Makalah Tifus Fix

March 23, 2018 | Author: Hilda Pratiwi | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

wertyuiop][ oiugfdsfghjk....

Description

Tugas Karantina Kesehatan

“PENYAKIT TIFUS”

KELOMPOK V : TASA AGUSTINA

(J1A1 14 060)

WARDITAH AFIAH

(J1A1 14 071)

HILDA PRATIWI

(J1A1 14 078)

ULFA AMELIA

(J1A1 14 081)

VENNY MARISAI KULLU (J1A1 14 139) WULAN ANASTASYA

(J1A1 14 153)

INSAN MARWA

(J1A1 14 160)

HASRIDA

(J1A1 14 161) KELAS B

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017

1

KATA PENGANATAR

Kesehatan merupakan bagian terpenting dalam kelangsungan hidup masyarakat Indonesia. Pemerintah pun telah mencanangkan program Indonesia sehat, demi meningkakan kulitas dan mutu kesehatan di Indonesia. Namun masih saja banyak kendala seperti penyakit yang menyerang masyarakat, terutama masyarakat daerah kumuh dan miskin. Banyak upaya dan cara dilakukan untuk meberantasnya, baik dalam segi pencegahan maupun pengobatan. Tetapi, tetap saja masih banyak terjadi kasus penyakit yang merugikan masyarakat hingga menyebabkan kematian. Dalam makalah ini menjelaskan tentang penyakit Tifus yang sering menyerang masyarakat yang kurang menjaga kebersihan. Makalah ini menjelaskan mengenai pengertian, penyebab, cara penularan, gejalagejala, isolasi, disenfeksi, investigasi sumber infeksi, tindakan pencegahan dari pemerintah, pengobatan serta potensi wabah penyakit tersebut. Namun, kami menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sekiranya dapat kami gunakan sebagai masukan untuk makalah ini. Untuk itu, atas partisipasi, saran dan kritiknya kami ucapkan terima kasih. Kendari, April 2017

Penyusun

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI

ii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1

B. Rumusan Masalah

2

C. Tujuan

3

BAB II. PEMBAHASAN A. Definisi Penyakit Tifus

4

B. Penyebab Penyakit Tifus

5

C. Cara Penularan Penyakit Tifus

5

D. Gejala Klinis Penyakit Tifus

7

E. Tindakan Pemerintah Dalam Menangani Penyakit Tifus

8

F. Isolasi Penyakit Tifus

12

G. Disenfeksi Serentak Penyakit Tifus

15

H Investigasi Sumber Infeksi Penyakit Tifus

17

I. Pengobatan Penyakit Tifus

20

J. Potensi Wabah Penyakit Tifus

22

BAB II. PENUTUP A. Kesimpulan

24

B. Saran

25

DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit adalah

suatu

keadaan abnormal dari tubuh atau pikiran yang ketidaknyamanan, disfungsi atau

kesukaran

menyebabkan terhadap

orang

yang

dipengaruhinya. Untuk menyembuhkan penyakit, orang-orang biasa berkonsultasi dengan seorang dokter. Pada abad ke-20 lapangan bidang mikrobiologi berkembang secara cepat menjadi dua arah, yaitu dasar dan terapan. Pada bidang terapan kemajuan praktis yang dibuat Koch mengarah pada meluasnya perkembangan dalam bidang kedokteran dan imunologi. Ditemukannya beberapa bakteri patogen baru pada awal abad ke-20, ditemukan prinsip bahwa patogen tersebut dapat menginfeksi tubuh dan selanjutnya tahan terhadap sistem kekebalan tubuh. Hal ini terjadi akibat penggunaan berbagai antibiotik yang jumlah takaranya tidak tepat, sehingga menyebabkan terbentuknya proses kekebalan pada bakteri patogen. Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuham mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi. Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan bahan pangan. Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab penyakit. 1

Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus, kolera, disentri, atau tbc, mudah tersebar melalui bahan makanan. Gangguangangguan kesehatan, khususnya gagguan perut akibat makanan disebabkan, antara lain oleh kebanyakan makan, alergi, kekurangan zat gizi, keracunan langsung oleh bahan-bahan kimia, tanaman atau hewan beracun; toksintoksin yang dihasilkan bakteri; mengkomsumsi pangan yan mengandung parasitparasit hewan dan mikroorganisme. Gangguangangguan ini sering dikelompokkan menjadi satu karena memiliki gejala yang hampir sama atau sering tertukar dalam penentuan penyebabnya. Secara umum, istilah keracuan makanan yang sering digunakan

untuk

menyebut

gangguan

yang

disebabkan

oleh

mikroorganisme., mencakup gangguangangguan yang diakibatkan termakannya toksin yang dihasilkan organismeorganisme tertentu dan gangguan-gangguan akibat terinfeksiorganisme penghasil toksin. Toksin-toksin dapat ditemukan secara alami pada beberapa tumbuhan dan hewan atau suatu produk metabolit toksik yang dihasilkan suatu metabolisme. Dengan demikian, intoksikasi pangan adalah gangguan akibat mengkonsumsi toksin dari bakteri yang telah terbentuk dalam makanan, sedangkan infeksi pangan disebabkan masuknya bakteri ke dalam tubuh melalui makanan yang telah terkontaminasi dan sebagai akibat reaksi tubuh terhadap bakteri atau hasil-hasil metabolismenya. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan penyakit tifus? 2. Apa penyebab penyakit tifus? 3. Bagaimana cara penularan penyakit tifus? 4. Bagaimana gejala klinis penyakit tifus? 5. Apa saja tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mencegah 6. 7.

penyakit tifus? Bagaimana isolasi penyakit tifus? Bagamana disenfeksi penyakit tifus? 2

8. Bagaimana cara investigasi sumber infeksi penyakit tifus? 9. Bagaiamana pengobatan penyakit tifus? 10. Kenapa penyakit tifus dikatakan potensi wabah? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan penyakit tifus. 2. Untuk mengetahui penyebab penyakit tifus. 3. Untuk mengetahui cara penularan penyakit tifus. 4. Untuk mengetahui gejala klinis penyakit tifus. 5. Untuk mengetahui tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mencegah penyakit tifus. 6. Untuk mengetahui isolasi penyakit tifus. 7. Untuk mengetahui disenfeksi penyakit tifus. 8. Untuk mengetahui cara investigasi sumber infeksi penyakit tifus. 9. Untuk mengetahui pengobatan penyakit tifus. 10. Untuk mengetahui penjelasan bahwa penyakit tifus dikatakan potensi wabah.

BAB II 3

PEMBAHASAN A. Definisi Penyakit Tifus Tifus merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya suatu infeksi pada usus yang berimbas pada jaringan seluruh tubuh. Penyakit tifus disebabkan dari adanya suatu bakteri yang masuk melalui makanan , minuman atau bisa pula dari wabah yang merata pada suatu wilayah. Tipe penyakit tifus terdapat dua macam tergantung dari bakteri penyebabnya seperti bakteri rickettsia typhi / tifes endemic (biasanya terjadi dalam satu wilayah yang di karenakan binatang seperti lalat dan kecoa yang menempelkan bakteri pada makanan) dan bakteri rickettsia prowazekii / tipes epidemik (dari seseorang yang pernah terkena penyakit tipus sebelunya dan kanbuh kembali). Penderita penyakit tipes sendiri biasnya akan mengalami banyak kekurangan kadal albumin, kadar sodium, sakit di sekitar ginjal, antibodi meninggi dan enzim dalam liver meningkat. Penyakit tipes (tifus) adalah penyakit yang menyerang bagian pencernaan dan disebabkan oleh bakteri salmonella typhi. Bakteri tersebut biasanya terdapat pada makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri salmonella typhi. Misalnya makanan yang tidak bersih, dihinggapi lalat dan masih banyak lainnya. Oleh karena itu penyakit tipes (tifus) ini menyerang pada bagian saluran pencernaan karena berasal dari makanan yang kita makan. Terkadang banyak orang yang jarang menyadari kalau sudah terkena tipes (tifus), dan mereka baru menyadari bahwa telah terserang penyakit tipes (tifus) kalau keadaannya sudah semakin parah. Ada beberapa kasus yang bersamaan antara penyakit tipes (tifus) dan demam berdarah dengue (DBD). Hal ini dikarenakan daya tahan tubuh orang yang terkena tipus menurun sangat drastis sehingga mudah terserang jenis penyakit lainnya. 4

B. Penyebab Tifus Penyebab penyakit typhoid adalah Salmonella thypii. Salmonella para typhi A, B dan C. Ada dua sumber penularan Salmonella thypii yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang

yang

sembuh

dari

demam

typhoid

dan

masih

terus

mengekresi Salmonella thypii dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun. Salmonella Thyposa merupakan basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora. Di Indonesia, thypoid terdapat dalam keadaan endemik. Pasien anak yang ditemukan berumur di atas satu tahun. C. Cara Penularan Penyakit Tifus Penyakit tipes Thypus abdominalis merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella

typhosa, (food

and

water

borne disease).

Seseorang yang sering menderita penyakit tifus menandakan bahwa dia mengkonsumsi makanan atau minuman

yang

terkontaminasi

bakteri ini. Salmonella thyposa sebagai suatu spesies, termasuk dalam kingdom Bakteria, Phylum Proteobakteria, Classis Gamma proteobakteria,

Ordo

Enterobakteriales,

Familia

Enterobakteriakceae, Genus Salmonella. Salmonella thyposa adalah bakteri gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu: antigen 0 (somatik, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen V1 (hyalin, protein

membrane).

Dalam

serum penderita terdapat zat anti (glutanin) terhadap ketiga macam anigen tersebut (Zulkhoni, 2011). Salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan

5

F

yaitu

Food

(makanan),

Fingers

(jari 5

tangan/kuku), Yang

Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses.

paling menojol

terinfeksi

selanjutnya

yaitu

lewat mulut

menuju

manusia

lambung,

yang

baru

sebagian kuman akan

dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi lolos masuk ke usus halus

bagian

mengeluarkan

distal

(usus

endotoksin

bisa

sehingga

mengandung bakteri (bakterimia) primer,

terjadi

iritasi)

dan

menyeb

abkan

darah

selanjutnya

liran darah dan jaringan limpoid plaque menuju hat i. Di d alam

jaringa n limpo id

ini

melalui limfa

a

dan

kuma n berkemba ng

b iak, lalu masu k ke alir a n darahsehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa usus. Tukak dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi usus. Perdarahan menimbulkan panas dan suhu tubuh dengan demikian akan meningkat. Sehingga

beresiko

kekurangan cairan tubuh. Jika kondisi tubuh dijaga tetap baik, akan terbentuk zat kekebalan atau antibodi. Dalam keadaan seperti ini, kuman typhus akan mati dan penderita berangsur- angsur sembuh (Zulkoni.2011).

6

7

D. Gejala Klinis Masa tunas demam typhoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari (Widodo Joko, 2006) Dengan ciri-ciri gejala tifus adalah : 1. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare pada anak-anak atau sulit buang air pada orang dewasa, dan suhu tubuh meningkat terutama sore dan malam hari. 2. Setelah minggu ke dua, gejala menjadi lebih jelas yaitu demam yang tinggi terus-menerus, nafas berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir kering pecah-pecah, lidah ditutupi selaput putih kotor, pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri bila diraba, dan perut kembung. Anak nampak sakit berat, disertai gangguan kesadaran dari yang ringan, acuh tak acuh (apatis), sampai berat (koma). 3. Gejala tifus endemik berkembang dalam waktu sekitar 1-2 minggu setelah infeksi awal dan mungkin termasuk demam tinggi (sekitar 105 M), sakit kepala, malaise, mual, muntah, diare, dan ruam yang mulai sekitar empat sampai tujuh hari di dada dan perut setelah gejala awal di atas berkembang; ruam sering menyebar. Beberapa pasien juga mungkin memiliki batuk dan perut, nyeri sendi, dan punggung. Gejala dapat berlangsung selama sekitar dua minggu, dan komplikasi pembatasan atau kematian (kurang dari 2%

8

meninggal), gejala mereda. Namun, epidemi gejala tifus, meskipun awalnya mirip dengan tifus endemik, menjadi lebih parah. Pasien mungkin mengalami gejala tambahan perdarahan ke dalam kulit (petechiae), delirium, stupor, hipotensi, dan shock, yang dapat menyebabkan kematian mereka. Penyakit tifus yang berat menyebabkan komplikasi perdarahan, kebocoran usus, infeksi selaput usus, renjatan bronkopneumonia (peradangan paru) dan kelainan di otak. E. Tindakan Pemerintah Dalam Menangani Penyakit Tifus Di Indonesia, penyakit demam tifoid merupakan penyakit yang bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Kasus demam tifoid di rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat dari setiap tahunnya dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan jumlah kematian antara 0,6-5%. Karena hal seperti inilah, pemerintah membuat sebuah program untuk lebih menigkatkan upaya pencegahan, penemuan dini, serta pengobatan dan perewatan tifoid secara tepat, akurat dan berkualitas, sehingga diperoleh angka kesembuhan yang tinggi serta dapat menekan derajat endemisitas serendah mungkin. Pemerintah telah

melaksanakan

beberapa

hal

untuk

menyelesaikan

permasalahan demam tifoid di Indonesia, salah satunya adalah dengan vaksinasi yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Penyelanggaraan Imunisasi dalam pasal 11 ayat 1 yang menyebutkan bahwa jenis imunisasi pilihan dapat berupa imunisasi Haemophillus influenza tipe b (Hib), Pneumokokus, Rotavirus, Influenza, Varisela, Measles Mumps Rubella, Demam tifoid, Hepatitis A, Human Papiloma Virus (HPV), Japanese Encephalitis. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 364/MENKES/SK/V2006 disebutkan bahwa, di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin demam tifoid yaitu: 1. Vaksin oral 2. Vaksin paraenteral 9

3. Vaksin polisakarida Pencegahan penyakit demam tipoid 1. Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu : 1) Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik. Lama proteksi 5 tahun. 2) Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama. 3) Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang

terpapar

dengan

penderita

karier

tifoid

dan

petugas

laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal 10

pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan. 2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu: a. Diagnosis klinik Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid. b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama. c. Diagnosis serologik 1) Uji Widal Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. 11

Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. 2) Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai. Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA. Pencegahan sekunder dapat berupa : a) Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans demam tifoid. b) Perawatan umum dan nutrisi. c) Pemberian anti mikroba (antibiotik). 3. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita 12

demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak. F. Isolasi Penyakit Tifus Isolasi merupakan proses pemisahan pasien dari kontak dengan orang lain untuk mengontrol penyebaran penyakit menular atau penyakit tidak menular. Isolasi dilakukan terhadap penderita, isolasi menggambarkan pemisahan penderita atau pemisahan orang atau binatang yang terinfeksi selama masa inkubasi dengan kondisi tertentu untuk mencegah atau mengurangi terjadinya penularan baik langsung maupun tidak langsung dari orang atau binatang yang rentan. Sedangkan Karantina merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk membatasi ruang gerak orang yang sehat yang diduga telah kontak dengan penderita penyakit menular tertentu. CDC telah merekomendasikan suatu “Unversal Precaution atau Kewaspadaan Umum” yang harus diberlakukan untuk semua penderita baik yang dirawat maupun yang tidak dirawat di Rumah Sakit terlepas dari apakah penyakit yang diderita penularanya melalui darah atau tidak. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa darah dan cairan tubuh dari penderita (sekresi tubuh biasanya mengandung darah, sperma, cairan vagina, jaringan, Liquor Cerebrospinalis, cairan synovia, pleura, peritoneum, pericardial dan amnion) dapat mengandung Virus HIV, Hepatitis B dan bibit penyakit lainnya yang ditularkan melalui darah. Tujuan dari pada dilakukannya “Kewaspadan Umum” ini adalah agar para petugas kesehatan yang merawat pasien terhindar dari penyakit-penyakit yang ditularkan melalui darah yang dapat menulari mereka melalui tertusuk jarum karena tidak sengaja, lesi kulit, lesi selaput lendir. Rekomendasi yang diberikan untuk isolasi penderita yang ada pada seksi 9B2 untuk tiap-tiap penyakit mybe allude terhadap metode yang direkomendasikan oleh CDC (CDC Guideline for Isolation Precaution in Hospital) merupakan “category specific isolation precaution” sebagai tambahan terhadap “Universal Precaution” yang didasarkan kepada cara-cara penularan penyakit tertentu. 13

Kategori-kategori tersebut adalah sebagai berikut : 1. Isolasi ketat Pada kategori ini dirancang untuk mencegah transmisi dari bibit penyakit yang sangat virulen yang dapat ditularkan baik melalui udara maupun melalui kontak lanngsung. Cirinya adalah selain disediakan ruang perawatan khusus bagi penderita juga bagi mereka yang keluar masuk ruangan diwajibkan memakai masker, lab jas, sarung tangan. Ventilasi ruangan tersebut juga dijaga dengan tekanan negatif dalam ruangan. 2. Isolasi kontak Pada kategori ini diperlukan untuk penyakit-penyakit yang kurang menular atau infeksi yang kurang serius, untuk penyakit-penyakityang terutama ditularkan secara langsung sebagai tambahan terhadap hal pokok yang dibutuhkan, diperlukan kamar tersendiri, namun penderita dengan penyakit yang sama boleh dirawat dalam satu kamar, masker diperlukan bagi mereka yang kontak secara langsung dengan penderita, lab jas diperlukan jika kemungkinan terjadi kontak dengan tanah atau kotoran dan sarung tangan diperlukan jika menyentuh bahanbahan yang infeksius. 3. Isolasi pernafasan Pada kategori ini dimaksudkan untuk mencegah penularan jarak dekat melalui udara, diperlukan ruangan bersih untuk merawat penderita, namun mereka yang menderita penyakit yang sama boleh dirawat dalam ruangan yang sama. Sebagai tambahan terhadap hal-hal pokok yang diperlukan, pemakaian masker dianjurkan bagi mereka yang kontak dengan penderita, lab jas dan sarung tangan tidak diperlukan. 4. Isolasi terhadap Tuberculosis (Isolasi BTA) Pada kategori ini ditujukan bagi penderita TBC paru dengan BTA positif atau gambaran radiologisnya menunjukkan TBC aktif. Spesifikasi kamar yang diperlukan adalah kamar khusus dengan ventilasi khusus dan pintu tertutup. Sebagai tambahan terhadap hal-hal pokok yang dibutuhkan masker khusus tipe respirasi dibutuhkan bagi mereka yang masuk ke ruangan perawatan, lab jas

14

diperlukan untuk mencegah kontaminasi pada pakaian dan sarung tangan atidak diperlukan. 5. Kehati-hatian terhadap penyakit Enterie; Untuk penyakit-penyakit infeksi yang ditularkan langsung atau tidak langsung melalui tinja. Sebagai tambahan terhadap hal-hal pokok yang diperlukan, perlu disediakan ruangan khusus bagi penderita yang hygiene perorangannya jelek. Masker tidak diperlukan jika ada kecenderungan terjadi soiling dan sarung tangan diperlukan jika menyentuh bahan-bahan yang terkontaminasi Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut terdapat beberapa penyakit yang merupakan penyakit karantana, diantaranya yaitu Pes (Plague), Kolera (Cholera), Demam kuning (Yellow fever), Cacar (Smallpox), Tifus bercak wabahi - Typhus exanthematicus infectiosa (Louse borne Typhus), serta Demam balik-balik (Louse borne Relapsing fever). Dari beberapa penyakit yang termasuk dalam penyakit karantina terdapat penyakit tifus, dimana penyakit tifus merupakan penyakit dengan masa inkubasi yaitu empat belas hari. Penyakit tifus termasuk penyakit karantina namun kapal akan tetap ditetapkan dalam kondisi sehat walaupun dikapal tersebut terdapat seorang penderita tifus. Tidak hanya itu, seseorang yang terdiagnosis penyakit tifus ini juga tidak perlu dilakukan tindakan isolasi jika sudah dilakukan upaya pemberantasan kutu dengan benar yaitu terhadap pasien, pakaian, lingkungan tempat tinggal dan terhadap kontak (UU RI No.1 tentang Karantina Laut, 1962). Walaupun kapal yang terdapat seseorang yang terjangkit penyakit tifus tetap dikatakan sehat dan tidak perlu dilakukan tindakan isolasi, namun terdapat beberapa tindakan khusus yang harus dilakukan antara lain sebagai berikut : 1. Pemeriksaan kesehatan semua penumpang dan awak kapal. 2. Penderita diturunkan, diisolasikan, dihapus-seranggakan dan dirawat. 3. Mereka yang tersangka dihapus-seranggakan dan diawasi selama-lamanya empat belas hari. 4. Bagasi, barang-barang lain dan bagian kapal, yang dianggap mengandung hama, dihapus- seranggakan dan dihapus-hamakan.

15

Tidak hanya itu, jika terdapat seseorang yang terjangkit penyakit tifus sebaiknya juga harus segera dilaporkan kepada institusi kesehatan setempat: Demam tifus yang ditularkan oleh kutu sesuai dengan anjuran WHO merupakan penyakit yang wajib dilaporkan.

G. Disenfeksi Serentak Desinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia atau pengaruh fisika yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti bakteri dan virus, juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya. Sedangkan antiseptik didefinisikan sebagai bahan kimia yang dapat menghambat atau membunuh pertumbuhan jasad renik seperti bakteri, jamur dan lain-lain pada jaringan hidup. Bahan desinfektan dapat digunakan untuk proses desinfeksi tangan, lantai, ruangan, peralatan dan pakaian. Disenfeksi merupakan upaya untuk membunuh bibit penyakit di luar tubuh manusia dengan menggunakan bahan kimia atau bahan fisis. Disinfektan pada tingkat yang tinggi akan membunuh semua mikro organisme kecuali spora. Diperlukan upaya lebih jauh untuk membunuh spora dari bakteri. Untuk membunuh spora diperlukan kontak yang lebih lama dengan disinfektan dalam konsentrasi tertentu setelah dilakukan pencucian dengan deterjen secara benar. Konsentrasi bahan kimia yang diperlukan antara lian Glutaraldehyde 2%, H2O2 6% yang sudah distabilkan, Asam paracetat 1%, paling sedikitnya diberikan minimal 20 menit. Disinfektan pada tingkat menengah tidak membunuh spora. Spora akan mati jika dilakukan pasteurisasi selama 30 menit 75 o C (167o F) atau dengan menggunakan disinfektan yang sudah direkomendasikan oleh EPA. Daya kerja desinfeksi tergantung pada konsentrasi desinfektan, yakni makin pekat, makin tinggi daya bunuhnya begitu sebaliknya. Faktor lainnya adalah waktu, ph, jenis kuman dan suhu. Setiap kenaikan suhu 100C meningkatkan daya bunuh terhadap kuman menjadi 2 kali lipat. Jenis kuman desifektan merupakan

16

substansi kimia yang dipakai untuk mencegah pertumbuhan mikro organisme dengan menghalangi /merusaknya. Ciri-ciri desifektan yang ideal di antaranya, membasmi mikroorganisme dalam waktu singkat, tidak menyebkan alergi/iritasi/toksis pada kadar efektif, kerjanya tidak dipengaruhi zat-zat organik, substansi itu harus dapat larut dalam air atau pelarut-pelarut lain sampai pada taraf yang diperlukan untuk dapat digunakan secara efektif dan stabil atau tidak mudah menguap. Sebaiknya desinfektan tersebut tidak berbau atau hendaknya menimbulkan bau sedap serta mudah digunakan. Cara melakukan disenfeksi serantak pencegahan penyakit tifus yaitu : Taburkan bubuk insektisida pada pakaian dan tempat tidur penderita dan kontak. Cucilah pakaian dan sprei yang digunakan oleh penderita. Kutu cenderung menjauhi suhu tubuh yang tinggi dan suhu tubuh yang dingin, mereka cenderung mencari tubuh yang ditutupi pakaian dengan suhu normal. Dan apabila di lakukan segera akan mengurangi pencemaran cairan yang di tularkan oleh penderita tifus. Dan

sebelum dilakukan disinfektasi terhadap barang atau lingkungan maka

upayakan agar sesedikit mungkin kontak dengan cairan tubuh atau barang-barang yang terkontaminasi tersebut. Sebelum melakukan disenfeksi di kapal sebaiknya para ABK (Anak Buah Kapal) kapal terlebih dahulu membersihkan kapal yang akan di dinfeksi agar cukup (lumayan) bersih , untuk mengurangi biaya disenfeksi yang cukup besar , akibat dari penggunaan pestisida/bahan kimia lainnya. Dan selalu menggunakan alat pelindung diri sebelum melakukan disenfeksi karena pestisida yang di gunakan berbahaya bagi tubuh. Cara yang di lakukan untuk melakukan disenfeksi serentak di kapal dengan menaburkan pestisida di setiap sudut-sudut kapal karena di tempat tersebut banyak di sukai oleh tikus. Dan yang harus di lakukan melakukan sterilisasi pada makanan yang ada di kapal.

17

H. Investigasi Sumber Infeksi Penyakit Tifus Biasanya sumber infeksi tifus adalah demam lebih dari seminggu (siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya demam tinggi) juga menimbulkan rasa lemas dan pusing. Kemudian bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hati dan limpa yang mengakibatkan terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual. Akibat mual berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut. Sifat bakteri yang menyerang usus kecil menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar) dan sakit perut. Biasanya lidah bagian tengah berwarna putih, pinggirnya berwarna merah, terasa pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas. Umumnya lebih merasakan nyaman dengan berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan kesadaran. (Algerina, 2008) Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi akan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum, kemudian kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia sekunder. Pada saat terjadi bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid (Salyers dan Whitt, 2002). Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kumanakan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya 18

dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut (Sudoyo A.W., 2010). Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia. Manusia yang terinfeksi bakteri Salmonella Typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang bervariasi. Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses mulai dari penempelan bakteri ke lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, bert ahan hidup di aliran darah dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke lumen intestinal. Bakteri Salmonella Typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam banyak bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus, melekat pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di ileum dan jejunum. Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella Typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada mukosa usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Kemudian mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan Reticulo Endothelial System (RES) di organ hati dan limpa. Setelah periode inkubasi, Salmonella Typhi keluar dari habitatnya melalui duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau 19

dikeluarkan melalui feses. Endotoksin merangsang makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika untuk melepaskan produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis pada demam tifoid.

I. Pengobatan Penyakit Tifus Tujuan dari perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit tifus yaitu untuk

menghentikan

invasi

kuman,

mencegah

terjadinya

komplikasi,

memperpendek perjalanan penyakit, serta mencegah agar tak kambuh lagi. Pengobatan yang dilakukan untuk penyakit tifus ini dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, faeces dan urine untuk mencegah penularan. Selama tiga hari pasien harus berbaring di tempat tidur hingga panas turun, kemudian baru boleh duduk, berdiri dan berjalan. Terapi antibiotik adalah cara paling efektif dalam menangani tifus dan harus diberikan sesegera mungkin. Sampel darah, tinja, dan urine akan diperiksa di laboratorium untuk menentukan jenis antibiotik yang tepat untuk diberikan. Selain itu, obat penurun demam juga dapat diberikan untuk menurunkan suhu tubuh. Perawatan tifus dapat dilakukan di rumah sakit, tapi jika lebih cepat terdeteksi dan gejala masih ringan, dapat menjalani perawatan di rumah. 1. Pengobatan tifus di Rumah Sakit Antibiotik di rumah sakit akan diberikan dalam bentuk suntikan. Jika diperlukan, asupan cairan dan nutrisi juga akan dimasukkan ke dalam pembuluh darah melalui infus. Infus diberikan karena perawatan tifus yang dilakukan di rumah sakit umumnya diiringi muntah terus-menerus, diare parah, serta perut kembung. Infus berisi cairan diberikan untuk mencegah dehidrasi akibat gejala diare. Penderita anak yang mengalami tifus dapat direkomendasikan untuk melalui perawatan di rumah sakit sebagai tindak pencegahan. Pada sebagian kecil kasus, operasi mungkin diperlukan jika terjadi komplikasi yang membahayakan nyawa, seperti pendarahan dalam atau rusaknya sistem pencernaan. Hampir semua kondisi pengidap berangsur membaik setelah 20

dirawat di rumah sakit selama 3-5 hari. Tubuh akan pulih dengan perlahanlahan bahkan setelah berminggu-minggu pasca infeksi hingga penderita sepenuhnya pulih kembali. 2. Pengobatan tifus di Rumah Umumnya orang yang terdiagnosis tifus pada stadium awal membutuhkan 1-2 minggu pengobatan dengan tablet antibiotik yang diresepkan. Meski tubuh akan mulai membaik setelah 2-3 hari mengonsumsi antibiotik, sebaiknya tidak menghentikan konsumsi sebelum antibiotik habis. Ini penting untuk memastikan agar bakteri benar-benar hilang dari tubuh. Meski begitu pemberian antibiotik untuk mengobati tifus mulai menimbulkan masalah

tersendiri

di

negara-negara

di

Asia

Tenggara.

Beberapa

kelompok Salmonella typhi menjadi kebal terhadap antibiotik. Beberapa tahun terakhir,

bakteri

ini

juga

menjadi

kebal

terhadap

antibiotik

golongan kloramfenikol, ampicillin dan trimotheprim-silfamethoxazole. Segera konsultasikan dengan dokter jika kondisi penderita memburuk saat menjalani perawatan di rumah. Pada sebagian kecil pengidap, penyakit ini dapat saja kambuh lagi. Agar tubuh segera pulih dan mencegah risiko tifus datang lagi, pastikan penderita menjalani langkah-langkah sederhana berikut ini: a. Istirahat cukup. b. Makan teratur, dimana penderita tifus dapat makan sesering mungkin dalam kadar sedikit dibandingkan jika makan dengan porsi besar sebanyak tiga kali sehari. c. Minum air putih. d. Cuci tangan teratur dengan sabun dan air hangat untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi. 3. Pengobatan tambahan saat tifus kambuh Sebagian orang mengalami gejala tifus yang kembali kambuh sepekan setelah pengobatan antibiotik selesai dijalani. Biasanya dokter akan kembali meresepkan antibiotik meski gejala-gejala yang dirasakan tidak separah sebelumnya. Jika setelah menjalani pengobatan ternyata hasil tes tinja menemukan bahwa penderita masih mengidap bakteri Salmonella typhi, maka disarankan untuk 21

menjalani 28 hari pengobatan antibiotik kembali untuk membersihkan sisa-sisa bakteri. Hal ini dilakukan untuk mengurangi potensi penderita menjadi pembawa bakteri tifus jangka panjang. Selama penderita masih terdiagnosis terinfeksi, sebaiknya hindari aktivitas mengolah makanan. Selain itu pastikan penderita mencuci tangan setelah buang air. J. Potensi Wabah Penyakit Tifus Wabah merupakan Kejadian terjangkitnya suatu penyakit pada masyarakat yang jumlahnya meningkat secara nyata melebihi pada waktu dan daerah tertentu serta menimbulkan petaka (PMK: 949,tahun 2004). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia 1989 wabah merupakan penyakit menular yang berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah besar orang di daerah yang luas. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman 1981 wabah merupakan peningkatan kejadian kesakitan atau kematian yang telah meluas secara cepat, baik jumlah kasusnya maupun daerah terjangkit. Kriteria wabah/Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91, tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan itu, suatu penyakit atau keracunan dapat dikatakan wabah/KLB apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal di suatu daerah. 2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu). 3. Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun). 4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya. 22

5. Angka rata-rata per bulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dari tahun sebelumnya. 6. Case Fatality Rate (CFR) dari suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih dibanding dengan CFR dari periode sebelumnya. 7. Propotional rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding periode yang sama dan kurun waktu atau tahun sebelumnya. Di dalam Permenkes 560/MENKES/PER/VIII/1989

mengenai penyakit

potensial wabah terdapat 18 macam penyakit yang termasuk dalam kategori penyakit yang berpotensi menjadi wabah diantaranya yaitu Kholera, Pes, Demam Kuning, Demam Bolak-balik, Tifus Bercak wabah, DBD, Campak, Polio, Difteri, Pertusis, Rabies, Malaria, Influenza, Hepatitis, Tifus Perut, Meningitis, Ensefalitis dan Antraks. Dari beberapa penyakit yang masuk dalam kategori penyakit berpotensi wabah terdapat penyakit tifus, dimana penyakit tifus termasuk penyakit potensi wabah/klb yang menjalar secara cepat atau mempunyai mortalitas tinggi, dan termasuk penyakit yang memerlukan tindakan cepat. Hal ini juga tercantum dalam peraturan penyelidikan wabah/klb yaitu dalam UU no 1 th 1962 tentang Karantina Laut dan UU no 2 th 1962 tentang Karantina Udara, dimana penyakit yang termasuk dalam kategori penyakit karantina yaitu Pes, kolera, Demam Kuning, cacar, tifus bercak wabahi, Demam Bolak Balik, serta tertera juga dalam UU no 4.th 1984.

BAB III PENUTUP

23

A. Kesimpulan 1. Tifus merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya suatu infeksi pada

usus

yang

berimbas

pada

jaringan

seluruh

tubuh. Penyakit

tifus disebabkan dari adanya suatu bakteri yang masuk melalui makanan, 2. 3.

minuman atau bisa pula dari wabah yang merata pada suatu wilayah. Penyebab penyakit typhoid adalah Salmonella thypii. Penyakit tipes Thypus abdominalis merupakan penyakit yang ditularkan melalui

makanan

dan

minuman

yang

tercemar

oleh

bakteri

Salmonella typhosa, (food and water borne disease). Salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), 4.

Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly

(lalat), dan melalui Feses. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan

tidak

enak

diperut,

batuk

dan

epistaksis.

Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam 5.

hari (Widodo Joko, 2006). Pemerintah telah melaksanakan

beberapa

hal

untuk

menyelesaikan

permasalahan demam tifoid di Indonesia, salah satunya adalah dengan vaksinasi yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Penyelanggaraan Imunisasi dalam 6.

pasal 11 ayat 1. Penyakit tifus termasuk penyakit karantina namun kapal akan tetap ditetapkan dalam kondisi sehat walaupun dikapal tersebut terdapat seorang penderita tifus. Tidak hanya itu, seseorang yang terdiagnosis penyakit tifus ini juga tidak perlu

dilakukan

tindakan

isolasi

jika

sudah

dilakukan

upaya

pemberantasan kutu dengan benar yaitu terhadap pasien, pakaian, lingkungan tempat tinggal dan terhadap kontak. (UU RI No.1 tentang Karantina Laut, 1962). 24

7.

Cara melakukan disenfeksi serantak pencegahan penyakit tifus yaitu dengan menaburkan bubuk insektisida pada pakaian dan tempat tidur penderita dan kontak, cucilah pakaian dan sprei yang digunakan oleh penderita. Kutu cenderung menjauhi suhu tubuh yang tinggi dan suhu tubuh yang dingin,

8.

mereka cenderung mencari tubuh yang ditutupi pakaian dengan suhu normal. Sumber infeksi penyakit tifus merupakan bakteri Salmonella thypii, dimana bakteri ini masuk kedalam tubuh melalui makanan dan minuman yang tercemar, setelah masuk ke dalam tubuh bakteri ini akan menginfeksi tubuh

9.

sehingga akan menimbulkan penyakit tifus. Terapi antibiotik adalah cara paling efektif dalam menangani tifus dan harus diberikan sesegera mungkin. Sampel darah, tinja, dan urine akan diperiksa di laboratorium untuk menentukan jenis antibiotik yang tepat untuk diberikan. Selain itu, obat penurun demam juga dapat diberikan untuk menurunkan suhu tubuh. Perawatan tifus dapat dilakukan di rumah sakit, tapi jika lebih cepat

terdeteksi dan gejala masih ringan, dapat menjalani perawatan di rumah. 10. Dari beberapa penyakit yang masuk dalam kategori penyakit berpotensi wabah terdapat penyakit tifus, dimana penyakit tifus termasuk penyakit potensi wabah/klb yang menjalar secara cepat atau mempunyai mortalitas tinggi, dan termasuk penyakit yang memerlukan tindakan cepat. B. Saran Dengan adanya penyusunan makalah ini semoga dapat menambah wawasan kita mengenai penyakit tifus. Tidak hanya sebatas mengetahui namun kita juga dapat melakukan pencegahan serta karantina terhadap penyakit ini. Dan bagi pemerintah diharapkan untuk lebih meningkatkan pengawasan terhadap penyakitpenyakit yang termasuk dalam penyakit karantina.

25

DAFTAR PUSTAKA Algerina.Tifoid Pada Anak. Jakarta : Elex Media Komputindo. 2008 Nasrudin.Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya : Airlangga Univercity Press. 2007 Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1962

Tentang

Karantina

Laut.

http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1962_1.pdf. Diakses pada tanggal 8 April 2017 Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1962

Tentang

Karantina

Udara.

https://ghsaindonesia.files.wordpress.com/2016/02/undang-undang-nomor2-tahun-1962-tentang-karantina-udara.pdf. Diakses pada tanggal 8 April 2017 Penceng,Yurry.2012.Pengertian Dan Jenis Disenfeksi. http://yurrypenceng.blogspot.co.id/2012/05/pengertian-dan-jenisdesinfeksi.html (akses 4 april 2017) 26

Sarumpaet Masrip. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1962 Tentang Karantina Laut. http://www.vertic.org/media/National %20Legislation/Indonesia/ID_Quarantine_Law_Sea.pdf.

Diakses

pada

tanggal 8 April2017 Shulman, T.S., Phair, J.P dan Sommers, H.M. Dasar biologis dan klinis penyakit infeksi, Edisi ke-4 (terjemahan), Yogyakarta, Gadjahn Mada University Press, pp 300-305 Small Crab. 2011. Upaya Isolasi dan Karantina pada Penyakit Menular. http://www.smallcrab.com/kesehatan/1192-upaya-isolasi-dan-karantinapada-penyakit-menular. Diakses pada tanggal 8 April 2017

27

28

29

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF