Makalah Status Epileptikus
November 22, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Makalah Status Epileptikus...
Description
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT STATUS EPILEPTIKUS
MAKALAH KEPERAWATAN BEDAH
Oleh Kelompok 10 Kelas F
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2017
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT STATUS EPILEPTIKUS
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah dengan dosen pembimbing Ns. Rondhianto, S.Kep., M.Kep
MAKALAH KEPERAWATAN BEDAH
Oleh Rizki Amalia
152310101065
Putri Ayunda Retno A.
152310101077
Rega Estu Kusumawati
152310101079
Tria Mega Holivi
152310101141
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2017
i
LEMBAR PENGESAHAN Tugas Makalah Asuhan Keperawatan dengan tema Status Epileptikus dengan judul: “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Status Epileptikus” Yang disusun oleh Kelompok 10 Telah disetujui untuk dikumpulkan pada: Hari/tanggal: Makalah ini disusun dengan pemikiran sendiri, bukan hasil jiplakan atau reproduksi ulang makalah yang telah ada.
Penyusun
Kelompok 10 Mengetahui, Dosen Pembimbing
Ns. Rondhianto, S.Kep., M.Kep NIP. 19830324 200604 1 002
ii
iii
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami
dapat
menyelesaikan
makalah
yang
berjudul
“Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Status Epileptikus” ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah. Dalam penulisan makalah ini kami mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ns. Rondhianto, S.Kep., M.Kep. selaku dosen pembimbing pembuatan makalah; 2. Ns Mulia Hakam, M.Kep.,Sp.Kep.MB. selaku dosen penanggung jawab mata kuliah Keperawatan Bedah; dan 3. teman-teman mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember kelas F yang telah membantu. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca demi menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi keperawatan bedah kedepannya dan menambah pengetahuan pembaca. Jember, April 2017
Penulis Kelompok 10
iv
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL.....................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................
ii
PRAKATA.....................................................................................................
iii
DAFTAR ISI.................................................................................................
iv
BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................
1
1.1 Latar Belakang...........................................................................
1
1.2 Tujuan.......................................................................................... 1.3 Manfaat.......................................................................................
2 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................
3
2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan........................................
3
2.2 Definisi.........................................................................................
6
2.3 Epidemiologi...............................................................................
7
2.4 Etiologi.........................................................................................
7
2.5 Klasifikasi....................................................................................
8
2.6 Patofisiologi.................................................................................
9
2.7 Manifestasi Klinis.......................................................................
11
2.8 Pemeriksaan Penunjang............................................................
14
2.9 Penatalaksanaan.........................................................................
15
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN...........................................................
17
3.1 Pengkajian...................................................................................
17
3.2 Diagnosa......................................................................................
26
3.3 Intervensi.....................................................................................
26
3.4 Evaluasi.......................................................................................
64
BAB 4. APLIKASI ASUHAN KEPERAWATAN......................................
66
4.1 Ilustrasi Kasus............................................................................
66
4.2 Pengkajian...................................................................................
66
4.3 Diagnosa......................................................................................
76
4.4 Intervensi.....................................................................................
77
v
4.5 Evaluasi.......................................................................................
90
BAB 5. PENUTUP........................................................................................
92
5.1 Simpulan......................................................................................
92
5.2 Saran............................................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vi
vii
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status epileptikus adalah aktivitas kejang lama akut (Arif, 2008) yang merupakan rentetan kejang umum yang terjadi secara kontinu, berulang di sertai gangguan kesadaran, dengan durasi kejang yang berlangsung secara terus menerus selama 30 menit atau lebih , serta status epileptikus ini merupakan kejang yang paling serius karena terjadi secara terus menerus tanpa henti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas sehingga apabila tidak di tangani segera maka besara kemungkinan akan terjadi kerusakan jaringan otak permanen serta dapat mengakibatkan kematian. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi. Gejala pada status epileptikus ini harus dapat di kenali dan di tanggulangi secepat mungkin, rata – rata meskipun dilakukan pengobatan secara tepat akan tetapi terdapat sekitar 15 % penderita meninggal, dan kurang lebih 60 – 80 % penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi penderita epilepsi. Status epileptikus ini juga merupakan sebagai keadaan kedaruratan medis mayor, yang akan menimbulkan kebutuhan metabolik besar serta dapat mempengaruhi pernapasan. Faktor – faktor yang mencetuskan status epileptikus ini dapat meliputi gejala putus obat antikonvulsan, demam, serta, infeksi penyerta. Secara sederhana dapat di katakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih, harus di pertimbangkan sebagai status epileptikus.
1
1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang di maksud dengan status epileptikus? 2. Bagaimana epidemiologi dari status epileptikus? 3. Apa saja etiologi dari status epileptikus? 4. Bagaimana klasifikasi dari status epileptikus? 5. Bagaimana patofisiologi dari status epileptiku? 6. Bagaimana manifestasi klinis dari status epileptikus? 7. Apa saja pemeriksaan dari status epileptikus? 8. Bagaimana perawatan dari status epileptikus? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui, mengidentifikasi, mengerti dan memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan penderita status epileptikus 1.3.2 Tujuan Khusus 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Untuk mengetahui tentang istilah status epileptikus Untuk mengetahui tentang etiologi status epileptikus Untuk mengetahui tentang patofisiologi status epileptikus Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis status epileptikus Untuk mengetahui tentang pemeriksaan status epileptikus Untuk mengetahui tentang perawatan status epileptikus
1.4 Manfaat 1. Diharapkan mahasiswa dapat menambah wawasan tentang status epileptikus. 2. Diharapkan mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan tentang status epileptikus dengan baik. 3. Dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan Sistem persarafan merupakan sistem yang memiliki kemampuan untuk mengoordinasi, menafsirkan, dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Sistem persarafan mengatur segala bentuk kesadaran, pikiran, ingatan, bahasa, sensasi dan gerakan. Jadi kemampuan untuk dapat memahami, mempelajar dan merespons suatu rangsangan merupakan hasil kerja terintegrasi sistem persarafan yang mencapai puncaknya dalam bentuk kepribadian dan tingkah laku individu. Secara umum sistem persarafan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : 1. Sistem saraf pusat (SSP) Yang terdiri atas otak dan medulla spinalis 2. Sistem saraf tepi (SST) Terdiri atas neuron aferen dan eferen sistem saraf somatis (SSS) serta neuron sistem saraf otonom/viseral (SSO). Jaringan saraf 1. Neuron Merupakan suatu sel saraf dan merupakan unit anatomis dan fungsional sistem persarafan. Terdiri atas. a. Dendrit sebagai bagian penerima rangsangan dari saraf-saraf lain. b. Badan sel yang mengandung inti sel c. Akson yang menjadi perpanjangan atau serat tempat lewatnya sinyal yang dicetuskan di dendrit dan badan sel. d. Terminal akson yang menjadi pengirim sinyal listrik untuk disampaikan ke dendrit atau badan sel neuron kedua dan apabila di susunan saraf perifer, sinyal disampaikan ke sel otot atau kelenjar. Neuron-neuron yang membawa informasi dari susunan saraf perifer ke sentral disebut neuron sensorik atau aferen, yang memiliki reseptor di dendrit atau badan sel yang mengindera rangsangan kimiawi atau fisik. Sedangkan neuron-neuron yang membawa informasi keluar dari susunan saraf pusat ke berbagai organ sasaran (suatu sel otot atau kelenjar) disebut neuron motorik atau eferen. Neuron selanjtnya yang membentuk sebagian besar neuron susunan saraf pusat, menyampaikan pesan-pesan antara neuron aferen dan eferen disebut interneuron.
3
2.
Neurotransmiter Merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan disimpan dalam
gelembung sinaptik pada ujung akson. Neurotransmitter merupakaan cara komunikasi antar neuron, setiap neuron melepaskan satu trasnmitter. Zat-zat kimia ini menyebabkan perubahan permeabilitas sel neuron. 3. Transmisi sinaps Tempat-tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan neuron lain atau dengan organ-organ efektor disebut sinaps. Sinaps merupakan satu-satunya tempat dimana impuls dapat lewat dari suatu neuron ke neuron lainya atau efektor. 4. Otak Merupakan jaringan yang paling banyak menggunakan energi, utamanya berasal
dari
proses
metabolisme.
Karena
aktivitas
otak
tidak
pernah
berhentidengan fungsinya sebagai pusat integrasi dan koordinasi organ-oran sensorik dan sistem efektor perifer tubuh, disamping berfungsi sebagai pengatur informasi yang masuk, simpanan pengalaman, impuls yang keluar, dan tingkah laku.
4
Jaringan Otak Jaringan gelatinosa otak dan medulla spinalis dilindungioleh tulang tengkorak dan tulang belakang, dan oleh tiga lapisan jaringan penyambung yaitu piameter, araknoid, dan durameter. Piameter langsung berhubungan dengan otak dan jaringan spinal, dan mengikuti kontur struktur ekstrnal otak an jaringan spinal. Piameter merupakan lapisan vaskuler yang memiliki pembuluh darah yang berjalan menuju struktur interna SSP untuk memberi nutrisi pada jaringan saraf. Araknoid merupakan suatu membran fibrosa yang tipis, halus dan tidak mengandung pembuluh darah, meliputi otak dan medulla spinalis. Daerah antara araknoid dan piamater disebut ruang subaraknoid, tempat arteri, vena serebral, trabekula raknoid, dan cairan serebrospinal yang membasahi SSP. Durameter merupakan suatu jaringan liat, tidak elastis, dan mirip kulit sapi yang terdiri atas dua lapisan. Impuls Saraf Komponen listrik dari transmisi saraf menangani transmisi impuls sepanjang neuron. Permeabilitas membran sel neuron terhadap ion natrium dan kalium bervariasi dan dipengaruhi oleh perubahan kimia serta listrik dalam neuron tersebut. Dalam keadaan istirahat, permeabilitas membran sel menciptakan kadar kalium intrasel yang tinggi dan kadar natriumintra sel yang rendah bakan pada kadar natrium ektrasel yang tinggi. Impuls listrik timbul oleh pemisahan muatan akibat perbedaan kadar ion intrasel dan ekstrasel yang dibatasi membran sel.
5
2.2 Definisi Status epileptikus (aktivitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan. Istilah ini telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinu yang berakhir sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran (Muttaqin, 2011). Status epileptikus atau status konvulsikus ialah keadaan konvulsi umum yang berlangsung terus-menerus atau timbul secara berturut-turut dengan interval yang sejenak saja (Sidharta, 2004). Status epileptikus menimbulkan kebutuhan metabolik besar dan dapat mempengaruhi pernapasan terdapat beberapa kejadian henti napas pada puncak setiap kejang yang menimbulkan kongesti vena dan hipoksia otak. Status Epileptikus menurut Mansjoer dkk (2000) adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Dalam praktek klinis lebih baik mendefisinikannya sebagai setiap aktivitas serangan kejang yang menetap selama lebih dari 10 menit. Status mengancam adalah serangan kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya kesadaran di antarserangan. Menurut Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan status epileptikus sebagai kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran diantaranya. Menurut International League Against Epilepsy mendefinisikan status epiletikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih (Nia Kania, 2007). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorangmengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih, harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
2.3 Epidemiologi Insidens Status Epileptikus di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu setiap tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000 untuk usia lanjut. Dua penelitian restropektif di Jerman mendapatkan insidens 17,1 per 100.000 per tahun. Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada penelitian Richmond berkisar 22%. Kematian pada anak hanya 3%, sedangkan pada dewasa 26%. Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas hingga 38%. 6
Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia onset kejang, dan etiologi. Pasien stroke dan anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan pasien dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah (Rilianto, 2015).
2.4 Etiologi Status epileptikus sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah. Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab status epileptikus tersering di negara maju, sedangkan di negara berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan saraf pusat. Penyebabnya epilepsi adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau fungsi sel neuron di otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau serangan epilepsi. Predisposisi yang mungkin menyebabkan epilepsi meliputi (Muttaqin, 2011). 1. Pascatrauma Kelahiran. 2. Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsan yang digunakan 3. 4.
sepanjang kehamilan. Asfiksia neonatorum. Riwayat ibu-ibu yang mempunyai risiko tinggi ( tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
1. 2.
hipertensi). Pascacedera kepala. Adanya riwayat keracunan ( karbon monoksida dan menunjukkan keracunan). Riwayat gangguan sirkulasi serebral. Riwayat demam tinggi. Riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi/gizi. Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alkohol. Riwayat adanya tumor otak, abses, dan kelainan bentuk bawaan. Riwayat keturunan epilepsi. Faktor yang menyebabkan terjadinya status epileptikus ( Dewanto dkk, 2009). Penghentian obat-obatan antikonvulsan secara tiba-tiba. Demam.
7
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kelainan serebrovaskular. Gangguan metabolik. Infeksi SSP. Gangguan iskemik-hipoksia (kasus tenggelam dan inhalasi asap). Tumor. Trauma. Idiopatik. Faktor resiko terjadnya epilepsi sangat beragam, diantaranya adalah infeksi
SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik. Pada penderita demam, faktor resiko terjadinya epilepsi adalah : a. Jika kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam pertama. b. Kejang demam kompleks c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung. 2.5 Klasifikasi Adapun Klasifikasi status epileptikus menurut ILAE 1981 (Nia Karnia, 2007) sebagai berikut : a. Serangan parsial (fokal) : serangan parsial sederhana (dengan gejala motorik, sensorik, otonom atau psikis), serangan parisal kompleks, serangan parsial dengan generalisasi sekunder. b. Serangan umum : absens (petil mal), tonik klonik (grand mal), tonik, atonik, mioklonik c. Serangan epilepsi tak terklasifikasikan Serangan parsial dimlai pada satu area fokal di korteks serebri, sedangkan umum dimulai secara simultan dikedua hemisfer. Sedangkan klasifikasi menurut Treiman sebagai berikut : a. Generalized convulsive SE Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized convulsive ini mengacu pada aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang. b. Subtle SE Terdiri dari aktivitas kejang pada otak ang bertahan saat tidak ada respons motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE seperti tipe NCSE (Non-convulsive Status Epileptikus). Subtle SE merupakan keadaan berbahaya, sulit diobati dan mempunyai prognosis yang buruk. c. Noncolvusive SE d. NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex partial SE. Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi dan prognosis;focal motor SE mempunyai prognosis lebih buruk. e. Simple partial SE
8
Secara definisi, simple partial SE ini terdiri kejang yang terlokalisasi pada area korteks serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan convulsive SE, simple partial SE tidak dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi 2.6 Patofisiologi (Pathway) Predisposisi yang memungkinkan gangguan pada sistem listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol (disritmia). Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi setelah suatu gangguan pada otak dan sebagian di tentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada mesensafolen, thalamus dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat epiletogenik sedangkan lesi pada serebellum dan batang otak biasanya tidak menimbulkan epilepsi ( Brunner, 2003 dalam Muttaqin, 2011). Predisposisi yang mungkin menyebabkan epilepsi meliputi (Muttaqin, 2011). 1. Pascatrauma Kelahiran. 2. Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsan yang digunakan sepanjang kehamilan. 3. Asfiksia neonatorum. 4. Riwayat ibu-ibu yang mempunyai risiko tinggi ( tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obatobatan, diabetes, atau hipertensi). 5. Pascacedera kepala. 6. Adanya riwayat keracunan ( karbon monoksida dan menunjukkan keracunan). 7. Riwayat gangguan sirkulasi serebral. 8. Riwayat demam tinggi. 9. Riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi/gizi. 10. Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alkohol. 11. Riwayat adanya tumor otak, abses, dan kelainan bentuk bawaan. 12. Riwayat keturunan epilepsi.
Faktor yang menyebabkan terjadinya status epileptikus ( Dewanto dkk, 2009). 1. Penghentian obatobatan antikonvulsan secara tiba-tiba. 2. Demam. 3. Kelainan serebrovaskular. 4. Gangguan metabolik. 5. Infeksi SSP. 6. Gangguan iskemikhipoksia (kasus tenggelam dan inhalasi asap). 7. Tumor. 8. Trauma. 9. Idiopatik.
Ganggaun pada sistem listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak Sel-sel memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontol ( disritmia) 9
Periode pelepasan impuls yang tidak diinginkan Hipoksia Otak Gangguan Pernapasan Aktivitas kejang umum lama akut, tanpa perbaikan kesadaran penuh di antara serangan RR meningkat, sesak Edema Status Epileptikus Keb. Metabolik Besar Ketidakefektifan Kerusakan otak pola nafas permanen Kejang Parsial
Kejang Umum
Peka Ransang
Respons pascakejang (Postikal)
Kejang Berulang Gerakan tidak terkontrol Resiko Cidera Penurunan Kesadaran
Respon fisik: 1. Konfusi dan sulit bangun 2. Keluhan sakit kepala atau sakit otot akut 3.Nyeri Kelemahan
Gangguan perilaku, alam perasaan, sensasi dan persepsi Respon Psikologis: 1. Ketakutan 2. Respon penolakan 3. Penurunan nafsu makan 4. Depresi 5. Menarik diri (stigma masyarakat tentang Ketakutan penyakit) Koping individu tidak efektif Ansietas
Intoleransi Suplai O2 ke otak Aktivitas menurun Dilakukan Risiko Tindakan Invasif ketidakefektifan perfusi jaringan otak Resiko Infeksi Isolasi Sosial 2.7 Manifestasi Klinis Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44-74%, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi. 1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus) Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
10
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani. 2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic
Status
Epileptikus) Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua. 3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus) Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjadi pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome. 4. Status Epileptikus Mioklonik Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif. 5. Status Epileptikus Absens Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. 6. Status Epileptikus Non Konvulsif Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Aktifitas motorik biasanya normal pada sebagian besar kasus, kadang ditemukan kekakuan (clumsiness), apraksia, jerking fokal, twiching pada otot wajah (kedip-kedip mata) mengunyah atau mengecap-ngecap makanan, gerakan automatisme dalam bentuk gerak yang nyata sangat jarang seperti flexi, ekstensi dari ekstermitas, deviasi kepala. 11
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoid, delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. 7. Status Epileptikus Parsial Sederhana a. Status Somatomotorik Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik). b. Status Somatosensorik Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian 8.
march. Status Epileptikus Parsial Kompleks Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus. 2.8 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Diagnostik a. Lumbal Punksi Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan ensefalitis maupun proses sistemik lain yang berdampak pada SSP. Sampai saat ini pemeriksaan LP tidak rutin dikerjakan pada SE, direkomendasikan hanya pada pasien SE yang memiliki manifestasi klinis infeksi SSP. b. Elektoensefalografi (EEG)
12
EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu otak. Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah penting oleh karena berkaitan dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama pada epilepsi. Pemeriksaan EEG telah direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada pasien dengan kejang epileptik, sedangkan pada SE, rekomendasi pemeriksaan EEG tergantung pada kecurigaan etiologinya dan masih menjadi perdebatan. c. Pencitraan American Academy Neurology (AAN) tahun 1996 merekomendasikan pemeriksaan pencitraan (neuroimaging) yang bersifat darurat apabila dicurigai terdapat suatu penyakit struktural yang serius pada SSP, khususnya apabila ditemukan deficit neurologis fokal dan perubahan kesadaran yang menetap. Pada pedoman tersebut tidak disebutkan indikasi dilakukannya pencitraan pada anak dengan SE. d. Pencitraan hanya dilakukan jika ada kecurigaan kelainan anatomis otak dan dikerjakan jika kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi. MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT-scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT-scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder. 2.9 Penatalaksanaan Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan epilepsi dilakukan secara individual untuk memenuhi kebutuhan khusus masing-masing klien dan tidak hanya mengatasi tetapi juga mencegah kejang. Penatalaksanaan berbeda satu kilen dengan klien lainnya karena beberapa bentuk epilepsy yang muncul akibat kerusakan otak dan bergantung pada perubahan kimia otak (Muttaqin, 2011). Farmakoterapi Beberapa obat antikonvulsan diberikan untuk mengontrol kejang, walaupun mekanisme kerja zat kimia dari obat-obatan tersebut tetap masih tidak diketahui. Tujuan dari pengobatan adalah mengontrol kejang dengan efek samping yang minimal. Obat diberikan sesuai tipe kejang yang akan diobati, keefektifan, serta keamanan medikasi. Dosis awal dan kecepatan dosis ditingkatkan bergantung
13
pada ada atau tidaknya efek samping yang terjadi. Kadar medikasi dipantau karena absorbsi obat bervariasi untuk setiap orang (Muttaqin, 2011). 1. Lima menit pertama a. Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu serangan berikutnya b. Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan napas, intubasi bila perlu bantuan ventilasi c. Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelainan d. Pasang jalur intravena dengan NaCl 0,9%, periksa gula darah, kimia darah, hematologi dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya). 2. Menit ke-6 hingga ke-9 Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50% bolus intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/ glukosa 25%) disertai 100 mg tiamin intravena. 3. Menit ke-10 hingga ke-20 Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5 mg/menit sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin. 4. Menit ke-20 hingga ke-60 Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan
View more...
Comments