makalah-kelompok-4

May 17, 2019 | Author: dawfaegweq2 | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

makalah pengelolaan pendidikan...

Description

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang

Model 4 ini membicarakan desentralisasi manajemen pendidikan di level sekolah, kemudian disebut manajemen berbasis sekolah. Meskipun model manajeman ini di negara lain bukan merupakan keharusan dari sistem desentralisasi pemerintah, menejemen berbasis sekolah di indonesia tampaknya kebijakan yang dilaksanakan menyertai menyertai sistem desentralisasi desentralisasi pemerintahan. Model desentralisasi manajemen pendidikan ini mempunyai beberapa kelebihan disamping ada kekurangan-kekurangannya. Keputusan tentang implementasi manajemen berbasis sekolah di indonesia, sungguhpun telah diamanatkan melalui UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, khu sus pasal 51, sebagai pelaksanaan dilakukan bertahap dilakukan program-program perintis. Sekolah-sekolah negri yang mengimplementasikan model manajemen berbasis sekolah memperoleh dana hibah (block-grant) untuk beberapa tahun, sebagian telah mulai sejak tahun 1999 sampai saat ini. Dari pengalaman yang telah dialami oleh beberapa negara, manajemen berbasis sekolah mempunyai dampak terhadap efektifitas sekolah, lebih kusus lagi terhadap mutu prestasi belajar  peserta didik. Oleh karna itu, implementasi menejemen berbasis sekolah diindonesia diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dan prestasi belajar peserta didiknya. Modul ini dibagi menjadi 3 kegiatan belajar sebagai berikut. Kegiatan belajar 1 : membahas konsep dasar dan esensi dari MBS. Kegiatan belajar 2 : membahas MBS dan mutu pendidikan. Kegiatan belajar 3 : membahas sekolah yang efektif dan berhubungan dengan MBS. Setelah mempelajari modul ini tentang desentralisasi manajemen pendidikan pada tingkat sekolah (Manajemen Berbasis Sekolah), diharapkan dapat mejelaskan tentang : 1.

Definisi manajemen berbasis sekolah

2.

Tujuan manajemen berbasis sekolah

3.

Konsep tentang mutu pendidikan

4.

Manajemen berbasis sekolah dan strategi peningkatan mutu 1

5.

Implementasi konsep mutu dalam pendidikan

6.

MBS dan strategi peningkatan mutu

7.

Fungsi sekolah

8.

Pendekatan/kriteria sekolah efektif

9.

Studi tentang sekolah efektif

10.

Hubungan manajemen berbasis sekolah dengan sekolah efektif

B.

Rumusan Masalah

C.

Tujuan

2

BAB II PEMBAHASAN

A.

KONSEP DASAR MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Istilah manajemen berbasis sekolah yang merupakan terjemahan dari istilah berbahasa inggris  school-based management diambil dari beberapa istilah yang cukup bervariasi, seperti  self-managing school, site-based management, collaborative school management atau community-based school management. 1.

Definisi Umum Management Based School Bagaimana keberagaman istilahnya, konsep manajemen berbasis sekolah juga didefinisi

 beragam oleh para ahli pendidikan. Misalnya, mallen, ogawa, dan kranz (dalam Abu-Duhou, dalam Abu-Duhou, 2002) memandang manajemen sekolah sebagai suatu unit dasar pengembangan dan bergantung pada redistribusi orientasi pengambilan keputusan. Candoli (dalam (dalam   Abu-Duhou, 2002), memandang MBS sebagai alat untuk´menekan´sekolah mengambil tanggung jawab apa yang terjadi terhadap anak didiknya. Dengan kata lain, sekolah mempunyai kewenangan untuk mengembangkan  program pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak didik di sekolah tersebut. Dalam pandangan Myers dan Stonehil ( dalam Nurkholis, 2003) manajemen berbasis sekolah merupakan suatu strategi untuk memperbaiki mutu pendidikan melalui pengalaman otoritas pengambilan keputusan dari pemerintah pusat ke daerah ke masing-masing sekolah sehingga kepala sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua peserta didik mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap proses pendidikan, dan juga mempunyai tanggung jawab untuk mengambil keputusan yang menyangkut biaya, personal, dan kurikulum sekolah. Suatu definisi yang menyeluruh dan kompleks tentang manajemen berbasis sekolah dikemukakan oleh Neal (1991, h. 17) sebagai berikut: School-based manahement is a research Bawd, committed, structured, and decentralized method of oprating the school district withil understood parameters and staff roles to maximize resource effectiveness by transferring the preponderant shere of the entire school

3

 system’s budget, along with corresponding dicision-making dicision-making power, the local schools on an equittable lump-sun basis, based upon a differentiated per upil allocation to be spent irrespective of source inthe best interests of teh students in those schools according to a creative local school plan and local school butget develop by the principal collaboratively with trained staff, parents and students as stake holdres, approved by the superintendent;  such plans being designed to achieve approved goals of improving education by placing accountability at the individual school, and evaluated more b y results than by methodology. Kalau didasarkan secara bebas, butiran-butiran yang terkandung di dalam definisi tersebut adalah sebagai berikut. 1.

Manajemen berbasis sekolah adalah sekolah yang berdasarkan penelitian, komitmen, sistem tertentu, dan pengoprasian sekolah dari suatu distrik/wilayah memakai metode sentralisasi dengan para meter (batasan-batasan yang jelas) dan peran staf yang dipahami oleh mereka yang terlibat, untuk memaksimalkan efektifitas penggunaan sumber daya.

2.

Bagian anggaran yang peruntuknya bagi sekolah, sebagian besar dipindahkan ke sekolah masing-masingyang dikelolah di dalam sistem Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS), sejalan dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan pada setiap sekolah.

3.

Alokasi

anggaran

diberikan

dalam

bentuk

lump-sun

(blok

keseluruan,tidak

diperinci)secara adil,berdasarkan alokasi persiswa yang berbeda (misalnya untuk SD,SLTP,dan SMU,serta SLB masing masing perhitungannya berbeda)tidak peduli dari sumber manapun,yang penting untuk kepentingan siswa disekolah tesebut. 4.

Alokasi diberikan sesuai perencana dan anggaran sekolah yang dibuat kepala sekolah  bersama staf(guru) yang sudah terlatih,orangtua,dan siswa sebagai stakeholders dan disetujui oleh Dinas/superintendent (sebelumnya sudah perna dibahas pelibatan siswa terutama untuk sekolah menegah dan ada yang mengatasi hak suara siswa.

5.

Perencana yang dibuat sekolah terutama dirancang untuk mecapai tujuan perbaikan yang disepakati bersama.

6.

Akuntabilitas diberlakukan bagi masing masing sekolah.

7.

Evaluasi lebih pada hasil,bukan pada metodologi atau peroses.

4

Definisi manajemen berbaris sekolah lainnya,yang intinya hampir sama,tetapi tidak sedatail  perincian definisi di atas,dikemukakan oleh Malen,Ogawa,dan Kranz,seperti yang dikutip oleh Mohraman,W School-based management can be viewed conceptuanlly as a formal alternation of  governance structures, as a form of decentralization that identifies the indi vidual school as the primary unit of improvement and relies on the redistribution of decision-making authority as the primary means through which improvements might be stimulated and dudtained. Some formal authority to make decisions in the domains of budget, personnel and  program is delegated to and after distributed among site level actors. Some formal atructure (council, committee, team, board) after composed of principals, teachers, parents, and, at time students and community residents is created so that site participants can be directyl involved in school wide decision making. Butiran yang ditekankan dari definisi MBS di atas adalah: 1.

Masing-masing sekolah merupakan unit utama di dalam perbaikan atau penyempurnaan (mutu) sekolah

2.

Pendistribusian kembali kewenanangan untuk mengambil keputusan dipercayai sebagai cara/wahana menstimulasi atau merangsang perbaikan (mutu) dan menjaga keberlanjutan usaha tersebut.

3.

Kewenangan formal untuk mengambil keputusan, meliputi bidang penganggaran,  personel dan program didelegasikan di antara beberapa faktor pada tingkat sekolah.

4.

Beberapa struktur formal dalam bentuk dewan, komite, tim atau badan, sexing terdiri atas kepala sekolah, guru, orang tua, siswa, dan masyarakat, dibentuk sebagai keterlibatan di dalam pengambilan keputusan sekolah menjadi lebih luas. Taylor (editor, 1990, h 204-205) dalam case studies in effective schools research, -

merumuskan Manajemen Berbasis Sekolah sebagai berikut. School-Based Management, Site-Based management, or Site-Basedn improvement: all ate terms which destribe the governance process and procedures ehich make day-to-day decisionmaking at the school bulding level work. School-based management (MBS) is a form of district organization and management in which the school and its community system is the key unit for

5

day-to-day decision making and for school change and improvement. The MBS decisions are made collaborativel with faculty contribution, and the working structure of the school council or committee is decided upon by the principal and faculty, after with representation from citizents and parents. 2.

Manajemen berbasis sekolah dalam Undang-undang Sisdiknas

Dalam undang-undang repubilk indonesia No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pasal 51, ayat(1) disebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini,  pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksankan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan manejemen berbasis sekolah/madrasah. Penjelasan pasal 51, ayat (1) menyebutkan bahwa yang di maksud dengan manejemen  berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi menejemen pendidikan pada satuan pendidikan, dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Berbeda dengan devinisi yang dikemukakan sebelumnya, devinisi menejemen berbasis sekolah menurut penjelasan pasal 51, ayat (1) UU sisdiknas No.20 Tahun2003 tampak lebih singkat dan sederhana, tetapi keringkasannya justru memerlukan penjelasan lebih terperinci agar didalam pelaksanaan oprasionalnya tidak salah arah dan sesuai dengan tujuan pendidikan dan latar  belakang/esensi konsep menejemen Berbasis sekolah itu sendiri. Otonomi yang berarti mempunyai kewenangan mengatur semua masalah secara mandiri, hendaknya tidak dipahami secara keliru oleh sekolah. Otonomi menejemen pendidikan pada satuan pendidikan dimaksud bukanlah otonomi tanpa batas. Hal ini diberikan dengan batasan batasan (parametertertentu). Sebagai kewenangan yang diberikan oleh otoritas di atasnya., hal ini merupakan salah satu bentuk desentralisasi yang bersifat relatif dan ada batas-batasannya. Di antara batasan/rambu-rambu otonomi satuan pendidikan menurut Umaedi(2004) adalah kebijakan dan peraturan yang berlaku serta idealisme atau harapan mengapa Manajemen Berbasis Sekolah  perlu diterapkan. Parameter pertama, yaitu kebijakan dan peraturan perundangan yang berlaku. Kebijakan dapat berupa kebijakan nasional, provinsi atau kabupaten/kota yang berhubungan dengan  pengelolaan sekolah dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Sisdiknas yang berlaku. 6

Semua ketentuan perundangan dan peraturan yang berlaku.Semuah ketentuan perundangan dan  peraturan yang berlaku, yang berkenan dengan penyeleranggaan dan pengelolaan sekolah juga harus tetap dipatuhi,sepanjang belum dicabut atau dianggap gugur karena adanya ketentuaan  perngganti. Di antara ketentuan dimaksud,yang penting diantaranya adalah Undang-undang tentang

Sistem

Pendidikan

Nasional

No.20

Tahun

2003,dengan

pasal-pasal

yang

 berkaitan,Undang-undang Nomor 22 Thun 1999 tentang Pemerintah Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Lebih jelas dikatakan bahwa dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah,kurikulum sekolah harus taat terhadap apa yg diatur dal pasal mengenai kurikulum beserta pedoma pedoma  pelaksanaannya.Untuk masalah penilaian,masalah akreditasi sekolah diatur ,masalah dana  pendidikan,masalah tenaga kependidikan ,dan seterusnya yang masing masing ada aturan dan  pedoman pelaksanaanya. Dalam kerangka sistem Pendidikan Sistem Nasional,ada pedoman ygang dikeluarkan Dapartemen Pendidikan Nasional,ada yang dikeluarkan pemerintah provinsi ,dan ada juga yang dikeluarkan pemerintah kabupaten/kota. Pendeknya bahwa dengan MBS sekolah bukannya  berbuat sesukanya meskipun kewenangan yang dimiliki oleh sekolah relatif lebih besar dari sebelumnya. Bahkan dengan MBS, tanggung jawab sekolah menjadi lebih besar. Sekolah akan ditagih hasil kerjanya, sehubung dengan kewenangan(otonomi) lebih besar yang diperolehnya. Dengan demikian, sungguhpun rumusan MBS dalam penjelasan Undang-undang No.20 Tahun 2003 tanpak sederhana, tetapi dalam pelaksanaan terikat oleh ketentuan(dan persyaratan) yang diatur oleh pasal-pasal lain dalam Undang-undang tersebut karena pelaksanaan Sisdiknas sebagai sistem tidak boleh dilaksanakan secara sepotong-sepotong. Parameter kedua, parameter idealisme yang berupa harapan-harapan semua stakeholders yang berkepentingan terhadap keberhasilan kependidikan untuk melaksakan berbagai fungsinya. Kalau parameter pertama bersifat formatif, parameter kedua bersifat relatif dalam arti bahwa manajemen sekolah(MBS) dinilai dari sejauh mana ia dapat memenuhi harapan para stakeholders(orang tua, masyarakat, pengguna lulusan, guru-kepala sekolah, dan penyelenggara  pendidikan). Harapan para stakeholders dimaksud, lazimnya disebut tujuan(yang diharapkan).

7

B.

TUJUAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Baik berdasarkan kajian pelaksanaan di negara-negara lain maupun yang tesurat dan tersirat dalam kebijakan pemerintah dan Undang-undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003, serta aspirasi masyarakat yang berkembang, yan berkembang ada 4 aspek yang mencakup sebagai tujuan dari MBS, yaitu: 1.

Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan mencapai mutu dan relevansi pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolak ukur penilaian pada hasil bukan pada metodologi atau  prosesnya. Mutu dan relevansi ada yang memandangnya sebagai satu kesatuan substansi, artinya hasil pendidikan yang bermutu sekaligus yang relevan dengan berbagai keb utuhan dan konteksnya. Bagi yang memisahkan keduanya maka mutu lebih merujuk pada dicapainya tujuan spesifik oleh siswa(lulusan), seperti nilai ujian atau prestasi lainnya, sedangkan relevansi lebih merunjuk ada manfaat dari apa yang diperoleh siswa melalui  pendidikan dalam berbagai lingkup/tuntutan kehidupan (dampak), termasuk juga rana  pendidikan yang tidak diujikan.

2.

Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan menjamin keadilan bagi setiap anak untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu disekolah yang bersangkutan. Dengan asumsi bahwa setiap anak berpotensi untuk balajar maka Manajemen Berbasis Sekolah memberi kelulusan kepada setiap sekolah untuk menangani setiap anak dengan latar  belakang sosial ekonomi dan psikologi yang beragam untuk memperoleh kesempatan dan layanan yang memungkinkan semua anak dan masing-masing anak berkembang secara optimal. Sungguhpun antar sekolah harus saling memacu prestasi, tetapi setiap sekolah harus melayani setiap anak(bukan hanya yang pandai), dan secara keseluruhan sekolah harus mencapai standar kompetisi minimal bagi setiap anak yang diluluskan. Keadilan ini  begitu penting sehingga para ahli sekolah efektif menyingkat tujuan sekolahnya hanya dengan mutu dan keadilan.

3.

Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan meningkatkan aktivitas dan efisiensi. Sebelumnya sudah dibahas tentang sekolah efesiensi bahkan hasil kajian tentang sekolah efektif. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pengelolaan dan penggunaan semuaimput  dalam bentuk non-uang (jumlah dan jenis buku, peralatan, pengorganisasian kelas, metodologi, strategi pembelajaran, dan lain lain) dibandingkan/dihubungkan dengan hasil

8

yang dicapai disebut efektivitas. Efektivitas berhubungan dengan proses, prosedur, da ketepat gunaan semua input yang dipakai dalam proses pendidikan disekolah sehingga menghasilkan hasil belajar siswa, seperti yang diharapkan (sesuai tujuan)., dan input lain yang tepat pula (sesuai lingkungan dan konteks sosial buda ya) sehingga semuainput tepat guna dan tepat sasaran, dengan kata lain efektif untuk mutu pendidikan. Sementara itu, efisiensi berhubungan dengan nilai yang dikeluarkan atau biaya untuk memenuhi semua input

(proses dan semua input yang digunakan dalam proses) dibandingkan atau

dihubungkan dengan hasilnya (hasil belajar siswa). Jadi, apabila yang dibahas dalam  proses pendidikan untuk mencapai hasil (tujuan) bersifat nonuang maka pembahasan  berhubungan dengan efektivitas sekolah, sebaliknya kalau ang dibahas dalam proses  pendidikan di sekolah untuk mencapai hasil yang sesuai tujuan dihitung dalam bentuk uang (Rp) maka kita membahas efisiensi. Kedua proses dibandingkan hasilnya. MBS diharapkan dapat memenuhi efektivitas dan efisiensi sekolah karna perencanaan dibuat sesuai dengan kebutuhan sekolah, sedangka pelaksanaannya juga diawasi oleh masyarakat. 4.

Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan meningkatkan akuntabilitas sekolah dan komitmen semua stake holders. Akuntabilitas adalah tanggungjawab atas semua yang dikerjakan sesuai wewenang dan tanggung jawab yang diperoleh. Selama ini  pertanggungjawaban sekolah lebih pada masalah administratif – keuangan dan bersifat tenis edukatif terbatas pada pelaksanaan program sesuai petunjuk dan pedoman dari pusat (pusat dalam arti nasional maupun pusat-pusat birokrasi di bawahnya), tanpa  pertanggungjawaban hasil pelaksanaan program. Dalam melaksanaan semua pedoman dan petunjuk, sekolah merasa telah melaksanakan semua pedoman dan petunuk, sekolah merasa telah melaksanakan tugas dengan baik. Soal hasil pendidikan (prestasi lulusan) tidak termaksud sesuatu yang harus dippertanggungjawabkan. Tanggung jawab atas hasil  pendidikan, ada di pundak pengambilan kebijakan (pusat kekuasaan), yang akhirnya menjadi sangat berat kerna dalam kenyataan, pusat orientasi tidak dapat mengendalikan semua yang terjadi di sekolah yang kondisinya

sangat beragam. MBS dengan

desentralisasi kewenangan kepada sekolah bukan hanya memberikan kewenangan untuk mengambil keputusan yang lebih luas (daripada sebelumnya), tetapi juga sekaligus membebankan pertanggungjawaban oleh sekolah atas apa-apa yang dikerjakannya. 9

Akuntabelitas pendidikan dan hasilnya(baik administratif-finansial maupun tingkat kualitas yang dicapai) diberikan bukan hanya kepada satu stake holder (pusat/birokrasi) , tetapi kepada berbagai puhak stake holders, termaksud didalamnya orangtua, komite sekolah, dan pengguna lulusan, disamping secara internal kepada guru-guru dan warga sekolah. Akuntabilitas kepada berbagai pihak ini gilirannya akan meningkatkan kepedulian yang kuat pihak-pihak yang etrkait tersebut atas apa yang terjadi di sekolah, terutama dalam hal mutu, keadilah, efektivitas, efisiensi, transparansi, dan sebagainya yang metupakan unsur-unsur yang dituntut oleh konsep akuntabilitas pendidikan.

Latihan 1 1. Adakah perbedaan penekanan definisi Managemen Berbasis Sekolah antara yang dikemukakan Neal dengan yang dikemukakan Malen, Ogawa, dan Kranz ? 2. Manajemen Berbasis Sekolah yang disebutkan dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas lebih singkat dan sederhana. Apa dampak dari keringkasan  penjelasan tersebut bagi penyelenggaraan sistem pendidikan di indonesia?

Kegiatan Belajar 2 C. Manajemen Berbasis Sekolah dan Mutu Pendidikan

Pengenalan dan sosialisasi MBS di indonesia cukup memperoleh respons yang positif dari  berbagai pihak yang merasa jenuh dengan praktik pendidikan yang seolah-olah jalan ditempat (bahkan dituduh cendrung mundur dan tertinggal dari beberapa negara tetangga), sebagian orang masih ragu apakah pembaruan pengelolaan sekolah ini dapat menjamin peningkatan mutu dan  perbaikan kinerja sekolah. Pertanyaan kritis serupa juga dikemukakan oleh abu-duhou (1999), Wohlstetter dkk. (1997), serta Mohman dkk. (1994). Jawaban atas pertanyaan tersebut jelas bahwa MBS tidak menjamin peningkatan mutu pendidikan (Banicky, Rodney, dan Foss, 2000), terutama apabila MBS itu diaplikasikan secara sempit atau parsial (sepotong-potong), tidak memperhatikan seluruh elemen MBS, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Sebagai suatu rengking  perubahan perilaku organisasi yang memfasilitasi keterlibatan intensif antaraberbagai pelaku

10

 proses pembelajaran MBS tidak berdiri sendiri. MBS harus diikuti dengan perubahan proses  belajar yang inovasi dan accountable. MBS juga menuntut perilaku proses pendidikan dan  pembelajaran yang lebih profesional. Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara mbs dengan utu pendidikan, perlu ada  pemahaman bersama tentang konsep mutu pendidikan yang sebenarnya hampir setiap hari dibicarakan oleh para birokrat dan pendidikan pada umumnya, namun dengan persepsi yang  berbeda-beda. Sejauh mana konsep tentang mutu dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan, serta strategi peningkatan mutu dalam kerangka MBS akan dibahas berikut ini. A.

MUTU PENDIDIKAN

Dalam pandangan Umaedi (2004), mutu dapat diartikan sebagai derajat keunggulan sesuatu  barang dan jasa dibandingkan dengan yang lain. Mutu dapat bersifat abstrakmisalnya dalam cara hidup yang bermutu, sikap hidup yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dianggap luhur dan sangat dihormat. Mutu pendidikan dapat ditinjau dalam pend idikan dapat di tinjau dari segi relevansinya dengan kebutuhan masyarakat, cepat tidaknya lulusan memperoleh pekerjaan yang bergaji besar serta kemampuan seseorang di dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Mutu pendidikan d apat ditinjau dari manfaat pendidikan bagi individu, masyarakat, dan bangsa atau negara. Secara spesifik, ada yang melihat mutu pendidikan dari segi tinggi dan luasnya ilmu pengetahuan yang dicapai oleh seseorang yang menempuh pendidikan. Mutu pendidikan sebenarnya dapat dikembalikan dapa fungsi pendidikan atau fungsi sekolah, seperti fungsi ekonomi/teknis, sosial, politik, budaya, pendidikan (Cheng, 1996), dan spiritual (Umaedi, 2004). Kalau lembaga pendidikan dapat merealisasikan fungsi-fungsi tersebut maka lembaga pendidikan tersebut telah memenuhi harapan berbagai stake holders, dan dianggap sudah bermutu. Mutu pendidikan juga dapat dilihat tolak ukur, fungsi, dan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan secara nasional. Pendidikan yang mutu mengacu pada berbagai input (masukan). Seperti tenaga pengajar,  peralata, buku, biaya pendidikan teknologi, dan input-input lainnya yang diperlukan dalam proses  pendidikan. Ada pula yang sangat getol  berorientasi pada proses, dengan argumen bahwa proses  pendidikan itu yang paling menetukan kualitas sehingga kalau harus menentukan kualitas/mutu maka proseslah yang harus diamati dan menjadi fokus perhatian. 11

Pada saat ini, tampaknya banyak didasari bahwa antara berbagai input dan konteks, proses, dan output  atau hasil perlu memperoleh perhatian yang seimbang, bahkan untuk menjamin mutu, langkah-langkah sudah dimulai dari misi, tujuan, sasaran, dan target dalam bentuk desain  perencanaan yang mantap. Para pendidik harus selalu sadar akan hasil yang akan diperoleh bagi siswa setelah melalui proses pembelajaran tertentu dan gambar akan hasil yang ingin dicapai itu  pada gilirannya akan memberikan motivasi untuk mengupayakan input dan proses yang tepat. Bahkan saat ini terdapat kecendrungan kuat untuk menentukan standar hasil pendidikan dalam  bentuk perumusan kompetensi yang ahrus dicapai sesuai jenjang dan satuan pendidikan ( Bab IX, Pasal 35 Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003). Kecendrungan melihat mutu pendidikan berdasarkan hasil dan standar yang telah ditetapkan didorong kuat oleh keinginan konsumen atau eksternal stake holdres, apakah itu orang tua  penggunaan jasa pendidikan atau lembaga pemanfaatan lulusan yang menentukan kompetensi tertentu sebagai indikator kelayakan bagi kelayakan bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan. Sementara input dan proses dianggap sebagai internal stake holdres , yang merupakan prerogatif profesi tenaga pendidikan. Para pakar pendidikan sebagian cendrung menyoroti mutu dari segi proses (termaksud input ) karna pada tataran proses inilah mereka mengembangkan pendidikan, metode, dan teknik, pembelajaran, yang mereka anggap efektif. Dari segi lingkup kompetensi yang harus dicapai begitu luas (sesuai fungsi pendidikan) maka  pandangan tentang mutu juga dalam arti yang luas meliputi berbagai kompetensi, bukan hanya menyangkut ranah kognitif , tetapi juga afektif, psikomotor, dan bahkan spiritual. Mutu tidak hanya terfokus pada pencpaian prestasi akademis, tetapi juga bidang-bidang nonakademik, seperti  prestasi seni, keterampilan sosial, keterampulan vokasional, serta penghayatan dan pengalaman spiritual dalam bentuk budi seperti luhur. Yang menjadi masalah adalah bagaimana menilai secara akurat berbagai jenis kompetensi tersebut, apalagi kalau seluruhnya harus berdasarkan standar nasional, sedangkan sebagian ranah kemampuan yang dicapai untuk sebagian relatif sukar lokal, seperti keterampulan vokasional, keterampilan sosial serta budi pekerti. Ditengah pandangan para ahli evaluasi pendidikan dan ahli metodologi (kurikulum), Total Quality Management atau TQM, mengacu pada ‘dunia bisnis’, menawarkan konsep mutu  berdasarkan kepuasan pelanggan. Dalam dunia bisnis yang sarat kompetisi, memang pada akhirnya ‘selera’ pelanggaran sangat menentukan. Bagaimanajuga produsen menganggap dan 12

meyakini bahwa prosuknya baik (berkualitas), tetapi kalau tidak disukai pelanggan maka produk tersebut dianggap tidak bermutu. Sering terdengar ungkapan ‘pembeli adalah raja’ yang berarti layanan maupun produk yang dijual harus memuaskan si raja. Dalam dunia pendidikan konsep kepuasan pelanggan dapat diterima dengan catatan, kalau  pelanggannya cukup intelektual / terdidik dan punya apresiasi terhadap pendidik tentu seleranya  positif, dalam hal masyarakat setempat untuk bersekolah saja harus dibujuk-bujuk, tentu aspirasinya (kalau diikuti) dapat menyesatkan. Sebuah masyarakat penggemar berat sepak bola , sementara kkurangan guru matematika tidak begitu dihiraukan. Kita juga masih mendengar anak tamat sekolah dasar yang yang masih belum membaca dan menghitung, tetapi mereka mereka terus dinaikkan kelas demi menyenangkan orang tua. Lalu, dimana fungsi pendidikan sebagai wahan pembudayaan masyarakat kalau harus mengikuti begitu saja keinginan masyarakat yang kurang sehat? Pendidikan sebagai instrument perubahan social yang terencana tentu harus mempunyai sikap dan tujuannya yang jelas yang tidak boleh  bertentangan dengan tujuan nasional sebagai bangsa, sambil mengakomodasi aspirasi dan keinginan serta harapan masyarakat tempat lembaga tersebut berada. Dalam konteks Indonesia, yang menganut system pendidikan nasional, ada misi nasional NKRI yang tidak dapat ditawartawar. Dapatkah pendidikan dengan alasan memuaskan konsumen/masyarakat memberi toleransi  bagi aspirasi yang separatis atau mengadopsi pendidikan asing (yang sarat dengan misi Negara asing)? Sejauh mana pendidikan yang berstandar global dikelola agar tidak mengorbankan wawasan kebangsaan? Salis dalam Total Quality Management in Education  (1993, h. 22-25) mengemukakan konsep mutu dalam 3 pengertian. Pertama, mutu sebagai konsep yang absolut (mutlak). Kedua, mutu dalam konsep yang relative. Ketiga, mutu menurut konsumen.

1. Mutu dalam Pengertian Absolut

Dalam pengertian ini, mutu dianggap sesuatu yang ideal, seolah esensi dari kebaikan, keimdahan, kebenaran, “tiada tanding”. “tiada banding” atau “tidak ada duanya”. Segalanya lebih dari yang lain. Boleh jadi sesuatu yang lux (mewah), indah, artistic, kuat termasuk juga mahal, menjadi sesuatu yang elastis, hanya seba gian kecil orang yang dapat 13

memiliki atau bahkan bisa jadi satu orang. Kualitas dalam pengertian ini biasanya menyertakan status bagi pemiliknya, dan sekaligus memberikan keuntungan posisi social  bagi pemiliknya yang membedakannya dari orang-orang yang tidak sanggup memiliki dari sesuatu yang dianggap berkualitas tersebut. Dalam dunia pendidikan tidak semua (hanya sedikit) orang yang mampu mengenyam pendidikan sejenis ini, dan hanya beberapa institusi yang memiliki dana untuk menyelenggarakan pendidikan itu. Jadi, benar-benar  bernuansa elastis. Sungguhpun jumlah lembaga pendidikan seperti ini, sangat terbatas dan sulit untuk dijadikan rujukan karena tidak ada standar yang umum. Dalam pembicaraan sehari-hari  banyak orang bicara mengenai mutu pendidikan, dengan referensi dikepalanya mutu dalam  pengertian absolut ini. Institusi pendidikan yang memenuhi kriteria ini boleh dikatakan mampu mengadopsi konsep “jadilah dirimu sendiri” untuk dapat dikagumi. Kualitas dalam  pengertian absolut dapat menjadi sesuatu yang relative dan bersifat dinamis juga, kalau suatu ketika muncul lembagablain yang dipersepsikan masyarakat sebagai yang terbaik, dengan standar tinggi. 2. Mutu dalam Pengertian Relatif

Mutu dalam pengertian ini bukanlah suatu sebutan untuk suatu produk jasa, tetapi  pernyataan bahwa suatu produk atau jasa telah memenuhi persyaratan atau kriteria atau spesifikasi yang diterapkan (standar). Produk atau jasa tersebut tidak harus terbaik, tetapi memenuhi standar yang telah ditetapkan. Jadi, tergantung standarnya, apakah standar tinggi, sedang atau rendah. Dapat juga standar satu, standar dua atau standar tiga. Produk atau jasa dapat dibandingkan dengan standar yang kelasnya sama. Misalnya, kendaraan yang bermotor kelas 1500cc, 1800cc atau 2000cc. sebuah mobil memenuhi standar (bermutu) dalam kelas 1500cc tidak dibandingkan mutunya dengan kelas 2000cc, demikian seterusnya. Sementara itu standarbersifat dinamis dan ditentukan berdasarkan kesepakatan  pihak yang kompeten

ia dapat dinaikkan dan dapat pula diturunkan sesuai

kesepakatan,ibarat mistar garisnuntuk peloncat tinggi. Untuk meningkatan kualitas, mistar dinaikan kalau terlalu banyang yang dapat melewati, sebaliknya ia dapat diturunkan kalau, misalnya tidak seorangpun dapat melewati.

14

Sifat standar yang dinamis, dapat disulit persyaratannya, dapat pula diringankan sesuai kesepakatan maka kualitas yang mendasarkan diri pada standar disebut kualitas relative. Kata standar di sini justru merujuk pada sebelumnya berdasarkan kesepakatan untuk menghasilkan produk atau jasa yang dihasilkan. Konsep mutu dalam pengertian relative (standar) ini di praktikan oleh “TQM”, sebagai pendekatan untuk meningkatkan mutu secara berkelanjutan, dengan melakukan upaya mencapai standar yang ditetapkan sejak dari input, proses, sampai hasilnya. Sebenarnya dalam konsep kualitas relative ini ada dua aspek. Pertama, mutu diukur dan dinilai berdasrkan persyaratan kriteria dan spesifikasi (standar-standar) yang telah ditetapkan lebih dahulu. Pemenuhan standar ini ditunjukkan oleh produsen secara konsisten sehingga hasilnya (produk maupun jasa) tetap sesuai spesifikasi yang ditetapkan. Upaya menjaga kualitas secra konsisten berdasarkan system yang dianut dan dimiliki oleh lembaga produsen tersebut biasa disebut”penjaminan mutu” atau quality assurance. Kedua, konsep ini juga mengakomodasi keinginan konsumen atau pelanggan, sebab didalam  penetapan standar (persyaratan, kriteria, dan spesifikasi) produk atau jasa yang akan dihasilkan memperhatikan syarat-syarat yang dikenhendaki pelanggan, dan perubahan perubahan standar, antara lain juga didasarkan atas keinginan konsumen/pelanggan, bukan semata-mata kehendak produsen. 3. Mutu menurut Definisi Konsumen

Ada pertanyaan siapa yang memutuskan apakah suatu sekolah menyediakan layanan jasapendidikan yang bermutu atau tidak. Jawaban atas pertanyaan ini menunjukkan sejauh mana nilai-nilai dan aspirasi suatu lembaga pendidikan (sekolah). Dariman nilai-nilai yang mewarnai jasa pendidikan yang diwujudkan, apakah dari internal sekolah atau tuntutan-tuntutan masyarakat yang menghendaki karakteristik layanan  pendidikan tertentu. Nilai-nilai yang dianut sekoah dan aspirasi masyarakat tidak terlalu identic (sama). Suatu ketika dapat terjadi suatu produk atau jasa yang dianggap sudah sangat baik dengan berbagai pertimbangan pakar, ternyata kurang disukai konsumen atau bahkan ditolak atau tidak diminati. Organisasi atau lembaga-lembaga (termasuk sekolah) yang mengikuti pendekatan Total Quality Management atau TQM beranggapan bahwa “kualitas

15

ditentukan oleh Konsumen”. Konsumen terkadang berkonotasi pelanggan, pengguna jasa,  pembeli atau secara umum kadang disebut pasar. Alasan mengadopsi konsep mutu menurut definisi konsumen cukup sederhana. Konsumen dianggap penentu akhir tentang suatu produk atau jasa karena tanpa mereka, suatu organisasi /lembaga tidak dapat hidup atau tidak ada. Konsumen pula yang membeli dan menggunakan/ termanfaatkan produk/jasa. Dengan pendekatan ini, ujungujungnya adalah kepuasan konsumen. Kualitas ditentukan sejauh mana ia memuaskan  pemenuhan kebutuhan dan keinginan mereka atau bahkan melebihi kepuasan dan keinginan adalah suatu konsep yang abstrak maka pengertian kualitas, dalam hal ini disebut “kualitas dalam persepsi”, sementara kualita yang diukur berdasarka spesifikasi (standar) yang telah ditetapkan sering disebut “kualitas dalam fakta/kenyataan”. Bagi lembaga pendidikan yang produknya berupa jasa kepuasaan pelanggan dapat  bermakna ganda. Pertama, kepuasaan terhadap layanan penyelenggaraan di dalam proses  pendidikan, dalam bentuk berbagai layanan kepada siswa, baik di dalam kelas maupun diluar kelas, serta berbagai variasi program yang disajikan yang mnyenengkan dan menggairahkan untuk belajar dan beraktifitas. Juga layanan terhadap orang tua di dalam  berhubungan berkomunikasi serta kerjasama dengan sekolah. Kedua, kepuasaan terhadap hasil pendidikan yang mengacu pada berbagai kopetensi yang dicapai siswa, baik selama dalam proses (sebagian-sebagian) maupun setelah lulus (kompetensi lulusan ‘ keseluruhan”) berdasarkan standar yang ditetapkan / pemenuhan harapan konsumen setelah lulus (terhadap lulusan). Kepuasaan pelanggan ada yang mengaitkan den gan selera yang dari waktu ke waktu dapat berubah. “selera” sering berkonotasi kurang positif seolah ia berkaitan dengan pemuasaan nafsu atau dorongan. Hedonistic (segala sesuatu yang menyenangkan). Oleh karena itu, kepuasaan pelanggan berkaitan dengan nila i, aspirasi dan  persepsi terhadap sesuatu maka kata tersebut kuranglag tepat digunakan disini. Tuntutan konsumen atau kualitas tentu bersifat dinamis sesuai kebutuhan, nilai-nilai, aspirasi sebagai refleksi perrkembangan masyarakat yang dinamis pula. Meskipun disebut kepuasaan, mereka juga tdak sembarang menuntut harapan asal saja, mereka membandingkan antara  berbagai produk dan jasa sejenis. Oleh karena itu, lembaga/institusi penyedia jasa harus selalu mengerti mengantisipasi dan merespon yang terus berubah dan berkembang tersebut. Sungguhpun demikian, pengakomodasian keinginan masyarakat, seperti telah 16

dibicarakan sebelumnya harus mengingat keseluruhan fungsi sekolah, antara laian fungsi soasialiasi/ pembudayaan yang justru harus melakukan transformasi (perubahan) bagi masyarakat.

B. IMPLIKASI KONSEP MUTU DALAM PENDIDIKAN

Berdasarkan praktik menyelenggarakan pendidikan di Indonesia selama ini, dan langkahlangkah yang telah dirintis (baik oleh pemerintah maupun masyarakat) serta kebijakan kedepan, konsep

mutu

baik

dalam

pengertian

absolut,

relative

(standar)

maupun

kepuasan

 pelanggan/konsumen, ketiganya dianut secara sinergis, bersamaan, dan saling melengkapi. Di Indonesia dikenal adanya sekolah-sekolah unggulan (sebagai nama “ginerik”, bukan nama diri suatu

sekolah)

baik

yang

diprakasai

oleh

pemerintah

(termasuk

pemerintah

 provinsi/kabupaten/kota) maupun yang tumbuh atas prakarsa masyarakat termasuk dunia usaha. Masyarakat di Jakarta dan sekitarnya, sebagai contoh mengenal adanya sekolah-sekolah, seperti SMU 8 (sekolah negeri), sekolah-sekolah al-azhar (TK, SD, SMP, dan SMU), al-izhar (TK,SD,SMP, SMU), sekolah dibawa nama “Global jaya”, sekolah dibawa nama “pelita harapan ”, “pangudi luhur”,”regina pacis”, dan masih beberapa lagi. Mereka adalah sekolah-sekolah yang ingin tampil beda dengan kekhasan yang tidak memiliki sekolah lain. Meskipun tidak ada yang terus terang mengklaim dirinya yang terbaik (karena alas an etika), visi mereka (pihak managemen sekolah) adalah visi mutu dalam pengertian yang pertama. Apakah dalam kenyataan terbukti ata tidak bahwa mereka adalah yang terbaik, yang paling tahu adalah konsumen dan pengelola sekolah yang bersangkutan. Bagi penulis, masing-masing sekolah itu memiliki keunggulan tertentu yang dapat menarik minat kelompok social ekonomi tertentu (dengan pangsa pasar terntu), dan tidak sembarang calon ssiswa dapat diterima, dan secara relative bersifat elitis. Menyelenggarakan  pendidikan yang “elitis”, tentu tidak salah asal pernyataan jelas dan terbuka, tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional serta ketentuan perundangan yang berlaku dan hasilnya dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. Dari segi kepuasaan pelanggan, karena kalau tidak, mereka tidak akan diminati. Mutu dalam pengertian relative (standar) diterapkan dalam dunia pendidikan Indonesia, antaralain terbukti dengan adanya kurikulum nasional yang memberikamn perinciam tujuan yang dicapai,rumusan standar kompetensi yang diinginkan, standar isi, dan system penilaian yang di 17

antaranya berupa ujian nasional. Ujian nasional sebagai alat pengukur (penerapan standar)  pencapaian standar kompetensi, juga menjadi standar yang dapat dinaikkan/diturunkan derajat kualitasnya sesuai kesepakatan. Kalau hasil ujian nasional secara keseluruhan memuaskan, standarnya secara berangsur-angsur dinaikkan dan hal ini dikaitkan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan mencapai standar untuk mencapai standar mutu yang lebih tinggi. Disamping standar nasional, terdapat standar local maupun sekolah. Ketentuan tentan g standar nasional harap dilihat pada bab 1X, pasal 35 uu disisdiknas no. 20 th 2003. Diluar standar yang sifatnya substatif (berhubungan dengan koptensi yang harus dicapai), pemerintah juga melakukan pengecekkan standar yang berkaitan dengan kinerja satuan pendidikan dan kelayanan pengelolahan satuan  pendidikan melalui system akreditasi. Wawasan mutu pendidikan berdasarkan kepuasan konsumen sudah lama disadari, terutama oleh kalangan menyelenggara pendidikan swasta yang tergolong menegah keatas dalam kurun waktu pemerintahan yang sentralisasinya masih kuatpun mereka sudah berjuang keras untuk menarik minat masyarakat (konsumen) agar eksis (hidup), melalui persaingan yang ketat. Bagi mereka, mengikuti aturan pemerintah, pengarahan, bimbingan, paduan, dan petunjuk hanyalah kewajiban formal, yang lebih penting menentukan hidup dan matinyalembaga pendidikan yang dikelolah adalah minat masyarakat untuk memasukkan putra-putrinya kelembaga pendidikan yang mereka tawarkan. Berdasrkan pengalaman, lembaga-lembaga pendidikan swasta yang kurang responsive terhadap aspirasi masyarakat, banyak yang terpaksa tutup karena kekurangan murid atau sebagian diantaranya “hidup tak hendak mati tak mau”. Sementara itu, lembaga-lemabaga pendidikan milik pemerintah (sekolah negeri) yang dulunya merasa diperlukan oleh masyarakat dan keberadaannya tidak tergantung masyarakat (karena dibiayai pemerintah), sekrang dipaksa oleh keadaan, harus memperhatikan keingina masyarakat dengan dibentuknya komite sekolah, antara lain menyalurkan aspirasi masyarakat  pengguna jasa pendidikan. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan penerapan management berbasis sekolah, seperti diterapkan oleh uu no.20 tahun 2003 tentang sidiknas, khsusnya pasal 51, ayat (1). Dalam penjelasan pasal ini, yang dimaksud dengan management berbasis sekolah adalah bentuk otonomi management pendidikan pada satuan pendidikan. Dalam hal ini kepala sekolah dan guru dibantu oleh komite dalam mengelola pendidikan dari penjelasan pasal 52, ayat (1) tersebut,  bahwasan mutu dari segi kepuasaan konsumen sudah build-in (terpadu) daalam penerapan

18

management berbasis sekolah dan sekolah-sekolah negeri yang benar tidak mungkin mengelak. Tambahan lagi, disuatu wilayah yang jumlah masyarakatnya terdidik (peduli pendidikan), mau tidak mau masyarakat akan memilih sekolah yang oleh merekan di anggap favorit (karena memiliki kelebihan) karena tidak peduli sekolah negeri/swasta. Dalam situasi seperti ini, sekolahsekolah negeri yang terjadinya “ademayem” terpaksa harus berkompetisi satu sama lain, kalau tidak ingin dipermalukan oleh masyarakat hal ini, antara lain yang menyebabkan program  perintisan MBS didahulukan pada sebagian sekolah-sekolah negeri. Jelasnya, wawasan mutu yang bersifat menyeluruh, baik dari segi ranah kompetensi yang harus dicapai maun ketiga konsep mutu, secara terpadu semuanya dipakai dan salin mengisi. Hanya di dalam kenyataan/praktik, suatu lembaga sesuai dengan kondisinya lebih memfokuskan  pada wawasan mutu tertentu. Wawasan tentang mutu yang dianut oleh suatu lembaga pendidikan,  pada gilirannya akan sangat berpengaruh terhadap praktik manajemen pada satuan pendidikan  bersangkutan. Akhirnya dalam implikasi konsep mutu dalam pendidikan ini perlu diperhatikan beberapa catatan sebagai berikut.  Pertama, setiap penyelenggara dan pengelola pendidikan perlu memahami betul visi atau wawasan tentang mutu pendidikan sehingga dengan jelas dapat mengarahkan ke mana satuan  pendidikan yang dikelola akan diarahkan. Bagaimana satuan pendidikan (sekolah) dengan kesadaran memosisikan dirinya di dalam upaya peningkatan mutu jauh lebih penting daripada  berbagai arahan yang dipaksakan dari luar atau dari atas, dan untuk itulah MBS dikembangkan.  Kedua, konsep mutu dalam pengertian standar yang benar-benar teliti sulit diterapkan di dunia pendidikan, apalagi konsep ini semula diterapkan di dunia bisnis terutama berkaitan dengan  produksi barang. Konsep standar yang berarti penerapan system kualitas harus dapat menjaga konsistensi mutu produk, agaknya secara metodologis sulit diterapkan di dunia pendidikan. Ada kesulitan menstandarkan (apalagi menerapkan secara konsisten) input-proses-dan output  pendidikan meskipun ada yang berupaya kearah itu, missal menyeleksi calon siwa (agar ada standar kompetensi tertentu), guru-guru (dengan kualifikasi tertentu), kurikulum standar, serta ujian/tes yang standar. Misalnya, menstandarkan persyaratan siwa yang masuk melalui seleksi tertentu dapat dilakukan, masih ada problem tentang sikap dan motivasi tiap anak yang berbeda, apalagi dari kepribadian dan potensi lainnya, setiap manusia memiliki keuinikan . dari segi proses 19

tak ada guru yang dapat secara konsisten mengupayakan pengalaman belajar yang sama (bagi semua anak/standar), dan seandainya ada hal ini justru bertentangan dengan prinsip pendidikan yang harus memperlakukan anak sesuia perkembangan dan kepribadiannya. Dari sisi produk (hasil-output-outcome), bagaimanapun upaya sitem manajemen mutu yang dilakukan sulit umtuk menjamin konsistensi kualitas hasil yang terukur/cermat, berbeda dengan produk yang berupa  batang yang konsistansinya lebih dapat dijamin dari desain, bahan, mesin pemroses, dan hasilnya (lebih dapat diramalkan). Berkaitan demgan produk ini, ada yang beranggapan bahwa siswa (dengan nilai tambah yang diperoleh) merupakan produk pendidikan. Akan tetapi, dari sisi pandang bahwa pendididkan sebagai lembaha yang menyediakan jasa (produknya adalah jasa), siswa adalah konsumen/klien “primer”, yang langsung menggunakan/menikmati jasa pendidikan. Dengan demikian, layanan dan proses pendidikan yang diterima atau dialami oleh siswa dapat dipandang sebagai produk  pendidikan. Dalam hal ini, apapun pandangan yang dianut untuk menjaga konsistensi standar keduanya bukanlah sesuatu yang mudah. Lalu, bagaiman penjaminan mutu dengan standar-standar yang ditentukan dapat dilakukan didunia pendidikan (lembaga pendidikan)? Langkah praktis sementara yang di tempuh adalah mengalihkan fokus bukan pada proses belajarnya, tetapi lebih pada tingkat perolehan hak layanan (level of entitlement ) yang diharapkan oleh siswa dari institusi yang bersangkutan. Kalau tingkat memperoleh hak layanan yang disediakan oleh suatu sekolah didefinisikan dengan baik dan etrus menerus dijaga konsistensisnya maka hal tersebut akan mempunyai dampak pada proses  pembelajaran yang efektif, tanpa harus mengamati konsistensi proses belajar-mengajar yang merupakan suatu seni dan profesionalisme guru. Hak memperoleh layanan dimaksud, misalnya layanan remedial, program pengayaan, informasi atas nilai, berkonsultasi dengan guru ,  penggunaan perpustakaann dan fasilitas lain, seperti laboratorium, computer , sarana olahraga, dan lain-lain yang dijanjikan dan disediakan oleh sekolah secara jelas dan dijaga konsistensinya oleh menejemen sekolah. Standar entitlement ini dapat berlaku secara n asional, regional ataupun local, dan sekolah melalui konsep kesepakatan sesuai lingkup tingkatan berlakunya standar tersebut. Dalam hal standar, merupakan inisiatif sekolah maka perumusannya cukup dilakukan oleh satuan  pendidikan yang bersangkutan dengan melibatkan kepala sekolah, guru dan staf, komite sekolah, dan siswa (bagi sekolah menengah).

20

 Ketiga, siapa konsumen atau pelanggan (customer) pendidikan? Konsumen mana yang dianggap dapat memberikan penilaian (judgment) atas mutu pendidikan? Menurut Sallis (1993) , ada konsumen eksternal dan konsumen internal. Siswa merupakan konsumen primer karena merekalah yang memperoleh layanan lan gsung dari institusi pendidikan. Orang tua dan pemerintah (di Indonesia termasuk pemerintah provinsi, kabupaten/kota) sebagai konsumen sekunder karena mereka yang membiayai individu atau institusi pendidikan yang  bersangkutan sehingga sangat penting dan menentukan . pengguna lulusan (dunia kerja),  pemerintah, dan masyarakat luas sebagai konsumen tersier karena sungguhpun tidak langsung  berhubungan dengan lembaga pendidikan, tetapi pengaruhnya sangat penting. Konsumen primer, sekunder, dan tersier dimaksud merupakan konsumen eksternal (sering juga disebut exsternal stakeholders). Disamping konsumen eksternal \, terdapat konsumen internal, yaitu para guru/staf  pengajar dan staf sekolah pada umumnya. Peran merekan dalam mengupayakan layanan  pendidikan yang bermutu sangat penting. Oleh karena itu, feedback dan kerja sama antara mereka sangat penting di dalam pengelolaan mutu penddikan. Di dalam praktik sekarang, suara masyarakat sebagai salah satu stakeholder sering diambil alih DPR/DPRD karena mereka merasa secara resmi dianggap sebagai wakil rakyat. Dalam konteks Indonesia saat ini, ad a institusi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang perannya lebih fokus pada akuntabilitas pelaksanaan  pendidikan (bandu=ingkan konsep mutu yang dibahas sekarang dengan diskusi sebelumnya tentang pendekatan sekolah efektif, khususnya pada strategic constituencies approach dan compting values approach. Dari diskusi tentang konsep mutu yang dinamis dan harus selalu merespons tuntutan konsumen pendidikan dan stakeholders lainnya, se makin akan dapat merealisasi konsep mutu yang dimaksud. C. MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DAN STARATEGI PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

Minimimnya penelitian atau studi tentang implementasi MBS, menyebabkan suli untuk mencari justifikasi (alasan) empiric tentang efektifitas penerapan MBS meskipun program ini cepat meluas diterapkan di berbagai Negara.

21

Cheng dalam School Effectiveness and School-Bassed Management   (1996,h 59-63) melaporkan profil keefektifan MBS disbanding sekolah yang ia sebut tradisional, dari penelitian yang ia lakukan terhadap 241 sekolah lanjutan yang dibantu (76% dari seluruh populasi), 127  pengawas sekolah, 204 kepala sekolah dan 6.300 guru. Kesimpulan penelitian yang dilakukan itu adalah sebagai berikut. “… the profile of the schools in the school -based type is very different from that of the external control tyoe in nearly all the measures of teacher performance, principal leadership and organizational performace, except formalization. In those school-based type schools, teachers tend to show higher sense of efficacy, sense of community, and professional interest and principal tend to have a stronger leadership in terms of structural, cultural, human, political and educational aspects. Principal-teachers relationship is positive and organizational effectiveness is high. The re is strong sharing of school goals, value and beliefs among school members.  Decision making is decentralized and teacher participation is encouraged”. Hasil studi tersebut hanya memberikan karakteristik atau indicator efektivitas MBS yang diterapkan pada sekolah-sekolah di Hongkong, ia tidak melaporkan sejauh mana MBS dapat meningkatkan prestasi akademis siswa, seperti yang sering dituntut banyak pihak meskipun konsep mutu yang sudah didiskusikan jauh lebih luas daripada sekedar hasil ujian. Pengaruh positif MBS terhadap pencapaian hasil belajar siswa dikemukakan oleh Neal (1991, h. 44-45) sebagai berikut.  However, there is some evidence which indicates that school-based management does improve student learning. School-based management requires the meaningful involvement of  parents in the affairs of the schools. Now, there are many reason to work closely with parents under School-Based Management, but the most important reason is the parent involvement has a  powerful effect on student achievement. Not only do children whose parents are involved do better troughout their entire school careers, but school that work well eith families have lower drop-out rates and higher test scores. In 1981, the nasional committee for citizen educatin (NCCE)  published The Edvidence Grows, an annotated bilbliography describing 35 studies on the subjects. The findings were all positivies-parent involvement in almost any form improves student achievement.

22

Dalam kutipan tersebut, Richard G. Nel menyatakan bahwa perbaiakan dan peningkatan  pencapaian hasil belajar siswa lebih dihubungkan dengan keterlibatan orang tua di dalam  pengelolaan pendidikan di sekolah, yang merupakan salah satu persyaratan atau elemen penting di dalam penerapan MBS. Dalan kontek Indonesia, keterlibatan orang tua diwadahi melalui komite sekolah. Golarz , Raymond J. dan Golars, Marion J dalam The Power of Participation (1995) mendukung peran keterlibatkan orantua dan pengelolaan sekolag yang partisipatif dengan mengemukakan tiga karakteristik sekolah efektif diantara ciri-ciri yang dikemukakan para pakar, yaitu (1) high levels of parental involvement and supp ort; (2) Collaborative collegial instructional  planning, (3) invidual school autonomy and resulting flexibility.  Neal mempertegas pentingnya keterlibatan orang tua yang intensif dalam kaitan dengan  prestasi siswa dalam pernyataan lebih lanjut sebagai berikut.  In 1987,NCCE did an update, the Evidence Continues to Grow; Parent Involvement  Improves Student Achievement. It includes 49 studies that, taken together, place the conclusion beyond dispute. Programs that include strong parent involvement produce student who perform better than otherwise identical programs that do not involve parents. Schools that relate well to their communities have student bodies that outperform other school. Children whose parents help them at home and stay in touch with the school score higher than children of similar aptitude and  family bankground whose parents are not involved. Schools where children are failing, improve dramatically when parents are called in to help. The main benefits, then, of parent involvement are: 1.  Higher grades and test scores, 2.  Long term academic improvement, 3.  Positive attitudes and behavior, 4.  More successful program, and 5.  More effective schools. Umaedi (2004) menyebutkan bahwa di New Zeland, yang menerapkan MBS secara luas (hampi seluruh), belum ada laporan khusus tentang sejauh mana pengaruh MBS terhadap  peningkatan prestasi siswa. Alas an mereka untuk tidak kembali ke model lama (setelah melaksanakan +_ 10 thn) terutama karena kepuasan masyarakat dalam turut berpartisipasi

23

menentukan penyelenggaraan pendidikan, turut mengawasi, dan keyakinan adanya efesiensi  penggunaan sumber daya pendidikan serta sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Apabila dibandingkan antara prestasi akademis siswa pada sekolah yang melaksanakan MBS dan tidak di Negara-negara Barat di duga perbedaannya akan sangat kecil (tidak signifikan). Hal ini disebabkan 2 hal. Pertama, sekolah-sekolah di Barat pada umumnya sudah lebih transparan karena dewan pendidikan atau school board pada ti ngkat distrik dipilih langsung oleh masyarakat, dan dewan pendidikan tersebut memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan superintendent atau semacam Kepala Dinas Pendidikan. Oleh karena posisinya yang demikian, kepala dinas pendidikan disetiap distrik berusaha keras menunjukkan kinerjanya untuk tidak kalah  prestasi dengan distrik lain, dan akhirnya untuk diangkat kembali. Demikian pula peran orang tua melalui PTA ( parents teacher association), sudah sangat efektif, mentradisi. Kedua, peran dan  posisi guru yang sangat kuat melalui teachers union atau persatuan guru sehingga praktis  penyelenggara dan pengelola sekolah tidak dapat bertindak semena-mena (otoriter) terhadap guru. Keterlibatan guru di dalam pengambilan keputusan pada level sekolah bukan suatu hal yang sama sekali baru atau karena pengenalan MBS. Keluhan-keluhan atau pengaduan masyarakat sudah terbiasa ditangani dan di respons secara semestinya. Suatu [erbedaan yang dirasakan dengan diterapkannya MBS. Dengan demikian, hanyalah kepuasan masyarakat karena mereka memperoleh hak control yang lebih luas dan langsung terhadap lembaga sekolah, sementara sebelumnya hanya melalui “dewan sekolah” atau school board. Tambahan kepuasan juga dialami oleh sekolah (kepala sekolah dan staf) atas kewenangan yang diperoleh d alam penggunaan alokasi yang diberikan secara block grant untuk operasional sekolah sesuai kebutuhan sekolah yang  bersangkutan. Perbedaan implementasi manajemen sekolah yang relative kecil ini, menyebabkan “tidak (kurang) signifikannya” perbedaan prestasi akademik yang dicapai oleh  siswa antara sekolah-sekolah yang melaksanakn MBS dengan sekolah-sekolah lainnya, apalagi kalau sekolahsekolah diluar program MBS juga melakukan pembaruan-pembaruan dalam proses pembelajaran yang lebih fokus. Kalau kita mengingat kembali bahwa yang penting adalah pelaksanaan elemenelemen pokok MBS, bukan namanya maka praktik pengelolaan sekolah di Negara-negara Barat sebenarnya sudah banyak mengandung elemen dimaksud meskipun tidak mengklaim nama MBS. Berbeda dengan kondisi sekolah-sekolah dinegara maju terutama di Barat, pelaksanaan MBS di Indonesia merupakan perubahan yang cukup besar. Sebelumnya, kurikulum dan panduan-

24

 panduan pelaksanaan yang dibuat dan berlaku secara nasional (seragam), komponen-komponen  pendidikan lainnya, seperti pengelolaan guru (k ecuali SD), penyediaan sarana dan prasarana ju ga dilakukan secara terpusat, demikian pula pendanaa n pendidikan ) dalam hal SD terpusat dalam arti  pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Provinsi. Sementara itu, peran orang tua sebatas dalam wadah Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3) yang lebih menitik beratkan pada  pemberian/diminta bantuan finansial daripada masalah asoirasi masyarakat terhadap sekolah. Perubahan pendekatan pengelolaan sekolah dengan konsep MBS merupakan perubahan yang  besar maka pelaksanaannya tidak dapat serentak/serta merta, melainkan harus dilakukan secara tertahap dan sesuai dengan konteks Indonesia. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan terhadap sekolah yang menunjukkan kinerja yang  baik atau bermutu, baik sekolah negeri maupun swasta Indonesia, ditemukan beberapa hal penting. Pertama, sekolah memiliki komitmen, kepedulian dan kesadaran bahwa mutu itu penting. Kedua, mereka memiliki inisiatif dan kreativitas untuk melakukan upaya-upaya peni ngkatan mutu. Ketiga, mereka pada umumnya memiliki kepemimpinan yang kuat ( strong leadership), serta didukung oleh orang tua. Dari ketiga ciri tersebut yang s angat penting umumnya berawal dari kepemimpinan yang kuat. Persoalannya, kalau yang diandalkan adalah munculnya sekolah bermutu secara alami, akan sangat lambat, bahkan dapat terjadi sekolah-sekolah yang dulunya bermutu sekarang mejadi tidak masuk hitungan, padahal segala fasilitas dimilikinya. Diduga, penyebabn ya adalah ketergantungan terhadap individu kepala sekolah yang kebetulan secara alami memiliki kepemimpinan yang kuat dalam pengelolaan mutu pendidikan. Kalau hal tersebut belum menjadi budaya (culture) pada sekolah yang bersangkutan maka pergantian kepala sekolah dapat menyebabkan merosotnya kinerja sekolah, apalagi kalau penggantinya tidak terseleksi dan disiapkan secara baik. Management mutu berbasis sekolah berupaya menawarkan model pengelolaan sekolah sesuai kaidah/konsep peningkatan mutu secara berlanjutan yang mengadaptasi prinsip-prinsip sekolah efektif dan manajemen mutu yang terpadu. Dengan demikian, model peningkatan mutu pada tingkat sekolah menjadi suatu budaya sekolah yang dihayati dan dilaksanakan oleh sekolah dengan kerangka dasar MBS. Apabila upaya ini dapat terlaksana dengan baik maka peningkatan mutu  pendidikan mempunyai kerabgka model pembentukan kultur “mengejar keunggulan” ( strive for excellence), dan

tidak terjadi secara untung-untungan (spekulatif) seperti sebelumnya. 25

Penempatan atau penggantian kepala sekolah baru tidak akan banyak mempengaruhi tradisi yang sudah terbentuk diantara warga sekolah dan masyarakat dan pendukungnya (komite sekolah),  bahkan pemimpin baru. Tinggal memperkuat dan mendinamisasi program-program yang sudah  berjalan. Karakteristik / model sekolah efektif tidak mungkin atau sulit diwujudkan tanpa landasan/ kerangka menejemen atau berbasis sekolah. Dengan kata lain, MBS merupakan prasyarat bagi  penerapan sekolah efektif. Sebaliknya, untuk memperbaiki mutu, pemakaian model sekolah efektif sebagai pendekatan komphrehensif harus dilakukan bersama-sama dengan MBS. Tanpa penerapa n model sekolah efektif, MBS hanyalah sebuah struktur (kerangka) manajemen untuk menjalankan sekolah yang tidak memiliki program peningkatan mutu secara terfokus meskipun keduanya  bertujuan meningkatkan mutu pendidikan. Dalam hubungan ini, Umaedi (2004) berpendapat bahwa MBS sangat penting dilihat dari kacamata pengelolaan sekolah sebagai kerangka (garis besar) manajemen yang memenuhi tuntunan akuntablitas public, transparan/terbuka, demokratif, dan partisipatif sedanglam strategi operasional untung meningkatkan mutu, perlu penerapan model sekolah efekti serta nilai-nilai manajemen mutu terpadu. Dalam upaya itu, ada 2 tataran konsep yang dapat dilakukan. Pertama, MBS sebagai kerangka dasar (prasyarat) yang harus dipenuhi elemen-elemen pokoknya. Kedua, strategi operasional peningkatan mutu yang dalam hal inidigunakan model sekolah efektif serta sebagian elemen atau nilai-nilai dari manajemen mutu terpadu. Strategi operasional adalah seni ata kiat merencanakan dan mengarrahkan suatu program dan melaksanakannya sesuai fokus diharapkan dengan berlandaskan misi organisasi yang bersangkutan. Pendekatan yang memadukan kedua tataran konsep tersebut dalam buku ini tersebut manajemen mutu berbasis sekolah (depdiknas 2002). Jadi, MBS saja belum cukup sebagai garansi mutu . kalau akan memperbaiki mutu , perlu sentuhan manajemen mutu meskipun diketahui bahwa semua manajemen selalu bertujuan untuk mencapai efektifitas dan efisiensi. Latihan Kegiatan Belajar 2 1. Adakah alasan yang dapat anda kemukakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah tidak senantiasa berkorelasi dengan prestasi belajar peserta didik? 2. Kalau Manajemen Berbasis Sekolah tidak senantiasa berkorelasi positif dengan prestasi  belajar peserta didik, apakah keuntungannya hal itu diimplementasikan di Indonesia? 26

KEGIATAN BELAJAR 3 (SEKOLAH EFEKTIF) A. SEKOLAH EFEKTIF DAN MBS

Di dalam uraian bagian ini, ada tiga hal yang perlu dibahas, yaitu fungsi sekolah, pendekatan atau kriteriamsekolah efektif, hasil studi tentang sekolah efektif dan hubungannya dengan MBS. 1. Fungsi Sekolah

Sebelum membahas mengenai sekolah efektif, perlu diketahui terlebih dahulu tentang fungsi sekolah karena efektivitas sekolah akan diuji dari sisi sejauh mana sekolah tersebut dapat merealisasikn fungsinya secara baik. Seperti yang dapat diamati saat ini, sekolah adalah suatu institusi atau organisasi di masyarakat yang terus berubah dan dalam konteks masyarakat yang rumit (multidimensi). Sekolah terikat dengan sumber daya yang terbatas, terikat (komitmen moral) oleh berbagai stake holdres baik internal (seperti penguasa pendidikna,  birokrat, personel sekolah) maupun eksternal (seperti orang tua dan siswa, masyarakat, dewan  pendidikan, DPR, dan dunia kerja/pengguna lulusan). Fungsi sekolah dalam konteks social yang kompleks, menjadi tidak sederhana karena sekolah harus berperan melayani berbagai kepentingan stakeholders. Dari sisi tingkat pengelompokkan social, ada kepentingan individu, kepentingan sekolah sebagai lembaga, kepentingan masyarakat, kepentingan nasional (bangsa), dan kepentingan/tuntutan dunia internasional (global). Dari segi substansi mengenai peran khusus yang harus diemban oleh sekolah yang diharapkan bagi masing-masing tingkat nasional tersebut di atas, sedikitnya ada lima fungsi sekolah, yaitu fungsi teknis/ekonomi, fungsi manusiawi/social, fungsi politik, fungsi kultural dan fungsi pendidikan (Cheng, 1996). Bagi bangsa Indonesia dalam Umaedi 2004 menambah dengan fungsi spiritual, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (kehidupan beragama). a. Fungsi teknis/ekonomi Fungsi teknis/ekonomi, merujuk pada sejauh mana konstribusi sekolah di dalam  pembangunan ekonomi bagi individu, institusi, masyarakat, bangsa dan dunia (antar  bangsa). Pada tingkat individu, sekolah membantu siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk bekal hidup; sebagai institusi sekolah merupakan organisasi layanan yang menyediakan produk jasa layanan yang bermutu bagi klien (pengguna  jasa pendidikan), tempat bekerja bagi karyawan dan pengelola; pada ttingkat masyarakat batik local maupun nasional, sekolah turut mewarnai system dan gerak 27

ekonomi dengan menyediakan tenaga yang diperlukan dan sesuai perkembangan ekonomi masyarakat, serta pada tingkat antar bangsa, sekolah mensuplai tenaga terampil yang mampu bersaing dan diperlukan oleh negar-negara lain. Tentu saja fungsi ini terkait dengan relevansi pendidikan, seperti dikemukakan sebelumnya bahwa ada yang bersifat jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang, dengan cakupan local, nasional maupun global.  b. Fungsi manusiawi/social Fungsi manusiawi/social (human/social function) berkaitan dengan sumbangan sekolah terhadap pengembangan manusia sebagai pribadi dan dalam hubungan social (dengan orang lain). Bagi individu, sekolah membantu pengembangan pribadi secara utuh secara psikologis, fisik maupun sikap dan keterampilan social, dengan mengembangkan potensi tiap anak secara optimal. Bagi tingkat institusi (lembaga), sekolah merupakan satuan (unit) masyarakat kecil yang mempunyai s ystem social yang diharapkan ideal (sesuai nilai dan norma tatanan yang dianggap baik) sehingga menjadi model hubungan antarpribadi yang harmonis, antarsiswa dan siswa lain, siswa dengan guru, siswa dengan staf administasi, antar guru, serta hubungan warga sekolah dengan masyarakat (terutama orang tua, komite sekolah) yang menjunjung nilai demokratis, keadilan, nondiskriminasi, (persamaan), dan menghargai pluralisme. c. Fungsi politik Fungsi politik (political function),  mengacu pada kostribusi sekolah kepada  pengembangan politik pada setiap timgkat atau tataran masyarakat. Pada tataran individual, sekolah membantu siswa mengembangkan sikap kewarganegaraan yang  baik (positif), serta pengembangan pengetahuan dan keterampilan merealisasikan hak dan kewajiban sebagai warga Negara. Pada tataran institusi, sekolah menjadi tempat  pelaksanaan model pemerintahan, analog (sejalan) dengan tatanan kenegaraan dan  pemerintahan Indonesia, utamanya di dalam organisasi intra-kesiswaan, komite sekolah dan unit-unit di dalam organisasi sekolah lainnya sebagai contoh penerapan lembaga yang lebih luas (bangsa), sekolah turut memberikan kontribusi terhadap kesadaran

berdemokrasi,

menjaga

kestabilan

pemerintahan

yang

sah

dan

menyumbangkan tenaga (termasuk lulusan) yang memiliki etika politik terpuji. Pada

28

tataran internasional, dalam era globalisasi, sekolah memberikan sumbangan terhadap hubungan antar bangsa, perdamaian dunia, keadilan antar bangsa dan sebagainya. d. Fungsi budaya Fungsi budaya/kultural, merujuk pada konstribusi sekolah dalam bentuk pembekalan sikap, kesadaran, sosialisasi dan praktik hidup berbudaya baik bagi individu, institusi maupun masyarakat baik local maupun lebih luas (bangsa atau antarbangsa). Pada tataran individu , sekolah membantu siswa mengembangkan sikap perilaku yang  berbudaya (sesuai dengan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat) memelihara dan mempertahankan tradisi yang positif dan mengembangkannya, baik dalam bentuk tradisi perilaku maupun berbagam ragam kesenian. Dalam tataran institusi, sekolah menjadi pusat (tempat) alih budaya secara sistematis kepada generasi  penerus, pengenalan budaya baru yang lebih dinamis serta pemolesan budaya lama dengan meninggalkan unsur-unsur yang tidak relevan lagi dengan perkembangan masyarakat. Pada tataran masyarakat, sekolah sering dipandang sebagai model yang merefleksikan harapan masyarakat, penghasilan manusia berbudaya, serta calon  budayawan bangsa. Secara internasional, budaya yang berkembang kuat pada suatu  bangsa dapat memberikan sumbangan kepada dan mempengaruhi peradaban antarbangsa. e. Fungsi pendidikan Fungsi ini merujuk pada sumbangan sekolah atau lembaga persekolahan di dalam memelihara, mempertahankan dan mengembangkan system pendidika dan apresiasi (penghargaan) serta komitmen (sepakat peduli) akan pentingnya pendidikan baik bagi individu, lembaga, masyarakat, bangsa dan antar bangsa (internasional). Bagi individu, sekolah membantu siswa belajar bagaimana belajar, kesadaran akan pentingnya belajar (pendidikan) sepanjang hayat (life long education). Bagi institusi, sekolah merupakan tempat bersama-sama belajar secara sistematis, bukan hanyanbagi siswa, tetapi juga guru dan tenaga kependidikan lainnya, tempat eksperimentasi dan pembaruan model  belajar, dan sebagainya. Bagi masyarakat, sekolah merupakan institusi yang penting dalam masyarakat modern yang harus ada dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan  berbagai ragam pendidikan. Pada tataran nasional (sebagai bangsa) sekolah merupakan institusi social penting yang mencerminkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia, 29

 bahkan menjadi indicator penting di dalam pemantauan Human Development Index (HDI). Pentingnya pendidikan di dalam tataran internasional, menyebabkan konstribusi dunia persekolahan perlu menjalin hubungan antarnegara di bidang pendidikan untuk  bekerja sama dan saling tukar pengalaman serta belajar satu sama lain. f. Fungsi spiritual Fungsi spiritual merujuk pada kontribusi sekolah bagi kehidupan pribadi, kepentingan institusi, kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih bermakna dalam hubungan dengan Sang Maha Pencipta, serta hubungan antar bangsa dalam menjakin saling  pengertian antar penganut agama sehingga turut menciptakan perdamaian yang sejati dan lebih tulus karena landasan kepercayaan yang lebih hakiki. Bagi pribadi, sekolah membantu pengembangan spiritual anak untuk memahami nilai luhur dan normanorma hidup yang bersumber dari agama yang dianut serta pengertian dan pemahaman terhadap perbedaan dalam hal agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan sikap yang positif, untuk di hayati dan di amalkan sehingga sebagai pribadi dapat menjalin kehidupan secara lebih bermakna dan utuh. Bagi institusi, sekolah menjadi tempat kehidupan masyarakat kecil beragama yang harmonis antarwarga yang mungkin pluralistic (beragam) yang kesejukannya dirasakan oleh warga sekolah dan lingkungan masyarakat disekitarnya. Pada tataran masyarakat, sekolah berperan memenuhi hasrat spiritual yang masih kurang ditangani oleh lembaga keagamaan maupun orang tua. Dasar-dasar kehidupan spiritual dalam masyarakat yang pluralistic didapat modelnya dari sekolah-sekolah. Pada tataran masyarakat lebih luas sebagai  bangsa, sekolah turut memberikan warna bagaimana bangsa Indonesia menerapkan dasar Ketuhan Yang Maha Esa yang terkait dengan dasar kemanusiaan yang adil dan  beradab , persatuan Indonesia , demokrasi, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada tataran internasional, dapat dilakukan kerja sama dan tukar pengalaman tentang  bagaimana pendidikan nasional berdasarkan nilai-nilai agama (spiritual) dan saling  pengertian antarpemeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berbeda-beda. Fungsi sekolah yang terakhir (spiritual) mungkin bersifat khas Indonesia sebagai negara yang menganut dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi bukan negara agama. Di negara yang teokratik (berdasarkan agama) maka fungsi tersebut merujuk pada satu agama tertentu (agama negara) terutama untuk sekolah negeri, sedangkan di negara demokratik/republik lainnya masalah 30

spiritualitas dalam kaitan dengan agama tidak termasuk di dalam fungsi pendidikan formal (sekolah), melainkan diserahkan kepada orang tua dan lembaga keagamaan. Fungsi sekolah tidak terlepas dari fungsi pendidikan karena sekolah dalam sistem  pendidikan nasional merupakan satuan pendidikan jalur formal, yang peran utamanya adalah merealisasikan fungsi pendidikan nasional sesuai konteks lingkungan dan masyarakat sekitar (pendukungnya). Di dalam rumusan formal, fungsi sekolah tidak selalu eksplisit (terang, jelas), terkadang tersembunyi, namun maksudnya mencakup yang dimaksud (implisit). Rumusan fungsi sekolah itu digabung dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, BAB II, Pasal 3 sebagai berikut.

“pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan  dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,  berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Perhatikan pula rumusan pengertian pendidikan pada BAB I, Padal 1, butir 1, Undangundang Sistem Pendidikan Nasional, tahun 2003 sebagai berikut. “pendidik an adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Dari kedua kutipan tersebut, secara tersurat dan tersirat terdapat fungsi-fungsi sekolah (pendidikan) yang disebutkan sebelumnya termasuk subjek (tataran sosial) yang memperoleh manfaat dari fungsi tersebut, seperti individu, industri, masyarakat, bangsa dan antarbangsa. Sungguhpun di dalam rumusan fungsi, tujuan dan pengertian pendidikan tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kepentingan internasional, tetapi di dalam Bab XIV, pasal 50, ayat (3), dinyatakan sebagai berikut. “pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan  pendidikan yang bertaraf internasional”. Dengan demikian, jelas bahwa dalam memandang fungsi pendidikan di dalam Undangundang Sisdiknas atau khususnya fungsi sekolah, tidak hanya terbatas pada yang dirumuskan pada Bab II (Dasar, Fungsi, dan Tujuan), tetapi juga harus dikaji pada bab-bab lainnya, misalnya Bab X tentang Kurikulum, Bab XIV tentang pengelolaan Pendidikan, dan seterusnya. Dari pengamatan, sebagian sekolah kita gagal atau tidak melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, sepenuhnya, apalagi untuk semua tataran sosial sebagai penerima manfaat dari sekolah 31

yang bersangkutan. Bagaimanapun pemahaman akan fungsi sekolah sangat penting karena efektivitas sekolah akan dilihat dan sejauh mana suatu sekolah dapat memenuhi atau merealisasikan fungsinya. Kalau didefenisikan, sekolah efektif (effective schools) adalah kemampuan (kapasitas) sekolah untuk memaksimalkan fungsi-fungsi sekolah atau derajat yang menunjukkan kinerja sekolah sesuai fungsinya dalam memproses input  tertentu (Cheng, 1996). Berdasarkan fungsi-fungsi yang telah dikemukakan dan tataran objek-objek sosial yang terkena dan memperoleh manfaat maka di dalam memandang efektivitas sekolah kita akan  bertanya, fungsi yang mana, dan level sosial apa sekolah tersebut efektif? Apakah dalam fungsi teknis/ekonomi, manusiawi/sosial, politik, kultural/budaya, pendidikan atau spiritual? Pada tataran mana fungsi tersebut efektif, apakah individu, instuisi, (lembaga sekolah), masyarakat sekitar, masyarakat lebih luas (bangsa) atau internasional? Apakah cukup dengan hal itu menilai efektivitas sekolah? ternyata ada pandangan pandangan lain. Sekolah adalah sebuah organisasi yang memiliki tujuan, anggota, hierarki dan  pembagian tugas, serta memiliki masyarakat pendukung (pengguna jasa pendidikan). Sebagai suatu organisasi maka efektivitas sekolah perlu dilihat dari pendekatan organisasi.

2. Pendekatan/Kriteria Sekolah Efektif

Dalam pandangan Robbins (1990), setidak-tidaknya ada empat pendekatan (kriteria) di dalam menilai efektif-tidaknya suatu organisasi (termasuk sekolah sebagai satuan (termasuk sekolah sebagai satuan organisasi), yaitu goal-attainment approach, system approach,  strategic-constituencies approach, dan competing-values approach. Masing-masing pendekatan akan dijelaskan, terutama berkaitan dengan efektivitas sekolah sebagai fokus bahasan. a. Goal-attainment approach Pendekatan ini disebut juga  goal model , dapat dikatakan sebagai “pendekatan  berdasarkan tujuan”. Dalam pendekatan ini diyakini bahwa tujuan organisasi (sekolah) yang dinyatakan secara formal merupakan kewajiban bagi sekolah tersebut untuk memenuhinya. Dengan demikian, efektvitas sekolah dinilai tergantung dari derajat tercapainya (attainment) tujuan (goal). Dengan kata lain pendekatan ini menilai efektivitas  pada hasil daripada proses atau cara mencapai hasil. Pendekatan ini pada umumnya banyak diterima oleh berbagai pihak, termasuk stakeholders. Persoalan yang timbul adalah manakala tujuan tidak jelas. Di Indonesia, pada umumnya sekolahtidak merumuskan tujuan secara formal, jelas d an spesifik (operasional). Hanya beberapa sekolah (terutama sekolah yang dianggap atau menganggap diri “unggulan”) yang berani menyatakan tujuan secara jelas, serta sebagian sekolah swasta kelas menengah ke atas. Hal ini karena sebagian menganggap bahwa tujuan pendidikan yang dirumuskan secara nasional oleh para pakar, birokrat, dan politisi bijak sudah cukup dan tidak mungkin akan menyesatkan sehingga sekolah tinggal mengacu pada tujuan tersebut. Sebagai acuan. Kebijakan nasional memang wajib diikuti, tetapi perhatikan rumusan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut. 32

“... bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,  berilmu,cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta  bertanggung jawab”. (dari pasal 3 UU Sisdiknas tahun 2003). Rumusan yang umum, kualitatif, berlaku untuk seluruh lembaga pendidikan Indonesia (dengan aneka ragam kondisi) ini masih sulit untuk dijadikan patokan menilai efektif tidaknya suatu sekolah. Tujuan itu memerlukan jabaran tujuan (turunan tujuan) yang lebih spesifik, operasional, dan sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Pemerintah, dalam rangka penerapan MBS melalui program perintisan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah” telah melatih sekolah-sekolah rintisan untuk masingmasing mengembangkan visi,misi, dan tujuan dalam bentuk rencana strategis sekolah sehingga setiap sekolah memiliki arah yang jelas di dalam upaya penin gkatan mutu sesuai dengan kondisi masing-masing, dengan tetap merujuk pada kebijakan nasional yang  bersifat umum dan standar-standar yang ditetapkan. Terlepas dari masalah-masalah yang timbul dalam penerapan pendekatan tujuan untuk menilai sejauh mana efektif tidaknya suatu sekolah, seperti dikemukakan di atas dan mungkin masih banyak problem lainnya, pendekatan ini sangat penting dan diikuti sebagian organisasi dengan berbagai penyesuaian dan dikombinasikan dengan pendekatan lain. Apabila pendekatan ini digunakan, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, tujuan sekolah (hasil yang ingin dicapai sekolah) baik yang berupa output (langsung) maupun outcome (dampak lebih lanjut) harus jelas dan dapat diterima (disepakati) oleh berbagai stakeholders utama (kepala sekolah, guru, birokrat diatasnya, dan orang tua). Kedua, proses perumusan tujuan melibatkan stakeholders dimaksud. Ketiga, upayakan merumuskan tujuan yang mudah diukur, bukan sesuatu yang abstrak (contoh rumusan yang sulit diukur menghasilkan lulusan yang bertanggung jawab kepada masyarakat). Keempat, perjelas mana tujuan jangka pendek dan mana jangk a panjang, dan  perjelas prioritasnya. Adanya keterbatasan-keterbatasan dalam pendekatan ini, orang mencoba pendekatan lainnya.  b. System approach atau pendekatan sistem Organisasi merupakan sebuah sistem atau satuan keseluruhan yang terdiri atas bagian atau komponen yang mendukung dengan fungsi masing-masing yang saling tergantung dan melengkapi untuk membentuk kesatuan (sistem tersebut). sekolah sebagai satuan organisasi merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang menyebabkan satuan organisasi tersebut dinamakan sekolah. Sekolah efektif didukung berbagai komponen yang dapat berfungsi secara efektif. Kurang efektifnya salah satu atau lebih komponen sekolah akan menyebabkan sekolah tersebut tidak dapat sepenuhnya efektif. Sebagai sebuah organisasi, sekolah memperoleh input (beberapa input), kemudian diubah melalui suatu proses sehingga menjadi output (hasil). Pendekatan yang semata-mata menilai efektivitas sekolah dari segi hasil yang dicapai (goal attainment) dianggap terlalu sempit dan menyederhanakan masalah. Pendekatan sistem mengakui hasil (output ), tetapi itu baru merupakan sebagian dari ukuran efektivitas. Organisasi (sekolah) juga harus dinilai dari kemampuannya 33

memperoleh input, dan memproses input tersebut menjadi output. Sekolah harus mengelola keseimbangan antara input, proses, dan output untuk tetap stabil dalam kehidupan organisasi  jangka panjang. Di dalam pendekatan sistem sekolah bukan hanya memelihara dan mengelola input secara internal, tetapi juga berhubungan dengan input eksternal (termasuk sosial) atau lingkungan. Dengan kata lain, pendekatan sistem tidak hanya memfokuskan pada tujuan secara spesifik, tetapi kaitan dengan input, proses, dan perubahan lingkungan untuk menjamin stabilitas tujuan jangka panjang memperoleh perhatian. Dengan pendekatan sistem, perlu analisis berbagai input, bukan hanya siswa, tetapi juga sumber belajar, sumber daya manusia, praktik manajemen (baik manajemen sekolah secara keseluruhan maupun manajemen proses belajar oleh guru), serta  penyaluran hasil terhadap pengguna lulusan, serta respons masyarakat terhadap lulusan. Dengan pendekatan sistem, kepala sekolah menjadi sadar akan adanya berbagai faktor atau variabel yang saling berkaitan yang turut menentukan hasil pendidikan meskipun untuk mendeteksi perubahan tuntutan masyarakat terkadang jauh lebih sulit ketimbang membandingkan hasil ujian, tetapi dalam jangka panjang, sekolah akan merasakan manfaatnya terutama dalam era kompetisi. Sementara, pendekatan sistem dianggap kurang sederhana, sebagian orang mencari  pendekatan lain yang lebih pragmatis.

c. Strategic constituencies approach atau pendekatan konstituen strategis Konstituen adalah orang atau kelompok orang (masyarakat) yang diharapkan dukungannya karena dukungan tersebut suatu institusi menjadi kuat. Dalam hal partai politik (atau tokoh  politik), konstituen adalah para pemilih partai atau pemilih tokoh yang bersangkutan. Sekolah memerlukan dukungan orang tua/masyarakat yang saat ini direpresentasikan melalui komite sekolah, kelompok birokrat tertentu atau persatuan guru setempat. Kelompok-kelompok yang sangat mempengaruhi kebijakan sekolah tersebut adalah konstituen strategis karena kalau mereka tidak senang atau tidak puas, pengelolaan sekolah (nasib sekolah) dapat tergantung. Sesuai posisi dan kondisi masing-masing sekolah, konstituen strategis pada setiap sekolah tidak selalu sama. Dalam hal sekolah swasta, mungkin sekali konstituen strategisnya berbeda dengan sekolah negeri karena yang mempengaruhi eksistensinya berbeda. Dalam hal tokoh-tokoh konstituen strategis berpikir jernih dan upaya idealisme memajukan sekolah (pendidikan) sesuai fungsi-fungsi sekolah, pendekatan ini sangat efektif, tetapi kalau yang terjadi sebaliknya, sekolah dapat terjebak, apabila sekolah dianggap efektif hanya karena dengan  berbagai cara dapat memuaskan “tokoh-tokoh” konstituen strategis tersebut. Apabila pendekatan ini akan digunakan maka sekolah sejak awal berusaha menjaring masukan atau secara resmi meminta masukan para konstituen yang dominan di dalam merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah. Dengan keterlibatan mereka di dalam menentukan arah pengembangan sekolah maka efektivitas model ini akan tidak menyimpang dari idealisme dan fungsi-fungsi sekolah yang sebenarnya. Peran konstituen strategis sangat penting, terutama pada saat seperti sekarang ini di mana keberhasilan tidak hanya dinilai/diklaim oleh satu pihak, tetapi memerlukan  pengakuan oleh beberapa pihak dan banyak di antaranya lebih bernuansa politis daripada teknis.

34

d. Compering values approach atau pendekatan persaingan nilai Dasar pendekatan ini adalah kriteria yang digunakan seseorang untuk menilai efektivitas suatu organisasi tergantung dari siapa dia, dan kepentingan siapa yang dia w akili. Seorang guru menilai efektivitas sekolah dari segi kepentingan guru, kepala sekolah menilai dari sudut kepentingan kepala sekolah. dan orang tua siswa akan menilai dari segi kepentingan mereka. Demikian pula  birokrat pendidikan. Sungguhpun terdapat berbagai kepentingan yang saling bersaing, pendekatan ini berasumsi bahwa berbagai value (nilai) yang direfleksikan dalam bentuk kepentingan dapat diorganisasikan dengan pola tertentu. Di dalam praktiknya, jarang terjadi sekolah ekstrem mengikuti salah satu pendekatan dengan mengesampingkan pendekatan yang lain. Biasanya orang cenderung secara ideal menghendaki semua unsur atau ciri-ciri yang baik dari kriteria atau pendekatan yang ada. Sekolah ingin  pencapaian hasil pendidikan yang jelas, ingin memperoleh semua input yang mendukung hasil yang bermutu, ingin memperoleh dukungan semua stakeholders (konstituen) sehingga posisinya mantap, tidak diganggu-ganggu. Di samping itu, sekolah juga ingin kehidupan stabil, semua mengikuti aturan, tetapi juga ingin fleksibel mudah merespons pembaruan dan tuntutan lingkungan. Sekolah ingin memperhatikan warga sekolah, tetapi juga ingin produktivitasnya tinggi, bermutu dan efesien. Keinginan-keinginan ini bisa menjadi ciri-ciri sekolah yang efektif.

3. Studi tentang Sekolah Efektif

Studi tentang model sekolah efektif ini berdasarkan investigasi empirik dan studi kasus terhadap sekolah-sekolah yang berhasil dalam merealisasikan pembelajaran sesuai kurikulum yang diinginkan (ditetapkan), terutama dengan fokus pada keterampilan dasar (basic skills), yang meliputi keterampilan membaca secara komperehensif (penguasaan isi bacaan), menghitung,  pemecahan soal, keterampilan berpikir pada tingkat lebih tinggi, dan keterampilan sosial. Kriteria efektivitas sekolah disepakati meliputi kualitas dan keadilan/pemerataan (quality dan equity). Dari sisi kualitas, merujuk pada hasil pengukuran atau pengujian terhadap keterampilan dasar tersebut. Tentu ini seolah membatasi lingkup pendidikan yang fungsinya lebih luas, tetapi untuk kepentingan penelitian, aspek itulah yang lebih mudah diuku r, dan sesuatu yang sangat dominan dan harus dicapai oleh suatu tingkat pendidikan, utamanya pendidikan dasar. Kriteria keadilan/pemerataan (equity)  mengandung makna bahwa model sekolah efektif harus dapat diimplementasikan/diterapkan bukan hanya untuk sekolah dengan anak-anak yang status sosial ekonominya tinggi, tetapi berlaku dan justru dimaksudkan untuk memperbaiki layanan  pendidikan bagi anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung (lemah ekonomi, sosial, kultural, dan seterusnya yang umumnya bermasalah dalam belajar). Para peneliti sekolah efektif berasumsi dan percaya bahwa semua anak dapat belajar (Taylor, 1990). Para peneliti efektif lainnya, seperti Gauthier, Shoemaker, Villanova dan lainnya yang terlibat dalam The Connecticut School Effectiveness Project Mengemukakan tujuh karakteristik, yaitu sebagai berikut: a. Ketentuan, ketertiban, dan keamanan suasana lingkungan  (safe and orderly environment). 35

 b. c. d. e.

Misi sekolah yang jelas (clear school mission). Kepemimpinan instruksional (instrucsional leadership). Harapan yang tinggi (high expectations) Kesempatan untuk belajar dan kesempatan anak untuk memanfaatkan waktu belajar (opportunity to learn and student time on task ).  f. Sering dilakukan monitor atas kemajuan siswa ( frequent monitoring of student progress). g. Hubungan positif antara rumah dan sekolah ( positive home-school relation) (Dari Levine and Lezotte, dalam Unusually effective school , 1990, h.2) Sementara itu, pada buku yang sama Levine dan Lezotte sendiri mempromosikan karakteristik yang agak berbeda tentang sekolah yang tergolong efektif meskipun sebagian  besar sama, sebagai berikut. a. Kultur dan iklim sekolah yang produktif ( productive school climate and culture) b. Fokus pada pencapaian keterampilan pokok belajar siswa  (Focus on student acquisition of central learning skills). c. Monitoring kemajuan secara memadai ( Appropriate monitoring of student progress). d. Pengembangan staf yang berorientasi praktis di sekolah ( Practice oriented staff development at the school site). e. Kepemimpinan yang bagus (Outstanding leadership). f. Keterlibatan orang tua yang menonjol (Salient parent involvement ).  g. Pengaturan pembelajaran dan pelaksanaannya yang efektif  (Effective Instructional arrangement and implementation). h. Harapan yang tinggi terhadap siswa, baik secara operasional maupun persyaratan  baginya (high operationalized expectation and requierment).  (Levine and Lezotte, 1990, h. 10) Elemen-elemen atau karakteristik sekolah efektif, seperti disebutkan di atas bukan sesuatu yang statis dan harga mati, melainkan bersifat dinamis, baik dalam jumlah, pengelompokan maupun ragam dimensinya. Hal ini disebabkan adanya elemen turunan dari elemen yang ada maupun karakteristik lainnya yang oleh peneliti lain dianggap memiliki korelasi yang memadai di dalam mempengaruhi efektivitas sekolah atau mendukung elemen yang lebih esensial. Murphy dan Waynout (Taylor, ed. 1990) merumuskan sepuluh karakteristik sekolah efektif dalam pengembangan model untuk sekolah-sekolah di  Prince George’s Country. Di samping delapan karakteristik yang sama atau hampir sama dengan yang dikemukakan oleh para peneliti tersebut sebelumnya, ada dua karakteristik yang mereka tambahkan, yaitu berikut ini. a. Tingkat kehadirian siswa dan staf pengajar serta karyawan yang tinggi.  b. Pemahaman yang jelas pada semua staf akan peran masing-masing dalam program sekolah efektif. Setelah mengamati dan membandingkan beberapa rumusan yang diteliti oleh para tokoh model sekolah efekti, Umaedi (2004) memilih delapan karakteristik umum yang

36

diharapkan dapat diterapkan di Indonesia atau dapat dijadikan strategi atau model yang efektif sejalan dengan pendekatan manajemen berbasis sekolah, yakni berikut ini. a.  b. c. d. e. f.

Lingkungan sekolah yang aman dan tertib ( safe and orderly environment ). Perumusan visi, misi, dan target mutu yang jelas (clear vision and mission). Kepemimpinan sekolah yang kuat ( strong instructional leadership). Harapan prestasi yang tinggi (high expectation on student achievement ). Pengembangan dan staf sekolah secara terus-menerus  (school staff development ). Evaluasi belajar untuk penyempurnaan proses belajar mengajar  (frequent monitoring and evaluation of student progress).  g. Komunikasi dan dukungan orang tua dan masyarakat yang efektif (effective schoolcommunity/ parent communication and support). h. Komitmen seluruh warga sekolah akan pentingnya peningkatan mutu.

Penempatan urutan karakteristik sepertitersebut di atas, tidak secara jelas menunjukkan karakteristik mana yang lebih penting dari yang lain. Masing-masing saling berhubungan di dalam  proses membentuk efektivitas sekolah. Suatu sekolah yang rawan disiplin (disiplinnya rendah), tingkat kenakalan siswanya tinggi, misalnya sering terjadi tawuran antar sekolah, seperti yang terjadi di sebagian kota besar, tingkat kehadiran siswa maupun guru juga rendah, dan sebagainya, menempatkan keteraturan, ketertiban, dan suasana aman sebagai prioritas utama, sebab kalau tidak  proses belajar tidak akan efektif (terganggu), bahkan dalam keadaan ekstrem sekolah tidak  berfungsi secara semestinya. Pada kasus lain, peran kepemimpinan instruksional yang kuat menjadi prioritas sehingga  pelatihan kepemimpinan sekolah diutamakan, bahkan terus mengganti kepala sekolah untuk mencapai target mutu tertentu. Suatu sekolah yang baru berdiri, biasanya tidak mau mengambil risiko menempatkan kepala sekolah yang terlalu yunior meskipun pendidikan yang bersangkutan cukup tinggi. Dalam hal sekolah tidak mempunyai misi yang jelas, peran kepemimpinan menjadi  prioritas.

4. Hubungan antara MBS dan Studi Sekolah Efektif 

Menurut hemat penulis, ciri-ciri sekolah efektif hanya mungkin mewujudkan kalau  pengelolaan sekolah tersebut menggunakan pendekatan MBS, dengan mementingkan prinsip prinsip dan dasar-dasar konsepnya, bukan sekedar namanya. Levine dan Lezotte, dalam pengantar  buku Unusually Effective School  yang diterbitkan oleh The National Center For Efwctive Schools  Research & Development  (1990) mengatakan sebagai berikut. This research focus has resulted in description of how certain organizational structures –   school based management/improvement, a student monitoring system, staff development and curriculum development systems, reward/incentive for students, teacher, support staff and administrators –   were designed, and how implementation of these systems effected operation of  schools and school district. 37

Penulis justru berpendapat bahwa MBS sebagai pendekatan baru yang secara fundamental  berkaitan dengan penyebaran kewenangan dari model terpusat (sentralistik) ke model terdistribusikan atau tersebar (desentralisasi). MBS menjadi suatu kerangka penting dalam manajemen sekolah yang memperoleh kewenangan serta tanggung jawab di dalam pengambilan keputusan dan pemanfaatan alokasi sumber daya pendidikan dari pusat. MBS sebagai kerangka dasar pengelolaan sekolah memerlukan strategi operasional untuk mencapai efektivitas sesuai tujuan sekolah yang telah ditetapkan. Dan strategi itu adalah model sekolah efektif. Abu-Duhou beranggapan bahwa MBS dikembangkan dan riset tentang sekolah efektif, seperti pernyataannya sebagai berikut. Apart from economic and other related factors, outside the realm of scholld, SBM was developed from effective schools research (1999, h. 35) Dari pengamatan terhadap literatur yang ada antara studi tentang sekolah efektif dan MBS, dilakukan secara paralel. Pendidikan (yang dioperasionalkan oleh sekolah) terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada kalangan pendidik, seperti yang sudah lama berjalan. Sekolah sebagai institusi sosial yang penting yang berpengaruh terhadap kemajuan masyarakat dan bangsa perlu dukungan dan keterlibatan berbagai pihak untuk menjalankan peran (fungsi) secara semestinya. Dengan dasar pendapat-pendapat diatas, dapat diketahui bahwa MBS sangat penting dilihat dari kacamata pengelolaan pendidikan (sekolah) sebagai kerangka (garis besar) manajemen, sedangkan strategi operasionalnya perlu didukung oleh model sekolah efektif, bahkan nilai-nilai manajemen mutu terpadu (Total Quality Management  –   TQM) perlu pula dikembangkan di sekolah. nilai-nilai penting TQM dimaksud, antara lain peningkatan mutu secara berkelanjutan, keputusan pelanggan dan pengguna jasa pendidikan, peningkatan mutu proses termasuk semua input yang terlibat di dalam proses pendidikan, serta kontrol kualitas berdasarkan standar yang dinamis. Asumsi-asumsi inilah, kemudian mewarnai perintisan MBS di Indonesia, yang menggunakan tema “Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)”. Latihan 3 1. Tunjukkan bagaimana salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui atau mengukur efektivitas suatu sekolah? Jelaskan! 2. Di antara beberapa pendapat tentang karakteristik sekolah efektif, pendapat siapa yang Anda anggap lebih representatif terutama untuk sekolah-sekolah di Indonesia? Jelaskan!

38

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN.

Manajemen Berbasis Sekolah adalah karena adanya berbagai program pendidikan yang  pengelolaannya terlalu kaku dan sentralistik, pendidikan merupakan salah satu bidang  pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota, dan untuk dapat melaksanakan kewajiban ini, maka diperlukan strategi pengelolaan pendidikan yang tepat dan mengedepankan kerja sama, sekolah mempunyai otonomi atau wewenang untuk merencanakan, mengatur, mengambil keputusan, melaksanakan dan bertanggung jawab atas segala kegiatan yang ada di sekolah dan lingkungan sekolah dengan keterlibatan warga sekolah serta masyarakat sekitar sehingga sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan dapat tercapai, pada dasarnya sekolahlah yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman, serta kebutuhannya termasuk dalam hal finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, keefektifan sekolah, keefisienan administrasi, profesionalitas, politis dan keekonomian. (MPMBS) adalah otonomi sekolah plus pengambilan keputusan secara partisipatif. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MPMBS sudah sepantasnya menerapkan  pendekatan “idiograpik ” (membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan MPMBS) dan  bukan lagi mengunakan pendekatan “monotetik ” (cara melaksanakan MPMBS yang cenderung seragam/konformitas untuk semua sekolah). Oleh karena itu, dalam arti yang seben arnya tidak ada satu resep pelaksanaan MPMBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis  pusat menjadi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Bukanlah merupakan proses sekali  jadi dan bagus hasilnya (one –   shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus dan melibatkan semua pihak yang bertanggung jawab dalam  penyelenggaraan pendidikan. Sekolah memiliki misi mendidik siswanya agar dapt melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, meningkatkan pengetahuan dan hubun gan timbal balik dengan masyarakat.efektifitas sekolah dapat tercermin dari profil sekolah yang memiliki keteratran dalam berbagai aspek untuk mencapi tujuan. Aspek-aspek tersebut antara lain siswa, guru, dan tenaga kependidkan lainnya, kurikulum, sarana prasarana, kegiatan belajar, ekstrakurikuler, bimbingan dan konseling, kemitraan sekolah dengan masyarakat sampai pada kegiatan-kegiatan khusus yang berkembang atas kebutuhan dan inspirasi sekolah. Orang yang bertanggung jawab atas manajemen sekolah adalah seorang kepala sekolah yang memiliki karakteristik kepemimpinan karena untuk menggerakan orang-orang diperlukan pengaruh pimpinan yang memiliki kapabilitas sebagi  pemimpin yang berkualitas. B. SARAN

Manajemen sekolah sangat berpengaruh terhadap keefektifan kurikulum karena dengan  pengelolaan yang baik akan menghasilkan hasil yang baik pula (mutu pendidikan akan lebih meningkat).

39

DAFTAR PUSTAKA

Abu duhou, Ibtisam (199 ). School-Based Management  Paris: UNESCO: International Institute for Educational Planning.

Banickly, L.A., Rodney M., dan Foss, H.K (2000). The Promises and Problems of School Based  Management. University of Delaware.

Chen, Ying Cheong. (1996). School Effectivenes & School-Based Management. London and Washington, D.C.: The Falmer Press.

 Depdiknas Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Konsep Dasar: Buku 1. Departemen Pendidikan Nasional.

Golarz, Raymond J., Marion J. Golarz. (1995). The Power of Participation, Improving Schools  In a Democratic Society. IIIinois: Research Press.

Levine, Daniel U., Ph.D., and Lawrence W. Lezotte, Ph.D. (1990). Unusually Effective Schools. Madison: National Center for Effective Schools.

Levin, Henry M., and Marlaine E. Lockheed. (1991). Effective Schools In Developing Countries. The World Bank.

Mohrman, Susan Albers, and Priscilla Wohlsetter. (1994). School Based Management: Organizing for High Performance. San Francisco: Jossey-Bass Publisher.

 Neal, Richard G. (1991). School-Based Management . Indiana: National Educational Service.

 Nurkholis. (2003). Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model, dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.

Robbins, Stephen P. (1990). Organization Theory: Structure, Design, and Applications. New Jersey: Prentice Hall.

40

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF