Makalah+gw
March 22, 2018 | Author: Adriana-Jane Ferrer | Category: N/A
Short Description
Download Makalah+gw...
Description
PRAKTEK RASISME DALAM KEBIJAKAN IMIGRASI DI MALAYSIA
Tugas Makalah Mata Kuliah Migrasi Global
Oleh: Priliantina Bebasari [0706291350]
Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2010
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi internasional telah menjadi semakin penting dalam agenda internasional dalam beberapa tahun ini disebabkan oleh skalanya yang terus meningkat dan dampaknya terhadap hubungan internasional.1 Migrasi internasional melibatkan perpindahan orang melewati batas negara, baik sukarela maupun tidak sukarela. Salah satu contoh imigrasi yang dilakukan secara tidak sukarela adalah mengungsi. Banyak pengungsi yang mencari perlindungan atau suaka (asylum) di negara lain. Asylum-seeker (pencari suaka) adalah seseorang yang mengaku dirinya sebagai pengungsi, namun klaimnya belum dievaluasi secara definitif.2 Artinya, klaim mereka sebagai pengungsi belum diakui oleh negara tempat mereka mencari perlindungan. Malaysia adalah salah satu negara favorit tujuan para pencari suaka. Salah satu faktor penyebabnya adalah kemakmuran negara ini. United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) mencatat setidaknya terdapat 49.000 pencari suaka dan pengungsi di Malaysia pada Mei 2009, dan memperkirakan jumlah populasi pengungsi dan pencari suaka yang tidak terdaftar mencapai 45.000 orang.3 Sayangnya, Malaysia justru mengeluarkan kebijakan yang keras diskriminatif. Malaysia, yang tidak pernah menandatangani United Nations Convention Relating to the Status of Refugee 1951, pernah menangkap ratusan pencari suaka pada bulan Juli dan Agustus 2003 serta menutup akses mereka terhadap agen PBB.4 Perlakuan rasis Malaysia terhadap pengungsi terlihat dari pembedaan perlakuan antara pengungsi atau pencari suaka yang Islam dan Melayu, dan terhadap pengungsi Kristen yang biasanya berkulit kuning. Para pengungsi yang berasal dari Aceh dan Thailand yang beragama Islam biasanya diberikan hak untuk bekerja, hak untuk tinggal sementara, atau bahkan ditempatkan di pusat imigrasi yang nyaman. Keadaan ini sungguh berbeda dengan keadaan penungsi Kristen Chin dan Rohingnya asal Myanmar yang tidak diberikan hak untuk tinggal, hak untuk bekerja, dan disiksa di pusat-pusat detensi yang menyedihkan. Praktek rasisme dalam kebijakan imigrasi Malaysia, serta akar penyebabnya, menjadi isu pokok penelitian makalah ini. 1.2 Rumusan Masalah Makalah ini akan menjawab pertanyaan: Bagaimanakah praktek rasisme dalam kebijakan imigrasi Malaysia terjadi terhadap pengungsi dan pencari suaka yang datang ke Malaysia?
1
Sita Bali, “Migration and Refugee”, dalam Brian White et al. (Eds.), Issues in World Politics (2nd Ed.), (London: Palgrave/Macmillan, 2001), hlm 173.
2
Asylum-Seekers, diakses dari http://www.unhcr.org/pages/49c3646c137.html, tgl. 6 Oktober 2009, pkl. 13.40 WIB. Basic Facts: Statistics, diakses dari http://www.unhcr.org.my/cms/basic-facts/statistics, tgl 6 Oktober 2009, pkl 11.06 WIB. 4 29. Forced Repatriation of Asylum Seekers from Malaysia, diakses dari http://www.alrc.net/doc/mainfile.php/60written/254/, tlg 5 Oktober 2009, pkl 13.30 WIB. 3
[2]
1.3 Kerangka Teori dan Konsep
Migrasi internasional adalah perpindahan orang yang melewati batas negara, baik sukarela maupun tidak sukarela tergantung dari motivasi migran. Migrasi tidak sukarela dapat terjadi akibat konsekuensi bencana alam, perang, perang sipil, penganiayaan etnis, agama, dan politik, semua situasi yang diciptakan dimana seseorang dipaksa untuk keluar dari rumah atau negaranya. Sementara, migrasi sukarela dapat memiliki tiga bentuk, yaitu penetap permanen, penetap temporer, dan migrasi ilegal. 5 Pengungsi diartikan United Nations Convention Relating to the Status of Refugee 1951 sebagai orang memiliki ketakutan akan dianiaya untuk alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial atau opini politik tertentu, yang berada di luar negara kebangsaannya dan tidak dapat, atau tidak ingin menyediakan dirinya terhadap proteksi negara tersebut.6 Dengan demikian, pengungsi adalah salah satu contoh migran tidak sukarela. Mayoritas dari para pengungsi akan mencari suaka di negara tetangga. United Nations Convention Relating to the Status of Refugee 1951 mewajibkan negara untuk memperluas suaka dan perlindungan terhadap mereka yang mengalami penganiayaan, dalam dasar agama, ras, kebangsaan, dan opini politik. Hal ini relevan dengan Universal Declaration of Human Right 1948 Pasal 14 yang menyatakan bahwa seseorang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka dari penganiayaan di negara lain.7 Walau demikian, keputusan apakah seeorang berstatus sebagai pengungsi dan dapat diperlakukan demikian (dilindungi) berada di tangan setiap negara. Seseorang yang statusnya sebagai pengungsi belum diakui oleh suatu negara disebut pencari suaka (asylum seeker). Setidaknya terdapat tiga dimensi atau faktor yang menjadi pertimbangan sebuah negara dalam membuka diri terhadap migran, termasuk pengungsi. Dimensi pertama adalah dimensi ekonomi. Bagi negara host, pekerja impor dapat berkontribusi untuk kemakmuran jika pertumbuhan ekonomi terhambat oleh kurangnya tenaga kerja. Walau demikian, banyak pula argumen ekonomi yang mendukung pembatasan migrasi, seperti bahwa impor pekerja akan memperlambat perubahan struktural dalam ekonomi maju dengan memperlambat perubahan menuju bentuk produksi yang lebih capital intensive.8 Dimensi kedua adalah dimensi sosial. Negara-negara mempunyai cara berbeda dalam menghadapi migran, mulai dari menerima keberagaman budaya dengan memberi imigran hak ekonomi, sosial, dan politik, hingga membentuk komunitas etnis yang menentang multikulturalisme dengan menolak hak-hak dan lokasi imigran dalam masyarakat.9 Migran berpotensi mengancam popularitas dan kekuatan negara-bangsa. Sebagai warga sebuah negara, berpindah untuk tinggal dan bekerja di negara lain, migran menantang ide tradisional mengenai keanggotaan sebuah negara, makna kebangsaan dan kewarganegaraan, serta hak dan kewajiban
5
Sita Bali, op. cit., hlm 172. United Nations Convention Relating to the Status of Refugee 1951, Bab I, Pasal I ayat A(2). 7 Sita Bali, op. cit., hlm 187. 8 Ibid, hlm. 180. 9 Ibid, hlm. 181. 6
[3]
warga negara terhadap negara dan sebaliknya. Imigran yang sama dengan populasi penerima akan lebih mudah mengakomodasi dan mentoleransi dibanding jika mereka berbeda ras dan budaya.10 Dimensi ketiga adalah dimensi politik. Komunitas imigran terkadang bergabung ke dalam aktivitas politik dengan implikasi terhadap negara asal dan penerima. Aktivitas politik ini terkadang menjadi negara asal dan negara penerima. Keberlanjutan keterlibatan politik di negara yang mereka tidak tinggali lagi, dan mereka menjadi subjek hukum yang mana, memperlihatkan tantangan serius terhadap kedaulatan negara tersebut.11 Para migran juga sering mendapat perlakuan yang rasis. Rasisme adalah proses dimana suatu kelompok sosial mengkategorisasi kelompok lain sebagai kelompok yang berbeda dan lebih rendah, dengan dasar penanda kultural yang terlihat secara fisik (seperti warna kulit). Proses ini melibatkan penggunaan kekuasaan ekonomi, sosial, atau politik, dan secara umum memiliki tujuan melegitimasi eksploitasi dan eksklusi kelompok yang ditetapkan. Kekuatan kelompok yang dominan sering dipertahankan oleh struktur yang berkembang seperti hukum, kebijakan, dan praktek administrasi, yang mengecualikan dan mendiskriminasi kelompok yang dikuasai. Aspek seperti ini disebut rasisme institusional atau rasisme struktural. Perilaku rasis dan diskriminatif dari anggota-anggota kelompok dominan dikenal dengan istilah rasisme informal. Sementara, rasialisasi adalah wacana publik yang menyiratkan bahwa sejumlah masalah sosial atau politik merupakan konsekuensi yang alami dari karakteristik kultural atau fisik kelompok minoritas. Rasialisasi dapat digunakan untuk mengaplikasikan konstruksi sosial bahwa suatu kelompok tertentu adalah masalah.12 Penjelasan historis mengenai rasisme di Eropa Barat dan masyarakat imigran paska kolonial ada pada tradisi, ideologi, dan praktek kultural, yang telah berkembang dalam konflik etnis yang diasosiasikan dengan nation-building dan ekspansi kolonial. Dalam pandangan Stephen Castles dan Mark J. Miller, alasan meningkatnya rasisme belakangan ini ada pada perubahan ekonomi dan sosial yang mempertanyakan pandangan optimistik mengenai kemajuan yang diwujudkan dalam pemikiran Barat. Restrukturisasi ekonomi dan meningkatnya pertukaran budaya internasional yang telah dialami oleh banyak bagian dari populasi, dianggap sebagai ancaman langsung terhadap perikehidupan, kondisi sosial, dan identitas.13 Isu yang juga penting dalam masalah migrasi adalah pemberian kewarganegaraan bagi para pengungsi atau pencari suaka. Kewarganegaraan memberikan hak kesetaraan kepada seluruh warganegara dalam komunitas politik, serta sekelompok institusi yang berhubungan untuk menjamin hak-hak ini. Terdapat beberapa tipe kewarganegaraan: 1) model imperial: orang manapun yang berasal dari negara lain yang samasama pernah dikuasai kekuatan yang sama adalah pemilik negara itu juga; 2) model etnis: orang dari negara lain yang memiliki kesamaan etnis dengan penduduk asli satu negara adalah pemilik negara itu juga. Dengan kata lain, terdapat pengecualian minoritas dari kewarganegaraan dan dari komunitas bangsa; 3) model 10
Ibid, hlm. 182. Ibid, hlm. 183-184. 12 Stephen Castles dan Mark J. Miller, The Age of Migration, 4th Ed., (London: The Guilford Press, 2009), hlm. 37. 13 Ibid, hlm. 38. 11
[4]
republikan: definisi negara adalah komunitas politik, berdasarkan konstitusi, hukum, dan kewarganegaraan, dengan kemungkinan menerima pendatang baru ke dalam komunitas selama mereka mengikuti peraturan politik dan mau beradaptasi dengan kultur nasional (berasimilasi); 4) model multikultural: negara adalah komunitas politik berdasarkan konstitusi, hukum, dan dapat menerima pendatang. Di negara ini, para pendatang dapat mempertahankan kultur mereka, dan membentuk komunitas etnis selama masih patuh terhadap hukum nasional (pendekatan pluralis atau multikultural); dan 5) model transnasional: identitas sosial dan kultural komunitas transnasional melampaui batas negara. Keselamatan demokrasi dapat bergantung pada cara melibatkan orang-orang dengan identitas ganda dalam komunitas politik, serta menjamin partisipasi warga negara di lokasi baru kekuasaan, apakah itu supranasional atau subnasional, publik atau privat. Imigran yang telah menetap di satu negara dalam jangka waktu tertentu bisa mendapatkan status khusus atau quasicitizenship, atau denizen (warganegara asing dengan status penduduk legal dan permanen). Kemunculan dua istilah ini juga diakibatkan perkembangan standar hak asasi manusia bagi imigran seperti yang telah terdapat dalam norma-norma internasional.14 Terdapat perbedaan dalam kebijakan imigrasi yang dimiliki negara-negara. Negara imigrasi klasik (seperti Australia dan Amerika Serikat) biasanya mendorong reuni keluarga dan pemukiman permanen, serta memperlakukan imigran legal sebagai warga negara masa depan. Kelompok negara kedua seperti Inggris, Prancis, dan Belanda, adalah negara dimana imigran dari koloni terdahulu seringkali diterima sebagai warganegara, namun imigran dari negara lain biasanya mengalami keadaan yang bertolak belakang. Tipe negara ketiga adalah negara yang mencoba untuk berpegang teguh pada model “tamu pekerja” yang mencoba mencegah reuni keluarga, dan tidak mau memberikan status penduduk legal dengan banyak aturan naturalisasi.15 Dengan status tidak tetapnya, para imigran dapat bertempat tinggal dan membentuk komunitas, namun mereka tidak dapat merencakan masa depan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. Hasilnya adalah isolasi, separatisme, dan penekanan pada perbedaan.
PEMBAHASAN
14 15
Ibid, hlm. 44-45. Ibid, hlm. 251.
[5]
Semenjak kemerdekaannya, politik Malaysia memang didasari oleh etnisitas. Perundingan UMNO (United Malays National Organization, partai yang sampai sekarang mendominasi parlemen Malaysia), MCA (Malaysia Chinese Association) dan Inggris pada sekitar tahun 1955-1956 (delapan atau tujuh tahun sebelum Malaysia merdeka pada tahun 1963) menghasilkan kesepakatan bahwa kaum bumiputera yang akan menjalankan Malaysia dengan kompensasi etnis Cina dan India di sana akan mendapatkan kursi perwakilan yang proporsional, menjalankan negara bagian di mana mereka mendapat suara mayoritas, dan mendapat perlindungan ekonomi.16 Semenjak itu, politik Malaysia didominasi kaum elite masyarakat Melayu. Etnis Melayu juga memegang kontrol terhadap birokrasi, polisi, angkatan bersenjata. Hak-hak istimewa untuk bangsa pribumi dengan sengaja ditetapkan agar konstitusi melindungi dan memelihara kehormatan penduduk pribumi di hadapan penduduk non-pribumi. Hal ini tak lain dan tak bukan dikarenakan ketakutan dan trauma masyarakat Melayu terhadap kedatangan etnis lain. Karena ketika Inggris pertama kali mendatangkan para imigran dari suku Tamil, India Selatan untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan Malaysia, imigran dari Cina Selatan ikut tertarik datang dan mendominasi di berbagai wilayah Malaysia hingga masyarakat Melayu tradisional memiliki kesulitan dalam menghadapi perpolitikan yang dikuasai Inggris dan perekonomian yang dikuasai Cina.17 Dominasi kaum pribumi (Melayu) di Malaysia turut didukung oleh pemerintahnya yang semidemokratis dan cenderung otoriter. Namun sejak tahun 1991, pemerintahan PM Mahathir Muhammad mulai memperkenalkan proyek Bangsa Malaysia dalam Visi 2020. Proyek Bangsa Malaysia sejatinya merupakan bagian dari Visi 2020 yang dilaksanakan oleh pemerintah Malaysia mempunyai tujuan untuk membentuk “bangsa Malaysia yang bersatu dan terindustrialisasi dalam bentukannya sendiri” dapat dilihat sebagai usaha untuk merekonstruksi nasionalisme Malaysia dengan dasar komponen “sekular-materialis”. Dengan pengenalan ide Bangsa Malaysia, pemerintah Malaysia terlihat berusaha memformulasi dasar tengah melalui konsolidasi nasionalisme dan pluralisme kultural Malaysia, sehingga menggambarkan bangsa sebagai “mosaik budaya-budaya yang berbeda” dan menciptakan identitas bangsa supraetnis.18 Pemerintah Malaysia mengharapkan melalui Visi ini, masyarakat Malaysia tidak akan lagi terkotak-kotak dalam etnis masing-masing demi pembangunan ekonomi menuju Malaysia yang terindustrialisasi. 2.1 Sejarah Perkembangan Kebijakan Imigrasi di Malaysia Sebelum tahun 1930, imigrasi tidak dibatasi di Malaysia. Namun, setelah penurunan ekonomi global tahun 1930, Malaysia mulai membatasi migrasi tenaga kerja. Setelah kemerdekaannya pada tahun 1957, imigrasi terhenti. Negara Malaysia baru yang mengedepankan globalisasi ekonomi, memulai membuat batasan hanya migran-migran yang memiliki kemampuan saja yang dapat masuk ke Malaysia demi kesuksesan strategi pembangunan. Perubahan kembali terjadi pada tahun 1980, dimana jangkauan globalisasi menjadi lebih luas, 16
Sar Desai, South East Asia Past and Present, (Colorado: Westview Press, 1997, hlm. 287. Ibid, hlm. 285. 18 Mohamed Mustafa Ishak, “Managing Ethnicity and Constructing the ‘Bangsa Malaysia’ (A United Malaysian Nation)”, dalam Malaysian Management Journal 6 (1 &2), hlm. 110, 2002. 17
[6]
dan terdapat fase kedua jumlah migrasi pekerja internasional yang besar, membuat Malaysia mengevolusi rejim kontrol batas yang baru. Pergerakan pekerja yang memiliki kemampuan dan yang tidak menjadi karakteristik utama migrasi pekerja internasional yang baru.19 Terdapat empat faktor yang mempengaruhi arah kebijakan pengungsi di Malaysia: 1) Warisan sejarah demografis negara dan latar belakang etnis yang membantu menghasilkan kultur politik dan mengarahkan kebijakan awal pengungsi pada tahun 70an; 2) situasi geopolitik dan ekonomi di Asia Tenggara; 3) kedua faktor diatas membantu perkembangan rejim kontrol batas Malaysia dan kebijakan imigrasinya, terutama dalam konteks hubungan migrasi-pengungsi; 4) kebijakan pengungsi di Malaysia berada di luar kerangka kerja HAM. Dalam hukum negaranya, Malaysia hanya mengakui dua tipe migran, yaitu migran legal yang terdokumentasi dan migran illegal yang tidak terdokumentasi. Jumlah migran illegal ini mencapai 800.000 hingga satu juta orang (Agence France-Presse, 14 Juli 2006; Kanapathy 2006; Malaysiakini, 2 Maret 2007), dan lebih dari 150.000 diantaranya adalah pengungsi dan pencari suaka. Malaysia cenderung gagal dalam meregulasi mobilitas ini karena signifikansi pekerja migran terhadap ekonomi nasional, patroli batas wilayah yang kurang, serta proses dokumentasi yang longgar.20 Malaysia memiliki Immigration Act 1951/1963 yang menjadi dasar prosedur dan regulasi imigrasi. Dalam aturan ini, siapapun yang masuk negara secara illegal akan dihukum dengan berat.21 Sementara itu, pencari suaka diakui sebagai imigran illegal oleh negara dan tidak ada prosedur untuk mengidentifikasi mereka atau menginformasikan UNHCR mengenai mereka.22 Artinya, pengungsi pencari suaka dari luar Malaysia akan langsung dianggap pemerintah Malaysia sebagai imigran illegal dan mendapat hukuman. Menurut Amandemen Immigration Act tahun 1997 dan 2002, mereka akan mendapat hukuman lima tahun penjara, denda US$ 2600, dan enam cambukan rotan. US State Department mencatat terdapat 47 pusat detensi pada tahun 2006, yang kesemuanya melebihi kapasitas.23 US Committee for Refugee and Immigrants Annual World Refugee Survey 1995 menempatkan Malaysia pada kategori terburuk untuk perlakuan terhadap pengungsi dan pencari suaka, Kategori ini didasarka pada praktek pemulangan kembali pengungsi, detensi, pengabaian proteksi fisik terhadap pengungsi, hak untuk mendapat penghidupan, hak untuk bergerak dan bertempat tinggal. Survey yang sama pada tahun 2006 hanya menunjukkan sedikit kemajuan pada hak untuk bergerak dan bertempat tinggal. Selain itu, meskipun Malaysia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, Malaysia tidak memberikan pendidikan dasar atau layanan kesehatan gratis bagi pengungsi dan pencari suaka anak-anak.24 2.2 Pembedaan Ras dan Etnis dalam Kebijakan Imigrasi Malaysia 19
Amarjit Kaur, “Refugees and Refugee Policy in Malaysia”, dalam UNEAC Asia Papers, No. 18, 2008, hlm. 77-78. Sanjugta Vas Des, op. cit., hlm. 41. 21 Amarjit Kaur, op.cit., hlm. 81. 22 Sanjugta Vas Des, op. cit., hlm. 42 23 Amarjit Kaur,op.cit., hlm. 82. 24 Ibid, hlm. 84. 20
[7]
Sejak kemerdekaannya, Malaysia mempunyai rejim kontrol batas yang memperkenalkan pembedaan antara orang-orang “asli” dan “asing”. Hanya pekerja migran yang tidak memiliki kemampuan dari Indonesia yang dapat diterima di perusahaan-perusahaan Malaysia (karena dianggap memiliki kesamaan kultur dan ras). Setelah kerusuhan rasial pada tahun 1969, pemerintah mengadopsi kebijakan affirmative action dan memberikan preferensi terhadap etnis Melayu dan kelompok-kelompok penduduk asli lainnya, serta memperketat batasan rasial dan etnis. Kebijakan ini memberatkan tidak hanya pada pekerja migran baru, namun juga pada pengungsi Moro dari Filipina, dan Indocina pada tahun 1970an.25 Data World Refugee Survey 2006 Country Report, Malaysia dari U.S. Committee for Refugees and Immigrants menunjukkan bahwa negara asal pengungsi dan pencari suaka di Malaysia yang terbanyak adalah Filipina (Muslim dari Mindanao), disusul Myanmar (Kristiani Chin dan Muslim Rohingya), lalu Indonesia (Aceh). Jumlah pengungsi dari Filipina mencapai 66.800, Myanmar mencapai 53.000, dan dari Indonesia mencapai 30.000.26 Orang-orang Aceh dan Rohingya yang muslim diberikan perlindungan sementara sebagai kelompok oleh pemerintah Malaysia. Mereka tidak berhak untuk berpindah tempat tinggal, namun mereka difasilitasi untuk kembali ke negara asal. Pada tahun 2004, pemerintah Malaysia mengumumkan bahwa mereka akan meregulasi pengungsi Rohingya dan memberi mereka izin bekerja. Satu tahun berikutnya, pengungsi Aceh diberi izin bekerja IMM13. Sementara, para pengungsi Chin yang Kristiani tidak mendapat izin bekerja. 27 Sebenarnya, pemerintah Malaysia (terutama negara bagian Sabah) hanya mengakui pengungsi muslim Mindanao dari Filipina. Pemerintah bekerjasama dengan anggota UNHCR bantuan kepada mereka berupa tempat tinggal, layanan kesehatan, dan pendidikan bagi anak-anak sejak tahun 1977-1986. Ketika situasi politik Filipina berubah tahun 1986, pemerintah Malaysia membantu kepulangan para pengungsi ke negara asalnya. Namun keadaan berubah ketika tahun 2000, seorang separatis Moro menculik seorang turis dan orang Malaysia dari resort Malaysia. Sejak itu, Malaysia mencabut status pengungsi orang-orang Filipina pada tahun 2001.28 Pengungsi Chin adalah penghuni paling banyak dari pusat-pusat detensi yang ada (data Pusat Pengungsi Chin tahun 2006 mengatakan berjumlah 14.000). Mereka tidak diberikan hak untuk bekerja, sehingga sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan. Pengungsi Rohingnya juga terusir oleh pemerintah Myanmar sejak 1970an, dan sampai di Malaysia pada tahun 1980an. Mereka mengalami penyiksaan baru di Malaysia seperti pemukulan, pemerasan, dan detensi sewenang-wenang. Mereka hidup dalam kemiskinan dan tidak diperbolehkan sekolah atau mendapat akses layanan kesehatan. Malaysia tidak memulangkan pengungsi Myanmar ke negara asalnya, namun mengusirnya ke Thailand karena mereka masuk melalui perbatasan Thailand. Pengungsi-pengungsi ini terkadang harus membayar uang tebusan, atau diselundupkan kembali ke
25
Ibid, hlm. 80. Ibid, hlm. 85. 27 Ibid, hlm. 86-87. 28 Ibid, hlm. 87. 26
[8]
Malaysia, atau “dijual” (trafficked).29 Hingga 2009 kemarin, penangkapan dan penyiksaan terhadap pengungsi Rohingnya tetap terjadi. Malaysia menangkap 11 orang pengungsi Rohingya dari Myanmar (termasuk anakanak dan perempuan hamil) pada 31 Agustus 2009. Dua orang pengungsi lainnya juga ditangkap di Penang pada 15 Juli 2009.30 Keadaan di atas sangat berbeda dengan keadaan pengungsi Aceh di Malaysia, ketika era konflik GAMRI terjadi. Walaupun Malaysia menganggap mereka sebagai migran yang tidak memiliki dokumen, namun mereka tetap diberi izin untuk tinggal karena mereka akan diprosekusi jika kembali ke Malaysia. Saat krisis ekonomi 1997-1998 terjadi, Malaysia sempat mengubah kebijakannya dan mendeportasi migran-migran illegal termasuk dari Aceh. Setelah kondisi di Aceh membaik setelah MoU RI-GAM ditandatangani, banyak pengungsi Aceh yang kembali ke Indonesia dengan sendirinya. Pada tahun 2005, Malaysia memberikan 32.000-35.000 izin bekerja bagi migran Aceh.31 Perlakuan yang baik juga diberikan bagi penungsi Muslim Pattani dari Thailand. Pengungsi Muslim Pattani dari Thailand juga mencari suaka di Malaysia akibat dari kondisi politik negerinya sejak tahun 2004. Pada tahun 2005, pemerintah Malaysia memindahkan 131 pencari suaka dari Thailand ke depot imigrasi di Terengganu untuk memberi tempat tinggal yang lebih nyaman bagi para pengungsi.32 Kemudian pada bulan September tahun 2005 pula, Mahathir Muhammad memutuskan memberi suaka bagi para pengungsi Pattani.33 Walaupun sejak tahun 2001 Malaysia telah mencoba mengimplementasikan Proyek Bangsa Malaysia dalam Visi 2020, namun Malaysia tetap melakukan pembedaan kultural dan agama terhadap penungsi dan pencari suaka yang datang. 2.3 Analisis Kebijakan migrasi di Malaysia dipengaruhi oleh tiga faktor: dimensi ekonomi, politik, dan sosial. Dimensi ekonomi terlihat dari kebutuhan Malaysia akan imigran sebagai pekerja demi pembangunan ekonomi. Malaysia pun membuka batas wilayahnya seluas-luasnya ketika ia baru merdeka dan membutuhkan banyak pekerja untuk pembangunan. Ketika Malaysia sedang mengalami krisis ekonomi, Ia pun membatasi jumlah migran yang masuk agar tidak membuat pengeluaran untuk mengurus pekerja-pekerja ini memperburuk kondisi ekonomi Malaysia. Perubahan kebijakan ini sangat bergantung pada kondisi ekonomi Malaysia pada saat tertentu. Faktor politik juga mempengaruhi perubahan kebijakan Malaysia. Ketika Malaysia mengeluarkan kebijakan affirmative action terhadap etnis Melayu dalam seluruh kebijakan dalam negerinya, Malaysia pun menerapkan kebijakan affirmative action ini dalam kebijakan imigrasinya. Imigran yang datang dari negara-negara seperti Indonesia yang beretnis Melayu diberikan izin masuk dan bekerja, sementara etnis 29
Ibid, hlm. 87-88.
30
11 Refugees Arrested In Alor Star, Malaysia, diakses dari http://saverohingya.com/11-refugees-arrested-in-alor-starmalaysia.html, tgl 5 Oktober 2009, pkl 13.35 WIB. 31 Ibid, hlm. 88. 32 Thaksin Kecam Aktivis Malaysia, diakses dari http://www.muslimconsumer.org.my/ppim/print.php?news.40, tgl 16 Oktober 2009, pkl 2.58 WIB. 33 Malaysia Defence & Security Report Q2 2009, (London: Business Monitor International, Ltd., 2009), hlm. 20
[9]
lain yang berkulit kuning tidak diberikan izin untuk masuk. Akar dari kebijakan ini adalah faktor sosial yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat Malaysia. Di masa lalunya, orang-orang etnis Cina pernah mendominasi kehidupan bangsa pribumi ketika pertama kali kedatangannya. Hal ini menimbulkan trauma dan paradigma bahwa etnis selain Melayu adalah ancaman bagi kehidupan ekonomi dan sosial bangsa pribumi (etnis Melayu). Latar belakang ini berdampak pada kebijakan migrasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu pembatasan izin masuk bagi etnis-etnis non-Melayu karena mereka dipandang sebagai ancaman bagi kehidupan sosial. Dari latar belakang itulah praktek rasisme dalam kebijakan migrasi di Malaysia terjadi. Praktek rasisme yang dilakukan dalam kebijakan migrasi Malaysia tidak hanya didasarkan pada ras, namun juga atas dasar agama. Proses rasisme yang terdapat dalam kebijakan migrasi di Malaysia dapat dikategorikan dalam rasisme institusional, karena praktek ini dipertahankan dalam hukum yang ada. Berdasarkan penjelasan di atas, faktor yang paling mempengaruhi dalam praktek ini adalah faktor latar belakang sosial masyarakat di Malaysia, dimana masyarakat pribumi memandang etnis lain sebagai ancaman. Pembahasan di atas menunjukkan bahwa tipe kewarganegaraan yang dianut Malaysia adalah model etnis, dimana orang-orang yang memiliki etnis yang sama dengan penduduk asli dapat diterima dengan mudah sebagai penduduk, dan terdapat pengecualian terhadap etnis lain. Etnis yang diberikan keistimewaan adalah Melayu muslim, dan etnis yang dieksklusi adalah Cina Kristen meskipun jumlah mereka tidak lagi dikatakan sebagai minoritas. Dengan demikian, kebijakan imigrasi Malaysia lebih condong seperti kebijakan di negaranegara Inggris, Prancis, dan Belanda yang memberikan keistimewaan bagi imigran dari negara-negara bekas koloni. Pemberian keistimewaan ini dilatarbelakangi oleh kesamaan budaya, dimana imigran yang diberikan keistimewaan dianggap akan lebih mudah beradaptasi dengan kultur asli masyarakat setempat. Proyek Bangsa Malaysia dalam Visi 2020 yang telah dikampanyekan sejak 1991 tidak memberikan perubahan dalam kebijakan migrasi Malaysia, karena praktek kekerasan rasial terhadap etnis non-Melayu Islam tetap terjadi hingga sekarang. Dengan demikian, walau faktor atau kondisi ekonomi dalam negeri mempengaruhi kebijakan imigrasi Malaysia, namun praktek rasisme yang terdapat di dalamnya lebih didorong oleh latar belakang sosial masyarakat asli.
KESIMPULAN Malaysia yang merupakan negara favorit tujuan para pencari suaka merupakan salah satu negara dengan rekor perlindungan terhadap pengungsi yang datang terburuk di dunia. Malaysia memiliki Immigration Act 1951/1963 yang menjadi dasar prosedur dan regulasi imigrasi. Dalam aturan ini, siapapun yang masuk negara secara illegal akan dihukum dengan berat. Pengungsi dan pencari suaka yang masuk ke Malaysia [10]
langsung dianggap sebagai imigran illegal, dan disiksa dalam pusat-pusat detensi yang ada. Praktek rasisme dalam kebijakan imigrasi di Malaysia terjadi pada etnis Kristen Chin dan Rohingnya dari Myanmar, yang tidak diberikan izin tinggal, izin bekerja, bahkan tidak dibantu untuk kembali ke negara asal dan disiksa di pusatpusat detensi yang ada. Keadaan ini jauh berbeda dengan pengungsi atau pencari suaka Islam dari Aceh dan Pattani, Thailand. Mereka biasanya diberikan hak untuk tinggal, bekerja, dibantu untuk pulang ke negara asal atau diberikan tempat perlindungan sementara yang nyaman. Hal ini menunjukkan tipe kewarganegaraan yang dianut Malaysia adalah model etnis, dimana orangorang yang memiliki etnis yang sama dengan penduduk asli dapat diterima dengan mudah sebagai penduduk, dan terdapat pengecualian terhadap etnis lain. kebijakan imigrasi Malaysia lebih condong seperti kebijakan di negara-negara Inggris, Prancis, dan Belanda yang memberikan keistimewaan bagi imigran dari negara-negara bekas koloni. Penulis mengambil kesimpulan bahwa akar dari praktek rasisme ini adalah latar belakang sosial masyarakat pribumi Malaysia yang memiliki pandangan bahwa etnis lain adalah ancaman bagi kehidupan sosial dan ekonomi mereka sejak lama. Walau faktor atau kondisi ekonomi dalam negeri mempengaruhi kebijakan imigrasi Malaysia, namun praktek rasisme yang terdapat di dalamnya lebih didorong oleh latar belakang sosial masyarakat asli. Dengan demikian, praktek rasisme terhadap para pengungsi dan pencari suaka di Malaysia telah terinternalisasi dalam paradigma masyarakat asli disana. Penyelesaian masalah ini pun tidak mudah karena membutuhkan usaha untuk mengubah stigma yang melekat dalam masyarakat etnis Melayu bahwa kedatangan etnis lain adalah ancaman. Setelah perubahan stigma terjadi, kita pun harus mengubah kebijakan-kebijakan dari pemerintah Malaysia yang cenderung otoriter. Kedua hal ini harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah rasisme yang menimpa pengungsi dari etnis selain Melayu Islam. Namun, melakukan keduanya akan membutuhkan waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Castles, Stephen dan Mark J. Miller. The Age of Migration, 4th Ed. (London: The Guilford Press, 2009). Cipto, Bambang, Hubungan Internasional di Asia Tenggara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). Desai, Sar, South East Asia Past and Present, (Colorado: Westview Press, 1997). [11]
White, Brian et al. (eds.), Issues in World Politics (2nd Ed.) (London: Palgrave/Macmillan, 2001). Geopolitics, 12 (Routledge: 2007). Malaysia Defence & Security Report Q2 2009. (London: Business Monitor International, Ltd., 2009). Identities: Global Studies in Culture and Power, 16:1 (Routledge: 2009). Artikel Jurnal: Ishak, Mohamed Mustafa, “Managing Ethnicity and Constructing the ‘Bangsa Malaysia’ (A United Malaysian Nation)”, Malaysian Management Journal 6 (1 &2), hlm. 99-115. 2002. Kaur, Amarjit, “Refugees and Refugee Policy in Malaysia”, UNEAC Asia Papers, No. 18, hlm. 77-90. 2008. Internet: http://www.alrc.net/doc/mainfile.php/60written/254/ http://www.muslimconsumer.org.my/ppim/print.php?news.40 http://www.projectmalaysia.org/2008/11/bangsa-malaysia-melalui-sistem-pendidikan/all/1 http://saverohingya.com/11-refugees-arrested-in-alor-star-malaysia.html http://www.unhcr.org/pages/49c3646c137.html http://www.unhcr.org.my/cms/basic-facts/statistics Lain-lain: United Nations Convention Relating to the Status of Refugee 1951
[12]
View more...
Comments