Makalah Shale Gas Dan Oil
October 24, 2017 | Author: Reza Hendy Djoerkaeff | Category: N/A
Short Description
ini...
Description
MAKALAH ENERGI TERBARUKAN
Shale Oil & Gas
DISUSUN OLEH: MENTARI CAHYANINDITA
14/363227/TK/41407
M. RIO ZULMANSYAH
14/363241/TK/41418
NATASHA YEMIMA ELVARETI SIBARANI
14/363237/TK/41415
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2017
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejumlah sumber daya alam di Indonesia dikategorikan sebagai minyak dan gas bumi non konvensional. Sumber daya alam ini punya potensi memenuhi kebutuhan energi di masa depan. Selama ini publik lebih banyak mengenal migas konvensional dibanding migas non konvensional. Belum banyak yang tahu betul apa migas non konvensional itu. Bila dibandingkan, keduanya punya sejumlah perbedaan. Migas non konvensional punya ciri tingkat permeabilitasnya (kemampuan meloloskan partikel dengan menembusnya) rendah. Hal itu menyebabkan kegiatan eksploitasi migas non konvensional dilakukan dengan cara penambangan. Sementara, eksploitasi migas konvensional dilakukan dengan sumuran. Perbedaan lainnya, migas konvensional lebih mudah terlihat karena letaknya tidak terlalu dalam dari permukaan. Sedangkan migas non konvensional ada di lapisan yang lebih dalam. Seperti yang kita ketahui bahwa migas konvensional biasanya ditemui pada cekungan lapisan bumi pada kedalaman sekitar 800 meter atau lebih, sedangkan migas non konvensional letaknya lebih dalam lagi (terletak di bawah gas konvensional), karena migas non konvensional terperangkap pada celah-celah atau pori-pori batuan (shale formation) pada kedalaman 1500 m atau lebih. Cadangan migas non konvensional tersimpan di mana batuan induk berada. Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 05 Tahun 2012, migas non konvensional adalah minyak dan gas bumi yang diusahakan dari reservoir tempat terbentuknya minyak dan gas bumi dengan permeabilitas yang rendah (low permeability), antara lain shale oil, shale gas, tight sand gas, gas metana batubara (coal bed methane), dan methane-hydrate. Shale oil dan shale gas, keduanya merupakan minyak dan gas bumi yang diperoleh dari serpihan batuan induk yang sama dengan migas konvensional. Tingkat permeabilitasnya lebih rendah, sehingga keduanya tidak dapat diproduksi dengan cara yang sama dengan migas konvensional.
Gas metana batubara. Ini merupakan gas metana yang terperangkap dan terakumulasi di dalam pori-pori batubara selama masa pembatubaraan. Gas ini umumnya terperangkap di cleats, yaitu pori atau celah batubara. Semakin banyak cleats di dalam batubara, semakin baik permeabilitasnya dan semakin besar peluang kandungan gas metana. Methane-hydrate atau natural gas hydrate. Banyak keuntungan yang dapat diperoleh bila material berbentuk kristal es ini bisa dikembangkan. Sayangnya, tidak mudah mengembangkan methane-hydrate. Pengambilan methane-hydrate tidak bisa dilakukan dengan cara ditambang layaknya mengambil batubara, karena sumber ini berada di laut dalam. Methane-hydrate dapat diambil menggunakan sumur, seperti kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas konvensional. Tiga teknik yang bisa digunakan untuk mengambil methane-hydrate adalah depressurization, thermal injection, dan inhibitor injection. Sayang ketiganya sulit diterapkan karena membutuhkan dukungan energi yang sangat besar. Dari sisi ekonomi, penerapan teknik ini kurang menguntungkan.
1.2 Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui sumber dan potensi energi shale gas dan shale oil di Indonesia, proses dan teknologi konversi shale gas dan shale oil, serta perkembangannya di Indonesia.
BAB II ISI
A. Deskripsi tentang Shale Gas
Shale gas adalah gas yang diperoleh dari serpihan batuan shale atau tempat terbentuknya gas bumi. Shale merupakan batuan sedimen klastik berbutir halus yang tersusun atas campuran antara mineral lempung dan fragmen kecil dari mineral lain seperti kuarsa, dolomit, dan kalsit. Shale dikarakterisasi sebagai laminasi tipis yang sejajar dengan lapisan batuan. Gas ini pertama kali diekstraksi di Fredonia, pada tahun 1821. Namun produksi gas shale untuk industri baru dimulai pada tahun 1970-an. Ketika itu Amerika Serikat mulai mengalami penurunan cadangan gas konvensional, yang memaksa negara itu untuk melakukan riset dan pengembangan baru. Tetapi dari serangkaian uji coba, pengeboran shale gas pada era 1980 tersebut masih kurang ekonomis. Baru pada tahun 1988, Mitchell Energy menemukan teknologi slick-water fracturing yang ekonomis.
Terdapat dua macam teknik pengeboran untuk shale gas, yakni melalui pengeboran horisontal atau hydraulic fracturing. Teknik ini juga yang membedakan shale gas dengan gas alam konvensional. Letak sumber cadangan gasnya yang menjadi dasar teknik pengeboran yang digunakan. Sebagai sumber energi, shale gas juga mempunyai kelebihan dan kekurangan. Sebagai sumber energi, shale gas dianggap lebih bersih daripada batubara yang dianggap sebagai sumber energi paling kotor. Shale gas juga dianggap mampu menurunkan biaya produksi karena kemungkinan produksi shale gas akan memicu penurunan harga gas alam secara signifikan. Produksi shale gas yang besar juga akan membantu
meningkatkan
ketahanan
energi
dan
membantu
mengurangi
ketergantungan terhadap energi fosil yang mahal yaitu minyak bumi dan batubara. Namun di satu sisi shale gas juga memiliki kekurangan. Meski dianggap lebih bersih daripada batubara, shale gas masih memiliki emisi karbon yang signifikan bila dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya. Proses fracking untuk memperoleh shale gas juga masih dianggap sebagian pihak membahayakan lingkungan khususnya karena memerlukan air dengan jumlah yang besar serta penggunaan bahan-bahan kimia yang berpotensi mencemari lingkungan.
B. Deskripsi tentang Shale Oil Shale Oil adalah hydrocarbon yang berasal dari Oil Shale dimana Oil Shale ini adalah jenis batuan sedimen (biasanya mudstone atau siltstone) yang kaya kerogen. Oil shale seringkali disebut dengan batu yang bisa terbakar seperti halnya batu bara. Hydrocarbon yang terkandung di dalam oil shale ini berbentuk padat sehingga tidak bisa langsung diekstrak seperti halnya crude oil konvensional. Oil shale butuh ditambang, dipanaskan, dan hydrocarbon yang didapat harus diolah lagi agar menghasilkan shale oil. Shale oil merupakan bahan bakar fossil yang terbentuk dari sisa-sisa algae, spores, plants, pollen dan berbagai organisme lain yang hidup pada jutaan tahun lalu. Perbedaan mendasar antara Shale oil dan oil shale adalah pada pengertiannya. Shale oil mengacu pada hidrokarbon yang terperangkap dalam formasi yang tidak terlalu berpori (formasi batuan shale). Sedangkan oil shale mengacu pada batuan yang mengandung potongan kerogen padat, prekursor pembentuk minyak.
Sejarah mencatat bahwa pada abad ke 10 (lebih dari 1000 tahun lalu!) seorang Arab bernama Masawih Al Mardini adalah penemu pertama cara mendapatkan minyak dari batu shale. Tentulah teknologinya sangat sederhana sehingga secara ekonomi tidak layak diproduksi secara massal. Barulah pada tahun 1684, sebuah perusahaan Inggris - British Crown - mendapatkan patent teknologi memproduksi shale oil. Namun oleh karena gas alam dan minyak bumi dalam sumur-sumur dangkal yang bisa keluar sendiri dari perut bumi juga ada didapat didunia namun sedikit, maka minyak bumi hasil itu tetap bersaing dengan shlale oil produksi "rekayasa" itu. Dan itu terjadi sampai akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Industri shale oil baru betulbetul mati dan ditinggalkan pada awal abad ke 20, ketika ditemukannya sumbersumber minyak dan gas bumi dalam jumlah yang sangat besar diawal abad ke 20.
C. Potensi Shale Gas dan Shale Oil di Indonesia Cadangan shale gas di Indonesia lebih besar dibandingkan gas konevnsional. Seperti dikutip dari laman resmi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, hingga saat ini terdapat tujuh cekungan di Indonesia yang mengandung shale gas dan satu cekungan berbentuk klasafet formation atau sumber utama hidrokarbon. Cekungan terbanyak berada di Sumatera, yaitu berjumlah tiga cekungan, seperti Baong Shale, Telisa Shale, dan Gumai Shale. Sementara itu, di Pulau Jawa dan Kalimantan, shale gas masing-masing berada di dua cekungan. Selanjutnya, di Papua, berbentuk klasafet formation. Dari tujuh cekungan itu, potensi shale gas Indonesia sangat tinggi, diperkirakan mencapai 574 triliun kaki kubik atau TSCF. Lebih besar jika dibandingkan gas metana batubara (Coal Bed Methane) yang hanya 453,3 TSCF dan gas bumi 334,5 TSCF. Sedangkan hasil kajian EIA/ARI dalam laporannya tentang World Shale Gas and Shale Oil Resources Assessment pada tahun 2013 mengungkapkan bahwa potensi shale oil and gas di Indonesia utamanya terkandung dalam formasi endapan laut dan sebagian pada formasi batuan serpih non marine yang berupa coaly shale deposits. Potensi besar terdapat di Cekungan Sumatra Tengah, Cekungan Sumatra Selatan, Cekungan Kutai dan Cekungan Tarakan dengan endapan batuan serpih tebal yang umumnya merupakan endapan lakustrin. Cekungan–cekungan tersebut dan juga
merupakan cekungan-cekungan penghasil hidrokarbon konvensional yang cukup besar. Kajian EIA/ARI ini berhasil mengestimasi potensi shale gas sebesar 46 TcF dan potensi shale oil sebesar 7,9 milyar barel risked, yang secara teknis dapat diproduksi dan 303 TcF shale gas dan 234 milyar barel shale oil risked.
D. Teknologi Pengambilan Shale Gas dan Shale Oil 1. Shale Oil Proses Ekstraksi Konvensional Batuan shale ditambang, dihancurkan, dan dipanaskan ke temperatur tinggi (500 932 derajat Fahrenheit) sehingga kerogen akan terurai menjadi molekul yang lebih kecil. Kemudian, kerogen yang telah dipanaskan melalui proses distilasi bertingkat.
In-Situ Pyrolysis Pemanasan kerogen juga dapat dilakukan dari dalam permukaan bumi atau yang seringkali dikenal dengan nama in-situ pyrolysis. Kerogen oil shale ini harus dipanaskan dengan suhu antara 650 deg F dan 700 deg F. Selain itu, proses surface retorting juga dibutuhkan yaitu pemanasan dengan menggunakan rentang suhu antara 900 deg F sampai 950 deg F. Pyrolisis akan mempercepat proses yang terjadi secara alami untuk menghasilkan minyak dan gas. Selain itu, proses pyrolisis juga merupakan proses distilasi tingkat menengah, yakni memisahkan kerosene (minyak tanah) dan diesel fuel (minyak solar). Proses pengilangan lebih lanjut memungkinkan oil shale diubah ke hidrokarbon yang lebih ringan seperti gasoline (bensin). Pyrolisis merupakan reaksi dekomposisi thermal irreversible / searah dari material organik dengan temperatur tinggi dan adanya oksigen. Reaksi ini mencakup perubahan komposisi kimia dan fase fisika secara bersamaan. Proses konversi oil shale secara in-situ memakan waktu sekitar dua sampai enam tahun untuk memanaskan batuan. Tiga proyek utama dari konversi in-situ sekarang ini adalah: Shell's In-Situ Conversion Process, American Oil Shale, Total's in-situ rubbilizing approach, dan ExxonMobil's Electrofrac Process. Gambar di bawah ini adalah contoh gambar teknologi in-situ pyrolysis dari Shell:
\
Berikut adalah teknologi ExxonMobil's Electrofrac Process: Exxon menggunakan serangkaian manipulasi hydraulic fractures yang diciptakan di formasi oil shale. Sejumlah material elektrikal-konduktif seperti calcined petroleum coke diinjeksikan ke dalam fractures buatan di well. Bahan inilah yang menjadi elemen pemanas di dalam sumur. Sumur-sumur pemanas diletakkan secara paralel dengan sumur horizontal yang memotong well-well horizontal utama. Ini memungkinkan muatan elektrikal berlawanan dapat diaplikasikan di kedua ujung well.
Nilai Bakar Oil Shale Fisik oil shale adalah padat sempurna, dimana menyerupai batu bara. Kandungan mineral pada oil shale lebih tinggi dari kandungan ash (abu) dari batu bara. Oil shale dapat ditambang, dihancurkan, dan dibakar di pembangkit listrik seperti yang dilakukan di Estonia dan China. Nilai bakar bruto (Gross Heating Value) oil shale dalam basis kering bervariasi antara 500 sampai 4000 kilo kalori per kilogram batuan. Sebagai pembanding, nilai bakar bruto batu bara adalah sekitar 3500 sampai 4600 kilo kalori per kilogram batuan.
2. Shale Gas
Fracking adalah salah satu teknik yang dikembangkan untuk mendapatkan sisa-sisa minyak bumi yang terdapat pada sumur-sumur produksi, terutama pada sumur minyak tua. Metode ini cukup efektif untuk meningkatkan jumlah produksi sumur minyak maupun sumur gas. Tujuan utama penerapan fracking yaitu untuk memperoleh shale gas maupun oil shale. Fracking sering juga disebut hydro fracking, hydraulic fracturing, teknologi hidrolika patahan dapat diartikan sebagai proses ektraksi minyak maupun gas bumi dengan cara memberikan injeksi liquid yang bertekanan tinggi secara horisontal ke bawah lapisan batuan dimana gas dan minyak tersebut terjebak. Umumnya bahan yang digunakan untuk menginjeksi berupa air, pasir/butiran keramik khusus dan bahan kimia. Menurut Jesse Jenkins bahwa operasi fracking dilakukan dengan cara memompakan jutaan galon air, pasir dan bahan kimia (asam sitrat, benzena dan formaldehida) kedalam perut bumi. Semua material tersebut dipompakan melalui lubang sumur yang telah dibor horizontal kedalam formasi shale rock dengan menggunakan tekanan hingga 15.000 pon per inci persegi. Liquid yang diinjeksikan akan menyebabkan ekstraksi di dalam sumur dan akan melepaskan gas dan minyak dari celah/pori batuan sehingga minyak dan gas tersebut dapat diproduksi atau diangkut ke atas permukan.
E. Perkembangan Shale Gas dan Shale Oil di Indonesia Indonesia diperkirakan memiliki potensi 1000-2000 tcf shale gas, hal ini tentunya akan berdampak positif jika Indonesia dapat mengelola dengan baik dan mengutamakan kepentingan nasional sesuai amanat UUD 1945. Ancaman krisis energi akibat ketergantungan terhadap bahan bakar impor juga akan dapat diatasi. Indonesia tengah mengembangkan gas unconventional selain gas metana batu bara (CBM) yaitu shale gas. Potensi shale gas Indonesia diperkirakan sekitar 574 TSCF (trillion standard cubic feet). Lebih besar jika dibandingkan CBM yang sekitar 453,3 TSCF dan gas bumi 334,5 TSCF. Potensi shale gas di Indonesia tersebut termasuk besar. Shale gas yang diperoleh dengan cara merekahkan batuan induk, bisa dikembangkan lantaran kemajuan teknologi.
Menurut data Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan shale gas Indonesia diperkirakan sebesar 574 trillion cubic feet (TCF) yang tersebar di pulau Sumatera (233 TCF), Jawa (48 TCF), Kalimantan (194 TCF) dan Papua (90 TCF). Hingga saat ini, pemerintah telah menerima pengajuan permintaan joint study untuk shale gas lebih dari 10 investor. Dalam melakukan joint study tersebut, investor akan bekerja sama dengan 5 perguruan tinggi yang telah ditunjuk pemerintah yaitu ITB, UGM, UPN, Universitas Trisakti dan Universitas Padjajaran.
Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan pemerintah, hingga saat ini terdapat 7 cekungan di Indonesia yang mengandung shale gas dan 1 berbentuk klasafet formation. Cekungan terbanyak berada di Sumatera yaitu berjumlah 3 cekungan, seperti Baong Shale, Telisa Shale dan Gumai Shale. Sedangkan di Pulau Jawa dan Kalimantan, shale gas masing-masing berada di 2 cekungan. Di Papua, berbentuk klasafet formation. Sedangkan hasil kajian EIA/ARI dalam laporannya tentang World Shale Gas and Shale Oil Resources Assessment pada tahun 2013 mengungkapkan bahwa potensi shale oil and gas di Indonesia utamanya terkandung dalam formasi endapan laut dan sebagian pada formasi batuan serpih non marine yang berupa coaly shale deposits. Potensi besar terdapat di Cekungan Sumatra Tengah, Cekungan Sumatra Selatan, Cekungan Kutai dan Cekungan Tarakan dengan endapan batuan serpih tebal yang umumnya merupakan endapan lakustrin. Cekungan–cekungan tersebut dan juga merupakan cekungan-cekungan penghasil hidrokarbon konvensional yang cukup besar. Kajian EIA/ARI ini berhasil mengestimasi potensi shale gas sebesar 46 TcF dan potensi shale oil sebesar 7,9 milyar barel risked, yang secara teknis dapat diproduksi; dan 303 TcF shale gas dan 234 milyar barel shale oil risked.
Stratigrafi dan korelasi batuan induk beberapa cekungan migas utama di Indonesia. Sumber: EIA/ARI World Shale Gas and Shale Oil Resource Assessment, 2013. Namun disatu sisi, shale gas telah memicu penurunan harga sumber energi lainnya seperti batubara. Sebagai negara produsen dan pengekspor batubara tentunya hal ini bukan kabar yang menyenangkan karena akan mengancam sektor usaha pertambangan batubara dan penurunan pajak dan devisa dari ekspor batubara. Selain itu ekspor LNG Indonesia khususnya ke Amerika dan beberapa negara lain juga akan berkurang. Selain penurunan pajak dan devisa, turunnya ekspor kedua komoditi energi ini juga akan berdampak pada sektor transportasi LNG dan batubara. Kelebihan menggunakan energi shale gas :
Lebih bersih dibandingkan dengan batubara yang dianggap sebagai sumber energi paling kotor.
Jumlahnya juga melimpah dan bisa didapatkan dari produksi shale gas dalam maupun luar negeri Keberadaan dari penggunaan shale gas juga memungkinkan menghemat biaya energi yang ada kemudian juga lebih efisien Meningkatkan ketahanan energi dan membantu mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang mahal Membentuk lapangan pekerjaan baru Kekurangan dari energi shale gas :
Emisi karbon yang signifikan bila dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya Ancaman tercemarnya aquifer air Berpotensi mencemari lingkungan Biaya ekstraksi oil and gas shale ini cukup mahal
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan mengenai energi shale gas dan shale oil sebagai sumber energi baru adalah sebagai berikut : 1.
Shale gas adalah gas yang diperoleh dari serpihan batuan shale atau tempat terbentuknya gas bumi
2.
Shale Oil adalah hydrocarbon yang berasal dari Oil Shale dimana Oil Shale ini adalah jenis batuan sedimen (biasanya mudstone atau siltstone) yang kaya kerogen
3.
Teknologi pengambilan shale oil dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu, proses ektraksi konvensional dan In-Sytu Pyrolysis. Sedangkan untuk pengambilan shale gas dilakukan dengan proses fracking.
4.
Potensi energi shale gas dan shale oil di Indonesia cukup besar
5.
Di Indonesia pengembangan sumber energi ini masih berada di tahap riset.
BAB IV DAFTAR PUSTAKA https://pii.or.id/potensi-shale-gas-sebagai-pengganti-gas-konvensional sepetember 2017 pukul 19:48 WIB.
diakses
http://www.emaritim.com/2015/03/negara-negara-penghasil-minyak-bumi.html tanggal 6 sepetember 2017 pukul 19:50 WIB.
tanggal
6
diakses
http://www.insinyoer.com/apa-itu-shale-oil/ diakses tanggal 6 sepetember 2017 pukul 19:49 WIB. http://www.kompasiana.com/zainal.ilyas/shale-oil-membuat-harga-minyak-mahal-sudahtinggal-sejarah_568e1895b17e61120783ddad diakses tanggal 6 sepetember 2017 pukul 20:07 WIB. http://geomagz.geologi.esdm.go.id/migas-nonkonvensional-dan-prospek-pengembangannya/ diakses tanggal 6 sepetember 2017 pukul 21:50 WIB. http://biz.kompas.com/read/2015/12/08/171800928/Mengenal.Migas.Non.Konvensional.Sum ber.Energi.Masa.Depan diakses tanggal 30 sepetember 2017 pukul 08:31 WIB. http://remodonline.blogspot.nl/2017/01/apa-itu-shale-gas.html diakses tanggal 30 sepetember 2017 pukul 09:33 WIB. http://www.investopedia.com/articles/investing/080715/difference-between-shale-oil-and-oilshale.asp diakses tanggal 30 sepetember 2017 pukul 10:00 WIB. Mundakir, Ali. 2013. “Energia : Berburu Migas Non Konvensional”. Corporate Communication Sekertaris Perseroan PT PERTAMINA (PERSERO).
View more...
Comments