnya diceritakan adik kandungnya. Hari itu, S bertingkah agak aneh, kelihatan tidak tenang dan gelisah. dia sebenarnya sedang mengerjakan pembangunan gedung Balai Desa Sulaho. Sore itu setelah selesai bekerja di Balai Desa, kemudian mendesak iparnya untuk segera turun ke laut mengebom ikan, padahal saat itu situasi ombak sedang tidak mendukung, ombak sedang besarbesarnya. Namun karena terus didesak akhirnya sang ipar menyetujui dan mereka bersama keponakannya (bertiga) ke laut. Mereka dapat ikan dan selanjutnya dibawa ke lasusua untuk di jual. Setelah itu mereka kembali, di perjalanan pulang ini S duduk di bagian buritan perahu dan karena ombak besar dia kemudian terjatuh. Iparnya kemudian kembali ke dermaga 224

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

meminta pertolongan dan saat itu juga beberapa orang datang menolong dan menyelam untuk mencari korban namun sampai seminggu pencarian, jasadnya tidak juga ditemukan bahkan sampai saat ini setelah 3 tahun berlalu. Anggapan yang berkembang di masyarakat setempat, bahwa S sebenarnya tidak mati tetapi disembunyikan oleh penunggu laut. Ibunya masih menganggap bahwa putranya masih hidup sampai saat ini. Kaki Terkena Baling-Baling Mesin Salah seorang ibu juga menceritakan tentang adiknya yang pernah mengalami kecelakaan terkena baling-baling. Menurutnya saat itu, adiknya bersama suaminya melaut mengebom ikan. Dalam perjalanan pulang sang adik ke bagian buritan perahu untuk kencing. Namun karena kondisi ombak sedang besar, tiba-tiba perahu terhentak dan dia terjatuh ke laut. Saat jatuh kaki terkena baling-baling mesin yang sedang berputar dan perahu terus melaju. Dia tertinggal bersimbah darah di laut. Barulah beberapa saat kemudian suaminya tersadar jika iparnya terjatuh. Di segera kembali menolong dan bersyukur adiknya terluka hanya di bagian kaki meskipun cukup parah. Namun saat itu tidak sempat dibawa ke rumah sakit dan cukup ditolong bidan di desa. Mati Tertimpa Dahan Selain pekerjaan nelayan, beberapa warga Desa Sulaho juga bekerja sebagai penebang kayu yang mereka sebut passenso atau penggergaji. Dalam sejarah Desa Sulaho, pernah ada perusahaan kayu resmi yang masuk untuk mengeksplorasi hutan menebang kayu. Beberapa warga masih menggeluti pekerjaan ini sampai saat ini. Salah seorang warga sebut saja D, meninggal karena kecelakaan kerja. Adik D sebut saja Su (35 tahun) bercerita bahwa salah seorang kakaknya meninggal dunia di hutan saat menebang kayu. Menurut cerita teman kakaknya yang

225

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

bersama-sama menebang kayu pada waktu itu, D tertimpa dahan kayu yang jatuh karena lapuk pada saat dia sedang menebang pohon. Tertimpa Pohon Setelah Ditebang Seorang warga lain yang berprofesi sebagai nelayan pernah suatu hari ke gunung untuk menebang kayu untuk kayu bakar. Sebut saja namanya Nas (56 tahun). Ia pergi sendiri. Ketika dia selesai menebang kayu, tiba-tiba salah satu kayu gelondongan berguling dan menimpa dirinya tepat di dada. Dia pingsan dan tidak sadarkan diri seketika. Namun karena dia sendirian tidak ada yang bisa menolong. Dia tersadar kemudian kembali ke rumahnya dan merasakan dada sangat sakit sampai saat ini. Nas tidak bisa melakukan pekerjaan yang berat sampai sekarang sejak kejadian tersebut. 3.4. Sistem Pelayanan Kesehatan Formal versus Tradisional Akses masuk ke desa Sulaho yang relatif sulit menyebabkan petugas kesehatan Puskesmas tidak dapat turun secara langsung setiap saat ke desa. Keberadaan tenaga kesehatan yang tidak kontinyu di desa, menyebabkan adanya pandangan negatif terhadap pelayanan kesehatan di Bakesra khususnya. Hanya sedikit masyarakat YANG mau memeriksakan diri ke Puskesmas pada saat sakit. Masyarakat lebih banyak yang mengenal dan sering mengunjungi tempat praktek pemeriksaan dan pengobatan kesehatan dikarenakan adanya praktek “jappijappi”, entah yang dapat diterapkan sebagai air minum atau untuk mandi. Mereka merasa lebih puas dengan pelayanan jenis tersebut dikarenakan bisa memberikan dua macam pengobatan sekaligus dengan metode kesehatan dan dukun. Ada anggapan masyarakat bahwa semua obat yang diberikan oleh tenaga

226

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kesehatan memiliki khasiat yang sama saja untuk semua jenis penyakit. Ada pula anggapan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan yang mereka terima mahal, bahkan ketika mereka hanya mengeluarkan uang untuk sekedar membeli obat saja. Terdapat anggota masyarakat yang tidak berkeinginan untuk berobat ke rumah sakit jika sakit, karena persepsi adanya perbedaan kualitas pelayanan yang diberikan oleh pusat pelayanan kesehatan kepada masyarakat kaya dan masyarakat miskin. Seorang informan pak Sd (37 tahun) pernah mengalami dan menceritakan dengan berapi-api tentang isterinya yang pernah mengalami luka bakar pada kedua pahanya. Luka tersebut dalam kondisi darurat dirawat dengan menggunakan campuran kopi dan putih telur yang dibalurkan pada bagian yang terkelupas karena tersiram air panas. Tidak lama kemudian Pak Sd (37 tahun) segera memboyong istrinya ke rumah sakit. Ia terkaget-kaget karena tenaga kesehatan membersihkan semua obat yang dibalurkan susah payah dengan bulu ayam ke paha istrinya itu. Ia semakin terkejut karena paha istrinya kemudian hanya di seka-seka saja dengan menggunakan es dan menurutnya tidak diapa-apakan. Isterinya dibiarkan terkapar di atas ranjang rumah sakit tanpa penanganan yang menurutnya tidak tepat sama sekali. Ia mengambil keputusan membawa pulang istrinya meskipun dilarang keras oleh pihak rumah sakit. Ia nekat membawa pulang istrinya dan ia mengobati istrinya dengan cara yang sama sebelum isterinya dibawa ke rumah sakit sesuai anjuran saudara istrinya. Dengan bangganya, Pak Sd (37 tahun) mengatakan bahwa luka bakar istrinya sembuh dalam 1 bulan. Dia menyatakan dengan tegas dan bangga bahwa “lukanya kering”. Pengalaman lain yang kebetulan tidak mengenakkan hatinya juga pernah terjadi ketika ibunya meninggal setelah beberapa lama dirawat di rumah sakit. Menurutnya perawatan

227

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

rumah sakit yang menyebabkan ibunya meninggal. Ia merasa selalu bermasalah dengan pelayanan kesehatan. Saat saudaranya dirawat di rumah sakit, ia merasa prosedur rumah sakit tidak cukup baik. Salah satu yang pernah dialaminya adalah hasil rontgen yang tidak boleh diambil sebelum membayar. Dalam ranah pemikiran idealnya, seharusnya hasil rontgen boleh diambil terlebih dahulu baru selanjutnya dibayar, sehingga terjadi pertengkaran ketika itu dan dihadirkan brimob untuk melerai. Memori perlakuan dan penanganan pelayanan kesehatan yang tidak baik melekat kuat dalam alam pikirnya. Intensitas interaksi antara warga desa Sulaho dengan pusat pelayanan kesehatan yang rendah membuat masyarakat memiliki pandangan negatif terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan. Kurang memadainya pemahaman, didukung pula oleh tingkat pendidikan dan kemampuan ekonomi masyarakat pada umumnya. Satu-satunya pusat pelayanan kesehatan yang terdapat di desa Sulaho adalah Bakesra. Tidak terdapat petugas kesehatan yang tinggal menetap di Bakesra ini. Seringkali terjadi pergantian petugas kesehatan, diantaranya perawat dan bidan yang bertanggung jawab di desa ini sejak adanya fasilitas pelayanan kesehatan tersebut. Kini yang bertanggung jawab di desa ini adalah bidan desa honorer Puskesmas Lasusua. Bidan desa ini tidak tinggal menetap di desa Sulaho. Ia memiliki jadwal kunjungan ke Sulaho selama 2-3 hari setiap minggu di Sulaho. Banyak warga yang mengeluhkan bahwa obat-obatan di Bakesra seringkali habis dan dinilai tidak memiliki khasiat untuk menyembuhkan. Berkaitan dengan adanya kasus kesehatan tertentu yang memerlukan penanganan medis darurat, maka warga mengeluhkan pula kesulitan medan yang harus dilalui untuk menuju ke pusat pelayanan kesehatan yang lebih lengkap

228

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

seperti ke Puskesmas atau Rumah Sakit. Jalur yang dapat mereka tempuh adalah jalur laut atau jalur darat yang kini hanya dapat dilalui dengan sepeda motor melalui medan yang sulit. Warga Sulaho umumnya memanfaatkan tanaman yang tumbuh di sekitar mereka sebagai sumber obat. Jenis-jenis tanaman yang dapat dengan mudah mereka peroleh di sekitar lingkunga desa untuk digunakan sebagai obat. Pada umumnya, dukun mengetahui bermacam jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai obat sakit tertentu. Akses desa yang susah keluar dan kepercayaan yang tinggi terhadap dukun membuat mereka menjadikan dukun/sanro sebagai rujukan utama dalam mengupayakan proses penyembuhan atas rasa sakit atau penyakit yang dialami. Masyarakat desa Sulaho lebih memilih berobat kepada sanro kampong dan atau membeli obat secara mandiri ke warung-warung di desa, di pasar, toko obat atau apotek jika mereka merasa sakit. Masyarakat meyakini bahwa terdapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh obat atau dokter tetapi hanya dapat disembuhkan oleh dukun/sanro kampong. Mereka yang membeli obat secara mandiri biasanya memiliki pengalaman tertentu dari tetangga atau saudara berkaitan dengan padanan obat dengan sakit yang dialami. Selain itu, terdapat obat-obatan tertentu seperti amoxicillin, asam mefenamat, amphicillin, antalgin yang dijual bebas di warung desa. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh bidan Ui (24 tahun) yang bertugas di Desa Sulaho sebagai berikut: “Sudah pintar pula mereka itu. Kadang kalo ada yang sakit mereka tinggal ke warung bilang sakit pegel-pegel misalnya nanti mereka pintar kasih saja obat apa sama penisilin… makanya saya juga lucu, ada yang datang bilang “kakak aku mau obat ini,” saya bilang dulu sakit apa kau sebenarnya, lalu dia bilang lagi katanya obat itu

229

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

sudah cocok dengan badanku. Selama ini mereka lebih percaya ke dukun atau langsung ke warung itu” (Ms, 24 tahun).

Obat-obatan tesebut merupakan obat-obatan berlogo merah yang sebenarnya tidak dapat dijual bebas selain di apotek serta harus dengan resep dokter. Bermacam manfaat yang diakui dapat disembuhkan oleh obat-obatan jenis tersebut.

Gambar 3. 10. Obat-obatan yang Dijual di Warung Desa Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Terdapat warga masyarakat yang menggunakan paduan amoxicillin dan asam mefenamat untuk melawan rasa sakit gigi, sakit badan atau sakit kepala. Ampicillin biasanya digunakan untuk sakit gigi dengan cara dimakan dan juga dilarutkan dengan air lalu dioleskan pada bagian yang dirasa sakit. Selain itu juga bisa digunakan untuk mengoles sakit seperti bisul agar bisa cepat hilang atau meletus. Pemanfaatan obat lainnya yang dilakukan adalah dengan menyimpan sisa obat dokter/tenaga kesehatan yang sewaktu-waktu dapat diberikan kepada kerabat atau 230

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tetangga yang membutuhkan ketika disinyalir memiliki gejala penyakit yang sama tanpa memperhatikan kondisi kemasan obat masih bagus atau tidak. Cara meminum obat dilakukan dengan keputusan sendiri yang mereka yakini benar. Terdapat juga warga masyarakat yang berobat ke Bakesra ketika merasa sakit. Tidak setiap waktu warga masyarakat dapat berobat ke Bakesra karena Bidan Desa tidak tinggal di desa secara kontinyu hanya sekitar 2-3 hari setiap minggu. Tidak semua orang mau pergi ke Bakesra, hanya orang-orang yang sama pergi ke Bakesra. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh bidan Ui (24 tahun), sebagai berikut: “Saya juga tidak tahu, apa karena takut juga tidak paham. Anak-anak juga kadang tidak periksa. Setiap bulannya banyak yang periksa tapi orangnya sama”(Ms, 24 tahun)

Sebagian warga masyarakat tidak pernah memanfaatkan pelayanan Bakesra. Posyandu biasanya bersinergi dengan semua program di Puskesmas turun setiap 3 bulan sekali di desa Sulaho dan dusun Lanipa-nipa. Posyandu biasanya dilaksanakan di desa Sulaho sekitar 3 jam, mulai jam 09.00 sampai dengan 12.30 WITA dan dilanjutkan dengan Posyandu di Lanipa-nipa. Tidak banyak warga masyarakat yang hadir di Bakesra saat acara Posyandu tersebut berlangsung. Kegiatan Posyandu ini memberikan pula pemeriksaan dan pengobatan secara umum, tidak hanya kegiatan pemantauan kesehatan ibu, bayi dan balita saja. Tidak banyak warga masyarakat yang datang untuk memeriksakan dirinya. Penanggung jawab imunisasipun berkeliling dari rumah ke rumah untuk mencari bayi yang akan diimunisasi. Jika tidak berkeliling seperti itu, maka banyak ibu pergi ke Bakesra membawa bayi atau balita untuk diimunisasi. Terkadang petugas bertemu dengan ibu yang sebenarnya tidak mau anaknya 231

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

diimunisasi karena kekhawatiran anaknya akan mengalami panas, sehingga petugas kesehatan harus merayu dan memberikan pengertian terlebih dahulu tentang peran penting imunisasi bagi kesehatan anaknya. Kemauan untuk berobat di pusat layanan kesehatan menjadi pilihan terakhir ketika segala upaya di di lingkungan rumah dan kampung sudah tidak dapat memberikan hasil.

232

BAB 4 MATA RANTAI TAK KUNJUNG PUTUS: KAKAMBAH

4.1. Asal Muasal dan Perkembangan Kakambah di Tanah Sulaho Masyarakat umumnya meyakini bahwa penyakit Kusta atau dikenal sebagai kakambah masuk ke Desa Sulaho pertama kali dibawa oleh dua orang bernama Mundu dan Pantuntu, pendatang yang bekerja sebagai penggergaji kayu (passenso) di pegunungan Sulaho sekitar tahun 1970 atau 1980-an. Ada PT Hasil Bumi Indonesia (HBI), sebuah perusahaan kayu dengan lahan penggergajian kayu di Sulaho saat itu sehingga banyak pendatang yang mereka sebut dari Selatan (Sulawesi Selatan) menggergaji kayu di wilayah pegunungan Sulaho. Mereka tinggal di Sulaho dan membuat rumah “pondok” yang dibangun di atas tanah masyarakat. Pondok dibangun tidak cukup luas dengan bahan kayu ala kadarnya sekedar sebagai tempat berlindung dari panas dan hujan. Mereka biasanya tinggal secara tidak menetap di Sulaho. Dalam ingatan masyarakat, Mundu dan Patuntu merupakan orang Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mundu datang terlebih dahulu dan tinggal selama sekitar 10 tahun di sebelah barat desa, tak jauh dari area pemakaman Desa Sulaho saat ini. “Ada memang pernah orang tua tinggal di sini, orang Bulukumba, kena begitu, namanya mundu, saya masih anak-anak namanya mundu…sama pantutu orang

233

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Bulukumba, begitu bilangnya orang makanya ketularanketularan begitu orang di sini” (Ha, 45 tahun)

Umumnya orang-orang tua mengetahui kondisi Mundu ketika itu yaitu tubuh mengalami bengkak, warna kulit kemerahan dan terdapat benjolan pada bagian-bagian tubuh sejak pertama kali datang ke Sulaho. Berdasarkan cerita, sosoknya jarang terlihat ke luar rumah, jikapun keluar rumah seluruh bagian badannya ditutupi dengan kain sarung hingga matanya saja yang terlihat oleh orang lain. Mundu dan Pantuntu memiliki tanda khas fisik yang mudah dilihat. Salah satu di antara mereka mengalami pengelupasan kulit, sementara lainnya tampak muncul lubang pada bagian tubuh seperti telapak tangan, betis dan kaki. “Di tahun 80-an…itulah saya dapati penyakit kulit yang penggergaji kayu, ada dua orang dari selatan, kayaknya meninggal di sini…dari Bulukumba…yang satu itu kayaknya terkupas kulitnya, yang satu lobang-lobang betisnya, telapak kaki tangannya” (Rh, 54 tahun)

Mundu ditinggalkan pergi oleh istrinya saat itu, maka dua informan diantaranya mengaku terbiasa mengantarkan makanan untuk Mundu dengan sepiring nasi dan sayur atau lauk. Salah satu diantaranya diketahui menjadi penderita kusta pada tahun 2005. Tanpa diketahui orang, pada akhirnya Mundu meninggalkan Desa Sulaho. Terdapat pula cerita lain yang mengatakan bahwa Mundu diusir karena masyarakat setempat takut dengan penyakit yang dideritanya. Selanjutnya, Pantuntu datang bersama istri dan anakanaknya. Ia merupakan pekerja penggergaji kayu. Ia mengalami kondisi fisik serupa dengan Mundu dan akhirnya meninggal. Anak perempuannya kala itu memiliki kondisi fisik yang sama dan tak lama akhirnya meninggal.

234

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

“Namanya daeng tutu, waktunya itu e selalu pergi mainmain juga, anaknya namanya p, teman sekolahku, itu disitu kulihat, itu penyakit kusta juga, bengkak semua badannya itu meninggal, itu orang tua, itu di cipoloe, itu tempat rumahnya, meninggalnya itu di dadanya seperti keluar nanah-nanah apa, dari badannya, anaknya juga kasihan meninggal” (Ec, 41 tahun)

Penduduk asli Desa Sulaho yang pertama kali mengalami sakit dengan ciri seperti Mundu dan Pantuntu terjadi pada sekitar tahun 1990. Tanda yang muncul adalah badan bengkak, terdapat benjolan pada tubuh dan kepalanya diketahui meletus sesaat sebelum meninggal. Orang-orang Sulaho bercerita bahwa dahulu penderita tersebut sering berinteraksi dengan Mundu. Tiga orang kerabatnya yang tinggal dalam satu rumah dengannya, terkena menderita kusta pada tahun 2008. Satu kerabat lagi terkena kusta pada awal Juli 2014. Orang-orang tua bertutur bahwa pada jaman dahulu, daun pisang digunakan sebagai alas tidur penderita karena badan berair dan cenderung lengket ketika dipakaikan kain. Selain itu, menurut pengalaman seorang informan saat masih kecil, penderita kusta dibuatkan rumah kecil yang dibangun tak jauh dari rumah oleh keluarga sebagai tempat tinggal sehari-hari. Keluarga membatasi interaksi fisik dengan anggota keluarganya yang menderita kusta. “..Waktu saya masih kecil pernah kena penyakit begitu, waktu kena penyakit begitu, apa itu merah-merah semua itu badannya, bengkak-bengkak akhirnya dibikinkan rumah sama mamaknya, tinggal sendiriannya, masih kuingat waktunya kecil, sudah 8 tahun atau berapa itu…dibikinkan rumah sama mamaknya” (Ec, 41 tahun)

235

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pada masa lalu, upaya pengasingan juga dilakukan karena anggapan penyakit kusta sebagai penyakit kutukan atau keturunan. Kedatangan orang Bulukumba di Desa Sulaho juga disinyalir sebagai bentuk pengasingan dari tempat tinggal semula dari wilayah Sulawesi Selatan karena penyakit yang diderita. “Cerita kampung kalo ada orang kena penyakit kulit, eh apa katanya diasingkan jadi artinya itu berbahaya…omongan orang tua kalo itu penyakit kutukan penyakit keturunan, jadi anggapannya orang tua dulu ya kalo ada kena penyakit begitu diasingkan, ya mungkin orang yang pertama di tahun 80-an yang datang diasingkan dari Sulawesi Selatan” (Rh, 54 tahun) “Mungkin na bawa penyakit begitu (kusta) dari kampungnya, penyakit begitu di sini menular” (Ec, 41 tahun)

Penularan kusta dapat terjadi melalui migrasi seorang penderita ke suatu komunitas atau daerah. Hal tersebut serupa dengan riwayat masuknya kusta di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur sejak masa kolonial Belanda. Kusta diidentifikasi masuk melalui aliran besar tahanan yang dibawa sipir dari daerah yang dikuasai oleh Portugis ke Batavia juga melalui kedatangan bangsa Cina (sudah dikenal telah lama terjangkit penyakit kusta sebelum masuk ke Hindia-Belanda) yang puncaknya terjadi pada tahun 1939 (Suci Rahmawati, 2014). Sanghavi (2012) menyatakan bahwa tantangan yang dihadapi pada kasus awal kusta salah satunya adalah migrasi kasus kusta. Menurut salah satu tokoh masyarakat, dua orang Sulaho yang berobat tidak rutin pada tahun 1990 dan 2005 dianggap menjadi salah satu penyebab munculnya kusta di Desa Sulaho pada tahun-tahun selanjutnya hingga dirasakan kasus semakin terus bertambah saat ini. Hal ini menyebabkan terjadinya penularan yang kontinyu dalam masyarakat oleh penderita yang 236

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

menyembunyikan penyakitnya karena malu. Penyakit ini tidak akan hilang sepenuhnya jika penderita tidak semua melakukan pengobatan. “Setelah ada pemukiman dari sosial ini yang terserang dua orang, parah dulu, itu satu yang meninggal namanya naje, terus kedua nuryamin yang masih hidup sekarang, itu yang parah, begitu dari tahun ke tahun karena mereka tidak kontinyu berobat sehingga mewabah itu penyakit di Sulaho sampai sekarang” (Rh, 54 tahun). “Kalau tidak pernah berhenti kan sebenarnya bisa kita asumsikan kalau ada yang tidak pernah berobat. Atau berobat tapi tidak tuntas. Itu sudah pasti, karena penyakit seperti ini kan orang sembunyikan karena pasti malu. Jadi tidak akan 100% hilang kalau tidak semua penderita berobat. Seharusnya memang kita serentak mencari penderita untuk berobat dan memutus rantai penularan. Yang jadi masalahkan kita mau, tapi orang yang sembunyi” (Id, 38 tahun)

Penyakit kusta terdiri atas dua macam, yaitu jenis Pausi Basiler (PB) dengan pengobatan selama enam bulan dan Multi Basiler (MB) dengan pengobatan selama 12 bulan. Dampak terhadap kusta jenis PB lebih ringan daripada kusta jenis MB. Dalam perkembangannya kusta jenis PB dapat berkembang menjadi MB jika tidak dilakukan pengobatan secara dini dikarenakan proses perkembangan kuman yang relatif cepat. “...Kaya kemarin anak-anak itu ada yang pausibasiler karena memang diketahuinya sejak dini. Akan tetapi misalnya kita tidak temukan pasien ini sekarang, mungkin saja tiga atau lima tahun ke depan dia sudah jadi MB karena perkembangan kumannya cepat...” (Id, 38 tahun)

237

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO sebagai berikut (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012): Pasien Dewasa PB Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg) 1 tablet dapson/DDS 100 mg Pengobatan harian: hari ke 2-28 1 tablet dapson/DDS 100 mg Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan. Pasien Dewasa MB Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg) 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg) 1 tablet dapson/DDS 100 mg Pengobatan harian: hari ke 2-28 1 tablet lampren 50 mg 1 tablet dapson/DDS 100 mg Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan. Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg 1 tablet dapson/DDS 50 mg Pengobatan harian: hari ke 2-28 1 tablet dapson/DDS 50 mg

238

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan. Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg 1 tablet lampren @ 50 mg (150 mg) 1 tablet dapson/DDS 50 mg Pengobatan harian: hari ke 2-28 1 tablet lampren 50 mg selang sehari 1 tablet dapson/DDS 50 mg Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 12-18 bulan. Perhitungan kebutuhan obat untuk penderita kusta selama satu bulan sebanyak 28 hari, sehingga rentang waktu pengobatan untuk penderita kusta jenis MB adalah 11 bulan, namun demikian pengobatan diberikan selama 12 bulan untuk mengatasi adanya waktu mangkir untuk meminum obat oleh penderita. “Kita itu sebenarnya untuk kasus MB misalnya, pengobatannya itu 12 bulan. sebenarnya itu hanya 28 hari sebulan. 28 hari dikali 12 itu kalau tidak salah hasilnya hanya 11 bln. Nah kita beri waktu 12 bulan itu untuk mengatasi kemungkinan kalau orang putus-putus mengobatinya. Ya seperti itu tadi seminggu minum, seminggu tidak, seminggu minum lagi. Totalnya itu 12 bulan, sudah dimasukkan yang putus-putus itu” (Id, 38 tahun)

Pihak Puskesmas telah melakukan pemantauan terhadap penderita untuk mengambil obat di Puskesmas, akan tetapi mereka menyadari bahwa tidak mampu memantau kepatuhan

239

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

penderita minum obat yang diambil tersebut. Pengawasan yang dilakukan dahulu diakui kurang ketat, berbeda dengan sekarang yang sudah memanfaatkan jaringan telekomunikasi untuk sekedar mengingatkan. Dahulu obat dititipkan pada kepala desa, orang yang pergi di pasar di Kecamatan Lasusua dan mengejar pasien ketika dilakukan kunjungan Posyandu disertai dengan pengobatan umum. “…Begitu ada yang tidak ambil obat, langsung kita kejar. Cuma kita tidak tahu dia minum obatnya atau tidak. 12 bulan itu kan waktu yang lama untuk mengawasi mereka” (Id, 38 tahun).

Dalam proses pengobatan kusta terdapat reaksi berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Kasus yang seringkali terjadi adalah munculnya reaksi tertentu pasca minum obat membuat penderita memilih berhenti meminum obatnya, hal ini diantisipasi oleh Puskesmas dengan memberikan pemahaman kepada pasien untuk melakukan konsultasi jika mengalami adanya keluhan agar tidak berhenti meminum obat dengan inisiatif sendiri. “Ada reaksi yang ringan ada yang berat. Setiap pasien yang mengalami reaksi berat itu pasti menganggap reaksi itu muncul karena obat. Karena itu dia berhenti dengan sendirinya minum obat itu tanpa konsul dengan kami. Makanya sebelum minum obat sudah kita kasih tau nanti kemungkinan akan seperti ini, akan kelihatan seoerti ini, atau saat minum obat akan merasa seperti ini, jadi tolong setiap ada keluhan yang terjadi konsultasi ke Puskesmas”(Id, 38 tahun)

Masa penularan kusta dalam rentang waktu yang lama membuat Puskesmas memiliki tanggung jawab untuk melakukan monitoring terhadap keluarga penderita selama 5-10 tahun ke depan meskipun penderita kusta telah diobati. 240

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

“Sebenarnya kita punya tugas, kalau tahun ini ada penderita maka kita punya tugas untuk 10 tahun ke depan. Karena kita tidak tahu siapa yang ditulari. Misalkan di dalam rumah ada 7 orang, maka 7 orang ini yang harus kita awasi selama 5-10 tahun meski penderita sudah diobati”(Id, 38 tahun)

Pengobatan dengan Multi Drug Therapy (MDT) kepada penderita kusta merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Matinya kuman menjadikan penularan dari penderita kusta bertipe MB ke orang lain dapat terputus (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2014). Ketidakteraturan minum obat pada umumnya tim peneliti ketahui dari hasil wawancara dengan orang yang pernah menderita kusta. Ketidakmauan minum obat juga diutarakan oleh salah satu orang yang dahulu terjaring pemeriksaan kusta melalui survey sekolah (school survey) dan terkena menderita kusta jenis MB. Ia mengaku hanya meminum obat selama sekitar tiga bulan saja. Hal ini dapat menyebabkan kuman kusta dapat menjadi resisten atau kebal terhadap MDT, sehingga gejala penyakit menetap, bahkan dapat memburuk dan gejala baru dapat timbul pada kulit dan syaraf (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012). Selama ini belum pernah ditemukan kasus kusta di Desa Sulaho yang parah dengan bagian tubuh tertentu penderita terputus. Hal tersebut dikarenakan adanya mati rasa sehingga menimbulkan terjadinya luka yang tidak dirasakan oleh penderita dan akhirnya bagian tubuh tertentu dapat terlepas begitu saja dari persendian. “Kalau selama ini yang kita temui memang hanya bercak, hipopigmentasi. Ada juga yang hiperpigmentasi karena kulitnya kan hitam. Kalau yang putus tangan atau kaki itu belum ada. Justru kita dapatkan di luar, tapi kalau di sulaho belum ada yang seperti itu” (Id, 38 tahun)

241

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pengobatan yang dilakukan merupakan pengobatan sebagai upaya untuk mencegah kondisi penderita tidak semakin parah. Namun demikian tim peneliti menemukan seorang pendatang Etnik Bulukumba yang telah mengalami cacat dikarenakan jari pada kedua tangannya telah putus. Tempat tinggal yang tidak menetap di Sulaho membuatnya tidak terjamah tenaga kesehatan Puskesmas setempat selama berdomisili di Sulaho. Menengok perkembangan munculnya kasus kusta di Desa Sulaho setidaknya sejak tahun 2005 mata rantai penularan/penyebaran kusta tidak pernah terputus. Pada tahun 2005 diketahui muncul satu kasus Kusta. Berdasarkan data register kohort program P2 Kusta Puskesmas Lasusua pada tahun 2006 ditemukan 5 kasus baru yang dialami oleh dua anak SD, dua usia remaja dan seorang ibu rumah tangga. Satu usia remaja diketahui meninggal waktu itu. Pada tahun 2007 ditemukan 5 kasus baru yang dialami oleh empat orang dewasa dan satu lainnya remaja dan semua berjenis kelamin laki-laki. Pada tahun 2008 ditemukan 8 kasus baru, diantaranya empat orang termasuk kategori dewasa, dua diantaranya anak-anak dan dua lainnya menginjak usia remaja. Pada tahun 2009 ditemukan 3 kasus baru, satu diantaranya termasuk kategori dewasa, dua diantaranya masuk usia remaja. Pada tahun 2010 ditemukan dua kasus baru kategori dewasa. Pada tahun 2012 ditemukan satu kasus baru yang dialami oleh seorang kategori dewasa dan ditemukan dua kasus baru yang termasuk kategori dewasa pada tahun 2013. Pada tahun 2014, terdapat 2 kasus MB baru dan 1 kasus PB baru. Sebagian besar kasus terjadi pada perempuan sebanyak 20 kasus (64.52%) dari total 31 kasus. Sebagian besar penderita berusia 10-20 tahun sebesar 41.94%, 21-40 tahun sebesar 32.25%, > 40 tahun sebesar 16.13% dan < 10 tahun sebesar

242

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

9.67%. Sebagian besar kasus yang terjadi merupakan kusta jenis basah (MB) sebanyak 25 kasus (80.65%) dan kusta jenis kering (PB) sebanyak 6 kasus (19.35%). Semua penderita merupakan usia produktif, sebagian besar berada pada rentang usia 10-20 tahun. Setidaknya terdapat 6 rumah tangga yang berisi 2 atau 3 penderita atau mantan penderita kusta. Selain itu, masyarakat setempat menduga terdapat anggota keluarga yang menderita kusta pada 3 rumah tangga dan tidak melakukan pengobatan. Dugaan tersebut berdasarkan pada pengetahuan masyarakat selama ini terkait tanda-tanda penyakit kusta yang pernah dialami oleh sebagian orang di Desa Sulaho. Tim peneliti membuat pemetaan keberadaan penderita kusta di Desa Sulaho. Sebanyak 30 orang penderita Kusta, yaitu yang terkena pada tahun 2005-2014 serta 1 penderita kusta yang tidak tercacat sebagai penderita kusta pada Puskesmas Lasusua, tersebar pada 17 rumah tangga dan terdapat 3 mantan penderita yang tidak dapat teridentifikasi tinggal pada rumah tangga yang mana.

Gambar 4. 1. Pemetaan Kusta pada Rumah Tangga di Desa Sulaho Sumber: Data Primer Penelitian Tahun 2014

243

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

4.2. Istilah Lokal Kusta Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta yaitu kustha yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum dan pertama kali ditemukan oleh Armauer Hansen pada tahun 1871 yang dinamai dengan istilah Bacillus Lepra kemudian dipelajari oleh A. Neisser pada tahun 1879 (dalam Encyclopaedie van nederlandsch indie (Suci Rahmawati, 2014). Penamaan sebuah penyakit oleh masyarakat berbeda dengan dunia kesehatan. Masyarakat Sulaho menyebut penyakit kusta sebagai “kakambah”, “kasuwiang tanah”, “kandala”, “colak Jampu” dan “lasauli”. Masyarakat desa ini sangat familiar dengan sebutan “kakambah” dan “kasuwiang tanah”. Disebut sebagai “kakambah” (bahasa Bajo) atau “kandala” (Bugis/Makassar) dikarenakan terjadi pembengkakan pada bagian tubuh; disebut “kasuwiang tanah” (bahasa Bugis) karena terdapat benjolan seperti jagung dan berwarna hitam (seperti tanah); disebut colak jampu (bahasa Bugis) karena terdapat tanda berupa bercak putih seperti panu dan lasauli (bahasa Bugis) yang berarti salah kulit. Masyarakat menyebut nama penyakit sesuai dengan tanda fisik yang muncul dan dapat dilihat. Hal ini sesuai dengan temuan Edy Warsan (2014) bahwa sebagian masyarakat di Majene, Sulawesi Barat menyebut penyakit kusta sebagai penyakit ″to kambang″ yang berarti mengalami pembengkakan pada tubuh yang menakutkan. Istilah kesehatan/medis yang disebut dengan kusta atau Lepra pada dasarnya dikenal oleh masyarakat dan beberapa penderita, namun mantan penderita dan keluarga enggan secara tegas menyebut diri mereka terkena penyakit tersebut. Ada mantan penderita yang menyebut terus terang sakit kusta, namun sebagian besar tidak mau menyebutkan secara terbuka kusta yang pernah atau sedang diderita. Ada mantan penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan pada tahun 2013, 244

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

menyebut dirinya sakit Lepra, namun kemudian meralat perkataannya dan menyebutnya sebagai “Leper” atau “Lever”. Serupa, keponakannya juga menyebut sakit yang dialami sebagai lever. Selain itu, ada keluarga penderita yang menyebut sakit yang diderita oleh anggota keluarganya sebagai penyakit “dusta”. “Bilang itu kalo penyakit begini cacar, kan bahasa bugisnya kasuwiang, iye kasuwiang tanah karena hitam, padahal bilangnya dokter bukan, lepra,apa namanya leper… penyakit kulit, lever” (Ha, 45 tahun) “...Kata dokter penyakit dusta penyakit apa” (My, 27 tahun) “...Orang bilang sakit kusta, dokter ji bilang begitu (Im, 18 tahun)

Ada informan, baik penderita ataupun keluarga yang menyebut penyakit yang pernah dialami sebagai kakambah atau kasuwiang tanah, akan tetapi mereka tidak mau menyamakan atau menyebut diri mereka menderita penyakit kusta. Mereka menyamarkan penyakit kusta yang diderita dengan menyebutkan kepada masyarakat bahwa tanda/gejala yang dialami awal mulanya adalah gigitan nyamuk, semut atau karena kecapekan. Hal tersebut sesuai dengan temuan Soedarjatmi (2009) bahwa penderita kusta berpersepsi, masyarakat di sekitar tempat tinggal dan teman-temannya tidak mengetahui penderita sedang mengalami sakit kusta, penderita beranggapan bahwa tetangga dan teman-temannya menyangka penderita berpenyakit lain seperti penyakit diabetes, penyakit syaraf, penyakit alergi karena salah minum obat. Hal ini menyebabkan penderita membatasi diri dalam pergaulan, menutupi kekurangannya/kecacatannya merupakan tindakan untuk mengurangi/mengatasi cap buruk/ stigma.

245

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

4.3. Tanda Kusta, Terpaksa Berobat Gejala awal penyakit kusta ditandai dengan adanya bercak putih, seperti panu atau bercak merah pada kulit yang tidak gatal, dan mati rasa atau kurang berasa bila disentuh. Tinggi rendahnya kekebalan tubuh manusia yang menentukan seseorang tersebut terserang kusta. Seseorang yang terkena kusta PB (kering) bisa meningkat menjadi Kusta MB (basah) apabila daya tahan tubuhnya semakin melemah dan tidak segera dilakukan pengobatan. Salah satu mantan penderita kusta menyatakan bahwa sakit yang dialami pada tahun 2012 ditandai dengan: terjadi bengkak pada tubuh, tangan, kaki, wajah dan mati rasa pada jari telunjuk tangan kiri. Selanjutnya ia menyadari bahwa tidak dapat melakukan kegiatan mengangkat berat karena jari tangan kiri mati rasa. “Selama saya masih bengkak, selama saya sudah bengkak sudah terasa mi, makanya saya teriak saja kalau mau angkat berat, karena ini tanganku ndak terasa” (Ha, 45 tahun).

Gambar 4. 2 Telunjuk Tangan Kiri Mati Rasa Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

246

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Tanda serupa ditunjukkan oleh Na (52 tahun), kakak kandung Ha pada tahun 2006, yang mengalami bengkak pada semua badan, kaki dan tangan, kulit berubah warna menjadi kemerahan, tampak seperti melepuh dan mengalami mati rasa pada bagian kulit yang mengalami bengkak meskipun ditusuk-tusuk. “Merah, bengkak itu semuanya. Bengkak semua itu kaki saya, tangan. Saya heran kenapa ini lah muncul terus bengkak merahnya, saya pergi lah ke Puskesmas periksa. Ini juga seperti lepuh-lepuh tu. Bengkak-bengkak itu tidak rasa kalau kita tusuk-tusuk” (Na, 52 tahun)

Informan lain, sebut saja Nu (70 tahun) memaparkan bahwa tanda yang dirasakan adalah panas pada tubuh dan mengalami bengkak pada bagian tubuhnya. Sakit yang dialami Nu terjadi karena pengaruh guna-guna yang sengaja dilakukan oleh salah satu suaminya bersamaan dengan penyakit kakambah yang sedang diderita. Pernikahan telah terjadi sebanyak empat kali, suami pertamanya meninggal, suami kedua telah pergi ke Sulawesi Selatan dan dua suami berikutnya pernah tinggal bersama dalam satu atap selama satu tahun, meski sekarang tidak ada satu suamipun yang masih tinggal bersamanya. “Itu sakit mula-mulanya panas bu…pepekku ku sembunyi kalo datang panas, hari jumat itu bu, kan satu rumah sama maduku baku rumah, ada satu tahun baku rumah itu, itu kak kasih guna-guna, kalo tidak ada pak x sudah mati, semuanya bu ini bengkak” (Nu, 70 tahun)

Selain bengkak, muncul benjolan pada bagian tubuh seperti tangan, kaki, paha dan punggung. Benjolan muncul pada bagian tubuh yang dirasakan panas. Benjolan tersebut tidak berair, tidak bernanah dan tidak berdarah. Pertama kali, diupayakan pengobatan ke dukun selama sekitar satu bulan

247

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

tetapi tidak segera sembuh, sehingga keluarga membawa Ibu Nu (70 tahun) periksa ke rumah sakit dan mengaku sembuh setelah meminum obat sekitar setahun lamanya. “Waktu kering itu warna hitam. Pertama muncul itu warna merah seperti ada darahnya di dalamnya tapi itu tidak keluar airnya, tidak ada darahnya, nanahnya. Waktu muncul itu benjol di seluruh badan, tidak ada di muka. Hanya tangan kaki, di perut tidak ada. Ada di paha, di punggung. Jadi kalau datang panasnya di situ ya dia tumbuh di situ. Kata dukun itu kena bisul tanah. Itu seperti benjol-benjol bisul yang kecil tapi dia tidak berair, tidak bernanah, tidak berdarah” (Nh, 31 tahun)

Tidak hanya ibu, cucu perempuannya kelas 4 SD yang pernah tinggal bersamanya, sebut saja Sd (17 tahun) juga pernah mengalami tanda serupa pada tahun 2007, yaitu kaki dan tangan mengalami bengkak. Upaya pengobatan yang dilakukan adalah pergi ke sanro. Menurut sanro yang terbiasa mengobati kakambah, kondisi yang dialami dikarenakan anak terkena ludah burung hantu yang tinggal di area pemakaman desa setempat. “Bengkak-bengkak itu kaki tangannya, kenapa ini anak bengkak kakinya. Saya tusuk-tusuk itu lembek kakinya. Saya bawa ke dukun katanya ponakan saya ini kena yang terbang-terbang katanya, kaya burung-burung itu katanya. Kalau air ludahnya kena kita itu badan kita bengkak. Kata dukun orang tua itu Bapak Jamak itu katanya burung hantu yang tinggal di kuburan (Nh, 31 tahun)

Pengobatan dilanjutkan ke sebuah klinik praktek di Kecamatan Lasusua karena sakit tidak segera sembuh. Pemilihan tempat berobat inipun tidak terlepas dari kemampuan tempat mengobat untuk memberikan pelayanan seperti yang dilakukan oleh sanro. Air jappi-jappi diperoleh seperti halnya ketika

248

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

mengobat ke sanro. Pasca berobat ke klinik praktek tersebut, akhirnya sembuh setelah mengonsumsi obat, meminum air jappijappi dan mandi dengan menggunakan air jappi-jappi tersebut dan hingga kini tidak pernah mengalami sakit semacam itu kembali. “Lebih baik di bawa ke Haji “X” dulu baru ke rumah sakit. Kalau ke haji kaswara itu kan di a pasti tahu karena dia dukun. Bisa berobat dukun juga” (Nh, 31 tahun)

Puskesmas atau rumah sakit sebagai pengobatan medis dan modern menjadi pilihan terakhir. Informan Nu (70 tahun) juga memilih dukun ketika pertama kali berobat. Keputusan penderita untuk memilih tempat berobat umumnya dilakukan berdasarkan pertimbangan keluarga dan masyarakat atas pengalaman sakit dan berobat yang sudah dilakukan pada masa lalu. Namun demikian pengobatan yang dilakukan tidak menunjukkan perkembangan lebih baik sehingga membuat keluarga memutuskan untuk memeriksakan penderita ke klinik praktek/ Puskesmas/rumah sakit. “Diobati ke dukun tapi tidak sembuh-sembuh jadi dibawa ke dokter” (Nh, 31 tahun)

Kakak perempuan Sd (17 tahun), yang baru lulus SMP mengalami kondisi serupa pada tahun 2008. Tanda klinis yang dirasakan pertama kali adalah rasa panas. Penderita tidak mau memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan karena malu menderita penyakit seperti neneknya (Nu, 70 tahun) selain alasan masih seorang gadis. Penderita malu bertemu dengan orang lain, selain anggota keluarganya. Tanda yang muncul selanjutnya adalah benjolan berair warna putih seperti getah, hingga luka dan akhirnya meletus, badan memerah dan baju yang dipakai melengket pada badan karena tubuh berair.

249

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

“Awalnya itu ya panas. Malu sakit kaya neneknya. Biar dia mati di rumah. Tapi benjolnya itu meletus sampai luka itu. menempel di baju, kalau bajunya ditarik itu kulitnya menempel. Saya beli salep di toko obat, saya sembunyi belinya tidak bilang sakitnya di toko obat itu. Malu dia kalau ditengok. Luka di mukanya juga banyak. Benjolnya itu tidak lama kamudian keluar airnya. Airnya itu putih warnanya kaya getah-getah itu. Dia minum obat dari dukun tapi tidak ada perubahan. Kata orang tua itu dia dikasih guna-guna lewat bakso itu. setelah makan bakso dan dia berasa pusing lalu gak lama keluar benjol. Bonyok sudah itu badannya. Kulit badannya jadi warna merah karena benjolnya juga merah. Waktu demam itu rasanya panas sekali dari dalam, karena itu keluar benjol kecil seperti digigit nyamuk, lalu jadi benjol. Airnya itu meleleh pasti disitu muncul benjol lagi” (Nh, 31 tahun)

Meski demikian, sang bibi (Nh, 31 tahun) yang merawat mengaku keponakannya hanya berobat pada dukun. Menurut dukun, anak terkena guna-guna melalui makanan berupa bakso. Obat dibeli di toko obat oleh Nh (31 tahun) dengan cara sembunyi-sembunyi karena malu. Obat yang dibeli dikatakan untuk sakit kulit, bukan dengan mengatakan tanda klinis yang muncul, sehingga diperoleh salep kulit. Tanpa pengobatan yang sesuai, selama 20 hari masa sakit, gadis penderita kusta ini meninggal. Berdasarkan register P2 Kusta MB, tercatat anak tersebut positif kusta dan hanya mengambil obat di Puskesmas selama tiga bulan saja. Seorang penderita yang terkena kusta pada tahun 2013 menunjukkan kondisi fisik yang sudah mengalami bengkak pada semua bagian tubuh. Muka menjadi bagian yang paling tampak bengkak dan menjadi berwarna kemerahan. Penderita ini diketahui telah mengalami cacat tingkat satu. Bagian telapak kaki

250

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

mengalami luka karena telah terjadi mati rasa sebelumnya tetapi tidak disadari oleh penderita. Berikut penuturan petugas kesehatan yang menangani penderita ketika berobat pertama kali ke Puskesmas Lasusua. “Bengkak bengkak semua mukanya, itukan bengkak, merah, bengkak tangannya, kakinya luka, keluar darah tapi tidak dirasa karena sudah kusta” (Cn, 27 tahun). “Terdapat satu penderita pada tahun 2013 yang telah mengalami cacat tingkat 1 karena telah terdapat luka pada bagian kakinya dan telah mengalami mati rasa” (Id, 38 tahun).

Ada penderita yang berobat pada tahap awal yang ditandai dengan adanya kelainan kulit berupa bercak putih dan mati rasa. Hal ini seperti diungkapkan oleh Kepala Puskesmas Lasusua, sebagai berikut: “Memang ada beberapa kasus yang sudah sampai tahap mulai tidak merasa ujung-ujung tangan atau kaki. Memang sudah ada beberapa orang seperti itu tapi paling sering memang baru tahap awal (Id, 38 tahun).

Umumnya seseorang yang pernah memiliki pengalaman tinggal dengan penderita kusta dapat memahami tanda-tanda awal munculnya penyakit tersebut yang ditunjukkan dengan adanya bercak putih. Seperti halnya Ibu My (27 tahun) yang memeriksakan anaknya ketika bercak putih pada lengan semakin luas. Hal ini berdasarkan pengalaman adiknya yang pernah sakit kusta pada tahun 2006. Kasus yang ditemukan di Desa Sulaho sebagian besar merupakan penyakit kusta yang telah mengalami reaksi yang ditunjukkan dengan terjadinya pembengkakan dan atau mati rasa pada ujung kaki dan tangan, meski belum terdapat kecacatan.

251

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Seorang dukun yang dipandang masyarakat sebagai orang yang pintar untuk mengobati kakambah mengatakan bahwa seorang yang mengalami sakit tersebut kulitnya akan tampak terkelupas, muncul benjolan seperti jagung, kulit cenderung berwarna merah, biasanya bernanah dan memiliki perasaan yang panas pada tubuh penderita. “Eee itu kuli’i manu to takkupas-kupas seperti jagung…mera-merah…tumi tumbuh seperti jagung besarnya bernanah, perasaam panas sekali (artinya: e itu kulitnya terkupas-kupas seperti jagung, tumbuh seperti jagung besarnya bernanah, perasaan panas sekali)” (Ja, 49 tahun)

Penderita kusta anak pada bulan Juni 2014 melakukan pengobatan sukarela yang diantar oleh ibunya (My, 27 tahun). Sebut saja Mr (10 tahun). Tanda yang dikenali ibu adalah bercak putih memanjang pada lengan tangan sebelah kanan. Bagian kulit yang mengalami bercak tidak terasa jika dicubit apalagi sekedar disentuh. Bercak putih yang sama ditemukan di bagian atas payudara sebelah kiri, berupa beberapa bercak kecil yang menggerombol. Ibu mengatakan bahwa tanda bercak putih pada lengan anaknya telah diketahui sejak sekitar 5 tahun yang lalu, tetapi dahulu masih kecil. Ia teringat bahwa adik kandungnya pernah mengalami hal serupa karena mengonsumsi ikan pari. Ibupun memeriksakan Mr ke Puskesmas. “Sudah lima tahun, kecil biasa ini kan kecil, besar-besar juga...kan ini waktu kecil ada memang yang begini, tapi saya tidak perhatikan, tapi berapa hari ini satu bulan mungkin dia cubit-cubit tapi tidak terasa, itu saya bawa ke Puskesmas” (My, 27 tahun)

Kusta yang terjadi karena infeksi bakteri pada kulit dan saraf dapat menyebabkan hilangnya rasa raba, kelemahan otot

252

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dan kelumpuhan. Salah satu ciri khas kusta adalah kemungkinan timbulnya reaksi, yaitu suatu periode di mana terjadi peradangan yang dapat mengenai saraf. Peradangan merupakan respon umum oleh kekebalan tubuh terhadap infeksi, gejalanya berupa: pembengkakan, kemerahan, panas, nyeri dan kehilangan fungsi (Paul Sanderson, 2002). Pengobatan kusta menimbulkan reaksi berbeda antara orang yang satu dengan yang lain, mulai dari reaksi kategori ringan hingga berat. Tak jarang, penderita yang mengalami reaksi kategori berat menganggap reaksi yang muncul dikarenakan obat yang dikonsumsi, sehingga penderita memilih berhenti meminum obat. Hal ini diantisipasi oleh Puskesmas dengan memberikan pemahaman kepada penderita bahwa terdapat hal-hal yang dapat terjadi pada masa pengobatan, oleh karena itu penderita dapat melakukan konsultasi jika muncul keluhan tertentu sehingga tidak berhenti meminum obat atas inisiatif sendiri. “Ada reaksi yang ringan ada yang berat. Setiap pasien yang mengalami reaksi berat itu pasti menganggap reaksi itu muncul karena obat. Karena itu dia berhenti dengan sendirinya minum obat itu tanpa konsul dengan kami. Makanya sebelum minum obat sudah kita kasih tau nanti kemungkinan akan seperti ini, akan kelihatan seoerti ini, atau saat minum obat akan merasa seperti ini, jadi tolong setiap ada keluhan yang terjadi konsultasi ke Puskesmas” (Id, 38 tahun)

Penyakit kusta bila tidak diobati secara dini akan menimbulkan kecacatan, yang berakibat fungsi fisik penderita terganggu. Reaksi Kusta merupakan penyebab terbanyak terjadinya kecacatan pada penderita kusta yang sering terjadi pada saat mulai timbulnya penyakit kusta, biasanya penderita datang ke petugas kesehatan dengan gejala-gejala reaksi, tetapi terkadang reaksi timbul setelah pengobatan MDT selesai Paul

253

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Sanderson, 2002). Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap terjadinya reaksi kusta adalah umur saat didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun, lama sakit lebih dari 1 tahun dan kelelahan fisik (Prawoto, 2008).

Gambar 4. 3. Bercak Kulit pada Reaksi Kusta Sumber: Paul Saunderson, 2002, Bagaimana Mengenali dan Menatalaksana Reaksi Lepra, London: The International Federation of Anti-Leprosy Associations (ILEP), hal. 1.

Penderita cenderung menyembunyikan diri karena takut penyakit atau kondisi fisiknya diketahui masyarakat. Hal ini membuat penderita dan keluarga merasa malu memeriksakan penyakit tersebut ke pusat pelayanan kesehatan. Akibatnya, penyakit yang diderita semakin parah dan semakin membuka peluang penularan baru kepada keluarga atau masyarakat. Sebagian besar masyarakat maupun penderita mengenal gejala/tanda penyakit kusta pada taraf lanjut yaitu berupa pembengkakan, benjolan, dan tanda-tanda menyeramkan lainnya sehingga membuat terjadinya perubahan bentuk pada wajah maupun bagian tubuh tertentu. Kusta masih terus muncul di Sulaho dikarenakan kurangnya pengetahuan, pengertian, kepercayaan yang keliru sehingga upaya penyembuhan yang dilakukan tidak sesuai. Faktor-faktor yang menyebabkan pasien

254

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

terlambat berobat disebabkan oleh dua aspek yaitu (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012): 1. Aspek pasien, dikarenakan tidak mengerti tanda dini Kusta, malu datang ke Puskesmas, tidak mengetahui bahwa obat tersedia gratis di Puskesmas, jarak rumah pasien ke Puskesmas atau sarana kesehatan lainnya terlalu jauh. 2. Aspek penyedia layanan kesehatan, dikarenakan ketidakmampuan mengenali tanda Kusta dan mendiagnosis, pelayanan yang tidak mengakomodasi kebutuhan klien dan sebagainya. 4.4. Penyebab Kakambah Ditemukan penderita kusta dengan kondisi jari pada kedua tangan dan kaki telah hilang dan kulit muka tampak mengalami penebalan/bengkak. Sebut saja Yu (63 tahun) yang bekerja sebagai tukang kayu dan memperbaiki peralatan elektronik. Ia telah tinggal sejak tahun 1980 di Desa Sulaho, namun demikian ia tidak tinggal secara kontinyu di desa tersebut sehingga kemungkinan tidak terjaring oleh petugas Puskesmas setempat. Ia sempat pindah dan tinggal lama di desa Lambai, tak jauh dari Sulaho. Penderita kusta yang kehilangan beberapa ruas jari tangan dan/atau kakinya, bukan disebabkan oleh Mycobacterium leprae secara langsung. Hal ini disebabkan oleh mati rasa pada daerah tersebut, sehingga mudah timbul luka, misalnya karena memegang benda panas yang tidak dirasakan oleh penderita sehingga dapat menimbulkan luka, jika tidak mendapatkan penanganan maka dapat menyebabkan terjadinya cacat pada penderita.

255

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

“Itu sebenarnya itu kan luka yang mereka ciptakan sendiri. Kaya misalnya kalau kita pegang panci kan berasa panas, kalau mereka kan pegang itu tidak rasa. Orang bilang kan kumannya yang menggerogoti dagingnya, tapi padahal kan enggak. Mereka ciptakan luka sendiri dan tidak ada penanganan luka jadi dagingnya jatuh-jatuh dan menciptakan cacat...” (Id, 38 tahun)

Gambar 4. 4. Penderita yang Mengalami Cacat Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Penyebab munculnya penyakit tersebut diakui dikarenakan dahulu memiliki kebiasaan merampok bahkan mengakui pernah membunuh. Penyakit yang muncul dianggap sebagai “kutukan” Tuhan atas perbuatan masa lalu. Dalam pemikirannya jari-jari tangan dan kaki lari masuk ke dalam, tidak terputus/terlepas. Seorang warga Desa Sulaho, bercerita bahwa ia pernah hidup bertetangga dengan orang tersebut ketika

256

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dirinya masih kecil. Dalam ingatannya dahulu satu ruas jari terdekat dengan telapak tangan pada semua tangannya masih, tapi kini sudah menghilang. “Saya dulu perampok bukan pencuri tahun 1972 sampai tahun 1980 berhenti total selama merampok tidak pernah di tangkap kecuali waktu menbunuh pernah saya di tangkap tahun 1972 di situ saya di hukum selama 25 tahun tapi di situ saya kabur melarikan diri saya pikir saya sudah tua baru keluar akhirnya saya lari dari lembaga. Tahun 1980 sudah berada di sulaho…jadi di situ sudah saya sadari anugrah dari Allah dan jangan diperbuat lagi…tapi ini kutukan dari Allah akibat perbuatannya karena dulu membunuh 4 orang…, jadi saya bilang pak itu mungkin anugerah dari Allah diberikan saya, bahwa kamu harus tinggalkan pekerjaan seperti ini dan kamu semua harus sadari jangan memperbuat lagi. Karena saya pak begini tangan saya bukan apa, bukan penyakit kusta, bukan penyakit apa, mungkin kutukan dari Allah, langsung ini jari-jari pak lari masuk, hancur tulang-tulangnya dari dalam” (Yu, 63 tahun)

Mantan penderita tersebut dahulu sudah diperiksa dan dinyatakan positif kusta, tetapi mengaku hanya meminum obat satu kali saja, meskipun telah diberitahu oleh petugas kesehatan bahwa kulit dapat terkelupas jika tidak meminum obat sesuai aturan. Kini, ia menyatakan dirinya sudah sembuh meskipun tidak meminum obat secara teratur. Ia tidak mau dirinya disebut menderita penyakit kusta. Sebagian masyarakat Sulaho masih menganggap bahwa kusta yang mereka sebut sebagai kakambah adalah penyakit kutukan. Salah satu sebab lain terjadinya kutukan tersebut adalah persetubuhan sedarah. Seorang laki-laki menyetubuhi perempuan yang masih sedarah atau dalam hukum agama 257

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dilarang misalnya anak perempuan, keponakan, tante, nenek dan seterusnya, maka anak yang dilahirkan dari hasil hubungan itu akan membawa penyakit kakambah, termasuk pelakunya. Lebih dari itu, orang di sekitar juga bisa terkena kutukan jika sengaja atau tanpa sengaja dia melangkahi bekas tempat persetubuhan itu atau melangkahi benda seperti sarung atau pakaian yang ada air (mani) hasil persetubuhan maka orang itu akan terkena penyakit kakambah. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Naj (55 tahun). “...Kakambah itu kena sama orang yang pernah berhubungan dengan saudaranya, nanti anaknya itu kena penyakit itu... orang yang pernah lewat ditempatnya berhubungan juga bisa kena, atau melangkahi bekas air (maninya) waktu dia berhubungan... itu semacam kutukan barangkali karena dia melanggar ajaran agama begitu..." (Nj, 55 tahun)

Naj adalah mantan penderita yang pernah diregistrasi oleh Petugas Kesehatan sebagai penderita kusta, namun saat penelitian dilakukan dan wawancara dengan Naj, dia tidak mengakui penyakit kusta yang diderita. Oleh keluarga penyakit yang dialaminya beberapa tahun lalu itu disebut colak jampu. Namun demikian, Naj ini memiliki riwayat tinggal bersama dengan penderita yakni kakaknya sendiri yang sudah meninggal karena penyakit kusta sekitar tahun 1990, dan juga ada anaknya yang didiagnosis positif kusta oleh petugas kesehatan dan menjalani pengobatan. Kepercayaan orang di Sulaho bahwa penyebab kusta karena kutukan, sesuai dengan hasil temuan Sukhbir Singh, 2012 bahwa 65% responden mempercayai kusta disebabkan oleh pengaruh yang supranatural seperti hukuman Tuhan, karma, dosa dan Nayak (2012), bahwa 26% masyarakat mengatakan kusta/TB disebabkan karena dosa masa lalu mereka. Temuan

258

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Ashok Kumar (2013) juga menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran tentang penyakit kusta di masyarakat yang menyebabkan sejumlah mitos, stigma, kesalahpahaman berkaitan dengan keyakinan dalam hasil pengobatan dapat disembuhkan atau tidak, perbuatan kehidupan sebelumnya dan dikaitkan dengan Tuhan. Sebagian besar masyarakat menganggap penyakit kusta adalah penyakit menular, kutukan dan penderita harus diasingkan menyebabkan penderita takut keluar rumah, bahkan untuk berobat harus sembunyi-sembunyi, selain itu persepsi yang kurang baik terhadap penderita kusta memunculkan stigma negatif terhadap penderita kusta sekaligus mengurangi proses penyembuhan bagi penderita kusta (Suwoyo, 2010). Hal ini serupa dengan yang terjadi di Sulaho, bahwa mereka menyembunyikan penyakit kusta yang diderita dari masyarakat dan berobat dengan cara sembunyi-sembunyi karena malu dengan kondisi fisik yang dialami. Selain itu terdapat anggapan bahwa penyakit kusta yang terjadi dikarenakan memakan/mengonsumsi ikan pari yang memiliki kulit hitam dengan bintik putih. Ikan pari jenis tersebut pantang dikonsumsi karena jika seseorang memakannya akan muncul bercak-bercak pada tubuh yang identik dengan tubuh ikan pari tersebut. “Apa itu alergi makan ikan...kan biasa apa ikan apa dimakan ikan pari, itu mi ndak lama banyak tumbuhtumbuh dianunya to sakit... Kalo risna itu, e begitu semua kena e, wardah, risna, begitu semua, kan ikan itu biasa dimakan ikan pari... kayak anu juga itu belakangnya pari, bintik-bintik to... semuanya, di tangannya di belakangnya, di kakinya juga” (My, 27 tahun)

Ada anggapan bahwa bibit penyakit kakambah telah ada dalam tubuh manusia sejak pertama kali terlahir di dunia. Hal ini

259

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

menyebabkan kakambah dapat muncul kapan saja sesuai dengan kemauannya kapan untuk keluar. “Cacar itu kita punya, dari dalam itu, kita punya sodara juga di dalam, ada memang di dalam badan... mungkin barang halus itu ada di dalam anunya itu cacar” (Nj, 56 tahun)

Suami isteri yang melakukan hubungan seksual ketika isteri sedang dalam masa haid dapat mengakibatkan lahirnya anak yang menderita kusta. Informasi semacam ini diperoleh dari orang tua, sehingga informanpun mengaku menyampaikan informasi yang sama kepada anaknya. Hal ini sesuai dengan temuan Tantut Sutanto (2010) bahwa ada larangan untuk berhubungan jika isteri sedang dalam keadaan haid (kotor) karena akan mengakibatkan keadaan kusta pada anak yang dilahirkan. “Itu umpama kita haid, kalo kita hadi kita kira bersih mi punya badan tapi itu darah kotor masih ada, kalo saya misalnya biasa haid tah 3 hari baru selesai, kalo sudah saya mandi cuci rambut, mau sholat eh kembali lagi darahnya ini , baru kita ini bu anu suami tak itu jadi kotor begitu, darah kotor namanya, penyebabnya begitu, akhirnya itu lahir anak-anak, besar-besar besar di situ mi tempatnya, dari begitu bu tidak ada selainnya selain begitu, kukasih tahukan dulu saya orang tua dulu, bilang itu anak kalo kita haid ndak boleh karena anu suami tak apa tu, na sentuh suami tak kalo ndak bersih, kita punya darah, tak seminggu dua minggu baru na kita boleh sentuh kita punya suami, itu bilang saya punya orang tua dulu, itu saya punya mamak, dikasihtahukan sama mamaknya, jadi kita mi juga kasih tahukan anakanaknya, begitu” (Ec, 41 tahun)

260

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Guna-guna juga disebutkan dapat menyebabkan penyakit kusta. Hal ini dialami oleh beberapa penderita. Salah satu informan mengatakan bahwa sakit dengan gejala kusta yang dialami keponakannya, meski tidak mau disebut kusta karena pengaruh guna-guna dari orang lain melalui makanan bakso. “Dia minum obat dari dukun tapi tidak perubahan. Kata orang tua itu dia dikasih guna-guna lewat bakso itu. setelah makan bakso dan dia berasa pusing lalu gak lama keluar benjol. Bonyok sudah itu badannya. Kulit badannya jadi warna merah karena benjolnya juga merah” (Nh, 31 tahun)

Kecocokan golongan darah dianggap menjadi salah satu syarat yang penularan penyakit seperti kusta dari penderita kepada orang lain. Jika golongan darah penderita dengan seseorang tidak sama, maka kusta tidak akan menular. Hal ini seperti diungkapkan oleh seorang informan sebagai berikut: “...Darah O saya darah O, kena penyakit begitu umpama, na kita darah O saya darah O, menular mi, ndak menular juga kalo saya darah O, kita darah B, nggak kena juga, begitu bu”(Ec, 41 tahun)

Penyebab kusta yang diketahui oleh masyarakat Sulaho tidak sesuai dengan penyebab kusta secara medis/kesehatan, yaitu kutukan karena perbuatan/dosa masa lalu atau persetubuhan sedarah, mengkonsumsi ikan pari berkulit hitam dengan bintik putih, bibit kusta telah ada sejak lahir, melakukan hubungan seksual ketika isteri sedang dalam masa haid dan pengaruh guna-guna. Sementara itu, Rusman (1997) menyimpulkan bahwa salah satu faktor terjadinya penyakit kusta karena kuman kusta yang muncul saat daya tahan tubuh berkurang akibat kondisi gizi seseorang yang buruk dan kuman yang masuk ke dalam tubuh yang sehat dapat mati dengan

261

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

sendirinya bergantung pada daya tahan tubuh seseorang (Siti Nurkhasanah, 2013). 4.5. Lingkaran Penularan Kusta

Mr, gadis kecil berusia 10 tahun yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) kelas 3 ini tak menunjukkan beda dengan teman-temannya. Ia ceria menjalani hari-harinya, bermain dengan teman-temannya ketika di sekolah maupun sepulang sekolah. Seringkali ia memakan cempa, yaitu buah asam yang masih muda bersama teman-temannya. Mereka makan cempa dengan mencolekkan pada sambal yang dibuat dari garam, vetsin dan lombok dalam sebuah mangkok sembari menikmati semilir air pantai dalam sebuah gazebo di sebuah rumah warga di cipoloe (ujung) desa. Situasi yang tergambar, mereka saling berbagi, penuh keakraban bersama teman. Gambaran pertemanan yang umumnya terjadi antar anak dan remaja di Sulaho adalah melakukan aktivitas bersama-sama secara intens sepanjang hari. Tepatnya tanggal 2 Juni 2014, ia menyeberang ke Puskesmas Lasusua dengan ibunya yang tengah hamil besar untuk memeriksakan lengannya. Beberapa hari sebelumnya, ia tersadar bahwa pada lengan kanannya terdapat sebuah tanda. “bilang mak kenapa iniku tidak sakit” tutur ibu menirukan ketika Mr melapor pada mamaknya. Sebagian kulit di lengan memiliki warna kulit yang berbeda dengan kulit tubuhnya yang lain. Bagian kulit itu memiliki bentuk memanjang.

262

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Gambar 4. 5. Bercak Kusta Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Tidak hanya di lengan tersebut, warna kulit yang disebutnya cenderung berwarna putih itu muncul, termasuk sekitar payudara sebelah kiri, beberapa bercak yang menggerombol dan berbentuk kecil juga muncul. Tanda tersebut telah muncul sejak lima tahun yang lalu, tetapi bercak tersebut masih berukuran kecil dan semakin lama semakin membesar hingga kini. Kulit dengan tanda/bercak tersebut tidak terasa jika dicubit. “Kan ini waktu kecil ada memang yang begini, tapi saya tidak perhatikan, tapi berapa hari ini satu bulan mungkin dia cubit-cubit tapi tidak terasa, itu saya bawa ke Puskesmas…sudah lima tahun, kecil biasa ini kan kecil, besar-besar juga” (My, 27 tahun)

Ibu mengatakan bahwa kulit Mr waktu kecil putih tetapi karena kebiasaan mandi air asin maka kulitnya berubah menjadi hitam. Kegemaran yang biasa dilakukan oleh anak-anak di Desa Sulaho pada umumnya mulai dari balita, anak usia pra sekolah maupun anak sekolah. Warna tubuh Mr agak hitam, sehingga ketika muncul tanda semacam itu di bagian tubuhnya tentu saja tampak jelas kontras antara bercak dengan kulit tubuhnya. Dalam ingatan ibu Mr, dokter menyebut sakit seperti yang

263

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dialami Mr adalah penyakit dusta. Berdasarkan register kohort P2 Kusta Puskesmas Lasusua, Mr terkena kusta jenis MB. Gejala klinis yang muncul pada kusta bervariasi tergantung pada tingkat dan tipe kusta. Beberapa tanda awal yang muncul diantaranya adalah bercak kulit yang mengalami mati rasa (tidak gatal, tidak perih dan tidak terasa ketika disentuh). Tanda tersebut sebenarnya merupakan tanda awal yang biasanya sering ditemukan dan menjadi tanda utama (cardinal sign) penyakit kusta. “Gejala klinis Kusta bermacam-macam. Tergantung dari tingkat atau tipenya. Beberapa tanda awal yang muncul, diantaranya, ada bercak warna putih yang muncul di permukaan kulit. Bercak ini mati rasa; tidak gatal, perih, atau terasa sakit ketika disentuh” (Id, 38 tahun).

Kusta yang terjadi pada Mr adalah salah satu kasus kusta pada anak. Ibu tidak memperhatikan bercak kecil yang telah muncul 5 tahun lalu dan baru menyadarinya setelah bertambah besar. Tanda penyakit yang sama dialami keponakannya pada tahun 2006, sehingga membuat ibu memeriksakan Mr ke Puskesmas. Berdasarkan register kohort P2 kusta, keponakannya itu juga menderita kusta jenis MB. Kenaikan rasio MB dan terjadinya kasus anak merupakan sinyal kehadiran aktif infeksi kusta di masyarakat (Sanghavi, 2012). Kepadatan hunian rumah Ayah Mr adalah seorang Etnik Bajo yang berasal dari Kobaena, sementara ibu adalah penduduk asli Sulaho. Tak berapa lama setelah menikah, keluarga Mr tinggal di Kobaena sekitar dua tahun, lalu kembali lagi ke Sulaho. Kala itu rumahnya ternyata telah dibongkar karena disangka tidak kembali lagi ke Sulaho. Suatu hari, orang tua Mr datang kembali ke desa dan tinggal bersama nenek dan orang tuanya. Selanjutnya, pada

264

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tahun 2008-2011, mereka tinggal dalam sebuah rumah batu bersama keluarga sepupu dua kali suami, termasuk keponakannya. Pemilik rumah merupakan pedagang dan pelaut yang sukses di Desa Sulaho. Istri pemilik rumah, Ha (45 tahun), terkena penyakit kusta jenis MB pada tahun 2012. Keluarga di desa ini umumnya memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak karena setiap keluarga biasanya memiliki anak banyak. Tim peneliti jarang sekali menjumpai sebuah keluarga dengan jumlah anak kurang dari tiga, kecuali keluarga yang baru beberapa tahun menikah, dan terkadang ditambah dengan kerabat yang ikut menumpang di rumah tersebut. Terdapat 9 orang yang tinggal di rumah tersebut. Pekerjaan domestik dilakukan secara bersama dan bergiliran, seperti kegiatan memasak atau mencuci baju/peralatan rumah tangga. Kerja sama lain terjalin melalui kegiatan melaut seperti mencari ikan atau teripang. Ayah Mr menjadi anak buah pemilik rumah ketika melaut. Kini, Mr tinggal dalam sebuah rumah pinjaman berukuran 7x5 m bersama orang tua, dua adiknya, Dl (7 tahun), Fs yang terlahir akhir Juni 2014 dan saudara sepupu ibu seusia Mr. Keponakannya telah bekerja di Lasusua sekitar sebulan lalu. Ada 6 orang yang tinggal dalam rumah tersebut. Tidak hanya keluarga Mr yang memiliki rumah berukuran kecil, sebagian masyarakat desa ini memiliki luas rumah yang tidak jauh berbeda, bahkan sebagian diantaranya memiliki ukuran rumah yang lebih kecil. Beberapa keluarga dengan anggota rumah tangga yang menderita kusta atau mantan penderita kusta dengan ukuran rumah relatif sama dengan keluarga Mr, diantaranya adalah keluarga Nu (70 tahun), Na (52 tahun), Tg (tahun), Th (70 tahun).

265

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Keluarga Nu (70 tahun) Nu memiliki 10 anak, teapi sebagian besar sudah menikah dan ada pula yang meninggal. Ia tediagnosis kusta tahun 2005; dua cucu perempuan yang tinggal bersamanya terkena kusta pada tahun 2007, dan salah satu diantaranya meninggal. Kini ia tinggal bersama 2 orang anak dan 3 cucu. Keluarga Na (52 tahun) Na memiliki 6 anak, dan kini tinggal dengan 3 anaknya karena anaknya yang lain sudah berumah tangga. Ia terkena kusta pada tahun 2006. Salah satu anak perempuannya, Gh (18 tahun) yang kini masih tinggal bersama terkena kusta pada tahun 2013. Sementara adiknya, Ha (45 tahun) yang bertempat tinggal tepat di sebelah rumah Na, terkena kusta pada tahun 2012. Keluarga Ha (45 tahun) Ha adalah kerabat Na, ia tinggal bersama keluarga adiknya sejak suaminya meninggal pada tahun 2010. Ia dibantu adiknya untuk menjalankan usaha sebagai pengepul teripang. Ia memiliki dua orang anak, sementara adiknya memiliki 4 orang anak, sehingga jumlah penghuni rumah adalah 9 orang. Keluarga Tg (56 tahun) Tg memiliki 5 orang anak. Seorang kerabat yang tinggal bersama keluarganya terkena kusta sekitar tahun 1990, kemudian secara bersamaan isteri dan kedua anaknya terkena kusta pada tahun 2008. Keluarga memiliki kebiasaan untuk pergi ke pulau di sekitar Kolaka dalam jangka waktu lama mencari ikan sunu, sehingga anak bungsu tinggal menumpang pada kerabatnya yang tinggal di Sulaho yang rumahnya bersebelahan dengan rumahnya. Anaknya yang ikut serta di pulau terkena kusta pada bulan Juli 2014.

266

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Keluarga Th (70 tahun) Th memiliki 6 anak dari mantan istrinya yang pernah menderita kusta sekitar tahun 2000 di Kolaka. Dua anaknya terkena kusta pada tahun 2006. Mantan isteri menumpang di rumah Th dikarenakan suami sedang bekerja ke luar kota, juga adik mantan isteri yang menumpang di rumah tersebut bersama dua anaknya dikarenakan suami masih bekerja di Malaysia. Pada akhir kegiatan penelitian, keduanya sudah meninggalkan rumah Th. Keluarga lain di Sulaho Keluarga lain diantaranya adalah keluarga Rs (44 tahun) yang memiliki 11 anak, Ms (30 tahun) yang memiliki 4 anak dan sedang menunggu kelahiran anak kelima, begitu juga dengan Es (30 tahun) yang memiliki anak dan sedang menunggu kelahiran anak ketujuh dan Sd (32 tahun) yang memiliki 5 anak. Jumlah penghuni yang menempati sebuah rumah tidak saja anggota keluarga, tetapi biasanya juga kerabat dekat yang ikut menumpang. Hal ini menunjukkan bahwa satu rumah tangga di Sulaho memiliki kecenderungan tingkat kepadatan hunian tinggi. Ikatan keluarga, Kekerabatan dan Pertemanan Umumnya lelaki menjadi tulang punggung keluarga di Sulaho dengan melaut. Perempuan dewasa memiliki pekerjaan menjual ikan, namun pekerjaan tersebut tidak lagi dilakukan karena tidak lagi banyak ikan diperoleh nelayan setelah bom ikan dilarang digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara. Perempuan terkadang membantu suami mencari teripang, seperti yang dilakukan oleh Ibu My dahulu. Ibu My telah mulai bekerja membantu suaminya mencari teripang ketika anaknya, Mr berusia tiga bulan. Mr diasuh oleh adik kandung ibu, Ris (19 tahun). Ia telah tinggal bersama keluarga Ibu My (27 tahun). Ia mengasuh keponakannya (anak Ibu My) yang masih bayi sehari-

267

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

hari. Ia menyuapi, menggendong, mengajak bermain, menidurkan dan melakukan semua rutinitas yang biasa dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya. Ris (19 tahun) juga merawat anak kedua ibu My (27 tahun) ketika ibu sudah mulai bekerja pasca melahirkan. Ibu bercerita bahwa adiknya Ris (kini 19 tahun) dahulu pernah mengalami penyakit kusta ketika Ris duduk di kelas 3 SD dan berobat selama 12 bulan, namun ibu mengingatnya sebagai penyakit dusta. Mi adik kandung My lainnya juga mengalami gejala klinis serupa, ada bercak putih pada kakinya. Akan tetapi Mi tidak mau memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan. Penyakit tersebut muncul karena mereka mengkonsumsi ikan pari. Tidak semua jenis ikan pari dapat dimakan. Ikan pari yang berkulit hitam dengan bercak putih diyakini dapat menyebabkan munculnya bercak pada kulit, seperti halnya kulit ikan pari jika seseorang memakannya. Ris sendiri memiliki teman sekolah yang akrab ketika duduk di bangku SD yaitu Im (18 tahun). Im bercerita bahwa dirinya diperiksa oleh tenaga kesehatan di Puskesmas melalui sekolah. Pasca periksa, Im (18 tahun) positif terjangkit penyakit Kusta. Ia mengetahui bahwa ia menderita Kusta. Ia meyakini bahwa penyakit kusta yang dideritanya berasal dari Ris (19) yang lebih dahulu sudah terkena penyakit tersebut. Im (18 tahun) sendiri mengaku hanya berobat selama tiga bulan, karena dalam ingatannya dia hanya meminum obat sebanyak tiga papan dan tidak semuanya dihabiskan karena alasan tidak suka minum obat. Semasa SMP, Ris (19 tahun) memiliki teman akrab bernama Gh (18 tahun) yang terkena kusta pada tahun 2013. Satu orang lainnya yang tercatat dalam register penderita kusta Puskesmas Lasusua pada tahun 2013 adalah Hm (31 tahun), yang kini tengah menjalani proses hukum atas

268

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tuduhan penggunaan bom ikan terhitung sejak April 2014. Hm adalah paman Im. Gh adalah keponakan dari Ha (45 tahun) dan anak dari ibu Na (52 tahun) yang pernah terkena kusta pada tahun 2008. Munculnya kusta terjadi karena adanya riwayat kontak yang erat dan lama antara seseorang dengan penderita kusta. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi proses penularan penyakit dari satu penderita ke penderita lain pada orang-orang dekat yang memiliki intensitas relatif tinggi bersinggungan/berhubungan. Umumnya penderita kusta yang ditemukan di Desa Sulaho memiliki riwayat kontak ataupun hubungan kekeluargaan dengan penderita kusta yang lain. Baik yang masih menderita atau yang sudah sembuh. Faktor ketakutan dan minimnya pengetahuan tentang penyakit menjadikan keluarga menutup diri untuk melaporkan atau membawa berobat anggota keluarganya yang terkena gejala penyakit kusta. Ada keluarga yang meninggalkan kampung halaman dengan tujuan mencari nafkah, seperti ikan atau teripang. Ada dua keluarga, dimana salah satu keluarga memiliki anggota keluarga yang terkena sebagai penderita kusta dan menjalani pengobatan dan satu keluarga yang lain memiliki gejala kakambah namun tidak mau mengakui dan cenderung menutup diri. Kedua keluarga ini memilih untuk meninggalkan Desa Sulaho dan tinggal di sebuah pulau terpencil dengan alasan mencari nafkah dengan memancing ikan sunu di sekitar pulau itu. Mereka masih sering kembali ke kampung terutama pada saat bulan puasa, lebaran dan pesta demokrasi, seperti penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) tingkat desa hingga tingkat nasional, tinggal beberapa bulan dan setelah itu pergi lagi dalam kurun waktu yang lama. Pada umumnya, sebagian masyarakat memiliki kebiasaan mencari nafkah ke sebuah pulau tertentu sehingga harus

269

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

meninggalkan kampung dalam jangka waktu cukup lama. Hal ini biasanya menjadi siklus bulanan hingga tahunan yang selalu dilakoni oleh sebagian keluarga di Desa Sulaho. Anak-anak biasanya dititipkan kepada sanak saudara terdekat yang masih tinggal di Sulaho, sebagian lainnya diajak dan untuk sementara waktu rehat dari kegiatan bersekolah selama tinggal di Pulau. Teripang dan jenis ikan tertentu dengan harga yang cukup tinggi menjadi sumber pencarian orang-orang tersebut. Mereka biasanya tinggal di rumah keluarga atau sekedar membuat hunian sementara selama mencari hasil laut tersebut. Anak-anak yang tinggal di Desa, biasanya tinggal di rumah kerabat dekat. Selain menumpang, mereka biasanya juga membantu kegiatan rumah tangga yang dilakukan oleh keluarga bersangkutan. Seperti halnya Ef (14 tahun) yang sudah sejak enam bulan terakhir tinggal bersama keluarga Mr. Er (16 tahun), seorang anak perempuan yang tengah duduk di bangku SMP tinggal bersama keluarga pamannya dikarenakan orang tua pergi ke Pulau mencari ikan Kerapu. Er (16 tahun) adalah anak dari Lh (47 tahun) yang dicurigai menderita kusta oleh masyarakat maupun oleh dokter yang berkunjung ke Sulaho dalam rangka kegiatan Posyandu dan pengobatan umum. Namun demikian, Lh (47 tahun) mengaku bahwa ia telah menjalani pengobatan dan sakit yang dideritanya bukan penyakit kusta. “Di situ lelaki itu namanya bapaknya h, kulihat mulai kakinya, kemarin saya mau beli ikan, masuk kak di dalam kulihat baring kesakitan, tapi na kulihat seperti merah, kan kulihat nampak kakinya, baring begini tapi kaki dikasih masuk bantal, kulihat kakinya itu hitam-hitam merah-merah, berarti mau mulai-mulai, biasa kulihatlihat saya, sama haji kulihat ini merah-merah semua badannya” (Ec, 41 tahun).

270

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Sa, yang masih SD dititipkan pada kerabatnya, karena orang tua dan kakaknya pergi juga ke pulau. Ibu dan 2 kakaknya telah terkena kusta pada tahun 2008 serta satu lagi kakaknya terkena kusta pada Juli 2014. Kebiasaan seperti ini tentu saja akan sangat menghambat penanganan kusta mengingat pulau yang mereka diami jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan. Menurut pengakuan dari keluarga yang salah satu anggotanya sedang menjalani pengobatan kusta dengan mengonsumsi MDT tipe MB, dia mengonsumsi obat tidak sesuai dengan aturannya. Obat yang seharusnya diminum 1 biji per hari diminum 3 kali sehari. Hal ini dia lakukan karena tidak mendapat penjelasan yang detil dari petugas kesehatan. Selain itu obat yang seharusnya diberikan setiap bulan untuk konsumsi 28 hari, justeru dia dapatkan sekaligus satu box untuk kebutuhan 6 bulan, dan hal ini terulang 2 kali. Atas dasar itu kemudian dia berpikir untuk mengonsumsi 3 kali sehari. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh orangtua dari penderita sebut saja Tg (56 tahun) yang mengaku mengontrol dan mengawasi minum obat anaknya. “... Iya. Karena banyak kejadian katanya itu penyakit menyebar. Saya rela juga diperiksa tapi tidak ada tanda saya. Langsung dia periksa juga anak-anak... dia tidak bilang memang ini penyakit kena anak saya penyakit begini. Saya taunya dari orang-orang yang cerita kalau anak saya kena, bukan dari petugas itu... Itu saya sempat heran kenapa tidak langsung terangkan (kepada saya) waktu periksa....jadi sempat dikasih obat waktunya diperiksa...katanya pengobatan pertama...ada lagi keduanya lagi itu pak waktu ada lagi Posyandu... Mungkin katanya itu kan istilahnya pemanasan, jadi dikasih banyak 1 dos... isinya 6 papan... diminum 3 kali sehari, 1 kali pagi, dhuhur, sama mau tidur... diminum tiap hari sampai habis...Sampai habis itu pa. jangan katanya dihentikan makan ini obat kalau tidak habis.

271

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Kalau habis katanya ke lasusua. Belum habis datang lagi jadi tinggal kalau tidak salah itu tinggal 1 papan, ada lagi tambahan ada bawa waktunya Posyandu dikasih lagi jadi semua ada 12 papan pa...” (Tg, 56 tahun)

Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di pulau dan tidak pernah melakukan kontrol lagi ditambah konsumsi obatnya tidak sesuai aturan, sehingga sampai sekarang dia belum sembuh. Adapun keluarga satunya memang cenderung menutup diri dan menyembunyikan penyakitnya. Salah satu anggotanya, sebut saja Lh yang dicurigai menderita kusta sama sekali tidak mau diperiksa padahal tanda-tanda klinis kusta telah tampak jelas. Bercak-bercak terdapat di sekujur tubuh dan wajahnya sudah bengkak-bengkak (kakambah). Orang-orang sekitarnya telah menduga dia juga terkena penyakit kusta namun sampai penelitian selesai, dia tidak mau periksa dan tidak mau mengakui gejala dan penyakit itu sebagai penyakit kusta. Dia masih memiliki hubungan keluarga dengan keluarga satunya, dan mereka bersama-sama tinggal lama di pulaiu yang sama. Penularan kusta disinyalir terjadi melalui pernafasan karena basil kusta ditemukan pada hidung. Syarat penularan diantaranya adalah adanya kontak erat dan lama antara seseorang dengan penderita, selain dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, daya tahan tubuh dan hygiene. Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%), dari hasil penelitian menunjukkan gambaran sebagai berikut: dari 100 orang yang terpapar: 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit, hal ini belum memperhitungkan pengaruh pengobatan (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012). Adanya kusta yang diderita oleh anggota rumah tangga/kerabat/teman di Sulaho membuktikan bahwa telah terjadi kontak erat dan lama antar mereka hingga kuman

272

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kusta dapat menular yang didukung perilaku hygiene individu maupun RT yang masih rendah. “Kontak erat. Kusta itu sebenarnya secara teori kita tidak tahu penularannya bagaimana tapi basilnya itu ditemukan di hidung. Jadi penularannya dari pernafasan dan harus kontak erat dan lama. Kemudian daya tahan tubuh yang lemah. Kembali lagi kan faktor sosial ekonomi karena semua kan kunci di hygiene” (Id, 38 tahun)

4.6. Gambaran Kondisi Fisik Rumah Penderita Kakambah Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor kejadian kusta dipengaruhi oleh kondisi fisik rumah (Fitria Ulfah, Norlatifah, 2010). Persyaratan ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 (dalam Soedjajadi, 2005) adalah sebagai berikut: Bahan bangunan Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan dan tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi media tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen. Komponen dan penataan ruangan Lantai kedap air dan mudah dibersihkan; dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan; langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan; bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir; ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya; dapur harus memiliki sarana pembuangan asap. Pencahayaan

273

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pencahayaan alam dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. Rumah yang memiliki pencahayaan yang kurang dapat menunjang perkembangbiakan basil M.Leprae keluar dari penderita kusta melalui kulit dan mukosa hidung. Mukosa hidung melepaskan paling banyak M.Leprae dimana mampu melepaskan 10 miliar organisme hidup perhari dan mampu hidup lama di luar tubuh manusia sekitar 7-9 hari di daerah tropis (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012). Kualitas udara Suhu udara nyaman antara 18-30 oC; Kelembaban udara 40-70 %. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen (Nurhidayah dalam Syamsir, 2012). Ventilasi Luas lubang ventilasi yang permanen minimal 10% luas lantai. Vektor penyakit Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah. Penyediaan air Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/orang/hari; kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air minum. Sarana penyimpanan makanan Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman. Pembuangan Limbah Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari

274

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

permukaan tanah; limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah. Kepadatan hunian Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang. Persyaratan rumah sehat seperti yang disyaratkan tidak tercermin pada perumahan di Sulaho. Rumah di Sulaho umumnya berukuran 7x5 m, sebagian masyarakat desa ini memiliki luas rumah yang tidak jauh berbeda, seperti 6x9 m, ada beberapa yang lebih luas, bahkan sebagian diantaranya memiliki ukuran rumah yang lebih kecil, seperti 4x5 m. Seperti rumah pada umumnya, rumah yang ditempati oleh keluarga Mr berukuran 7x5 m merupakan rumah papan, selain itu beratap daun nipa, berlantai semen kasar dan halus. Rumah memiliki dua jendela pada bagian depan dan samping rumah. Tidak terdapat sekat dalam rumah ini. Rumah terdiri atas satu ruangan, sehingga peletakan perabotan rumah tangga dan fungsinya tampak jelas ketika masuk ke rumah ini. Terdapat sebuah ranjang pada bagian sudut rumah, sebelahnya sebuah lemari yang berfungsi sebagai sekat dengan kasur yang ditempatkan pada lantai, dan sebelahnya diberikan sekat tripleks setinggi sekitar 60 cm sebagai pembatas dengan dapur. Rumah tidak berplafon sehingga menambah pergantian udara melalui pertemuan dinding dengan bagian atap rumah. Dua buah tempat tidur yang ada digunakan masing-masing untuk 3 orang. Rumah tidak memiliki kakus. Sampah rumah tangga dibuang di sekitar lingkungan rumah tanpa penampungan sampah. Limbah air rumah tangga dibuang di sekitar sumur yang berada di depan rumah.

275

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

R. Tamu dan Penyimpanan alat melaut

K. Tidur

K. Tidur

Dapur

Gambar 4. 6. Denah Ruang Rumah Keluarga Mr Sumber: Data Penelitian Tahun 2014

Rumah biasanya tampak kotor yaitu baju kotor berserakan begitu saja baik dalam rumah maupun luar rumah (depan pintu), peralatan makan biasanya tampak menumpuk di lantai dapur, sisa makan juga tampak tercecer di lantai dapur, lantai rumah biasanya berdebu atau berpasir karena aktivitas di luar rumah biasanya dilakukan bertelanjang kaki, bermacam barang tergeletak begitu saja di lantai dan banyak baju tergantung di dinding. Lingkungan depan rumah biasanya juga banyak sampah. Kondisi rumah yang tidak tidak tertata rapi tergambar pada sebagian besar rumah di Sulaho. Pada umumnya, lingkungan rumah yang buruk akan berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk kusta/kakambah. Kebersihan perseorangan yang buruk menunjukkan kondisi lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat. Jenis rumah yang menggunakan papan memberikan sirkulasi udara dapat terjadi dengan baik pada rumah ini, seperti halnya rumah rumah tangga lain di Sulaho. Hal ini akan membuat udara dan cahaya alami sinar matahari yang masuk ke dalam rumah relatif banyak. Setiap rumah umumnya memiliki jendela pada bagian depan rumah dan setiap kamar tidur. Hal ini mengindikasikan bahwa rumah tangga memiliki ventilasi yang cukup. Lisdawanti (2014), menemukan bahwa ventilasi, dinding,

276

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dan kepadatan hunian merupakan faktor risiko terhadap kejadian penyakit kusta. Sebagai perbandingan, gambaran kondisi rumah lainnya yaitu Pak Dr (bukan seorang penderita kusta). Rumahnya berukuran 4x5 m yang dihuni oleh 4 orang dengan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan rumah keluarga Mr. Rumah tanpa sekat untuk setiap fungsi ruangan, terdapat satu sisi sekat berupa spanduk plastik yang memisahkan ruang tamu dengan kamar tidur. Ruang tamu menyambung ke belakang dengan dapur, dan kamar tidur tepat di sebelah ruang dapur. Ruang tidur juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat keperluan melaut, seperti selang untuk menyelam dan solar. Dinding depan menggunakan papan dan bagian dinding lainnya sebagian memanfaatkan terpal, atap dengan daun nipa dan lantai adalah semen. Rumah mulai ditempati selama beberapa bulan lalu, sebelumnya keluarga ini tinggal berpindah dengan orang tua, salah satunya adalah ibu Na (52 tahun). Udara dan cahaya dapat dengan mudah masuk pada sela dinding papan dan pertemuan antara dinding dengan atap yang tidak berplafon. Barang-barang dalam rumah tertata tidak rapi, tergeletak begitu saja, seperti mainan, terdapat sampah di lantai, sampah plastik atau sisa makan yang terhambur. Satu tempat tidur berupa kasur tipis dengan alas karpet plastik di lantai digunakan untuk semua anggota rumah tangga yang berjumlah 4 orang. Rumah tidak memiliki kakus dan buang air besar biasanya dilakukan di pinggir laut, tepat di belakang rumah.

277

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Rumah Tampak Depan

Ruang Tamu

Dapur

Kamar Tidur Gambar 4. 7. Kondisi Rumah Seorang Warga Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Lingkungan sekitar rumah yang tidak bersih sangat mudah dijumpai di sekitar rumah warga, sekitar pantai atau jalanan desa. Tidak terdapat penampungan khusus untuk sampah rumah tangga. Sampah biasanya di buang ke laut, terserak begitu saja di sekitar lingkungan tempat tinggal atau sumur yang sudah tidak digunakan. Hewan peliharaan (seperti kambing, ayam) yang dibiarkan berkeliaran secara bebas juga menyebabkan lingkungan sekitar tempat tinggal menjadi kotor, termasuk di teras rumah atau terkadang masuk ke dalam rumah. Umumnya warga memiliki kebiasaan bertelanjang kaki selama masih dalam wilayah Desa Sulaho. Selain itu, umumnya warga memiliki kebiasaan buang air besar tanpa menggunakan kakus, tetapi di pinggir laut. Beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku kebersihan individu dan masyarakat cenderung masih rendah.

278

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

4.7. Kebiasaan Pemenuhan Gizi Keluarga Kualitas makanan yang dikonsumsi adalah kebutuhan mutlak dalam menjaga kesehatan tubuh. Asupan makanan yang bergizi dapat menjadi sumber daya tahan tubuh untuk melawan bibit penyakit, termasuk kuman kusta. Keluarga di Sulaho tidak memiliki kebiasaan memasak jenis/menu makanan tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi keluarga, termasuk anak-anak. Ikan, sebagai hasil tangkapan menjadi menu makanan sehari-hari. Sayur yang biasa dikonsumsi adalah jenis sayur tahan lama, seperti kol, terong, kacang panjang, jagung, labu dan sayur sejenisnya. Sebagian keluarga ada yang tidak mengonsumsi sayur setiap hari karena ada tidaknya sayur tergantung pada hari pasar, sayur biasanya disubstitusi dengan mi siram atau ketika tidak ada bahan makanan yang bisa diolah, maka hanya makan nasi saja. Anak umumnya dapat membeli aneka snack/jajanan tanpa larangan orang tua, seperti mi instan yang dikonsumsi mentah. Keluarga di desa ini, termasuk anak-anak umumnya tidak memiliki jadwal rutin untuk makan, terutama pada pagi hari. Orang tua tidak terbiasa mencari anaknya untuk makan meski anak tidak makan sepanjang hari. Kebiasaan-kebiasaan tersebut menunjukkan bahwa jenis makanan yang dikonsumsi dan asupan gizi tidak menjadi perhatian masyarakat dalam pola makan sehari-hari. Kebiasaan atas perilaku kebersihan individu yang masih rendah menyebabkan lingkungan tempat tinggal tidak sehat. Kedekatan antar orang Sulaho terjadi dalam lingkungan yang tidak sehat pula. Kondisi demikian yang terjadi secara terus menerus dapat berpengaruh terhadap muncul serta penularan penyakit. Hal ini sesuai dengan pendapat L. Blum (dalam Momon Sudarma, 2009) yang menyatakan bahwa faktor perilaku, sebesar 30% memberikan kontribusi terhadap timbulnya morbiditas atau 279

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

mortalitas dalam masyarakat. Penyakit kusta yang ada di Sulaho dan penyuluhan tenaga kesehatan untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan sebagai upaya pencegahan penularan dan menurunkan angka morbiditas, belum mendapatkan respon yang baik oleh penderita dan keluarga. Perilaku sehari-hari masyarakat adalah kebiasaan yang sudah terjadi sejak lama dan tidak mudah untuk diubah, sehingga kusta baru masih terus terjadi. Perilaku masyarakat Sulaho yang tidak mempedulikan kebersihan diri dan lingkungan, sementara warga memiliki ikatan kekeluargaan dan kekerabatan yang erat menjadi faktor yang berperan dalam melanggengkan mata rantai kusta di Sulaho. 4.8. Dansihitang: Kedekatan Orang Sulaho Konsep dansihitang yang berarti keluargaku yaitu tujuh turunan ke atas dan ke bawah dari ego adalah keluarga, menjadikan hubungan orang dan rumah tangga di Sulaho terjalin erat. Tim peneliti seringkali mendengarkan pernyataan orangorang di desa ini bahwa semua orang di Desa Sulaho adalah keluarga/saudara. Pernikahan yang terjadi pada masa lalu bersifat endogami, antar sepupu sekali atau dua kali yang samasama berasal dari desa Sulaho. Fakta tersebut menjadikan hubungan kekeluargaan/ kekerabatan yang terjalin semakin erat. Wilayah desa yang tidak luas dan jarak rumah saling berdekatan membuat sangat mudah untuk dapat saling berkunjung dan bertemu setiap saat/setiap hari. Terjadi intensitas hubungan dan kontak sosial yang tinggi pada warga masyarakat. Anak-anak memiliki kebiasaan berbagi dan makan bersama di sekolah maupun ketika bermain, begitu juga dengan orang tua yang memiliki kebiasaan berbagi makanan dengan orang-orang di sekitarnya. Ada kebiasaan masyarakat juga bahwa seseorang dapat makan di rumah orang lain dengan

280

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

mudah. Kebiasaan ini merupakan hal yang sangat lumrah, mengingat mereka masih merupakan satu keluarga. Sejarah perkawinan endogami yang terjadi pada masa lalu menjadi akar persaudaraan masyarakat Sulaho, membuktikan bahwa masyarakat adalah satu rumpun dan memiliki nenek moyang yang sama. Interaksi dan komunikasi yang terjadi menyebabkan adanya kebiasaan utuk sekedar minum atau makan di rumah yang dikunjungi tanpa pertimbangan adanya penyakit atau semacamnya, termasuk penyakit kusta, meskipun mereka mengetahui jika kerabatnya menderita penyakit menular yang disebut kakambah (bengkak-bengkak), kasuwiang tanah (cacar yang berwarna hitam) atau kusta. Mereka menikmati keseharian mereka yang terbalut dalam keakraban setiap harinya dengan cara seperti itu. Sebuah bagian kebiasaan hidup masyarakat dalam wilayah kecil dari masa ke masa, dari generasi ke generasi secara turun temurun. Salah satu kebiasaan berbagi melalui acara berkumpul dan makan bersama adalah acara mattinja’ yang berarti menggugurkan niat. Seseorang biasanya bermattinja’ dengan cara memasak makanan tertentu seperti memotong ayam atau ikan sesuai niat sebelumnya. Semua keluarga/kerabat diundang untuk makan, selain itu makanan dibagikan kepada saudara dekat dan dukun/sanro yang telah mendoakan dengan menggunakan panci pemilik rumah. Berdasarkan observasi tim peneliti, antar anggota rumah tangga dan kerabat dapat saling bertukar pakaian yang digunakan sehari-hari dengan mudah. Pakaian yang dipakai ibu, bisa digunakan oleh anak, adik, adik ipar, keponakan dan keluarga atau kerabat dekat lainnya. Meskipun anggota keluarga mengetahui pemilik baju memiliki penyakit seperti kusta, mereka tidak memiliki rasa takut untuk sering memakai baju tersebut jika menginginkan/menyukainya karena menganggap penyakit tersebut tidak menular. Begitu juga

281

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dengan kebiasaan sehari-hari seperti tidur, makan dan kegiatan lainnya seringkali dilakukan secara bersama. Hal ini seperti diungkapkan oleh Im (18 tahun) mantan penderita kusta pada tahun 2006, sebagai berikut: “...Saya dipindahi, dari “Ris” dulu saya makan satu piring, tidur, sudah kaya saudara...sering-sering main sama, bermalam di rumah...teman dekat, kan bilangnya bukan orang lain di sini, keluarga...samasama terus” (Im, 18 tahun) Anak-anak yang memiliki jalinan pertemanan baik biasanya juga senang menginap dan melakukan bermacam kegiatan sehari-hari secara bersama. Seperti diungkapkan oleh informan Im (18 tahun), bahwa penularan penyakit kusta dapat terjadi apabila sering bergaul dengan penderita. Melakukan aktivitas makan sepiring berdua dengan penderita kusta dianggap dapat menularkan penyakit kusta. Hal ini sesuai dengan pengakuan Im bahwa ia terkena kusta yang berasal dari teman dekatnya Ris (19 tahun) karena sering menghabiskan waktu bersama seperti bermain sepanjang waktu, makan satu piring berdua dan tidur bersama. Akses ke luar wilayah yang umumnya menggunakan transportasi perahu, membuat mobilitas fisik warga Sulaho terbatas. Tidak setiap hari mereka meninggalkan desa, biasanya mereka pergi ketika hari pasar untuk menjual ikan/berbelanja kebutuhan pokok sehari-hari. Hal ini membuat warga memiliki lebih banyak waktu berada dalam lingkungan desa dan menjalin hubungan dengan warga desa. Jalur penularan penyakit menular, seperti kusta sangat potensial terjadi melalui riwayat kontak erat dan lama. Gambaran tersebut tampak dalam interaksi antar sesama warga desa Sulaho sehari-hari tanpa memperhatikan kemungkinan penularan penyakit dari penderita kepada orang lain.

282

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

4.9. Health Seeking Behaviour Kakambah Pengobatan yang dilakukan dapat memutus mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan (P2PL, Kemenkes, 2012). Penderita kusta tidak mau jika dikatakan menderita kusta, walau sebenarnya mereka sendiri sudah tahu bahwa mereka menderita kusta. Sampai saat ini penyakit kusta masih ditakuti oleh sebagian besar masyarakat. Keadaan ini terjadi karena pengetahuan yang kurang, pengertian yang salah, dan kepercayaan yang keliru tentang penyakit kusta dan kecacatan yang ditimbulkannya sehingga menimbulkan stigma terhadap penderita kusta. Menderita penyakit kusta terkesan memalukan. Terdapat sanro yang terbiasa mengobati penyakit jenis tersebut. Ia menyebut penyakit itu dikarenakan karena pengaruh guna-guna. Sanro memang umumnya menjadi pilihan favorit warga desa ketika mengalami sakit, seperti halnya kakambah sebelum akhirnya memeriksakan diri ke tenaga kesehatan. Masyarakat setempat meyakini bahwa penyakit yang muncul dalam tubuhnya dapat terbagi menjadi dua macam penyakit, yaitu jenis penyakit yang hanya dapat disembuhkan oleh sanro kampong dan jenis penyakit yang hanya dapat disembuhkan oleh tenaga kesehatan/dokter. Adanya kepercayaan penyebab kusta akibat guna-guna menjadi salah satu alasan mereka memilih pergi ke sanro, daripada ke tenaga kesehatan. Selain itu kepercayaan terhadap sanro telah ada sejak masa lampau. Kasus kusta yang terjadi di Sulaho menunjukkan adanya pengetahuan dan pandangan yang keliru tentang kusta sehingga terjadi keterlambatan pengobatan. Sejalan dengan penelitian Singh (2013) menunjukkan bahwa banyak pasien kusta awalnya berkonsultasi kepada dukun untuk pengobatan gejala mereka 283

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

yang mengakibatkan penundaan panjang sebelum diagnosis yang benar ditegakkan. Tidak semua sanro memiliki kemampuan untuk mengobati penyakit kakambah. Terdapat satu sanro kampong di desa ini yang pernah mengobati beberapa kasus penyakit kusta. Ada pula sanro yang takut jika penyakit kusta yang dialami penderita akan mengenai dirinya, sehingga tidak mau mengobati. Masyarakat masih memiliki kepercayaan yang tinggi kepada sanro. Seseorang yang tidak dikenal sebagai sanro tetapi diketahui memiliki kemampuan untuk mengobati penyakit atau sakit tertentu bisa dimintai pertolongan. Masyarakat yang sakit dapat dipastikan berobat ke sanro terlebih dahulu. Meskipun hanya demam, sakit perut dan sakit kepala, banyak diantara mereka yang meminta air jappi-jappi kepada sanro. Kemampuan sanro untuk mengobati dengan air jappi-jappi sekaligus memanfaatkan dedaunan/ tanaman tradisional membuat masyarakat memilih berobat ke sanro. Prinsip sanro adalah mengobati semua penyakit dengan bahan alam disertai doa kepada Tuhan. Ada anggapan bahwa air yang digunakan untuk jappi-jappi sebaiknya air mentah dan dingin dari sumur agar doa sanro manjur. Kepercayaan masyarakat terhadap sanro selama ini sudah mengakar dan turun temurun. Sanro merupakan penyembuh yang telah mereka kenal sejak lama sebelum petugas kesehatan menjamah desa terpencil ini. Tahap awal pencarian pengobatan sebelum ke dokter/Puskesmas adalah pergi ke pengobatan kampung seperti sanro. Pada saat penyakit kakambah sudah parah seperti benjol, bengkak, mati rasa atau luka berair, barulah penderita dibawa ke pusat pelayanan kesehatan. Kepercayaan masyarakat tentang penyakit yang sulit disembuhkan dengan obat biasa secara medis dianggap sebagai penyakit luar biasa yaitu dianggap berasal dari mahkluk halus atau karena terkena guna-guna. Oleh karena itu salah satu alternatif pengobatan yang

284

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

ditempuh adalah dengan pengobatan tradisional yang dilakukan sanro. Pengobatan kampung tetap dipercaya meski pengobatan medis telah dikenal masyarakat karena upaya pengobatan tersebut dibangun atas dasar kepercayaan dan keyakinan terhadap kemampuan sanro. Kesulitan transportasi darat menuju pusat pelayanan kesehatan terdekat atau Puskesmas dan petugas kesehatan yang tidak tinggal di Bakesra secara kontinyu membuat banyak warga memilih berobat ke sanro. Ritual upaya penyembuhan yang dilakukan oleh sanro adalah: Menjilat bagian tubuh penderita yang sakit, seperti berair atau bernanah, benjol, luka atau merasakan panas; proses penjilatan dilakukan dari atas ke bawah agar nanah tidak terhisap oleh sanro karena sanro harus segera meludahkan nanah. “Luka luka ibu badan, lalu saya jilati bu. Klo pergi meludah, nanah diludah… Ee yang semua badan luka dijilat” (Ja, 49 tahun) “Dijilat di tangannya yang bengkak…” (Rn, 29 tahun) “Karena nda bole, tida ada yang mau meluda nae bu, pastiki dia kena kalo meludaki nae, pasti turun kembali”(Ja, 49 tahun)

Membuatkan air jappi-jappi yang telah didoakan, karena tanpa doa air jappi-jappi tersebut tidak dapat diminum oleh penderita; doa dimintakan kepada Tuhan melalui Nabi Muhammad karena Tuhan yang memberikan penyakit. “Airji saya bikinkan…ya didoa-doakan…nda bisa diminum klo tidak ada doa-doanya…kita minta tolong dari Tuhan dengan Nabi Muhammad, kita yang membikin ini Tuhan yang jadikan… baru minum” (Ja, 49 tahun) “Dibikinkan air dikasih pisau tajam di aire” (Rn, 29 tahun)

285

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Menyapukan sisa air jappi-jappi yang telah diminum pada badan penderita; pada saat penderita merasakan panas, air jappi-jappi dapat disapukan untuk mengurangi rasa panas. “Baru disuruh sapukang…sapukang badang, semua badang” (Ja, 49 tahun)

Membuat bedak untuk dibalurkan/ditempelkan pada tubuh penderita; Bedak dapat dibuat dari kemiri dan kunyit yang ditumbuk dengan batu atau daun pakecce yang diremas terlebih dahulu yang dicampur dengan kapur. Proses pemberian bedak ini sesuai dengan kebutuhan dan atas keputusan sanro. “Dibikinkan air lagi dengan apa namanya pabbedda, kemiri, kunyit…apa pi itu…leko’…diapa namanya..ditelu’” (Ja, 49 tahun) “dikasih daun-daun itu yang diremas-remas lalu dipakai kapur untuk ditempel di badannya. Tapi tidak sembuh , jadi dibawa ke rumah sakit. Orang tua itu mungkin mati kalau tidak dibawa rumah sakit” (Nu, 31 tahun)

Memandikan penderita dengan menggunakan kain putih/kaci; Hal ini dilakukan agar penyakit yang dianggap telah hilang dari penderita tidak kembali lagi bahkan dapat mengenai sanro yang telah mengobati. “Pertamanya ibu kerna sakit..dijilat, baru dibikingkan air, jadi waktunya ketiga hari sa pelajari, kan termasuk sembu merami kulit to merami isi semua, ee mera tapi binti-binti hitam badan, itu..jadi sa bikinkang air suru mandi..itu…Iya untuk mandi , karna itu penyakit bu jangang kembali , apa’ ki kalo tidak begitu bu, biasa yang kita dukung yang kena, bukang kalo kua’ itu..” (Ja, 49 tahun)

286

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

“Dukun J itu diobatinya pakai air, air untuk mandi juga itu, mandikannya pakai kain putih…”(Nu, 31 tahun) “Sudah malam jumat simpan air di dalam 1 ember besar, dia kasih mandi kak, uang 50 1, ayam 1, kain putih 1 meter, itu kak dia mandi tidak kembali lagi, tidak pernah kembali mi, itu pak j kalo ada orang mau mati, bukan ajalnya to” (Nu, 70 tahun)

Membuatkan air jappi-jappi untuk diminum dan mandi; “Yang kedua baru di doakan lagi abis air didoakan, kan 3 kali sa bikinkan air, terahir yang besar tempat air baru kasi mandi sendiri, gitu” (Ja, 49 tahun)

Penderita mandi sendiri dengan air yang telah dijappi-jappi oleh sanro; Beberapa penderita diantaranya merasa tidak terdapat perubahan sehingga berobat secara sukarela ke Puskesmas. Saat pertama kali memeriksakan diri ke Puskesmas, sebagian penderita telah menunjukkan gejala klinis berupa bengkak, benjolan dan ada bagian tubuh yang mati rasa selain muncul bercak-bercak khas pada tubuh sebagai petanda awal penyakit kusta. Berdasarkan temuan Suci Rachmawati (2012), pengobatan menggunakan ramuan tradisional untuk mengobati penyakit kusta dilakukan menggunakan umbi bidara upas, daun ekor kucing, biji jarak wulung, daun jarak pagar, namun, pengobatan tradisional yang tak kunjung menunjukkan hasil dikarenakan reaksinya yang lambat membuat masyarakat memilih pengobatan medis. Seperti halnya, Tantut Sutanto (2010) yang menemukan bahwa penderita kusta menggunakan suatu ramuan yang akan dikompreskan atau diminumkan sebagai jamu, pemijatan pada daerah yang sakit dan pembelian obat dari warung dan pengobatan tradisional atas anjuran orang tua atau

287

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

masyarakat mengupayakan kesembuhan berbau mistis dan budaya seperti dukun/kyai dengan ramuan/minuman. Edy Warsan (2014) juga menemukan pengobatan penyakit kusta dengan cara ″metappung″ (pengobatan bedak yang dibuat oleh dukun). Menurut Kurt Lewin (dalam Momon Sudarma, 2009), seseorang yang bertindak untuk melawan atau mengatasi penyakit, melibatkan 4 macam variabel di dalamnya, yaitu: Kerentanan yang dirasakan (perceived suspectibility) Suatu tindakan akan ditunjukkan individu bila dirinya atau keluarganya sudah menunjukkan persepsi yang sama mengenai status gejala yang dirasakannya dan dia mengkategorikan bahwa dirinya dan keluarga atau lingkungannya rentan terhadap satu penyakit. Dalam hal ini tidak semua anggota masyarakat Desa Sulaho memahami bahwa diri mereka rentan terhadap penyakit kusta karena diantara keluarga, kerabat atau tetangga dekat ada yang menderita penyakit tersebut. Ada anggapan bahwa penyakit tersebut tidak menular dan berbahaya.

Keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness) Persepsi mengenai kerentanan ini dipengaruhi pula oleh persepsi mengenai tingkat keparahan atau kesungguhan suatu penyakit. Anggapan bahwa penyakit yang parah adalah kondisi dimana seseorang tidak dapat bergerak atau melakukan aktivitas sehari-hari dan tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, membuat kemauan memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan menjadi terlambat. Beberapa kasus yang tim peneliti temui, mereka memeriksakan diri setelah muncul gejala klinis yang cukup parah karena apa yang dialami

288

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

membuat malu untuk berinteraksi dengan orang lain selain keluarga. Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (perceived benefits and barriers) Usaha mencari dan mengatasi penyakit tersebut diperkuat dengan adanya persepsi akan manfaat yang didapat dari usaha tersebut, sehingga individu mau untuk menghadapi rintanganrintangan yang ada. Pertolongan pertama yang dilakukan untuk mengobati penyakit kusta biasanya adalah sanro. Kepercayaan masyarakat terhadap sanro untuk memberikan pengobatan masih tinggi. Masyarakat umumnya juga memiliki kepercayaan bahwa pengobatan yang dilakukan dengan menggunakan air jappi-jappi manjur untuk menyembuhkan sakit. Hal ini menyebabkan keterlambatan penanganan terhadap kusta yang dialami seseorang. Isyarat atau tanda-tanda (clues) Tindakan individu akan lebih dirasakan tepat adanya bila dia mendapat dukungan lain dari sisi eksternal, misalnya informasi dari media massa, keluarga, pesan dan nasihat orang lain dan sebagainya. Pengobatan yang diupayakan umumnya melibatkan keluarga dan kerabat. Pemilihan sanro sebagai rujukan utama adalah keputusan yang diambil oleh penderita, dengan dukungan keluarga. Masyarakat memiliki pandangan sendiri terhadap penyakit, salah satunya berkaitan dengan adanya pantangan yang harus dihindari agar penyakit yang dialami tidak bertambah parah. Masyarakat mengetahui bahwa penyakit kusta dapat menular di antaranya adalah melalui makanan yang dibuat oleh penderita kusta, makan dengan menggunakan bekas makan

289

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

penderita meski telah dicuci bersih, menempati tempat duduk bekas penderita kusta, berdekatan dan berhadapan sehingga melalui nafasnya diduga dapat menjadi media penularan penyakit kusta. “Ya itu umpama ada makanannya, kasih kik baru dimakan, garam, garam nggak boleh dimakan, itu tempat duduknya juga tidak boleh diduduki, kan hawa panasnya itu, kan kalo ada orang duduk di kursi baru kita duduk di situ kan panas, ya begitu mi, jadi hawanya itu menular sama kita, kalau kita di sebelahnya berdiri, nafasnya, kita juga nggak boleh berhadapan dekat itu nafasnya” (Ec, 41 tahun) “Karena itu biasa kalo kita makan umpama itu pake apa namanya itu e tempat makan mamak’nya baru kita ambil biar dicuci…pasti atau tempat duduknya kita tempati…” (Ja, 49 tahun)

Selain itu, meminta garam dari rumah penderita kusta juga diketahui dapat menularkan penyakit kusta, karena sifat garam yang mudah meleleh diasumsikan bahwa penyakitnya pun ikut meleleh dalam garam tersebut. Penyebab lain yang dipercaya oleh mantan penderita kusta adalah adanya rasa jijik terhadap makanan yang dimakan oleh penderita kusta, dapat menyebabkan tertular penyakit tersebut. Seorang mantan penderita yang merasa tertular penyakit kusta dari kakaknya mengungkapkan hal tersebut. “karena waktu itu memang saya jijik sama kakak, bukan jijik dari kulitnya bukan, dari makanannya karena bilangnya orang, kalo kita makan makanannya kita alergi kan kita ketularan, saya sering larang anak makan di situ tapi anak tidak mendengar akhirnya saya juga kena batunya, makanya itu saya mohon kalo ada orang memang kena begitu jangan jijik makan makanannya

290

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

apabila kita jijik makan makanannya Alhamdulillah cepat atau lambat kena, karena saya juga gitu karena saya jijik makan makanannya ira, saya jijik pokoknya, tapi saya kena, disitulah saya contoh betul untuk saya (Ha, 45 tahun)

Pantangan bagi penderita berlaku untuk mengonsumsi makanan tertentu, yaitu cabai, jeruk dan minyak. Jika makanan jenis tersebut dimakan dapat menyebabkan timbulnya gatalgatal. Selain itu benjolan yang muncul dapat meletus dan terasa seperti ditusuk-tusuk. “Meletus-letus itu penyakitnya kayak ditusuk, itu nggak bisa makan Lombok makan jeruk, minyak” (Rn, 29 tahun)

Selain itu ikan kering juga tidak boleh dikonsumsi karena dapat menyebabkan perih dan gatal pada kulit penderita. Pantangan selain makan adalah penderita tidak boleh melakukan hubungan seksual dikarenakan dapat memperparah penyakitnya dan dapat melahirkan anak yang membawa bibit penyakit kusta. Terdapat pandangan masyarakat bahwa penyakit kusta dapat menular. Penyakit akan selalu berpindah dari satu penderita dalam sebuah keluarga kepada anggota keluarga yang lain jika tidak mengetahui obat untuk penyakit tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini dinilai sebagai penyakit menular. “Pinda mi seumpama di ana’ atau dikaka seumpama ada too banya bersaudara, kalo tida ada tau oba’nya begitumi panda terus, kalo ada yang tau nda bisa pindah” (Ja, 49 tahun)

Ada keluarga yang meyakini bahwa penyakit kusta tidak dapat menular karena selama tinggal bersama salah seorang anggota keluarga yang menderita kusta, tidak ada satupun anggota keluarga lain yang tertular menderita penyakit tersebut.

291

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Kebiasaan yang dilakukan untuk makan bersama, bertukar baju dengan penderita tidak membuat anggota keluarga takut tertular penyakit kusta. “…Tidak menular na kalo seandainya menular na kena semua satu rumah, seandainyamenular kena mi kik yang di sini… lama tinggal di sini nggak menular juga, baku makan ka juga, sering-sering ganti baju juga, kalo kering saya lagi pakai…” (Rn, 29 tahun)

Kusta dalam lingkup keluarga, kekerabatan dan pertemanan selalu mengintai kesehatan orang-orang Sulaho. Sesuai dengan temuan penelitian T. Stephen (2014), bahwa 82% anggota keluarga yang terkena kusta tinggal bersama mereka. Sama halnya dengan masyarakat di desa Sulaho, rata-rata mereka juga mengijinkan penderita kusta untuk tinggal bersama dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial secara akrab. Penelitian Stephen (2014) juga menemukan bahwa mayoritas (90%) dari pasien dalam penelitian tersebut berpartisipasi secara bebas dalam fungsi sosial, tetapi 91% dari anggota keluarga mengatakan mereka tidak akan mengambil makanan yang dimasak oleh penderita kusta. Pada masyarakat Sulaho, mereka tetap bisa menerima makanan dan masak bersama dengan penderita kusta. 4.10. Dampak Kakambah: Stigma Kebanyakan penderita dan atau mantan penderita kusta mengabaikan gejala awal kusta. Pencarian pengobatan dilakukan ketika ada tanda yang terlihat menonjol sehingga menimbulkan malu bagi penderita. Pada kebanyakan kasus, penyakit kusta tidak menimbulkan kecacatan ketika penyakit tersebut pertama kali muncul. Kondisi-kondisi yang menyebabkan pada terjadinya kecacatan pada penderita kusta dapat dicegah apabila dilakukan

292

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tindakan pencegahan lebih awal, sebaliknya keterlambatan diagnosis pada penderita kusta dapat meningkatkan tingkat kecacatan. Masyarakat yang menderita kusta cenderung terlambat memeriksakan diri secara sukarela ke fasilitas pelayanan kesehatan. Hal inilah yang menyebabkan keterlambatan dalam penemuan kasus serta pengobatan penyakit kusta. Edward Eremugo (2010), mengatakan beberapa penelitian menemukan bahwa stigma mempengaruhi banyak aspek kehidupan orang-orang yang pernah mengalami kusta termasuk mobilitas, hubungan interpersonal, pernikahan, pekerjaan, kegiatan rekreasi, dan kontribusi dalam fungsi sosial dan keagamaan masyarakat. Menurut Goffman, stigma terbagi menjadi tiga yaitu: (1) yaitu stigma tubuh (seperti noda atau cacat), (2) stigma karakter (misalnya sakit mental atau kriminal), (3) stigma yang terkait dengan kolektivitas sosial (ras atau Etnik), yang semuanya itu merupakan tekanan sosial, budaya dan historis (Jonathan Gabe, 2004).

Gambar 4. 8. Bekas Luka Mantan Penderita Kusta Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Salah satu mantan penderita kusta memiliki bekas luka setelah mengalami kakambah. Bekas sakit kakambah yang dahulu dialami masih dapat terlihat jelas pada kedua kakinya hingga kini. Mantan penderita tersebut mengakui merasa malu dengan bekas luka pada kakinya tersebut sehingga seringkali 293

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

menutupi dengan baju panjangnya ketika bertemu dengan tim peneliti. Penyakit kusta menyebabkan perubahan fisik berupa kecacatan sehingga menimbulkan seorang penderita berusaha menutupi bagian tubuh yang mengalami perubahan semaksimal mungkin karena malu. Hal ini dilakukan oleh salah seorang informan dengan menggunakan bermacam atribut pakaian yang tidak biasa dipakai sehari-hari, seperti baju untuk melaut adiknya dan cadar agar perubahan fisik akibat penyakit kusta tidak terlihat oleh orang lain. “Karena saya malu, makanya saya pake kaos tangan, bekas-bekasnya semua ini mi…kasihan kena penyakit buruk rupa, syukurin semuanya yang penting kita tidak cacat…saya malu perlihatkan muka saya di makasar, kalo ke makasar bukan baju apa saya pake baju lautnya adik untuk menyelam, saya pake pergi ke Makasar, baru pake baju daster juga naik ke Makasar, jadi apa itu bahasanya adik tidak malu naik ke Makasar pake baju pelaut, sedangkan kalo saya jalan di Kolaka di Kendari di Makasar, ini saya pake cadar” (Ha, tahun).

Sebagian besar penderita kusta di Sulaho yang telah berobat diketahui tidak mengambil obatnya sendiri, tetapi diambilkan oleh keluarga atau kerabat karena alasan malu. Seorang mantan penderita kusta menceritakan bahwa dahulu dalam pengobatan dia mengambil sendiri obat di Puskesmas, tetapi dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui orang lain. “Saya sendiri. Tidak pernah titip. Kan kita sembunyi berobatnya nanti kalau orang tahu nanti diejek-ejek e sama orang-orang. Obatnya dari dokter itu aku sembunyikan di dalam baju karena takut dilihat orang kalau dari dokter” (Na, 52)

294

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Malu merupakan reaksi yang ditunjukkan oleh anak Ibu Na, sebut saja Gh (18 tahun) ketika mau diwawancara. Ia bersedia untuk diwawancara pada awalnya. Tim peneliti telah memulai wawancara, tetapi tiba-tiba banyak orang berdatangan. Ia sempat mengatakan bahwa penyakitnya adalah liver. Tim peneliti bermaksud mengganti wawancara pada hari lain dikarenakan suasana tidak cukup nyaman bagi informan untuk menjawab pertanyaan. Tim peneliti terus berusaha menjaga hubungan baik dengan informan tersebut. Kami telah bersepakat untuk bertemu, tetapi tiba-tiba Gh menolak untuk diwawancara. Menurut ibu, Gh malu ditanya tentang penyakit yang dialami. Ketika berobat pertama kali ke Puskesmas, Gh menggunakan kacamata untuk menutupi bengkak pada matanya karena malu. “Sakit lagi Gh itu diantar ke lasusua, bengkak itu matanya Gh, pake kacamata itu dibawa haji ke Puskesmas, malu dia dilihat orang katanya” (Rn, 29 tahun)

Selain itu, ada penderita kusta yang membedaki badan dengan bedak putih yang dibuat dari kemiri dan beras dengan tujuan menutupi warna merah di badan agar tidak terlihat oleh orang lain. “...Selalu ka saya nggak pernah turun-turun di rumah, tapi kalo pergi lihat itu, selalu merah-merah tapi selalu kulihat na bedaki, bedak putih, na baru kulihat diobati kemiri ditumbuk baru simpankan beras” (Ec, 41 tahun)

Anggota keluarga mengatakan bahwa anggota keluarga yang sakit kusta disembunyikan, namun demikian ada anggota masyarakat yang mengetahui tentang penyakit yang dialami oleh penderita. Pengobatan yang dilakukan ke dukun atau ke pusat pelayanan kesehatan disembunyikan dari masyarakat. Pembicaraan orang-orang terhadap seseorang yang memiliki

295

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

anggota keluarga sakit kusta diantaranya adalah menasehati untuk tidak makan bersama karena dapat menular. Penderita malu keluar rumah karena badan benjol-benjol. “Disembunyi pergi ke dukun, ke lasusua, iya, sembunyi kasihan karena malu mi, malu itu masiri, kasihan itu penyakitnya, dibilangin badannya benjol benjol, kakambangan, nggak mau keluar karena diejek-ejek sama orang, itu di badannya benjol-benjol…jangan kau kumpul makan sama dia, menular nanti, seandainya memang mau menular, na kena kak” (Rn, 29 tahun)

Penyakit kusta memberikan dampak luas bagi penderitanya, meliputi kegiatan dan aktivitas sehari-hari penderita termasuk dampak psikologis dan hubungan sosial. Akibat penyakit kusta ini dapat dirasakan oleh penderita kusta maupun keluarganya, seperti perasaan malu dan ketakutan terhadap kemungkinan terjadi kecacatan karena kusta, ketakutan penderita menghadapi tanggapan masyarakat atau upaya untuk menyembunyikan diri. Salah satunya yang terjadi di Sulaho karena diejek oleh orang lain karena kondisi badan yang benjol, mendengar pembicaraan orang bahwa anggota keluarga tidak bisa makan bersama karena menular. Akan tetapi anggota keluarga umumnya menganggap kusta bukan sebagai penyakit menular. “Malu itu masiri, kasihan itu penyakitnya, dibilangin badannya benjol benjol, nggak mau keluar karena diejekejek sama orang, itu di badannya benjol-benjol…jangan kau baku kumpul makan sama dia, menular nanti, seandainya memang mau menular, na kena mi kak” (Rn, 29 tahun)

Menurut Herlizch (dalam Jonathan Gabe, 2004), orang menilai penyakit mereka sebagai penyakit yang bersifat merusak (illness as a destructive), yaitu ketika penyakit yang diderita 296

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

menjadi penghalang bagi seseorang untuk dapat berperan serta dalam masyarakat, karena dikucilkan dari kelompok sosialnya sekaligus menyebabkan terjadinya isolasi sosial pada seseorang sehingga berdampak pada penderita yang tidak mau memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan. 4.11. Tahun 2014, Lagi Kakambah Baru Pada tahun 2014 ditemukan 3 kusta baru, yaitu kusta jenis MB pada seorang anak berusia 10 tahun dan seorang dewasa dan kusta jenis PB pada seorang remaja berusia 14 tahun, 1 orang remaja terduga/suspek kusta berusia 15 tahun dan 1 remaja lainnya berusia 15 tahun memerlukan observasi selama 3-6 bulan untuk menegakkan diagnosis. Umumnya anak-anak di desa ini memiliki bercak pada kulit muka maupun bagian tubuh yang lain. Menurut kepala Puskesmas, munculnya tanda bercak itu dipengaruhi oleh kebiasaan mandi air asin dan faktor lingkungan tempat tinggal yang tidak bersih. Tidak semua bercak merupakan pertanda awal seseorang menderita kusta. Pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter Puskesmas selama ini dengan memeriksa apakah bercak pada kulit mengalami mati rasa atau tidak. Selain itu biasanya bercak sebagai petanda penyakit kusta cenderung bersifat khas. Penentuan diagnosis kusta biasanya dilakukan terhadap bercak khas yang muncul pada bagian tubuh seseorang. Gejala klinis penyakit kusta, dapat dikenali melalui warna ataupun bentuk bercak yang muncul. Tim peneliti meyakini bahwa di antara ratusan warga Sulaho yang belum pernah diperiksa atau memeriksakan diri secara sukarela ke Puskesmas, ada penderita kusta. Saat Puskesmas melaksanakan kegiatan Posyandu per triwulan yang sempat dilaksanakan pada akhir bulan Juni 2014, tim peneliti dengan petugas berusaha mengkondisikan anak-anak

297

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

yang dicurigai memiliki tanda penyakit kusta agar mau diperiksa. Mereka berlarian dan memilih main petak umpet dengan petugas kesehatan karena takut disuntik, sehingga upaya tersebut sulit dilaksanakan. Mereka beranggapan bahwa tenaga kesehatan yang datang akan menyuntik. “kalo ada bercak putih dik, periksa”, ucapan ramah seorang tenaga kesehatan pada beberapa orang yang tengah berkerumun di sebuah gardu sembari menenteng cool box berisi vaksin imunisasi. Pasca kegiatan Posyandu, tim peneliti menawari beberapa orang dengan bercak di tubuhnya agar diperiksa di Puskesmas. Dua di antaranya mengurungkan niat untuk berangkat pada hari pemeriksaan meskipun sebelumnya telah menyatakan bersedia, satu orang lagi tengah bepergian jauh sehingga tidak dapat dihubungi lebih lanjut dan tiga orang, yang semuanya duduk di bangku SMP bersedia secara sukarela untuk melakukan pemeriksaan di Puskesmas termasuk remaja yang menolak diperiksa saat Posyandu dilaksanakan. Tim peneliti mengikuti anak-anak remaja tersebut memeriksakan diri di Puskesmas pada 1 Juli 2014. Proses pemeriksaan akan dimulai. Ketiganya berada dalam satu ruangan. Pintu terbuka dan mereka tampak berbisik-bisik. Mereka ternyata malu ketika diperiksa banyak orang yang tidak dikenal di sekitar mereka. Pintu ruangan periksa ditutup. Satu di antara mereka disuruh duduk untuk diperiksa oleh dokter. Mereka saling memandang seolah enggan menjadi pasien pertama untuk dilihat tanda-tanda yang nampak pada tubuh mereka. Akhirnya satu diantaranya duduk, ia memiliki sebuah bercak agak besar pada pipi sebelah kanan dengan warna cenderung kemerahan. Secuil kapas dipelintir sedemikian rupa sehingga runcing pada bagian ujung yang nantinya akan disentuhkan ke kulit dan memberikan sapuan-sapuan dengan penekanan tertentu pada kulit. Kapas itu dipegang oleh dokter

298

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dan ia memulai menyapu pada bagian bercak yang terlihat, ia juga menyapu area kulit di sekitar bercak untuk mengetahui perbedaan kemampuan saraf kulit merasakan adanya rangsangan sentuhan. “Ini dirasa atau tidak”, tanya dokter ketika memulai menyapu kapas pada bagian bercak. “Mana lebih dirasa yang pertama atau yang kedua”, tanya kembali dokter sembari menyapu pada bagian bercak dan bagian lain tak jauh dari area bercak. Dokter memeriksa dengan cara tersebut secara berulangulang untuk memastikan konsistensi jawaban. Dalam ingatannya, bercak itu sudah muncul sejak setahun terakhir. Tanda lain terdapat pada bagian punggung atas dengan bentuk bercak kecil dan pola menggerombol. Kedua lokasi tersebut diperiksa dan dokter menyatakan bahwa anak tersebut positif menderita kusta. Dua anak lainnya saling berbisik dan saling menatap seolah tidak mau mengambil giliran selanjutnya. Salah satu akhirnya mengalah untuk duduk. Ia memiliki bercak pada tiga tempat yang berbeda, yaitu satu bercak berukuran kecil di lengan sebelah kiri, satu bercak berukuran kecil pada bagian perut sebelah kiri dan gerombolan kecil bercak pada bagian pundak sebelah kanan. Anak lainnya memiliki bercak-bercak kecil tersebar pada bagian mukanya. Berkaitan dengan pemeriksaan kasus kusta ini, dokter memanggil salah seorang pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka Utara, sebut saja sebagai wasor yang selama ini memiliki ketrampilan dalam pemeriksaan kusta termasuk dalam pengambilan sampel darah melalui cuping telinga. Wasor melakukan pemeriksaan dan memastikan bahwa satu remaja yang pertama diperiksa menderita kusta jenis PB, kedua, suspek kusta dan ketiga, akan dilakukan observasi lebih lanjut selama 3-6 bulan.

299

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Setelah beberapa hari, ada seorang anggota keluarga informan pulang (Tg, 56 tahun) dari sebuah pulau setelah bekerja. Keluarga ini memiliki tiga orang mantan penderita kusta MB yang terkena pada tahun 2008. Orang tersebut secara sukarela meminta kepada tim peneliti untuk diantar berobat ke Puskesmas. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa orang tersebut menderita kusta MB sesuai dengan riwayat kusta MB yang diderita anggota keluarga sebelumnya. Syamsuar (2012) menemukan bahwa sebagian besar responden (78.4%) berumur 15 tahun atau lebih saat pertama kali terdiagnosa menderita kusta. Sedangkan sisanya 21.6% adalah responden yang berumur kurang dari 15 tahun saat pertama kali terdiagnosa menderita kusta. Faktor umur dalam penelitian Syamsuar (2012) sangat berkaitan dengan sistem imun pada anak yang belum berkembang dengan baik, sehingga kontak sekali saja atau beberapa kali kontak dengan penderita kusta menular yang banyak mengandung bakteri ini mungkin sudah cukup untuk tertular penyakit tersebut. Penemuan kusta baru di Sulaho membuat Kepala Puskesmas terpikir untuk melakukan Rapid Village Survey (RVS) karena kasus terjadi pada anak usia remaja. RVS yang dilakukan juga melibatkan kepala desa untuk membujuk orang-orang agar mau diperiksa. “Kalo di desa sulaho itu kan sudah biasa, ada dua atau tiga kasus. Kalau sudah sampai lima atau lebih itu baru kita lakukan RVS lagi. Kalau kasus yang kemarin itu kan kita temukan di anak-anak jadi memang sudah harus kita rencanakan akan lakukan RVS. Kita harus melibatkan kepala desa dalam hal ini. Kalau kita lakukan RVS sendiri itu kita buang-buang tenaga dan tidak akan berhasil”

RVS bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat, meningkatkan pengetahuan dan

300

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

partisipasi petugas Puskesmas dan ditemukannya kasus baru dalam lingkup kecil atau desa (P2PL, Kemenkes, 2012). Cara pencegahan yang dilakukan oleh pihak Puskesmas dalam rangka penanggulangan kusta selama ini diantaranya melakukan kegiatan penyuluhan. Larangan bergaul dengan penderita kusta adalah hal yang dianggap tidak etis, sehingga upaya yang dilakukan adalah mencegah tingkat morbiditas yang dialami penderita, salah satunya dengan membuat masyarakat mengenali tanda-tanda awal kusta terhadap diri sendiri maupun orang-orang di sekitar mereka. Mereka berpesan kepada orangorang sekitar penderita untuk membawa orang yang memiliki tanda yang sama dengan penderita ke Puskesmas. “Kita cuma penyuluhan saja. Kusta kan beda dengan penyakit lain. Kusta kan tidak tahu pencegahannya seperti apa. Kita kan tidak bisa larang orang bergaul dengan sekitarnya. Yang kita lakukan adalah mencegah agar morbidiitasnya tidak terlalu cepat. Yang penting mengenali tanda-tandanya, atau pesan pada orangorang agar kalau ada yang begini tolong bawa Puskesmas” (Id, 38 tahun)

4.11. Kendala Penanganan Kakambah Kendala yang dihadapi dalam rangka menangani kasus kusta di Desa Sulaho diantaranya adalah transportasi. Akses desa yang dilalui oleh Puskesmas biasanya melalui dusun Lanipa-nipa yang ditempuh melalui jalur darat selama sekitar 45 menit dan dilanjutkan dengan jalur laut kurang lebih selama 15 menit untuk melakukan kunjungan. Selain itu, respon masyarakat di desa Sulaho terhadap tenaga kesehatan berbeda dengan masyarakat lainnya yang kooperatif. Biasanya tenaga kesehatan yang harus mengejar pasien ketika melakukan pelayanan pengobatan. Tidak

301

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

banyak masyarakat yang mau berobat secara sukarela ke Bakesra saat dilakukan Posyandu dan pengobatan umum. Kondisi demikian telah menjadi sebuah kebiasaan yang lumrah. “Respon mereka kurang. Kadang kita kejar mereka, malah mereka lari. Ditelfon, dicari juga tidak ada. Padahal mereka tidak tahu kalau mereka juga sumber penularan. Kalau yang di luar sulaho itu malah bagus, mereka datang sendiri. Terus mereka juga bagus responnya kalau dimintai tolong jika melihat ada orang yang begini begini. Mereka juga konsultasi reaksi obatnya” (Id, 38 tahun)

Berkaitan dengan adanya kasus kusta, Puskemas Lasusua telah melakukan kegiatan penyuluhan yang dilakukan baik secara formal maupun informal. Penyuluhan disampaikan saat dilakukan kunjungan tri wulan, dalam rangka kegiatan Posyandu dan pengobatan umum ke Desa Sulaho. “Kita cuma penyuluhan saja. Kusta kan beda dengan penyakit lain. Kusta kan tidak tahu pencegahannya seperti apa. Kita kan tidak bisa larang orang bergaul dengan sekitarnya. Yang kita lakukan adalah mencegah agar mordifitasnya tidak terlalu cepat. Yang penting mengenali tanda-tandanya, atau pesan pada orangorang agar kalau ada yang begini tolong bawa Puskesmas”(Id, 38 tahun)

Hal ini tampaknya belum memberikan pengaruh yang signifikan dalam memutus mata rantai kusta di Sulaho, mengingat masih terus ditemukan kasus baru. Hal senada juga disampaikan oleh petugas kesehatan Puskesmas Lasusua yang telah memiliki pengalaman menghadapi masyarakat desa setempat yang seringkali tidak mau diperiksa.

302

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

“Mau bagaimana kalau pasiennya yang tidak mau. Kabur. Itu pasien yang tidak mau diperiksa? Masuk dirumahnya, ndak mau. Dia tutup pintu (Cn, 27 tahun)

Salah satu upaya yang dilakukan agar penderita meminum obat secara tuntas adalah memberitahu penyakit yang diderita. Penderita tidak diberitahukan penyebab terjadinya penyakit tersebut, dengan maksud untuk menghindari terjadinya hubungan yang tidak baik dalam keluarga. Penderita diberitahukan bahwa obat harus diminum secara teratur untuk menjamin kesembuhan. Pesan lain yang diberikan kepada penderita dan keluarga adalah menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat tinggal. “Ndak dijelaskan ji penyebabnya karena jangan sampai dia tidak mau lagi berhubungan sama keluarganya gara gara dia baru tertularmi keluarganya. cuma dikasih tau ini, ini penyakit penyakit kusta, terus obatnya ini, harus teratur minum obat, percuma diminum sama ini ibu kalau ndak teratur pasti kan untuk sembuh ki lama, kalau ndak teratur minum obat, itu ji saja dijelaskan” (Cn, 27 tahun).

Selain akses dan transportasi yang relatif sulit, masyarakat yang kurang merespon pengobatan dari tenaga kesehatan, penyuluhan yang tidak membuahkan hasil optimal, kendala lain yang dihadapi dalam rangka penanganan kakambah adalah personnal hygiene, PHBS tingkat RT dan masyarakat yang masih rendah, penularan kusta terjadi dalam lingkup persaudaraan yang erat serta pemahaman masyarakat yang keliru mengenai sebab, akibat dan pencegahan kakambah.

303

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

304

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan Sulaho adalah sebuah desa terisolir yang secara geografis diapit oleh pegunungan dihuni oleh Etnik Bajo (68.64%) dan sisanya adalah Etnik Bugis, campuran Etnik Bajo-Bugis dan Etnik lainnya. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Bugis, Bugis-Indonesia, sedangkan bahasa Bajo hanya digunakan penduduk usia tua. Kebudayaan Etnik Bajo sudah tidak nampak menonjol karena telah berbaur dengan budaya Bugis. Transportasi utama yang digunakan masyarakat setempat adalah perahu, dengan waktu tempuh sekitar 45 menit dari desa ke Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara. Pendidikan masyarakat Etnik Bajo di Sulaho banyak anak putus sekolah/tidak sekolah, pergaulan muda mudi yang menyebabkan kasus hamil di luar nikah pada usia sekolah, terutama SMP sejak tahun 2011. Orang tua kurang mengawasi pergaulan remaja, telepon seluler dan alat komunikasi yang sudah dimiliki sebagian masyarakat dan remaja digunakan untuk mengakese film porno. Tidak ada sanksi bagi pelaku kasus hamil di luar nikah adalah situasi yang dijumpai saat penelitian di desa Sulaho. Remaja laki-laki memiliki kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol yang dibuat dari minuman bersoda dicampur minuman kemasan kuku bima atau tuak lokal (balok).

305

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Mata pencaharian terbanyak adalah sebagai nelayan. Sejak larangan menggunakan bom ikan (April 2014) penghasilan masyarakat dari hasil laut berkurang. Peralatan yang digunakan untuk mencari teripang adalah respirator (dagor), selang dan kompresor yang digunakan sebagai alat bantu pernafasan ketika menyelam. Air bersih diperoleh terutama dari sumur gali milik keluarga atau umum. Penggunaan air mentah sebagai air minum yang berasal dari sumur gali umumnya sangat diminati dengan anggapan air mentah segar, enak dan dingin. Kebiasaan cuci tangan dengan sabun jarang dilakukan dan kebiasaan buang air besar (BAB) tidak di jamban tetapi dengan cara menggali lubang pasir di pantai dan kemudian menimbunnya telah mencemari pasir dan udara di sekitar pantai. Perilaku kesehatan yang kurang baik terlihat dari lingkungan hidup yang kotor, tercemar oleh sampah. Mereka membuang sampah sembarangan sehingga lingkungan desa tampak kotor. Genangan air dalam timbunan botol dan sampah memudahkan perkembangbiakan jentik nyamuk. Penggunaan baju secara bergantian, tidur berdesakdesakan dalam satu kasur, rumah yang pengap dan kotor adalah kebiasaan yang mudah dijumpai. Kepadatan hunian rumah akibat jumlah anggota keluarga yang banyak, kebiasaan hidup menumpang, meminjam dan menggunakan barang bersama, memelihara kebersihan diri yang kurang menjadi cermin kehidupan yang kurang higienis. Ekonomi kurang membatasi konsumsi makanan sehat masyarakat Sulaho. Masyarakat makan sekedarnya dengan lauk terbatas dan tidak memiliki kebiasaan memakan buah dan sayuran setiap hari karena perlu biaya tambahan untuk membelinya lagipula hanya dapat dibeli pada hari pasar. Kebiasaan merokok sangat luas pada hampir semua laki-laki

306

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dewasa dan sebagian anak-anak di atas 10 tahun juga sudah merokok. Mereka merokok di sembarang tempat termasuk dalam rumah dan di dekat bayi dan anak. Umumnya orang dianggap sakit oleh masyarakat Bajo di Sulaho dalam kondisi tubuh sudah tidak bisa bergerak, secara terus menerus berada di atas tempat tidur dan tergantung pada orang lain/keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pribadi. Sementara, seseorang yang dianggap sehat bila masih beraktifitas meskipun mengalami keterbatasan tetapi masih bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Beberapa penyakit yang dianggap berbahaya oleh masyarakat setempat diantaranya adalah penyakit cacar air (kasuwiang) dan kusta (kakambah). Masyarakat memiliki kepercayaan terhadap adanya penyakit yang disebabkan oleh mahkluk halus atau buatan manusia (guna-guna) sehingga harus diobati dengan metode pengobatan kampung oleh dukun atau sanro. Sumber penyakit tersebut diantaranya adalah gandole/kuntilanak (wanita yang meninggal ketika melahirkan), parakang (manusia jadi-jadian yang dapat menghilang), poppok (mahkluk halus yang dapat berubah bentuk menjadi benda-benda di sekitar lingkungan tempat tinggal), muntianak (mahkluk halus yang dapat berasal dari angin dan darat). Dukun atau sanro menjadi rujukan pertama dan utama dalam setiap pengobatan penyakit dengan memanfaatkan air minum yang diberi doa (jappi-jappi) dan ramuan tradisional. Ramuan paling populer dibuat dari bahan Kayu Jawa dengan memanfaatkan kulit batang pohon untuk mengobati luka luar maupun dalam. Jenis tumbuhan lain diantaranya adalah daun cocor bebek (pakkece) untuk mengobati kusta, sakit gigi dan sakit kepala, daun srikaya (sirsak) untuk mengobati nyeri dan sakit pada bagian tubuh.

307

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pemerintah sudah menyediakan Bakesra (Balai Kesejahteraan Rakyat) di Desa Sulaho, tetapi kurang diminati masyarakat. Warga yang datang berobat hanya tertentu saja. Bidan membuka pelayanan hanya 2-3 kali setiap minggu. Pelayanan yang disediakan adalah KIA dan pengobatan kasus sederhana sesuai kewenangan bidan, kasus yang tidak dapat ditangani akan dirujuk ke Puskesmas. Masyarakat menganggap obat-obatan yang disediakan kurang manjur. Persalinan umumnya dilakukan sendiri oleh ibu di rumah dengan alasan malu atau ditolong melahirkan oleh sanro makkiana/dukun. Ibu hamil dan melahirkan tidak memiliki pola rutin untuk memeriksakan diri atau bahkan tidak memeriksakan diri sama sekali ke petugas kesehatan. Dukun biasa menentukan usia kehamilan pada sekitar usia kehamilan 3 bulan. Ibu hamil 6 bulan ke atas, biasanya datang ke dukun untuk diurut dengan tujuan untuk memudahkan pada proses melahirkan. Ditemukan satu kematian ibu pada tahun 2009, dua kematian bayi pada usia kehamilan sekitar 6 bulan pada tahun 2011 dan 2013. Kepercayaan tinggi terhadap sanro makkiana, pola pemeriksaan yang tidak rutin ke bidan, malu melahirkan ke tenaga kesehatan/bidan atau konsumsi makanan/obat tertentu yang dapat mempengaruhi kondisi janin adalah potret masalah kesehatan ibu dan anak di Sulaho. Perawatan bayi berupa penimbangan bayi dan balita biasanya dilakukan dalam jangka waktu triwulan oleh petugas Puskesmas yang membuka pelayanan Posyandu di desa. Berkaitan dengan penyakit tidak menular ditemukan kasus seperti Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI), stroke, hipertensi dan penyakit akibat kecelakaan kerja. Penyait menular yang dapat ditemui adalah diare, ISPA, kusta dan TBC. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang kurang baik pada masyarakat

308

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Sulaho menyebabkan mudahnya bibit penyakit menular berkembang, termasuk termasuk kusta (kakambah). Kusta menjadi masalah karena kecacatan yang ditimbulkan menyebabkan timbul stigma di masyarakat. Kusta dimulai dari kehadiran penduduk dari Bulukumba, Sulawesi Selatan pada tahun 1970-an, dan menularkan pada penduduk lokal setelah kasus ditemukan pada tahun 1990-an. Masyarakat menyebut penyakit kusta dengan sebutan “kakambah” atau “kandala” yang berarti pembengkakan pada bagian tubuh; “kasuwiang tanah” yang berarti benjolan seperti jagung dan berwarna hitam (seperti tanah); colak jampu karena terdapat tanda berupa bercak putih seperti panu dan lasauli yang berarti sakit kulit. Sejarah perkawinan endogami yang terjadi di Sulaho menjadikan keakraban antar warga sangat erat. Mobilitas warga ke luar desa sangat jarang karena wilayah desa terisolir. Interaksi dan riwayat kontak antar warga cukup tinggi. Kebiasaan untuk saling berkunjung, tinggal menumpang pada sebuah rumah tangga dalam waktu relatif lama dan pertalian pertemanan terbina sangat erat. “Orang Sulaho adalah Saudara” adalah bukti kedekatan mereka satu sama lain. Di mata masyarakat penyakit kusta adalah memalukan dan menakutkan, tetapi dalam lingkungan keluarga mereka tetap bergaul dengan baik meskipun ada anggota keluarga yang menderita kusta. Penderita kusta pada umumnya terjadi pada lingkungan keluarga/kerabat. Kakambah, menurut kepercayaan setempat, adalah penyakit yang disebabkan kutukan karena perbuatan/dosa masa lalu atau persetubuhan sedarah, mengkonsumsi ikan pari berkulit hitam dengan bintik putih, bibit kusta telah ada sejak lahir, melakukan hubungan seksual ketika isteri sedang dalam masa haid dan pengaruh guna-guna. Anggapan tersebut membuat sanro menjadi rujukan pertama dan utama dalam upaya pengobatan. Pengobatan dukun berupa air jappi-jappi dan

309

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

ramuan daun pakecce/cocor bebek dan kapur atau kunyit dengan kemiri yang ditempelkan pada bagian tubuh yang bengkak/benjol dan memandikan penderita agar penyakit tidak kembali kepada penderita atau mengenai sanro. Penderita yang tidak merasa sembuh dengan pengobatan sanro, mereka akan mencari pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan dalam kondisi yang terlambat. Penderita kusta umumnya berobat setelah terjadinya bengkak, muncul benjol dan mati rasa karena mereka mengabaikan gejala/tanda awal kusta. Pengobatan yang mereka jalani sebagian tidak dilakukan dengan baik, minum obat tidak teratur dan tidak sampai tuntas sesuai anjuran petugas. Berbagai alasan dikemukakan antara lain jarak ke Puskesmas jauh, tidak biasa minum obat, tidak suka minum obat, bosan minum obat. Keadaan ini menyebabkan penderita tidak sembuh dan menjadi sumber penularan kusta. Sekitar tiga puluh penderita kusta/ kakambah dijumpai di desa Sulaho, sebagian diantaranya masih dalam taraf berobat ke Puskesmas, namun beberapa diantaranya putus berobat. Tiga penderita kusta baru tidak menggunakan jasa sanro sejak awal namun berobat langsung ke tenaga kesehatan. Situasi ini merupakan petunjuk adanya perubahan sikap masyarakat yang mulai percaya kepada petugas kesehatan. 5.2. Rekomendasi Berkaitan dengan permasalahan kesehatan secara umum, maka tim peneliti merekomendasikan perbaikan akses jalan darat desa yang terhubung dengan jalan poros Trans Sulawesi sehingga masyarakat memiliki jangkauan yang mudah menuju pusat pelayanan kesehatan. Mereka tidak perlu melewati jalur laut yang membutuhkan waktu lama dan tergantung pada kondisi cuaca. Hal ini akan membuat desa tidak terisolir dan masyarakat 310

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dapat mengakses pelayanan kesehatan setiap saat. Selain itu, masyarakat akan meningkatkan intensitas berhubungan dengan masyarakat lain, sehingga dapat membuka diri dan merespon baik pelayanan kesehatan. Kemitraan bidan desa dan dukun bayi setempat perlu dijalin, sehingga proses persalinan oleh tenaga kesehatan dapat ditingkatkan, namun kegiatan ini tidak mungkin terjadi bila bidan belum menetap dan tinggal di desa. Bidan desa harus memiliki kemampuan untuk melakukan pendekatan terhadap masyarakat, sehingga penyuluhan dapat dikemas melalui pendekatan personal kepada ibu hamil, ibu bayi dan ibu balita. Hal ini ditujukan agar masyarakat mau melibatkan bidan desa dalam pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Upaya menciptakan kebersihan lingkungan tempat tinggal dapat dilakukan dengan menghidupkan kembali kegiatan jumat bersih, yaitu kerja bakti membersihkan desa yang dahulu aktif dilakukan. Peran tokoh masyarakat menjadi kunci keberhasilan menggerakkan warga untuk ikut serta dalam kegiatan kerja bakti. Membudayakan memelihara hewan peliharaan, terutama kambing dengan kandang sehingga hewan tidak berkeliaran secara bebas dalam pemukiman warga. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kebersihan lingkungan dengan meminimalisir kotoran hewan yang berlebihan di area pemukiman penduduk. Mengedukasi masyarakat akan pentingnya rumah tangga untuk memiliki kakus akan mencegah polusi tanah dan udara akibat BAB di sembarang tempat khususnya di pantai. Misi jangka panjang adalah penggunaan kakus oleh setiap rumah tangga. Perilaku masyarakat yang tidak mempraktekkan PHBS ditambah kepercayaan terhadap hal gaib dan kekuatan sanro mengobati penyakit yang diderita masyarakat menjadi faktor penentu penyebaran penyakit kakambah dan penyakit lainnya. Upaya untuk memutus mata rantai kakambah melalui

311

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

pembatasan kontak antara anggota rumah tangga dengan penderita dalam batasan etis. Hal tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan kebersihan individu/ personal hygiene dengan cara mengubah kebiasaan sehari-hari yang dapat menjadi jalur potensial penularan kakambah, berupa pembiasaan menggunakan peralatan pribadi seperti baju, tidak saling tukar menukar pemakaian baju, mencuci baju setiap kali kotor habis dipakai, menyediakan tempat tidur yang terpisah antar anggota keluarga hususnya dengan penderita. Perubahan sikap dan perilaku dapat dilakukan melalui penyuluhan secara aktif petugs kesehatan melalui media kegiatan masyarakat. Upaya lain adalah meningkatkan kewaspadaan individu dan keluarga di lingkungan sekitar penderita. Penderita kakambah merupakan bagian dari komunitas, sehingga risiko penularan kusta meningkat bagi orang lain yang tinggal di lingkungan yang sama. Kepedulian terhadap kebersihan lingkungan akan membantu mengurangi tingkat risiko penularan kusta. Upaya tersebut dapat diterapkan tidak hanya pada rumah tangga yang ada penderita kusta, tetapi dapat dilakukan pada semua rumah tangga di Sulaho. Selain personal hygiene, anggota rumah tangga memiliki kewajiban untuk mengingatkan penderita mengonsumsi obat secara teratur. Hal ini dilakukan mengingat banyak mantan penderita yang mengaku tidak meminum obat secara teratur atau meminum obatnya sampai habis sesuai ketentuan yang telah disampaikan petugas kesehatan. Tokoh masyarakat dapat ikut serta mengambil peran untuk melakukan monitoring terhadap keteraturan minum obat penderita. Pelibatan tokoh masyarakat setempat seperti kepala dusun atau sanro dalam setiap upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku akan memudahkan pelaksanaannya. Penyuluhan dalam rangka edukasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan hubungan kekerabatan, yaitu kerabat dekat

312

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tokoh masyarakat dilanjutkan kepada kerabat-kerabat lain dan seterusnya mengingat tidak adanya kegiatan sosial yang dapat mewadahi kegiatan penyuluhan di Sulaho. Upaya memutus mata rantai kusta pada tingkat komunitas harus didukung oleh peran pelayanan kesehatan. Berkaitan dengan kasus kusta maka tim peneliti merekomendasikan kepada pihak kesehatan berupa skrining terhadap warga desa untuk menegakkan diagnosis kusta, dilakukan bersamaan dengan kegiatan pelayanan kesehatan lainnya. Deteksi dini kasus kusta akan mencegah penularan serta menjaring kasus lebih awal sehingga pengobatan dapat dilakukan lebih cepat. Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) diwujudkan melalui penyuluhan secara kontinyu mengenai PHBS secara umum, pengenalan, sebab, cara penularan dan akibat penyakit kusta melalui forum pertemuan yang ada di masyarakat dan pendekatan informal kepada keluarga penderita. Pemanfaatan media melalui media cetak, seperti poster/leaflet tentang penyakit kusta (pengenalan, sebab, akibat/bahaya) digalakkan dengan menempelkannya di tempat-tempat strategis berkumpulnya warga desa. KIE yang dilakukan dapat melibatkan tokoh masyarakat setempat. Pembentukan tim bekerja sama warga desa sangat membantu mengingat gejala klinis kusta dapat dikenali dengan mudah. Pelibatan remaja sebagai agent of change akan memberikan kegiatan yang positip sehingga pergaulan remaja yang kontra produktif dapat dikurangi. Berkaitan dengan perilaku anak dan remaja, diketahui banyaknya anak putus sekolah dan kasus hamil di luar nikah, maka tim peneliti merekomendasikan peningkatan pengetahuan kesehatan remaja, khususnya tentang kesehatan reproduksi dan HIV AIDS sejak dini. Kerja sama lintas sektor khususnya bidang

313

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

pendidikan untuk membangun fasilitas pendidikan yang memadai dan KIE mengenai pentingnya pendidikan terhadap orang tua sehingga remaja dapat menyelesaikan pendidikan minimal tingkat SMP.

314

INDEKS

A

B

adat · 22, 46, 82, 97, 118 anak · 4, 11, 16, 25, 26, 31, 34, 35, 36, 37, 45, 47, 48, 49, 50, 51, 57, 59, 62, 63, 64, 65, 67, 73, 75, 86, 91, 93, 96, 100, 101, 102, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 118, 119, 121, 123, 124, 125, 127, 128, 129, 133, 134, 137, 138, 141, 142, 144, 145, 146, 151, 153, 154, 155, 156, 157, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 171, 172, 173, 175, 176, 180, 182, 183, 184, 186, 190, 191, 193, 194, 196, 198, 199, 200, 202, 203, 204, 207, 209, 212, 213, 216, 221, 231, 234, 237, 238, 239, 242, 248, 250, 252, 258, 260, 262, 263, 264, 265, 266, 267, 269, 270, 271, 279, 280, 281, 282, 290, 291, 295, 297, 298, 299, 300, 305, 307, 308, 313, 322 ASI · 157, 159, 160, 161, 162, 174, 181, 182, 204

bahasa · 18, 59, 63, 64, 81, 83, 93, 107, 169, 244, 245, 305 balita · 111, 112, 121, 164, 167, 179, 180, 183, 202, 204, 212, 231, 263, 308, 311 bayi · 46, 85, 126, 127, 128, 129, 132, 135, 137, 138, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 159, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 174, 175, 176, 179, 180, 181, 184, 191, 202, 231, 267, 307, 308, 311 budaya · 6, 10, 11, 111, 288, 293, 305

D diare · 162, 192, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 308 dukun · 59, 72, 75, 78, 82, 118, 123, 124, 125, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 146, 147, 148, 149, 151, 152, 153, 154,

315

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

155, 156, 157, 158, 159, 163, 164, 165, 177, 178, 179, 181, 190, 197, 198, 204, 205, 206, 207, 210, 215, 222, 224, 226, 229, 230, 247, 248, 249, 250, 252, 261, 281, 283, 288, 295, 296, 307, 308, 309, 311, 327

J jappi-jappi · 78, 91, 126, 136, 145, 149, 158, 159, 198, 205, 207, 210, 213, 222, 226, 248, 284, 285, 286, 287, 289, 307, 309

E

K

endemik · 1 etnografi kesehatan · 9, 10, 319

kakambah · 74, 85, 233, 244, 245, 247, 248, 252, 257, 258, 259, 269, 272, 276, 281, 283, 284, 293, 303, 307, 309, 310, 311, 312 kecacatan · 7, 251, 253, 283, 292, 294, 296, 309 Kecelakaan Kerja · 217 Kegiatan keagamaan · 48, 50, 51 kehamilan · 22, 36, 65, 116, 120, 123, 126, 128, 129, 130, 131, 132, 134, 135, 136, 140, 176, 308, 311 kekerabatan · 63, 64, 66, 280, 292, 312 keluarga · 3, 6, 7, 21, 23, 26, 34, 36, 39, 45, 47, 50, 62, 63, 64, 65, 73, 74, 78, 86, 87, 100, 102, 103, 108, 110, 111, 118, 120, 121, 124, 125, 127, 137, 138, 139, 140, 150, 155, 165, 173, 174, 175, 186, 190, 195,

G geografis · 7, 10, 13, 26, 27, 30, 33, 117, 305 gizi · 1, 4, 181, 261, 279 gondok · 209, 210, 211, 212, 214

H hipertensi · 208, 216, 217, 308

I ISPA · 195, 202, 203, 308

316

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

197, 205, 212, 213, 235, 240, 243, 244, 245, 248, 249, 254, 258, 264, 265, 266, 267, 269, 270, 271, 272, 275, 277, 279, 280, 281, 282, 288, 289, 291, 292, 294, 295, 296, 300, 303, 306, 307, 309, 312, 313, 333 kependudukan · 33 kepercayaan · 7, 42, 43, 47, 79, 81, 82, 98, 124, 196, 229, 254, 283, 284, 285, 289, 307, 309, 311 kesehatan · 3, 4, 7, 9, 10, 11, 22, 31, 50, 72, 73, 75, 77, 92, 116, 117, 125, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 137, 139, 140, 154, 167, 173, 174, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 187, 190, 191, 196, 198, 201, 202, 208, 209, 226, 227, 228, 230, 231, 232, 242, 244, 251, 253, 255, 257, 258, 261, 268, 271, 273, 274, 279, 280, 283, 284, 292, 298, 301, 302, 303, 306, 308, 310, 311, 312, 313, 333, 335 kesehatan masyarakat · 3, 10, 196 KIA · 9, 308 Kolaka Utara · 4, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 23, 25, 26, 28, 33, 42, 70, 99, 107, 154, 211, 267, 299, 305, 319, 330, 332, 333

kusta · 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 74, 196, 234, 235, 236, 237, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 257, 258, 259, 260, 261, 264, 265, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 273, 274, 276, 277, 279, 280, 281, 282, 283, 284, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 299, 300, 301, 302, 303, 307, 308, 309, 310, 312, 313, 335

L Lasusua · 6, 7, 8, 9, 13, 14, 15, 19, 26, 28, 29, 30, 33, 50, 76, 85, 92, 97, 100, 106, 117, 131, 134, 138, 177, 180, 189, 192, 194, 195, 198, 202, 215, 228, 240, 242, 243, 248, 251, 262, 264, 265, 268, 302, 305, 320, 330, 333

M ma’bantang · 154, 164, 165, 166 makanan · 24, 42, 44, 46, 49, 50, 51, 53, 55, 57, 58, 60, 62, 81, 86, 91, 92, 102, 104, 108, 109, 110, 112, 117, 122, 128, 317

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

130, 162, 165, 174, 181, 182, 183, 189, 197, 202, 206, 213, 214, 217, 234, 250, 261, 274, 279, 280, 281, 289, 290, 291, 292, 306, 308, 322 makkiana · 132, 133, 138, 153, 308, 327 mantra · 50, 78, 82, 83, 84, 85, 90, 136, 151, 158, 165 minuman · 37, 49, 60, 111, 116, 117, 120, 121, 174, 181, 288, 305 Multibasilar · 1, 2 Mycobacterium Leprae · 1

N neonatus · 162 nifas · 113, 156, 157

P pantangan · 60, 81, 128, 129, 141, 182, 196, 206, 214, 289 Pausibasilar · 1, 2 pelayanan kesehatan · 3, 6, 7, 8, 22, 77, 92, 117, 130, 144, 197, 205, 209, 211, 213, 226, 227, 228, 249, 254, 268, 271, 284, 288, 293, 295, 297, 310, 313 pengobatan · 3, 4, 5, 7, 8, 22, 76, 77, 78, 79, 83, 87, 88, 93,

318

125, 136, 155, 198, 201, 206, 208, 209, 210, 211, 222, 226, 231, 237, 239, 240, 242, 243, 244, 246, 247, 248, 249, 250, 252, 253, 258, 259, 269, 270, 271, 272, 283, 284, 287, 289, 292, 294, 301, 302, 303, 307, 308, 309, 310, 313 penularan · 1, 8, 74, 193, 197, 236, 237, 240, 241, 242, 254, 261, 269, 272, 279, 282, 283, 290, 302, 303, 310, 312, 313 penyakit menular · 1, 9, 11, 116, 196, 259, 276, 281, 282, 291, 296, 309 penyakit tidak menular · 9, 11, 208, 308 pernikahan · 36, 62, 66, 96, 97, 113, 120, 123, 176, 293 persalinan · 22, 76, 128, 135, 136, 137, 138, 140, 141, 142, 143, 146, 147, 148, 151, 152, 154, 156, 157, 176, 177, 178, 179, 190, 311 PHBS · 6, 9, 11, 174, 303, 308, 311, 313, 332, 333 posyandu · 130, 134, 180, 198, 231, 271, 297, 298, 302, 308 puskesmas · 3, 8, 73, 74, 75, 76, 93, 117, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 180, 205, 208, 210, 211, 226, 239, 240, 247, 249, 252, 253, 263, 264, 284, 294,

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

295, 297, 298, 301, 302, 308, 310

R Religi · 42 remaja · 26, 51, 93, 96, 113, 114, 115, 116, 119, 120, 122, 242, 262, 297, 298, 299, 300, 305, 313 reproduksi · 113, 116, 151, 158, 313 ritual · 42, 45, 52, 55, 57, 59, 86, 117, 118, 144, 151, 154, 156, 158, 159, 164, 165

S sakit · 3, 6, 17, 44, 59, 61, 66, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 95, 112, 115, 120, 124, 126, 131, 133, 135, 136, 138, 139, 141, 142, 146, 150, 154, 155, 164, 165, 167, 168, 176, 177, 178, 183, 193, 194, 197,뤨198, 200, 201, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 215, 216, 218, 219, 222, 223, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 235, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 254,

259, 261, 262, 263, 264, 270, 272, 283, 284, 285, 286, 287, 289, 293, 295, 307, 309, 326 sanro · 42, 50, 56, 57, 59, 60, 75, 77, 78, 79, 81, 82, 83, 85, 87, 109, 117, 118, 123, 124, 125, 130, 131, 132, 133, 135, 137, 138, 144, 153, 164, 165, 210, 213, 215, 222, 229, 248, 281, 283, 284, 285, 286, 287, 289, 307, 308, 309, 310, 311, 312 sehat · 6, 9, 23, 71, 164, 173, 174, 185, 187, 192, 213, 261, 275, 276, 279, 306, 307 stigma · 7, 245, 259, 283, 293, 309, 331 stroke · 208, 215, 216, 308 Suku Bajo · 9, 16, 17, 22, 26, 33, 45, 64, 97, 98, 114, 116, 118, 128, 146, 156 Sulaho · 6, 7, 8, 9, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 42, 43, 45, 46, 48, 50, 52, 54, 58, 59, 60, 62, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 77, 78, 79, 85, 92, 93, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 106, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 123, 128, 130, 131, 134, 135, 137, 138, 140, 144, 146, 156,

319

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

159, 167, 168, 173, 175, 176, 177, 178, 180, 181, 183, 185, 188, 190, 192, 194, 195, 196, 197, 202, 208, 212, 214, 215, 216, 217, 223, 224, 225, 226, 228, 229, 231, 233, 234, 235, 236, 237, 241, 242, 243, 244, 251, 254, 255, 256, 257, 258, 261, 262, 263, 264, 266, 267, 269, 270, 272, 275, 276, 278, 279, 280, 281, 282, 283, 288, 292, 294, 296, 297, 300, 301, 302, 305, 306, 307, 308, 309, 310, 312, 313, 320, 330

320

T TBC · 196, 204, 205, 206, 207, 208, 308 Tolaki · 17, 18, 66, 93, 96 tradisional · 47, 77, 78, 87, 88, 168, 201, 205, 207, 284, 285, 287, 307

U upaya pemberantasan · 2, 5, 6

GLOSARIUM

Addeng Aga iyyatu Aje Aju annasuangeng Akka Akkibbuarengnga’ Akkinakkonrong Akkinanreang Akkonyang Ale’ Aleku Alena Ambo Ampai Andi Ahera Aha Acca Amaure Aliri Amputu Ana Ana’ boroane Anaddara Ana kaddeng Anak kalmia Ancajiangena

(tangga) (apakah itu) (kaki) (kayu bakar) (angkat) (buatkan saya) (tempat tinggal) (tempat mencari makan) (kobokan) (hutan) (diri saya) (dia sendiri) (bapak) (makanya) (saudara muda/ adik/bangsawan) (akhirat) (ahad/ minggu) (ilmu) (paman / tante/ bibi) (tiang) (tumit) (anak) (saudara laki –laki) (gadis) (anak tangga) (jari kelingking) (kelahiranku)

321

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Anging Angkanguluang Anre Anri Arang Arung Aruwa Ase Aseng Assikolang Asu Awu Aerung Baja Bola Bunre Beppa Boro Botting Bulo Bura Bukkang Bombang Bare’ Burasa Benrang Bakkaweng Bosi Boco’ Bitara Bolong Bulu’

322

(angin) (bantal) (makanan) (adik) (tahi lalat) (bangsawan) (delapan) (padi) (nama) (sekolah) (anjing) (abu) (ari-ari) (besok) (rumah) (alat penangkap ikan) (kue) (bengkak) (kawin) (bambu) (batang pisang) (kepiting) (ombak) (beras) (buras) (got) (atap rumah) (hujan) (kelambu) (langit) (hitam) (gunung)

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Berre Bale Bembe Ma’ceddi Colo Cempa Camming Cemme Canning Canggoreng Coddo Cukkuru Cinampe Cule Cekke Gora Gere Golla Gemme Geregge Gatteng Gattung Gunting Indo Isi Iso Iko Inge Jokka Jambang Jama Kadera

(beras) (ikan) (kambing) (jijik) (korek) (asam) (cermin) (mandi) (manis) (kacang tanah) (tusuk) (cukur) (sebentar) (main) (dingin) (berteriak) (sembelih) (gula) (rambut) (gergaji) (tarik) (gantung) (goncing) (ibu) (gigi) (isap) (kamu) (hidung) (jalan) (berak/ buang air besar) (kerja) (kursi)

323

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Kaluku Kanuku Kaliki Kasiasi Kajompi Kappara Kaloko Kaloko pao Lambace Ladang Labbu Lecce’ Luppe Lao Lopi Lasuna cella Lasuna pute Lendir Lipa Lise Lessi Linro Lila Leppang Manre Massaula Maccule Macai Matekka Magguru Mangolo

324

(kelapa) (kuku) (papaya) (miskin) (kacang panjang) (baki,nampan) (kopra) (mangga muda yang dikeringkan, asam mangga) (tomat) (lombok) (tepung) (pindah) (lompat) (pergi) (perahu) (bawang merah) (bawang putih) (galagga) (sarung) (isi) (vagina) (dahi) (lidah) (singgah) (makan ) (mengurut ) (bermain) (marah ) (menyebarang) (belajar ) (menghadap)

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Mataesso Maradde Marota Mapaccing Macinna Matinro Manasu Mannasu Mawari Moto Miccu Makkunrai Maddoja Ma’dduta Mate Nanre Nalai Ngingi Nono’ lopi Onde – onde Obbi Onrong Okko Orowane Pejje Peddi Pella Pe’ca Posi Possi bola Ponco’ Palecce

(matahari) (menetap) (kotor) (bersih) (rasa ingin) (tertidur) (sudah makan) (memasak) (basi) (bangun) (ludah) (wanita) (begadang) (melamar) (meninggal) (nasi) (diambil) (gusi) (turun perahu) (nama kue) (panggil) (tempat) (gigit) (pria) (garam) (sakit) (panas) (bubur) (pusar) (pusat rumah) (pendek) (memindahkan)

325

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Penre Pongke Pura Palese Penne Penno Paaja Pitu Pitte Pera perahuan Sappa Sappo Sanre Sandala Salo Sugi Sampo Sanra Sanro kampung Solara Sanro makkiana Sokko Songko Sangadi Sanru Sanro Sumange Sinru Suro Tau Tuo Tanre

326

(menaikkan) (pinggang) (sudah) (toples) (piring) (penuh) (berhenti) (tujuh) (benang) (lopi-lopi) (cari) (sepupu) (sandar) (sandal) (sungai) (kaya) (tutup) (gadai) (dukun kampung) (celana) (dukun bersalin) (beras ketan masak) (topi) (lusa) (sendok) (dukun) (semangat, motivasi) (sendok) (duta) (orang) (hidup) (tinggi)

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Tana Tama’ bola beru Tettong Teme Teddung Tappere Taro Tasi’ Tadde Tinro Timu Ure Uli Uwae Uttu Uleng Uleng matappa Wiluwa Wenni Waju Witi

(tanah) (masuk rumah baru) (berdiri) (kencing, pipis) (payung) (tikar) (simpan) (laut) (keras) (tidur) (mulut) (urat) (kulit) (air) (lutut) (bulan) (bulan purnama) (rambut) (malam) (baju) (betis)

327

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

328

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

DAFTAR PUSTAKA

Andy Muharry. Faktor Risiko Kejadian Kusta. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2014, 2014: 174-182:174. Anselmo Alves Lustosa, Lídya Tolstenko Nogueira, José Ivo dos Santos Pedrosa, João Batista Mendes Teles dan Viriato Campelo. 2011. The impact of leprosy on health-related quality of life. Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical. 44(5):621-626, p: 624. Ashok kumar singh, An Analysis of Socio-Demographic Correlates, Misconception and Discrimination Related to Leprosy Patients. Global Research Analysis. 2013: 188-189: 189. Badan Pusat Statistik. 2013. Kecamatan Lasusua dalam Angka 2013. Kolaka Utara. Daftar Isian Data Dasar Profil Desa Sulaho.2003. Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka, Propinsi Sultra. Dian Nugraheni. 2005. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Praktek Penderita Kusta dalam Pencarian Pengobatan di Puskesmas Kunduran Kabupaten Blora. Tesis. Semarang: UNDIP. Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka Utara. 2013. Profil Dinas Kesehatan 2013. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta.

329

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. 2012. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2011. diunduh dari: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/article/vie w/2846/2902, tanggal 27 Agustus 2014. Edward Eremugo Luka. 2010. Understanding the stigma of leprosy. SSMJ Vol 3 Issue 3 August 2010. Southern Sudan Medical Journal. Diunduh dari: http://www.southsudanmedicaljournal.com/assets/files/Journals /vol_3_iss_3_aug_10/Leprosy%20stigma.pdf Edy Warsan, Rusli Ngatimin dan Sudirman Natsir. 2014. Hambatan Pengobatan Penderita Kusta diKecamatan Tammerodo Sendana Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat. Diunduh dari: http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/eff29e02df5c99774572bfff1 c10971d.pdf, tanggal 29 Agustus 2014. Fitrilia Ulfah. 2010. Faktor Kondisi Fisik Rumah dan Kepadatan Penghuni Hubungannya dengan Kejadian Kusta (Studi di Wilayah Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep). Diunduh dari: http://adln.fkm.unair.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read &id=adlnfkm-adln-fitriliaul-2649, tanggal 27 Agustus 2014. Ifa H. Misbach, Peran Permainan Tradisional yang Bermuatan Edukatif dalam Menyumbang Pembentukan Karakter dan Identitas Bangsa. 2006. Diunduh dari: http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/19750729 2005012-

330

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

IFA_HANIFAH_MISBACH/LAPORAN_PENELITIAN_PERAN_PE RMAINAN_TRADISIONAL__REVISI_FINAL_.pdf Jonathan Gabe, Mike Bury dan Mary Ann Elston. 2004. Key Concepts in Medical Sociology. London: Sage Publications. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Ligia RS Kerr Pontes et al. 2006. Sosioeconomi cenvironmental and Behaviour Risk Faktor for Leprosy in North East Brasil. International Journal of Epidemiology. 2006;35:994–1000, diunduh dari: http://ije.oxfordjournals.org, tanggal 27 Agustus 2014. Lisdawanti Adwan, Rismayanti dan Wahiduddin. 2014. Faktor Risiko Kondisi Hunian terhadap Kejadian Penyakit Kusta di Kota Makassar. Diunduh dari: http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789 /10649/LISDAWATI%20ADWAN%20K11110915.pdf?sequen ce=1, tanggal 29 Agustus 2014. Lulo, Tari Keakraban Masyarakat Sulawesi Tenggara, diunduh dari: http://www.beritakendari.com/lulo-tari-keakrabanmasyarakat-sulawesi-tenggara.html, diunduh tanggal 11 September 2014. Malathi G. Nayak, Sharada dan Anice Geroge. 2012. Socio Cultural Perspectives on Health And Illness. Nitte University Journal of Health Science. 2012: 61-67: 64. Moh Yahya Mustafa. 2008. Jejak Pemekaran Kabupaten Kolaka Utara, Makassar: Famis Pustaka. Momon Sudarma. 2009. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

331

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Nasruddin Suyuti. 2011. Orang Bajo di Tengah Perubahan. Yogyakarta: Ombak. Nur Alam Fajar. 2010. Dampak Psikososial Penderita Kusta dalam Proses Penyembuhannya. Jurnal Pembangunan Manusia Vol 10 No.1 tahun 2010. Paul

Saunderson. 2002. Bagaimana Mengenali dan Menatalaksana Reaksi Lepra, London: The International Federation of Anti-Leprosy Associations (ILEP).

Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara. 2013. Kabupaten Kolaka Utara dalam Angka 2013. Peta Kolaka Utara, diunduh dari: longhairpictures.biz/peta/petainfrastruktur-kabupaten-kolaka-2008.html, tanggal 27 September 2014. Prawoto. 2008. Faktor - Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Terjadinya Reaksi Kusta (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Brebes). Tesis. Semarang: UNDIP. Promkes Kemenkes. Terapkan 10 Indikator PHBS dalam Lingkungan Keluarga. Diunduh dari: http://www.promkes.depkes.go.id/index.php/topikkesehatan/106-terapkan-10-indikator-phbs-dalamlingkungan-keluarga, tanggal 20 Maret 2014. Puskesmas Lasusua. Profil Puskesmas Lasusua Tahun 2013. Register Kohort Program P2 Kusta Puskesmas Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara 2013. S. Singh, A.K. Sinha, B.G.Banerjee dan N. Jaswal. 2013. The Health Seeking Behaviour of Leprosy Patients, Health, Culture and Society. 2013: 53-65: 64.

332

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Sanghavi Mithun M. 2012. A Review Of Trend Of Leprosy Situation In Jamnagar District Of Gujarat. National Journal of Community Medicine. 2012, p:489 Siti Nurkasanah, Chatarina Umbul Wahyuni dan Arief Wibowo. 2013. Faktor yang Berpengaruh terhadap Kenaikan Titer Antibodi Spesifik Kusta. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2013: 213–223: 221. Soedarjatmi, Tinuk Istiarti dan Laksmono Widagdo. 2009. Faktorfaktor yang Melatarbelakangi Persepsi Penderita Terhadap Stigma Penyakit Kusta. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. 2009.18-24:24. Soedjajadi Keman, Kesehatan Perumahan. 2005. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2005: 29-42: 37-38, diunduh dari: http://portalgaruda.org/download_article.php?article=181 96&val=1132, tanggal 29 Agustus 2014. Suci Rachmawati, Penyakit Kusta di Bangkalan Tahun 1934-1939. 2014. e-Journal Pendidikan Sejarah Avatara. 2014: 8391:84, diunduh dari: http://ejournal.unesa.ac.id/article/8706/38/article.pdf, tanggal 29 Agustus 2014. Suwoyo, Siti Asiyah dan Intajul Fikriyah. 2010. Hubungan Pengetahuan dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Penderita Kusta, Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes. 2010: 187-196: 194 Syamsir, Makmur Selomo dan Erniwati Ibrahim. 2012. Karakteristik Kondisi Rumah Penderita Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale dan Mandai Kabupaten Maros. diunduh dari:

333

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4491 /Syamsir_K11108315.pdf?sequence=1, tanggal 29 Agustus 2014. Syamsuar Manyullei, Deddy Alif Utama dan Agus Bintara Birawida. 2012. Gambaran Faktor yang Berhubungan dengan Penderita Kusta di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar. Indonesian Journal Of Public Health. 2012: 10 – 17: 12. T.Stephen, I.Selvaraj, S.Gopalakrishnan. 2014. Assessment of Knowledge, Attitude and Practice about leprosy among patients and their families in a rural community in Tamil Nadu. National Journal of Research in Community Medicine. 2014: 164-170:168. Tantut Sutanto. 2010. Pengalaman Klien Dewasa menjalani perawatan kusta di wilayah kerja Puskesmas Jenggawah, Kabupaten Jember, Jawa Timur: Studi Fenomenologi. Tesis. Jakarta: UI. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. WHO. 2013. Weekly Epidemiological Record, no. 35. 2013: p.365380. http://www.who.int/wer WHO. 2013. World Health Statistics. Italia: WHO. Zulyani Hidayah. 1997. Ensiklopedi Etnik Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

334

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

UCAPAN TERIMA KASIH Tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan untuk berkontribusi dalam penelitian riset etnografi kesehatan (REK) tahun 2014. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka Utara, Bapak Alias, SKM, M.Kes beserta jajarannya yang telah memberi izin dan menyambut baik pelaksanaan REK; Kepala Puskesmas Lasusua, Ibu dr. Indaryani, M.Kes beserta staf yang telah membantu proses pelaksanaan penelitian secara kooperatif dan masyarakat Desa Sulaho yang telah memberikan kesempatan tim peneliti menimba ilmu di sana.

335

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

336

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF