MAKALAH PATOLOGI ANATOMI

June 29, 2016 | Author: Chandra | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

PA...

Description

MAKALAH PATOLOGI ANATOMI KELAINAN KORPUS UTERI MODUL REPRODUKSI

KELOMPOK DISKUSI 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Ferdiansyah Dina Fitri Wijayanti Furqan Rachman Dodi Novriady Ivo Afiani Siska Adela Brillian Dwi Lestiana Putri Woris Christoper Anatria Amyrra Iqlima Ridhallah Reni Marsilia

I11108079 I11112007 I11112010 I11112014 I11112017 I11112019 I11112020 I11112034 I11112056 I11112078 I11112079 I11112080

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2014 ENDOMETRITIS Oleh: Dina Fitri Wijayanti / I11112007 A. Definisi

Endometritis adalah infeksi dari endometrium uterus yang dikelompokkan dibawah klasifikasi umum PID (Pelvic Inflammatory Disease), bersama dengan salpingitis, abses tuba-ovariaum dan pelvic peritonitis. Endometritis digunakan untuk menunjukkan infeksi ascending dalam uterus.1 B. Etiologi Infeksi berkaitan dengan kejadian endometritis post partum maupun endometrium tidak terkait kehamilan. Endometritis post partum merupakan infeksi polimikroba yang biasanya melibatkan dua atau tiga organisme berbeda yang dihasilkan dari naiknya flora normal vagina atau flora normal gastrointestinal dari saluran genitalia bawah ke dalam cavum uteri selama kelahiran.2,3 Terdapat beberapa bakteri yang dapat menyebabkan infeksi yang menghasilkan endometritis (Tabel 1). Pathogen yang berkaitan dengan Bacterial Vaginosis (BV) juga ditemukan menjadi agen penyebab terjadinya endometritis dimana banyak wanita yang mengalami PID juga mengalami BV positif.4,5

Tabel 1. Patogen yang terdeteksi pada kasus endometritis

C. Manifestasi Klinis Endometritis memiliki gejala berupa keputihan atau perdarahan vagina abnormal, nyeri pelvis, malaise, episode PID sebelumnya, didahului oleh infeksi

Chlamydia

trachomatis

atau

Neisseria

gonorrhoeae,

dan

ditemukannya bakteri di dalam cavum uteri.6 Selain itu, pada endometritis post partum gejala muncul setelah persalinan, keputihan yang berbau busuk setelah persalinan, dan ditemukan bakteri di cavum uteri. Kemudian juga terdapat jenis endometritis akut dan kronik. Yang membedakannya adalah pada endometritis akut ditemukan neutrofil pada sediaan basah dan demam. Sedangkan pada endometritis kronik ditemukan limfosit pada sediaan basah.7 D. Epidemiologi Cara persalinan mempengaruhi kemungkinan terjadinya endometritis. Persalinan pervaginam memiliki kemungkinan 1-3%, persalinan cesar terjadwal 5-15%, dan persalinan cesar tidak terjadwal sekitar 15-90%. Hal ini

perlu diperhatikan mengingat jumlah persalinan cesar tiap tahunnya meningkat dan terhitung sekitar 30% dari total kelahiran pada 2008.3,8 E. Patofisiologi Infeksi endometrium, atau desidua, biasanya diakibatkan oleh infeksi ascendant dari saluran genital bawah. Berdasarkan sudut pandang patologi, endometritis dapat diklasifikasikan menjadi akut dan kronik. Pada endometritis akut, terdapat neutrofil di kelenjar endometrium. Sedangkan pada endometritis kronik terdapat sel plasma dan limfosit pada stroma endometrium.9 Pada wanita yang tidak hamil, PID dan prosedur pemeriksaan ginekologi invasif merupakan precursor endometritis akut. Pada wanita hamil, infeksi post partum merupakan precursor yang umum. 9 Endometritis kronik pada wanita hamil biasanya dihubungkan dengan tertinggalnya produk konsepsi setelah melahirkan atau abortus. Pada wanita tidak hamil, endometritis kronik dikaitkan dengan infeksi (misalnya Chlamydia, tuberculosis, bacterial vaginosis) dan keberadaan alat kontrasepsi dalam rahim. 9 F. Faktor Resiko Wanita memiliki flora normal yang ada di vagina. Risiko endometritis meningkat ketika terjadi perubahan keseimbangan flora normal tersebut. Biasanya terjadi setelah kejadian berikut ini: a. Abortus b. Persalinan yang lama maupun dengan sectio cesaria c. Prosedur medis yang invasive: histeroskopi, pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim, kuretase. Usia, suku, kontrasepsi oral, kondom atau hubungan seksual selama menstruasi tidak berhubungan dengan kejadian endometritis.10 G. Diagnosis Diagnosis

endometritis

sulit

ditegakkan

akibat

gejala

yang

membingungkan atau tidak spesifik, mempertimbangkan riwayat kesehatan pasien dan gaya hidup saat ini. Kombinasi pemeriksaan fisik dan metode

pemeriksaan non-infasif digunakan untuk memilah kelainan dengan gejala yang sama. Pemeriksaan pelvis dapat menunjukkan keputihan dari vagina maupun serviks dan adanya nyeri pada serviks, adneksa serta uterus merupakan hal yang tidak spesifik, untuk itu penting dilakukan pengambilan sediaan basah, kultur darah dan swab vagina untuk mengidentifikasi pathogen yang terkait. Urinalisis dan kultur urin dapat juga dilakukan sebagai diagnosis banding untuk menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi saluran kemih. CDC merekomendasikan biopsy endometrium untuk evaluasi histopatologi dalam penegakkan diagnosis endometritis.1 H. Tatalaksana Antibiotik oral dan parenteral merupakan bentuk utama penatalaksanaan baik PID maupun endometritis. Akibat infeksi polimikroba, direkomendasikan untuk menggunakan antibitik spectrum luas yang mampu melawan bakteri gram positif dan negative. Penambahan metronidazole juga diharapkan dapat membantu dalam kasus endometritisyang berhubungan dengan BV.1 Respon klinis akibat terapi dan penurunan gejala harus terlihat dalam 72jam pertama setelah dimulainya terapi antibitik. Apabila kondisi tidak membaik, diagnosis harus dikonfirmasi dan pasien mulai diterapi secara parenteral.1 I. Prognosis Sekitar 90% wanita yang diterapi dengan baik mencapai perbaikan keadaan dalam waktu 48-72 jam. Keterlambatan pemberian terapi antibiotic dapat berakibat pada toksisitas sistemik. Endometritis juga dikaitkan dengan peningkatan kematian ibu akibat syok sepsis. Namun di Amerika, angka kematian cukup jarang karena manajemen pemberian antimikroba yang ketat.11 Daftar Referensi 1. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines, 2010. MMWR. 2010; 59(RR-12):63-7. 2. Chandran L, Puccio JA. Endometritis. 2008. Dalam: Medical Diagnostic Laboratories.

Endometritis.

Diakses

2014

Nov.

http://www.mdlab.com/pdf/test_bulletins/endometritis

tersedia

dari:

3. Simmons

GT.

Laboratories.

Endometritis. Endometritis.

2010. Diakses

Dalam: 2014

Medical Nov.

Diagnostic

tersedia

dari:

http://www.mdlab.com/pdf/test_bulletins/endometritis 4. Ness RB, Hillier SL, Kip KE, et al. Bacterial Vaginosis and Risk Of Pelvic Inflammatory Disease. Obstet Gynecol. 104:1-9. 5. Ness RB, Kip KE, Hillier SE, et al. A Cluster Analysis of Bacterial Vaginosis-Associated Microflora And Pelvic Inflammatory Disease. Am J Epidemiol. 162:585-90. 6. Chen KT. Endometritis Unrelated to Pregnancy. 2011. Dalam: Medical Diagnostic Laboratories. Endometritis. Diakses 2014 Nov. tersedia dari: http://www.mdlab.com/pdf/test_bulletins/endometritis 7. Hagerty CL, Smith M, Bocklage T. Chronic Endometritis Revisited: A Review Of The Pathology And Clinical Findings. 2011. Dalam: Medical Diagnostic Laboratories. Endometritis. Diakses 2014 Nov. tersedia dari: http://www.mdlab.com/pdf/test_bulletins/endometritis 8. Centers for Disease Control and Prevention, Division of Vital Statistics. Births: Final data For 2008. Diakses 2014 Nov. tersedia dari: . http://www.cdc.gov/nchs/data/nvsr/ nvsr59/nvsr59_01.pdf. 9. Rivlin ME. Endometritis [internet]. 2014 [update 2014 Sep; disitasi 2014 Nov].

tersedia

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/254169-

overview#a0104 10. Ross JDC. Editorial: What Is Endometritis And Does It Require Treatment?. Sexually Transmitted Infections. 2004; 80(4):252-3. Doi: 10.1136/sti.2004.009548 11. Ness RB, Soper DE, Holley RL, Peipert J, Randall H, Sweet RL, et al. Douching and endometritis: results from the PID evaluation and clinical health (PEACH) study. Sex Transm Dis. Apr 2001;28(4):240-5

ENDOMETRIOSIS Oleh: Ivo Afiani, Ridhallah / I11112017, I11112079 A. Definisi Radang yang terkait dengan hormone estradiol atau estrogen berupa pertumbuhan jaringan yang mirip dengan endometrium, di luar cavum uteri:1 a. Sekitar pelvis minor b. Luka dari bekas :  Episiotomy  Seksio cesarea  Umbilicus  Kantong hernia c. Dalam jaringan otot rahim d. Penyebaran jauh, paru, dan lever. B. Teori kejadian a. Regurgitasi menurut Sampson b. Metaplasia geitoblas menurut Meyer de Snoo c. Aliran darah d. Teori Iatrogenik C. Insidensi dan Epidemiologi Endometriosis sering ditemukan pada wanita remaja dan usia reproduksi dari seluruh etnis dan kelompok masyarakat. Walaupun tidak tertutup

kemungkinan

ditemukannya

pada

wanita

perimenopause,

menopause dan pascamenopause.1 Endometriosis diperkirakan terjadi pada 10 – 15 % wanita subur yang berusia 25-44 tahun, 25 – 50% wanita mandul.Insidensi endometriosis di amerika 6-10% dari wanita usi reproduksi. Di Indonesia sendiri, insidensi pasti dari endometriosis belum diketahui.1

D. Klasifikasi Sistem klasifikasi untuk endometriosis pertama kali dibuat oleh American Fertility Society (AFS) pada tahun 1979, yang kemudian berubah nama menjadi ASRM pada tahun 1996, klasifikasi ini kemudian direvisi oleh AFS tahun 1985. Revisi ini memungkinakan pandangan tiga dimensi dari endometriosis

dan

invasif.Sayangnya,

membedakan

antara

penelitian-penelitian

penyakit

menunjukkan

superfisial bahwa

dan kedua

klasifikasi ini tidak memberikan informasi prognostik. Pada tahun 1996, dalam usaha untuk menemukan hubungan lebih lanjut penemuan secara operasi dengan keluaran klinis, ASRM lalu merevisi sistem klasifikasinya, yang dikenal dengan sistem skoring revised-AFS (r-AFS). Dalam sistem ini dibagi menjadi empat derajat keparahan, yakni: 1. Stadium I (minimal) : 1-5 2. Stadium II (ringan) : 6-15 3. Stadium III (sedang) : 16-40 4. Stadium IV (berat) : >40 Walaupun tidak ada perubahan staging dari klasifikasi tahun 1985, sistem klasifikasi tahun 1996 memberikan deskripsi morfologi lesi endometriosis, yakni putih, merah, dan hitam. Modifikasi ini didasarkan dari beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa terjadi beberapa aktivitas biokimia di dalam implan dan mungkin prognosis penyakit dapat diprediksi melalui morfologi implan.2

Klasifikasi Endometriosis menurut ASRM, revisi 1996 Menurut ASRM, Endometriosis dapat diklasifikasikan kedalam 4 derajat keparahan tergantung pada lokasi, luas, kedalaman implantasi dari sel endometriosis, adanya perlengketan, dan ukuran dari endometrioma ovarium.3

Klasifikasi Endometriosis menurut ASRM Klasifikasi Enzian score dapat juga digunakan sebagai instrumen untuk mengklasifikasikan

endometriosis

dengan

infiltrasi

dalam,

terutama

difokuskan pada endometriosis bagian retroperitoneal yang berat. Pada penelitian

ini,

didapatkan

58 pasien

yang

menurut

Enzian

Score

diklasifikasikan sebagai endometriosis dengan infiltrasi dalam, namun pada AFS revisi tidak didiagnosis demikian.4

Klasifikasi Endometriosis Enzian Score E. Gejala klinis Gejala klinis dari endometriosis meliputi dysmenorea, dyspareunia, dyschezia dan atau infertilitas. Menurut penelitian kasus control di Amerika Serikat, gejala seperti nyeri abdomen, dysmenorrhea, menorrhagia, dan dyspareunia mempunyai hubungan dengan endometriosis. Sebanyak 83% wanita dengan endometriosis mengeluhkan salah satu atau lebih gejala tersebut,

sedangkan

hanya

29%

wanita

tanpa

endometriosis

mengeluhkan gejala tersebut.3 Gejala klinik pasien endometriosis5 Gejala Nyeri haid

Persentase 62

yang

Nyeri pelvik kronik Dispareunia dalam Keluhan intestinal siklik Infertilitas

57 55 48 40

Gejala Umum1 a. Nyeri yang hebat dibagian perut dan sekitar panggul yang terjadi b. c. d. e. f.

sebelum atau awal dari siklus haid Nyeri sendi kalau ditekan (fbromyalgia) Sakit sewaktu melakukan hubungan intim Kasus lain, perdarahan dari anus sewaktu buang air besar Gangguan pra-haid dan perdarahan pada rahim Terjadi rasa sakit saat buang air kecil.

F. Pembagian Klinik a. Ringan1  Tersebar multifokus  Tidak dijumpai pada ovarium  Tidak terdapat perlekatan tuba dan ovarium b. Sedang1  Terdapat implantasi pada satu/ dua ovarium  Perlekatan minimal periovarial  Implantasi sekitar CD atau dinding depan uterus  Tanpa perlekatan pada sigmoid-rektum c. Berat1  Implantasi pada ovarium dengan 2 cm/ lebih  Perlekatan sekitar ovarium  Obstruksi pada tuba  CD terdapat perlekatan  Implantasi endometriosis sekitar ligamentum uterosakralis  Implantasi pada usus dan trakus urinarius G. Diagnosis a. Diagnosis Klinis1  Anamnesis Keluhan utamanya adalah nyeri.Nyeri pelvic kronis yang disertai infertilitas juga merupakn masalah klinis utama dati endometriosis.

Endometrium

pada

organ

tertentu

akan

menimbulkan efek yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga lokasi penyakit dapat juga diketahui.

Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena 

penyakit ini bersifat diwariskan. Pemeriksaan Fisik Umum Jarang dilakukan kecuali penderita menunjukkan adanya gejala fokal siklik pada daerah organ non ginekology.Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui penyebab nyeri yang letaknya kurang tegas di dalam. Endometrioma pada parut pembedahan dapat berupa pembengkakan yang nyeri dan lunak fokal dapat menyerupai lesi lain seperti granuloma, abses dan hematom. Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan melakukan inspeksi pada vagina menggunakan spekulum, yang dilanjutkan

dengan

pemeriksaan

bimanual

dan

palpasi

rektovagina.Pemeriksaan bimanual dapat menilai ukuran, posisi dan mobilitas dari uterus.Pemeriksaan rektovagina diperlukan untuk

mempalpasi

ligamentum

sakrouterina

dan

septum

rektovagina untuk mencari ada atau tidaknya nodul endometriosis. Pemeriksaan saat haid dapat meningkatkan peluang mendeteksi nodul endometriosis dan juga menilai nyeri.6 Menurut penelitian histologi pada 98 pasien dengan endometriosis di retro-sigmoid dan retro-serviks, pemeriksaan dalam memiiki sensitivitas 72% dan 68% secara berurutan, spesifitas 54% dan 46%, nilai prediktif positif 63% dan 45%, nilai prediktif negatif 64% dan 69%, dan akurasi 63% dan 55%.7 b. Diagnosis Pencitraan Pencitraan berguna untuk memeriksa penderita endometriosis terutama

bila

dijumpai

massa

pelvis

atau

adnexa

seperti

endometrioma. USG-TA, USG-TV atau USG TR, CT Scan dan pencitraan resonansi magnetic telah digunakan secar nir-invasif untuk mengenali implant endomtriosis yag besar dan endomtrioma. Tetapi hal ini tidak dapat menilai luas endometriosis.1 c. Diagnosis Laparoskopi

Merupakan

baku

emas

yang

harus

dilakukan

untuk

menegakkan diagnoss endometriosis, dnegan pemeriksaan yang visualisasi langsung ke rongga abdomen,yang mana pada banyak kasus sering dijumpai jaringan endometriosis tanpa adanya gejala klinis.1 Penampakan klasisk dapat berupa jelaga biru-hitam dengan keragaman derajat pigmentasi dan fibrosis disekelilingnya. Warna hitam disebabkan timbunan hemosiderin dari serpihan haid yang terperangat, kebanyakan invasi ke peritoneum berupa lesi-lesi atipikal tak berpigmen berwarna merh atau putih.1 Diagnosis endometriosis secara visual pada laparoskopi tidak selalu sesuai dengan pemastian histipatologi meski penderitanya mengalami nyeri pelvic kronik. Endometiosis yang didapay dari laparoskopi sebesar 36%, ternyata secara histopatologi hanya terbukti 18% dari pemeriksaan histopatologi.1 H. Penanggulangan Penanggulangan endometriosis sebaiknya tidak hanya berpusat pada organ reproduksi dan daerah pelvis, tetapi lebih bersifat menyeluruh. a. Edukasi Sudah waktunya pengertian tentang endometriosis dijelaskan pada masyarakat umum sebagaimana yang dilakukan pada keluarga berencana. Keluhan nyeri berhubungan dengan haid yang perlu diperhatikan: sifat nyeri yang terasa tajam, seperti terbakar, disertai kejang perut bagian bawah. Nyeri haid bisa sedemikian hebatnya sehingga memaksa perempuan tersebut tidak masuk sekolah atau tidak bekerja.Perempuan dengan nyeri haid, kemudian menikah dan tidak dikaruniai keturunan dalam waktu yang lama, sebaiknya segera berkonsultasi

kepada

dokter

untuk

penanganan

selanjutnya.

Endometriosis bukan penyakit menular, tidak dapat ditularkan kepada orang lain, tidak pula bisa ditularkan pada saat bersanggama.8 b. Peran serta keluarga, teman dekat dan masyarakat Setidaknya diperlukan 4 kriteria hubungan penderita endometriosis dengan orang lain:9 1. Sesama penderita endometriosis

Sesama penderita paling tepat untuk saling memberi kekuatan karena mereka dapat saling berbagi pengalaman.Pada negara yang sudah maju dibentuk perkumpulan perempuan penderita endometriosis. 2. Keluarga Keluarga sangat diperlukan untuk memberi simpati dan empati pada diri perempuan endometriosis diperlukan dukungan dari mereka dalam berjuang melawan keluhan ini. 3. Suami atau pasangannya Mereka dituntut untuk ikut mengerti tentang penyakit endometriosis agar supaya ikut memahami keluhan yang dideritanya.Perempuan endometriosis ingin agar supaya dirinya tidak

dihakimi

senantiasa

atau

dipersalahkan

selalu.Pada

perempuan endometriosis disertai dyspareunia sangat meminta pengertian dari pihak suami untuk secara berhati-hati pada waktu bersanggama. 4. Pusat pemeliharaan kesehatan Tempat ini merupakan satu-satunya wadah yang bisa dimanfaatkan

oleh

perempuan

endometriosis

untuk

mengemukakan berbagai macam permasalahannya.Mereka yang bertugas di dalam wadah ini harus bisa menjadi pendengar yang baik, mempercayai seluruh keluhan dan memberi edukasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan endometriosis. c. Medikamentosa Hormon steroid ovarium (estrogen) menjadi pencetus pertumbuhan

endometriosis.Penggunaan

semua

sediaan

obat

(khususnya hormonal) untuk endometriosis hanya mempunyai kemampuan menekan dan bukan menyembuhkan penyakit. Hingga kini belum ada cara pengobatan yang mampu menyelesaikan seluruh permasalahan endometriosis dalam bentuk meniadakan secara total penyakit ini. Pengangkatan rahim disertai indung telur (histerektomi dan ooforektomi) yang merupakan senjata pamungkas ternyata tetap tidak akan menyelesaikan permasalahannya. Susukan endometriosis yang berada di luar uterus (ekstrauterin) yang tidak ikut terangkat saat

operasi masih bereaksi dengan estrogen yang dihasilkan oleh adrenal dan oleh jaringan perifer dari androgen yang berasal dari adrenal.10 Pemberian medika mentosa harus berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan macam obat, dosis, lama pemakaian. 1. Obat anti inflamasi non-steroid (non-steroidal anti inflammatory drugs/NSAIDs) Obat ini sangat efektif untuk mengurangi keluhan nyeri pada endometriosis. Obat ini mempunyai efek sampingan berupa ulkus petikum dan anti ovulasi bila diminum pada pertengahan siklus haid.11 2. Kontrasepsi Oral Bekerja menekan fungsi indung telur, guna mengurangi keluhan nyeri pada endometriosis dipakai selama 6 bulan. Pengaruh sampingan kontrasepsi oral adalah peningkatan berat badan yang lebih sering dijumpai pada pemakaian malar ketimbang siklik.11 3. Danazol Danazol lebih jarang dipergunakan karena pengaruh sampingan androgenik, selain itu juga terjadi retensi cairan sehingga penggunaannya harus berhati-hati pada penderita dengan tekanan darah tinggi, penyakit jantung atau gangguan fungsi ginjal. Juga terjadi peningkatan kadar kolesterol dan penurunan HDL. Amenorea yang ditimbulkan menghalangi pelimpahan serpihan endometrium dari rongga rahim ke rongga peritoneum.12 4. Medroksiprogesteron asetat (MPA) Progestin yang paling umum dipakai untuk pengobatan endometriosis adalah Medroksiprogesteron asetat (MPA).Ada dua jenis diberikan secara oral atau dalam wujud suntikan.Keduanya cukup efektif untuk pengobatan endometriosis. Pemberian obat ini menimbulkan efek samping berupa perdarahan bercak yang akan hilang bila dikombinasi dengan estrogen selama 7 hari. Depresi dapat pula terjadi pada pemakaian obat ini, dapat timbul jerawat, retensi cairan, sakit kepala, kram otot, perubahan lipid (LDH naik, HDL turun). Pemberian minimal selama 6 bulan secara malar akan

menghasilkan anovulasi dan menyebabkan hamil semu pada dosis besar, tujuannnya untuk menghambat haid.12 5. Agonis GnRH Dewasa ini pemakaian agonis pengobatan

endometriosis

yang

paling

GnRH

merupakan

populer.

Pengaruh

sampingan terburuk pada pemakaian agonis GnRH adalah osteroporosis

karena

kekurangan

estrogen

dan

biasanya

ditambahkan kembali (add-back) sediaan estrogen-progesteron oral atau bifosfonat untuk mengurangi pengaruh osteoporosis tersebut. Pemberian agonis GnRH jangka panjang secara intranasal atau subkutan pada pengobatan endometriosis dapat menimbulkan keadaan pseudo menopause. Efek samping pemberian agonis GnRH berupa hot flashes, gangguan tidur, vagina kering, nyeri sendi, perdarahan bercak, sakit kepala, suasana hati mudah berubah, keropos tulang, dan perubahan lipid (LDH naik, HDL turun).11,12 6. Penghambat aromatase (aromatase inhibitor) Jaringan dan kista endometriosis dapat membentuk estrogendengan

sendirinya

demikiansarang-sarang

dari

androgen

endometriosis

adrenal.Dengan memperoleh

kemandiriandari estrogen yang beredar. Penghambat aromatase lebihbersifat

menyeluruh

untuk

penanganan

endometriosis

jikadibandingkan obat-obat yang lain. 7. Operatif Teknik pembedahan yang dianjurkan adalah dengan teknik laparoskopi dengan membuang susukan endometriosis mengangkat kista dan memulihkan anatomi pelvik yang normal.Pada penderita yang muda ataupun gadis dihindarkan melakukan tindakan operatif. Operasi dapat dilakukan dengan cara operasi konservatif, semi konservatif atau radikal. Sesudah pembedahan konservatif sebaiknya diberikan obatobatan seperti kontrasepsi oral, progestin, danazol, agonis GnRH dan obat-obatan ini diberikan selama 6 bulan.12

Penanganan dismenorea dapat dilakukan dengan jalan operatif, melakukan reseksi ligamentum sakrouterina atau luna (laparoscopic uterosacral nerve ablation).13 8. Pendekatan Alternatif dan Natural Pendekatan alternatif dan natural dititikberatkan pada aspek kesehatan

dari

sudut

pandang

mental,

emosi

dan

spiritual.Pengobatan natural cukup bermanfaat bagi pasien endometriosis karena pasien dipandang sebagai pribadi yang utuh, ketimbang hanya terbatas pada kelainan perut bagian bawah.14 a. Akupuntur Pengobatan tradisional Cina (Traditional Chinese Medicine/ TCM) yang sudah berusia ribuan tahun, dan sejak 1970 mulai dikembangkan dunia barat.Tujuan akupuntur memberi energi keseluruh tubuh, dan memperbaiki aliran darah, menghilangkan penyumbatan darah dan membersihkan darah.Hasil pengobatan ini terjadi perbaikan keseimbangan sistem di dalam tubuh sehingga keluhan nyeri berkurang sampai menghilang (Pat Haines,

2000).

Pengobatan

akupuntur

pada

penderita

endometriosis menunjukkan hasil yang berbeda diantara endometriosisringan (97,8%), sedang (83,2%) dan berat (63,6%).15 b. Herbalisme Cina (Chinese Herb) Pengobatan ini mempergunakan mengandung

obat-obatan

baik

tanaman internal

yang maupun

eksternal.Tujuan pengobatan ini untuk memulihkan kesehatan penderita. Tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat akan membantu meningkatkan daya penyembuhan dari tubuh sendiri. Pengobatan ini memperbaiki kadar hormon di dalam tubuh dan meningkatkan sistem imunitas tubuh, sehingga dapat menghilangkan penyakit. Untuk meningkatkan keberhasilan akupuntur diberikan bersama dengan herbalisme Cina.16 c. Homeopati Pengobatan homeopati (Homeophaty) mempergunakan bahan

campuran

alami (tumbuh-tumbuhan,

hewan dan

mineral).Bahan campuran ini memacu daya tahan tubuh untuk melawan penyakit dan menghilangkan gejala. d. Naturopati Pengobatan naturopati (Naturophaty) bersifat menyeluruh menyangkut perikehidupan perempuan. Dalam pengobatan ini akan diberikan diet, cara hidup sehat, herbal yang dapat menyeimbangkan hormon terutama hormon yang dapat mengurangi atau meniadakan nyeri, dan membuang segala bentuk racun dari dalam tubuh. e. Aromaterapi Pengobatan aroma (Aromatherapy) memanfaatkan aroma alami dari tanaman dengan minyak hasil ekstrak dari benih bunga, kulit kayu, daun-daunan dan bunga.Pada umumnya minyak tersebut dipergunakan untuk memijat tubuh dan mengoles kulit. Bahan utama dari minyak tersebut akan diresobsi dan diedarkan keseluruh tubuh. Hasil dari pengobatan ini

meningkatkan

sistem

imunitas

memperbaiki

sistem

reproduksi dan menyeimbangkan hormon di dalam tubuh, dan pada akhirnya akan menyembuhkan penyakit. 9. Diet dan Nutrisi Penanganan endometriosis selain obat-obatan

juga

sebaiknya pola makan diperhatikan karena hal ini sangat membantu kesembuhan penderita.17 a. Makanan untuk keseimbangan hormone Tanpa estrogen tidak terjadi endometriosis, karena endometriosis sangat tergantung pada estrogen. Makanan yang terdiri dari tumbuh-tumbuhan sterol alami (natural plant sterols) dapat menolong kesembuhan dengan cara menghambat reseptor estrogen.16 Phytosterois Kacang-kacangan

Buncis

Buah Prambus dan Arbei

Kentang

Apel

Adas

Bawang Putih

Blum kol

Kubis

Wortel

Seledri

Bumbu-bumbuan

Beras Merah

Kelembak

b. Makanan bermanfaat pada sistem imunitas Bawang Susu masam kental Cabe rawit Nanas Murbei

Wortel Bawang Putih Teh hijau Jahe Buncis

c. Makanan yang harus dihindari Gandum : Roti, kue Alkhohol

Gula, termasuk madu Kafein pada teh, kopi, minuman ringan

Cokelat

Keju, Susu

Gorengan

Mentega

10. Vitamin dan Mineral Meskipun makanan mengandung berbagai macam vitamin dan mineral, tetapi tubuh masih membutuhkan tambahan vitamin dan mineral supaya tubuh dapat berfungsi optimal.16 a. Magnesium, mineral ini dapat mengurangi kejang perut saat haid. b. Zink, meningkatkan sistem imunitas tubuh. c. Kalsium, kekurangan kalsium menyebabkan kejang pada otot, sakit kepala dan nyeri pelvis.

d. Besi, endometriosis kadang disertai darah haid yangbanyak bila berulang terjadi akan menyebabkan anemiasehingga perlu diberi zat besi supaya sehat. e. Vitamin B, dapat memperbaiki

gejala

emosional

padapenderita endometriosis. f. Vitamin C, Vitamin A dan Omega 3, bermanfaat padasistem imunitas tubuh. g. Vitamin E,

meningkatkan

oxygen

carrying

capacities.Bersama Selenium mengurangi inflamasi pada endometriosisdan juga menyokong sistem imunitas tubuh. Daftar Referensi 1. Manuaba I B G. 2001. Kapita Selekta Penatalaksaan Rutin Obsetri Ginekologi dan KB. Jakarta: EGC 2. Medicine ASFR. Revised American Society for Reproductive Medicine Classification of Endometriosis. Fertil Steril. 1996;67:817. 3. ESHRE. Management of women with endometriosis. 2013. 4. Haas D, Chvatal R, Habelsberger A, Wurm P, Schimetta W, Oppelt P. Comparison of revised American Fertility Society and ENZIAN staging: a critical evaluation of classifications of endometriosis on the basis of our patient population. Fertil Steril. 2011;95(5):1574. 5. Bellelis P, Dias JA, Jr., Podgaec S, Gonzales M, Baracat EC, Abrao MS. Epidemiological and clinical aspects of pelvic endometriosis-a case series. Revista da Associacao Medica Brasileira (1992). 2010;56(4):467-71. 6. RCOG. The investigation and management of endometriosis. Green-top Guideline. 2008;24:1-14. 7. Nassif J, Trompoukis P, Barata S, Furtado A, Gabriel B, Wattiez A. Management of deep endometriosis. Reproductive Biomedicine Online. 2011;23:25-33. 8. Endometriosis. Http://www.endo-resolved.com/endometriosis.html, 2007. 9. Whitney M, 2005. The Social Support Experinces of Woman with Endometriosis. Georgia Reproductive Specialists. 10. Cotroneo MS, 2001. Pharmacologic, but not dietary, genistein supports endometriosis in a rat model. Toxicological Sciences (61):68-75.

11. European Society for Human Reproduction and Embryologist (ESHRE) 2006. Guideline for the diagnosis and treatment of endometriosis, http://guidelines.endometriosis.org. 12. Speroff L, Fritz MA, 2005. Endometriosis. In Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. 7th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkin, pp 1103-1133. 13. Paolo Vercellini MD, 2003. Laparoscopic uterosacral ligament resection for dysmenorrhea associated with endometriosis result of a randomized, controlled trial. Fertility and Sterility, vol (80); 310-319. 14. Http:/www.healthsystem.virginia.edu/uvahealth/adult_women/endme.cfm. 2006 15. Wang H, Hou Q, 2002. Acupunture and moxibustion for treating ectopic endometrium. J Trad Chin Med :22(3):203-204 16. Pat Haines, 2000. Treatment of endometriosis with acupuncture and other complementary therapies. Modern Management of Endometriosis, Taylor and Francis, pp 351-356. 17. Judith Price, RipHH (Hons), 2002. Endometriosis: A NutritionalApproach, Positive Health Publication Ltd.

PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL Oleh: Adela Brillian / I11112020 A. Definisi Perdarahan abdomen tanpa adanya lesi organik yang nyata di uterus disebut perdarahan uuterus disfungsional (dysfunctional uterine bleeding). Kemungkinan penyebab perdarahan uterus abnormal, disfungsional atau organik (berkaitan dengan lesi yang jelas), sedikit banyak begantung pada usia pasien.1 B. Etiologi Perdarahan rahim disfungsional yang terjadi selama umur reproduksi dapat diakibatkan oleh berbagai penyebab misalnya:2

1. Gagalnya efek umpan balik positif dari estrogen, pengubahan perifer yang abnormal dari androgen menjadi estrogen, atau cacat endometrium yang dapat berada dalam tingkat reseptor atau dalam sekresi atau pelepasan prostaglandin. 2. Bila tidak ada sekresi progesteron (anovulasi) dan dalam perangsangan yang terus berlanjut, endometrium akan berproliferasi , sehingga mencapai tinggi yang abnormal. Terdapat vaskularitas yang hebat dan pertumbuhan kelenjar yang tanpa dukungan stroma. Endometrium akhirnya tumbuh melebihi perangsangan yang ditimbulkan oleh estrogen dan perdarahan terjadi, dengan peluruhan endometrium secara tidak teratur. 3. Kelainan fungsi poros hipotalamus-hipofise-ovarium. Usia terjadinya:2  Perimenars (usia 8-16 tahun)  Masa reproduksi (usia 16-35 tahun)  Perimenopouse (usia 45-65 tahun) C. Gejala Klinis Perdarahan ovulatoar. Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional dengan siklus pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea). Untuk menegakkan diagnosis perdarahan ovulatoar, perlu dilakukan kerokan pada masa mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur siklus haid tidak dikenali lagi, maka kadang-kadang bentuk kurve suhu badan basal dapat menolong. Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe sekresi tanpa adanya sebab organik, maka harus dipikirkan sebagai etiologiya:3 1. Korpus luteum persistens; dalam hal ini dijumpai perdarahan kadangkadang bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus dibedakan dari kehamilan ektopik karena riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan panggul sering menunjukkan banyak persamaan antara keduanya. Korpus luteum persisten dapat pula menyebabkan pelepasan endometrium tidak teratur (irregular shedding). Diagnosa irregular shedding dibuat dengan kerokan yang tepat pada waktunya, yakni menurut Mc Lennon pada hari ke-4 mulainya perdarahan. Pada waktu ini dijumpai endometrium dalam tipe sekresi disamping tipe nonsekresi.

2.

Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting, menoragia atau polimenorea. Dasarnya ialah kurangnya produksi progesteron disebabkan oleh gangguan LH releasing factor. Diagnosis dibuat, apabila hasil biopsi endometrial dalam fase luteal tidak cocok dengan gambaran endometrium yang seharusnya didapat pada hari siklus

3.

4.

yang bersangkutan. Apopleksia uteri; pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh darah dalam uterus. Kelainan darah, seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan dalam mekanisme pembekuan darah. Perdarahan

anovulatoar. Stimulasi

dengan

estrogen

menyebabkan

tumbuhnya endometrium. Dengan menurunnya kadar estrogen dibawah tingkat tertentu, timbul perdarahan yang kadang-kadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur sama sekali. Fluktuasi kadar estrogen ada sangkut-pautnya dengan jumlah folikel yang pada suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folikel ini mengeluarkan estrogen sebelum mengalami atresia, dan kemudian diganti oleh folikel-folikel baru. Endometrium dibawah pengaruh estrogen tumbuh terus, dan dari endometrium yang mula-mula proliferatif dapat terjadi endometrium bersifat hiperplasia kistik. Jika gambaran itu dijumpai pada sediaan yang diperoleh dengan kerokan, dapat diambil kesimpulan bahwa perdarahan bersifat anovulatoar.3 Walaupun perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap waktu dalam kehidupan menstrual seorang wanita, tapi paling sering pada masa pubertas dan masa premenopause.3 Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada harapan bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid menjadi ovulatoar, pada seorang wanita dewasa terutama dalam masa premenopasue dengan perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan untuk menentukan ada tidaknya tumor ganas. Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita-penderita dengan penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum yang menahun, tumor-tumor ovarium dan sebagainya.

Disamping itu stress dan pemberian obat penenang juga dapat menyebabkan perdarahan anovulatoar yang bisanya bersifat sementara.3 D. Patofisiologi 1. Kegagalan ovulasi Siklus anovulatorik sangat sering terjadi di kedua ujung usia subur; pada setiap disfungsi sumbu hipotalamus-hipofisis, adrenal, atau tiroid; pada lesi ovarium fungsional yang menghasilkan esterogen berlebihan; pada sters fisik atau emosi yang berat. Pada banyak kasus, penyebab kegagalan ovulasi tidak diketahui, tetapi apapun sebabnya hal ini menyebabkan kelebihan estrogen relatif terhadap progesteron. Oleh karena itu, endometrium mengalami fase proliferatif yang tidak diikuti oleh fase sekretorik normal. Kelenjar endometrium mungkin mengalami perubahan kistik ringan atau ditempat lain mungkin tampak kacau dengan stroma yang relatif sedikit, yang memerlukan progesteron untuk mempertahankannya. Endometrium yang kurang ditopang ini mengalami kolaps secara parsial, disertai ruptur arteri spiral dan perdarahan.1 2. Fase luteal tidak adekuat Korpus luteum mungkin gagal mengalami pematangan secara normal atau mengalami tegresi secara prematur sehingga terjadi kekurangan relatif progesteron. Endometrium dibawah kondisi ini mengalami perlambatan terbentuknya fase sekretorik yang diharapkan saat biopsi.1 3. Perdarahan yang dipicu oleh kontrasepsi Kontrasepsi oral model lama yang mengandung progestin dan esterogen sintetik memicu berbagai respon endometrium, bergantung pada steroid yang digunakan dan dosis. Respon yang lazim adalah kemunculan kelenjar dan stroma yang subur mirip desidua dengan kelenjar inaktif nonsekretorik. Pil KB yang saat ini digunakan telah memperbaiki ekurangan ini.1 4. Gangguan

endometrium,

termasuk

endometritis

endometrium, dan leiomioma submukosa.1 E. Diagnosis

kronik,

polop

Keluhan subyektif: Terjadi perdarahan pervaginam yang tidak normal (lamanya, frekuensi dan jumlah) yang terjadi di dalam maupun di luar siklus haid.2 Pemeriksaan fisik: Tidak ditemukan kehamilan (pembesaran uterus), kelainan organ maupun kelainan hematologi (faktor pembekuan).2 F. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan hamatologi2 b. Pemeriksaan hormon reproduksi :FSH, LH, Prolaktin, E2, dan progesteron, prostaglandin F2. 2 c. Biopsi, dilatasi, kuret bila tidak ada kontraindikasi. 2 d. Pemeriksaan USG. 2 G. Penatalaksanaan pada Perdarahan Rahim Disfungsional Beberapa pasien mungkin memerlukan terapi penunjang berupa zat besi atau transfusi darah. Pasien dengan pemeriksaan pelvis yang normal dan dengan endometrium proliferatif yang dipastikan dengan biopsi endometrium terbaik diterapi dengan terapi hormonal. Pasien yang tidak memberi respons terhadap terapi hormonal secara cepat atau yang lebih tua daripada 35 tahunharus menjalani kuretase untuk menyingkirkan karsinoma endometrium. Pasien yang gagal memberi respons terhdap terapi hormonal dapat juga mengalami

mioma

submukosa

atau

polip

endometrium

dan

dapat

membutuhkan histereskopi untuk diagnosis dan terapi.2 Terapi hormonal mencakup progestin saja, kontrasepsi oral, atau terapi progestin-estrogen

yang

berurutan.

Kalau

biopsi

endometrium

awal

menunjukkan endometrium yang proliferatif, terapi pilihannya adalah 5 mg medroksiprogesteron asetat tiap hari, baik selam 13 hari yang berurutan yang dimulai pada hari ke 14 dari siklus. Terapi ini akan mengubah endometrium proliferaktif menjadi jenis yang mirip sekretorik dan mencegah berulangnya perdarahan. Terapi progesteron harus dilanjutkan selama diperlukan. Kalau pasien ingin hamil, terapi pilihannya adalah klomifen sitrat. 2 Kalau biopsi endometrium awal memperlihatkan endometrium sekretorik dan perdarahan yang abnormal terus berlanjut atau berulang, cacat patologik di dalam kavitas rahim harus dicurigai dan dilakukan histerosalpingografi atau

histereskopi. Terapi pada peristiwa perdarahan akut dapat dicapai dengan kontrasepsi oral saja atau suatu kombinasiprogestin-estrogen yang berurutan. Kedua metode itu sama-sama efektif dalam menghentikan perdarahan. Kalau kontrasepsi oral saja digunakan, 4 tablet sehari harus diberikan selama 7 hari. Biasanya perdarahan akan berhenti dalam 24 sampai 48 jam. Pasien harus diberitahu bahwa pada akhir terapi ini dapat terjadi perdarahan vagina yang lebih berat daripada biasanya. Pasien harus dilanjutkan dengan dosis harian kontrasepsi oral sebagaimana untuk kontrasepsi dan dipertahankan sekurangkurangnya selam 6 bulan.2 H. Pengobatan Setelah menegakkan diagnosa dan setelah menyingkirkan berbagai kemungkinan kelainan organ, teryata tidak ditemukan penyakit lainnya, maka langkah selanjutnya adalah melakukan prinsip-prinsip pengobatan sebagai berikut:2 1. Menghentikan perdarahan. a. Kuret (curettage). Hanya untuk wanita yang sudah menikah. b.

Tidak bagi gadis Obat (medikamentosa) i. Golongan estrogen. Pada umumnya dipakai estrogen alamiah, misalnya:

estradiol

valerat

(nama

generik)

yang

relatif

menguntungkan karena tidak membebani kinerja liver dan tidak menimbulkan gangguan pembekuan darah. Jenis lain, misalnya: etinil estradiol, tapi obat ini dapat menimbulkan gangguan fungsi liver. Dosis dan cara pemberian: Estrogen konyugasi (estradiol valerat): 2,5 mg diminum selama 7-10 hari; Benzoas estradiol: 20 mg

disuntikkan

intramuskuler

(melalui

bokong);

Jika

perdarahannya banyak, dianjurkan menginap di RS (opname), dan diberikan Estrogen konyugasi (estradiol valerat): 25 mg secara intravenus (suntikan lewat selang infus) perlahan-lahan (10-15 menit), dapat diulang tiap 3-4 jam. Tidak boleh lebih 4 kali sehari.

ii. Obat Kombinasi. Obat golongan ini diberikan secara bertahap bila perdarahannya banyak, yakni 4×1 tablet selama 7-10 hari, kemudian dilanjutkan dengan dosis 1×1 tablet selama 3 hingga 6 siklus. iii. Golongan progesterone. Obat untuk jenis ini, antara lain: Medroksi progesteron asetat (MPA): 10-20 mg per hari, diminum selama 7-10 hari; Norethisteron: 3×1 tablet, diminum selama 710 hari. 2.

Mengatur menstruasi agar kembali normal Setelah perdarahan berhenti, langkah selanjutnya adalah pengobatan

untuk mengatur siklus menstruasi, misalnya dengan pemberian: Golongan progesteron: 2×1 tablet diminum selama 10 hari. Minum obat dimulai pada hari ke 14-15 menstruasi. 3. Transfusi jika kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 8 gr%. Satu kantong darah (250 cc) diperkirakan dapat menaikkan kadar hemoglobin (Hb) 0,75 gr%. Ini berarti, jika kadar Hb ingin dinaikkan menjadi 10 gr% maka kira-kira perlu sekitar 4 kantong darah. I. Prognosis Hasil pengobatan bergantung kepada proses perjalanan penyakit. Penegakan diagnosa yang tepat dan regulasi hormonal secara dini dapat memberikan angka kesembuhan hingga 90 %. Pada wanita muda, yang sebagian besar terjadi dalam siklus anovulasi, dapat diobati dengan hasil baik, atau sukses. Daftar Referensi 1. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi .7 nd ed, Vol. 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007 : 772-3. 2. Manuaba, I.B.G. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan Kb. Jakarta: EGC; 2001 3. Wiknjosastro, H. Ilmu Kandungan, Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirorahardj; 1999.

HYPERPLASIA ENDOMETRIUM Oleh: Dwi Lestiana Putri / I11112034 A. Definisi Hiperplasia endometrium merupakan suatu keadaan patologis pada endometrium berupa peningkatan proliferasi kelenjar endometrium yang mengakibatkan adanya perubahan rasio kelenjar dan stroma, bentuk dan ukuran kelenjar, susunan kelenjar bertambah menjadi 2-3 lapis serta mempunyai potensial menjadi suatu bentuk sel yang atipik bila tidak ada suatu keseimbangan inhibitor dan inisiator dari proliferasi sel kelenjar tersebut. Kondisi ini secara klinis biasanya tidak menimbulkan suatu gejala, tetapi gejala umum pada kelainan ini adalah adanya perdarahan per vaginam yang tidak normal berupa perdarahan yang jumlahnya lebih banyak dari normal (lebih dari 80 ml/periode atau ganti pembalut lebih dari 4/hari) atau lebih lama dari normal (lebih dari 7 hari) dan perdarahan diluar fase menstruasi dalam siklus haid. Gejala ini biasanya berupa perdarahan disfungsi pre-menopause dan post-menopause.1 B. Etiologi dan faktor resiko Hiperplasia endometrium merupakan suatu kelainan yang tergantung pada estrogen (estrogen-dependent disease) dan mempunyai faktor risiko yang sama dengan karsinoma endometrium tipe 1, dimana stimulasi estrogen endogen dan eksogen akan memacu proliferasi endometrium secara berlebihan1. Stimulasi estrogen endogen dapat berupa faktor menstruasi, obesitas, anovulasi, hiperplasia stroma ovarium, dan tumor yang mampu mensekresi estrogen. Faktor menstruasi, seperti halnya menarche dini (52 tahun) dan nuliparitas diperkirakan terjadi peningkatan paparan kumulatif estrogen oleh karena total jumlah siklus menstruasi yang lebih banyak sepanjang hidupnya dan perlu dinilai adanya haid yang teratur berupa siklus haid sebelum adanya perdarahan (minimal 3 siklus terakhir) memiliki interval 21-35 hari dengan lama 2-8 hari dan dapat diperkirakan untuk haid tanggal berikutnya. Kondisi anovulasi atau oligoovulasi yang sering bermanifestasi klinis dengan adanya infertilitas

mengakibatkan penurunan dan tidak adanya efek peranan progesteron pada endometrium. Hal ini menyebabkan endometrium tidak mengalami perubahan pada gambaran histopatologi dan fungsinya menjadi suatu fase sekresi melainkan akan terstimulasi terus oleh efek mitogenik estradiol (E2) yang menyebabkan pertumbuhan berlebihan dari endometrium. Kondisi anovulasi yang paling umum adalah pada kasus Sindroma Polikistik Ovarium (PCOS). Pada PCOS, 75% terdapat resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang diduga akan memacu angiogenesis, ekspresi aromatase dan menghambat apoptosis serta menstimulasi proliferasi sel ovarium dan endometrium, kasus ini sering terjadi pada wanita dengan obesitas (Indeks Massa Tubuh = 30). Pada obesitas, jaringan lemak dan depositnya di perifer merupakan sumber utama aromatase, sehingga pada wanita post-menopause hal ini merupakan sumber estrogen dengan adanya konversi androgen di adrenal dan ovarium.1 Fungsi stroma ovarium pada wanita post-menopause tetap normal, tetapi bila didapatkan penyimpangan seperti hiperplasia stroma, maka menyebabkan sintesis

estrogen

yang

meningkat

dan

memacu

terjadi

hiperplasia

endometrium sampai menjadi suatu karsinoma endometrium. Tumor ovarium, baik itu primer maupun sekunder, dapat berhubungan dengan peningkatan fungsi ovarium dalam mensintesis estrogen, seperti tumor sel stroma, sel teka dan granulosa. Salah satu review mengemukakan bahwa ada hubungan antara adenokarsinoma

endometriod

ovarium

dengan

endometrium,tetapi

mekanisme ini sepertinya merupakan karsinogenesis yang spontan dengan adanya kesamaan epitel pada keduanya dibandingkan salah satu tumor menginduksi pada salah satu tumor lainnnya 2. Beberapa penelitian mengenai faktor endogen seperti obesitas, diabetes melitus, distribusi reseptor estrogen a dan ß begitu pula pemecahan variannya, genetic receptor polymorphism, dan mismatch repair gen pada kasus Hereditary Non-Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC) Syndrome mempengaruhi stimulasi estrogen yang persisten. Besarnya risiko untuk terjadinya hiperplasia atipia pada terapi sulih hormon ini 2-10% tetapi hal ini juga tergantung pada dosis harian dan durasi penggunaannya, sehingga

skrining evaluasi terapi dengan ultrasonografi atau biopsi endometrium perlu dilakukan.1,2,3 C. Epidemiologi Insiden hiperplasia endometrium berhubungan dengan umur: 40-50 tahun (40%), 50-60 tahun (25%) dan
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF