Makalah Urolithiasis (Sudah Revisi) Fix
March 30, 2018 | Author: Febrina Ramadhani | Category: N/A
Short Description
Download Makalah Urolithiasis (Sudah Revisi) Fix...
Description
MAKALAH KEPERAWATAN PERKEMIHAN “ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN UROLITHIASIS”
Fasilitator: Ika Y. Widyawati, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.Kep.MB Disusun oleh: Kelompok 1 (Kelas A-1)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Wayan Tania S. Mar’atus Sholihah Sri Rezeki Amanda Akhmad Fadili Alfita Nadziir M Naim Kurniawan Nur Alfi Hidayati Etik Trisusilowati
131211131003 131211131009 131211131011 131211131017 131211131019 131211131029 131211131031 131211131099
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2015
KATA PENGANTAR Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok makalah Small Group Discussion (SGD) yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Urolithiasis”, sebagai tugas mata ajar Keperawatan Perkemihan dengan baik. Kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Purwaningsih, S.Kp., M.Kes., selaku Dekan yang senantiasa memacu, dan memotivasi mahasiswa untuk selalu bersemangat dalam belajar; 2. Ika Y. Widyawati, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.Kep.MB, selaku PJMA mata ajar Keperawatan Perkemihan, sekaligus selaku fasilitator yang memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian makalah ini; dan 3. Teman-teman yang telah bekerjasama dalam penyelesaian tugas ini. Penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun berharap adanya kritik dan saran yang dapat membangun agar dalam penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik lagi. Penyusun juga berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami secara pribadi dan bagi yang membutuhkannya.
Surabaya, 2 Maret 2015
(Penyusun)
DAFTAR ISI
2
Halaman Judul................................................................................................
i
Kata Pengantar...............................................................................................
ii
Daftar Isi......................................................................................................... iii BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang........................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah................................................................... 1 1.3 Tujuan..................................................................................... 2 1.3.1...................................................................................Tujuan umum.......................................................................... 2 1.3.2...................................................................................Tujuan khusus......................................................................... 2 1.4 Manfaat................................................................................... 3 BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Urogenitalia.................................. 4 2.2 Definisi Urolithiasis................................................................ 8 2.3 Klasifikasi Batu...................................................................... 9 2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Urolithiasis.................................. 11 2.5 Patofisiologi Urolithiasis........................................................ 14 2.6 Manifestasi Klinis Urolithiasis............................................... 18 2.7 Web of Caution (WOC) Urolithiasis....................................... 19 2.8 Pemeriksaan Diagnostik Urolithiasis...................................... 19 2.9 Penatalaksanaan Urolithiasis.................................................. 29 2.10...............................................................................................Kompl ikasi Urolithiasis..................................................................... 36 2.11................................................................................................Progno sis Urolithiasis........................................................................ 36 2.12...............................................................................................Penceg ahan Batu yang Berulang........................................................ 37 BAB 3 Asuhan Keperawatan Urolithiasis.................................................... 38 BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan............................................................................. 62 4.2 Saran....................................................................................... 62 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 63 LAMPIRAN
3
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batu saluran kemih merupakan batu yang terdiri dari batu ginjal, batu ureter, batu uretra, dan batu kandung kemih. Komposisi dari batu saluran kemih ini bisa terdiri dari batu kalsium, batu struvit, batu asam urat dan batu jenis lainnya yang didalamnya terkandung batu sistin, batu xanthin, dan batu silikat. Penyebab tersering terjadinya batu saluran kemih ini adalah sumbatan pada saluran kemih baik yang terjadi secara herediter maupun karena faktor eksternal (Purnomo 2011). Urolithiasis merupakan masalah kesehatan yang cukup serius, baik di Indonesia maupun di dunia. Urolithiasis adalah suatu keadaan dimana terdapat satu atau lebih batu di ginjal maupun di saluran kemih. Urolithiasis diderita oleh laki-laki dengan angka kejadian 3-4 kali lebih banyak dibanding pada wanita. Rentang umur penderita penyakit ini antara 30-60 tahun. Biasanya laki-laki akan mengalami urolithiasis pada umur 40 tahun dan meningkat drastis saat usia 70 tahun, sedangkan pada wanita pada usia 50 tahun. Menurut Purnomo (2011) Di Amerika Serikat, prosentase sekitar 5-10% penduduknya menderita penyakit urolithiasis, sedangkan di seluruh dunia prosentase rata-rata diperkirakan mencapai 1-12%. Selain itu, Prevalensi penyakit urolithiasis berdasarkan jenis kelamin diperkirakan 13% pada laki-laki dewasa dan 7% pada perempuan dewasa. Peningkatan prevalensi urolithiasis ini bervariasi tergantung pada ras, jenis kelamin dan lokasi geografis. Sedangkan menurut Muslumanoglu (2011) Epidemiologi urolithiasis berbeda menurut wilayah geografis dalam hal prevalensi dan insiden, usia dan distribusi jenis kelamin, komposisi batu dan lokasi batu. Perbedaan tersebut dijelaskan dalam hal ras, diet, dan faktor iklim. Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan gangguan aliran urin, gangguan metabolik, ISK, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap. Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya penyakit ini meliputi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Berdasarkan berbagai hal tersebut, maka penulis akan menyusun makalah mengenai asuhan keperawatan urolithiasis secara komprehensif melalui studi literatur.
1
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi fisiologi dari sistem urogenitalia? 2. Apa definisi dari urolithiasis? 3. Apa saja klasifikasi batu? 4. Apa saja etiologi dan faktor risiko dari urolithiasis? 5. Bagaimana patofisiologi dari urolithiasis? 6. Apa saja manifestasi klinis yang muncul dari urolithiasis? 7. Bagaimana WOC urolithiasis? 8. Apa saja pemeriksaan diagostik pada urolithiasis? 9. Bagaimana penatalaksanaan pada urolithiasis? 10. Apa saja komplikasi dari urolithiasis? 11. Bagaimana prognosis dari urolithiasis? 12. Apa saja yang dapat mencegah batu yang berulang? 13. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan urolithiasis? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui, mengerti dan dapat menyusun asuhan keperawatan pada klien dengan urolithiasis 1.3.2
secara komprehensif. Tujuan Khusus Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui, mengerti serta dapat mengembangkan teori yang sudah ada, mengenai hal-hal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
berikut ini: Mengetahui anatomi fisiologi sistem urogenitalia Mengetahui definisi dari urolithiasis Mengetahui klasifikasi batu Mengetahui etiologi dan faktor risiko dari urolithiasis Mengetahui patofisiologi dari urolithiasis Mengetahui manifestasi klinis dari urolithiasis Mengetahui WOC urolithiasis Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada urolithiasis Mengetahui penatalaksanaan pada urolithiasis Mengetahui komplikasi dari urolithiasis Mengetahui prognosis dari urolithiasis Mengetahui pencegahan batu yang berulang Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan urolithiasis
1.4 Manfaat Mahasiswa mampu memahami konsep tentang penyakit urolithiasis serta mengetahui asuhan keperawatan yang harus diterapkan pada klien dengan urolithiasis secara komprehensif.
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Urogenitalia Menurut Purnomo (2011) Sistem urogenitalia terdiri dari sistem organ reproduksi dan sistem organ urinaria. Keduanya dijadikan satu kelompok sistem yaitu sistem urogenitalia karena letaknya saling berdekatan, berasal dari embriologi yang sama dan menggunakan saluran yang sama sebagai alat pembuangan misalnya uretra pada pria. Sistem urinaria atau sistem ekskretori yang merupakan organ yang memproduksi, menyimpan, dan mengalirkan urin. Pada manusia normal organ ini terdiri atas ginjal beserta sistem pelvikalises, ureter, kandung kemih, dan urtera. Pada umumnya organ urogenitalia terletak dirongga retroperitoneal dan terlindung oleh organ lain yang berada disekitanya kecuali testis, epididimis, vas deferens, penis dan uretra.
Gambar 2.1 Anatomi Sistem Urinaria (Smith’s and Campbell 2011)
Organ penyusun sistem urinaria antara lain adalah: 1. Ginjal Menurut Purnomo (2011) Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak pada rongga retroperitoneal bagian atas. Beratnya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke arah medial. Cekungan ini disebut sebagai
3
hilus renalis, yang di dalamnya terdapat apeks pelvis renalis dan struktur lain yang merawat ginjal yakni pembuluh darah, sistem limfatik, dan sistem saraf. Besar dan berat ginjal sangat bervariatif, tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Pada autops klinis didapatkan bahwa ukuran ratarata ginjal orang dewasa adalah 12cm (panjang) x 6cm (Lebar) x 3.5cm (tebal) dengan berat bervariasi antara 120-170 gram atau kurang lebih 0.4% dari berat badan. 1) Struktur ginjal Secara anatomis ginjal terbagi atas 2 bagian yaitu korteks dan medulla ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superfisial dan di dalamnya terdapat berjuta-juta nefron. Nefron merupakan unit fungsional terkecil dari ginjal. Medulla ginjal terletak lebih profondus banyak terdapat duktuli atau saluran kecil yang mengalirkan hasil ultrafiltrasi berupa urin. Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus kontrotus proksimal, ansa henle, tubulus kontrotus distal dan duktus kolegentes. Fungsi masing-masing bagian antara lain adalah glomerulus yang memfiltrasi darah yang membawa sisa hasil metabolism tubuh kemudian dialirkan sampai di tubulus ginjal beberapa zat yang masih diperlukan tubuh direabsorbsi dan zat sisa yang tidak diperlukan tubuh mengalami sekresi membentuk urin. 2) Vaskularisasi ginjal Suplai darah ginjal di perankan oleh arteri dan vena renalis. Arteri renalis merupakan cabang langsung dari aorta abdomnalis dan vena renalis bermuara langsung ke dalam vena kafa inferior. Arteri renalis membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal. Cabang arteri memiliki banyak ranting di dalam ginjal dan menjadi arteriola aferen serta masing-masing membentuk simpul dari kapiler-kapiler di dalam salah satu badan malphigi,yaitu glomerulus. Arteriola aferen membawa darah dari glomerulus, kemudian di bagi kedalam jaringan peritubular kapiler. Kapiler ini menyuplai tubulus dan menerima materi yang direabsorpsi oleh struktur tubular. Pembuluh eferen menjadi arteriola eferen yang bercabang-cabang membentuk jaringan kapiler disekeliling tubulus uriniferus. Kapiler ini bergabung membentuk vena renalis yang membawa darah dari ginjal ke vena kava inferior. Kapiler arteriola eferen lainnya membentuk vasa vecta yang berperan dalam mekanisme konsentrasi ginjal (Nursalam 2009).
4
Gambar Vaskularisasi (Muttaqin
2.2 Ginjal 2011)
3) Persarafan Ginjal mendapatkan persafaran melalui pleksus renalis yang seratnya bersama dengan arteri renalis. Input dari sistem simpatik menyebabkan vasokontriksi yang menghambat aliran darah ke ginjal. Impuls sensorik dari ginjal berjalan menuju corda spinalis segmen T10-11 dan memberikan sinyal sesuai dengan level dermatomnya. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa nyeri di daerah pinggang bisa merupakan nyeri referral dari ginjal. 4) Fisiologi ginjal Ginjal memiliki beberapa fungsi yang sangat penting bagi tubuh yakni menyaring sisa metabolisme dan toksin dari darah serta mempertahankan hemeostasis cairan dan elektrolit tubuh yang kemudian dibuang melalui urin. Menurut Purnomo (2011) Fungsi lain ginjal antara lain adalah: (1) Mengontrol sekresi hormon aldosteron dan ADH dalam mengatur jumlah cairan tubuh. (2) Mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D. (3) Mengasilkan beberapa hormon diantaranya eritropoetin,
renin
dan
prostaglandin. (4) Mengatur konsentrasi garam dalam darah (5) Mengatur keseimbangan asam-basa darah (6) Tempat ekskresi dan kelebihan garam (Nursalam 2009).
5
Gambar 2.3 Anatomi Ginjal (Muttaqin 2011)
Proses pembentukan urin Menurut Muttaqin (2011) Ginjal memproduksi urin yang mengandung zat sisa metabolik dan mengatur komposisi cairan tubuh melalui tiga proses utama: 1) Filtrasi Glomerular Filtrasi Glomerulus adalah proses dimana sekitar 20% plasma yang masuk ke kapilar glomerulus menembus kapiler untuk masuk ke ruang interstisium, kemudian ke dalam kapsula Bowman. Pada ginjal yang sehat, sel darah merah atau protein plasma hampir tidak ada yang mengalami filtrasi. 2) Reabsorpsi Tubulus Glukosa secara bebas disaring di glomerulus. Dalam keadaan normal, semua gloksa yang difiltrasi akan direabsorpsi oleh transfor aktif, terutama di tubulus proksimalis. Setiap glukosa yang difiltrasi melebihi beban tersebut tidak akan direabsorpsi, tetapi akan diekskresikan melalui urin. 3) Sekresi Tubulus Transportasi larutan dari peritubulus ke epitel tubulus dan menuju cairan tubulus. Sekresi merupakan proses penting sebab filtrasi tidak mengeluarkan seluruh material yang dibuang dari plasma. Sekresi menjadi metode penting untuk membuang beberapa material, seperti berbagai jenis obat yang dikeluarkan ke dalam urin. 2. Ureter Ureter adalah organ berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urindari pielum (pelvis) ginjal ke dalam buli-buli. Pada orang dewasa panjangnya lebih kurang 25-35 cm dengan diameter 3-4 mm.
6
3. Kandung Kemih (Vesika Urinaria) Vesika urinaria terletak tepat di belakang ostium pubis. Bagian ini merupakan tempat untuk menyimpan urin, berdinding otot kuat, bentuknya bervariasi sesuai dengan jumlah urin yang dikandung. Vesika urinaria saat kosong terletak di apeks belakang tepi atas simfisis pubis. Permukaan posterior berbentuk segitiga (Syaifuddin 2011). 4. Uretra Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin ke luar dari kandung kemih melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan anterior. Pada pria, organ ini juga berfungsi untuk menyalurkan air mani. 5. Kelenjar prostat Prostat merupakan organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior bulibuli, didepan rectum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2.5cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Prostat menghasilkan cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulator. Fisiologi Pengisian dan Pengosongan Vesika Urinaria Dinding ureter mengandung otot polos yang tersusun dalam bekas spiral longitudinal dan sirkuler. Kontraksi peristaltik teratur 1-5x/menit menggerakkan urin dari pelvis renalis ke vesika urinaria setiap gelombang peristaltik. Ureter berjalan miring melalui dinding vesika urinaria untuk menjaga ureter tertutup kecuali selama gelombang peristaltik dan mencegah urin tidak kembali ke ureter. Kontraksi otot detrusor bertanggung jawab dalam proses pengosongan vesika urinaria selama berkemih. Berkas otot berjalan pada sisi uretra yang disebut dengan sfingter uretra interna. Sepanjang uretra terdapat sfingter uretra membranosa (Sfingter uretra eksterna) (Syaifuddin 2011). 2.2 Definisi Urolithiasis Urolithiasis merupakan penyakit batu saluran kemih sedangkan nefrolithiasis merujuk pada penyakit batu ginjal. Urolithiasis merujuk pada adanya batu dalam sistem perkemihan. Batu atau kalkuli dibentuk didalam saluran kemih mulai dari ginjal ke kandung kemih oleh kristalisasi dari substansi ekskresi didalam urin (Nursalam 2006). Urolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat, kalkuli (batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal. Urolithiasis terjadi bila batu ada di dalam 7
saluran perkemihan. Batu itu sendiri disebut calculi. Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari fokus mikroskopik sampai beberapa centimeter dalam diameter cukup besar untuk masuk dalam pelvis ginjal. Adanya batu/kalkuli di traktus urinarius terbentuk ketika konsentrasi substansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat dan asam urat mengalami peningkatan (Smith’s 2007)
Gambar 2.4 Batu Sistem Perkemihan (Smith’s and Campbell 2011)
2.3 Klasifikasi Batu Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur kalsium oksalat atau kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthin, dan sistin, silikat, dan senyawa lainnya. Data mengenai kandungan/komposisi zat yang terdapat pada batu sangat penting untuk usaha pencegahan terhadap timbulnya batu residif. Menurut Purnomo (2011) Klasifikasi batu berdasarkan bahan pembentuknya antara lain: 1) Batu non infeksi (1) Batu kalsium Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaitu kurang lebih 70-80% dari seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat, atau campuran kedua unsur tersebut. Faktor terjadinya batu kalsium yaitu 5H, yaitu: a. Hiperkalsiuria terjadi akibat absorbsi kalsium oleh usus yang berlebihan (absorbtif),
reabsorbsi
kalsium
oleh
ginjal
yang
berlebihan,
hiperparatiroidisme, kelebihan vitamin D, atau metastasis tulang. b. Hiperoksaluria diakibatkan oleh kelebihan konsumsi makanan kaya oksalat, sindrom usus pendek, dan kelainan metabolisme bawaan sehingga terjadi kenaikan ekstensi oksalat diatas normal; c. Hiperurikosuria merupakan suatu peningkatan asam urat air kemih yang dapat memacu pembentukan batu kalsium;
8
d. Hipositraturia merupakan penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal dalam air kemih, khususnya sitrat merupakan mekanisme lain timbulnya batu ginjal; dan e. Hipomagnesuria. (2) Batu asam urat (batu purin) Prosentase 5-10% batu saluran kemih adalah batu asam urat. 75-80% dari batu asam urat terdiri atas asam urat murni dan sisanya merupakan campuran kalsium oksalat. Batu asam urat berkaitan dengan pH urin yang rendah (misalnya diare kronis) dan hiperurikosuria (misalnya pirai, status mieloproliferatif). Dapat terjadi pada dehidrasi yang berat meskipun kadar asam urat normal. (3) Batu xanthin Batu xanthin ini biasanya terjadi akibat gangguan metabolisme dalam tubuh seperti defisiensi enzim xanthin oksidase yang mengkatalisis hipoxanthin menjadi xanthin kemudian menjadi asam urat dan kemudian mengristal menjadi batu. (4) Batu sistin Batu sistin terjadi karena kelainan metabolisme sistin dalam absorbsi sistin di mukosa usus. 2) Batu infeksi (batu struvit atau batu magnesium ammonium fosfat) Sering disebut juga sebagai batu akibat infeksi saluran kemih yang disebabkan karena bakteri pengurai urea (Proteus) atau urea splitter yang menghasilkan urease dan merubah urin menjadi basa melalui proses hidrolisis urea menjadi amonia yang menjadi penyebab terjadinya batu struvit tersebut. Jika batu struvit mengisi seluruh sistem collecting ginjal, yang menghasilkan batu staghorn.
9
3) Batu jenis lain (drug stone) Batu yang terbentuk karena obat-obatan tertentu seperti indinavir yang menimbulkan pengendapan karbonat pada ginjal sehingga sering disebut batu karbonat apatit. Sedangkan klasifikasi batu berdasarkan lokasinya, antara lain: 1) Batu ginjal dan batu ureter Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks infudibulum, pelvis ginjal, bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut staghorn stone. Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalis ginjal akan mempermudah timbulnya batu saluran kemih. Selain itu, batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltik otot-otot pada sistem pelvikalis dan turun ke ureter menjadi batu ureter (Purnomo 2011). 2) Batu kandung kemih atau batu buli-buli Batu kandung kemih sering terjadi pada klien yang mengalami gangguan miksi atau terdapat benda asing di buli-buli. Gangguan miksi terjadi pada klien dengan hiperplasia prostat, striktur uretra, divertikal buli-buli atau buli-buli neurogenik. Selain itu, batu kandung kemih juga bisa disebabkan oleh batu ginjal atau batu ureter yang turun ke kandung kemih. Jika penyebabnya infeksi, maka biasanya komposisi batu kandung kemih ini terdiri atas asam urat atau struvit. 3) Batu uretra Batu uretra primer sangat jarang terjadi. Pada batu uretra biasanya terjadi karena batu ginjal, ureter dan kandung kemih yang turun ke uretra. Keluhan yang biasa di sampaikan klien adalah miksi tiba-tiba berhenti sehingga terjadi retensi urin yang mungkin sebelumnya didahului nyeri pinggang. 2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Urolithiasis Menurut Baughman and Hackley (2000) urolithiasis paling sering disebabkan oleh peningkatan konsentrasi material pembentuk batu dalam urin, baik akibat peningkatan ekskresi atau pun penurunan volume urin. Sering terjadi pada klien dengan stasis urin (misalnya obstruksi saluran keluar buli) dan atau infeksi yang kronis. Etiologi urolithiasis belum diketahui secara pasti namun peneliti banyak mengatakan bahwa pembentukan batu saluran kemih disebabkan oleh hal-hal di bawah ini: 1. Peningkatan pH urin (misalnya batu kalsium karbonat) atau penurunan pH urin (misalnya batu asam urat). 10
2. Konsentrasi bahan-bahan pembentuk batu yang tinggi di dalam darah dan urin serta kebiasaan makan atau obat tertentu juga dapat merangsang pembentukan batu. 3. Segala sesuatu yang menghambat aliran urin dan statis urin di bagian mana saja di saluran kemih meningkatkan kemunginan pembentukan batu. 4. Obesitas dan kelebihan berat badan meningkatkan risiko batu ginjal akibat peningkatan ekskresi kalsium,, oksalat, dan asam urat yang berlebihan (Corwin 2009). Faktor predisposisi yang utama adalah Infeksi Saluran Kemih (ISK). Infeksi ini akan meningkatkan terbentuknya zat organik. Zat ini dikelilingi mineral yang mengendap. Pengendapan ini akan mengakibatkan alkanitas urin dan mengakibatkan pengendapan kalsium fosfat dan magnesium ammonium fosfat (Mary & Yakobus 2009). Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor tersebut antara lain: 1. Faktor intrinsik 1) Usia Insiden urolithiasis paling sering ditemukan pada usia 30-50 tahun, karena penurunan fungsi tubuh. 2) Jenis kelamin Insiden urolithiasis 3 kali lebih banyak dialami oleh laki-laki dibanding wanita, karena laki-laki memiliki enzim sistin yang rendah. Selain itu, secara anatomi laki-laki memiliki uretra yang lebih panjang sehingga berisiko menimbulkan pengendapan urin di bagian uretra dan menyebabkan adanya residu urin yang kemudian bisa mengristal. 3) Genetik Terkait dengan enzim sistin, untuk wanita memiliki enzim ini lebih tinggi, pada laki-laki rendah sehingga laki-laki berisiko besar mengalami urolithiasis. 4) Herediter Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya seperti pada kasus anomali anatomi sistem saluran kemih. 5) Hormonal Berhubungan dengan parathyroid hormon (PTH) dan kalsitonin. Pada keadaan hiperparatirodisme akan mengakibatkan terjadinya keadaan hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. PTH merangsang reabsorbsi kalsium dari tulang sehingga meningkatkan sirkulasi darah (kalsium serum meningkat) yang mengakibatkan kalsium di urin juga meningkat. 11
6) Kelainan metabolik Kekurangan cairan (dehidrasi) seperti karena luka bakar. Gangguan metabolisme juga dapat menyebabkan penyakit ini seperti pada hiperparatiroidisme, hiperurisemia, hiperkalsiuria. Hiperkalsemia (kalsium serum tinggi) dan hiperkalsiuria (kalsium urin tinggi). 7) Infeksi ISK yang disebabkan karena pemakaian celana yang ketat dan higene yang kurang, serta pada wanita memiliki uretra yang pendek yang mudah terkontaminasi oleh bakteri sehingga pada kondisi ini wanita rentan terkena infeksi saluran kemih yang memicu terjadinya batu saluran kemih. 2. Faktor ekstrinsik 1) Geografis Beberapa daerah menunjukkan insiden urolithiasis yang lebih tinggi dari pada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu). Contoh: Gresik, Lamongan, Tuban, Situbondo, Madura (Pamekasan adalah yang paling tinggi). Dimana daerah tersebut masih menggunakan air tanah yang mana terdapat kandungan kapur (tinggi kalsium). Hal ini dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih. 2) Diet makanan dan asupan air Diet tinggi purin (jeroan, bebek, emping), oksalat (susu, sayuran berwarna putih), fosfat (kacang-kacangan, daging, susu dan olahan), dan kalsium mempermudah terjadinya batu saluran kemih. Selain makanan asupan air yang dikonsumsi juga bisa menjadi faktor risiko terjadinya urolithiasis jika seseorang kekurangan intake air dalam tubuh (dehidrasi). 3) Pekerjaan Urolithiasis banyak dialami oleh orang yang pekerjaannya banyak duduk atau aktifitas fisik kurang (sedentary life) serta keinginan BAK yang ditahan dalam kondisi dehidrasi. 4) Iklim/cuaca Iklim yang terlalu ekstrim, dimana suhu lingkungan terlalu tinggi atau terlalu rendah. Temperatur yang tinggi akan meningkatkan keringat dan meningkatkan konsentrasi air kemih. Sedangkan pada daerah yang bersuhu dingin akan menyebabkan pemasukan cairan yang kurang (dehidrasi), sehingga konsentrasi air kencing juga akan menjadi pekat. Konsentrasi air kemih yang meningkat akan meningkatkan pembentukan kristal air kemih.
12
2.5 Patofisiologi Urolithiasis Tugas utama ginjal adalah mengeluarkan produk samping metabolisme yang meliputi kalsium, oksalat, dan asam urat. Ketika konsentrasi mineral tersebut meningkat, maka batu dapat terbentuk di traktus urinarius. Secara teoritis batu dapat terbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (stasis urin), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Ada tidaknya zat inhibitor dalam urin, seperti magnesium, pirofosfat, sitrat dan substansi lain juga menjadi faktor yang menentukan dalam pembentukan batu (Chang 2009), karena substansi tersebut secara normal mencegah kristalisasi dalam urin (Smeltzer et. al, 2002). Pembentukan batu urinarius juga dapat terjadi pada penyakit inflamasi usus dan pada individu dengan ileostomi atau reseksi usus, karena individu ini mengabsorbsi oksalat secara berlebihan. Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahanbahan organik maupun anorganik yang terlarut di dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urin, jika tidak ada keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukuranya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mapu membuntu saluran kemih. Oleh karena itu, agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal) dan dari sini bahanbahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, PH larutan, adanya koloid di dalam urin, konsentrasi solut di dalam urin, laju aliran urin didalam saluran kemih, atau danya korpus alineum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu (Purnomo 2011). Apabila volume urin sedikit, bahan tersebut membuat urin sangat jenuh hingga terbentuk kristal, sedangkan pH urin dan status cairan klien dapat mempengaruhhi laju pembentukan batu karena batu cenderung terjadi pada klien dehidrasi. Selain karena urin sangat jenuh, pembentukan batu dapat juga terjadi pada individu yang memiliki riwayat batu sebelumnya atau pada individu yang stasis karena imobilitas (Chang 2009). Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal (hidronefrosis) dan ureter proksimal 13
(hidroureter). Ada pula beberapa batu yang menyebabkan sedikit gejala, namun secara perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal, sedangkan yang lain menyebabkan nyeri yang luar biasa dan ketidaknyamanan. Nyeri yang berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita ke bawah mendekati kandung kemih, sedangkan pada pria mendekati testis. Bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan diseluruh area kostovertebral dan muncul mual dan muntah maka klien sedang mengalami episode kolik renal (Smeltzer et. al, 2002). Jenis nyeri ini disertai dengan rasa sakit menetap di daerah kostovertebral (titik di bagian pungggung yang berhubungan dengan iga ke-12 dan tepi lateral muskulus sakrospinalis). Gejala gastrointestinal seperti diare dan ketidaknyamanan abdominal dapat terjadi akibat dari refleks renointestinal dan proksimal anatomik ginjal ke lambung, pankreas dan usus besar. Gejala kolik ginjal dapat sangat hebat hingga timbul respon saraf simpatik berupa mual, muntah, kulit pucat, dingin dan lembab (Chang 2009). Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gejala kolik ureteral berupa gelombang nyeri yang luar biasa, akut dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Rasa nyeri hebat dan bersifat hilang timbul karena spasme yang terjadi pada ureter ketika berupaya untuk mendorong batu turun (Chang 2009). Klien sering merasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu. Inflamasi kontinu akibat permukaan batu yang kasar dapat mengakibatkan infeksi ginjal (pielonefritis) atau kandung kemih (sistitis) sehingga timbul demam, menggigil, sering berkemih, hematuria, rasa sakit dan terbakar ketika berkemih. Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi retensi urin (Smeltzer et. al, 2002). Jika batu berukuran kecil, dapat keluar tanpa gejala apa pun, namun jika ukurannya besar, dapat menimbulkan obstruksi dan trauma. Umumnya klien akan mengaluarkan batu dengan diameter 0,5 sampai 1 cm secara spontan. Batu dengan diameter lebih dari 1 cm biasanya harus diangkat atau dihancurkan sehingga dapat diangkat atau dikeluarkan secara spontan (Smeltzer et. al, 2002). Purnomo (2011) Menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar urologi” mengenai teori pembentukan batu saluran kemih. Secara teoritis batu dapat berbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (statis urin) yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis 14
uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia benigna prostat, striktura dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu tersebut terdiri atas kristal-kristal yang tersusun bahan-bahan organik dan anorganik yang terlarut dalam urin. Terbentuk atau tidaknya batu saluran kemih juga ditentukan oleh adanya keseimbangan antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu mencegah timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu saluran kemih yang bekerja mulai dari proses reabsorbsi kalsium dalam usus, proses pembentukan inti batu atau Kristal, proses agregasi kristal hingga retensi kristal. Terdapat beberapa teori dan faktor yang mempengaruhi pembentukan batu pada saluran kemih menurut Stoller (2000) di antaranya: 1) Teori Fisika Kimiawi Disebabkan adanya proses kimia, fisika, maupun gabungan fisika kimiawi adalah prinsip dari teori ini. Terjadinya pembentukan batu sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pembentuk batu di saluran kemih. Berdasarkan faktor risiko terdapat beberapa teori pembentukan batu secara fisika dan kimiawi yaitu: (1) Teori nukleus atau supersaturasi Kristal dan benda asing merupakan tempat pengendapan kristal pada urin yang sudah mengalami supersaturasi sehingga terjadi kristalisasi batu. Syarat terjadi pengendapan
atau
dasar
terpenting
dalam pembentukan
batu
adalah
supersaturasi urin dengan garam-garam pembentuk batu (Manuputty 2011). (2) Teori matriks Menurut Manuputty (2011) Terdapat matriks organik yang berasal dari serum atau protein-protein urin yang berasal dari pemecahan mitokondria sel tubulus renalis juga memberikan kemungkinan terjadinya pengendapan kristal. (3) Teori inhibitor kristaliasasi Terdapat substansi dalam urin yang menghambat terjadinya kristalisasi. Substansi tersebut meliputi peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat, magnesium, asam mukopolisakarida, sehingga jika substansi tersebut berkurang maka akan mempengaruhi terjadinya kristalisasi yang mengakibatkan terjadinya batu saluran kemih. (4) Teori epitaksis Merupakan batu campuran yang terjadi karena kristal menempel pada kristal lain yang berbeda kemudian membesar. Proses ini disebut juga nukleasi heterogen. Kasus yang paling sering terjadi adalah menempelnya kristal kalsium oksalat pada kristal asam urat. (5) Teori kombinasi 15
Batu saluran kemih dianggap oleh para ahli terbentuk berdasarkan campuran teori yang ada. (6) Teori infeksi Pada bakteri pemecah urea yang menghasilkan urease. Pengaruh infeksi terhadap pembentukan batu saluran kemih dipengaruhi oleh pH air kemih >7 dan terbentuknya magnesium ammonium fosfat (batu struvit) akibat reaksi sintesis ammonium dengan molekul fosfat dan magnesium. Selain itu adanya bakteri berukuran kecil yang hidup dalam darah, ginjal, dan air kemih yang tergolong gram negatif dan sensitif terhadap tetrasiklin. Dinding bakteri tersebut membentuk cangkang kalsium kristal karbonat apatit dan membentuk inti batu kemudian kristal kalsium oksalat menempel dan lama kelamaan akan membesar. 2) Teori Vaskuler Stoller mengajukan teori vaskuler karena pada penderita didapat penyakit hipertensi dan kadar kolesterol darah yang tinggi. (1) Hipertensi Aliran darah pada papilla ginjal berbelok 180 derajat dan aliran darah berubah dari aliran luminar menjadi turbulensi yang berakibat terjadinya pengendapan ion-ion kalsium papilla pada klien hipertensi yang disebut kalsifikasi ginjal yang dapat berubah menjadi batu. Selain itu, pada kondisi hipertensi juga menyebabkan terjadinya vasokonstriksi sehingga berdampak pada obstruksi pembuluh darah yang memicu agregasi batu. (2) Diabetes mellitus (DM) Penyakit DM juga bisa menyebabkan urolithiasis karena pada penyakit ini mengakibatkan viskositas darah meningkat sehingga darah menjadi semakin kental. Hal ini yang mengakibatkan mudahnya zat-zat asing mengalami kristalisasi sehingga terbentuk batu. 2.6 Manifestasi Klinis Urolithiasis Menurut Baughman dan Hackley (2000) Manifestasi dari kondisi ini bergantung pada obstruksi, infeksi, edema. Gejala-gejala berkisar dari ringan sampai sangat nyeri dan rasa tak nyaman. 1. Batu pada pelvis renalis 1) Nyeri ketok pada region sudut kostovertebral (CVA) 2) Hematuria dan piuria 3) Nyeri menjalar kearah anterior dan kebawah ke arah kandung kemih pada wanita dan kearah testis pada laki-laki 2. Kolik renalis 1) Nyeri akut, nyeri tekan halus pada area kostovertebral 2) Mual, muntah, diare 16
3) Dapat terjadi rasa tak nyaman pada abdomen 3. Kolik ureteral ( batu yang tersangkut pada ureter) 1) Nyeri akut, sangat sakit, kolik, seperti gelombang yang menjalar kearah paha ke genitalia 2) Sering ingin berkemih, tapi hanya sedikit urin yang keluar; biasanya mengandung darah 4. Batu yang tersangkut pada buli-buli 1) Gejala iritasi berkaitan dengan infeksi saluran perkemihan dan hematuria 2) Retensi urine, jika batu menyumbat leher kandung kemih 3) Kemungkinan sepsis jika terdapat infeksi bersamaan dengan batu
17
Terdapat juga gejala-gejala sebagai berikut: 1. Gejala iritatif 1) Sering berkemih tapi sedikit-sedikit (frekuensi urin sedikit) 2) Disuria (nyeri berkemih) 2. Gejala obstruktif 1) Nyeri kolik 2) Hematuria akibat rupturnya mukosa saluran kemih 3) Retensi urin 4) Hesistensi (anyang-anyangan) 2.7 WOC Urolithiasis (Terlampir)
2.8 Pemeriksaan Diagnostik Urolithiasis Menurut Umamy (2007) Pemeriksaan diagnostik yang bisa dilakukan untuk mengetahui adanya batu ureter (urolithiasis) adalah sebagai berikut: 1. Uji Laboratorium 1) Analisa urin (Urinanalisis) Analisa ini digunakan untuk menemukan faktor risiko pembentukan batu selain itu juga dapat menunjukkan hasil secara umum terkait dengan hal-hal berikut ini: (1) Tes urin lengkap Warna urin mungkin kuning, coklat gelap, berdarah; secara umum menunjukkan SDM, SDP, kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), serpihan, mineral, bakteri, pus; pH mungkin asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) atau alkalin (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat) (Borley 2006). Pemeriksaan ini dikenal dengan pemeriksaan urin rutin dan lengkap yaitu suatu pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan kimia urin yang meliputi pemeriksaan protein dan glukosa. Sedangkan yang dimaksud dengan pemeriksaan urin lengkap adalah pemeriksaan urin rutin yang dilengkapi dengan pemeriksaan benda keton, bilirubin, urobilinogen, darah samar dan nitrit. Warna urin, adanya eritrosit, bakteri yang ada di dalam urin (2) Kultur urin Pemeriksaan ini dilakukan dengan indikasi kecurigaan pada klien dengan adanya ISK karena berguna untuk mendeteksi adanya infeksi sekunder ataupun infeksi saluran kemih (ISK) akibat adanya pertumbuhan kuman
18
pemecah
vena
seperti
(Stapilococus
aureus,
Proteus,
Klebsiela,
Pseudomonas). (3) Tes urin 24 jam Pengumpulan urin 24 jam ini dilakukan saat klien di rumah pada lingkungan yang normal. Hal ini berguna untuk mengetahui kadar pH urin, kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin yang mungkin meningkat. Kadar normal pH urin adalah 4,6-6,8. Jika pH asam maka akan meningkatkan sistin dan batu asam urat. Sedangkan, apabila pH alkali maka dapat meningkatkan magnesium, fosfat amonium (batu kalsium fosfat). Kadar BUN normalnya mencapai 5-20 mg/dl, pada pemeriksaan tujuannya untuk melihat kemampuan ginjal dalam ekskresi sisa yang bernitrogen. BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate (GFR). Hal yang mempengaruhi perubahan kadar BUN adalah diet tinggi protein serta darah dalam saluran pencernaan yang mengalami katabolisme (cedera dan infeksi). Sedangkan untuk Kreatinin Serum memiliki tujuan yang sama dengan pemeriksaan BUN. Kadar normal laki-laki adalah 0,85-15 mg/dl sedangkan perempuan 0,70-1,25 mg/dl. Jika pada serum tinggi dan atau urin rendah maka dapat dikatakan sebagai keabnormalitasan sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal yang dapat menyebabkan terjadinya iskemia/ nekrosis. (4) Kadar klorida, bikarbonat serum, serta hormon paratiroid Peningkatan kadar klorida dan penurunan kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal. Selain itu, kadar hormon paratiroid (PTH) juga mungkin meningkat jika terdapat gagal ginjal. (PTH merangsang reabsorpsi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urin). 2) Tes darah lengkap (DL) Leukosit
kemungkinan
dapat
meningkat,
hal
ini
disebabkan
adanya
infeksi/septikemia, namun berbeda dengan eritrosit yang biasanya dalam kadar normal. Sedangkan Hb/Ht menjadi abnormal bila klien mengalami dehidrasi berat atau polisitemia (mendorong presipitasi pemadatan) atau anemia (pendarahan, disfungsi/ gagal ginjal). Periksa juga kadar protein plasma darah serta laju endap darah. 3) Analisa batu 19
Analisa ini digunakan untuk pemeriksaan adanya batu pada saluran perkemihan dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik sendimen urin. Pemeriksaan ini juga disebut dengan tes mikroskopik urin, dimana survei ini berguna untuk menunjukkan adanya sel dan benda berbentuk partikel lainnya seperti bakteri, virus maupun bukan karena infeksi (perdarahan, gagal ginjal). Pemeriksaan ini juga dapat dipakai untuk mengetahui ada atau tidaknya leukosituria, hematuria dan kristal-kristal pembentuk batu seperti yang dijelaskan di bawah ini: (1) Kalsium oksalat Kalsium ini dapat dijumpai pada klien yang sehat. Terjadi pada urin dari setiap pH terutama jika pH asam. Kristal berbentuk amplop atau halter, ukuran bervariasi dan tidak berwarna ini dapat muncul setelah seseorang mengonsumsi makanan tertentu (seperti asparagus, kubis, dll) serta ketika keracunan ethylene glycol. Jika kristal Ca-oxallate ini berjumlah 1-5 (Positif 1) per LPL masih dinyatakan normal, tetapi jika lebih dari 5 (Positif 2 atau 3) sudah dinyatakan abnormal. (2) Triple fosfat Seperti halnya Ca-oxallate, triple fosfat juga dijumpai pada klien yang sehat. Kristal ini dapat ditemukan pada pH netral ke basa. Kristal berbentuk prisma empat persegi panjang (seperti tutup peti mati) dan kadang-kadang berbentuk daun atau bintang ini dapat muncul setelah mengonsumsi makanan tertentu seperti buah-buahan. Infeksi saluran kemih dengan bakteri penghasil urease (Proteus vulgaris) dapat mendukung pembentukan kristal ini dengan meningkatkan pH dan amonia bebas. (3) Asam urat Kristal ini berbentuk belah ketupat atau jarum yang menyerupai bunga mawar serta berwarna kuning kecoklatan. Kristal ini memberikan nilai klinis pada metabolisme zat sampah atau sisa metabolisme normal. Namun, jumlahnya tergantung dari beberapa hal seperti: jenis makanan, jumlah makanan, kecepatan metabolisme, dan konsentrasi urin.
20
(4) Sistin (Cystine) Kristal berbentuk heksagonal dan
tipis ini muncul akibat dari cacat
genetik atau penyakit hati yang parah. Dapat dijumpai pada cystinuria dan homocystinuria. Terbentuk pada pH asam dan ketika konsentrasinya > 300 mg. Kristal ini sering membingungkan dengan kristal asam urat. Sistin Crystalluria merupakan indikasi cystinuria, diaman merupakan kelainan metabolisme bawaan yang melibatkan reabsorbsi tubulus ginjal tertentu termasuk asam amino sistin. (5) Leusin dan tirosin Merupakan kristal asam amino yang sering muncul bersama-sama dalam penyakit hepar kronis. Leusin muncul dengan berminyak bola dengan radial dan konsentris striations, sedangkan tirosin tampak sebagai jarum yang tersusun sebagai berkas dan berwarna kuning. Kristal ini sangat jarang terlihat pada pemeriksaan mikroskopis sendimen urin. Kristal ini dapat diamati pada beberapa penyakit keturunan seperti tyrosinosis dan Maple Syrup. (6) Kristal kolesterol Kristal ini tampak regular atau iregular, transparan, seperti pelat tipis empat persegi panjang. Penyebabnya tidak jelas, namun hal ini diduga memiliki makna klinis seperti oval fat bodies. Kristal ini sangat jarang dan biasanya disertai proteinuria. (7) Kristal lain Kristal lain yang dapat ditemukan
pada pemeriksaan mikroskopik
sendimen urin, misalnnya adalah: a. Kristal dalam urin asam a) Natrium urat: tidak berwarna, berbentuk batang irregular tumpul, berkumpul membentuk roset. b) Amorf urat: berwarna kuning atau coklat, terlihat sebagai butiran dan berkumpul. b. Kristal dalam urin alkali a) Amonium urat (biurat): berwarna kuning-coklat, berbentuk bulat irregular berduri atau bertanduk. b) Ca-fosfat: tidak berwarna, berbentuk batang panjang, berkumpul membentuk roset. c) Amorf fosfat: tidak berwarna, berbentuk butiran-butiran dan berkumpul. d) Ca-karbonat: tidak berwarna, berbentuk bulat kecil dan halter. c. Kristal akibat sekresi obat dalam urin 21
a) Kristal sulfadiazin Kristal ini terbentuk akibat konsumsi obat sulfadiazine yang biasanya digunakan untuk obat antibakteri. Obat ini terdapat sulfa yang sukar larut dalam urin dan sangat asam sehingga dapat menimbulkan kristaluria dan komplikasi ginjal lainnya. Tindakan pencegahannya yaitu klien dianjurkan minum banyak air putih (≥ 1200 ml/hari) atau diberikan sediaan alkalis (Na-Bikarbonat untuk menaikkan pH urin). b) Kristal sulfonamida Kristal ini terjadi akibat konsumsi obat sulfonamida yang digunakan secara sistemik untuk pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Kristal ini dapat terjadi karena tidak dikombinasikan dengan Na-Bikarbonat (natrium sitrat) sehingga tidak dalam
suasana
alkalis
yang
mengakibatkan
sulfa-sulfa
akan
menghambur dalam saluran kemih secara bebas. 2. Tes Radiologi 1)Foto polos abdomen (BOF, KUB) Radiologi ini dapat dipakai untuk menunjukkan adanya kalkuli dan atau perubahan anatomik pada area ginjal maupun sepanjang ureter. Plain-film radiografi dari ginjal, ureter, dan kandung kemih (KUB) hanya dapat mendokumentasikan ukuran dan lokasi batu kemih radiopak pada batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, karena memiliki kandungan kalsium mereka paling mudah dideteksi oleh radiografi. Pemeriksaan ini digunakan untuk menunjukkan adanya kalkuli dan/atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter. Pertimbangan keperawatan dalam pemeriksaan ini adalah menganjurkan klien untuk dilakukan Lavement dengan dulcolax sebagai persiapan pemeriksaan. Selain itu, pemeriksaan ini berperan untuk menilai kandung kemih dan ginjal, dimana ditentukan dari: (1) (2) (3) (4)
Distribusi udara di dalam usus rata atau tidak. Bentuk ginjal. Bayangan batu : dimana dilihat radiopak, radiolusent. Garis M. Psoas simetris. Jika tidak simetris harus dilakukan transplantasi ginjal.
22
Gambar 2.5 Gambaran Abdomen / BOF, KUB)
Plain Foto (Foto Polos (Tanagho dan McAninch, 1976)
2) IVP (Intra Vena Pielografi) / IVU (Intravenous Urography) Memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri abdomen atau panggul. Tes ini juga dapat menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli. Saat ini, IVU/IVP memiliki peran yang terbatas dalam manajemen. IVU/IVP menyediakan informasi yang berguna mengenai ukuran batu, lokasi, dan radiodensity. Anatomi Calyceal, derajat obstruksi, serta unit ginjal kontralateral juga dapat dinilai dengan akurasi. IVU/IVP tersedia secara luas, dan interpretasinya baik standar. Selain itu, IVU/IVP memungkinkan untuk kalkuli saluran kemih dapat dengan mudah dibedakan dari radiografi non-urologi. Keakuratan IVU/IVP dapat dimaksimalkan dengan persiapan usus yang tepat, dan efek ginjal merugikan dari media kontras dapat diminimalkan dengan memastikan bahwa klien terhidrasi dengan baik. Langkah-langkah persiapan membutuhkan waktu dan sering tidak dapat dicapai ketika kondisi klien dalam situasi darurat. Dibandingkan dengan ultrasonografi abdomen dan KUB radiografi, IVU/IVP memiliki sensitifitas yang lebih besar (64-87%) dan spesifisitas (92-94%) untuk mendeteksi batu ginjal. Kontras diperlukan untuk melakukan IVU/IVP. Efek nefrotoksik kontras didokumentasikan dengan baik dari literatur IVU dan dibahas secara singkat untuk memudahkan pembaca tentang kesepakatan klinis dengan situasi di mana penggunaan kontras masih di pertanyaan.
23
Indikasi pemeriksaan ini yaitu pada klien dengan: (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Hematuria ISK yang berulang Batu saluran kemih Anomali anatomi sistem urinari Nyeri pinggang yang tidak bisa diterangkan penyebabnya Nyeri kolik ginjal Dicurigai terdapat tumor yang mengganggu fungsi saluran kencing-ginjal, ureter, kandung kemih, dan atau uretra Kontraindikasi pemeriksaan ini adalah:
(1) Kadar kreatinin >1,5 (2) Alergi terhadap kontras (Aziz 2008). Pertimbangan keperawatan dalam pemeriksaan ini adalah menyarankan kepada klien agar melakukan puasa selama 6-8 jam agar pemeriksaan berjalan dengan lancar, selain itu juga dilakukan lavage. Syarat-syarat pemeriksaan ini adalah klien tidak memiliki alergi kontras dan fungsi ginjal baik.
Gambar 2.6 Hasil pemeriksaan dengan IVU/IVP (Tanagho dan McAninch, 1976)
3) Sistoureteroskopi Visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat menunjukkan batu dan atau efek obstruksi (Borley 2006). 4) CT-scan Pemindaian CT-scan akan menghasilkan gambar yang lebih jelas tentang ukuran dan lokasi batu. Pemeriksaan ini dipakai untuk mengidentifikasi kalkuli dan masa lain; ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih. Sangat akurat mendiagnosa ureteral kalkuli, sensitifitas sangat tinggi untuk mengidentifikasi obstruksi. Selain itu, CT-scan juga sebagai Gold Standart dari pemeriksaan trauma urinari. Mengidentifikasi atau menggambarkan kalkuli dan massa lain; ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih (Borley 2006). Indikasi: 24
(1) (2) (3) (4) (5)
Obstruksi saluran kemih BSK (Batu saluran kemih) Trauma urinari Kalkuli ureter Distensi bladder
Gambar 2.7 Gambaran CT-scan (Tanagho dan McAninch, 1976)
5) Ultrasound ginjal (USG) Ultrasonografi Doppler berwarna transabdomen untuk mendeteksi hilangnya “daya pancaran” ureter ke dalam kandung kemih juga dianjurkan sebagai pemeriksaan diagnostik pada klien dengan suspek urolithiasis (Leveno 2009). USG ginjal digunakan untuk menunjukkan perubahan obstruksi, lokasi batu. Namun Saat ini, USG memiliki penggunaan yang terbatas dalam diagnosis urolithiasis dan stone of lower urinary. Ultrasonografi adalah teknik yang dapat membaca dengan cepat yang memiliki sensitivitas tinggi dalam mendeteksi batu ginjal. Penggunaan rutin USG paten pada klien yang mengalami kolik ginjal akut terbatas. Menariknya, jika batu ureter divisualisasikan oleh USG, temuan ini dapat diandalkan dengan spesifisitas dilaporkan 97%. Meskipun peran untuk diagnostis terbatas, USG dapat memainkan peran penting untuk manajemen dan tindak lanjut untuk klien dengan urolithiasis. USG sangat sensitif terhadap hidronefrosis yang mungkin merupakan manifestasi dari obstruksi saluran kemih. Selain itu, ultrasonografi abdomen adalah modalitas penggambaran pilihan untuk evaluasi nyeri ginekologi, yang lebih umum daripada urolithiasis pada wanita usia subur. Klien dalam kelompok usia anak serta klien dengan riwayat batu nooradio calculi (asam urat) juga dapat dikelola radiografi dengan USG (Pearl dan Nakada, 2009). Indikasi: (1) Suspek urolithiasis (2) Kolik ginjal 25
(3) (4) (5) (6) (7)
Batu ginjal Hidronefrosis Obstruksi saluran kemih Batu asam urat Nyeri ginekologi
Gambar 2.8 Doppler (Tanagho dan
Gambaran USG McAninch, 2008)
6) Sistoskopi Sistoskopi adalah prosedur pemeriksaan dengan menyisipkan sebuah tabung kecil fleksibel melalui uretra, yang memuat sebuah lensa dan sistem pencahayaan yang membantu dokter untuk melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih untuk mengetahui kelainan dalam kandung kemih dan saluran kemih bawah. Dengan prosedur ini, batu ginjal dapat diambil dari ureter, kandung kemih atau uretra, dan biopsi jaringan dapat dilakukan. Retrograde pielografi adalah pemasukan zat kontras melalui kateter ke dalam ureter dan pelvis ginjal, yang dapat dilakukan selama sistoskopi. Dan berguna untuk mengetahui kerusakan dari serabut-serabut otot pada kandung kemih (Chang 2009). Indikasi pemeriksaan ini yaitu klien dengan kelainan anomali bladder, saluran kemih, dan batu ginjal.
26
7) Uroflowmetry dan Urodinamik Berguna untuk mengukur kecepatan pengeluaran urin, tekanan bladder dan tekanan abdominal. Serta untuk mendeteksi pancaran kencing sehingga dapat mengetahui ada tidaknya kelainan pada saluran kencing bawah, seperti adanya kelainan prostat (BPH) maupun kelainan striktur uretra. Interpretasi yang bisa dilakukan yaitu dengan cara melihat nilai kecepatan pengeluaran urin (minimal 100 cc urin) sebagai berikut: (1) 0 – 10 ml/s : Obstruksi (2) 10-15 ml/s : Border line (3) >15 ml/s : Normal
Gambar 2.9 Mekanisme Uriflowmetry
Indikasi: (1) BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) (2) Striktur uretra (3) Kelainan saluran kencing bagian bawah
27
Urodinamik yaitu dengan dua kali tes uroflowmetry dengan volume urin 10mm Terfiksir di saluran kemih
Kontraindikasi ESWL: 1. Kontraindikasi Absolut Adanya ISK akut, gangguan perdarahan yang tidak terkoreksi, kehamilan, sepsis serta obstruksi batu distal. 2. Kontraindikasi Relatif Kontra indikasi relatif untuk terapi ESWL adalah: 1) Status mental, meliputi kemampuan untuk bekerja sama dan mengerti prosedur. 2) Berat badan >300 lb (150 kg) tidak memungkinkan gelombang kejut mencapai batu, karena jarak antara F1 dan F2 melebihi spesifikasi lithotriptor. Pada klien seperti ini sebaiknya dilakukan simulasi lithotriptor terlebih dahulu 3) Klien dengan deformitas spinal atau orthopedik, ginjal ektopik dan atau malformasi ginjal (meliputi ginjal tapal kuda) mungkin mengalami 32
kesulitan dalam pengaturan posisi yang sesuai untuk ESWL. Selain itu, abnormalitas drainase intrarenal dapat menghambat pengeluaran fragmen yang dihasilkan oleh ESWL 4) Masalah paru dan jantung yang sudah ada sebelumnya dan dapat diatasi dengan anestesi. 5) Klien dengan pacemaker aman diterapi dengan ESWL, tetapi dengan perhatian dan pertimbangan khusus. 6) Klien dengan riwayat hipertensi, karena telah ditemukan peningkatan insidens hematom perirenal pasca terapi. 7) Klien dengan gangguan gastrointestinal, karena dapat mengalami eksaserbasi pasca terapi walaupun jarang terjadi. Persiapan sebelum ESWL: 1. Harus melalui serangkaian pemeriksaan laboratorium baik darah maupun urin untuk melihat fungsi ginjal, jenis batu, dan kesiapan fisik klien 2. Pemeriksaan yang paling penting adalah rontgen atau USG untuk menentukan lokasi batu dan kemungkinan jenisnya. 3. Berikan analgesik untuk untuk sedatif ringan 4. Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi dan puasa minimal 4 jam sebelumnya. Tindakan pasca ESWL: 1) Evaluasi pemecahan dapat diketahui langsung (real time) baik dengan x ray dan atau USG 2) Hidrasi yang baik untuk memperlancar keluarnya batu yaitu minimal 2 liter air sehari. 3) Berikan Health Education mengenai keadaan nyeri saat post tindakan karena pecahan batu keluar spontan bersama urin terkadang sedikit tidak nyaman waktu kencing. 4) Jika dianjurkan untuk analisa maka pecahan batu dikumpulkan untuk dianalisa dalam melihat komposisi batu dengan cara disaring untuk mencegah relaps. 3. URS (Ureter Resection Cytoscopy/ Ureterorenoskopi) Ureteroskopi adalah pengembangan dari sistoskopi dan berangsur-angsur menjadi bentuk teknik utama untuk diagnosis dan terapi kelainan di dalam ureter atau bahkan dengan ureterorenoskop fleksibel dapat dicapai semua kaliks dalam ginjal. Ureteronoskopi (URS) atau ureteropieloskopi adalah tindakan endoskopi ureter sampai pelvis renalis dengan menggunakan alat ureteroskop atau ureterorenoskop, dan digunakan untuk tujuan diagnostik dan intervensi terapetik. 33
Sebenarnya URS merupakan pengembangan dari teknik sistoskopi. Alat URS dapat dimasukkan secara retrograde lewat orifisium ureter atau secara antegrade melalui trek nefrotomi. URS adalah alat pemecah batu saluran kemih yang menggunakan power ultrasonik atau pneumatik. URS merupakan tindakan invasif secara minimal. Geratan yang digunakan high frequency sehingga hanya akan merusak batu namun aman bagi jaringan lunak. URS ini berguna untuk pemeriksaan batu yang letaknya di saluran kemih bagian bawah ureter dan kandung kemih. Cara penggunaan alat ini dimasukkan melalui penis. Pada prosedur URS suatu endoskopi semi rigid atau fleksibel dimasukkan ke dalam ureter bagian lewat buli-buli di bawah anastesi umum atau regional. Dengan ureteroskop yang flaksibel dapat mencapai batu dalam kaliks ginjal dan dapat dapat diambil atau dihancurkan dengan semua elektrohidroulik atau laser. Indikasi URS yaitu besar batu > 4mm sampai 15mm. 4. Metode endurologi Bidang endourologi menggabungkan keterampilan ahli radiologi dan urologi untuk mengangkat batu renal tanpa pembedahan mayor. Nefrostomi perkutan dilakukan dan nefroskopi dimasukkan ke traktus perkutan yang sudah dilebarkan ke dalam parenkim renal. Batu dapat diangkat dengan forceps atau jaring, tergantung dari ukurannya. 5. Pengangkatan batu dengan pembedahan terbuka Jika lokasi batu di dalam ginjal, pembedahan dapat dilakukan dengan nefrolitotomi, atau nefrektomi jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi atau hidronefrosis. Pembedahan yang sering dilakukan dengan laparoskopi. Pembedahan jenis ini digunakan untuk mengambil batu saluran kemih. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter diantaranya bedah terbuka: 1) 2) 3) 4)
Pielolitotomi atau nefrolitotomi : mengambil batu di saluran ginjal Ureterolitotomi : mengambil batu di ureter. Vesikolitotomi : mengambil batu di vesica urinaria Ureterolitotomi : mengambil batu di uretra.
2.8 Komplikasi Urolithiasis Komplikasi yang mungkin munncul akibat dari urolithiasis, antara lain: 1. 2. 3. 4.
Kerusakan tubular dan iskemik partial (Suharyanto dan Madjid, 2009) Hidronefrosis Terbentuknya abses Pyelonefrosis 34
5. 6. 7. 8.
Terbentuknya fistula urinarius Perforasi ureter Urosepsis yang bisa disebabkan oleh obstruksi Adanya obstruksi total selama 48 jam dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang irreversibel
9.
Gangguan fungsi ginjal
2.9 Prognosis Urolithiasis Batu saluran kemih (urolithiasis) merupakan masalah kesehatan yang cukup signifikan, baik di Indonesia maupun di dunia. Kejadian urolithiasis ini banyak dialami oleh pria dari pada wanita. Biasanya terjadi pada usia dewasa muda. Di beberapa negara Eropa prevelensi kejadian urolithiasis sekitar 3 %. Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Semakin besar ukuran batunya, maka semakin buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah terjadinya infeksi. Semakin besar kerusakan jaringan dan adanya infeksi karena faktor obstruksi maka akan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal (Umamy 2007). Prevelensi penyakit ini diperkirakan 13% pada laki-laki dewasa dan 7% pada perempuan dewasa, dengan puncak usia dekade ketiga sampai keempat. Angka kejadian batu ginjal berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia tahun 2002 adalah sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan sebesar 58.959 orang. Selain itu, jumlah klien yang dirawat mencapai 19.018 orang, dengan mortalitas sebesar 378 orang. Setelah keluarnya batu baik secara spontan (konsevatif) maupun dengan tindakan (seperti; bedah terbuka, ESWL,dll) perlu dilakukan tindakan pencegahan kekambuhan batu. Kekambuhan batu saluran kemih ini dapat terjadi pada 20-30% klien dan pada beberapa klien yang mengeluarkan batu secara spontan setiap tahun. Juga ada literatur yang mengatakan bahwa secara umum hampir 50% klien mengalami batu kambuhan dalam 5 tahun. Untuk itu diperlukan pemeriksaan darah dan urinalisa untuk mencari/menemukan faktor resiko untuk pembentukan batu (Stoller 2000). Dalam kasus tertentu, IVU dapat dimanfaatkan untuk diagnosis urolithiasis pada kehamilan. Tingginya paparan radiasi terhadap ibu dan janin menjadi perhatian dan karena itu terbatas protokol 1-shot harus digunakan dengan radiograf diambil 10 menit setelah injeksi kontras. Seperti disebutkan sebelumnya, masa depan mungkin memiliki peran untuk MRU. Spencer et al. melaporkan bahwa MRU adalah modalitas yang sangat kuat dalam penyelidikan hidronefrosis selama kehamilan. Selain itu juga
35
digunakan mengidentifikasi tanda-tanda obstruktif lainnya seperti hidronefrosis dan hidroureter (Pearl dan Nakada, 2009).
2.10 Pencegahan Batu yang Berulang Sebagai seorang perawat kita harus memberikan Health Education kepada klien untuk mencegah terjadinya pembentukan batu yang berulang yaitu dengan memberikan HE tentang: 1. Asupan minum yang cukup 2. Menghindari kebiasaan menahan kencing 3. Pada batu yang disebabkan karena kalsium oksalat maupun kalsium fosfat atau batu purin (Batu asam urat) maka kita harus menjelaskan mengenai jenis-jenis makanan yang harus dihindari terutama jenis makanan yang banyak mengandung purin seperti JASBUKET (Jerohan, Alkohol, Sarden, Burung dara, Unggas, Kaldu, Emping, dan Tape) ataupun BENJOL (Bebek, Emping, Nangka, Jerohan, Otak, Lemak).
36
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN UROLITHIASIS (ASKEP UMUM) 3.1 Pengkajian Menurut Darsini (2011) Nursing care pada klien dengan urolithiasis adalah sebagai berikut: 1 Anamnesa 1) Data demografi Terdiri dari nama, usia, jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, diagnosa medis, agama, suku bangsa klien dan keluarga penanggung jawabnya. 2) Riwayat kesehatan (1) Keluhan utama Keluhan dari klien bergantung pada posisi atau letak batu, ukuran batu, dan penyulit yang ada. Nyeri akibat adanya peningkatan tekanan hidrostatik di daerah abdomen bagian bawah yakni berawal dari area renal meluas secara anterior dan pada wanita ke bawah mendekati kandung kemih sedangkan pada pria mendekati testis. Nyeri yang dirasakan bisa berupa nyeri kolik atupun non kolik. Nyeri kolik hilang timbul akibat spasme otot polos ureter karena peningkatan aktivitas untuk mengeluarkan batu. Sedangkan nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ureter karena hidronefrosis atau infeksi pada ureter. Apabila urolithiasis disertai dengan adanya infeksi maka demam juga akan dikeluhkan. Keluhan kencing seperti disuria, retensi urin atau gangguan miksi lainnya dikeluhkan klien saat pertama datang ke tenaga kesehatan. (2) Riwayat penyakit sekarang Klien awalnya mengeluhkan perubahan gangguan eliminasi urin yang dialami (oliguria, disuria, hematuria). Biasanya seiring berjalannya waktu dan tingkat keparahan penyakit maka nyeri mulai dirasakan dan nyeri ini bersifat progresif. Respon dari nyeri itu sendiri yakni munculnya gangguan gastrointestinal, seperti keluhan anoreksia, mual, dan muntah yang menimbulkan manfestasi penurunan asupan nutrisi umum. Mengkaji berapa lama dan berapa kali keluhan tersebut dirasakan, apa yang dilakukan, kapan keluhan tersebut muncul adalah penting untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit. (3) Riwayat penyakit dahulu
37
Adanya riwayat batu ginjal sebelumnya, riwayat mengalami gangguan haluaran urin sebelumnya, riwayat ISK, riwayat hiperkalsemia ataupun hiperkalsiuria,
riwayat
hiperparatiroidisme,
riwayat
penyakit
kanker
(berhubungan dengan adanya malignansi), dan riwayat hipertensi yang bisa menjadi faktor penyulit pada kasus urolithiasis, penderita osteoporosis yang menggunakan obat dengan kadar kalsium yang tinggi. (4) Riwayat penyakit keluarga Keluarga pernah menderita urolithiasis, adanya riwayat ISK, riwayat hipertensi, riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, gout, riwayat penyakit
usus
halus,
riwayat
bedah
abdomen
sebelumnya,
hiperparatiroidisme. 3) Riwayat penggunaan obat Adanya riwayat pengunaan obat-obatan tinggi kalsium, antibiotik, opioda, antihipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid, pemasukan 2
berlebihan kalsium dan vitamin. Pemeriksaan Fisik 1) Kepala dan leher: Kepala normal dan bentuk simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada keterbatasan gerak leher. Klien mengatakan dapat bergerak dengan baik pada bagian kepala dan leher tanpa ada keterbatasan gerak. 2) Mata: Mata normal, tidak menggunakan alat bantu penglihatan, respon klien dalam melihat cahaya normal. 3) Hidung: Hidung normal, jalan nafas efektif, tidak menggunakan pernapasan cuping hidung, tidak ada kelainan bentuk hidung, tidak keluar sekret atau pus dari dalam hidung, tidak ada obstruksi jalan nafas. 4) Telinga: Fungsi pendengaran kien baik, tidak adanya gangguan mendengar, tidak ditemukan adanya kelainan bentuk dan kelainan lain. Klien tidak menggunakan alat bantu pendengaran. 5) Mulut dan gigi: mukosa bibir kering atau lembab, tidak ada peradangan pada mulut, mulut dan lidah bersih. 6) Dada (1) Inspeksi: Dada klien simetris. (2) Palpasi: Dada klien simetris tidak ditemukan adanya bennjolan. (3) Perkusi: Tidak ditemukan adanya penumpukan sekret, cairan atau darah di daerah paru. (4) Auskultasi: Suara napas normal, dan terdengar suara jantung. 7) Abdomen (1) Inspeksi: Warna kulit, turgor kulit baik. (2) Auskultasi: Peristaltik usus 12x/menit (3) Palpasi: Adanya nyeri tekan pada abdomen kiri bawah (4) Perkusi: 38
8) Genetalia: Hasil pengkajian keadaan umum dan fungsi genetalia tidak ditemukan adanya keluhan atau kelainan bentuk anatomi. 9) Pola aktifitas: Perkejaan yang dilakukan monoton, perkerjaan dimana klien terpajan pada lingkungan bersuhu tinggi. Keterbatasan aktivitas/imobilisasi sehubungan dengan kondisi sebelumnya (contoh penyakit tak sembuh, cedera medulla spinalis). 10) Pola sirkulasi: Adanya peningkatan TD/nadi (nyeri, anseitas, gagal ginjal). Kulit hangat dan kemerahan, pucat. 11) Pola eliminasi: Riwayat adanya ISK Kronis atau obstruksi sebelumnya (kalkulus). Terjadi penurunan haluaran urin yang ditandai dengan adanya rasa seperti terbakar, oliguria, hematuria, piuria, perubahan pola berkemih. 12) Pola intake makanan dan cairan: Klien mual dan muntah, nyeri tekan pada abdomen. Diet rendah purin, kalsium oksalat, dan fosfat. Ketidakcukupan pemasukan cairan, tidak minum air dengan cukup yang ditandai dengan distensi abdomen, penurunan suara bising usus. 13) Nyeri: Terjadi secara akut atau bisa juga terjadi nyeri kronik. Lokasi nyeri tergantung pada lokasi batu, contoh pada panggul di region sudut kostovetebral (CVA) dan dapat menyebar ke seluruh punggung, abdomen, dan turun ke lipat paha serta genitalia. Nyeri dangkal konstan menunjukan kalkulus ada di pelvis atau kalkulus ginjal. Nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain yang ditandai dengan prilaku distraksi, terjadi demam dan menggigil.
39
Pemeriksaan fisik dengan metode ROS: 1. B1 (breathing) Pola napas cepat dan dalam pada kussmaul menunjukkan adanya asidosis metabolik. Jika memberat, edema paru bisa ditemukan menjadi penyakit paru uremik (edema paru nonkardiogenik). Ronkhi terdengar karena beban volume berlebihan pada paru sebagai akibat dari retensi natrium dan air. Klien sering mengalami infeksi karena imunosupresi pada gagal ginjal terminal. 2. B2 (blood) Gagal ginjal kronik bisa memicu gagal jantung kongestif. Sedangkan gagal ginjal terminal dapat menimbulkan manifestasi anemia karena eritopoiesis. Keadaan hidrasi klien penting diperiksa pada semua klien dengan masalah kesehatan yang berhubungan dengan sistem perkemihan. 3. B3 (brain) Periksa adanya anemia dan ikterus (jarang ditemukan) sebagai akibat dari retensi nitrogen yang menyebabkan hemolisis. Fetor uremikum (bau amoniak hasil pemecahan urea di dalam saliva). Stomatitis dan ulkus dapat dijumpai karena ada penurunan aliran saliva sehingga memunculkan risiko infeksi. Pada sistem persarafan sendiri, pada klien kronis berat adalah somnolen sampai koma karena retensi nitrogen atau toksik. 4. B4 (bladder) a Inspeksi a) Amati pembesaran pada daerah pinggang dan abdomen yang mungkin terlihat karena adanya hidronefrosis. b) Pemeriksaan eliminasi urin Perubahan yang terjadi biasanya adalah perubahan pancaran miksi akibat dari obstruksi pada saluran kemih atau kelainan neurologis atau pascatrauma pada saluran kemih. c) Pemeriksaan genitalia eksterna Mencakup genitalia eksternal dan cincin. Melalui inspeksi, perhatikan adanya kelainan pada penis dan uretra, misalnya mikropenis, makropenis, hipospadia, kordae, epispadia, stenosis pada meatus eksterna, fimosis/parafimosis, fistel uretrokutan, ulkus, tumor, dan keganasan penis.
d) Maturitas seksual
40
Mengkaji kematangan seksual klien, dari ukuran dan bentuk penis dan testis, warm dan tekstur kulit skrotum dengan karakternya, dan distribusi rambut pubis. Inspeksi juga kulit yang menutup genitalia untuk kutu,ruam, ekskoriasi, ataupun lesi. e) Penis Inspeksi struktur penis, termasuk batang, korona, prepusium, glans, dan meatus uretra untuk mengkaji adanya lesi. Vena dorsalis harus terlihat saat inspeksi. Lakukan palpasi untuk mengkaji adanya nyeri ataupun kondisi abnormal. f) Skrotum Inspeksi bentuk, ukuran dan kesimetrisan juga adanya lesi dan edema. b
c
d
Auskultasi Kaji adanya bruit renal dan paling terdengar tepat di atas umbilikus sekitar 2cm dari sisi kanan atau sisi kiri garis tengah. Perkusi Memberikan ketokan pada sudut kostovertebra (CVA). Pada klien dengan pielonefritis, batu ginjal pada pelvis, dan batu ureter akan terasa nyeri. Palpasi Ginjal teraba unilateral
Ginjal teraba bilateral
Hipernefroma (kasrsinoma sel ginjal)
Karsinoma sel ginjal bilateral
Hidronefrosis atau pionefrosis
Hidronefrosis atau pionefrosis bilateral
Ginjal polikistik (dengan pembesaran yang asimetris)
Ginjal polikistik
Ginjal kanan normal/ginjal soliter
Sindrom nefrotik, nefropati diabetika
Pemeriksaan kandung kemih dengan palpasi dan perkusi kandung kemih dilakukan untuk menentukan batasnya dan adanya nyeri tekan pada area suprasimfisis. Perhatikan adanya benjolam atau masa atau jaringan parut di suprasimfisis. Masa yang teraba mungkin merupakan kandung kemih yang penuh sebagai akibat dari retensi urin yang dialami. 5. B5 (bowel) Stomatitis dan bau amonia pada klien dengan masalah ginjal dapat menimbulkan anoreksia yang berpotensi pada penurunan pemenuhan nutrisi tubuh. Selain itu, ulkus mukosa mulut dan lambung dapat memperberat anoreksia lebih lagi. Kaji adanya asites di
abdomen
akibat
berkumpulnya
cairan
karena
sindrom
nefrotik
sebab
hipoalbuminemia. 41
6. B6 (bone) Kulit dapat kekuningan akibat gagal ginjal kronis atau abu-abu sampai merah tua akibat desposisi zat besi pada klien yang melakukan transfusi darah multipel. Sedangan kuku klien biasanya ada leukonikia karena hipoalbumin, yang ditandai dengan proteinuria berat (>3,5 gr/24jam), kadar albumin serum rendah (100-200 cc
3.
Intake cairan dalam rentang normal
bladder 4) Instruksikan pada klien dan keluarga untuk mencatat output urine 5) Sediakan
privasi
untuk
eliminasi 6) Stimulasi refleks bladder 43
4.
Bebas dari ISK
dengan
5.
Tidak ada spasme
pada abdomen.
bladder 6. 7.
Balance cairan seimbang Level nyeri 1) Laporan nyeri 2) Durasi nyeri 3) Ekspresi wajah klien 4) Tidak terjadi diaporesis
8. Eliminasi urin optimal dilihat dari indikator: 1) Pola berkemih 2) Jumlah urin 3) Warna urin 4) Intake cairan 5) Kejernihan urin 6) Bau urin
kompres
dingin
7) Kateterisaai jika perlu 8) Monitor tanda dan gejala ISK (panas, hematuria, perubahan bau dan konsistensi urine) 2. Monitoring kadar albumin, protein total 3. Lakukan perawatan perineal dan perawatan selang kateter 4. Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan. 5. Ajarkan serta demonstrasikan kepada klien dan anggota keluarga tentang teknik berkemih yang akan digunakan di rumah. Sehingga klien dan keluarga mampu melakukannya dengan mandiri. 6. Kolaborasikan obat
3.
Risiko infeksi
Tujuan:
diuretik KONTROL INFEKSI
b.d prosedur
Setelah dilakukan tindakan
1. Pertahankan teknik aseptif
invasif
keperawatan selama 1x24 jam
2. Cuci tangan setiap sebelum
(Sistoskopi atau
infeksi pada klien dapat
dan sesudah tindakan
penggunaan
terkontrol
keperawatan
kateter)
3. Gunakan baju, sarung tangan Kriteria Hasil:
sebagai alat pelindung 4. Gunakan kateter intermiten 44
Faktor-faktor
1. Klien bebas dari tanda
untuk menurunkan infeksi
risiko :
dan gejala infeksi
1. Prosedur
(tumor, dolor, rubor,
kandung kemih 5. Tingkatkan intake nutrisi 6. Dorong klien untuk memenuhi
Invasif
kolor, fungsio laesa)
2. Inadekuat
2. Menunjukkan
pertahanan
kemampuan untuk
sekunder
mencegah timbulnya
(penurunan Hb,
infeksi
Leukopenia,
PROTEKSI TERHADAP INFEKSI
3. Jumlah leukosit dalam
penekanan
batas normal (4000
respon
10.000/mm3)
inflamasi)
intake cairan 7. Berikan terapi antibiotik
1. Monitoring tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal 2. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan,
4. Status imunitas baik c)
dilihat dari indikator: 1) Suhu tubuh 2) Fungsi respirasi 3) Fungsi gastrointestinal 4) Fungsi genitourinaria
3. 4. 5. 6.
panas, drainase Monitoring adanya luka Batasi pengunjung bila perlu Dorong klien untuk istirahat Ajarkan klien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi 7. Kaji suhu badan pada klien neutropenia setiap 4 jam 8. Laporkan kecurigaan infeksi
5) Integritas kulit 6) Integritas mukosa 3.4 Evaluasi Diagnosa 1 1. Kontrol nyeri No
Indikator Target
Tidak bisa
.
(Kriteria Hasil)
menjelaskan 1
1.
Klien menuliskan
2.
gejala nyeri berkurang Klien dapat
3.
Tingkat Kontrol nyeri KadangJarang Sering kadang 2 3 4
Selalu 5
1
2
3
4
5
menjelaskan faktor
1
2
3
4
5
penyebab nyeri Klien dapat mengetahui
1
2
3
4
5
intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri 45
(farmaka dan non 4.
farmaka) Klien melaporkan perubahan gejala nyeri yang terkontrol pada
5.
tim medis Klien mengetahui onset nyeri
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Mild
None
4 4 4 4 4
5 5 5 5 5
Mild
None
4 4 4 4 4
5 5 5 5 5
2. Level nyeri berkurang No
Indikator Target
.
(Kriteria Hasil)
1. 2. 3. 4.
Laporan nyeri Durasi nyeri Ekspresi wajah klien Tidak terjadi diaporesis
Severe 1 1 1 1 1
Tingkatan Nyeri Moderat Substantional e 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3
Diagnosa 2 1. Level nyeri berkurang No
Indikator Target
.
(Kriteria Hasil)
1. 2. 3. 4.
Laporan nyeri Durasi nyeri Ekspresi wajah klien Tidak terjadi diaporesis
Severe 1 1 1 1 1
Tingkatan Nyeri Moderat Substantional e 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3
46
2. Eliminasi urin optimal Indikator No
Target (Kriteria
1.
Hasil) Pola
2.
berkemih Jumlah
3.
urin Warna
4.
urin Intake
5.
cairan Kejerniha
6.
n urin Bau urin
Tingkat Eliminasi
1
Substantiona l compromised 2
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Severe compromised
Moderate Compromised
Mild compromised
3
4
Not Compromise d 5
Diagnosa 3 Status imunitas Indikator No
Target (Kriteria
1.
Hasil) Suhu
2.
tubuh Fungsi
3. 4.
respirasi Fungsi GI Fungsi
5.
GU Integritas
6.
kult Integritas kulit
Severe compromised 1
Tingkat Status Imunitas Substantiona Moderate Mild l Compromised compromised compromised 2 3 4
Not Compromise d 5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
47
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN UROLITHIASIS (ASKEP KASUS) 3.5
Studi Kasus Seorang laki-laki (49 tahun) dirawat ke RSUA dengan keluhan nyeri pada pinggang kiri hilang timbul menjalar ke bagian frontal sampai meatus uretra dan kencing yang sedikit. Klien juga mengatakan nyeri hebat saat berkemih. Nyeri ini muncul sejak 2 bulan yang lalu dan tidak diketahui penyebabnya, akhirnya oleh keluarga di bawa ke RSU Gresik. Sehubungan dengan keterbatasan alat, maka klien dirujuk ke RSUA untuk penanganan lebih lanjut. Klien mengatakan selama ini jarang minum air putih dan berolahraga. Selain itu, klien memiliki riwayat penyakit kronis DM sejak 2 tahun yang lalu dan tidak terkontrol dan keluarga klien (ayah klien) pernah mengalami penyakit ini sebelumnya. Klien hanya mampu menghabiskan setengah porsi makan karena klien mengalami mual muntah. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik ditemukan TTV: Suhu: 37,50C, N: 87x/menit, T: 120/80, RR 20x/menit dengan BB saat ini: 50kg BB sebelumnya: 60 kg, TB 160cm. Pada pemeriksaan sistem perkemihan ditemukan genitalia dan meatus uretra dalam keadaan bersih, BAK output 1000 cc/hari berwarna kuning jernih dan intake cairan 1500 cc/hari. Sedangkan berdasarkan pemeriksaan diagnostik ditemukan WBC: 17.2, BUN: 9.8, Kreatinin serum:1.8, Natrium: 120 meq, Hb: 11.9 mg/dl dengan terapi Cefotoxin 3x1gram, ranitidine 2x1amp, Pronalges 2x1 (k/p). Diagnosa klien saat ini adalah Batu Ureter (S).
1.6 Asuhan Keperawatan Kasus 1. Pengkajian 1)
Data demografi
Nama
: Tn. D
Usia
: 49 tahun
Alamat
: Wonorejo, Lamongan
Agama
: Islam
Pendidikan : Tamat SD Pekerjaan : Tukang becak Suku
: Jawa
Bangsa
: Indonesia
48
2)
Keluhan utama
Nyeri pada pinggang kiri dan kencing sedikit dan terasa nyeri saat berkemih. 3)
Riwayat Penyakit (1) Riwayat penyakit dahulu Klien memiliki riwayat penyakit kronis DM sejak 2 tahun yang lalu dan tidak terkontrol. (2) Riwayat penyakit sekarang Klien mengalami nyeri pada pinggang sebelah kiri hilang timbul menjalar sampai ke ujung penis dan kencing sedikit sejak 2 bulan yang lalu. Keluarga klien pun akhirnya membawa klien ke RS terdekat di Gresik. Karena keterbatasan alat, klien akhirnya dirujuk ke RSUA. Selain itu, klien
juga mengalami penurunan nafsu makan karena mual muntah. (3) Riwayat Penyakit Keluarga Ayah klien pernah mengalami penyakit yang sama seperti klien. 4) Psikososiospiritual Klien merasa dirinya sudah tidak bisa lagi menghidupi keluarganya karena sakit yang dialaminya saat ini. Istri klien hanya seorang ibu rumah tangga. Namun selama di RS istri klien selalu menyemangati klien agar tetap sabar dan kuat melawan penyakitnya. 5) Keadaan umum Klien tampak lemah, kesadaran kompos mentis dengan GCS 456. Edema (-), ikterus (-), kondisi klien bersih. (1) Hasil pemeriksaan: BB 50 kg, TB 160 cm. (2) TTV: TD: 120/80 mmHg, Nadi: 87x/menit, Suhu: 37,50C, RR: 20x/menit 6) Pemeriksaan fisik (1) B1 (breathing) Tidak ada keluhan sesak napas dan penggunaan otot bantu napas (2) B2 (blood) Tidak ada keluhan tanda-tanda hipertensi (3) B3 (brain) Tidak ada gangguan persarafan (4) B4 (bladder) 1. Nyeri pinggang (S) hilang timbul menjalar ke meatus uretra dan terlokalisir 2. Keluhan miksi: retensi urin (+), hesistensi (+), pancaran urin memendek (+), disuria (+), inkontinensia urin dan hematuria (-). Organ genitalia dan meatus uretra dalam keadaan bersih (5) B5 (bowel) Klien mengalami mual muntah, nafsu makan turun sehingga berat badan juga turun (6) B6 (bone) Tidak ditemukan masalah 49
7)
Pemeriksaan diagnostik (Uji Faal Ginjal/ Renal Function Test) Komponen yang diuji BUN Kreatinin serum Hb Natrium Kalium Klorida Glukosa puasa Protein total Kolesterol Berat jenis urin
8)
Normal 10-30 mg/dl 0,5-1,5 mg/dl 13,5-18,0 g/dl 135-145 mEq/l 3,5-5,5 mEq/l 95-105 mEq/l 70-120 mg/dl 3,4 – 5,0 g/dl 150-270 mg/dl 1,010-1,026
Hasil 9,8 mg/dl 1,8 mg/d 11,9 g/d 137 mEq/ 5,0 mEq/l 97 mEq/l 100 mg/dl 3,5 g/dl 200 mg/dl 1,025
Riwayat Terapi atau medikasi Klien sebelumnya pernah menjalani terapi farmakologi yaitu cefotoxin
3x1gram, ranitidine 2x1amp, pronalges 2x1 (k/p).
50
2. Analisa data N O 1.
DATA DS:
klien
mengeluh
ETIOLOGI
MK
Urolithiasis
Nyeri Akut
nyeri pada pinggang (S) menjalar
sampai
Obstruksi pada traktus urinarius
klien
Tekanan hidrostatik meningkat
meatus uretra DO:
wajah
meringis kesakitan. P: nyeri timbul karena
Distensi pada ureter proksimal
adanya distensi pada ureter
Frekuensi kontraksi ureter meningkat
Q: nyeri kolik R: pinggang (S) sampai meatus uretra
Peningkatan tekanan pada dinding ureter
S: skala nyeri 7 (dari 010)
wajah
kesakitan
meringis dan
menekuk
Trauma
lutut untuk
Terputusnya saraf
menahan sakit T: nyeri hilang timbul
Melepaskan reseptor nyeri
dan nyeri hebat saat 2.
berkemih DS: klien mengatakan
Nyeri Obstruksi pada traktus urinarius
Reternsi Urin
sulit BAK dan hanya keluar
sedikit
serta
sering BAK malam hari
Penurunan reabsorbsi dan sekresi turbulensi ginjal
DO: 1. BAK output 1000 cc/hari
Gangguan fungsi ginjal
berwarna
kuning jernih dan
Penurunan produksi urin
intake cairan 1500
(tertahan di kandung kemih)
cc/hari. 2. Distensi
abdomen
51
bagian
3.
bawah
(daerah simpisis) 3. Disuria 4. Hesistensi 5. Retensi urin DS: klien mengeluh mual-mual,
Urolithiasis
nafsu
makan turun
Ketidakseimbanga n Nutrisi Kurang
Obstruksi batu pada traktus urinarius
dari Kebutuhan Tubuh
DO:
Klien
hanya
Tekanan hidrostatik meningkat
menghabisakan ½ porsi makan
kolik renal
A: BB Sebelumnya: 60 kg
iritasi saraf abdominal
BB saat ini : 50 kg B: Hb darah 11,9 mg/dl BUN: 9,8 mg/dl,
penekanan pusat muntah pada korteks serebri
Kreatinin serum: 1,8 mg/dl
respon mual
C: klien terlihat lemah D : hanya habis ½ porsi
anoreksia
3. Diagnosa Keperawatan 1) Nyeri akut b.d inflamasi, sumbatan dan abrasi traktus urinarius oleh pindahnya batu 2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d mual muntah 3) Retensi urin b.d obstruksi saluran kemih akibat batu
52
4. Intervensi Keperawatan Diagnosa Keperawatan 1 No
Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri akut b.d inflamasi, sumbatan abrasi urinarius
NOC Tujuan:
MANAJEMEN NYERI
Setelah dilakukan perawatan dan
traktus
1. Kaji nyeri secara
2x24 jam klien melaporkan
komprehensif meliputi
nyeri berkurang atau hilang.
lokasi, karakteristik,
oleh
pindahnya batu
NIC
onset, frekuensi, kualitas, Kriteria hasil:
intensitas atau beratnya
1. Nyeri terkontrol yang
nyeri dan faktor
dilihat dari indikator: 1) Klien
presipitasi 2. Observasi ekspresi klien
menuliskan
secara non verbal agar
gejala nyeri
mengetahui tingkat nyeri
berkurang
3. Kolaborasi pemberian
(skala 1-5)
analgesik sesuai advis
2) Klien dapat menjelaskan faktor penyebab nyeri 3) Klien dapat mengetahui
dokter dan monitoring respon klien 4. Kaji pengetahuan dan perasaan klien mengenai nyerinya 5. Kaji dampak nyeri
intervensi yang
terhadap kualitas hidup
dilakukan untuk
klien (ADL)
mengurangi
6. Ajak klien untuk
nyeri (farmaka
mengkaji faktor yang
dan non
dapat memperburuk
farmaka)
nyeri
4) Klien
7. Kontrol faktor
melaporkan
lingkungan yang dapat
perubahan
mempengaruhi
gejala nyeri
ketidaknyamanan klien
yang terkontrol
8. Ajarkan teknik 53
pada tim medis
nonfarmakologi
5) Klien
(relaksasi, terapi musik,
mengetahui
distraksi, terapi aktifitas,
onset nyeri
masase)
2. Level nyeri 1) Laporan nyeri 2) Durasi nyeri 3) Ekspresi wajah klien 4) Tidak terjadi diaporesis 3. TTV dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, Nadi: 1620x/menit) Diagnosa Keperawatan 2 No 2.
Diagnosa Keperawatan Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual muntah Batasan karakteristik: 1. BB 100-200cc
3.
Intake cairan dalam rentang normal
4.
Bebas dari ISK
5.
Tidak ada spasme bladder
6.
Balance cairan seimbang
7.
Eliminasi urin tidak terganggu (bau, jumlah, warna urin normal)
8.
9.
Balance cairan seimbang Level nyeri 1) Laporan nyeri 2) Durasi nyeri
4) Instruksikan pada klien dan
keluarga
untuk
mencatat output urine 5) Sediakan privasi untuk eliminasi 6) Stimulasi refleks bladder dengan kompres dingin pada abdomen. 7) Kateterisaai jika perlu 8) Monitor tanda dan gejala ISK (panas, hematuria, perubahan
bau
dan
konsistensi urine) 2. Monitoring kadar albumin, protein total 3. Lakukan perawatan perineal dan perawatan selang kateter 4. Dorong klien untuk
3) Ekspresi wajah klien
berkemih tiap 2-4 jam
4) Tidak terjadi diaporesis
dan bila tiba-tiba
10. Eliminasi urin optimal dilihat dari indikator: 1) Pola berkemih 2) Jumlah urin 3) Warna urin 4) Intake cairan 5) Kejernihan urin 6) Bau urin
dirasakan. 5. Ajarkan serta demonstrasikan kepada klien dan anggota keluarga tentang teknik berkemih yang akan digunakan di rumah. Sehingga klien dan keluarga mampu melakukannya dengan mandiri. 6. Kolaborasikan obat diuretik
56
MANAJEMEN ELIMINASI URIN INTERVENSI: 1. Monitoring eliminasi urin meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume, dan warna jika diperlukan 2. Kolaborasikan dengan dokter untuk tindakan Urinalisis jika diperlukan dengan mengumpulkan spesimen urin porsi tengah 3. Ajarkan teknik berkemih yang benar dan kenali urgensi berkemih 4. Ajarkan klien tentang tanda dan gejala ISK 5. Instruksikan klien dan keluarga untuk mencatat haluaran urin 5. Evaluasi Diagnosa 1 1) Kontrol nyeri No
Indikator Target
Tidak bisa
.
(Kriteria Hasil)
menjelaskan 1
1.
Klien menuliskan
2.
gejala nyeri berkurang Klien dapat menjelaskan faktor
3.
Tingkat Kontrol Nyeri KadangJarang Sering kadang 2 3 4
Selalu 5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
penyebab nyeri Klien dapat mengetahui intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri (farmaka dan non
4.
farmaka) Klien melaporkan perubahan gejala nyeri
57
yang terkontrol pada 5.
tim medis Klien mengetahui onset nyeri
1
2
3
4
5
58
2) Level nyeri berkurang No
Indikator Target
.
(Kriteria Hasil)
1. 2. 3. 4.
Severe 1 1 1 1 1
Laporan nyeri Durasi nyeri Ekspresi wajah klien Tidak terjadi diaporesis
Tingkatan Nyeri Moderat Substantional e 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3
Mild
None
4 4 4 4 4
5 5 5 5 5
Diagnosa 2 1) Nafsu makan meningkat Indikator No
Target (Kriteria Hasil)
1. 2. 3.
Selisih berat dari nilai normal 1 1 1 1
Nafsu makan Intake nutrisi Intake cairan
Tingkat Nafsu Makan Selisih Selisih agak sedang berat dari nilai dari nilai normal normal 2 3 2 3 2 3 2 3
Selisih Tidak ada ringan dari selisih dari nilai nilai normal normal 4 5 4 5 4 5 4 5
Tingkat Status Nutrisi Selisih Selisih agak sedang berat dari nilai dari nilai normal normal 2 3 2 3 2 3 2 3
Selisih Tidak ada ringan dari selisih dari nilai nilai normal normal 4 5 4 5 4 5 4 5
2) Status nutrisi Indikator No
Target (Kriteria Hasil)
1. 2. 3.
Intake nutrisi IMT Status hidrasi
Selisih berat dari nilai normal 1 1 1 1
59
Diagnosa 3 1) Level nyeri berkurang No
Indikator Target
.
(Kriteria Hasil)
1. 2. 3. 4.
Tingkat Kontrol nyeri Moderat Substantional Mild e 2 3 4 2 3 4 2 3 4 2 3 4 2 3 4
Severe
Laporan nyeri Durasi nyeri Ekspresi wajah klien Tidak terjadi diaporesis
1 1 1 1 1
None 5 5 5 5 5
2) Eliminasi urin optimal Indikator No
Target (Kriteria
1.
Hasil) Pola
2.
berkemih Jumlah
3.
urin Warna
4.
urin Intake
5.
cairan Kejerniha
6.
n urin Bau urin
Tingkat Eliminasi
1
Substantiona l compromised 2
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Severe compromised
Moderate Compromised
Mild compromised
Not compromised
3
4
5
60
BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Urolithiasis adalah batu saluran kemih yang terdiri dari batu ginjal, batu ureter, batu kandung kemih dan batu ureter. Komposisi batu saluran kemih ini terdiri dari jenis kalsium, struvit, asam urat dan jenis lain yang berupa batu sistin, batu xanthin dan batu silikat. Beberapa faktor resiko yang dapat menimbulkan batu saluran kemih adalah faktor usia, faktor herediter dan biasanya banyak terjadi pada laki-laki. Selain itu, beberapa faktor eksternal seperti faktor geografi, diet, iklim, pekerjaan dan asupan air minum yang kurang namun tinggi kalsium juga bisa menyebabkan terjadinya urolithiasis. Faktor-faktor tersebut biasanya menyebabkan hambatan aliran urin sehingga memudahkan terbentuknya kristal-kristal yang akan menjadi batu di saluran kemih. Oleh karena itu, kita sebagai seorang ners harus bisa menegakkan diagnosa keperawatan terhadap kasus ini secara dini agar tidak menimbulkan komplikasi yang lebih parah. Selain itu, kita juga harus melakukan asuhan keperawatan kepada klien dengan urolithiasis ini baik secara mandiri maupun kolaboratif secara tepat dan cepat sehingga masalah ini dapat teratasi dengan baik. 4.2 Saran Penyusun menyarankan agar perawat dan pembaca dapat memahami terkait dengan asuhan keperawatan pada klien dengan urolithiasis sehingga dapat memudahkan kita terutama perawat dalam memberikan intervensi yang tepat kepada klien dengan urolithiasis.
61
DAFTAR PUSTAKA Alam, Syamsir dan Iwan Hadibroto. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Aldjufrie, Muhammad. 2015. Hijamah dilihat dari segi Sains dan Kedokteran Modern. Surabaya: Ebook Baughman Diane C. dan Hackley JoAnn C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner dan Suddartha. Jakarta: EGC Borley, P. A. (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Volume 2: Jakarta: EGC Bulecheck G. et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) Sixth Edition. Elsevier: Saunders Chang, Esther. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktek Keperawatan. Jakarta: EGC Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi Ed.3. Jakarta: EGC Darsini. 2011. Nursing Care of Urolithiasis. https://sites.google.com/site/kuliahstikes/nursing-care-of-urolitiasis diakses pada tanggal 10 Maret 2015 pukul 10.00 WIB Doengoes, Merilynn, E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi Ketiga. Jakarta: EGC Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams: Panduan Ringkas, Ed. 21. Jakarta: EGC Moorhead et al. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition. Elsevier: Saunders Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika Nursalam. 2006. Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika Nursalam. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika Pearl, MS., Nakada, SY. 2009. Medical and Surgical Management of Urolithiasis. Informa: UK Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Ed: 3. Jakarta: Sagung Seto Rully MA. 2010. Batu Staghorn pada Wanita: Faktor Resiko dan Tata Laksananya. JIMKI. www.indonesia.digitaljournals.org diakses pada tanggal 01 Maret 2015 pukul 12.00 WIB Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 Vol. 2. Jakarta: EGC Smith’s. 2007. General Urology 17th ed. Lange. Smith’s and Campbell. 2011. Urology Review. Elsevier: Saunders Stoller ML Bolton DM Urinary Stone Disease In: Tanagho EA, Mc Aninch JW Smith’s General Urology,ed.5. New York: Mc Graw-Hill Companie, 2000, 291-316. Suharyanto, Toto dan Madjid, Abdul. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media Syaifuddin. 2011. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Ed. 2. Jakarta: Salemba Medika. Taylor, Cynthia M, Ralph, Sheila Sparks. 2003. Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan. Jakarta: EGC Tanagho EA, McAnninch JW. 1976. Smith’s General Urologi Seventeenth Edition. United States: The McGraw-Hill Turk, C., et al. 2011. Guidelines on Urolithiasis. European Association of Urology. http://www.uroweb.org/gls/pdf/18_Urolithiasis.pdf. 02 Maret 2015 pukul 15.23 WIB
62
Umamy, V. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga by Pierce A. Grace & Neil R. Borley. Jakarta: Penerbit Erlangga Wolf J et al. 2012. Nephrolithiasis. Medscape. http://www.scribd.com/doc/132398642/Komplikasi-Dari-Urolithiasis#scribd diakses pada tanggal 01 Maret 2015 pukul 12.00 WIB
63
View more...
Comments