Manajemen Dan Penyakit Satwa Primata1
May 13, 2019 | Author: Satria 'arceus' Dewantara | Category: N/A
Short Description
tarsioidea...
Description
MANAJEMEN DAN PENYAKIT SATWA PRIMATA
TORSIOIDEA
Disusun oleh: Hartina Samosir
1309005081
Putu Gonna Gonna Indah Arsana
1309005131
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepadaTuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat Nya penulis dapat menyelesaikan tugas paper ini. Paper ini dibuat untuk memenuhi tugas Manajemen dan Penyakit Satwa Primata, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Segala kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kebaikan dari paper ini, terima kasih kepada dosen pengampu yang memberikan materi pada saat perkuliahan, teman satu kelompok yang sudah banyak membantu dalam proses pembuatan dan tak lupa penulis ucapkan banyak ter ima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis.
Denpasar, 12 Maret 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .................................................................................................. i KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... iv BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Sejarah dan Asal-usul Torsioidea ................................................................ 2
2.2
Struktur dan Fungsi Tubuh Torsioidea ....................................................... 4
2.3
Tingkah Laku Sosial Torsioidea ................................................................. 7
2.4
Penyakit pada Torsioidea ........................................................................... 8
BAB III. SIMPULAN DAN SARAN 3.1
Simpulan .................................................................................................... 9
3.2
Saran .......................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 10
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 ...................................................................................................................... 3 Gambar 2 ...................................................................................................................... 6
iv
BAB I PENDAHULUAN
Dewasa ini dokter hewan dituntut untuk menguasai pengelolaan atau pengembangan dan penanganan penyakit selain hewan ternak. Satwa primata merupakan primata yang bukan manusia. Satwa primata memiliki kedekatan struktur tubuh dengan manusia. Pada manusia ada dokter hewan yang secara gamblang menerangkan dan memahami apa saja yang terkait dengan tubuh badaniah manusia, untuk itu para dokter hewan dan para calon dokter hewan diharapkan dapat memahami biologi satwa primata. Seperti layaknya mempelajari manusia, pada satwa primata pun kita harus memahami profil dan penyakit satwa primata. Mempelajari sejarah, asal-usul, klasifikasi atau taksonomi, struktur dan fungsi tubuh, tingkah laku sosialnya, penyakit zoonosis dan non-zoonosis dengan mengutamakan satwa primata khas Indonesia. Salah satu subordo primata yang ada di Indonesia adalah Tarsioidea. Tarsius adalah binatang kecil dengan mata yang sangat besar; masing-masing bola mata adalah sekitar 16 mm dan sebagai besar memenuhi seluruh otaknya. Karena Tarsioidea merupakan salah satu sub ordo yang ada di Indonesia hal ini lah yang melatarbelakangi pembuatan paper ini. Tarsius syrichta adalah sejenis primata yang terkecil di dunia dan bisa ditemukan di Filipina, dan variasi speciesnya ditemukan juga di Sumatra, Borneo, Sulawesi (Indonesia). Tarsier asal Filipina ini adalah hewan yang sangat aktif dengan ciri yang khas. Tubuhnya dibalut dengan bulu warna abu-abu, ekornya memiliki panjang kira-kira 232 mm hampir tidak berbulu alias gundul. Dari kepala hingga ekor panjangnya antara 118-149 mm dengan berat 113-142 gram. Memiliki karakteristik mata yang bulat lebar besarnya dan menonjol dan hidung yang unik dan ukurannya yang kecil. Ukuran rongga mata tarsius ini melebihi ukuran tempurung otak dan perutnya. Tangan dan kakinya mempunyai jari-jari yang mirip dengan manusia yang digunakannya untuk bertengger di pohon dan ekornya digunakan untuk keseimbangan.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Sejarah dan Asal-Usul Tarsioidea
Tarsius adalah haplorrhine primata dari keluarga Tarsiidae, keluarga tunggal dalam infraorder Tarsiiformes. Meskipun grup ini dahulu kala memiliki penyebaran yang luas, akan tetapi semua spesies yang hidup sekarang jumlahnya terbatas dan ditemukan di pulau-pulau Asia Tenggara, termasuk Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan bagian dari Kepulauan Filipina (Niemitz, 2003). Ada 7 spesies yang masih ada dari tarsius, semua dalam genus Tarsius. Spesies tarsius semua sama dalam ukuran, morfologi, dan ekologi. Mereka semua kecil, nokturnal, primata predator khusus untuk melompat dan menempel. Tarsius yang paling "primitif" dari primata haplorrhine. Dalam keluarga Tarsiidae, ada dua genre yang sudah punah yaitu Xanthorhysis dan Afrotasius. Namun, penempatan Afrotarsius tidak pasti, kadang-kadang tercantum dalam keluarga sendiri, Afrotarsiidae dalam infraorder Tarsiiformes, kadang dianggap sebagai anthropoid. Klasifikasi ilmiah dari Tarsioidea adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
:Mammalia
Order
:Primates
Suborder
: Haplorrhini
Infraorder
: Tarsiiformis
Famili
: Tarsiidea
Genus
: Tarsius
Genera
: Carlito, Cephalopachus, Tarsius
Sejauh ini, tiga spesies fosil dari genus Tarsius dikenal dari catatan fosil: a. Tarsius eocaenus diketahui dari Eosen Tengah di Cina. b. Tarsius thailandicus hidup pada Miosen Awal di barat laut Thailand. c. Tarsius sirindhornae hidup pada Miosen Tengah di utara Thailand.
2
Posisi filogenetik tarsius yang hidup sekarang banyak diperdebatkan pada abad yang lalu, dan tarsius diklasifikasikan secara bergantian pada Strepsirrhini pada subordo prosimia, atau sebagai grup saudara dari simia (sama dengan Anthropoidea) dalam infraordo Haplorrhini. Pada tingkat filogenetik yang lebih rendah, tarsius telah, sampai saat ini, semua telah ditempatkan dalam genus Tarsius, tapi masih juga diperdebatkan apakah spesies harus ditempatkan dalam dua (Sulawesi dan Filipina kelompok barat) atau tiga genera yang terpisah (Sulawesi, Filipina dan kelompok barat). Pada tahun 2010, Colin membelah
Groves dan
genus Tarsius menjadi
(genus Carlito),
tarsius
Barat
tiga
Myron
genera
Shekelle yaitu
(genus Cephalopachus),
menyarankan
tarsius dan
tarsius
Filipina timur
(genus Tarsius). Hal ini didasarkan pada perbedaan gigi, ukuran mata, tungkai dan panjang tangan, jumbai ekor, ekor duduk bantalan, jumlah mammae, jumlah kromosom, sosioekologi,
vokalisasi, dan distribusi. Fosil primate tarsiiform
ditemukan di Asia, Eropa, dan Amerika Utara, dengan fosil yang disengketakan dari Afrika, namun tarsius yang masih ada dibatasi untuk beberapa pulau di Asia Tenggara, termasuk Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
Gambar 1. Penyebaran Tarsius
3
2.2
Struktur dan Fungsi Tubuh Tarsioidea
2.2.1 Ciri Eksternal
Spesies tarsius semua sangat arboreal dan ditemukan terutama di daerah tropis, habitat hutan dengan pertumbuhan vertikal padat. Mereka dapat melompat antara batang pohon secara vertikal untuk berkeliling dan ini merupakan komponen penting dari habitat mereka. Mereka mungkin menjelajah ke habitat non-hutan jika ada permukaan vertikal cukup untuk menempel dan melompat. Mereka akan melompat ke tanah untuk bergerak juga, tapi hanya akan tetap di tanah sesaat. Mereka tidur di pohon, cekungan, dan kelompok tanaman merambat juga komponen penting dari habitat mereka. Sebagian besar waktu mencari makan mereka
dihabiskan
di
bawah
1
meter
dalam
struktur
vertikal
hutan. Tarsius jarang memperlihatkan variasi posisi diam, tarsius sering memeluk batang pohon, atau ranting pada posisi vertikal dengan menggunakan ekornya sebagai penunjang (Niemitz, 2003). Tarsius spectrum biasa tidur sepanjang siang hari, punya suara yang keras jika bergelantungan dan membuat lompatan. Waktu Tarsius 60-70% digunakan untuk bergerak seperti T. bancanus selalu bergerak untuk memanjat, juga T. sepectrum, T. dianae, dan T. syrichta aktivitas bergerak melompat, berjalan, dan memanjat. T. bancanus jarang memperlihatkan variasi posisi diam sering memeluk batang pohon atau ranting pada posisi vertikal dengan menggunakan ekornya sebagai penunjang (Shekelle, in pres). 2.2.2 Indra Khusus dan Otak
Tarsius memiliki keistimewaan pada mata karena penglihatan pada malam hari lebih tajam. Organ mata pada tarsius merupakan organ terbesar dibanding organ kepala lainnya. Kepala dapat berputar sampai dengan 180° baik kekanan maupun kekiri seperti burung hantu. Tarsius
adalah
binatang
kecil
dengan
mata
yang
sangat
besar masing-masing bola mata ada sekitar 16 mm dan sebagai besar sebagai seluruh otaknya. Anatomi tengkorak yang unik dari tarsier untuk menyeimbangkan mata yang besar dan kepala berat sehingga mereka
4
dapat menunggu diam-diam mangsa dan langsung menerkam. Tarsius memiliki pendengaran sangat kuat karena korteks pendengaran mereka sangat
berbeda. Untuk
tarsius
Filipina
pendengarannya
mampu
mendengar frekuensi tinggi 91kHz dan vokalisasi dengan frekuensi dominan 70 kHz. Tidak seperti kebanyakan vertebrata nokturnal lainnya, tarsius tidak memiliki daerah memantulkan cahaya tapetum lucidum dimatanya. Mereka justru mememilik fovea dimana itu merupakan sesuatu hal yang tidak biasa pada binatang nokturnal. Otak tarsius berebeda dari primata lain dalam hal koneksi kedua mata dan lateral geniculate nucleus, yang merupakan daerah utama di talamus yang menerima informasi visual. Rangkaian lapisan seluler yang menerima informasi dari bagian mata ipsilateral (sisi kepala yang sama) and contralateral (sisi kepala yang berbeda) di lateral geniculate nucleus membedakan tarsius dari lemur, kukang, dan monyet, yang semuanya sama dalam hal ini. 2.2.3 Gigi
Dental formula dari tarsius adalah (2 1 3 3) x 2 (rahang atas) dan (1 1 3 3) x 2 (rahang bawah). Tarsius berbeda dengan prosimians, tarsius tidak memiliki apapun seperti toothcomb. 2.2.4 Saluran Cerna
Tarsius satu-satunya primata yang tidak makan daun, buah, bunga dan sayuran. Tarsius merupakan satwa insektivora, menangkap serangga dengan melompat pada serangga itu. Mereka juga memangsa verterata kecil seperti burung, ular, kadal, dan kalelawar. Pada saat tarsius melompat dari satu pohon ke pohon lain tarsius dapat menangkap burung yang sedang bergerak. Semua tarsius aktif dimalam hari dan mereka semua beradaptasi untuk melompat. 2.2.5 Tipe Pergerakan
Dinamakan Tarsius karena spesies ini memiliki tulang tarsal yang memanjang dan membentuk sendi-sendi sehingga dapat melompat sejauh 3 meter dari satu pohon ke pohon lainnya. Bagian bawah jari-jari tangan dan kaki tarsius terdapat tonjolan atau bantalan yang memungkinkan
5
tarsius untuk melekat pada berbagai permukaan saat melompat di tempat yang licin. Tarsius memiliki kaki belakang yang panjangnya dua kali lipat panjang badan dan kepala untuk memberikan kekuatan melompat karena sebagian besar gerakan tarsius adalah melompat secara vertical. Berikut perbedaan ukuran badan, warna rambut, serta panjang dan bentuk ekor tarsius di Sulawesi.
Gambar 2. Perbedaan morfologi jenis-jenis tars ius yang terdapat di Sulawesi Pada Gambar 2 terlihat bahwa terdapat dua jenis tarsius yang memiliki nama yang hampir sama yaitu Selayar tarsier dan tarsier. Perbedaan yang dimiliki oleh kedua jenis tarsius tersebut adalah rambut pada ekor tarsier lebih lebat daripada Selayar tarsier. Tarsius tarsier berganti nama menjadi Tarsius
fuscus sedangkan Selayar tarsier
menggunakan nama Tarsius tarsier. Perbedaan morfologi lainnya dar i kedua spesies ini adalah kaki belakang T. fuscus lebih pendek dibandingkan T. tarsier, warna bulu T. fuscus juga lebih coklat kemerahan dan hanya sedikit bagian yang berwarna abu-abu, panjang ekor T. tarsier adalah 221% dari panjang seluruh tubuh dan kepala (Groves dan Shekelle 2010). Tarsius juga memiliki kaki belakang yang sangat panjang, karena sebagian besar untuk sangat panjang tarsus tulang kaki, dari mana hewan
6
mendapatkan nama mereka. Kombinasi tarsi memanjang dan menyatu tibiofibulae membuat mereka morfologi khusus untuk menempel vertikal dan melompat. Kepala dan tubuh berkisar 10 sampai 15 cm panjangnya, tapi kaki belakang sekitar dua kali panjang ini (termasuk kaki), dan mereka juga memiliki ekor ramping dari 20 menjadi 25 cm panjang. Jari jari mereka juga memanjang, dengan jari ketiga yang kira-kira sama seperti lengan atas. Sebagian besar angka memiliki kuku, tetapi jari-jari kaki kedua dan ketiga dari kaki belakang menanggung cakar sebaliknya, yang digunakan untuk perawat an. Tarsius memiliki beludru bulu yang lembut, yang umumnya berwarna buff dan krem. 2.2.6 Reproduksi
Tarsius mencapai masa dewasa setelah usia satu tahun kematangan seksual pada akhir tahun kedua. Tarsius dewasa hidup berpasangan dengan jangkauan tempat tinggal sekitar satu hektar. Sosialitas dan sistem
perkawinan
bervariasi
antara
tarsius,
tarsius
cenderung
digolongkan sebagai hewan yang pemalu. Tarsius mencapai kedewasaan seksual saat berumur 2 tahun. Sang betina mengalami panas berulangulang sampai kira-kira 23 hari dan mengeluarkan suara-suara unik untuk memberitahukan masa suburnya. Masa kehamilan tarsius selama 6 bulan, masa hidup tarsius 12-20 tahun. 2.3
Tingkah Laku Sosial Tarsioidea
2.3.1 Tingkah Laku Seksual
Tarsius mempunyai sifat monogami, jika pasangan jenisnya mati tidak mau mencari pasangan lagi. 2.3.2 Group Size dan Komposisi
Tarsius adalah binatang setia dan hidup monogami. Pasangan Tarsius membentuk kelompok kecil dengan anak-anaknya yang belum dewasa, bersarang dalam rongga pohon (Sussman, 1999). 2.3.3 Komunikasi
Tarsius mengeluarkan nyanyian berupa cicitan rumit dengan berbagai nada saat mencari makan di malam hari dan pagi hari ketika akan kembali ke sarang. Nyanyian ini mengabarkan bahwa keluarga
7
Tarsius itu keadaan sehat dan mengingatkan keluarga lain agar tidak memasuki wilayahnya. 2.3.4 Perkembangan Bayi/anakan
Kehamilan pada tarsius berlangsung enam bulan, kemudian tarsius melahirkan seekor anak. Tarsius muda lahir berbulu dan dengan mata terbuka serta mampu memanjat dalam waktu sehari setelah kelahiran. Tarsius mencapai masa dewasa setelah usia satu tahun kematangan seksual pada akhir tahun kedua. Tarsius dewasa hidup berpasangan dengan jangkauan tempat tinggal sekitar satu hektar. Sosialitas dan sistem
perkawinan
bervariasi
antara
tarsius,
tarsius
cenderung
digolongkan sebagai hewan yang pemalu. 2.4
Penyakit pada Tarsioidea
Penyakit yang biasanya menginfeksi monyet tarsius ini adalah parasit jenis cacing Tarsubulura karena tarsius senang makan jangkrik dan juga parasit saluran cerna yaitu cocidia dan ditemukan juga jamur Blastomyces (bersifat zoonosis).
8
BAB III PENUTUP 3.1
Simpulan
Dahulu kala Fosil primate tarsiiform ditemukan di Asia, Eropa, dan Amerika Utara, tetapi semua spesies yang hidup sekarang jumlahnya terbatas dan ditemukan di pulau-pulau Asia Tenggara, termasuk Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan bagian dari Kepulauan Filipina. Tarsius memiliki keistimewaan pada mata karena merupakan organ terbesar dibanding organ kepala lainnya. Kepala dapat berputar sampai dengan 180° seperti burung hantu. Tarsius satu-satunya primata yang insektivora. Tarsius spesies yang memiliki tulang tarsal yang memanjang dan membentuk sendi-sendi sehingga dapat melompat sejauh 3 meter dari satu pohon ke pohon lainnya dengan gerakan yang paling disukai adalah gerakan vertikal. Tarsius adalah binatang setia dan hidup monogami jika pasangan jenisnya mati tidak mau mencari pasangan lagi.. Pasangan Tarsius membentuk kelompok kecil dengan anak-anaknya yang belum dewasa, bersarang dalam rongga pohon. Tarsius mengeluarkan nyanyian berupa cicitan rumit dengan berbagai nada saat mencari makan di malam hari dan pagi hari ketika akan kembali ke sarang. Penyakit yang biasanya menginfeksi monyet tarsius ini adalah parasit jenis cacing Tarsubulura karena tarsius senang makan jangkrik dan juga parasit saluran cerna yaitu cocidia dan ditemukan juga jamur Blastomyces. 3.2
Saran
1. Sejak tahun 1990 tarsius telah masuk dalam daftar merah IUCN, maka dari itu diharapkan kita masyarakat Indonesia bisa mengkonservasi dan menyelamatkan keberlangsungan dari hewan spesies ini. 2. Dengan ukuran tubuh yang kecil spesies ini terancam untuk mudah diburu, kiranya pemerintah segera membuat sanksi atas perburuan hewan ini.
9
DAFTAR PUSTAKA
Clark, W. E. Le G. 1955. Primates Part 2 Haplorhin: Torsioidea (On-line). Diakses 12 Maret 2016 di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1244749/. J Anat v.89(pt4); 1955 Oct. Groves, C.; Shekelle, M. 2010. "The Genera and Species of Tarsiidae". International Journal of Primatology 31 (6): 1071 – 1082. doi:10.1007/s10764-010-9443-1. IUCN. 2009. IUCN Redlist of Threatened (On-line). Diakses 12 Maret 2016 di http://www.iucnredlist.org/. Myers, P. . "Tarsiidae" (On-line), Animal Diversity Web. Accessed April 13, 2016 at http://animaldiversity.org/accounts/Tarsiidae/. Niemitz, C. 2003. Tarsiers (Tarsiidae). Pp. 91-100 in M Hutchins, A Evans, J Jackson, D Kleiman, J Murphy, D Thoney, eds. Grzimek Animal Life Encyclopedia, Vol. 14, 2nd Edition. Detroit: Gale Group. (Dalam Myers, P. . "Tarsiidae" (On-line), Animal Diversity Web. Accessed April 13, 2016 at http://animaldiversity.org/accounts/Tarsiidae/). Shekelle, M. in pres. Primary Taxonomy of Eastern Tarsiers, Phase II: Naming Taxa Discovered in Phase I and Extending Sampling Transects. (Dalam Tolibin Iskandar “Tarsius: Monyet Mini yang Belum Banyak Dikenal Di Indonesia dan Parasitnya ”). Sussman, R.B. 1999. Primate Ecology and Social Stucture. Vol. I.: Lorises. Lemurs and Tarsiers. Department of Anthropology Washington University. (Dalam Tolibin Iskandar “Tarsius: Monyet Mini yang Belum Banyak Dikenal Di Indonesia dan Parasitnya ”).
10
View more...
Comments