Makalah Parasitologi Termatoda Darah Dan Paru
March 18, 2018 | Author: onchommeongmeong | Category: N/A
Short Description
Download Makalah Parasitologi Termatoda Darah Dan Paru...
Description
MAKALAH PARASITOLOGI TREMATODA DARAH DAN PARU
Disusun oleh :
1. Muhammad Ahyar Rangkuti
(G1F012059)
2. Ligia Oktapia Suandi
(G1F013002)
3. Taradifa Nur Insi
(G1F013004)
4. Tri Budi Hastuti
(G1F013008)
5. Suci Baitul Sodiqomah
(G1F013010)
6. Feby Fitria Noor
(G1F013012)
7. Diyana Puspa Rini
(G1F013014)
8. Aliyah
(G1F013016)
JURUSAN FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2014
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Trematoda atau cacing daun termasuk dalam filum Platyhelminthes dan hidup sebagai parasit. Banyak sekali macam hewan yang dapat berperan sebagai hospes definitif bagi cacing trematoda ,sebut saja kucing, anjing, sapi ,babi, tikus, burung, dan harimau. Tidak ketinggalan manusiapun merupakan hospes utama bagi cacing trematoda. Trematoda menurut tempat hidupnya dibagi menjadi empat yaitu trematoda hati, trematoda paru, trematoda usus, dan trematoda darah (staff FKUI, 2008). Makalah ini akan membahas tentang Trematoda darah dan jaringan (Trematoda paru dan trematoda darah). Paragonimus westermani pada trematoda paru. Pada trematoda darah akan membahas tiga spesies pentingnya yaitu Schistosoma mansoni, Schistosoma japonicum dan Schistosoma haematobium (Onggowaluyo, 2001). Secara umum cacing – cacing ini mempunyai hospes definitif manusia. Cacing tersebut sebagian juga dapat kita temukan di Indonesia seperti Schistosoma japonicum dan Paragonimus westermani (Onggowaluyo, 2001). Oleh sebab itu diperlukan informasi yang jelas dan tepat mengenai spesies dari cacing tersebut, habitatnya, gejala penyakit, pengobatan, pencegahan dan juga pengandaliannya, untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit yang dapat timbul akibat cacing trematoda.
B. Tujuan Tujuan penyusunan makalah berjudul “Trematoda Parasit Darah dan Jaringan” ini adalah: 1. Untuk mengetahui klasifikasi Trematoda Darah dan Paru 2. Untuk mengetahui hospes dan nama penyakit yang ditimbulkan olehTrematoda Darah dan Paru 3. Untuk mengetahui morfologi Trematoda Darah dan Paru 4. Untuk mengetahui distribusi geografik Trematoda Darah dan Paru 5. Untuk mengetahui siklus hidup Trematoda Darah dan Paru 6. Untuk mengetahui epidemiologi Trematoda Darah dan Paru 7. Untuk mengetahui patologi dan gejala klinis yang ditimbulkan olehTrematoda Darah dan Paru 8. Untuk menngetahui diagnosis yang harus dilakukan dalam penangananTrematoda Darah dan Paru 9. Untuk mengetahui cara pengobatan penyakit akibat Trematoda Darahdan Paru 10. Untuk mengetahui pencegahan yang harus dilakukan agar tidak terjangkit penyakit yang disebabakan oleh Trematoda Darah dan Paru
BAB II PEMBAHASAN
A. Paragonimus westermanii
1. Klasifikasi Kingdom
: Animalia
Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: TrematodaOrdo : Plagiorchiida
Famili
: Troglotrematidae
Genus
: Paragonimus
Spesies
: Paragonimus Westermani
2. Hospes dan Nama Penyakit Hospes
perantara
pertama
adalah
keong
beroperkulum
dari
genus
Hua,
Semisulcospira, Syncera dan Thiara. Hospes perantara kedua adalah ketam air tawar dari genus Eriocheir, Potamon, Sesarma dan Parathelpusa (Brown, 2002). Hospes definitive dari parasit ini adalah manusia dan mamalia pemakan ketam yaitu kucing luak, anjing, harimau dan serigala. Penyakit yang disebabkan oleh Paragonimus westermani adalah paragonimiasis, distomiasis paru-paru. Penyakit ini termasuk kelompok zoonosis (Onggowaluyo,2001).
3. Morfologi Cacing dewasa berwarna merah kecoklatan, berukuran 12-18 x 4-6 mm. Pada saat aktif seperti sendok dengan ujung satunya berkontraksi dan yang lainnya memanjang, bentuk pada saat kontraksi menyerupai biji kopi, membujur dan pipih, kutikula berduri. Batil isap kepala besarnya sama dengan batil isap perut. Batil isap perut terletak tepat di anterior garis anterior. Testis berlobus dalam dan tidak teratur, terletak miring dan berada sepertiga bagian dari posterior tubuh. Ovarium besar dan berlobus, terletak disebelahan terior testis, disebelah kanan berhadapan dengan uterus yang berkelak kelok. Telurnya berbentuk lonjong dan berwarna kuning kecoklatan berukuran 95 x 45 mikron, dinding dua lapis, pada salah satu ujung terdapat oper kulum besar dan ceper (pendek).
Sedangkan pada ujung yang lain dinding mengalami penebalan.Isitelur berupa morula (Onggowaluyo, 2001).
Fisiologi dan Organologi Paragonimus westermani
Telur Paragonimus westermani
4. Distribusi Geografik Cacing ini ditemukan di RRC , Taiwan, Korea, Jepang,Filipina, Vietnam, Thailand , India, Malaysia, dan Amerika Latin. Cacing juga dapat ditemukan di Indonesia namun hanya pada binatang, sedangkan pada manusia hanya sebagai kasus impor saja (staff FKUI, 2008).
5. Siklus Hidup
Siklus hidup dimulai ketika telur menetas dan mirasidium keluar dari dalam telur. Telur yang dapat dikeluarkan melalui tinja maupun sputum ini, tidak memiliki mirasidium secara langsung namun, telur akan matang dan berisi mirasidium dalam waktu 16 hari setelah dikeluarkan oleh hospes definitif. Setelah mirasidium keluar, mirasidium akan hinggap di hospes perantara yaitu keong air. Setelah itu di dalam tubuh keong mirasidium akan mengalami perubahan menjadi sporokista, redia I, redia II dan kemudian menjadi serkaria. Serkaria keluar dari keong dan berenang menuju hospes definitif II yaitu udang batu, kepiting maupun ketam yang kemudian akan membentuk metaserkaria di dalam tubuhnya. Metaserkaria yang termakan oleh hospes definitive yaitu manusia kemudian akan menjadi cacing dewasa di dalam duodenum. Cacing dewasa muda kemudian akan bermigrasi menembus difragma dan menuju ke paru. Jaringan hospes kemudian akan mengadakan reksi jaringan sehingga cacing terbungkus di dalam kista (staff FKUI, 2008). Di dalam paru kista akan menetas menjadi telur yan kemudian menyebabkan batuk. Telur-telur tersebut sebagian tertelan dan melanjutkan daur hidupnya di hospes definitif dan sebagian lagi ada yang keluar melalui tinja maupun sputum. Infeksi dapat terjadi apabila manusia memakan udang kepiting, maupun lobster dalam keadaan tidak matang atau mentah (Onggowaluyo, 2001).
6. Epidemiologi Paragonimus westermani adalah kosmopolit terhadap mamalia, kosmopolit terhadap manusia banya ditemukan di daerah Timur Jauh. Daerah endemic utama adalah Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Tiongkok dan Filiphina. Manusia mendapat infeksi bila memakan ketam air tawar atau udang batu mentah yang terkena infeksi. Kebiasaan di daerah Timur adalah memakan udang batu yang diasinkan atau disajikan menjadi ketam mabuk. Ketam mabuk dibuat dengan dicampurkan anggur dan metaserkaria masih dapat hidup selama beberapa jam dalam cairan anggur. Infeksi pada anak terjadi karena ketam air tawar digunakan sebagai obat campak dengan cara ditumbuk dan diambil cairannya. Hal ini sering dilakukan di daerah Korea (Brown, 2002).
7. Patologi dan Gejala Klinis Apabila cacing dewasa berada dalam kista paru-paru atau bronkus, penderita dapat mengalami gejala batuk kering dan sesak nafas, sakit dada dan demam. Kasus ini disebut dengan Hemoptisisendemis dan kejadiannya terjadi pada pagi hari. Sepintas gejala ini mirip dengan tuberculosis aktif. Penderita biasanya mengeluarkan sputum berdarah (berwarna karat). Pada pemeriksaan fisik menunjukkan suatu bronkopneumoni dengan efusi pleural (Onggowaluyo, 2001). Migrasi cacing dewasa ke organ lainnya dapat menimbulkan gejala yang berbeda-beda tergantung dari organ yang diserang. Keadaan selanjutnya, cacing berada pada otak dan dapat menimbulkan desakan jaringan yang ada disekitarnya. Hal ini menyebabkan prognosis yang buruk karena penderita akan mengalami epilepsy, hemiplegia atau monoplegia. Cacing yang ada di bawah kulit dapat menimbulkan tumor yang dapat digerakkan. Secara patologis, lokalisasi di paru terdapat reaksi-reaksi jaringan yang mendahului pembentukan kapsul jaringan fibrosis (bungkus berwarna biru mengandung sepasang cacing, telur dan infiltrasi radang) (Onggowaluyo,2001).
8. Diagnosis Diagnosis kuat dibuat dengan menemukan telur di dalam sputum maupun cairan pleura. Kadang – kadang telur juga dapat ditemukan di dalam tinja orang yang terinfeksi. Reaksi serologi merupakan cara yang efektif di dalm melakukan diagnosis (staff FKUI, 2008).
9. Pengobatan Klorokuin yang diberikan pada orang dewasa hasilnya cukup baik. Bitiono dan tiobis diklorofenol yang diberikan peroral dapat menyembuhkan 90% dari 1.315 penderita yang diobati, tetapi memberikan reaksi efek samping seperti diare, kemerahan kulit dan sakit perut (Onggowaluyo, 2001).
10. Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan memasak setiap udang, keong, ketam maupun kepiting hingga matang dan menghindari memakannya secara langsung (mentah). Pembuangan tinja dan sputum pada tempatnya (jamban) juga dapat mengurangi penyebaran cacing ini (Onggowaluyo,2001).
B. Schistosoma mansoni
1. Klasifikasi Kingdom : Animalia Filum : Platyhelminthe Kelas : Trematoda Subkelas : Digenea Ordo : Strigeidida Genus : Schistosoma Spesies : Schistosoma mansoni
2. Hospes dan Nama Penyakit Hospes definitifnya adalah manusia, sedangkan hospes reservoirnya adalah kera Baboon dan hewan pengerat. Hospes perantaranya adalah keong air tawar genus Biomphalaria sp. dan Australorbis sp. Habitat cacing ini adalah vena kolon dan rektum.Pada manusia cacing ini dapat menyebabkan Skistosomiasis usus, Disentri mansoni dan Skistosomiasis mansoni (Onggowaluyo, 2001).
3. Morfologi
Bentuk cacing dewasa seperti S. haematobium, tetapi ukurannya lebih kecil. Cacing betina panjangnya 1.7 – 7.2mm.Kelenjar vitelaria meluas ke pinggir pertengahan tubuh. Ovariumnya di anterior pertengahan tubuh, uterus pendek berisi 1 – 4 butir telur. Cacing jantan panjangnya 6.4 – 12 mm, gemuk dengan bagian ventral terdapat ginaekoforalis, testes 6 – 9 buah dan kulit terdiri dariduri-duri kasar. Telur berbentuk lonjong, berwarna coklat kekuning-kuningan, dinding hyalin, berukuran 114 - 175 x 45 – 64 mikron. Pada satu sisi dekat ujung terdapat duri agak panjang, telur berisimirasidium (Onggowaluyo, 2001).
Fisiologi Schistosoma mansoni
Telur Schistosoma mansoni
4. Distribusi Geografik Parasit Schistosoma mansoni ditemukan di banyak negara diAfrika, Amerika Selatan (Brasil, Suriname dan Venezuela), Karibia (termasuk Puerto Rico, St Lucia, Guadeloupe, Martinique, Republik Dominika, Antigua dan Montserat) dan di bagian Timur Tengah. (Departement of Parasitology University Cambridge, 2010)
5. Siklus Hidup
Manusia terinfeksi oleh serkaria di air tawar melalui penetrasi pada kulit. Serkaria masuk tubuh melalui sirkulasi vena ke jantung, paru-paru dan sirkulasi portal. Setelah tiga minggu serkaria matang dan mencapai vena mesenterika superior usus halus lalu tinggal disana serta berkembang biak (Abdul Ghaffar dan Gregory Brower, 2009). Telur yang dikeluarkan oleh cacing betina di dalam usus menembus jaringan sub mukosa dan mukosa lalu masuk kedalam lumen usus dan keluar bersama tinja. Telur yang berada di air tawar menetas dan melepaskan mirasidium yang kemudian berenang bebas mencari hospes perantaranya yaitu keong. Dalam tubuh keong mirasidium berkembang menjadi sporokista 1 dan 2 kemudian menjadi larva serkaria yang ekornya bercabang. Serkaria selanjutnya akan mencarihospes definitif dalam waktu 24 jam. ( Onggowaluyo, 2001).
6. Epidemiologi Parasit Schistosoma mansoni ditemukan di banyak negaradi Afrika, Amerika Selatan (Brasil, Suriname dan Venezuela),Karibia (termasuk Puerto Rico, St Lucia, Guadeloupe, Martinique,Republik Dominika, Antigua dan Montserat) dan dibagian Timur Tengah. (Departement of Parasitology University Cambridge, 2010) Hospes definitifnya adalah manusia, sedangkan hospesreservoirnya adalah kera Baboon dan hewan pengerat. Hospes perantaranya adalah keong air tawar genus Biomphalaria sp.dan Australorbis sp. Habitat cacing ini adalah vena kolon dan rektum. Pada manusia cacing ini dapat menyebabkan
Skistosomiasis usus,
Disentri
mansoni
dan
Skistosomiasis mansoni
(Onggowaluyo, 2001).
7. Patologi dan Gejala Klinis Patologi yang berhubungan dengan infeksi dengan Schistosma mansoni dapat dibagi menjadi dua bidang utama, yaitu schistosomiasis akut dan kronis. Schistosomiasis akut bisa disebut juga demam Katayama. Hal ini terkait dengan timbulnya parasit betina bertelur (sekitar 5 minggu setelah infeksi), dan pembentukan granuloma sekitar telur terdapat di hati dan dinding usus, menyerupai hepatosplenomegali dan leukositosis dengan eosinofilia, mual, sakit kepala, batuk, dalam kasus yang ekstrim diare disertai dengan darah, lendir dan bahan nekrotik. Gejala kronis akan tampak beberapa tahun setelah infeksi. Gejalanya seperti peradangan pada hati dan jarang ditemukan di organ lain (paruparu) (Departement of Parasitology University Cambridge, 2010). Pada manusia pula cacing ini dapat menyebabkan Skistosomiasis usus (staff FKUI, 2008).
Demam Katayama
Skistosomiasis Usus
8. Diagnosis Diagnosis dapat ditentukan dengan menemukan telur didalam tinja. Beberapa cara untuk melakukan beberapa cara seperti sediaan hapus langsung dari tinja (metode Kato) maupun dengan cara sedimentasi (0,5 % gliserin dalam air). Bila dalam tinja tidak ditemukan telur diagnosis dapat dilakukan dengan tes serologi, sedangkan untuk menemukan telur yang masih segar dalam hati dan usus dapat dilakukan dengan teknik digesti jaringan (Onggowaluyo,2001).
9. Pengobatan Natrium antimonium tartrat cukup efektif untuk pengobatan penyakit yang diakibatkan oleh parasit ini. Stibovendapat diberikan secara intramuskuler. Nitridiasol juga efektif tetapi bukan sebagai obat pilihan. Obat lain yang cukup baik diberikan peroral adalah oksamniquin dan nitrioquinolin (Onggowaluyo, 2001).
10. Pencegahan Pengendalian Schistosomiasis, dengan mengontrol setiap organisme yang memungkinkan untuk menularkan cacing. Hal ini bertujuan untuk mencegah infeksi baru, biasanya oleh gangguan siklus hidup parasit. Pencegahan dan pengendalian dapat dicapai dengan sejumlah metode seperti berusaha untuk menghilangkan hospes perantara, penghapusan parasit dari hospes definitif, pencegahan infeksi pada inang definitif dan pencegahan infeksi pada hospes perantara (Departement of Parasitology University Cambridge, 2010).
C. Schistosoma haematobium
1. Klasifikasi Kingdom : Animalia Filum : Platyhelminthes Kelas : Trematoda Subkelas : Digenea Ordo : Strigeidida Family : Schistosomatidae Genus : Schistosoma Species : Schistosoma haematobium
2.
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia, kera dan baboon. Hospes perantaranya adalah keong air tawar bergenus Bulinus sp. Physopsis sp.
dan Biomphalaria sp. Penyakit yang
disebabkan oleh cacing ini adalah Skistosomiasis vesikalis, Hematuriskistosoma, Bilharziasis urinarius. Cacing ini tidak ditemukan di Indonesia (Onggowaluyo, 2001).
3.
Morfologi
Cacing dewasa jantan gemuk berukuran 10-15 x 0,8-1mm. Ditutupi integumen tuberkulasi kecil, memiliki dua betil isap berotot, yang ventral lebih besar. Di sebelah belakang batil isap ventral, melipat ke arah ventral sampai ekstremitas kaudal, membentuk kanalis ginekoporik. Di belakang batil isap ventral terdapat 4-5 buah testis besar. Porus genitalis tepat di bawah batil isap ventral. Cacing betina panjang silindris, ukuran 20x0,25 mm. Batil isap kecil, ovarium terletak posterior dari pertengahan tubuh. Uterus panjang, sekitar 20-30 telur berkembang pada saat dalam uterus. Kerusakan dinding pembuluh darah oleh telur mungkin disebabkan oleh tekanan dalam venule, tertusuk oleh duri telur dan mungkin karena zat lisis yang keluar melalui pori kulit telur sehingga telur dapat merusak dan menembus dinding pembuluh darah (Natadisastra, 2005).
4. Distribusi Geografik Distribusi Schistosoma haematobium ini sebagian besar di Sub-Sahara, di lembah Sungai Nil, Afrika, Negara utara lainnya, dan di Timur Tengah.
5. Siklus Hidup
Orang yang terinfeksi buang air kecil atau buang air besar di air, air kencing atau kotoran mengandung telur cacing. Telur cacing menetas dan cacing pindah ke keong, cacing muda pindah dari keong ke manusia. Dengan demikian, orang yang mencuci atau berenang di air di mana orang yang terinfeksi pernah buang air kecil atau buang air besar, maka ia akan terinfeksi. Cacing atau serkaria (bentuk infektif dari Schistosoma haematobium) menginfeksi dengan cara menembus kulit pada waktu manusia masuk kedalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk infeksi adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, larva ini kemudian masuk ke dalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu paru dan kembali ke jantung kiri, kemudian masuk ke system peredaran darah besar, ke cabang-cabang vena portae dan menjadi dewasa di hati. Setelah dewasa, cacing ini kembali ke vena portae dan vena usus atau vena kandung kemih dan kemudian betina bertelur. Setelah berkopulasi, cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kendung kemih untuk kemudian ditemukan di dalam tinja atau urine. Telur menetas di dalam air, dan larva yang keluar disebut mirasidium. Mirasidium ini kemudian masuk ke tubuh keong air dan berkembang menjadi serkaria (Muslim, 2009).
6. Epidemiologi Schistosoma haematobium ini merupakan trematoda darah vesicalis yang dapat menimbulkan Schistomiasis vescicalis, Schitosomoasis haematobia, vesical atau urinary bilharziasis, Schitosomal hematuria dan Infeksi S. haematobium sering terjadi dilembah hulu Sungai Nil, meliputi bagian besar Afrika termasuk kepulauan di pantai Timur Afrika, ujung Selatan Eropa, Asia Barat dan India (Natadisastra, 2005).
7.
Patologi dan Gejala Klinis Setelah kontak dengan kulit manusia, serkaria masuk kedalam pembuluh darah kulit.
Lebih kurang 5 hari setelah infeksi, cacing muda mulai menjangkau vena portae dan hati. Kira-kira tiga minggu setelah infeksi pematangan cacing dimulai sejak keluarnya dari vena portae. Setelah infeksi 10-12 minggu, cacing betina mulai meletakan telur pada venule. Efek patogen terdiri atas: a.Reaksi lokal dan umum terhadap metabolit cacing yang sedang tumbuh dan matang b.Trauma dengan perdarahan akibat telur keluar dari venule. c.Pembentukan pseudoabses dan pseudotuberkel mengelilingi telur terbatas pada jaringan perivaskuler Kelainan terutama ditemukan di dinding kandung kemih. Gejala yang ditemukan adalah hematuria dan distursia bila terjadi sistitis. Penyakit ini seringkali tidak memperlihatkan tanda-tanda awal. Di beberapa tempat tanda-tanda umum yang sering terlihat adanya darah di dalam air kencing atau kotoran. Pada wanita tanda ini bisa juga disebabkan oleh adanya luka pada alat kelaminnya. Di daerah dimana penyakit ini banyak terjadi, orang yang memperlihatkan sekedar gejala-gejala yang tidak parah atau hanya sekedar sakit perut saja, patut diperiksa (staff FKUI, 2008).
Calcification of the bladder wall on a plain x-ray image of the pelvis, in a sub-Saharan man of 44 years old. This is due to urinary schistosomiasis.
8.
Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau jaringan biopsi
hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis. Reaksiserologi dapat dipakai adalah COPT (Circumoval precipitin test), IHT (Indirect Haemagglutation test), CFT (Complement fixationtest), FAT (Fluorescent antibody test) dan ELISA (Enzyme linkedimmuno sorbent assay) (Natadisastra, 2005).
9.
Pengobatan Pengobatan terbaik penyakit ini adalah dengan obat-obatan. Menemui seorang
petugas kesehatan untuk mengetahui obat apa yang harus digunakan, atau membaca buku kesehatan umum. Luka pada alat kelamin dan adanya darah di dalam air kencing juga merupakan tanda penyakit infeksi kelamin menular (STI = SexuallyTransmitted Infections). Banyak wanita tidak mau berobat karena takut mereka akan dituduh mengidap penyakit STI. Jika tidak diobati akan memicu penyakit infeksi parah lainnya dan dapat membuat wanita jadi tidak subur (tidak dapat hamil). Obat Metrifonate, organoposforus cholinesterase inhibitor. Dosisnya 5-15 mg/ kg berat badan diberikan dengan interval 2minggu (Natadisastra, 2005). 10. Pencegahan Penyakit cacing dalam darah tidak ditularkan secara langsung dari satu ke orang lain. Sebagian hidup cacing harus dihabiskan dengan hidup di dalam keong air jenis tertentu. Program masyarakat dapat diadakan untuk membasmi keong-keong ini agar mencegah penularan penyakit cacing dalam darah. Program-program ini hanya berjalan baik jika orang mentaati langkah pencegahan yang paling mendasar yakni jangan buang air kecil atau buang air besar di dalam atau di dekat sumber air. Cara menghindari penyebab penyakit ini antara lain: a. Menghindari kencing atau buang air besar di dalam air atau dekat sumber air. b. Hindari berenang di dalam air kotor. c. Gunakan perlindungan sepatu jika masuk ke air, misalnya memakai sepatu boot (Muslim, 2009).
D. Schistosoma japonicum 1. Klasifikasi Kingdom: Animalia Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: Trematoda
Subkelas : Digenea Ordo
: Strigeidida
Genus : Schistosoma Spesies : Schistosoma japonicum 2. Hospes dan Nama Penyakit Hospes utamanya adalah manusia dan beberapa jenis hewan seperti tikus sawah, babi hutan, sapi dan anjing hutan. Hospes perantara dari cacing ini adalah keong air (Oncomelania sp) dan di Indonesia yaitu keong air Oncomelania hupensis lindoensis (Onggowaluyo, 2001 ). Habitat keong air yang berada di Danau Lindu adalah di daerah ladang, sawah yang tidak terpakai lagi, parit diantara sawah dan di daerah hutan perbatasan bukit, serta dataran rendah (staff FKUI, 2008). Manusia merupakan hospes definitive Schistosoma japonicum (oriental blood fluke) sementara babi, anjing, kucing, kerbau, sapi, kambing, kuda, dan rodensia merupakan hospesreservoir. Membutuhkan hospes perantara siput air tawar spesies Oncomelania nosophora, O. Hupenis, O. Formosona, O. hupensislindoensis di danau lindu (Sulawesi tengah) dan O. quadrasi. Siputini berukuran kecil, operculate, bersifat amphibi serta dapat bertahan hidup beberapa bulan dalam keadaan yang relative kering (Natadisastra, 2005). Parasit ini akan menyebabkan penyakit yaitu Oriental schistosomiasis, Schistosomiasis japonica dan penyakit Katayama atau demam keong (Onggowaluyo, 2001).
Oriental Schistosomiasis
3. Morfologi Cacing dewasa menyerupai Schistosoma mansoni dan S.haematobium akan tetapi tidak memiliki integumentary tuberculation. Cacing jantan, panjang 12-20 mm, diameter 0,50-0,55 mm, integument ditutupi duri-duri sangat halus dan lancip,lebih menonjolpada daerah batilisap dan kanalisginekoporik,memiliki (6-8) buah testis. Cacing betina,panjang ± 26 mm dengan diameter± 0,3 mm. Ovarium dibelakang pada pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria terbatas di daerah lateral ¼ bagian posterior tubuh.
Fisiologi Schistososma japonicum
Uterus merupakan saluran yang panjang dan urus berisi 50-100 butir telur. Telur berhialin, subsperis atau oval dilihat dari lateral,dekat salah satu kutub terdapat daerah melekuk tempat tumbuh semacam duri rudimenter (tombol); berukuran (70-100) × (5065) mm. Khas sekali, telur diletakkan dengan memusatkannya pada venakecil pada submukosa atau mukosa organ yang berdekatan. Tempat telur s. japonicum biasa pada percabangan vena mesenterika superior yang mengalirkan darah dari usus halus.
Telur-telur cacing Schistosoma japonicum lebih besar dan lebih bulat dibanding jenis lainnya, berukuran panjang 70 – 100 mmdan lebarnya 55 – 64 mm. Tulang belakang di telur S.japonicum lebih kecil dan kurang mencolok dibandingkan spesies lainnya (Natadisastra, 2005).
Telur Schistosoma japonicum
4. Distribusi geografik Parasit S. japonicum ditemukan di Asia terutama di Cina,Filipina, Jepang (saat ini sudah tidak ditemukan lagi karena programpengendalian telah sukses dilaksanakan). Indonesia dapat ditemukandibeberapa lembah yang terisolasi di Sulawesi Tengah sekitarDanau Lindu pada tahun 1937 dan Lembah Napu ditemukan tahun 1972 ( Departement of parasitology Univ. Cambridge, 2010).
5. Siklus Hidup
Schistosoma hidup terutama di dalam vena mesenterikasuperior, di tempat ini betina menonjolkan tubuhnya dari yang jantan atau meninggalkan yang jantan untuk bertelur di dalam venula-venula mesenterika kecil pada dinding usus. Telur berbentuk oval hingga bulat, dan memerlukan waktu beberapa hari untuk berkembang menjadi mirasidium matang di dalam kulit telur. Massa telur menyebabkan tekanan pada dinding venula yang tipis, yang biasanya dilemahkan oleh sekresi dari kelenjar histolitik mirasidiumyang masih berada di dalam kulit telur. Dinding itu kemudian sobek,dan telur menembus lumen usus yang kemudian keluar dari tubuh. Pada infeksi berat, beribu-ribu cacing ditemukan di dalam pembuluhdarah (Muslim, 2009). Selanjutnya jika kontak dengan siput sesuai, larvamenembus jaringan lunak dalam 5-7 minggu, membentuk generasi pertama dan kedua sporokista. Pada perkembangan selanjtunyadibentuk cercaria yang bercabang. Cercaria ini dikeluarkan jika siputberada pada atau di bawah permukaan air. Dalam waktu 24 jam,cercaria menembus kulit sebagai hasil kerja kelenjar penetrasi yangmenghasilkan enzim proteolitik, menuju jalinan kapiler, ke dalamsirkulasi vena menuju jantung kanan dan paru-paru, terbawa sampauke jantung kiri menuju sirkulasi sistemik.
Tidak sepenuhnya rute perjalanan ini diambil oleh schistosomula (schistosoma muda) padamigrasi mereka dari paru-paru ke hati. Mungkin seperti S. mattheei ,schistosomula merayap melawan aliran darah sepanjang dinding A.Pulmonalis, jantung kanan, dan vena cava menuju ke hati melaluivena hepatica. Infeksi dapat bertahan untuk jangka waktu yang tidak terbatas, dapat mencapai 47 tahun (Natadisastra, 2005). Penetasan berlangsung di dalam air. Walaupun Ph, kadar garam, suhu, dan aspek lainnya penting, faktor-faktor di dalam telur berperan utama dalam proses penetesan. Migrasi Schistosoma japonicum ke dalam tubuh dimulai dari masuknya cacing tersebtu kedalam pembuluh darah kecil, kemudian ke jantung dan sistemperedaran darah. Cacing yang sedang migrasi biasanya tidak atau sedikit menimbulkan kerusakan atau gejala, tetapi kadang terjadi reaksi hebat, misalnya pneumonia akibat masuknya cacing ke dalam paru. Schistosoma japonicum merupakan penyakit yang ebih beratdan destruktif dari pada penyakit yang disebabkan oleh dua spesies lain yang biasa menginfeksi manusia (Muslim, 2009).
6. Epidemiologi Schistosoma japonicum adalah satu-satunya trematoda darah padamanusia yang kebetulan ditemukan di Cina. Ini adalah penyebab schistosomiasis japonica, penyakit yang masih tetap menjadi masalah kesehatan yang signifikan terutama di daerah danau dan tanah rawa. Schistosomiasis adalah infeksi yangdisebabkan terutama oleh tiga spesies schistosome berikut yaitu Schistosoma mansoni, Schistosoma japonicum dan Schistosoma haematobium. S. japonicum yang memiliki sifat paling menular diantara ketiga spesies tersebut (Tie-Wu Jia et al, 2007). Infeksi oleh cacing schistosomes diikuti dengan demam Katayama akut. Catatan sejarah penyakit Katayama menunjukan kembali penemuan S. japonicum di Jepang pada tahun1904. Penyakitini dinamai sesuai dengan daerah endemic tersebut yaitu Katayama, Hiroshima, Jepang (Ishii A et al, 2003). Jika tidak diobati, ia akan berkembang menjadi suatukondisi kronis yang ditandai dengan penyakit hepatosclemic danperkembangan fisik dan kognitif terganggu. Tingkat keparahan Schistosoma japonicum muncul dalam 60% dari semua penyakit saraf di Schistosomes karena migrasi telur ke otak (Robert et al, 2005). Strain bersifat geographical. Telah diketahui ada 2 strain, yaitu strain Thailandmalasyia dan strain Sulawesi. Terdapat perbedaan pada kedua strain tersebut, yaitu pada tuan rumah yang sesuai. Di Indonesia, di pulau Sulawesi, keadaan endemic tinggi didaerah
danau lindu. Pada tahun 1971 dari pemeriksaan tinja terdapat infeksi s. japonicum 53 % dari 126 orang penduduk pada usia antara7-70 tahun, dan di lembah Napu dilaporkan infection rate 8 dan 12% pada dua desa serta 7 % pada Ratus exulans, tikus liar. 7. Patologi dan Gejala Klinis Setelah parasit memasuki tubuh inang dan memproduksi telur, parasit menggunakan system kekebalan inang (granuloma) untuk transportasi telur ke dalam usus.Telur merangsang pembentukan granuloma di sekitar mereka.Granuloma yang terdiri dari sel motil membawa telur ke dalam lumen usus. Ketika dalam lumen,sel granuloma membubarkan meninggalkan telur untuk dibuang dalam feses. Sayangnya sekitar2/3 dari telur tidak dikeluarkan, sebaliknya mereka berkembang diusus. Hal ini dapat menyebabkan fibrosis. Pada kasus kronis, Schinostoma japonicum adalah pathogen sebagian besar spesies Schistosoma karena memproduksi hingga 3000 telur per hari,sepuluh kal lebih besar dari Schistosoma mansoni (Robert et al, 2005). Sebagai penyakit kronis, parasit ini dapat menyebabkan demam Katayama, fibrosis hati, sirosis hati, hipertensi hati portal,spinomegali dan ascites. Beberapa telur mungkin lewat hati dan masuk paru-paru, system saraf dan organ lain di mana mereka dapat memengaruhi kesehatan individu yang terinfeksi (Robert et al, 2005)
8. Diagnosis Identifikasi mikroskopis telur dalam tinja atau urin adalahmetode yang paling praktis untuk diagnosis. Pemeriksaan feses harusdilakukan ketika infeksi S. mansoni atau S. japonicum dicurigai, danpemeriksaan urin harus dilakukan jika diduga terinfeksi S. haematobium. Telur dapat berada dalam tinja pada infeksi semua spesies Schistosoma. Pemeriksaan dapat dilakukan pada Pap sederhana ( papuntuk 1 sampai 2 mg feces). Sejak telur dapat ditularkan sebentar-sebentar atau dalam jumlah kecil, deteksi mereka akan ditingkatkandengan pemeriksaan ulang dan atau melakukan prosedur konsentrasi (seperti formalin - teknik etil asetat). Selain itu, untuk melakukan survei lapangan dan tujuan yang diteliti, keluaran telur dapat diukur dengan menggunakan teknik Kato-Katz (20 sampai 50mg feces) atau teknik Ritchie. Telur dapat ditemukan dalam urin pada infeksi dengan S. haematobium (waktu yang disarankan untuk koleksi antara siang dan 3 sore) dan dengan S.japonicum. Deteksi akan ditingkatkan dengan sentrifugasi dandengan melakukan pemeriksaan sedimen. Kuantifikasi ini bisa dilakukan menggunakan filtrasi melalui membran Nucleopore dari volume standar urin diikuti oleh jumlah telur pada
membran. Biopsi jaringan (biopsi rektal untuk semua jenis dan biopsi kandung kemih untuk parasit S. haematobium) dapat menunjukkan adanya telur ketika pemeriksaan tinja atau urin negatif. Telur S. japonicum kecil, sehingga diagnose teknik konsentrasi mungkin diperlukan. Biopsi sebagian besar dilakukanuntuk menguji schistomiasis kronis tanpa telur. Tes dengan metode ELISA
dapat
juga dilakukan untuk menguji antibodi yang spesifik untuk
schistosomes. Hasil positif menunjukkan infeksi saat ini atau terakhir (dalam dua tahun terakhir). Pemeriksaan ultrasonografi dapat dilakukan untuk menilai sejauh mana morbiditas hati dan limpa terkait (Tie-Wu Jia et al, 2007).
9. Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan prazikuantel. Selain itu dapat juga digunakan natrium antimonytartrat. Obat lainnya tidak memberikan hasil yang memuaskan karena sebenarnya tidak ada obat khusus untuk parasit ini. Obat-obatan yang akan menyebabkan terlepasnya pegangan cacing dewasa pada pembuluh darah, sehingga akan tersapu ke dalam hati olehsirkulasi portal (Onggowaluyo, 2001).
10. Pencegahan Kontrol infeksi Schistosoma japonicum memerlukan beberapa upaya pencegahan penting yang terdiri dari pendidikan, menghilangkan penyakit dari orang yang terinfeksi, pengendalian vektor dan memberikan vaksin pelindung (Robert et al, 2005). Pendidikan dapat menjadi cara yang sangat efektif,tetapi sulit dengan kurangnya sumber daya. Dilakukan juga, meminta orang untuk mengubah kebiasaan, tradisi dan perilaku dapat menjadi tugas yang sulit (Robert et al, 2005). Mengontrol S. japonicum dengan molluscicide telah terbukti tidak efektif karena Oncomelania bekicot amfibi dan air hanya sering untuk bertelur (Robert et al, 2005). Kotoran manusia harus dibuang secara higienis. Kotoran manusia di dalam air bila bertemu dengan hospes intermediet siput Oncomelania merupakan penyebab utama untuk kelangsungan hidup cacing schistosoma. Maka, kotoran sisa manusia tidak boleh digunakan untuk night soiling (pemupukan tanaman dengan kotoran manusia). Untuk menghindari infeksi, individu harus menghindari kontak dengan air yang terkontaminasi oleh kotoran manusia atau hewan, sumber air terutama yang endemik untuk siput Oncomelania (Robert et al, 2005).
Sesaat sebelum memasuki perairan atau daerah air yang berpotensi terinfeksi, repellants cercarial dan salep cercaricidal dapat diterapkan pada kulit sebelum masuk air. Barrier krim dengan basis dimethicone ditawarkan perlindungan tingkat tinggi selama minimal 48 jam (Ingram R.J et al, 2002). Pencarian untuk vaksin praktis terus dan sangat dapat mengambil manfaat daerah bencana (Robert et al, 2005).
BAB III KESIMPULAN
A. Kesimpulan `
Berdasarkan penjabaran di datas dapat disimpulkan bahwa trematoda paru yaitu
Paragonimus westermani mengakibatkan kerusakan paru pada penderita. Sedangkan termatoda darah yaitu golongan Schistosoma dapat menimbulkan gejala kulit berupa alergi, gangguan pada paru seperti batuk yang disertai dahak, demam katayama, gangguan kandung kemih, usus dan lain sebagainya kepada penderita. Kedua termatoda tersebut ditularkan melalui vector berupa keong-keong air sehingga untuk pencegahan dari penularan parasit tersebut yaitu sanitasi yang bersih dan higienis. Jangan pernah membuang kotoran baik buang air kecil atau buang air besar pada saluran perairan umum seperti disungai atau dikebun dan pesawahan. Dan selalu menggunakan alas kaki saat memasuki daerah perairan serta menjaga kesehatan dan kebersihan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA Abdul
Gaffar
and
Gregory
Brower
.
2009
.Trematoda (flukes).
http://pathmicro.med.sc.edu/parasitology/trematodes.html .
Diakses
URL
tanggal
: 16
April 2014. Brown M. B., R. J. Ingram, A. Bartlett, C. Marriott, P.J. Whitfield. 2002. Dimethicone Barrier Cream Prevents Infection of Human Skin bySchistosome Cercariae: Evidence from Franz Cell Studies . TheJournal of Parasitology 88 (2): 399 – 402. Departement of Parasitology University Cambridge . 2010 .Schistosoma URL : http://www.path.cam.ac.uk/~schisto/schistosoma/schisto_pathology.html . Diakses tanggal 16 April 2014. Ishii A; Tsuji M; Tada I (2003). History of Katayama disease: Schistosomiasis japonica in Katayama district, Hiroshima, Japan. Elsevier. New York. Muslim, M. 2009. Parasitologi Untuk Keperawatan. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Natadisastra, D. 2005, Parasitologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Onggowaluyo, JS. 2001. Parasitologi Medik I. Penerbit EGC Kedokteran . Jakarta. Roberts L., Schmidt & Gerald D. 2005. Foundations of Parasitology (7thed.). pp. 247 – 261. Staff Bagian Parasitologi FKUI . 2008. Parasitologi Kedokteran edisi Keempat. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Tie-Wu Jia, Xiao-Nong Zhou, Xian-Hong Wang, Jürg Utzinger, Peter Steinmann & XiaoHua Wu. 2007. Assessment of the age-specificdisability weight of chronic schistosomiasis japonica. Bulletin of the World Health Organization. Geneva.
View more...
Comments