Makalah Nausea Dan Vomiting
April 3, 2018 | Author: LintangNAnggraeni | Category: N/A
Short Description
FARMAKOTERAPI 1...
Description
MAKALAH FARMAKOTERAPI I NAUSEA & VOMITING
Disusun oleh: Kelompok 3 Anggota
: Lintang Nur anggraeni Aries Syafitri Puspitasari
142210101015
Risa Riski Maulida
142210101033
Alfiatur Rohmah
142210101049
Intan Fahri Savitri
142210101069
Indah Setyowati
142210101089
Dila Audilia Rahmat
142210101107
Mata Kuliah : Farmakoterapi I Kelas
132210101039
:A
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER 2016
TINJAUAN PUSTAKA 1. DEFINISI Mual berasal dari bahasa Latin naus (kapal), merupakan sensasi yang sangat tidak enak pada perut yang biasanya terjadi sebelum keinginan untuk muntah, untuk segera muntah. Penyebab mual dan muntah disebabkan oleh pengaktifan pusat muntah di otak. Muntah merupakan aktivitas / kontraksi langsung otot perut, dada dan GI yang mengarah ke pengeluaran isi perut melalui mulut. Muntah adalah aksi dari pengosongan lambung secara paksa dan merupakan suatu cara perlindungan alamiah dari tubuh. 2. ETIOLOGI Mual muntah dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: a. Gangguan GI track Adanya agen yang menyerang atau mengiritasi lapisan lambung, seperti infeksi bakteri H. Pylori, gastroentritis, keracunan makanan , agen iritan lambung (alkohol, rokok, dan obat NSAID). Penyakit peptic ulcer dan GERD juga dapat menyebabkan mual muntah. b. Sinyal dari otak Luka pada kepala, pembengkakan otak (gegar otak atau trauma kepala), infeksi (meningitis atau encephalitis), tumor, atau keseimbangan abnormal dari elektrolit dan air dalam aliran darah. Noxious stimulus: bau-bau atau suara-suara Kelelahan karena panas, terik matahari yang ekstrem, atau dehidrasi. c. Terkait dengan penyakit lain Misalnya pada pasien diabetes dapat mengalami gastroparesis, yaitu kondisi dimana lambung gagal mengosongkan diri secara tepat dan kemungkinan disebabkan generized neuropathy (kegagalan dari syaraf untuk mengirim sinyal yang tepat ke otak). d. Obat dan perawatan medis Terapi radiasi: mual dan muntah dihubungkan dengan terapi radiasi. Efek samping obat, seperti pada obat nyeri narkotik, anti-inflamasi (prednisone dan ibuprofen), dan antibiotik yang dapat menyebabkan mual dan muntah. e. Kehamilan Muntah pada kehamilan terutama pada trisemester pertama yang disebabkan oleh perubahan hormon dalam tubuh. 3. MANIFESTASI KLINIK
Muntah umumnya didahului oleh rasa mual (nausea) dan memiliki tanda-tanda seperti : pucat, berkeringat, air liur berlebihan, takikardi, pernafasan tidak teratur, rasa tidak nyaman, sakit kepala. Jika mual muntah berlangsung terus-menerus maka akan mengakibatkan berat badan menurun, demam, dehidrasi. Gejala muntah juga tergantung pada beratnya penyakit pasien mulai dari muntah ringan sampai parah. 4. PATOFISIOLOGI Terdapat tiga fase emesis, yaitu: Nausea, berupa kebutuhan untuk segera muntah atau mual Retcing , yaitu gerakan yang diusahakan otot perut dan dada sebelum muntah Vomiting atau muntah, yaitu pengeluaran isi lambung yang disebabkan oleh retroperistalsis GI. Muntah di pacu oleh impuls aferen ke pusat muntah pada medulla oblongata. Impuls diterima dari pusat muntah di medulla berupa sinyal melalui CTZ (chemoreceptor trigger zone). CTZ terletak di daerah postrema ventrikel otak, merupakan kemosensor utama bagi emesis dan biasanya terkait dengan muntah akibat rangsangan kimiawi. 5. TERAPI Tujuan terapi antiemetik adalah untuk mencegah atau menghilangkan mual dan muntah, tanpa menimbulkan efek samping. Terapi non farmakologi:
Pasien
moderasi asupan makanan yang lebih baik. Pasien dengan gejala penyakit sistemik sebaiknya mengobati kondisi yang
mendasarinya. Antisipasi mual atau muntah pada pasien terapi kanker dengan memberi profilaksis
antiemetik. Intervensi perilaku dan termasuk relaksasi, biofeedback, self-hypnosis.
dengan
keluhan
sederhana,
menghindari
makanan
tertentu
atau
Terapi farmakologi Faktor pemilihan terapi :
Gejala berdasarkan etiologi Frekuensi, durasi, and tingkat keparahan Kemampuan pasien pada penggunaan obat secara oral, rektal, injeksi atau
transdermal Obat telah berhasil digunakan sebagai antiemetik sebelumnya
Obat-obat yang dapat digunakan yaitu:
a. Antasida Dapat diberikan dalam dosis tunggal atau kombinasi, terutama yang mengandung magnesium hydroxide, aluminum hydroxide, calcium carbonate. Kerjanya yaitu dengan membantu menetralisasi asam lambung. Dosis untuk membantu memulihkan mual dan muntah akut atau intermitten yaitu 15 sampai 30 mL dari produk dengan dosis tunggal atau kombinasi. b. Antihistamine–Antikolinergik Obat antiemetik dari kategori antihistamin-antikolinergik ini bekerja dengan menghambat berbagai jalur aferenviseral yang merangsang mual dan muntah di otak. Efek samping yang dapat ditimbulkan yaitu mengantuk, gelisah, penglihatan kabur, mulut kering, retensi urin, dan takikardia, terutama pada pasien usia lanjut. c. Butyrophenones Dua senyawa butyrophenone yang memiliki aktivitas antiemetik adalah haloperidol dan droperidol. Keduanya bekerja dengan memblokir stimulasi dopaminergik di CTZ. Meskipun setiap agen efektif dalam mengurangi mual dan muntah, haloperidol tidak dianggap sebagai terapi lini pertama untuk mual dan muntah tanpa komplikasi tetapi digunakan untuk perawatan keadaan paliatif. d. Kortikosteroid Kortikosteroid telah menunjukkan efikasi antiemetik sejak adanya pasien yang menerima prednisone sebagai prosedur awal penanganan penyakit Hodgkin untuk mengurangi mual dan muntah. Methyl prednisolone juga telah digunakan sebagai antiemetik. Deksametason telah terbukti efektif dalam pengelolaan mual dan muntah akibat kemoterapi dan pasca operasi baik sebagai obat tunggal maupun dalam kombinasi dengan selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRI).
STUDI KASUS NAUSEA DAN VOMITING Ny. EY, 25 tahun, BB 65 kg, memeriksakan kehamilan pertamanya ke Puskesmas terdekat. Kunjungan ke Puskesmas ini adalah ketiga kalinya. Satu minggu lalu pasien mendapatkan piridoksin untuk mengatasi keluhan mual-muntah di trimester pertama kehamilannya. Pasien kembali ke dokter untuk menanyakan apakah ada obat yang lebih manjur untuk mualmuntahnya. Selama beberapa hari terakhir, keluhannya malah semakin menjadi-jadi. Pemeriksaan dokter menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi ringan dan penurunan berat badan pasien. Pertanyaan: 1. Mengapa dan bagaimana mual-muntah terjadi pada kehamilan? Sebagian besar kejadian mual muntah pada kehamilan berlangsung sejak usia kehamilan 9-10 minggu atau pada kehamilan trimester pertama. Sebagian kecil kejadian ini dapat
berlanjut sampai usia kehamilan 20-24 minggu. Etiologi dari mual dan muntah selama kehamilan belum diketahui dengan pasti, namun ada beberapa usulan terkait dengan faktor penyebabnya yaitu : a. Faktor hormonal HCG (Human Chorionic Gonadotrophin) adalah hormone yang dihasilkan selama kehamilan. HCG berfungsi untuk mencegah involusi korpus luteum pada ovarium, yang berfungsi sebagai tempat pembentukan progesteron yang utama pada kehamilan 6-8 minggu pertama. Hormon HCG ini bekerja pada chemoreseptor trigger zone pada pusat muntah sehingga dapat memicu mual muntah pada kehamilan. Selain itu, produksi hormon progesteron yang tinggi dapat mengakibatkan penurunan kadar motalin, yaitu suatu peptida yang memiliki efek pada perangsangan otototot halus. Penurunan motalin tersebut mengakibatkan motilitas saluran gastrointestinal menurun, pemanjangan waktu pengosongan lambung, dan menurunnya gerakan peristaltik yang menyebabkan mual. b. Infeksi Helicobacter pylori Kejadian peningkatan infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) telah diamati pada wanita dengan hiperemesis gravidarum (HG) dan sekarang dianggap berperan dalam patogenesisnya. Frigo et al. menemukan bahwa 90,5% dari wanita dengan HG positif terinfeksi H. plyori, dibandingkan dengan 46,5% dengan kontrol. Infeksi H. pylori pada kehamilan dapat terjadi karena perubahan yang diinduksi hormon steroid dalam pH lambung dan / atau peningkatan kerentanan akibat perubahan di humoral dan imunitas termediasi sel. Namun, tidak ada bukti jelas bahwa kehamilan merupakan predisposisi de novo dari infeksi H. pylori. Sebaliknya, H. pylori dapat memperburuk perubahan hormon yang mempengaruhi saraf dan fungsi elektrik dari lambung dan dengan demikian dapat meningkatkan risiko mual dan muntah bagi perempuan yang terinfeksi. c. Dismotilitas Gastrointestinal Perubahan tekanan relaksasi dalam lower sfingter esofagus (LES) dan gerakan peristaltik esofagus telah dikaitkan dengan mual muntah pada kehamilan. Meskipun perubahan ini biasanya lebih terkait dengan mulas pada kehamilan, penyakit gastroesophageal reflux (GERD) dapat menyebabkan gejala atipikal seperti mual dan berkontribusi pada NVP. Estrogen dan progesteron adalah mediator yang diduga menyebabkan dismotilitas esofagus pada kehamilan dimana estrogen berfungsi sebagai primer dan progesteron menyebabkan relaksasi LES.
d. Faktor psikososial Studi awal mengusulkan bahwa NVP mungkin merupakan penyakit psikosomatik, dimana mual muntah merupakan akibat dari konflik intrapsikis. Beberapa berspekulasi bahwa NVP adalah manifestasi dari upaya bawah sadar wanita hamil untuk menolak kehamilan yang tidak diinginkan, hasil studi telah menemukan bahwa wanita dengan NVP pada trimester pertama lebih cenderung tidak menginginkan kehamilan atau kehamilan tersebut tidak direncanakan. HG (hiperemesis gravidarum ) juga telah dikaitkan dengan gangguan psikologis, yaitu kecenderungan neurotik, histeria, penolakan kehamilan serta depresi dan stres psikologis, yang mungkin dapat memperburuk gejala fisik. 2. Apa sajakah tanda-tanda dehidrasi ringan, sedang, dan berat pada kehamilan? Simptom Kesadaran Denyut jantung
Dehidrasi ringan Baik, sadar
Dehidrasi sedang Dehidrasi berat Normal, lelah, Lesu, lunglai, atau idak
Normal
gelisah Normal - meningkat
sadar Takikardi,
brakikardi
Kekuatan nadi
Normal
Normal-melemah
pada kasus berat Lemah, kecil,
Pernafasan Air mata Turgor kulit Mata Mulut dan lidah Rasa haus
Normal Ada Segera kembali Normal Basah Minum normal
Normal-cepat Berkurang Kembali < 2 detik Sedikit cekung Kering Haus, ingin minum
teraba Dalam Tidak ada Kembali ˃ 2 detik Sangat cekung Sangat kering Tidak dapat minum
Urin Ekstremitas Penurunan
Normal Hangat < 3% berat badan
banyak Berkurang Dingin 3-9% berat badan
atau malas minum Minimal Dingin, sianosis ˃ 9% berat badan
tidak
berat badan 3. Apakah kondisi pasien membahayakan kehamilan pasien? Mengapa? Ya, dari gejala yang ditimbulkan kemungkinan mengarah pada hiperemesis gravidarum. Prawirohardjo (1997) menyatakan bahwa hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan karena muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga menyebabkan tubuh penderita lemas.
Penurunan barat badan terjadi karena tubuh kekurangan cairan tubuh (dehidrasi) dan tubuh tidak memiliki cukup nutrisi untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Jika keadaan ini terus berlanjut dan tidak diatasi dengan akan berdampak buruk pada ibu dan bayi. Menurut Prawirohardjo (1997), Faktor psikologik juga merupakan faktor predisposisi dari penyakit ini. Keadaan mual-muntah yang tidak kunjung sembuh dan terjadinya penurunan berat memungkinkan pasien mengalami depresi yang dapat menyebabkan konflik mental yang akhirnya memperberat mual dan muntah sebagai ekspresi tidak sadar. Jika muntah yang berat terjadi pada awal kehamilan, kemungkinan muntah akan berlangsung lama dibandingkan dengan mual yang tidak disertai dengan muntah, dan tampak berhubungan dengan berat badan bayi lahir redah (BBLR). Wanita yang mengalami hiperemesis gravidarum berat, dengan penurunan berat badan lebih dari 7 kg, memiliki kemungkinan mengalami keguguran, kelahiran bayi preterm, kelahiran mati, pertumbuhan terhambat, apgar score menit ke-5 kurang dari 7 dan kematian ibu (Ogunyemi, 2007; Quinlan & Hill, 2003). 4. Jelaskan bagaimanakah tata laksana terapi yang aman dan efektif untuk Ny. EY (tujuan terapi, terapi farmakologis dan non farmakologis)? Penatalaksanaan dimulai dari perubahan pola makan dan pola hidup sampai penggunaan supplement vitamin, terapi antiemetic, sampai pada hospitalisasi. Penatalaksaan umum dimulai dari terapi nonfarmakologi dan juga terapi obat-obatan jika mual dan muntah tidak dapat diatasi. a. Terapi non farmakologis Pengobatan psikologis Pendekatan psikologik sangat penting dalam pengobatan hiperemsis gravidarum. Bantuan moral dengan meyakinkan wanita bahwa gejala-gejala yang terjadi wajar dalam kehamilan muda dan akan hilang dengan sendirinya menjelang kehamilan 4 bulan sangat penting artinya (Prawirohardjo, 1997). Penderita hiperemesis gravidarum harus didukung secara psikologis, termasuk penentaraman hati, mungkin konseling keluarga dan individu, dan mengurangi
pekerjaan harian dan rangsangan lingkungan (Mesics, 2008). Makan porsi kecil tapi sering Keluhan mual dan muntah ini dapat diminimalisasi dengan makan porsi kecil tapi sering dan berhenti sebelum kenyang dan menghindari makanan yang mungkin akan memicu atau memperparah gejala (Williams, 2006). Rekomendasi umum yang dapat
dipilih adalah makan makanan lunak dan manis, tinggi karbohidrat, rendah lemak, menghindari makanan berbau menyengat, dan tidak mengkonsumsi tablet besi (Mesics, 2008). Mesics (2008) juga merekomendasikan makan dalam porsi kecil tapi sering setiap 2 sampai 3 jam, minum minuman mengandung gas diantara makanan lebih baik daripada dengan makanan untuk menghindari distensi lambung: makan rendah lemak, tinggi protein, menghindari makanan berminyak dan makanan asin untuk rasa.
Perubahan tingkah laku Perubahan tingkah laku yang direkomendasikan untuk pasien yang menderita hiperemesis gravidarum yaitu untuk meningkatkan waktu istirahat, jalan-jalan mencari udara segar, menghindari gerak yang tiba-tiba, menghindari menggosok gigi segera setelah makan, dan berdiri sesaat setelah makan akan mengurangi muntah (Mesics, 2008) Menghindari bau sangat penting dilakukan. Terlalu sensitif terhadap bau terjadi pada kehamilan, kemungkinan karena peningkatan hormon estrogen. Bau yang menusuk hidung umumnya adalah bau makanan tapi kadang-kadang juga bau parfum atau bahan kimia. Meminimalkan bau dan peningkatan udara segar adalah kunci untuk
menghindari mual (Mesics, 2008). Penggunaan akupresure dan jahe Murphy dan Chez (2000, dalam Williams, 2006) mengkaji terapi-terapi alternatif antara lain penggunaan akupuntur pada titik P6 dan bubuk jahe yang diberikan 250 mg 3-4 kali sehari. Smith, et al. (2006) juga menyatakan terapi alternatif yang biasa digunakan adalah penggunaan jahe, peppermint, dan daun raspberry. Jahe memiliki keuntungan sebagai sebuah terapi alternatif untuk penatalaksanaan variasi mual dan muntah dalam kehamilan. Dosis yang biasa digunakan untuk jahe adalah 1-2 gr/hari peroral 3-4 dibagi perdosis selama 3 minggu.
Pemijatan Terapi pemijatan juga berperan untuk meningkatkan serotonin dan dopamine dan menurunkan kadar kortisol, dapat membantu secara umum untuk relaksasi dan penurunan stress. Pemijatan taktil dengan lembut, lambat dapat dilakukan pada tangan dan kaki atau pada seluruh tubuh (Mesics, 2008). Mesics (2008) juga menyebutkan
bahwa pemijatan taktil dapat membantu untuk meningkatkan relaksasi, melapangkan pikiran dan memberikan pemikiran kepada ibu bahwa tubuhnya dapat berfungsi kembali. Pemijatan taktil merupakan terapi alternatif dan saling melengkapi untuk hiperemesis gravidarum. b. Terapi farmakologis Tujuan dari perawatan hiperemesis gravidarum adalah mengurangi mual dan muntah, menggantikan cairan dan elektrolit, meningkatkan gizi dan berat badan ibu. Hospitalisasi Jika mual dan muntah yang dialam diikuti oleh dehidrasi, diperlukan perawatan di rumah sakit untuk rehidrasi dan penggantian vitamin dan mineral yang disebut sebagai terapi antiemetik. Setelah ketonuria dan mual dan muntah teratasi, perlu perawatan di rumah, salah satunya adalah obat-obatan per oral (Mesics, 2008). Dalam keadaan muntah yang berlebihan dan dehidrasi ringan, penderita hiperemesis gravidarum sebaiknya dirawat sehingga dapat mencegah komplikasi dari hiperemesis gravidarum (Mansjoer, 2001).
Pemberian obat-obatan o Piridoksin tetap diberikan sebagai vitamin untuk mengatasi keluhan mual-muntah o Penambahan antagonis histamine1-reseptor seperti dimenhydrinate (50 sampai 100 mg secara oral atau rektal setiap 4 sampai 6 jam sesuai kebutuhan), diphenhydramine (25 sampai 50 mg secara oral atau 10 sampai 50 mg secara intravena [IV] setiap 4 sampai 6 jam sesuai kebutuhan), atau meclizine (25 mg per oral setiap 4 sampai 6 jam) dianjurkan. o Antagonis dopamin juga dapat ditambahkan jika
gejala terus menerus
(metoclopramide 5 sampai 10 mg IV setiap 8 jam; promethazine 12,5-25 mg IV setiap 4 jam sesuai kebutuhan; proklorperazin 5 sampai 10 mg oral setiap 6 jam sesuai kebutuhan). o Pasien dengan Naucea and Vomiting of Pregnancy (NVP) persisten atau yang menunjukkan tanda-tanda dehidrasi harus menerima penggantian cairan intravena dengan tiamin. o Kortikosteroid harus dicadangkan untuk pasien dengan NVP refraktori atau hiperemesis gravidarum; methylprednisolone 16 mg oral / IV setiap 8 jam selama 3 hari diikuti dengan penurunan berkala selama 2 minggu. rejimen ini dapat diulang jika perlu, tetapi pengobatan tidak boleh melebihi total 6 minggu.
DAFTAR PUSTAKA Dipiro, et al. 2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Seventh Edition. United States of America : The McGraw-Hill Companies, Inc. Noel M. Lee, Sumona Saha. 2011. Nausea and Vomiting of Pregnancy. USA : University of Wisconsin School of Medicine and Public Health, Division of Gastroenterology and Hepatology, UW Medical Foundation Centennial Building, 1685 Highland Avenue, Room 4224, Madison, WI 53705. Leksana, Eri. 2015. Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Prawirohardjo, S. 1997. Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBPSP. MacGibbon, K. 2008. Hyperemesis Gravidarum Survival Guide. http://www.helpher.org/downloads/survival-guide.pdf. Mesics, S. 2008. Hyperemesis Gravidarum. http://www.guidelines.gov/summary/summary.aspx? doc_id=10939. Ogunyemi, D.A. 2007. Hyperemesis Gravidarum. http://www.emedicine.com/MED/topic1075.htm. Quinlan, J.D., & Hill, A. 2003. Nausea and Vomiting of Pregnancy. http://www.aafp.org/afp/20030701/121. Williams. 2006. Williams Obstetrics, 21 Ed, Vol 2. Jakarta: EGC Smith, et al.. 2006. Treatment Option for Nausea and Vomiting During Pregnancy.Pharmacotherapy: 26(9) 1273-1287. Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.I, Setiowulan, W. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
MAKALAH FARMAKOTERAPI I INFLAMATORY BOWEL DISEASE
Disusun oleh: Kelompok 3 Anggota
: Lintang Nur anggraeni Aries Syafitri Puspitasari
142210101015
Risa Riski Maulida
142210101033
Alfiatur Rohmah
142210101049
Intan Fahri Savitri
142210101069
Indah Setyowati
142210101089
Dila Audilia Rahmat
142210101107
Mata Kuliah : Farmakoterapi I Kelas
132210101039
:A
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER
2016 TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi traktus gastrointestinal , yaitu Penyakit Crohn dan Ulcerative Colitis. Kedua kelainan tersebut harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi, alergi dan keganasan. Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal yang beragam dan mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal, hepato-bilier, mata, ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh kembang, maka klinisi harus memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari gejala klinis IBD. Crohn’s disease adalah peradangan menahun pada dinding usus. Penyakit ini mengenai seluruh ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi pada bagian terendah dari usus halus (ileum) dan usus besar, namun dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan bahkan kulit sekitar anus. Ulcerative Colitis merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus besar mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut dan demam. Tidak seperti penyakit Crohn, Ulcerative Colitis tidak selalu mempengaruhi seluruh ketebalan dari usus dan tidak pernah mengenai usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon sigmoid (ujung bawah dari usus besar) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau seluruh usus besar. 2. Patogenesis Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya Inflammatory bowel disease (IBD): Faktor Genetik Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa 25% penderita IBD memiliki riwayat keluarga dengan IBD. Pada kembar monozigot peluang untuk Penyakit Crohn sekitar 42%-58% dan peluang untuk Ulcerative colitis sekitar 6%-17%. Sampai saat ini telah ditemukan beberapa kelainan kromosom yang berhubungan dengan Penyakit Crohn dan Ulcerative colitis atau keduanya. Kromosom 16 (gen IBDI) atau gen CARD15
berhubungan dengan Penyakit Crohn. Perinuclear antinetrophil antibody (pANCA) ditemukan pada 70% penderita Kolitis Ulserativa. Kromosom 5 (5q31), 6 (6p21 dan 19p) sering ditemukan pada penderita IBD. Faktor Lingkungan Beberapa agen infeksius diduga sebagai penyebab IBD. Akan tetapi, isolasi agen infeksius dari jaringan IBD tidak dapat membuktikan hubungan antara agen infeksius sebagai etiologi IBD karena pada IBD sering disertai koloni bakteri oportunistik pada mukosa yang mengalami inflamasi. Selain itu pemberian antibiotika tidak mempengaruhi perjalanan penyakit IBD. Sampai ini belum ada data mengenai transmisi secara epidemik agen infeksius pada IBD. Faktor lingkungan lain yang diduga pencetus IBD adalah stres psikososial, faktor makanan, seperti pajanan susu sapi atau food additives, asupan serat kurang dan zat toksin lingkungan. Faktor Imunologi Kelainan respon kekebalan telah diduga mempunyai peranan dalam patogenesis IBD. Pada IBD, setelah pajanan primer oleh antigen, sistem kekebalan akan mengalami kelainan regulasi yang bersifat menetap dan bertindak sebagai lingkaran setan yang mengakibatkan proses inflamasi. Sel T helper/CD4+ mempunyai peran penting dalam kelainan regulasi sistem kekebalan pada IBD. Sel Th1 menghasilkan interleukin (IL)-2, interferon, dan tumor necrosis factor yang merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel Th1 dan sitokin yang dihasilkan akan merangsang aktivasi makrofag dan pembentukan granuloma, merupakan gambaran histologi yang sering ditemukan pada Crohn’s disease. Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan sitokin seperti IL-4. IL-5, Il-6 dan Il10, akan merangsang antibody-mediated immune respons. Hal ini akan mengakibatkan Ulcerative Colitis. Integritas Epitel Kelainan barier epitel mukosa akan menyebabkan peningkatan pajanan antigen terhadap sistem kekebalan traktus gastrointestinal diduga sebagai faktor inisial pada IBD. Pada Crohn’s disease dijumpai adanya gangguan integritas mukosa yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap protein-protein dilumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi perubahan sekresi dan komposisi mukus. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan antibodi spesifik terhadap protein susu sapi, produk-produk bakteri enterik, dan protein luminal pada penderita Crohn’s disease. 3. Patofisiologi
Jalur akhir umum daripada patofisiologi IBD adalah inflamasi pada mukosa traktus intestinal menyebabkan ulserasi, edema, perdarahan, kemudian hilangnya air dan elektrolit.1 Banyak mediator inflamasi yang telah diidentifikasi pada IBD, dimana mediator-mediator ini memiliki peranan penting pada patologi dan karakteristik klinik penyakit ini. Sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag karena respon daripada berbagai rangsangan antigenik, berikatan dengan reseptor-reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan efek-efek autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin juga akan mendiferensiasikan limfosit menjadi berbagai tipe sel T. Sel T helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan CD, sedangkan TH-2 berhubungan dengan UC. Respon imun inilah yang akan merusak mukosa intestinal dan menyebab proses inflamasi yang kronis. Ulcerative Colitis Pada UC, inflamasi dimulai dari rektum dan meluas sampai kolon bagian proksimal, dengan cepat melibatkan hampir seluruh bagian dari usus besar. Rektum selalu terkena pada UC, dan tidak ada “skip area” (area normal pada usus yang diselang-selingi oleh area yang terkena penyakit), dimana skip area ini didapatkan pada CD. 25% dari kasus UC perluasannya hanya sampai rektum saja dan sisanya, biasanya menyebar ke proksimal dan sekitarnya. Pancolitis terjadi pada 10% dari kasus-kasus yang ada. Usus halus tidak pernah terlibat kecuali jika bagian akhir distal daripada ileum mengalami inflamasi superfisial, maka dapat disebut dengan backwash ileitis. Walaupun keterlibatan total dari kolon lebih sedikit, penyakit ini menyerang serentak dan berkesinambungan. Jika UC menjadi kronik, maka kolon akan menjadi kaku (rigid), memiliki sedikit haustral marking, yang menyebabkan gambaran pipa yang lebam/hitam pada barium enema. Crohn Disease CD dapat melibatkan bagian manapun daripada saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan menyebabkan tiga pola penyakit yaitu penyakit inflamasi, striktur, dan fistula. Penyakit ini melibatkan segmen-segmen oleh karena proses inflamasi granuloma nonspesifik. Tanda patologi yang paling penting dari CD adalah transmural, melibatkan seluruh lapisan daripada usus, tidak hanya mukosa dan submukosa, dimana jika mukosa dan submukosa saja merupakan cirri daripada UC. Selain itu, CD tidak berkesinambungan, dan memiliki skip area antara satu atau lebih dari area yang terkena penyakit. Jika penyakit ini
berlanjut, mukosa akan tampak seperti batu bulat (cobblestone) oleh karena ulserasi yang dalam dan longitudinal pada mukosa yang normal. Tiga pola mayor dari keterlibatan terhadap CD adalah penyakit pada ileum dan ceccum (40%), penyakit terbatas pada usus halus (30%) dan terbatas pada kolon (25%). Rectal sparing khas terjadi pada CD, tetapi tidak selalu terjadi. Namun, komplikasi anorektal seperti fistula dan abses sering terjadi. Walaupun jarang terjadi, CD dapat melibatkan bagian saluran pencernaan yang lebih proksimal, seperti mulut, lidah, esofagus, lambung dan duodenum. 4. Manifestasi Klinis Ulcerative Colitis Suatu serangan bisa mendadak dan berat, menyebabkan diare hebat, demam tinggi, sakit perut dan peritonitis (radang selaput perut). Selama serangan, penderita tampak sangat sakit. Yang lebih sering terjadi adalah serangannya dimulai bertahap, dimana penderita memiliki keinginan untuk buang air besar yang sangat, kram ringan pada perut bawah dan tinja yang berdarah dan berlendir. Jika penyakit ini terbatas pada rektum dan kolon sigmoid, tinja mungkin normal atau keras dan kering. Tetapi selama atau diantara waktu buang air besar, dari rektum keluar lendir yang mengandung banyak sel darah merah dan sel darah putih. Gejala umum berupa demam, bisa ringan atau malah tidak muncul. Jika penyakit menyebar ke usus besar, tinja lebih lunak dan penderita buang air besar sebanyak 10-20 kali/hari. Penderita sering mengalami kram perut yang berat, kejang pada rektum yang terasa nyeri, disertai keinginan untuk buang air besar yang sangat. Pada malam haripun gejala ini tidak berkurang. Tinja tampak encer dan mengandung nanah, darah dan lendir. Yang paling sering ditemukan adalah tinja yang hampir seluruhnya berisi darah dan nanah. Penderita bisa demam, nafsu makannya menurun dan berat badannya berkurang. Crohn’s disease Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah diare menahun, nyeri kram perut, demam, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan atau rasa penuh pada perut bagian bawah, lebih sering di sisi kanan. Komplikasi yang sering terjadi dari peradangan ini adalah penyumbatan usus, saluran penghubung yang abnormal
(fistula) dan kantong berisi nanah (abses). Fistula bisa menghubungkan dua bagian usus yang berbeda. Fistula juga bisa menghubungkan usus dengan kandung kemih atau usus dengan permukaan kulit, terutama kulit di sekitar anus. Adanya lobang pada usus halus (perforasi usus halus) merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Jika mengenai usus besar, sering terjadi perdarahan rektum. Setelah beberapa tahun, resiko menderita kanker usus besar meningkat. Sekitar sepertiga penderita penyakit Crohn memiliki masalah di sekitar anus, terutama fistula dan lecet (fissura) pada lapisan selaput lendir anus. Penyalit Crohn dihubungkan dengan kelainan tertentu pada bagian tubuh lainnya, seperti batu empedu, kelainan penyerapan zat gizi dan penumpukan amiloid (amiloidosis). Gejala-gejala penyakit Crohn pada setiap penderitanya berbeda, tetapi ada 4 pola yang umum terjadi, yaitu : Peradangan : nyeri dan nyeri tekan di perut bawah sebelah kanan Penyumbatan usus akut yang berulang, yang menyebabkan kejang dan nyeri hebat di dinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan muntah-muntah Peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun, yang menyebabkan kurang gizi dan kelemahan menahun Pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisi nanah (abses), yang sering menyebabkan demam, adanya massa dalam perut yang terasa nyeri dan penurunan berat badan. 5. Terapi TERAPI NONFARMAKOLOGIS DUKUNGAN GIZI Dukungan nutrisi yang tepat merupakan aspek penting dari pengobatan pasien dengan IBD, bukan karena tipe tertentu dari diet yang berguna dalam mengurangi kondisi peradangan, tetapi karena pasien dengan penyakit sedang sampai yang berat sering mengalami kekurangan gizi baik karena hasil proses peradangan pada malabsorpsi signifikan atau pencernaan yang buruk, atau karena efek katabolik dari proses penyakit. Malabsorpsi dapat terjadi pada pasien dengan penyakit Crohn's dengan keterlibatan peradangan usus kecil, dimana nutrisi diserap, serta pada pasien yang telah menjalani beberapa
reseksi usus kecil dengan pengurangan permukaan absorptif ("pemendekan usus"). Pencernaan yang buruk dapat terjadi jika timbul kekurangan garam empedu dalam usus. Banyak diet khusus telah dicoba untuk memperbaiki kondisi pasien dengan IBD, tetapi tidak ada telah memperoleh penerimaan luas. Proses eliminasi harus dilakukan hati-hati, sebagai pasien telah diketahui mengecualikan berbagai bergizi produk tanpa penilaian memadai. Beberapa pasien dengan IBD, meskipun tidak mayoritas, memiliki defisiensi lactase, karena itu diare mungkin terkait dengan asupan susu. Pada pasien ini, menghindari susu atau suplemen dengan laktase umumnya meningkatkan gejala pasien. Kebutuhan gizi mayoritas pasien dapat secara memadai ditangani dengan supplementasi enteral. Pasien yang memiliki penyakit yang berat mungkin memerlukan program nutrisi parenteral untuk mencapai status gizi yang wajar atau dalam persiapan untuk operasi. Dalam ulcerative colitis akut yang parah, nutrisi enteral secara signifikan menghasilkan peningkatan yang lebih besar pada jumlah albumin serum, lebih sedikit efek samping yang berkaitan dengan regimen gizi, dan infeksi pasca operasi lebih sedikit, dibandingkan untuk isocaloric, atau isonitrogenous nutrition. Pertimbangan harus diberikan untuk nilai kalori pada administrasi lemak. Nutrisi parenteral merupakan komponen penting dari pengobatan penyakit Crohn yang parah atau ulcerative colitis. Penggunaan nutrisi parenteral memungkinkan usus beristirahat lengkap pada pasien dengan ulseratif berat, radang usus besar, yang mungkin mengubah kebutuhan proktokolektomi. Nutrisi parenteral juga telah berharga dalam penyakit Crohn, karena penyembuhan dapat dicapai dengan nutrisi parenteral pada sekitar 50% dari pasien. Pada beberapa pasien, penyakit ini dapat memburuk ketika nutrisi parenteral dihentikan. Pasien dengan fistula enterocutaneous mendapat keuntungan dari berbagai etiologi dari nutrisi parenteral. Nutrisi parenteral juga mungkin berharga pada anak-anak atau remaja dengan retardasi pertumbuhan terkait dengan penyakit Crohn's, tapi operasi sering diperlukan pada penyakit dengan kondisi parah. Akhirnya, bila mungkin, pemberian nutrisi parenteral dirumah harus digunakan untuk pasien yang membutuhkan terapi jangka panjang, khususnya mereka yang "memiliki usus pendek" sebagai konsekuensi dari reseksi bedah. Ada pertumbuhan minat dalam menggunakan pendekatan probiotik untuk IBD. Probiotik melibatkan pembentukan kembali flora
bakteri normal dalam usus oleh bakteri oral hidup seperti nonpathogenic Escherichia coli, Bifido, laktobasilus, atau Streptococcus thermophilus. Formulasi Probiotik telah efektif dalam mempertahankan remisi dalam ulcerrative collitis. Pembedahan Prosedur Bedah memiliki tempat yang tersendiri dalam pengobatan IBD. Meskipun operasi (proktokolektomi) adalah kuratif untuk ulseratif colitis, ini bukan kasus penyakit Crohn. Prosedur Bedah melibatkan reseksi segmen usus yang terkena dampak, serta koreksi komplikasi (misalnya, fistula) atau drainase abses. Untuk ulcerative colitis, kolektomi mungkin diperlukan ketika pasien menderita penyakit yang tidak terkontrol dengan terapi medis maksimum atau saat ada komplikasi dari penyakit seperti perforasi kolon, dilatasi akibat racun (megacolon), perdarahan kolon tidak terkendali, atau penyempitan kolon. Colectomy dapat diindikasikan pada pasien dengan lama penyakit (lebih lama dari 8 sampai 10 tahun), sebagai tindakan pencegahan terhadap perkembangan kanker, dan pada pasien dengan perubahan premaligna (displasia berat) pada biopsi pengawasan mukosa. Prosedur bedah yang paling umum termasuk proktokolektomi, setelah mana pasien dibiarkan dengan ileostomy permanen, dan kolektomi perut, dengan penghapusan mukosa rektum dan anastomosis suatu kantong ileum ke anus (ileoanal pull-through). Risiko dari operasi pada pasien ini relatif rendah jika operasi dilakukan secara nonemergent. Indikasi untuk operasi dengan penyakit Crohn tidakdilakukan untuk ulcerative colitis, dan operasi biasanya dicadangkan untuk komplikasi penyakit. Masalah yang diketahui dengan Reseksi usus untuk penyakit Crohn adalah tingkat kekambuhan yang tinggi. Pembedahan mungkin tepat pada pasien terpilih yang telah parah atau penyakit tidak berkapasitas meskipun merupakan manajemen medis yang agresif. Prosedur bedah dilakukan meliputi reseksi daerah usus, terutama yang terlibat. Pada beberapa pasien dengan penyakit rektum atau perineum yang parah, pengalihan aliran fecal dilakukan dengan kolostomi. Indikasi lain untuk operasi termasuk temuan dari kanker usus besar, inflamasi massa, atau perforasi usus.
TERAPI FARMAKOLOGI
Jenis utama dari terapi obat yang digunakan dalam IBD termasuk aminosalisilat, glukokortikoid, agen imunosupresif (azathioprine, mercaptopurine, siklosporin, dan methotrexate), antimikrobial (metronidazol dan ciprofloxacin), dan agen untuk menghambat tumor necrosis faktor-α (TNF-α) (antibodi anti-TNF-α). Kortikosteroid Prednisone Mekanisme aksi : menurunkan peradangan dengan menghambat migrasi leuksiit polymorfonuclear dan pembalkan permeabilitas kapiler. Kontraindikasi : Hipersensitivitas; hidup vaksin; herpes simpleks keratitis, infeksi sistemik Efek Samping : Sindrom Cushing ,osteoporosis, patah tulang.
Budesonide Mekanisme Aksi : Budesonide mengontrol laju sintesis protein, menekan migrasi leukosit PMN, fibroblas, membalikkan permeabilitas kapiler dan stabilisasi lisosomal pada tingkat sel untuk mencegah atau mengendalikan peradangan. Kontraindikasi : Hipersensitivitas Efek Samping : Kehilangan kolagen kulit dan atrofi SC; hipopigmentasi lokal
sangat pigmentasi kulit, kekeringan, iritasi, epistaksis. Hidrocotisone Mekanisme Aksi : Hidrokortison adalah kortikosteroid digunakan untuk efek antiinflamasi dan imunosupresif. Kontraindikasi : infeksi jamur, TBC atau sifilis lesi Efek Samping : lemah otot, osteoporosis. Gangguan GI dan perdarahan.
Peningkatan nafsu makan dan penyembuhan luka tertunda. Anti Inflamasi Sulfasalazin Mekanisme Aksi : berefek lokal di daerah kolon dengan menurunkan respon inflamasi dan gangguan sekresi sistemik dengan cara menghambat sintesis
prostaglandin. Mesalamin Mekanisme aksi : mengatur mediator inflamasi terutama leukotrien, terhadap
respon inflamasi, dan menghambat kerja dari TNF (tumor necrosis factor). Imunnosupresan Mekanisme kerja dengan menekan produk imun sehingga limfosit, sel mast, dan produk imun lainnya tidak menyusup ke epitel lambung atau usus dan menyebabakan inflamasi Contoh obat :azathioprine dan mercaptopurine, infliximab,methotrexate. Antimikrobial
Agent Antimikrobial agent seperti metronidazole berfungsi sebagai bakterisida untuk bakteri anaerob dengan menghambat sitesis asam nukleat.
STUDI KASUS INFLAMATORY BOWEL DISEASE Tn. PM, usia 37 tahun, BB 58 kg, datang ke dokter dengan keluhan sering mengalami perdarahan di daerah anus, disertai demam, rasa lemas dan Tn PM mengalami penurunan berat badan sebanyak 5 kg dalam waktu 3 bulan. Dari pemeriksaan, didapatkan terdapat benjolan-benjolan di colon besar Tn. PM. Sebelumnya Ayah Tn. PM juga pernah mengalami hal serupa dan meninggal setelah 3 tahun kemudian. Hasil pemeriksaan lainnya Hb pasien 9,8 mg/dL. Dari hasil
pemeriksaan tersebut, dokter mendiagnosis bahwa Tn. PM menderita penyakit inflamasi usus atau IBD. Dokter meresepkan Sulfasalazin dan metilprednisolon. Pertanyaan : 1
Jelaskan bagaimana patofisiologi dari terjadinya IBD yang terjadi pada Tn. PM . Dari keluhan atau gejala yang disampaikan oleh Tn.PM pada dokter, antara lain yaitu -
Pendarahan di daerah anus
-
Demam
-
Rasa lemas
-
Penurunan berat badan sebanyak 5 kg dalam 3 bulan
Hasil pemeriksaan : -
Terdapat benjolan benjolan di colon besar
-
Hb = 9,8 mg/dL (< dari Hb normal pada laki-laki)
-
Didiagnosa menderita penyakit IBD
Riwayat Keluarga : -
Ayahnya meniggal 3 tahun kemudian setelah menderita penyakit yang sama dengan Tn. PM
Resep obat : -
Sulfasalazin
-
Metilprednisolon Berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Tn.PM oleh dokter yang di diangnosa
penyakit IBD maka tergolong pada IBD tipe Crohn’s disease. Dimana terdapat tanda khas yang dialami yaitu terdapat benjolan di colon besar. Dengan gejala yang di alami oleh Tn.PM maka pengklasifikasian Crohn’s disease yaitu termasuk dalam rentang yang sedang hingga berat, karena pasien mengalami demam dan lemas yang disertai dengan perdarahan di anus dan penurunan berat badan. Penyebab terjadinya IBD mungkin salah satunya adalah faktor genetik dimana sang ayah pernah mengalami sakit yang sama dan meninggal setelah 3 tahun, Tetapi mungkin juga dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor yang lain seperti psikologis dll.
Patofisiologi : Jalur akhir umum daripada patofisiologi IBD adalah inflamasi pada mukosa traktus intestinal menyebabkan ulserasi, edema, perdarahan, kemudian hilangnya air dan
elektrolit. Banyak mediator inflamasi yang telah diidentifikasi pada IBD, dimana mediator- mediator ini memiliki peranan penting pada patologi dan karakteristik klinik penyakit ini. Sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag karena respon daripada berbagai rangsangan Antigenik, berikatan dengan reseptor-reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan efek -efek autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin juga akan mendiferensiasikan limfosit menjadi berbagai tipe sel T. Sel T helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan CD, sedangkan TH-2 berhubungan dengan UC. Respon imun inilah yang akan merusak mukosa intestinal dan menyebab proses inflamasi yang kronis. Dari kondisi yang dialami oleh Tn.PM dapat diketahui bahwa Tn.PM mengalami IBD dengan jenis Crohn disease sebagaimana penjelasan mengenai patofisiologinya sebagai berikut: CD dapat melibatkan bagian manapun daripada saluran pencernaan, mulai dari mulut
sampai anus, dan menyebabkan tiga pola penyakit yaitu penyakit inflamasi,
striktur, dan
fistula. Penyakit ini melibatkan segmen- segmen oleh karena proses
inflamasi granuloma nonspesifik. Tanda patologi yang paling penting dari CD adalah transmural, melibatkan seluruh lapisan daripada usus, tidak hanya mukosa dan submukosa, dimana jika mukosa dan submukosa saja merupakan cirri daripada UC. Selain itu, CD tidak berkesinambungan, dan memiliki skip area antara satu atau lebih dari area yang terkena penyakit. Jika penyakit ini berlanjut, mukosa akan tampak seperti batu bulat (cobblestone) oleh karena ulserasi yang dalam dan longitudinal pada mukosa yang normal. Tiga pola mayor dari keterlibatan terhadap CD adalah penyakit pada ileum dan ceccum (40%), penyakit terbatas pada usus halus (30%) dan terbatas pada kolon (25%). Rectal sparing khas terjadi pada CD, tetapi tidak selalu terjadi. Namun, komplikasi anorektal seperti fistula dan abses sering terjadi. Walaupun jarang terjadi, CD dapat melibatkan bagian saluran pencernaan yang lebih proksimal, seperti mulut, lidah, esofagus, lambung dan duodenum. Namun pada gejala sistemik yang
terjadi
pada Tn.PM adalah demam,
berkeringat, merasa lemas. Demam ringan merupakan tanda pertama yang harus diwaspadai, kemudian pasien dapat merasa kelelahan yang berhubungan dengan anemia. Berak berdarah, terkadang dengan tenesmus, khas terjadi pada UC, namun pada CD
kadang-kadang juga dapat terjadi. Kehilangan berat badan lebih sering terjadi pada CD daripada UC karena terjadinya malabsorpsi yang berhubungan dengan penyakit pada usus halus. Pasien bisa tidak mau makan karena ingin mengurangi gejala yang terjadi selain itu juga mungkin pasien dengan penyakit CD dapat ditemukan massa pada kuadran perut kanan bawah yang akan menimbulkan komplikasi seperti fisura atau fistula perianal, abses, dan prolaps rektum yang akan menyebabkan kehilangan darah yang tidak biasanya dan anemia. 2. Jelaskan peranan genetik pada penyakit tersebut Selama ini, Inflammatory Bowel Disease(IBD) dianggap sebagai akibat respon inflamasi abnormal dalam usus dan respon terhadap pemicu yang belum diketahui. Adanya riwayat keluarga pada sebagian besar pasien, terutama mereka dengan penyakit Crohn, menunjukkan adanya faktor genetik. Telah dihipotesiskan,bahwa respon inflamasi abnormal tersebut disebabkan oleh perubahan pada gen yang menjamin proses simbiosis antara mukosa usus dan mikrobiota 'normal' di usus. Penelitian genetik dengan desain kohort, telah mengidentifikasi peningkatan jumlah alel yang berisiko mengalami perubahan pada individu dengan IBD. Perubahan dapat
terjadi ditingkat molekuler
maupun seluler . Di tingkat molekuler, perubahan dapat terjadi melalui: kecacatan pada fungsi barier epitel dan gen yang terlibat dalam autofagi. Perubahan melalui jalur seluler sebelumnya tidak pernah dipertimbangkan dalam studi IBD , contohnya perubahan reseptor dari respon imun bawaan serta sistem imun dan sitokin terkait gen yang terlibat dalam lengan efektor dan regulator dari respon imun adaptif. Studi lebih lanjut pada hewan dan manusia, telah menyoroti bagaimana respon imun bawaan yang mengalami perubahan dapat terlibat dalam peradangan usus dan bagaimana respon imun adaptif yang abnormal pada pasien IBD. Hilangnya mekanisme homeostasis normal dengan aktivasi baik respon imun bawaan maupun adaptif, mungkin menjadi kunci dari IBD. Respon imun adaptif telah lama menjadi fokus penelitian dalam memahami patogenesis IBD. Subset sel T, Th1 dan Th2, telah diidentifikasi sebagai mediator peradangan pada studi sebelumnya, dan antigen spesifik adalah kunci untuk mengaktivasi kedua subset sel T. Memang,penelitian telah menunjukkan bahwa
antigen bakteri akan memicu respon
imunitassel T. Baru-baru ini, Th17, suatu sel T pengatur (regulatory T cells) dan sel T
naive telah disebut berperan penting dalam induksi dan regulasi tanda-tanda peradangan usus. Penderita IBD mempunyai faktor predisposisi genetik. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa 25% penderita IBD memiliki riwayat keluarga dengan IBD. (penulis lain 10-25%). Pada kembar monozigot peluang untuk Penyakit Crohn sekitar 42%-58% dan peluang untuk Kolitis Ulserativa sekitar 6%-17%. Sampai saat ini telah ditemukan beberapa kelainan kromosom yang berhubungan dengan Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa atau keduanya. Kromosom 16 (gen IBDI) atau gen CARD15 atau disebut sebagai NOD2 yang diperkirakan untuk memperhitungkan 20% dari kecenderungan genetik untuk penyakit chron’s. Perinuclear antinetrophil antibody (pANCA) ditemukan pada 70% penderita Kolitis Ulserativa. Kromosom 5 (5q31), 6 (6p21 dan 19p) sering ditemukan pada penderita IBD. 3. Jelaskan bagaimana rekomendasi dosis terapi obat yang diberikan dokter pada Tn. PM Berdasarkan resep obat yang diberikan oleh dokter, Tn.PM mendapatkan terapi dengan obat Sulfasalazin dan Metilprednisolon Berdasrkan pengklasifikasian dari penyakitnya yang tergolong sedang hingga berat maka rekomendasi dosis terapi masing-masing obat yang diberikan antara lain :
Sulfasalazin Jumlah penggunaan sulfasalazin untuk tiap pasien berbeda-beda, tergantung tingkat keparahan penyakit, usia, kondisi kesehatan pasien, serta reaksi tubuh pasien terhadap obat. Dosis sulfasalazin untuk pasien dewasa umumnya dianjurkan sebanyak 500 mg per hari yang sebaiknya diminum pada malam hari. Setelah satu minggu, dosisnya akan ditingkatkan sebanyak 2.000 – 3.000 mg (2-3 g) per hari namun terbagi dalam beberapa dosis. Untuk Tn. PM sebaiknya mengikuti aturan untuk pasien dewasa pada umumnya, yaitu 500 mg per hari pada malam hari, kemudian setelah satu minggu dosisnya dapat ditingkatkan menjadi 2.000 – 3.000 mg. Dosisnya mengikuti aturan dosis dewasa secara umum karena IBD yang dialami oleh Tn. PM merupakan gejala yang dialami pasien pada umumnya. Sulfasalazin adalah salah satu jenis obat antiinflamasi non steroid. Obat ini umumnya digunakan dalam menangani penyakit inflamasi usus seperti kolitis ulseratif
dan penyakit Crohn. Akan tetapi obat ini hanya berfungsi untuk mengurangi gejala dan bukan untuk menyembuhkan penyakit. Sulfasalazin harus digunakan dengan resep dokter, terutama untuk anak-anak. Sulfasalazin sebaiknya dikonsumsi setelah makan, harus minum banyak cairan selama mengkonsumsinya guna mencegah gangguan ginjal. Sulfasalazin dapat menyebabkan pusing, sehingga setelah mengkonsumsinya dilarang mengemudi atau mengoperasikan alat berat. Harus diperhatikan juga kontra indikasi obat ini. Bentuk sediaan dipasaran berupa tablet.
Metilprednisolon. Dosis metilprednisolon berbeda-beda untuk tiap pasien, tergantung kondisi kesehatan pasien, tingkat keparahan penyakit, dan respon tubuh pasien terhadap pengobatan ini. Jumlah penggunaan metilprednisolon umumnya berkisar 4-48 mg per hari. Dosis obat ini biasanya akan koreksi ulang oleh dokter setelah beberapa waktu sesuai dengan respon tubuh terhadap metilprednisolon. Bila telah diperoleh efek terapi yang memuaskan, dosis harus diturunkan sampai dosis efek minimal untuk pemeliharaan. Untuk dosis metilprednisolon pada Tn. PM sebaiknya mengikuti aturan untuk pasien dewasa pada umumnya, yaitu 4-48 mg per hari, kemudian setelah diperoleh efek terapi yang memuaskan, dosis harus diturunkan sampai dosis efek minimal untuk pemeliharaan. Metilprednisolon termasuk jenis obat kortikosteroid yang bekerja dengan menekan sistem kekebalan tubuh untuk mengurangi gejala peradangan seperti pembengkakan, nyeri, dan ruam. Metilprednisolone dapat digunakan untuk menangani inflamasi dalam berbagai penyakit, seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif, alergi, dll. Dapat dikonsumsi oleh dewasa dan anak-anak. Bentuk sediaannya
berupa tablet dan suntik. Metilprednisolon harus
digunakan dengan resep dokter. Metilprednisolon dikonsumsi dengan makanan atau setelah makan. Peningkatan dan penurunan dosis perlu dilakukan secara berkala untuk mencegah terjadinya efek samping dan gejala putus obat. Diperhatikan juga kontraindikasi dari obat tersebut. 4. Adakah rekomendasi obat yang perlu diberikan pada pasien? Rekomendasi obat lain adalah:
Metronidazol
Metronidazol bisa memberikan manfaat pada terapi penyakit Crohn aktif yang melibatkan perianal, karena aktivitas antibakterinya. Metronidazol pada dosis 0,6-1,5 g sehari dalam dosis terbagi telah digunakan; hal ini biasanya diberikan selama 1 bulan tetapi tidak lebih dari 3 bulan, karena adanya kemungkinan terjadi neuropati perifer. Antibakteri lain sebaiknya diberikan jika secara spesifik diindikasikan (misalnya sepsis yang terkait dengan penyakit perianal dan fistulas) dan untuk mengatasi pertumbuhan bakteri yang
berlebih pada usus kecil. Mesalamin Mesalamin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam2-4 dosis (maksimal 3,2g/hari). Mesalamine topikal lebih efektif daripada mesalamine lisan atau steroid topikal untuk disease.36 distal. Kombinasi lisan dan mesalamine topikal lebih efektif daripada baik sendiri untuk distal aktif disease 26,36,64,65. Bila diberikan secara oral , biasanya 4 sampai 6 g / hari , dan mungkin hingga 8 g / hari. Mesalamine jelas lebih efektif daripada placebo tapi tidak
lebih efektif daripada sulfasalazine untuk penyakit yang luas. Infliksimab Infliksimab telah disetujui untuk penanganan penyakit Crohn aktif berat pada pasien yang tidak memberikan respon memadai terhadap terapi kortikosterod dan imunosupresan konvensional atau yang tidak toleran terhadap obat-obat tersebut. Infliksimab juga diizinkan untuk penanganan fistulating Crohn’s disease yang tidak dapat ditangani. Pada anak, manfaat pengobatan dengan infliksimab hanya pendek (6-8 minggu). Terapi pemeliharaan dengan infliksimab sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien yang memberikan respon terhadap tahapan induksi awal, interval dosis yang tetap mungkin lebih dibanding dosis yang berselang.
Budenison Mekanisme aksi dari Budesonide mengontrol laju sintesis protein, menekan migrasi leukosit PMN, fibroblas, membalikkan permeabilitas kapiler dan stabilisasi lisosomal pada tingkat sel untuk mencegah atau mengendalikan peradangan. Kontraindikasi nya Hipersensitivitas. Efek samping yang dapat ditimbulkan yaitu kehilangan kolagen kulit dan atrofi SC, hipopigmentasi lokal sangat pigmentasikulit, kekeringan, iritasi, epistaksis.
DAFTAR PUSTAKA Dipiro,Joseph T,et al.2006.Pharmacotherapy Handbook 6th edition.New York: Mc Rrawhill William A Rowe. Inflammatory Bowel Disease. htttp://www.emedicine.com V.Alin Botoman, Gregory F. Bonner, Daniella A. Bootman. Management of Inflammatory Bowel Disease. http//www.aafp.org/
Abraham C. Mechanism of Disease: Inflammatory Bowel Disease. N Engl J Med 2009; 361:2066-78. Doug Knutson, Gregg G, Holly C. Management of Crohn Disease. http//www.aafp.org/
View more...
Comments