Makalah Head Injury in Icu

December 22, 2016 | Author: Tirta Kusuma | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

head...

Description

MANAGEMENT OF THE PATIENTS WITH SEVERE HEAD INJURY IN I.C.U Marwoto Department of Anesthesiology and Intensive Care Faculty of Medicine, Diponegoro University, Dr. Kariadi General Hospital, Semarang

Abstract Traumatic head injury has become a significant source of morbidity and mortality. Early management of head-injured patients requires appropriate on the scene management of the basic elements of resuscitation. Although mild to moderate dehydration is used to combat cerebral edema, hypovolemic shock must be treated and vascular volume maintained to ensure cerebral oxygenation and optimize neurologic outcome. Modern management of brain-injured patients requires intensive care, usually for many days. The aims of ICU management for patient with brain trauma are twofold : 1) To detect and treat those complications of the primary injury that may cause delayed brain damage, and 2) to provide the optimal conditions for natural recovery of brain function. The Glasgow Coma Scale evaluates three separate sets of neurological functions. The identification of mass lesion and midline shift by CT scan and rapid surgical evacuation. The management of intracranial hypertension include lowering the PaCO 2 by hyperventilation, avoiding hypoxia and administering osmotic diuretics, barbiturates and other drugs that decrease cerebral activity and bloow flow, sedation for restlessness, paralysis for severe agitation. In severe head injury, the onset of diabetes insipidus is grave prognostic sign and may indicate impending clinical brain death.

1

Pendahuluan Cedera kepala masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas akibat kecelakaan kendaraan bermotor kecepatan tinggi. Cedera kepala berat terjadi setidaknya 10% dari cedera ganda dan sebanyak 30% darinya meninggal saat kejadian.1 Di AS 1 dari 12 kematian dihasilkan oleh cedera, dengan lebih dari 160.000 kematian tiap tahun 2. Dengan resusitasi dini, stabilisasi dan transport cepat, banyak pasien cedera kepala berat tertolong sampai di pusat pelayanan kesehatan, di mana terapi intensif akan meningkatkan hasil klinis.1 Stabilisasi dini Pengelolaan dini cedera kepala memerlukan skenario bantuan hidup dasar dari resusitasi yaitu : patensi jalan nafas, bantuan pernafasan dan atasi syok. Dugaan kemungkinan adanya cedera servikal harus dipertimbangkan saat intubasi dan transportasi. Walaupun dehidrasi ringan sampai sedang dapat menghambat edema otak, syok hipovolemik harus diatasi dan volume intravaskuler dipertahankan untuk menjamin oksigenasi otak dan hasil neurologik yang optimal. 1,3 Transportasi Setelah stabilisasi awal, pasien harus segera dibawa ke RS yang tersedia fasilitas diagnostik dan spesialis. Pengelolaan terkini dari cedera kepala memerlukan perawatan intensif, biasanya untuk beberapa hari dan memerlukan pengetahuan tentang mekanisme patofisiologi yang menyebabkan kerusakan otak dan mekanisme dimana cedera otak sekunder dapat menyusul terjadi, sebagaimana interaksi antara cedera sistemik dan cedera otak. 1,3,4 Cedera kepala dapat berupa : a. Laserasi kulit kepala b. Laserasi dan kontusio jaringan otak c. EDH dan SDH d. Patah kompresi tulang tengkorak e. Edema otak.

2

Keadaan yang berbahaya selain cedera jaringan otak dan perdarahan adalah peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial menghasilkan iskemik pusat-pusat vital dan akhirnya kematian.4 Pengelolaan di ICU Pengelolaan di ICU dibagi menjadi dua kelompok cedera kepala, yaitu : 1. Cedera kepala primer berat tidak sadar atau memerlukan tindakan bedah syaraf, dimana perawatan di ICU langsung ditujukan pada cedera otak primer, dan 2. Pasien – pasien dengan trauma multi sistem dengan disertai cedera kepala sedang, yang juga berisiko mengalami cedera otak sekunder dan memerlukan perawatan intensif untuk optimalisasi pemulihan.3 Tujuan pengelolaan di ICU bagi pasien dengan trauma otak adalah : 1) mendeteksi dan mengatasi komplikasi cedera primer yang dapat menyebabkan kerusakan otak lambat, dan 2) mengupayakan kondisi optimal untuk pemulihan alami dari fungsi otak .3 Bagi pasien – pasien dengan cedera kepala berat, pengelolaan di ICU merupakan suatu keharusan, dimana tujuannya adalah untuk mengupayakan pemulihan yang maksimal dari cedera primer dan mencegah cedera sekunder .5 Jadi pada prinsipnya pengelolaan cedera kepala adalah : 1) Mencegah serangan sekunder terhadap keutuhan komponen syaraf, 2) Mendukung fungsi-fungsi vital, sampai pulih sebanyak mungkin, dan 3) Mencegah kegagalan sistem organ lain. Cedera sekunder dapat disebabkan oleh iskemia dari kurangnya oksigen dalam darah (masalah jalan nafas – pernafasan) atau dapat pula disebabkan oleh kurangnya CBF akibat hipotensi arterial atau meningkatnya ICP dengan atau tanpa ekspansi masa intrakanial. 1,3,6,7 Pemeriksaan neurologik lengkap tidak mungkin bisa dilakukan, walaupun GCS yang diperkenalkan oleh Teasdale dan Jennett menilai 3 fungsi neurologik yaitu : motorik, respons bicara dan buka mata.

3

Karena GCS hasilnya berbeda untuk evaluasi fungsi neurologik dengan konsisten dan secara luas digunakan, maka ahli anestesi harus familier dengan penilaian ini. 1,6,8,9 Glasgow Coma Scale : Eye opening

Verbal response

Motor response

Spontaneous

4

To speech

3

To pain

2

None

1

Oriented

5

Confused

4

Inappropriate

3

Incomprehensible

2

None

1

Obeys command

6

Localized pain

5

Withdraws

4

Flexion to pain

3

Extension to pain

2

None

1

GCS berdasarkan pada uji neurologik pada saat pasien tiba di RS. 1,6,10 Beberapa pusat layanan kesehatan menggunakan GCS untuk memprediksi hasil dan melakukan intervensi. Ketika GCS digunakan dalam kaitannya dengan CT-Scan untuk melihat anatomi lesi atau pemantauan ICP untuk mendiagnosa cedera sekunder atau mutlimodality evoked potentials untuk memperkirakan keparahan disfungsi neurologik, ramalan hasil neurologik berkembang setelah penggunaan GCS. 1,3,5,6

4

Selain digunakan untuk meramalkan hasil, GCS juga selalu digunakan untuk membandingkan keparahan cedera pada populasi pasien. Jadi memungkinkan untuk membandingkan hasil dari berbagai model terapi yang dipakai di pusat-pusat layanan medik yang berbeda pada pasien dengan GCS yang sama. 1,5,6,11-13 Ditemukannya lesi masa dan pergeseran garis tengah pada CT-Scan dan evakuasi cepat (dalam 4 jam) telah menunjukkan perkembangan yang dramatis pada kasus hematom subdural. Pengelolaan bedah secara agresif dari lesi masa yang lain (epidural, hematom intraserebral) belum memperlihatkan perkembangan hasil, tetapi kiranya akan menjadi simpulan yang logis. 1,14,15 Lesi masa intrakranial mudah didiagnosa dengan CT-Scan. Secara anatomi dibagi menjadi hematom epidural, subdural atau intrakranial, keparahan abnormalitas CT dengan tidak adanya lesi masa berhubungan baik dengan perkiraan hasil. Hasil terbaik dapat diamati pada hasil CT-Scan normal, hasil terburuk pada edema global difus atau kontusio petekhial multipel yang meluas. Hasil jangka lama dari cedera kepala penetrasi umumnya berhubungan dengan tingkat kesadaran pada akhir minggu pertama pasca cedera; kematian cepat dapat disebabkan oleh cedera lain atau infeksi, kematian lambat oleh komplikasi lain dan kejang. Komplikasi umum dari cedera kepala penetrasi adalah abnormalitas vaskuler (aneurisma traumatik, fistula AV, oklusi vaskuler dan spasme). 1,3,16 TIK tinggi dapat membahayakan perfusi seluruh otak, dan bukti beberapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan tekanan perfusi otak jangka lama, pada tingkat 50-60 mmHg, berpengaruh buruk pada prognosisnya. 3,5,6,8,11 Pengelolaan hipertensi intrakranial yang menyebabkan penurunan tekanan perfusi dan iskemia otak yang bukan tindakan bedah adalah tujuan utama, yaitu mengurangi volume darah otak dan edema otak. Tindakan tersebut meliputi : penurunan PaCO2 dengan hiperventilasi, menghindari hipoksia, pemberian diuretik osmotik (manitol), barbiturat, dan obat-obat yang menurunkan aktivitas dan aliran darah otak. Untuk melakukan terapi titrasi langsung terhadap pengurangan TIK dan peningkatan perfusi otak, digunakan pemantauan TIK dan tekanan arteri. Beberapa cara pemantauan standar TIK dapat diterima, tetapi fungsi sabarakhnoid mungkin

5

yang paling disuka pada pasien cedera kepala yang koma dimana diagnosa cepat harus ditegakkan. 1,5,6,17 Sebagaimana kita ketahui bahwa isi intrakranial terdiri atas jaringan otak 24%, air 60%, darah 3-5% dan cairan serebrospinal 11-13%. TIK adalah tekanan yang dihasilkan oleh isi intrakranial. Pada posisi horisontal biasanya berkisar antara 60-150 mm CSF. TIK dapat naik oleh beberapa faktor, dan gejalanya adalah : nyeri kepala, muntah, gangguan penglihatan, dan perubahan neurologik lain misalnya perubahan kesadaran. Sedang tanda-tandanya adalah : midriasis disebabkan oleh regangan atau paralisis syaraf otak III, edema papil, tanda neurologik lain, peningkatan sistolik, penurunan diastolik, bradikardi, dan pernafasan ireguler. Bahaya peningkatan TIK adalah : iskemia pusat vital dari coning. Iskemia pusat vital menghasilkan perubahan tingkat kesadaran dan perubahan tekanan darah dan respirasi.1 Yang disebut coning adalah herniasi isi ruang kranial ke dalam kanalis vertebra. Pusat vital dalam medula oblongata yang herniasi tersebut menyebabkan kematian mendadak. 4,17 Selama pengelolaan medik, bila TIK tidak terkontrol atau

bila setelah

periode stabil, TIK mulai meningkat, CT-Scan harus diulang untuk memastikan adanya lesi masa intrakranial baru yang memerlukan evakuasi bedah. Beberapa pusat menggunakan barbiturat dosis tinggi (barbiturate coma), hipotermi, dekompresi tulang, atau lobektomi serebral partial untuk mengatasi hipertensi intrakranial yang tidak terkontrol yang disebabkan oleh edema serebral difus. Tetapi bukti obyektif dari peningkatan hasil dengan prosedur heroik ini tidak ada. Beberapa laporan terutama pada anak diperoleh hasil yang memuaskan. 1,18 Pemantauan dan tindakan TIK pada pasien cedera kepala masih kontroversial. GCS dapat berubah pada pasien dengan TIK normal. Hal ini juga merupakan indikasi untuk melakukan CT-Scan ulang. Lesi baru pada sisi yang berhadapan dengan alat pantau tekanan tidak dapat direfleksikan oleh peningkatan TIK. Penderita koma dengan CT-Scan normal mempunyai insiden yang sangat rendah dari peningkatan TIK. Narayan dkk. mendapatkan angka kurang dari 13%; tak ada hipotensi pada pasien umur kurang dari 40 tahun, dengan tanpa sikap motorik abnormal, insidennya kurang

6

dari 1%. Pertanyaan dimana tindakan terhadap TIK meningkatkan hasil juga tidak diputuskan. Bila TIK diatasi hanya dengan hiperventilasi dan manitol, hasilnya sangat kurang. Kesepakatan umum adalah TIK dipantau dan diterapi pada pasien dengan GCS di bawah 8 – 10, terutama bila faktor risiko untuk perkembangan cedera sekunder menyertai. Meskipun nilai normal TIK mungkin setinggi 20 mmHg, tindakan agresif pada tingkat lebih rendah dapat meningkatkan hasil lebih lanjut. 1,7 Penggunaan steroid dosis tinggi pada cedera kepala berat masih tetap dilakukan oleh beberapa institusi, meskipun Braackman dkk. pada penelitian kontrol buta ganda mendapatkan bahwa 100 mg decadron sehari tidak ada beda hasil dalam 1 atau 6 bulan setelah cedera kepala berat .1,18 Dapat disimpulkan pengelolaan peningkatan TIK meliputi : hiperventilasi terkontrol, manitol (0,25-0,5 gr/kg iv bolus), furosemide, peningkatan tekanan perfusi serebral, head-up 10-20 derajat, sedasi, paralisis untuk agitasi hebat dan barbiturat. 1,5 Strategi pengelolaan lain pada cedera kepala berat meliputi rumatan volume sirkulasi vaskuler yang adekuat.

1,12

Produksi urin bukan merupakan tanda status

volume karena manitol dan diuretik lain juga meningkatkan produksi, CVP tidak akurat untuk fungsi pengisian ventrikel kiri, terutama pada pasien dengan edema paru setelah cedera otak. Selama hipoksi primer dan sekunder terjadi pada pasien cedera kepala, pengelolaan kardiovaskuler dan respirasi paling baik dipantau dengan menggunakan kateterisasi arteri pulmoner dan tekanan baji kapiler paru. Volume vaskuler dirumat dengan larutan normal atau hiperosmotik. Sodium serum dipertahankan antara 145-155 mg/dl. Bila protein serum berkurang, berikan 12,5 atau 25% albumin. Tekanan onkotik serum harus dirumat dengan cairan aktif osmotik. Hb dipertahankan diatas 10 gr% untuk optimalisasi aliran oksigen ke otak dan jaringan perifer. Hipertensi arterial umumnya juga terjadi pada pasien-pasien cedera kepala dan dapat menyebabkan kenaikan TIK oleh karena peningkatan aliran darah akan mencederai daerah otak.

7

Bila ini terjadi, tindakannya berorientasi pada penurunan COP dengan simpatolitik (propanolol) atau blokade ganglionik (trimethaphan). Bila TIK terpantau, hipertensi arterial dapat aman ditangani dengan agen aksi cepat, sementara peningkatan TIK karena vasodilator dapat terdeteksi dengan cepat. 1,9 Hipotensi jarang terjadi pada cedera kepala, tetapi bila ada berpengaruh jelek terhadap cedera otak berat. Tindakan terhadap hipotensi harus ditujukan terhadap penyebab utama. Jennett dan Teasdale mengklasifikasikan penyebab hipotensi intrakranial adalah : laserasi kulit kepala, cedera sinus kranial atau pembuluh darah lain, dan cedera medula. Sedangkan yang ekstra kranial adalah : hipovolemik (umumnya terbanyak adalah perdarahan intraabdomen), cedera dada/jantung, paru, pembuluh darah besar). 7 Diabetes insipidus dapat dihasilkan oleh cedera hipotalamus atau tangkai hipofise. Pada cedera kepala berat, onset diabetes insipidus merupakan tanda prognosis parah dan dapat diindikasikan sebagai ancaman mati batang otak klinis .5 Diabetes insipidus, ditandai dengan peningkatan produksi urin yang tidak dapat diterangkan dan menetap, dapat terjadi pada kasus cedera kepala ringan. Meskipun sulit ditegaskan, harus dicurigai bila sodium serum naik di atas 155 mg/dl dan adanya dilusi urin. Pengelolaan awal dengan pemberian infus D5W secukupnya sesuai dengan produksi urin dan pertahankan sodium serum kurang dari 155 mg/dl. Penurunan produksi urin dan peningkatan konsentrasi urin (osmolality) sebagai respons terhadap pitresin iv atau DDAVP nasal merupakan diagnostik dan harus digunakan sebagai terapi bila produksi urin lebih dari normal, misalnya 500 ml/jam. Untungnya diabetes insipidus pada cedera kepala biasanya merupakan masalah sementara.1 Hiperglikemia biasa terjadi setelah cedera kepala dan mungkin ditimbulkan oleh makanan enteral maupun parenteral. Kadar glukosa serum harus dipantau paling tidak sekali sehari dan lebih sering bila terjadi kenaikan abnormal, kadar di atas 200 mg/dl harus diterapi insulin parenteral dengan sliding scale.5 Syndrome inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) muncul sebagai komplikasi awal yang jarang pada cedera kepala. Ini selalu sulit didiagnosa, tetapi relatif mudah diatasi bila pemantauan serum osmolality dan sodium dilakukan, dan

8

harus dicurigai bila terapi diuretik tidak ada hasil, serum osmolality turun dan urin relatif tetap pekat. Tindakannya terdiri dari restriksi air atau pada beberapa kasus dengan salin hipertonik. Terapi jangka panjang dengan pemberian obat-obatan yang menyebabkan diabetes insipidus nefrogenik dengan salah satu obat yang ada misalnya demeclicycline.1 Setelah trauma besar, termasuk cedera kepala berat, balans nitrogen negatif berkembang cepat sebagai hasil dari hipermetabolisme dan hiperkatabolisme, dan asupan substansial baik kalori maupun protein diperlukan untuk menghindari penurunan berat badan dan atropi otot. Nutrisi yang tidak adekuat akan melemahkan fungsi kekebalan, menghambat penyembuhan luka, anemia dan penurunan daya tahan infeksi. Setelah cedera kepala berat, makanan enteral mungkin kurang ditolerir pada awalnya oleh karena ileus paralitik atau diare. Norton dkk. merekomendasikan TPN secepatnya diberikan segera setelah pasien masuk ICU untuk mendapatkan kebutuhan nutrisi dan mengembalikan kehilangan katabolik.3,5,11 Pasien dengan cedera kepala berat harus mendapatkan kebutuhan kalori normal, lebih dari 6000 cal/24 jam bila bernafas spontan. Rata-rata pada pasien tak sadar, memerlukan 100-200% BMR. Perkiraan ini tergantung dari banyak faktor, dan ditandai oleh respons stimulasi katekolamin terhadap cedera, efek sekunder cedera kepala (misalnya respons motorik spontan), dan status sisa tonus otot. Periode hiperaktivitas autonomik dengan peningkatan kadar katekolamin menghasilkan hipertensi sistemik, takhikardi, dan peningkatan kebutuhan kalori harian.3,7-9 Bila kesadaran terus menurun setelah 2 – 4 hari atau bila dukungan ventilasi diperkirakan memanjang, trakheostomi dini perlu dipertimbangkan untuk menjamin airway yang aman dan mencegah resiko komplikasi.1 Tujuan terapi respirasi pada pasien cedera kepala adalah untuk rumatan oksigenasi optimal dari cedera otak dan menghindari episod desaturasi serta untuk mengontrol tekanan arterial partial CO2 (PaCO2) dan tentunya termasuk CBF dan ICP. Hiperventilasi adalah cara efektif untuk kontrol ICP jangka pendek, utamanya bila disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah serebral (hiperemia).

9

Komplikasi hiperemia serebral kira-kira 45% dari kasus cedera kepala berat, terutama umumnya pada anak dengan hematom subdural akut dan edema serebri global pada CT-Scan. 3 Kejang merupakan komplikasi umum dari cedera kepala baik jangka pendek maupun jangka panjang. Banyak institusi secara rutin menggunakan rumatan diphenylhydantoin untuk semua pasien cedera kepala.1 Hipotermi juga merupakan manifestasi umum dari cedera kepala yang serius. Tindakan untuk mencegah dan mengatasi infeksi harus dilakukan. Tetapi, karena efek merugikan dari kenaikan suhu badan pada CMR dan CBF, maka tindakan agresif dengan pemberian antipiretik dan kompres dingin (dengan pencegahan menggigil) harus dilakukan secepatnya. Hipotermi sedang sangat penting dalam pengelolaan pasien cedera kepala dan data awal menunjukkan bahwa hipotermi sedang (32° C) berhasil baik. 1,3 Pemeriksaan

laboratorium

telah

menghasilkan

sejumlah

campuran

neuroprotektif poten yang mampu mengurangi kerusakan otak iskemik yang disebabkan oleh kejadian iskemik otak fokal dan global. Campuran ini juga telah memperlihatkan kecakapan untuk peningkatan hasil fungsional dan angka kematian percobaan yang mengalami cedera otak traumatik. Studi large-scale phase III sekarang dilakukan dengan free radical-scavenging compounds, glutamate antagonists, dan calcium channel blockers. 3

10

DAFTAR PUSTAKA

1. Miller RD. Head Injury. In : Anesthesia. 6 th ed. New York: Churchill Livingstone, 2005 ; 2266 – 70. 2. Cooper PR. Head Injury. 2nd ed. Baltimore USA: Williams & Wilkins, 1987 ; 1 – 18. 3. Bullock R, Ward JD. Management of Head Trauma. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders Co., 2005 ; 1449 – 56. 4. Bartholomeusz L. Neurosurgical Anaesthesia. Safe Anaesthesia. Australia: Lucille Bartholomeusz Victoria, 1996 ; 276 – 78. 5. Andrew BT. The Intensive Care Management of Patients with Head Injury. Neurosurgical Intensive Care. California : McGraw-Hill Inc., 1993 ; 227 – 40. 6. Keenan RL, Jesudian MSC, and Mueller JB. Surgical Anesthesia in Head Injury. In: Becker DP, Gudeman SK. Textbook of Head Injury. Philadelphia : WB Saunders Co., 1989 ; 182 – 89. 7. Pacult A. and Gudeman SK. Medical Management of Head Injuries. In: Becker DP, Gudeman SK. Textbook of Head Injury. Philadelphia : WB Saunders Co., 1989 ; 192 – 204. 8. Kotwica Z, Jakubowski JK. Head-Injured Adult Patients with GCS of 3 on Admission – Who Have a Chance to Survive? Acta Neurochir (Wien) 1995 ; 133 : 56 -59. 9. Marshall LF. Head Injury: The Clinical Problem Research and Treatmentin Head Injury. Caliornia: 1993 ; 1 – 4. 10. Zimmerman RA. Head Injury. Current Opinion in Neurology. Neurosurgery 1991; 4 : 864 – 66. 11. Miller JD. Head Injury and Brain Ischaemia – Implication for Therapy. Br J Anaesth 1985 : 120 – 29. 12. Tobias C, Sgowros S. Initial Evaluation and Management of CNS Injury, 2005. HTTP : //www.emedicine.com/med/topic3216.htm.

11

13. Reed D. Initial Management of Closed Head Injury in Adults, version 2, 2006 ; 3 – 13. 14. Clayton TJ, Nelson RJ, Ranara AR. Reduction in Mortality from Severe Head Injury following Introduction of a Protocol for Intensive Care Management. Br J Anaesth 2004; 93 (b) : 761 – 67. 15. Marik PE, Varon J, Trask T. Management of Head Injury. HTTP : //www.chestjournal.org/cgi/contact/full/122/2/699. 16. Cohen SM, Marion DW. Traumatic Brain Injury. In: Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia : WB Saunders Co.,2005 ; 377 – 89. 17. Smith M. Head Injury in Adults. 18. Management of Severe Traumatic Head Injury in ICU. Sussex Critical Care Network / HPNC / BSUH 11 /06 Review date 11/07 ; 1 – 26.

12

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF