Manajemen Peritonitis Pada Anak
January 10, 2018 | Author: arindacalvines | Category: N/A
Short Description
peritonitis...
Description
BAB I PENDAHULUAN Peritonitis merupakan Radang lapisan peritonium pada perut bisa akibat infeksi , auto imun dan proses kimia. Peritonitis infeksiosa biasanya primer atau sekunder. Pada peritonitis primer, sumber infeksi berasal dari luar perut dan tumbuh di ruang peritonium lewat penyebaran hematogen atau limfogen Peritonitis sekunder uncul dari ruang perut sendiri melalui perluasan dari atau melalui viskus intra-abdomen atau abses dalam organ. 20 Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi kecil-kecilan. Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis
pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 18 Peritonitis pada masa nenonatus bisa berasal dari trans plasenta pada infeksi dalam rahim; lebih sering merupakan akibat infeksi yang didapat selama atau segera setelah lahir. Peritonitis mungkin manifestasi dari septikemia, perluaan langsung dari umbilikus atau dari perforasi usus atau enterokolitis nekrotikans, atau kadang-kadang , sekuele dari appendiks yang terobek atau divertikulum meckel. Peritonitis bakterial spontan adalah salah satu infeksi peritonitis yang dapat terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik, atau sirosis yang meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Komplikasi ini biasanya terjadi pada 2 tahun pertama sejak gejala klinis muncul. Kerentanan terhadap infeksi berhubungan dengan berbagai faktor. Organisme penyebab peritonitis bakterial spontan pada umumnya adalah bakteri Gram positif, terutama Streptococcus pneumoniae, dan bakteri Gram negatif, terutama E. coli. Diagnosis peritonitis bakterial spontan didasarkan pada terdapatnya gejala inflamasi peritoneum, cairan peritoneum yang keruh,
1
jumlah sel cairan peritoneum >100 /μL atau hitung neutrofi l polimorfonuklear >50 sel/μL, disertai biakan cairan peritoneum positif, dan biakan darah positif. Pemberian antibiotik merupakan terapi utama peritonitis bakterial spontan. Oleh karena itu, referat ini dimaksudkan untuk mengetahui manjemen peritonitis pada anak. 19
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Peritonitis
adalah
peradangan
pada
peritonium
yang merupakan
pembungkus visera dalam rongga perut. Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar fibroelastik. Terbagi menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia muskularis. Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri. Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri. Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah. Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum).
3
2.2
Etiologi dan Klasifikasi Etiologi penyakit bergantung pada tipe dan lokasi dari peritonitis; 1. Peritonitis primer Peritonitis bakterial spontan atau peritonitis primer adalah infeksi
peritoneum oleh bakteri yang berasal dari cairan asites tanpa adanya penyebab intra-abdomen lain yang nyata.5 Peritonitis karena sebab lain misalnya komplikasi dialisis peritoneal tidak termasuk dalam defi nisi ini. Peritonitis bakterial spontan adalah salah satu komplikasi infeksi yang sering terjadi dengan tingkat morbiditas serta mortalitas tinggi.2-4 Insidens PBS diperkirakan berkisar antara 1,5% hingga 16% dan kematian diperkirakan sebesar 1,5%.5 Peritonitis bakterial spontan adalah peritonitis yang paling sering menyerang anak-anak Peritonitis primer adalah infeksi bakteri rongga peritonum tanpa dapat menunjukkan sumber di intra abdomen. Kebanyakan kasus terjadi pada anakanak dengan asites akibat dari sindroma nefrotik atau sirosis. Kadang-kadang bisa terjadi pada anak-anak yang sebelumnya sehat. Jenis kelamin yang terjadi seimbang. Kebanyakan kasus terjadi sebelum usia 6 tahun. Streptococcus pneumoniae dan Escherichia coli adalah organisme yang paling sering menyebabkan peritonitis dan sepsis pada sindrom nefrotik.2,4,6,23 Bakteri Gram positif lain penyebab PBS antara lain Enterococcus, Streptococcus group D, dan Streptococcus viridans yang sensitif terhadap penisilin, sedangkan bakteri Gram negatif yang ditemukan adalah Enterobacter cloacae,
Klebsiella
penumoniae,
Acinetobacter
baumanii,
Neisseria
meningitidis, dan Salmonella group B yang sensitif terhadap aminoglikosida dan sefalosporin. Pada penelitian retrospektif di RS Chang Gung tahun 19931997, didapatkan 10 episode sepsis dan 8 episode PBS dari 452 kasus rawat inap. Hasil biakan steril didapatkan pada 4 kasus, sedangkan bakteri Gram positif dan Gram negatif ditemukan pada masing-masing 7 kasus. 4
2. Peritonitis sekunder Penyebab peritonitis sekunder yang paling sering adalah perforasi apendisitis, perforasi gaster atau ulkus duodenum, perforasi colon sigmoid
4
disebabkan diverticulitis, volvulus, atau kanker; dan strangulasi usus halus. Pathogen peritonitis sekunder berbeda pada traktus gastrointestinal proksimal dan distal. Organisme gram positif mendominasi traktus gastrointestinal atas, dengan pergeseran ke arah organisme gram negative pada traktus gastrointestinal atas pada pasien dengan terapi supresi asam lambung untuk jangka waktu yang lama. Peritonitis yang terjadi hampir selalu bersifat polimikroba, dengan gabungan bakteri aerob dan anaerob dengan dominan organisme gram negative. Pada neonatus peritonitis mekonium dapat terjadi karena ruptur usus proksimal dari obstruksi, yaitu terjadi akibat dindig usus yang lemah atau akibat kelainan vaskuler. Penyebab paling umum peritonitis postoperative adalah anastomotic leak, dengan gejala biasanya muncul sekitar hari kelima sampai hari ketujuh postoperasi. 3. Peritonitis tersier Peritonitis tersier terjadi lebih sering pada pasien imunokompromised. Walaupun jarang diobservasi pada uncomplicated peritoneal infections, insidens peritonitis tersier pada pasien yang perlu rawat ICU untuk infeksi abdomen berat dapat sebesar 50-74%.
4. Peritonitis kimiawi Peritonitis kimiawi (steril) dapat disebabkan oleh iritan, seperti empedu, darah, barium, dan bahan lainnya atau oleh inflamasi organ visceral transmural tanpa adanya inokulasi bakteri pada cavum peritoneum. Tanda dan gejala klinis tidak dapat dibedakan dari peritonitis sekunder atau abses peritoneal.
5. Abses peritoneal. Kebanyakan abses terjadi setelah peritonitis abses dapat juga abses setelah
merupakan komplikasi dari operasi abdomen kurang dari
dilakukan untuk proses
sekunder.
Pembentukan
operasi. Insiden pembentukan 1-2%, bahkan
ketika operasi
inflamasi akut. Risiko abses meningkat 10-30%
abses pada kasus perforasi preoperatif dari kontaminasi feces yang signifikan dari rongga peritoneal, iskemia usus, diagnosis dan
terapi
yang
lambat
pada
5
awal peritonitis, dan
kebutuhan
pengaturan imunosupresi. Pembentukan
untuk reoperation, abses adalah
serta
dalam
penyebab utama
infeksi persisten dan perkembangan peritonitis tersier.
2.3
Patofisiologi dan Patogenesis Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan di dalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
6
Pada sindrom nefrotik, terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan sindrom nefrotik rentan terhadap infeksi. Faktor tersebut antara lain disfungsi limfosit T, konsentrasi IgG plasma yang rendah, berkurangnya protein yang berperan pada jalur komplemen, defek opsonisasi akibat rendahnya faktor I dan B, pemberian obat imunosupresan, dan faktor mekanik seperti edema dan asites.1 ,10,14
Selain kelainan imunologis, pengobatan sindrom nefrotik dengan steroid
dosis tinggi maupun imunosupresan lain seperti sitostatik juga menyebabkan penderita sindrom nefrotik rentan terhadap infeksi. Terjadinya infeksi intraabdominal merupakan resultan patogenisitas bakteri dan mekanisme pertahanan tubuh pejamu yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, adherensi, atau invasi bakteri. Beberapa mekanisme terjadinya infeksi peritonitis pada sindrom nefrotik yaitu: infeksi langsung dari traktus genitourinarius (ascending infection), penyebaran melalui pembuluh darah transdiafragmatikus, migrasi transmural melalui dinding usus halus, dan penyebaran secara hematogen melalui mekanisme translokasi bakteri. Bakteri dari usus halus bertranslokasi ke kelenjar limfa mesenterium dan kemudian menyebar secara hematogen.13 Bakteri memasuki kavum peritoneum dan menemukan lingkungan yang sesuai untuk berkembang biak sehingga memudahkan timbulnya PBS. Asites atau cairan lain yang ada di kavum peritoneum dapat menghambat pertahanan tubuh pejamu. Asites menyebabkan dilusi cairan kaya protein yang menyebabkan reduksi opsonin, seperti IgG, komplemen C3, atau mediator infl amasi lainnya. Selain itu, fagositosis pada cairan kurang efektif dibandingkan di permukaan padat12. Terjadinya infeksi peritonitis dipengaruhi juga oleh meningkatnya jumlah bakteri anaerob di jejunum, perubahan sawar usus, dan faktor lain yang mempengaruhi aliran darah.13 2.4
Manifestasi Klinis Mulanya mungkin terlihat samar dan akut, dan biasanya ditandai dengan
demam, nyeri perut, muntah, diare dan ‘tampak toksis’ Hipotensi dan takikardi sering bersama dengan pernapasan dangkal dan cepat karena rasa tidak enak akibat pernapasan. Suara usus hipoaktif atau tidak ada. Pemakaian kortikosteroid sebelumnya bisa mengurangi gejala klinis peritonitis.
7
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial. Pada peritonitis mekonium, tampak abdomen membuncit dan tegang sejak bayi dilahirkan. Bayi tampak sakit berat, sianosis, hiperpnu, dan merintih. Dinding perut tampak sembab kebiruan. Byi tidak mau menyusui , muntahmuntah dan konstipasi. Kadang-kadang didapatkan defekasi mekonium dengan lendir dan darah. Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah.
2.5
Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Peritonitis dapat didiagnosis secara klinis dan dipastikan dengan hasil
biakan. Secara klinis, PBS pada anak sindrom nefrotik ditandai dengan gejala
8
peritonitis antara lain demam (95%), nyeri perut (98%) dan mual atau muntah (71%). Pada pemeriksaan fi sik anak tampak kesakitan, nyeri tekan abdomen, dan defans muskular. Selain itu dapat juga disertai hipotensi, hipotermia, dan ileus paralitik, Nyeri abdomen diperparah oleh gerakan, konstipasi, abdominal bloating, mual, muntah, nyeri kepala, dispnu, takipnu, dan dehidrasi. Dapat terjadi komplikasi berupa terbentuknya abses peritoneum, perlekatan peritoneum, ileus paralitik, sepsis, dan syok septik.15 Perlu waspada terhadap gejala klinis berupa nyeri abdomen atau nyeri epigastrium karena sering dianggap atau didiagnosis sebagai efek samping prednison, padahal gejala tersebut dapat merupakan gejala klinis PBS. Hasil laboratorium menunjukkan leukositosis dengan rerata jumlah leukosit perifer 21.500/μL (median 21.400/μL, kisaran 7.100 – 44.800/μL) dengan persentase netrofil 83%. Kondisi tersebut biasanya ditemukan bersamaan dengan edema dan asites.15 Diagnosis definitif peritonitis membutuhkan biakan cairan peritoneum. Cairan peritoneum yang diperoleh dengan pungsi asites tampak keruh dan pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan uji Rivalta positip, jumlah lekosit dan kadar protein meningkat. Pada cairan asites perlu diperiksa dengan pulasan Gram. Pada banyak kasus PBS, parasentesis diagnostik sering tidak dapat dilakukan sehingga pasien diterapi dengan antibiotik empiris tanpa pemeriksaan cairan peritoneum.5 Diagnosis PBS pada sindrom nefrotik sering sulit ditegakkan karena gejala dan tanda sistemik dapat tersamarkan oleh penggunaan kortikosteroid. Diagnosis peritonitis ditegakkan jika terdapat gejala klinis peritonitis disertai satu atau lebih hasil pemeriksaan penunjang, yaitu: 1. cairan peritoneum berwarna keruh atau jumlah sel cairan peritoneum >100 sel/ μL atau jumlah sel netrofil polimorfonuklear (PMN) >50 sel/μL. 2. Terdapat bakteri dalam cairan peritoneum ditandai dengan pewarnaan Gram atau biakan cairan peritoneum positif atau tes counter-immuno-electrophoreses yang positif untuk antigen bakteri dari cairan asites; dan 3. biakan darah positif.15 Pemeriksaan radiologis
merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pemeriksaan rontgen abdomen menunjukkan dilatasi usus halus dan usus besar , dengan peningkatan pemisahan lengkungan akibat penebalan dinding usus.
Pada
9
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi. Gambaran radiologis pada peritonitis
secara
umum
yaitu tampak adanya
perselubungan pada
cavum
abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal. Membedakan peritonitis primer dan appendisitis mungkin tidak mungkin pada penderita dengan riwayat sindroma nefrotik atau sirosis; karenanya, diagnosis peritonitis primer dapat dibuat hanya pada saat laparotomi. Pada anak yang diketahui dengan penyakit ginjal atau hati dan asites, adanya tanda peritonium harus segera dilakukan parasintesis diagostik. Cairan yang terinfeksi biasanya menunjukkan angka leukosit 250 sel/mm3 atau lebih dari 50% sel polimorfonuklear. Tanda caian peritonium yang mengesankan peritonitis primer adalah PH kurang dari 7,5 perbedaan gradien PH cairan arteri-asites lebih besar dari 0,1 dan kadar laktat meningkat. Pengecatan gram cairan asites secara khas menunjukkan bakteri tunggal gram positif atau kadang-kadang gram negatif. Adanya flora bakteri campuran pada pemeriksaan cairan asites atau udara bebas pada rontgen abdomen anak dengan dugaan peritonitis primer mengisyaratkan laparotomi untuk melokalisir sumber infeksi intra abdomen. Inokulasi cairan asites yang diambil pada parasintesis secara langsung kedalam botol biakan darah akan meningkatkan kepositifan biakan.
Terpi antibiotik
parenteral
dengan
sefotaksim
dan
aminoglikosida harus dimulai dengan segera.
2.6
Penatalaksanaan Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri. Tata laksana non-operatif merupakan terapi utama pada PBS, terdiri atas pemberian antibiotik dan terapi suportif. Antibiotik spektrum luas digunakan pada terapi awal kemudian disesuaikan menjadi spektrum yang lebih sempit berdasarkan hasil biakan. Terapi antibiotik awal merupakan terapi empiris
10
berdasarkan organisme yang sering menyebabkan PBS. Terapi empiris yang biasa diberikan adalah kombinasi golongan penisilin dan aminoglikosida intravena selama 2 minggu, kemudian disesuaikan dengan hasil biakan dan uji resistensi Amoksisilin diberikan dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis dan golongan aminoglikosida, antara lain amikasin dengan dosis 15 mg/kgBB/hari atau gentamisin dengan dosis 3-5 mg/kgBB/ hari dibagi 2 dosis. Bila dicurigai terdapat infeksi pneumococcus yang resisten, dapat diberikan penisilin dosis tinggi. Dapat juga diberikan antibiotik golongan sefalosporin, seperti sefotaksim dengan dosis 75-100 mg/ kgbb/hari, seftriakson 75-100 mg/kgBB/ hari, atau seftazidim 50-100 mg/kgBB/hari Antibiotik golongan vankomisin (30-40 mg/ kgBB/hari), kloramfenikol (75-100 mg/kgBB/ hari), dan imipenem (50 mg/kgBB/hari) efektif digunakan untuk infeksi oleh Streptococcus pneumoniae resisten penisilin.7,8,15 Perlu diperhatikan kebutuhan cairan dan elektrolit serta kalori karena pasien sering mual muntah dan demam tinggi yang menyebabkan asupan cairan dan kalori berkurang dan pengeluaran cairan dan elektrolit meningkat. Selain itu, perlu diperhatikan terapi suportif lainnya. Jika perlu, dapat diberikan terapi simtomatik. Pemberian obat spasmolitik tidak dianjurkan dan malah dapat merupakan kontraindikasi. Pada sindrom nefrotik dengan keadaan infeksi berat seperti PBS, pemberian steroid atau prednison perlu dihentikan sementara atau dosisnya dikurangi atau di-taper-off , dan dilanjutkan lagi setelah infeksi teratasi. Beberapa kepustakaan melaporkan kejadian infeksi pneumococcus resisten penisilin pada kasus PBS, bahkan angka kejadiannya meningkat di beberapa daerah. Peningkatan frekuensi infeksi pneumokokus resisten penisilin ini mempengaruhi dosis terapi. Pada tahun 1996, di Amerika Serikat dilaporkan kasus peritonitis oleh kuman pneumokokus resisten penisilin. Berdasarkan kasus tersebut direkomendasikan penggunaan penisilin dan sefalosporin dosis tinggi untuk infeksi selain meningitis pada Streptococcus pneumoniae yang intermediet berdasarkan hasil biakan.7,8 Perlu diwaspadai penggunaan antibiotik spektrum luas dapat meningkatkan angka resistensi dan mendorong pertumbuhan jamur serta organisme patogen lain yang akan memperparah keadaan pasien.5
11
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Teknik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi. 17 Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
2.6
Pencegahan Pencegahan utama PBS adalah tata laksana sindrom nefrotik yang adekuat
dengan steroid maupun obat imunosupresif lainnya. Asites perlu ditanggulangi dengan pemberian diuretik dan albumin bila diperlukan.6 Pemberian golongan penisilin profilaksis digunakan pada beberapa kasus secara sporadis. Laporan yang mendukung penggunaan penisilin profi laksis ini belum banyak dan belum ada penelitian acak terkontrol. Penggunaan penisilin profi laksis ini didasarkan pada pasien dengan penyakit sel sabit yang memiliki kemiripan dengan sindrom
12
nefrotik dalam hal risiko infeksi. Pada pasien penyakit sel sabit, kemoprofi laksis dilaporkan dapat menurunkan insidens pnemonia bakterialis, terutama pada anak berusia kurang dari 5 tahun. 6 Upaya lain mencegah PBS adalah imunisasi; yang direkomendasikan adalah terhadap Streptococcus pneumoniae. Imunisasi telah menunjukkan hasil yang efektif pada anak dengan sindrom nefrotik sensitif steroid dan tidak mendapatkan terapi steroid pada saat imunisasi.6 Di Amerika Serikat, Advisory Committee on Immunization Practices merekomendasikan vaksinasi pneumokokus pada anak berumur 2-5 tahun dengan komorbiditas tertentu, termasuk untuk sindrom nefrotik.16
2.7
Komplikasi Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu : a. Komplikasi dini ·
Septikemia dan syok septik
·
Syok hipovolemik
·
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi sistem
·
Abses residual intraperitoneal
·
Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut
2.8
·
Adhesi
·
Obstruksi intestinal rekuren
Prognosis Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.
13
BAB III KESIMPULAN Peritonitis primer adalah infeksi bakteri rongga peritonum tanpa dapat menunjukkan sumber di intra abdomen. Kebanyakan kasus terjadi pada anak-anak dengan asites akibat dari sindroma nefrotik atau sirosis. Kadang-kadang bisa terjadi pada anak-anak yang sebelumnya sehat. Jenis kelamin yang terjadi seimbang. Kebanyakan kasus terjadi sebelum usia 6 tahun. Peritonitis dapat didiagnosis secara klinis dan dipastikan dengan hasil biakan. Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
14
DAFTAR PUSTAKA AUAN PUSTAKA 1. Eddy A, Symons JM. Nephrotic syndrome in children. Lancet. 2003; 362:629-39. 2. Alwadhi RK, Mathew JL, Rath B. Clinical profi le of children with nephrotic syndrome not on glucocorticoid therapy, but presenting with infection. J Pediatr Child Health. 2004;40:28-32. 3. Uncu N, Bulbul M, Yildiz N, Noyan A, Kosan C, Kavukcu S, dkk.. Primary peritonitis in children with nephrotic syndrome: results of a 5-year multicenter study. Eur J Pediatr. 2010;169:73-6. 4. Tain Y, Lin G, Cher T. Microbiological spectrum of septicemia and peritonitis in nephrotic children. Pediatr Nephrol. 1999;13:835-7. 5. Hingorani SR, Weiss NS, Watkins SL. Predictors of peritonitis in children with nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 2002;17:678-82. 6. Mcintyre P, Craig JC. Prevention of serious bacterial infection in children with nephrotic syndrome. J Pediatr Child Health. 1998;34:314-7. 7. Ilyas M , Roy S, Abbasi S, Leggiadro RJ, English K, Wyatt RJ. Serious infections due to penicillin-resistant Streptococcus pneumoniae in two children with nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 1996;10:639-41. 8. Waisman DC, Tyrell GJ, Kellner JD, Garg S, Marrie TJ. Pneumococcal peritonitis: still with us and likely to increase in importance. Can J Infect Dis Med Microbiol. 2010;21:e23-7. 9. Gbadegesin R, Smoyer WE. Nephrotic syndrome. Dalam: Geary DE, Schaefer
F.,
penyunting;
Comprehensive
Pediatric
Nephrology.
Philadelphia: Mosby Elsevier. 2008.hal. 215-8. 10. Matsell DG, Wyatt RJ. The role of I and B in peritonitis associated with the nephrotic syndrome of childhood. Ped Res. 1993;34:84-8. 11. Han J, Lee K, Hwang J, Koh D, Lee J. Antibody status in children with steroid-sensitive nephrotic syndrome. Yonsei Med J. 2009;51:239-43. 12. Farthmann EH, Schoff el U. Epidemiology and pathophysiology of intraabdominal infections (IAI). Infection. 1998;26:329-34.
15
13. Clark JH, Fitzgerald JF, Kleiman MB. Spontaneous bacterial peritonitis. J Pediatr. 1984;104:495-500. 14. Patiroglu T, Melikoglu A, Dusunsel R. Serum levels of C3 and factors I and B in minimal change disease. Acta Paediatr Jpn. 1998;40:333-6. 15. Gorensek MJ, Lebel MH, Nelson JD. Peritonitis in children with nephrotic syndrome. Pediatrics. 1988;81:849-56. 16. Advisory
Committee
on
Immunization
Practices.
Preventing
pneumococcal among infants and young children. Recommendations on the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep. 2000;49(RR-9):1-35. 17. Jong WD, Sjamsuhidayat R. Gawat Abdomen. Dalam Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. 1997. Hal 221-239 18. Reksoprodjo S. Bedah anak. Dalam kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: FKUI. Hal 105-108 19. Schwartz SJ, Shires ST, Spencer FC. Peritonitis dan Abses Intraabdomen. Dalam Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2000. 20. Sulton D. Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 5. Jakarta: Hipokrates. 1995. Hal 34-38
16
View more...
Comments