Maqasid Al-Syari'ah Sebagai Landasan Etika Global

June 26, 2019 | Author: Nordianah Bachok | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Maqasid Al-Syari'ah Sebagai Landasan Etika Global...

Description

Jurnal Hukum Islam Kopertais Wilayah IV Surabaya

MAQASID MAQASID AL-SYARI’AH AL-SYARI’AH SEBAGAI LANDASAN ETIKA GLOBAL Isa Anshori, M. Ag. : Universitas Muhammadiyah Surabaya Karangrejo Timur Timur II/15 II/ 15 Surabaya. Sura baya. No. HP. HP. 081330714719 e-mail:i_anshor e-mail:i_anshori@y i@yahoo. ahoo.com com Abstrak: This article examines the concept of maqasid al-syari’ah or al-maslahah al-tsanawiyah in the discipline discipline ushul al-fiqh. It argues that maqasid al-syari’ah can be used to assess three of ushul thr ee things in relation to legal opinion; text, text, historical historical fact fact and the target target of of law. law.The relationship relationship between text text and context (histor (historical ical fact) is discerned from the perspective of maqasid al-syari’ah developed by al-Imam As-Syatibi, especially in in coming to terms terms with the so-called “ratio-legis” of the legal texts. The article particul particularly arly argues that in modern era, Musli Muslims ms are required not only to maintain their religi religious ous beliefs and cultural entities entit ies but also to contribute co ntribute to t o the the development development of human civilisation. civilisation. The so-called so-called Qur’anic Qur’anic ethics guide Muslims Muslims to deal with modernity problems problems so that th they can maintain maintain their transcendental transcendental orientat orientation ion inlife. Keywords : Ijtihad, instibath al-hukm,maqasid al-syari’ah , maslahat , etika global. PENDAHULUAN Berbicara tentang upaya pembentukan atau pengembangan hukum yang dalam istilah ushul fiqh disebut dengan ijtihad  –dalam arti istinbath alhukm. Menurut Menurut Abdul Wahab Wahab Khalaf  ijtihad dapat dikatakan sebagai suatu upaya berfikir secara optimal dalam mengggali hukum islam dari sumber aslinya (alQur’an Qur’an dan as-Sunnah) guna memperoleh jawabanjawaban terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat yang belum ada ketentuan ketentuan hukumnya. hukumnya.1 Suatu hal yang harus diingat adalah bahwa masalah utama yang yang mendorong mendorong para ulama’ untuk  merumuskan berbagai teori dan metode metode ijtihad adalah suatu kenyataan abadi umat Islam bahwa nash alalQur’an Qur ’an dan al-hadis terbatas ter batas secara kuantitatif  kuantit atif  sedangkan peradaban manusia (khususnya peristiwa hukum) selalu berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Untuk itu, berbagai teori dan d an meto metode de ijtihad telah dirumuskan oleh para par a ulama fiqh untuk mengembangkan mengembangkan nilainilai nilai yang yang terdapat terd apat pada nash yang yang secara tekstual tekst ual terbatas ke dalam realitas yang yang tak t ak terbatas. Sumber utama hukum Islam adalah al-Qur al-Qur’an ’an dan al-Hadis,dimana al-Hadis,dimana dua sumber tersebut t ersebut juga sering disebut dengan dalil-dalil pokok (ushul ( ushul alahkam) hukum Islam karena kedua sumber hukum itu merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum yang telah t elah ditentukan ditent ukan oleh o leh Allah S.W.T. S.W.T. Dalam ilmu ushul fiqh terdapat dalil-dalil yang disepakati disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati-yang disepakat i-yang

hanya merupakan merupakan alat bantu untuksampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh al-Qur’an dan as-sunnah- oleh sebagaian ulama fiqh menyebutnya menyebutnya 2 sebagai metode istinbath. Dalam memahami pengertian yang terdapat dalam ayat-ayat ayat-ayat al-Qur’an al-Qur’an terdapat terdapat berbagai macam cara karena gaya dan bahasa ( teks) al-Qur’an memiliki berbagai macam bentuknya; ada yang menggunakan gaya bahasa yang tegas dan tidak  tegas, tegas , kadang ada yang melalui arti bahasanya bahasanya dan ada pula yang melalui melalui maksud hukumny hukumnya, a, disamping disamping itu pula kadang terdapat perbenturan antara ant ara satu dalil dengan dalil lainnya yang membutuhkan penyelesaian guna memahamimaksud dan makna yang terkandung terkandung dalam teks al-Qur’an sehingga dapat diambil kesimpulan kesimpulan dan keputusan keputusan hukum darinya. Ilm Ushul Fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk meni menimba mba pesan-pesan pesan-pesan hukum dan moral yang yang terdapat ter dapat dalam al-Qur’an dan al-sunnah. Secara garis besar metode istinbath dapat dibagi kedalam tiga bagian; pertama, segi kebahasaan ( semantik ), ), kedua,segi tujuan hukum (maqasid al-syari’ah ) dan segi penyelesaian beberapa dalil yang seakan-akan bertentangan dalam ketentuan hukumya antara suatu suat u dalil dengan 3 dalil lainnya (tarjih). Dalam artikel artikel ini hanya hanya akan memfokuskan pembahasan pada salah satu segi dalam metode istinbath di atas,yaitu meto metode de kedua atau metode ijtihad dengan cara menemukan menemukan ratio legis suatu hukum(thoriq al-ijtihad al-ta’lili) dimana dalam

Vol. 01, No.01, Maret 2009 2009 - ISSN 2085-3025 2085-3025

14

Isa Anshori, M. Ag. : Maqasidal Al-Syari’ah Sebagai Landasan Etika Global

metode ini tujuan yang ingin dicapai adalah menemukan ketentuan hukum baru di dasarkan pada maqasid al-syari’ah (tujuan hukum). Teori maqasid al-syari’ah sendiri adalah salah satu teori pengambilan hukum ( istinbath alahkam) yang pertama kali dicetuskan oleh alJuwaini, kemudian baru dikembangkan oleh salah satu muridnya yang jenius yaitu Imam al-Ghozali dan setelah itu mengalami perkembangan puncaknya melaui Imam as-Syatibi dalam al-Muwafaqat fi ’ushul al-Ahkam.4karena itu dalam artikel ini fokus pembahasan tentang teori maqasid al-Syari’ah secara khusus akan membahas teori tersebut yang telah dikembangkan oleh Imam as-Syatibi. Pembahasan dalam tulisan ini secara berturut-turut akan dibahas tentang pengertian maqasid al-Syari’ah, tingkatan-tingkatannya dan peranannya dalam mengembangkan hukum Islam serta yang tidak kalah penting adalah implementasi dan konsekwensi serta urgensinya dalam menopang dinamika masyarakat muslim dalam era globalisasi seperti sekarang ini. PEMBAHASAN Pengertian Maqasid al-Syari’ah Secara etimologi maqasid al-syari’ah terdiri dari dua unsur kata yaitu; maqasid  dan syari’ah, unsur pertama (maqasid ) merupakan bentuk jama’ dari kata maqsud  yang merupakan kata jadian (masdar ) Qasada yang berarti bermaksud atau menuju sesuatu.5dengan demikian maqasid adalah tempat atau objek sasaran dari suatu tindakan. Unsur kedua, (syari’ah) berarti kebaisaan atau sunnah. 6 Pada mulanya kata syari’ah dimaksudkan bagi semua tuntutan Allah kepada umat-Nya yang disampaikan melalui Rasulullah.7Kemudian dalam istilah ahli ushul fiqh mengalami penyempitan makna,bagi mereka syari’ah merupakan bagian tertentu dari ajaran Islam secara keseluruhan. Kata syari’ah menurut mereka mempunyai kesesuaian dengan salah satu tema pokok  al-Qur’an yang secara sederhana diungkapkan dalam tiga hal: aqidah, akhlak dan syari’ah, dalam kaitan ini syari’ah dikaitkan dengan “hukum syara’ “ yang berkaitan dengan amal lahiriah mukallaf .8 Sedangkan secara terminologis terdapat beberapa pengertian yang diungkapkan oleh ulama’ ushul fiqh, as-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda dengan sebutan tersebut, misalnya maqasid al-syari’ah, 9atau al-maqasid alSyar’iyyah fi al-Syari’ah, 10 dan maqasid min syar’i al-hukm, 11walaupun kata-kata tersebut secara redaksional berbeda-beda namun mengandung pengertian yang sama yakni berarti tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah S.W.T.,

secara lebih tegas as-Syatibi memberikan definisinya dengan ungkapan,”sesungguhnya syari’ah itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.” 12 Illal al-Fasi memberikan definisi maqasid assyari’ah secara lebih ringkas, yaitu tujuan akhir yang ingin dicapai oleh syari’ah dan rahasia-rahasia dibalik  setiap ketetapan dalam hukum syari’ah.13Dari definisi tersebut dapat diambil pengertian bahwa maqasid alsyari’ah adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hukum Islam yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, untuk dapat mengetahui tujuan hukum tersebut dapat ditelusuri lewat teks-teks al-Qur’an dan as-sunnah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia. Tingkatan-tingkatan maqasid al-syari’ah menurut Imam As-Syatibi Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan sebagai sumber utama dalam pengambilan keputusan hukum memberikan berbagai aturan yang berkaitan dengan seluruh kehidupan umat manusia, akan tetapi harus disadari bahwa al-quran tidak mengatur kehidupan umat manusia melalui dalil-dalilnya yang sangat terperinci, al-Qur’an hanya memberikan prinsip-prinsip dasar bagi pengaturan segala urusan manusia dalam kehidupannya di dunia ini. Oleh karena itu jumlah ayat-ayat al-Qur’an yang secara kuantitaf sangat terbatas tersebut (karena hanya mengatur prinsip-prinsip dasar) saat berhadapan dengan perkembangan peradaban manusia yang terus berkembang dan berubah “seakan-akan” menimbulkan kesenjangan antara teks yang tersurat dengan realitas masyarakat yang ada, oleh karena itu kebutuhan untuk menerjemahkan teks yang ada dalam kehidupan real memiliki urgensinya. Di dalam ilmu ushul fiqh paling tidak terdapat tiga model metode dalam mendekati teks al-Qur’an sebagaimana yang penulis jelaskan dimuka, yaitu pendekatan melalui bahasa (thariq al-ijtihad al-bayani), kemudian melalui pendekatan kompromistis (thariqalijtihad al-taufiqy) jika dalam dua atau beberapa teks al-Qur’an seakan-akan terjadi pertentangan antara lain dengan menggunakan metode; al-jamu, al-naskh atau al-tarjikh, sedangkan yang terakhir adalah melalui metode al-ijtihad al-ta’lilysalah satunya adalah dengan menggunakan metode maqasid al-syari’ah.14 maqasid al-syari’ah Metode dikembangkan untuk mencapai tujuan akhir dari dilaksanakannya syari’ah yaitu kemaslahatan umat manusia, bagi Imam as-Syatibi kemaslahatan yang hendak diwujudkan itu terbagi kepada tiga tingkatan,yaitu kebutuhan daruriyyah, kebutuhan hajiyyah dan kebutuhan tahsiniyyah.

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

15

Jurnal Hukum Islam Kopertais Wilayah IV Surabaya Pertama, kebutuhan daruriyyah adalah tingkatan kebutuhan yang harus ada atau dapat disebut sebagai kebutuhan primer. Bila dalam tingkatan kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan terancam kemaslahatan seluruh umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Menurut Imam as-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu; memelihara agama (hifd al-din), memelihara jiwa (hifd  al-nafs), memelihara akal (hifd al-aql), memelihara keturunan (hifd al-nasl), dan yang terakhir adalah memelihara harta benda (hifd al-mal).15 Untuk menyelamatkan agama, Islam mewajibkan ibadah sekaligus melarang hal-hal yang merusaknya, untuk menyelamatkan jiwa Islam mewajibkan misalnya makan, tetapi Islam melarang memakan makanan yang haram (dilarang oleh ketentuan agama karena adanya hal-hal yang tidak  baik bagi diri manusia) bahkan Islam melarang umatnya makan secara berlebihan ( al-musrif ) , untuk  menyelamatkan akal Islam melarang hal-hal yang dapat merusak fungsi akal, misalnya meminum minuman yang memabukkan sehingga menyebabkan menusia lupa akan diri dan lingkungannya (kehilangan kesadaran diri), untuk menyelamatkan keturunan Islam mewajibkan nikah dan untuk menyelamatkan harta Islam mensyari’atkan hukum mu’amalah yang baik  dan benar dan upaya-upaya yang merusaknya dilarang seperti mencuri dan lain-lain. Kedua, maqasid al-hajiyyah, ialah kebutuhan sekunder, dimana dalam tingkatan ini bila kebutuhan tersebut tidak dapat diwujudkan tidak  sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami hambatan dan kesulitan. Oleh karena itu kebutuhan hajiyyah dibutuhkan untuk mempermudah mencapai kepentingan yang bersifat daruriyyah dan menyingkirkan faktor-faktor yang mempersulit usaha bagi terwujudnya hal-hal yang bersifat daruriyyah . Oleh karena fungsinya yang mendukung dan melengkapi tujuan primer, maka kebutuhan hajiyyah itu kehadirannya sangat dibutuhkan (sebagaimana makna kata hajiyyah itu sendiri). Misalnya untuk  melaksanakan ibadah shalat sebagai tujuan primer maka dibutuhkan berbagai fasilitas misalnya masjid, tanpa adanya masjid tujuan untuk memelihara agama (hifd al-din) tidaklah gagal atau rusak secara total tetapi akan mengalami berbagai kesulitan, atau untuk  menyelamatkan akal (hifd al-aql) manusia sebagai tujuan primer, Islam mencanangkan kegiatan wajib belajar seumur hidup, dalam hal ini maka untuk  mendukung kebutuhan daruriyyah tersebut dibutuhkan berbagai fasilitas pendidikan antara lain gedung sekolah dan sarana-sarana yang digunakan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar yang lainnya, memang tanpa adanya gedung sekolah dan

sarana-sarana yang lainnya pemeliharaan akal melalui proses belajar mengajar tidak akan berhenti tetapi akan mengalami banyak hambatan dan kesulitan-kesulitan. Ketiga, kebutuhan takhsiniyyah, ialah tingkatan kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi tidak  akan mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak menimbulkan kesulitan. Tingkatan kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap atau tertier. Menurut Imam as-Syatibi pada tingkatan ini yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan halhal yang tidak enak dipandang menurut kepatutan dan sesuai dengan tuntutan norma sosial dan akhlak, dimana pilihan pribadi sangat dihormati, jadi pada tingkatan kebutuhan hajjiyyah bersifat relatif dan lokal sejauh tidak bertentang dengan nash-nash al-Qur’an. Sebagai contoh dalam tingkatan kebutuhan ini adalah apakah masjid yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kebutuhan daruriyyah yakni memelihara agama melalui ibadah shalat, dalam bentuk arsitekturnya baik dalam design eksterior atau interior itu akan diperindah sesuai dengan taraf  perkembagan kebudayaan lokal misalnya menggunakan model kubah ala Istanbul, Madinah, Kairo, Jawa, Cina atau bahkan tanpa menggunakan kubah sama sekali, semua itu diserahkan kepada rasa estetika dan kemampuan lokal. Untuk mencapai pemeliharaan lima unsur pokok diatas secara sempurna, maka ketiga tingkatan maqasid al-syari’ah tersebut tidak dapat dipisahkan, kepentingan daruriyyah merupakan dasar dan landasan bagi kepentingan yang lainnya, dan kepentingan hajiyyah merupakan penyanggah dan penyempurna bagi kepentingan daruriyyah sedangan takhsiniyyah merupakan unsur penopang bagi kepentingan sekunder. 16 Peranan Maqasid al-Syari’ah dalam pengembangan hukum Islam Pengetahuan tentang maqasid al-syari’ah sebagaimana yang ditegaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah hal yang sangat penting, mengerti dan memahami tentang maqaid al-syari’ah dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam memahami redaksi al-Qur’an dan as-sunnah, membantu menyelesaikan dalil yang saling bertentangan (ta’arud al-adillah) dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan suatu hukum dalam sebuah kasus yang ketentuan hukumnya tidak  tercantum dalam al-Qur’an dan as-sunnah jika menggunakan kajian semantik (kebahasaan). Metode istinbath al-hukum dengan menggunakan qiyas (analogi), istihsan, dan maslahah al-mursalah adalah metode-metode yang dapat

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

16

Isa Anshori, M. Ag. : Maqasidal Al-Syari’ah Sebagai Landasan Etika Global

dipakai dalam pengembangan hukum Islam dengan mengunakan maqasid al-syari’ah sebagai dasarnya. Misalnya metode Qiyas baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditentukan maqasid al-syari’ahnya yaitu dengan menemukan ratio legis (illat al-hukm) dari sebuah permasalahan hukum, sebagai contoh hukum tentang khamar menurut penelitian para ulama’ bahwa maqasid al-syari’ah dari diharamkanya khamar  adalah karena sifatnya yang dapat memabukkan sehingga dapat merusak akal manusia, dengan demikian yang menjadi illat al-hukm dari khamar adalah sifat yang memabukkan dan merusak  akal, sedangkan khamar hanya salah satu contoh dari sekian banyak hal yang memiliki kesamaan sifat dengannya, apalagi dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maka sangat banyak sekali sifat-sifat dari zat-zat kimiawi yang memiliki kesamaan sifat dan fungsi dengan contoh khamar diatas, dari sini pengembangan hukum Islam dapat dilakukan dengan mengunakan metode-metode yang ada. Metode penetapan hukum Islam melalui pendekatan maqasid al-syari’ah dalam penetapan hukumnya dengan menggunakan qiyas, istislah (maslahah murslah), istishab, syad al-dzari’ah dan ’urf  oleh kalangan ushuliyyun disebut juga dengan maqasid al-tsanawiyah. 17 

panjang, berbagai gerakan perlawanan terhadap Barat tidak muncul begitu saja (ahistoris), merujuk  pada sebagian pengalaman sejarah umat Islam mulai dari perang salib hingga sampai jatuhnya dinasti Turki Usmaniah dan kolonialisme serta imprialisme Barat di asia tenggara nampaknya tidak bisa begitu saja terlupakan, pengalaman-pengalaman itulah yang kemudian mendasari sebagian kalangan umat Islam bersifat antipati terhadap segala yang berasal dari Barat dalam bentuk yang sering disebut oleh Barat dengan radikalisme atau fundamentalisme Islam. Munculnya gerakan-gerakan tersebut dalam Islam tidak hanya diilhami oleh rasa kebencian terhadap Barat saja, tetapi menurut Karen Armstrong, 18 gerakan radikal dalam Islam karena umat Islam ingin mengatasi persoalan-persoalan dalam negeri dan mengatasi ketercerabutan budaya akibat dominasi Barat sebagaimana dialami oleh banyak orang di zaman modern ini. Dimana orang Islam merasa tercerabut dari akar budayanya : budaya barat telah memasuki semua celah-celah kehidupan umat Islam, tidak hanya pada tingkat ideologi bahkan sampai pada perabot rumah tangga mereka telah mengalami perubahan besar dan menjadi tanda dominasi budaya asing dan hilangnya budaya asli. Berpijak dari persoalan-persoalan diatas, bagaimanakah semestinya umat Islam harus bertindak, tidak hanya sebagai umat yang memiliki fungsi Dari ketentuan hukum normativ legal-formal dasarnya sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia menuju etika al-Qur’an tetapi juga sebagai umat yang tidak kehilangan Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali kita landasan dasar atas keyakinan dan budayanya. jumpai kesenjangan antara idealitas dengan realitas Telah banyak solusi yang telah ditawarkan oleh atau antara teori dan praktek, oleh karena itu para pemikir dan ilmuan Islam terhadap pesoalanketentuan-ketentuan dan ketetapan-ketetapan persoalan di atas, salah satunya adalah Fazlur Rahman hukum yang dalam dataran idealitas bersifat baik  melalui gerakan Neo-modernismenya, bagi Fazlur bahkan bernilai sempurna dalam implementasinya Rahman bahwa persoalan umat Islam terutama sering berbeda dalam kenyataannya. Orientasi disebabkan oleh semakin menjauhnya landasan etis yang paham ke-Islaman yang berpihak pada maslahah solid, terutama dibidang hukum. Karena itu bagi al-’ammah (kesejahteraan umum) dan sebagai titik  Rahman sudah saatnya umat Islam menafsirkan kembali puncaknya adalah berfungsi sebagai rahmat lil al- ajaran-ajaranya dalam sinaran teologi, etika dan moral ’alamin (rahmat bagi alam semesta) dalam dataran seperti yang diekspresikan dalamal-Qur’an atau dalam historis malah sering ditampilkan oleh umat Islam bahasa Fazlur Rahman ditumbuhkannya kembali sendiri dengan nilai yang sebaliknya. semangat etika al-Qur’an.19 Kritik dan stigma Barat terhadap Islam yang dinilai Etika al-Qur’an dalam gagasan Rahman adalah memiliki ajaran yang mendorong dan mendukung upaya perumusan kembali tiga matra pemikiran terorisme di seluruh dunia seakan-akan mendapat Islam,yaitu pertama tentang perumusan pandangan legitimasinya saat melihat sebagai besar negara-negara dunia (weltanschauung ) al-Qur’an, yang berkaitan yang mengaku sebagai negara Islam atau mayoritas dengan konsepsi kita tentang Tuhan, hubungan Tuhan penduduknya beragama Islam menampilkan gambaran dengan manusia dan alam semesta serta peranan-Nya yang persis sama seperti teori-teori yang dibangun oleh dalam sejarah manusia dan masyarakat. Dengan Barat dalam melihat dan menilai negatif atas Islam. menjernihkan kembali pemahaman tentang hakekat Sikap konfrontatif yang dimunculkan oleh pentingnya Tuhan bagi eksistensi manusia akan sebagian kalangan Islam terhadap Barat menghasilkan ajaran-ajaran moral al-Qur’an yang sesungguhnya memiliki akar sejarah yang sangat pada giliranya menghasilkan etika al-Qur’an, inilah Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

17

Jurnal Hukum Islam Kopertais Wilayah IV Surabaya

langkah kedua yang jika dilanjutkan akan menghasilkan rumusan sistem dan formula hukum yang selaras dengan kebutuhan kontemporer umat Islam. Permasalahan moral dan etika dalam literatur keislaman sering dianggap sebagai kajian yang masuk dalam wilayah privat melalui perkembangan disiplin keilmuan tersendiri (tasawuf ), karena itu perkembangan pemikiran dalam bidang ini dianggap tidak memiliki relefansinya dengan permasalahan-permasalahan publik, apalagi permaslahan global kemanusiaan. Kecenderungan untuk menggunakan pendekatan hukum dalam menyelesaikan suatu permasalahan memang tidaklah salah sepenuhnya, dalam pilar masyarakat demokrasi, penegakan hukum ( law inforcement ) memang menjadi prasyarat mutlak bagi tumbuhnya masyarakat yang berkeadilan dan demokratis, akan tetapi apabila kita melihat persoalanpersoalan yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini baik dalam masyarakat lokal atau global bukanlah disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum semata, melainkan kurangnya landasan moralitas dan etika. Persoalan moralitas dan etika sesungguhnya menyangkut persoalan filsafat (persoalan tentang nilai), jika ditarik garis tegas antara keduanya maka moral adalah aturan-aturan hidup yang bersifat normatif yang ditanamkan dan dilestarikan melalui institusi keluarga, masyarakat hingga negara sehingga membentuk sikap dan pola prilaku hidup kita, 20karena itu ia bersifat taken for granted. Sedangkan etika adalah realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang telah terjernihkan lewat studi kritis. Pendekatan etika seperti saat ini memiliki maknanya yang signifikan saat institusi hukum tidak lagi dapat diandalkan untuk dapat membentuk dan mengubah prilaku kehidupan manusia, misalnya tentang persoalan lingkungan yang ada di sekitar kita sampai pada persoalan yang lebih mendunia (global warming), bagaimana manusia bersikap dan bertindak terhadap lingkungan yang dihuninya tidak bisa dilepaskan dari pandangannya tentang alam (aspek ontologis) karena dari pandangannya itulah akan membentuk tindakantindakan dan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi nilai dan norma yang dianut manusia. Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an telah menggariskan pandangan bagi umat manusia tentang tatanan alam dan lingkungan, dalam suatu pengertian bahwa pesan al-Qur’an yang berasal dari Tuhan tentu sesuai dengan fitrah makhluk-makhluk-Nya, karena itu Islam juga disebut sebagai agama fitri (berarti agama yang ada dalam hakekat alamiah) 21semangat yang ditumbuhkan dalam peran manusia menurut al-Qur’an tidak diarahkan untuk memandang dunia alam sebagai “musuh” yang harus ditundukkan, melainkan sebagai

bagian integral dari jagat religius manusia yang bersamasama mewarisi kehidupan dunia ini. 22Jadi manusia berfungsi sebagai khalifah fi al-ard, konsep alam dalam Islam semacam ini tentu sangat berbeda dengan konsep positifisme dan rasionalisme cartesian yang menjadi landasan dunia modern sekarang ini dimana manusia menempatkan alam sebagai sesuatu yang harus ditundukkan, 23sehingga yang terjadi alam dieksploitasi untuk kepentingan manusia tanpa mengindahkan prinsip keseimbangan alam semesta, karena itu timbulnya berbagai bencana yang ada di dunia seperti sekarang ini adalah bermula dari cara pandang manusia ( etis aksiologis) terhadap alam. Maka melalui gagasan etika al-Qur’an seperti yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman diatas diharapkan umat Islam dapat mengatasi persoalanpersoalan modern yang timbul tanpa harus tercerabut dari keyakinannya dan akar budayanya, tentu saja tawaran metodologi hermeneutika Fazlur Rahman (double movement ) dalam mengkaji teksteks al-Qur’an dan as-sunnah juga harus dibarengi dengan pemanfaatan pengetahuan yang amat kaya dalam khazanah intelektual Islam ( ilmu tafsir, ilmu hadis, ushul fiqh, dll) serta filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Perkembangan dunia yang semakin cepat dimotori oleh ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong manusia untuk bertindak pragmatis dalam mensikapi kehidupan, agama Islam memberikan landasan yang kokoh bagi fungsi dasar manusia sebagai khalifatullah fi al-ard melalui landasan ontologis. Agar umat Islam tidak terjebak pada sikap hidup kekinian dan kedisinian (hedonistis) maka selayaknya umat Islam mengembangkan landasan epistemologisnya untuk mengembangkan prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-sunnah, dengan terus menggali dan merevisi serta merevitalisasi khazanah ilmu pengetahuan yang telah ada, sesungguhnya kajian epistemologi hukum Islam (ushul al-fiqh) awalnya adalah ditujukan untuk memberikan solusi bagi persoalanpersoalan baru yangtidak terdapat ketentuan hukumnya dalam ketetapan-ketetapan hukum yang ada ( fiqh). Melalui maqasid al-syari’ah maka kita didorong untuk dapat menggunakan logika dalam mengembangkan hukum dan landasan moral dan etika, karena maqasid al-syari’ah berfungsi sebagai metode analisa terhadap realitas yang tak  terbatas berdasarkan pada teks yang secara kuantitas terbatas, guna mengembangkan nilai-nilai yang Islami agar tidak terjebak sakralisasi dan kevakuman moral, sehingga cita-cita penegakan

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

18

Isa Anshori, M. Ag. : Maqasidal Al-Syari’ah Sebagai Landasan Etika Global

lima pilar al-maslahah al-mu’tabarah ( hifd din, nafs, ’aql, nasl, dan mal) dapat terwujud. Saran Pembahasan dalamArtikel ini telah dipaparkan secara maksimal. Ini adalah titik awal untuk  melakukan penelitian dan kajian yang akan datang tentang tema tersebut selayaknya tetap diusahakan. Namun penulis menyadari terhadap kekurangan artikel ini baik dalam hal penelaahan, analisa, penggalian data, serta aspek akademis lainnya. oleh karena itu dari seluruh pihak dan pembaca penulis harapkan kritik konstruktif pada tulisan ini. Dengan memandang hasil penelitian ini, kami menyarankan pada peneliti untuk mengkaji ulang pembahasan ini, dan juga melengkapi segala kekurangan karena setiap penelitian adalah cermin kesetiaan manusia kepada pengetahuan. Wallahu A’lam....

(Endnotes) 1 Abdul Wahab Khalaf, (1968). ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Quwaitiyyah. 216. 2 Satria Effendi M.Zein, (1998). Ushul Fiqh , Pendidikan Kader Ulama’ Angkatan ke-8 MUI, Jakarta:tnp.26 3 Ibid., p. 67, lihat juga Syamsul Anwar . ( 2003).“Dilalah al-khofi wa Alayat al-Ijtihad: dirosah ushuliyah bi ikhalah khos ila qodiyah al-qotl alrakhim“ dalam al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga. 169. 4 Yudian W.Asmin. (1995). “Maqasid al-Syari’ah sebagai Doktrin dan Metode”, dalam al-Jami’ah Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam ,Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga. No. 58, 98.5 Louis Ma’luf. (1986). al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq. 632. 6 Ibid., p. 382 7 QS. (42) : 13, QS. (45) : 18, lihat juga penjelasan yang diberikan oleh Fazlur Rahman. (1979). Islam. Chicago: University of Chicago. 108. 8 Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm…,32. 9 As-Syatibi (1341 H). al-Muwafaqat fiUShul alAhkam, V ; I edisi Muhammad al-Khadar Husein al-Tulisi , Ttp.: Dar al-Fikr.4-5. 10 Ibid., p. 7. 11 Asfari Jaya Bahri. (1996). Konsep Maqasid  Syari’ah (menurut asy-Syatibi ), Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1-2. 12 As-Syatibi, al-Muwafaqat…,V:II,p. 2. 13 Ilall al-Fasi. (tt.). Maqasid al-Syari’ah alIslamiyyah, Rabat: Maktabah al-Wahdah alArabiyah, 50. 14 Syamsul Anwar,”dilalah …,169. 15 As-Syatibi, al-muwafaqat …, V:II. 4

16

Ibid., p. 10, lihat juga Khalid Masood. (1989). Islamic Legal Philosophy : a study of Abu Ishaq al-Syatibi, life and thought, New delhi : International Islamic Publisher. 232. 17 Satria Effendi, Ushul…,98. 18 Karen Armstrong. (2007). Sejarah Muhammad  Biografi Sang Nabi, Magelang: Pustaka Horizon. 54 19 Fazlur Rahman, “Hukum dan Etika dalam Islam”, terj. M.S. Nasrullah. (1993). al-Hikmah : Jurnal Studi-Studi Islam, No.9, 1993, Bandung: Yayasan Mutohari. 41-42. lihat juga Taufiq Adnan Amal. (1992). Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum FazlurRahman, cet. 3. Bandung:Mizan. 204, juga Fazlur Rahman. (1990). Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam, Taufiq Adnan Amal (penyunting), cet. 3. Bandung: Mizan.65-67. 20 M. Amin Abdullah. (1997). Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, cet.2, Yogayakarta: Pustaka Pelajar. 166. 21 Fritchof Schoun. (1992). Memahami Islam. Bandung : Pustaka. 25. 22 Sayyed Hosen Nasr. (1994). “Islam dan Krisis Lingkungan” dalam Jurnal Islamika, No. 3, tahun 5-6. 23 Van Peursen. (1997). Strategi Kebudayaan,Yogyakarta: Kanisius. 18.

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

19

Jurnal Hukum Islam Kopertais Wilayah IV Surabaya DAFTAR PUSTAKA

1.Abdul Wahab Khalaf. (1968). ‘ Ilm Ushul alFiqh, Cairo: Dar al-Quwaitiyyah. 2. Abu Ishaq as-Syatibi. (1341 H). al-Muwafaqat  fiUShul al-Ahkam, V ; I edisi Muhammad alKhadar Husein al-Tulisi Ttp.: Dar al-Fikr. 3. al-Fasi, Ilall al-Fasi. (tt .) Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyyah. Rabat: Maktabah al-Wahdah alArabiyah. 4. Asfari Jaya Bahri. (1996) Konsep Maqasid  Syari’ah Menurut asy-Syatibi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 5. Fazlur Rahman. (1979) Islam. Chicago: University of Chicago. 6. Fazlur Rahman. (1993) “Hukum dan Etika dalam Islam”, terj. M.S. Nasrullah, dalam alHikmah:Jurnal Studi-Studi Islam. No.9, Bandung: Yayasan Mutohari. 7. Fazlur Rahman.(1990) Metode dan Alternatif  Neo-Modernisme Islam. Taufiq Adnan Amal (penyunting), cet. 3 Bandung: Mizan. 8. Fritchof Schoun. (1992) Memahami Islam. Bandung : Pustaka. 9. Karen Armstrong. (2007) Sejarah Muhammad  Biografi Sang Nabi. Magelang: Pustaka Horizon. 10. Khalid Masood. (1989). Islamic Legal Phi-

losophy : a study of Abu Ishaq al-Syatibi, life and thought. New delhi : International Islamic Publisher. 11. Louis Ma’luf. (1986) al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq. 12. M. Amin Abdullah. (1997) Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. cet.2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 13. Satria Effendi M. Zein. (1998) Ushul Fiqh, Pendidikan Kader Ulama’ Angkatan ke-8 MUI. Jakarta: Tp. 14. Sayyed Hosen Nasr. (1994) “Islam dan Krisis Lingkungan” dalam Jurnal Islamika, No. 3. 15. Syamsul Anwar. (2003) “Dilalah al-khofi wa Alayat al-Ijtihad: dirosah ushuliyah bi ikhalah khos ila qodiyah al-qotl al-rakhim” dalam al-Jami’ah Journal of Islamic Studies. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, vol. 41 No. 1. 16. Taufiq Adnan Amal. (1992) Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum FazlurRahman. cet. 3, Bandung: Mizan. 17. Van Peursen. (1997) Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. 18. Yudian W. Asmin. (1995) “Maqasid al-Syari’ah sebagai Doktrin dan Metode”, dalam al-Jami’ah Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, No. 58.

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

20

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF