Makalah Hermeneutika (WILHELM DILTHEY)
November 16, 2017 | Author: rozirhazes | Category: N/A
Short Description
Download Makalah Hermeneutika (WILHELM DILTHEY)...
Description
WILHELM DILTHEY
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Materi Hermeneutika Semester IV Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits Dosen Pengampu Bapak Dr. Damanhuri, M.Fil.
Oleh: Rozi El Umam (Mr.AKENG)
INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH [INSTIKA] GULUK-GULUK SUMENEP MADURA JAWA TIMUR 69463 2011
Hermeneutika| 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Setelah Schleiermacher meninggal tahun 1834, proyek pengembangan hermeneutika umum kurang kompleks versi hermeneutika abad ke-19 dan ke-20. problem hermeneutis dalam bentuknya yang beragam menguras perhatian pikiran besar dalam bidang yang berbeda, misalnya, Friedrich Karl von Savigny.1 Tetapi problem pemikiran tersebut mundur ke dalam lingkaran batas-batas satu disimpin particular dan menjadi penafsiran historis, filologis,2 atau hukum ketimbang hermeneutika umum sebagai seni pemahaman.3 Mendekati akhir abad ke-19, filsuf berbakat dan seorang sejarawan sastra Wilhelm Dilthey, mulai melihat hermeneutika sebagai fondasi Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu tentang kemanusiaan). yaitu semua ilmu sosial dan kemanusiaan, semua disiplin yang menafsirkan ekspresi-sekspresi “Kehidupan batin manusia”, baik dalam bentuk ekspresi isyarat (sikap), perilaku historis, kodifikasi hukum, karya seni atau sastra. Tujuan Dilthey adalah untuk mengembangkan metode memperoleh interpretasi “obyektivitas yang valid” dari “ekspresi kehidupan batin”.
B. Rumusan masalah Dalam makalah ini kami merumuskan pembahasan dengan: 1. Biografi Wilhelm Dilthey. 2. Pemikiran dan peran Wilhelm Dilthey. 3. Proses Interpretasi Wilhelm Dilthey.
C. Tujuan penulisan Tujuan penulisan makalah hermeneutika ini adalah untuk mengenal sosok
Wilhelm
Dilthey serta memahami pola pemikiran dan proses interpretasi Wilhelm Dilthey. 1
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Humman Sciences, (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1984). 148. Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola). Hal. 178. Studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah karya-karya sastranya (atau sumber-sumber tertulis lainnya); kecintaan belajar. 3 Dr. Shahiron Syamsuddin, M.A. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, cet I, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009). Hal. 30. 2
Hermeneutika| 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Wilhelm Dilthey Wilhelm Dilthey lahir pada 1833-1911 M di Biebrich Rheinland Jerman dekat kota Mainz termasuk keluarga dari mentri protestan dari pembaharuan juru tafsir gereja, setelah menghadiri sebuah gymnatium (sekolah tinggi klasik) di Weisbaden. Ia belajar teologi pertama kali pada Heidelberg pada abad ke-19.4 ayahnya adalah seorang pendeta Protestan di Biebrich dan ibunya adalah seorang putri dirigen dan karenaya menjadi penggemar musik juga. dilthey mewarisi sifat musikal ibunya itu dan sangat piawai dalam komposisi dan permainan piano.5 Selama Dilthey menjadi mahasiswa ia sangat tertarik pada karya Schleiermacher dan ia mengagumi seluruh kehidupan intelektualnya. Dilthey kagum pada Schleiermacher terutama karena kemampuan intelektualnya dalam menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya karya kefilsafatan. serta kagum pada kerya terjemahan serta interpretasinya atas dialog Plato dan ia menganggap Schleiermacher terlalu bersifat Platonik.6 Bahkan tidak lama kemudian Dilthey mendapat dua piagam penghargaan atas pengetahuannya tentang Schleiermacher sehingga ia mampu membuat sebuah esai tentang hermeneutika. inilah awal mula karir Wilhelm Dilthey sebagai seorang filsuf. Pada tahun 1864 Dilthey memperoleh gelar Doktor dan tetap mengajar di Berlin. Namun tidak lama kemudian ia pindah ke Basel-Swiss dan memperoleh kedudukan yang cukup baik di sana.7 Pada tahun 1868 ia meninggalkan Basel dan menjadi Profesor pada sebuah Universitas Kiel. di Kota Keil ternyata hidupnya tidak begitu mujur, ia terlibat kasus cinta segitiga dengan Marianne dan Lotte Hegewisch. Pada tahun 1871 Dilthey pindah ke Breslau untuk menjadi guru besar di sana. Namun pada tahun 1882 ia pada akhirnya kembali ke Berlin dan disini karir 4
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Humman Sciences, (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1984). 148. http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/05/hermeneutika-romantisis-historis. 6 Roy J. Howard, Hermeneutika, Terj. Kusmana dan MS. Nasrullah, (Jakarta: Nuansa, 2000). Hal. 37. 7 Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Humman Sciences, (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1984). 148. William Dilthey merupakan menulis awal tentang sejarah hermeneutika. Pada tahun 1860, William Dilthey menulis sebuah artikel dengan judul Verhältnis der Hermenetik Schleiermashers zur Geschichte der Auslegung in Philosophie und Theologie (Hubungan Hermeneutika Schleiermacher kepada Sejarah Penafsiran dalam Filsafat dan Teologi). Pada tahun 1900, William Dilthey menulis lagi sebuah artikel dengan judul Die Entstehung der Hermeneutick (Kemunculan Hermeneutika). Kedua artikel tersebut merupakan tulisan awal yang membahas selukbeluk kemunculan hermeneutika. 5
Hermeneutika| 3
kefilsafatannya menanjak. Pada tahun 1896 ia terserang penyakit yang disebutnya sendiri dengan istilah “nervous origin” serta tekanan gejala “insomnia”. Suatu hari Dilthey berlibur dan menginap di sebuah hotel di Seis di mana ia terserang infeksi dan meninggal dunia pada tanggal 30 September 1911.8
B. Peran Wilhelm Dilthey dalam Hermeneutika Dalam bagian ini Dilthey lebih senang memberikan gelar ahli filologi-teologi-filsafat pada Friedrich Schleiermacher (1768-1834), dalam karyanya tentang teks-teks yunani dan bible, dia menyadari bahwa perangkat ahli filologi hanya berhasil dalam menerangkan tataran permukaan atau hanya tingkat kosa kata teks atau tataran gramatika.9 Schleiermacher
banyak
mewarnai
pemikiran
Dilthey.
Salah
satunya
gagasan
Besserverstehen. Menurut Dilthey, sangat memungkinkan jika seorang penafsir akan bisa memahami pengarang dengan lebih baik dibanding dengan pengarang itu memahami dirinya sendiri. Bagaimanapun, hal tersebut tidak diraih secara otomatis. Untuk mencapai kondisi tersebut, seorang penafsir harus melalui beberapa tahap. Sebabnya, pemahaman memiliki beberapa tingkat makna, yaitu: a. Tingkat makna pertama; pemahaman sebagai menangkap sebuah makna dengan melalui tanda yang menunjukkan atau mewakili apa yang dimaksud (understanding as grasping of a meaning by way of a sign that stands for or represents what is meant) artinya, memahami dengan menggunakan simbol-simbol yang ditangkap oleh indra. Inilah makna dasar dari pemahaman dan pada tingkat ini, seorang penafsir belum bisa mencapai verstehen.10 b. Tingkat makna kedua, pemahaman sebagai nacherleben, yaitu mengimbas kembali perasaan dan pengalaman yang dipercayai dan telah dialami oleh pengarang, dengan berdasarkan kepada pengalaman-pengalaman yang termanifestasikan dalam ungkapan yang dapat diakses. Seorang penafsir dalam tingkat ini belum juga mencapai tahap verstehen. Pada tingkat ini, penafsir merasakan persis dengan apa yang difikirkan dan dirasakan oleh pengarang-tidak kurang dan tidak lebih.11 8
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/05/hermeneutika-romantisis-historis. Roy J. Howard, Hermeneutika, Terj. Kusmana dan MS. Nasrullah, (Jakarta: Nuansa, 2000). Hal. 34. 10 Ibid. Hal. 35. 11 Dr. W. Poespoprodjo, L.Ph, S.S, Interpretasi, cet I, (Bandung: Remadja Karya, 1987). Hal. 58. 9
Hermeneutika| 4
c. Hanya pada tingkat makna yang ketiga dari pemahaman, maka verstehen dapat diraih. Level makna pada tingkat ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa makna dalam konteks, signifikansi dan implikasi dari sebuah pernyataan, tindakan atau peristiwa tidak pernah bisa tetap dan sempurna. Sejarah adalah jaringan pola, hubungan dan keterkaitan yang kompleks yang akal seseorang tidak pernah bisa memahaminya secara utuh. Dalam kehidupan, terdapat beragam faktor penting yang tidak disadari. Menangkap faktor-faktor tersebut yang saling terkait merupakan tugas yang tidak pernah usai. Pemahaman manusia mengenai dirinya sendiri dan kekuatan-kekuatan yang berlaku dalam kehidupannya tidak pernah lengkap. Kondisi ini membuka ruang kemungkinan bagi sejarawan untuk selalu meliput dasar yang sama di masa mendatang untuk mencapai pemahaman yang lebih penuh mengenainya dengan berdasarkan kepada ilmu pengetahuan tentang keadaan yang lebih lengkap karena biasanya lebih banyak ilmu tersedia setelah bertahun-tahun berlalu. Pemahaman yang lebih lengkap inilah yang menyebabkan verstehen bisa diraih dan inilah tugas implisit seorang sejarawan.12 Sekalipun terpengaruh dengan teori penafsiran Schleiermacher, Dilthey juga memiliki perbedaan penekanan dengan Schleiermacher. Jika Schleiermacher menekankan kepada susunan keseluruhan arsitektonik13 dalam menafsirkan, maka Dilthey lebih menekankan kepada sejarah. Menurut Dilthey, Schleiermacher telah gagal mempertimbangkan pentingnya perspektif
sejarah untuk menyempurnakan tugas hermeneutika, yaitu memahami pengarang lebih baik dari pada pengarang tersebut memahami dirinya sendiri.14 Bagi Dilthey, perspektif sejarah sangat penting karena teks yang akan ditafsirkan adalah realitas itu sendiri beserta kesaling-terkaitannya. Pertanyaan bagaimana sebuah teks dari masa lalu dapat dipahami akan didahului dengan pertanyaan lain: bagaimana keterkaitan sejarah dapat dimengerti? Sama halnya, sebelum koherensi teks, ada koherensi sejarah, dan yang dianggap paling penting adalah ekspresi kehidupan (expression of life).15 12
R.E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory In Shcleimarcher, Dilthey Haidegger and gadamenr (Evanstone: Northwesteren University Press, 1969). Hal. 24. 13 arsitektonik (architectonic): struktur logis yang diberikan oleh akal (terutama melalui pemanfaatan pembagian berlipat-dua dan berlipat tiga), yang harus digunakan oleh filsuf sebagai rencana untuk mengorganisasikan isi sistem apa pun. Liat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/pf/PKglos. 14 R.E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory In Shcleimarcher, Dilthey Haidegger and gadamenr (Evanstone: Northwesteren University Press, 1969). Hal. 23. 15 Ibid. Hal. 23.
Hermeneutika| 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Wilhelm
Dilthey
(1833-1911)
membedakan
ilmu
pengetahuan
ke
dalam
Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam dan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia. Perbedaan ini sangat penting karena pada kenyataannya kedua jenis ilmu pengetahuan tersebut mempergunakan metodologi atau pendekatan yang berbeda. Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam menggunakan metode ilmiah yang hasil penemuannya dapat dibuktikan dengan menggunakan metode yang sangat ketat, sedangkan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia atau tentang hidup tidak dapat diterapi dengan metode ilmiah seperti halnya pada Naturwissenschaften, karena ilmu-ilmu Geisteswissenschaften berhubungan dengan hidup manusia. Dilthey menyatakan bahwa metode atau pendekatan hermeneutik merupakan dasar dari Geisteswissenschaften. Ia tertarik pada metode hermeneutik ketika ia mencoba memecahkan persoalan tentang bagaimana membuat segala pengetahuan tentang individu manusia menjadi ilmiah. Persoalan pokok Dilthey adalah bagaimana menemukan metode lain untuk Geisteswissenschaften jika metode ilmiah tidak dapat digunakan. Dari sinilah ia mulai melirik hermeneutik sebagai metode untuk pembahasan Geisteswissenschaften. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Dilthey dalam kajian hermeneutikanya memberi tekanan pada historisitas, tidak hanya pada manusia saja tetapi juga pada bahasa dan makna. Hermeneutiknya meliputi baik objek maupun subjek sejarah, peristiwa dan sejarawannya, interpreter dan yang diinterpretasikan. Jadi, dalam pandangan Dilthey, teori hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa dan pengarang tidak memiliki otoritas atas makna teks, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya.
B. Kritik Terhadap Wilhelm Dilthey Dilthey untuk mendekati horizon penyusun harus menghilangkan seluruh asumsi-asumsi dan ikatan serta beban sejarah kekinian, padahal setiap pengetahuan bersandar pada asumsi-
Hermeneutika| 6
asumsi, kecuali pengetahuan badihi (aksioma). Ilmu terhadap teks juga berdasar pada asumsiasumsi yang jika dilalaikan akan membuat kepincangan pada makrifat agama.
C. Saran- saran Dengan terselesainya makalah hermeneutika ini, tim penyusun mohon maaf apabila ada kesalahan atau kekurangan, baik dari segi tulisan ataupun pemikiran tim penyusun. Maka tim penyusun mengharap kritik atau saran-saran konstruktif demi kesempurnaan makalah hermeneutika ini. Trimakasih.
Hermeneutika| 7
BIBILIOGRAFI Dr. Shahiron Syamsuddin, M.A. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, cet I, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009). Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Humman Sciences, (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1984). R.E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory In Shcleimarcher, Dilthey Haidegger and gadamenr (Evanstone: Northwesteren University Press, 1969). Roy J. Howard, Hermeneutika, Terj. Kusmana dan MS. Nasrullah, (Jakarta: Nuansa, 2000). Dr. W. Poespoprodjo, L.Ph, S.S, Interpretasi, cet I, (Bandung: Remadja Karya, 1987). Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola).
Hermeneutika| 8
View more...
Comments