Makalah Zia ( Imunitas Seluler)
April 14, 2019 | Author: zerayafahlevi | Category: N/A
Short Description
akademi farmasi yarsi pontianak...
Description
MAKALAH BIOKIMIA IMUNITAS SELULER
Dosen: Aah Nugraha, M.Sc, Apt Disusun Oleh: ZIA FAHLEFI 139009 Tingkat :
A
(SEMESTER
)
AKADEMI FARMASI YARSI PONTIANAK TAHUN AJARAN 2014/2015 1
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul: “IMUNITAS SELULER
”
Penulis menyadari menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
i
DAFTAR ISI PENDAHULUAN ............................................................................................................................................. 1
A.
Latar Belakang ..................................................................................................................................
1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................................
3
C. Tujuan ..................................................................................................................................................
3
BAB II............................................................................................................................................................. II.............................................................................................................................................................
4
PEMBAHASAN PEMBAHASAN .............................................................................................................................................. 4
A.
B.
IMUNITAS SELULER ..................................................................................................................
4
1.
SEL LIMFOSIT T .........................................................................................................................
8
2.
AKTIVASI SEL T ......................................................................................................................
3.
FASE-FASE RESPONS SEL T .................................................................................................. 11
4.
PERAN KO-STIMULASI DALAM AKTIVASI SEL T ........................................................... 12
5.
...................................................................... 13 RESPONS IMUN SELULAR DALAM KLINIK ......................................................................
6.
MEKANISME IMUNITAS SELULER .....................................................................................
16
7.
FUNGSI RESPON IMUN : ........................................................................................................
17
A.
Sel T helper .................................................................................................................................
18
B.
CTL (Cytotoxic T Limfosit) ........................................................................................................ 19
C.
Peran sel T suppressor (Ts) (CD8) .............................................................................................
20
D.
Makrofag ....................................................................................................................................
20
E.
Sel NK (Natural Killer) ..............................................................................................................
20
8.
FUNGSI IMUNITAS SELULER : .............................................................................................
21
10
IMPLEMENTASI IMUNOLOGI DALAM KEHIDUPAN ............... ................. .................. .... 22
BAB III III ......................................................................................................................................................... 29 PENUTUP PENUTUP .................................................................................................................................................... 29
KESIMPULAN .......................................................................................................................................
29
SARAN ...................................................................................................................................................
30
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................
31
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sejak lahir setiap individu sudah dilengkapi dengan sistem pertahanan, sehingga tubuh
dapat mempertahankan keutuhannya dari berbagai gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam tubuh. Sistem imun dirancang untuk melindungi inang (host (host ) dari patogen-patogen penginvasi dan untuk menghilangkan penyakit. Sistem imun diklasifikasikan sebagai sistem imun bawaan (innate (innate immunity system) system) atau sering juga disebut respon/sistem nonspesifik serta sistem imun adaptif (adaptive (adaptive immunity system) system) atau respon/sistem spesifik, bergantung pada derajat selektivitas mekanisme pertahanan. Sistem imun terbagi menjadi dua cabang: imunitas humoral, yang merupakan fungsi protektif imunisasi dapat ditemukan pada humor dan imunitas selular, yang fungsi protektifnya berkaitan dengan sel. Imunologi adalah cabang ilmu biomedis yang berkaitan dengan respons organisme terhadap penolakan antigenik, pengenalan diri sendiri dan bukan dirinya, serta semua efek biologis, serologis dan kimia fisika fenomena imun. Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur patogen, misalnya bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada manusia normal umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia memiliki suatu sistem yaitu sistem imun yang melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen. Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Dalam menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya. Sistem pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe 1
pertahanan yang mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan dibangkit kan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang terakhir ini, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat secara akt if dan didapat secara pasif. Imunitas selular adalah respon imun yang dilakukan oleh molekul-molekul protein yang tersimpan dalam limfa dan plasma darah. Imunitas ini dimediasi oleh sel limfosit T. Mekanisme ini ditujukan untuk benda asing yang dapat menginfeksi sel (beberapa bakteri dan virus) sehingga tidak dapat dilekati oleh antibodi.
2
B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dari imunitas seluler? 2.
Apa implementasi dari imunologi dalam kehidupan?
C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian imunitas seluler. 2.
Untuk mengetahui implementasi imunologi dalam kehidupan.
3
BAB II PEMBAHASAN
A. IMUNITAS SELULER Imunitas seluler merupakan bagian dari respon imun didapat yang berfungsi untuk
mengatasi infeksi mikroba intraseluler. Imunitas seluler diperantarai oleh limfosit T. Terdapat 2 jenis mekanisme infeksi yang menyebabkan mikroba dapat masuk dan berlindung b erlindung di dalam sel. Pertama, mikroba diingesti oleh fagosit pada awal respons imun alamiah, namun sebagian dari mikroba tersebut dapat menghindari aktivitas fagosit. Sebagian mikroba tersebut dapat memasuki sitoplasma sel dan bermutltiplikasi menggunakan nutrien dari sel tersebut. Mikroba tersebut terhindar dari mekanisme mikrobisidal. Kedua, virus dapat berikatan dengan reseptor pada berbagai macam sel, kemudian bereplikasi di dalam sitoplasma sel. Sel tersebut tidak mempunyai mekanisme intrinsik untuk menghancurkan virus. Beberapa virus menyebabkan infeksi laten, DNA virus diintegrasikan ke dalam genom pejamu, kemudian protein virus diproduksi di sel tersebut. Masuknya antigen ke dalam tubuh akan mengakibatkan suatu seri kejadian yang sangat kompleks yang dinamakan respons imun. Secara garis besar, respons imun terdiri atas respons imun selular dan humoral. Sebenarnya kedua macam respons imun ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, oleh karena respons yang terjadi pada umumnya merupakan gabungan dari kedua macam respons tersebut. Hanya saja pada keadaan tertentu imunitas selular lebih berperan daripada respons humoral, sedang pada keadaan lainnya imunitas humoral yang lebih berperan. Eliminasi mikroba yang berada di vesikel fagosit atau sitoplasma sel merupakan fungsi utama limfosit T pada imunitas didapat. Sel T helper CD4+ juga membantu sel B memproduksi antibodi. Dalam menjalankan fungsinya, sel T harus berinteraksi dengan sel lain seperti fagosit, sel pejamu yang terinfeksi, atau sel B. Sel T mempunyai spesifisitas terhadap peptida tertentu yang ditunjukkan dengan major histocompatibility complex (MHC). Hal ini membuat sel T hanya dapat merespons antigen yang terikat dengan sel lain. 4
Imunitas seluler bergantung pada peran langsung sel-sel (sel limfosit) dalam menghancurkan patogen. Setelah kontak pertama dengan sebuah antigen melalui makrofag, sekelompok limfosit T tertentu dalam jaringan limfatik akan membesar diameternya. diameternya. Setelah itu, berkembang biak dan berdiferensiasi menjadi beberapa sub populasi. Sub populasi tersebut, antara lain sel T sitotoksik (cytotoxic T cell ), sel T penolong ( helper T cell), cell), sel T supressor (supressor T cell), dan sel T memori (memory T cell ). ). Tugas utama imunitas seluler adalah untuk menghancurkan sel tubuh yang telah terinfeksi patogen, misalnya oleh bakteri atau virus. Bakteri atau virus yang telah menyerang sel tubuh akan memperbanyak diri dalam sel tubuh tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh antibodi tubuh. Sebenarnya hanya sel T sitotoksik saja yang dapat menghancurkan sel yang terinfeksi. Sel yang terinfeksi memiliki antigen asing milik virus atau bakteri yang menyerangnya. Sel T sitotoksik membawa reseptor yang dapat berikatan dengan antigen sel terinfeksi. Setelah berikatan dengan d engan sel yang terinfeksi, sel T sitotoksik menghasilkan protein perforin yang dapat dap at melubangi membran sel terinfeksi. Dengan adanya lubang, enzim sel T dapat masuk dan menyebabkan kematian pada sel terinfeksi beserta patogen yang menyerangnya. Kekebalan selular adalah respon imun yang tidak mengikutsertakan antibodi, tetapi mengikutsertakan aktivasi makrofaga, sel NK, sel T sitotoksik yang mengikat antigen tertentu, dan dikeluarkannya berbagai sitokina sebagai respon terhadap antigen. Sistem imun terbagi menjadi dua cabang: imunitas humoral, yang merupakan fungsi protektif imunisasi dapat ditemukan pada humor dan imunitas selular, yang fungsi protektifnya berkaitan dengan sel. Imunitas selular didefinisikan sebagai suatu respons imun terhadap antigen yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya.
5
Imunitas seluler merupakan bagian dari respons imun didapat yang berfungsi untuk mengatasi infeksi mikroba intraseluler. Imunitas seluler diperantarai oleh limfosit T. Terdapat 2 jenis mekanisme infeksi yang menyebabkan mikroba dapat masuk dan berlindung di dalam sel. Pertama, mikroba diingesti oleh fagosit pada awal respons imun alamiah, namun sebagian dari mikroba tersebut dapat menghindari aktivitas fagosit. Bakteri dan protozoa intraseluler yang patogen dapat bereplikasi di dalam vesikel fagosit. Sebagian mikroba tersebut dapat memasuki sitoplasma sel dan bermultiplikasi menggunakan nutrien dari sel tersebut. Mikroba tersebut terhindar dari mekanisme mikrobisidal. Kedua, virus dapat berikatan dengan reseptor pada berbagai macam sel, kemudian bereplikasi di dalam sitoplasma sel. Sel tersebut tidak mempunyai mekanisme intrinsik untuk menghancurkan virus. Beberapa virus menyebabkan infeksi laten, DNA virus diintegrasikan ke dalam genom pejamu, kemudian protein virus diproduksi di sel tersebut.
6
Masuknya antigen ke dalam tubuh akan mengakibatkan suatu seri kejadian yang sangat kompleks yang dinamakan respons imun. Secara garis besar, respons imun terdiri atas respons imun selular dan humoral.
Sebenarnya kedua macam respons imun ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, oleh karena respons yang terjadi pada umumnya merupakan gabungan dari kedua macam respons tersebut. Hanya saja pada keadaan tertentu imunitas selular lebih berperan daripada respons humoral, sedang pada keadaan lainnya imunitas humoral yang lebih berperan.
Eliminasi mikroba yang berada di vesikel fagosit atau sitoplasma sel merupakan fungsi +
utama limfosit T pada imunitas didapat. Sel T helper CD4 CD4 juga membantu sel B memproduksi antibodi. Dalam menjalankan fungsinya, sel T harus berinteraksi dengan sel lain seperti fagosit, sel pejamu yang terinfeksi, atau sel B. Sel T mempunyai spesifisitas terhadap
peptida
tertentu
yang
ditunjukkan
denganmajor denganmajor
histocompatibility
complex (MHC). complex (MHC). Hal ini membuat sel T hanya dapat merespons antigen yang terikat dengan sel lain.
7
1. SEL LIMFOSIT T Pada mulanya kita hanya mengenal satu macam limfosit. Tetapi dengan perkembangan di
bidang teknologi kedokteran, terutama sejak ditemukannya antibodi monoklonal, maka kita mengetahui bahwa ada 2 macam limfosit, yaitu limfosit T dan limfosit B. Keduanya berasal dari sel asal ( stem cell ) yang bersifat multipotensial, artinya dapat berkembang menjadi berbagai macam ma cam sel induk ind uk seperti sel induk eritrosit, sel induk granulosit, sel induk limfoid, dan lain-lain. Sel induk limfoid kemudian berkembang menjadi sel pro-limfosit T dan sel pro-limfosit B. Sel pro-limfosit T dalam perkembangannya dipengaruhi timus yang disebut 8
juga organ limfoid primer, oleh karena itu dinamakan dinama kan limfosit T. Sedangkan sel pro-limfosit B dalam perkembangannya dipengaruhi oleh organ yang pada burung dinamakan bursa fabricius atau gut-associated atau gut-associated lymphoid tissue, karena itu dinamakan limfosit B.
Perkembangan sel limfosit T intratimik membutuhkan asupan sel asal limfoid terus-menerus yang pada fetus berasal dari yolk dari yolk sac, sac, hati, serta sumsum tulang; dan sesudah lahir dari sumsum tulang. Sel yang berasal dari hati fetus dan sumsum tulang yang bersifat multipotensial itu dalam lingkungan mikro timus akan berkembang menjadi sel limfosit T yang matur, toleran diri ( self self tolerant ) dan terbatas MHC diri (major (major histocompatibllity complex restricted ). ). Di dalam timus, dalam proses menjadi limfosit matur terlihat adanya penataan kembali gen yang yan g produk molekulnya merupakan reseptor antigen pada permukaan limfosit T (TCR) dan juga ekspresi molekul-molekul pada permukaan limfosit T yang dinamakan petanda permukaan ( surface surface marker ) limfosit T. Dinamakan petanda permukaan limfosit T karena molekul tersebut dapat membedakan limfosit T dengan limfosit lainnya. Di dalam timus, sebagian besar sel limfosit T imatur akan mati dengan proses yang dinamakan apoptosis. Apoptosis adalah kematian sel yang diprogram (fisiologis) demi kebaikan populasi sel lainnya. Sedangkan nekrosis atau disebut juga kematian sel accidental adalah kematian sel karena kerusakan berat (patologis), misalnya akibat infeksi mikroorganisme, trauma fisis, zat kimia, hipertermia, iskemia, dan lain-lain.
TCR merupakan kompleks glikoprotein yang terdiri terdiri atas rantai α, β atau γ, δ. Sebagian besar TCR matur merupakan dimer α, β sedangkan dimer γ, δ merupakan TCR limfosit T awal (early). early). Hanya 0,5-10% sel T matur perifer mempunyai TCR, yaitu limfosit T yang yang tidak memperlihatkan petanda permukaan CD4 dan CD8 yang dinamakan sel limfosit T negatif ganda (double (double negative = DN ). ). Sel DN matur ini dapat mengenal aloantigen kelas I, mungkin juga aloantigen kelas II, dengan mekanisme yang belum jelas. Masih belum jelas pula apakah sel DN matur juga dapat mengenal antigen asing. Gen yang mengkode TCR terletak pada kromosom 14 (α,γ) dan kromosom 7 (β,δ). Gen ini merupakan anggota dari superfamili gen imunoglobulin, karena itu molekul TCR mempunyai struktur dasar yang sama dengan struktur dasar imunoglobulin. Segmen gen ini ada yang akan membentuk daerah variabel M dari TCR, daerah diversitas (D), daerah joining daerah joining (J), dan daerah konstan (C). Karena segmen gen ini terletak terpisah, maka perlu diadakan penataan kembali gen VDJC atau VJC agar dapat ditranskripsi dan menghasilkan produk berupa TCR. Penataan kembali segmen DNA 9
ini akan memungkinkan keragaman (diversity (diversity)) spesifisitas TCR yang luas. Setiap limfosit T hanya mengekspresikan satu produk kombinasi VDJC atau VJC, yang membedakan klon yang satu dari klon lainnya.
Limfosit T yang mempunyai TCR antigen diri ( self self antigen) antigen) akan mengalami apoptosis karena ia telah terpajan secara dini pada antigen diri dan mati insitu dengan mekanisme yang belum jelas. Karena itu, limfosit matur yang keluar dari timus adalah limfosit yang hanya bereaksi dengan antigen non self dan dinamakan toleran diri. Di dalam timus, limfosit T juga mengalami pengenalan antigen diri hanya bila berasosiasi dengan molekul MHC diri, melalui proses yang juga belum diketahui dengan jelas yang dinamakan terbatas te rbatas MHC diri. Molekul TCR III diekspresikan pada membran sel T bersama molekul CD3, yaitu salah satu molekul petanda permukaan sel T.
2. AKTIVASI SEL T Sel limfosit T biasanya tidak bereaksi dengan antigen utuh. Sel T baru bereaksi terhadap
antigen yang sudah diproses menjadi peptida kecil yang kemudian berikatan dengan molekul MHC di dalam fagosom sitoplasma dan kemudian diekspresikan ke permukaan sel. Sel limfosit T hanya dapat mengenal antigen dalam konteks molekul MHC diri. Molekul CD4 dan CD8 merupakan molekul yang menentukan terjadinya interaksi antara CD3/TCR dengan kompleks MHC/antigen. Sel T CD4 akan mengenal antigen dalam konteks molekul MHC kelas II, sedang sel T CD8 akan mengenal antigen dalam konteks molekul MHC kelas I.
Untuk dapat mengaktifkan sel T dengan efektif, perlu adanya adhesi antara sel T dengan sel APC atau sel sasaran (target). Adhesi ini, selain melalui kompleks CD4/CD8-TCR-CD3 dengan MHC kelas II/kelas I-ag, dapat juga ditingkatkan melalui ikatan reseptor-ligan lainnya. Reseptor-ligan tersebut antara lain, CD28-B7, LFA-I-ICAM1/2 (molekul asosiasi fungsi limfosit 1 = lymphocyte function associated 1, 1, molekul adhesi interselular l = inter cellular adhesion molecule 1), 1), CD2-LFA3, CD5-CD72
Terjadinya ikatan antara antigen dan TCR dinamakan tahapan primer. Aktivasi sel T juga memerlukan adanya stimulasi sitokin, seperti interleukin 1 (IL-1) yang dikeluarkan oleh sel APC yang dinamakan ko-stimulator. Sinyal adanya ikatan TCR dengan antigen akan ditransduksi melalui bagian TCR dan CD3 yang ada di dalam sitoplasma (lihat Gambar 10++
3). Sinyal ini akan mengaktifkan enzim dan mengakibatkan naiknya Ca bebas intraselular, 10
naiknya konsentrasi c-GMP dan terbentuknya protein yang dibutuhkan untuk transformasi menjadi blast. Terjadilah perubahan morfologis dan biokimia. Tahapan ini dinamakan tahapan sekunder. Kemudian terjadilah diferensiasi menjadi sel efektor/sel regulator dan sel memori. Sebagai akibat transduksi sinyal, juga terjadi ekspresi gen limfokin dan terbentuklah berbagai macam limfokin. Melalui pembentukan limfokin, sel regulator akan ak an meregulasi dan da n mengaktifkan sel yang berperan dalam eliminasi antigen, sedangkan sel efektor akan melisis antigen/sel sasaran atau menimbulkan peradangan pada tempat antigen berada, agar antigen tereliminasi. Tahapan ini dinamakan tahapan tersier. Tahapan ini dapat dipakai untuk menilai fungsi sel T.
3. FASE-FASE RESPONS SEL T Respons limfosit T terhadap antigen mikroba terdiri dari beberapa fase yang menyebabkan
peningkatan jumlah sel T spesifik dan perubahan sel T naif menjadi sel efektor. Limfosit T naif terus bersirkulasi melalui organ limfoid perifer untuk mencari protein antigen asing. Sel T naif mempunyai reseptor antigen dan molekul lain yang dibutuhkan dalam pengenalan antigen. Di dalam organ limfoid, antigen diproses dan ditunjukkan dengan molekul MHC pada antigen-presenting cell (APC), (APC), kemudian sel T bertemu dengan antigen tersebut untuk pertama kalinya. Pada saat itu, sel T juga menerima sinyal tambahan dari mikroba itu sendiri atau dari respons imun alamiah terhadap mikroba.
Sebagai respons terhadap stimulus tersebut, sel T akan mensekresi sitokin. Beberapa sitokin bekerja sama dengan antigen dan sinyal kedua dari mikroba untuk menstimulasi proliferasi sel T yang spesifik untuk antigen. Hasil dari proliferasi ini adalah penambahan jumlah limfosit spesifik antigen dengan cepat yang disebut clonal expansion. expansion. Fraksi dari limfosit ini menjalani proses diferensiasi dimana sel T naif (berfungsi untuk mengenal antigen mikroba) berubah menjadi sel T efektor (berfungsi untuk memusnahkan mikroba). Sebagian sel T efektor tetap di dalam kelenjar getah bening dan berfungsi untuk memusnahkan sel terinfeksi atau memberikan sinyal kepada sel B untuk menghasilkan antibodi. Sebagian sel T berkembang menjadi sel T memori yang dapat bertahan lama. Sel ini tidak aktif dan bersirkulasi selama beberapa bulan atau tahun, serta dapat merespons dengan cepat apabila terjadi paparan berulang dengan mikroba. Setelah sel T efektor berhasil mengatasi infeksi, stimulus yang memicu ekspansi dan diferensiasi sel T juga berhenti. Klon sel T yang sudah 11
+
terbentuk akan mati dan kembali ke keadaan basal. Hal ini terjadi pada sel T CD4 dan +
CD8 , namun terdapat perbedaan pada fungsi efektornya.
4. PERAN KO-STIMULASI DALAM AKTIVASI SEL T Aktivasi penuh sel T tergantung dari pengenalan ko-stimulator di APC. Ko-stimulator
merupakan “sinyal kedua” untuk aktivasi sel T. Istilah “ko“ko-stimulator” menunjukkan bahwa molekul tersebut memberikan stimuli kepada sel T bersama-sama dengan stimulasi oleh antigen. Contoh ko-stimulator adalah B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86). Keduanya terdapat pada APC dan jumlahnya meningkat bila APC bertemu dengan mikroba. Jadi, mikroba akan menstimulasi ekspresi B7 pada APC. Protein B7 dikenali oleh reseptor bernama CD28 yang terdapat pada sel T. Sinyal dari CD28 bekerja bersama dengan sinyal yang berasal dari pengikatan TCR dan ko-reseptor ko -reseptor kompleks peptida-MHC pada APC yang sama. Mekanisme ini penting untuk memulai respons pada sel T naif. Apabila tidak terjadi interaksi CD28-B7, pengikatan TCR saja tidak mampu untuk mengaktivasi sel T sehingga sel T menjadi tidak responsif. Antigen responsif. Antigen presenting cell (APC) juga mempunyai molekul lain yang struktur dan fungsinya serupa dengan B7-1 dan B7-2. Molekul B7-like Molekul B7-like ini penting pada aktivasi sel T efektor.
Molekul lain yang turut berperan sebagai ko-stimulator adalah CD40 pada APC dan ligan CD40 (CD154) pada sel T. Kedua molekul ini tidak berperan langsung dalam aktivasi sel T. Interaksi CD40 dengan ligannya menyebabkan APC membentuk lebih banyak ko-stimulator B7 dan sitokin seperti IL-12. Interaksi ini secara tidak langsung akan meningkatkan aktivasi sel T.
Pentingnya peran ko-stimulator dalam aktivasi sel T dapat menjelaskan mengapa antigen protein yang digunakan digun akan dalam vaksin tidak dapat menimbulkan respons imun sel T, kecuali jika antigen tersebut diberikan bersama dengan d engan bahan lain untuk mengaktivasi makrofag dan APC. Bahan ini disebut adjuvant dan adjuvant dan berfungsi untuk merangsang pembentukan kostimulator pada APC, serta untuk menstimulasi produksi sitokin dari APC. Sebagian besar adjuvant merupakan adjuvant merupakan
produk
mikroba
atau
bahan
yang
menyerupai
mikroba. Adjuvant mikroba. Adjuvant akan akan mengubah protein antigen inert agar agar menyerupai mikroba patogen.
+
Aktivasi sel T CD8 distimulasi oleh pengenalan peptida yang berhubungan dengan MHC kelas I, serta membutuhkan kostimulasi dan/atau sel T helper . Perkembangan sel T sitotoksik 12
+
+
CD8 pada infeksi virus membutuhkan sel T helper CD4 . Pada infeksi virus, sel yang terinfeksi dicerna oleh APC khususnya sel dendrit, kemudian antigen virus akan dipresentasikan silang (cross-presented (cross-presented ) oleh APC. Antigen APC. Antigen presenting cell (APC) cell (APC) akan mempresentasikan antigen dari sitosol sebagai kompleks dengan MHC kelas I, dan antigen +
dari vesikel sebagai kompleks dengan MHC kelas II. Oleh sebab itu, sel CD4 dan sel +
CD8 yang spesifik untuk antigen virus tersebut akan bekerja secara berdekatan. Sel +
+
TCD4 memproduksi sitokin atau molekul membran untuk mengaktivasi sel TCD8 , +
sehingga ekspansi klonal dan diferensiasi sel TCD8 menjadi sel T sitotoksik (TC) efektor +
dan memori tergantung dari bantuan sel TCD4 . Hal ini dapat menjelaskan terjadinya defek respons sel TC terhadap virus pada pasien human immunodeficiency virus (HIV). Selain respons yang telah dijelaskan di atas, terdapat pula respons sel TC terhadap beberapa virus +
yang tidak bergantung kepada bantuan sel T CD4 .
5. RESPONS IMUN SELULAR DALAM KLINIK Dalam klinik respons imun selular ini dapat kita lihat berupa hipersensitivitas kulit tipe
lambat, imunitas selular pada penyakit infeksi mikroorganisme intraselular (bakteri, virus, jamur) serta penyakit parasit dan protozoa, imunitas selular pada penyakit autoimun, reaksi graft reaksi graft versus host , penolakan jaringan transplantasi, dan penolakan sel tumor.
Hipersensitivitas kulit tipe lambat (reaksi tipe IV) Dalam klinik reaksi tipe IV dapat kita
lihat berupa reaksi pada kulit bila seseorang yang pernah kontak dengan antigen tertentu (seperti bakteri mikobakterium, virus, fungus, obat atau antigen lainnya) kemudian dipaparkan kembali dengan antigen tersebut pada kulitnya. Terlihat reaksi berupa eritema, indurasi pada kulit atau peradangan pada tempat antigen berada setelah satu sampai beberapa hari kemudian. Secara histologis kelainan kulit ini terdiri atas infiltrasi infiltrasi sel mononuklear yaitu makrofag, monosit dan limfosit di sekitar pembuluh darah dan saraf. Reaksi tipe IV ini umumnya dapat terlihat pada respons imun infeksi mikroorganisme intraselular, juga pada reaksi penolakan jaringan yang memperlihatkan peradangan pada tempat transplantasi, dan pada reaksi penolakan tumor.
Imunitas selular pada infeksi bakteri Imunitas selular pada infeksi bakteri misalnya
terlihat berupa pembentukan kavitas dan granuloma pada infeksi dengan Mycobacterium dengan Mycobacterium tuberculosis, tuberculosis, demikian pula lesi granulomatosa pada kulit penderita lepra. Limfokin yang 13
dilepaskan sel Td mengakibatkan terjadinya granuloma dan sel yang mengandung antigen akan mengalami lisis oleh sel Tc dan sel killer lainnya. lainnya.
Reseptor antigen sel limfosit T (TCR) Molekul TCR terdapat pada membran sel T
berasosiasi dengan molekul CD3, merupakan kompleks glikoprotein transmembran. Sebagian besar dari molekul ini berada ekstraselular dan merupakan bagian pengenal antigen. Sedangkan bagian transmembran merupakan tempat berlabuhnya TCR pada membran sel yang berinteraksi dengan bagian transmembran molekul CD3.
Imunitas selular pada infeksi virus Imunitas selular pada infeksi virus sangat berperan
pada penyembuhan yaitu untuk melisis sel yang sudah terinfeksi. Ruam kulit pada penyakit campak, lesi kulit pada penyakit cacar dan herpes simpleks juga merupakan reaksi tipe IV dan lisis oleh sel Tc.
Imunitas selular pada infeksi jamur Peradangan pada infeksi jamur seperti kandidiasis,
dermatomikosis, koksidiomikosis dan histoplasmosis merupakan reaksi imunitas selular. Sel TC berusaha untuk melisis sel yang telah terinfeksi jamur dan limfokin merekrut sel-sel radang ke tempat jamur berada.
Imunitas selular pada penyakit parasit dan protozoa Peradangan yang terlihat pada
penyakit parasit dan protozoa juga merupakan imunitas selular. Demikian pula pembentukan granuloma dengan dinding yang menghambat parasit dari sel host sehingga penyebaran tidak terjadi.
Imunitas selular pada penyakit autoimun Meskipun dalam ontogeni sel T autoreaktif
dihancurkan dalam timus, dalam keadaan normal diperkirakan bahwa sel T autoreaktif ini masih tetap ada, tetapi dalam jumlah kecil dan dapat dikendalikan oleh mekanisme homeostatik. Jika mekanisme homeostatik ini terganggu dapat terjadi penyakit autoimun. Kunci sistem pengendalian homeostatik ini adalah pengontrolan sel T penginduksi/Th. Sel T penginduksi/Th dapat menjadi tidak responsif terhadap sel T supresor, sehingga merangsang sel T autoreaktif yang masih bertahan hidup atau sel Tc kurang sempurna bekerja dalam penghapusan klon antara lain karena gagalnya gagaln ya autoantigen dipresentasikan ke sel T. Jika ada gangguan sel T supresor atau gagal menghilangkan sel T autoreaktif atau gagal mempresentasikan autoantigen pada masa perkembangan, maka dapat terjadi penyakit autoimun.
14
reaksi graft versus host , kerusakan ver sus host Pada reaksi graft Imunitas selular pada reaksi graf t ver yang terlihat disebabkan oleh sel imunokompeten donor terhadap jaringan resipien. Reaksi tersebut berupa kelainan pada kulit seperti makulopapular, eritroderma, bula dan deskuamasi, serta kelainan pada hati dan traktus gastrointestinal. Kelainan yang timbul juga disebabkan oleh imunitas selular.
Imunitas selular pada penolakan jaringan Pada transplantasi jaringan dapat terlihat bahwa
jaringan yang tadinya mulai tumbuh, setelah beberapa hari berhenti tumbuh. Ini disebabkan oleh reaksi imunitas selular yang timbul karena adanya antigen asing jaringan transplantasi. Organ transplantasi menjadi hilang fungsinya. Secara histologis terlihat adanya infiltrasi intensif sel limfoid, sel polimorfonuklear dan edema interstisial. Dapat dilihat terjadinya iskemia dan nekrosis. Peradangan ini disebabkan karena sel T resipien mengenal antigen kelas I dan II donor yang berbeda dengan antigen diri. Pengenalan ini sama seperti pengenalan antigen asing di antara celah domain d omain molekul MHC. Terjadi lisis alograft oleh sel TC resipien. Demikian pula limfokin yang dilepaskan sel T akan merusak alograft dengan merekrut sel radang.
Imunitas selular pada penolakan tumor Imunitas selular pada penolakan tumor sama
dengan imunitas selular pada penolakan jaringan transplantasi. Tentu saja imunitas selular ini bukanlah satu-satunya cara untuk menghambat pertumbuhan sel tumor, imunitas humoral juga dapat berperan. Adanya Ada nya ekspresi antigen tumor akan mengaktifkan sel Tc host demikian pula interferon yang dilepaskan sel T juga akan mengaktifkan sel NK (natural killer ) untuk melisis untuk melisis sel tumor. Limfokin akan merekrut sel radang ke tempat tumor berada dan menghambat proliferasi tumor serta melisis sel-sel tumor.
15
6. MEKANISME IMUNITAS SELULER
Berdasarkan gambar di atas, sistem imunitas seluler dimulai dari limfosit T. Limfosit T memiliki fungsi regulator dan efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh sel T helper / Th (CD4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul yang dikenal dengan nama sitokin untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Fungsi efektor dilakukan oleh sel T sitotoksik / Tc (sel CD8). Sel-sel CD8 ini mampu mematikan sel yang terinfeksi oleh virus dengan menyuntikkan zat kimia yang disebut perforin ke dalam sasaran ”asing”.
Sel T helper masih bisa berdiferensiasi menjadi sel T memori dan sel T suppresor. Sel T merupakan sel limfosit yang pertama kali berinteraksi dengan zat asing. Hal ini terjadi karena sel T memiliki protein permukaan yang disebut CD4 dan CD8. CD4 atau CD8 akan mendeteksi keberadaan antigen. Sebab dia akan mengenali sel yang memiliki reseptor MHC (major histocompatibility complex) kelas 1 atau MHC kelas 2. MHC 1 adalah reseptor dari Limfosit sitolitik sedangkan MHC 2 merupakan reseptor dari Limfosit helper. Apabila dia berinteraksi dengan sel yang tidak memiliki MHC maka dia akan menganggap sel tersebut sebagai zat asing. Sehingga sel T akan berdifensiasi dan menyerang zat asing tersebut. Fungsi sel T helper adalah membantu limfosit T, limfosit B, sel-sel non spesifik (sel NK). Sel NK ini diduga terlibat dalam penghancuran non-spesifik sel-sel sasaran. 16
Th berperan menolong sel B dalam differensiasi dan memproduksi antibodi. Sel Th1 memproduksi mediator interleukin-2 interleukin-2 (IL-2) dan interferon gamma (IFN-ý) yang memegang peranan penting proteksi dengan meningkatkan kemampuan makrophag untuk fagositosis dan mencerna kuman mencerna kumanyang yang telah difagotisir.
Makrofag mengaktifkan sejumlah kecil limfosit T helper yang memiliki reseptor untuk antigen yang dipertanyakan dengan menyajikan antigen pada sel T bersama dengan molekul “self -recognition”. Sel T helper yang diaktifkan mengeluarkan limfokin, beberapa diantaranya mengaktifkan makrofag dan juga mengumpulkan limfosit-limfosit lain dan monosit-makrofag
untuk
berperan
serta
dalam
reaksi.
Makrofag
yang
diaktifkan
mengahasilkan monokin, beberapa diantaranya diperlukan untuk aktifasi sel T dan mencetuskan inflamasi.
7. FUNGSI RESPON IMUN : Sel CD8 mematikan secara langsung sel sasaran Sel T menyebabkan reaksi hipersensitifitas tipe lambat Sel T memiliki kemampuan menghasilkan sel pengingat Sel T sebagai pengendali CD4 dan CD8 memfasilitasi dan menekan respon imun seluler dan humoral Fungsi utama sistem imun spesifik seluler ialah untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan. Jalur komplemen merupakan jalur yang berperan dalam respon imunologik terhadap bakteri anaerob. Ada beberapa macam jenis sel dan mekanisme seluler yang terlihat dalam ekspresi atau pengaturan reaksi seluler. Jenis-jenis sel ini meliputi : 1.
Limfosit T
2.
Makrofag
3.
Sel NK / Natural Killer (NK)
Limfosit T kemudian akan menginduksi 2 hal: Fagositosis benda asing tersebut oleh sel yang terinfeksi, Lisis sel yang terinfeksi sehingga benda asing tersebut terbebas ke luar sel dan dapat di dilekati oleh antibodi.
17
Peran sel T dapat dibagi menjadi dua fungsi utama : fungsi regulator dan fungsi efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset sel T, sel T penolong (CD4). Selsel CD4 mengeluarkan molekul yang dikenal dengan nama sitokin (protein berberat molekul rendah yang disekresikan oleh sel-sel sistem imun) untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Fungsi efektor dilakukan oleh sel T sitotoksik (sel CD8). Sel-sel CD8 ini mampu mematikan sel yang terinfeksi oleh virus, sel tumor dan jaringan transplantasi dengan menyuntikkan zat kimia yang disebut perforin perforin ke dalam sasaran ”asing”. Limfosit ”asing”. Limfosit T menyerang antigen yang berada di dalam sel. Fungsi utama sistem imun spesifik seluler ialah untuk pertahanan terhadap bakteri, virus , jamur dan keganasan di intra seluler. Berdasarkan fungsinya secara umum ada tiga golongan utama dari sel T, yaitu : 1.
Sel sitotoksik (Tc) , yang merupakan sel efektor dari killing sel (sel K)
2.
sel T helper (Th) / CD4 , yang merupakan sel regulasi. Berdasarkan kemampuan sitokin
yang diproduksi terbagi menjadi Th1 dan Th2. Th1 mempunyai kontribusi di dalam imunitas humoral. 3. A.
sel T suppressor (Ts) / CD8 , yang merupakan sel regulasi
Sel T helper Sel T helper adalah golongan sel darah putih yang bertindak sebagai adaptive immunity.
Dimana fungsi dari sel T helper sendiri antara lain adalah : a.
Membantu sel B untuk membentuk antibody, mengaktifkan sistem pertahanan adaptive
humoral atau adaptive cytolitic b.
Membantu perkembangan sel T sitotoksik
c.
Fasilitator sel-sel pertahanan lain dalam untuk melawan antigen
Sel T helper masih bisa berdiferensiasi menjadi sel T memori dan sel T penekan / supresor. Sel T merupakan sel limfosit yang pertama kali berinteraksi dengan zat asing. Hal ini terjadi karena sel T memiliki protein permukaan yang disebut CD4 dan CD8. CD4 atau CD8 akan mendeteksi keberadaan antigen. Sebab dia akan mengenali sel yang memiliki reseptor MHC (major histocompatibility complex) kelas 1 atau MHC kelas 2. Apabila dia berinteraksi dengan sel yang tidak memiliki MHC maka dia akan menganggap sel tersebut sebagai zat asing. Sehingga sel T akan berdifensiasi dan menyerang zat asing tersebut. Th berperan menolong sel B dalam differensiasi dan memproduksi antibodi. Sel Th1 memproduksi mediator interleukin-2 interleukin-2 (IL-2) dan interferon gamma (IFN-ý) yang memegang 18
peranan penting proteksi dengan meningkatkan kemampuan makrophag untuk fagositosis dan mencerna kuman mencerna kuman yang telah difagotisir. Fungsi sel CD4 : Sebagai pengendali, mengaitkan sistem monosit-makrofag ke sistem limfoid Berinteraksi dengan sel penyaji antigen untuk mengendalikan Ig Menghasilkan sitokin yang memungkin tumbuhnya sel CD4 dan CD8 Berkembang menjadi sel pengingat.
B.
CTL (Cytotoxic T Limfosit) Cytotoxic T Lymphocyte/CTL/ T cytotoxic/T cytolitic/Tc) atau sel T p embunuh (killer). CTL
merupakan sub-grup dari sel T yang berfungsi b erfungsi : 1.
Membunuh
sel yang
terinfeksi terinfeksi dengan
virus (dan
patogen patogen
lainnya) dengan
menghancurkan sel yang mengandung virus tersebut. 2.
Membunuh berbagai bibit penyakit dan sel kanker
3.
Merusak dan mematikan pathogen intraseluler
4.
Menghancurkan sel ganas dan sel histoimkompatibel yang menimbulkan penolakan
pada transplantasi. Sel T sitotoksik disebut juga sel T CD8 karena terdapat glikoprotein CD8 pada permukaan sel yang mengikat antigen MHC kelas 1. Sel limfosit T sitotoksik mengandung granula azurofilik yang azurofilik yang berlimpah dan mampu menghancurkan berbagai sel yang terinfeksi, terinfeksi, sel tumor, tanpa sensitisati (rangsangan) sebelumnya. Sel limfosit T sitotoksik ini diklasifikasikan sebagai sistem kekebalan tubuh bawaan yang merupakan pertahanan tubuh terhadap berbagai macam serangan. Secara langsung menyerang sel lainnya yang membawa antigen asing atau abnormal di permukaan mereka. Sel limfosit T sitotoksik meningkatkan sistem pertahanan dengan cara mengikutsertakan sistem pertahanan yang lain. Sel dari sistem imun melepaskan messenger kimiawi (seperti sitokin) yang mengambil dan mengaktifkan sel lain seperti polimorf, makrofag dan sel mast atau sistem kimiawi (seperti komplemen, amine, kinin, dan sistem lisosomal) untuk menghancurkan material asing.
19
C.
Peran sel T suppressor (Ts) (CD8) Seperti sel Th, Ts adalah sel regulasi karena aksinya sebagai inhibisi dimana sel tersebut
melepaskan limpokin yang dapat menekan aktivitas dari sel T dan sel B. Sel Ts akan menghentikan respon imun setelah sukses menginaktifkan dan menghancurkna antigen. Hal ini membantu mencegah tidak terkontrolnya dan tidak dibutuhkannnya lagi kerja dari sistem sistem imun. D.
Makrofag Pencetusan reaksi imun seluler memerlukan pemroses antigen seperti makrofag. Mula-mula,
makrofag mengaktifkan sejumlah kecil limfosit T helper yang memiliki reseptor untuk antigen yang dipertanyakan dengan menyajikan antigen pada sel T bersama dengan molekul “self -recognition”. Sel T helper yang diaktifkan mengeluarkan limfokin, beberapa diantaranya mengaktifkan makrofag dan juga mengumpulkan limfosit-limfosit lain dan monosit-makrofag untuk berperan serta dalam reaksi. Makrofag yang diaktifkan mengahasilkan monokin, beberapa diantaranya diperlukan untuk aktifasi sel T dan mencetuskan inflamasi. Makrofag melepaskan interleukin-1, yaitu monokin yang diduga identik dengan pirogen leukosit (penyebab reaksi-reaksi demam) dan diperlukan untuk aktifasi limfosit T helper. E.
Sel NK (Natural Killer) Sel ini tidak mengandung penanda sel T atau sel B dan tidak memerlukan sensitisasi lebih
dahulu untuk generasinya. Sel-sel ini diduga terlibat dalam penghancuran non-spesifik sel-sel sasaran yang diubah virus, sel alograf, dan penolakan tumor. Peranannya pada manusia belum ditemuan namun mempunyai arti besar dalam pengawasan imun penyakit keganasan pada manusia.
20
8. FUNGSI IMUNITAS SELULER :
Imunitas selular berfungsi untuk mengorganisasi respons inflamasi nonspesifik dengan mengaktivasi fungsi makrofag sebagai fagosit dan bakterisid, serta sel fagosit lainnya. Selain itu juga mengadakan proses sitolitik atau sitotoksik spesifik terhadap sasaran yang mengandung antigen.
Imunitas selular berfungsi pula untuk meningkatkan fungsi sel B untuk memproduksi antibodi, juga meningkatkan fungsi subpopulasi limfosit T baik sel Th/ penginduksi maupun sel Tc/ sel supresor. Fungsi lainnya adalah untuk meregulasi respon imun dengan mengadakan regulasi negatif dan regulasi positif po sitif terhadap respon imun
21
B. IMPLEMENTASI IMUNOLOGI DALAM KEHIDUPAN
Imunisasi dan vaksin merupakan bentuk implementasi dari bidang imunologi yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari. Pemerintah melalui Program Pengembangan Imunisasi (PPI), mewajibkan lima jenis imunisasi dasar pada anak dibawah usia satu tahun, antara lain : a.
Imunisasi BCG ( Bacillus Calmette Guerin )
Deskripsi : BCG adalah vaksin bentuk beku kering yang mengandung mycobacterium bovis hidup yang sudah dilemahkan dari strain Paris
Indikasi : untuk pemberian kekebalan aktif terhadap TBC
Cara pemberian dan dosis :
-
Sebelum disuntikkan vaksin BCG harus dilarutkan dengan 4 ml pelarut NaCl 0,9%. Melarutkan dengan menggunakan alat suntik steril dengan jarum panjang.
-
Dosis pemberian 0,05 ml, sebanyak 1 kali, untuk bayi.
Kontra indikasi : adanya penyakit kulit yang berat/ menahun seperti : eksim, furunkulosis dan sebagainya. Mereka yang sedang menderita TBC.
Efek samping : Imunisasi BCG tidak menyebabkan reaksi yang bersifat umum seperti demam. 1-2 minggu kemudian akan timbul indurasi dan kemerahan di tempat suntikkan yang berubah menjadi pustule, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak perlu pengobatan, akan sembuh secara spontan dan meninggalkan tanda parut. Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar k elenjar regional di ketiak dan / atau leher, terasa padat, tidak sakit dan tidak menimbulkan demam. Reaksi ini normal, tidak memerlukan pengobatan dan akan menghilang dengan sendirinya.
b.
Imunisasi DPT – DPT – Hepatitis Hepatitis B
Deskripsi : Vaksin mengandung DPT berupa toxoid difteri dan toxoid tetanus yang dimurnikan dan pertusis yang inaktifasi serta vaksin hepatitis B yang merupakan sub unit vaksin virus yang mengandung HbsAg murni dan bersifat non-infectious. Vaksin hepatitis B ini merupakan vaksin DNA rekombinan yang berasal dari HbsAg yang diproduksi melalui teknologi DNA rekombinan pada sel ragi.
Indikasi : Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, tetanus, pert usis dan hepatitis B.
22
Cara pemberian dan dosis : Pemberian dengan cara intra muskuler 0,5 ml sebanyak 3 dosis. Dosis pertama pada usia 2 bulan, dosis selanjutnya dengan interval minimal 4 minggu (1 bulan). Dalam pelayanan di unit statis, vaksin yang sudah dibuka dapat dipergunakan paling lama 4 minggu dengan penyimpanan sesuai ketentuan:
-
vaksin belum kadaluarsa
-
vaksin disimpan dalam suhu 2 derajat Celcius sampai dengan 8 derajat Celcius
-
tidak pernah terendam air
-
sterilitasnya terjaga
-
VVM (Vaksin Vial Monitor) masih dalam kondisi A atau B
Efek samping : Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari.
c.
Imunisasi polio
Deskripsi : Vaksin Oral Polio hidup adalah Vaksin Polio trivalent yang terdiri dari suspensi virus poliomyelitis tipe 1,2 dan 3 (strain sabin) yang sudah dilemahkan, dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa.
Indikasi : Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap Poliomyelitis.
Cara pemberian dan dosis :
-
Sebelum digunakan pipet penetes harus dipasangkan pada vial vaksin.
-
Diberilan secara oral, 1 dosis adalah 2 (dua) tetes sebanyak 4 kali (dosis) pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu.
-
Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dropper) yang baru.
-
Di unit pelayanan statis, vaksin polio yang telah dibuka hanya boleh digunakan selama 2 minggu dengan ketentuan :
-
vaksin belum kadaluarsa
-
vaksin disimpan dalam suhu 2 derajat Celcius sampai dengan 8 derajat Celcius
-
tidak pernah terendam air
-
sterilitasnya terjaga
-
VVM (Vaksin Vial Monitor) masih dalam kondisi A atau B
Kontra Indikasi : Pada individu yang menderita “immune deficiency”. Tidak deficiency”. Tidak ada efek yang berbahaya yang timbul akibat pemberian OPV pada anak yang sedang sakit. Namun jika ada keraguan, misalnya sedang menderita diare, maka dosis ulangan dapat diberikan 23
setelah sembuh. Bagi individu yang terinfeksi terinfeksi oleh HIV (Human Immunodefisiency Virus) baik yang tanpa gejala maupun dengan gejala, imunisasi OPV harus berdasarkan standar jadwal tertentu.Efek samping : Pada umumnya tidak terdapat efek samping.
d.
Efek samping berupa paralysis yang disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi. Imunisasi Hepatitis B
Deskripsi : Hepatitis B rekombinan adalah vaksin virus rekombinan yang telah diinaktivasikan dan bersifat non-infeksiosus, berasal dari HBsAg yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula polymorpha) menggunakan teknologi DNA rekombinan.
Indikasi :
-
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus Hepatitis B.
-
Tidak dapat mencegah infeksi virus lain seperti virus Hepatitis A atau C atau yang diketahui dapat menginfeksi hati.
-
Cara pemberian dan dosis : Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi homogen.
-
Sebelum disuntikkan, kondisikan vaksin hingga mencapai suhu kamar.
-
Vaksin disuntikkan dengan dosis 0,5 ml atau 1(buah) HB.
-
Vaksin disuntikkan dengan dosis 0,5 ml atau 1(buah) HB ADS PID, pemberian suntikkan secara intra muskuler, sebaiknya pada anterolateral paha.
-
Pemberian sebanyak 3 dosis.
-
Dosis pertama diberikan pada usia 0-7 hari, dosis berikutnya dengan interval minimum 4 minggu (1 bulan).
-
Di unit pelayanan statis, vaksin HB yang telah dibuka hanya boleh digunakan selama 4 minggu.Sedangkan di posyandu vaksin yang sudah terbuka tidak boleh digunakan lagi untuk hari berikutnya.
e.
Imunisasi Campak
Deskripsi : Vaksin Vaksin Campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Vaksin ini berbentuk vaksin beku kering yang harus dilarutkan dengan aquabidest steril.
Indikasi : Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit Campak.
Cara pemberian dan dosis : 24
-
Sebelum disuntikkan vaksin Campak terlebih dahulu harus dilarutkan dengann pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut aquabidest.
-
Dosis pemberian 0,5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan atas, pada usia 9-11 bulan. Dan ulangan (booster) pada usia 6-7 tahun (kelas 1 SD) setelah cath-up campaign Campak pada anak Sekolah Dasar kelas 1-6.
Vaksin campak yang sudah dilarutkan hanya boleh digunakan maksimum 6 jam. Efek samping : pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan selama 3 hari yang dapat terjadi 8-12 hari setelah vaksinasi.
Kontra indikasi : Individu yang mengidap penyakit immuno deficiency atau individu yang diduga menderita gangguan respon imun karena leukemia, lymphoma. Selain kelima vaksin di atas masih ada beberapa vaksin yang lain, antara lain:
a.
Vaksin rubella
Pengertian : Vaksin rubella yaitu vaksin yang ditekankan pada anak perempuan, karena jika nantinya anak itu dewasa menikah lalu hamil dan terdapat virus rubela di dalam tubuhnya maka bisa berakibat fatal pada janin yang dikandungnya. Waktu pemberian : vaksin rubella dapat diberikan kepada anak yang sistem kekebalan tubuhnya sudah berkembang yaitu pada usia 12 – 18 bulan. Bila pada usia tersebut belum diberikan, vaksinasi dapat dilakukan pada usia 6 tahun. sedangkan vaksinasi dapat dilakukan pada usia 6 tahun. Sedangkan vaksinasi ulangan di anjurkan pada usia 10 – 10 – 12 tahun atau 12 – 18 tahun (sebelum pubertas). Infeksi rubella, pada umumnya merupakan penyakit ringan. Vaksin rubella tidak boleh diberikan pada wanita yang hamil atau akan hamil dalam 3 bulan setelah pemberian vaksin. Akibat tidak vaksin : Bila tidak dilakukan vaksin dapat mengakibatkan katarak, tuli atau cacat b.
Vaksin virus influenza
Pengertian : Vaksin berisi dua subtipe A yaitu H3N2 dan H1N1, serta virus tipe B. Yang di gunakan untuk mencegah virus influenza yang datang setiap tahun. Waktu pemberian : Vaksin diberikan secara intramuscular dengan dosis untuk umur 6-35 bulan 0,25 ml dan umur 3 tahun 0,5 ml. Anak-anak yang mendapat vaksin ini pada umur kurang dari 9 tahun, perlu diberikan 2 dosis dengan jarak pemberian lebih dari 1 bulan. Vaksin influenza tidak boleh untuk anak kurang dari 6 bulan. Vaksin ini dianjurkan untuk diberikan setiap tahun pada anak usia 6 bulan sampai 18 tahun. 25
Akibat tidak diberi vaksin : Bila tidak di berikan vaksin kemungkinan terserang influenza jika sistem kekebalan tubuhnya turun. c.
Vaksin campak
Pengertian : Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5 ml) mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70, dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin. Vaksin ini berbentuk vaksin beku kering yang harus dilarutkan hanya dengan pelarut steril yang tersedia secara terpisah untuk tujuan tersebut. Vaksin ini telah memenuhi persyaratan WHO untuk vaksin campak. Waktu pemberian : Vaksin diberikan pada kisaran usia 6 -9 bulan. Imunisasi ulangan diberikan pada umur 6 tahun. Imunisasi campak pada remaja diberikan berupa vaksin MMR. Akibat tidak diberi vaksin : Jika tidak di lakukan vaksin bisa menyebabkan Penyakit campak bisa berdampak pada radang paru-paru atau radang otak, jika panasnya terlalu tinggi bisa menyebabkan kematian. d.
Vaksin poliomyelitis
Pengertian : Vaksin dari virus polio (tipe 1,2 dan 3) yang dilemahkan, dibuat dlm biakan sel-vero : asam amino, antibiotik, calf serum dalam magnesium klorida dan fenol merah. Waktu pemberian : Imunisasi polio yang harus diberikan sesuai dengan rekomandasi WHO adalah diberikan sejak lahir sebanyak 4 kali dengan interval 6-8 minggu. Kemudian diulang usia 1½ tahun, 5 tahun dan usia 15 tahun atau sebelum meninggalkan sekolah. Vaksin polio terdiri dari 2 jenis , yaitu Vaksin Virus Polio Oral (Oral Polio Vaccine=OPV) dan Vaksin Polio Inactivated (Inactived Poliomielitis Vaccine). Akibat tidak diberi vaksin : Akibat dari tidak di lakukan vaksin poliomyelitis yaitu Kelumpuhan permanen, bisa pada tungkai, baik kaki maupun tangan. Kelumpuhan berat, misalnya pada otot pernapasan. Pada kondisi ini, biasanya pasien membutuhkan alat bantu napas. e.
Vaksin hepatitis A
Pengertian : Yaitu vaksin yang di berikan untuk melindungi batita dan anak-anak dari penyakit hepatitis A. Waktu pemberian : Direkomendasikan pada umur >2 tahun, diberikan 2 kali dengan interval 612 bulan. Akibat tidak diberi vaksin : Bila tidak di berikan vaksin hepatitis A bisa kemungkinan terjangkit virus hepatitis A, walaupun hal tersebut tidak pasti. Yang paling rentang terkena virus ini jika 26
tidak vaksin yaitu Pecandu narkotika dan hubungan seks anal, termasuk homoseks merupakan risiko tinggi tertular hepatitis A. f.
Vaksin hepatitis B
Pengertian : Vaksin Hepatitis B adalah vaksin virus recombinan yang telah diinaktivasikan dan bersifat non infeksius , berasal dari HBsAg yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula polymorpha) menggunakan teknologi DNA recombinan. Waktu pemberian : HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status HbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBlg 0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat diberikan HBlg 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari. -
1 bulan : Hb-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan.
-
6 bulan : HB-3 diberikan umur 6 bulan. Untuk mendapatkan respons imun optimal,
interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Vaksin disuntikan dengan dosis 0,5 ml atau 1 (buah) HB PID, pemberian suntikan secara intramuskuler, sebaiknya pada anterolateral paha. -
Pemberian sebanyak 3 dosis.
-
Dosis pertama diberikan pada usia 0-7 hari dosis berikutnya dengan interval minimum 4
minggu (1 bulan). Vaksin hepatitis B juga direkomendasikan untuk diberikan pada orang dewasa. Dengan tiga kali pemberian, vaksin hepatitis B dapat memberikan perlindungan sebanyak 90 %. Akibat tidak diberi vaksin : Jika tidak di lakukan vaksin hepatitis B, seseorang rentang terkena penyakit hepatitis B. g.
Vaksin Varicella
Pengertian : Vaksin varicella yaitu vaksin yang di gunakan untuk mencegah cacar air. Waktu pemberian : Vaksin varicella diinjeksikan pada usia 1 tahun atau lebih. Bila anak tidak menerimanya pada waktu tersebut, dapat diberikan pada usia 11 – 11 – 12 tahun. Setiap anak yang berumur 12-18 bulan dan belum pernah menderita cacar air dianjurkan untuk menjalani imunisasi varisella. Anak-anak yang mendapatkan suntikan varisella sebelum berumur 13 tahun hanya memerlukan 1 dosis vaksin. Kepada anak-anak yang berumur 13 tahun atau lebih, yang
27
belum pernah mendapatkan vaksinasi varisella dan belum pernah menderita cacar air, sebaiknya diberikan 2 dosis vaksin dengan selang waktu 4-8 minggu. Akibat tidak diberi vaksin : Kepada orang yang belum pernah mendapatkan vaksinasi cacar air dan memiliki resiko tinggi mengalami komplikasi (misalnya penderita gangguan sistem kekebalan), bisa diberikan immunoglobulin zoster atau immunoglobulin varicella-zoster. h.
Vaksin retrovirus
Pengertian : Vaksin retrovirus adalah vaksin yang digunakan untuk menurunkan agen penyakit yang
dapat
menyebabkan
sindroma
penurunan
kekebalan
tubuh
(Simian
Acquired
lmmunodeficiency Syndrome) pada primata genus Macaca yang berasal dari Asia. i.
Vaksin rabies
Pengertian : Suatu vaksin yang dibuat dalam lini sel diploid yang berasal dari sel-sel paru janin kera rhesus diijinkan di AS tahun 1988. Virus vaksin ini diinaktivasi oleh β- propiolakton dan dipekatkan oleh adsorbsi dengan aluminium fosfat. Vaksin yang mencegah penyakit rabies, selain itu vaksin ini bisa mencegah simian immunodeficiency virus (SIV), penyakit kekebalan tubuh yang mirip dengan HIV. Waktu pemberian : Vaksin di berikan jika seseorang aktif menderita rabies / tergigit (terkontaminasi) dengan hewan yang terjangkit rabies, maka harus di berikan vaksin rabies. Akibat tidak diberi vaksin : Jika seseorang tidak di berikan b erikan vaksin ini kemungkinan bisa terjangkit virus rabies.
28
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
-
Imunitas seluler merupakan bagian dari respon imun didapat yang berfungsi untuk
mengatasi infeksi mikroba intraseluler. Imunitas seluler diperantarai oleh limfosit T. Terdapat 2 jenis mekanisme infeksi yang yang menyebabkan
mikroba dapat masuk dan
berlindung di dalam sel. Pertama, mikroba diingesti oleh fagosit pada awal respons imun alamiah, namun sebagian dari mikroba tersebut dapat menghindari aktivitas fagosit. Sebagian mikroba tersebut dapat memasuki sitoplasma sel dan bermutltiplikasi menggunakan nutrien dari sel tersebut. Mikroba tersebut terhindar dari mekanisme mikrobisidal. Kedua, virus d apat berikatan dengan reseptor pada berbagai macam sel, kemudian bereplikasi di dalam sitoplasma sel. Sel tersebut tidak mempunyai mekanisme intrinsik untuk menghancurkan virus. Beberapa virus menyebabkan infeksi laten, DNA virus diintegrasikan ke dalam genom pejamu, kemudian protein virus diproduksi di sel tersebut. -
Imunitas selular adalah respon imun yang dilakukan oleh molekul-molekul protein yang
tersimpan dalam limfa dan plasma darah. Imunitas ini dimediasi oleh sel limfosit T. Mekanisme ini ditujukan untuk benda asing yang dapat menginfeksi sel (beberapa bakteri dan virus) sehingga tidak dapat dilekati oleh antibodi.
Fungsi imunitas seluler
Imunitas selular berfungsi untuk mengorganisasi respons inflamasi nonspesifik dengan mengaktivasi fungsi makrofag sebagai fagosit dan bakterisid, serta sel fagosit lainnya; selain itu juga mengadakan proses sitolitik atau sitotoksik spesifik terhadap sasaran yang mengandung antigen.
Imunitas selular berfungsi pula untuk meningkatkan fungsi sel B untuk memproduksi antibodi, juga meningkatkan fungsi subpopulasi limfosit T baik sel Th/penginduksi maupun
29
sel Tc/sel supresor. Fungsi lainnya adalah untuk meregulasi respons imun dengan mengadakan regulasi negatif dan regulasi positif terhadap respons imun.
SARAN
Demikianlah hasil pembahasan dalam makalah mengenai Imunitas Seluler, diharapkan pembaca sekalian dapat memaklumi apabilah masih terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Pembaca sekalian yang menjadikan makalah ini sebagai panduan dalam membuat makalah selanjutnya, maka diharapkan dapat melengkapi referensi yang berkaitan dengan bahasan. Kritik dan saran dari pembacapun sangat kami harapkan, guna perbaikan dimasa mendatang. Akhir kata kami ucapkan terimakasih.
30
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and molecular immunology. Philadelphia: WE Saunders Company, 1991.
Scandinavian Journal of Immunology. Immunology. Monthly journal published by Blackwell Science Ltd., Osney Mead Oxford OX2 OEL, UK.
Scientific American. American. Monthly journal published by Scientific American Inc., 415 Madison Avenue, N.Y., USA.
Mims C, Playfair J, Wakelin D, and R Williams. Medical Williams. Medical Microbiology. Microbiology. 4th Ed. Mosby, London, 2007.
Dorland. 1995. Pocket Medical Dictionary. Philadelphia: Saunders Company
Gershon RK. 1987. The immunological. Sunderland: Mass Sinauer Associat ion
Kresno, Siti Boedina. 1996. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Sudibyo. 1989. Dasar- Dasar Imunologi. Jakarta: CV. Sembiring
Zahroni, Mahfud. 2003. Imunologi Dasar. Bandung: CV. Ilmu Persada
31
View more...
Comments