Makalah Radiologi Rds

October 7, 2017 | Author: Fahrizal Akbar Herbhakti | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Makalah Radiologi Rds...

Description

1

BAB 1 PENDAHULUAN Respiratory Distress Syndrome

(RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease

(HMD), merupakan sindrom gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang.(1) Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. (2) Penyakit Membran Hyalin disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1, ditandai adanya kesukaran bernafas (dyspnea), frekuensi nafas meningkat (tachypnea), (pernafasan cuping hidung, grunting, penurunan compliance paru, retraksi dada, dan sianosis yang menetap atau menjadi progresif setelah pemberian oksigen dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan yang disertai adanya gambaran infiltrat alvolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. (3) Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau komplikasinya. (3) Respiratory Distress Syndrome ( RDS) merupakan penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram. Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen(4). Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus.(5) HMD pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur. (3) Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih. Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. Insidensinya berkurang pada pemberian steroid / thyrotropin releasing hormon pada ibu. (3) Di Amerika Serikat, RDS diperkirakan terjadi pada 20.000-30.000 bayi baru lahir tiap tahunnya dan merupakan komplikasi dari 1% kehamilan. Kira-kira 50% kelahiran neonatus

2

yang lahir pada usia kehamilan 26-28 minggu mengalami RDS, dan kurang dari 30 % neonatus prematur usia kehamilan 30-31 minggu mengalami keadaan ini. (6) Pada satu laporan, angka kejadian RDS sekitar 42% pada infant 501-1500g, dengan 71% dilaporkan pada berat badan 501-750 gram, 54% yang berat badan 751-1000g, 36% yang berat badannya 1001-1250g, dan 22% pada 1251-1500g. RDS lebih jarang ditemukan di Negara berkembang dibanding lainnya, terutama karena kebanyakan infant premature yang kecil untuk masa kehamilan mengalami stress di dalam rahim karena diinduksi oleh hipertensi. Tambahan, juga dikarenakan pada wilayah ini kebanyakan persalinan dilakukan didalam rumah, sehingga pencatatatannya buruk. (6) Gagal nafas dapat didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema sering didapatkan pada hari ke-2, disebabkan oleh retensi cairan dan kebocoran kapiler. Diagnosa dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen. Pada pemeriksaan radiologis ditemukan pola retikulogranuler yang uniform, gambaran ground glass appearance dan air bronchogram. Namun gambaran ini bukan patognomonik RDS. (3) Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan, yaitu natural surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas protein, dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif. Adanya perkembangan di bidang genetik dan biokimia, maka dikembangkan secara aktif surfaktan sintetik. (2)

3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Definisi Respiratory Distress Syndrome Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak

napas berat (dyspnea), frekuensi napas meningkat (tachypnea), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi.Sedangkan menurut Murray et.al (1988) disebut RDS bila ditemukan adanya kerusakan paru secara langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang atau kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ non pulmoner. Definisi menurut Bernard et.al (1994) bila onset akut, ada infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal ≤ 18mmHg dan tidak ada bukti secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 200, menyokong suatu RDS . (2) 2.2

Faktor Risiko Respiratory Distress Syndrome Faktor risiko terjadinya Respiratory Distress Syndrome : 1. Bayi kurang bulan (BKB). RDS didapatkan pada 10% bayi kurang bulan, paru bayi secara biokimiawi masih imatur dengan kekurangan surfaktan yang melapisi alveoli. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat. 2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal, aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi,dan hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah keluar dari paru. 3. Bayi dari ibu diabetes mellitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetes terjadi keterlambatn pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi 4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar,berapa pun usia gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru (Transient Tachypnea of Newborn).

4

5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini dapat terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis. 6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium, mungkin mengalami aspirasi mekonium. 7. Hal-hal yang menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya infeksi kongenital kronik. (6) 2.3

Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome Faktor2 yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh

alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. (2) Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang tidak efisien karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial terjadi sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke rongga alveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat respirasi belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah. (2) Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema interstitial mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi prematur yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung mengalami atelektasis. (2) Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paruparu menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting

intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang

menyebabkan asidosis respiratorik.(2)

5

Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi yang

kecil

dan

berkurangnya compliance dinding

dada,

menimbulkan

atelektasis,

menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang menimbulkan

hipoksia.

Berkurangnya compliance paru,

tidal

volume

yang

kecil,

bertambahnya ruang mati fisiologis, bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia. Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli. (7) Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun. Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus memperburuk hipoksemia. (4) Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan. (6) Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru merupakan karakteristik HMD. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang. (5) 2.4

Manifestasi Klinik Respiratory Distress Syndrome Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel

dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. (2) Tanda dari HMD biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60 x / menit). Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain.

6

Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang berat Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan subcostal, dan pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dyspnea. (3) Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya penyakit. Apnea dan pernafasan iregular mucul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera. (3) Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 – 33 minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26 – 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik. (3) Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax, perdarahan paru atau intraventrikular. (3) Kematian

dapat

terjadi

setelah

beberapa

minggu

atau

bulan

bila

terjadibronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (HMD berat). (3) 2.5

Diagnosis Respiratory Distress Syndrome

Gejala klinis Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya takipneu (>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif setelah 48-72 jam pertama kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki halus inspiratoir.

7

Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR score (derajat asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai Silverman score > 7 berarti ada distress nafas, namun ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2 selama > 24 jam.(3) Pemeriksaan Radiologis Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus dari parenkim dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena superimposisi dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal, gambaran yang tipikal muncul dalam 6-12 hari. (2) Laboratorium Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia progresif, hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi. (4) Echocardiografi Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan struktural jantung. (3) Tes Kocok (Shake test) Dari aspirat lambung dapat dilakukan tes kocok. Aspirat lambung diambil melalui nasogastrik tube pada neonatus banyak 0,5 ml. Lalu tambahkan 0,5 ml alkohol 96 %, dicampur di dalam tabung 4 ml, kemudian dikocok selama 15 detik dan didiamkan selama 15 menit. Pembacaan : 

Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 % resiko terjadi HMD



+1 : gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko terjadi HMD



+2 : gelembung satu derat, > 1/3 permukaan tabung



+3 : gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa gelembung pada dua deret



+4 : gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh permukaan neonatus matur.(2)

8

Amniosentesis Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya HMD, antara lain mengukur konsentrasi lesitin dari cairan amnion dengan melakukan amniosentesis (pemeriksaan antenatal). (6) Tes apung paru Tes apung paru-paru (docimacia pulmonum hydrostatica), dikerjakan untuk mengetahui apakah bayi yang diperiksa pernah hidup. Untuk melakukan test ini syaratnya mayat harus segar. (5) 2.6

Tatalaksana Respiratory Distress Syndrome Terapi respiratory distress syndrome ditujukan untuk mencegah komplikasi dan

memburuknya keadaan yang terjadi akibat penyakit paru-paru pada neonatus, seperti hipoksemia dan asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung. Bayi baru lahir yang mengalami gangguan nafas berat harus dirawat di ruang rawat intensif untuk neonatus (NICU), bila tidak tersedia bayi harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas NICU.14Sebelum dirujuk atau dipindahkan ke NICU, penatalaksanaan yang tepat sejak awal sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan perawatan. (6) 2.7

Komplikasi Respiratory Distress Syndrome Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :

1. Ruptur

alveoli

:

Bila

dicurigai

terjadi

kebocoran

udara

(

pneumothorak,

pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap. 2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat2 respirasi. 3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.

9

4

PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.

Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi : 1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi. 2. Retinopathy prematur Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi. (8) 2.8

Pemeriksaan Radiologis pada Neonatus Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan diutamakan pada neonatus adalah

foto rontgen toraks. Foto X-Ray Toraks terutama berperan penting dalam membantu menentukan diagnosis awal dan perkembangan penyakit selanjutnya. Terkadang ditemukan kesulitan dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan radiologis pada neonatus. Hal ini terjadi karena banyaknya kelainan yang tidak spesifik dan saling overlapping. Hal ini memudahkan terjadinya kesalahan dalam diagnosis secara radiologis. Untuk itu perlu selalu ditekankan melihat kembali kondisi klinis pasien. Jenis pemeriksaan radiologi meliputi pemeriksaan konvensional sederhana sampai canggih. Pemeriksaan tersebut antara lain foto thorax supine / lateral decubitus, USG, CT-scan dan yang paling canggih adalah MRI. Akan tetapi Modalitas radiologi yang dipilih harus tepat sesuai kasus. Foto thoraks merupakan pemeriksaan yang paling sering dilakukan. Pada neonatus foto toraks dilakukan dengan mengambil proyeksi Anteroposterior (AP) dengan posisi pasien supine atau lateral supine/horizontal beam. Sedangkan posisi PA dan lateral tegak sulit dilakukan pada neonatus. Perlu diingat bahwa selama pemeriksaan foto toraks pada

10

bayi baru lahir, bayi harus selalu ditempatkan dalam inkubator untuk mencegah terjadinya hipotermia. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan selama proses pemeriksaan radiologis pada bayi baru lahir antara lain : 

Proteksi radiasi

: perlindungan terhadap organ gonad dan luas lapangan

pemotretan. 

Pencegahan terhadap hipotermi : bayi tetap diletakkan dalam inkubator atau dilakukan foto toraks menggunakan mobile X-ray di ruang neonatus, sehingga bayi tidak perlu dipindahkan dari infant warmer.



Oksigenasi untuk mencegah hipoksia.



Immobilisasi agar posisi foto simetris dan hindarkan kepala bayi menengok.

Foto toraks pada neonatus secara normal akan memberikan gambaran sebagai berikut : 

Bentuk toraks silindris.



Costae lebih horizontal.



Level diafragma kanan setinggi costae 7-9 posterior.



Cardio-thoracic ratio (CTR) bisa sampai 65%.



Ukuran thymus bervariasi, biasanya berbentuk segitiga, dan bila tidak ada pembesaran tidak akan menimbulkan kompresi/pergeseran organ-organ mediastinum.



Artefak : bisa menimbulkan misinterpretasi. Contoh : lipatan kulit sering salah diartikan sebagai pneumotoraks.



Evaluasi tube line.

Sedangkan gambaran pola radiologis yang sering muncul pada bayi baru lahir dengan gangguan nafas adalah sebagai berikut : 

Normal



Granuler



Streaky atau wet lung

11

2.9



Patchy infiltrate



Focal (9)

Gambaran Radiologis Respiratory Distress Syndrome Hal penting yang harus ditemukan pada foto toraks RDS yaitu : 

Gambaran granuler homogen yang difus



Ground glass appearance



Air bronchogram abnormal



hipoaerasi(9)

Gambaran rontgen HMD dapat dibagi jadi 4 tingkat : 

Stage I : Gambaran reticulogranular

Gambar 1. RDS Stage I : Reticulogranuler pattern(3)



Stage II : Stage I disertai air bronchogram di luar bayangan jantung/meluas ke perifer

12

Gambar 2. RDS Stage II : air bronchogram abnormal(3) 

Stage III : Stage II disertai kesukaran menentukan batas jantung.

Gambar 3. RDS Stage III : Batas jantung sulit ditentukan(3) 

Stage IV : Stage III disertai kesukaran menentukan batas diafragma dan thymus. Gambaran white lung.

Gambar 4. RDS stage IV : white lung(3)

13

2.10

Diagnosis Banding Respiratory Distress Syndrome

1. Neonatal Pneumonia Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan dengan HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat identik dengan HMD, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus buffy coat. Tes urin untuk antigen streptococcus positif, serta adanya netropenia. (3) Gambaran radiologis yang sering muncul pada kasus neonatal pneumonia antara lain : 

Normal



Infiltrat multipel (lobar, segmental, bercak)



Densitas “streaky”



Infiltrat ground glass diffuse + air bronchogram



Pneumatokel dapat muncul pada infeksi staphylococcus(9)

Gambar 5. Gambaran Pneumatokel pada bayi prematur dengan Pneumonia akibat infeksi Pseudomonas dan sepsis Staphylococcus(9)

2. Transient Tachypnea of Newborn (TTN) Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala klinisnya pendek dan ringan.

Hiperaerasi

adalah

ciri

khas

TTN

(kebalikan

dari

RDS



hipoaerasi). Densitas retikulogranular bilateral akan hilang bilang diberi ventilasi, sementara pada RDS gambaran opak menetap minimal 3 – 4 hari. (3)

14

Gambar 6. Gambaran foto toraks pada pasien TTN. 6 jam setelah lahir masih tampak overaerasi dan streaky dan opasitas interstitial paru bilateral. Dua hari kemudian abnormalitas parenkim paru berkurang akan tetapi opasitas perihiler yang streaky masih tampak. (9) Gambaran radiologis yang muncul pada kasus TTN adalah : 

Prominent pulmonary interstitial marking



Cairan pada fissura interlobaris & cavum pleura



Inflasi paru normal/ hiperaerasi



Jika parah  gambaran edema pulmonum



Penyembuhan dimulai dari perifer ke sentral



Gambaran paru kembali normal dalam 48 – 72 jam(9)

3. Sindroma Aspirasi Mekoneal Terlihat adanya air trapping, gambaran opak noduler kasar difus, serta area emfisema fokal. Berbeda dengan gambaran opak granuler halus pada RDS. Paru-paru biasanya hiperaerasi. (3)

Gambar 7. Sindroma Aspirasi Mekoneal(9)

15

BAB III PEMBAHASAN Penyebab distres pernafasan pada periode neonatal bisa dibagi menjadi abnormalitas primer yang mempergaruhi ventilasi, sirkulasi dan pengembangan thoraks. Kondisi dari paru dan sistem kardiovaskular selalu jadi pertimbangan utama tetapi abnormalitas dari sistem trakeobronkial, dinding dada, diafragma dan variasi dari penyakit neuromuskular harus juga diingat sebagai diagnosis banding. X-ray thoraks merupakan modalitas imejing yang paling utama dalam mendiagnosis gangguan pernafasan pada neonatus meskipun teknologi ultrasound juga bermanfaat dalam mendeteksi adanya cairan dalam rongga pleura maupun dugaan adanya massa yang menginvasi dinding dada maupun diafragma. Modalitas lain seperti Computed Tomography (CT), Magnetic Resonance Imaging (MRI), bronkografi, kedokteran nuklir, maupun angiografi bisa saja kurang tersedia. (8) Chest X-Ray masih merupakan modalitas imejing paling utama pada assesment bayi baru lahir dengan distress pernafasan. Sementara banyak temuan radiologis yang secara relatif kurang spesifik, integrasi dari temuan klinis dan gambaran pada X-ray akan membantu para klinisi sampai pada diagnosis yang tepat. Pada sebagian kecil bayi baru lahir, terutama dengan malformasi kongenital dari saluran nafas, modalitas imejing yang lain mungkin diperlukan. (10) Penyebab gangguan nafas pada neonatus dapat dibagi menjadi 2 yaitu penyebab intrathorakal dan ekstrathorakal. Penyebab ekstrathorakal antara lain kelainan sistem saraf pusat dan kelainan metabolik. Sementara penyebab intrathorakal yaitu defisiensi surfaktan paru, pneumonia neonatal, sindroma aspirasi mekoneum dan hernia diafragmatika. (9) Beberapa kasus distres nafas pada bayi baru lahir dapat memberikan gejala klinis seperti takipnea, merintih/grunting, nafas cuping hidung, retraksi substernal dan intercostal, sianosis dan hipoksia. Akan tetapi gejala-gejala ini kurang spesifik untuk penyebab tertentu dari distress nafas pada neonatus. Oleh karena itu foto Rontgen thoraks terutama berperan penting dalam membantu menentukan diagnosis awal dan perkembangan penyakit selanjutnya. (9) Terkadang ditemukan kesulitan dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan radiologis pada neonatus. Hal ini terjadi karena banyaknya kelainan yang tidak spesifik dan saling overlapping. Hal ini memudahkan terjadinya kesalahan dalam diagnosis secara radiologis. Untuk itu perlu selalu ditekankan melihat kembali kondisi klinis pasien. (10)

16

Idiophatic respiratory distress syndrome (IRDS) atau Hyaline membrane disease (HMD) merupakan penyebab utama dari distress nafas neonatus meskipun insidensi dan beratnya gejala telah dapat dikurangi dengan pemberian rutin kortikosteroid pada ibu hamil yang berisiko terjadi partus prematur. Kelainan muncul dari defisiensi surfaktan yang menyebabkan atelektasis alveoli, dilatasi bronkiolus terminalis dan menurunnya pertukaran gas di alveoli. Bayi dengan IRDS mengalami pernafasan yang merintih dan disertai dengan retraksi substernal dan interkostal yang akan terlihat segera setelah lahir atau dalam 4-6 jam post partus. Kondisi ini sering terjadi terutama secara primer pada bayi yang lahir dengan usia gestasi < 32 minggu. Akan tetapi IRDS juga dapat terjadi pada bayi aterm yang lahir dengan faktor risiko seperti lahir per abdominam, ibu dengan diabetes mellitus gestational, maupun komplikasi asfiksia perinatal akibat proses persalinan invasif. (10) Gambaran radiologis pada kasus IRDS tergantung dari beratnya gejala dengan tanda utama yaitu inflasi paru yang jelek. Radiografi thorak pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau gambaran ground-glass bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru yang jelek. Pada kasus yang ringan paru-paru menunjukkan gambaran homogen/fine ground glass appearance (stage 1) akan tetapi pada kasus yang lebih berat dapat timbul air bronchogram yang meluas menunjukkan bronkioli yang terisi udara didepan alveoli yang kolap

(stage 2) diikuti berkembangnya bayangan alveolus yang konfluen

sehingga batas jantung sulit ditentukan (stage 3), yang selanjutnya gambaran paru akan menjadi putih semua sehingga jantung tidak terlihat (stage 4/ white lung). (3) Bayangan jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh asfiksi prenatal, diabetes maternal, patent ductus arteriosus (PDA), kemungkinan kelainan jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi mekanik yang adekuat.(3) Gambaran radiologis bisa dimodifikasi dengan derajat support ventilasi, fase respirasi saat dilakukan radiografi, dan beberapa intervensi terapeutik. Sementara IRDS secara klasikal menunjukkan gambaran distribusi bayangan paru yang simetris dan homogen, pemberian surfaktan paru eksogen via intubasi endotrakheal dapat memberikan peningkatan gambaran patchy dan pola heterogen yang lebih mengarahkan pada infeksi paru daripada IRDS. Beberapa komplikasi dapat timbul seperti kebocoran udara paru, perdarahan pulmoner yang terjadi bersamaan komplikasi non-respiratorik seperti perdarahan intrakranial dan ensefalopati hipoksik-iskemik. (10)

17

BAB IV KESIMPULAN Respiratory Distress Syndrome (penyakit membran hialin) merupakan penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Hal ini disebabkan adanya defisiensi surfaktan yang menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS. Chest X-Ray masih merupakan modalitas imejing paling utama pada assesment bayi baru lahir dengan distress pernafasan. Sementara banyak temuan radiologis yang secara relatif kurang spesifik, integrasi dari temuan klinis dan gambaran pada X-ray akan membantu para klinisi sampai pada diagnosis yang tepat. (9) Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir beresiko tinggi dengan segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat HMD dan penyakit neonatus akut lainnya. Hasil yang baik bergantung pada kemampuan dan pengalaman personel yang menangani, unit rumah sakit yang dibentuk khusus, peralatan yang memadai, dan kurangnya kmplikasi seperti asfiksia fetus atau bayi yang berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital. Terapi surfaktan telah mengurangi mortalitas 40 %. Mortalitas dari bayi dengan berat lahir rendah yang dirujuk ke ICU menurun dengan pasti, 75 % dari bayi dengan berat 2.500 gr bertahan. Meski 85 – 90 % bayi yang selamat setelah medapat bantuan respirasi dengan ventilator adalah normal, penampakan luar lebih baik pada yang berta badannya > 1.500 gr, sekitar 80 % dari yang beratnya Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan, yaitu natural surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas protein, dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif. Adanya perkembangan di bidang genetik dan biokimia, maka dikembangkan secara aktif surfaktan sintetik. (2) Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada neonatus dengan RDS dan merupakan campuran antara fosfolipid, lipid netral, dan protein yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan pada air-tissue interface . Semua surfaktan derivat binatang mengalami berbagai proses untuk mengeluarkan SP-A dan SP-D, menurunkan SP-B dan SP-C, dan merubah fosfolipid sehingga berbeda dengan surfaktan binatang.(2) Hasil dari studi meta analisis dengan

Randomised Control Trial

(Soll,2003) menunjukkan bahwa hampir 40%

18

menurunkan angka kematian dan 30-70% menurunkan insiden pneumothorax pada RDS , akan tetapi surfaktan yang diberikan pada komplikasi prematur ( chronic lung disease , patent ductus arteriosus , retinopathy premature ) memberikan efek yang tidak memuaskan. (11) Berdasarkan penelitian,surfaktan merupakan terapi yang penting dalam menurunkan angka kematian dan angka kesakitan bayi prematur. Disebut terapi profilaksis bila surfaktan diberikan pada waktu pertolongan pertama pada bayi prematur yang baru lahir melalui endotrakheal tube. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat tentang waktu pemberian surfaktan, apakah segera setelah lahir (pada bayi prematur) atau setelah ada gejala Respiratory Distress Syndrome. Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian profilaksis berhubungan dengan epithel paru pada bayi prematur akan mengalami kerusakan dalam beberapa menit setelah pemberian ventilasi.

19

DAFTAR PUSTAKA 1. Pusponegoro TS. Penggunaan Surfaktan pada Sindrom Gawat Nafas Neonatal. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak no 27, Nopember 1997; 89-96 1 2. Nur A., Etika R., Damanik SM., Indarso F., Harianto A. Pemberian Surfaktan pada Bayi Prematur Dengan Respiratory Distress Syndrome.Buletin Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak

FK

Unair,

2006,

Diunduh

April.

dari

:

http://old.pediatrik.com/isi03.php?page=kategori&hkategori=Buletin [diakses pada 21 Juli

2013] 3. Wicaksono

E.N.

2013.

Penyakit

Membran

Hyalin.

Diunduh

dari

:

http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/02/27/penyakit-membran-hyalin/ [diakses

pada 21 Juli 2013] 4. Malloy, JL, Veldhuizen RA, McCormack FX, Korfhagen TR, Whitsett JA, and Lewis JF. Pulmonary surfactant and inflammation in septic adult mice: role of surfactant protein A. J Appl Physiol 2002;92:809-16. 5. Gomella TL, Cunningham.MD, Eyal.FG, Eds. Hyaline Membran Disease

(Respiratory

Distress Syndrome) .Dalam Neonatology-Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs; Edisi 5. McGraw-Hill.Co,2004;539-43. 6. Warman FI., Satrio WS., Romadhon M. 2013. Respiratory Distress Syndrome. Diunduh dari : http://id.scribd.com/doc/97547993/Respiratory-Distress-Syndrome [diakses pada 21

Juli 2013] 7. Pramanik.A.MD.

2002.

Respiratory

Distress

Syndrome.

Diunduh

dari

:http://www.emedicine.com/topic [diakses pada 21 Juli 2013] 8. Tobing R. Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas Neonatus. Sari Pediatri, 2004, Juni; 6(1): 40-46. 9. Mardiana WF. 2010. Peran Radiologi Dalam Gangguan Nafas Pada Neonatus. Diunduh dari : http://id.scribd.com/doc/97547993/Peran Radiologi Dalam Gangguan Nafas Pada Neonatus [diakses pada 21 Juli 2013] 10. Arthur R. The Neonatal Chest X-Ray. Paediatric Respiratory Reviews. 2001; Vol.2 (Series : Imaging) : 311-323. Diunduh dari : http://www.idealibrary.com [diakses pada 21

Juli 2013] 11. Wright Jo. 2003. Pulmonary surfactant: a front line of lung host defense. Diunduh dari : http://www.pediatrics.com/ [diakses pada 21 Juli 2013]

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF