MAKALAH Journal Reading

February 28, 2018 | Author: Miranti Sastraningrum | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

jurnal reading...

Description

cJOURNAL READING

Review Article Somatoform Disorders in Children and Adolescents Gangguan Somatoform pada Anak-Anak dan Remaja Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh: Karina Winda Besufi

21504101016

Triari Nizuar

21504101025

Rista Eka Suciwulansari

21504101026

Angga Wahyu Pratama

21504101041

Hilda Nur Ainia

21504101049

Pembimbing: dr. Anna Purnamasari, Sp.KJ.

KEPANITERAAN KLINIK MADYA SMF JIWA RSJ Dr. RADJIMAN WIDIODININGRAT LAWANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada penyusun sehinggaJournal Reading yang berjudul “Somatoform Disorders in Children and Adolescents” ini dapat terselesaikan sesuai rencana yang diharapkan. Tujuan penyusunan makalah journal reading ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya serta guna menambah ilmu pengetahuan mengenai permasalahan penyakit pada bidang ilmu jiwa khususnya gangguan somatoform pada anak-anak dan remaja. Penyusun menyampaikan terima kasih kepada pembimbing kami,dr. Ana Purnamasari,Sp.KJ. atas segenap waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan kepada kami selama proses pembuatan journal reading ini. Penyusun menyadari bahwa laporan journal reading ini belumlah sempurna. Untuk itu, saran dan kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan ini. Atas saran dan kritik dosen dan pembaca, penyusun ucapkan terima kasih. Semoga journal reading ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca serta rekan-rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran.

Lawang, Juli 2017

Tim Penyusun

1

DAFTAR ISI

Judul Kata Pengantar .................................................................................................1 Daftar Isi ..........................................................................................................2 BAB I : ISI JURNAL 1.1

Judul.........................................................................................................3

1.2

Abstrak.....................................................................................................3

1.3

Pendahuluan.............................................................................................3

1.4

Klasifikasi ................................................................................................4

1.5

Epidemiologi ...........................................................................................5

1.6

Gambaran Klinis ......................................................................................5 1.6.1 Gangguan Somatisasi .....................................................................6 1.6.2 Gangguan Rasa Sakit Somatoform Persisten .................................6 1.6.3 Gangguan Somatoform yang Tidak Berdeferensiasi ......................7 1.6.4 Hipokondriasis ................................................................................7 1.6.5 Gangguan Tubuh Dismorfik ...........................................................8

1.7

Skrining ...................................................................................................8

1.8

Komorbiditas ...........................................................................................9

1.9

Penatalaksanaan .......................................................................................9 1.9.1 Strategi Manajemen Umum ............................................................9 1.9.2 Strategi Manajemen Khusus .........................................................10

1.10 Penatalaksanaan ....................................................................................13 BAB II : TELAAH JURNAL .........................................................................14 BAB III: TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................20 Daftar Pustaka .................................................................................................40 Lampiran Jurnal

2

JOURNAL READING

BAB I ISI JURNAL

Gangguan Somatoform pada Anak-Anak dan Remaja Satyakam Mohapatra, Sardar J. K. Deo, Ashirbad Satapathy, and Neelmadhav Rath Mental Health Institute, SCB. Medical College, Cuttack, Odisha, India Corresponding author: Satyakam Mohapatra, senior resident, Mental Health Institute, Department of Psychiatry, SCB Medical College, Cuttack, Odisha, India, 753007

1.1. Judul Gangguan Somatoform pada Anak-Anak dan Remaja. 1.2. Abstrak Kelainan somatoform adalah salah satu kelainan psikiatri yang bisa terjadi pada anak-anak dan remaja. Gangguan somatoform pada anak- anak dan remaja menyebabkan gangguan fungsi pendidikan dan sosial dan menghasilkan banyak gangguan psikososial lainnya. Pasien dengan kelainan ini datang berobat ke bagian medis umum daripada ke bagian psikiatri. Rujukan awal pada bagian kesehatan mental sangat diperlukan untuk menghindari penundaan ataupun pemeriksaan lainnya yang tidak perlu untuk mendiagnosis somatoform pada anak. 1.3. Pendahuluan Sampai saat ini etiologi somatoform belum diketahui. Gejala fisik medis pada anak-anak dan remaja yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya terjadi 50% pada pasien

rawat

jalan.

Anak-anak

dan

remaja

kebanyakan

sulit

untuk

mengungkapkan perasaan dan emosi mereka melalui bahasa sehingga apabila ada tekanan psikologis kebanyakan di munculkan sebagai gejala pada fisik (gejala somatik). 2%-10% anak mengeluhkan sakit dan nyeri (misalnya: sakit perut, nyeri sendi, sakit kepala) yang cenderung secara medis tidak jelas penyebabnya. Gangguan somatoform ditandai dengan banyak gejala (gastrointestinal, nyeri, seksual, pseudo neurolokal). Gejala tersebut berulang namun tidak dapat dijelaskan secara medis ataupun akibat suatu zat. Kerusakan fungsional dapat

3

terjadi pada anak-anak dengan gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan pada usia berapapun dan pada berbagai tingkat keparahan, maupun dari segi gejalanya hal ini cenderung berhubungan dengan masalah psikologis. Ada yang mengatakan bahwa pada anak- anak yang masih sangat muda (usia sekolah) yang sering mengalami gejala somatik lebih beresiko dibandingkan dengan anak- anak yang tidak bergejala terutama yang memiliki masalah perilaku dan emosional. Anakanak yang seperti ini kemungkinan juga bisa mengalami gejala fisik lebih lanjut dan kesulitan psikologis pada masa anak-anak maupun remaja. Pasien dengan gejala seperti itu akan menjadi beban pada sistem pengiriman layanan kesehatan, menjadi sering rawat inap berulang, sering konsultasi pada spesialis yang berbeda-beda

sehingga

menjadi

tidak

efektif

untuk

pemeriksaan

dan

penatalaksanaannya. 1.4. Klasifikasi Kriteria diagnostik untuk gangguan somatoform sebenarnya digunakan untuk pasien dewasa namun diterapkan pada anak-anak karena masih kurangnya Basis Penelitian dan Perkembangan khusus anak. Perbedaan bentuk kelainan somatoform yang ditemukan pada anak- anak dan remaja bermacam-macam dan namun gejala klinisnya masih mirip pada penderita dewasa. ICD-10 membagi kelainan ini dalam gangguan somatisasi, gangguan somatoform yang tidak berdiferensiasi, gangguan hypokondriakal, somatoform fungsional disorder, gangguan nyeri somatoform persisten dan bentuk gangguan somatoform. Gangguan lainnya yang memiliki somatisasi yaitu gangguan disosiatif (conversion disorder pada DSM-IV-TR) dan neurastenia (Fatigue sindrom) dikategorikan secara terpisah dalam ICD 10. Dari semua gangguan somatoform ini yang paling sering terihat pada anak-anak dan remaja adalah gangguan nyeri somatoform persisten. Baru-baru ini DSM-V (American Psychiatric Association 2013) menyatakan kelainan somatoform sekarang disebut gejala somatik dan gangguan terkait. Diagnosis ganguan somatisasi, hipokondriasis, gangguan nyeri dan somatoform yang tidak berdiferensiasi telah dihapus dalam DSM-V. Di DSM-V orang- orang dengan nyeri kronis bisa didiagnosis dengan gejala somatik dengan predominan nyeri atau faktor psikologis afek lainnya. Gangguan somatisasi dan

4

somatoform yang berbeda bergabung menjadi kelainan gejala somatik, sebuah diagnosis yang tidak termasuk dalam sebuah gejala spesifik somatik. 1.5. Epidemiologi Prevalensi atau kejadian somatoform secara tepat sedikit sekali diketahui. Gangguan somatoform pada anak-anak dan remaja berbeda. Namun epidemiologi keluhan somatik pada umumnya, karena faktor psikosomatik dan gejala medis yang tidak dapat dijelaskan. Dalam studi rawat jalan anak-anak psikiatri tingkat keluhan somatik berkisar antara 1,3% hingga 5%. Dalam sebuah studi populasi umum,keluhan somatik ditemukan pada 11% anak perempuan dan 4% anak lakilaki. Kebanyakan rasa sakit dan gangguan yang tidak berdiferensiasi dimulai pada masa anak-anak atau awal masa remaja. Gejala abdomen meningkat ferkuensinya dari usia 3 sampai 9 tahun dan cenderung meningkat saat remaja. Sakit kepala pada usia pre sekolah lebih sering terjadi pada anak yang usianya lebih tua atau remaja. Pada perempuan, nyeri terjadi pada onset umur 11-19 tahun, dimana jika pada laki-laki onset terjadinya dibawah usia 13 tahun. Prevalensi gejala dengan somatisasi pada populasi pediatrik adalah tinggi. Sakit perut 5% dari pediatrik, dan sakit kepala terjadi 20% hingga 55% pada semua anak, dengan 10% remaja yang dilaporkan mengalami sakit kepala, nyeri dada,mual dan lemah. Gejala somatik dan kelainan somatoform umumnya terjadi lebih sering pada wanita daripada laki-laki dengan rasio perbandingan 5:1. Studi pada anak prapubertas melaporkan rasio laki-laki dan perempuan seimbang; pada post pubertas, wanita lebih sering. Pada mayoritas kasus perempuan ditemukan gejala meningkat saat remaja awal, sementara tingkat resiko pada anak laki-laki usia ini rendah. Karena itu dengan bertambahnya usia kejadian pada anak laki-laki akan meningkat. Dan dilaporkan lebih sedikit gejala fisik. Populasi yang modern atau kurang pendidikan mempunyai resiko lebih rendah. 1.6. Gambaran Klinis Gangguan nyeri somatoform persisten adalah tipe yang paling umum di antara semua varian gangguan somatoform pada anak-anak dan remaja. Gejala

5

somatik yang paling umum adalah nyeri perut berulang, nyeri muskuloskeletal dan sakit kepala, namun banyak gejala lain yang dapat menyertai. 1.6.1. Gangguan Somatisasi Kriteria gangguan somatisasi dibuat untuk orang dewasa, dan telah dilakukan upaya untuk menerapkan kriteria ini pada populasi anak-anak. Namun, diagnosisnya jarang dilakukan pada anak-anak dan remaja, terutama karena kebutuhan waktu yaitu dibutuhkan beberapa tahun untuk memenuhi kriteria gejala. Akan tetapi, contoh klinis dalam ICD-10 (World Health Organization, 1996) adalah atipikal masa anak-anak dan remaja; misalnya, jarang terjadi gejala genitourinari. Namun, pasien ini akan ditemukan dalam kebanyakan ciri khas anakanak, seringkali dengan keluhan gastrointestinal, nyeri sendi dan nyeri lainnya dan gejala neurologis. 1.6.2. Gangguan Rasa Sakit Somatoform yang Persisten Nyeri perut, sakit kepala, nyeri sendi dan nyeri lainnya dapat merupakan gangguan nyeri somatoform persisten bila rasa sakitnya persisten, parah, menyusahkan dan terjadi terkait dengan cukup banyak psikososial yang memiliki signifikansi etiologis. Biasanya, nyeri perut fungsional timbul sebagai nyeri intens menyebar atau periumbilical. Rasa sakitnya cenderung memburuk di siang hari dan tidak terjadi pada malam hari atau di hari libur sekolah. Mungkin ada kebiasaan buang air besar yang berubah, muntah, sakit kepala, lesu dan anak mungkin terlihat pucat, yang bisa memperkuat kepercayaan keluarga akan patologi organik.Sakit kepala lebih mungkin daripada tidak ditandai sebagai sakit kepala tegang (sering, bilateral, biasanya nyeri di depan seperti terikat) tapi kadang-kadang dapat disertai dengan serangan migrain (nyeri periodik, parah, sepihak dengan aura, mual dan riwayat keluarga yang menyertainya). Nyeri perut berulang adalah keluhan nyeri rekuren yang paling sering terjadi pada masa anak-anak. Nyeri abdomen berulang didefinisikan sebagai nyeri intermiten dengan pemulihan penuh antara episode yang berlangsung lebih dari 3 bulan (Schulte & Petermann, 2011). Studi epidemiologis menunjukkan bahwa efek nyeri perut rekuren 8-25% anak usia sekolah berusia 9-12 tahun, lebih

6

banyak terjadi pada anak perempuan, dan menyumbang 2-4% kunjungan ke dokter anak (Dufton et al., 2009). Ada hubungan yang kuat antara nyeri perut berulang dan kecemasan pada anak-anak. Prevalensi seumur hidup gangguan kecemasan pada anak-anak dengan nyeri perut berulang secara subtil lebih tinggi daripada harapan pada populasi umum. Studi menunjukkan bahwa orang tua yang berurusan dengan sakit perut recuurent menilai anak-anak mereka secara signifikan lebih tinggi daripada anak-anak yang sehat dengan ukuran kecemasan, masalah afektif, dan gejala somatik. 1.6.3. Gangguan Somatoform yang Tidak Berdiferensiasi Anak-anak dan remaja lebih cenderung memenuhi kriteria kelainan somatoform yang tidak berdiferensiasi atau gangguan somatoform NOS daripada gangguan somatisasi. Kondisi ini muncul selama masa remaja, menyebabkan penurunan nilai. Beberapa gejala berat minimal 6 bulan diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Keluhan meliputi, namun tidak terbatas pada, sindrom nyeri, keluhan gastrointestinal atau urogenital, kelelahan, kehilangan nafsu makan, dan gejala neurologis semu. 1.6.4. Hipokondriasis Keasyikan dengan ketakutan memiliki atau gagasan bahwa seseorang memiliki penyakit serius berdasarkan salah tafsir terhadap gejala tubuh. Keasyikan ini tetap ada meski ada evaluasi medis dan kepastian yang tepat. Hipokondriasis dibedakan dengan seperangkat keyakinan dan sikap tentang penyakit. Ada literatur pendukung buruk untuk hypochondriasis sebagai kelainan masa kecil, dan ini lebih sering terlihat pada masa remaja dan dewasa. Pasien dengan hypochondriasis telah ditemukan memiliki korelasi tinggi dengan gejala depresi, kecemasan, dan somatik. OCD komorbid adalah umum, dengan prevalensi OCD 8% seumur hidup pada orang dengan hypochondriasis (dibandingkan dengan 2% pada populasi umum). Individu dengan gangguan ini sering menjadi pengguna layanan medis namun sering melaporkan ketidakpuasan dengan perawatan yang mereka terima.

7

1.6.5. Gangguan Tubuh Dismorfik Kelainan tubuh dismorfik didefinisikan sebagai keasyikan dengan cacat yang dibayangkan dalam penampilan atau kekhawatiran berlebihan terhadap anomali fisik sedikit. Preoccuation yang menekan mungkin melibatkan bagian tubuh manapun, namun paling sering melibatkan bayangan wajah atau kepala seperti jerawat, bekas luka, rambut yang menipis, asimetri wajah, atau rambut wajah yang berlebihan. Ada sedikit tulisan mengenai hal ini. Gangguan pada anak dan remaja karena sebagian besar pasien bersekongkol mengenai gejala mereka dan enggan mencari pengobatan psikiatri. Onset sering terjadi selama masa remaja, dengan rasio laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak seperti banyak gangguan somatoform lainnya. Banyak dari pasien ini telah melakukan konsultasi dengan ahli bedah dan dokter kulit dan sering mencari operasi kosmetik namun mereka adalah kandidat yang buruk karena mereka tidak mungkin puas dengan keputusan resulst. Sebagian besar individu dengan gangguan dismorfik tubuh melaporkan riwayat penganiayaan anak-anak, termasuk pelecehan fisik, seksual, dan emosional dan kelalaian fisik. Gangguan kejiwaan komorbid meliputi tetapi tidak terbatas pada depresi, gangguan obsesif kompulsif (OCD), fobia sosial, gangguan delusional, anoreksia nervosa, gangguan identitas gender. BDD juga dikaitkan dengan tingkat keinginan dan usaha bunuh diri yang tinggi, dengan 2428% telah mencoba bunuh diri.;lk 1.7. Skrining Wawancara psikiatri merupakan kunci untuk mendiagnosis gangguan ini. Beberapa skala penilaian untuk anak-anak telah dikembangkan untuk membantu dalam penilaian kelompok gejala fisik dan somatisasi. Children Somatization Inventory (CSI) adalah pengukuran 35 jenis dilapokan sendiri dengan versi orang tua dan anak. Skrining ini memberikan informasi tentang gejala somatik pediatrik selama 2 minggu sebelum pemeriksaan dan dapat digunakan pada anak – anak berusia 7 tahun. Functional Disability Inventory (FDI) dapat digunakan bersama dengan CSI

untuk menilai keparahan gejala.Illnes Attitude Scale dan Soma

Assessment Interview (SAI) adalah kuesioner wawancara orang tua.

8

1.8. Komorbiditas Komorbid gangguan kejiawaan dapat mendahului perkembangan gejala somatik, tetapi sering berkembang selama gangguan somatoform. Diantara anak – anak yang menghadiri layanan, sepertiga sampai setengah memiliki komorbid gangguan kejiwaan. Pada anak usia sekolah, kegelisaan dan depresi merupakan komorbiditas paling umum. Komorbid Attention Defisit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan Oppositional Defiant Disorder (ODD) juga sering terjadi, terutama pada anak laki-laki. Gangguan somatik terjadi dua kali lebih banyak pada anak– anak dan remaja yang memenuhi kriteria pada DSM-IV untuk depresi dibanding subyek kontrol, dengan gejala somatik yang timbul selama 4 tahun setelah onset depresi. Gangguan kecemasan (contohnya, separation anxiety, gangguan stress post-trauma) dapat bersamaan dengan keluhan somatik (contohnya, sakit kepala, sakit perut, mual, muntah). Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan gangguan kejiwaan (misalnya, kecemasan, depresi) pada pasien anak–anak dengan gejala medis yang tidak dapat dijelaskan. 1.9. Penatalaksanaan 1.9.1. Strategi Manajemen Umum Beberapa strategi yang dapat membantu : -

Berusahalah untuk memberikan pengertian keluarga tentang penyakit yang diderita, pengertian tentang penyebab fisik, dan pandangan tentang rujukan dan perawatan kesehatan mental.

-

Jangan mempertanyakan realitas gejalanya.

-

Menyatakan dengan jelas bahwa pasien yang memiliki penyakit mental akan mempengaruhi kehidupan mereka dan berdampak pada keluarga

-

Belajar lebih luas dalam hal penjelasan alternatif untuk gejalanya.

-

Lebih banyak mendiskusikan masalah fisik yang menenangkan keluarga dan hasil pemeriksaan fisik yang telah dilakukan

-

Diskusikan sepenuhnya mekanisme fisiologis yang berkontribusi terhadap gejala,

-

Jangan menyampaikan sesuatu yang membuat malu keluarga saat berbicara mengenai diagnosa gangguan somatoform atau diagnosis psikiatri lainnya.

9

-

Tekankan bahwa mungkin perlu waktu untuk pemulihan, tetapi pada remaja berjalan sangat baik.

-

Bantu keluarga dan anak mengembangkan cara mengatasi gejala dan mengurangi gangguan fungsional.

1.9.2. Strategi Manajemen Khusus Sebenarnya masih ada kekurangan pembuktian evidence-base yang berhubungan dengan terapi pada kelainan somatoform anak dan remaja. Ada beberapa studi kontrol dari farmakoterapi dan fisioterapi kelainan somatoform pada orang dewasa. Percobaan kontrol pada dewasa menunjukkan bahwa bukti terkuat dan lebih konsisten menunjukkan efikasi dari CBT pada beberapa jenis kelainan somatoform. Secara acak, percobaan kontrol oleh Allen et al, pada 2006 efikasi dari CBT untuk kelainan somatoform menunjukkan bahwa dengan 10 sesi manual, individu diperintah regimen CBT, gejala somatisasi secara signifikan membaik.

Acuan

terapi

termasuk

latihan

relaksasi,

regulasi

aktivitas,

memfasilitasi kewaspadaan emosi, memperbaiki fungsi kognitif, dan komunikasi interpersonal. Perbaikan gejala somatisasi segera diobservasi setelah fase intervensi dan menetap selama 12 bulan tambahan. Studi ini menunjukkan bahwa CBT dapat menghasilkan perbaikan yang berkepanjangan pada simptomatologi, fungsi dan pemanfaatan perawatan kesehatan pada pasien dengan gangguan somatisasi. Pada percobaan control acak yang lain, evaluasi efikasi CBT pada gangguan somatisasi dengan presentasi pasien pada dua tingkat keparahan dan tingkat menengah pada somatisasi menunjukkan pada setiap individu CBT memproduksi reduksi yang besar pada keluhan somatic dibandingkan dengan perawatan kesehatan yang umum. Secara keseluruhan, sumber pada terapi gangguan somatisasi mendukung penggunaan 6-16 sesi CBT yang dijalankan oleh tenaga kesehatan jiwa yang profesional. Percobaan kontrol acak baru baru ini menilai penerimaan dan keefektifan dari MBCT pada pasien dengan gejala medis yang tidak bisa dijelaskan. Pasien yang mejalani MBCT dilaporkan memiliki perbaikan signifikan pada fungsi mental di akhir terapi, begitu jugan dengan daya hidup dan fungsi sosial. Meta analisis yang lain mengindikasikan sedikit efek positive dari MBCT dalam mengurangi nyeri, keparahan gejala, depresi, dan kecemasan yang dihubungkan dengan gangguan

10

somatisasi. Jadi MBCT layak dijadikan sebagai salah satu pilihan yang bisa dipakai pasien dengan perawatan medis persisten yang tidak bisa dijelaskan di pelayanan primer. Intervensi psikoterapi dibandingkan CBT (seperti: terapi interpersonal, terapi pemecahan masalah, terapi psikodinamik) merupakan terapi yang sama baiknya dengan terapi yang dianggap tradisional “psikologis” (seperti: optimalisasi analgetik, pemakaian program self-manajemen nyeri) stufi lanjutan yang pantas digunakan untuk gangguan somatoform. Beberapa percobaan kontrol menilai efikasi beberapa antidepresan pada gangguan somatoform dewasa yang telah dilakukan. Selama 12 minggu, studi multicenter, randomized, dan double blind mengevaluasi efikasi dan toleransi perpanjangan pelepasan venlafaxine (venlafaxine ER)

pada perawatan awal

pasien dewasa dengan gangguan multisomatoform (MSD) dan faktor komorbid gangguan depresi, gangguan kecemasan umum, atau gangguan depresi sosial (kriteria DSM-IV). Studi ini menunjukkan venlafaxine ER efektive mengurangi gejala fisik somatik, mengurangi nyeri pada pasien depresi dan atau gangguan cemas. Selama 8 minggu, studi acak double blind dengan placebo kontrol, fluoxetine merupakan analgetik yang lebih baik daripada plasebo dalam mengamati somatoform persisten dengan gangguan nyeri, dan menunjukkan terapi yang aman, analgetik mungkin berhubungan dengan efek antidpresan. Secara acak, 12 minggu, percobaan tanpa label fluoxetine (10-60 mg/d) dan sertraline (25-350 mg/d) pada pasien dengan gangguan somatoform yang tidak terdefinisi (USD) menujukkan kedua agen sama sama memiliki peran yang potensial dri USD dan keduanya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak memiliki efek samping yang serius. Pada percobaan double blind, placebo-controlled trial dan atau studi perbandingan secara langsung dengan sampel yang lebih besar menunjukkan kesimpulan yang lebih baik. Studi multicenter, secara acak selama 6 minggu, dengan percobaan klinis plasebo terkontrol menjukkan jumlah total 200 pasien menderita gangguan somatoform menurut ICD-10. Opipramol (200 mg/hari) secara statistik lebih

11

efektif daripada plasebo. Hasil dari studi awal plasebo terkontrol pada gangguan somatoform menujukkan efikasi opipramol tetapi tidak membutuhkan replikasi. Studi di atas menunjukkan bahwa beberapa antidpresan berguna pada gangguan somatoform, namun meskipun efek mediasi dapat mengurangi depresi dan kecemasan atau efek spesifik pada gejala somatik masih membutuhkan kepastian yang lebih baik. Terapi spesifik pada anak dan remaja mungkin melibatkan psikologis individu, bantuan keluarga, kerjasama dengan sekolah dan lingkungan sosial. Tujuan terapi harus dikembangkan dengan keterlibatan kerjasama anak, keluarga dan semua profesional termasuk guru. Strategi khusus akan bergantung dengan kondisi gangguan somatoform. Terapi psikologi khusus dan frekuensi kontak bergantung dengan asal gangguan. Intervensi meibatkan hal hal berikut ini: -

Dukungan pada penurunan nilai

-

Teknik motivasi disesuaikan untuk menstimulasi ambivalent anak

-

Kolaborasi untuk menemukan jalan yang lebih baik yang dapat diterima anak.

-

Penggunaan diari sebagai variasi pengawasan gejala, penurunan fungsi dan prgress. Pada hal ini memotivasi pasien dan keluarga untuk terapi yang selanjutnya.

-

Ketidaktahuan terapi mungkin akan memperburuk gejala dan konsentrasi disekitar lingkungan

-

Perkembangan teknik dengan gejala spesifik dan penurunan nilai (seperti distraksi, relaksasi otot pada kepala, problem latihan otot fisik dan nyeri kepala)

-

Perkembangan keaktifan, fokus masalah, strategi coping dan attitude

-

Nasehat sleep hygiene dan diet

-

Intervensi psikologis, seperti terapi

tingkah laku kognitive

untuk

gangguan emosi komorbid -

Secara bertahap beban kemungkinan akan bergeser dari klinisi ke orangtua dan pasien

12

-

Penggunaan kerjasama keluarga merupakan salah satu faktor keluarga yang berkontribusi dengan gejala atau interfensi dengan resolusi mereka.

1.10.

Kesimpulan

Gangguan somatoform pada anak dan remaja menyebabkan penurunan fungsi pendidikan dan sosial serta merupakan penyebab stress psikososial. Mendiagnosis gangguan ini kompleks terlihat dari fakta kondisi medis. Pasien dengan gangguan tipikal saat ini lebih menuju ke bagian kesehatan umum dibandingkan ke bagian kesehatan mental. Sebagai permulaan, arahan spesialis gangguan jiwa untuk mencegah investigasi yang tidak perlu dan kelambatan diagnosis dari gangguan somatoform relatif kurang, penelitian selanjutnya mengenai terapi diperlukan untuk anak dengan gangguan somatoform dan keluraga pasien.

13

JOURNAL READING

BAB II TELAAH JURNAL

1. JUDUL Syarat-syarat judul yang baik : a) Spesifik b) Efektif, judul tidak boleh lebih dari 12 kata untuk Bahasa Indonesia dan 10 kata untuk Bahasa Inggris. c) Singkat, Menurut Day (1993), judul yang baik adalah yang menggunakan kata-kata sesedikit mungkin tetapi cukup menjelaskan isi paper. Namun, judul tidak boleh terlalu pendek sehingga menimbulkan cakupan penelitian yang terlalu luas yang menyebabkan pembaca bingung. d) Menarik e) Pembaca dapat langsung menangkap makna yang disampaikan dalam jurnal dalam sekali baca. Judul jurnal ini adalah : Somatoform Disorders in Children and Adolescents Kritik terhadap judul jurnal tersebut : 1) Judul Spesifik, tidak membingungkan pembaca. 2) Efektif, karena judul kurang dari 10 kata. 3) Singkat dan sudah cukup menjelaskan isi paper. 4) Menarik, karena apabila gangguan ini tidak ditangani dengan tepat dapat menyebabkan gangguan psikososial sehingga membuat pembaca tertarik untuk mengetahuinya. 5) Pembaca dapat langsung menangkap makna yang disampaikan dalam jurnal dalam sekali baca.

2. NAMA PENULIS Syarat-syarat penulisan nama penulis jurnal : a. Tanpa gelar akademik/ professional.

14

b. Jika > 3 orang yang dicantumkan boleh hanya penulis utama, dilengkapi dengan dkk; nama penulis lain dimuat di catatan kaki atau catatan akhir. c. Ditulis alamat dari penulis berupa email dari peneliti. d. Tercantum nama lembaga tempat peneliti bekerja. e. Jikapenulisan

paper

dalamtim,

penulisannamadiurutkansesuaikontibusipenulis. Penulisutama:penggagas, pencetuside, perencanadanpenanggungjawabutamakegiatan. Penuliskedua: kontributor kedua, dst. Penulis jurnal ini adalah : Satyakam Mohapatra, Sardar J. K. Deo, Ashirbad Satapathy, and Neelmadhav Rath Mental Health Institute, SCB. Medical College, Cuttack, Odisha, India Corresponding author: Satyakam Mohapatra, senior resident, Mental Health Institute, Department of Psychiatry, SCB Medical College, Cuttack, Odisha, India, 753007

Kritik terhadap penulisan penulis jurnal : 1) Cara Penulisan penulis pada jurnal ini sudah tepat karena penulis tidak mencantumkan gelar peneliti. 2) Semua penulis dicantumkan, hal ini sudah tepat karena boleh dicantumkan semua atau hanya penulis utama. 3) Tidak Ditulis alamat dari penulis berupa email dari peneliti, hal ini tidak tepat seharusnya ditulis alamat email dari peneliti. 4) Tercantum nama lembaga tempat peneliti bekerja, hal ini sudah tepat. 5) Penulisan nama diurutkan sesuai kontribusi penulis.

3. ABSTRAK Abstrakmerupakanringkasansuatu paperyang mengandungsemuainformasi yang

diperlukanpembacauntukmenyimpulkanapatujuandaripenelitian

yang

dilakukan, bagaimanametode/pelaksanaanpenelitian yang dilakukan, apahasilhasil

yang

diperolehdanapasignifikansi/nilaimanfaatsertakesimpulandaripenelitiantersebu t. Abstrak yang baikharusmencakuptentangpermasalahan, objekpenelitian, tujuandanlingkuppenelitian,

pemecahanmasalah,

metodepenelitian,

15

hasilutama,

sertakesimpulan

yang

dicapai.Selainjudul,

umumnyapembacajurnal-jurnalilmiahhanyamembacaabstraksajadari

paper-

paper yang dipublikasidanhanyamembacasecarautuh paper-paper yang paling menarikbagimereka.Berdasarkanpenelitianabstrakdibaca 10 sampai 500 kali lebihseringdaripadapapernyasendiri. Cara penulisannya :  Tersusuntidaklebihdari

200



250

kata.

Namunada

membatasiabstraknyatidakbolehlebihdari

pula

300

yang kata.

Karenaituuntukpenulisanabstrakcermatiketentuan yang dimintaredaksi.  Ditulisdalambahasa

Indonesia

danInggris.DiawalibahasaInggrisjikapenulisankeseluruhantubuh dalambahasaInggris,

diawalibahasa

paper Indonesia

jikapenulisankeseluruhantubuh paper dalam bahasa Indonesia.  Berdirisendirisatualinea (ada yang menentukanlebihdarisatualinea).  Untukjenis

paper

tanparumus,

hasilpenelitian:

Penulisanabtraknyatanpatabel,

tanpagambar,

dantanpaacuanpustaka.

Jaditidakbolehmengutippendapat orang lain, harusmenggunakan data-data danhasilpenelitiansertaargumen yang didapatdaripenelitiansendiri.  Untukjenis

paper

hasil

review:

Penulisanabstrakbolehmengutiphasilpenelitian orang laindariacuanpustaka atausumber yang diacu.  Di bawahabstrakditulis kata kunci, paling sedikitterdiridaritiga kata yang relevandan paling mewakiliisikaryatulis. Demikianjuga di bawah abstract ditulis

paling

sedikittigakey

words

yang

sesuaidengan

kata

kuncipadaabstrak (Bahasa Indonesia). Kata kunci, tidakselaluterdiri 3 kata, adajuga

yang

menentukan

kata

kunciditulisdalam

4-6

kata

(tergantungredaksi, jadiperhatikanketentuan yang diminta). Padajurnaliniabstraknyaadalah : Somatoform disorders remain one of the most neglected areas in child and adolescent psychiatry. Somatoform disorders among children and adolescents cause impairment in educational and social functioning and generate a great deal of psychosocial distress. Patients with these disorders typically present to general medical settings rather than to mental health settings. Early referral to mental health professional is required to avoid unnecessary investigations and

16

delay in diagnosis of somatoform disorders in children (German J Psychiatry 2014; 17(1): 19-24).

Kritik terhadap penulisan abstrak jurnal : Cara penulisan dan isi abstrak: a. Jumlah kata pada abstrak sesuai, tersusun dari 72 kata tidak lebih dari 300 kata. b. Abstrak sudah sesuai ditulis dalam bahasa inggris karena isi keseluruhan paper berbahasa inggris. c. Berdiri sendiri satu alinea. d. Penulisan abstrak sesuai dengan naskah hasil penelitian, tanpa tabel, tanpa rumus, tanpa gambar, dan tanpa acuan pustaka. e. Sudah mencantumkan keyword (kata kunci), keyword dalam naskah ini telah dicantumkan di bawah abstrak dan jumlah keywordsebanyak 5 kata atau telah memenuhi standar penulisan keyword.

4. INTRODUKSI Bagian ini mengandung isi sebagai pengantar yang berisi justifikasi penelitian, hipotesis dan tujuan penelitian. Jika artikel berupa tinjauan pustaka, maka pendahuluan berisi latar belakang yang memuat tentang pentingnya “permasalahan” tersebut diangkat, hipotesis (jika ada) dan tujuan penulisan artikel. Pada bagian ini pustaka hanya dibatasi pada hal-hal yang paling penting. Perlu diperhatikan metode penulisan pustaka rujukan sesuai dengan contoh artikel atau ketentuan dalam Instruction for authors. Jumlah kata dalam bagian ini juga kadang dibatasi jumlah katanya. Ada juga jurnal yang membatasi jumlah referensi yang dapat disitir pada pendahuluan, tidak lebih dari tiga pustaka. Tidak dibenarkan membahas secara luas pustaka yang relevan pada pendahuluan. Pada jurnal ini introduksinya adalah : Somatoform disorders remain one of the most neglected areas in child and adolescent psychiatry. Physical symp- toms or painful complaints of unknown aetiology arefairlycommoninchildrenandadolescents(Kellyetal.,2010). These medically unexplained physical symptoms in children and adolescents account for as many as 50% of new medical outpatient

17

visits. Children and adolescents find it difficult to express their feelings and emotions through language. Be- causeofthis,psychologicaldistressmaybeexpressedasphys- ical (somatic) symptoms. 2%-10% of children in the general population complain of aches and pains (e.g., stomach aches, joint pains, headaches) that are likely to be medically unex- plained, but these complaints are usually transient and donot affectthechild'soverallfunctioning(Garralda,2010).Theso- matoform disorders represent the severe end of a continuum of somaticsymptoms. Somatoform disorders are characterized by multiple physical symptoms (gastrointestinal, painful, sexual, pseudo neurolog- ical) as well as recurrent ones that cannot be explained by a medical problem or by the effect of a substance (Garralda, 1992). They are not intentionally produced or feigned and they are believed to be associated to psychological factors. Functional impairment can occur in children with medicallyunexplained somatic symptoms at any age and at various lev- els of severity, and the symptoms, especially when multiple, tend to be associated with psychological problems. There is evidence that, even in very young children who are of school age, those who present with frequent somatic symptoms are significantly more likely than children without symptoms to have associated behavioural and emotional problems (Domenech et al., 2004). These children may also be at in- creased risk of experiencing further physical symptoms and psychological difficulties later in childhood or adolescence. Patients with such symptoms can place significant burden on the healthcare delivery system, with heavy utilization of re- sourcesthroughrepeatedhospitalizations,consultationsfrom different specialists, and ineffective investigations and treat- ments (Sumathipala et al.,2008).

Kritik terhadap introduksi pada jurnal ini :  Pendahuluan berisi latar belakang yang memuat tentang pentingnya “permasalahan” tersebut diangkatdan tujuan penulisan artikel.  Pustaka hanya dibatasi pada hal-hal yang paling penting dan metode penulisan pustaka rujukan sesuai dengan contoh ketentuan yakni menggunakan rujukan.  Jumlah referensi pada pendahuluan terdapat lebih dari 3 pustaka tetapi tidak membahas secara luas mengenai pustaka yang digunakan.

5. DISCUSSION (ISI JURNAL : Penilaian Klinis dan Diagnostik, Overview Penelitian Terbaru) A. MenilaiValiditas a. Apakah pertanyaan penelitian didefinisikan dengan jelas dan spesifik? 8,9,10,11

Artikel ini: Ya ( ) Tidak ( )

Tidakjelas( √ )

Komentar: Jurnal ini pada bagian judul, abstrak, dan paragraf akhir dari pendahuluan tidak dijelaskan populasi, intervensi, comparator dan outcome karena di jurnal ini hanya mengambil studi literatur dari berbagai referensi.

18

b. Apakah studi-studi yang dilibatkan dalam review menggunakan desain yang sesuai untuk menjawab pertanyaan yang diajukan? 12 Tidak jelas ( √ )

Artikel ini:Ya ( ) Tidak ( ) Komentar:

Desain studi memiliki beberapa jenis seperti etiologi (case control atau cohort study), diagnosis (diagnostic evaluation study), prognosis (inception cohort study), terapi (randomized controlled trial), biaya (economic evaluation study), kualitas hidup (qualitative study). Akan tetapi, pada jurnal ini tidak termasuk dalam desain studi yang dijelaskan. Apakah layak untuk dilanjutkan?Ya(

Tidak( √ )

)

Pertanyaan no. 1 dan 2 berperan sebagai pertanyaan penapis dan dapat dijawab dengan cepat. Jika jawaban dari keduanya adalah “ya” maka penilaian artikel layak untuk dilanjutkan. 12

c. Apakah strategi pencarian artikel yang relevan dinyatakan dengan jelas? 8,9,11 Tidak( √)

Artikel ini:Ya ( )

Tidak jelas ( )

Komentar: Pada jurnal ini tidak menjelaskan metode dan hasil penelitian.

d. Apakah dilakukan penilaian terhadap kualitas studi-studi yang dilibatkan dalam review? Artikel ini:Ya ( )

Tidak( √ )

Tidak jelas ( )

Komentar: Pada jurnal ini tidak terdapat teknik atau sistem scoring yang digunakan untuk menilai kelayakan dan kualitas studi yang digunakan. Seharusnya, informasi ini terdapat pada bagian metode (deskripsi penilaian kualitas dan kriteria yang digunakan) dan pada hasil (informasi mengenai kualitas studi masing-masing.

19

Apakah validitas artikel ini baik?

Tidak ( √ )

Ya ( )

Apabila dalam penilaian validitas artikel tergolong baik, berarti artikel tersebut memiliki hasil yang reliabel dan layak untuk dibaca lebih

mendalam,

lanjutkan

penilaian

terhadap

hasil

dan

relevansinya.8

B. Menilai hasil8,9,10 1. Apakah hasil yang diinginkan konsisten antar studi-studi yang dilibatkan? Komentar: Tidak dapat dievaluasi. 2. Apa hasil keseluruhan dari metaanalisis? Komentar: Tidak dapat dievaluasi. 3. Seberapa signifikan dan presisihasilnya? Komentar: Tidak dapat dievaluasi.

C. Menilai relevansi

Sebelum memutuskan untuk menerapkan evidence yang kita peroleh dari artikel review sistematik dan meta analisis, kita harus menentukan terlebih dahulu apakah pasien kita memiliki kesamaan dengan subjek dalam studi-studi yang dilibatkan dalam review. Untuk kepentingan tersebut, kita perlu memperhatikan hal-hal dibawah ini: a. Kesamaan populasi studi dengan populasi lokal: pertimbangkan ras, suku, karakteristik fisiologis atau klinis, ada tidaknya faktor komorbid dankontraindikasi.8,9 b. Keuntungan dan kerugian: pertimbangkan keuntungan yang diraih apabila evidence yang diperoleh diterapkan pada pasien dan kerugiannya apabila tidak diterapkan pada pasien.8,9

20

c. Pilihan pasien: terkait dengan keputusan pasien dankeluarganya.8,9 d. Ketersediaan: pertimbangkan aspek geografis, teknologi, sosial, dankultural.8,9 e. Biaya: pertimbangkan efektifitas biaya berdasarkan keuntungan dan kerugian yang diperoleh serta pilihanpasien.8,9 Komentar: Tidak dapat dievaluasi.

2) SUMMARY/CONCLUSION Pada jurnal ini, kesimpulannya adalah : Somatoform disorders among children and adolescentscause impairmentineducationalandsocialfunctioningandgenerate a great deal of psychosocial distress. The diagnosis of such disorders is complex due to the fact that they may appear as medicalconditions.Patientswiththesedisorderstypicallypre- sent to general medical settings rather than to mental health settings. Early referral to mental health professional is re- quired to avoid unnecessary investigations and delay in diag- nosis of somatoform disorders in children. Sound empirical research on treatment of somatoform disorders is relatively lacking, further research is needed regarding treatment for children with a somatoform disorder and theirfamilies.

Kritik terhadap kesimpulan pada jurnal ini :  Kesimpulan jurnal ini sudah mencangkup isi jurnal.

3) REFERENCES Kritik terhadap daftar pustaka pada jurnal ini :  Literatur yang digunakan sudah tepat. Semuabahanacuandalambentukjurnalataupunnaskahilmiah

yang

digunakansebagaireferensi atau acuanditulispadabagianini.

21

JOURNAL READING

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi Gangguan Somatoform Gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simptom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik (Nevid, dkk, 2005).

Gangguan somatoform berasal dari kata

“soma” yang berarti tubuh dalam bahasa Yunani. Pada gangguan somatoform, penderita hadir dengan berbagai gejala yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebab gangguan tersebut1. Gejala-gejala fisik pada gangguan somatoform ini cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala3. Gangguan somatoform berbeda dengan gangguan-gangguan lain yang disebabkan oleh kepura-puraan yang disadari ataupun gangguan buatan. Sebagai contoh, gangguan somatoform berbeda dengan malingering, atau kepura-puraan simtom yang bertujuan untuk mendapatkan hasil yang jelas. Gangguan ini juga berbeda dengan gangguan factitious yaitu suatu gangguan yang ditandai oleh pemalsuan simtom psikologis atau fisik yang disengaja tanpa keuntungan yang jelas. Selain itu gangguan ini juga berbeda dengan sindrom Muchausen yaitu suatu tipe gangguan factitious yang ditandai oleh kepura-puraan mengenai keluhan-keluhan medis1.

3.2. Epidemiologi Epidemiologi dari gangguan somatoform bervariasi menurut jenis gangguannya. Prevalensi gangguan somatisasi sepanjang hidup adalah 0.2-2% pada perempuan dan 0.2% pada laki-laki. Perempuan lebih banyak menderita gangguan somatisasi dibandingkan lakilaki dengan rasio 5 berbanding 1. Onset dari gangguan somatisasi adalah sebelum usia 30 tahun dan berawal mula pada masa remaja. Sementara itu, pada gangguan konversi, rasio

22

perempuan dibanding laki-laki adalah 2 berbanding 1, dengan onset yang dapat terjadi kapan pun, baik pada usia kanak-kanak hingga usia tua. Hingga saat ini, belum banyak terdapat data bagi pasien dengan gangguan dismorfik tubuh karena minimnya jumlah pasien yang mengunjungi psikiater dalam menangani gangguan ini. Para pasien umumnya lebih cenderung mengunjungi dermatologis, internis, ataupun ahli bedah plastik. Walaupun demikian, suatu penelitian menyatakan 90& pasien dengan gangguan ini pernah mengalami satu episode depresi berat dalam hidupnya, 70% mengalami gangguan cemas, dan 30% mengalami gangguan psikotik4.

3.3. Etiologi Etiologi dari gangguan somatoform melibatkan faktor-faktor psikososial berupa konflik psikis di bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Faktor genetik juga dapat ditemukan pada transmisi gangguan ini.

Selain itu, gangguan somatoform juga dapat

dihubungkan dengan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non-dominan dari otak manusia5. Secara umum, faktor-faktor penyebab gangguan somatoform dapat dikelompokkan sebagai berikut (Nevid, dkk, 2005): 1. Faktor-faktor Biologis Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan adanya pengaruh genetik (biasanya pada gangguan somatisasi) 2. Faktor Lingkungan Sosial Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti “peran sakit” yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform. 3. Faktor Perilaku Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah: 

Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari situasi yang tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan sekunder).



Adanya perhatian untuk menampilkan “peran sakit”



Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau gangguan dismorfik tubuh dapat secara sebagian membebaskan kecemasan yang diasosiasikan dengan keterpakuan pada kekhawatiran akan kesehatanatau kerusakan fisik yang dipersepsikan.

23

4. Faktor Emosi dan Kognitif Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif, penyebab ganda yang terlibat adalah sebagai berikut: 

Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau gejala fisik sebagai tanda dari adanya penyakit serius (hipokondriasis).



Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari impulsimpuls yang tidak dapat diterima dikonversikan ke dalam simtom fisik (gangguan konversi).



Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan suatu strategi self-handicaping (hipokondriasis).

3.4. Patofisiologi Sebenarnya, patofisiologi dari gangguan somatoform masih belum diketahui dengan jelas hingga saat ini. Namun, gangguan somatoform primer dapat diasosiasikan dengan peningkatan rasa awas terhadap sensasi-sensasi tubuh yang normal. Peningkatan ini dapat diikuti dengan bias kognitif dalam menginterpretasikan berbagai gejala fisik sebagai indikasi penyakit medis. Pada penderita gangguan somatoform biasanya ditemukan juga gejala-gejala otonom yang meningkat seperti takikardia dan hipermotilitas gaster. Peningkatan gejala otonom tersebut adalah sebagai efek-efek fisiologis dari komponen-komponen noradrenergik endogen. Sebagai tambahan, peningkatan gejala otonom dapat pula berujung pada rasa nyeri akibat hiperaktivitas otot dan ketegangan otot seperti pada pasien dengan muscle tension headache6.

3.5. Klasifikasi Dalam membedakan keluhan-keluhan pasien, secara garis besar gangguan somatoform diklasifikasikan menjadi lima subtipe sebagai berikut: 1) Gangguan somatisasi; ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem organ. 2) Gangguan konversi; ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis. 3) Hipokondriasis; ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu. 24

4) Gangguan dismorfik tubuh; ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat. 5) Gangguan nyeri; ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis. Selain itu, DSM IV juga memiliki dua kategori residual untuk diagnostik gangguan somatoform, yaitu: a. Undiferrentiated somatoform; gangguan somatoform yang tidak tidak termasuk pada salah satu penggolongan diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih. b. Golongan somatoform yang tidak terperinci (NOS : not otherwise specified) adalah kategori untuk gejala somatoform yang tidak memenuhi diagnosis gangguan somatoform yang disebutkan salah satu diatas3

Tabel 1. Clinical Features of Somatoform Disorders

25

3.5.1. Gangguan Somatisasi Gangguan somatisasi atau yang juga dikenal sebagai Briquet’s Syndrome dicirikan dengan berbagai gejala somatik yang bermacam-macam (multipel), berulang dan sering berubah-ubah yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Gejala-gejala fisik tersebut umumnya telah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiater. Keluhan yang diutarakan pasien dapat meliputi berbagai sistem organ seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan nyeri4. Gangguan ini bersifat kronis dan berkaitan dengan stressor psikologis yang bermakna, sehingga menimbulkan hendaya di bidang sosial dan okupasi serta adanya perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan.

3.5.1.1. Etiologi 

Faktor Psikososial Secara psikososial, gejala-gejala pada gangguan somatisasi adalah bentuk komunikasi sosial yang bertujuan menghindarkan diri dari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan.



Faktor Biologis Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi dengan prevalensi 10-20% pada perempuan turunan pertama, sedangkan saudara 26

laki-lakinya cenderung terlibat pada penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Prevalensi pada kembar monozigot adalah 29% dan pada kembar dizigot 10%7. 3.5.1.2. Gambaran Klinis Pasien dengan gangguan somatisasi umumnya hadir dengan riwayat medik yang panjang dan rumit. Gejala-gejala somatik yang sering dikeluhkan antara lain4: 

Mual



Muntah



Sulit menelan



Sakit pada lengan dan tungkai



Nafas pendek (tidak disebabkan oleh olah raga)



Amnesia



Komplikasi kehamilan dan menstruasi



Retensi urin



Penglihatan kabur, dll. Pada gangguan ini sering kali terdapat penderitaan psikologik dan masalah

interpersonal yang menonjol, seperti depresi atau cemas, yang memerlukan terapi khusus. Ancaman akan bunuh diri sering dilakukan, namun bunuh diri aktual sangat jarang terjadi. Pasien biasanya akan mengungkapkan keluhan dengan emosi yang berlebihan dan dramatis. Pasien dengan gangguan somatisasi biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus penghargaan dan pujian, serta manipulatif. 3.5.1.3. Pedoman Diagnostik Berdasarkan DSM-IV-TR, diagnosis gangguan somatisasi terpenuhi apabila gejala diawali sebelum usia 30 tahun.

Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus

memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta tidak satu pun yang dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorium. Berikut kriteria gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR4: A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada sembarang waktu selama perjalanan gangguan:

27

1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi) 2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan) 3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang kehamilan). 4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain pingsan). C. Salah satu (1)atau (2): 1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol) 2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium. D. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan atau pura-pura). Sedangkan menurut PPDGJ III, diagnosis pasti dari gangguan somatisasi memerlukan semua hal berikut2: A. Adanya banyak keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas adanya dasar kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun. B. Tidak mau menerima nasihat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan kelainan-kelainannya. 28

C. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan keluhan keluhan nya dan dampak dari perilakunya. 3.5.1.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis Pada umumnya, perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik dengan diagnosis ditegakkan sebelum usia 25 tahun. Namun, gejala-gejala awal dari gangguan ini terlah berlangsung sejak masa remaja seperti masalah menstruasi pada remaja perempuan.Keluhan-keluhan seksual yang terdapat pada gangguan ini biasanya disebabkan oleh masalah yang terjadi di dalam hubungan rumah tangga pasangan suami istri. Periode keluhan yang ringan berlangsung 9 hingga 12 bulan lamanya, sedangkan gejala yang berat dan pengembangan dari keluhan-keluhan baru berlangsung selama 6 sampai 9 bulan.

Kebanyakan pasien akan mulai mencari pertolongan medis sebelum gejala

berlangsung hingga 1 tahun.

Eksaserbasi dari gejala-gejala somatik pada gangguan

somatisasi dapat terjadi apabila terdapat peningkatan tekanan kehidupan4. 3.5.1.5. Terapi Penanganan gangguan somatisasi sebaiknya dilakukan oleh seorang dokter saja. Hal ini dipertimbangkan sebagai cara yang terbaik untuk menangani pasien dengan gangguan somatisasi karena dengan demikian, pasien akan mendapatkan lebih sedikit kesempatan untuk mengungkapkan keluhan somatiknya.

Pertemuan sebaiknya dilaksanakan dengan

reguler yaitu sekali sebulan dan dilakukan secara singkat. Pada saat pertemuan, walaupun akan selalu ada kemungkinan bagi dokter untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap keluhan somatik baru pasien, dokter disarankan untuk mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medis.

Oleh karena itu, dokter

pemeriksa harus memiliki kemampuan untuk menilai antara keluhan yang harus ditanggapi secara medis dengan keluhan yang tidak. Pemeriksaan penunjang dan laboratorium sebaiknya dihindari pada pasien dengan gangguan somatisasi.Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok adalah jenis terapi yang

disarankan

agar

pasien

dapat

mengatasi

gejala-gejala

yang

dialaminya,

mengekspresikan emosi yang mendasari, dan mengembangkan strategi alternative untuk mengungkapkan perasaannya. Terapi psikofarmaka dapat diberikan apabila terdapat gangguan lain (komorbid) seperti gangguan cemas dan depresi. Namun, pemberian psikofarmaka harus disertai dengan pengawasan ketat terhadap pemberian obat sebab pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat-obatan secara irrasional dan berganti-ganti7.

29

3.5.2. Gangguan Konversi Gangguan konversi mencakup gejala-gejala yang menandakan adanya gangguan ataupun defisit pada fungsi sensorik dan fungsi motorik voluntary yang dinilai telah diakibatkan oleh faktor-faktor psikologis karena telah didahului dengan konflik ataupun stressor-stresor kehidupan lainnya.Kumpulan gejala ini dikenal dengan sebutan hysteria, reaksi konversi atau reaksi disosiatif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rasio perempuan dibandingkan dengan lakilaki dapat bervariasi dari 2:1 hingga 10:1 pada gangguan konversi.Gangguan ini banyak terjadi pada populasi pedesaan, individu dengan pendidikan rendah, kelompok sosioekonomi rendah, dan anggota militer yang pernah terpapar dengan situasi peperangan.Gangguan ini juga sering disertai dengan gangguan depresi, cemas, skizofrenia, dan frekuensi gangguannya meningkat pada seseorang dengan anggota keluarga yang memiliki gangguan konversi juga4. 3.5.2.1. Etiologi 

Faktor Psikoanalitik Menurut teori ini, gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik-konflik intrapsikik yang tidak disadari dan konversi dari kecemasan ke dalam gejala fisik. Gejala-gejala pada gangguan konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tidak disadari oleh pasien. Berbagai gejala ini juga memberikan peluang bagi pasien untuk menunjukkan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan penanganan yang khusus. Dengan begitu, gejala-gejala tersebut telah berfungsi sebagai pemberitahuan secara nonverbal bahwa pasien memiliki control dan manipulasi terhadap orang lain.



Teori Pembelajaran Di dalam teori ini, gejala-gejala pada gangguan konversi diyakini berasal dari perilaku yang dipelajari sejak kecil. Sebagai contoh, gejala fisik dari penyakit yang dialami pasien sewaktu kecil dapat digunakan sebagai coping mechanism dalam situasi-situasi sulit yang dihadapinya ketika sudah dewasa.



Faktor Biologis Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme pada daerah hemisfer otak yang dominan dan hipermetabolisme pada daerah hemisfer yang nondominan. Hal ini dapat mengganggu komunikasi antara kedua hemisfer otak dan berujung pada gejala konversi. Rangsangan kortikal yang berlebih dapat mengakibatkan timbulnya umpan balik negatif antara korteks dan formasi retikuler

30

batang otak sehingga menimbulkan gejala konversi. Sebaliknya, output kortikofugal yang meningkat justru akan menghambat kesadaran pasien akan sensasi-sensasi yang terjadi di tubuhnya. Tes neuropsikologis terkadang menunjukkan gangguan serebral ringan pada daya ingat, kewaspadaan, afek, dan atensi di pasien dengan gangguan konversi. 3.5.2.2. Gambaran Klinis Pada gangguan konversi, gejala yang paling sering terlihat adalah paralisis, buta, dan mutisme.Gejala-gejala ini juga tidak jarang disertai dengan gejala depresi dan cemas, dengan resiko tinggi pasien mengalami bunuh diri.Gangguan konversi umumnya berkaitan dengan gangguan kepribadian pasif-agressif, dependen, antisocial, dan histrionik. a. Gejala Sensorik Contoh dari gejala ini adalah anastesi dan parestesi terutama bagian ekstrimitas. Gejala-gejala ini tidak sesuai dengan penyakit saraf pusat maupun tepi. Gejala yang melibatkan organ sensorik khusus dapat menimbulkan ketulian, kebutaan, dan tunnel vision walaupun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intact ataupun pupil yang bereaksi terhadap cahaya. b. Gejala Motorik Gejala ini terdiri dari gerakan abnormal, gangguan gaya berjalan (cth: astasia abasia), kelemahan dan paralisis. Dapat juga ditemukan tremor ritmik kasar, gerak koreoform, tik, dan menghentak-hentak yang memburuk bila pasien mendapat perhatian. c. Gejala Bangkitan Pseudo-seizures merupakan gejala yang dapat terlihat pada gangguan konversi. Namun, hanya sekitar 1/3 pasien dengan gejala tersebut yang disertai dengan gangguan epilepsy. d. Gambaran klinis lainnya: 

Keuntungan primer:

pasien memperoleh

keuntungan primer dengan

mempertahankan konflik internal di luar kesadarannya. 

Keuntungan sekunder: keuntungan nyata yang diperoleh pasien dengan menjadi sakit misalna dibebaskan dari kewajiban kehidupan yang sulit, bimbingan yang tak akan didapatkannya dalam situasi normal, dsb.



La belle indifference: merupakan sikap angkuh yang tak sesuai terhadap gejala serius yang dialaminya. Pasien tampak tak peduli dengan hendaya berat yang

31

dialaminya. Walaupun begitu, ada tidaknya la belle indifference bukan dasar penilaian yang akurat untuk menegakkan gangguan konversi. 

Identifikasi: pasien secara tidak sadar meniru gejalanya dari seseorang yang bermakna bagi dirinya seperti orangtua atau seseorang yang menjadi model bagi pasien7.

3.5.2.3. Pedoman Diagnosis Pedoman diagnosis gangguan konversi menurut DSM IV-TR adalah sebagai berikut: A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain. B. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor lain. C. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura). D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman yang diterima secara kultural. E. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan pemeriksaan medis. F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh gangguan mental lain. Sebutkan tipe gejala atau defisit: 

Dengan gejata atau defisit motorik



Dengan gejala atau defisit sensorik



Dengan kejang atau konvulsi



Dengan gambaran campuran4

Sementara menurut PPDGJ III, pedoman diagnostik pasti dari gangguan konversi adalah sebagai berikut: A. Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum pada F44. B. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut. 32

C. Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan masalah dan peristiwa yang stressful atau hubungan interpersonal yang terganggu (meskipun hal tersebut disangkal oleh pasien)2. 3.5.2.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis Lebih dari 90% gejala awal pada pasien dengan gangguan konversi membaik dalam waktu beberapa hari hingga hampir satu bulan.Sebanyak 75% pasien tidak pernah mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalami episode tambahan pada saat mengalami tekanan.Semakin lama gejala gangguan konversi ini berjalan, maka semakin buruk juga prognosisnya.

Sebanyak 25-50% pasien akan mempunyai gangguan neurologis ataupun

kondisi non-psikiatrik lain yang akan mempengaruhi sistem persarafan di kemudian harinya. Oleh karena itu, pasien dengan gangguan tersebut harus segera dievaluasi secara neurologis pada saat diagnosis ditegakkan. 3.5.2.5. Terapi Resolusi gejala gangguan konversi biasanya berlangsung spontan.Pasien dengan gangguan ini dapat diberikan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau terapi perilaku.Terapi hypnosis, anticemas, dan relaksasi sangat efektif dalam beberapa kasus.Pemberian amobarbital atau lorazepam parenteral dapat membantu memperoleh riwayat penyakit, terutama ketika pasien baru saja mengalami peristiwa yang traumatis. Pendekatan psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan dapat menuntun pasien menahami konflik intrapsikik dan symbol dari gejala-gejala yang dimilikinya. Semakin lama pasien menghayati peran sakit, maka pasien semakin regresi, sehingga pengobatan akan semakin sulit7.

3.5.3. Hipokondriasis Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang ter preokupasi dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius.Pasien memiliki interpretasi yang tidak realistis ataupun akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan penyebab medis.Ketakutan dan keyakinannya menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri dan menganggu kemampuannya untuk berfungsi secara baik di bidan sosial, interpersonal dan pekerjaan.Prevalensi pasien dengan hipokondriasis adalah 4-6% dari populasi pasien medik umum. Gejala-gejala dapat timbul di usia berapapun, namun paling sering di antara usia 20-30 tahun.

33

3.5.3.1.Etiologi Pasien hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah yang menyebabkan mereka salah menginterpretasikan sensasi fisik.Pasien menambah dan memperbesar sensasi somatik yang dialaminya karena rasa tidak nyaman secara fisik dan memiliki ambang toleransi yang rendah. Selain itu, gejala-gejala hipokondriasis dapat dipandang sebagai permintaan untuk mendapatkan peran sakit pada seseorang yang mengahadapi masalah berat yang tak dapat diselesaikannya.

Teori lain juga memandang gangguan ini sebagai bentuk varian dari

gangguan mental lainnya seperti depresi dan cemas. Sedangkan menurut teori psikodinamik, dorongan agresivitas dan permusuhan yang ditujukan kepada orang lain dipindahkan ke dalam gangguan-gangguan somatik, seperti kemarahan, ketidakpuasan, atau penolakan dan kehilangan di masa lalu. Hipokondriasis juga dipandang sebagai pertahanan terhadap rasa bersalah, tanda dari kepedulian berlebihan terhadap diri sendiri, ataupun sebagai hukuman di masa lalu dari perasaaan bahwa dirinya jahat serta berdosa4. 3.5.3.2. Gambaran Klinis Pasien dengan hipokondriasis yakin bahwa mereka menderita penyakit serius yang belum dapat terdeteksi dan sangat sulit diyakinkan sebaliknya. Dengan berjalannya waktu, keyakinannya pun akan beralih ke penyakit lain. Meskipun DSM IV-TR menyatakan bahwa gangguan ini harus sudah berlangsung selama 6 bulan, keadaan hipokondriakal sesaat dapat saja terjadi setelah sdanya tekanan yang berat seperti kematian atau penyakit serius yang diderita oleh orang yang bermakna bagi pasien.Keadaan ini harus didiagnosisi sebagai gangguan somatoform yang tak tergolongkan7. 3.5.3.3. Pedoman Diagnostik Berdasarkan DSM IV-TR kriteria hipokondriasis adalah sbb: A. Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala tubuh. B. Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan penentraman. C. Keyakinan dalam criteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti gangguan delusional, tipe somatic) dan tidak terbatas pada kekawatiran tentang penampilan (seperti pada gangguan dismorfik tubuh). D. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi social, pekerjaan atau fungsi penting lain.

34

E. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan. F. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum, gangguan obsesif kompulsif, gangguan panic, gangguan depresi berat, cemas perpisahan, atau gangguan somatoform lain4. Sedangkan berdasarkan PPDGJ III, untuk menentukan diagnosis pasti kedua hal dibawah ini harus ada : A. Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhan nya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan penampakan fisik nya (tidak sampai waham); B. Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhan nya2. 3.5.3.4. Perjalanan Penyakit Penyakit hipokondriasis memiliki perjalanan penyakit yang episodik, dimana setiap episode dapat berlangsung berbulan-bulan hingga tahunan dan dipisahkan oleh periode tenang yang sama lamanya.

Kurang lebih sepertiga hingga setengah dari pasien

hipokondriasis mengalami perbaikan yang bermakna. 3.5.3.5. Terapi Pasien hipokondriasis biasanya menolak terapi psikiatrik. Psikoterapi kelompok bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena menyediakan dukungan sosial dan interaksi sosial sehingga menurunkan kecemasan. Psikoterapi individual berorientasi tilikan, terapi perilaku, terapi kognitif, dan hypnosis juga dapat bermanfaat.

Pemeriksaan fisik yang

terjadwal juga akan membuat pasien merasa tenang dan tahu bahwa dokternya tak meninggalkannya dan menangani keluhannyaa dengan serius.

Farmakoterapi diberikan

apabila pasien juga memiliki gangguan cemas atau depresi7.

3.5.4. Gangguan Tubuh Dismorfik Pasien dengan gangguan ini memiliki perasaan subyektif yang meliputi dirinya bahwa beberapa aspek dari penampilannya buruk padahal pada kenyataannya normal atau nyaris baik. Inti dari gangguan ini adalah pasien berkeyakinan kuat atau takt apabila dirinya tidak menarik atau bahkan menjijikan. Pasien dengan gangguan tubuh dismorfik umumnya tidak 35

mengunjungi psikiater melainkan dermatologis atau dokter bedah plastik. Pasien biasanya berumur 15-30 tahun dan tidak menikah. 3.5.4.1. Etiologi Etiologi dari gangguan ini tidak dikterhui, tapi diyakini berasosiasi dengan gangguan depresi. Selain itu, konsep stereotipik tentang kecantikan atau keindahan yang dianut dalam keluarga atau budaya tertentu akan berpengaruh besar pada pasien dengan gangguan tubuh dismorfik. 3.5.4.2. Gambaran Klinis Biasanya, bagian tubuh yang menjadi keprihatinan adalah kekurangan pada wajah khususnya pada bagian-bagian tertentu seperti hidung atau mata. Selain itu, rambut, buah dada, dan genitalia juga merupakan bagian tubuh lain yang sering diprihatinkan. Pada pria biasanya yang menjadi pusat pikirannya adalah otot-ototnya. Pasien dengan gangguan ini sering merasa orang lain memperhatikan bagian cacat/kekurangan di tubuhnya, sering bercermin, atau bahkan menghindari benda yang dapat memantulkan seperti cermin dan adanya usaha untuk menyembunikan bagian tubuh yang dianggap mempunayi deformitas dengan pakaian atau riasan. Gangguan ini berpengaruh apada kehidupan pasien, seperti penghindaran kontak sosial dan pekerjaan. Pasien juga memiliki cirri kepribadian obsesifkompulsif, schizoid, dan narsisistik. 3.5.4.3. Pedoman Diagnostik Berdasarkan DSM IV-TR, adalah sebagai berikut: A. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomaly tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyata. B. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. C. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya, ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa)7 Sementara, berdasarkan PPDGJ III, untuk diagnostik pasti harus dipenuhi kedua hal berikut ini: A. Keyakinan yang menetap perihal adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan atau keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang tidak menujnang adanya alas an fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi

yang

menetap

terhadap

adanya

deformitas

atau

perubahan

bentuk/penampakan. 36

B. Penolakan yang menetap dan tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya2. 3.5.4.4. Perjalanan Penyakit Munculnya gejala dari gangguan ini biasanya bertahap.

Kepedulian penderita

gangguan tubuh dismorfik terhadap bagian tubuh tertentu akan semakin menjadi-jadi sehingga berujung pada permintaan untuk operasi atau bantuan medis lainnya. Gangguan ini bersifat kronik. 3.5.4.5. Terapi Pada pasien dengan gangguan tubuh dismorfik, terapi dengan prosedur medic pembedahan, dermatologis, kedokteran gigi, dan yang lainnya biasanya tidak berhasil mengatasi keluhannya.

Obat-obat SSRI seperti fluoxetine dan klomipramin dapat

mengurangi gejala yang dikeluhkan minimal 50%. Bila terdapat gangguan mental lain yang menyertai maka pemberian psikoterapi dan farmakoterapi yang adekuat sebaiknya diberikan7.

3.5.5. Gangguan Nyeri Pada gangguan ini, nyeri merupakan keluhan utama yang menjadi focus perhatian klinis.Nyeri dapat terjadi pada lebih dari satu tempat dan tidak dapat dimasukkan secara penuh sebagai kondisi medic nonpsikiatrik maupun neurologic.Gangguan ini berkaitan dengan penderitaan emosional dan hambatan dalam fungsi kehidupan.Gangguan nyeri merupakan keluhan tersering dalam praktek kedokteran, lebih banyak pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki4. 3.5.5.1. Etiologi 1. Faktor psikodinamik Pasien mungkin mengekspresikan konflik intrapsikik secara simbolik lewat tubuh. Pasien lain secara tak sadar menganggap luka emosional sebagai suatu kelemahan dan tak diperbolehkan secara sosial sehingga memindahkan masalah pada tubuhnya. Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk memperoleh cinta, hukuman terhadap kesalahan, dan menebus rasa bersalah atau perasaan bahwa dirinya jahat. 2. Faktor perilaku Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan atau diberi hukuman. 3. Faktor Interpersonal 37

Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk memanipulasi dan memperoleh keuntungan dalam hubungan interpersonal, misalnya untuk memastikan kesetiaan anggota keluarga, dsb. 4. Faktor biologis Defisiensi endorphin berhubungan dengan peningkatan stimulus sensorik yang datang. 3.5.5.2. Gambaran Klinis Pasien biasanya sekumpulan orang yang bersifat heterogen dengan nyeri pinggang bawah, sakit kepala, nyeri fasial atipikal, nyeri pelvic kronik, dan nyeri lainnya yang dapat terjadi setelah trauma,, neuropatik, neurologik, iatrogenic atau muskulaoskeletal. Pasien biasanya meimiliki riwayat prawatan medis dan pembedahan yang panjang.Gejala depresi berat terjadi pada 25-50% dari pasien gangguan nyeri. 3.5.5.3. Pedoman Diagnostik Berdasarkan DSM-IV-TR: A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan cukup parah untuk memerlukan perhatian klinis. B. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain. C. Factor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan, eksaserbasi atau bertahannya nyeri. D. Gejala atau deficit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura). E. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau gangguan psikotik dan tidak memenuhi criteria dipareunia. Berdasarkan PPDGJ III, kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut: A. Keluhan utama adalah nyeri berat menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun gangguan fisik. B. Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau masalah psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadika alasan dalam mempengaruhi adanya gangguan tersebut. C. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan baik personal maupun medis untuk yang bersangkutan2.

38

3.5.5.4. Perjalanan Penyakit Nyeri umumnya muncul secara tiba-tiba dengan derajat keparahan meningkat dalam hitungan minggu atau bulan. Prognosis bervariasi, akan tetapi biasanya akan menjadi gangguan kronik dan menimbulkan penderitaaan dan ketidak-berdayaan yang parah. 3.5.5.5. Terapi Rehabilitasi harus disertakan ke dalam terapi pasien dengan gangguan ini. Farmakoterapi yang digunakan antara lain SSRI, antidepresan trisiklik, dan amfetamin. Sedangkan psikoterapi yang dipilih adalah terapi kognitif untuk mengubah pikiran negative dan mengembangkan sikap positif.

3.5.6. Gangguan Somatoform yang tidak terdiferensiasi Gangguan somatoform yang tidak terdiferensiasi diciri-cirikan dengan satu atau lebih gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan yang berlangsung selama paling sedikit 6 bulan. Terdapat dua pola gejala yang dapat terlihat pada pasien golongan ini yaitu gangguan yang terkait dengan sistem saraf otonom dan gangguan yang terkait dengan sensasi rasa fatigue ataupun kelemahan. Pada Autonomic arousal disorder, pasien terpengaruh dengan gejalagejala gangguan somatoform yang terbatas pada gangguan fungsi saraf otonom saja. Gejalagejala yang sering dikeluhkan oleh pasien-pasien tersebut antara lain keluhan sistem kardiovaskular, respiratori, gastrointestinal, urogenital, dan dermatologikal. Beberapa pasien lainnya mengeluh akan kelemahan dan ketidak berdayaan melakukan pekerjaan sehari-hari oleh karenanya7. Keriteria Diagnosis untuk Gangguan Somatoform yang Tidak Digolongkan : Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan gastrointestinal atau saluran kemih) A. Salah satu (1)atau (2) a. Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum yang diketahui atau oleh efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol) b. Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratonium.

39

B. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. C. Durasi gangguan sekurangnya enam bulan. D. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan tidur, atau gangguan psikotik). E. Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura)

3.5.7. Gangguan Somatoform yang tidak terperinci Diagnosis ini digunakan apabila keluhan fisik bersifat multiple, bervariasi dan menetap, tetapi tidak disertai dengan gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi.Sebagai contoh, pasien mengemukakan keluhan-keluhan tidak dramatis dan tidak kuat, keluhan yang diutarakan tidak terlalu banyak, atau tidak ada gangguan pada fungsi sosial dan keluarga.Pada diagnosa ini, belum dapat diketahui pasti ada tidaknya faktor psikologis yang mendasari, namun tidak boleh ditemukan adanya faktor fisik yang mendasari keluhan-keluhan pasien2. Pedoman diagnosis untuk gangguan somatoform yang tidak terperinci adalah sebagai berikut: A. Pseudokiesis : keyakinan palsu sedang hamil, yang disertai dengan tanda objektif kehamilan, yang dapat berupa pembesaran perut (walaupun umbilicus tidak menjadi menonjol), penurunan aliran menstruasi, amenorea, sensasi subjektif gerakan janin, dan nyeri persalinan pada tanggal yang diperkirakan terjadinya persalinan. Perubahan endokrin mungkin ditemukan tetapi sindroma tidak dapat dijelaskan oleh suatu kondisi medis umum yang menyebabkan perubahan endokrin (misalnya, tumor yang mensekresikan hormone). B. Suatu gangguan yang melibatkan gejala hipokondriasis non psikiatrik dengan lama kurang dari 6 bulan C. Suatu gangguan yang melibatkan keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan (misalnya. Kelelahan atau kelemahan tubuh) dengan lama kurang dari 6 bulan yang tidak karena gangguan mental lain7.

40

DAFTAR PUSTAKA 1. Ardi.

Gangguan

Somatoform

dan

Disosiatif.

Diunduh

dari:

http://www.psikologimania.co.cc/2010/04/gangguan-somatoform-dan-disosiatif.html pada tanggal : 25 Maret 2011 2. Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan pertama. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Jakarta 3. Pardamean Engelberta, Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka Menyambut

Hari

Kesehatan

Jiwa

Sedunia.

Diunduh

dari

:

http://www.idijakbar.com/prosiding/gangguan_somatoform.htm. Pada tanggal : 25 Maret 2011 4. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I, Media Aeusculapicus : FAkultas kedokteran UI. Jakarta. Hal : 216 – 217 5. Yates William R,etc. Somatoform Disorder. Jul 15th 2010. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/294908 . Pada tanggal : 25 Maret 2011 6. Kaplan,

B.J.,

Sadock,

V.A.

2007,

Kaplan

&

Sadock’s

Synopsis

of

PsychiatryBehavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition. 7. Satyakam M, Sardar J. K., et al. 2014. Somatoform Disorder in Children and Adolescents.German Journal of Psychiatry. 2014;17(1):19–24. Received Oktober 7, 2013. Available through open access at http://www.gjpsy.uni-goettingen.de 8. Abalos E, Carroli G, Mackey ME, Bergel E. Critical appraisal of systematic reviews: The WHO Reproductive Health Library, No 4, Canava, The World Health Organization, 2001(WHO/RHR/01.6). 9. Akobeng AK. Understanding systematic reviews and meta-analysis. Arch Dis Child 2005;90:845-8. 10. Dept. of General Practice University of Glasgow. Critical appraisal checklist for a systematic review [cited 2012 August 12]. Available from URL: HYPERLINK http://www.gla.ac.uk/media_64047_en.pdf 11. University of Oxford. Systematic review appraisal sheet; 2005 [cited 2012 August 12]. Available from URL: HYPERLINKhttp://www.cebm.net/index.aspx?o=1567 12. Institute of Health Science (Oxford). Critical appraisal skill programme (CASP), making sense of evidence: 10 questions to help you make sense of reviews. England: 41

Public Health Resources Unit; 2006 [cited 2012 August 12]. Available from: URL: HYPERLINK http://www.sph.nhs.uk/sph-files/S.Reviews AppraisalTool.pdf

42

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF