Makalah Fatty Liver Edit

September 5, 2018 | Author: RaTih Kusumawardani | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Makalah Fatty Liver Edit...

Description

MAKALAH GASTROENTEROHEPAT GASTROENTEROHEPATOLOGI OLOGI

PATOGENESIS DAN PENATALAKSANAAN FATTY LIVER

Oleh: Danica Fitri Aulia

0610710027

M Putro Argo

0610710088

Ratih Ku Kusumawardani

0610710110

Rizki E Handoko

0610710117

Pembimbing: dr. Supriono, Sp.PD-KGEH

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM dr. SAIFUL ANWAR MALANG 2011

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Nonalco Nonalcoholi holic c fatty liver liver disease disease (NAFLD) (NAFLD) mulai mulai banyak banyak dikenal dikenal sebagai sebagai

penyebab morbiditas dan mortalitas pada penyakit hati (Duvnjak et al, 2007). Non-alco Non-alcoholi holic c fatty liver liver disease disease (NAFLD) (NAFLD) merupaka merupakan n penyebab penyebab umum dari penyakit penyakit hati kronis dan insidenn insidennya ya mengala mengalami mi peningka peningkatan tan di seluruh seluruh dunia dunia (Dabhi et al, 2008). Sebelum uji diagnostik untuk hepatitis C tersedia, kasus NAFLD seringkali salah didiagnosa sebagai non-A, non-B hepatitis. Namun sekarang setelah tes untuk hepatitis C dan E tersedia, NAFLD dapat didiagnosa lebih akurat. Awalnya, NAFLD diduga merupakan penyakit ringan dengan signifikansi klinis yang sedikit, namun namun saat saat ini telah telah disad disadari ari bahwa bahwa NAFLD NAFLD merupa merupakan kan penyeb penyebab ab utama utama cryptogenic cirrhosis pada hati (Dabhi et al, 2008). Nonalco Non alcoholi holic c fatty live liverr dise disease ase (NAF (NAFLD) LD) meru merupaka pakan n peny penyakit akit infl inflamas amasii kron kr onis is ya yang ng me meli lipu puti ti re rent ntan ang g pe peny nyak akit it ya yang ng lu luas as:: da dari ri si simp mple le st stea eato tosi sis; s; steatohep steat ohepatiti atitis, s, fibro fibrosis sis dan cirrh cirrhosis osis;; hing hingga ga hepa hepatocar tocarcino cinoma ma (Hij (Hijona ona et al, 2010). Nonal Nonalcoh coholi olic c fatty fatty liver liver diseas disease e (NAFLD (NAFLD)) merup merupaka akan n istila istilah h yang yang digunaka digunakan n untuk menjelas menjelaskan kan spektrum spektrum abnormali abnormalitas tas histologi histologi,, dari benign benign stea steato tosi sis s hing hingga ga nona nonalc lcoh ohol olic ic stea steato tohe hepa pati titi tis s (NAS (NASH) H),, pada pada oran orang g yang yang mengonsumsi mengonsumsi sedikit alkohol atau tidak mengonsumsi alcohol (Riley et al, 2007). Meskipun riwayat NAFLD belum sepenuhnya dipahami, namun data yang saat ini tersedia menunjukkan bahwa NAFLD memiliki potensi untuk menjadi sirosis, hepatocellular hepatocellular carcinoma (HCC), end-stage liver disease, liver-related death, dan kekambuhan setelah transplantasi. Terdapat pula spektrum yang berbeda dari penya penyaki kitt ini, ini, yakni yakni yang yang diseb disebut ut NAFLDNAFLD-ass associ ociate ated d subacu subacute te liver liver failur failure e (Basaranoglu (Basaranoglu and Neuschwander-Tetri, 2006). Nonalcoholic Nonalcoh olic fatty liver disease (NAFLD) memiliki karakteristik kerusakan hati yang sama dengan yang disebabkan oleh alkohol, namun NAFLD ini terjadi pada individu yang tidak mengonsumsi alkohol dalam jumlah toksik (Riley et al, 2007). NAFLD merupakan salah satu gangguan hati yang memiliki karakteristik steato steatosis sis makrov makrovesi esikul kuler er yang yang terja terjadi di tanpa tanpa pengo pengonsu nsumsi msian an alkoh alkohol ol atau atau pengonsumsian alkohol pada batas yang dapat ditoleransi oleh hati (kurang dari

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Nonalco Nonalcoholi holic c fatty liver liver disease disease (NAFLD) (NAFLD) mulai mulai banyak banyak dikenal dikenal sebagai sebagai

penyebab morbiditas dan mortalitas pada penyakit hati (Duvnjak et al, 2007). Non-alco Non-alcoholi holic c fatty liver liver disease disease (NAFLD) (NAFLD) merupaka merupakan n penyebab penyebab umum dari penyakit penyakit hati kronis dan insidenn insidennya ya mengala mengalami mi peningka peningkatan tan di seluruh seluruh dunia dunia (Dabhi et al, 2008). Sebelum uji diagnostik untuk hepatitis C tersedia, kasus NAFLD seringkali salah didiagnosa sebagai non-A, non-B hepatitis. Namun sekarang setelah tes untuk hepatitis C dan E tersedia, NAFLD dapat didiagnosa lebih akurat. Awalnya, NAFLD diduga merupakan penyakit ringan dengan signifikansi klinis yang sedikit, namun namun saat saat ini telah telah disad disadari ari bahwa bahwa NAFLD NAFLD merupa merupakan kan penyeb penyebab ab utama utama cryptogenic cirrhosis pada hati (Dabhi et al, 2008). Nonalco Non alcoholi holic c fatty live liverr dise disease ase (NAF (NAFLD) LD) meru merupaka pakan n peny penyakit akit infl inflamas amasii kron kr onis is ya yang ng me meli lipu puti ti re rent ntan ang g pe peny nyak akit it ya yang ng lu luas as:: da dari ri si simp mple le st stea eato tosi sis; s; steatohep steat ohepatiti atitis, s, fibro fibrosis sis dan cirrh cirrhosis osis;; hing hingga ga hepa hepatocar tocarcino cinoma ma (Hij (Hijona ona et al, 2010). Nonal Nonalcoh coholi olic c fatty fatty liver liver diseas disease e (NAFLD (NAFLD)) merup merupaka akan n istila istilah h yang yang digunaka digunakan n untuk menjelas menjelaskan kan spektrum spektrum abnormali abnormalitas tas histologi histologi,, dari benign benign stea steato tosi sis s hing hingga ga nona nonalc lcoh ohol olic ic stea steato tohe hepa pati titi tis s (NAS (NASH) H),, pada pada oran orang g yang yang mengonsumsi mengonsumsi sedikit alkohol atau tidak mengonsumsi alcohol (Riley et al, 2007). Meskipun riwayat NAFLD belum sepenuhnya dipahami, namun data yang saat ini tersedia menunjukkan bahwa NAFLD memiliki potensi untuk menjadi sirosis, hepatocellular hepatocellular carcinoma (HCC), end-stage liver disease, liver-related death, dan kekambuhan setelah transplantasi. Terdapat pula spektrum yang berbeda dari penya penyaki kitt ini, ini, yakni yakni yang yang diseb disebut ut NAFLDNAFLD-ass associ ociate ated d subacu subacute te liver liver failur failure e (Basaranoglu (Basaranoglu and Neuschwander-Tetri, 2006). Nonalcoholic Nonalcoh olic fatty liver disease (NAFLD) memiliki karakteristik kerusakan hati yang sama dengan yang disebabkan oleh alkohol, namun NAFLD ini terjadi pada individu yang tidak mengonsumsi alkohol dalam jumlah toksik (Riley et al, 2007). NAFLD merupakan salah satu gangguan hati yang memiliki karakteristik steato steatosis sis makrov makrovesi esikul kuler er yang yang terja terjadi di tanpa tanpa pengo pengonsu nsumsi msian an alkoh alkohol ol atau atau pengonsumsian alkohol pada batas yang dapat ditoleransi oleh hati (kurang dari

40 gram etanol per minggu). Gangguan hati tersebut dapat bervariasi mulai dari steatosis steatosis hepatis hepatis sederhan sederhana a tanpa tanpa disertai disertai peradan peradangan gan atau fibrosis fibrosis sampai sampai steato steatosis sis hepat hepatis is denga dengan n kompon komponen en nekroi nekroinfl nflama amasi si yang yang dapat dapat atau atau tidak tidak memiliki memiliki hubungan hubungan dengan fibrosis fibrosis ( non-alcoholic non-alcoholic steatohepatitis-NA steatohepatitis-NASH) SH) dan dapat berlanjut menjadi sirosis (Duvnjak et al, 2007). Meskipun Meskipun hubunga hubungan n antara antara steatosis steatosis makroves makrovesikul ikuler er pada hati dengan dengan perub perubah ahan an perad peradan angan gan dan fibros fibrosis is pada pada obesi obesitas tas telah telah diketa diketahu huii selama selama beberapa beberapa dekade, dekade, namun namun secara secara klinis klinis hal tersebut tersebut masih masih diabaik diabaikan. an. Istilah Istilah “nonalcoholic pertama ma kali kali diken dikenal alkan kan pada pada tahun tahun 1980 1980 oleh oleh nonalcoholic steatohepatitis” steatohepatitis” perta Ludwig et al dan al  dan digunakan untuk mendeskripsikan keluhan klinis di mana hasil biopsi hati penderita mirip dengan alkoholik hepatitis namun hampir tidak ada riwayat mengonsumsi alkohol secara signifikan (Duvnjak et al, 2007).

1.2

Epidemiologi Preval Pre valen ensi si NAF NAFLD LD tid tidak ak di diket ketah ahui ui sec secara ara pas pasti, ti, nam namun un ber berda dasar sarkan kan

berbagai penelitian berkisar antara 3% hingga 24% (Hijona et al, 2010). NAFLD merupakan penyakit hati yang sangat sering terjadi di Amerika Serikat, yang meng mengen enai ai

seki sekita tarr

20% 20%

popu popula lasi si

dewa dewasa sa..

Di

nega negara ra-n -neg egar ara a

lain lainny nya, a,

prevalen prevalensiny sinya a berkisar berkisar antara 10 hingga hingga 24% dari populasi populasi.. Pada golongan golongan obese, prevalensinya meningkat menjadi 57 hingga 74% dan 25 hingga 75% pada pada orang orang obese obese yang yang menga mengalam lamii diabe diabetes tes.. NASH NASH merupa merupakan kan penyeb penyebab ab penyakit hati tersering ketiga setelah hepatitis C dan penyalahgunaan alkohol di Amerika Serikat (Dabhi et al, 2008). Prevalensi ini kemungkinan akan meningkat seiring pertambahan waktu, karena adanya peningkatan prevalensi overweight dan obesitas (Riley et al, 2007). Diperkirakan sekitar 10% hingga 40% populasi dewasa di Amerika Serikat mengal mengalami ami bebera beberapa pa tahapa tahapan n NAFLD NAFLD,, dan dan sekita sekitarr 2 hingga hingga 5% menga mengalam lamii NASH. NASH merupakan penyakit hati yang paling sering terjadi di Australia dan New Zealand. Prevalensi dari penyakit lanjut bervariasi pada tiap-tiap populasi yang diteliti, contohnya pasien hispanik dengan NAFLD memiliki kemungkinan untuk untuk menja menjadi di NASH NASH dan sirosi sirosis s hepat hepatis is lebi lebih h serin sering g diban dibandin ding g kulit kulit hitam hitam maupun maupun kulit kulit putih. putih. NAFLD NAFLD merupaka merupakan n abnormal abnormalitas itas histolog histologii tersering tersering pada pasien dengan peningkatan enzim liver yang tidak dapat dijelaskan di negara-

negara industri. Obesitas dan diabetes juga merupakan faktor resiko penting pada penyakit lanjut (Basaranoglu and Neuschwander-Tetri, 2006). Insiden dan prevalensi NAFLD secara pasti masih belum diketahui. Studi populasi lebih banyak menggunakan modalitas imaging atau kadar serum alanine aminotransferase untuk mendiagnosis NAFLD. Studi tersebut terbatas pada ketidakmampuan untuk membuat diagnosis definitif pada NAFLD atau untuk membedakan antara NAFLD dan NASH yang memerlukan biopsi hati. Studi lain yang menggunakan definisi ketat untuk mendiagnosis termasuk biopsi biasanya berdasarkan pada subset spesifik pada populasi (contoh: diabetes, obesitas, pasien yang dirawat di rumah sakit) dan tidak dapat diaplikasikan pada populasi secara umum (Duvnjak et al, 2007). Meskipun data yang telah diterbitkan terbatas, beberapa fakta mulai muncul. Fatty liver dan NASH telah dilaporkan pada semua kelompok umur  termasuk anak-anak. Prevalensinya meningkat seiring meningkatnya berat badan. Fatty liver telah didokumentasikan pada 10-15% individu normal dan 7080% individu yang memiliki obesitas. Sekitar 3% dari individu normal dan 15-20% subyek obesitas (BMI > 35 kg/m2) memiliki steatohepatitis. Penemuan ini memerlukan perhatian khusus seiring meningkatnya prevalensi obesitas pada seluruh grup usia. Prevalensi tertinggi adalah pada usia 40-60 tahun. Walaupun studi terdahulu menemukan prevalensi NASH lebih tinggi pada wanita (65-85% dari seluruh subyek), beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa NASH dapat terjadi secara seimbang pada pria maupun wanita (Duvnjak et al, 2007). Sindroma metabolik dikarakteristikkan sebagai obesitas, hiperinsulinemia, resistensi insulin perifer, diabetes, hipertrigliseridemia, dan hipertensi. Diabetes mellitus tipe 2 adalah komponen mayor dari sindroma metabolik dan dikaitkan dengan baik obesitas maupun NASH dan telah didapatkan pada 34-75% penderita dengan NASH. Diabetes tidak hanya berkaitan dengan NAFLD, tetapi  juga menjadi faktor risiko untuk berkembangnya fibrosis hati secara progresif. Obesitas telah dilaporkan pada 70-100% kasus NASH dan sebagian besar  penderita memiliki berat badan 10-40% di atas berat badan ideal. Sejumlah laporan telah melaporkan adanya resolusi pada fatty liver diikuti dengan penurunan berat badan secara bertahap. Subyek dengan obesitas abdomen lebih rentan terhadap diabetes, hipertensi, dan fatty liver. Hiperlipidemia (hipertrigliseridemia dan/atau hiperkolesterolemia), yang sering dikaitkan dengan

obesitas dan diabetes tipe 2 telah dilaporkan pada 20-80% penderita dengan NASH (Duvnjak et al, 2007).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi NAFLD merupakan deposisi lemak di hati pada subjek yang non-alkoholik,

suatu kondisi yang mungkin memburuk menjadi end-stage liver disease. Spektrum perburukan NAFLD sama dengan alcoholic liver disease, namun tidak disebabkan konsumsi alkohol kronis. Spektrum perubahan patologis pada NAFLD terdiri dari 4 tipe (Tabel I). Implikasi klinis NAFLD adalah signifikansinya pada populasi umum dan kemungkinan perburukannya menjadi sirosis hepatis dan liver cell failure (Dabhi et al, 2008). NAFLD didefinisikan sebagai adanya lemak yang berlebihan pada hati, yang terdeteksi baik melalui imaging maupun biopsi hati. NAFLD merupakan diagnosa eksklusi pada pasien yang tidak mengalami penyakit hati lainnya; namun semenjak berkembangnya kriteria histologik, terdapat pula NAFLD dan NASH yang disertai bentuk lain penyakit hati. Untuk menegakkan diagnosa, pasien harus bebas dari alkohol atau hanya minum alkohol sesekali. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa maximal safe level dari konsumsi ethanol adalah 30 gram / hari, meski kriteria yang lebih ketat seperti 20 gram / hari untuk pria dan 10 gram / hari untuk wanita juga sering digunakan pada penelitian terhadap pasien dengan NAFLD (Basaranoglu and Neuschwander-Tetri, 2006). Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) meliputi spektrum luas dari penyakit hati, mulai dari fatty liver sederhana (steatosis), sampai ke nonalcoholic  steatohepatitis (NASH), dan sirosis (irreversible, advanced scarring of the liver ). Pada semua derajat NAFLD terjadi akumulasi lemak (fatty infiltration) ke dalam sel-sel hati (hepatocytes). Pada NASH, akumulasi lemak dihubungkan dengan derajat yang bervariasi dari peradangan (hepatitis) dan fibrosis hati. Istilah “nonalchoholic ” dipakai karena NAFLD dan NASH terjadi pada individu yang tidak mengonsumsi alkohol secara berlebihan. Pada banyak aspek, gambaran histologi dari NAFLD sama dengan gambaran histologi pada penyakit hati yang disebabkan oleh konsumsi alkohol berlebihan. Namun gambaran klinis pada NAFLD dan NASH sangatlah berbeda dengan gambaran klinis pada alcoholic liver disease (ALD).

Spektrum NAFLD diperkirakan bermula dan berkembang dari tingkat yang paling sederhana yang disebut fatty liver sederhana (steatosis). Jadi fatty liver  adalah kelainan awal dalam spektrum NAFLD. Fatty liver sederhana hanya terkait dengan akumulasi lemak di dalam sel-sel hati tanpa peradangan atau fibrosis (scarring ) . Lemak sesungguhnya terdiri dari tipe lemak khusus (triglyceride) yang berakumulasi pada kantong kecil di dalam sel-sel hati. Akumulasi lemak di dalam sel-sel hati tidak sama dengan sel-sel lemak (adipocytes) yang membentuk lemak tubuh kita. Fatty liver adalah kondisi yang tidak berbahaya, yang berarti dia sendiri tidak akan menyebabkan kerusakan hati yang signifikan (Duvnjak et al, 2007). Tingkat selanjutnya dan derajat keparahan dalam spektrum NAFLD adalah NASH. Beruntung hanya sebagian kecil dari pasien dengan fatty liver sederhana yang berkembang menjadi NASH. Seperti yang sudah disinggung, NASH melibatkan akumulasi lemak di dalam sel-sel hati dan juga peradangan hati. Selsel yang meradang dapat menghancurkan sel-sel hati ( hepatocellular necrosis). Dalam istilah "steatohepatitis" dan "steatonecrosis", steato mengacu pada fatty  infiltration, hepatitis mengacu pada peradangan di dalam hati, dan necrosis mengacu pada sel-sel hati yang rusak. Bukti kuat menunjukan bahwa NASH, berlawanan dengan fatty liver sederhana, bukanlah suatu kondisi yang tidak berbahaya. Ini berarti bahwa NASH pada akhirnya dapat menjurus ke fibrosis hati dan kemudian fibrosis berlanjut dan tidak dapat dikembalikan seperti semula (sirosis). Sirosis yang disebabkan oleh NASH adalah tingkat terakhir dan yang paling buruk dalam spektrum NAFLD (Duvnjak et al, 2007). NAFLD dimulai dengan fatty liver, berlanjut ke NASH dan berakhir dengan sirosis. NASH merupakan tahap yang melibatkan akumulasi lemak (steatosis), peradangan (hepatitis) dan scarring (fibrosis) di dalam hati.

2.2

Patogenesis Terdapat dua tipe dari NAFLD yang telah diketahui: NAFLD primer 

(berkaitan dengan sindroma metabolik) dan NAFLD sekunder (berkaitan dengan kondisi metabolik atau iatrogenik spesifik lainnya yang berbeda dari sindroma metabolik) (Duvnjak et al, 2007). Patogenesis pada NAFLD ditandai oleh deposisi lemak, inflamasi, dan fibrosis hati yang diuraikan sebagai berikut (Riley et al, 2007):



Deposisi lemak: terjadi deposisi lemak makrovesikular pada hati.



Inflamasi: terjadi steatohepatitis sebagai konsekuensi dari berbagai faktor, resistensi insulin menyebabkan akumulasi free fatty acids; dan mekanisme lain seperti stres oksidatif, peroksidasi lipid, endotoksin, dan sebagainya. Berbagai sitokin, seperti tumor necrosis factor (TNF) dan interleukins (IL-6, IL-8) berperan terhadap terjadinya inflamasi. TNF terutama mempengaruhi sintesa trigliserida di hati. Fibrosis: steatohepatitis memburuk menjadi peningkatan fibrsis dan



kemudian terjadi sirosis. Sekitar 12% dengan NAFLD memburuk menjadi sirosis dalam 7 tahun. Sirosis yang terjadi sekunder terhadap NASH dapat memburuk menjadi hepatocellular carcinoma.

Prediktor terhadap terjadinya NASH dan fibrosis lanjut dapat dihitung menggunakan sistem scoring sebagai berikut (Dabhi et al, 2008): HAIR score 1. Hipertensi 2. Alanine transaminase (ALT) > 40 IU/l 3. Resistensi insulin (IR) index > 5 Adanya 2 dari 3 kriteria tersebut merupakan prediktor terjadinya NASH. BAAT score 1. Body mass index (BMI) > 28 kg/m2 2. Usia > 50 tahun 3. Peningkatan ALT > 2 kali lipat 4. TG > 1.7 mmol/l Tidak ada atau hanya terdapat 1 faktor menyingkirkan kemungkinan fibrosis atau sirosis.

Jaringan adiposa kini disadari sebagai sumber metabolik yang penting dan mediator inflamasi. Adipokin ini memiliki efek proinflamasi (leptin, TNF-α, and IL6) dan anti-inflamasi (adiponectin). Adiponectin juga memiliki efek antilipogenik. Adipokin mengatur glukosa perifer dan hepatik serta metabolisme lipid. Meskipun sitokin dan hormon ini secara normal bekerja dalam keseimbangan, homeostasis

ini dapat mengalami kerusakan pada pasien NASH. Pasien NASH mengalami penurunan kadar adiponektin dan peningkatan kadar TNF-α (Hijona et al, 2010). Hepatocyte Injury dan Patologi NASH

Hepatocyte ballooning  merupakan gambaran injury yang didapatkan pada biopsi hati NASH. Belum diketahui pasti apakah ballooning hepatocytes merupakan perubahan adaptif (fisiologis) atau degeneratif (patologis) hepatosit. Respon awal hepatosit terhadap stressor adalah peningkatan volume, dan perubahan volume ringan (hingga 5–10%) tanpa bukti biokimia radikal bebas dapat merupakan fisiologis atau adaptif. Namun, pembengkakan hepatosit yang lebih besar (≥30% peningkatan volume) umumnya degeneratif dan dapat menyebabkan ekspresi protein stress, macromolecular overcrowding , kerusakan arsitektur seluler, pembentukan hialin Mallory, apoptosis hepatosit, nekrosis, dan kematian se (Basaranoglu and Neuschwander-Tetri, 2006).

Patofisiologi NAFLD primer masih belum diketahui dengan jelas. Salah satu hipotesa mengenai patogenesis NAFLD adalah “two-hit” hypothesis yang diperkenalkan oleh Day dan James pada tahun 1998. Berdasarkan paradigma ini, abnormalitas primer adalah gangguan metabolik, paling sering akibat resistensi insulin, yang menyebabkan NAFLD. Kemudian terjadi second hit menyebabkan terjadinya injury dan inflamasi, atau NASH dan sekuelenya (Hijona et al, 2010).

First Hit Akumulasi lemak pada hati merupakan “first hit” pertama, yang merupakan akibat dari akumulasi trigliserida yang berlebihan yang disebabkan oleh perbedaan antara pemasukan dan sintesis dari lemak hati pada satu sisi dan βoksidasi serta ekspor ke yang lainnya. Ketidakseimbangan ini terjadi bersama dengan faktor-faktor etiologi lainnya yang sudah disebutkan sebelumnya (Duvnjak et al, 2007). Adanya lemak yang berlebihan merupakan persyaratan terjadinya kejadian berikutnya dari NASH. Karakteristik utama NAFLD adalah akumulasi trigliserida (TG) sebagai droplet lemak di antara sitoplasma hepatosit. Hal ini didefinisikan secara praktis sebagai didapatkannya lebih dari 10% hepatosit yang memiliki droplet lemak pada biopsi hati. Peningkatan transport free fatty acids (FFA) dan

TG menuju ke hati, penurunan penggunaan FFA oleh hati, penurunan transport TG keluar dari hati, dan kegagalan beta-oksidasi FFA di antara hepatosit menyebabkan

akumulasi

TG di antara sitoplasma hepatosit. Kelebihan

karbohidrat, baik dari sumber diet atau de novo gluconeogenesis di hati, merupakan stimulus utama terhadap sintesa asam lemak de novo di hati. Sebaliknya, pengambilan langsung lemak diet sebagai chylomicron remnants atau FFA merupakan faktor yang memiliki peranan relatif kecil terhadap akumulasi lemak hati (Basaranoglu and Neuschwander-Tetri, 2006). Resistensi insulin merupakan penyebab utama akumulasi lemak di hati. Namun, kita juga mengetahui bahwa subgrup kecil dari pasien NAFLD tidak menunjukkan gambaran kegagalan sensitivitas insulin yang dapat dideteksi. Hal ini mendukung kemungkinan selain resistensi insulin yang juga penting pada kelompok pasien tersebut. Kemudian, bukti-bukti selanjutnya mendukung bahwa resistensi insulin tidak hanya berperan sebagai first hit, namun juga memegang peranan penting dalam inflamasi dan hepatocyte injury  yang menggambarkan NASH (Hijona et al, 2007).

Second Hit Hati dengan kelebihan lemak lebih rentan terhadap stressor seperti reactive oxygen species (ROS), adipokin, dan sitokin, dibandingkan dengan hati normal. Kapasitas regeneratif fatty liver juga mengalami gangguan. Namun, faktor yang memainkan peranan kunci perkembangan NASH dari NAFLD masih belum diketahui pasti. Beberapa kemungkinan meliputi durasi infiltrasi lemak ke dalam hati dan durasi serta keparahan hiperinsulinemia. Second hit lain yang memungkinkan adalah stress oksidatif (peningkatan ROS dan penurunan antioksidan), peroksidasi lipid dan metabolit reaktif seperti malondialdehyde dan 4-hydroxynonenal, produk jaringan adiposa, transforming growth factor-β,1 Fas ligand, disfungsi mitokondria dan defisiensi rantai respiratorik, dan small intestinal bacterial overgrowth (endotoxin dan TNF-α) (Basaranoglu and NeuschwanderTetri, 2006). Steatotic liver  kemudian menjadi rentan atau disebut juga “second hits” yang berakibat kerusakan, peradangan, dan fibrosis sel-sel hati. Teori yang paling banyak didukung adalah yang melibatkan resistensi insulin sebagai manifestasi utama pada NAFLD primer, yang mengarah pada steatosis hati dan

mungkin juga steatohepatitis. Faktor-faktor yang diduga memprakarsai “second hits” adalah stres oksidatif dan subsekuen peroksida lipid, sitokin proinflamasi (terutama TNF-α), dan hormon-hormon yang berasal dari jaringan adiposa (adipositokin) (Hijona et al, 2010).

Obesitas, diabetes tipe 2, hiperlipidemia, dan kondisi-kondisi lain yang terkait dengan resistensi insulin umumnya muncul pada pasien dengan NAFLD. Resistensi insulin juga didapatkan pada pasien dengan NAFLD yang tidak obesitas dan mereka yang memiliki toleransi glukosa normal. Mekanisme molekuler yang memicu resistensi insulin cukup rumit dan belum diuraikan seluruhnya. Beberapa molekul (TNF-α, PC-1 membrane glycoprotein, leptin, dan asam

lemak)

tampaknya

mengganggu

jalur

sinyal

insulin.

Perubahan

metabolisme lemak terkait dengan resistensi insulin hasil dari interaksi antara efek resistensi insulin terlokasi primer pada lemak dan jaringan adiposa serta dampak dari kompensasi hiperinsulinemia pada jaringan yang tetap sensitif pada insulin. Perubahan tersebut meliputi peningkatan lipolisis perifer, peningkatan uptake hati terhadap FFA dan peningkatan sintesis trigliserida hati. Influks FFA dan neosintesis oksidasi FFA serta sekresi trigliserida menghasillkan efek berlanjut pada akumulasi lemak hati. Hal ini dapat menjelaskan kunci penting resistensi insulin pada perkembangan steatosis hati dan steatohepatitis (Duvnjak et al, 2007). Penumpukan lemak di dalam sel-sel hati mempunyai beberapa efek. FFA menghalangi pensinyalan insulin dan menyebabkan terjadinya resistensi insulin hati melalui mekanisme yang memerlukan pengaktifan PKC-3, JNK, I-B kinase (IKK-) dan NFkB. Resistensi insulin hati menambah oksidasi asam lemak di dalam mitokondria. FFA dan hasil metabolismenya merupakan ligand untuk  peroxisomal proliferators-activated receptor - (PPAR-) yaitu faktor transkripsi yang mengatur ekspresi gen yang menyandikan enzim yang terlibat di mitokondria, peroksisomal dan oksidasi asam lemak mikrosomal. Pada akhirnya efek yang timbul dari penumpukan lemak di hati (adanya resistensi insulin dan peningkatan regulasi dari PPAR-α-regulated genes) adalah peningkatan oksidasi FFA (Duvnjak et al, 2007). Oksidasi mitokondria dan asam lemak peroksisomal dapat memproduksi radikal oksigen bebas hepatotoksik yang berkontribusi terhadap perkembangan

stres oksidatif. Berdasarkan data-data yang ada, tampak resistensi insulin dapat menyebabkan kedua “hits” pada patogenesis NASH. Abnormalitas struktur  mitokondria ditemukan pada pasien-pasien dengan NASH, namun tidak pada pasien-pasien dengan steatosis hepatis sederhana. Ditemukan juga bahwa ekpresi beberapa gen yang penting untuk fungsi mitokondria ditekan pada pasien-pasien dengan NASH (Duvnjak et al, 2007). Banyak studi yang mendemonstrasikan bahwa stres oksidatif merupakan ciri yang menonjol pada NASH. Terlepas dari sel-sel hati, produksi ROS dan stres oksidatif pada pasien obesitas juga dapat berasal dari jaringan adiposa (baik pada adiposit maupun pada makrofag yang menginfiltrasi jaringan adiposa). Sel inflamatori dalam hati merupakan sumber potensial ketiga dari ROS dan stres oksidatif, terutama dalam pengaturan steatoepatitis yang sudah berkembang (Duvnjak et al, 2007). Hal ini dapat terjadi dengan tiga mekanisme utama: peroksidasi lemak, induksi sitokin dan induksi Fas ligand. Peroksidasi lemak yang dipicu oleh ROS pada membran plasma atau mitokondria menyebabkan nekrosis sel atau menginduksi

apoptosis.

Peroksidasi

lemak

juga

memicu

keluarnya

malondialdehyde (MDA) dan 4-hydroxynonenal  (HNE) yang dapat mengikat protein sel-sel hati membentuk neoantigen dan memicu respon imun yang berbahaya, cross-link  sitokeratin untuk membentuk Mallory hyaline, atau mengaktivasi sel stellata hati memicu sintesis kolagen dan menstimulasi kemotaksis neutrofil (Duvnjak et al, 2007). Selain itu, terdapat beberapa data yang meyakinkan bahwa sitokin inflamatori (TNF-α, IL-6 dan IL-1β) juga memegang peranan penting pada patogenesis NAFLD, yaitu dapat menyebabkan resistensi insulin sistemik dan hati. Selain itu juga dapat menyebabkan kerusakan sel-sel hati dan apoptosis, kemotaksis neutrofil, dan aktivasi sel stellata hati. Crespo et al telah menemukan bahwa pasien obesitas dengan NASH dibandingkan dengan mereka yang tidak obesitas secara signifikan terjadi peningkatan ekspresi hati TNF- α dan reseptor  P55, serta terjadi peningkatan ekspresi TNF- α dalam jaringan adiposa. Ekspresi yang meningkat ini berhubungan dengan derajat fibrosis hati. Akumulasi FFA pada sel-sel hati menstimulasi ekspresi sitokin inflamatori NF-κB-dependent (TNF-α, IL-6, IL-1β). Sel Kupffer sebagai makrofag yang spesifik pada hati juga merupakan sumber potensial untuk sitokin proinflamatori. Stimulus aktivasi dapat

berupa sitokin derivat dari sel-sel hati, klirens dari deposit lemak teroksidasi melalui reseptor  scavenger , atau endotoksin derivat dari usus pada pasien dengan pertumbuhan bakteri yang berlebih pada usus kecil (Duvnjak et al, 2007). Pada akhirnya jaringan adiposa pada orang obesitas diinfiltrasi oleh makrofag dan membuatnya menjadi sumber lain dari sitokin proinflamatori. Sitokin diproduksi oleh makrofag jaringan adiposa (terutama TNF-α) yang dapat menjadi perantara resistensi insulin sistemik dan hati, serta menyebabkan penurunan sekresi adiponektin adipositokin protektif (Duvnjak et al, 2007). Adipositokin merupakan peptida-peptida yang diproduksi oleh jaringan adiposa viseral. Di antaranya adiponektin dan leptin yang secara langsung terlibat dalam jalur metabolik dan inflamatori yang berbeda dan terutama penting pada patogenesis NAFLD. Adiponektin tampaknya memiliki peran penting dalam meningkatkan oksidasi asam lemak dan menurunkan sintesis asam lemak. Hati dan sel otot memiliki reseptor adiponektin. Stimulasi pada reseptor adiponektin di hati menyebabkan aktivasi dari PPAR-α dan   AMP-activated protein kinase (AMPK). Karenanya, adiponektin meningkatkan β-oksidasi asam lemak dan menurunkan konten trigliserida hati dan resistensi insulin hati (Duvnjak et al, 2007). Adiponektin juga memiliki efek langsung anti-peradangan, menekan produksi TNF-α pada hati. Studi terbaru menunjukkan penurunan kadar serum adiponektin dan penurunan ekspresi hati terhadap reseptornya pada pasien dengan NASH dibandingkan dengan mereka yang memiliki steatosis sederhana. Tampaknya peningkatan produksi dari TNF-α dan generasi ROS bertanggung   jawab atas pengurangan sekresi adiponektin. Hal ini sekali lagi melibatkan bahwa TNF-α dan supresi adiponektin melalui ROS memegang peranan penting pada patogenesis dari NAFLD progresif. Sebuah studi terhadap tikus obesitas dengan defisiensi leptin menunjukkan perbaikan signifikan pada steatosis hati, hepatomegali, dan kadar aminotransferase diikuti administrasi adiponektin (Duvnjak et al, 2007). Leptin merupakan peptida lain yang diproduksi di jaringan adiposa yang dapat memiliki peran penting pada perkembangan resistensi insulin. Leptin menginaktivasi substrat reseptor insulin (defosforilasi substrat reseptor insulin) sehingga menginduksi resistensi insulin perifer dan hati. Kadar leptin darah berhubungan dengan derajat fibrosis pada pasien dengan hepatitis C kronis.

Namun Angulo et al  tidak menemukan adanya korelasi antara kadar leptin dengan derajat fibrosis hati pada studi terhadap 88 pasien dengan NAFLD. Cohen et al   telah menemukan bahwa leptin, pada kadar yang dapat dibandingkan dengan pasien obesitas secara individu, menginduksi resistensi insulin hati melalui defosforilasi terhadap substrat reseptor insulin (Duvnjak et al, 2007). Pada akhirnya, kerusakan sel-sel hati dan peradangan terkait akan memicu aktivasi sel stellata hati dan sintesis protein matriks ekstraseluler dengan fibrosis hati sebagai konsekuensi akhir. Sebagai tambahan, kematian sel apoptosis juga merupakan faktor penting pada fibrogenesis hati. Hal ini memicu aktivasi sel stellata dengan cara pencernaan sel-sel hati terapoptosi oleh sel Kupffer dan pengeluaran berikutnya dari TGF-β. Terdapat beberapa mediator lain yang mungkin terlibat dalam patogenesis fibrosis hati pada NAFLD. Leptin adipositokin dapat

memegang

peranan

pada

fibrogenesis.

Berkurangnya

produksi

adiponektin terkait dengan obesitas juga berkontribusi terhadap berkembangnya fibrosis hati (Duvnjak et al, 2007). Angiotensin, yang juga disekresi oleh jaringan adiposa dan ditingkatkan di serum,

memiliki

efek

profibrogenik.

Pada

akhirnya

hiperglikemi

dan

hiperinsulinemi terkait dengan resistensi insulin juga merupakan faktor kunci pada perkembangan fibrosis melalui up-regulasi faktor pertumbuhan sintesis  jaringan ikat oleh sel stellata. Meskipun semua kemajuan baru-baru ini dalam memahami patogenesis NAFLD, namun alasan mengapa hanya sebagian kecil pasien dengan faktor risiko klasik untuk NAFLD berkembang menjadi lebih dari sekedar steatosis sederhana masih belum jelas (Duvnjak et al, 2007).

2.3

Faktor Risiko Terlepas dari meningkatnya ketertarikan dan proses signifikan dalam

memahami NAFLD, perjalanan penyakit NAFLD sendiri masih belum dapat didefinisikan dengan jelas. Alasannya adalah kurangnya studi histologis lanjutan dengan prospek bagus. Namun beberapa konsep telah jelas: NASH lebih jarang berproses menjadi sirosis dan angka harapan hidupnya lebih baik dibandingkan alkoholik steatohepatitis (Duvnjak et al, 2007). Meskipun begitu, pada studi populasi yang menggunakan data dari proyek epidemiologi luas jangka panjang, pasien-pasien dengan NAFLD memiliki sedikit

mortalitas

lebih

tinggi

dibandingkan

populasi

umum.

Kematian

yang

berhubungan dengan penyakit hati termasuk urutan ketiga penyebab mortalitas terbanyak

pada

pasien-pasien

tersebut,

dibandingkan

dengan

kematian

kematian karena penyakit hati pada populasi umumnya di mana terdapat pada urutan ke-13. Studi retrospektif lainnya dari 132 pasien menemukan bahwa hasil yang kurang baik (sirosis dan kematian terkait penyakit hati) terjadi pada 22% pasien yang dari hasil inisial biopsinya menunjukkan ballooning degeneration dan Mallory hyaline atau fibrosis, dibandingkan dengan 4% pada pasien yang hanya terdapat steatosis saja (Duvnjak et al, 2007). Terdapat banyak spekulasi terhadap rasio dari progres penyakit. Studi ditunjang dengan biopsi menunjukkan progres histologi pada 30-50% pasien dengan NASH, tetapi kesimpulannya terbatas karena jumlah pasien yang sedikit. Laporan terbanyak tentang pasien NAFLD dengan biopsi hati diterbitkan tahun 2005 termasuk 103 pasien dengan rata-rata interval 3.2 tahun antarbiopsi. Derajat fibrosis berkembang pada 37%, tetap stabil pada 34% dan berkurang pada 29% pasien. Diabetes, derajat awal fibrosis rendah dan BMI yang lebih tinggi dikaitkan dengan rasio perkembangan fibrosis yang lebih tinggi (Duvnjak et al, 2007). Studi lain terhadap 22 pasien dengan median jarak 4.3 tahun antarbiopsi  juga menunjukkan progres dari fibrosis pada sekitar sepertiga pasien, dengan obesitas dan BMI yang lebih tinggi menjadi satu-satunya faktor yang berhubungan (Duvnjak et al, 2007). Berdasarkan hasil-hasil tersebut sudah jelas bahwa NAFLD, khususnya NASH, bukan sepenuhnya kondisi jinak seperti awal orang mengiranya. Bahkan sudah jelas dapat berkembang menjadi penyakit hati stadium akhir, dan beberapa pasien dengan NAFLD dapat berakhir dengan membutuhkan transplantasi hati (Duvnjak et al, 2007). Menariknya,

steatosis

dan

steatohepatitis

dapat

kambuh

setelah

transplantasi hati. Selain itu, beberapa studi menduga bahwa hepatocellular  carcinoma (HCC) dapat menjadi salah satu hasil dari NAFLD. Studi lebih lanjut dibutuhkan sebelum risiko terjadinya HCC pada NAFLD dapat benar-benar  dibuktikan (Duvnjak et al, 2007).

2.4

Gejala dan Tanda Secara umum, gejala-gejala dari NAFLD dan NASH sama. Keduanya

muncul perlahan dan tidak spesifik (dapat juga diamati pada penyakit-penyakit lainnya). Keduanya dapat terjadi baik pada usia dewasa, maupun pada anakanak, umumnya timbul pada usia di atas 10 tahun. Kebanyakan pasien tidak menampakkan gejala. Namun mereka kadang mengalami nyeri perut yang samar pada kuadran kanan atas (di bawah arcus costae pada sisi kanan). Nyeri ini memiliki karakteristik tumpul, tanpa didahului suatu pola kejadian yang dapat diprediksikan. Nyeri bukan dirasakan sebagai suatu nyeri hebat, tiba-tiba, dan sangat nyeri, misalnya seperti pada cholelithiasis. Nyeri abdomen pada NAFLD dan NASH diperkirakan disebabkan oleh peregangan dari kapsula hati ketika hati membesar dan/atau ketika ada peradangan dalam hati. Berlawanan dengan ALD, HBV, and HCV; gejala-gejala dari gagal hati (disebabkan oleh hepatitis berat) yang berat dan akut tidak teramati pada NAFLD atau NASH. Gejala dan tanda dari gagal hati meliputi kulit yang menguning (jaundice), kelelahan yang berat, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, dan kebingungan. Tanda-tanda klasik dari resistensi mendominasi tes fisik pada NAFLD dan NASH. Seperti yang telah disebutkan di atas, obesitas (terutama obesitas perut) adalah penemuan yang paling sering. Sebagai tambahan, pasien-pasien dengan DM tipe 2 yang sudah berjalan lama mungkin mempunyai komplikasi-komplikasi dari diabetes, seperti retinopathy, gagal ginjal, dan penyakit jantung koroner. Hipertensi juga seringkali terjadi. Acanthosis nigricans, suatu pewarnaan gelap dari kulit ketiak dan leher, merupakan suatu tanda dari resistensi insulin dan sering didapatkan pada anakanak dengan NASH. Ketika hati dipalpasi, umumnya dirasakan normal. Namun, secara umum, ketika terdapat akumulasi lemak dalam jumlah besar di hati, maka hati akan menjadi sangat besar dengan tepi yang lunak dan membulat, sehingga dapat dengan mudah dipalpasi. Sirosis pada tahapan NAFLD umumnya terjadi pada usia lanjut, yakni sekitar 50 hingga 60 tahun, yang diperkirakan bertahun-tahun setelah terjadinya NASH. Seringkali pada tahap ini, pasien mengalami DM tipe 2 yang bergantung pada insulin. Pasien-pasien NASH dengan sirosis dapat tidak menunjukkan

gejala (asimptomatis) jika terdiagnosa lebih dini. Namun mereka dapat menunjukkan tanda-tanda khas dari sirosis yang terkompensasi maupun yang tidak terkompensasi (decompensated cirrhosis). Tanda-tanda dari sirosis yang terkompensasi meliputi hati yang membesar  dan mengeras, pembuluh-pembuluh darah kecil menyerupai bentuk bintang (spider angiomata) pada kulit tubuh bagian atas, bercak kemerahan pada bagian thenar dan hipothenar (palmar erythema), kuku-kuku yang memutih (white nail), rambut tipis yang seperti sutra, kehilangan rambut-rambut tubuh, vena yang menonjol pada perut (abdominal collateral veins), menstruasi tidak teratur atau amennorrhea pada wanita sebelum menopause, atrofi testis serta kadang pembesaran payudara pada pria (gynecomastia). Tanda-tanda dari sirosis yang tidak terkompensasi (decompensated cirrhosis) meliputi semua yang telah disebutkan diatas, namun terjadi pengkerutan hati dan mungkin bengkak di kaki (edema), akumulasi cairan di perut (ascites), perdarahan dari vena-vena esophagus (varices), dan hepatic encephalopathy. Fatty liver juga terdapat dalam beberapa sindroma lainnya. Sebagai contoh, fatty liver terjadi pada polycystic ovarian, dimana polycystic ovarian dihubungkan dengan obesitas, rambut yang berlebihan (hirsutisme), dan resistensi insulin. Gejala-gejala lipodystrophy sejak lahir, yang merupakan kelainan yang jarang, dimana lemak pada tubuh dan ekstremitas bergeser ke perut, adalah juga berhubungan dengan suatu fatty liver yang membesar. Sebagian besar pasien dengan NAFLD (45 - 100%) tidak memiliki gejala maupun tanda penyakit hati pada saat diagnosa. Pada pasien-pasien ini, hasil tes fungsi hati yang abnormal seringkali ditemukan secara tidak sengaja. Saat terdapat gejala, seringkali gejalanya tidak spesifik seperti kelelahan yang persisten (50 - 73%), pruritus (0 - 6%), oedema (2 - 10%), malaise, dan right upper quadrant discomfort atau nyeri. Gambaran lain seperti perdarahan saluran cerna (0 - 3%), jaundice (0 - 5%), ascites (0 - 3%), pruritus, dan oedema merupakan gambaran dari penyakit hati berat. Ascites, hepatic encephalopathy, dan variceal bleeding menunjukkan terjadinya sirosis hepatis karena NASH progresif (Dabhi et al, 2008). Ketika penyakit tidak berlanjut, hepatomegali yang halus, difus, dan tidak lunak terjadi pada 25 - 53% pasien. Pasien biasanya obese dan/atau mengalami diabetes. Penyakit lanjut mungkin disertai right hypochondrium tenderness,

 jaundice, palmar erythema, spider angioma, portal hypertension, ascites, varices, and splenomegaly (Dabhi et al, 2008).

2.5

Diagnosis Diagnosa NAFLD ditegakkan setelah mengeksklusi penyebab lain dari

disfungsi

hati.

Hal

ini

dilakukan

dengan

memastikan

tidak

adanya

penyalahgunaan alkohol, infeksi virus, autoimun, metabolik, herediter atau penyebab lain patologi hati. Secara umum, tidak adanya penyalahgunaan alkohol atau konsumsi alkohol < 20 gram / hari dalam waktu lama, dan hasil tes serologi terhadap hepatitis B dan C negatif seharusnya meningkatkan kecurigaan terjadinya NAFLD (Dabhi et al, 2008).

2.5.1 Diagnosis NAFLD secara Laboratoris Tabel 2.1 Parameter Biokimia pada NAFLD (Dabhi et al, 2008) Parameter Laboratoris ALT AST ALT/AST ratio

Abnormalitas Peningkatan 4 - 5 kali lipat Peningkatan 4 - 5 kali lipat Biasanya < 1 pada sirosis

Alkaline phosphatase GGT

< 2 pada alcoholic liver disease Peningkatan 2 - 3 kali lipat Biasanya normal, dapat meningkat 2 -3 pada

Bilirubin Albumin Prothrombin time Serum iron chemistry

beberapa kasus Meningkat pada NAFLD tahap lanjut Menurun pada NAFLD tahap lanjut Meningkat pada NAFLD tahap lanjut

Serum ferritin

Meningkat pada 50% kasus

Serum iron

Meningkat

Transferrin saturation ANA Lipids

Menurun Positif pada 15 - 20% kasus Meningkat pada kasus dengan underlying 

Viral markers

hyperlipidaemia Untuk mengekskluasi viral hepatitis

Sebagian besar pasien dengan NAFLD datang ke dokter karena peningkatan liver function test  yang tidak sengaja ditemukan. Walaupun kadar  aminotransferase meningkat pada mayoritas pasien, tetapi pasien dengan kadar  aminotransferase yang normal juga dapat ditemukan perubahan nekroinflamatori atau fibrosis. Hal tersebut sudah dibuktikan pada studi terhadap 51 subyek

dengan kadar ALT yang normal di mana 12 subyek telah terdapat fibrosis dan 6 subyek terdapat sirosis (Duvnjak et al, 2007). Dalam studi longitudinal histologis pada 103 pasien dengan peningkatan aminotransferase memiliki korelasi dengan peningkatan nilai aktivitas, tetapi perubahan pada kadar aminotransferase tidak berkorelasi dengan perubahan pada tahap fibrosis. Menariknya, kadar aminotransferase menurun secara signifikan antarbiopsi baik pada pasien dengan fibrosis progresif maupun pada pasien tanpa fibrosis (Duvnjak et al, 2007).

2.5.2 Diagnosis NAFLD melalui Imaging  Metode imaging memiliki nilai diagnosis kecil pada NAFLD. Hasil USG pada NAFLD sudah sering ditemukan gambaran hiperechoic , tetapi hal ini tidak cukup sensitif maupun spesifik (Duvnjak et al, 2007). Pencitraan radiologi noninvasif seperti USG, CT scan abdomen, dan MRI dapat membantu diagnosis infiltrasi lemak pada hati. Namun, tiga metode imaging yang paling sering digunakan (US, CT, MRI) tersebut telah terbukti tidak dapat membedakan antara NASH dan bentuk lain dari NAFLD, seperti fatty liver, steatohepatitis, dan steatohepatitis dengan fibrosis, sehingga dibutuhkan biopsi hati (Dabhi et al, 2008).

2.5.3 Diagnosis NAFLD secara Histologis Biopsi hati merupakan gold standar diagnosis, tidak hanya untuk mendapatkan

diagnosa

yang

tepat

dan

mendokumentasikan

grading

nekroinflamasi dan staging fibrosis, namun juga memprediksi prognosa pada pasien dengan bukti klinis atau radiologis sebagai NAFLD (Basaranoglu and Neuschwander-Tetri, 2006). Peran dari biopsi hati pada NAFLD sudah sering dibahas dan korelasi antara penemuan histologis dan gambaran klinis atau prognosis penyakit telah dipelajari secara ekstensif. Biopsi hati merupakan satusatunya cara untuk menegakkan diagnosis NAFLD dan membedakan antara fatty liver dengan NASH. Biopsi juga dapat menentukan tingkat keparahan penyakit dan memberikan wawasan tentang prognosis. Namun demikian, tidak ada guideline yang telah dibuat untuk menentukan kapan dan pada siapa biopsi hati diperlukan (Duvnjak et al, 2007).

Setelah mengeksklusi penyakit hati lainnya, diagnosis NAFLD hanya dapat ditegakkan biopsi hati. Ini merupakan pemeriksaan paling sensitif dan spesifik,  juga dibutuhkan untuk staging, typing, dan menjelaskan prognosa penyakit. Pada pemeriksaan histologi, temuan NAFLD sangat mirip dengan temuan pada alcoholic liver disease. Penentuan hepatic iron store merupakan parameter  penting

dalam

membedakan

NAFLD

dari

haemochromatosis.

Derajat

peningkatan kadar ferritin lebih tinggi pada haemochromatosis dibanding NAFLD. Tabel 2.2 menggambarkan perbandingan antara temuan histologi pada NASH dan alcoholic liver disease (ALD) (Dabhi et al, 2008) .

Tabel 2.2 Perbandingan Histologi NASH dengan Alcoholic Liver Disease (Dabhi et al, 2008) Severe steatosis Lobular hepatitis Periportal fibrosis Mallory bodies Fibrosis/cirrhosis Nuclear vacuolation Bile duct proliferation

Alcoholic hepatitis (%) 15 54 0 3 38 76 53

NASH (%) 15 85 33 16 63 7 96

Perubahan histopatologi pada NASH meliputi hepatic steatosis, ballooning degeneration, inflamasi akut, kronis, atau campuran, perisinusoidal fibrosis, dan bentukan Mallory hyaline bodies. Perubahan fibrotik pada NASH dapat dibagi menjadi 4 tahap (Dabhi et al, 2008).

Tabel 2.3 Tahap-tahap Perubahan Histologi pada NASH (Dabhi et al, 2008) Tahap I II III IV

Perubahan Fibrosis zona III perisinusoidal atau pericellular, baik fokal maupun difus Tahap I + fibrosis periportal ekstensif   Tahap II + bridging fibrosis fokal atau ekstensif  Sirosis hepatis

Masalah yang berkaitan dengan biopsi hati adalah terdapat beberapa keterbatasan yang signifikan. Pertama, kualitas spesimen biopsi hati bervariasi.

Beberapa studi menunjukkan interpretasi yang bervariasi pada inter dan intraobserver terhadap spesimen biopsi. Selain itu telah lama diketahui bahwa parenkim hati yang terkena pada berbagai penyakit hati kronis tidak homogen, dan biopsi cenderung bervariasi. Hal ini juga telah dibuktikan untuk NASH pada studi di mana dua biopsi hati dilakukan pada 51 pasien dengan NAFLD (Duvnjak et al, 2007). Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang sering muncul pada interpretasi biopsi hati, Matteoni et al  membagi NAFLD menjadi 4 kategori berdasarkan adanya steatosis, radang lobuler, hepatosit ballooning dan Mallory bodies / fibrosis. Tipe 3 dan 4 dikaitkan dengan gambaran klinis terburuk (Duvnjak et al, 2007).

Tabel 2.4 Matteoni Typing System untuk NAFLD (Dabhi et al, 2008) Tipe I II III IV

Perubahan Patologis Hanya deposisi lemak Deposisi lemak + inflamasi Tipe I + inflamasi lanjut + ballooning degeneration Tipe I + fibrosis dan/atau Mallory bodies dan perubahan sirosis

Namun hal tersebut tidak termasuk seluruh spektrum NAFLD dan tidak dapat digunakan sebagai penilaian respon terhadap terapi. Karena itu sistem skor lainnya telah dikembangkan yang khusus hanya mencakup fitur cedera aktif  yang berpotensi reversibel dalam jangka pendek (Duvnjak et al, 2007). Sistem skor histologis pertama untuk NASH diusulkan oleh Brunt et al dan didesain berdasarkan model yang digunakan pada penyakit kronis hati lainnya dan

termasuk 3

tingkat

dari aktivitas

nekroinflamatori secara kualitatif 

(berdasarkan tingkatan steatosis, ballooning, dan peradangan) dan 4 tahap fibrosis (Duvnjak et al, 2007). Sistem ini membutuhkan pengecatan histokimia rutin san mencakup 14 gambaran histologi (Basaranoglu and NeuschwanderTetri, 2006).

Tabel 2.4 Sistem Grading dan Staging NASH berdasarkan Brunt dkk (Basaranoglu and Neuschwander-Tetri, 2006). Gambaran Histologi Steatosis Grade

Definisi

Skor  

The evaluation of parenchymal involvement by steatosis 33–66% >66% Zone 3

1 2 3 0

Zone 1 Azonal Panacinar Presence of contiguous patches

1 2 3 1

None Perisinusoidal or periportal Mild, zone 3, perisinusoidal Moderate, zone 3, perisinusoidal Portal/periportal Perisinusoidal and portal/periportal Bridging fibrosis Cirrhosis

0 1 1A 1B 1C 2 3 4

Microgranulomas

Overall assessment of all inflammatory foci No foci 4 foci per 200X field Presence of small aggregates of  

0 1 2 3 1

Large lipogranulomas

macrophages Present, usually in portal areas or adjacent

1

Portal inflammation

to central veins Greater than minimal when assessed from

1

Location/predominant distribution pattern

Microvesicular steatosis Fibrosis Stage

Inflammation Lobular inflammation

low magnification Liver Cell Injury Ballooning

Acidophil bodies Pigmented macrophages Megamitochondria Other findings Mallory hyaline Glycogenated nuclei

None Few balloon cells Many cells/prominent ballooning Many Many Many

0 1 2 1 1 1

Many visible on routine stains Many contiguous patches

1 1

Skor aktivitas NAFLD dihitung dengan menjumlahkan skor stetatosis, inflamasi lobular, dan ballooning hepatocyte. Skor 0–2 biasanya bukan merupakan NASH, 3–4 kemungkinan merupakan merupakan NASH, dan 5–8 biasanya indikasi suatu NASH (Basaranoglu and Neuschwander-Tetri, 2006).

2.6

Penatalaksanaan

Ketika sejarah klinis alamiah dan proses-proses yang terlibat pada perkembangan dari NAFLD mulai pelan-pelan terbuka seluk beluknya, tidak ada satupun perawatan yang benar-benar efektif yang ditemukan sampai saat ini. Namun disarankan sebagian strategi terapi empirik (Dabhi et al, 2008). Bagaimanapun pengertian umum menyebutkan bahwa kehilangan berat badan,   jika kelebihan berat, dan mengoreksi peningkatan kolesterol, trigliserida, dan gula darah akan menguntungkan pada NAFLD (Duvnjak et al, 2007). Pada pasien dengan komorbiditas seperti obesitas, hiperlipidemia, atau diabetes tipe 2, sangat disarankan perubahan pola hidup termasuk olahraga dan perubahan kebiasaan diet untuk mencapai penurunan berat badan yang bertahap dan menetap. Dilaporkan bahwa baik hepatic steatosis maupun inflamasi berespon cepat terhadap perubahan kondisi lingkungan seperti penurunan berat badan, meskipun respon pada fibrosis lebih lambat. Bila kondisi pasien tidak membaik meski telah diberikan terapi ini, penggunaan obat-obatan mungkin diperlukan (Basaranoglu and Neuschwander-Tetri, 2006). Penurunan berat badan secara bertahap disarankan pada pasien yang mengalami overweight dan obese. Hal ini akan menimbulkan perbaikan pada abnormalitas laboratoris dan steatosis. Penurunan berat badan secara cepat atau mendadak (>1.6 kg/minggu) tidak disarankan karena akan menyebabkan perburukan NAFLD. Gastrojejunal bypass surgery untuk pasien obesitas dan long-term parenteral nutrition therapy sebaiknya sedapat mungkin dihindari (Dabhi et al, 2008). Namun sangat sedikit data yang ada dari efek pengurangan berat badan dan latihan pada kemajuan penyakit fatty liver. Suatu studi retrospektif  menunjukan bahwa pada individu-individu gemuk (obesitas) dengan peningkatan awal transaminase, penambahan berat badan menjurus ke peningkatan yang lebih jauh dari enzim-enzim hati. Dalam perbandingan, suatu kehilangan berat dari 10% menjurus ke pengurangan yang signifikan pada enzim-enzim dan bahkan ke transaminase normal pada beberapa pasien. Pengurangan enzim terjadi pada angka 8% per 1% kehilangan berat badan (Duvnjak et al, 2007). Dalam studi pada pasien yang menjalani operasi pengecilan perut karena obesitas, kehilangan berat yang banyak sekali (substantial) diiringi oleh suatu pengurangan

yang ditandai

oleh

transaminase

dan

suatu

kemunduran

(regression) dari fatty liver. Bagaimanapun, kehilangan berat yang cepat dalam

situasi ini dapat juga mempengaruhi kejadian dari fatty liver dengan peradangan hati. Mungkin karena terjadi peradangan sitokin dan lemak yang memproduksi fatty liver dan peradangan yang datang dari lemak tubuh (jaringan adiposa) yang merupakan sisa dari lemak perut (Duvnjak et al, 2007). Untuk diet sebaiknya dilakukan restriksi terhadap karbohidrat yang diabsorpsi secara cepat, seperti monosakarida dan disakarida. Diet tinggi protein dan tinggi kalori juga disarankan (Dabhi et al, 2008). Terapi farmakologis NAFLD sebaiknya ditujukan terhadap akumulasi lemak dan injury serta fibrosis. Modalitas terapi farmakologi NAFLD yang potensial antara lain sebagai berikut (Basaranoglu and Neuschwander-Tetri, 2006): 1.

Insulin sensitizer seperti metformin dan thiazolidinedione

2.

Antilipidemic agents seperti fibrate and statin

3.

Anticytokine seperti anti-TNF antibodies dan TNF-receptor antagonist

4.

Cytoprotectives dan antioxidants seperti ursodeoxycholic acid, vitamin E, S-adenosylmethionine, N-acetylcysteine, selenium, carnitine, dan silymarin

5.

Antibiotik dan probiotik untuk mengurangi gut-derived endotoxin

6.

Phlebotomy, choline, dan betaine

7. Antifibrotic agents

Ada sedikit data yang dipublikasikan tentang penggunan agen yang menurunkan kadar glukosa darah atau agen yang menurunkan lipid pada perawatan NASH. Troglitazone (Rezulin) adalah suatu senyawa PPARg (  peroxisome proliferator activating receptor gamma) yang dapat meningkatkan efek-efek insulin. Namun FDA (Food and Drug Administration) menarik obat ini dari pasar karena menyebabkan kasus hepatotoksik yang berat. Sebelum obat ditarik, suatu percobaan dari troglitazone pada pasien-pasien dengan NASH dilakukan selama 6 bulan. Studi menunjukan suatu pengurangan signifikan pada serum transaminase, namun hanya terjadi perbaikan sedang pada secara histologis pada biopsi hati (Duvnjak et al, 2007). Troglitazone,

seperti

juga

obat-obatan

lain

pada

kelasnya

(thiazolidinediones), meningkatkan kepekaan insulin dan mungkin mengurangi peradangan dan fibrosis pada hati. Suatu percobaan singkat dengan gemfibrozil

(Lopid), suatu obat yang menurunkan lemak darah (antilipidemic agent ), menunjukan beberapa efek positif yaitu dapat menurunkan serum transaminase dan serum trigliserida, namun follow-up biopsi hati tidak dilaksanakan. Suatu percobaan satu tahun dari clofibrate (Atromid-S), obat lain yang menurunkan lemak darah, juga tidak mempunyai efek positif. Metformin (Glucophage) adalah suatu agen peningkatan sensitisasi insulin yang digunakan secara ekstensif  untuk merawat DM tipe 2. Obat ini dipelajari pada kelompok kecil dari pasienpasien NASH dan menunjukan efek-efek yang menguntungkan pada penurunan serum transaminase dan mengurangi infiltrasi lemak dalam hati. Saat ini suatu percobaan yang besar sedang berlangsung. Data terbaru juga menyarankan bahwa menurunkan kolesterol dan trigliserida menggunakan obat-obatan seperti statins membantu mengurangi fatty liver (Duvnjak et al, 2007). Mengingat bahwa berbagai proses terlibat dalam menyebabkan NASH, bahwa banyak kelas yang berbeda dari obat-obatan, seperti juga kehilangan berat, akan mempunyai efek-efek yang bermanfaat. Obat-obatan yang dapat diterima termasuk (Duvnjak et al, 2007): •

Agen-agen yang meningkatkan kepekaan insulin, seperti dua agen baru thiazolidinediones, pioglitazone (Actos) dan rosiglitazone (Avandia), serta metformin (Glucophage)



Obat-obatan yang menurunkan kadar lipid seperti obat-obatan statin dan Lopid



Obat-obat yang memperbaiki aliran darah seperti pentoxifylline (Trental)

Selain obat-obatan yang digunakan untuk menurunkan resistensi insulin dan kadar trigliserida telah dideskripsikan di atas, terdapat pula obat-obatan lain yang dapat digunakan, yakni yang disebut ‘hepatoprotective drugs’. Obat-obatan seperti ursodiol (ursodeoxycholic acid) 13 - 15 mg/kg/hari), vitamin E 400 - 1200 mg/hari, betaine 20 g/hari, N-acetyl cysteine 1 g/hari juga digunakan. Peranan antioksidan juga telah diteliti secara luas karena terjadi akumulasi produk peroksidasi lipid sebagai respon free radical injury yang menyebabkan stres oksidatif yang penting dalam menyebabkan liver cell injury (Dabhi et al, 2008). Oleh karena itu, antioksidan seperti vitamin E, beta-carotene, vitamin C, lecithin, dan sebagainya dapat dicoba. Vitamin E dapat menurunkan enzim hati secara signifikan. Betaine dan and methylated amino acids lainnya bekerja

sebagai donor grup methyl dan menurunkan uptake lemak dan akumulasi lemak si sel-sel hati. Betaine juga merupakan opak yang menjanjikan (Dabhi et al, 2008). Ursodeoxycholic acid (UDCA) dengan dosis 13 - 15 mg/kg/hari selama satu tahun dapat memperbaiki ALT dan steatosis pada pasien dengan NAFLD. UDCA ini berperan sebagai cytoprotective, immunomodulatory, chemoprotective, dan antioxidant. UDCA berperan sebagai cytoprotective karena memiliki sifat high lipid altering. UDCA juga dapat menstabilisasi membran hepatosit dan mencegah jejas pada membran sel, seta memperbaiki kerusakan sel pada hati. UDCA juga membantu memelihara fungsi mitokondria sehingga menurunkan steatosis akibat klirens akumulasi lemak di hati. Terapi awal merupakan pilihan terbaik untuk mencegah perburukan lebih lanjut dari NAFLD dan mengembalikan perubahan mendekati normal (Dabhi et al, 2008). Penatalaksanaan Kondisi Lain yang Berhubungan: a.

Diabetes mellitus Pasien dengan DM sebaiknya memiliki kontrol yang tepat terhadap kadar  gula darahnya. Resistensi insulin seringkali merupakan masalah pada pasien ini sehingga metformin dan pioglitazone dapat ditambahkan pada terapinya. Metformin juga memiliki kerja sebagai anoreksian dan membantu dalam menurunkan berat badan. Namun belum ada penelitian khusus mengenai penggunaan agen ini pada NAFLD; sehingga saran ini hanya bersifat logika (Dabhi et al, 2008).

b.

Hiperlipidemia Restriksi lemak pada diet dan obat penurun lipid berguna pada kondisi ini. Obat yang terutama bekerja dalam menurunkan kadar trigliserida dibutuhkan pada kondisi ini. Obat-obatan seperti golongan gemfibrozil, clofibrate, dan statin diindikasikan pada kondisi ini. Namun tetap perlu diingat bahwa fibrate dapat menyebabkan drug-induced hepatitis pada beberapa pasien (Dabhi et al, 2008).

c.

Penggunaan obat-obatan lain Beberapa obat berkaitan dengan perkembangan NAFLD. Obat-obatan ini sebaiknya dihentikan dan diganti dengan alternatif lain yang sesuai (Dabhi et al, 2008).

d.

Metronidazole

Metronidazole dengan dosis 750 - 2000 mg per hari selama 3 bulan menunjukkan perbaikan steatohepatitis yang berkaitan dengan jejunal bypass surgery. Terapi ini membutuhkan evaluasi untuk penggunaan pada tipe lain NAFLD (Dabhi et al, 2008).

Kehilangan berat melalui latihan dan modifikasi diet bersama dengan agenagen

yang

dapat

meningkatkan

kepekaan

insulin

akan

membantu

mengembalikan infiltrasi lemak pada hati. Terapi-terapi lainnya mungkin bermanfaat dalam memperlambat proses-proses peradangan dan fibrosis, khususnya pada terapi kombinasi (Duvnjak et al, 2007). NAFLD adalah suatu penyakit hati yang ditimbulkan sendiri ( self-inflicted ), sangat banyak menyerupai penyakit hati alkoholik (alcoholic liver disease). Tetapi hanya sebagian kecil dari pasien yang gemuk atau diabetes akan berkembang menjadi penyakit hati berat dan hal ini kemungkin besar ditentukan secara genetik. Sebagai tambahan, banyak bukti yang menjelaskan bahwa kegemukan dan diabetes dapat memperburuk penyakit hati alkoholik dan penyakit hati yang disebabkan HCV (Duvnjak et al, 2007). Karena sebab-sebab ini, peneliti ilmu pengetahuan dasar, ahli penyakit hati, ahli gizi, dan ahli endokrin menggabungkan usaha-usaha mereka untuk memahami lebih baik dan mengetahui proses ini yang telah diakui 30 tahun yang lalu (Duvnjak et al, 2007). Studi kedalam genetik dari proses ini akan mengungkapkan jalan-jalan kecil yang menjurus ke penyakit berat dan membantu untuk mengenali pasienpasien yang paling berisiko. Studi klinis akan membantu kita memahami sejarah klinis alamiah dari proses ini dan mudah-mudahan mengidentifikasi ramalanramalan dari hasil. Studi ilmu pengetahuan dasar akan ditujukan pada pengertian bagaimana penyakit timbul dan proses-proses yang terlibat. Pengetahuan ini kemudian dapat menjurus kepada perkembangan dari perawatan-perawatan spesifik. Sekarang ini, percobaan-percobaan kecil sedang berlansung yang melibatkan

agen-agen

pembuat

kepekaan

insulin,

seperti

metformin

(Glucophage), rosiglitazone (Avandia), dan pioglitazone (Actos). Perawatanperawatan

lainnya

dengan

efek-efek anti-oxidant

faedahnya (Duvnjak et al, 2007).

mungkin

membuktikan

Pada dasarnya, bagaimanapun, bahwa perawatan tunggal paling efektif  untuk orang-orang kegemukan denga NASH adalah sangat sederhana yaitu menghilangkan berat melalui diet dan latihan. Sayangnya, ini adalah tugas yang tidak mudah dalam masyarakat kita sekarang, yang didominasi oleh gaya hidup menetap dan diet-diet yang tinggi kalori, tinggi karbohidrat, tinggi lemak. Dengan usaha besar, bagaimanapun, pengurangan berat dapat dicapai. Lebih jauh, dalam pandangan dari peran yang mungkin sekali dari infiltrasi lemak pada penyakit-penyakit hati lainnya, pengurangan berat mungkin ditambahkan pada perawatan dari penyakit-penyakit hati lainnya ini, seperti terapi anti virus (antiviral therapy) untuk HCV. Akhirnya, NASH mungkin dapat secara meluas dicegah dan dieliminasi dengan mempromosikan kebiasaan-kebiasaan makan yang sehat dan gaya hidup yang aktif pada anak-anak, dimana semuanya dimulai (Duvnjak et al, 2007).

2.7

Komplikasi Komplikasi-komplikasi dari NASH termasuk sirosis (juga dipertimbangkan

sebagai tingkatan akhir dari NAFLD) dan kanker hati utama atau primary liver  cancer (hepatocellular carcinoma, HCC) (Duvnjak et al, 2007). Risiko dari pengembangan sirosis pada pasien dengan NASH masih raguragu dan bervariasi mungkin dari 8% ke 15%. Hingga kini, sangat sedikit studistudi yang memonitor pasien-pasien melalui suatu periode waktu yang cukup untuk mendokumentasi secara benar kemajuan-kemajuan dari NASH ke sirosis. Ada bukti tidak langsung, bagaimanapun, bahwa NASH dapat menjurus ke sirosis. Sebagai contoh, pada beberapa pasien, pada waktu diagnosis awal dari NASH yang dibuat melalui biopsi hati, sirosis telah hadir, bersama dengan tandatanda yang umum dari NASH (Duvnjak et al, 2007). Meskipun begitu, adalah sangat penting untuk mengerti bahwa didalam banyak hal ketika sirosis berkembang, infiltrasi lemak (fatty infiltration) menghilang (regresses) bersama dengan peradangan. Sirosis pada NASH dengan kehilangan lemak dan peradangan dirujuk sebagai sirosis yang terbakar  habis ( burned-out cirrhosis). Situasi ini dapat berasal dari berkurangnya lemak yang datang pada hati melalui vena portal (pembuluh yang membawa darah dari usus halus/intestines ke hati). Sebagai tambahan, suatu pengurangan pada pengeluaran insulin (dengan berkembangnya dari DM2 yang dependen insulin)

menyebabkan lemak-lemak trigliserida untuk meninggalkan hati (Duvnjak et al, 2007). Lebih jauh, semakin banyak laporan-laporan mengindikasikan bahwa paling sedikit 50% dari kasus-kasus sirosis Kryptogenik/cryptogenic cirrhosis (sirosis yang penyebab-penyebabnya tidak dapat diidentifikasi) terjadi pada timbulnya obesitas sebelumnya yang sudah berjalan lama dan/atau DM2. Observasi-observasi ini menyarankan bahwa resistensi insulin, karena itu NASH, adalah seringkali dasar dari apa yang disebut sirosis kriptogenik (cryptogenic cirrhosis). Faktanya, sejumlah transplantasi hati untuk sirosis berhubungan denga NASH yang diperkirakan, adalah dalam kenaikan. Angka yang tinggi dari NASH yang berulang yang berkembang pada hati-hati baru dari pasien-pasien yang mendapat transplantasi hati untuk cryptogenic cirrhosis lebih jauh mengkonformasi peran yang menyebabkan dari NASH. Akhirnya, suatu studi dari Perancis menyarankan bahwa pasien-pasien dengan NASH mempunyai suatu risiko mengembangkan sirosis yang sama seperti pasien-pasien dengan HCV. Seperti digambarkan diatas, bagaimanapun, kemajuan ke sirosis pada NASH diperkirakan lambat dan diagnosis sirosis secara khas dibuat pada pasien-pasien pada umur enampuluhan (Duvnjak et al, 2007). Ada juga laporan-laporan dari kanker hati utama/  primary liver cancer  (hepatocellular carcinoma, HCC) terjadi pada pasien-pasien sirosis yang berhubungan dengan NASH. Tentu saja, insiden penyakit dari HCC pada sirosis NASH tampak sama dengan yang diobservasi pada sirosis HCV (1-2% per  tahun). Proses yang menyebabkan terbentuknya kanker hati pada sirosis NASH tidak diketahui dan juga masih belum dipelajari. HCC dapat berkembang sebagai hasil dari reparasi dan tumbuh kembali dari hati (hepatocellular regeneration) tanpa suatu faktor khas yang berhubungan pada NASH. Beberapa penulis, bagaimanapun, sudah menyarankan bahwa resistensi insulin pada situasi ini dapat mepercepat perkembangan dari kanker hati (Duvnjak et al, 2007).

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan NAFLD merupakan penyebab tersering chronic liver disease dan and cryptogenic cirrhosis hepatis yang berkaitan dengan resistensi insulin. Insiden penyakit ini dilaporkan mengalami peningkatan di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai etiologi, pathogenesis, dan penatalaksanaan fatty liver. Diagnosa dan penatalaksanaan dini merupakan hal yang sangat penting. Terapi dini dengan UDCA dan antioksidan disarankan pada penatalaksanaan fatty liver. However, effective treatment options are still lacking for which future stepwise work is required by research workers. There has been growing concern and interest in NAFLD in the last decade, and each month approximately five new papers about NAFLD are published. With its increasing prevalence, it is estimated that NAFLD will eventually become the most frequently seen liver disease. Understanding the underlying causes of NAFLD and

designing

rational treatments will require

continued research with

collaboration among investigators in fields such as endocrinology, pathology, biochemistry, and biophysics.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF