Makalah Urolithiasis 2
March 27, 2018 | Author: Dewi Lucy Prasetya | Category: N/A
Short Description
kjrhpr...
Description
MAKALAH KEPERAWATAN PERKEMIHAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN UROLITHIASIS
Fasilitator: Praba Diyan R., S.Kep., Ns., M.Kep. Disusun oleh: Kelompok 2 (Kelas A-2)
1. Dluha Maf’ula
131311133031
2. Dewi Anggraini N.
131311133034
3. Yuliati Nur Hidayah
131311133037
4. Putri Yunida
131311133067
5. Ratih Pravitasari
131311133052
6. Nur Amilia
131311133079
7. Elma Safira
131311133097
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2016
KATA PENGANTAR Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok makalah Small Group Discussion (SGD) yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Urolithiasis”, sebagai tugas mata ajar Keperawatan Perkemihan dengan baik. Kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons) selaku Dekan yang senantiasa memacu, dan memotivasi mahasiswa untuk selalu bersemangat dalam belajar; 2. Herdina M., S.Kep., Ns., M.Kep., selaku PJMA mata ajar Keperawatan Perkemihan. 3. Praba Diyan R., S.Kep., Ns., M.Kep., selaku fasilitator yang memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian makalah ini dan 4. Teman-teman yang telah bekerjasama dalam penyelesaian tugas ini. Penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun berharap adanya kritik dan saran yang dapat membangun agar dalam penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik lagi. Penyusun juga berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami secara pribadi dan bagi yang membutuhkannya.
Surabaya, 21 Maret 2016
Penyusun
DAFTAR ISI Halaman Judul................................................................................................ i 2
Kata Pengantar............................................................................................... ii Daftar Isi......................................................................................................... iii BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang........................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah................................................................... 2 1.3 Tujuan..................................................................................... 2 1.3.1 Tujuan umum.............................................................. 2 1.3.2 Tujuan khusus............................................................. 2 1.4 Manfaat................................................................................... 3 BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Anatomi dan Fisiologi............................................................ 4 2.2 Definisi................................................................................... 10 2.3 Klasifikasi Batu...................................................................... 11 2.4 Etiologi dan Faktor Risiko...................................................... 14 2.5 Patofisiologi............................................................................ 16 2.6 Manifestasi Klinis................................................................... 21 2.7 Pemeriksaan Diagnostik......................................................... 22 2.8 Penatalaksanaan...................................................................... 30 2.9 Komplikasi.............................................................................. 36 2.10 Prognosis................................................................................. 36 2.11 Web of Caution (WOC) Urolithiasis BAB 3 Asuhan Keperawatan Urolithiasis.................................................... 37 BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan............................................................................. 48 DAFTAR PUSTAKA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Batu saluran kemih merupakan batu yang terdiri dari batu ginjal, batu ureter, batu uretra, dan batu kandung kemih. Komposisi dari batu saluran kemih ini bisa terdiri dari batu kalsium, batu struvit, batu asam urat dan batu jenis lainnya yang didalamnya terkandung batu sistin, batu xanthin, dan batu silikat. Penyebab tersering terjadinya batu saluran kemih ini adalah sumbatan
3
pada saluran kemih baik yang terjadi secara herediter maupun karena faktor eksternal (Purnomo, 2011). Urolithiasis merupakan masalah kesehatan yang cukup serius, baik di Indonesia maupun di dunia. Urolithiasis adalah suatu keadaan dimana terdapat satu atau lebih batu di ginjal maupun di saluran kemih. Urolithiasis diderita oleh laki-laki dengan angka kejadian 3-4 kali lebih banyak dibanding pada wanita. Rentang umur penderita penyakit ini antara 30-60 tahun. Biasanya lakilaki akan mengalami urolithiasis pada umur 40 tahun dan meningkat drastis saat usia 70 tahun, sedangkan pada wanita pada usia 50 tahun. Di Amerika Serikat, prosentase sekitar 5-10% penduduknya menderita penyakit urolithiasis, sedangkan di seluruh dunia prosentase rata-rata diperkirakan mencapai 1-12%. Selain itu, Prevalensi penyakit urolithiasis berdasarkan jenis kelamin diperkirakan 13% pada lakilaki dewasa dan 7% pada perempuan dewasa. Peningkatan prevalensi urolithiasis ini bervariasi tergantung pada ras, jenis kelamin dan lokasi geografis. Sedangkan menurut Muslumanoglu (2011) Epidemiologi urolithiasis berbeda menurut wilayah geografis dalam hal prevalensi dan insiden, usia dan distribusi jenis kelamin, komposisi batu dan lokasi batu. Perbedaan tersebut dijelaskan dalam hal ras, diet, dan faktor iklim. (Purnomo 2011) Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan gangguan aliran urin, gangguan metabolik, ISK, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap. Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya penyakit ini meliputi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Berdasarkan berbagai hal tersebut, maka penulis akan menyusun makalah mengenai asuhan keperawatan urolithiasis secara komprehensif melalui studi literatur. 1.2
Rumusan Masalah 1.
Bagaimana anatomi dan fisiologi kandung kemih?
2.
Apa definisi dari urolithiasis?
3.
Apa saja klasifikasi batu?
4.
Apa saja etiologi dan faktor risiko dari urolithiasis?
5.
Bagaimana patofisiologi dari urolithiasis?
6.
Apa saja manifestasi klinis yang muncul dari urolithiasis?
7.
Apa saja pemeriksaan diagostik pada urolithiasis? 4
8.
Bagaimana penatalaksaan pada urolithiasis?
9.
Apa saja komplikasi dari urolithiasis?
10. Bagaimana prognosis dari urolithiasis? 11. Bagaimana WOC urolithiasis? 12. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan urolithiasis?
1.3
Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui, mengerti dan dapat menyusun asuhan keperawatan pada klien dengan urolithiasis secara komprehensif. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui, mengerti serta dapat mengembangkan teori yang sudah ada, mengenai hal-hal berikut ini: 1. Mengetahui definisi dari urolithiasis 2. Mengetahui klasifikasi batu 3. Mengetahui etiologi dan faktor risiko dari urolithiasis 4. Mengetahui patofisiologi dari urolithiasis 5. Mengetahui manifestasi klinis dari rolithiasis 6. Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada urolithiasis 7. Mengetahui penatalaksanaan pada urolithiasis 8. Mengetahui komplikasi dari urolithiasis 9. Mengetahui prognosis dari urolithiasis 10. Mengetahui WOC Urolithiasis 11. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan urolithiasis
1.4
Manfaat Mahasiswa mampu memahami konsep tentang penyakit urolithiasis serta mengetahui asuhan keperawatan yang harus diterapkan pada klien dengan urolithiasis secara komprehensif.
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Fisiologi 2.1.1
Anatomi Vesica Urinaria 1. Lokasi dan Deskripsi Vesica urinaria terletak tepat dibelakang os.pubis di dalam rongga pelvis. Pada orang dewasa, kapasitas maksimum vesika urinaria sekitar 500ml. Vesica urinaria mempunyai dinding otot yang kuat. Bentuk dan batas-batasnya sangat bervariasi sesuai dengan jumlah urin yang dikandungnya. Vesica urinaria yang kosong pada orang dewasa terletak seluruhnya di dalam pelvis; waktu terisi, dinding atasnya terangkat sampai masuk regio hypogastrica (Gambar 1). Pada anak kecil, vesica urinaria yang kosong menonjol di atas pintu atas panggul; kemudian bila rongga pelvis membesar, vesica urinaria terbenam ke dalam pelvis untuk menempati posisi seperti orang dewasa (Snell 2011).
Gambar 1. A. Vesica urinaria tampak lateral. B. Bagian dalam vesica urinaria laki-laki tampak depan (Snell 2011). 6
2. Bentuk dan Permukaan Vesica urinaria yang kosong berbentuk piramid (Gambar 2) mempunyai apex, basis, dan sebuah facies superior serta dua buah facies mempunyai
collum.
Apex
infero lateralis;
juga
vesica urinaria mengarah kedepan dan terletak
dibelakang pinggir atas symphisis pubis. Apex vesicae dihubungkan dengan umbilicus dengan ligamentum umbilicale medianum (sisa urachus). Basis atau facies poterior vesicae, menghadap ke posterior dan berbentuk segitiga. Sudut superolateralis merupakan tempat muara ureter, dan sudut urethra(Gambar 2).
inferior merupakan tempat
asal
Pada laki-laki, kedua duktus deferens terletak berdampingan
difacies posterior vesicae dan memisahkan vesicula seminalis satu dengan yang lain. Bagian atas facies posterior vesicae diliputi peritoneum, yang membentuk dinding anterior excavatio rectovesicalis. Bagian bawah facies posterior dipisahkan rectum
oleh
dari
ductus deferens, vesicula seminalis, dan fascia rectovesicalis. Pada
perempuan, uterus dan vagina terletak berhadapan dengan facies posterior. Facies superior vesicae diliputi peritoneum dan berbatasan dengan lengkung ileum atau colon sigmeideum. Sepanjang pinggir leteral permukaan ini, peritoneum melipat ke dinding lateral pelvis. Bila vesica urinaria terisi, bentuknya menjadi lonjong, permukaan superiornya membesar dan menonjol ke atas, ke dalam cavitalis abdominalis. Peritoniumyang meliputinya terangkat pada bagian bawah dinding anterior abdomen, sehingga vesica urinaria berhubungan langsung dengan dinding anterior abdomen. Facies inferolateralis di depan berbatasan dengan bantalan lemak retropubis. Dan os.pubis. Lebih ke posterior, di atas berbatasan dengan musculus obturator internus dan di bagian bawah dengan musculus levatorani. Collum vesica teterletak di inferior dan pada laki-laki terletak pada permukaan atas prostat. Di sini, serabut otot polos dinding vasicae urinaria dilanjutkan sebagai serabut otot polos prostat. Collum vesicae dipertahankan pada tempatnya
oleh
ligamentum pubo prostaticum pada laki-laki dan ligamentum pubo vesicale pada perempuan. Kedua ligamentumini merupakan penebalan dari fascia pelvis. Pada perempuan karena tidak terdapat prostat, collum vesicae terletak langsung pada facies superior diaphragmatis urogenitalis. Bila vesicae urinaria terisi, posisi facies posterior dan collum vesica erelatif tetap, tetapi facies permukaan superiornya naik ke atas, 7
masuk ke dalam rongga abdomen seperti telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya (Snell 2011).
Gambar 2. A.
Vesica urinaria, prostat, dan vesicula seminalis dilihat dari lateral
B. Vesica urinaria, prostat, ductus deferens, dan vesikula seminalis dilihat dari posterior (Snell 2011). 3. Permukaan Interior Tunica mucosa sebagian besar berlipat-lipat pada vesica urinaria yang kosong dan lipatan-lipatan tersebut akan hilang bila vesica urinaria terisi penuh. Area tunica mucosa yang meliputi permukaan dalam basis vesicae urinaria dinamakan trigonum vesicae. Disini, tunika mucosa selalu licin, walaupun dalam keadaan kosong karena mmembran mucosa pada trigonum ini melekat dengan erat pada lapisan otot yang ada di bawahnya. Sudut superior trigonum ini merupakan tempat muara dari ureter dan sudut inferiornya merupakan orificium
urethrae internum. Ureter menembus dinding
vesica urinaria secara miring dan keadaan ini membuat fungsinya seperti katup, yang mencegah aliran balik urin pada waktu vesica urinaria terisi. Trigonum vesicae di atas dibatasi oleh rigi muscular yang berjalan dari muara ureter yang satu ke muara ureter yang laindan disebut sebagai plica interureterica, 8
uvula vesicae merupakan tonjolan kecil terletak tepat di belakang orificum urethrae yang disebabkan oleh lobus medius prostate yang ada di bawahnya (Snell 2011). 4. Tunica Muscularis Vesica Urinaria Tunica muscularis vesica urinaria terdiri atas otot polos yang tersusun dalam tiga lapis yang saling berhubungan yang disebut sebagai musculus detrusor vesicae. Pada collum vesicae, komponen sirkular dari lapisan otot ini menebal membentuk musculus sphincter vesicae (Snell 2011). 5. Ligamentum-ligamentum Vesica Urinaria Collum vesicae dipertahankan dalam posisinya pada laki-laki oleh ligamentum pubo prostaticum dan pada perempuan oleh ligamentum pubo vesicale. Ligament ini dibentuk dari fascia pelvica (Snell 2011). 6. Batas-batas Vesicae a. PadaLaki-laki (Gambar3): 1. Ke anterior: symphisis pubica, lemak retropubik, dan dinding anterior abdomen. 2. Ke posterior: vesica rectovesicalis peritonei, ductus deferens, vesicula seminalis, fascia rectovesicalis, dan rectum. 3. Ke lateral: di atas musculus obturator internus dan dibawah musculus levatorani. 4. Ke superior: cavitas peritonealis, lengkung ileum, dan colon sigmoideum. 5. Ke inferior: prostate
9
Gambar 3. Potongan sagital pelvis pada laki-laki (Snell 2011) b. Pada Perempuan (Gambar 4) Karena tidak ada prostata, vesica urinaria terletak rendah di dalam pelvis perempuan dibandingkan dengan pelvis laki-laki, dan collum vesicae terletak langsung di atas diaphragm urogenitale. Batas-batasan antara vesica urinaria dengan uterus dengan vagina, yaitu: 1. Ke anterior: symphisis pubica, lemak retropubik, dan dinding anterior abdomen. 2. Ke posterior: dipisahkan dari rectum oleh vagina. 3. Ke lateral: di atas musculus obturator internus dan di bawah musculus levatorani. 4. Ke superior: excavatio utero vesicalis dan corpus uteri. 5. Ke inferior: diaphragma urogenital.
Gambar 4. Potongan sagital pelvis perempuan (Snell 2011) 7. Pendarahan/Vaskularisasi a. Arteri Arteri vesicalis superior dan inferior berasal dari trunkus anterior arteri iliaka interna sebagai sumber utama suplai darah arterial. Suplai darah minor berasal dari arteri obturatoria, glutea inferior dan pada wanita juga dari arteri uterine dan vaginalis 10
b. Vena vena-vena membentuk plexus pada permukaan lateral dan inferior buli. Dengan demikian selama sistostomi suprapubik, struktur-struktur ini harus dihindari pada saat membuka buli. c. Pleksus Vesikalis Adalah kelanjutan dari pleksus venosus prostatikus pada pria yang bermuara ke dalam vena iliaka interna (Shenoy 2014). 8. Limfatik Kelenjar limfe iliaka interna merupakan level pertama kelenjar limfeserta Kelenjar limfe obturatoria dan iliaka eksterna terlibat lebih lanjut (Shenoy 2014). 9. Persarafan Persarafan vesica urinaria berasal dari plexus hypogastricus inferior. Serabut post ganglionik simpatik berasal dari ganglion lumbal pertama dan kedua dan berjalan turun ke vesica urinaria melalui
plexus hypogastricus. Serabut pre ganglionik
parasimpatikus yang muncul sebagai nervisplanchnici pelvici dari nervus sacralis kedua, ketiga, keempat berjalan melalui plexus hypogastricus menuju
ke vesica
urinaria, di tempat iniserabut- serabut tersebut bersinaps dengan neuron post ganglionik. Sebagian besar serabut aferen sensorik yang berasal dari vesica urinaria menuju sistem saraf pusat melalui nervisplanchnici pelvici. Sebagian serabut aferen berjalan bersama saraf simpatik melalui plexus hypogastricus dan masuk ke medula spinalis setinggi segmen lumbalis pertama dan kedua. Saraf simpatik menghambat kontraksi musculus detrusor vesicae dan merangsang penutupan musculus sphincter vesicae. Saraf parasimpatik merangsang kontraksi musculus detrusor vesicae dan menghambat kerja musculus sphinctervesicae (Snell 2011). 2.2 Definisi Urolithiasis Urolithiasis merupakan penyakit batu saluran kemih sedangkan nefrolithiasis merujuk pada penyakit batu ginjal. Urolithiasis merujuk pada adanya batu dalam system perkemihan. Batu atau kalkuli dibentuk didalam saluran kemih mulai dari ginjal ke kandung kemih oleh kristalisasi dari substansi ekskresi didalam urin (Nursalam 2006).
11
Urolithiasis adalah terbentuknya batu (kalkulus) dimana saja pada sistem penyalur urine, tetapi batu umumnya terbentuk di ginjal. (Robbins 2007) Urolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat, kalkuli (batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal. Urolithiasis terjadi bila batu ada di dalam saluran perkemihan. Batu itu sendiri disebut calculi. Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari fokus mikroskopik sampai beberapa centimeter dalam diameter cukup besar untuk masuk dalam pelvis ginjal. Adanya batu/kalkuli di traktus urinarius terbentuk ketika konsentrasi substansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat dan asam urat mengalami peningkatan (Smith’s 2007)
2.3
Klasifikasi Batu Klasifikasi batu berdasarkan bahan pembentuknya antara lain: 1) Batu non infeksi a.
Batu kalsium Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaitu kurang lebih 70-80% dari seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat, atau campuran kedua unsure tersebut. Faktor terjadinya batu kalsium yaitu 5H, yaitu: a) Hiperkalsiuria terjadi akibat absorbsi kalsium oleh usus yang berlebihan, hiperparatiroidisme, kelebihan vitamin D, atau metastasis tulang; Hiperkalsiuria idiopatik meliputi hiperkalsiuria yang terdiri dari 3 bentuk yaitu: a) Hiperkalsiuria absorptif, ditandai oleh adanya kenaikan absorpsi
kalsium dari
lumen usus, kejadian ini paling banyak dijumpai.
12
b) Hiperkalsiuria puasa, ditandai dengan adanya kelebihan kalsium, diduga berasal dari tulang. c) Hiperkalsiuria ginjal, yang diakibatkan kelainan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. b) Hiperoksaluria diakibatkan oleh kelebihan konsumsi makanan kaya oksalat, sindrom usus pendek, dan kelainan metabolisme bawaan sehingga terjadi kenaikan ekstensi oksalat diatas normal; c) Hiperurikosuria merupakan suatu peningkatan asam urat air kemih yang dapat memacu pembentukan batu kalsium; d) Hipositraturia merupakan penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal dalam air kemih, khususnya sitrat merupakan mekanisme lain timbulnya batu ginjal; dan e) Hipomagnesuria. b.
Batu asam urat Prosentase 5-10% batu saluran kemih adalah batu asam urat. 75-80% dari batu asam urat terdiri atas asam urat murni dan sisanya merupakan campuran kalsium oksalat. Batu asam urat berkaitan dengan pH urin yang rendah (misalnya diare kronis) dan hiperurikosuria (misalnya pirai, status mieloproliferatif). Dapat terjadi pada dehidrasi yang berat meskipun kadar asam urat normal.
c.
Batu oksalat (Purnomo, 2011)
2) Batu infeksi a. Batu struvit (Batu magnesium ammonium fosfat) Sering disebut juga sebagai batu infeksi karena terjadi akibat infeksi saluran kemih yang disebabkan karena bakteri pengurai urea (Proteus). Kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yang menghasilkan urease dan merubah urin menjadi basa melalui proses hidrolisis urea menjadi amonia merupakan penyebab terjadinya batu struvit tersebut. Batu struvit seringkali mengisi seluruh sistem collecting ginjal, yang menghasilkan batu staghorn. b. Batu karbonat apatit 3) Batu jenis lain 13
a. Batu genetik Batu genetik seperti batu sistin, batu xanthin, batu triamteren, batu silikat, dan batu 2.8-dihidroxy-adenin sangat jarang dijumpai. Batu sistin terjadi karena kelainan metabolisme sistin dalam absorbsi sistin di mukosa usus. Sedangkan batu xanthin terjadi akibat penyakit bawaan berupa defisiensi enzim xanthin oksidase yang mengkatalisis hipoxanthin menjadi xanthin kemudian menjadi asam urat. Selain itu, pemakaian silikat yang berlebihan dalam jangka panjang juga dapat menyebabkan timbulnya batu silikat. b. Drug stone Batu yang terbentuk karena obat-obatan tertentu seperti indinavir. (Purnomo 2011) Sedangkan klasifikasi batu berdasarkan lokasinya, antara lain: 1) Batu ginjal dan batu ureter Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks infudibulum, pelvis ginjal, bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut staghorn stone. Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalis ginjal akan mempermudah timbulnya batu saluran kemih. Selain itu, batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltik otot-otot pada sistem pelvikalis dan turun ke ureter menjadi batu ureter (Purnomo 2011). 2) Batu kandung kemih Batu kandung kemih sering terjadi pada klien yang mengalami gangguan miksi atau terdapat benda asing di buli-buli. Gangguan miksi terjadi pada klien dengan hiperplasia prostat, striktur uretra, divertikal buli-buli atau buli-buli neurogenik. Selain itu, batu kandung kemih juga bisa disebabkan oleh batu ginjal atau batu ureter yang turun ke kandung kemih. Jika penyebabnya infeksi, maka biasanya komposisi batu kandung kemih ini terdiri atas asam urat atau struvit. 3) Batu uretra Batu uretra primer sangat jarang terjadi. Pada batu uretra biasanya terjadi karena batu ginjal, ureter dan kandung kemih yang turun ke uretra. Keluhan yang biasa di sampaikan klien adalah miksi tiba-tiba berhenti sehingga terjadi retensi urin yang mungkin sebelumnya didahului nyeri pinggang. 14
Ada juga klasifikasi batu lain berdasarkan X-ray characteristic: 1. Radioopaque: kalsium oksalat dihidrat, kalsium oksalat monohidrat, kalsium fosfat 2. Poor radiopaque: magnesium ammonium fosfat, sistin 3. Radiolucent: asam urat, ammonium urate, aanthin, 2.8 dihidroxiadenin, drug stone. (Turk et. al, 2013) 2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Urolithiasis Etiologi urolithiasis belum diketahui secara pasti namun peneliti banyak mengatakan bahwa pembentukan batu saluran kemih disebabkan oleh hal-hal di bawah ini: 1. Peningkatan pH urin (misalnya batu kalsium karbonat) atau penurunan pH urine (misalnya batu asam urat). 2. Konsentrasi bahan-bahan pembentuk batu yang tinggi di dalam darah dan urin serta kebiasaan makan atau obat tertentu juga dapat merangsang pembentukan batu. 3. Segala sesuatu yang menghambat aliran urin dan statis urin di bagian mana saja di saluran kemih meningkatkan kemunginan pembentukan batu. 4. Obesitas dan kelebihan berat badan meningkatkan risiko batu ginjal akibat peningkatan ekskresi kalsium, oksalat, dan asam urat yang berlebihan (Corwin 2009). Faktor predisposisi yang utama adalah Infeksi Saluran Kemih (ISK). Infeksi ini akan meningkatkan terbentuknya zat organik. Zat ini dikelilingi mineral yang mengendap. Pengendapan ini akan mengakibatkan alkanitas urin dan mengakibatkan pengendapan kalsium fosfat dan magnesium ammonium fosfat (Mary & Yakobus, 2009). Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor tersebut antara lain: 1. Faktor intrinsik 1) Usia Insiden urolithiasis paling sering ditemukan pada usia 30-50 tahun, karena penurunan fungsi tubuh. 2) Jenis kelamin Insiden urolithiasis 3 kali lebih banyak dialami oleh laki-laki dibanding wanita, karena lakilaki memiliki enzim cystein yang rendah. Secara anatomi laki-laki memiliki ureter yang lebih panjang. 3) Genetik 15
Terkait dengan enzim cystin, untuk wanita memiliki enzim ini lebih tinggi, sehingga jenis batu ini lebih sering terjadi pada wanita. 4) Herediter Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya. 5) Hormonal Berhubungan dengan parathyroid hormon dan kalsitonin. Pada keadaan hiperparatirodisme akan mengakibatkan terjadinya keadaan hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. PTH merangsang reabsorbsi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urin. 6) Kelainan metabolik dan gangguan metabolisme Kekurangan cairan (dehidrasi ) seperti karena luka bakar. Gangguan metabolisme juga dapat menyebabkan penyakit ini seperti pada hiperparatiroidisme, hiperurisemia, hiperkalsiuria. Hiperkalsemia (kalsium serum tinggi) dan hiperkalsiuria (kalsium urin tinggi). 2. Faktor ekstrinsik 1) Geografis Beberapa daerah menunjukkan insiden urolithiasis yang lebih tinggi dari pada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu). Contoh: Gresik, Lamongan, Tuban, Situbondo, Madura (Pamekasan adalah yang paling tinggi). 2) Asupan air yang dikonsumsi Kurangnya intake air dan tingginya kadar mineral kalsium dalam air yang dikonsumsi dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih. 3) Diet Diet tinggi purin, oksalat (susu, sayuran berwarna putih), fosfat (kacang-kacangan, daging, susu dan olahan), dan kalsium mempermudah terjadinya batu saluran kemih. 4) Pekerjaan Urolithiasis banyak dialami oleh orang yang pekerjaannya banyak duduk atau aktivitas fisik kurang (sedentary life). 5) Infeksi ISK yang disebabkan karena pemakaian celana yang ketat dan hyigene yang kurang. 6) Iklim/cuaca 16
Iklim yang terlalu ekstrim, dimana suhu lingkungan terlalu tinggi atau terlalu rendah. Temperatur yang tinggi akan meningkatkan keringat dan meningkatkan konsentrasi air kemih. Sedangkan pada daerah yang bersuhu dingin akan menyebabkan pemasukan cairan yang kurang, sehingga konsentrasi air kencing juga akan menjadi pekat. Konsentrasi air kemih yang meningkat akan meningkatkan pembentukan kristal air kemih. 2.5
Patofisiologi Urolithiasis Tugas utama ginjal adalah mengeluarkan produk samping metabolisme yang meliputi kalsium, oksalat, dan asam urat. Ketika konsentrasi mineral tersebut meningkat, maka batu dapat terbentuk di traktus urinarius. Secara teoritis batu dapat terbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (stasis urin), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Ada tidaknya zat inhibitor dalam urin, seperti magnesium, pirofosfat, sitrat dan substansi lain juga menjadi faktor yang menentukan dalam pembentukan batu (Chang 2009), karena substansi tersebut secara normal mencegah kristalisasi dalam urin (Smeltzer et. al, 2002). Pembentukan batu urinarius juga dapat terjadi pada penyakit inflamasi usus dan pada individu dengan ileostomi atau reseksi usus, karena individu ini mengabsorbsi oksalat secara berlebihan. Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut di dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urin, jika tidak ada keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukuranya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mapu membuntu saluran kemih. Oleh karena itu, agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal) dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, PH larutan, adanya koloid di dalam urin, konsentrasi solut di dalam urin, laju aliran urin didalam saluran kemih, atau danya korpus alineum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu (Purnomo 2011).
17
Apabila volume urin sedikit, bahan tersebut membuat urin sangat jenuh hingga terbentuk kristal, sedangkan pH urin dan status cairan klien dapat mempengaruhhi laju pembentukan batu karena batu cenderung terjadi pada klien dehidrasi. Selain karena urin sangat jenuh, pembentukan batu dapat juga terjadi pada individu yang memiliki riwayat batu sebelumnya atau pada individu yang stasis karena imobilitas (Chang 2009). Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal (hidronefrosis) dan ureter proksimal (hidroureter). Ada pula beberapa batu yang menyebabkan sedikit gejala, namun secara perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal, sedangkan yang lain menyebabkan nyeri yang luar biasa dan ketidaknyamanan. Nyeri yang berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita ke bawah mendekati kandung kemih, sedangkan pada pria mendekati testis. Bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan diseluruh area kostovertebral dan muncul mual dan muntah maka klien sedang mengalami episode kolik renal (Smeltzer et. al, 2002). Jenis nyeri ini disertai dengan rasa sakit menetap di daerah kostovertebral (titik di bagian pungggung yang berhubungan dengan iga ke-12 dan tepi lateral muskulus sakrospinalis). Gejala gastrointestinal seperti diare dan ketidaknyamanan abdominal dapat terjadi akibat dari refleks renointestinal dan proksimal anatomik ginjal ke lambung, pankreas dan usus besar. Gejala kolik ginjal dapat sangat hebat hingga timbul respon saraf simpatik berupa mual, muntah, kulit pucat, dingin dan lembab (Chang 2009). Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gejala kolik ureteral berupa gelombang nyeri yang luar biasa, akut dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Rasa nyeri hebat dan bersifat hilang timbul karena spasme yang terjadi pada ureter ketika berupaya untuk mendorong batu turun (Chang 2009). Klien sering merasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu. Inflamasi kontinu akibat permukaan batu yang kasar dapat mengakibatkan infeksi ginjal (pielonefritis) atau kandung kemih (sistitis) sehingga timbul demam, menggigil, sering berkemih, hematuria, rasa sakit dan terbakar ketika berkemih. Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi retensi urin (Smeltzer et. al, 2002). Jika batu berukuran kecil, dapat keluar tanpa gejala apa pun, namun jika ukurannya besar, dapat menimbulkan obstruksi dan trauma. Umumnya klien akan mengaluarkan batu dengan 18
diameter 0,5 sampai 1 cm secara spontan. Batu dengan diameter lebih dari 1 cm biasanya harus diangkat atau dihancurkan sehingga dapat diangkat atau dikeluarkan secara spontan (Smeltzer et. al, 2002). Purnomo (2011) Menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar urologi” mengenai teori pembentukan batu saluran kemih. Secara teoritis batu dapat berbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (statis urin) yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia benigna prostat, striktura dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu tersebut terdiri atas kristal-kristal yang tersusun bahan-bahan organik dan anorganik yang terlarut dalam urin. Terbentuk atau tidaknya batu saluran kemih juga ditentukan oleh adanya keseimbangan antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu mencegah timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu saluran kemih yang bekerja mulai dari proses reabsorbsi kalsium dalam usus, proses pembentukan inti batu atau Kristal, proses agregasi kristal hingga retensi kristal. Terdapat beberapa teori dan faktor yang mempengaruhi pembentukan batu pada saluran kemih menurut Stoller (2000) di antaranya: 1) Teori Fisika Kimiawi Disebabkan adanya proses kimia, fisika, maupun gabungan fisika kimiawi adalah prinsip dari teori ini. Terjadinya pembentukan batu sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pembentuk batu di saluran kemih. Berdasarkan faktor risiko terdapat beberapa teori pembentukan batu secara fisika dan kimiawi yaitu: (1) Teori nukleus atau supersaturasi Kristal dan benda asing merupakan tempat pengendapan kristal pada urin yang sudah mengalami supersaturasi. Syarat terjadi pengendapan atau dasar terpenting dalam pembentukan batu adalah supersaturasi urin dengan garam-garam pembentuk batu (Manuputty 2011).
19
Faktor yang mempengaruhi tingkat saturasi dalam air kemih adalah jumlah bahan pembentuk batu saluran kemih yang larut, kekuatan ion, pembentukan kompleks dan pH air kemih. (2) Teori matriks Menurut Manuputty (2011) Terdapat matriks organik yang berasal dari serum atau protein-protein yang berasal dari pemecahan mitokondria sel tubulus renalis yang berbentuk laba-laba di dalam urin sehingga memberikan kemungkinan pengendapan kristal. (3) Teori inhibitor kristaliasasi Merupakan substansi dalam urin yang menghambat terjadinya kristalisasi, konsentrasi yang rendah atau absennya substansi ini memungkinkan terjadinya kristalisasi. Berkurangnya faktor inhibitor seperti peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat, magnesium, asam mukopolisakarida akan mempengaruhi terbentuknya batu saluran kemih. Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batu terjadi karena konsentrasi inhibitor alami seperti magnesium, sitrat, dan firofosfat dalam keadaan rendah. Akan tetapi teori ini tidak absolut karena tidak semua orang yang inhibitor pembentuk kristalnya rendah mengalami pembentukan batu saluran kemih. (4) Teori epitaksis Merupakan batu campuran yang terjadi karena kristal menempel pada kristal lain yang berbeda kemudian membesar. Disebut juga nukleasi heterogen. Kasus yang paling sering terjadi adalah menempelnya kristal kalsium oksalat pada kristal asam urat. (5) Teori kombinasi Batu saluran kemih dianggap oleh para ahli terbentuk berdasarkan campuran teori yang ada. (6) Teori infeksi Pada bakteri pemecah urea yang menghasilkan urease. Pengaruh infeksi terhadap pembentukan batu saluran kemih dipengaruhi oleh pH air kemih >7 dan terbentuknya magnesium ammonium fosfat (batu survit) akibat reaksi sintesis ammonium dengan molekul fosfat dan magnesium. Selain itu adanya bakteri berukuran kecil yang hidup dalam darah, ginjal, dan air kemih yang tergolong gram negative dan sensitive terhadap tetrasiklin. Dinding bakteri tersebut membentuk cangkang kalsium Kristal karbonat apatit 20
dan membentuk inti batu kemudian Kristal kalsium oklsalat menempel dan lama kelamaan akan memebesar. 2) Teori Vaskuler Stoller mengajukan teori vaskuler karena pada penderita didapat penyakit hipertensi dan kadar kolesterol darah yang tinggi. (1) Hipertensi Aliran darah pada papilla ginjal berbelok 180 derajat dan aliran darah berubah dari aliran laminar menjadi turbulensi yang berakibat terjadinya pengendapan ion-ion kalsium papilla pada klien hipertensi yang disebut perkapuran ginjal yang dapat berubah menjadi batu. (2) Kolesterol Sekresi kolesterol yang tinggi akan terjadi melalui ginjal dan tercampur di air kemih dan merangsang agregasi dengan kristal kalsium oksalat dan kalsium fosfat sehingga terbentuk batu. 2.6
Manifestasi Klinis Urolithiasis Manifestasi dari kondisi ini bergantung pada obstruksi, infeksi, edema. Gejala-gejala berkisar dari ringan sampai sangat nyeri dan rasa tak nyaman. 1. Batu pada Pelvis Renalis 1) Sakit yang sangat pada region kostovertebral 2) Hematuria dan piuria 3) Nyeri menjalar kearah anterior dan kebawah ke arah kandung kemih pada wanita dan kearah testis pada wanita 2. Kolik Renalis 1) Nyeri akut, nyeri tekan halus pada area kostovertebral 2) Mual, muntah, diare 3) Dapat terjadi rasa tak nyaman pada abdomen 3. Kolik Ureteral ( batu yang tersangkut pada ureter) 1) Nyeri akut, sangat sakit, kolik, seperti gelombang yang menjalar kearah paha ke genitalia 2) Sering ingin berkemih, tapi hanya sedikit urin yang keluar; biasanya mengandung darah 4. Batu yang Tersangkut pada Kandung Kemih 21
1) Gejala iritasi berkaitan dengan infeksi saluran perkemihan dan hematuria 2) Retensi urine, jika batu menyumbat leher kandung kemih 3) Kemungkinan sepsis jika terdapat infeksi bersamaan dengan batu (Baughman dan Hackley, 2000) 2.7
Pemeriksaan Diagnostik Urolithiasis Pemeriksaan diagnostik yang bisa dilakukan untuk mengetahui adanya batu ureter (urolithiasis) adalah sebagai berikut: 1. Uji Laboratorium 1) Analisa urin (Urinanalisis) Analisa ini digunakan untuk menemukan faktor risiko pembentukan batu selain itu juga dapat menunjukkan hasil secara umum terkait dengan hal-hal berikut ini: (1) Tes urin lengkap Warna urin mungkin kuning, coklat gelap, berdarah; secara umum menunjukkan SDM, SDP, kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), serpihan, mineral, bakteri, pus; pH mungkin asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) atau alkalin (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat). (Borley 2006). (2) Kultur urin Pemeriksaan ini dilakukan dengan indikasi kecurigaan pada klien dengan adanya ISK karena berguna untuk mendeteksi adanya infeksi sekunder ataupun infeksi saluran kemih (ISK) akibat adanya pertumbuhan kuman pemecah vena seperti (Stapilococus aureus, Proteus, Klebsiela, Pseudomonas). (3) Tes urin 24 jam Pengumpulan urin 24 jam ini dilakukan saat klien di rumah pada lingkungan yang normal. Hal ini berguna untuk mengetahui kadar pH urin, kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin yang mungkin meningkat. Kadar normal pH urin adalah 4,6-6,8. Jika pH asam maka akan meningkatkan sistin dan batu asam urat. Sedangkan, apabila pH alkali maka dapat meningkatkan magnesium, fosfat amonium (batu kalsium fosfat). Kadar BUN normalnya mencapai 5-20 mg/dl, pada pemeriksaan tujuannya untuk melihat kemampuan ginjal dalam ekskresi sisa yang bernitrogen. BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate (GFR). Hal yang 22
mempengaruhi perubahan kadar BUN adalah diet tinggi protein serta darah dalam saluran pencernaan yang mengalami katabolisme (cedera dan infeksi). Sedangkan untuk Kreatinin Serum memiliki tujuan yang sama dengan pemeriksaan BUN. Kadar normal laki-laki adalah 0,85-15 mg/dl sedangkan perempuan 0,70-1,25 mg/dl. Jika pada serum tinggi dan atau urin rendah maka dapat dikatakan sebagai keabnormalitasan sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal yang dapat menyebabkan terjadinya iskemia/ nekrosis. (4) Kadar klorida, bikarbonat serum, serta hormon paratiroid Peningkatan kadar klorida dan penurunan kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal. Selain itu, kadar hormon paratiroid (PTH) juga mungkin meningkat jika terdapat gagal ginjal. (PTH merangsang reabsorpsi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urin). 2) Tes darah lengkap (DL) Leukosit kemungkinan dapat meningkat, hal ini disebabkan adanya infeksi/septikemia, namun berbeda dengan eritrosit yang biasanya dalam kadar normal. Sedangkan Hb/Ht menjadi abnormal bila klien mengalami dehidrasi berat atau polisitemia (mendorong presipitasi pemadatan) atau anemia (pendarahan, disfungsi/ gagal ginjal). Periksa juga kadar protein plasma darah serta laju endap darah. 3) Analisa batu Analisa ini digunakan untuk pemeriksaan adanya batu pada saluran perkemihan dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik sendimen urin. Pemeriksaan ini juga disebut dengan tes mikroskopik urin, dimana survei ini berguna untuk menunjukkan adanya sel dan benda berbentuk partikel lainnya seperti bakteri, virus maupun bukan karena infeksi (perdarahan, gagal ginjal). Pemeriksaan ini juga dapat dipakai untuk mengetahui ada atau tidaknya leukosituria, hematuria dan kristal-kristal pembentuk batu seperti yang dijelaskan di bawah ini: (1) Kalsium Oksalat Kalsium ini dapat dijumpai pada klien yang sehat. Terjadi pada urin dari setiap pH terutama jika pH asam. Kristal berbentuk amplop atau halter, ukuran bervariasi dan tidak berwarna ini dapat muncul setelah seseorang mengonsumsi makanan tertentu (seperti asparagus, kubis, dll) serta ketika keracunan ethylene glycol. Jika kristal Ca23
oxallate ini berjumlah 1-5 (Positif 1) per LPL masih dinyatakan normal, tetapi jika lebih dari 5 (Positif 2 atau 3) sudah dinyatakan abnormal. (2) Triple Fosfat Seperti halnya Ca-oxallate, triple fosfat juga dijumpai pada klien yang sehat. Kristal ini dapat ditemukan pada pH netral ke basa. Kristal berbentuk prisma empat persegi panjang (seperti tutup peti mati) dan kadang-kadang berbentuk daun atau bintang ini dapat muncul setelah mengonsumsi makanan tertentu seperti buah-buahan. Infeksi saluran kemih dengan bakteri penghasil urease (Proteus vulgaris) dapat mendukung pembentukan kristal ini dengan meningkatkan pH dan amonia bebas. (3) Asam Urat Kristal ini berbentuk belah ketupat atau jarum yang menyerupai bunga mawar serta berwarna kuning kecoklatan. Kristal ini memberikan nilai klinis pada metabolisme zat sampah atau sisa metabolisme normal. Namun, jumlahnya tergantung dari beberapa hal seperti: jenis makanan, jumlah makanan, kecepatan metabolisme, dan konsentrasi urin. (4) Sistin (Cystine) Kristal berbentuk heksagonal dan tipis ini muncul akibat dari cacat genetik atau penyakit hati yang parah. Dapat dijumpai pada cystinuria dan homocystinuria. Terbentuk pada pH asam dan ketika konsentrasinya > 300 mg. Kristal ini sering membingungkan dengan kristal asam urat. Sistin Crystalluria merupakan indikasi cystinuria, diaman merupakan kelainan metabolisme bawaan yang melibatkan reabsorbsi tubulus ginjal tertentu termasuk asam amino sistin. (5) Leusin dan Tirosin Merupakan kristal asam amino yang sering muncul bersama-sama dalam penyakit hepar kronis. Leusin muncul dengan berminyak bola dengan radial dan konsentris striations, sedangkan tirosin tampak sebagai jarum yang tersusun sebagai berkas dan berwarna kuning. Kristal ini sangat jarang terlihat pada pemeriksaan mikroskopis sendimen urin. Kristal ini dapat diamati pada beberapa penyakit keturunan seperti tyrosinosis dan Maple Syrup. (6) Kristal Kolesterol
24
Kristal ini tampak regular atau iregular, transparan, seperti pelat tipis empat persegi panjang. Penyebabnya tidak jelas, namun hal ini diduga memiliki makna klinis seperti oval fat bodies. Kristal ini sangat jarang dan biasanya disertai proteinuria. (7) Kristal lain Kristal lain yang dapat ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik sendimen urin, misalnnya adalah: a. Kristal dalam urin asam a) Natrium urat: tidak berwarna, berbentuk batang irregular tumpul, berkumpul membentuk roset. b) Amorf urat: berwarna kuning atau coklat, terlihat sebagai butiran dan berkumpul. b. Kristal dalam urin alkali a) Amonium urat (biurat): berwarna kuning-coklat, berbentuk bulat irregular berduri atau bertanduk. b) Ca-fosfat: tidak berwarna, berbentuk batang panjang, berkumpul membentuk roset. c) Amorf fosfat: tidak berwarna, berbentuk butiran-butiran dan berkumpul. d) Ca-karbonat: tidak berwarna, berbentuk bulat kecil dan halter. c. Kristal akibat sekresi obat dalam urin a) Kristal Sulfadiazin Kristal ini terbentuk akibat konsumsi obat sulfadiazine yang biasanya digunakan untuk obat antibakteri. Obat ini terdapat sulfa yang sukar larut dalam urin dan sangat asam sehingga dapat menimbulkan kristaluria dan komplikasi ginjal lainnya. Tindakan pencegahannya yaitu klien dianjurkan minum banyak air putih (≥ 1200 ml/hari) atau diberikan sediaan alkalis (Na-Bikarbonat untuk menaikkan pH urin). b) Kristal Sulfonamida Kristal ini terjadi akibat konsumsi obat sulfonamida yang digunakan secara sistemik untuk pengobatan dan
pencegahan penyakit infeksi pada manusia.
Kristal ini dapat terjadi karena tidak dikombinasikan dengan Na-Bikarbonat (natrium sitrat) sehingga tidak dalam suasana alkalis yang mengakibatkan sulfasulfa akan menghambur dalam saluran kemih secara bebas. 25
2. Tes Radiologi 1) Foto polos abdomen (BOF, KUB) Radiologi ini dapat dipakai untuk menunjukkan adanya kalkuli dan atau perubahan anatomik pada area ginjal maupun sepanjang ureter. Plain-film radiografi dari ginjal, ureter, dan kandung kemih (KUB) hanya dapat mendokumentasikan ukuran dan lokasi batu kemih radiopak pada batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, karena memiliki kandungan kalsium mereka paling mudah dideteksi oleh radiografi. Pemeriksaan ini digunakan untuk menunjukkan adanya kalkuli dan/atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter. Selain itu, pemeriksaan ini berperan untuk menilai kandung kemih dan ginjal, dimana ditentukan dari: (1) Distribusi udara di dalam usus rata atau tidak. (2) Bentuk ginjal. (3) Bayangan batu : dimana dilihat radiopak, radiolusent. (4) Garis M. Psoas simetris. Jika tidak simetris harus dilakukan transplantasi ginjal. 2) IVP (Intra Vena Pielografi) / IVU (Intravenous Urography) Memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri abdomen atau panggul. Tes ini juga dapat menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli. Saat ini, IVU/IVP memiliki peran yang terbatas dalam manajemen. IVU/IVP menyediakan informasi yang berguna mengenai ukuran batu, lokasi, dan radiodensity. Anatomi Calyceal, derajat obstruksi, serta unit ginjal kontralateral juga dapat dinilai dengan akurasi. IVU/IVP tersedia secara luas, dan interpretasinya baik standar. Selain itu, IVU/IVP memungkinkan untuk kalkuli saluran kemih dapat dengan mudah dibedakan dari radiografi non-urologi. Indikasi pemeriksaan ini yaitu pada klien dengan Hematuria, ISK yang berulang, batu saluran kemih, anomali anatomi sistem urinari, nyeri pinggang yang tidak bisa diterangkan penyebabnya, nyeri kolik ginjal, dicurigai terdapat tumor yang mengganggu fungsi saluran kencing-ginjal, ureter, kandung kemih, dan atau uretra. Kontraindikasi pemeriksaan ini adalah kadar kreatinin >1,5, alergi terhadap kontras. (Aziz 2008). 3) Sistoureterokopi Visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat menunjukkan batu dan atau efek obstruksi (Borley 2006). 26
4) CT-scan Pemindaian CT-scan akan menghasilkan gambar yang lebih jelas tentang ukuran dan lokasi batu. Pemeriksaan ini dipakai untuk mengidentifikasi kalkuli dan masa lain; ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih. Sangat akurat mendiagnosa ureteral kalkuli, sensitifitas sangat tinggi untuk mengidentifikasi obstruksi. Selain itu, CT-scan juga sebagai Gold Standart dari pemeriksaan trauma urinari. Mengidentifikasi atau menggambarkan kalkuli dan massa lain; ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih (Borley 2006). Indikasi dari pemeriksaan ini adalah obstruksi saluran kemih, BSK (Batu saluran kemih), trauma urinari, kalkuli ureter, distensi bladder. 5) Ultrasound ginjal (USG) USG ginjal digunakan untuk menunjukkan perubahan obstruksi, lokasi batu. Namun Saat ini, USG memiliki penggunaan yang terbatas dalam diagnosis urolithiasis dan stone of lower urinary. Ultrasonografi adalah teknik yang dapat membaca dengan cepat yang memiliki sensitivitas tinggi dalam mendeteksi batu ginjal. Penggunaan rutin USG paten pada klien yang mengalami kolik ginjal akut terbatas. Menariknya, jika batu ureter divisualisasikan oleh USG, temuan ini dapat diandalkan dengan spesifisitas dilaporkan 97%. USG sangat sensitif terhadap hidronefrosis yang mungkin merupakan manifestasi dari obstruksi saluran kemih. Selain itu, ultrasonografi abdomen adalah modalitas penggambaran pilihan untuk evaluasi nyeri ginekologi, yang lebih umum daripada urolithiasis pada wanita usia subur. Klien dalam kelompok usia anak serta klien dengan riwayat batu nooradio calculi (asam urat) juga dapat dikelola radiografi dengan USG. (Pearl dan Nakada, 2009). Indikasi dari pemeriksaan ini adalah suspek urolithiasis, kolik ginjal, batu ginjal, hidronefrosis, obstruksi saluran kemih, batu asam urat, nyeri ginekologi. 6) Sistoskopi Sistoskopi adalah prosedur pemeriksaan dengan menyisipkan sebuah tabung kecil fleksibel melalui uretra, yang memuat sebuah lensa dan sistem pencahayaan yang membantu dokter untuk melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih untuk mengetahui kelainan dalam kandung kemih dan saluran kemih bawah. Dengan prosedur ini, batu ginjal dapat diambil dari ureter, kandung kemih atau uretra, dan biopsi jaringan dapat dilakukan. Retrograde pielografi adalah pemasukan zat kontras melalui kateter ke dalam ureter dan pelvis ginjal, yang dapat dilakukan selama sistoskopi. 27
Dan berguna untuk mengetahui kerusakan dari serabut-serabut otot pada kandung kemih (Chang 2009). Indikasi pemeriksaan ini yaitu klien dengan kelainan anomali bladder, saluran kemih, dan batu ginjal. 7) Uroflowmetry dan Urodinamik Berguna untuk mengukur kecepatan pengeluaran urin, tekanan bladder dan tekanan abdominal. Serta untuk mendeteksi pancaran kencing sehingga dapat mengetahui ada tidaknya kelainan pada saluran kencing bawah, seperti adanya kelainan prostat (BPH) maupun kelainan striktur uretra. Interpretasi yang bisa dilakukan yaitu dengan cara melihat nilai kecepatan pengeluaran urin (minimal 100 cc urin) sebagai berikut: (1) 0 – 10 ml/s : Obstruksi (2) 10-15 ml/s : Border line (3) >15 ml/s
: Normal
Indikasi dari pemeriksaan ini adalah BPH (Benign Prostatic Hyperplasia), striktur uretra, dan kelainan saluran kencing bagian bawah 8) Magnetic Resonance Urography (MRU) Magnetic resonance urography (MRU) memiliki peran minimal dalam diagnosis dan manajemen urolithiasis. MRU memberikan alternatif untuk NCCT dalam pengaturan klinis tertentu, termasuk klien anak-anak dan ibu hamil. MRU memberikan gambaran yang luar biasa dari saluran kemih dan telah terbukti memiliki akurasi diagnosis batu dari 92,8%. Peran sekarang dari MRU masih berkembang dan belum dianggap sebagai standar perawatan (Pearl dan Nakada, 2009). Indikasi dari pemeriksaan ini adalah hidronefrosis, batu saluran kemih (BSK), obstruksi saluran kemih, serta striktur uretra. 9) Renogram Pemeriksaan yang dikhususkan untuk klien yang terkena staghorn stone. Berguna untuk menilai fungsi ginjal (Umamy 2007). 2.8 Penatalaksanaan Urolithiasis Ada beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada batu saluran empedu diantaranya: 1. Terapi Nutrisi dan Medikasi 28
Terapi nutrisi berperan penting dalam mencegah batu renal. Masukan cairan yang adekuat serta menghindari makanan tertentu dalam diet juga dapat mencegah pembentukan batu. Setiap klien yang memiliki riwayat batu renal harus minum paling sedikit 8 gelas air dalam sehari untuk mempertahankan urin encer, kecuali dikontraindikasikan. Pemberian antibiotik dilakukan apabila terdapat infeksi saluran kemih atau pada pengangkatan batu untuk mencegah infeksi sekunder. Setelah dikeluarkan, batu ginjal dapat dianalisis dan obat tertentu dapat diresepkan untuk mencegah atau menghambat pembentukan batu berikutnya. Urin yang asam harus dibuat basa dengan preparat sitrat (Chang 2009). Terapi farmakologi juga dapat diberikan dengan beberapa obat seperti di bawah ini: 1) Kimiawi (1) Mempertahankan pH urin a. NaCO3-: Membuat urin lebih alkali pada asam pencetus batu. b. Asam askorbat: Membuat urin lebih asam pada alkali pencetus batu. (2) Mengurangi ekskresi dari substansi pembentuk batu a. Diuretik (tiazid): Menurunkan eksresi kalsium ke dalam urin dan menurunkan kadar parathormon. Efek samping gangguang metabolik, dermatitis, purpura. b. Alupurinol (zyloprim): Mengatasi batu asam dengan menurunkan kadar asam urat plasma dan ekskresi asam urat ke dalam urin. Efek samping mual, diare, vertigo, mengantuk, sakit kepala. c. Mengurangi nyeri: Opioid (injeksi morfin sulfat, petidin hidroklorida) atau obat AINS (NSAID’s) seperti ketorolak dan naproxen dapat diberikan tergantung pada intensitas nyeri. d. Antispasmodik ureter: Propantelin dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter. 2) Herbal Jus kulit manggis dan daun sirsak penghancur batu ginjal paling ampuh tanpa menimbulkan efek samping. Daun sirsak berfungsi sebagai diuretik alami penghambat terjadinya pembentukan batu yang baru dan penghancur batu yang telah terbentuk dengan sangat efektif. Selain itu juga sebagai antioksidan yang sangat tinggi berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh serta dapat mencegah infeksi dan melancarkan peredaran darah sehingga urin (hasil buangan akhir lebih sempurna). Serta banyak lagi kandungan 29
daun sirsak seperti acetogenin, annocatin, annocatalin, annohexocin. annonacin, annomuricin, anomourine, anonol, caclourine, gentisic acid, gigantetronin, linoleid acid, muricapentosin yang sangat baik untuk penderita batu ginjal. Selain daun sirsak, khasiat kulit manggis tidak kalah pentingnya. Kulit manggis mengandung suatu senyawa xanthone, yaitu zat antioksidan yang dapat melawan radikal bebas. Senyawa ini baik untuk mengikis endapan di dalam tubuh seperti batu ginjal, leburan batu ginjal akan terbuang bersama aliran urin. 2. Litotripsi Batu kandung kemih dapat dipecahkan dengan memakai litotriptor secara mekanis melalui sistoskopi atau dengan memakai gelombang elektrohidrolik atau ultrasonik. Sedangkan untuk batu ureter, digunakan ureteroskopi dan batu dapat dihancurkan memakai gelombang ultrasonik, elektrohidrolik, atau sinar laser. Beda halnya dengan batu ginjal yang menggunakan litotripsi dilakukan dengan bantuan nefroskopi perkutan untuk membawa transduser melalui sonde ke batu yang ada di ginjal. Cara ini disebut nefrolitotripsi perkutan. Terapi yang sering dipakai pada kasus ini adalah Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL). Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) adalah prosedur dimana batu ginjal dan ureter dihancurkan menjadi fragmen-fragmen kecil dengan menggunakan gelombang kejut. Terapi non-invasif ini membuat klien terbebas dari batu tanpa pembedahan ataupun endoskopi. ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan menggunakan gelombang kejut antara 15-22 kilowatt. Meskipun hampir semua jenis dan ukuran batu ginjal dapat dipecahkan oleh ESWL, namun masih perlu ditinjau efektifitas dan efisiensi dari alat ini. ESWL hanya sesuai untuk menghancurkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm serta terletak di ginjal atau saluran kemih antara ginjal dan kandung kemih (kecuali yang terhalang oleh tulang panggul). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jenis batu apakah bisa dipecahkan oleh ESWL atau tidak. Batu yang keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat) sulit pecah dan perlu beberapa kali tindakan. Menurut Sjamsuhidajat (2004) Terdapat 3 teknik yang digunakan untuk membangkitkan gelombang kejut, yaitu: 1) Elektrohidrolik
30
Teknik ini paling sering digunakan untuk membangkitkan gelombang kejut. Pengisian arus listrik voltase tinggi terjadi melintasi sebuah elektroda spark-gap yang terletak dalam kontainer berisi air. Pengisian ini menghasilkan gelembung uap, yang membesar dan kemudian pecah, membangkitkan gelombang energi bertekanan tinggi. 2) Pizoelektrik Pada teknik ini, ratusan sampai ribuan keramik atau kristal pizo dirangsang dengan denyut listrik energi tinggi. Ini menyebabkan vibrasi atau perpindahan cepat dari kristal sehingga menghasilkan gelombang kejut. 3) Elektromagnetik Aliran listrik di alirkan ke koil elektromagnet pada silinder berisi air. Lapangan magnetik menyebabkan membran metalik di dekatnya bergetar sehingga menyebabkan pergerakan cepat dari membran yang menghasilkan gelombang kejut. Indikasi dari ESWL adalah ukuran batu antara 1-3 cm atau 5-10 mm dengan gejala yang mengganggu, lokasi batu di ginjal atau ureter, dan tidak adanya obstruksi ginjal distal. Kontraindikasi ESWL: 1) Kontraindikasi Absolut Adanya ISK akut, gangguan perdarahan yang tidak terkoreksi, kehamilan, sepsis serta obstruksi batu distal. 2) Kontraindikasi Relatif Kontra indikasi relatif untuk terapi ESWL adalah: (1) Status mental, meliputi kemampuan untuk bekerja sama dan mengerti prosedur. (2) Berat badan >300 lb (150 kg) tidak memungkinkan gelombang kejut mencapai batu, karena jarak antara F1 dan F2 melebihi spesifikasi lithotriptor. Pada klien seperti ini sebaiknya dilakukan simulasi lithotriptor terlebih dahulu (3) Klien dengan deformitas spinal atau orthopedik, ginjal ektopik dan atau malformasi ginjal (meliputi ginjal tapal kuda) mungkin mengalami kesulitan dalam pengaturan posisi yang sesuai untuk ESWL. Selain itu, abnormalitas drainase intrarenal dapat menghambat pengeluaran fragmen yang dihasilkan oleh ESWL (4) Masalah paru dan jantung yang sudah ada sebelumnya dan dapat diatasi dengan anestesi. 31
(5) Klien dengan pacemaker aman diterapi dengan ESWL, tetapi dengan perhatian dan pertimbangan khusus. (6) Klien dengan riwayat hipertensi, karena telah ditemukan peningkatan insidens hematom perirenal pasca terapi. (7) Klien dengan gangguan gastrointestinal, karena dapat mengalami eksaserbasi pasca terapi walaupun jarang terjadi. 3. Ekstansi Dormia Pengeluaran batu ureter dengan menjaringnya melalui alat dormia. 4. URS (Ureter Resection Cytoscopy/ Ureterorenoskopi) Ureteroskopi adalah pengembangan dari sistoskopi dan berangsur-angsur menjadi bentuk teknik utama untuk diagnosis dan terapi kelainan di dalam ureter atau bahkan dengan ureterorenoskop fleksibel dapat dicapai semua kaliks dalam ginjal. Ureteronoskopi (URS) atau ureteropieloskopi adalah tindakan endoskopi ureter sampai pelvis renalis dengan menggunakan alat ureteroskop atau ureterorenoskop, dan digunakan untuk tujuan diagnostik dan intervensi terapetik. Sebenarnya URS merupakan pengembangan dari teknik sistoskopi. Alat URS dapat dimasukkan secara retrograde lewat orifisium ureter atau secara antegrade melalui trek nefrotomi. URS adalah alat pemecah batu saluran kemih yang menggunakan power ultrasonik atau pneumatik. URS merupakan tindakan invasif secara minimal. Geratan yang digunakan high frequency sehingga hanya akan merusak batu namun aman bagi jaringan lunak. URS ini berguna untuk pemeriksaan batu yang letaknya di saluran kemih bagian bawah ureter dan kandung kemih. Cara penggunaan alat ini dimasukkan melalui penis. Pada prosedur URS suatu endoskopi semirigid atau fleksibel dimasukan kedalam ureter lewat buli-buli dibawah anastesi umum atau regional. Dengan ureteroskop yang flaksible dapat mencapai batu dalam kaliks ginjal dan dapat dapat diambil atau dihancurkan dengan semua elektrohidroulik atau laser. Indikasi URS yaitu besar batu > 4mm sampai 15mm. 5. Metode endourologi Bidang endourologi menggabungkan keterampilan ahli radiologi dan urologi untuk mengangkat batu renal tanpa pembedahan mayor. Nefrostomi perkutan dilakukan dan
32
nefroskopi dimasukkan ke traktus perkutan yang sudah dilebarkan ke dalam parenkim renal. Batu dapat diangkat dengan forceps atau jaring, tergantung dari ukurannya. 6. Pengangkatan batu dengan pembedahan terbuka Jika lokasi batu di dalam ginjal, pembedahan dapat dilakukan dengan nefrolitotomi, atau nefrektomi jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi atau hidronefrosis. Pembedahan yang sering dilakukan dengan laparoskopi. Pembedahan jenis ini digunakan untuk mengambil batu saluran kemih. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter diantaranya bedah terbuka: 1) Pielolitotomi atau nefrolitotomi : mengambil batu di saluran ginjal 2) Ureterolitotomi : mengambil batu di ureter. 3) Vesikolitotomi : mengambil batu di vesica urinaria 4) Ureterolitotomi : mengambil batu di uretra.
2.9
Komplikasi Urolithiasis Komplikasi yang mungkin munncul akibat dari urolithiasis, antara lain: 1.
Kerusakan tubular dan iskemik partial (Suharyanto dan Madjid, 2009)
2.
Obstruksi sampai timbul hidronefrosis
3.
Terbentuknya abses
4.
Pyelonefritis
5.
Terbentuknya fistula urinarius
6.
Perforasi ureter
7.
Urosepsis yang bisa disebabkan oleh obstruksi
8.
Adanya obstruksi total selama 48 jam dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang irreversibel
9.
Gangguan fungsi ginjal
2.10 Prognosis Urolithiasis Batu saluran kemih (urolithiasis) merupakan masalah kesehatan yang cukup signifikan, baik di Indonesia maupun di dunia. Kejadian urolithiasis ini banyak dialami oleh pria dari pada wanita. Biasanya terjadi pada usia dewasa muda. Di beberapa negara Eropa prevelensi kejadian 33
urolithiasis sekitar 3 %. Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Semakin besar ukuran batunya, maka semakin buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah terjadinya infeksi. Semakin besar kerusakan jaringan dan adanya infeksi karena faktor obstruksi maka akan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal (Umamy 2007).
34
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN UROLITHIASIS (ASKEP UMUM) 3.1 Pengkajian 1. Anamnesa 1) Data demografi Terdiri dari nama, usia, jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, diagnosa medis, agama, suku bangsa klien dan keluarga penanggung jawabnya. 2) Riwayat kesehatan (1) Keluhan utama Keluhan dari klien bergantung pada posisi atau letak batu, ukuran batu, dan penyulit yang ada. Nyeri akibat adanya peningkatan tekanan hidrostatik di daerah abdomen bagian bawah yakni berawal dari area renal meluas secara anterior dan pada wanita ke bawah mendekati kandung kemih sedangkan pada pria mendekati testis. Nyeri yang dirasakan bisa berupa nyeri kolik atupun non kolik. Nyeri kolik hilang timbul akibat spasme otot polos ureter karena
peningkatan
aktivitas
untuk
mengeluarkan
batu.
Sedangkan nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ureter karena hidronefrosis atau infeksi pada ureter. Apabila urolithiasis disertai dengan adanya infeksi maka demam juga akan dikeluhkan. Keluhan kencing seperti disuria, retensi urin atau gangguan miksi lainnya dikeluhkan klien saat pertama datang ke tenaga kesehatan. (2) Riwayat penyakit sekarang Klien awalnya mengeluhkan perubahan gangguan eliminasi urin yang dialami (oliguria, disuria, hematuria). Biasanya seiring berjalannya waktu dan tingkat keparahan penyakit maka nyeri mulai dirasakan dan nyeri ini bersifat progresif. Respon dari nyeri itu sendiri yakni munculnya gangguan gastrointestinal, seperti
keluhan anoreksia, mual, dan muntah yang menimbulkan manfestasi penurunan asupan nutrisi umum. Mengkaji berapa lama dan berapa kali keluhan tersebut dirasakan, apa yang dilakukan, kapan keluhan tersebut muncul adalah penting untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit. (3) Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat batu ginjal sebelumnya, riwayat mengalami gangguan haluaran urin sebelumnya, riwayat ISK, riwayat hiperkalsemia
ataupun
hiperkalsiuria,
riwayat
hiperparatiroidisme, riwayat penyakit kanker (berhubungan dengan adanya malignansi), dan riwayat hipertensi yang bisa menjadi faktor penyulit pada kasus urolithiasis, penderita osteoporosis yang menggunakan obat dengan kadar kalsium yang tinggi. (4) Riwayat penyakit keluarga Keluarga pernah menderita urolithiasis, adanya riwayat ISK, riwayat hipertensi, riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, gout, riwayat penyakit usus halus, riwayat bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme. 3) Riwayat penggunaan obat Adanya riwayat pengunaan obat-obatan tinggi kalsium, antibiotik, opioda, antihipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium dan vitamin. (Darsini 2011) 2. Pemeriksaan Fisik 1) Kepala dan leher: Kepala normal dan bentuk simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada keterbatasan gerak leher. Klien mengatakan dapat bergerak dengan baik pada bagian kepala dan leher tanpa ada keterbatasan gerak. 2) Mata: Mata normal, tidak menggunakan alat bantu penglihatan, respon klien dalam melihat cahaya normal. 3) Hidung: Hidung normal, jalan nafas efektif, tidak menggunakan pernapasan cuping hidung, tidak ada kelainan bentuk hidung, tidak
keluar sekret atau pus dari dalam hidung, tidak ada obstruksi jalan nafas. 4) Telinga: Fungsi pendengaran kien baik, tidak adanya gangguan mendengar, tidak ditemukan adanya kelainan bentuk dan kelainan lain. Klien tidak menggunakan alat bantu pendengaran. 5) Mulut dan gigi: mukosa bibir kering atau lembab, tidak ada peradangan pada mulut, mulut dan lidah bersih. 6) Dada (1) Inspeksi: Dada klien simetris. (2) Palpasi: Dada klien simetris tidak ditemukan adanya bennjolan. (3) Perkusi: Tidak ditemukan adanya penumpukan sekret, cairan atau darah di daerah paru. (4) Auskultasi: Suara napas normal, dan terdengar suara jantung. 7) Abdomen (1) Inspeksi: Warna kulit, turgor kulit baik. (2) Auskultasi: Peristaltik usus 12x/menit (3) Palpasi: Adanya nyeri tekan pada abdomen kiri bawah (4) Perkusi: 8) Genetalia: Hasil pengkajian keadaan umum dan fungsi genetalia tidak ditemukan adanya keluhan atau kelainan bentuk anatomi. 9) Pola aktifitas: Perkejaan yang dilakukan monoton, perkerjaan dimana klien terpajan pada lingkungan bersuhu tinggi. Keterbatasan aktivitas/imobilisasi sehubungan dengan kondisi sebelumnya (contoh penyakit tak sembuh, cedera medulla spinalis). 10) Pola sirkulasi: Adanya peningkatan TD/nadi (nyeri, anseitas, gagal ginjal). Kulit hangat dan kemerahan, pucat. 11) Pola eliminasi: Riwayat adanya ISK Kronis atau obstruksi sebelumnya (kalkulus). Terjadi penurunan haluaran urin yang ditandai dengan adanya rasa seperti terbakar, oliguria, hematuria, piuria, perubahan pola berkemih. 12) Pola intake makanan dan cairan: Klien mual dan muntah, nyeri tekan pada abdomen. Diet rendah purin, kalsium oksalat, dan fosfat.
Ketidakcukupan pemasukan cairan, tidak minum air dengan cukup yang ditandai dengan distensi abdomen, penurunan suara bising usus. 13) Nyeri: Terjadi secara akut atau bisa juga terjadi nyeri kronik. Lokasi nyeri tergantung pada lokasi batu, contoh pada panggul di region sudut kostovetebral (CVA) dan dapat menyebar ke seluruh punggung, abdomen, dan turun ke lipat paha serta genitalia. Nyeri dangkal konstan menunjukan kalkulus ada di pelvis atau kalkulus ginjal. Nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain yang ditandai dengan prilaku distraksi, terjadi demam dan menggigil. Pemeriksaan fisik dengan metode ROS: (1) B1 (breathing) Pola napas cepat dan dalam pada kussmaul menunjukkan adanya asidosis metabolik. Jika memberat, edema paru bisa ditemukan menjadi penyakit paru uremik (edema paru nonkardiogenik). Ronkhi terdengar karena beban volume berlebihan pada paru sebagai akibat dari retensi natrium dan air. Klien sering mengalami infeksi karena imunosupresi pada gagal ginjal terminal. (2) B2 (blood) Gagal ginjal kronik bisa memicu gagal jantung kongestif. Sedangkan gagal ginjal terminal dapat menimbulkan manifestasi anemia karena eritopoiesis. Keadaan hidrasi klien penting diperiksa pada semua klien dengan masalah kesehatan yang berhubungan dengan sistem perkemihan. (3) B3 (brain) Periksa adanya anemia dan ikterus (jarang ditemukan) sebagai akibat dari retensi nitrogen yang menyebabkan hemolisis. Fetor uremikum (bau amoniak hasil pemecahan urea di dalam saliva). Stomatitis dan ulkus dapat dijumpai karena ada penurunan aliran saliva sehingga memunculkan risiko infeksi. Pada sistem persarafan sendiri, pada klien kronis berat adalah somnolen sampai koma karena retensi nitrogen atau toksik.
(4) B4 (bladder) a. Inspeksi a) Amati pembesaran pada daerah pinggang dan abdomen yang mungkin terlihat karena adanya hidronefrosis. b) Pemeriksaan eliminasi urin Perubahan yang terjadi biasanya adalah perubahan pancaran miksi akibat dari obstruksi pada saluran kemih atau kelainan neurologis atau pascatrauma pada saluran kemih. c) Pemeriksaan genitalia eksterna Mencakup genitalia eksternal dan cincin. Melalui inspeksi, perhatikan adanya kelainan pada penis dan uretra, misalnya mikropenis, makropenis, hipospadia, kordae, epispadia, stenosis pada meatus eksterna, fimosis/parafimosis, fistel uretrokutan, ulkus, tumor, dan keganasan penis. d) Maturitas seksual Mengkaji kematangan seksual klien, dari ukuran dan bentuk penis dan testis, warm dan tekstur kulit skrotum dengan karakternya, dan distribusi rambut pubis. Inspeksi juga kulit yang menutup genitalia untuk kutu,ruam, ekskoriasi, ataupun lesi. e) Penis Inspeksi struktur penis, termasuk batang, korona, prepusium, glans, dan meatus uretra untuk mengkaji adanya lesi. Vena dorsalis harus terlihat saat inspeksi. Lakukan palpasi untuk mengkaji adanya nyeri ataupun kondisi abnormal. f) Skrotum Inspeksi bentuk, ukuran dan kesimetrisan juga adanya lesi dan edema. b. Auskultasi Kaji adanya bruit renal dan paling terdengar tepat di atas umbilikus sekitar 2cm dari sisi kanan atau sisi kiri garis tengah. c. Perkusi
Memberikan ketokan pada sudut kostovertebra (CVA). Pada klien dengan pielonefritis, batu ginjal pada pelvis, dan batu ureter akan terasa nyeri. d. Palpasi Ginjal teraba unilateral
Ginjal teraba bilateral
Hipernefroma (kasrsinoma sel ginjal)
Karsinoma sel ginjal bilateral
Hidronefrosis atau pionefrosis
Hidronefrosis atau pionefrosis bilateral
Ginjal polikistik (dengan pembesaran yang asimetris)
Ginjal polikistik
Ginjal kanan normal/ginjal soliter
Sindrom nefrotik, nefropati diabetika
Pemeriksaan kandung kemih dengan palpasi dan perkusi kandung kemih dilakukan untuk menentukan batasnya dan adanya nyeri tekan pada area suprasimfisis. Perhatikan adanya benjolam atau masa atau jaringan parut di suprasimfisis. Masa yang teraba mungkin merupakan kandung kemih yang penuh sebagai akibat dari retensi urin yang dialami. (5) B5 (bowel) Stomatitis dan bau amonia pada klien dengan masalah ginjal dapat menimbulkan anoreksia yang berpotensi pada penurunan pemenuhan nutrisi tubuh. Selain itu, ulkus mukosa mulut dan lambung dapat memperberat anoreksia lebih lagi. Kaji adanya asites di abdomen akibat
berkumpulnya
cairan
karena
sindrom
nefrotik
sebab
hipoalbuminemia. (6) B6 (bone) Kulit dapat kekuningan akibat gagal ginjal kronis atau abu-abu sampai merah tua akibat desposisi zat besi pada klien yang melakukan transfusi darah multipel. Sedangan kuku klien biasanya ada leukonikia karena hipoalbumin, yang ditandai dengan proteinuria berat (>3,5 gr/24jam), kadar albumin serum rendah (100200 cc 3) Intake cairan dalam rentan normal 4) Bebas dari ISK 5) Tidak ada spasme bladder 6) Balance cairan seimbang
NIC Urinary Retenrion Care (0620) 1. Monitor intake dan output 2. Monitor penggunaan obat dan antikolinergik 3. Monitor derajat distensi bladder 4. Instruksikan pada klien dan keluarga untuk mencatat output urin 5. Sediakan privasi untuk eliminasi 6. Stimulasi reflek bladder dengan kompres dingin pada abdomen 7. Kateterisasi jika perlu 8. Monitor tanda dan gejala ISK (panas, hematuria, perubahan bau dan konsistensi urin) 9. Monitor kadar albumin 10. Kolaborasi pemberian obat diuretik. Manajemen eliminasi urin (0590) 1. Monitor eliminasi urin melipiti frekuensi, konsistensi, bau, volume, dan warna jika diperlukan. 2. Kolaborasikan dengan dokter untuk tindakan urinalisis jika diperluka dengan mengumpulkan spesimen urin porsi tengah. 3. Ajarkan teknik berkemih yang benar dan kenali urgensi berkemih. 4. Ajarkan klien tentang tanda dan gejala ISK. 5. Instruksikan klien dan keluarga untuk mencatat haluaran urin.
3. Resiko infeksi (00004) b.d prosedur infasif (penggunaan kateter) NOC Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperwatan infeksi pada klien dapat
NIC Kontrol Infeksi (6540) 1. Pertahankan teknik aseptif 2. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
terkontrol. Kriteria Hasil: 1. Level 1 Domain II: Physiologic Health Level 2 Kelas H: Immune Response Level 3 Outcome: Infection Severity 1) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi (tumor, dolor, rubor, kolor) 2) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 3) Jumlah leukosit alam batas normal 2. Level 1 Domain II: Physiologic Health Level 2 Kelas H: Immune Response Level 3 Outcome: Immune Status 1) Suhu tubuh 2) Fungsi respirasi 3) Fungsi gastrointestinal 4) Fungsi genitourinaria 5) Integritas kulit 6) Integritas mukosa
3. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung 4. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kemih 5. Tingkatkan intake nutrisi 6. Dorong klien untuk memenuhi intake cairan 7. Berikan terapi antibiotik Proteksi Terhadap Infeksi (6550) 1. Monitor tanda dan gejala infeksi sitemikdan lokal 2. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase 3. Monitoring adanya luka 4. Batasi pengunjung bila perlu 5. Anjurkan klien untuk istirahat 6. Ajarkan klien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi 7. Laporkan kecurigaan infeksi
4. Hipertermi (00007) b.d proses infeksi NOC NIC Tujuan: Hyperthermia Treatment (3786) Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor TTV 2. Menjauhkan pasien dari sumber pengaturan suhu tubuh klien dalam batas panas normal. 3. Menggunakan metode penghilang Kriteria Hasil: Domain II panas dari luar (kompres pasien Kelas 1 dileher, dada, ketiak, lipatan dada) Thermoregulation (0800) 4. Tingkatkan hidrasi oral a. Penurunan temperature kulit 5. Monitor hasil laboratorium b. Sakit kepala 6. Monitor urin output c. Iritabilitas d. Perubahan warna kulit e. Dehidrasi f. RR
g. Nadi h. Melaporkan kenyamanan suhu tubuh
5. Resiko kekurangan volume cairan (00027) b.d kesulitan mengontrol perdarahan NOC Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan volume cairan klien dapat terpenuhi. Kriteria Hasil: Domain II: Physiologic Health Kelas G: Fluid & Electrolytes Fluid Balance (0601) a. Tekanan darah b. Denyut nadi radial c. Tekanan arteri rata-rata d. Tekanan vena sentral e. Turgor kulit f. Membran mukosa lembab Domain II: Physiologic Health Kelas G: Fluid & Electrolytes Hidration (0602) a. Turgor kulit b. Membran mukosa lembab c. Asupan cairan d. Keluaran urin e. Natrium serum f. Jaringan perfusi
NIC Fluid Management (4120) 1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat 2. Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan 3. Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin, albumin, total protein ) 4. Monitor vital sign setiap 15 menit – 1 jam Fluid Monitoring (4130) 1. Pantau intake dan output 2. Monitor serum dan elektrolit urin nilai jila perlu 3. Monitor albumin serum dan tingkat protein total 4. Monitor serum dan urin tingkat osmolalitas 5. Pantau BP, denyut jangtung dan status pernapasan.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002) b.d mual muntah NOC Tujuan: Selama dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi. Kriteria Hasil:
NIC Nutrition management (1100) 1. Kaji nutrisi klien 2. Kaji adanya alergi makanan 3. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Nutritional status Adequacy of nutrient Nutritional Status : Food and Fluid Intake Weight Control a. Intake nutrisi adekuat b. Intake makanan dan cairan adekuat c. BB pasien dalam batas normal
4. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian. 5. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah 6. Monitor lingkungan selama makan 7. Monitor turgor kulit 8. Monitor mual dan muntah 9. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva 10. Monitor intake nutrisi 11. Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi 12. Atur posisi semi fowler selama makan 13. Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti NGT/ TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan. 14. Kolaborasi pemberan anti emetik 15. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
BAB 4 PENUTUP 4.1
Kesimpulan Urolithiasis adalah batu saluran kemih yang terdiri dari batu ginjal, batu ureter, batu kandung kemih dan batu ureter. Komposisi batu saluran kemih ini terdiri dari jenis kalsium, struvit, asam urat dan jenis lain yang berupa batu sistin, batu xanthin dan batu silikat. Beberapa faktor resiko yang dapat menimbulkan batu saluran kemih adalah faktor usia, faktor herediter dan biasanya banyak terjadi pada laki-laki. Selain itu, beberapa faktor eksternal seperti faktor geografi, diet, iklim, pekerjaan dan asupan air minum yang kurang namun tinggi kalsium juga bisa menyebabkan terjadinya urolithiasis. Faktor-faktor tersebut biasanya menyebabkan hambatan aliran urin sehingga memudahkan terbentuknya kristal-kristal yang akan menjadi batu di saluran kemih. Oleh karena itu, kita sebagai seorang ners harus bisa menegakkan diagnosa keperawatan terhadap kasus ini secara dini agar tidak menimbulkan komplikasi yang lebih parah. Selain itu, kita juga harus melakukan asuhan keperawatan kepada klien dengan urolithiasis ini baik secara mandiri maupun kolaboratif secara tepat dan cepat sehingga masalah ini dapat teratasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Alam, Syamsir dan Iwan Hadibroto. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Aldjufrie, Muhammad. 2015. Hijamah dilihat dari segi Sains dan Kedokteran Modern. Surabaya: Ebook Baughman Diane C. dan Hackley JoAnn C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner dan Suddartha. Jakarta: EGC Borley, P. A. (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Volume 2: Jakarta: EGC Bulecheck G. et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) Sixth Edition. Elsevier: Saunders Chang, Esther. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktek Keperawatan. Jakarta: EGC Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi Ed.3. Jakarta: EGC Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams: Panduan Ringkas, Ed. 21. Jakarta: EGC Mulechek, Gloria M et all. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition. Elvesier Mosby Moorhead et al. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition. Elsevier: Saunders Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika Nursalam. 2006. Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika Nursalam. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika Pearl, MS., Nakada, SY. 2009. Medical and Surgical Management of Urolithiasis. Informa: UK Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Ed: 3. Jakarta: Sagung Seto Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 Vol. 2. Jakarta: EGC Smith’s. 2007. General Urology 17th ed. Lange.
Smith’s and Campbell. 2011. Urology Review. Elsevier: Saunders Stoller ML Bolton DM Urinary Stone Disease In: Tanagho EA, Mc Aninch JW Smith’s General Urology,ed.5. New York: Mc Graw-Hill Companie, 2000, 291-316. Suharyanto, Toto dan Madjid, Abdul. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media Syaifuddin. 2011. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Ed. 2. Jakarta: Salemba Medika. Taylor, Cynthia M, Ralph, Sheila Sparks. 2003. Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan. Jakarta: EGC Tanagho EA, McAnninch JW. 1976. Smith’s General Urologi Seventeenth Edition. United States: The McGraw-Hill Umamy, V. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga by Pierce A. Grace & Neil R. Borley. Jakarta: Penerbit Erlangga
View more...
Comments