Makalah Filsafat Islam (Al-Farabi) - 1

October 12, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Makalah Filsafat Islam (Al-Farabi) - 1...

Description

 

MAKALAH “AL-FARABI” 

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam Yang dibimbing oleh: Dr. Fawaizul Umam, M.Ag

Disusun oleh : Imam Pujo Laksono

(U20174002)

Citra Bhakti Wiryani

(U20174012)

Siti Fatimatuzzahro Fatimatuzzahro

(U20174029)

PROGRAM STUDISEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER (IAIN) Maret 2019

1

 

BAB I PENDAHULUAN A.  Latar Belakang Masalah Al- Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar a tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani : Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Konstribusinya

terletak

diberbagai

bidang

seperti

matematika,

filosofi,

 pengobatan, bahkan musik. Al- Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. AlFarabi muda belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhara. Setelah mendapat  pendidikan awal, Al- Farabi belajar logika kepada orang Kristen Nestorian yang  berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna Ibn Hailan. Pada kekhalifahan Al- Muktafi tahun 902-908 M dan awal kekhalifaha kekhalifahan n Al- Muqtadir pada tahun 908-923 M AlFarabi dan Ibn Hailan meninggalkan Baghdad menuju Harran. Dari Baghdad AlFarabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal disana selama delapan tahun serta mempelajari seluruh silabus filsafat. Dalam makalah ini, kami akan membahas secara lengkap tentang tokoh filosof Muslim Al- Farabi, boigrafi, pendidikan, karya-karyanya, karya-kary anya, pemikirannya, dan kritik kami terhadapnya. terhadapnya. B.  Rumusan Masalah 1.  Bagaima Bagaimana na biografi AlAl - Farabi ? 2.  Apa saja pokok-pokok pemikiran Al- Farabi ? 3.  Apa saja karya-karya Al- Farabi ? 4.  Bagaima Bagaimana na kritik penulis terhadap pemikiran Al- Farabi ? C.  Tujuan Penelitian 1.  Untuk mengetahui biografi Al- Farabi. 2.  Menjelaska Menjelaskan n pokok-pokok pemikiran Al- Farabi. 3.  Memaparkan karya-karya Al- Farabi. 4.  Menyam Menyampaikan paikan pendapat kritik terhadap pemikiran Al- Farabi.

2

 

BAB II PEMBAHASAN A.  Biografi Tokoh Filosof Islam Al- Farabi Latar belakang keluarga atau kehidupan awal al-Farabi sangat sedikit yang diketahui dengan pasti. Meski mempunyai beberapa murid dekat, dia tidak  pernah mendiktekan mendiktekan otobiografinya kepada kepada salah seo seorang rang dari mereka, mereka, dan ia pun tidak menulis otobiografinya sendiri.1  Sehingga bahan-bahan yang dipakai sebagai rujukan oleh para biografer al-Farabi selama ini, keabsahan, kebenaran dan keaslian datanya masih bersifat sementara dan masih membuka peluang bagi  para penulis berikutnya untuk melakukan revisi-revisi sesuai akurasi data yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.2  Salah satu bentuk in-akurasi data tersebut terlihat dari beberapa tulisan tentang tahun kelahiran al-Farabi. DR. Ahmad Daudy, dalam Kuliah Filsafat Islam menyebut kelahiran al-Farabi adalah tahun 259 H/872 M, 3  sedangkan Harun Nasution menunjuk angka 870 M,4  dan Osman Bakar menulis tahun 257/890M.5  Perbedaan lain seputar tokoh yang memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad Muhamm ad ibn Muhamm Muhammad ad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi ini adalah soal asal-usul kebangsaan/keturunannya. Ada yang menyebutnya berkebangsaan Persia dan ada pula yang menyatakan keturunan bangsa Turki. Hal ini disebabkan disebabkan karena

ayahnya

(Muhammad

ibn

Tharkhan)

adalah

seorang

Jenderal

 berkebangsaan  berkebangsa an Persia dan dan ibunya adalah adalah wanita keturunan keturunan Turki.6  Meskipun dalam sumber-sumber tertentu ayahnya disebutkan keturunan  bangsawan Persia, namun keluarga al-Farabi dianggap sebagai orang Turki. Bukan hanya karena mereka berbicara dalam bahasa Sogdia atau sebuah dialek Turki, tetapi karena gaya hidup dan kebiasaan kultural mereka mirip orang Turki.7  Sebutan al-Farabi sebenarnya diambil dari nama kota Farab sebuah distrik (setingkat Kabupaten/Kota) provinsi Transoxiana, Turkestan, yakni 1

  Bakar, O, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi, AlGhazali, Quthb al-Din al-Syirazi, (Bandung : Pene Penerbit rbit Mizan 1998), hlm 25-26. 2  Ian, RN, Al-Farabi and His School, (Roudledge : London and New York, 1992), hlm 4. 3  Daudi A, “ Kuyliah Filsafat Islam”, Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm 25. 4  Nasution H, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, Isla m, (Jakarta : Bulan-Bintang, 1973), hlm 26. 5   Bakar ,O, Op.Cit, h hlm26. lm26. 6 7 Zar,

Sirajuddin, “ Filsafat filsafatnya” , (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), hlm 65.  Bakar O, Op.Cit, hlm 27.Islam Filosof dan filsafatnya”,

3

 

distriktempat kelahiran beliau, tepatnya di desa kecil bernamaWasij. Menurut catatan Ibn Khallikan, di wilayah ini pula Abu Nasher menghabiskan masa remajanya. 8Konon ia dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa, dengan empat bahasa yang paling dikuasai yakni Arab, Persia, Turki dan Kurdi.9  Selain di kampung halamannya, al-Farabi pernah berdomisili di Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu religius lainnya. Kota Bukhara yang saat itu berada dalam pemerintahan Nashr ibn Ahmad (260-279 H/874-892 M) dikenal sebagai masa awal kebangkitan sastra dan budaya Persia dalam Islam. Di sini lah al-Farabi mempelajari musik untuk pertama kalinya. Dan di kota ini pula ia pernah menjadi hakim (qadhi). Hanya beberapa saat menjadi hakim, al-farabi mendengar adanya seorang guru yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis. Segera ia melepaskan jabatan itu dan mulai tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu logika dan filsafat Aristotelian kepada Yuhanna ibn Hailan di kota Merv (Marw) Khurasan.10  Saat berusia 40 tahun, al-Farabi hijrah ke Baghdad yang kala itu merupakan pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia. Di sana ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu bakar al-Saraj juga belajar ilmu logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibn Yunus. 11Menurut Osman Bakar, Al-Farabi berangkat ke Baghdad itu adalah sekitar tahun 287 H/ 900 M dari kota Merv bersama gurunya ibn Hailan. Jadi,selain berguru kepada yang lain, selama di Baghdad al-Farabi tetap belajar pada Ibn Hailan. Bahkan  pada fase selanjutnya al-Farabi pun ikut pindah ke Harran mengikuti sang guru. Besar kemungkinan Ibn Hailan lah yang mempengaruhi al-Farabi untuk melanjutkan studinya ke Konstatinopel yang erat pertautannya dengan mazhab filsafat Alexandria. Al-Farabi menetap di Konstatinopel selama delapan tahun hingga menyelesaikan studi ilmu-ilmu dan seluruh silabus filosofis.12  Barulah pada rentang waktu antara 297-307 H / 910-920 M al-Farabi kembali ke Baghad dan tercatat sebagai siswa Matta ibn Yunus, salah seorang

8

  Menurut ibnu Abi Usaibi’ah al-Farabi al -Farabi melewatkan masa remajanya di Damaskus. Namun Hasil  penelitian lain lebih meyakini Distrik Farab sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya alFarabi.  Ibid.    Ibid. 9   Sjadzali, M, Islam dan tata Negara, (Jakarta : Ui-press, 1993), h.49. Ibrahim Madkur menilai riwayat penguasaan 70 macam bahasa ini lebih mirip dongeng dari pada kenyataan. Sebab jumlah  bahasa yang berkembang kala itu, termasuk bahasa ibu al-Farabi sendiri tidak sampai 70 macam.(Zar, S, Op.Cit, hlm 66-67). 10 Bakar O, Op.Cit, Op.Cit, hlm 30. 11 12 Zar,

S, O, Op.Cit, hlmhlm 66.34.  Bakar, Op.Cit,

4

 

filosof Nestorian. Di bawah bimbingan Matta inilah, al-Farabi mampu menguraikan

gagasan-gagasan

abstrak

menjadi

mudah

difahami

dan

mengungkapnya dengan istilah yang sederhana. Bahkan kemudian, ajaran dan tulisan-tulisan al-Farabi pada masa ini dengan cepat memantapkan reputasinya sebagai filosoft muslim terkemuka, melebihi gurunya Matta ibn Yunus dalam  bidang logika.13  Pada tahun 330 H / 941 M, Al-Farabi pindah ke Damsyik (DamaskusSuria) dan berkenalan dengan Said al-Daulah al-Hamdani, Sulthan dinasti Hamdan di Halab (Aleppo). Sulthan tampaknya amat terkesan dengan kealiman dan keintelektualan beliau, hingga mengajaknya pindah ke Aleppo. Di Aleppo sulthan memberikan kedudukan yang baik kepada al-Farabhi sebagai  penasehat istana sampai ia wafat di sana sekitar tahun 337 H/950 M dalam usia 80 tahun.14  B.  Pokok-pokok Pemikiran Al- Farabi Bagi al-Farabi, tujuan filsafat dan agama adalah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakiniy dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedangkan agama memakai cara iqna’iy (pemuasan (pemuasan  perasaan) dan kiasan-kiasan kiasan-kiasan serta gambaran gambaran untuk semua orang. Pemahaman ini didasarkan pada pengertian al-Farabi tentang filsafat sebagai upaya untuk mengetahui semua yang wujud karena ia wujud (al-ilm bil maujudat bima hiya maujudah).15  Falsafah al-Farabi merupakan suatu intelektual dalam bentuk kongkrit dari apa yang disebut “Falsafah Pemaduan” (al-Falsafah (al -Falsafah at-Taufiqiyah) sebagai ciri yang sangat menonjol dari falsafah Islam. Pemikirannya merupakan  pemaduan falsafah Aristoteles, Plato dan New-Platonism New-Platonismee dengan pemikiran Islam yang bercorak aliran Syiah Imamiyah. Dalam ilmu logika dan fisika ia dipengaruhi oleh Aristoteles, dalam masalah akhlak dan politik ia dipengaruhi oleh Plato, dan dalam masalah metafisika ia dipengaruhi oleh Platinus. Oleh karena itu al-Farabi dipandang sebagi filosof Islam yang mula kali menciptakan falsafah Taufiqqiyah karena ia percaya adanya “Kesatuan Falsafah”(wahdatu alal Falsafah). Baginya, kebenaran itu hanya satu, sedangkan perbedaan pendapat hanyalah pada lahirnya saja, tidak ti dak pada hakikat. Sebenarnya Sebenarnya usaha pemaduan ini 13

  Ibid , hlm 35. Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), hlm 31. Sirajuddin Zar menulis angka tahun masehi 330 H ini dengan 945 M, Zar, S, Lok-C Lok-Cit it  14

15

  Sebuah Pengantar oleh Prof. 1991) H.Mukhtar Yahya dalam Hanafi, Ahmad, “ Pengantar Filsafat islam islam” ”,(Jakarta : Bulan-Bintang,

5

 

sudah lama dimulai sebelum al-Farabi, dan telah mendapatkan pengaruh yang luas dalam lapangan falsafah, terutama sejak munculnya aliran neoplatonisme.  Namun demikian, usaha al-Farabi lebih luas lagi karena ia bukan saja mempertemukan aneka aliran falsafah yang bermacam-macam, tetapi juga  berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun  berbeda corak-ragam corak-ragamnya. nya.16  Untuk itu guna memahami pemikiran Plato dan Aristoteles, al-Farabi secara khusus membaca karya kedua pemikir besar Yunani itu, yakni On the Soul sebanyak 200 kali dan Physics 40 kali. al-Farabi pun akhirnya mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan antara Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti penciptaan dunia, kekekalan ruh, serta siksaan dan pahala di akhirat kelak. Konsep Farabi mengenai alam, Tuhan, kenabian, esensi, dan eksistensi tak dapat dipisahkan antara keduanya. Mengenai proses penciptaan alam, ia memahami penciptaan alam melalui proses pemancaran (emanasi) dari Tuhan sejak zaman azali. 1.  Filsafat Metafisika dan Teori Emanasi

Secara bahasa Metafisika bahasa  Metafisika berasal  berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physika (sesudah fisika). Istilah ini merupakan merupakan judul yang diberikan Andronikos terhadap  terhadap  empat belas buku karya Aristoteles yang ditempatkan sesudah fisika yang terdiri  terdiri   dari delapan buku. Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah metafisika,   melainkan filsafat pertama (Proote Philosophy). Dalam bahasa Arab, istilah metafisika dikenal dengan ungkapan ma ba’d al -thabi’ah atau segala sesuatu dibalik realitas yang tampak.17  Saat ini kata metafisika memiliki beragam arti. Bisa berarti upaya untuk mengkarakterisasi mengkarak terisasi eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan dan bisa pula  bemakna upaya untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman, pengalaman, atau menyelidiki apa yang berada di balik realitas. Akan tetapi secara umum metafisika dapat dikatakan sebagai suatu pembahasan filsafat yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada. 18  Dalam kajian-kajian kuno, filsafat metafisika lebih banyak bertumpu  pada soal eksistensi (wujud) tuhan dan kuasa-Nya serta soal penciptaan alam. 16

 Daudy, A, Op.Cit, hal, 29. 

17

 

 

Esha, MI, Menuju MI,1996,  Menuju Pemikiran Filsafat  , (Malang :: UIN Maliky-Press, 2010), h. hal.  Kanisius 1996, Pengantar  Pengantar Filsafat (Yogyakarta Penerbit Kanisius, 2000), 4486  

18

6

 

Dalam konteks inilah pembicaraan tentang teori emanasi menjadi populer. Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya: Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut urut--urutan wujud”. Menurut al-Farabi, al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda.  Konsep ini erat kaitannya dengan teori wujud (eksistensi) yang oleh al-  Farabi dibagi menjadi dua bagian, yaitu :   1) Wujud yang mungkin ada karena lainnya (mumkin ( mumkin al-Wujub). al-Wujub). Seperti wujud  cahaya yang tidak akan ada kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu   sendiri menurt tabi’atnya  tabi’atnya  bisa wujud dan bisa pula tidak. Karena matahari  telah wujud, maka cahaya itu menjadi wujud disebabkan wujudnya matahari.   Wujud yang mungkin ini menjuadi bukti adanya sebab yang pertama, karena  segala yang mungkin harus berakhir pada suatu wujud yang nyata dan pertama kali ada. 

2) Wujud yang ada dengan sendirinya ( wajib al-wujud ). ). Wujud ini adalah wujud  yang tabi’atnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Kalau ia tidak ada, maka   yang lainpun tidak akan ada sama sekali, ia adalah sebab pertama bagi semua   wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan. 19  Berdasarkan konsep ini, al-Farabi berpendirian, bahwa seluruh yang ada  (maujud) tidak terlepas dari keadaan wajibul wujud atau mumkin wujud . Yang  mumkinul wujud lahir karena ada sebab, sedangkan yang wajibul wujud adalah  ada dengan tidak bersebab, ia memiliki zat yang agung dan sempurna, ia memiliki   kesanggupan mencipta dalam keseluruhan sejak azali.32 Sesuai dengan firman  Allah dalam Surat Yasin ayat 82.  ”Sesungguhnya segala urusan-Nya urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah  Berkata kepadanya: kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin ayat 82).   Al-Farabi berpendapat berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan   dari pemikiran ini timbul t imbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan merupakan wujud pertama (al  ( al   wujudul awwal ) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al ( al wujudul   tsani)) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al tsani ( al aklu awwal )  yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud   pertama dan dari pemikiran inilah i nilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) tsalis) disebut 

19

 Mustofa,

HA, “Sejarah Filsafat Islam”, Islam”, (Bandung : Pustaka Setia, 2015),, hal.134  

7

 

Akal Kedua (al (al aklu tsani). tsani). Lebih lanjut, urutan-urutan emanasi alal-‘Aqil ‘Aqil itu dapat digambarkan  sebagai berikut :  a. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah   Langit Pertama (al-Asmaul awwal),   b. Wujud III / Akal kedua menimbulkan menimbulkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni  bintangbintang),  c. Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet   Saturnus  d. Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet   Jupiter,  e. Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet   Mars,  f. Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni   Matahari,  g. Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni   Planet Venus,  h. Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni   Planet Mercurius,  i. Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni   Bulan.  Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada pemikiran Wujud   XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari  Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari keempa keempatt unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.  Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal dibataskan kepada bilangan   sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan.   Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang   tidak disertai sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah    bintang tersebut ada 9 (sembilan)? (sembilan)? Karena jumlah benda-be benda-benda nda angkasa menurut 

8

 

Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi menambah dua lagi, yaitu    benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap.  Ia menyatakan bahwa  jumlah akal ada sepuluh, sembilan di antaranya  untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan akal kesepuluh   yaitu akal bulan yang mengawasii dan mengurusi kehidupan dibumi. mengawas 2.  Filsafat kenabian

Filsafat kenabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya dengan agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan Allah yang diberikan AlKitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri. Allah berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 : ”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) (Al -Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan menjelaskan eksistensi para Nabi yang mempunyai jiwa  besar, dan membawa membawa pencerahanpencerahan-pencerahan pencerahan serta mempunyai mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal fa’al. Sebab lahirnya filsafat keke - Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya tentang keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW. Di antara kritikan yang di gambarkan olehnya adalah: pertama, Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan mengaruniakan manusia akal tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya. larangan-Nya. Kedua, ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada  bedanya Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan tempattempatt lainnya. tempattempa

9

 

Ketiga, mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu bisa bertasbih dan srigala  bisa berbicara. Kalau sekiranya sekiranya Allah membantu membantu umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam perang Uhud tidak. Keempat, al-Qur’an al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar    biasa. Orang yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah al-Qur’an, al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah Khalifah yang paling fasahah dikalangan orang Arab. Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca kitab suci, lebih berguna membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, logika dan obat-obatan menurutnya. Pendapat yang telah diungkapkannya adalah pendapat yang sangat  bertentangan dengan al-Qur’an al-Qur’an Surat An-Najm An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam ajaran Islam, al-Qur’an al-Qur’an adalah Wahyu Ilahi yang merupakan sumber inspirasi yang  yang    benar, dapat diterima akal, dipercaya melalui keyakinan, dan sumber pedoman pedoman hidup manusia. Siapa yang mengingkari Wahyu berarti ia telah menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan perbuatan ini dipandang sebuah pelanggaran dalam kehidupan. Dalam al-Qur’an al-Qur’an ada dijelaskan: dij elaskan:   ”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang  yang    bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (Q.S. al-Baqarah al -Baqarah:: 2-3).  Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi, maka dari itu ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan ketika  berhubungan dengan Akal Fa’al dapat menerima menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan  penjelasan   al-farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh. Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi ada kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan  pengetahuan filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari mempelajari filsafat semata tanpa

10

 

mempelajari Wahyu (al-Qur’an) (al-Qur’an) ia akan tersesat, karena antara keduanya samasama mendapatkan dari sumber yang sama, yak ni ni Akal Fa’al (Jibril). Begitu  pula mengenai mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad. Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang telah ia capai dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan kejiwaan. Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua sosok pribadi shaleh yang akan memimpin sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, karena keduanya dapat berhubungan dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan Negeri. Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih hubungan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.20  C.  Karya-ka Karya-karya rya Al- Farabi Karya-karya al-Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada abad pertengahan. Para bibliografer tradisional menisbahkan lebih dari seratus karya kepada al-Farabi. Namun karya-karya yang lebih banyak  berbentuk naskah naskah tersebut sebagiannya sebagiannya hanya hanya ditemukan ditemukan dalam terjemahantulisan terjemahantulisan Ibrani atau Latin dan baru sedikit yang disunting dan diterbitkan. Sehingga sulit untuk memberikan catatan komprehensif tentang berbagai segi dari karya dan  pemikiran al-Farabi. al-Farabi.21 Di antara karya-karya karya-karya Al-Farabi itu adalah : 1. Al-Jami’u Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Al -Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan (pertemuan/pe nggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles), 2. Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan), 3. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan pemerintahan), ), 4. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran), kebenaran), 5.

Arro’u

Ahli

Al

Madinati

Al

Fadilah

(pemikiran -pemikiran (pemikiran-pemikiran

utama

 pemerintahan))  pemerintahan 6. As Syiasyah (ilmu politik), 7. Fi Ma’ani Ma’ani Al Aqli, (makna Berfikir) 8. Ihsha’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu), 9. Isbatu Al Mufaraqat, (Ketetapan Berpisah)

20

 

 

Mustofa, Op.Cit , h.37 hal. 143 Bakar O, Op-Cit,

21

11

 

10. Al Ta’liqat. (Ketergantungan) (Ketergantungan)22  Buku al-Farabi al-Farabi yang bejudul “Ihsaul Ulum” merupakan teori keilmuan dan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu Bahasa, Mantiq, matematika, fisika,  politik, hukum dan ketuhanan yang sebenarnya telah pernah dibahas oleh para  penulis lain. Namun yang membuat buku itu istimewa adalah karena al-farabi mengkaitkan semua cabang ilmu tersebut dengan teori-teroi keislaman yang ia rangkum dalam dua cabang ilmu baru, yakni Fiqih (hukum Islam) dan ilmu Kalam yang sangat populer dibicarakan pada masa itu. 23  D.  Kritik Terhadap Pemikiran Al- Farabi Konsep pemikiran filosof muslim Al- Farabi memiliki corak warna yang mirip dengan Plato dan Aristoteles yang keduanya memiliki pegaruh kuat terhadap pemikiran Eropa, baik itu sebelum renaisans atau sesudahnya. Dalam  buku Majid Fakhry (2002:31) mengungkapkan mengungkapkan bahwa Al- Farabi memulai memulai risalahnya dalam karyanya al-  Jam bayna Ra’ya al- Hakimayn  Hakimayn  dengan menjelaskan alasannya melakukan rekonsilasi (penyatuan) antara pemikiran Plato dan Aristoteles Aristot eles berdasarkan pada fakta observasi yang didapatnya didapatn ya

mengenai

kedua tokoh ini dalam dunia kontemporer saat itu bahwa perselisihan keduanya dalam pertanyan-pertanyaan tentang apakah dunia ini abadi atau hanya bersifat sementara dan berlanjut pada pernyataan keduanya mengenai ketidak sepahaman atas beberapa pertanyaan tentang eksistensi sang pencipta, sifat alami, dari jiwa dan akal. Jika kita melihat ini, dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh AlFarabi hanya mencoba mendamaikan antara pemikiran kedua guru ini, dengan mempertemukan pikiran-pikiran keduanya yang pada dasarnya memiliki  persamaan.  persamaa n. Menurutnya perbedaan pendapat antara Plato dan Aristoteles hanyalah berada dipermukaan saja, sedangkan dalam substansinya keduanya sejati

adalah

sama.

Bahkan

jikalau

ada

perbedaan

tersebut

hanyalah

dimungkinkan dalam tiga hal saja yakni : 1.  Definisi Filsafat 2.  Pendapat komentator kedua tokoh tersebut tentang pikiran-pikiran filsafat mereka 3.  Pengetahuan dan pengalaman kehidupan keduanya yang berbeda

22 23 Mustofa,

Op-Cit, hal.127-128 Sudarsono, Op.Cit, h.32  

12

 

Meskipun

secara

umum,

Al-

Farabi

memang

telah

berhasil

merekonsiliasikan banyak hal tentang ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles, juga antara agama dan filsafat, sehingga banyak kalangan menilainya sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Kendati Al- Farabi dalam upaya pemaduan pikiran falsafah tersebut telah menunjukkan kesungguhan dan kemahiran yang cukup tinggi, namun usahanya itu tidak menghasilkan apa-apa karena asumsi yang dipakainya dibangun di atas  pondasi yang sangat ,lemah, yakni kepercayaan kepercayaan akan kesatuan filsafat.24 Bahkan  beberapa upaya upaya tersebut tampak seperti seperti dipaksakan. dipaksakan. Sebagaimana telah dibuktikan oleh sejumlah kalangan bahwa Al- Farabi  pernah keliru menganggap menganggap tidak terdapat perbedaan antara Plato dan Aristoteles. Letak kekeliruannya adalah ketika ia menduga bahwa buku Theologia (alRububiyyat) merupakan karangan Aristoteteles. Padahal sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus. Artinya, Al- Farabi dalam hal ini bukan merekonsiliasi Aristoteles dengan Plato, melainkan Plotinus dengan Plato yang secara prinsip memang sejalan.25  Bentuk rekonsiliasi yang “seolah dipaksakan” itu juga j uga tampak pada teori emanasi yang dikemukannya melalui sepuluh akal, yang secara struktural jelas dipengaruhi oleh temuan saintis saat itu, yakni sembilan planet dan satu bumi. Karena itu, ia membutuhkan sepuluh akal. Setiap akal mengurusi satu planet termasuk bumi. Sekiranya Al- Farabi hidup saat ini, tentu saja ia akan membutuhkan banyak sekali akal sebanyak planet yang ditemukan saintis sekarang.26  Di sisi lain, konsep Al- Farabi yang menyatakan hanya ada satu kebenaran, sehingga baik agama dan filsafat fil safat tidak akan bertentangan, seolah-olah telah menempatkan posisi para filosoft menjadi sederajat dengan para nabi,  bahkan lebih tinggi lagi. Lebih lanjut, A.Hanafi merangkum tiga pokok pikiran yang mengkritik faham tersebut : Pertama, teori Al- Farabi telah menempatkan Nabi di bawah filosof karena pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya. Akan tetapi nampaknya Al- Farabi tidak menganggap penting terhadap perbedaan tersebut, sebab selama sumbernya sama, yaitu Akal Fa’al, dan nilai keluarnya juga sama, maka tentang cara 24

 Daudi,

A., Op.Cit , hal, 32-33 

25

 

Zar, S, Op.Cit  S, Op.Cit , hal, 94   Ibid   Ibid , hal, 78

26

13

 

memperolehnya tidak menjadi sebuah persoalan. Dengan perkataan lain, nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara memperolehnya, melainkan keppada sumbernya. Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan; seorang Nabi dapat naik ke alam atas melalui pikiran, karena ada pikiran ada kekuatan suci yang memungkinkannya naik ke alam cahaya, tempat menerima perintah-perintah Tuhan. Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui imajinasinya saja, tetapi melalui kekuatan pikirannya yang besar. Kedua, apabila seoarang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al melalui pemikiran dan renungan, maka artinya kenabian menjadi semacam ilmu  pengetahuan yang bisa dicapai oleh setiap orang, atau menjadi perkara yang bisa dicari (muktasab), sedangkan menurut Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah sifatsifat (keadaan) yang berasal dari diri Nabi, bukan pula tingkatan yang bis a dicapai seseorang melalui ilmu dan usahanya, juga j uga bukanlah kesediaan psikologis yang memungkinkan dapat berhubungan dengan alam rohani, melainkan suatu kasih sayang yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa Al- Farabi berkata : filsafat itu tidak mudah diperoleh, sebab setiap orang bisa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai filsafat yang sebenarnya hanyalah sedikit saja. Al- Farabi juga menetapkan bahwa seorang Nabi mempunyai imajinasi yang luar biasa atau kekuatan rahasia tertentu. Boleh jadi menurut pendapatnya, imajinasi dan kekuatan tersebut bersifat Fitrah (mempunyai potensi dari sejak lahir), bukan yang bisa dicari, meskipun ia tidak jelas-jelas mengata mengatakan kan demikian. Ketiga, kalau sekiranya Al- Farabi dapat terlepas dari kedua kritik tersebut di atas, maka sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa tafsiran  psikologis terhadap Wahyu banyak berlawanan dengan nas-nas agama, di mana 20 Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia  biasa kadang terdengar oleh oleh Nabi seperti seperti bunyi lonceng.27  Di atas semua kritikan atas kelemahan-kelemahan tersebut, sebenarnya usaha Al- Farabi bukanlah sesuatu yang mengikuti hawa nafsunya. Melainkan sebagai upaya membela Islam dari serangan para filosoft yahudi dan atheis. Beliau sangat mendasarkan hidupnya atas kemurnia jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari kotoran kotoran merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan  buahnya. Baginya, dasar berfilsafat adalah memperdalam memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan kepada Allah sebagai penciptanya. 27

 Mustofa,

Op.Cit , hal, 143

14

 

Terkait faham kenabian yang seolah-olah ekstrim tersebut, sebelumnya telah disinggung bahwa teori sumber kebenaran itu dikemukakannya untuk menjawab serangan filosoft-filosoft yang menentang agama, seperti Ibn ar- Rawandi dan arRazi. Pada prinsipnya, kedua orang ini beranggapan bahwa nabi itu tidak perlu ada dan tidak ada yang berhak dianggap sebagai nabi, karena semua manusia itu sama sehingga tidak boleh ada manusia yang diistimewaka diistimewakan n atas yang lainnya.

15

 

BAB III PENUTUP A.  Kesimpulan Al-Farabi mempunyai nama lain di antaranya adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Thorkhan Ibn Al-UzalaghAl-Farabi, dikalangan orang-orang latin abad pertengahan Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunasaer). Sebenarnya nama julukan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, Beliau dilahirkan di desa Wasij di Distrik Farab (Utara, provinsi Transoxiana, Turkestan)

pada

tahun

257

H

(870M).

Al-Farabimeninggaldi

Damaskuspadabulan Rajab 339 H/Desember 950 M padausia 80 tahun, dandimakamkandiluargerba dandimakam kandiluargerbangkecil ngkecil (al-Babal-Sag (al-Babal-Saghir)kotabagianse hir)kotabagianselatan. latan. Bagi al-Farabi, tujuan filsafat dan agama adalah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakiniy dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedangkan agama memakai cara iqna’iy (pemuasan  perasaan) dan kiasan-kiasan kiasan-kiasan serta gambaran gambaran untuk semua orang. Pemahaman ini didasarkan pada pengertian al-Farabi tentang filsafat sebagai upaya untuk mengetahui semua yang wujud karena ia wujud (al-ilm bil maujudat bima hiya maujudah). Karya-karya al-Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada abad pertengahan. Para bibliografer tradisional menisbahkan lebih dari seratus karya kepada al-Farabi. Namun karya-karya yang lebih banyak  berbentuk naskah tersebut sebagiannya hanya ditemukan dalam terjemahan tulisan Ibrani atau Latin dan baru sedikit yang disunting dan diterbitkan. Sehingga sulit untuk memberikan catatan komprehensif tentang berbagai segi dari karya dan pemikiran al-Farabi.

16

 

DAFTAR PUSTAKA

Bakar, O, 1998,” 1998,”  Hierark  Hierarkii Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al Farabi, AlGhazali, AlGhazali, Quthb al-Din al-Syirazi al-Syirazi” ”, (Bandung : Penerbit Mizan). Daudi A, 1986, “ Kuyliah Filsafat Filsafat Islam”, Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang). Esha, MI, 2010 “ Menuju Pemikiran Pemikiran Filsafat ”, (Malang : UIN Maliky-Press). Ian, RN, 1992, 1992, “ Al-Farabi and His School  School ”, (Roudledge : London and New York,). Kanisius 1996, “ Pengantar Filsafat  Filsafat ” (Yogyaka (Yogyakarta rta : Penerbit Kanisius). Mustofa, 2015, “Sejarah “Sejarah Filsafat Islam”, Islam”, (Bandung : Pustaka Setia).  Nasution H, 1973,  1973, “ Falsafat & Mistisisme Mistisisme dalam Islam Islam” ”, (Jakarta : Bulan-Bintang). Bulan-Bintang). Sudarsono, 1997,  1997, “ Filsafat Islam” Islam”, (Jakarta : Rineka Cipta). Zar, Sirajuddin, 2012, “ Filsafat Islam Filosof Filosof dan filsafatnya”, filsafatnya”, (Jakarta : Rajawali Pers).

17

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF