Makalah Etika Dan Hukum Kedokteran

February 4, 2018 | Author: defi | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Makalah Etika Dan Hukum Kedokteran...

Description

BAB I PENDAHULUAN

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif. Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum. Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus informasi, komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.

BAB II PEMBAHASAN

II.1.

Definisi Etika Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti

watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin-dari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Definisi tentang etika dapat di klasifikasikan menjadi tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut : • Jenis Pertama, Etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia • Jenis Kedua, Etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. • Jenis Ketiga, Etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik dan buruknya saja. Etika terbagi atas dua : 1. Etika umum ialah etika yang membahas tentang kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia itu bertindak secara etis. Etika inilah yang dijadikan dasar dan pegangan manusia untuk bertindak dan digunakan sebagai tolok ukur penilaian baik buruknya suatu tindakan.

2. Etika khusus ialah penerapan moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus misalnya olah raga, bisnis, atau profesi tertentu. Dari sinilah nanti akan lahir etika bisnis dan etika profesi (wartawan, dokter, hakim, pustakawan, dan lainnya).

II.2.

Bioetika Bioetika adalah biologi dan ilmu kedokteran yang menyangkut masalah di bidang

kehidupan, tidak hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi juga memperhitungkan kemungkinan timbulnya pada masa yang akan datang. Istilah bioetika (bios bahasa Yunani: hidup, etos, perilaku) diperkenalkan pada tahun 1927 oleh Fritz Jahr, yang "diharapkan banyak menyumbang berbagai argumentasi dan diskusi dalam penelitian biologi kontemporer yang melibatkan hewan" dalam suatu artikel tentang "keniscayaan bioetika." Saat itu ia mengisyaratkan penggunaan bagi isu-isu ilmiah hewan dan tumbuhan. Pada tahun 1970, ahli biokimia Amerika Van Rensselaer Potter juga menggunakan istilah tersebut dengan makna yang lebih luas, yang mencakup solidaritas terhadap biosfer, sehingga menghasilkan "etika global," suatu disiplin yang mewakili hubungan antara biologi, kedokteran, ekologi, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka mencapai kelangsungan hidup baik manusia dan spesies hewan lainnya. Tiga etika dalam bioetika 1. Etika sebagai nilai-nilai dan asa-asas moral yang dipakai seseorang atau suatu keloompok sebagai pegangan bagi tingkah lakunya. 2. Etika sebagai kumpulan asas dan nilai yang berkenaan dengan moralitas (apa yang dianggap baik atau buruk). Misalnya: Kode Etik Kedokteran, Kode Etik Rumah Sakit. 3. Etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dari sudut norma dan nilainilai moral. Fransese Abel merumuskan definisi tentang bioetika yang diterjemahkan Bertens sebagai berikut: Bioetika adalah studi interdisipliner tentang problem-problem yang ditimbulkan oleh perkembanagn di bidang biologi dan ilmu kedokteran baik pada skala mikro maupun pada skala makro, lagipula tentang dampaknya atas masyarakat luas serta sistem nilainya kini dan masa mendatang.

II.2.1. Komite Bioetika di Indonesia Untuk memberikan pedoman umum etika bagi pengelola dan pengguna sumber daya hayati dalam rangka menjaga keanekaragaman dan pemanfaatannya secara berkelanjutan, di Indonesia dibentuk Komite Etik Penelitian, Pengembangan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hayati yang bersifat independen, multidisiplin dan berpandangan plural. Dasar hukumnya adalah Pasal 19 KepMenristek No.112 Tahun 2009. Komite ini diperlukan karena tinjauan agama, sosial budaya, etika dan estetika kurang memberi perhatian dalam pengenalan dan pemanfaatan produk rekayasa genetika dalam masyarakat. Prinsip penting yang menjadi pedoman bioetika Indonesia: -

Pro-kehidupan yaitu melindungi dan menghargai harkat manusia, HAM, dan lingkungan hidup.

-

Antroposentrisme yaitu memberi keuntungan sebesar-besarnya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya dan digunakan untuk kepentingan manusia, komunitas tertentu, dan masyarakat luas, serta lingkungan hidupnya.

-

Menghindari konflik moral dan meminimalkan kerugian bagi kepentingan manusia dan makhluk hidup lainnya.

II.3.

KEWAJIBAN dan HAK PASIEN Menurut (UU no. 44 Tahun 2009 : UU tentang Rumah Sakit pasal 31 dan 32).

Kewajiban Pasien a. Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang diterimanya. b. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan Peraturan Menteri. Hak Pasien a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien; c.

Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;

d.

Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan; g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; h.

Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

i.

Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;

j.

Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

k.

Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

l.

Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya; n.

Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit;

o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya; p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; q.

Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan

r. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

II.4.

HAK dan KEWAJIBAN PASIEN

Menurut (UU no. 29 Tahun 2004 : UU tentang Praktik Kedokteran pasal 50 dan 51). Hak Pasien Pasien, dalam menerima pelayanan para praktik kedokteran, mempunyai hak : a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3), yaitu : -

Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

-

Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

-

Alternatif tindakan lain dan resikonya;

-

Risiko dan komplikasi yang mukin terjadi; dan

-

Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. Menolak tindakan medis; dan e. Mendapat isi rekam medis. Kewajiban Pasien Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban : a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan;

d. Memberikan imbalan atas pelayanan yang diterima.

II.5.

Pengertian Rekam Medis Dalam pelayanan kedokteran/kesehatan, terutama yang dilakukan para dokter di

rumah sakit maupun praktek pribadi, peranan rekam medis sangat penting dan sangat melekat dengan kegiatan pelayanan. Sehingga ada ungkapan bahwa rekam medis adalah orang ketiga pada saat dokter menerima pasien. Sepintas hal itu dapat dipahami, karena catatan demikian akan berguna untuk merekam keadaan pasien, hasil pemeriksaan serta tindakan pengobatan yang diberikan pada waktu itu. Rekam Medis adalah kumpulan keterangan tentang identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan, dan catatan segala kegiatan para pelayan kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu. Catatan ini berupa tulisan maupun gambar, dan belakangan ini dapat pula berupa rekaman elektronik seperti komputer, mikrofilm dan rekaman suara. Dalam PERMENKES No.749a/Menkes/XII/1989 tentang Rekam Medis disebut pengertian Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan. II.5.1. Isi Rekam Medis Di rumah sakit didapat dua jenis Rekam Medis, yaitu : 1. Rekam Medis untuk pasien rawat jalan 2. Rekam Medis untuk pasien rawat inap Untuk pasien rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat, rekam medis mempunyai informasi pasien antara lain : a. Identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa) b. Riwayat penyakit (anamnesa) tentang : - Keluhan utama - Riwayat sekarang

- Riwayat penyakit yang pernah diderita - Riwayat keluarga tentang penyakit yang pernah diturunkan c. Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, scanning, MRI, dan lain-lain d. Diagnosa dan atau diagnosis banding e. Instruksi diagnosis dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan yang berwenang. Untuk rawat inap, memuat informasi yang sama dengan yang terdapat dalam rawat jalan, dengan tambahan : II.5.2. Persetujuan tindakan medik -

Catatan konsultasi

-

Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya

-

Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan

-

Resume akhir dan evaluasi pengobatan

II.6.

INFORMED CONSENT (Persetujuan Tindakan Medis) Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45

serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting. Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan

berdasarkan KUHP Pasal 351. Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah: 1. Diagnosa yang telah ditegakkan. 2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan. 3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut. 4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut. 5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang lain. 6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut. Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran : a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut. b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan ( Ayat 2 ). Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah: 1. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa. 2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya. Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008. Tujuan Informed Consent:

a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya. b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ) Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

II.7.

MALPRAKTEK Banyak kasus yang dilaporkan sebagai 'malpraktek' sebenarnya bukan benar benar

malpraktek. Hubungan yang tidak harmonis antara dokter dan pasien, salah satunya akibat komunikasi yang tidak berjalan seperti yang diharapkan adalah salah satu faktor pemicunya. Dokter, disatu sisi sering mengabaikan empati, yang sebenarnya justru paling diharapkan pasien. Sebagian besar keluhan ketidak puasan pasien disebabkan komunikasi yang kurang terjalin baik antara dokter dengan pasien dan keluarga pasien. Perhatian terhadap pasien tidak hanya dalam bentuk memeriksa dan memberi obat saja, tetapi juga harus membina komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga pasien. Dokter perlu menjelaskan kemungkinan kemungkinan yang bisa terjadi dan rencana pemeriksaan pemeriksaan berikutnya, bukan hanya memeriksa pasien dan memberi obat saja. Pasien juga perlu untuk menanyakan ke dokter, minta dijelaskan kemungkinan kemungkinan penyakitnya. Dengan pemahaman yang relatif minimal, masyarakat awam sulit membedakan antara risiko medik dengan malpraktek. Hal ini berdasarkan bahwa suatu kesembuhan penyakit tidak semata berdasarkan tindakan petugas kesehatan, namun juga dipengaruhi faktor faktor lain seperti kemungkinan adanya komplikasi, daya tahan tubuh yang tidak sama, kepatuhan dalam

penatalaksanaan regiment therapeutic. Kecenderungan masyarakat lebih melihat hasil pengobatan dan perawatan, padahal hasil dari pengobatan dan perawatan tidak dapat diprediksi secara pasti. Petugas kesehatan dalam praktiknya hanya memberi jaminan proses yang sebaik mungkin, sama sekali tidak menjanjikan hasil. Kesalahpahaman semacam ini seringkali berujung pada gugatan mal praktek. Secara etik dokter diharapkan untuk memberikan yang terbaik untuk pasien. Apabila dalam suatu kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak pasien, mereka tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal hal diluar dugaan karena harus ada bukti bukti yang menunjukkan adanya kelalaian. Dalam hal ini harus dibedakan antara kelalaian dan kegagalan. Apabila hal tersebut merupakan risiko dari tindakan yang telah disebutkan dalam persetujuan tertulis ( Informed Consent ), maka pasien tidak bisa menuntut. Oleh karena itu, untuk memperoleh persetujuan dari pasien dan untuk menghindari adanya salah satu pihak yang dirugikan, dokter wajib memberi penjelasan yang sejelas jelasnya agar pasien dapat mempertimbangkan apa yang akan terjadi terhadap dirinya. Istilah malpraktek adalah istilah yang kurang tepat, karena merupakan suatu praduga bersalah terhadap profesi kedokteran. Praduga bersalah ini dapat disalahgunakan oleh pihak pihak tertentu untuk kepentingan sesaat yang akan merusak semua tatanan dan sistem pelayanan kesehatan. Masalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan oleh dokter atau RS yang ada, pada umumnya merupakan masalah miskomunikasi antara pasien dan dokter, sehingga yang tepat adalah istilah "Sengketa Medik". Harus dianalisis terlebih dahulu setiap peristiwa buruk ( adverse event ) yang terjadi, sebab tidak semua adverse event identik dengan malpraktik kedokteran. Setelah dianalisis, baru dapat diketahui apakah masuk katagori pidana atau kecelakaan ( misadventure ). Sengketa Medik yang ada harus diselesaikan melalui peradilan profesi terlebih dahulu.

II.8.

RAHASIA KEDOKTERAN Rahasia kedokteran diatur dalam beberapa peraturan/ketetapan yaitu:1. Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1963 untuk dokter gigi yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan termasuk mahasiswa kedokteran,

murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaaan, pengobatan, dan/atau perawatan diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran. Versi lafal sumpah dokter ini juga diintroduksikan oleh World Medical Association yang berbunyi : ”I will respect the secrets which are confided in me, even after the patient has died” Pada tahun 1968 di Sydney dirumuskan Internasional Code of Medical Ethics : ” A doctor shall preserve absolute secrecy on all he knows about his patient because the confidence entrusted in him”. Sedangkan pada tahun 1981 Declaration of Lisbon merumuskan : ” The patient has the right to expect that his physician will respect the confidential nature of all his medical and personal details” 1. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter juga disebutkan dalam lafal sumpahnya bahwa “dokter harus merahasiakan segala sesuatu yang ia ketahui karena pekerjaaan dan karena keilmuannya sebagai dokter”. 2. Pasal 22 ayat (1) b Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan diatur bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien. 4. Kode Etik Kedokteran dalam pasal 12 menetapkan: “setiap dokter wajib merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia”. Sesuai dengan ketentuan pasal 48 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ditetapkan sebagai berikut: (1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. (2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Dan pasal 51 huruf c Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 adanya kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Berkaitan dengan pengungkapan rahasia kedokteran tersebut diatur dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 Tentang

Rekam Medis sebagai berikut: Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal : a. Untuk kepentingan kesehatan pasien; b. Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan; c. Permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri; d. Permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan e. Untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien. Mengenai rahasia kedokteran dikenal adanya trilogi rahasia kedokteran yang meliputi persetujuan tindakan kedokteran, rekam medis dan rahasia kedokteran karena keterkaitan satu sama lain. Jika menyangkut pengungkapan rahasia kedokteran maka harus ada izin pasien (consent) dan bahan rahasia kedokteran terdapat dalam berkas rekam medis. II.9.

Hak Akses

Hak akses pasien terhadap rahasia kedokteran didasarkan pada: a. Data-data medik yang tercantum dalam berkas rekam medis. Rekam medis adalah datadata pribadi pasien yang merupakan tindak lanjut dari pengungkapan penyakit yang di derita oleh pasien kepada dokternya. Maka iapun berhak untuk memperoleh informasi untuk

mengetahui

apa

saja

yang

dilakukan

terhadap

dirinya

dalam

rangka

penyembuhannya. Hal ini sudah dijabarkan dalam Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 tersebut pengaturan tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dalam melakukan tindakan kedokteran dokter harus memberikan penjelasan sekurang-kurangnya mencakup: 1) Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; 2) Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; 3) Altematif tindakan lain, dan risikonya; 4) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

5) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. 6) Perkiraan pembiayaan. b. Hubungan hukum antara dokter- pasien untuk berdaya upaya menyembuhkan pasien ( inspanning verbintenis ). Hak akses terhadap rahasia kedokteran bisa disimpulkan sebagai kelanjutan dari hak atas informasi. Atau berdasarkan itikad baik dari pihak dokternya untuk memberikan akses terhadap rekam mediknya yang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 diberikan dalam bentuk ringkasan rekam medis. c. Hak akses terhadap rekam medis adalah sebagai kelanjutan dari kewajiban dokter untuk memberikan informasi kepada pasien. Menurut Markenstein maka kepentingan pasien untuk melihat data-data rekam medis adalah : a. Kepentingan yang terletak di bidang finansial dalam arti untuk dapat menilai apakah ia boleh memperoleh pembayaran kembali ataupun ganti kerugian; b. Kepentingan proses peradilan yang menurut rasa keadilan kedua pihak yang berperkara seharusnya mempunyai hak akses yang sama terhadap informasi yang relevan untuk diajukan pada proses peradilan; c. Kepetingan pengobatan yang diperlukan untuk meneruskan pengobatannya pada pemberi pelayanan lain atas dasar data-data yang ada;d. kepentingan yang bersangkutan dalam pengamanan yang menyangkut data pribadinya (privacy). II.10. Hak Atas Privacy Hak privacy ini bersifat umum dan berlaku untuk setiap orang. Inti dari hak ini adalah suatu hak atau kewenangan untuk tidak diganggu. Setiap orang berhak untuk tidak dicampuri urusan pribadinya oleh lain orang tanpa persetujuannya. Hak atas privacy disini berkaitan dengan hubungan terapeutik antara dokter-pasien ( fiduciary relationship ). Hubungan ini di dasarkan atas kepercayaan bahwa dokter itu akan berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan pelayanan pengobatan. Pula kepercayaan bahwa penyakit yang di derita tidak akan diungkapkan lebih lanjut kepada orang lain tanpa persetujuannya. Dalam pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 diatur bahwa penjelasan

tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan perundang-undangan. II.11. Hak Tolak Ungkap Hak

tolak

ungkap

adalah

tejemahan

terhadap

istilah

bahasa

Belanda

”verschoningsrecht” yang diatur dalam berbagai peraturan yang menyangkut kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Artinya bagi si pemegang rahasia (orang yang dipercayakan suatu rahasia) diwajibkan untuk menyimpan dan tidak sembarangan mengungkapkan rahasia tersebut kepada orang lain tanpa izin pemilik. Ketentuan pidana yang berkaitan dengan pengungkapan rahasia kedokteran selain diatur dalam pasal 79 Undang Udang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana sebagai berikut: a. Pasal 224 KUHP Barang siapa dipanggil sebagai saksi ahli atau juru bahasa menurut undang-undang denagn sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang undang selaku demikian harus dipenuhinya ancaman: (1) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; (2) dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. b. Pasal 322 KUHP Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah. Menurut perumusan pasal 224 KUHP sesorang yang dipanggil oleh Pengadilan sebagai saksi ahli harus datang memenuhi panggilan menghadap untuk memberikan keterangan tentang sesuatu yang terletak di bidang keahliannya. Ini adalah kewajiban hukum bagi setiap orang termasuk juga profesi kedokteran. Disamping itu KUHP pasal 322 memberi ancaman hukuman terhadap mereka yang dengan sengaja membocorkan rahasia yang seharusnya tidak diungkapkan kepada orang lain. Jika ia membocorkan rahasia itu maka orang yang dirugikan dapat mengadakan tuntutan atas dasar pasal 322 ini. Jika dilihat dari sudut rahasia kedokteran maka sekilas tampaknya seolah-

olah ada dua peraturan yang bertentangan dalam ketentuan tersebut. Dalam hal ini jika terdapat suatu kasus dan dokter berpendapat bahwa demi kebaikan pasien rahasia kedokteran sebaiknya tidak diungkapkan maka dokter tersebut mempergunakan hak tolak ungkap yang diberikan berdasarkan ketentuan : pasal 1909 KUH Perdata,pasal 322 KUHP, pasal 170 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, dan kode etik, lafal sumpah dokter. Nantinya diserahkan kepada hakim untuk mempertimbangkan apakah dokter tersebut harus atau tidak mengungkapkan rahasia kedokteran, hal ini didasarkan pasal 170 ayat (2) KUHAP , jika hakim berpendapat bahwa dokter itu harus mengungkapkan maka dapat dianggap bahwa dokter itu dibebaskan dari kewajiban menyimpan rahasia kedokteran oleh Pengadilan. Ini juga sejalan dengan ketentuan dalam Undang Undang Praktik Kedokteran dan Permenkes tentang Rekam Medis. Sementara itu menurut Prof Eck mengemukakan justifikasi pengungkapan rahasia kedokteran dapat didasarkan kerena: a. Izin dari yang berhak ( pasien); b. Keadaan mendesak atau terpaksa. c. Peraturan Perundang-undangan; d. Perintah jabatan yang sah. Alasan penghapus pidana: pasal 48, 50,52 KUHP. Berkaitan dengan rahasia kedokteran ini memang tidak hanya menyangkut masalah hukum tetapi juga sarat dengan masalah etik, bagaimana jika suami datang ke praktik dokter diantar oleh isterinya sedang ternyata suami tersebut mengidap penyakit menular seksual, rahasia ini jika diungkapkan di depan isterinya dampaknya mungkin akan menimbulkan perpecahan rumah tangga. Dalam hal ini sebenarnya dapat dianggap sudah ada persetujuan dari kedua belah pihak untuk mengungkapkan, karena mereka datang berdua. ( Leenen, 177) . Namun dalam hal ini sebaiknya dokter membicarakan terlebih dahulu dengan pasiennya ( suami ), apakah isterinya boleh mengetahui rahasia kedokteran tersebut. Juga persoalan lain misalnya seseorang menderita penyakit menular yang berpotensi wabah, ada pengecualian melalui kewajiban pelaporan penyakit wabah yang diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan meskipun prinsip privacy pasien tetap harus dijaga.

Juga bagaimana jika rahasia kedokteran pasien sudah diungkapkan kepada media massa oleh pasien sendiri sehingga menyudutkan dokternya, seharusnya dokter mempunyai hak jawab karena rahasia kedokteran itu sudah diungkap oleh pasien itu sendiri.

II.12. ABORSI Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Dalam dunia kedokteran ada 3 macam aborsi yaitu : 1. Aborsi Spontan / Alamiah 2. Aborsi Buatan / Sengaja 3. Aborsi Terapeutik / Medis Aborsi spontan/alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena

kurang

baiknya

kualitas

sel

telur

dan

sel

sperma,

sedangkan Aborsi

buatan/sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).Aborsi terapeutik/medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesagesa.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN III.1. Kesimpulan Standar pelayanan medis ini merupakan hukum yang mengikat para pihak yang berprofesi di bidang kesehatan, yaitu untuk mengatur pelayanan kesehatan dan mencegah terjadinya kelalaian staff medis dalam melakukan tindakan medis. Dalam kaitannya dengan profesi dokter di perlukan estándar pelayanan medis yang mencakup: standar ketenangan, standar prosedur, standar sarana, dan standar hasil yang di harapkan. Untuk standar pelayanan medis baiknya ada persiapan lebih dulu sebelum memulai tindakan operasi agar tindakan pembedahannya berjalan dengan lancar sesuai dengan standar operasional prosedur medic. Untuk pertanggung jawaban kasus ini lebih menitik beratkan pada pihak rumah sakit sebagai penyedia sarana kesehatan yang kurang maksimal dimana fasilitas pelayanan rumah sakit tersebut masih di bawah standar di lihat dari segi kualitas mutu pelayanan kesehatan, III.2. Saran 1. Pemahaman dan bekerja dengan kehati-hatian, kecermatan, menghindarkan bekerja dengan cerobah, adalah cara terbaik dalam melakukan praktek kedokteran sehingga dapat terhindar dari kelalaian/malpraktek. 2. Standar profesi kedokteran dan standar kompetensi rumah sakit merupakan hal penting untuk menghindarkan terjadinya kelalaian, maka perlunya pemberlakuan standar praktek kedokteran Nasional dan terlegalisasi dengan jelas. 3. Rumah Sakit sebagai institusi pengelola layanan praktek kedokteran dan tenaga kesehatan harus memperjelas kedudukannya dan hubungannya dengan pelaku/pemberi pelayanan keperawatan, sehingga dapat diperjelas bentuk tanggung jawab dari masingmasing pihak 4. Baiknya sebelum melakukan kegiatan pembedahan, jangan lupa untuk mengecek alatalat di dalam ruangan operasi .

BAB IV PENUTUP

Masalah yang paling sering menjadi pokok sengketa adalah kelemahan komunikasi antara dokter dengan pasien atau antara rumah sakit dengan pasien, baik dalam bentuk komunikasi sehari-hari yang diharapkan mempererat hubungan antar manusia maupun dalam bentuk pemberian informasi sebelum dilakukannya tindakan dan sesudah terjadinya risiko atau komplikasi. Dengan adanya kode etik dan hukum kedokteran ini tenaga medis maupun pihak-pihak kesehatan terutama dokter dapat memberikan pelayanan penuh dengan adanya batasan-batasan hukum sesuai dengan etika maupun peraturan di Indonesia dengan mengutamakan pelayanan yang penuh terhadap masyarakat. Pelajaran lain adalah bahwa sosialisasi nilai-nilai etika kedokteran, termasuk kode etik profesi yang harus dijadikan pedoman berperilaku profesi (professional code of conduct), kepada para dokter yang bekerja di Indonesia belumlah cukup memadai, sehingga diperlukan crash-program berupa pendidikan kedokteran berkelanjutan yang agresif di bidang etik dan hukum kedokteran, pemberian mata ajaran etik dan hukum kedokteran bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran sejak dini dan bersifat student-active, serta pemberian bekal buku Kodeki bagi setiap dokter lulusan Indonesia (termasuk adaptasi).

MAKALAH ETIKA DAN HUKUM KEDOKTERAN

Di Susun oleh : Nata Gumelar NPM : 168020019

PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI RUMAH SAKIT UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG 2017

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF