makalah sumber hukum islam full
September 19, 2017 | Author: O Jelaimtyf-Ms Xemiq | Category: N/A
Short Description
Download makalah sumber hukum islam full...
Description
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Fiqih islam merupakan kumpulan hukum islam yang berkenaan dengan amal perbuatan, yang digali dari sumber/dalilnya secara terperinci. Dalil pokok yang merupakan sumber fiqih itu adalah wahyu Tuhan. Satusatunya pemilik dan penguasa hukum. Pengertian wahyu sebagai satu-satunya sumber hukum, ialah bahwa dialah yang berhak menetapkan adanya sumber lain yang dapat dijadikan dasar bagi fiqih islam, di antaranya dinyatakan adalah : Qur‟an , Hadist dan sumber hukum pelengakap islam lainnya. Sedangkan saat ini kita tidak hanya menggunakan 3 hukum tersebut. Kita menggunakan hukum yang dibuat oleh pemimpin negara Indonesia yang berupa Undang-Undang. Akan tetapi di Indonesia muncul Undang-Undang Islam yang terbaru sampai saat ini adalah KHI (Kompilasi Hukum Islam). Semoga tulisan kami ini bisa membantu pembaca dalam mempelajari hukum islam.
BAB II SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI PARA ULAMA A. Al-Qur’an 1. Pengertian Al-Qur’an Menurut bahasa (etimologi) kata Al-Qur‟an berasal dari kata “qara-yaqrauqur anan” artinya bacaan atau yang dibaca. Sedangkan menurut istilah (terminologi) Al-Qur‟an adalah Kalmullah sebagai mu‟jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, dengan bahasa Arab, ditulis dimushhaf, disampaikan secara mutawatir, dibaca bernilai ibadah. Diawali dengan surat Al-Fatihan dan diakhiri dengan surat An-Nas. 2. Pokok-pokok isi Al-Qur’an Pokok-pokok isi Al-Qur‟an ada lima yaitu : a. Tauhid b. Ibadah c. Janji dan ancaman d. Jalan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat e. Riwayat dan ceritera ( qishah umat terdahulu). 3. Dasar Kehujjahan Al-Qur’an dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum Sebagimana kita ketahui Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada umat manusia adalah untuk wajib diamalkan semua perintah-Nya dan wajib ditinggalkan segala larangan-Nya. Firman) Allah SWT :
Artinya :
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantan karena membela orangorang yang khianat". (An-Nisa :105).
Artinya :
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (Al-Maidah: 49).
Al-Qur'an merupakan number hukum utama dalam islam dan menempati kedudukan pertama dari sumber- sumber hukum islam yang lain, ia merupakan aturan dasar yang paling tinggi. Semua sumber hukum dan ketentuan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan isi Al-Qur'an. 4. Pedoman AI-Qur'an dalam Menetapkan Hukum. Pedoman Al-Qur'an dalam menetapkan hukum sesuai dengan perkembangan dan kemampuan manusia, baik secara fisik maupun rohani. manusia selalu berawal dari kelemahan dan ketidak mampuan. Untuk itu AlQur'an berpedoman kepada tiga hal, yaitu : a. Tidak memberatkan (
Artinya :
) Firman Allah SWT :
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..." (Al-Bagarah : 286).
Artinya :
"...Allah
menghendaki
kemudahan
bagimu
dan
tidak
menghendaki kesukaran bagimu". (Al-Bagarah : 185) Contoh :Azimah (ketentuan-ketentuan umum Allah) misal sholat wajib dll b. Meminimalisir beban (
)
Dasar ini merupakan konsekwensi logis dari dasar yang pertama. Dengan dasar ini kita dapati rukhshah (keringanan) dalam beberapa jenis ibadah, seperti Menjama‟ dan mengqashar sholat apabila dalam perjalanan dengan syarat yang telah ditentukan.
c. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum (
)
Al-Qur'an dalam menetapkan hukum adalah secara bertahap, hal ini bisa kita telusuri dalam hukum haramnya meminum-minuman keras, berjudi serta perbuatan-perbuatan yang mengandung judi ditetapkan dalam AlQur'an (QS. Al-Baqarah: 219, QS. An-Nisa‟ : 43 dan QS. AlMaidah : 90).
B. Al- Hadits 1. Pengertian Al-Hadits Menurut bahasa (etimologi) Al-Hadits berarti ”yang baru”, ”yang dekat”, atau ”warta” yaitu sesuatu yang dibicarakan. Sedangkan menurut istilah (terminologi) Al-Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan) beliau.
2. Bentuk-bentuk Al-Hadits Berdasarkan definisi istilah diatas, maka bentuk hadits dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu : a. Qauliyah ( ucapan ) b. Fi‟liyah ( perbuatan ) c. Taqririyah ( keputusan/ketetapan )
3. Dasar Kehujjahan Al-Hadits dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum Banyak kita jumpai ayat - ayat Al-Qur'an dan Hadits-hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam selain Al-Qur'an yang wajib diikuti, dan diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini merupakan penjelasan secara rinci tentang dasar kehujjahan
hadits sebagai sumber hukum
Islam dengan mengambil beberapa dalil, baik naqli maupun aqli. a. DaliI Al-Qur'an Banyak kita jumpai ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup sehari-hari . Di antara ayat-ayat dimaksud adalah: Firman Allah SWT :
Artinya: Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara Rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar. (QS. Ali lmran (3): 179). Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Bagi siapa yang kafir kepada Allah, malaikatmalaikat-Nya, Rasulrasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh jauhnya. (QS. AlNisa' (4): 136).
Ayat-ayat diatas Allah menyuru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), AlQur'an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian
Allah
mengancam orang-orang yang mengingkari dan menentang seruanNya.
Di samping itu, Allah juga memerintahkan kepada kaum muslimin agar menaati dan melaksanakan segala bentuk perundangundangan dan peraturan yang dibawa oleh Rasul-Nya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul-Nya sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah ini. Firman Allah SWT:
Artinya: Katakanlah ! Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya; jika
kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir". (QS. Ali lmran (3): 32). Dalam firman-Nya yang lain:
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman ! Taatilah Allah, Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, akan kembalilah kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian ini lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS. AN-Nisa (4): 59).
Kemudian dalam ayat yang lain, Allah juga berfirman:
Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. (QS. AI-Hasyr (59): 7).
Artinya:
Dan taatlah kamu kepada Allah dan kepada Rasul -Nya, dan berhati-hatilah. (QS. Al-Maidah (5): 92).
Artinya:
Katakanlah: Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul SAW itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah sematamata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk (QS. A1-Nur (24): 54).
Dari ayat- ayat Al-Qur'an di atas tergambar bahwa setiap ada perintah taat kepada Allah SWT dalam Al-Qur'an selalu diikuti dengan
perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikian pula mengenai peringatan (ancaman) karena durhaka kepada Allah, sering disejajarkan atau disamakan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul Muhammad SAW. b. Dalil Al-Hadits Mari kita pahami Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur'an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
Artinya: "Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya". (HR. Malik). Saat Rasulullah ingin mengutus Mu'adz bin Jabal untuk menjadi penguasa di Negeri Yaman, terlebih dahulu dia diajak dialog oleh Rasulullah S A W .
Artinya: "(Rasul bertanya), bagaimana kamu akan menetapkan hukum bila dihadapkan padamu sesuatu yang memerlukan penetapan hukum? Mu'az menjawab: saya akan menetapkannya dengan kitab Allah. Lalu Rasul bertanya; seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah, Mu'az menjawab: dengan Sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi, seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah dan juga tidak dalam Sunnah Rasul, Mu'az menjawab: saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. Maka Rasulullah menepuknepuk belakangan Mu'az seraya mengatakan "segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki". (HR. Abu Daud dan Al-Tirmidzi). Dalam hadits lain Rasul bersabda:
Artinya:
"Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa Ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya. (HR. Abu Daud dan Ibun Majah).
Hadits-hadits
di atas menunjukkan bahwa berpegang teguh
kepada hadits atau menjadikan hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur'an.
c. Kesepakatan Ulama (Ijma') Seluruh Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum Syari'at Islam yang wajib diikuti dan diamalkan; karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur'an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum Syariat Islam. kesepakatan umat Islam dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan semua ketentuan yang terkandung di dalam hadits ternyata sejak Rasulullah masih hidup hingga sekarang tidak ada yang mengingkarinya.
Banyak
diantara
mereka
yang
tidak
hanya
memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasigenerasi selanjutnya. Mari kita menengok peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam pada masa sahabat, antara lain dapat diperhatikan peristiwa di bawah ini : a. Pada saat Abu Bakar Ra. dibaiat menjadi Khalifah, ia dengan tegas berkata “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan / dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut menjadi orang bila meninggalkan perintahnya". b. Pada saat Khalifah Umar Ibnu Khattab ada di depan Hajar Aswad is berkata: “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya sendiri tidak melihat Rasulullah menciummu, maka saya tidak akan menciummu". c. Pada suatu saat pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) masalah ketentuan shalat safar dalam Al-Qur'an. la menjawab: "Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya
kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan
sebagaimana
makannya
Rasulullah dan saya
shalat
sebagaimana shalatnya Rasul". d. Diceritakan dari Sa'id bin Musayyab bahwa Khalifah Usman bin Affan berkata: “Saya duduk sebagaimana mengikuti duduknya Rasulullah SAW, saya juga makan sebagaimana makannya Rasulullah, dan saya mengerjakan shalat sebagaimana shalatnya Rasul”. Sebenarnya Masih banyak lagi contoh-contoh yang dilakukan oleh
para
sahabat
yang
menunjukkan
bahwa
apa
yang
diperintahkan, dilakukan, dan diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka. d. Sesuai dengan Petunjuk Akal Muhammad SAW, sebagai Nabi dan Rasul Allah telah diakui dan dibenarkan oleh seluruh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Allah. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada dalil yang menghapuskannyanya Dan apabila kerasulan Muhammad SAW telah diimani dan dibenarkan,
maka
konsekwensi
logisnya
segala
peraturan
dan
perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Di samping itu secara logika kepercayaan
kepada
Muhammad
SAW
sebagai
Rasul
Allah
mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Semua umat Islam telah sepakat dengan bulat bahwa Hadits Rasul adalah sumber dan dasar hukum Islam setelah Al-Qur'an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti dan mengamalkannya sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al-Qur'an. Al-Qur'an dan Hadits merupakan dua sumber hukum pokok syariat Islam yang tetap, dan orang Islam tidak akan mungkin bisa memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulama' pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil salah satu dari keduanya. Berdasarkan uraian di atas bisa diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam dan menduduki urutan kedua
setelah
Al-Qur'an.
Sedangkan
bila
dilihat
dari
segi
kehujjahannya, hadits melahirkan hukum zhanny, kecuali hadits yang mutawatir. 4. Fungsi Al-Hadits terhadap Al-Qur’an Dalam Al-Qur‟an masih banyak ayat bersifat umum dan global yang memerlukan penjelasan. Dan penjelasan itu diberikan oleh Rasulullah SAW. Yang berupa Al-Hadits. Tanpa penjelasan dari beliau banyak ketentuan AlQur‟an yang tidak bisa dilaksanakan. Maka dari itu Al-Hadits memiliki beberapa fungsi terhadap Al-Qur‟an antara lain : a. Bayanut Tafsir yaitu sebagai penjelas atau merinci ayat-ayat Al-Qur‟an yang masih global dan memberikan batasan terhadap ayat Al-Qur‟an yang dalam pelaksanaannya belum ada batasannya. Misal hadits tentang tata cara ibadah sholat, tata cara ibadah haji dan lain-lain. b. Bayanut Taqrir yaitu sebagai penguat ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur‟an. Misal hadits tentang rukun Islam dan lain-lain. c.
Bayanut Tasyri’ yaitu menetapkan hukum suatu perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur‟an. Misal hadits tentang penyembelehan janin dalam perut induknya sama dengan penyembelehan induknya dan lain-lain.
C. Ijma' 1. Pengertian Ijma' Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), kata Ijma' merupakan masdar (kata benda verbal) dari kata
yang artinya memutuskan dan
menyepakati sesuatu. Ia juga bisa berarti kesepakatan bulat (konsensus). Menurut Abdul Wahhab Khalaf, secara istilah Ijma' adalah :
Artinya : "Ijma' adalah kesepakatan (konsensus) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasul atas hukum syara' untuk satu peristiwa (kejadian) ". Dari rumusan di atas dapat diambil beberapa penjelasan sebagai berikut : 1. Kesepakatan adalah kesamaan pendapat baik disampaikan secara tegas melalui lisan maupun tulisan atau dengan beramal sesuai dengan hukum yang disepakati itu. Kesepakatan seperti itu disebut Ijma' yang sebenarnya atau ijma' bayani atau disebut juga Ijma' Qauli. Jika kesepakatan itu ditunjukkan dengan diam yaitu tidak memberikan tanggapan maka dinamakan ijma' sukuti, karena diam itu tidak memberikan tanggapan dipandang sebagai telah menyetujui terhadap hukum yang sudah sampai kepadanya. 2. Seluruh mujtahid berarti masing-masing mujtahid menyatakan kesepakatannya. Jika seorang saja tidak menyetujuinya maka tidak terjadi ijma'. Demikian pula jika pada suatu masa hanya ada pada seorang mujtahid saja, maka tidak ada ijma' sebab tidak terjadi kesepakatan.
3. Pada zaman Rasulullah SAW tidak ada ijma' sebab setiap terjadi ketiadaan hukum, para sahabat bertanya kepada Rasul, lalu beliau menetapkan hukumnya. 4. Atas hukum syara' ijma' hanya terjadi bagi masalah yang berhubungan dengan hukum. Syara' dan berdasar kepada hukum syara' pula ; baik berupa nash yang qoth'i yaitu Al-Qur'an dan hadits mutawatir, sebab ijma' bukanlah dalil syar'i yang berdiri sendiri. 2.
Dasar Kehujjahan Ijma’ dan Kedudukannya sebagai sumber hukum Ijma' sebagai dasar hukum walaupun terjadi perbedaan, namun mayoritas ulama' telah sepakat sebagai sumber hukum Islam yang ke tiga setelah Al-Qur'an dan AI-Hadits. Apabila sudah terjadi ijma' maka hukum tersebut menjadi dasar beramal yang tidak boleh diingkari.
Artinya :
"Apa-apa yang menurut pendapat kaum muslimin baik,
maka baik (pula) di sisi Allah (HR. Ahmad di dalam Kitab Sunnah-nya)".
Artinya :
"Umatku tidak bersepakat atas kesesatan". (H. R. Ibnu
Majah
3.
Macam dan Tingkatan Ijma’ a. Ijma' Sharih, (Sharih dari segi bahasa artinya jelas) yaitu Ijma' yang memaparkan pendapat banyak Ulama' secara jelas dan terbuka, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Pada saat semua Ulama' memaparkan pendapatnya, ternyata mereka menghasilkan pendapat yang sama atas hukum suatu perkara. ljma' jenis ini kita
akui sangat langka karena sangat sulit dicapai darim sekian banyak Ulama' memberikan sebuah paparan yang sama. Oleh karena itu, sebagian Ulama' berpendapat bahwa Ijma' semacam ini hanya dapat terlaksana pada zaman sahabat ketika jumlah mujtahid masih sedikit dan tempat mereka berdekatan. Ijma' Sharih ini menempati peringkat Ijma' tertinggi. Hukum yang ditetapkannya bersifat qat'i, sehingga umat wajib mengikutinya. Maka seluruh Ulama' sepakat dan menerima untuk menjadikan ijma Sharih ini sebagai dalil yang sah dan kuat dalam penetapan hukum syari'at Islam. b. ljma' sukuti, (Sukuti dari segi bahasa artinya diam) yaitu sebagian mujtahid memaparkan pendapat-pendapatnya secara terang dan jelas mengenai suatu hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan, sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan komentar apakah ia menerima atau menolak. ljma' sukuti ini bersifat dzan dan tidak mengikat. Oleh seabab itu, tidak ada halangan bagi para mujtahid untuk memaparkan pendapat yang berbeda setelah Ijma' itu diputuskan. Bagi Imam Syafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa ljma' sukuti ini tidak dapat dijadikan dasar hukum. Namun Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat lain yaitu menjadikannya sebagai dasar hukum. Mereka yang menerima ljma' sukuti sebagai hujah sebab menurut kedua Imam tersebut, diamnya mujtahid sebagai tanda setuju. D. Qiyas 1. Pengertian Qiyas Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukurkan sesuatu dengan yang lain. Para ahli Ushul Fiqih merumuskan qiyas dengan:
Artinya : "Menyamakan atau mengukur satu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash tentang hukumnya di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada kesamaan antara dua kejadian itu di dalam ilat hukum tersebut". 2. Rukun Qiyas Dari rumusan diatas dapat dijelaskan beberapa rukun qiyas sebagai berikut : a.
Kejadian
adalah peristiwa, perbuatan, tindakan yang
tidak ada hukumnya atau belum jelas hukumnya baik di dalam AlQur'an maupun As-Sunnah. Dalam ilmu Ushul Fiqih hal ini disebut "Far'un"
Suatu peristiwa dapat disebut far'un
apabila : adanya kemudian, ada kesamaan illat dengan peristiwa yang akan disamainya. b.
Kejadian yang telah ada ketentuan hukumnya baik di dalam AlQur'an maupun sunnah disebut ashal "maqiis'alaih"
atau disebut juga
yaitu sesuatu yang akan diqiyaskan
kepadanya, atau "musyabbah bih"
yaitu sesuatu yang
akan diserupakan dengannya.
Suatu kejadian dapat disebut ashl apabila : 1)
Hukumnya adalah hukum syari'ah amali dan berdasar nash.
2)
illat hukumnya dapat Diketahui secara aqli
3)
Hukumnya bukan merupakan cabang (far'un) dari ashal
mansukh 4)
Nash hukum ashal tidak meliputi hukum far'un.
c.
5)
Hukum ashal adalah hukum yang disepakati dan tidak mansukh
6)
Hukum pada ashal tidak mempunyai qiyas rangkap.
Illat yaitu suatu sifat yang menjadi dasar hukum pada ashal. Sifat ini pula yang harus ada pada “far'un". Haramnya minum khamr adalah ashal karena ada nash yang menyatakan itu, yaitu firman Allah SWT : (maka jauhilah) karena sifatnya yang memabukkan. Perasan anggur adalah "far'un"
yang tidak disebutkan
hukumnya tetapi sifatnya saja yaitu memabukkan. Karena sifatnya sama maka rasa anggur dan semua makanan dan minuman yang memiliki sifat memabukkan hukumnya disamakan dengan khamar yaitu haram. Kata „illah : penggunaannya sering tumpang tindih dengan sebab dalam hukum wadh'i sebab biasanya berhubungan dengan suatu asalan yang tidak bisa dipahami akal. Jadi, setiap sabab pastilah 'illah, tetapi tidak semua 'illah merupakan sabab. d.
Hukum ashal
yaitu hukum suatu kejadian
yang sudah
disebutkan dan akan ditetapkan bagi far'un karena sama sifatnya (illatnya). Suatu sifat dapat dijadikan sebagai illat, apabila : jelas atau dzonni (dapat dibuktikan), dapat dibatasi secara pasti sama
antara
ashal
dengan
far'un
serta
munasabah
yaitu dugaan kuat bahwa sifat tersebut merupakan alasan hukum pada ashal, sehingga adanya menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Al-Ashlu
Al-Far’u
‘Ilah
Hukum
Khamar
Narkoba
Memabukkan
Haram
3.
Dasar Kehujjahan Qiyas dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum Sebagian Ulama' Sunni berpendapat bahwa qiyas adalah salah satu sumber hukum Islam. Ulama' yang menjadikan qiyas sebagai sumber hukum atau disebut (musbitul qiyas) dan mereka mempunyai dasar yang kuat baik dari nas maupun dari akal. Dalam Al-Qur'an terdapat banyak ayat yang menyuruh manusia menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Tidak kurang dari 50 ayat Al-Qur'an yang mendorong manusia menggunakan akalnya. Di antaranya dapat dilihat dalam Surat al-Hasyr ayat 2 berikut ini :
Artinya:
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.
Dasar qiyas sebagai sumber hukum adalah sebuah.hadits dari Ibnu Abbas
Artinya: Dari Ibnu Abbas, seorang perempuan dari kabilah Juhainah telah datang kepada Nabi. la bertanya, "sesungguhnya ibuku telah bernazar akan pergi haji tapi ia tidak melaksanakannya sampai wafat". Apakah saya boleh mengerjakan haji untuk ibuku?" Nabi menjawab, "Ya boleh,
kerjakanlah
haji
untuknya.
Bagaimana
pendapatmu kalau ibumu sewaktu wafat meninggalkan utang, bukankah engkau yang membayarnya? Hendaklah kamu bayar hak Allah sebab hak Allah lebih utama untuk dipenuhi". (HR. Bukhari).
Dari hadits di atas, dapat dijelaskan bahwa membayar hutang kepada Allah disamakan dengan hutang kepada manusia. Kalau hutang kepada manusia saja wajib dibayar, maka hutang kepada Allah juga harus dibayar. 4.
Macam-macam Qiyas Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya `illah yang ada pada asal dan furu', adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi menjadi tiga yaitu : a. Qiyas aula, yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum. Hukum cabang memiliki nilai yang lebih utama dari pada hukum yang ada pada al-ashal. Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan "ah", "eh", "busyet" atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman Allah QS. Allsra' (17): 23.
Artinya: "Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah". Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan "ah", "busyet" dan sebagainya hukumnya Iebih utama. Rasionalnya, berkata "ah" saja dilarang, apalagi memukulnya. Memukul tentu lebih menyakitkan dibanding berkata "ah" bukan? b. Qiyas musawi, yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum. Hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada cabang nilainya sama. Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman Allah Surah an-Nisa' (4): 10.
Artinya: Sebenarnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Dari ayat di atas, kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut. c. Qiyas adna yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum. Hukum cabang nilainya lebih lemah dari pada hukum ashal. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukarmenukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam kasus ini, `illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan, yang bisa dimakan dan ditukar. Namun ada segi yang lain dari 'illah gandum yang tidak terdapat pada apel, apa itu ? apel tidak makanan pokok. Oleh karenanya, 'illah yang ada pada apel lebih lemah dibandingkan dengan illat yang ada pada gandum yang menjadi makanan pokok. 5. Sebab-sebab dilakukan Qiyas Diantara sebab-sebab dilakukan qiyas adalah : a. Adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur‟an dan As-Hadits tidak ditemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma‟
b. Nash baik yang berupa Al-Qur‟an maupun Al-Hadits telah berakhir dan tidak turun lagi c. Adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.
E. FUNGSI HUKUM ISLAM 1. Fungsi Ibadah : sebagai alat untuk menegakkan ibadah. 2.
Fungsi amar ma‟ruf nahi munkar : perintah kebaikan dan pencegah kemunkaran.
3.
Fungsi zawajir : sebagai alat penjeraan .
4.
Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah: penataan organisasi dan rehabilitasi masyarakat .
5. Fungsi Jawabir : sebagai penebus dosa.
BAB III SUMBER HUKUM ISLAM YANG DIPERSELISIHKAN PARA ULAMA A. Istihsan 1. Pengertian Menurut pengertian bahasa, istihsan berarti "menganggap baik". Sedang menurut istilah ahli Ushul yang dimaksud dengan istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samarsamar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna'y (pengecualian), karena ada dalil syara' yang menghendaki perpindahan itu. Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu : 1. Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur'an berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas. Qiyas : Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur'an, maka orang yang haid juga haram membaca Al-Qur'an. Istihsan : Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama. Karena itu, wanita yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur'an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apa pun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat. 2. Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan) boleh berdasarkan istihsan tetapi haram menurut hukum kully. Hukum kully (syara') : melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad.
Istihsan : membolehkan jual beli salam karena manusia berhajat kepada akad tersebut dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan : a.
Jumhur ulama menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.
b. Golongan Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang menghendaki
penguatan
itu.
Atau
berdalilkan
maslahat
untuk
mengecualikan sebagian dari hukum kully. Imam Malik dan pengikutnya juga menggunakan istihsan tapi dikalangan mereka populer dengan istilah masholihul mursalah.
B. Istishhab 1. Pengetian Yang dimaksud dengan istishab ialah mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya,
sebelum
ada
hukum
yang
mengubahnya.
Misalnya
seseorang ragu-ragu, apakah sudah wudhu atau belum? Dalam keadaan seperti ini, ketentuan hukumnya berpegang kepada "belum wudhu", karena hukum yang asal adalah belum wudhu. 2. Macam-macam Istishhab a. Bara’ah Ashliyah, yaitu bahwa pada asalnya suatu hukum itu dianggap
tidak
ada
sehingga
ada
dalil
yang
menyebutkan
ketentuannya. Misalnya seorang tidak bisa menuduh sembarangan bersalah pada seseorang sebelum ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan
secara
meyakinkan
bahwa
ia
bersalah.
Karena
sebelumnya ia adalah seorang yang bebas. b. Istishhab Ash-Shifah, yaitu menguatkan tetap berlakunya suatu sifat, dimana sifat itu berlaku pada suatu ketentuan hukum sampai sifat itu mengalami
perubahan
yang
konsekwensi
logisnya
juga
akan
menyebabkan berubahnya hukum. Misalnya sifat tanggung jawab seseorang untuk membayar hutang nya kepada seseorang, beban kewajiban untuk membayar itu akan tetap ada pada diri orang yang berhutang sampai ia membayar lunas atau dibebaskan oleh orang yang menghutangi. c. Istishhab Al-Hukmi, yaitu menguatkan tetap berlakunya suatu hukum boleh atau larangan. Hukum boleh pada sesuatu perbuatan atau barang harus tetap berlangsung
sampai ada dalil yang
mengharamkannya. Sebaliknya hukum haram pada sesuatu perbuatan atau barang harus tetap berlangsung sampai ada dalil yang membolehkannya. Misalnya seorang suami tidak boleh ( haram ) menikahi adik isterinya kecuali isterinya telah dicerai atau meninggal dunia. 3. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishhab : a. Menjadikan istishhab sebagai pegangan dalam menentukan hukum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Qur'an, As-Sunnah maupun ijma'. Ulama yang termasuk kelompok ini adalah Syafi'iyah, Hanabillah, Malikiyah, Dhahiriyah, dan sebagian kecil dari ulama Hanafiyah dan ulama Syiah. Dalil yang mereka jadikan alasan, antara lain ialah Firman Allah dalam surat Yunus ayat 36 sebagai berikut :
Artinya : "...sesungguhnya persangkaan itu sedikit pun tidak berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." Berdasarkan kepada prinsip di atas, ulama ushul menetapkan kaidahkaidah fiqih sebagai berikut :
Artinya : “Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yanq terjadi sebelumnya. "
Artinya : "Asal hukum sesuatu adalah boleh" b. Menolak Istishhab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum. Ulama golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama Hanafiyah. Mereka menyatakan bahwa istishhab dengan pengertian seperti di atas adalah tanpa dasar.
C. Mashalihul Mursalah 1. Pengertiannya Mashalih bentuk jama‟ dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada
kemaslahatan,
yaitu
manfaat
bagi
manusia
atau
menolak
kemadharatan atas mereka. Al-Khawarizmi menyatakan bahwa mashlahah ialah menjaga tujuan syara' dengan jalan menolak mafsadat (kerusakan) atau madharat dari makhluk.
2. Kedudukannya sebagai sumber hukum Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai sumber hukum. a. Jumhur ulama menolak nya sebagai sumber hukum dengan alasan : 1). Nash-nash, ijma, dan qiyas yang ada telah disepakati pasti mempertimbangkan kemaslahatan umat, karena itulah syariat yang ada selalu memperhatikan kemaslahatan
umat.
Tak ada satupun
kemaslahatan umat yang tidak diperhatikan oleh syariat melalui petunjuknya. 2). Pembentukan hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada kemaslahatan umat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu. b. Imam Malik membolehkan berpegang kepada mashalihul mursalah secara mutlak. Sedangkan Imam Syafi'i boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil kully atau dalil juz'iy dari syara‟. Pendapat kedua ini berdasarkan : 1). Kemaslahatan umat selalu berubah-ubah dan tidak ada habishabisnya. Jika pembentukan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari syari' (Allah), tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-beda. 2). Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari
syari'.
Misalnya
mengumpulkan
dan
membuat membukukan
penjara,
mencetak
ayat-ayat
Al-Qur'an
uang, dan
sebagainya. 3. Syarat-syarat Berpegang kepada Mashalihul Mursalah a.
Maslahat itu harus jelas dan pasti, prasangka.
bukan hanya berdasarkan kepada
b. Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi. c. Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan Nash atau ijma‟. D. Al-'Urf 1. Pengertiannya Yang dimaksud dengan Al-'Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa Qauly (perkataan) maupun Amaly (perbuatan). Menurut ahli syar'i bahwa antara adat-istiadat dengan „Urf Amali itu tidak ada bedanya. Contoh ‘Urf Qauly ialah orang telah mengetahui bahwa kata ar-rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. Contoh 'Urf Amaly ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dan tidak mengucapkan sighat akad jual beli. 2. Macam-macam AI-'Urf dan Hukumnya Secara garis besar, 'urf itu dibagi menjadi dua, yaitu : a. 'Urf Shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Misalnya orang telah mengerti bahwa orang yang melamar itu menyerahkan sesuatu kepada perempuan yang dilamar, berupa emas dan pakaian. Urf jenis ini diperbolehkan dan bahwa harus dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti mendatangkan maslahat bagi manusia. b. 'Urf Fasid, yaitu apa yang dikenal itu bertentangan dengan syara‟. Contoh orang mengetahui bahwa untuk menduduki suatu jabatan itu dengan memberikan uang sogokan (risywah). 'Urf jenis ini hukumnya haram, sebab bertentangan dengan ajaran agama. Dalam suatu kaidah dinyatakan yang artinya : "Tidak boleh taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq".
E. Syar'u Man Qablana 1. Pengertiannya Yang dimaksud dengan syar'u man qablana ialah syari'at yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya agama Islam. Pada dasarnya syari'at yang diturunkan untuk dijadikan pedoman hidup manusia, sejak dahulu hingga masa-masa selanjutnya bersumber dari satu yaitu Allah. Namun karena masa turun dan keadaan pemakainya berbeda, maka ketentuan-ketentuan dalam syariat itu juga mengalami penyesuaian. Karenanya, di antara isi syari'at tersebut ada yang berlaku terus untuk umat selanjutnya dan ada yang tidak. Dalam surat Al-Maidah ayat 48 Allah berfirman :
Artinya :
Dan Kami telah menurunkan kepadamu kitab Al-
Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan menjadi ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Karena itu, putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang. ( QS. Al-Maidah : 48 ).
2. Pembagian dan Hukumnya Secara garis besar syar‟u man qablana dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Istimror
yaitu
disyari‟atkan
apa
kepada
yang kita
disyari'atkan (
umat
kepada
Nabi
mereka
Muhammad
),
juga baik
penetapannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti puasa, maupun melalui kisah, seperti gishash. b. Jumud
yaitu
apa
yang
disyari'atkan
kepada
mereka
tidak
disyari'atkan kepada kita ( umat Nabi Muhammad ). Misalnya yang disyari'atkan kepada Nabi Musa, seperti “Dosa orang jahat itu tidak akan terhapus selain membunuh dirinya sendiri” dan “pakaian yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus dipotong bagian yang terkena najis tersebut". Terhadap syari'at jenis kedua ini pada ulama sepakat untuk ditinggalkan, karena syari'at kita telah menghapusnya. F. Saddudz Dzari'ah 1. Pengertiannya Kata saddu artinya tutup sedangkan kata dzari'ah artinya jalan. Berarti Saddudz dzari'ah adalah menutup jalan. Menurut istilah ulama Ushul Fiqh bahwa yang disebut dengan saddudz dzari'ah ialah :
Artinya : "Masalah yang lahirnya boleh (mubah) tetapi dapat membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang" Dengan demikian, saddudz dzari'ah berarti melarang perkara-perkara yang lahirnya boleh, karena ia membuka jalan dan menjadi pendorong kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Seperti melarang permainan judi tanpa uang.
2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Para ulama‟ berbeda pendapat mengenai kedudukan saddudz dzari'ah sebagai sumber hukum, yaitu : a. Diterima. Menurut Imam Malik bahwa saddudz dzari'ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab sekalipun mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Al-Qurtubi, seorang ulama Madzhab Maliki menyatakan; "Sesunggunya apa-apa yang dapat mendorong terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat) adakalanya secara pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan. Yang pasti menjerumuskannya bukan termasuk suddudz dzari'ah tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskannya
termasuk suddudz
dzari'ah. Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatanperbuatan yang dilarang oleh agama, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah, tetapi lambat laun dapat membawa dan mendorong kita kepada perbuatan maksiat. b. Ditolak. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa saddudz dzari'ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits Nabi Saw. Dikatakan :
Artinya : "Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak me ra gu ka n" .
Artinya : "Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia akan melanggar larangan tersebut".
G. Mazhab Shahaby 1. Pengertiannya Yang dimaksud dengan Mazhab Shahaby ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang dinyatakan setelah Rasulullah SAW wafat. fatwa-fatwa para sahabat di atas bisa terjadi pada dua masa yaitu : Pertama, ketika Rasulullah SAW masih hidup dan selanjutnya dijadikan ketetapan ( taqrir ) Rasulullah SAW dengan sebutan Hadits Taqrir. Kedua, setelah Rasulullah SAW wafat berarti berdasarkan ijtihad mereka sendiri, hal ini terbagi menjadi dua, yaitu hasil ijtihad yang mereka sepakati (Ijma‟ Sahaby) dan hasil ijtihad yang tidak
mereka
sepakati. 2. Kedudukannya sebagai sumber hukum Sesuai dengan sifat fatwa sahabat tersebut, maka kedudukan mazhab sahabat ini dapat dikategorikan menjadi 3 macam, yaitu : a. Mazhab sahabat yang berdasarkan kepada ketetapan Rasulullah SAW wajib ditaati, sebab hakekatnya ia merupakan hadits Rasulullah SAW.. b. Mazhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka sepakati (Ijma‟ Sahaby) dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati, sebab mereka di samping dekat dengan rasul, mereka mengetahui rahasia rahasia tasyri' dan mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang sering terjadi. Contoh mazhab sahabat yang telah mereka sepakati, antara lain ialah mengenai bagian harta waris bagi nenek, yaitu seperenam. c. Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak wajib diikuti. Abu Hanifah dan Imam Syafi'i menyatakan : “Tidak melihat seorang pun ada yang menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah”, sebab perkataan sahabat tersebut didasarkan kepada
ra'yu dan di antara sahabat sendiri juga berbeda pendapat, dan mereka tidak luput dari kesalahan. H. Dalalatul Igtiran 1. Pengertiannya Yang
dimaksud
menunjukkan
dengan
dalalatul
kesamaan hukum
iqtiran
terhadap
ialah sesuatu
dalil-dalil
yang
yang disebutkan
bersamaan dengan sesuatu yang lain. 2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum a. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalalatul iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah, sebab bersamaan dalam satu susunan tidak mesti bersamaan dalam hukum. b. Abu Yusuf dari golongan Hanafiyah, Ibnu Nashar dari golongan Malikiyah, dan Ibnu Hurairah dari golongan Syafi'iyah menyatakan dapat dijadikan hujjah. Alasan mereka bahwa sesungguhnya athaf itu menghendaki musyarakah. Contoh : firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 196
Artinya : "Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah". Berdasarkan ayat di atas, Imam Syafi'i, menyamakan hukum umrah dengan haji, yaitu fardhu, sebab kedua ibadah ini disebutkan dalam satu ayat. Contoh lain : firman Allah dalam surat An-Nahl : 8
Artinya : "Dan Dia (jadikan) kuda, bighal, dan keledai untuk kamu jadikan kendaraan dan untuk perhiasan".
Berdasarkan ayat di atas Imam Malik tidak mewajibkan zakat atas kuda, lantaran disebut beriringan dengan harta yang tidak dikenai zakat.
BAB IV PELENGKAP SUMBER HUKUM ISLAM A. Ijtihad dalam hukum Islam 1. Pengertian Ijtihad Ijtiha menurut bahasa berasal dari kata yang artinya mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Para ahli Ushul Figih merumuskan pengertian ijtihad.
Artinya :
Pencurahan segala kemampuan untuk mendapatkan hukum
syara' melalui dalil-dalil syara' pula" Jadi dengan demikian, ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara‟ dengan jalan istinbath ( mengeluarkan hukum ) dari Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Imam Al-Ghazali mendefinisikan ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syariat. Berdasarkan definisi di atas, maka ijtihad hanya dibenarkan bagi peristiwa atau hal-hal yang tidak ada dalilnya yang qoth'i, atau tidak ada dalilnya sama sekali. 1. Hukum ijtihad Menurut Syeikh Muhammad Khudlari, bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu : a. Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sndiri mengalami suatu peristiwa yang ia seniri juga ingin mengetahui
hukumnya. b. Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan seseuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur. Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan ijtihadnya, maka dosalah semua mujtahid tersebut. c. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi. 3. Peranan dan kedudukan hasil ijtihad a. Peranan ijtihad Ijihad sangat diperlukan dan memiliki peranan yang sangat penting dalam mencari sandaran hukm yang benar, mengingat banyak masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-Qur‟an maupun Al-Hadits. Karenanya, Islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai
kemampuan
untuk
melakukan
ijtihad.
Sebagaimana
dianjurkan dalam Al-Qur‟an Surat Al-Hasyr ayat 2 yang berbunyi :
Artinya: Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan. ( QS. Al-Hasyr : 2 ). Hadits Nabi MuhammadSAW :
Artinya : "Jika seorang hakim menghukum, lalu ia berijtihad kemudian
ijtihadnya
itu benar, maka is mendapatkan dua pahala,
apabila ia menghukum, dan berijtihad dan ternyata ijtihadnya salah, maka mendapat satu pahala". (HR. Bukhori dan Muslim) .
Dengan demikian, ijtihad merupakan salah satu alat penggali hukum syara‟ untuk dapat mengaplikasikan setiap hukum yang terkandung dalam nash-nash tersebut, agar relevan dengan permaslahan hukum yang ada di masyarakat. b. Kedudukan hasil ijtihad Hasil ijtihad merupakan pendapat yang bersifat zanni ( dugaan kuat ). Hasil ijtihad itu mempunyai akibat hukum, baik bagi orang yang bertanya maupun bagi mujtahidnya sendiri. Sedangkan bagi kaum muslimin, hasil ijtihad itu tidak mengikat dan tidak mengharuskan orang lain untuk mengikutinya. Bahkan pendapat hasil ijtihad seseorang, tidak menghalangi orang lain untuk berijtihad dan menghasilkan pendapat yang berbeda. Kecuali seorang gadli atau hakim yang telah memutuskan hukum berdasarkan ijtihadnya sendiri tidak boleh membatalkan keputusan selama keputusan pertama tidak menyalahi nash atau dalil qath'i. Sifat dasar ijtihad yang demikian itu, membolehkan seorang mujtahid atau orang lain untuk meninjau ulang atau melakukan ijtihad baru untuk menetapkan hukum baru.
4. Syarat-syarat mujtahid Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu :
a. Syarat umum 1). Beriman 2). Mukallaf 3). Memahami masalah b. Syarat khusus 1). Mengetahui ayat-ayat Al-Qur‟an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis, dalam hal ini ayat-ayat ahkam, termasuk asbabul nuzul, musytarak, dan sebagainya. 2). Mengetahui sunnah-sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis, mengetahui asbabul wurud, dan dapat mengemukakan hadit-hadits dari berbagai kitab hadits seperti Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud dan lain-lain. 3). Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam, yaitu kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. 4). Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah, yaitu kaidah-kaidah yang diistinbathkan dari dalil-dalil syara‟. 5). Mengetahui kaidah-kaidah Bahasa Arab, yaitu nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya. 6). Mengetahui ilmu ushul fiqih, yang meliputi dalil-dalil syar‟I dan cara-cara mengistinbathkan hukum. 7). Mengetahui ilmu mantiq. 8). Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bar‟ah ashliyah. 9). Mengetahui soal-soal ijma‟, sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ijma‟.
c. Syarat pelengkap 1). Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath‟I yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya. 2). Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para „ulama‟dan yang akan mereka sepakati. 3). Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak. 5. Tingkatan-tingkatan mujtahid Tingkatan ini sangat bergantung pada kemampuan, minat dan aktivitas yang ada pada mujtahid itu sendiri. Secara umum tingkatan mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu : a. Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai hukum syara‟, dengan tanpa terikat kepada madzhab apa pun. Seperti madzahibul arba‟ ( Imam Hanafi, Syafi‟i, Maliki, dan Ahmad bin Hambal ). b. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihad dia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh madzhab itu. Sekalipun demikian, pendapatnya tidak mesti sama dengan pendapat imam madzhab tersebut. c.
Mujtahid Fil Mazhabih, yaitu mujtahid yang dalam melakukan ijtihad ia mengambil metode yang digunakan oleh Imam Mazhab tertetu dan ia juga mengikuti Imam Mazhab dalam masalah furu'. Terhadap masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh Imam Mazhabnya, terkadang ia melakukan ijtihad sendiri.
d. Mujtahid Murajjih, atau dalam istilah lain orang yang mentarjih, yaitu mujtahid yang dalam menggali dan menetapkan hukum suatu perkara didasarkan kepada hasil tarjih (memilih yang lebih kuat) dari pendapat imam-imam mazhabannya tentunya dengan mengambil dasar hukum
yang lebih kuat. 4.
Penerapan hasil ijtihad Pada garis besarnya ayat-ayat Al-Qur'an dapat dibedakan atas Ayat
Muhkamat dan Ayat Mutasyabihat. Ayat Muhkamat adalah ayat yang sudah jelas dan terang maksudnya hukum yang dikandungnya sehingga tidak memerlukan penafsiran atau interpretasi. Pada umumnya ayat muhkamat ini bersifat perintah seperti perintah menegakkan sholat, puasa, menunaikan zakat, ibadah haji. Sedangkan Ayat Mutasyabihat adalah ayat yang memerlukan penafsiran lebih lanjut walaupun dalam bunyinya sudah jelas mempunyai arti, seperti ayat-ayat mengenai gejala-gejala alam yang terjadi setiap hari. Dengan ayat-ayat mutasyabihat mengisyaratkan kepada kita bahwa Al-Qur'an mergajarkan kepada manusia mempergunakan akalnya, mengamati dengan benar, harus berpikir dan bertanya secara tuntas tentang segala sesuatu yang diamatinya. Demikian juga dalam Al-qur'an dijumpai dalil-dalil yang bersifat Qoth'i dan dzonni. Dalil Qoth’i adalah dalil yang sudah jelas hukumnya dan tidak diperlukan penafsiran. Sedangkan Dalil dzonni adalah belum jelas hukumnya untuk itu dibutuhkan penjelasan dan penafsiran, hal demikian bermuara untuk menggunakan akal untuk memecahkannya dan yang tidak kalah penting munculnya peristiwa baru yang sebelumnya belum pernah terjadi dan membutuhkan status hukum. Misalnya : Bagaimana hukumnya bayi tabung, cangkok mata, cloning manusia, donor Darah dll. Dasar menggunakan akal untuk menetapkan hukum adalah : 1. Ketetapan Al-Qur'an mengenai landasan musyawarah dalam menetapkan sesuatu: Firman Allah SWT :
Artinya : ". ... Sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka (As-Syura : 38).
2. Allah memerintahkan dalam Al-Qur'an untuk mengembalikan segala pertentangan dan silang pendapat kepada ulil amri, yaitu orang-orang yang memiliki tingkat pemahaman syari‟ah yang tinggi dan menguasai tata cara menetapkan hukum. 3. Adanya ketegasan Nabi kepada para sahabatnya agar berijtihad dan merumuskan ketetapan hukum melalui pemikiran dalam masalah yang tidak terdapat hukumnya dalam Al-Qur'an maupun as-sunnah. Seperti dalam hadits saat terjadi dialog antara nabi dengan Mu'adz bin jabal cukup memperkuat mengenai kedudukan akal itu. Di dalam menerapkan hasil ijtihad ada beberapa macam, yaitu tarjih, talfiq, ittiba‟, taqlid, dan fatwa. Masing-masing penerapannya memiliki perbedaan dan persamaan. Para ‟ulama‟ berbeda pendapat mengenai penerapan beberapa jenis hasil ijtihad tersebut sebagai berikut : B. Tarjih dan Talfiq 1. Tarjih a. Pengertian tarjih Menurut bahasa, tarjih adalah ”melebihi” sesuatu, sedangkan menurut istilah tarjih menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya. Maksudnya memilih dalil yang kuat diantara dalil-dalil yang tampak berlawanan atau tidak sama terhadap satu hukum yang sama. Dalil yang lebih kuat disbut rajih dan dalil yang lemah disebut marjuh. Berdasarkan uraian di atas, para ahli Ushul Fiqih memberikan rumusan Tarjih sebagai berikut :
Artinya :
"Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil
yang bertentangan terhadap yang lain sehingga dapat diketahui mana yang lebih kuat kemudian diamalkan dan dikesampingkan (ditinggalkan) yang lainnya (yang Iemah)". Tarjih dibenarkan dalam menetapkan hukum syar'i berdasarkan ijma' sahabat. Misalnya wajib berpuasa bagi orang yang junub sampai shubuh walaupun ada hadits yang menerangkan bahwa orang yang junub sampai shubuh puasanya batal. Kedua hadits itu adalah sebagai berikut :
Artinya :
"Sesungguhnya Nabi SAW pernah dalam keadaan junub pada waktu shubuh" (HR. Bukhori dan Muslim).
Artinya : "Telah bersabda Rasulullah SAW barang siapa pada waktu subuh dalam keadaan junub, maka tidak sah puasanya". (HR. Ahmad dan lbnu Habban). Hadits yang pertama diriwayatkan dari isteri-isteri Nabi sedang hadits kedua diriwayatkan dari Abu Hurairah. Hadits pertama Iebih kuat, sehingga ditetapkan sebagai dasar hukum karena diriwayatkan dari istri-istri Nabi yang menyaksikan sendiri apa yang diriwayatkannya itu. b. Dalil-dalil yang ditarjihkan 1) Dalil yang ditarjih itu sama kepastian kekuatannya, seperti : AlQur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan Hadits mutawatir, hadits ahad dengan hadits ahad.
2) Dalil yang berlawanan sama dalam hukumnya, waktunya, tempatnya dan arah yang dimaksudnya. 2. Talfiq a. Pengertian talfiq Menurut bahasa talfiq adalah menyambung dua tepi yang bebeda. Seperti mempertemukan dua tepi kain kemudian menjahitnya. Sedangkan menurut istilah talfiq adalah mengikuti suatu hukum dengan mengambil pendapat dari berbagai madzhab dengan tujuan agar hukum tersebut dapat lebih ringan. Talfiq dalam rumusan ushul fiqih berarti mengambil beberapa hukum sebagai dasar beramal dari berbagai madzhab atau pendapat yang berbeda. Contoh, seseorang berwudlu dengan tidak menggosok anggota wudlu, menurut Imam Syafi'i wudlunya sah sedangkan menurut Imam Malik tidak sah, kemudian ia menyentuh wanita, menurut Imam Syafi'i wudlunya batal sementara menurut Imam Malik tidak batal. Jika kemudian ia sholat tidak sah. Menurut Imam Syafi'i karena wudlunya batal dengan menyentuh wanita, sedangkan menurut Imam Malik tidak sah karena wudlunya batal dengan tidak menggosok anggota wudlu. b. Hukum talfiq 1). Contoh di atas memberikan gambaran bahwa penggabungan pendapat sebagai dasar beramal mengakibatkan amalannya batal / tidak sah. Maka talfiq tidak dibenarkan dalam ajaran syari'at Islam. 2). Talfiq dibenarkan sepanjang tidak berakibat batalnya amaliah, demikian pula perpindahan madzhab yang lain dalam masalah yang berbeda tetap dibenarkan, seperti wudlu mengikuti pendapat Imam Syafi'i. Sholatnya mengikuti pendapat Imam Malik sedang ketentuan halal dan haramnya makanan mengikuti pendapat Imam Hambali.
3. Perbandingan antara tarjih dan talfiq Di antara tarjih dan talfiq terdapat persamaan dan perbedaan, yaitu : a. Persamaan keduanya adalah masalah yang hukumnya akan ditetapkan mencakup masalah-masalah yang masih dalam lingkup perbedaan pendapat ‟ulama‟, baik dikarenakan terdapatnya nash lebih dari satu atau perselisihan pendapat ‟ulama‟. Dan termasuk dalam bagian ijtihad. b. Perbedaan keduanya adalah kalau tarjih menetapkan salah satu dalil yang paling kuat dan tidak ada kemungkinan mencari yang lebih ringan dari dalil-dalil yang ada, sedangkan talfiq menggabungkan beberapa pendapat madzhab dan ada kecendrungan mencari yang lebih ringan dari beberapa pendapat madzhab.
C. Ittiba’ dan Taqlid 1. Pengertian ittiba’ dan taqlid a. Ittiba‟ Menurut bahasa ittiba‟ adalah mengikuti atau menurut. Sedangkan menurut istilah ittiba‟ adalah mengikuti semua yang diperintahkan atau yang dilarang dan yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Salah satu ‟ulama‟ berpendapat bahwa
ittiba‟adalah :
Artinya : "Menerima atau mengikuti pendapat perbuatan seseorang dengan mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya itu". b. Taqlid Menurut bahasa taqlid adalah meniru. Sedangkan menurut istilah
Taqlid
adalah :
Artinya : "Menerima atau mengikuti pendapat perbuatan seseorang tanpa mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya itu". 2. Hukum ittiba’ dan taqlid Ittiba' dalam agama adalah wajib. Firman Allah SWT :
Artinya : "Katakanlah jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu". (Ali Imran : 31) Taqlid adalah perbuatan yang tercela dalam agama (Islam) terutama bagi orang yang mempunyai kemampuan beristidlal. Firman Allah SWT :
Artinya : "Dan apabila telah dikatakan kepada mereka : ikutilah apa yang diturunkan Allah, mereka menjawab : "(tidak) akan tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk". (Al-Bagarah : 170).
3. Perbandingan antara ittiba’ dan taqlid Secara khusus dapat diketahui bahwa ittiba‟ dan taqlid memiliki persamaan dan perbedaan sebagai beikut : a. Persamaannya keduanya perbuatan mengikuti. b. Perbedaannya kalau ittiba‟ seseorang yang mengikuti itu mengetahui sumber yang dijadikan dasar oleh mujtahid yang diikutinya. Sedangkan kalau taqlid seseorang yang meniru itu tidak mengetahui sumber yang dijadikan daras oleh mujtahid yang ditirunya.
D. Fatwa 1. Pengertian fatwa Yang dimaksud dengan fatwa adalah jawaban berdasarkan ijtihad terhadap pertanyaan mengenai hukum suatu peristiwa yang belum jelas hukumnya. Orang yang menyampaikan fatwa disebut mufti dan biasanya merupakan tokoh agama dan ‟ulama‟. 2. Syarat-syarat mufti Mufti menjadi panutan masyarakat kaum muslimin, karenanya harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut : a. Menguasai hukum dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits b. Niyatnya semata-mata mencari ridlo Allah SWT. c. Berakhlak mulia, sabar, mampu menguaisai diri, bijaksana, dan berwibawa d. Mengetahui ilmu sosial. 3. Perbandingan hakim dan mufti Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara hakim dan mufti sebagai berikut :
a. Persamaan 1). Hakim dan mufti sama-sama mujtahid 2). Hakim dan mufti orang yang mengetahui dan memahami masalah yang diselesaikan 3). Hakim dan mufti adalah orang yang mengetahui kondisi sosial masyarakat yang dihadapi. b. Perbedaan 1). Persoalan yang dihadapi hakim telah dibatasi oleh berbagai ketentuaan yang sudah ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan persoalan yang dihadapi mufti bebas 2). Keputusan hakim harus dilaksanakan oleh penggugat dan tergugat, sedangkan fatwa mufti boleh dilaksanakan boleh tidak diserahkan kepada orang yang meminta fatwa tersebut 3). Keputusan hakim dapat membatalkan fatwa, sedangkan fatwa tidak dapat membatalkan keputusan hakim.
BAB V KONSTRIBUSI UMAT ISLAM DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA B. Kontribusi umat Islam dalam Perumusan Sistem Hukum Nasional 1. Konstribusi Umat Islam Dalam Perumusan Sistem Hukum Islam. a. Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia Kemerdekaan indonesia tidak lepas dari orang-orang islam juga. Dapat dilihat dari organisasi-organisasi kemerdekaan jaman dahulu seperti oraganisasi serikat islam dan organisasi islam lainnya. b. Perumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pada saat sidang BPUPKI dulu sebagin besar orang yang mengikuti sidang tersebuat adalah orang islam seperti M. Yamin Dan pada saat sidang PPKI juga banyak sekali orang islam yang ikut rapat tersebut C. Lahirnya Undang-Undang Perkawinan, Peradilan Agama, Zakat, dll 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 2. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 & Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 3. Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 5. KHI (Kompilasi Hukum Islam)
BAB VI KESIMPULAN
Dalam menentukan hukum, islam sangatlah sistematis yang pertama dalam menentukan hukum islam menggunakan Al-Qur‟an terlebih dahulu. AlQuran dalam menetapkan hukum tidak memberatkan, memminimalisisr beban dan berangsur-angsur dalam menetapkan hukum. Kemudian Al-Hadist dan yang terakhir adalah sumber hukum pelengkap yang salah satunya ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Dr. H. Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahn dan Fleksibilitasnya, Jakarta, Sinar Grafika, 1995. Abdul
Wahhab
Khallaf,
Kaidah-kaidah
Hukum
Islam,
Arrisalah,
Bandung, 1985 Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 1995 A.Hanafi, Ushul Fiqih, Bumirestu, Jakarta, 1981 A.Syafi‟i Karim, Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2006 Dedi Supriyadi, Perbandingan Fiqih Syiyasah, Pustaka Setia, Bandung, 2007 Dedi
Supriyadi,
Perbandingan
Mazhab
dengan
Pendekatan
Baru,
Pustaka Setia, Bandung, 2008 Idris Ramulyo, Mohammad, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Mahrus As‟ad dkk, Memahami Fiqih Kelas III Madrasah Aliyah, Armico, Bandung, 2006 Muzilanto dkk, Modul Fiqih Kelas XII Madrasah Aliyah, Akik Pusaka, Solo, 2009
View more...
Comments