Makalah Fisafat Ilmu Teori Kebenaran Ilmu Pengetahuan
March 31, 2018 | Author: faidhotur rohmah firdausi | Category: N/A
Short Description
TEORI KEBENARAN ILMU PENGETAHUAN...
Description
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya di dunia, manusia selalu mencari kebenaran. Karena, dengan menemukan kebenaran tersebut, manusia akan mendapatkan ketenangan dalam dirinya. Dalam pencarian kebenaran itu manusia menggunakan berbagai cara yang setiap individunya berbeda. Kebenaran menurut tiap individu dapat berbeda-beda, tergantung sudut pandang dan metode yang digunakan oleh individu tersebut. Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan dalam kebenaran, dan filsafat membuka jalan untuk mencari kebenaran. Dalam ilmu pengetahuan, kebenaran diperoleh dengan cara metode ilmiah. Untuk menemukan dan merumuskan sebuah teori atau rumus, harus sampai pada kebenaran yang benar-benar valid.Yang menjadi permasalahan adalah bahwa dalam menemukan kebenaran tersebut ada perbedaan dari setiap individu baik cara maupun metode yang digunakan. Sehingga muncul sebuah perbedaan pula mengenai kriteria kebenaran. Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berfikir mengguakan rasio dalam menyelidiki suatu objek atau mencari kebenaran yang ada dalam objek yang menjadi sasaran. Kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam objek. Terkadang hanya dapat dibenarkan oleh persepsi-persepsi belaka, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal dalam filsafat. Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan sedikit mengenai teori-teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan dan bagaiman teori-teori kebenaran ilmiyah itu berbicara. 2. Rumusan Masalah A. Apa pengertian kebenaran? B. Bagaimana tingkatan-tingkatan kebenaran? C. Apa saja teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan? 3. Tujuan Masalah A. Untuk mengetahui pengertian kebenaran. B. Untuk mengetahui tingkatan-tingkatan kebenaran. C. Untuk mengetahui apa saja teori kebenaran ilmu pengetahuan.
BAB II PEMBAHASAN
1
1. Pengertian Kebenaran Kebeneran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Adapun kebenaran yang pasti adalah mengenai suatu objek materi, yang diperoleh menurut objek formal, metode dan sistem tertentu. Karena itu, kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif, tidak subjektif. Artinya, terkandung di dalamnya sejumlah pengetahuan menurut sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuai-an. Dengan demikian, dapat dipastikan ia tahan terhadap vertifikasi baik yang empirik maupun yang rasional. Hal ini wajar, karena sudut pandang, metode dan sistem yang dipakai juga bersumber dari pengalaman maupun akal pikiran. Dalam kaitan dengan filsafat kebenaran menurut Maufur (2008:83) merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh filsafat maupun ilmu pengetahuan. Kebenaran memiliki anggapan (asumsi) bahwa kebenaran itu berlaku atau diakui, karena ia menggambarkan atau menyatakan realitas yang sesungguhnya. Lantas, apa yang dimaksud kebenaran itu?. Inilah pertanyaan yang lebih lanjut harus dihadapi di dalam filsafat ilmu. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang ditulis oleh Purwadaminta menjelaskan bahwa kebenaran itu adalah: a. Keadaan (hal danm sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya), misalnya kebenaran berita ini masih saya ragukan, kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. b. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya, dan sebagainya), misalnya kebenaran yang diajarkan oloh agama. c. Kejujuran, kelurusan hati, misalnya tidak ada seorangpun sanksi akan kebenaran dan kebaikan hatimu. d. Selalu izin, perkenanan, misalnya dengan kebenaran yang dipertuan. e. Jalan kebetulan, misalnya penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja. Dalam epistemologi, masalah kebenaran dibahas secara khusus. Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subjek yang mengetahui) mengenai objek. Jadi, kebenaran itu ada pada sejauh mana subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran. Diantara sekian banyak sumber, rasio dan pengalaman indrawi merupakan sumber utama sekaligus sebagai ukuran kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Sumber rasio lebih bersangkut-an dengan objek-objek umum, abstrak dan non-fisis, Sedangkan sumber pengalaman lebih bersangkutan dengan objek-objek yang khusus, konkret dan fisis. Kedua 2
sumber itu di dalam filsafat dikenal dengan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650), filosof dari prancis. Dengan sikap keragu-raguannya terhadap segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, ia mencoba mencari kebenaran yang jelas, tegas dan pasti. Kebenran itu ada pada ide yang disebut idea innate (ide bawaan, terang benderang), yang hanya ditangkap dengan akal pikiran. Dengan kegiatan berpikir inilah Descartes menemukan sesuatu yang pasti, jelas dan tegas, yaitu keradaan diri sendiri. Hal yang terkenal dengan ungkapannya ‘cogito ergo sum’ yang dalam bahasa inggris diartikan sebagai ‘ I Think therefor I am’ (saya berpikir, maka saya ada). Pada prinsip dasar yang demikian inilah dia berpikir bahwa semua kebenaran dapat dikenal karna adanya kejelasan dan kepastian yang dihasilkan oleh kemampuan berpikir itu sendiri. Jadi, apapun yang dapat digambarkan secara tegas, jelas dan pasti oleh pikiran adalah benar. Karna itulah ia berpendapat bahwa segala sesuatu yang disaksikan oleh pengalaman indrawi mengandung kesesatan. Empirisme dipelopori oleh John Locke (1632-1704) salah seorang pengagum Discartes dari Inggris. Tetapi, ia tidak menyatujui isi ajarannya. Menurut Locke, pada mulanya rasio manusia itu bagaikan ‘tabula rasa’ (as a white paper), seperti kertas atau lilin putih bersih dan licin. Adapun seluruh isinya yang kemudian membentuk ide itu berasal dari pengalaman indriawi. Panca indra menangkap data-data dan lalu tergambar didalam rasio. Semakin aktif pengindraan, maka semakin banyak data yang tergambar sehingga bisa menjadi suatu ide yang rumit, detail, dan jelas. Dikatakan selanjutnya, bahwa ada dua macam jenis pengalaman yaitu, pengalaman lahir (sensation) dan pengalaman batin atau (refkextion). Kedua sumber pengalaman itu menghasilkan ide-ide tunggal atau simple ideas. Jika disimpulkan dan dievaluasi, sebenarnya kedua sumber kebenaran itu mengandung kelemahan-kelemahan. Sumber rasio, sering tidak cocok dengan keadaan konkret dan praktis. Maksudnya, banyak hal-hal yang rasional, tetapi tidak sesuai dengan realita konkret. Ide itu sendiri adalah bukan benda objektif, dan ternyata ide itu mengalami perubahan. Kemampuan pikir dalam mengideakan objek, sering terjebak ke dalam analogi yang tidak realistik. Begitu pula sumber pengalaman, karena sifatnya yang terlalu subjektif dan relatif, maka lemah untuk dijadikan dasar kebenaran. Lebih dari itu, banyak pengalaman indra yang menyesatkan karena keterbatasan kemampuan panca indra dalam memahami objek. Pengindraan hanya mampu menangkap bagian tertentu dari objek, sehingga mudah terjebak pada ‘generalisasi’. Oleh sebab itu dalam konteks ilmu pengetahuan, kiranya baik potensi rasio maupun
3
pengalaman indra perlu difungsikan secara dialektik-fungsional, saling lengkap-melengkapi dan saling uji-menguji sehingga kebenaran yang dicapai bisa diandalkan. 2. Tingkatan tingkatan Kebenaran Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran. Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi : a. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang dialami manusia. b. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula dengan rasio. c. Tingkatan filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya. d. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebenaran. Hal kebenaran sesungguhnya merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Problematik mengenai kebenaran merupakan masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu.
Menurut Inu Kencana Syafiie pengetahuan akal itu disebut ilmu yang kemudian untuk membahasnya disebut logika, pengetahuan budi itu di sebut moral yang kemudian untuk membahasnya di sebut etika, pengetahuan indrawi disebut seni yang untuk membahasnya disebut estetika. Sedangkan pengetahuan kepercayaan itu disebut agama, tetapi dalam hal ini tidak boleh otoritatif karna agama tidak memaksa, agama harus diterima secara logika, etika dan estetika dan agama itu hanyalah islam yang terbukti kebenarannya. Jadi titik temu antara
4
logika, etika, estetika adalah islam, oleh karena itu pengetahuan intuitif kepada seorang yang kemudian disebut nabi harus diuji terlebih dahulu seperti halnya keberadaan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana Inu Kencana Syafiie lakukan bertahun-tahun dalam keadaan ateis dan kemudian baru menerimanya. 3. Teori Kebenaran Ilmu pengetahuan Sejalan dengan beragamnya makna kebenaran, ada beberapa rumusan tentang kebenaran yang dikemukakan Michael Williams. Menurutnya ada lima teori kebenaran, yaitu; a) teori kebenaran koherensi b) teori kebenaran korespondensi c) teori kebenaran pragmatis d) teori kebenaran perfomatif e) teori kebenaran proposisi a. Teori Kebenaran Koherensi(coherence theory) Teori ini dikembangkan oleh kaum idealis, dan sering disebut sebagai teori saling berhubungan atau teori konsistensi. Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan tersebut koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Jadi, suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan tersebut saling berhubungan dengan pernyataan-pernyataan lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Dengan kata lain, suatu pernyataan itu benar jika mempunyai ide–ide dari pernyataan yang telah ada dan benar adanya. Sebagai contoh, bila kita beranggapan bahwa semua makhluk hidup akan mati adalah pernyataan yang selama ini memang benar adanya. Jika Ahmad adalah manusia, maka pernyataan bahwa Ahmad pasti akan mati, merupakan pernyataan yg bnar pula. Sebab pernyataan kedua konsisten dengan pernyataan yang pertama. b. Teori Kebenaran Korespondensi(corespondence theory) Kalau teori koheren diterima oleh kaum idealis, maka teori korespondensi ini diterima oleh kaum realis dan mungkin kebanyakan orang. Menurut teori ini, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang di kandung peryataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang di tuju oleh pernyataan tersebut. Teori ini antara lain menyatakan bahwa ‘jika suatu pertimbangan sesuai fakta, maka pertimbangan itu benar. Jika tidak, maka pertimbangan itu salah’. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan dengan fakta dan fakta itu sendiri. Maksudnya adalah jika seseorang mengatakan bahwa ‘Tugu Monas ada di kota Jakarta’ maka pernyataan itu 5
benar, sebab pernyataan tersebut dengan objek yang faktual yakni Jakarta yang memang tempat berdirinya Tugu Monas. Apabila ada orang yang mengatakan bahwa ‘Tugu Monas berada di Semarang’ maka pernyataan ini adalah tidak benar sebab tidak terdapat objek yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Dengan demikian secara faktual bahwa Tugu Monas ada di Jakarta bukan di Semarang. Kattsoff (1987) menyatakan bahwa paham yang mengatakan suatu pernyataan itu benar, jika makna yang dikandungnya sungguh–sungguh merupakannya hal yang dinamakan paham ‘korespondensi’. Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (korespondensi) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang merupakan sungguh-sungguh halnya atau apa yang merupakan fakta-faktanya. c. Teori Kegunaan (pragmatic theory) Bagi oraang yang menganut teori pragmatisme ini menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan dikatakan benar, jika pernyataan tersebut atau konsekuensi dari pernyataan tersebut mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Sekiranya ada yang menyatakan sebuah teori X dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut kemudian dikembangkan teori Y dalam meningkatkan kemampuan belajar siswa. Maka teori X dianggap benar, sebab teori X ini adalah fungsional dan mempunyai kegunaan. Dalam batasan-batasan tersebut, kebenaran merupakan gagasan yang berguna atau dapat dilaksanakan di dalam suatu situasi. Dan orang mempunyai kehendak serta hak untuk percaya akan hal-hal yang membantu menetapkan hubungan yang memuaskan dengan sisa pengalaman mereka. Kiranya jelas, bahwa kesulitan besar tentang definisi mengenai kebenaran sebagai sesuatu yang berguna dalam menetapkan penyesuaianpenyesuaian yang memuaskan, tergantung pada apa yang dimaksud-kan dengan ’’ dapat dilaksanakan’’ atau “ berguna’’
dan tergantung pada apakah yang merupakan
’’hubungan-hubungan yang memuaskan dengan pengalaman kita”. d. Teori performatif Menurut teori ini, suatu
pernyataan kebenaran bukanlah kualitas atau sifat
sesuatu, tetapi sebuah tindakan (performatif). Untuk menyatakan sesuatu itu benar, maka cukup melakukan tindakan
konsensi (setuju/ menerima/ membenarkan) terhadap
gagasan yang telah dinyatakan. Dengan demikiantindakan performatif tidak berhubungan dengan deskripsi benar atau salah dari keadan faktual. Jadi, sesuatu itu di anggap benar jika memang dapat di aktualisasikan dengan tindakan Contohnya; mengenai penetapan 1 syawal. Sebagian ummat muslim di indonesia
6
mengikuti fatwa atau keputusan MUI. Sedangkan fatwa yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. e. Teori proposisi Menurut teori ini, suatu pernyataan disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan materialnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi. Dalam sumber lain, ada juga yang menambahkan dengan bentuk kebenaran lain yang disebut dengan kebenaran sintaksis. Kebenaran sintastik atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dalam paham kebenaran sintaksis ini suatu pernyataan di anggap benar apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang di persyaratkan maka proposisi tersebut tidak memiliki arti. Jadi kebenaran sebagaimana di kemukakan di atas, memiliki makna yang beragam dan kompleks, sehingga dalam memaknai kebenaran ini akan sangat bergantung pada situasi dan kondisi yang melatarinya, pengalaman, kemampuan, dan usia mempengaruhi kepemilikan epistemo tentang kebenaran.
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan A. Kebeneran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Adapun kebenaran yang pasti adalah mengenai suatu objek materi, yang diperoleh menurut objek formal, metode dan sistem tertentu. B. Tingkatan-tingkatan kebenaran yaitu sebagai berikut: a. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang dialami manusia. b. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula dengan rasio. c. Tingkatan filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya. d. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan. C. Teori-teori kebenaran ilmu pengetahuan yaitu sebagai berikut; 7
a) teori kebenaran koherensi adalah suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan tersebut koheren atau konsisten dengan pernyataanpernyataan sebelumnya yang dianggap benar. b) teori kebenaran korespondensi adalah suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang di kandung peryataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang di tuju oleh pernyataan tersebut. c) teori kebenaran pragmatis adalah suatu pernyataan dikatakan benar, jika pernyataan tersebut atau konsekuensi dari pernyataan tersebut mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. d) teori kebenaran perfomatif adalah suatu
pernyataan kebenaran
bukanlah kualitas atau sifat sesuatu, tetapi sebuah tindakan (performatif). e) teori kebenaran proposisi adalah suatu pernyataan disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan materialnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi.(hubungan yang logis dalam 2 konsep) pernyataan tentang hubungan antara 2 konsep atau lbih dan jika proposisix terbukti maka proposi tersebut menjadi teori.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo, 2005. Kattsoff, louis. O. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992. Mufid, Muhamad. Etika dan Filsafat K omunikasi. Jakarta: Kencana, 2010. Suhartono, Suparlan. “Filsafat Ilmu Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan”. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008. Susanto, A. “Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Sebuah Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis”. Jakarta: Bumi Aksara, 2011. Syafiie, Inu Kencana. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama, 2004.
8
View more...
Comments