Makalah Fraktur Le Fort

July 12, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Makalah Fraktur Le Fort...

Description

 

 

1 BAB I PENDAHULUAN 

1.1 Latar Belakang

Trauma wajah merupakan kasus yang sering terjadi, menimbulkan masalah pada medis

dan

kehidupan

sosial.

Meningkatnya

kejadian

tersebut

disebabkan

 bertambahnya jumlah kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Trauma tumpul yang cukup keras merupakan etiologi dari trauma tersebut. Trauma merupakan urutan keempat penyebab kematian, dapat terjadi  pada semua usia terutama 1-37 tahun (Pramesthi dan Yusud, Yusud, 2006). Maksila atau rahang atas meruapakan tulang berpasangan. Maksila memiliki sepasang rongga berupa sinus maksilaris, ke atas berhubungan dengan tulang frontal dan tulang nasal, ke lateral dengan tulang zygoma dan inferior - medial pada  prossesus frontalis maksila. Maksila merupakan tulang yang tipis, pada bagian lateral l ateral lebih tebal dan padat, pada bagian ini disangga oleh zygomatikomaksilaris (Pramesthi dan Yusuf, 2006). Pembagian pola trauma wajah pertama kali diungkapkan oleh Rene Le Fort pada tahun 1901, disimpulkan terdapat pola prediksi fraktur berdasarkan kekuatan dan arah trauma, yaitu terdapat tiga predominan tipe yaitu le fort I, II, dan III (Pramesthi dan Yusuf, 2006).

 

 

2

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana gambaran klinis masing-masing fraktur Le Fort? 2. Bagaimana diagnosis yang dilakukan pada fraktur le fort? 3. Bagaimana penatalaksanaan masing-masing fraktur Le Fort? 1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui gambaran klinis masing-masing fraktur Le Fort 2. Untuk mengetahui diagnosis pada fraktur Le Fort 3. Untuk mengetahui penatalaksanaan masing-masing fraktur Le Fort

 

 

3 BAB II PEMBAHASAN

2.1 Fraktur Maksilofasial

Trauma adalah penyebab utama kematian pada manusia. Beberapa orang  pernah mengalami cedera parah wajah yang memerlukan terapi yang tepat. Trauma maksilofasial, adalah setiap trauma fisik pada wajah. Trauma facial dapat melibatkan cedera jaringan lunak, seperti luka bakar, lebam dan memar, atau fraktur tulang wajah seperti patah tulang hidung dan patah tulang rahang, serta trauma seperti cedera mata (Suardi dkk., 2013). Fraktur maksilofasial ini terletak didaerah yang anatominya spesifik, sebagaimana yang kita ketahui bahwa kepala merupakan daerah tempat organ-organ

penting

seperti otak

dan

pusat persyarafan.

Sehingga fraktur

maksilofasial ini mewakili permasalahan terbesar bagi pelayanan kesehatan umum diseluruh belahan dunia karena tingginya insidensi dan kerugian finansial yang ditimbulkan dari fraktur maksilofasial ini (O. Marsha, 2012). Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi  penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas (K. Nurul, 2014). Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor lebih  banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan per empuan dan lebih banyak dijumpai  pada usia produktif (21-30 tahun) (O. Marsha, 2012).

 

 

4

2.2 Klasifikasi Fraktur Wajah

Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, terdapat tiga pola fraktur maksila, yaitu Le Fort I, II, dan III. I II. Selain fraktur Le Fort, terdapat pula fraktur alveolar, dan vertikal atau sagital maupun parasagital (Suardi dkk., 2013).  

Gambar 1. Fraktur Le Fort I, II, dan III (Sumber: Suardi dkk., 2013)  

a.  Fraktur Le Fort I

Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan  pterygoid plate. plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari  bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari (K. Nurul, 2014). b.  Fraktur Le Fort II

Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena (K.  Nurul, 2014).

 

 

5 Pukulan pada maksila atas atau pukulan yang berasal dari arah frontal menimbulkan fraktur dengan segmen maksilari sentral yang berbentuk  piramida. Karena sutura  zygomaticomaxillary dan  frontomaxillary (buttress buttress)) mengalami fraktur maka keseluruhan maksila akan bergeser terhadap basis kranium (Suardi dkk., 2013). Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I (K. Nurul, 2014). c.  Fraktur Le Fort III

Fraktur craniofacial disjunction, disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana  bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial (K. Nurul, 2014) Selain pada  pterygomaxillary buttress, buttress, fraktur terjadi pada  zygomatic arch  berjalan ke sutura  zygomaticofrontal membelah lantai orbital sampai ke sutura nasofrontal. Garis fraktur seperti itu akan memisahkan struktur midfasial dari kranium sehingga fraktur ini juga disebut dengan craniofacial dysjunction. Maksila tidak terpisah dari  zygoma ataupun dari struktur nasal. Keseluruhan rangka wajah tengah lepas dari basis kranium dan hanya disuspensi oleh soft oleh soft tissue (Suardi dkk., 2013)

 

 

6

2.3 Diagnosis dan Manifestasi Manifestasi Klinis

Mobilitas dan maloklusi merupakan hallmark adanya fraktur maksila. Namun, kurang dari 10 % fraktor Le Fort dapat terjadi tanpa mobilitas maksila. Gangguan oklusal biasanya bersifat  subtle  subtle,, ekimosis kelopak mata bilateral biasanya merupakan satu-satunya temuan fisik. Hal ini dapat terjadi pada Le Fort II dan III dimana disrupsi periosteum tidak cukup untuk menimbulkan mobilitas maksila (Suardi dkk., 2013) Anamnesis. Jika memungkinkan, riwayat cedera seharusnya didapatkan

sebelum pasien tiba di departemen emergency emergency.. Pengetahuan tentang mekanisme cedera memungkinkan dokter untuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera  primer. Waktu diantara cedera atau penemuan korban dan inisiasi treatment merupakan informasi yang amat berharga yangmempengaruhi resusitasi pasien. Inspeksi. Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema,

dan hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan  belakang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur prematur pada pergigian posterior. Palpasi. Palpasi bilateral dapat menunjukkan  step deformity  pada sutura

 zygomaticomaxillary,, mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior.  zygomaticomaxillary Manipulasi Digital. Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara

memegang dengan kuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan keempat  jari lainnya, sedangkan tangan yang satunya menjaga agar kepala pasien tidak  bergerak. Jika maksila digerakkan maka akan terdengar suara krepitasi jika ji ka terjadi fraktur.

Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea. Cairan serebrospinal dapat mengalamikebocoran dari  fossa kranial tengah atau anterior ( pneumochepalus  pneumochepalus)) yang dapat dilihat pada kanal hidung ataupun telinga. Fraktur pada  fossa kranial

 

 

7 tengah atau anterior biasanya terjadi pada cedera yang parah. Hal tersebut dapat dilihat melalui pemeriksaaan fisik dan radiografi. Maloklusi Gigi. Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan

dugaan kuat ke arah fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama pola oklusal gigi sebelumnya akan membantu diagnosis dengan tanda maloklusi ini. Pada Le Fort III pola oklusal gigi masih dipertahankan, namun jika maksila  berotasi dan bergeser secara signifikan ke belakang dan bawah akan terjadi maloklusi komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain. Pemeriksaan Radiologi. Pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara

klinis, pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos, namun CT scan merupakan  pilihan untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik yang dipakai pada foto polos diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view. view. Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin akan kita dapat dari foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus maksila, pemisahan  pada rima orbita inferior, sutura  zygomaticofrontal, dan daerah nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng pterigoid. Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur maksila adalah dari dar i potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik (Suardi dkk., 2013).

 

 

8

Gambar 2. CT Scan 3 dimensi yang menunjukkan adanya fraktur tulang frontal (Sumber: Pramesthi D.S. dan Yusuf, 2006).

2.4 Perawatan Fraktur Maksilofasial

Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada masing-masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan defenitif dilakukan, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni berupa  pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan sin gkatan ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah penanganan kegawatdaruratan

tersebut

dilaksanakan,

maka

perawatan

defenitif

dapat

dilakukan (K. Nurul, 2014). Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar , fiksasi maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari  pengawetan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka

 

 

9 dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch splint/arch bar . Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding digital dan splinting. Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch bar , fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan pelat  pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis.

 

 

10 BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Fraktur maksila merupakan salah satu bentuk trauma pada wajah yang cukup sering terjadi dimana kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama. Penanganan fraktur maksila tidak hanya mempertimbangkan masalah fungsional tapi  juga estetika. Pola fraktur yang terjadi tidak selalu mengikuti pola Le Fort I, II, maupun III secara teoritis, namun lebih sering merupakan kombinasi klasifikasi tersebut. Pemerikasaan radiologi baik itu foto polos maupun CT scan diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis, namun CT scan merupakan pilihan utama. Faktur maksila umumnya memiliki prognosis yang cukup baik apabila penanganan dilakukan dengan cepat dan tepat, namun dapat timbul komplikasi yang dapat menimbulkan kecacatan maupun kematian apabila tidak tertangani dengan baik.

 

 

11 DAFTAR PUSTAKA

Pramesthi, Emmy dan Yusuf M. 2006. Pelaksanaan Fraktur Maksilofasial Dengan Menggunakan Mini Plat (Laporan Kasus). Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. p.2. K. Nurul Namirah. 2014. Prevalensi Fraktur Maksilofasial Pada Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Di RSUD Andi Makkasau Kota Pare-pare Tahun 2013. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin. O. Marsha Ayu. 2012. Fraktur Le Fort II (Laporan Kasus). Program Profesi Fakultas Keokteran Gigi Universitas Padjajaran.  Suardi, Ni Putu dkk. 2013. Fraktur Pada Tulang Maksila. SMF/Bagian Ilmu Bedah RSUP Sanglah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF