February 15, 2017 | Author: Muhammad Reza Shahab | Category: N/A
Download MANAQIB WALI-WALI KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW 1...
MANAQIB WALI-WALI KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW 1
1
- Sekilas Sejarah salaf Al-Alawiyin - AL IMAM ISA AR-RUMI - AL IMAM AHMAD AL MUHAJIR - AL IMAM UBAIDILLAH BIN AHMAD AL MUHAJIR - AL IMAM ALWI BIN UBAIDILLAH BIN AHMAD AL MUHAJIR - AL IMAM ALI KHALI' QASAM - AL IMAM MUHAMMAD SHOHIB MIRBATH - AL IMAM AL FAQIH AL MUQADDAM MUHAMMAD - AL IMAM ALWI AL GHUYUR - Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad as Saqqaf (Tarim) - AL IMAM ALI SHAHIBUD DARK - AL HABIB UMAR AL MUHDHOR - AL HABIB ABDULLAH BIN ABU BAKAR AS SAKRAN - AL HABIB AHMAD BIN ABU BAKAR AS SAKRAN - AL HABIB ALI BIN ABU BAKAR AS SAKRAN - Al-Habib Abu Bakar Sakran bin Abdurrahman As-Seggaf - Al - Habib Abdullah bin Alwi Al - Haddad Shohibur Rotib
2
Sekilas SejarahSalaf Al-Alawiyin Sekilas sejarah Salaf Al-alawiyin yang disampaikan oleh Sayid Muhammad Ahmad Assyathiri di tengah sejumlah pemuda, di rumah Al Faqih Al Muqaddam, di kota Tarim, pada tahun 1367 H./1947 M.) Diterjemahkan dari buku,Sirah As-Salaf min Bani 'Alawy Al-Husainiyin, oleh Sayid Muhammad Ahmad Assyathiri, terbitan 'Alam AI-Ma'rifah, Cetakan I, 1405 H, Jeddah, Saudi Arabia Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Dengan nama Allah kami mohon pertolongan. Shalawat dan salam sejahtera atas junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga dan para Sahabat. Pokok pembahasan ceramah ini adalah perjalanan hidup para salaf pendahulu kita keturunan Alawiyin dan Sayidina Husein, serta siapa-siapa yang mengikuti jejak mereka. Semoga Allah mencurahkan rahmat atas semua. Saya pilih bidang bahasan ini karena disamping mengandung banyak pengetahuan tentang sejarah kita – ia merupakan bidang perselisihan dalam pemahamannya. Berbagai macam visi telah timbul, disebabkan tidak adanya, di antara kita dewasa ini, orang-orang yang melakukan penyelidikan secara teliti dengan cara penulisan yang memuaskan, sampaipun mereka yang merasa dirinya sangat antusias terhadap sejarah perjalanan hidup para salaf tersebut. Kendati demikian, kami tidak menyampaikan kecuali hal-hal yang benarbenar jelas dan terang laksana matahari di waktu siang, tersurat di dalam kitabkitab Alawiyin, baik yang lama maupun yang baru sehingga dapat dimengerti secara jernih dan mudah dicerna. Memang, kesalahpahaman dalam memahami perjalanan hidup salaf tidak ditimbulkan karena samar dan tidak jelasnya sejarah itu, melainkan karena keengganan kita dan tidak adanya usaha yang sungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban itu. Barangkali kelak akan datang suatu saat, di mana menyatakan pendapat atau membahas, persoalan-persoalan semacam ini, atau fakta-fakta historis yang lain akan mempunyai arti yang sangat penting di mana orang sangat mendambakan untuk memperoleh, meskipun hanya sekilas cahaya dari padanya agar dapat menerangi mereka menuju jalan yang lurus. • Siapa Salaf ? Kata Salaf mempunyai beberapa penggunaan. Penggunaan secara umum, yaitu sebagai istilah yang dipakai oleh ahli-ahli ilmu agama sebagai sebutan khusus bagi mereka yang hidup pada abad-abad pertama, kedua, dan ketiga Hijrah, atau dengan kata lain sebagai sebutan bagi para sahahat Nabi, tabi’in dan tabi’it-tabi’in. 3
Namun ulama Hadramaut (dari golongan Alawiyin) menggunakan sebutan itu selain bagi mereka yang tersebut di atas juga bagi pendahulu-pendahulu mereka (kaum Alawiyin) yang saleh. Habib Abdullah Al-Haddad [1] membatasi penggunaan sebutan itu mulai dari Syekh Ali bin Abubakar As-Sakran [2] ke atas “Mereka,” kata Al-Haddad, “adalah orang-orang di mana kita tunduk sepenuhnya (dalam segala hal) yang mereka lakukan. Adapun yang datang kemudian, mereka ’laki-laki’ dan kita ‘laki-laki’ (yakni kita herhak mengikuti atau menolak sesuai dengan dalil).” Kendati demikian, ucapan Al Haddad ini tidak menghalangi mereka yang datang sesudah Syekh Ali Abubakar As-Sakran , bahkan Al Haddad sendiri dan murid-muridnya, untuk digolongkan sebagai salaf. Sebab telah menjadi istilah ulama Hadramaut terdahulu – sampaipun mereka yang akhir-akhir ini masih bisa kita jumpai menggunakan kata salaf bagi pendahulu mereka yang saleh. di mana kemudian akan kami jelaskan tahap-tahapnya • Permulaan Sejarah Perjalanan Hidup Alawiyin Abad ketiga Hijrah merupakan abad kegoncangan dan kekacauan, khususnya di negeri Irak yang selalu terjadi pemberontakan dan huru-hara (fitnah). Kerajaan Bani Abbas tidak mampu lagi mengekang dan mengatasi pemberontakan dan huru-hara yang senantiasa timbul dan telah membuat seluruh dunia Islam bergolak laksana periuk yang sedang mendidih, sedang penguasa tak mampu menegakkan keamanan umum yang telah goyah selama bertahun-tahun. Semua itu membuat banyak orang – terutama tokoh-tokoh yang menonjol – berhijrah meninggalkan kampung halamannya mencari kediaman yang aman. Di antara orang yang hijrah dari Irak adalah Al-Iman Ahmad Al-Muhajir Ilallah [3] (berhijrah mencari ridha ALLAH) Sebab Al Muhajir- seperti tokohtokoh ahlul bait yang lainnya selalu merasa ketakutan dan senantiasa menjadi sasaran pembunuhan dan penganiyaan. Hal demikian makin terasa pada saat terjadi pemberontakan dan huru-hara, di mana musuh-musuh Alawiyin rnenggunakannya sebagai kesempatan untuk menganiaya dan membantai mereka. Hal ini terutarna akibat rasa khawatir bahwa di dalam suasana kacau itu, kaum Alawlyin akan menampilkan diri untuk memegang kendali kekuasaan di tengah umat Islam yang tetap berpendirian bahwa kewajiban mereka adalah menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Ahlulbait, keturunan Nabi pembawa agama ini serta bernaung di bawah panjinya, betapapun secara lahir mereka (umat Islam) tunduk kepada pemimpin yang lain. Atau demikianlah semestinya. Namun banyak di antara tokoh Alawiyin berusaha menahan diri dan menghindar untuk tidak terjebak ke dalam huru-hara itu serta berupaya untuk 4
tidak terlibat dalam pergolakan-pergolakan politik, disebabkan pelajaranpelajaran praktis yang mereka terima dari berbagai pengalaman dalam bidang ini. Karena itu, bergerak di dalam lapangan politik – menurut pandangan mereka – akan selalu berakhir dengan kegagalan. Demikianlah pendirian segolongan Alawiyin. Namun ada segolongan lain berpendirian, bahwa Alawiyin harus berkorban dalam segalanya untuk menyelamatkan umat, yang harus terus menerus berjuang sehingga tujuan tercapai, atau mati bergelimang darah di tengah medan pertempuran. Imam Al Muhajir termasuk golongan pertama, sedang saudaranya Muhammad bin Isa termasuk golongan kedua, dibuktikan dengan perlawanannya terhadap kekuasaan Abbasiyah. Dalam hal ini, Al Muhajir selalu memperingatkan dan memberi nasihat kepada saudaranya agar tidak melakukan perlawanan. Peringatan dan nasihat diberikan secara terus menerus, sehingga akhirnya merasa puas dan yakin akan kebenaran pendirian Al Muhajir, lalu menghentikan perlawanannya. Jadi jelaslah, Al Muhajir memilih tinggal di Hadramaut (Yaman Selatan), negeri yang tandus gersang, hampir terputus hubungannya dengan dunia luar, hanyalah sekadar dapat hidup aman dan damai bersama keluarganya, serta dapat menunaikan kewajiban agama dan kegiatan duniawi dalam suasana tenteram dan aman, setelah menyaksikan segala pengalaman yang terjadi baik di negeri Irak maupun di daerah-daerah lain, berupa pemberontakan, huruhara dan peristiwa-peristiwa lain. Semua itu menyebabkan hilangnya ketenangan dan menyusahkan hati. Hendaknya kita tidak terburu untuk berprasangka bahwa Al Muhajir hanya bermaksud mengurung diri, serta beruzlah tanpa mempedulikan umat dan masyarakat di sekitarnya. Tidak. Al Muhajir bertujuan mendirikan suatu masyarakat baru, di negeri baru ini, sesuai cita-cita dan keyakinannya. Oleh karena itu setibanya di negeri ini Al Muhajir tak henti hentinya berjuang melawan kaum Ibadhiah [4] yang merupakan mayoritas penduduk Hadramaut. Yaitu setelah gagal berdialog dengan mereka secara baik, sehingga terpaksa senjata harus berbicara. Al Muhajir dan pengikutnya yang berjumlah kecil itu, telah mendapat dukungan dari penduduk Jubail dari Wadi Dau’an yang bersimpati kepada Ahlulbait. Cara hidup Al Muhajir (mencari kedamaian dan kebenaran ) diterima kemudian oleh anak cucunya dan benar-benar mempengaruhi jiwa mereka, yang akhirnya kehidupan mereka hampir sama di semua tahap-tahap sejarah, sebagai akan dituturkan kemudian.
5
• Tahap-Tahap Sejarah Alawiyin Sesungguhnya sejarah perkembangan Alawiyin, mengalami pasang-naik dan pasang-surat, sesuai dengan kehidupan mereka yang selalu berubah. bagaimanapun juga, golongan Alawiyin selalu memelihara identitasnya, yaitu berpegang teguh dengan KITAB ALLAH (Al Qur’an) dan SUNNAH (ajaran-ajaran nabi Muhammad SAW dalam segala bidang kehidupan) luhur yang padu dan utuh secara Islam. Adapun sejarah perkembangan Alawiyin — menurut pandangan kami dapat dibagi menjadi empat tahap, sebagai berikut : Tahap — Abad (Hijriah) Pertama — Ke-3 s/d Ke-7
— Zaman — Ahmad Al-Muhajir s/d M. Al-Faqih AlMuqaddam Kedua — Ke-7 s/d Ke-11 — M. Al-Faqih Al-Muqaddam s/d Abdullah AlHaddad Ketiga — Abad ke 11 s/d ke 13. Keempat — Ke-14 s/d Kini Tahap-tahap itu diikuti pula dengan perbedaan gelar dan sebutan bagi tokoh tokoh Alawinyin, maka sebutan atau gelar setiap tahap berbeda dengan gelar atau sebutan pada tahap yang lain. Sebagai berikut : Tahap —————- Gelar Pertama ————– Al-Imam Kedua —————- As-Syech Ketiga —————- Al-Habib Keempat ————– As-Sayid Sebutan demikian itulah yang digunakan orang bagi tokoh-tokoh Alawiyin pada masing-masing tahap. Kendati demikian, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa sebutansebutan dan gelar-gelar itu khusus bagi tokoh-tokoh Alawiyin. Hanya saja – seperti diketahui sebutan dan gelar-gelar itu lebih populer penggunaannya bagi mereka. TAHAP PERTAMA Tahap pertama sejarah perjalanan hidup Alawiyin ini memiliki keistimewaan sebagai tahap pembangunan kehidupan baru dan pembauran dengan masyarakat baru di negeri baru. Pada tahap ini, tokoh-tokoh Alawiyin telah berhasil mempengaruhi masyarakat Hadramaut serta menyesuaikan diri 6
dengan kehidupan mereka. Tokoh-Tokoh Alawiyin dalam kehidupan sehari-hari benar-benar mirip dengan kehidupan tokoh-tokoh sahabat Nabi di kurun Islam pertama, baik dalam ilmu, akhlak maupun ibadah. Ketika baru berada di tengah rnasyarakat Hadramaut. Al Muhajir dihadapkan dengan suasana jihad yang tak terelakkan. Al Muhajir ketika itu harus melawan golongan ibadhiah”, baik dengan lisan maupun dengan senjata, sehingga Al Muhajir berhasil menyebar luas ajaran” Ahlus sunnah seperti jelas di uraikan didalam kitab-kitab sejarah yang menerang riwayat hidup (Biografi) Al Muhajir. Kemudian, putra-putranya dan keturunannya meneruskan langkah itu, memimpin masyarakat hadramaut dalam bidang ilmu, budaya dan ekonomi. Bahkan dalam bidang politik yang bersifat mengawasi dan membimbing (para penguasa) demi tercapainya kepentingan umum, tanpa berambisi memegang tampuk kekuasaan secara praktis. Tokoh-tokoh Alawiyin pada tahap ini, adalah Imam-Imam mujtahid (dalam arti tidak mengikuti atau terikat dengan salah satu mazhab) seperti diriwayatkan oleh beberapa ulama, yang masing-masing tokoh terkenal dengan gelar “Imam” seperti Imam Al Muhajir, Imam Alawi bin Ubaidillah dan lain-lain. Namun, ijtihad mereka seringkali bersesuaian dengan Imam Assyafi’i dalam bagian terbesar madzhabnya Adapun aspek-aspek aqidah mereka, sama seperti para leluhur mereka sampai Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Tokoh-tokoh Alawiyin ini telah membawa sebagian kekayaan mereka dari negeri asal, yaitu Bashrah (Irak). Kekayaan itu amat besar jumlahnya sehingga mereka dapat membeli tanah-tanah, kebun-kebun, bangunan-bangunan, dan sebagainya di negeri ini. Kekayaan itu juga dikembangkan di dalam bidang pertanian yang menjadi usaha pokok dan sumber utama Alawiyin tahap itu. Dalam keadaan demikian, mereka senantiasa teringat karnpung halaman dan sesekali timbul kerinduan ketika mengenang masa lampau di negeri Irak, sehingga mereka rnembuat lambang-lambang dengan narna taman-taman, kebun dan pesanggrahan yang telah ditinggalkannya itu. Dalam tahap ini setiap Alawi menampilkan pribadi yang mulia dengan beberapa keistimewaan berupa ilmu. akhlak. ibadah dan. wibawa, sehingga keluarga ini dikenal dan dibedakan oleh masyarakat karena ciri-ciri kemuliaan itu. • Ilmu Tokoh-Tokoh Alawiyin Ilmu yang dikuasai tokoh-tokoh Alawiyin tahap ini meliputi: Tafsir Hadist, Fiqih, Sastra/ Bahasa, metode berdebat dan berdiskusi, serta ilmu pengetahuan lain, yang telah berkembang pesat dewasa itu termasuk tasawuf. Hanya saja ilmu tasawuf ini memperoleh perhatian lebih dalam dan lebih khusus pada
7
tokoh-tokoh tahap kemudian. Tokoh-tokoh tahap ini memperhatikan tasawuf sebagai amalan praktis dan buhan sebagai teori ilmiah semata. • Akhlak dan Budi Pekerti Alawiyin Sifat yang paling menonjol bagi seorang Alawi tahap ini adalah: kedermawanan, dan keberanian (sebagai ciri umum keturunan bani Hasyim). Sifat ini diimbangi dengan tawadhu’ rendah hati), di samping tegas dan tidak kenal kompromi dalam mempertahankan kebenaran. memperhatikan bidang keperwiraan, menggunakan alat-alat perang dan menyandangnya dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Sifat terakhir ini kernudian berubah pada tokoh-tokoh Alawiyin generasi berikutnya, yang dalam menggunakan alat-alat perang dan menyandangnya dianggap menyalahi tradisi dan bertentangan dengan sopan santun hal ini berlaku sejak Alawiyyin mengikuti “Terakat Tasawwuf “ pada abad ketujuh ketika Imam Al Faqih Al Muqoddam menerima “Khirqah” (Baju Tasawwuf) dan Syekh Abu Madyan, tokoh sufi dari negeri magrib (Afrika utara) . Sejak itu Al Fagih Al Muqoddam menjauhi penggunaan senjata untuk menekuni ilmu dalam suasana damai. • Hubungan Alawiyin dengan Dunia Luar Adalah merupakan watak dan tabiat seorang Alawi, tidak pernah merasa tentram di satu daerah tertentu, untuk kemudian tinggal selama hidup. Hidup bebas dan pergi, kemana saja untuk mencari daerah-daerah baru merupakan watak dan cirinya. Satu daerah saja dipandang sempit dan tidak memberi kepuasan untuk mengembangkan cita-cita dan mencapai tujuannya. Apalagi di negeri seperti Hadramaut, negeri ini akan memaksa penduduknya berhijrah karena sempitnya bidang ke hidupan. di samping terjadinya pergolakan dan pertumpahan darah antara kabilah-kabilah yang selalu berkecamuk. akibat tidak adanya pemerintahan yang kuat dan stabil. OIeh karena itu, seorang Alawi – seperti halnya penduduk Hadramaut pada umumnya – mengadakan perjalanan ke negeri-negeri tetangga, seperti: Yaman, Hijaz, Syam dan. Irak, baik demi tujuan budaya, ekonomi, maupun agama. Pada mulanya, Alawiyin seringkali hilir mudik mengunjungi Irak — negeri asal mereka – untuk bertemu kembali dengan sanak keluarga. memeriksa harta kekayaan yang ditinggalkan, bahkan hingga kini keturunan Imam Muhammad bin Isa Ar Rumi (saudara sekandung Al Muhajir) terus juga berkembang di negeri ini. Sesuatu yang patut digarisbawahi di sini, ialah bahwa tokoh tokoh Alawiyin yang menonjol pada tahap perkembangan, ini terdiri dari keturunan 8
Imam Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar Rumi, yakni Bashri, Jadid dan Alawi. Kendali pimpinan dipegang oleh keturunan kedua orang yang pertama, yaitu Bashri dan Jadid. Namun keturunan mereka kemudian terhenti dan tidak berkelanjutan, yang pada abad ketujuh H. tidak ada lagi seorang pun dari keturunan mereka. Sayang ahli-ahli sejarah tidak menghidangkan untuk kita jasa dan peran yang pernah dimainkan oleh keturunan Bashri dan Jadid, kecuali nama beberapa tokoh saja yang dicatat, yang di antaranya adalah Imam Ahli Hadits Imam Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid (wafat 620 H.) dan Imam Salim bin Bashri (wafat 604 H.) Adapun tokoh-tokoh sesudah waktu tahap ini hanyalah dari turunan Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Ar Rumi (dari Alawi inilan datang sebutan Alawiyin bagi keturunaannya). Meskipun demikian, silsilah keturunan Alawiyin seluruhnya selalu melalui lima rangkaian nasab saja, yang menunjukkan bahwa Alawiyin baru berkembang dan bercabang setelah abad ke enam H. Rangkaian silsilah ke lima orang itu adalah: Muhammad bin Ali bin Alawi bin Munammad bin Alawi ( bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir). Di antara putra-putri Muhammad bin Ali bin Alawi ( terkenal dengan gelar Shahib Mirbath, wafat 556 H.) yang berketurunan hanyalah dua orang putranya, yakni Imam Alawi, paman ( saudara ayah ) Al Faqih Al Muqaddam, dan Imam Ali bin Muhammad, ayah Al Faqih Al Muqaddam. Pada kedua orang inilah tercakup seluruh nasab Al-Alawiyin, seperti tercakupnya nasab seluruh Al-Husainiyin pada Imam Ali Zainal Abidin, kemudian pada putranya Muhammad Al Bagir. Ubaidillah adalah putra Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa Arrumi bin Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Asshadiq bin Muharnmad Albaqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, suami Siti Fatimah Azzahra’ putri Rasul Allah saw. TAHAP KEDUA (a) Tahap ini bermula-seperti telah kami terangkan pada awal ceramah – dari abad ketujuh H hingga menghampiri abad kesembilan H. Yakni dari masa Al Fagih Al Muqaddam hingga mendekati zaman Al-Habib Abdullah Al Haddad. Tokoh – tokoh tahap ini terkenal dengan gelar “Syekh”. Apabila kita hendak membuat suatu perbandingan antara tokoh-tokoh masa ini, yang di antara tokoh-tokohnya adalah para Imam seperti Al Faqih Mugaddam[5] , Assegaf[6] , Al Muhdhar[7] , Al-A’idarus*8+ , Zain Al-A’bidin Al-A’idarus *9+ dengannya tanpa di sini patut kita kemukakan secara obyektif, bahwa tokoh-tokoh tahap ini, dalam kenyataannya yang dibuktikan melalui karya dan hasil tulisan mereka, tidaklah mencapai hasil atau kualitas puncak, baik dalam penulisan karya-karya ilmiah maupun dalam syair. Bahkan tidak kita jumpai di antara karya mereka 9
yang menunjukkan kejeniusan dan kehebatan dalam bidang-bidang ilmu dan kebudayaan yang dapat mengimbangi keunggulan mereka dalam bidang akhlak dan pengamalan agama. Hal itu, tampaknya, disebabkan oleh pengaruh tasawuf yang mendalam, sehingga tokoh-tokoh tahap ini tidak begitu memperhatikan untuk berkarya, baik dalam lapangan budaya maupun karya-karya ilmiah (sebab tasawuf hanya memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa memberikan perhatian yang cukup besar terhadap segi-segi lahiriah – penerj.). Kalaupun ada, hal itu tidak banyak di lakukan. Itu pun tanpa memperhatikan penggunaan bahasa yang indah, terpilih dan tersusun rapi dalam penampilan yang kuat. Dalam penulisan, tokoh-tokoh tahap ini sering menggunakan bahasa sehari-hari (atau dialek setempat) dalam mengungkapkan suatu hakikat, dan dengan cara apa adanya tanpa mempedulikan susunan atau gaya bahasa. Adapun dalam bidang ekonomi, maka tahap ini telah mengalami peningkatan dibanding dengan tahap sebelumnya. Apabila tahap terdahulu kegiatannya terbatas pada bidang pertanian saja, dengan menginvestasikan kekayaan mereka hanya dalam bidang ini saja, maka Alawiyin pada tahap ini – di samping pertanian – telah juga berinvestasi di bidang perdagangan. Mereka mendirikan pusat-pusat perdagangan di pesisir Hadramaut, Aden dan Yaman. Mereka juga mengadakan perjalanan dagang ke India dan negara-negara lain, disertai dakwah menyiarkan agama Islam. Adapun perjalanan ke Timur (negaranegara Asia Tenggara), untuk kedua tujuan tersebut, maka hal itu baru mereka lakukan kemudian (yakni sekitar abad kesebelas H. – penerj.). Dengan cara demikian mereka perluas daerah perdagangan serta kegiatannya di dalam negeri dengan mengalirya arus barang dan uang, yang sebelumnya kegiatan mereka hanya terbatas pada bidang pertanian saja. Perlu dikemukakan, meskipun tokoh-tokoh Alawiyin melakukan berbagai kegiatan ekonomi, namun berkat disiplin ketat, kekuatan iman dan takwa, mereka tetap tekun dalam menjalankan ibadah, membaca wirid-wirid khusus, dan berdakwah. Allah telah berkenan memberikan berkah waktu dengan membagi masing-masing kegiatan secara cermat, sehingga dapat melakukan semua kegiatan itu dengan sempurna, sesuai keseimbangan yang digariskan oleh syari’at. Berbicara mengenai tingkat kesufian Alawiyin tahap ini, maka seperti telah dikemukakan pada awal ceramah. bahwa “Tarekat Tasawuf” baru dikenal di hadramaut pada awal abad ketujuh H. ketika Syekh Abu Madyan – tokoh ahli Sufi dari negeri magrib (Afrika utara) mengutus muridnya yang tepercaya ke negeri Hadramaut untuk menghubungi Alfagih Al Muqaddam secara khusus dan beberapa ulama yang lain di negeri ini. Dalam pada itu, Syekh Abu Madyan 10
juga mengirim “khirqah” tasawuf, berupa sehelai baju yang dipakaikan oleh seorang guru (tasawuf) kepada muridnya, yang dengan demikian seorang guru berhak rnengarahkan pendidikan muridnya itu (secara tasawuf ). Melalui seorang muridnya, sebagai perantara, Syekh Abu Madyan memakaikan “khirqah” itu kepada Al Faqih Al Muqaddam. Ketika Syekh Abu Marwan, guru Al Faqih Al Muqaddam mengetahui hal itu, ia menjadi marah, demikian juga dengan beberapa ulama Tarim yang tidak menyukai hal itu, sebab mereka khawatir akan kehilangan citacita dan rencana mereka untuk menokohkan Al Faqih Al Muqaddam sebagai pemimpin dan Imam. Ketika itu Alfagih Almugaddam belajar beberapa cabang ilmu dari Syekh Abu Marwan dengan acapkali menyandang senjata, bahkan kadang-kadang sambil belajar ia meletakkan pedang menyilang di atas pahanya. Orang-orang yang kurang senang dengan tindakan Al Faqih Al Muqaddam itu, mengira apa yang kelak akan dilakukan oleh Al Faqih Al Muqaddam merupakan salah satu tarekat yang hanya semata mata memperhatikan segisegi keruhanian tanpa menghiraukan urusan duniawi. Namun sesungguhnya Alfagih lebih bijaksana serta berpandangan jauh dan luas. Ia tidak menginginkan pengikutnya mengenakan gimbal bertambal (muragga’at), mengembara tanpa arah sebagai “darwisy” (orang ‘fakir’) yang melakukan caracara aneh dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, atau menjalankan latihanlatihan ruhani (yang berlebihan). Al Faqih Al Muqaddam melarang pengikutnya bertaklid buta terhadap guru, khususnya dalam hal-hal yang ada kemungkinan bertentangan dengan Alkitab dan Sunnah. Tarekat yang dianut oleh Alfagih Al Muqaddam dan pengikutnya adalah “Atthariqah Al-Alawiyah” yang dasarnya adalah mengikuti apa yang tersurat di dalam Alkitab (Alqur’an) dan Assunnah (ajaran Nabi), meneladani tokoh-tokoh Islam kurun pertama (para sahabat dan tabi’in). Itulah yang dinyatakan di dalam kitab-kitab mereka, ceramah dan nasihat agama, dan surat menyurat mereka antara yang satu dengan yang lain, serta dikuatkan pula oleh perilaku dan tindak tanduk Salaf Al alawiyin. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Alawiyin yaitu Habib Abdullah Al Haddad dalam sebuah bait syair sebagai berikut : Berpegang teguhlah engkau dengan Kitab Allah,ikutilah Sunnah nabi Serta teladanilah para Salaf terdahulu Semoga Allah memberi engkau petunjuk-Nya Demikian pula dinyatakan oleh Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi : Demikian inilah amalan-amalan murni dari segala campuran Ditambah ilmu dan keluhuran akhlak serta wirid-wirid yang cukup banyak Dengan demikian jelaslah, golongan Alawiyin pengikut tarekat tasawuf, tetapi tasawuf mereka tidak menghalangi untuk melakukan tugas-tugas 11
kehidupan, baik yang bersifat kemasyarakatan (sosial), keluarga maupun pribadi. Dalam segi tasawuf ini, Alawiyin menyerupai sahabat Nabi dan para tabi’in yang terkenal dengan kesufiannya namun tidak terhalang untuk berjihad menyebarluaskan ilmu dan dakwah. Kaum Alawiyin adalah penganut madzhab tasawuf yang berintikan sikap zuhud. Namun zuhud tidak menghalangi mereka untuk mengumpulkan harta yang amat besar jumlahnya asal diperoleh melalui jalan yang wajar dan halal, yang kemudian disalurkan untuk kepentingan umum, menjamu tamu, mendirikan masjid dengan mencadangkan wakaf untuk pembiayaannya, menggali sumur untuk menyediakan air bersih yang sangat diperlukan, membuka dapur-dapur umur, dan mendirikan pondok pesantren untuk menyebarluaskan ilmu dan dakwah ke jalan Allah. Mengusahakan perdamaian dan memperbaiki hubungan antara golongan-golongan yang bersengketa, bersedekah dan membantu mereka yang memerlukan bantuan. Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi penganut madzhab Syafi’i, namun mereka tidak bertaklid kepada Imam Syafi’i dalam segala hal. Dalam soal-soal tertentu, mereka meninggalkan pendapat Imam Syafi’i. Kaum Alawiyin adalah penganut Al-Asy’ari (dalam soal-soal Tauhid), namun mereka juga meninggalkan faham Al-Asy’ari dalam beberapa hal, seperti mengenai sahnya taklid dalam soal iman. Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin sangat mengagumi karya-karya Al-Ghazali serta falsafahnya dalam bidang akhlak dan tasawuf, namun mereka tidak mengikutinya secara bertaklid buta, melainkan memperhatikan kekurangan dan kelemahan AlGhazaIi, sehingga ada diantara tokoh mereka yang mengatakan. “Di dalam kitab Ihya’ ada beberapa pernyataan seandainya dapat dihapus dengan air mata kami, kami akan melakukannya” *10+. TAHAP KEDUA (b) Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, sebagian mereka menyukai nyanyi dan lagu yang sehat tanpa disertai tindakan yang melanggar akhlak, apalagi minum-minuman yang memabukan, seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut tarekat lainnya. Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun mereka tidak berkhalwat atau melakukan latihan latihan rohani secara berlebihan dan melampaui batas. Kalaupun ada, sangatlah jarang, dan mereka melakukannya dengan cara yang tidak merusak, baik fisik maupun mental, serta bertujuan semata mata mendidik jiwa, menghilangkan sifat-sifat kelemahan dan kekotoran rohani, sebagai usaha untuk menyucikan diri dari kungkungan nafsu angkara murka dan syahwat.
12
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun tasawuf mereka tidak melarang tokoh-tokoh besar dan ulama mereka menduduki jabatan-jabatan penting: sebagai hakim, pemberi fatwa (Mufti), guru-guru besar, atau usahawan dalam bidang pertanian, perdagangan atau pertukangan, baik sebagai pimpinan maupun pelaksana lapangan. Alfagih Al-Muqaddam – misalnya – bapak Alawiyin dalam tasawuf, mungkin kita tidak pernah mengira bahwa Alfagih bertindak mengurusi perkebunan dan sawah ladangnya sendiri, mengatur rumah tangga dan keluarga, bahkan kadang-kadang berbelanja sendiri ke pasar. Kita mungkin tidak pernah rnembayangkan bahwa perkebunan Alfagih ini terdiri dari ribuan batang pohon kurma dan buah kurma hasil perkebunan itu – seperti di riwayatkan di dalam Silsilah Al A’idarusiyah – adalah sekitar 360 guci (zier). setiap guci berisi sekitar 1800 rathl (kati). Penulis kitab Al masyra’ Ar rawiy bercerita tentang kekayaan Al-habib Abdullah bin Alawi Al-Ghuyur.[11] cucu Al-faqih Al-Muqaddam (wafat 731 H.) Abdullah bin Alawi Al-Ghuyur ini telah mewakafkan untuk masjid Bani Alawi di Tarim seharga 90.000 dinar. Ia mempunyai daftar tetap yang didalamnya tercatat nama orang-orang yang memerlukan bantuan, selain hadiah-hadiah yang diberikan kepada para penyair. Kendati demikian, ditinjau dari segi tasawuf dan ibadahnya, hampir tidak ada orang yang dapat menandinginya. Sedang dari ilmu, telah dicatat bahwa dia pernah berguru kepada seribu orang Syekh (guru) terdiri dari ulama-ulama Yarnan, Hadramaut, Hijaz, Irak dan Maghrib(Afrika Utara). Demikian pula dengan Habib Abdurrahman Assagaf, betapapun banyak kegiatan dan kesibukannya dalam rnengerjakan wirid, zikir dan rnengajar, namun memiliki perkebunan dan sawah ladang yang luas sekali serta meminta laporan tentang biaya-biaya yang dikeluarkan oleh, para pekerjanya, pada waktu antara maghrib dan isya’, seperti diriwayatkan oleh Alkhathib, penulis kitab Aljauhar. Pohonpohon kurmanya amatlah banyak, tidak sedikit di antara pohon-pohon itu yang ditanam dengan tangannya sendiri, sambil membaca surat YaSin pada setiap pohon yang ditanamnya. Habib Umar Al Muhdhar putra Habib Abdurrahman Assaqaf, adalah seorang ulama besar yang diyakini sebagai seorang wali Allah, namun tergolong seorang yang cukup kaya, yang kekayaannya di antaranya adalah kapal-kapal, tanah-tanah pertanian, kebun kurma dan lain-lain, seperti diterangkan semua itu di dalam surat wasiatnya. Demikian pula dengan Imam Abubakar Al-A’dani, putra Habib Abdullah AlA’idarus ( yang makamnya cukup terkenal di kota Aden ) tergolong seorang hartawan di zamannya.Setiap hari memotong 30 ekor kambing untuk menjamu para tamu dalam berbuka puasa seperti dicatat oleh penulis biografinya.Imam 13
Abu Bakar Al-A’dani telah melunasi hutang ayahnya setelah wafat sebanyak 30 ribu dinar. Imam Abu Bakar Al-A’dani wafat 914 H. Demikian pula halnya dengan keturunan Habib Abdullah bin Syekh AlA’idarus ( keponakan al-A’dani ), yang banyak berhubungan dengan raja-raja India. Kita akan kagum mempelajari riwayat hidup mereka, sebab di samping hasil karya ilmiah yang mereka cipta dan perbaikan sosial yang mereka lakukan serta ketekunan mereka di bidang ilmu dan ibadah, tokoh-tokoh ini mampu memiliki kekayaan yang demikian besar, menandingi para raja dan pangeran. Sedang sebagian besar kekayaan itu, dinafkahkan untuk perbaikan sosial dan kepentingan umum.[12] Jadi, faharn tasawuf yang dianut oleh golongan Alawiyin adalah ajaran tasawuf yang wajar dan sehat, tidak membawa pengikutnya menjurus kepada fanatisme dan jumud (kebekuan) atau menjurus kepada ekstrimisme dan ingkar. Ajaran tasawuf mereka merupakan sikap tengah yang memelihara keseimbangan dalam semua segi. Perlu kiranya dicatat disini, bahwa apa yang dihubungkan kepada tokohtokoh Alawiyin berupa latihan amat banyak secara umum tidak mampu dilakukan manusia biasa serta bertentangan dengan naluri yang wajar, baik itu berupa tidak tidur siang malam untuk beberapa tahun lamanya berhenti makan dan minum berpuluh-puluh hari secara terus menerus, maupun mengkhatamkan pembacaan Alqur’an beberapa kali di waktu siang dan beberapa kali di waktu malam. Hal – hal semacam itu hanyalah merupakan tindakan-tindakan khusus yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu saja yang memang diberi kemauan dan kemampuan oleh Allah, di samping adanya kesediaan batin untuk melakukannya. Hal-hal semacam ini memang tidak dapat dilakukan oleh selain mereka sebab sifatnya yang khusus dan merupakan pengecualian dan yang umum. Bahkan lingkungan mereka sendiri memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh, sehingga apabila ada yang menceritakannya, hanyalah sekadar menyatakan rasa kagum terhadap sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi hal-hal semacarn itu boleh saja digolongkan sebagai “karamah” yang telah diuraikan oleh ulama (tasawuf) secara jelas. Perlu pula dicatat di sini, bahwa pernyataan-pernyataan yang kadang-kadang diucapkan oleh beberapa tokoh Alawiyin tertentu – seperti dicatat oleh sebagian penulis sejarah terdahulu yang pada lahirnya bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’, dan yang terkenal dengan sebutan syathahat adalah bukan karena mereka telah meyakini faham “wahdatul wujud” (panteisme), bukan pula untuk menyatakan kesombongan dan membanggakan diri, seperti dituduhkan oleh sementara orang. Sebab kebersihan pribadi dan kejujuran tokoh-tokoh itu cukup dikenal dalam sejarah. 14
Pada hakikatnya, pernyataan-pernyataan itu dilontarkan pada saat mereka dalam keadaan ganjil dan luar biasa, di mana mereka berada dalam suasana tak sadar (keadaan fana), sehingga apa yang diucapkan itu dapatlah dimaafkan, dan tidak dapat dicatat sebagai pelanggaran yang mengakibatkan dosa, apalagi kufur. Betapa pun juga, tidaklah sepatutnya hal-hal seperti itu disiarkan, mengingat mereka sendiri pun tidak rnenyukainya. • Organisasi Alawiyin “An Naqabah” Pada tahap pertama sejarah perkembangan Alawiyin, sebelum bercabangcabang dan bersuku-suku, kaum Alawiyin tidak merasa perlu untuk membuat suatu sistem sosial khusus sebagai pengatur kehidupan mereka. Cukuplah bagi golongan ini untuk mempunyai seorang atau beberapa orang pemimpin yang secara otomatis diakui sebagai pemimpin keluarga atau marga. Baru pada tahap kedua dalam sejarah perkembangan Alawiyin, setelah menjadi banyak dan tersebar ke berbagai daerah terasalah bagi tokoh Alawiyin guna membela dan memelihara kedudukan dan kepentingan mereka, melindungi kehormatan serta memecahkan problema yang timbul, baik yang bersifat intern maupun ekstern. Sistim ini dikenal dengan sebutan ” Naqabah”. Sistem ini baru diadakan pada zaman Habib Umar Al-Muhdhar, yakni pada akhir abad kesembilan Hijriah, di mana Habib Umar Al Muhdhar sekaligus terpilih sebagai Naqib. Dewan “Naqabah” ini terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan oleh 5 orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka, sebagai tersirat di dalam teks piagam yang disetujui oleh tokoh-tokoh Alawiyin dan pernah dimuat di majalah Al-Jam’iyah, nornor 8, tahun 1357 H. Dewan yang terdiri atas 10 anggota ini rnengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran syari’at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (atau Nagib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan. Dengan demikian jelaslah, sepuluh orang anggota dewan masing-masing merupakan wakil-wakil atau naqib-naqib dari setiap kelompok atau suku, sedang wakil-wakil itu dipimpin oleh “Naqib Annaqabah” *atau Naqib para Naqib+ yang kemudian dikenal pula dengan sebutan “Nagib Al-Asyraf”. Setiap anggota dewan sangat patuh dan taat terhadapnya. Dan kepadanya pula dikembalikan segala problema, serta pelaksanaan organisasi dan perbaikan, di samping ia merupakan lambang kekuatan, kesepakatan, wibawa dan pengaruh Alawiyin.
15
Dalam memecahkan persoalan yang dihadapi, lembaga ini akan menempuh cara damai. Namun jika tidak berhasil, maka digunakanlah cara boikot, yaitu Nagib memutuskan hubungan dengan orang-orang yang dianggap melakukan pelanggaran atau membangkang, dengan cara menolak berjabat tangan (bersalam-salaman) maupun dengan cara-cara lain. ‘Tindakan Naqib akan diikuti semua Alawiyin, sehingga orang itu kembali kepada jalan yang benar. Apa yang kami tuturkan ini adalah bersumberkan piagam yang telah kami sebutkan, di atas dan ditetapkan oleh Alawiyin pada zaman Habib Umar Al Muhdhar, dan didukung dan dibubuhi tanda tangan Sultan Tarim ketika itu, yaitu Sultan bin Duais bin Yamani. Sultan ini berjanji akan membantu terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalam piagam itu, yang diikuti pula oleh tanda tangan seluruh naqib (anggota dewan) beserta pendukungnya yang jumlah keseluruhan tidak kurang dari 50 orang. Patut disayangkan bahwa teks piagam ini tidak rnenyebutkan tanggal dan tahun penulisannya dan juga tidak menyebut urut-urutan nama (daftar) para nagib yang pernah menduduki jabatan itu, namun dengan membaca kembali kitab-kitab biografi Alawiyin, seperti kitah Al-Masyra ‘Arrawiy dan lain-lain, menerangkan bahwa di antara para Naqib yang terkenal, antara lain adalah Habib Abdullah Al-A’idarus Al-Akbar (wafat 865 H.). Sebab setelah Habib Umar Al Muhdhar wafat, tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Muhammad bin Hasan bin Asad Allah, yang terkenal dengan gelar Jamalullail untuk diangkat sebagai Nagib, namun ia menolak dan menunjuk Habib Abdullah Al-A’idarus sebagai gantinya, yang saat itu masih berusia muda, tetapi telah menunjukkan kemampuan untuk memangku jabatan tersebut. Akhirnya – setelah pertamanya menolak juga – Habib Abdullah Al-A’idarus menerima. Pengganti A1-A’idarus adalah Imam Ahmad bin Alawi Bajahdab yang wafat tahun 973 H. Berikutnya Habib Abdullah bin Syekh bin Abubakar Al-A’idarus (wafat 1019 H.), kemudian putranya bernama Habib Zainal Abidin (wafat 1041 H.). Adapun pada masa-masa selanjutnya saya tidak menemukan catatan sejarah yang menegaskan adanya seorang Naqib yang dipilih, meskipun kadang-kadang terjadi kepemimpinan seorang tokoh Alawiyin semata-mata karena daya tarik kharisma dan kekuatan pribadinya di samping memang memenuhi persyaratan untuk jabatan sebagai Naqib. Pada masa-masa selanjutnya telah timbul pula sistem “Manshabah”, yang tersebar luas di beberapa daerah Hadramaut. Tugas “Munshib” pada dasarnya adalah mendamaikan sengketa yang terjadi antara suku-suku yang memanggul senjata, menyebarluaskan ilmu dan dakwah, menjamu para tamu yang datang berkunjung. Soal ini akan dibicarakan lebih luas lagi kemudian. 16
Pernah pada masa akhir-akhir ini muncul seorang tokoh yang mengungguli tokoh-tokoh Alawiyin yang lain dalam ilmu, pengaruh dan kedermawanannya, yaitu pribadi Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad (wafat 1316 H.) sehingga sepakatlah tokoh-tokoh Alawiyin untuk mengangkatnya sebagai Nagib. Mereka telah menandatangani piagam untuk pengangkatannya itu. namun ada seorang tokoh yang cukup terkenal dan berpengaruh tidak menyetujui pengangkatan itu. Yaitu Habib Husein bin Hamid Al-Muhdhar, sehingga rencana itu akhirnya gagal . Ada pula riwayat yarg menerangkan, selain Habib Husein tersebut ada dua tokoh lain yang tidak menyetujui. Dengan demikian maka yang bersikap oposisi terhadap pengangkatan itu hanya tiga orang saja, namun mereka orang-orang yang cukup kuat, sehingga golongan oposisi yang kecil itu dapat rnengalahkan mayoritas yang menyetujui. Barangkali, seandainya pengangkatan Al-Haddad sebagai Nagib ini terlaksana, tokoh ini akan mampu menarik Alawiyin kembali kepada cara hidup pendahu pendahunya, serta menghidupkan tradisi-tradisi mulia yang hampir hilang. TAHAP KETIGA Tahap ini bermula dari abad kesebelas H. hingga abad keempat belas H. Tokoh-tokoh abad ini dikenal dengan gelar ” Habib “, seperti Habib Abdullah AlHaddad, Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi, Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahr Al Jufrie dan lain lain. Tingkat ilmiah dan tasawuf tahap ini – secara umum – berada di bawah tingkat sebelumnya. Kendati demikian, telah muncul di atas pentas tokohtokoh yang cukup menonjol serta pribadi-pribadi istimewa tidak kurang peranannya dari tokoh-tokoh kedua tahap sebelumnya. Tokoh utarna tahap ini adalah Habib Abdullah Al-Haddad (wafat 1132 H.) – sebagai tokoh puncak golongan Alawiyin masa itu, dan Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfagih (wafat 1163 H.). • Hijrah Kaum Alawiyin Tahap ini ditandai dengan derasnya arus hijrah – melebihi masa-masa sebelumnya – ke India, pada abad kesebelas dan keduabelas H. yang kemudian berlanjut dengan hijrah ke negara-negara Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia) pada abad-abad berikutnya. Adapun faktor yang mendorong Alawiyin melakukan hijrah adalah seperti telah disinggung pada pembahasan perkembangan alawiyin pada masa tahap pertama ditambah pula dengan perkembangan alawiyin di Hadramaut melebihi masa-masa sebelumnya. Sedemikian sehingga mereka yang berada di luar lebih 17
besar dari mereka yang berada di tanah air sendiri, di mana di negeri mereka Hadramaut – kemungkinan yang tersedia tidak mampu memberi kepuasan bagi perwujudan cita-cita mereka. Oleh karena itu, wajarlah kiranya apabila mereka berhijrah, lalu menjadikan daerah baru itu sebagai tanah airnya. Dan tidak aneh pula apabila mereka kemudian menonjol, serta menunjukkan kemampuan-kemampuan luar biasa sehingga dapat menduduki posisi-posisi penting, memegang kendali perekonomian, kegiatan keagamaan bahkan kadang-kadang juga kekuasaan eksekutif. Kaum Alawiyin dalam hal ini juga diikuti oleh golongan-golongan lain yang hijrah dari Hadramaut, baik mereka yang hijrah ke Timur Jauh, Afrika Timur, Hijaz (Saudi Arabia) dan lain-lain. Bahkan ada di antara mereka yang kemudian mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini. Seperti kerajaan Al ‘Aidarus di Surrat (India), Kesultanan Al-Qadri dan Al-Syekh Abubakar di Kepulauan Komoro (Comores), Al-Syahab di Siak, Al-Qadri di Pontianak dan Al-Bafagih di Pilipina. Kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai sejarah terinci, sebagian di antaranya dimuat oleh majalah Arrabithah Al-Alawiyah dan majalah Annahdhah Al Hadhramiyah. Kedua sumber ini bisa dijadikan bahan penelitian bagi mereka yang berminat untuk rnengkajinya. Melalui kaum Alawiyin, Islam tersebar luas di Indonesia, Malaysia dan Filipina. Hijrah kaum Alawiyin – dan saudara-saudara mereka lainnya dari Hadramaut – ke negara-negara tetangga (negara-negara Arab di Timur Tengah), tidak banyak mempengaruhi tradisi, juga bahasa mereka, yakni di negaranegara yang berbahasa Arab, seperti Hijaz (Saudi Arabia), negara-negara Teluk, Mesir, Syam (Suria) dan Sudan, kendati di tiga negeri terakhir ini jumlah mereka tidak banyak. Adapun di perantauan luar Arabia, seperti negara-negara Islam tersebut di atas, maka dengan sendirinya mereka telah mengadakan hubungan kekeluargaan melalui pernikahan untuk mempererat hubungan dengan penduduk setempat, karena memang sulit bagi mereka memboyong keluarga bersama mereka. Seandainya yang demikian terjadi (yakni rnembawa isteriisteri dan anak-anak mereka) maka bahasa Arab akan lebih cepat dan lebih luas tersiar, sebagai bahasa Alqur’an yang dimuliakan oleh kaum Muslimin. Akan tetapi, meskipun telah melakukan pembauran di daerah-daerah yang amat jauh itu, namun hingga waktu yang lama mereka masih rnemelihara tradisi dan mengenang tanah air, terutama Tarim, sebagai pusat ilmu dan pusat Alawiyin. Sekali-sekali mereka berkunjung ke negeri itu untuk berziarah. Baru beberapa abad kemudian hubungan mereka dengan negeri asal berkurang, sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka hidup,
18
untuk lanjutnya terlebur di dalam periuk acuannya, walaupun agama dan adat istiadat yang hak tetap terpelihara. Bahkan pada masa sementara Alawiyin masih mengunjungi negeri asal, mereka telah mernbawa kebudayaan dan tradisi India, Jawa (Indonesia), dan daerah atau negara lain di mana mereka hidup. Hal ini tampak jelas pada awal abad ketigabelas H. Adalah sangat aneh jika ada sementara tokoh Alawiyin yang menentang hijrahnya Alawiyin ke luar dan menganjurkan dengan gigih agar mereka tetap tinggal di negerinya (Hadramaut), terutama pada ketiga abad terakhir ini – namun tidak ada di antara para pemikir atau sesepuh yang berusaha secara sungguh-sungguh memberi jalan yang dapat menghalangi laju arus hijrah ini. Yaitu dengan menyebar luaskan kesadaran, menggalakkan pertanian, membuat mereka merasa puas untuk hidup sederhana serta meninggalkan tradisi-tradisi yang merugikan. Kalau pun ada, orang-orang yang cukup memperingatkan hal demikian itu, amatlah sedikit. Di antara mereka adalah Habib Muhsin bin Alawi Assaqaf (wafat 1293 H.) Adapun untuk tidak melakukan hijrah sama sekali dari Hadramaut – baik bagi Alawiyin maupun penduduk Hadramaut secara keseluruhan – memanglah merupakan hal yang tidak dimungkinkan oleh keadaan negeri itu sendiri sejak dahulu kala. • Para Munshib Pada tahap perkembangan ini, lahirlah jabatan ” Munshib”. Jabatan itu sendiri dikenal sebagai “Manshabah”. Sebagian besar Munshib Alawiyin muncul pada abad kesebelas dan abad keduabelas H. Seperti Munshib Al-Attas, Munshib Al ‘Aidarus, Munshib Al-Syekh Abubakar bin Salim, Munshib Alhabsyi, Munshib Al Haddad, Al-Jufri, Al-Alawi bin Ali, Al-Syathiri, Al-Abu Numay dan lain-lain. Tugas yang dilakukan oleh lembaga ini adalah tugas yang mulia dan bermanfaat, baik bagi agama maupun bagi sesama manusia. Pemangku jabatan ini – yang menerimanya secara turun temurun – selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa – khususnya sengketa antara suku-suku yang bersenjata – menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk kepada mereka yang memerlukan petunjuk dan bantuan bagi yang memerlukan bantuan. Lembaga ini senantiasa memainkan perannya hingga kini (1948 M), sesuai dengan tujuan “Manshabah” yang didirikan untuknya. Para Munshib tidak jarang mengorbankan harta dan kepentingan pribadi demi tugas dan jabatannya. Hanya saja generasi yang kernudian biasanya makin lemah bila dibanding dengan pendahulunya, baik di bidang keahlian, kemampuan, 19
maupun kewibawaan, sehingga secara berangsur, lembaga ini makin lama makin berkurang peranannya. Hal ini terutarna disebabkan kurangnya perhatian terhadap pendidikan, baik ilrnu maupun keahlian, sesuai dangan, apa yang dahulu dikuasai oleh bapak-bapak mereka. • Golongan Alawiyin dan Politik Pada pasal-pasal lampau telah dibicarakan sejarah perkembangan Alawiyin dalam berbagai bidang kehidupan pada ketiga tahap terdahulu. Kini hanya tinggal bidang politik. Adalah merupakan prinsip yang rnenjadi pegangan tokoh-tokoh Alawiyin, mereka senantiasa menjauhkan diri dan tidak hendak mencampuri urusan politik, kecuali dalam hal-hal yang erat hubungannya dengan kepentingan dan maslahat umum. Yaitu dengan menggunakan pengaruh spiritual mereka, dan hanya pada batas-batas tertentu. Disebutkan dalam biografi bahwa Al Muhdhar, Al-A’idarus. Al-A’dani, Zain Al-A’bidin Al-A’idarus, Al-Haddad dan lain-lain adakalanya mereka bergaul dengan para raja dan penguasa negeri serta mengadakan surat rnenyurat dengan mereka. Para penguasa itu pun sering meminta nasihat dan petunjuk dari tokoh-tokoh tersebut serta mengharap doa mereka. Namun, bila diteliti hubungan mereka dengan para penguasa nyatalah bahwa hubungan mereka tidak lebih daripada mengarahkan para penguasa agar melakukan kebijaksanaan yang sesuai dengan keadilan dan kepentingan umum. Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin mempunyai pengaruh spiritual yang cukup besar di kalangan suku-suku bersenjata, namun mereka tak pernah; mengeksploitasi pengaruh itu untuk tujuan-tujuan yang tidak layak. Jika sekiranya mereka mengarahkan minat, demi kepentingan pribadi, atau berambisi meraih kekuasaan politis, dengan mudah mereka akan mencapai apa yang dinginkannya. Pada masa-masa itu seringkali peluang terbuka dan kesempatan ada, namun mereka tidak pernah memanfaatkannya, seperti dapat diketahui oleh mereka yang mengkuti dan mengkaji sejarah Hadramaut. Seperti pada peristiwa yang terjadi di antara Zain’ Al-Abidin AIA’idarus dengan Hasan bin Al-Qasim, Imam golongan Zaidiyah dari Yaman, peristiwa Husein bin Sahl dengan Syekh Awadh Gharamah, semua itu merupakan bukti-bukti nyata bagi apa yang dikemukakan tadi.”*13+ Dalam hal ini, dapatkah kiranya dikemukakan alasan seperti telah disebutkan sebelum ini, tentang langkanya karya-karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan, dan budaya, yaitu akibat sangat dalamnya pengaruh ajaran tasawuf dalam jiwa rnereka? Atau mungkin juga ada alasan-alasan lain yang hingga kini belum terungkap mengingat apa yang terjadi dalam praktek seringkali jauh berbeda dengan dasar-dasar teori semata? 20
Bagaimana pun juga, jelaslah, bahwa Alawiyin tidak pernah berusaha, apalagi berpetualang, untuk mencapai keberhasilan dalam bidang politik baik untuk mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti dilakukan oleh saudarasaudara sepupu mereka yaitu Syarif-Syarif Mekkah, para Sultan di negeri Maghrib (Afrika Utara) dan para Imam di Yaman. Adanya pribadi-pribadi tertentu dari kaum Alawiyin yang pernah berhasil mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti disebutkan sebelum ini, tidak dapat dijadikan dasar umum bagi cara hidup salaf dan tokoh Alawiyin. Kadangkadang pengaruh situasi dan kondisi begitu kuat untuk menentukan sikap. Suasana demikian itulah yang membuat sementara Alawiyin mernegang tampuk pimpinan dan tidak dapat mengelak untuk menghindar dari jabatan. TAHAP KEEMPAT Tahap ini bermula dari abad keEmpat Belas H. hingga kini. Yakni, di dalam pasal ini kita akan berbicara tentang keadaan kita sekarang, agar dapat membuat perbandingan antara kita sendiri dengan perilaku dan sejarah salaf kita yang terdahulu. Adalah sangat disayangkan bahwa tahap ini – dibanding dengan tahaptahap sebelumnya – merupakan masa kemunduran dan kemerosotan di hampir semua bidang kehidupan. Bahkan kemunduran dan kemerosotan ini merupakan gejala umum yang menimpa seluruh dunia Islam. Meskipun demikian, adanya perbedaan antara tahap pertama dengan tahap-tahap berikutnya memang benar-benar terasa. Makin jauh kereta sejarah berjalan, makin jauh kemunduran dan kemerosotan itu terasa, makin surut sinar keagungan Alawiyin dan makin tenggelam ke dasar. Keadaan demikian ini merupakan kebalikan bagi bangsa-bangsa yang ‘hidup’, yang makin lama makin maju (14) • Diagnosa dan Pengobatan Faktor utama yang menyebabkan kemunduran itu adalah tidak adanya pendidikan yang benar dan tepat. Salaf kita dahulu adalah orang-orang yang amat ahli dalam bidang ini. Melalui jalur itu, mereka mengarahkan putra-putra mereka sesuai dengan apa yang mereka rencanakan dan mereka kehendaki, untuk rnemuaskan hati mereka. Perguruan tinggi dan fakultas kaum Alawiyin adalah alam terbuka dan lingkungan hidup itu sendiri. Adalah keliru apabila kita beranggapan bahwa lingkungan kita, sekolahsekolah kita, majlis-majlis ta’lim kita sekarang merupakan sarana pendidikan yang di dalamnya disalurkan ajaran-ajaran seperti yang dahulu diajarkan oleh salaf kepada putra-putra mereka. Bahkan kenyataan yang kita lihat adalah kebalikan dari apa yang dahulu dikerjakan oleh para salaf itu. 21
Kemerosotan akhlak di kalangan sementara Alawiyin telah mencapai derajat terendah, demikian pula surutnya ilmu pengetahuan, di samping tersebarnya penyakit-penyakit sosial. Alhasil, kini kita sedang mengalami kemunduran yang mengerikan, padahal jalan untuk mengatasi semua itu adalah jelas, yaitu, kembali mengikuti cara hidup para salaf dalam ilmu, akhlak dan amal, sehingga semua tindakan yang kita lakukan sesuai dengan status kita di tengah masyarakat. Demikian pula halnya dengan kaum Muslimin secara keseluruhan. Sebab, “akhir umat ini tidak akan menjadi baik melainkan dengan cara-cara yang dahulu memperbaiki pendahulunya “, demikian ditegaskan oleh pemimpin besar umat ini, Rasul Allah saw. Marilah kita usahakan. Dan Allah akan senantiasa menolong mereka yang membela dan menegakkan ajaran-Nya. ************* CATATAN KAKI / FOOTNOTE 01. Abdullah bin Alwi Al -Haddad. Allah telah menganugerahkan kepada Abdullah Al Haddad daya hafal yang luar bisa, sehingga telah hafal Al-Qur’an seluruhnya dalam usia kecil. Kendati telah mengalami penyakit sehingga menyebabkannya menjadi seorang tunanetra, namun ketajaman hati dan kecerdasan fikirannya melebihi mereka yang berpenglihatan sempurna. AlHaddad telah mampu menguasai berbagai ilmu yang diajarkan oleh guru-guru kepadanya, lalu muncul sebagai seorang tokoh besar dalam ilmu-ilmu Syari’at, Tasawuf dan Bahasa, maka berdatanganlah para murid dari segenap penjuru untuk mereguk sumber ilmu yang deras ini. Di samping pelajaran yang disampaikan secara langsung, Al Haddad telah pula mengarang beberapa buku yang kemudian tersebar luas. Karya-karya Al Haddad ini antara lain : Annasha’ih Addiniyah, Risalah Almu’awanah, sebuah Diwan (kumpulan syair) dan lain-lain. Wafat di Tarim 1132 H. 02. Habib Ali bin Abubakar As Sakran bin Abdurrahman Assagaf, bergelar AsSakran (dimabuk cinta Ilahi). Terkenal dalam berbagai bidang ilmu, khususnya tasawuf. Wirid As Sakran hingga kini masih banyak dibaca orang. Wafat 895 H. 03. Imam Ahmad bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’farAsshadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husin. Al Muhajir Ila Allah (orang yang berhijrah menuntut ridha Allah) meninggalkan Basrah di Irak pada tahun 317 H. bersama keluarga dan pengikutnya yang berjumlah 70 orang, menuju Hijaz (Saudi Arabia), kemudian ke Yaman (Utara), dan selanjutnya Hadramaut (Yaman Selatan). Al Muhajir sampai di Hadramaut pada tahun 318 H dan untuk pertama kali mendirikan rumah di Hajrain, lalu pindah ke Husayisah tempat beliau menetap hingga wafat pada tahun 345 H. 22
04. Ibadhiah adalah salah satu golongan Khawarij di bawah pimpinan Abdullah bin Ibadh. Berkali-kali kelompok ini memberontak terhadap kekuasaan Bani Umayyah dan yang paling terkenal adalah pemberontakan mereka dibawah pimpinan Abdullah bin Yahya,sekitar tahun 129 H . Golongan ini kemudian mengembangkan pengaruhnya di Oman, Yaman dan Hadramaut. 05. Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir. Al-Fagih Al Muqaddam adalah tokoh Alawiyin pertama yang menyebarluaskan ajaran tasawuf, setelah mengenakan “khirgah” (baju tasawuf) dari seorang tokoh ahli sufi, ialah Syekh Abu Madyan. Al Faqih Al Muqaddam menerima “khirgah” itu melalui seorang perantara, Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al Muq’ad, seorang murid Syekh Abu Madyan. Syekh Abdurrahman diutus oleh gurunya khusus untuk tugas itu, tapi ia telah wafat di Makkah sebelum sempat menemui Al Fagih Al Muqaddam. Meski demikian, sebelum wafat ia telah melimpahkan misi itu kepada kawan yang dapat dipercaya ialah Syekh Abdullah Al Maghribi untuk menyampaikan “khirgah” kepada Al Fagih Al Muqaddam di Tarim, Menurut kitab AlMasyra ‘Arrawiy, Al Fagih Al Mugaddam telah mencapai derajat Al Mujtahid Al Muthlaq di dalam ilmu Syari’at, – makam Al Quthbiyah di dalam bidang tasawuf. Gurunya ,Syech Muhammad Bamarwan mengatakan Al Faqih Muqaddam telah memenuhi syarat untuk menduduki jabatan AI-ImamahWafat 653 H. 06. Habib Abdurrahman bin Muhammad (Maula Addawilah) bin Ali bin Alawiy bin Muhammad Alfagih Al muqaddam. Ulama besar yang telah mencetak berpuluh ulama, termasuk di antara mereka adalah putra-putranya sendiri, saudaranya Al-Imam Alawi bin Muhammad, Imam Sa’ad bin Ali Madzhij, Syekh Ali bin Muhammad Al-Khathib dan banyak lagi. Bergelar Assagaf karena kedudukannya sebagai “pengayom”, serta tingginya derajat ulama ini baik dalam ilmu maupun tasawuf. Sangat terkenal sebagai dermawan. Assagaf telah mendirikan 10 mesjid disertai wakaf untuk mencukupi kebutuhan mesjidmesjid itu, Memiliki banyak kebunkebun kurma, namun segala kekayaan itu tidak sedikit pun memberatkan atau merisaukan hatinya, apalagi merintangi ketekunannya dalam ibadah. “Sehingga kalau seandainya dikatakan kepadaku,” kata Assagaf, “kebun-kebun itu tidak ada yang berbuah, aku akan menari kegirangan“. Di antara kata mutiara Assagaf adalah sebagai berikut : “Manusia semua membutuhkan ilmu, ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan akal dan akal membutuhkan taufik. Semua ilmu tanpa amal tidak berguna. Ilmu dan amal tanpa niat adalah sia-sia. Ilmu, amal dan niat tanpa mengikuti sunnah adalah tidak diterima. Ilmu, amal, niat dan sunnah tanpa wara’ (sangat hati-hati dalam menjalankan yang halal) adalah kerugian”. Assaqaf wafat pada tahun 819 H. 23
07. Umar Al Muhdhar bin Abdurrahman Assagqaf. Imam zamannya dalam ilmu, tokoh dalam tasawuf. Terkenal dengan kemurahan hatinya. Rumahnya tidak pernab sunyi dari para tamu yang datang berkunjung baik untuk kepentingan agama maupun kepentingan duniawi – Menjamin nafkah beberapa keluarga yang tak mampu dan mendirikan tiga buah mesjid. Umar Al Muhdhar terkenal dengan doanya yang amat mustajab. Wafat 833 H 08. Abdullah bin Abubakar bin Abdurrahman Assagaf terkenal dengan gelar A1A’idarus (AlAydrus), Ia berusia 10 tahun, ketika ayahnya wafat dan langsung diasuh oleh pamannya, Umar Al Muhdhar, yang sekaligus bertindak sebagai gurunya. Ia telah mempelajari ilmu-ilmu Syari’at, Tasawuf dan Bahasa. Ketika AI-Muhdhar wafat, ia berusia 25 tahun. Tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Imam Muhammad bin Hasan. Jamal Al-Lail sebagai Naqib, namun menolak dan menyarankan agar mengangkat Abdullah Al-A’idarus ini untuk menggantikan pamannya. Ulama besar yang bertindak menyebarluaskan ilmu dan dakwah, tekun dan mengisi waktunya dengan ibadah, menyalurkan hartanya untuk kepentingan umum. Di dalam kitab Almasyra’ dinyatakan: “Dalam kedermawanan bagaikan seorang amir, namun dalam tawadhu’ bagaikan seorang fakir”. Sangat senang menampakkan nikmat Allah atas dirinya dengan mengenakan pakaian-pakaian indah, kendaraan yang megah dan rumah yang bagus. Wafat 865 H. 09. Habib Ali Zain Al-Abidin bin Abdullah bin Syekh Al ‘Aidarus, adalah seorang Imam yang terkenal dalam berbagai ilmu. Guru utamanya adalah ayahnya sendiri. Ia bertindak sebagai murid dan pelayan ayahnya, tidak pernah berpisah selama ayahnya hidup. Setelah ayahnya wafat, Zainal Abidin menggantikan ayahnya itu sebagai Naqib, mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran demi kepentingan masyarakat umumnya, dan Alawiyin khususnya. Zain Al-Abidin sangat dihormati dan disegani oleh Sultan, di mana Sultan tidak memutuskan sesuatu sebelum terlebih dahulu meminta pendapat Imam ini, bahkan tidak jarang Sultan datang ke rumahnya untuk sesuatu kepentingan, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Akibat kedudukan yang tinggi ini, Zain AlAbidin menghadapi banyak lawan, namun selalu menghadapi mereka dengan cara yang bijaksana. sehingga akhirnya lawan berubah menjadi kawan. di samping sebagai guru besar dalam ilmu-ilmu Syariat, Tasawuf dan Bahasa, ia menguasai soal pertanian dan bidang -bidang profesi lain; memberi petunjuk kepada mereka yang memerlukan petunjuk, bahkan di penghujung hayatnya ia sering mengobati mereka yang menderita penyakit, sebagai tabib. Wafat 1041 H 10. Ulama telah merasa puas dengan karya-karya Imam Al-Ghazzali dan Annawawi sehingga tidak merasa perlu untuk menyusun kitab-kitab sendiri baik dalam ilmu Syari’at, Tasawuf maupun Akhlak. Mereka mencurahkan tenaga dan 24
fikiran untuk mengamalkan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam kitab-kitab itu. 11. Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam. Setelah menyelesaikan pendidikan pada ayah dan datuknya, Al Faqih Almugaddam, ia meneruskan pendidikannya ke Yaman dan Hijaz untuk berguru kepada ulamaulama besar di kedua negeri itu Kemudian bermukim di tanah suci untuk menyebarluaskan ilmu dan mengajarkanya. Karena mengajar dikedua kota suci Makkah dan Madinah ia digelari Imam Al-Haramain dan Mujaddid abad kedelapan Hijriah. Ketika itu datang berita wafatnya Imam Ali bin Alwi (sudara kandungnya) dimana tokoh-tokoh Hadramaut telah menulis sepucuk surat ta’ziah dan sekaligus memintanya kembali pulang ke kampung halaman untuk memimpin umat dan menggantikan kedudukan Almarhum sebagai da’i dan mengajarkan berbagai ilmu kepada mereka yang menuntutnya. Berpuluh murid telah dicetak menjadi ulama besar termasuk di antara mereka adalah putraputranya sendiri, Ali, Ahmad dan Muhammad. Wafat di Tarim, pada tahun 731 H 12. Alawiyin telah berjuang-bersama seluruh rakyat melawan portugis yang datang menyerang pesisir Hadramaut dengan tujuan menduduki negeri itu pada tahun 1097 H. Berkat kegigihan mereka telah berhasil mengusir kaum kolonial , Kendati telah gugur para syuhada dalam peristiwa ini . 13. Salah satu bukti yang menguatkan hal di atas adalah peristiwa di mana Sultan Badr bin Thuwairiq berniat mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkannya kepada Al-Imam Husein bin Syekh Abubakar bin Salim (wafat 1044 H.). Namun Imam Husein menolak dan menekankan kepada Sultan ini untuk tetap memangku jabatannya, serta dia pun akan selalu membantu dan mendampinginya 14. Kendati suasana umum amat suram — pada tahap ini – namun ada juga tokoh-tokoh yang sangat menonjol dalam ilmu dakwah dan perbaikan sosial seperti Al-Imam Ali bin Muhammad Alhabsyi – Shohibul Maulid Simtud Dhuror(wafat 1333 H.), Al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Atthas – (wafat 1334 H.), Allamah Abubakar bin Abdurrahman Syahab (wafat 1341 H.), Habib Muhammad bin Thahir Al Haddad (wafat 1319 H.), Habib Husein bin Hamid Al Muhdhar (wafat 1341 H.), dan banyak lagi tokoh yang lain. Kendati demikian hal ini sangat kurang memadai bila dibanding dengan banyaknya Alawiyin secara keseluruhan yang memang cukup besar jumlahnya dan tersebar di berbagai penjuru.
Wallahu A`lam… 25
AL IMAM ISA AR-RUMI Abu Muhammad Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Imam Ja’far alShaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Beliau seorang imam besar ilmu agama, dibesarkan dan di didik ilmu hadits, ilmu fiqih dan ilmu agama lain oleh ayahnya Imam Muhammad bin Ali al-Uraidhi. Imam Isa bin Muhammad mempunyai kulit berwarna putih kemerahmerahan yang merupakan sebaik-baiknya warna, sebagaimana perkataan Imam Ali bahwa warna kulit Rasulullah adalah putih kemerah-merahan. Beliau juga dinamakan al-Rumi dan al-Naqib, karena beliau mempunyai rupa putih kemerah-merahan seperti pria yang berasal dari negeri Rum, sedangkan sebutan al-Naqib disebabkan kedudukannya sebagai pemimpin para kaum syarif yang selalu menjaga dan menjamin keamanan kaumnya, nama beliau juga merupakan nama salah satu nabi yaitu nabi Isa alaihi salam. Adapun gelar yang lain yaitu al-Azraq, karena beliau mempunyai mata yang berwarna biru. Imam Isa bin Muhammad wafat sekitar tahun 270 hijriyah di Basrah, Iraq. Imam al-Rumi dikaruniai tiga puluh orang anak laki-laki dan lima orang anak perempuan, diantaranya adalah Imam Ahmad al-Muhajir yang merupakan nenek moyang kaum Alawiyin di Hadramaut. Adapun anak laki-laki Imam Isa alRummi adalah : a. Abdullah, Abdurahman, Abdullah al-Akbar, Abdullah al-Ahwal, Abdullah al-Asghor, Daud, Yahya, Ali, Abbas, Yusuf, Hamzah, Sulaiman. Mereka tidak mempunyai keturunan b. Ismail, Zaid, Qasim, Hamzah, Harun, Yahya, Ali, Musa, Ibrahim, Ja’far, Ali al- Asghor, Ishaq, Husin, Abdullah, Muhammad, Isa, Ahmad alMuhajir. AL IMAM AHMAD AL MUHAJIR Al-Imam Ahmad Al-Muhajir (820-924) Juga dikenal dengan panggilan Al-Imam Ahmad bin Isa merupakan keturunan Ali bin Abu Thalib dan Fatimah az-Zahra. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad alBaqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib. Diriwayatkan bahwa ia lahir pada tahun 241 Hijriyah (820 Masehi) walaupun ada pula yang menyebut 260 Hijriyah. 26
Hijrah ke Hadramaut Imam Ahmad bin Isa dinamakan Al-Muhajir karena ia meninggalkan Basrah, Irak pada zaman pemerintahan Khalifah Abbassiyah yang berpusat di Baghdad, pada tahun 317H (896 M). Mula-mula ke Madinah dan Mekkah, kemudian pada tahun 318 H dari Mekkah ke Yaman kurang lebih sekitar tahun 319 H. Beliau berhijrah disebabkan karena banyaknya fitnah yang terjadi di Irak pada waktu itu. banyak para Ahlul Bait keturunan Rasulullah diburu atau bahkan dibunuh karena pemerintah khawatir kalau mereka mau mengambilalih kekuasaan. Imam al-Muhajir adalah orang pertama yang datang ke Hadramaut berserta keluarganya yang berjumlah 70 orang. Ikut serta dalam perjalanan adalah anaknya yang bernama Ubaidillah dan ketiga cucunya; Alwi, Jadid dan Basri. Ia wafat pada tahun 345h (924 M) di Husayyisah, sebuah kota antara Tarim dan Sewun, Hadramaut. Makamnya di atas sebuah bukit umumnya salahsatu yang pertama kali diziarahi oleh para pengunjung yang datang ke Hadramaut. Keturunan dan status Imam Ahmad al-Muhajir wafat pada tahun 345 Hijriyah, dan dikarunia keturunan: 1. Muhammad (Keturunannya tersebar di negri Baghdad ) 2. Abdullah / Ubaidillah (Abu Alawy). Lahir di Basrah dan meninggal pada 383 H di Somal, Yaman. 1. Basri 2. Jadid 3. Alwi al-Awwal 1. Muhammad 1. Alwi ats-Tsani 1. Salim 2. Ali Khali' Qasam 1. Muhammad Shahib Mirbath 2. Abdullah 3. Husain Semua para sayyid dari keluarga BaAlawi, Hadramaut bernasab kepadanya. Sebagian besar para Walisongo di Indonesia juga adalah keturunan Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa. Imam Ahmad Al-Muhajir ialah seorang Imam Mujtahid, yang lebih banyak diikuti daripada mengikuti.
27
Gelar al-Muhajir. Para ahli sejarah sepakat memberi gelar al-Muhajir hanya kepada Imam Ahmad bin Isa sejak hijrahnya dari negeri Iraq ke daerah Hadramaut. hanya Imam al-Muhajir yang khusus menerima gelar tersebut meskipun banyak pula orang-orang dari kalangan ahlul bait dan dari keluarga pamannya yang berhijrah menjauhi berbagai macam fitnah dan berbagai macam gerakan yang timbul. Di namakan al-Muhajir, karena beliau hijrah dari Basrah ke Hadramaut karena sebab-sebab perbaikan yang diperlukan, diantaranya adalah mencari ketenangan demi menyelamatkan agamanya dan agama para pengikutnya ke tempat yang aman. Hijrah yang dilakukan oleh al-Muhajir bukanlah sesuatu yang baru, tetapi merupakan hal yang biasa dilakukan oleh sepuluh pemimpin dari kalangan keluarga Nabi saw, seperti Rasulullah saw dan keluarganya yang hijrah dari Mekkah ke Madinah, Imam Ali bin Abi Thalib hijrah dari Hijaz ke Iraq, yang diikuti oleh anak dan cucunya setelahnya seperti Imam al-Husein bin Ali, Zaid bin Ali bin Husein, Muhammad al-Nafsu al-Zakiyah bin Abdullah al-Mahdh bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib serta saudaranya Ibrahim dan Idris, kakek Bani Adarisah di Maghrib dan lainnya. Sedangkan al-Muhajir hijrah dari Basrah ke Hadramaut disebabkan timbulnya fitnah, bencana dan kedengkian yang telah mewabah pada masyarakat Iraq, berkuasanya para ahli bid’ah dan banyaknya penghinaan terhadap para syarif Alawiyin, dan beratnya berbagai tekanan yang mereka rasakan, banyaknya para pencuri dari kalangan orang-orang hitam, dan perbuatan yang tidak pantas terhadap wanita kaum muslimin serta banyaknya pembunuhan, di samping itu mereka juga mencaci maki khalifah Usman, Ali, Tolhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah, maka pada tahun 317 hijriyah, Imam alMuhajir hijrah ke Hadramaut berserta keluarganya yang berjumlah 70 orang.[4] Ikut serta dalam perjalanan beliau anaknya yang bernama Ubaidillah dan ketiga cucunya Alwi, Jadid dan Basri. Anak Imam Ahmad yang bernama Muhammad tetap tinggal di Iraq untuk menjaga harta Imam Ahmad al-Muhajir, sampai beliau mendapat keturunan dan meninggal di sana. Dalam majalah al-Rabithah, jilid 5 halaman 296 dijelaskan bahwa, .Imam Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut tidak untuk mencari kekayaan dunia, karena di Hadramaut tidak ada sesuatu untuk dicari. Barang siapa mendengar berita tentang negeri Hadramaut, maka dapat dikatakan bahwa Sayid Ahmad bin Isa dan keturunannya tidaklah hijrah dari negeri Iraq yang subur ke negeri yang tandus dan tidak dapat ditemukan adanya banyak makanan, akan tetapi beliau hijrah bersama keluarga dan anaknya karena menjaga diri dan agamanya dari fitnah dan kekejaman bala tentara kerajaan’.
28
Sebelum ke Hadramaut, beliau melakukan perjalanan melalui Hijaz pada tahun 317 hijriyah, bersama sebagian maula dan anak pamannya seperti kakek dari keluarga al-Ahadilah dan al-Qudaim, dan pada tahun 318 hijriyah ke Madinah melalui Syam, disebabkan jalan ke Makkah dan Madinah dari Iraq kurang aman. Mereka tinggal di Madinah sampai musim haji untuk menunaikannya dan saat itu kaum Qaramithah telah mengambil Hajar alAswad dari tempatnya. Dalam perjalanan haji, al-Imam al-Muhajir bertemu dengan rombongan haji Hadramaut. Setelah itu al-Muhajir berangkat ke Yaman dan memilih sayid Muhammad bin Sulaiman bin Ubaidillah bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin Dhohman bin Auf bin al-Imam Musa al-Kadzim untuk tinggal di Wadi Saham, sebagaimana al-Muhajir memilih seorang dari keluarga al-Qudaim untuk tinggal di Wadi Surdud. Ketika sampai di Wadi Du’an, al-Muhajir tinggal di Jubail, kemudian pindah lagi ke Hajrain daerah yang mempunyai pemandangan yang indah. Dengan ilmu dan bukti-bukti beliau memberikan pemahaman kepada ahlu bid’ah dan ahlu sunnah di sana sehingga Allah swt mempertemukan kedua kelompok yang bertikai itu di bawah kemuliaan al-Muhajir. Menurut Muhammad bin Salim al-Bijani, daerah yang pertama kali disinggahi Imam Ahmad adalah Jubail di mana penduduknya mempunyai sifat yang baik dan mereka menerima dengan senang hati kedatangan Imam alMuhajir. Negeri Jubail terletak di Wadi Du’an yang penduduknya bermadzhab Ahlussunnah dan Syi’ah yang dikelilingi oleh penganut madzhab Ibadiyah. Penduduk Jubail berasal dari suku Kindah dan Sodap. Tidak lama kemudian Imam Ahmad pindah ke Hajrain dan tinggal di sana selama satu tahun. Di Hajrain beliau membeli perkebunan kurma dengan harga 1.500 dinar dan menghadiahkan perkebunan tersebut kepada mawalinya. Kemudian beliau pergi ke desa Bani Jasir dan kemudian ke Husaisah. Di Husaisah beliau menetap sampai wafat. Pengembaraan beliau di Hadramaut di mulai dari tahun 320 hijriyah sampai tahun 345 hijriyah. Beliau hidup pada zaman Daulah Ziyadiyah (Bani Umayah) dan pada zaman Daulah Zaidiyah (al-Hasyimi) di Yaman. Selama di Hadramaut, beliau memerangi kaum Ibadhiyah dan kaum Qaramithah tanpa senjata. Kemudian beliau pindah ke Husaisah, yang jaraknya setengah marhalah dari Tarim, dan ditempat itu beliau menghabiskan sisa umurnya untuk berda’wah menuju kesatuan pandangan dan kekuatan madrasah alquran dan sunnah berdasarkan manhaj ahlu sunnah wal jamaah. Beliau adalah seorang mujtahid dalam ilmu ushul, maka kuatlah manhaj yang membawa kebahagiaan di Hadramaut atas usahanya, sehingga muncul madzhab Imam Syafii yang
29
kemudian menjadi madzhab anak keturunannya dalam bidang furu’. Al-Muhajir wafat dan dikuburkan di Husaisah tahun 345 hijriyah. Kisah lainnya Al Imam Ahmad Al-Muhajir berasal dari negara Irak, tepatnya di kota Basrah. Ketika mencapai kesempurnaan di dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah, bersinarlah mata batinnya dan memancarlah cahaya kewaliannya, sehingga tersingkaplah padanya hakekat kehidupan dunia dan akherat, mana halhal yang bersifat baik dan buruk. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir di Irak adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan kehidupan yang makmur. Akan tetapi ketika mulai melihat tanda-tanda menyebarnya racun hawa nafsu disana, beliau lebih mementingkan keselamatan agamanya dan kelezatan untuk tetap beribadah menghadap Allah SWT. Beliau mulai menjauhi itu semua dan membulatkan tekadnya untuk berhijrah, dengan niat mengikuti perintah Allah, "Bersegeralah kalian lari kepada Allah..." Adapun sebab-sebab kenapa beliau memutuskan untuk berhijrah dan menyelamatkan agamanya dan keluarganya, dikarenakan tersebarnya para ahlul bid'ah dan munculnya gangguan kepada para Alawiyyin, serta begitu sengitnya intimidasi yang datang kepada mereka. Pada saat itu muncul sekumpulan manusia-manusia bengis yang suka membunuh dan menganiaya. Mereka menguasai kota Basrah dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka membunuh dengan sadis para kaum muslimin. Mereka juga mencela kaum perempuan muslimin dan menghargainya dengan harga 2 dirham. Mereka pernah membunuh sekitar 300.000 jiwa dalam waktu satu hari. Ash-Shuly menceritakan tentang hal ini bahwa jumlah total kaum muslimin yang terbunuh pada saat itu adalah sebanyak 1.500.000 jiwa. Pemimpin besar mereka adalah seorang yang pandir dengan mengaku bahwa dirinya adalah Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Isa bin Zainal Abidin, padahal nasab itu tidak ada. Ia suka mencaci Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Siti Aisyah dan Muawiyah. Ini termasuk salah satu golongan dalam Khawarij. Karena sebab-sebab itu, Al-Imam Ahmad Al-Muhajir memutuskan untuk berhijrah. Kemudian pada tahun 317 H, berhijrahlah beliau bersama keluarga dan kerabatnya dari Basrah menuju ke Madinah. Termasuk di dalam rombongan tersebut adalah putra beliau yang bernama Ubaidillah dan anak30
anaknya, yaitu Alwi (kakek keluarga Ba'alawy), Bashri (kakek keluarga Bashri), dan Jadid (kakek keluarga Jadid). Mereka semua adalah ulama yang mengamalkan ilmunya, orang-orang sufi dan saleh. Termasuk juga yang ikut dalam rombongan beliau adalah para budak dan pembantu beliau, serta termasuk didalamnya adalah kakek dari keluarga Al-Ahdal. Dan juga ikut diantaranya adalah kakek keluarga Bani Qadim (Bani Ahdal dan Qadim adalah termasuk keturunan dari paman-paman beliau). Pada tahun ke-2 hijrahnya beliau, beliau menunaikan ibadah haji beserta orang-orang yang ikut hijrah bersamanya. Kemudian setelah itu, melanjutkan perjalanan hijrahnya menuju ke Hadramaut. Masuklah beliau ke daerah Hajrain dan menetap disana untuk beberapa lama. Setelah itu melanjutkan ke desa Jusyair. Tak lama disana, lalu melanjutkan kembali perjalanannya dan akhirnya sampailah di daerah Husaisah (nama desa yang berlembah dekat Tarim). Akhirnya beliau memutuskan untuk menetap disana. Semenjak menetap disana, mulai terkenallah daerah tersebut. Disana beliau mulai menyebarkan-luaskan As-Sunnah. Banyak orang disana yang insyaf dan kembali kepada As-Sunnah berkat beliau. Beliau berhasil menyelamatkan keturunannya dari fitnah jaman. Masuknya Al-Imam Ahmad Al-Muhajir ke Hadramaut dan menetap disana banyak mendatangkan jasa besar. Sehingga berkata seorang ulama besar, AlImam Fadhl bin Abdullah bin Fadhl, "Keluar dari mulutku ungkapan segala puji kepada Allah. Barangsiapa yang tidak menaruh rasa husnudz dzon kepada keluarga Ba'alawy, maka tidak ada kebaikan padanya." Hadramaut menjadi mulia berkat keberadaan beliau dan keturunannya disana. Sulthanah binti Ali Az-Zabiidy (semoga Allah merahmatinya) telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW, dimana di mimpi tersebut Rasulullah SAW masuk ke dalam kediaman salah seorang Saadah Ba'alawy, sambil berkata, "Ini rumah orang-orang tercinta. Ini rumah orang-orang tercinta." AL IMAM UBAIDILLAH BIN AHMAD AL MUHAJIR Beliau adalah Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau seorang imam yang agung dan
31
dermawan, alim dan berakhlak mulia, penuh dengan sifat-sifat kebaikan dan kemuliaan. Beliau juga seorang yang sangat tawadhu (rendah diri). Karena begitu tawadhunya, beliau tidak menamakan dirinya dengan nama Abdullah, akan tetapi di-tasghir1-kan menjadi Ubaidillah, semata-mata untuk mengagungkan Allah dan berendah diri di hadapan-Nya. Beliau adalah seorang yang Allah memberikan keistimewaan sifat-sifat yang terpuji pada dirinya. Berkata AS-Sayyid Ali bin Abubakar mengenai diri beliau, Abdullah, orang yang menjaga dirinya dalam agama,paling terkemuka dalam kedermawanan dan keagungan ilmunya.Datuk para keturunan mulia, sumber kedermawanan,dan lautan ilmu, itulah tuan kami yang mulia. Beliau mengambil ilmu dari ayahnya. Selain itu, beliau juga mengambil ilmu dari para ulama di jamannya. Di kota Makkah, beliau berguru kepada AsySyeikh Abu Thalib Al-Makky. Dibawah asuhan gurunya, beliau berhasil menamatkan pelajaran dari kitab gurunya tersebut yang berjudul Guut AlGuluub. Tampak pada diri beliau berbagai macam karomah yang dikaruniakan kepada dirinya. Beliau, Al-Imam Ubaidillah, jika meletakkan tangannya pada orang yang sakit, lalu beliau meniupnya dan mengusapkan di tubuhnya, maka sembuhlah si sakit itu. Mengenai kedermawanannya, beliau jika menggiling kurma miliknya dan meletakkannya di tempat penggilingan, maka kurma-kurma itu semuanya beliau sedekahkan, meskipun jumlahnya banyak. Beliau mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya, baik itu di dalam kezuhudannya, ilmunya ataupun ibadahnya. Setelah ayahnya wafat, beliau pindah ke daerah Saml, dan memberikan tanah miliknya ke budaknya yang telah dimerdekakannya yang bernama Ja’far bin Mukhaddam. Tinggallah beliau di kota Saml. Beliau menikah dengan wanita dari daerah tersebut dan dilahirkannya salah seorang anaknya yang bernama Jadid. Sampai akhirnya beliau menutup mata untuk terakhir kalinya di kota tersebut pada tahun 383 H. Kisah lain Imam Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali alUraidhi Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dilahirkan di Basrah, dibesarkan dalam lingkungan para ahli ilmu. Dinamakan Ubaidillah karena bentuk tasghir dari Abdullah dan beliau suka dipanggil dengan nama tersebut. Beliau hijrah dari Iraq bersama ayahnya ke kota Madinah kemudian ke Hadramut, bersama beliau ikut serta istri dan anaknya yang paling besar bernama Basri yang mengikuti jejak ayahnya dalam menyebarluaskan ilmu dan berda’wah ke jalan Allah swt. Guru beliau adalah ayahnya sendiri Imam Ahmad bin Isa. Pada tahun 317 hijriyah beliau mengadakan perjalanan ke Makkah dan sekaligus menunaikan ibadah 32
haji ke Baitullah. Imam Ubaidillah bin Ahmad bin Isa seorang yang hafal hadits, para ulama banyak meriwayatkan hadits darinya. Beliau juga merupakan ulama kenamaan di zamannya. Harta kekayaan beliau berupa perkebunan yang subur dan luas. Beliau membeli tanah yang luas di Sumal dan Bait Jubair untuk membantunya membiayai kegiatan dalam penyebaran ilmu dan infaq ke jalan Allah swt. Beliau selalu menanamkan kepada anak-anaknya dengan pelajaran atas dasar manhaj ahlu sunnah. Beliau wafat setelah kaidah-kaidah yang dipelopori oleh ayahnya telah tumbuh subur. Beliau wafat di Sumal tahun 383 hijriyah. Di lain riwayat beliau dikuburkan di daerah Najdi dekat dengan kota Boor. Awal Sufi Di Hadramaut. Pendiri pertama madrasah bani Alawi yang hanya padanya manhaj Saadah Bani Alawi melekat sebagaimana telah disebutkan ialah al-Imam al-Muhajir yang pada saat itu beliau hidup di tengah-tengah zaman yang penuh fitnah, beliau pula yang pertama kali menumbuhkan dasar-dasar manhaj tersebut. Setelah beliau wafat, manhaj beliau diteruskan oleh anaknya Ubaidillah yang hidup di zaman ayahnya dengan menyaksikan berbagai cara beramal dan da’wah, beliau juga merupakan orang pertama yang mengambil ijazah ilmu usul ahlu sunnah wal jamaah di Mekkah dan Madinah. Beliau pergi ke Mekkah diutus oleh ayahnya, dimana hal tersebut merupakan saksi yang agung akan kecintaan al-Imam al-Muhajir terhadap usaha mengembangkan wawasan dengan mengambil pemikiran-pemikiran baru yang tercermin dalam cara berpikir anak-anak dan cucunya sebelum manusia yang lain. Ubaidillah bin Ahmad tidak saja cukup mempelajari ilmu usul dan hadits di Makkah Mukarromah, bahkan beliau mempelajari ilmu tasawuf dan ilmu akhlaq kenabian kepada guru besar ahlu sunnah a-Imam al-Allamah al-Syekh Abu Thalib al-Makki yang wafat pada tahun 386 hijriyah, kepada gurunya beliau membaca kitab Quut al-Qulub, sebagaimana mempelajari ilmu fiqih beliau selalu diijazahkan dari setiap periwayatan dan sanad. Dari sinilah menyambung sanad keluarga Abi Alawi dan madrasah mereka kepada sanad ahlu sunnah. Untuk masalah ini para ahli sejarah menjelaskannya dalam biografi Ubaidillah bin Ahmad, diantaranya : Ubaidillah bin Ahmad, beliau orang yang pertama kali membawa ajaran tasawuf di Hadramaut, beliau kembali ke Hadramaut pada zaman ayahnya masih hidup, dan ayahnya memberikan izin kepada beliau untuk menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada manusia hingga ayahnya wafat pada tahun 345 hijriyah. Maka kepemimpinan ayahnya berpindah kepadanya. Beliau telah meletakkan tasawuf dalam mimbar ilmu dan da’wah sebagaimana hal tersebut telah dilakukan oleh al-Imam al-Muhajir, sehingga para ulama, ahli syair pada zamannya memuji akan keutamaan ilmu 33
dan kemuliaan serta kedermawanannya, beliau telah berakhlaq seperti akhlaq kakeknya Rasulullah saw. Dan ketika ayahnya wafat di Husaisah pada tahun 345 hijriyah kekhilafahan ilmu dan da’wah kembali kepadanya, dan masyarakat sangat mengharapkannya di berbagai tempat, dan ini menunjukkan bahwa beliau banyak berda’wah ke pelosok daerah, maka berangkatlah beliau ke desa Sumal dan menghadiahkan semua tanah dan apa yang dimilikinya semua kepada maulanya Ja’far bin Makhdam sebagaimana hal tersebut telah dilakukan oleh ayahnya al-Muhajir, yang membeli perkebunan kurma ketika beliau tiba di Hajrain Hadramaut, kemudian berpindah lagi ke daerah Bani Jusaib sebelum akhirnya beliau menentap di Husaisah. Beliau menghadiahkan semua harta dan perkebunannya kepada maulanya Suwaih yang termasuk maula yang terdahulu ikut serta hijrah dari Iraq. Di Sumal dan di Bait Jubair beliau mengusahakan sumber kehidupan untuknya dan untuk para pengikutnya dengan membeli sebidang tanah pertanian dan perkebunan kurma. Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad telah mendirikan kaidah-kaidah ilmu dan syariah dan da’wah kejalan Allah swt berdasarkan manhaj berpikir yang telah diterima bulat oleh para ulama ahlu sunnah di Hadramaut, dimana saat itu terdapat ulama dari keluarga Abi Fadhol dan dari keluarga al-Khatib di negeri Tarim, sebagaimana sama halnya dengan kaum Khawarij dan beberapa ulama mereka yang mengambil hujjah serta keterangan-keterangan dari uslub yang diajarkan oleh ayahnya dengan cara akhlaq yang mulia tanpa mendahulukan rasa fanatik dan hawa nafsu, sehingga keadaan Hadramaut berubah menjadi negeri ahlu sunnah dikarena beliau, begitu pula pada zaman ayahnya. Keturunan Imam Ubaidillah. Silsilah Saadah Bani Alawi al-Husaini yang menetap di Hadramaut sampai hari ini dan yang telah menyebar ke penjuru alam semua bersumber kepada Sayid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Beliau merupakan satu-satunya anak dari keturunan Ubaidillah bin Ahmad yang mempunyai keturunan yang bersambung hingga hari ini. Imam Ubaidillah bin Ahmad mempunyai tiga orang anak : Basri, Jadid dan Alwi. Basri dan Jadid mempunyai keturunan yang tinggal di Hadramaut dan terputus pada awal tahun 700 hijriyah, hingga tidak ada lagi dari keturunannya yang tercatat dalam silsilah dan biografi keluarga Alawi. Pengarang kitab Ghuror al-Bahau al-Dhowwiy menulis : Sesungguhnya keluarga Bani Jadid terputus begitu pula keluarga dari Bani Basri, yang hidup paling akhir dari keluarga Jadid ialah seorang wanita di Zubaid yang bernama Jadidah. Alwi bin Ubaidillah mempunyai banyak keturunan yang tersebar di Hadramaut, Yaman, Hijaz, Mesir, Kholij, Indonesia, Afrika Timur, India, Sailan dan negeri lainnya. Dalam hal ini telah ditetapkan nisbah Saadah Bani Alawi 34
kepada asalnya yang diberkahi khususnya sesudah hijrahnya al-Imam Ali bin Jadid ke negeri Iraq. AL IMAM ALWI BIN UBAIDILLAH BIN AHMAD AL MUHAJIR Imam Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir [ Al-Imam Alwi - Ubaidillah - Ahmad AlMuhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]. Beliau seorang yang sangat alim dan merupakan imam besar di zamannya. Beliau di lahirkan di Hadramaut dan di besarkan disana. Semenjak kecil beliau di didik langsung oleh ayahnya dan berjalan pada thariqah yang telah ditempuh oleh ayahnya. Beliau gemar mendalami ilmu dan selalu menyibukan dirinya untuk menuntut ilmu, sehingga berhasil menguasai berbagai macam ilmu. Beliau juga adalah seorang yang hafal Alquran. Selain menuntut ilmu di Hadramaut, beliau juga menuntut ilmu sampai kekota Makkah dan Madinah. Di samping kedalaman ilmunya, beliau adalah seorang yang banyak bermujahadah. Beliau banyak melakukan shalat dan puasa. Sifat wara' dan banyak bersedekah juga selalu menghiasi diri beliau. Beliau adalah orang yang pertama kali diberi nama Alwi, yaitu nama yang asalnya diambil nama burung yang terkenal. Beliau di karuniai banyak keturunan, tersebar dan baik. Keturunan beliau ini di kenal dengan nama Ba'alawy. Jadi setiap keluarga Ba'alawy diseluruh dunia ini pasti benasabkan diri kepada beliau, keluargaa Ba'alawy, tersebar di seluruh antero negeri. Nasab mereka lebih terang daripada sinar matahari dan cahaya rembulan. Beliau adalah seorang yang sempurna memadukan kemuliaan diri dan nasab. Keutamaan- keutamaan beliau terukir di berbagai lembaran tulisan. Banyak para ulama dan ahli sejarah yang memuji dan menagungkan beliau. Diceritakan dalam satu riwayat, ketika beliau hendak melaksanakan perintah haji dan berziarah ke makam kakeknya Rasulullah SAW. Ikut di dalam rombongan beliau sekitar 80 orang, belum termasuk para pembantu dan sanak kerabatnya. ikut juga di dalamnya saudaranya yang bernama Jadid. Itu semua beliau yang menanggung biaya perjalannya. Ditambah lagi beliau sering bersedekah kepada orang lain disaat perjalanan pulangnya. Beliau juga membawa unta-unta dalam jumlah banyak untuk dipakai buat orang-orang yang lemah dalam rombongannya. 35
Puing-puing kota Bait Jubair: kota tertua kaum Alawiyin. Kota ini hancur karena lama ditinggalkan pada tahun 461 keluarga Ba'alawy melakukan exodus ke Tarim
Beliau hanya mempunyai seorang anak yang bernama Muhammad. Tidak berbeda dengan ayahnya, Al-Imam Muhammad juga seorang yang dikaruniai kemuliaan sifat wara', zuhud dan ibadah. Perkataan , perbuatan dan hal ihwalnya selalu berbeda dalam kebaikan. Berkumpul di dalam dirinya keutamaan dan keindahab budi pekerti. Beliau adalah seorang yang sangat pengasih kepada anak-anak yatim, orang-orang lemah dan kaum fakir miskin. Banyak para ulama dan ahli sejarah yang menyebutkan. memuji dan menghormati beliau. di samping itu, beliau adalah seorang yang berilmu, kalamnya fasih dan pandai. Beliau, Al-Imam Muhammad bin Alwi, dilahirkan di daerah Bait Jubair ( Hadramaut ) dan dibesatkan disana. Beliau mengambil ilmu langsung dari ayahnya dan juga dari beberapa ulama yang hidup di zamannya, beliau meninggal pada umur56 tahun, dengan tidak di ketahui pasti tanggal meninggalnya dan tempat di semayamkannya.
Makam Imam Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang terletak di kota Bait Jubair.
Adapun anak beliau adalah bernama Alwi. Al-Imam Alwi juga mewarisi sifat-sifat kebaikan ayahnya. Beberapa ahli sejarah menyebutkan dan memuji kehidupan beliau. Beliau seorang imam, ulama, ahli zuhud dan ibadah. Selain 36
itu, beliau juga seorang yang dermawan dan tawadhu. Beliau mengabil ilmu langsung dari ayahnya dan beliau berjalan pada thariqah ayahnya.
Mesjid Ash-Shouma’ah di kota Bait Jubair - kota tertua kaum Alawiyin.
Beliau di lahirkan di Bait Jubair dan dibesarkan disana dalam kemuliaan didikan. Beliau meninggal ditempat kelahirannya pada tahun 512 H. Radhiyallohu anhu wa ardhah.... AL IMAM ALI KHALI' QASAM Imam Ali Khali' Qasam [Al-Imam Ali Khali' Qasam - Alwi Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad AlMuhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad AlBaqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah AzZahro - Muhammad SAW] Beliau adalah Al-Imam Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau terkenal dengan julukan Khali’ Qasam (pelepas/pemberi Qasam). Julukan tersebut diberikan kepada beliau dikarenakan beliau membeli suatu tanah dengan harga 20.000 Dinar. Tanah itu kemudian beliau namakan dengan Qasam, sesuai dengan nama tanah keluarganya di kota Bashrah. Di tanah itu beliau menanam pohon kurma. Disana beliau juga membangun suatu rumah yang ditempati pada saat panen kurma. Kemudian beberapa orang membangun rumah-rumah disamping rumah 37
beliau. Sampai akhirnya tempat itu menjadi suatu desa dan dinamakan dengan desa Qasam. Beliau dilahirkan di Bait Jubair (di Hadramaut), suatu daerah yang penuh berkah dan kebaikan. Beliau dibesarkan di daerah itu. Beliau mengambil ilmu dari ayahnya. Beliau sering mondar-mandir bepergian ke kota Tarim. Akhirnya beliau, diikuti oleh saudara-saudara dan anak pamannya, memutuskan untuk tinggal di kota Tarim. Beliau adalah seorang imam agung, guru besar, dan terkenal dengan keluasan ilmunya. Terkumpul di dalam diri beliau keutamaan dan kebaikan, anwar dan asrar. Beliau dikaruniai oleh Allah dengan maqam yang sangat tinggi, sehingga tampak dalam diri beliau karomah-karomah yang luar biasa. Beliau adalah seorang alim yang tiada duanya di jamannya dan tempat rujukan bagi manusia di saat itu. Jarang sekali pada suatu jaman terdapat orang yang mempunyai maqam setinggi beliau. Para ulama besar dan ahli sejarah banyak menyebutkan manaqib dan ketinggian maqam beliau di buku-buku mereka. Termasuk di antaranya adalah Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad menyebutnya dalam suatu syairnya, Rasulullah membalas salamnya, “(Salam bagimu) Ya Syeikh” sebagai jawaban atas salamnya (kepada Rasulullah), maka dibuat kagumlah para orang-orang mulia. Syair tersebut menggambarkan suatu karomah besar yang ada pada diri beliau, Al-Imam Ali Khali’ Qasam. Hal ini terjadi setelah beliau tinggal di kota Tarim. Beliau jika menjalankan shalat dan sampai pada waktu tahiyat dan membaca salam kepada Nabi SAW, “As-salaamu ‘alaika ayyuhan Nabiyu wa rohmatullohi wa barakaatuh,” beliau mengulang-ulangi bacaan tersebut, sampai beliau mendengar langsung jawaban dari Rasulullah SAW, “As-salaamu ‘alaika ya Syeikh (salam sejahtera bagimu wahai Syeikh).” Demikianlah yang terjadi sebagaimana diceritakan oleh beberapa ulama seperti Al-Jundi, AsySyaraji, Ibnu Hisan, dan lain-lain. Al-Allamah Asy-Syeikh Al-Khatib juga menyebutkannya di dalam kitabnya Al-Jauhar Asy-Syafaaf. Kekhususan ini, yakni dapat mendengar jawaban salam dari Rasulullah SAW, merupakan suatu maqam yang tinggi. Tidak bisa mendapatkan maqam setinggi itu, kecuali hanya segelintir auliya. Maqam itu tidak bisa didapatkan kecuali oleh orang yang sangat-sangat dekat dengan Allah. Asy-Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rawi berkata dalam hal ini, “Tidak akan sampai seseorang kepada maqam berinteraksi langsung dengan Rasulullah SAW dan mendengar jawaban salam dari beliau SAW, kecuali ia telah melampaui 247.999 maqam para Auliya.” Asy-Syeikh Abu Al-Abbas Al-Mursi bertanya kepada teman-temannya, “Adakah diantara kalian yang ketika menyampaikan salam kepada Rasul SAW di 38
dalam shalat, terus dapat mendengar jawaban salam dari beliau SAW?.” Mereka berkata, “Tidak ada.” Selanjutnya beliau berkata, “Menangislah kalian, karena kalbu-kalbu kalian tertutup dari Allah dan Rasul-Nya.” Beliau, Al-Imam Ali Khali’ Qasam, tidak hanya mendapat jawaban salam dari Rasul SAW di dalam shalatnya saja, tetapi di dalam semua kesempatan yang beliau memberikan salam kepada Rasul SAW. Beliau, meskipun mempunyai maqam yang demikian tinggi, adalah seorang yang sangat tawadhu. Beliau mempunyai akhlak yang mulia. Disamping itu, beliau adalah seorang yang pemurah. Beliau meninggal berkisar pada tahun 523-529 H. Di dalam riwayat lain dikatakan beliau meninggal pada tahun 529 H1. Jasad beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal, Tarim. Radhiyallohu anhu wa ardhah… AL IMAM MUHAMMAD SHOHIB MIRBATH Imam Muhammad Shohib Mirbath [Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath Ali Khali’ Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi Muhammad An-Naqib - Ali Al-’Uraidhi Ja’far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro Muhammad SAW] Beliau adalah Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau terkenal dengan julukan Shohib Mirbath, yang artinya penghuni daerah Mirbath. Mirbath adalah julukan bagi kota Dhafar lama, suatu daerah berpantai. Beliau adalah seorang imam yang agung, unggulan di jamannya. Beliau banyak menguasai berbagai macam ilmu dan gemar mengamalkannya. Beliau seorang yang hidup dalam keadaan zuhud dan wara’. Hidupnya penuh dengan ibadah dan berbuat kebajikan. Seseorang yang melihat kehidupan beliau, pasti terkagum akan keindahan akhlak dan kemuliaan sifat-sifatnya. Selain itu beliau juga seorang yang sangat dermawan dan pemurah. Kedalamannya di dalam menguasai ilmu menjadikan beliau sebagai seorang guru yang agung. Dengan kemuliaan dan kebaikan kehidupannya, muncullah di dalam diri beliau berbagai macam karomah.
39
Beliau aslinya berasal dari Hadramaut, kemudian memutuskan tinggal di Mirbath. Banyak para ulama yang berhasil dalam didikan beliau dan akhirnya menjadi ulama-ulama besar. Diantaranya adalah 4 putra beliau sendiri, yaitu Alwi, Abdullah, Ahmad dan Ali (ayah dari Ah-Fagih Al-Muqaddam). Selain itu ada juga beberapa ulama lainnya seperti Asy-Syeikh Muhammad bin Ali (yang disemayamkan di kota Sihr), Asy-Syeikh Al-Imam Ali bin Abdullah AdhDhafariyyin, Asy-Syeikh Salim bin Fadhl, Asy-Syeikh Ali bin Ahmad Bamarwan, Al-Qadhi Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Asy-Syeikh Ali bin Muhammad AlKhatib. Dari beliaulah, muncullah generasi-generasi yang membawa bendera dakwah seantero negeri. Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad melukiskan beliau dalam suatu bait syairnya, “Penghuni Mirbath, seorang imam,pusat bermuaranya keturunannya, para ahli dakwah” Siapa lagi kalau bukan dari keturunan anak-anak beliau, yaitu Ali (ayah dari Al-Fagih Al-Muqaddam) dan Alwi (Ammul Fagih). Dari putra-putra beliau itulah, bertebaran insan-insan pembawa hidayah kepada jalan yang benar. Merekalah guru dari semua guru yang menyampaikan syariah ke seluruh negeri. Merekalah insan-insan pembawa kebenaran dari generasi ke generasi, dan bermuarakan dari Shohibur Risalah Nabi Muhammad SAW. Beliau wafat pada tahun 556 H dan disemayamkan di Mirbath. Sampai sekarang makam beliau banyak diziarahi orang-orang yang ingin mengambil barakah dan terkabulnya doa. Radhiyallohu anhu wa ardhah… Putra - Putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath Putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath yang pertama adalah Al-Imam Alwi. Beliau sering dijuluki dengan ‘Ammul Faqih (paman dari Al-Faqih AlMuqaddam). Beliau adalah seorang imam yang berilmu dan beramal, dermawan dan pemurah. Beliau mewarisi sifat-sifat kebaikan dari ayahnya. Beliau berjalan di jalan yang telah ditempuh oleh ayahnya. Beliau dilahirkan di kota Tarim dan dibesarkan disana. Beliau mengambil ilmu langsung dari ayahnya. Selain itu, beliau juga mengambil ilmu dari AsySyeikh Salim Bafadhal, As-Sayyid Salim bin Bashri, Asy-Syeikh Ali bin Ibrahim AlKhatib, dan lain-lain. Dari tangan beliau juga, telah berhasil keluar ulama-ulama besar dalam didikannya, seperti diantaranya putra-putra beliau sendiri yaitu Ahmad, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdul Malik. Selain itu, Al-Faqih AlMuqaddam juga termasuk hasil didikan beliau yang berhasil. Beliau adalah seorang yang mempunyai budi pekerti luhur, sehingga sangat dicintai oleh masyarakatnya. Beliau dapat diterima baik di kalangan awam maupun khusus. Selain itu, dari ketinggian maqam beliau di sisi Allah, beliau banyak dikaruniai karomah.
40
Beliau wafat di kota Tarim, pada hari Senin, bulan Dzulqaidah, tahun 613 H. Jazad beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal. Putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath yang kedua adalah Al-Imam Ahmad. Beliau adalah ayah dari Zainab, istri Al-Faqih Al-Muqaddam. Kemudian putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath yang ketiga adalah Al-Imam Ali. Beliau adalah ayah dari Al-Faqih Al-Muqaddam. Beliau adalah seorang imam yang penuh dengan kezuhudan. Beliau adalah seorang yang alim dan menjalani kehidupannya sebagai seorang sufi. Beliau banyak dikaruniai asrar dan ahwal, sehingga muncul pada diri beliau karomahkaromah. Selain itu beliau juga adalah seorang yang pemurah dan dermawan. Beliau dilahirkan di kota Tarim dan dibesarkan disana. Beliau mengambil ilmu dari ayahnya dan dari beberapa ulama di jamannya. Kehidupan beliau penuh dengan akhlak yang luhur. Sifat tawadhu selalu menghiasi diri beliau. Beliau wafat pada sekitar tahun 593-599 H. Adapun putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath yang keempat adalah Al-Imam Abdullah. Muhammad bin Ali Al-Qal’iy pernah memberikan suatu ijazah kepada beliau. Demikian juga Al-Faqih Ibnu Faris pernah menyebutkan nama beliau di kitabnya Jami’ At-Turmudzi. Radhiyallohu anhu wa ardhah… AL IMAM AL FAQIH AL MUQADDAM MUHAMMAD Imam Al-Faqih Al- Muqaddam Muhammad [Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad Ali - Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali' Qasam Alwi - Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad AlMuhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro Muhammad SAW] Beliau adalah Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin AlImam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW. Beliau dijuluki dengan Al-Faqih Al-Muqaddam (seorang faqih yang diunggulkan). Beliau adalah al-’arif billah, seorang ulama besar, pemuka para imam dan guru, suri tauladan bagi al-’arifin, penunjuk jalan bagi as-salikin, seorang qutub yang agung, imam bagi Thariqah Alawiyyah, seorang yang mendapatkan kewalian rabbani dan karomah yang luar biasa, seorang yang mempunyai jiwa yang bersih dan perjalanan hidupnya terukir dengan indah. 41
Beliau adalah seorang yang diberikan keistimewaan oleh Allah SWT, sehingga beliau mampu menyingkap rahasia ayat-ayat-Nya. Ditambah lagi Allah memberikannya kemampuan untuk menguasai berbagai macam ilmu, baik yang dhohir ataupun yang bathin. Beliau dilahirkan pada tahun 574 H. Beliau mengambil ilmu dari para ulama besar di jamannya. Di antaranya adalah Al-Imam Al-Allamah Al-Faqih Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Salim Marwan Al-Hadhrami At-Tarimi. Al-Imam Abul Hasan ini adalah seorang guru yang agung, pemuka para ulama besar di kota Tarim. Selain itu beliau (Al-Faqih Al-Muqaddam) juga mengambil ilmu dari Al-Faqih Asy-Syeikh Salim bin Fadhl dan Al-Imam Al-Faqih Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Ubaid (pengarang kitab Al-Ikmal Ala At-Tanbih). Gurunya itu, yakni Al-Imam Abdullah bin Abdurrahman, tidak memulai pelajaran kecuali kalau Al-Faqih Al-Muqaddam sudah hadir. Selain itu beliau (Al-Fagih AlMuqaddam) juga mengambil ilmu dari beberapa ulama besar lainnya, diantaranya Al-Qadhi Al-Faqih Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Abul Hubbi, Asy-Syeikh Sufyan Al-Yamani, As-Sayyid Al-Imam Al-Hafidz Ali bin Muhammad bin Jadid, As-Sayyid Al-Imam Salim bin Bashri, Asy-Syeikh Muhammad bin Ali Al-Khatib, Asy-Syeikh As-Sayyid Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath (paman beliau) dan masih banyak lagi. Dalam mengambil sanad keilmuan dan thariqahnya, beliau mengambil dari dua jalur sekaligus. Jalur pertama adalah beliau mengambil dari orangtua dan pamannya, orangtua dan pamannya mengambil dari kakeknya, dan terus sambung-menyambung dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW. Adapun jalur yang kedua, beliau mengambil dari seorang ulama besar dan pemuka ahli sufi, yaitu Sayyidina Asy-Syeikh Abu Madyan Syu’aib, melalui dua orang murid Asy-Syeikh Abu Madyan, yaitu Abdurrahman Al-Maq’ad Al-Maghrobi dan Abdullah Ash-Sholeh Al-Maghrobi. Kemudian Asy-Syeikh Abu Madyan mengambil dari gurunya, gurunya mengambil dari gurunya, dan terus sambungmenyambung dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW. Di masa-masa awal pertumbuhannya, beliau menjalaninya dengan penuh kesungguhan dan mencari segala hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Beliau berpegang teguh pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, serta mengikuti jejak-jejak para Sahabat Nabi dan para Salafus Sholeh. Beliau bermujahadah dengan keras dalam mendidik akhlaknya dan menghiasinya dengan adab-adab yang sesuai dengan syariah. Beliau juga giat dalam menuntut ilmu, sehingga mengungguli ulamaulama di jamannya dalam penguasaan berbagai macam ilmu. Para ulama di jamannya pun mengakui akan ketinggian dan penguasaannya dalam berbagai macam ilmu. Mereka juga mengakui kesempurnaan yang ada pada diri beliau untuk menyandang sebagai imam di jamannya. 42
Mujahadah beliau di masa-masa awal pertumbuhannya bagaikan mujahadahnya orang-orang yang sudah mencapai maqam al-’arif billah. Allahlah yang mengaruniai kekuatan dan keyakinan di dalam diri beliau. Allah-lah juga yang mengaruniai beliau berbagai macam keistimewaan dan kekhususan yang tidak didapatkan oleh para qutub yang lainnya. Hati beliau tidak pernah kosong sedetikpun untuk selalu berhubungan dengan Allah. Sehingga tampak pada diri beliau asrar, waridad, mawahib dan mukasyafah. Beliau adalah seorang yang tawadhu dan menyukai ketertutupan di setiap keadaannya. Beliau pernah berkirim surat kepada seorang pemuka para ahli sufi yang bernama Asy-Syeikh Sa’ad bin Ali Adz-Dzofari. Setelah Asy-Syeikh Sa’ad membaca surat itu dan merasakan kedalaman isi suratnya, ia terkagumkagum dan merasakan asrar dan anwar yang ada di dalamnya. Kemudian ia membalas surat tersebut, dan di akhir suratnya ia berkata, “Engkau, wahai Faqih, orang yang diberikan karunia oleh Allah yang tidak dipunyai oleh siapapun. Engkau adalah orang yang paling mengerti dengan syariah dan haqiqah, baik yang dhohir maupun yang bathin.” Berkata Al-Imam Asy-Syeikh Abdurrahman As-Saggaf tentang diri Al-Faqih Al-Muqaddam, “Aku tidak pernah melihat atau mendengar suatu kalam yang lebih kuat daripada kalamnya Al-Faqih Muhammad bin Ali, kecuali kalamnya para Nabi alaihimus salam. Kami tidak dapat mengunggulkan seorang wali pun terhadapnya (Al-Faqih Al-Muqaddam), kecuali dari golongan Sahabat Nabi, atau orang yang diberikan kelebihan melalui Hadits seperti Uwais (Al-Qarni) atau selainnya.” Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, pernah berkata, “Aku terhadap masyakaratku seperti awan.” Suatu hari dikisahkan bahwa beliau pernah tertinggal pada saat ziarah ke kubur Nabiyallah Hud alaihis salam. Beliau berkisah, “Pada suatu saat aku duduk di suatu tempat yang beratap tinggi. Tibatiba datanglah Nabiyallah Hud ke tempatku sambil membungkukkan badannya agar tak terkena atap. Lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Syeikh, jika engkau tidak berziarah kepadaku, maka aku akan berziarah kepadamu.’” Dikisahkan juga bahwa pada suatu saat ketika beliau sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, datanglah Nabi Khidir alaihis salam menyerupai seorang badui dan diatas kepalanya terdapat kotoran. Bangunlah Al-Faqih AlMuqaddam, lalu mengambil kotoran tersebut dari kepalanya dan kemudian memakannya. Kejadian tersebut membuat para sahabatnya terheran-heran. Akhirnya mereka bertanya, “Siapakah orang itu?.” Maka Al-Faqih Al-Muqaddam menjawab, “Dia adalah Nabi Khidir alaihis salam.” Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, banyak menghasilkan para ulama besar di jamannya. Beberapa ulama besar berhasil dalam didikan beliau. Yang paling terutama adalah dua orang muridnya, yaitu Asy-Syeikh Abdullah bin 43
Muhammad ‘Ibad dan Asy-Syeikh Sa’id bin Umar Balhaf. Selain keduanya, banyak juga ulama-ulama besar yang berhasil digembleng oleh beliau, diantaranya Asy-Syekh Al-Kabir Abdullah Baqushair, Asy-Syeikh Abdurrahman bin Muhammad ‘Ibad, Asy-Syeikh Ali bin Muhammad Al-Khatib dan saudaranya Asy-Syeikh Ahmad, Asy-Syeikh Sa’ad bin Abdullah Akdar dan saudara-saudara sepupunya, dan masih banyak lagi. Beliau wafat pada tahun 653 H, akhir dari bulan Dzulhijjah. Jazad beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal, di kota Tarim. Banyak masyarakat yang berduyun-duyun menghadiri prosesi pemakaman beliau. Beliau meninggalkan 5 orang putra, yaitu Alwi, Abdullah, Abdurrahman, Ahmad dan Ali. Radhiyallohu anhu wa ardhah… AL IMAM ALWI AL GHUYUR Imam Alwi Al-Ghuyur [Imam Alwi Al-Ghuyur - Al-Faqih AlMuqaddam Muhammad - Ali - Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali' Qasam - Alwi Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad AlMuhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad AnNaqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW] Beliau adalah Al-Imam Alwi bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW. Beliau dijuluki dengan AlGhuyur (yang cemburu), yaitu yang cemburu atas namanya. Hal ini dikarenakan tidak ada seorang pun dari keluarga Bani Alawy di jaman beliau yang bernama Alwi. Jika ada seseorang yang berniat memberi nama Alwi, pasti ia akan tercegah untuk menamakan dengan nama itu, sehingga memberikan nama lain. Beliau dilahirkan di kota Tarim dan dibesarkan disana. Beliau dididik langsung oleh ayahnya. Beliau mengambil dari ayahnya berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Beliau juga menempuh jalan ayahnya, baik secara syariah, thariqah maupun haqiqah. Ibu beliau adalah Hababah Zainab binti Ahmad bin Muhammad Shahib Mirbath, seorang wanita yang termasuk al-’arif billah. Beliau adalah seorang keturunan Rasul SAW yang agung, seorang yang alim dan mengamalkan ilmunya, serta seorang ahli zuhud. Beliau adalah seorang al-’arif billah, mempunyai maqam yang tinggi dan karomah yang luar biasa. Beliau banyak mendapatkan ilmu-ilmu laduniyyah dan asrar ghaibiyyah. 44
Beliau jika berkata terhadap sesuatu, “Kun (jadilah),” maka sesuatu itu jadi sebagaimana yang dikehendakinya dengan ijin Allah. Banyak para ulama besar dan auliya di jamannya menukilkan ucapan beliau yang berkata, “Aku berada dalam maqam Al-Junaid.” Beliau dapat mendengar tasbih dari benda-benda mati. Beliau bisa mengenali orang-orang yang ahli celaka dan yang ahli bahagia. Pada suatu hari ayahnya, Al-Faqih Al-Muqaddam, berkata kepada beliau pada saat beliau masih kecil, “Engkau dapat mengenali mana orang yang ahli celaka dan mana yang ahli bahagia. Maka lihatlah yang demikian itu di dahiku (aku termasuk yang mana)?.” Lalu beliau melihatnya dan mendapatkannya sebagai orang yang termasuk ahli bahagia, kemudian beliau sampaikan hal tersebut kepada ayahnya. Suatu saat beliau berziarah ke datuknya, Rasulullah SAW, dan di sampingnya ada Abubakar dan Umar (semoga Allah meridhoi keduanya). Beliau berkata kepada datuknya SAW, “Dimanakah kedudukanku di sisimu, wahai kakek?.” Menjawab Rasulullah SAW, “Di kedua belah mataku.” Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada beliau, “Dan dimanakah kedudukanku di sisimu, wahai Syeikh Alwi?.” Lantas beliau menjawab, “Di atas kepalaku.” Kemudian Abubakar berkata, “Bagaimana engkau menempatkan Rasulullah demikian?. Dia menempatkanmu di kedua belah matanya, sedangkan engkau menempatkannya di atas kepalamu. Tidak ada sesuatu yang dapat menyamai kedua belah mata. Engkau harus mensyukurinya dengan bersedekah kepada para fakir miskin 100 dinar.” Setelah beliau pulang, beliau pun bersedekah 100 dinar sebagai tanda syukur. Pada saat beliau berlambat-lambat dalam menikah, berkatalah calon keturunannya dari punggungnya, “Kami telah berada di punggungmu. Cepatlah menikah. Kalau tidak, kami akan keluar dari punggungmu!.” Ketika beliau telah menikah dan istrinya mengandung, berkatalah si jabang bayi dari rahim istrinya, “Aku anak sholeh. Aku hamba Sholeh.” Beliau, Al-Imam Alwi Al-ghuyur, seorang yang cepat memberikan pertolongan bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongan. As-Sayyid AlAllamah Al-Imam Muhammad bin Alwi Al-Khirid Ba’alawy berkata di dalam kitabnya Al-Ghurar, “Mengabarkan kepadaku Asy-Syeikh Abdurrahman bin Ali bahwa para al-’arif billah berkata, ‘Ada 3 orang dari keluarga Bani Alawy yang senantiasa semangatnya terpelihara. Sifatnya yang merespon pertolongan dengan cepat selalu semakin baik dan terjaga. Seorang yang meminta pertolongan kepada mereka, selalu cepat mereka bantu. Mereka adalah Alwi Al-Ghuyur, dan anaknya yaitu Ali, serta Asy-Syeikh Umar Al-Muhdhor.’ “
45
Bagian dalam dari tempat ibadah Sayidinal Faqih Al-Muqoddam yang terletak di bukit Nu’air di kota Tarim. Di tempat ini pula Imam Alwi Al-Ghuyur, Abdurrahman Assegaf, Abubakar As-Sakran, Abdullah Alaydrus dan lainnya beribadah.
Ayah beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, memuji kepada beliau dan memberikan isyarat bahwa pada suatu saat nanti anaknya itu akan menjadi seorang wali yang agung. Banyak para ulama mengatakan bahwa sirr ayahnya pindah kepada diri beliau. Sebagian di antara mereka berkata, “Beliau pengganti dari orang-orang yang terdahulu.” Beliau menikah dengan seorang wanita yang bernama Hababah Fatimah binti Ahmad bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath. Melalui istrinya tersebut, beliau dikaruniai dua orang putra, yaitu Ali dan Abdullah. Beliau wafat pada hari Jum’at, 12 Dzulqaidah 669 H. Jasad beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal Tarim dan diletakkan di sebelah timur dari makam ayahnya. Radhiyallohu anhu wa ardhah… Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad as Saqqaf (Tarim) Wali Yang Bertabur Karamah Salah seorang wali dan ulama dari Ahlil Bait Ba’alawi yang bertabur karamah adalah Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saqqaf. Beliau mendapat julukan As-Saqqaf, yang berarti atapnya para wali dan orang-orang shalih pada masanya. Ulama dari Tarim, Hadramaut ini dikenal sebagai wali yang bertabur karamah. Salah satunya adalah sering dilihat banyak orang sedang hadir di tempat-tempat penting di Makkah. Ulama ini juga dikenal sebagai ulama yang kuat bermujahadah. Beliau pernah tidak tidur selama 33 tahun. Dikabarkan, dia 46
sering bertemu dengan Nabi SAW dan sahabatnya dalam keadaan terjaga setiap malam Jum’at, Senin dan Kamis, terus-menerus. Habib Abdurrahman As-Saqqaf adalah seorang ulama besar, wali yang agung, imam panutan dan guru besar bagi para auliya al-‘arifin. Ia dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut pada 739 H. Ibunya bernama Aisyah binti Abi Bakar ibnu Ahmad Al-Faqih Al-Muqaddam. Sebahagian dari karamah beliau diriwayatkan bahawasanya hampir setiap tahunnya banyak orang melihat beliau sedang hadir di tempat-tempat penting di Makkah. Ketika ditanyakan oleh sebahagian murid beliau: "Apakah anda pernah berhaji?" Jawab beliau: "Jika secara zahir tidak pernah". Pada suatu hari, salah seorang santri yang bernama Muhammad bin Hassan Jamalullail saat di masjid merasa sangat lapar sekali. Waktu itu, sang santri malu untuk mengatakan tentang keadaan perutnya yang makin keroncongan. Rupanya sang guru itu tahu akan keadaan santrinya. Ia kemudian memanggil sang santri untuk naik ke atas loteng masjid. Anehnya, di hadapan beliau sudah terhidang makanan yang lezat. “Dari manakah mendapatkan makanan itu?” tanya Muhammad bin Hassan Jamalullail. “Hidangan ini kudapati dari seorang wanita,” jawabnya dengan enteng. Padahal, sepengetahuan sang santri, tidak seorangpun yang masuk dalam masjid. Bila malam telah tiba, orang yang melihatnya seperti habis melakukan perjalanan panjang di malam hari, dikarenakan panjangnya shalat malam yang beliau lakukan. Bersama sahabatnya, Fadhl, pernah melakukan ibadah di dekat makam Nabiyallah Hud AS berbulan-bulan. Dia dan sahabatnya itu terjalin persahabatan yang erat. Mereka berdua bersama-sama belajar dan saling membahas ilmu-ilmu yang bermanfaat. Banyak awliyaillah dan para sholihin mengagungkan Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Ia tidaklah memutuskan suatu perkara terhadap seseorang, kecuali setelah mendengar isyarat dari Yang Maha Benar untuk melakukan sesuatu. Berkata As-Sayyid Al-Jalil Muhammad bin Abubakar bin Ahmad Ba’alawy, “Ketika Habib Abdurrahman telah memutuskan suatu perkara bagiku, maka hilanglah seketika dariku rasa cinta dunia dan sifat-sifat yang tercela, berganti dengan sifat-sifat yang terpuji.” Sebagaimana para auliya di Hadramaut, ia juga suka mengasingkan diri untuk beribadah di lorong bukit An-Nu’air dan juga sekaligus berziarah ke makam Nabi Hud AS. Seorang muridnya yang lain bernama Syeikh Abdurrahim bin Ali Khatib menyatakan,“Pada suatu waktu sepulangnya kami dari berziarah ke makam Nabi Hud a.s. bersama Habib Abdurrahman, beliau berkata, “Kami tidak akan shalat Maghrib kecuali di Fartir Rabi’. Kami sangat heran sekali 47
dengan ucapan beliau. Padahal waktu itu matahari hampir saja terbenam sedangkan jarak yang harus kami tempuh sangat jauh. Beliau tetap saja menyuruh kami berjalan sambil berzikir kepada Allah SWT. Tepat waktu kami tiba di Fartir Rabi’, matahari mulai terbenam. Sehingga kami yakin bahwa dengan karamahnya sampai matahari tertahan untuk condong sebelum beliau sampai di tempat yang ditujunya.” Kata sebahagian murid beliau: "Kejadian itu sama seperti yang pernah terjadi pada diri Syeikh Ismail Al-Hadrami.rhm" Diriwayatkan pula pada suatu hari beliau sedang duduk di depan muridmurid beliau. Tiba-tiba beliau melihat petir. Beliau berkata pada mereka: “Bubarlah kamu sebentar lagi akan terjadi banjir di lembah ini”. Apa yang diucapkan oleh beliau itu terjadi seperti yang dikatakan. Suatu waktu Habib Abdurrahman As-Saqqaf mengunjungi salah seorang isterinya yang berada di suatu desa, mengatakan pada isterinya yang sedang hamil, ”Engkau akan melahirkan seorang anak lelaki pada hari demikian dan akan mati tepat pada hari demikian dan demikian, kelak bungkuskan mayatnya dengan kafan ini.” Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saqqaf kemudian memberikan sepotong kain. Dengan izin Allah isterinya melahirkan puteranya tepat pada hari yang telah ditentukan dan tidak lama bayi yang baru dilahirkan itu meninggal tepat pada hari yang diucapkan oleh beliau sebelumnya. Pernah suatu ketika, ada sebuah perahu yang penuh dengan penumpang dan barang tiba-tiba bocor saja tenggelam. Semua penumpang yang ada dalam perahu itu panik. Sebahagian ada yang beristighatsah (minta tolong) pada sebahagian wali yang diyakininya dengan menyebut namanya. Sebahagian yang lain ada yang beristighatsah dengan menyebut nama Habib Abdurrahman AsSaqqaf. Orang yang menyebutkan nama Habib Abdurrahman As-Saqqaf itu bermimpi melihat beliau sedang menutupi lubang perahu yang hampir tenggelam itu dengan kakinya, hingga selamat. Cerita itu didengar oleh orang yang kebetulan tidak percaya pada Habib Abdurraman As-Saqqaf. Selang beberapa waktu setelah kejadian di atas orang yang tidak percaya dengan Habib Abdurrahman itu tersesat dalam suatu perjalanannya selama tiga hari. Semua persediaan makan dan minumnya habis. Hampir ia putus asa. Untunglah ia masih ingat pada cerita istighatsah dengan menyebut Habib Abdurrahman As-Saqqaf, yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lalu. Kemudian ia beristighatsah dengan menyebutkan nama beliau. Dan ia bernazar jika memang diselamatkan oleh Allah SWT dalam perjalanan ini ia akan patuh dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Belum selesai menyebut nama beliau tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang memberinya buah kurma dan air. 48
Kemudian ia ditunjukkan jalan keluar sampai terhindar dari bahaya. Karamah yang lain dari Habib Abdurrahman As-Saqqaf, juga dibuktikan oleh salah seorang pelayan rumahnya. Salah seorang pelayan itu suatu ketika di tengah perjalanan dihadang oleh perampok. Kendaraannya dan perbekalannya kemudian dirampas oleh seorang dari keluarga Al-Katsiri. Pelayan yang merasa takut itu segera beristighatsah menyebut nama Habib Abdurrahman untuk minta tolong dengan suara keras. Ketika orang yang merampas kendaraan dan perbekalan sang pelayan tersebut akan menjamah kenderaan dan barang perbekalannya tiba-tiba tangannya kaku tidak dapat digerakkan sedikitpun. Melihat keadaan yang kritikal itu si perampas berkata pada pelayan yang dirampas kendaraan dan perbekalannya. “Aku berjanji akan mengembalikan barangmu ini jika kamu beristighatsah sekali lagi kepada syeikhmu yang kamu sebutkan namanya tadi,” kata sang perampok. Si pelayan segera beristighatsah mohon agar tangan orang itu sembuh seperti semula. Dengan izin Allah tangan si perampas itu segera sembuh dan barangnya yang dirampas segera dikembalikan kepada si pelayan. Waktu pelayan itu bertemu dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf, beliau berkata, “Jika beristighatsah tidak perlu bersuara keras, karena kami juga mendengar suara perlahan.” Itulah beberapa karamah yang ditujukan kepada ulama yang bernama lengkap Habib Abdurrahman As-Saqqaf Al-Muqaddam Ats-Tsani bin Muhammad Maulad Dawilah bin Ali Shahibud Dark bin Alwi Al-Ghuyur bin AlFaqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam AlMuhajir Ahmad bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein as-Sibth bin Ali bin Abi Thalib ibin Sayidatina Fathimah az-Zahra al-Batul binti Rasulullah SAW. Julukan As-Saqqaf berasal dari kata as-saqfu (atap), yang berarti atapnya para wali dan orang-orang shalih pada masanya. Itu menandakan akan ketinggian ilmu dan maqam yang tinggi, bahkan melampaui ulama-ulama besar di jamannya. Dia juga mendapat julukan Syeikh Wadi Al-Ahqaf dan AlMuqaddam Ats-Tsani Lis Saadaati Ba’alwi (Al-Muqaddam yang kedua setelah Al-Faqih Al-Muqaddam). Sejak itu, gelar Assaqqaf diberikan pada beliau dan seluruh keturunannya. Abdurrahman bin Muhammad (Maula Addawilah) bin Ali bin Alawiy bin Muhammad Alfagih Al muqaddam. Ulama besar yang telah mencetak berpuluh ulama, termasuk di antara mereka adalah putra-putranya sendiri, saudaranya 49
Al-Imam Alawi bin Muhammad, Imam Sa’ad bin Ali Madzhij, Syekh Ali bin Muhammad Al-Khathib dan banyak lagi. Bergelar As-saqqaf karena kedudukannya sebagai “pengayom”, serta tingginya derajat ulama ini baik dalam ilmu maupun tasawuf. Sangat terkenal sebagai dermawan. Assagaf telah mendirikan 10 mesjid disertai wakaf untuk mencukupi kebutuhan mesjid-mesjid itu, Memiliki banyak kebunkebun kurma, namun segala kekayaan itu tidak sedikit pun memberatkan atau merisaukan hatinya, apalagi merintangi ketekunannya dalam ibadah. “Sehingga kalau seandainya dikatakan kepadaku,” kata Assagaf, “kebun-kebun itu tidak ada yang berbuah, aku akan menari kegirangan“. Sejak kecil ia telah mendalami berbagai macam ilmu dan menyelami berbagai macam pengetahuan, baik yang berorientasi aql (akal) ataupun naql (referensi agama). Ia menghafal Al-Qur’an dari Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Khatib, sekaligus mempelajari ilmu Tajwid dan Qira’at. Ia juga berguru kepada Asy-Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Basyakil, Syeikh Muhammad ibnu Abi Bakar Ba’ibad, Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Ka’ban, Syeikh Ali Ibnu Salim ArRakhilah, Syeikh Abu Bakar Ibnu Isa Bayazid, Syeikh Umar ibnu Sa’id ibnu Kaban, Syeikh Imam Abdullah ibnu Thohir Addu’ani dan lain-lain. Dia mempelajari kitab At-Tanbih dan Al-Muhadzdzab karangan Abi Ishaq. Ia juga menggemari kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah dan Al ’Awarif karya AsSamhudi. Tak ketinggalan ia juga mempelajari kitab-kitab karangan Imam AlGhazali seperti Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khulashoh dan Ihya Ulumiddin. Serta kitab karangan Imam Ar-Rofi’iy seperti Al-‘Aziz Syarh Al-Wajiz dan AlMuharror. Habib Abdurrahman As-Saqqaf selalu membaca Al-Qur’an setiap siang dan malamnya dengan 8 kali khataman, 4 di waktu malam dan 4 di waktu siang. Yang di waktu siang beliau membacanya 2 kali khatam dari antara setelah Subuh sampai Dhuhur, 1 kali khatam dari antara Dhuhur sampai Ashar (itu dibacanya dalam 2 rakaat shalat), dan 1 kali khataman lagi setelah shalat Ashar. Setiap kali menanam pohon kurma, beliau membacakan surat Yasin untuk setiap pohonnya. Setelah itu dibacakan lagi 1 khataman Al-Qur’an untuk setiap pohonnya. Setelah itu baru diberikan pohon-pohon kurma itu kepada putraputrinya. Di antara kata mutiaranya adalah sebagai berikut : “Manusia semua membutuhkan ilmu, ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan akal dan akal membutuhkan taufik. Semua ilmu tanpa amal tidak berguna. Ilmu dan amal tanpa niat adalah sia-sia. Ilmu, amal dan niat tanpa mengikuti sunnah adalah tidak diterima. Ilmu, amal, niat dan sunnah tanpa wara’ (sangat hati-hati dalam menjalankan yang halal) adalah kerugian”. 50
Beliau wafat di kota Tarim pada hari Kamis, 23 Sya’ban tahun 819 H (1416 M). Ketika mereka hendak memalingkan wajah beliau ke kiblat, wajah tersebut berpaling sendiri ke kiblat. Jasad beliau disemayamkan pada pagi hari Jum’at, di pekuburan Zanbal,Tarim. Beliau meninggalkan 13 putra dan 7 putri. AL IMAM ALI SHAHIBUD DARK Imam Ali Shahibud Dark [Al-Imam Ali Shahibud Dark - Alwi Al-Ghuyur - Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad - Ali - Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali' Qasam - Alwi Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Ali bin Abi Thalib/Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW] Beliau adalah Al-Imam Ali bin Alwi Al-Ghuyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW. Beliau dijuluki dengan Shahibud Dark. Beliau adalah seorang imam, guru besar dan wali yang terkenal. Beliau adalah orang yang mahbub (dicintai) di sisi Allah. Ibu beliau adalah seorang syarifah, yaitu Sayyidah Fatimah binti Ahmad bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau, Al-Imam Ali Shahibud Dark, adalah termasuk orang-orang yang yang diberikan kekhususan. Beliau seorang ‘arif billah dan qutub. Beliau seorang yang kuat dalam ber-mujahadah dan suka menyendiri dalam bermuwajahah kepada Allah. Diri beliau adalah merupakan sosok teladan bagi para muridin dan arifin. Beliau dibesarkan dalam didikan ayahnya. Beliau juga sempat hidup dengan kakeknya, Al-Faqih Al-Muqaddam, ketika masih kecil. Dari keduanya, beliau mendapatkan banyak nafahat. Suatu ketika saat berada di Mekkah, beliau berdoa kepada Allah agar diberikan seorang anak yang sholeh. Spontan setelah itu terdengar suara, “Doamu telah dikabulkan oleh Allah. Maka kembalilah engkau ke negerimu.” Beliau pun kembali ke Tarim. Namun beliau masih berlambat-lambat dalam menikah. Suatu ketika beliau berada di salah satu masjid di kota Tarim sedang berdoa. Saat beliau hanyut dalam doanya dan ruhnya naik keatas langit, beliau mendapat kabar gembira dengan akan diberikannya seorang anak yang sholeh. Beliau lalu berkata, “Saya ingin melihat tandanya.” Lalu beliau diberi 2 lembar kertas, sambil dikatakan kepada beliau, “Taruhlah salah satu kertas itu diatas mata seorang wanita yang berada di dekatmu, maka ia akan segera dapat 51
melihat.” Dan memang di dekat beliau ada seorang wanita yang buta. Beliau pun lalu menaruh salah satu kertas tersebut diatas matanya dan spontan wanita itu dapat melihat kembali. Beliau pun kemudian menikah dengan wanita tersebut dan memperoleh seorang anak yang sholeh yang bernama Muhammad. Beliau, Al-Imam Ali Shahibud Dark, banyak mempunyai karomah dan keajaiban. Beliau adalah orang yang suka ber-khalwah (menyendiri) dan berzuhud terhadap dunia. Beliau sering berziarah ke makam Nabiyallah Hud di bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Muhammad bin Abu As-Su’ud pernah berkata, “Suatu ketika beliau mendapatkan harta. Lalu aku mendengar beliau berkata, ‘Ali bin Alwi dan dunia. Ya Allah, jauhkan aku darinya, atau jauhkan ia dariku.’ Beliau meninggal 3 bulan setelah itu.” As-Syeikh Ibrahim bin Abu Qusyair berkata, “Aku bermimpi bertemu dengan Asy-Syeikh Ali bin Alwi, lalu aku bertanya, ‘Bagaimana Allah memperlakukanmu?. Beliau menjawab, ‘Sesuatu apapun tak dapat membahayakan orang yang mahbub (dicintai).’ “ Beliau meninggal pada hari Rabu, 17 Rajab 709 H. Beliau meninggalkan seorang putra yang bernama Muhammad Maulad Dawilah, dan 6 putri yang masing-masing bernama Maryam, Khadijah, Zainab, Aisyah, Bahiyah dan Maniyah. Kesemuanya berasal dari seorang ibu yang bernama Fatimah bin Sa’ad Balaits.Radhiyallohu anhu wa ardhah… Manakib Al-Imam Ali Shahibud Dark Beliau adalah seorang waliyullah yang lahir di Tarim, Hadramaut, beliau ulama besar yang menafikan kehidupan dunia, waktunya lebih banyak dimanfaatkan untuk menyendiri (khalwat) dan hidup sebagai seorang zahid, seperti ulama-ulama besar lainnya beliau juga sering berziarah kemaqam Nabi Hud as di bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan, tiada lain untuk menambah kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT, selama berkhalwat ibadah yang paling beliau tunaikan adalah memperbanyak amal kebajikan, terutama shalat sunnah dan wirid. Imam Ali Shahibud-Dark atau Imam Ali bin Alwi Al-Ghuyur bin Faqih AlMuqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam AlMuhajir Ahmad bin Isa dan seterusnya, nasabnya bersambung sampai Rasulullah SAW, beliau di juluki Shahibud-Dark karena suka membantu dan menolong sesama. Beliau juga dikenal sebagai guru besar bagi para ulama di Hadramaut, sehingga menjadi seorang wali yang mahbub, dicintai Allah. Beliau juga termasuk seorang waliyullah dengan posisi ‘Arif Billah dan Quthub, sosok 52
keteladanan bagi para murudin (pengikut tarekat) dan ‘arifin (para ulama dan cendikiawan). Sejak kanak-kanak beliau mendapat pendidikan agama dari ayahandanya, Syaikh Alwi Al-Ghuyur dan pada usia sembilan tahun sudah hafal Al-Qur’an, beliau juga sempat mengaji kepada kakeknya Al-Faqih Al-Muqaddam. Dari ayahanda dan kakeknya beliau mendapat banyak keutaman terutama ilmu hikmah dan tasawuf, setelah dewasa wajah dan pandangan matanya sejuk. Salah satu karamahnya ialah firasat yang tajam dan doanya yang mustajab. Di usia dewasa ketika menunaikan ibadah haji terlihat berbagai karamah dan keutamaan-keutamaannya. Saat berangkat ke Makkah beliau banyak ditemani kawan-kawannya yang selalu minta di doakan. Dan setiap doanya makbul, sehingga kawan-kawannya selalu mengikutinya. Di tanah suci beliau berdoa agar diberikan seorang anak yang sholeh padahal ketika itu beliau belum menikah. Setelah itu keluar suara ghaib, “doamu telah dikabulkan oleh Allah, maka kembalilah ke negerimu!”. Beliau pun langsung pulang ke Tarim, namun tak langsung menikah, hingga suatu ketika beliau berdoa di sebuah Masjid di tarim. Saat itulah beliau hanyut dalam doa dan ruhnya terasa membumbung naik kelangit. Pada kondisi kekhusu’an dan kefanaan itulah beliau mendapat kabar gembira akan dikaruniai seorang anak shalih. “Saya ingin melihat tanda-tandanya,” katanya dalam hati, seketika itu juga beliau mendapat dua kertas dan terdengarlah suara ghaib, “taruhlah salah satu kertas itu di atas mata seorang wanita di dekatmu, maka beliau akan segera dapat melihat”. Benar ternyata di dekatnya ada seorang wanita buta, beliau lalu menaruh salah satu kertas itu di atas matanya dan spontan wanita itu dapat melihat kembali, beliaupun kemudian menikah dengan wanita tersebut dan memperoleh seorang anak yang shalih yang bernama Muhammad Mawla Dawilah. Suatu ketika beliau mendapat harta cukup banyak, tapi kemudian berdoa kepada Allah,”Ali bin Alwi dan dunia. Ya Allah jauhkan aku daripadanya, jauhkan dunia dariku.” Tiga bulan setelah itu tepat pada 9 Rajab 709 H/1289 M, beliau wafat dan jenazahnya dimakamkan di makam Zanbal, Tarim, Hadramaut. Beliau meninggalkan seorang putra Muhammad Mawla Dawilah dan enam putri : Maryam, Khadijah, Zainab, Aisyah, Bahiyah, dan Maniyah dari seorang ibu Sayyidah Fatimah binti Ahmad bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath. Suatu hari seorang ulama terkemuka dari Tarim, syaikh Ibrahim bin Abu Qusyair, menceritakan suatu malam pernah bermimpi berjumpa syaikh Ali bin Alwi . lalu beliau bertanya , “bagaimana Allah memperlakukanmu?” dalam mimpi itu syaikh Ali Bin Alwi menjawab : suatu apa pun tak dapat membahayakan orang yang mahbub (dicintai Allah),”. 53
AL HABIB UMAR AL MUHDHOR Beliau adalah anak lelaki Syeikh Abdurrahman AsSeggaf. Beliau seorang wali besar yang mempunyai karamah luar biasa. Karamahnya banyak diceritakan orang. Sebahagian dari karamah beliau ialah semua harta bendanya dibiarkan begitu saja tanpa dijaga sedikitpun. Anehnya siapa saja yang berani mengganggunya pasti terkena bencana seketika itu juga. Sampaipun jika ada seekor binatang yang berani mengganggu tanamannya tanpa pengetahuan beliau, binatang itu akan mati seketika itu juga. Diriwayatkan ada seekor burung gagak yang makan pohon kurmanya. Burung itu segera dihalaukannya. Tidak lama kemudian, burung gagak itu pun kembali makan pohon kurma beliau. Dengan izin Allah burung gagak itu tersungkur mati seketika itu juga. Sebahagian pelayan beliau ada yang mengadukan tentang banyaknya kijang yang menyerang kebun beliau dan tetangga beliau banyak yang mentertawakannya. Beliau menyuruh pelayannya berseru untuk menyuruh semua kijang yang berada di kebun beliau segera meninggalkan tempat menuju ke kebun tetangga beliau yang mentertawakannya. Dengan izin Allah semua kijang itu menyingkir pindah ke kebun tetangga yang mentertawakan beliau. Terkecuali hanya seekor kijang saja yang tidak mahu berpindah. Dengan mudah kijang tersebut dipegang oleh beliau dan disembelih. Salah seorang pelayan beliau bercerita: “Ayah saudaraku mempunyai anak perempuan yang cantik. Setiap kali dipinang orang anak perempuan itu selalu menolak pinangannya. Aku mengadukan hal itu kepada Sayid Umar AlMuhdhor. Jawab beliau: “Anak perempuan ayah saudaramu itu tidak akan berkahwin selain dengan engkau, dan engkau akan menapatkan seorang anak lelaki daripadanya”. Aku rasa apa yang dikatakan oleh Sayid Umar Al-Muhdhor itu tidak mungkin akan terjadi pada diriku yang sefakir ini. Dengan izin Allah aku pun dipinang oleh anak perempuan ayah saudaraku itu. Aku kahwin dengan anak perempuan ayah saudaraku dan mendapatkan seorang anak lelaki seperti yang dikatakan oleh Sayid Umar Al-Muhdhor”. Seorang datang mengadu pada beliau: “Kalung isteriku dicuri”. Sayid Umar Al-Muhdhor berkata: “Katakan pada orang banyak di sekitarmu, siapa yang merasa mengambil kalung itu hendaknya segera dikembalikan, kalau tidak dalam waktu tiga hari ia akan mati dan kalung tersebut akan kamu temui pada baju pencuri itu”. Perintah beliau dijalankan oleh lelaki tersebut. Tapi tidak 54
seorangpun yang mengaku perbuatannya. Setelah tiga hari ia dapatkan orang yang mencuri kalung isterinya itu mati. Waktu diperiksa ia dapatkan kalung isterinya itu berada dalam pakaian si mayat sebagaimana yang dikatakan oleh Sayid Umar. Pernah beliau memberi kepada kawannya segantang kurma yang ditempati dalam keranjang. Setiap hari orang itu mengambilnya sekadar untuk memberi makan keluarganya. Segantang kurma itu diberi berkat oleh Allah sehingga dapat dimakan selama beberapa bulan. Melihat kejadian itu si isteri tidak tahan untuk tidak menimbangnya. Waktu ditimbang ternyata hanya segantang saja seperti yang diberikan oleh Sayid Umar Al-Mudhor. Anehnya setelah ditimbang kurma itu hanya cukup untuk beberapa hari saja. Waktu keluarga itu mengadukan kejadian itu pada Sayid Umar beliau hanya menjawab: “Jika kamu tidak timbang kurma itu, pasti akan cukup sampai setahun”. Doa beliau sangat mujarab, banyak orang yang datang pada beliau untuk mohon doa. Ada seorang wanita yang menderita sakit kepala yang berpanjangan. Banyak doktor dan tabib yang dimintakan pertolongannya. Namun tidak satupun yang berhasil. Si wanita itu menyuruh seorang untuk memberitahukan penderitaannya itu kepada Sayid Umar Al-Muhdhor. Beliau berkunjung ke rumah wanita yang sakit kepala itu dan mendoakan baginya agar diberi sembuh. Dengan izin Allah wanita itu segera sembuh dari penyakitnya. Ada seorang lelaki yang mengadu pada beliau bahawa ia telah kehilangan wang yang berada di dalam pundi-pundinya. Beliau berdoa kepada Allah mohon agar wang lelaki itu dikembalikan. Dengan izin Allah pundi-pundi itu dibawa kembali oleh seekor tikus yang menggondolnya. Karamah beliau banyak sekali sehingga sulit untuk disebutkan semua. Beliau wafat di kota Tarim pada tahun 833 H dalam keadaan bersujud waktu bersolat Zohor. Beliau dimakamkan di perkuburan Zanbal. AL HABIB ABDULLAH BIN ABU BAKAR AS SAKRAN Beliau ialah penyusun Ratib Alaydrus yang sering dibaca di beberapa majlis taklim, marga beliau bergelar Alaydrus yang ertinya ketua orang-orang tasauf. Beliau lahir di Tarim pada 10 Zulhijjah 811H. Ayah beliau bernama Habib Abu Bakar Sakran dan ibunya bernama Mariam dari seorang zuhud bernama Syeikh Ahmad bin Muhammad Barusyaid. Habib Abdullah Alaydrus bin Abu Bakar Sakran seorang wali qutub (imamnya para wali) dan seorang ahli sufi. Sejak kecil beliau gemar sekali membaca karya-karya ulama termasyhur seperti kitab Ihya ulumudin 55
karangan Imam Ghazali hingga beliau hampir hafal kerana seringnya membacanya. Beliau berguru kepada ulama-ulama besar seperti: - Syeikh Muhammad bin Umar Ba’alawi - Syeikh Sa’ad bin Ubaidillah bin Abi Ubei - Syeikh Abdullah Bagasyin - Syeikh Abdullah Bin Muhammad Bin amar - Syeikh Umar Muhdor (mertua nya seorang ulama ahli sufi) Beliau menikah dengan anak gurunya Habib Umar Muhdor yang bernama Syarifah Aisyah karena Habib Umar Muhdor mendapat isyarat dari para pendahulunya untuk menikahkan anaknya dengan Habib Abdullah Alaydrus. dan Beliau dianugerahkan lapan anak empat putera dan empat puteri. Beberapa ulama memuji Habib Abdulloh Alaydrus di dalam karangannya diantaranya Al-Yafie dalam kitab Uqbal Barahim al-Musyarokah, muridnya Habib Umar bin Abdurrahman Ba’alawi dalam kitabnya Al-Hamrah mereka menceritakan tentang manaqib, kewaliaan dan karamah-karamah beliau yang terjadi sebelum dan sesudah beliau dilahirkan. Sebahagian para auliya bermimpi bertemu dengan Rosulullah s.a.w. dan memuji Habib Abdullah Alaydrus dengan sanadnya, ”Ini anakku…ini ahli warisku…..ini darah dagingku…..ini rahsiaku…..ini ahli waris sunnahku….orangorang besar akan mempelajari ilmu tarekat darinya”. Beliau mempelajari Tasawuf dan seorang guru Al Imam Syeh Umar Muhdor dan membekali dirinya sebagai seorang syufi (ahli Tasawuf), beliau sangat gemar membaca kitab-kitab karangan Imam Ghozali terutama kitab Ihya Ulumuddin sehingga hampir hafal dan pindah ke batinnya. Beliau banyak memuji sang pengarangnya, kami diperingatkan beliau segala sesuatu mengenai terjemahan kita Ihya Ulumuddin tersebut. Shohibur Ratib mempunyai kata-kata hikmah yang sangat tinggi mengenai Tauhid diantaranya beliau mengucapkan “ SEANDAINYA SAYA DISURUH UNTUK MENGARANG DENGAN HANYA HURUF ALIF SERATUS JILID PASTI AKAN SAYA LAKUKAN”. Diantara karangan Beliau adalah Kitab Alkibritul Ahmar dan syarahnya dalam bentuk syair untuk Paman Beliau Al-Habib Syeh Umar Muhdor. Antara lain kata-kata beliau “BAGI SAYA SAMA SAJA PUJIAN DAN MAKIAN, LAPAR DAN KENYANG, PAKAIAN MEWAH DAN PAKAIAN RENDAH, LIMA RATUS DINAR ATAUPUN DUA DINAR. SEJAK KECIL HATIKU TIDAK PERNAH CONDONG SELAIN KEPADA ALLAH SWT DAN BAGAIMANA HATIKU BISA TENANG APABILA BADAN SAYA BERBALIK KE KANAN SAYA MELIHAT SURGA DAN APABILA BERBALIK KE KIRI SAYA MELIHAT NERAKA”.
56
Beliau sangat takut kepada ALLAH SWT , dan sangat tawadhu (merendahkan diri). Beliau tidak pernah merasa dirinya lebih baik, dari siapapun makhluk ALLAH bahkan binatang sekalipun. Beliau senantiasa bersujud ditanah karena merendahkan dirinya di hadapan ALLAH SWT. Dan beliau selalu membawa sendiri keperluannya dari pasar dan tidak mengizinkan orang lain membawanya dan senantiasa beliau duduk ditempat yang rendah dan senantiasa berjalan kaki ketempat-tempat yang jauh dan kerap kali meminum air hujan. Demikianlah beliau memerangi hawa nafsu keduniaan sejah usia 6 (enam) tahun. Al-Habib Abdullah Alaydrus Akbar berpuasa selama dua tahun dengan buka puasa tidak melebihi dari dua butir korma kecuali dimalam-malam tertentu dimana ibunya datang membawa sedikit makanan untuk Beliau memakannya semata-mata untuk menyenangkan hati ibunya. Gurunya Habib Syeh Umar Muhdor berkata “ Aku mengawinkan putriku Aisyah dengan keponakanku HabibAbdullah Alaydrus Akbar disebabkan Aku mendapatkan isyarat dari sesepuhku (pendahuluku)” Al-Habib Muhammad bin Hasan Almu’alim Ba’alawi berkata “ AL-HABIN ABDULLAH ALAYDRUS AKBAR MENDAPATKAN SESUATU (MAQOM/ WILAYAH) YANG TIDAK DIDAPATI OLEH ORANG LAIN. BAIK SEBELUM MAUPUN SESUDAHNYA”. Maqam Alhabib Al-Habib Abdullah Alaydrus Akbar telah mendapat pujian dari orang besar, para wali dan para guru, antara lain : kakeknya sendiri Al Imam Abdurrahman bin Muhammad Assegaf, ayahnya Al-Habib Abubakar Assakran, Syeh Saad bin Ali Al Majhaj, dan juga Syeh Abdullah bin Tohir Al Douanidan, pemuka sufi wanita Al Zubaidiah, Syeh Ahmad bin Muhammad Al-Jabaruti, Syeh Umar bin Said Bajabir. Syeh Husain Al Ghorib, Syeh Ma’aruf bin Muhammad Ba’Abbad, Syeh Muhammad Baharmuz, Syeh Abdurrahman Al Khotib pengarang kitab Al Jauhar, tidak menyebutkan seorangpun (dalam kitabnya) dari yang hidup selain Beliau Al-Habib Imam Abdullah Alaydrus Akbar (Shohibur Ratib). Beberapa pengarang kitab yang bermutu memuji dan meriwayatkan Beliau diantaranya Al Yafii dalam Kitab Uqbal Barahim Al Musyaraqah, muridnya Al Imam Al Habib Unmar Bin Abdurrahman Ba Alawi dalam kitabnya Al Hamrah dan Syech Abdillah Bin Abdurrahman Bawazier, daalm kitab Al Tuhfa, mereka mengytraknab Mankib (Riwayat Singkat), kewalian dan kramatkramat yang sebagaian terjadi sebelum dan sesudah Beliau dilahirkan. Sebagaian para wali mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW, yang memuji Al Habib Al-Imam Abdullah Alaydrus AQkbar dengan sabdanya “INI ANAKKU, INI AHLI WARISKU, INI DARAHKU DAGINGKU, ORANG-ORANG BESAR AKAN MEMPELAJARI ILMU THAREQAT DARINYA”. 57
Diantara yang mengambil dan belajar thareqat dari Habib Abdullah Alydrus Akabar antara lian saudaranya sendiri Habib Ali Bin Abi Bakr Syakran, Habib Umar Ba’alawi, (pengarang kitab Alhamrah) dan pengarang kitab Faturrohim Al Rahman, Syech Abdullah Bin Abdul Rahaman Bawazier Al Alamah, Syech Abdullah Bin Ahmad Baksir Al Makki, dan ringkasnya kebaikan dan akhlak Beliau tidak terlukiskan, sedangkan ilmu dan karomahnya laksana lautan. Al Habib Imam Abdullah Alaydrus Bin Abi Bakar Alaydrus (Shohibur Raatib) wafat pada hari Ahad sebelum waktu Zhuhur tanggal 12 Romahdon 865 H. dalam perjalanan dakwahnya dikota Syichir tepatnya didaerag Abul. Dimakamkan dikota Tarim dan dinagun Kubah diatas pusaranya, Beliau wafat dalam usia 54 tahun. Beliau meninggalkan delapan anak, empat putera dan empat puteri. Putranya : Abubakar Al Adni, Alwi, Syech, Husain. Putrinya : Roqgayah, Khodijah, Umul Kultsum, Bahiya. Ibu Beliau adalh yang bernama Mariam dari seorang yang Zuhud / Shaleh bernmama Syech Ahmad Bin Muhammad Barusyaid. Al Habib Muhammad Bin Hasan Al Mualim berkata “ SAYA MENDENGAR BISIKAN YANG MENGATAKAN “ BILA KAMU INGIN MELIHAT SEORANG AHLI SORGA, MAKA LIHATLAH MUHAMMAD BARUSSYAID”!! (DIRIWAYATKAN OLEH AL IMAM Al – HABIB MUHAMMAD BIN ALI MAULA AIDIED)”. Sewaktu Al Habib Imam Abdurrahman Bin Muhammad Assegaf wafat usia Al Habib Abdullah Alaydrus Akbar 8,5 tahun. Dan pada waktu Ayahnya Belai wafat (Abu Bakar Syakran) dan umur Beliau berusia 11 tahun setelah Ayahnya wafat Beliau tinggal dan dididik oleh Pamannya Syech Al Habib Umar Muhdar yang kemudian menikahkannya dengan puterinya Aisyah, pada saat Al Habib Umar Muhdar Bin Abdulrahman Assegaf wafat Al Habib Abdullah Alaydrus Akbar kurang lebih berumur 23 tahun. Dan ucapan Shohibur Raatib kepada murid-muridnya : Barang Siapa Yang Masuk Dalam Pendengaran Yang Sia-Sia, Maka Ia Telah Berada Dalm Kerugian Yang Besar. Nasehat-Nasehat Beliau Yang Tertuang Dalam Kitab Alkibratul Ahmar: o Peraslah jasadmu dengan mujahadah (memerangi hawa nafsu dunia) sehingga keluar minyak kemurnian. o Barangsiapa yang menginginkan keridhoan ALLAH hendaklah mendekatkan diri kepada ALLAH SWT, karena keajaiban dan kelembutan dari ALLAH SWT pada saat di akhir malam. o Siapapun dengan kesungguhan hati mendekatkan diri pada ALLAH maka terbukalah khazanah ALLAH
58
o Diantara waktu yang bernilai tinggi merupakan pembuka perbendaharaan Ilahi diantara Zuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya dan tengah malam terkakhir sampai ba’da Sholat Shubuh. o Sumber segala kebaikan dan pangkal segala kedudukan dan keberkahan akan dicapai melalui ingat mati, kubur dan bangkai o Keridhoan ALLAH dan RosulNya terletak pada muthalaah (mempelajari dan memperdalam) Al-Qur’an dan Hadits serta kitab-kitab agama Islam. o Meninggalkan dan menjauhi ghibah (menggunjingkan orang) adalah raja atas dirinnya, menjauhi namimah (mengadu domba) adalah ratu dirinya, baik sangka kepada orang lain adalah wilayah dirinya, duduk bercampur dalam majlis zikir adalah keterbukaan hatinya o Kebaikan seluruhnya bersumber sedikit bicara (tidak bicara yang jelek) didalam bertafakur tentang Ilahi dan ciptaaNya terkandung banyak rahasia o Jangang kau abaikan sedekah setiap hari sekalipun sekecil atom, perbanyaklah membaca Al-Qur’an setiap siang dan malam hari. o Ciri-ciri orang yang berbahagia adalah mendapatkan taufik dalam hidupnya banyak ilmu dan amal serta baik perangai tingkah lakunya. o Orang yang berakal ialah orang yang diam (tidak bicara sembarangan) o Orang yang takut kepada ALLAH ialah orang yang banyak sedih (merasa banyak bersalah) o Orang yang roja’ (mengharap ridho ALLAH) ialah orang yang melakukan ibadah o Orang mulia ialah orang yang bersungguh-sungguh dalam kebaikan dalam ridha ALLAH SWT yang didambakan dalam hidupnya o Orang yang bertaubat ialah yang banyak menyesali perbuatannya, menjauhi pendengarannya yang tidak bermanfaat dan mendekatkan diri kepada ALLAH terutama di masa sekarang. AL HABIB AHMAD BIN ABU BAKAR AS SAKRAN Imam Ahmad lahir di Tarim. Beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahnya. Beliau juga seorang yang hafal alquran yang ia pelajari dari syaikh Muhammad bin Umar Ba’alawi. Melazimkan membaca lafadz sahadat ribuan kali setiap harinya. Selain ayahnya beliau dididik oleh pamannya syaikh Umar Muhdhar. Dari pamannya beliau belajar ilmu fiqih, tasawuf dan ilmu hakikat. Di samping pamannya, Imam Ahmad belajar kepada sayid Muhammad bin Hasan Jamalullail, syaikh Said Baubaid, keluarga Baqasyir dan keluarga Baharmi dan kepada saudaranya syaikh Abdullah Alaydrus. Beliau mahir dalam ilmu hadits, fiqih dan usuluddin, rahasia nama-nama Allah, ilmu aufaq dan huruf. Murid-murid beliau di antaranya Abu bakar alAdeni, sehingga beliau berkata : Sesungguhnya syaikh Shahabuddin al-Faqih 59
Ahmad bin syaikh Abubakar Sakran adalah berita gembira yang sempurna dan penghulu manusia yang bersih dan suci, cinta kepada amal kebajikan. Murid yang lainnya adalah Husin bin Abdullah Alaydrus, al-Faqih Abdullah bin Abdurrahman Balahij, al-allamah Muhammad bin Abdurrahman Bilfaqih. Imam Ahmad bin Abubakar Sakran wafat di Lisik tahun 869 hijriyah, dikuburkan di Zanbal Tarim. AL HABIB ALI BIN ABU BAKAR AS SAKRAN Syaik Ali bin Abubakar Sakran lahir di Tarim pada tahun 818 hijriyah, hafal alquran dan membacanya mujawwad dengan dua riwayat yaitu Abi Amru dan Nafi’, hafal kitab al-Hawi karangan al-Quzwani (baik kitab fiqih dan kitab nahwu), beliau juga seorang guru besar ilmu syariat. Kakeknya meninggal ketika ia berusia tiga tahun. Ketika ibunya mengandung, ayahnya syaikh Abubakar Sakran memberitahukan kepada isterinya bahwa anak yang dikandungnya mempunyai maqam yang agung. Syaikh Abubakar Sakran berkata : Sesungguhnya ketika anakku sedang dalam kandungan telah terkumpul pada diri syaikh Ali dua jenis ilmu, akan tetapi hal tersebut masih tersembunyi dan akan terlihat sebelum rambutnya memutih’. Dan ketika syaikh Ali lahir berkata kakeknya al-Muqaddam Tsani Abdurrahman Assaqaf, ‘Sesungguhnya kelahiran anak Abubakar adalah kelahiran seorang sufi’. Pada malam ke tujuh kalahirannya berkata saudaranya syaikh Abdullah Alaydrus : ‘Namakan ia dengan Ali’. Sesudah ayahnya wafat, beliau diasuh oleh pamannya syaikh Umar Muhdhar , yang menjaganya dari hal-hal yang merusak serta mendidiknya dengan kebaikan. Ketika pamannya wafat, beliau masuk khalwat. Dalam khalwatnya beliau mendengar suatu panggilan : ‘Ya ayyuhannafsu mutmainah irji’I ila robbika radhiyamatammardiyah’, kemudian beliau keluar dari khalwatnya dan membaca kitab ihya ulumuddin, maka dibacanya kitab tersebut sampai dua puluh lima kali tamat, setiap tamat dalam membaca kitab tersebut, saudaranya syaikh Abdullah Alaydrus mengundang para fuqaha dan masakin untuk mengadakan tasayakuran. Guru-guru beliau di antaranya ayahnya Abubakar Sakran, pamannya syaikh Umar Muhdhar, syaikh Saad bin Ali, syaikh Shondid, Muhammad bin Ali shohib shohib Aidid. Belajar fiqih dan hadits kepada al-faqih Ahmad bin Muhammad Bafadhal. Beliau juga belajar ke Syihir, Gail Bawazir. Di Gail Bawazir beliau belajar kepada para fuqaha dari keluarga Ba’amar, al-Baharmiz, syaikh Abdullah bin Abdullah bin Abdurrahman Bawazir, dan tinggal di sana selama empat tahun. Setelah itu beliau pergi ke Aden belajar kepada Imam Mas’ud bin Saad Basyahil, kemudian mennaikan ibadah haji ke baitullah pada tahun 849 hijriyah dan tinggal di rubat Baziyad serta belajar kepada ulama di kota 60
tersebut. Kemudian beliau berziarah ke makam Rasulullah saw dan membaca kita al-Bukhari kepada Imam Zainuddin Abi Bakar al-Atsmani di masjid nabawi. Murid-murid syaikh Ali bin Abibakar Sakran di antaranya anak-anaknya yang bernama Umar, Muhammad, Abdurrahman, Alwi, Abdullah dan sayid Umar bin Abdurrahman shohibul Hamra, syaikh Abubakar al-Adeni Alaydrus, syaikh Muhammad bin Ahmad Bafadhal, syaikh Qasim bin Muhammad bin Abdullah bin syaikh Abdullah al-Iraqi, syaikh Muhammad bin Sahal Baqasyir, syaikh Muhammad bin Abdurrahman Bashuli. Syaikh Ali seorang auliya’ yang mempunyai kefasihan lidah, terkumpul padanya keutamaan dan kepemimpinan, beliau juga banyak mengkaji kitab Tuhfah dan mengamalkan isinya, banyak shalat malam dan sesudahnya beliau banyak menangis, seorang yang mempunyai sifat qanaah, tawadhu’. Di antara keistimewaannya jika shalat, beliau lupa akan kehidupan duniawi dan tidak pernah membicarakan dunia dalam majlisnya. Beliau pernah ditanya oleh gurunya syaikh Said bin Ali pada keadaan menghadapi sakaratul maut, ‘Apa yang engkau tinggalkan?’ Beliau menjawab hanya kamar ini. Berkata saudaranya Abdullah Alaydrus, ‘Orang yang paling dekat hatinya kepada Allah adalah hati saudaraku Ali’. Berkata pula syaikh Abdullah Alaydrus, ‘Sesungguhnya apa yang ada pada diriku karena saudaraku Ali, jika terbenam sinar matahari saudaraku Ali, maka terbenam pula sinar matahariku’. Berkata syaikh Umar Muhdhar kepada anaknya Fathimah sebelum dinikahi dengan syaikh Ali, ‘Wahai Fathimah, nanti engkau akan menikah dengan seorang wali quthub’. Syaikh Muhammad bin Hasan Jamalullail berkata : ‘Dalam shalat aku berdoa kepada Allah swt agar diperlihatkan kepada seseorang yang mempunyai rahasia-rahasia-Nya dalam zaman ini, maka aku melihat dalam mimpiku seorang lelaki mengambil tanganku dan membawanya kepada syaikh Ali’. Syaikh Ali seorang yang berjalan di atas thariqah kefakiran yang hakiki, dalam thawafnya beliau berdoa : ‘Allahumma ij’alni nisfal faqir’ (Ya Allah jadikanlah aku dalam keadaan setengah fakir), tidak mempunyai perasaan benci kepada satu orang pun, membaca hizib di antara isya dan setelah hingga terbit matahari. Beliau juga hafal alquran dalam waktu empat puluh hari. Kitab yang telah dibacanya : Riyadhus Salihin, Minhajul Abidin, al-Arbain, Risalah al-Qusyairiyah, al-Awarif al-Ma’arif, I’lamul Huda, Bidayatul Hidayah, alMuqtasid al-Asna, al-Ma’rifah, Nasyrul Mahatim, Sarah Asmaul Husna dan lainnya. Sebagian ulama berkata : ‘ Sesungguhnya memandang beliau menghilangkan kekotoran jiwa, kedudukan dan rahasia al-faqih al-muqaddam ada pada beliau’. Berkata syaikh Muhammad bin Ali al-Khirrid ; ‘Memandang
61
beliau adalah obat bagi yang melihat, dan perkataannya obat penawar yang mujarrab’. Syaikh Ali bin Abibakar Sakran wafat pada hari Minggu tanggal dua belas bulan Muharram tahun 895 hijriyah dalam usia 77 tahun. Keturunan beliau di antaranya adalah keluarga al-Wahath, al-Musayyah, al-Umar Faqih, al-Bin Ahsan (Banahsan) , al-Masyhur, al-Zahir, al-Hadi dan al-Shahabuddin. Al-Habib Abu Bakar Sakran bin Abdurrahman As-Seggaf Imam Abubakar as-sakran lahir di Tarim. Beliau dibesarkan dan dididik dalam rumah kemuliaan, ketaqwaan dan ilmu. Beliau seorang yang hafal alquran dan menamatkannya pada setiap pagi hari. Imam Abubakar merupakan kesayangan ayah dan saudara-saudaranya. Beliau dinamakan assakran karena jika sedang beribadah kepada Allah swt melupakan segala aktivitas lainnya tenggelam dalam suasana dzikir kepada Allah swt. Beliau adalah Sayyidinal Imam Abu Bakar As-Sakran bin Syeikh al Ghauts Abdurrahman As-Seggaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi AlGhoyur bin Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali' Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad AnNaqib bin Ali Al-'Uraidhi bin Ja'far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Siti Fatimah Az-Zahro binti Muhammad SAW ) Beliau digelari dengan As-Sakran (mabuk) , karena beliau mabuk dengan cintanya kepada Allah swt. Waliyullah Abu Bakar al-sakran dikarunia lima orang anak laki, yaitu: Muhammad al-akbar, Hasan, Abdullah, Ali, dan Ahmad. Dari ketiga anaknya yang bernama Abdullah, Ali dan Ahmad menurunkan keluarga al-Aydrus, Syahabuddin, al-Masyhur, al-Hadi, al-Wahath, al-Munawar. Waliyullah Abu bakar al-sakran wafat di Tarim tahun 821 Hijriyah. Berkata saudara belia syaikh Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, ‘Saya melihat mahkota guru besar berada di atas kepala saudaraku Abibakar’. Syaikh Umar Muhdahr berkata, ‘Jika keluarga Abdurrahman Assegaf diberi suatu kemuliaan maka cukuplah saudaraku Abubakar merupakan kemuliaan itu’. Imam Abubakar as-sakran berkata, ‘Derajatku sama dengan kakekku Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam yang mempunyai maqam auliya’. Beliau berkata pula, ‘Kakekku Ali bin Alwi telah member dua keistimewaan kepadaku, pertama aku mempunyai anak bernama Abdullah dan kedua aku mengetahui segala sesuatu yang berada antara Arasy dan Poros bumi’. Imam Abubakar assakran adalah seorang yang sangat takut kepada Allah swt, beliau pernah menyendiri mengasingkan diri dari keramaian selama 62
sebelas bulan tidak tidur baik malam maupun siang. Beliau dapat menyaksikan ka’bah dan apa yang ada di sekitarnya dari kota Tarim. Beliau seorang yang selalu tenggelam dalam dzikir dan doa kepada Allah swt, bertawassul kepada para auliya’ dan selalu bersikap khusnu dzhon, banyak mendoakan anakanaknya. Syaikh Ali bin Abibakar Assakran dalam kitabnya al-Barkah al-Musyiqah menyatakan, …beliau adalah salah satu wali besar ahli ma’rifah yang sempurna dalam jalan kefakiran, pemaaf dan penyantun, tempat mengalirnya ilmu-ilmu syariah tanpa bisa dibendung, mempunyai kedudukan yang agung, suka berkhalwat. Pada suatu hari seorang lelaki ingin meminang seorang wanita, syaikh Abubakar berkata, ‘lelaki ini tidak akan menikah dengan wanita tersebut, akan tetapi ia akan menikah dengan ibu wanita tersebut. Kejadian tersebut terbukti dengan cerainya ibu wanita itu dengan suaminya dan kawin dengan lelaki yang meminang anak gadisnya. Beliau adalah seorang wali Allah yang mempunyai berbagai macam karamah yang luar biasa. Beliau berasal dari keturunan Al-Ba'alawi. Sebahagian dari karamahnya pernah diceritakan bahawasanya pernah ada dua orang yang datang ke kota Tarim (Hadhramaut) dengan maksud mengunjungi setiap orang terkemuka dari keluarga Al-Ba'alawi yang berada di kota tersebut. Setibanya di suatu masjid jami' keduanya dapati Syeikh Abu Bakar sedang bersolat di masjid tersebut. Setelah solat Jumaat selesai keduanya menunggu keluarnya Syeikh Abu Bakar dari masjid. Namun beliau tetap duduk beribadat dalam masjid sampai hampir matahari terbenam. Kedua orang itu merasa lapar, tapi keduanya tidak berani beranjak dari masjid sebelum bertemu dengan Syeikh Abu Bakar. Tidak lama kemudian, Syeikh Abu Bakar Asseggaf menoleh kepada mereka berdua sambil berkata: "Ambillah apa yang ada dalam baju ini". Keduanya mendapati dalam baju Syeikh itu sepotong roti panas. Roti tersebut cukup mengenyangkan perut kedua orang tersebut. Bahkan masih ada sisanya. Kemudian sisa roti itu barulah dimakan oleh Syeikh Abu Bakar". Diceritakan pula bahwa ada serombongan tetamu yang berkunjung di Kota Tarim tempat kediaman Syeikh Abu Bakar Asseggaf. Tetamu itu tergerak di hatinya masing-masing ingin makan bubur gandum dan daging. Tepat waktu rombongan tetamu itu masuk ke rumah Syeikh Abu Bakar, beliau segera menjamu bubur gandum yang dimasak dengan daging.Kemudian sebahagian dari rombongan tersebut ada yang berkata: "Kami ingin minum air hujan". Syeikh Abu Bakar berkata kepada pembantunya: "Ambillah bejana itu dan penuhilah dengan air yang ada di mata air keluarga Bahsin". Pelayan itu segera keluar membawa bejana untuk mengambil air yang dimaksud oleh 63
saudagarnya. Ternyata air yang diambil ari mata air keluarga Bahsin itu rasanya tawar seperti air hujan. Pernah diceritakan bahawasanya ada seorang Qadhi dari keluarga Baya'qub yang mengumpat Syeikh Abu Bakar Asseggaf. Ketika Syeikh Abu Bakar mendengar umpatan itu, beliau hanya berkata: "Insya-Allah Qadhi Baya'qub itu akan buta kedua matanya dan rumahnya akan dirampas jika ia telah meninggal dunia". Apa yang dikatakan oleh Syeikh Abu Bakar tersebut terlaksana sama seperti yang dikatakan. Ada seorang penguasa yang merampas harta kekayaan seorang pelayan dari keluarga Bani Syawiah. Pelayan itu minta tolong kepada Syeikh Abu Bakar Asseggaf. Pada keesokkan harinya penguasa tersebut tiba-tiba datang kepada pelayan itu dengan mengembalikan semua harta kekayaannya yang dirampas dan dia pun meminta maaf atas segala kesalahannya. Penguasa itu bercerita: "Alu telah didatangi oleh seorang yang sifatnya demikian, demikian, sambil mengancamku jika aku tidak mengembalikan barangmu yang kurampas ini". Segala sifat yang disebutkan oleh penguasa tersebut sama seperti yang terdapat pada diri Syeikh Abu Bakar. Diceritakan pula oleh sebagian kawannya bahawasanya pernah ada seorang ketika dalam suatu perjalanan di padang pasir bersama keluarganya tiba-tiba ia merasa haus tidak mendapatkan air. Sampai hampir mati rasanya mencari air untuk diminum. Akhirnya ia teringat pada Syeikh Abu Bakar Asseggaf dan menyebut namanya minta pertolongan. Waktu orang itu tertidur ia bermimpi melihat seorang penunggang kuda berkata padanya: "Telah kami dengar permintaan tolongmu, apakah kamu mengira kami akan mengabaikan kamu?" Waktu orang itu terbangun dari tidurnya, ia dapati ada seorang Badwi sedang membawa tempat air berdiri di depannya. Badwi itu memberinya minum sampai puas dan menunjukkannya jalan keluar hingga dapat selamat sampai ke tempat tujuan. Al - Habib Abdullah bin Alwi Al - Haddad Shohibur Rotib Nasab Al-habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Al Faqih Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin 64
Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far AsShodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina AlHusein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Beliau dilahirkan pada malam senin 5 Shafar 1044 H / 1624 M di Subair, di pinggiran kota Tarim, Hadramaut, Yaman. Pada tahun kelahirannya, terjadi beberapa peristiwa, yaitu Wafat Habib Husein bin Syekh Abu Bakar bin Salim dan Sayyid Yusuf bin Al-Fasi ( murid Syekh Abu Bakar bin Salim ) dan terbunuhnya Sayyid Ba Jabhaban.
Kedua Orang Tua Beliau Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad, Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad dikenal sebagai seorang yang saleh. Lahir dan tumbuh di kota Tarim, Sayyid Alwy, sejak kecil berada di bawah asuhan ibunya Syarifah Salwa, yang dikenal sebagai wanita ahli ma’rifah dan wilayah. Bahkan Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad sendiri banyak meriwayatkan kekeramatannya. Kakek Al-Haddad dari sisi ibunya ialah Syaikh Umar bin Ahmad Al-Manfar Ba Alawy yang termasuk ulama yang mencapai derajat ma’rifah sempurna. Suatu hari Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad mendatangi rumah Al-Arif Billah Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, pada waktu itu ia belum berkeluarga, lalu ia meminta Syaikh Ahmad Al-Habsy mendoakannya, lalu Syaikh Ahmad berkata kepadanya, ”Anakmu adalah anakku, di antara mereka ada keberkahan”. Kemudian ia menikah dengan cucu Syaikh Ahmad Al-Habsy, Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Al-Habib Idrus adalah saudara dari Al-Habib Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Yang mana Al-Habib Husein ini adalah kakek dari Al-Arifbillah Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy (Mu’alif Simtud Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad. Ketika Syaikh Al-Hadad lahir ayahnya berujar, “Aku sebelumnya tidak mengerti makna tersirat yang ducapkan Syaikh Ahmad Al-Habsy terdahulu, setelah lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku melihat pada dirinya tanda-tanda sinar Al-Wilayah ( Kewaliyan ). Masa kecil Beliau Ketika Habib Abdullah berusia 4 tahun, beliau terserang penyakit cacar. Demikian hebat penyakit itu, hingga hilanglah penglihatan beliau. Namun musibah ini sama sekali tidak mengurangi kegigihannya dalam menuntut ilmu. Beliau berhasil menghafal Al Qur’an dan menguasai berbagai ilmu agama ketika 65
masih kanak-kanak. Beliau sejak kecil gemar beribadah da riyadhoh. Nenek dan kedua orang tuanya sering kali tidak tega menyaksikan anaknya yang buta ini melakukan berbagai ibadah dan riyadhoh. Mereka menasehati agar beliau berhenti menyiksa diri. Demi menjaga perasaan keluarganya, si kecil Abdullah pun mengurangi ibadah dan riyadhoh yang sesunguhnya amat beliau gemari. Di masa mudanya beliau berperawakan tinggi, berdada bidang, berkulit putih, berwibawa dan di wajahnya tidak tampak bekas-bekas cacar yang dahulu menyebabkan beliau kehilangan penglihatannya. Guru-guru Habib Abdullah bin alwi Al Haddad 1. Al-Quthb Anfas Al-Habib Umar bin Abdurrohman Al-Aththos bin Aqil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrohman bin Abdullah bin Abdurrohman Asseqaff, 2. Al-Allamah Al-Habib Aqil bin Abdurrohman bin Muhammad bin Ali bin Aqil bin Syaikh Ahmad bin Abu Bakar bin Syaikh bin Abdurrohman Asseqaff, 3. Al-Allamah Al-Habib Abdurrohman bin Syekh Maula Aidid Ba’Alawy, 4. Al-Allamah Al-Habib Sahl bin Ahmad Bahasan Al-Hudaily Ba’Alawy 5. Al-Mukarromah Al-Habib Muhammad bin Alwy bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Bakar bin Abdurrohman Asseqaff 6. Syaikh Al-Habib Abu Bakar bin Imam Abdurrohman bin Ali bin Abu Bakar bin Syaikh Abdurrahman Asseqaff 7. Sayyid Syaikhon bin Imam Husein bin Syaikh Abu Bakar bin Salim 8. Al-Habib Syihabuddin Ahmad bin Syaikh Nashir bin Ahmad bin Syaikh Abu Bakar bin Salim 9. Sayyidi Syaikh Al-Habib Jamaluddin Muhammad bin Abdurrohman bin Muhammad bin Syaikh Al-Arif Billah Ahmad bin Quthbil Aqthob Husein bin Syaikh Al-Quthb Al-Robbani Abu Bakar bin Abdullah Al-Idrus 10. Syaikh Al-Faqih Al-Sufi Abdullah bin Ahmad Ba Alawy Al-Asqo 11. Sayyidi Syaikh Al-Imam Ahmad bin Muhammad Al-Qusyasyi Murid-murid Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad 1. Habib Hasan bin Abdullah Al Haddad ( putra beliau ) 2. Habin Ahmad bin Zein Al Habsyi 3. Habib Abdurrahman bin Abdullah BilFaqih 4. Habib Muhammad bin Zein bin Smith 5. Habib Umar bin Zein bin Smith 6. Habib Umar bin Abdullah Al Bar 7. Habib Ali bin Abdullah bin Abdurrahnan As Segaf 8. Habib Muhammad bin Umar bin Toha Ash Ahafi As Segaf 9. dll. 66
Suatu hari beliau berkata : ”Dahulu orang menuntut ilmu dari semua orang, kini semua orang menuntut ilmu dariku “. Keaktifannya dalam mendidik dan berdakwah membuatnya digelari Quthbud Da’wah wal Irsyad. Beliau berpesan : “Ajaklah orang awam kepada syariat dengan bahasa syariat; ajaklah ahli syariat kepada tarekat ( thariqah ) dengan bahasa tarekat; ajaklah ahli tarekat kepada hakikat ( haqiqah ) dengan bahasa hakikat, ajaklah ahli hakikat kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq, dan ajaklah ahlul Haq kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq.” Ibadah Beliau Pada masa Bidayahnya ( permulaannya ); setiap malam beliau mengunjungi seluruh masjid di kota Tarim untuk beribadah. Telah lebih 30 tahun lamanya beliau beribadah sepanjang malam. Ketika beliau berada di Bidayahnya, Al-Faqih Abdullah binAbu Bakar Al-Khotib, salah seorang guru Fiqih beliau, berkata : ”Aku bersaksi bahwa Syyidi Abdullah Al Haddad berada di Maqom Sayyid athThoifah Junaid.” Ratib Al Haddad dan Wirdul Lathif ketika beliau berusia 27 tahun, beberapa orang ( Syi’ah ) Zaidiyyah masuk ke Yaman. Para Ulama khawatir akidah masyarakat akan rusak karena pengaruh ajaran para pendatang syi’ah itu. Mereka lalu meminta beliau untuk merumuskan sebuah doa’ yang dapat mengokohkan akidah masyarakat dan menyelamatkan mereka dari faham-faham sesat. Beliau memenuhui permintaan mereka lalu menyusun sebuah doa’ yang akhirnya dikenal dengan nama Ratb Al Haddad. Disamping itu beliau juga merumuskan bacaan dzikir yang dinamainya Wirid al-Lathif. Ketika berusia 28 tahun, ayah beliau meninggal dunia dan tak lama kemudian ibunya menyusul. Keluhuran Budi Beliau Dalam kehidupannya, beliau juga mendapat gangguan dari masyarakat lingkungannya, Beliau berkata : Kebanyakan orang, jika tertimpa musibah penyakit atau lainnya, mereka tabah dan sabar; mereka sadar bahwa itu adalah qodho dan qodar Allah SWT. Tetapi jika diganggu orang, mereka sangat marah. Mereka lupa bahwa 67
gangguan-gangguan itu sebenarnya juga qodho dan qodar Allah SWT, mereka lupa bahwa sesungguhnya Allah SWT hendak menguji dan menyucikan jiwa mereka. Rasulullah bersabda : “Besarnya pahala tergantung pada beratnya ujian. Jika Allah SWT mencintai suatu kaum, ia akan menguji mereka. Barang siapa ridho, ia akan memperoleh keridhoannya; barang siapa tidak ridho, Allah SWT akan murka kepadanya.” ( HR Thabrani dan Ibnu Majah ) Habib Abdullah juga menjadikan Ratib Al-Atthas karya gurunya, Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas sebagai rujukan. Ketika seseorang datang minta ijazah atau izin mengamalkan Ratib Al-Haddad; beliau berkata : “Bacalah Ratib Gurku, kemudian baru Ratibku” Ini merupakan cermin bagaimana seorang murid menghormati gurunya, meski karyanyalah yang lebih populer. Habib Abdullah tidak pernah menyakiti hati orang lain, apabila beliau terpaksa harus bersikap tegas, beliau kemudian segera menghibur dan memberikan hadiah kepada orang yang ditegurnya. Beliau berkata : ”Aku tak pernah melewatkan pagi dan sore dalam keadaan benci dan iri pada seseorang!” Dalam mengarungi bahtera kehidupan, beliau lebih suka berpegang pada hadits Rasulullah SAW : ”Orang beriman yang bergaul dengan masyarakat dan sabar menanggung gangguannya, lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak pula sabar menghadapi gangguannya.” ( HR Ibnu Majah dan Ahmad ) Dalam kesempatan lain beliau berkata : “Sesungguhnya aku tidak ingin bercakap-cakap dengan masyarakat, aku juga tidak menyukai pembicaraan mereka, dan tidak peduli kepada siapapun dari mereka. Sudah menjadi tabiat dan watakku bahwa aku tidak menyukai kemegahan dan kemasyhuran. Aku lebih suka berkelana di gurun sahara. Itulah keinginanku; itulah yang kudambakan. Namun, aku menahan diri tidak melaksanakan keinginanku agar masyarakat dapat mengambil manfaat dariku.” Beliau menulis dalam sya’irnya : Bila Allah SWT mengujimu, bersabarlah karena itu haknya atas dirimu. Dan bila ia memberimu nikmat, bersyukurlah. Siapapun mengenal dunia, pasti akan yakin bahwa dunia tak syak lagi adalah tempat kesengsaraan dan kesulitan. 68
Beliau tidak pernah bergantung pada mahluk dan selalu mencukupkan diri hanya kepada Allah SWT. Beliau berkata : “Dalam segala hal aku selalu mencukupkan diri dengan kemurahan dan karunia Allah SWT. Aku selalu menerima nafkah dari khazanah kedermawanannya.” “Aku tidak pernah melihat ada yang benar-benar memberi, selain Allah SWT. Jika ada seseorang memberiku sesuatu, kebaikannya itu tidak meninggikan kedudukannya di sisiku, karena aku mrnganggap orang itu hanyalah perantara saja,” Beliau sangat menyayangi kaum faqir miskin, “Andaikan aku kuasa dan mampu, tentu akan kupenuhi kebutuhan semua kaum faqir miskin. Sebab pada awalnya, agama ini ditegakkan oleh kaum Mukminin yang lemah.” “Dengan sesuap makanan tertolaklah bencana.” Karya-karya Beliau 1. An Nashoihud Diniyyah wal Washoyal Imaniyyah 2. Ad Da’watut Tammah wat Tadzkiratul ‘Ammah 3. Risalatul Mu’awanah wal Muzhoharah wal Muazaroh 4. Al Fushul ‘Ilmiyyah 5. Sabilul Iddikar 6. Risalatul Mudzakaroh 7. Risalatu Adabi sulukil Murid 8. Kitabul Hikam 9. An Nafaisul ‘Uluwiyah 10. Ithafus Sail Bijawabil Masail 11. Tatsbitul Fuad 12. Risalah Shalawat ; diantaranya Shalawat Thibbil Qulub ( Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammadin thibbil qulubi wadawa-iha, wa’afiyati abdani wa syifa-iha, wanuril abshari wadliya-iha, wa’ala alihi washahbihi wasalim.) 13. Ad-Durul Mandzum (kumpulan puisi ) 14. Diwan Al-Haddad (kumpulan puisi ) Karya-karya beliau sarat dengan inti sari ilmu syari’at, adab islami dan tarekat, penjabaran ilmu hakikat, menggunakan ibarat yang jelas dan tata bahasa yang memikat. Semuanya ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami. Berisi ajaran tasawuf murni. Beliau berkata : “Aku mencoba menyusunnya dengan ungkapan yang mudah, supaya dekat dengan pemahaman masyarakat, lalu kugunakan kata-kata yang ringan, supaya segera dapat dipahami dan mudah dimengerti oleh kaum khusus maupun awam.” 69
Seluruh tulisannya sarat dengan ajaran islam ( tauhid, syari’at, akhlaq, tarekat ) semuanya tersaji bercirikan tasawuf. Dalam Ad-Durrul Mandzum, misalnya beliau menulis : “Dalam bait-bait yang aku tulis ini, terdapat berbagai ilmu yang tidak yang tidak ada dalam kitab lainnya. Maka barang siapa membacanya secara rutin, lalu berpegang teguh kepadanya, cukup sudah baginya.” Ada keyakinan di kalangan sebagian kaum muslimin, membaca karya Habib Abdullah bisa mendapatkan manfaat besar, yaitu keselamatan, bukan hanya bagi pembacanya, melainkan juga masyarakat sekitarnya. Sebagai Mujaddid Abad ke 11 H. Penganut Mazhab Syafi’i, khususnya di Yaman, berkeyakinan bahwa Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah Mujaddid ( pembaharu )abad 11 H. pendapat ini diutarakan oleh Ibnu Ziyad, seorang Ahli Fiqih terkemuka di Yaman yang fatwa-fatwanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh Fiqih seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli. Seseorang pernah menggambarkan kedudukan beliau dengan ungkapan yang indah,yaitu: ”Dalam Dunia Tasawuf Imam Ghazali ibarat pemintal kain, Imam Sya’rani ibarat tukang potong dan Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah penjahitnya.” Beberapa Ulama memberinya beberapa gelar, seperti : • Syaikhul Islam ( Rujukan utama keislaman ) • Fardul A’lam ( Orang teralim ) • Al-Quthbul Ghauts ( Wali tertinggi yang bisa menjadi wasilah pertolongan ) • Al-Quthbud Da’wah wal-Irsyad ( Wali Tertinggi yang memimpin Dakwah ) Pendapat Ulama tentang Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Al-Arifbillah Quthbil Anfas Al-Imam Habib Umar bin Abdurrohman AlAthos ra. mengatakan, “Al-Habib Abdullah Al-Haddad ibarat pakaian yang dilipat dan baru dibuka di zaman ini, sebab beliau termasuk orang terdahulu, hanya saja ditunda kehidupan beliau demi kebahagiaan umat dizaman ini ( abad 12 H ). Al-Imam Arifbillah Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Idrus ra. mengatakan, “Sayyid Abdullah bin Alwy Al-Haddad adalah Sultan seluruh golongan Ba Alawy" Al-Imam Arifbillah Muhammad bin Abdurrohman Madehej ra. mengatakan, “Mutiara ucapan Al-Habib Abdullah Al-Haddad merupakan obat 70
bagi mereka yang mempunyai hati cemerlang sebab mutiara beliau segar dan baru, langsung dari Allah SWT. Di zaman sekarang ini kamu jangan tertipu dengan siapapun, walaupun kamu sudah melihat dia sudah memperlihatkan banyak melakukan amal ibadah dan menampakkan karomah, sesungguhnya orang zaman sekarang tidak mampu berbuat apa-apa jika mereka tidak berhubungan (kontak hati) dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebab Allah SWT telah menghibahkan kepada beliau banyak hal yang tidak mungkin dapat diukur.” Al-Imam Abdullah bin Ahmad Bafaqih ra. mengatakan, “Sejak kecil AlHabib Abdullah Al-Haddad bila matahari mulai menyising, mencari beberapa masjid yang ada di kota Tarim untuk sholat sunnah 100 hingga 200 raka'at kemudian berdoa dan sering membaca Yasin sambil menangis. Al-Habib Abdullah Al-Haddad telah mendapat anugrah ( fath ) dari allah swt sejak masa kecilnya". Sayyid Syaikh Al-Imam Khoir Al-Diin Al-Dzarkali ra. menyebut Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai fadhillun min ahli Tarim (orang utama dari Kota Tarim). Al-Habib Muhammad bin Zein bin Smith ra. berkata, “Masa kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah masa kecil yang unik. Uniknya semasa kecil beliau sudah mampu mendiskusikan masalah-masalah sufistik yang sulit seperti mengaji dan mengkaji pemikiran Syaikh Ibnu Al-Faridh, Ibnu Aroby, Ibnu Athoilah dan kitab-kitab Al-Ghodzali. Beliau tumbuh dari fitroh yang asli dan sempurna dalam kemanusiaannya, wataknya dan kepribadiannya”. Al-Habib Hasan bin Alwy bin Awudh Bahsin ra. mengatakan, “Bahwa Allah telah mengumpulkan pada diri Al-Habib Al-Haddad syarat-syarat AlQuthbaniyyah.” Al-Habib Abu Bakar bin Said Al-Jufri ra. berkata tentang majelis Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai majelis ilmu tanpa belajar (ilmun billa ta’alum) dan merupakan kebaikan secara menyeluruh. Dalam kesempatan yang lain beliau mengatakan, “Aku telah berkumpul dengan lebih dari 40 Waliyullah, tetapi aku tidak pernah menyaksikan yang seperti Al-Habib Abdullah Al-Haddad dan tidak ada pula yang mengunggulinya, beliau adalah Nafs Rohmani, bahwa Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah asal dan tiada segala sesuatu kecuali dari dirinya". Seorang guru Masjidil Harom dan Nabawi, Syaikh Syihab Ahmad alTanbakati ra. berkata, “Aku dulu sangat ber-ta’alluq (bergantung) kepada Sayyidi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Kadang-kadang dia tampak di hadapan mataku. Akan tetapi setelah aku ber-intima’ (condong) kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad, maka aku tidak lagi melihatnya. Kejadian ini aku sampaikan kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Beliau berkata,’Syaikh Abdul 71
Qodir Al-Jailani di sisi kami bagaikan ayah. Bila yang satu ghoib (tidak terlihat), maka akan diganti dengan yang lainnya. Allah lebih mengetahui.’ Maka semenjak itu aku berta'alluq kepadanya". Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi ra. seorang murid Al-Habib Abdullah AlHaddad yang mendapat mandat besar dari beliau, menyatakan kekagumannya terhadap gurunya dengan mengatakan, ”Seandainya aku dan tuanku Al-Habib Abdullah Al-Haddad ziaroh ke makam, kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang yang mati untuk bangkit dari kuburnya, pasti mereka akan bangkit sebagai orang-orang hidup dengan izin Allah. Karena aku menyaksikan sendiri bagaimana dia setiap hari telah mampu menghidupkan orang-orang yang bodoh dan lupa dengan cahaya ilmu dan nasihat. Beliau adalah lauatan ilmu pengetahuan yang tiada bertepi, yang sampai pada tingkatan Mujtahid dalam ilmu-ilmu Islam, Iman dan Ihsan. Beliau adalah mujaddid pada ilmu-ilmu tersebut bagi penghuni zaman ini". Syaikh Abdurrohman Al-Baiti ra. pernah berziaroh bersama Al-Habib Abdullah Al-Haddad ke makam Sayidina Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali Ba’Alawy, dalam hatinya terbetik sebuah pertanyaan ketika sedang berziaroh, “Bila dalam sebuah majelis zikir para sufi hadir Al-Faqih AlMuqaddam, Syaikh Abdurrohman Asseqaff, Syaikh Umar al-Mukhdor, Syaikh Abdullah Al-Idrus, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, dan yang semisal setara dengan mereka, mana diantara mereka yang akan berada di baris depan? Pada waktu itu guruku, Al-Habib Abdullah Al-Haddad, menyingkap apa yang ada dibenakku, kemudian dia mengatakan, ‘Saya adalah jalan keluar bagi mereka, dan tiada seseorang yang bisa masuk kepada mereka kecuali melaluiku.’ Setelah itu aku memahami bahwa beliau Al-Habib Abdullah Al-Haddad, adalah dari abad 2 H, yang diakhirkan kemunculannya oleh Allah SWT pada abad ini sebagai rohmat bagi penghuninya.” Al-Habib Ahmad bin Umar bin Semith ra. mengatakan, “Bahwa Allah memudahkan bagi pembaca karya-karya Al-Habib Abdullah Al-Haddad untuk mendapat pemahaman (futuh), dan berkah membaca karyanya Allah memudahkan segala urusannya agama, dunia dan akhirat, serta akan diberi ‘Afiat (kesejahteraan) yang sempurna dan besar kepadanya.” Al-Habib Thohir bin Umar Al-Hadad ra. mengatakan, “Semoga Allah mencurahkan kebahagiaan dan kelapangan, serta rezeki yang halal, banyak dan memudahkannya,bagi mereka yang hendak membaca karya-karya Al-Quthb Aqthob wal Ghouts Al-Habib Abdullah bin Alwy al-Haddad ra". Al-Habib Umar bin Zain bin Semith ra. mengatakan bahwa seseorang yang hidup sezaman dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad ra., bermukim di Mekkah, sehari setelah Al-Habib Abdullah Al-Haddad wafat, ia memberitahukan kepada 72
sejumlah orang bahwa semalam beliau ra. sudah wafat. Ketika ditanya darimana ia mengetahuinya, ia menjawab, “Tiap hari, siang dan malam, saya melihat beliau selalu datang berthowaf mengitari Ka’bah (padahal beliau berada di Tarim, Hadhromaut). Hari ini saya tidak melihatnya lagi, karena itulah saya mengetahui bahwa beliau sudah wafat.” Wafatnya Beliau Hari kamis 27 Ramadhan 1132 H / 1712 M, beliau sakit dan tidak ikut shalat ashar berjamaah di masjid dan pengajian sore. Beliau memerintahkan orang-orang untuk tetap melangsungkan pengajian seperti biasa dan ikut mendengarkan dari dalam rumah. Malam harinya, beliau sholat ‘isya berjamaah dan tarawih. Keesokan harinya beliau tidak bisa menghadiri sholat jum’at. Sejak hari itu, penyakit beliau semakin parah. Beliau sakit selama 40 hari sampai akhirnya pada malam selasa, 7 Dzulqaidah 1132 H / 1712 M beliau wafat di kota Tarim, disaksikan anak beliau, Hasan. Beliau wafat dalam usia 89 tahun, meninggalkan banyak murid, karya dan nama harum di dunia. Beliau dimakamkan di pemakaman Zanbal, Tarim. Meski secara fisik telah tiada, secara batin Habib Abdullah bin Alawy AlHaddad tetap hadir di tengah-tengah kita, setiap kali nama dan karya-karyanya kita baca. al-Quthub Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, mempunyai enam orang anak laki: 1. Zainal Abidin 2. Hasan, wafat di Tarim tahun 1188 H, anaknya Ahmad. 3. Salim 4. Muhammad, keturunannya di Tarim 5. Alwi, wafat di Makkah tahun 1153 H, keturunannya di Tarim 6. Husin, wafat di Tarim tahun 1136 H keturunannya di Aman, Sir, Gujarat
~~~~~ Alhamdulillah ~~~~~
73
Sumber : - https://.../site/pustakapejaten/ - Berbagai sumber internet
Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam manaqib ini, mohon Untuk kritik, saran dan request manaqib bias kirim ke :
[email protected] Semoga Bermanfaat
74