MAKALAH Endocrine Disrupting Chemicals

December 9, 2018 | Author: nadia | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Endocrine Disrupting Chemicals...

Description

MAKALAH TUGAS MATA AJAR Pengantar Penyakit Berbasis Lingkungan Dosen : Dr. Ema Hermawati S.Si., M.KM

Endocrine Disrupting Chemicals (EDC)

Disusun Oleh Kelompok 3

Dwi Sulistyaningsih

1606953820

Indah Febriani

1606953985

Meilania Regina

1606954110

Nadia Listiani

1606954161

Nafi Ruhmita

1606954174

Shifa Nur Annisa

1706106476

Siska Amalia Rachmah

1606954483

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 

Daftar isi BAB I........................................................... ................................................................................. ............................................ ........................................ ..................1 Pendahuluan ........................................... ................................................................. ............................................ ............................................ ......................1

1.

Latar Belakang ........................................... ................................................................. ............................................ ............................. ....... 1

2.

Tujuan ............................................. ................................................................... ............................................ ........................................ .................. 2

BAB II

Kasus ............................................. ................................................................... ............................................ ............................................ ................................. ........... 3 Tinjauan Pustaka................................................................ ...................................................................................... ........................................ ..................3 1. Definisi Endocrine Definisi Endocrine Disrupting Chemicals (EDC) ......................................... ......................................... 4 2. Jenis Jenis J enis EDC di Kehidupan sehari-hari ......................................... .................................................... ........... 4 3. Contoh Penyakit yang di timbulkan oleh EDC ........................................... .............................................. ... 4 4. Peran Se dalam Sintesa Hormone Tiroid ......................................... ....................................................... .............. 8 5. Teori Simpul EDC dan Parameter Simpul 1,2,3, dan 4 ......................... ................................ ....... 9 6. Program Pencegahan Kejadian Hipotiroid.......................................... ..................................................... ........... 11 7. Bahan Kimia Penyebab Hipotiroid dan Pencegahannya ............................... ............................... 16 BAB III.................................................... .......................................................................... ............................................ ............................................ ......................24

Kesimpulan .......................................... ................................................................. ............................................. ............................................ ......................... ... 24 Daftar Pustaka ........................................... ................................................................. ............................................ ........................................ ..................

BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang

Beberapa tahun belakangan ini, perhatian tentang pengaruh senyawa lingkungan atau bahan polutan kimia terhadap kesehatan semakin meningkat. Senyawa tersebut bisa dikatakan sebagai  Endocrine Disrupts Chemical   (EDC) atau dalam bahasa awamnya disebut sebagai senyawa yang mengganggu mekanisme kerja hormon endokrin. EDC tersebut bisa bekerja sebagaimana hormon aslinya seperti estrogen, testosteron, atau hormon-hormon endokrin lainnya. EDC dapat bersifat sebagai estrogen terbukti dapat

mempengaruhi kesehatan manusia termasuk

kesehatan reproduksi. Salah satu pengaruh yang ditimbulkan adalah penurunan kualitas sperma pada pria. Sehingga mengakibatkan kurangnya kemampuan spermatozoa membuahi sel telur sehingga dapat menyebabkan infertilitas.  Endocrine Disrupting Chemicals  ini bisa dengan mudah

kita temukan di

sekitar lingkungan kita dapat ditemukan pada produk sehari-hari - termasuk botol  plastik, kaleng makanan logam, deterjen, flame retardants, makanan, mainan, kosmetik, dan pestisida. Penelitian-penelitian terdahulu menemukan/melaporkan bahwa pestisida diduga mengandung senyawa-senyawa kimia yang dapat bekerja seperti hormon manusia atau disebut Endocrine Disrupts Chemical   (EDC) dimana hal tersebut dapat  berdampak buruk bagi perkembangan kesehatan reproduksi manusia. Petisida atau insektisida tersebut terdiri dari beberapa macam seperti DDT, dieldrin, toxaphene, dan endosulfan. Dimana di dalam itu semua terdapat kandungan yang dapat mengganggu organ reproduksi dan aktifitas kerja hormon endokrin manusia, baik secara langsung maupun tidak.

1

2. Tujuan

Tujuan umum

dari pembuatan

makalah

ini diharapkan dapat dijadikan

sebagai bahan pembelajaran bagi mahasiswa FKM UI untuk mata kuliah Pengantar Penyakit Berbasis Lingkungan. Sedangkan tujuan khusus dari makalah ini diharapkan mahasiswa dapat: a. Dapat memahami tentang definisi dari Endocrine Disrupting Chemicals (EDC)  b. Dapat memahami Jenis-Jenis dari EDC c. Dapat memahami Contoh Penyakit yang disebabkan oleh EDC d. Dapat memahami Peran SE dalam Sintesa Hormon Tiroid e. Dapat memahami Teori Simpul dari EDC Pada kasus f. Dapat membuat Program Pencegahan Kejadian Hipotiroid g. Dapat memahami Bahan - Bahan Kimia Penyebab Hipotiroid dan Pencegahannya

2

BAB II KASUS Seorang sarjana kesehatan masyarakat menyalurkan hobi mendaki perbukitan, kali ini perbukitan kapur di kabuaten pancawarga. Tiba-tiba dia terkesima dengan keluarga suami istri serta anak-anaknya yang menderita pembesaran kelenjar gondok. Tidak jauh dari rumah kakek nenek tersebut dia juga mendapati anak-anak kretin (pertumbuhan tidak normal) pada  cluster   rumah-rumah penduduk tersebut. Sarjana SKM yang baru lulus FKM UI dan pernah mengikuti kuliah penyakit berbasis lingkungan itu kemudian kembali ke kampungnya, dan segera melalui media social menguggah serta konsultasi fenomena yang ditemui. Mereka bersepakat bertemu dan membahas apa yang didapatkannya. Kemudian mereka menghubungi BBTKL P2M  –  Balai Besar Teknologi Kesehtan Lingkungan Pengendalian Penyakit. Akhirnya sepakat secaa voluntir bersama Tim BBTKL kembali ke tempat tersebut dan mulailah  penyelidikanya. Dari wawancara mendalam dan bincang-bincang, diketahui ternyata masih ada  beberapa kerabat menceritakan bahwa setiap kali punya anak langsusng keguguran (abortus), ada juga yang lahir hidup dengan berat badan lahir rendah atau BBLR. Seminggu kemudian Tim Voluntir ini kembbali dengan beberapa orang temannya yang mengikuti pendidikan FKM prodi gizi. Temannya ini ngotot bahwa anak kretin tersebut disebabkan oleh kekurangan yodium dan mengusulkan pemberian garam  beryodium. Namun setelah beberapa minggu dilakukan tindak lanjut, hasilnya masih tetap saja kadar thyroid penduduk masih di bawah normal. Jadi, mengapa kekurangan yodium , apakah ada gangguan intake yodium, mineral apakah yang keberadaannya membantu sintesa yodium? Ketika bertanya kepada keluarga tersebut mereka semua hampir mengonsumsi singkong rebus, serta mengunakan sumber mata air satu disekitar bukit tersebut.

3

TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi E ndocri ne Disrupting Chemicals (EDC)

EDC ( Endocrine Disrupting Chemicals  ) adalah bahan kimia eksogen (nonalami), atau campuran bahan kimia, yang dapat mengganggu aspek tindakan hormon apapun (The Endocrine Society  (endocrine.org). EDC diduga berhubungan dengan  perubahan fungsi reproduksi pada pria dan wanita, peningkatan kejadian kanker  payudara, pola pertumbuhan abnormal dan keterlambatan perkembangan saraf pada anak-anak, serta perubahan fungsi kekebalan tubuh (WHO). 2. Jenis Jenis EDC di Kehidupan sehari-hari

Berbagai macam zat dianggap menyebabkan gangguan endokrin. Bahan kimia yang dikenal sebagai pengganggu endokrin termasuk dietilstilbestrol (senyawa sintetis estrogen DES), dioksin, bifenil poliklorinat (PCB), DDT, dan beberapa pestisida lainnya. a. Bisphenol A (BPA) adalah bahan kimia yang diproduksi dalam jumlah banyak untuk digunakan terutama dalam produksi plastik polikarbonat dan resin epoksi. Pusat NTP untuk Evaluasi Resiko terhadap Reproduksi Manusia menyelesaikan peninjauan kembali BPA pada bulan September 2008. NTP mengungkapkan "beberapa kekhawatiran akan efek pada otak, perilaku, dan kelenjar prostat pada janin, bayi, dan anak-anak pada eksposur manusia saat ini terhadap bisfenol.  b. Di (2-ethylhexyl) phthalate (DEHP) adalah kimia volume produksi tinggi yang digunakan dalam pembuatan berbagai macam kemasan makanan konsumen, beberapa  produk anak-anak, dan beberapa peralatan medis polivinil klorida (PVC). Pada tahun 2006, NTP menemukan bahwa DEHP dapat menimbulkan risiko bagi perkembangan manusia, terutama bayi laki-laki yang sakit kritis. c. Fitoestrogen adalah zat alami pada tanaman yang memiliki aktivitas mirip hormon. Contoh fitoestrogen adalah genistein dan daidzein. 3. Contoh Penyakit yang di timbulkan oleh EDC a. Kesehatan reproduksi pria

Kesehatan reproduksi pria telah menjadi fokus utama penelitian EDC sejak awal 1990an saat bukti kecenderungan sekuler yang merugikan dalam jumlah sperma akibat  paparan EDC pertama terungkap. Diduga bahwa paparan selama tahap awal kehidupan 4

menyebabkan setidaknya sebagian, hypospadias, kriptorkismus bawaan, kualitas air mani yang buruk, sindroma disgenesis testis dan sel kuman testis kanker (TGC) (UNEP / WHO, 2013). Hipospadia dan

kriptorkismus dapat diinduksi pada hewan percobaan dengan

mengeksposnya ke beberapa spesies. Pengganggu endokrin yang bersifat antiandrogenik atau estrogenik (Toppari, 2008). Contoh ini antiandrogen adalah fungisida, vinclozolin dan  procymidone, dan dichlorodiphenyldichloroethylene (DDE), congener konsisten dari estrogenic dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT), yang bertindak sebagai androgen antagonis reseptor (Gray et al., 2006), dan ester ftalat, dibutil ftalat dan dietil heksil phthalate yang mengganggu biosintesis androgen (Mylchreest et al., 2002; Fisher et al., 2003). TGC sering ditemukan berhubungan dengan hipospadia, kriptorkismus dan kualitas air mani yang buruk, menyarankan bahwa mereka adalah faktor risiko satu sama lain dan  bahwa mereka bisa menjadi komponen terkait dari satu kesatuan kondisi yang mendasari, yaitu sindroma disgenesis testis (TDS), yang berasal dari kehidupan janin sebagai akibat terpapar kontaminan (Skakkebæk, Rajpert-De Meyts & Main, 2001; UNEP / WHO, 2013). Peningkatan kejadian TGC (Huyghe, Matsuda & Thonneau, 2003; Richiardi et al., 2004), kriptorkismus (Toppari et al., 2010) dan hypospadias (Källen et al., 1986; Paulozzi, 1999; Toppari, Kaleva & Virtanen 2001; Nassar, Bower & Barker, 2007; Lund dkk., 2009) dan kualitas air mani yang meluas (Bonde et al., 1998; Guzick et al., 2001; Skakkebæk, 2010) kemungkinan besar disebabkan oleh faktor lingkungan. Eksposur yang mengganggu testis yang berkembang, termasuk aksi androgen dan / atau produksi selama kehidupan janin, cenderung penting dalam patogenesis gangguan TDS (Skakkebæk, Rajpert-De Meyts & Main 2001; Sharpe & Skakkebaek, 2008). Penyebab lain kualitas air mani yang buruk juga dikenal, seperti cacat genetik pada kromosom seks (Krausz, 2011; UNEP / WHO, 2013). b. Kesehatan reproduksi perempuan

Mengingat bahwa estrogen - endogen berpartisipasi dalam pengembangan dan fungsi sistem reproduksi, secara biologis masuk akal bahwa paparan EDC mempengaruhi reproduksi kesehatan wanita.

Saat ini tersedia data yang relevan dengan populasi

manusia dari semua negara di mana studi telah dilakukan, menunjukkan bahwa saat ini  jutaan wanita terkena gangguan reproduksi yaitu : ovarium polikistik sindrom (PCOS), 5

fibroid uterus, dan endometriosis. Ketiga gangguan ini menyebabkan infertilitas atau subfertilitas. Faktor genetik dan lingkungan (termasuk diet, usia, kebiasaan berolahraga,  penyakit menular seksual, dan akses terhadap layanan kesehatan yang baik) berperan dalam kesehatan

reproduksi wanita secara keseluruhan dan, dengan demikian, dapat

menyebabkan gangguan ini. Sebagai contoh pengaruh faktor lingkungan, perubahan gizi dan kesehatan umum diakui secara luas sebagai alasan yang mendasari kemajuan menarche selama 200 tahun terakhir dari rata-rata usia sekitar 17 tahun sampai 13 tahun (Aksglæde et al., 2008; 2009; Parent et al., 2003). Paparan terhadap EDC selama kehamilan dapat menyebabkan masalah kesehatan reproduksi . Sel telur yang terpapar saat mereka berkembang melakukana pembelahan dapat mentransmisikan efek EDC (UNEP / WHO, 2013).

Asosiasi antara paparan

 prenatal terhadap EDC dan bahan kimia lainnya, dan sejumlah yang merugikan hasil kehamilan, termasuk keguguran, preeklampsia (ditandai dengan hipertensi selama kehamilan), pembatasan pertumbuhan intrauterine (IUGR), penurunan berat badan selama  perkembangan janin, dan prematur, telah dilaporkan (Stillerman et al., 2008; Slama & Cordier, 2010). Paparan saat prenatal untuk memimpin dan glikol eter telah terbukti membawa peningkatan risiko keguguran (Slama & Cordier, 2010). c. Efek tiroid Selama beberapa dekade terakhir, telah terjadi peningkatan kejadian penyakit tiroid misalnya hipotiroidisme kongenital dan dewasa, tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves di banyak bagian dunia, Angka kejadian penyakit tiroid terhitung sekitar dua miliar orang di seluruh dunia (UNEP / WHO, 2013). Penyakit tiroid dan kelainannya sangat tinggi dan meningkatkan beban penyakit  pada anak-anak dan remaja di beberapa negara. (McGrogan et al., 2008). Sudah diketahui  bahwa hormon tiroid sangat penting dalam perkembangan otak sejak dalam rahim, tergantung pada tingkat normal hormon tiroid. (La Franchi, 2010; WHO, 2012). Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa banyak bahan kimia dapat mengganggu fungsi tiroid. Daftar bahan kimia lingkungan yang sebagian besar buatan manusia dapat menyebabkan penurunan kadar tiroid hormon yang diujicobakan pada

6

hewan percobaan dalam waktu yang sangat panjang (Howdeshell, 2002; Brucker-Davis, 1998; UNEP / WHO, 2013). Beberapa kelompok bahan kimia, mis. senyawa seperti dioksin memiliki tingkat tinggi kesamaan struktural dengan hormon tiroid, T3 dan T4, sehingga bersaing dengan hormon untuk hormon tiroid (TH) reseptor dan protein transpor (WHO, 2012). Sekarang ada cukup bukti kuat bahwa PCB dan beberapa kontaminan umum lainnya memiliki efek mengganggu tiroid. Ini termasuk brominated flame retardants, phthalate, bisphenol A dan  bahan kimia  perfluorinated Dalam semua kasus, paparan kimia telah dikaitkan dengan serum kadar hormon tiroid (UNEP / WHO, 2013) Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa ada hubungan antara paparan dan ukuran PCB fungsi tiroid, dan mendukung hipotesis bahwa PCB dapat mengurangi tingkat sirkulasi tiroid Hiper et al., 2008; Turyk, Anderson & Persky, 2007). Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa PCB menekan serum T4, sementara yang lain menunjukkan serum T3 Dalam beberapa kasus, temuan ada pada pria, dalam kasus lain pada wanita. Secara keseluruhan, tidak ada yang seragam gambar. Dalam penelitian wanita hamil, PCB berhubungan positif dengan stimulasi tiroid serum hormon (TSH) (Chevrier et al., 2007; Takser et al., 2005). Studi tentang bayi baru lahir juga menunjukkan bahwa PCB

menekan fungsi tiroid (Chevrier et al., 2007;

Herbstman et al., 2008). Namun, Jumlah penelitian melaporkan tidak ada hubungan antara beban

tubuh PCB dan ukuran fungsi tiroid (misalnya, Dallaire et al., 2008;

Dallaire et al., 2009; Longnecker et al., 2000). Boas, Feldt-Rasmussen dan Main (2011) mengulas literatur yang menghubungkan  berbagai eksposur kimia untuk fungsi tiroid pada manusia. Ini termasuk  polyphrominated disphenyl ether   (PBDE), pestisida, bahan kimia  perfluorinated, phthalate, bisphenol A,  filter UV dan perklorat . Dengan kemungkinan pengecualian Perchlorate, hubungan antara  bahan kimia dan fungsi tiroid ini belum dipelajari secara ekstensif sebagai hubungan mereka dengan PCB. d. Perkembangan saraf pada anak

Saat ini, ada kekhawatiran cukup besar tentang potensi hubungan antara semakin meningkat prevalensi gangguan perkembangan saraf dan peningkatan 7

eksponensial dalam paparan polutan beberapa dekade terakhir (Landrigan & Goldman, 2011a; 2011b; Weiss & Landrigan, 2000). Sejak 1970-an, telah terjadi peningkatan dramatis dalam prevalensi perkembangan neurologis yang jarang terjadi sebelumnya Kelainan, seperti autisme, attention deficit hyperactivity disorder   (ADHD) dan gangguan autistik, belajar cacat dan gangguan depresi masa kanak-kanak dan dewasa. Padahal, misalnya, prevalensi autisme pada anak-anak diperkirakan 4-5 dari 10.000 di tahun 1970an, literatur saat ini menggambarkan 1-110 anak-anak yang terkena  penyakit (Wing et al, 1976; Rice, 2007; UNEP / WHO, 2013). ADHD terlalu banyak diwakili pada populasi dengan paparan pestisida organofosfat yang tinggi, bahan kimia lain belum diselidiki (UNEP / WHO, 2013). Meski

sudah

ada

pengamatan

sebelumnya

bahwa

faktor

lingkungan

bisa

mempengaruhi perkembangan otak dan neurobehaviour (Cranefield & Federn, 1963). Antara gangguan perkembangan saraf dan paparan kimia sejak saat itu telah meningkat. Selama perkembangan, janin sangat sensitif terhadap efek neurotoksik timbal dan merkuri, bahkan pada tingkat rendah (misalnya Needleman, 2009). 4. Peran Se dalam Sintesa Hormone Tiroid

Selenium merupakan mikronutrien yang penting dalam pembentukan hormon tiroid. Selenium sebagai unsur esensial bagi tubuh yang terdapat dalam banyak bentuk makanan seperti ikan laut, daging, hasil susu dan biji-bijan. Selenium berperan penting dalam metabolisme hormon tiroid. Melalui transport dan transfer protein yang kompleks, peran utama selenium adalah selenoprotein berbagai bentuk, yaitu :  gluthation peroxidase (Gpx), Thioredoxin reductase, Iodothyronine deiodinase, selenoprotein P, selenoprotein W,

dan

Selenofosfat sintetase. Salah satu fungsi esensial adalah sebagai kofaktor  glutation  peroksidase  (GPX), dimana GPX berfungsi untuk mereduksi hydrogen peroksidase yang terdapat dalam tiroid peroksidase. Dua langkah awal sintesis hormon tiroid dikatalis oleh tiroid peroksidase. Kelebihan hormon peroksidase, jika direduksi oleh GPX akan merusak membrane sel tiroid dan menyebabkan hipotirodisme. Selenium berperan penting dalam metabolisme iodium, mekanism enya dengan  peran iodothyronie deiodinase yang mengkatalisis konversi T4 menjadi T3 (dan T3 ke T2) sebagai jalur terpenting metabolisme hormon tiroid, peran GPz sebagai 8

antioksidan utama yang mendungi membran sel (juga kelenjar tiroid) untuk memproses metabolism tiroid, apalagi GPx bertindak sebagai penyeimbang tersedianya T4 dan T3, terutama di organ vital seperti otak dan jantung dan sangat khusus pada janin , estrogen sulfotransferase  yang mengendalikan perkembangan estrogen untuk mencegah kelebihan yang potensial menekan fungsi tiroid. Selain diperlukan untuk metabolisme iodium, emzim 5’-I odotironine deiodenase  (tipe I) diketahui sebagai sebuah selenoprotein dengan satu atom selenium pada bagian aktifnya. Enzim ini merupakan kalasitator utama dalam perubahan tiroksin (T4) ke  bentuk triiodotironin (T3) yang aktif di jaringan seluler. Reaksi ini penting untuk generasi dari T3, regulator hormonal yang utama dari metabolism seperti  pertumbuhan, perkembangan dan keaktifan hormon tiroid. Kekurangan selenium akan menghambat konversi T4 ke T3 sehingga akan memperburuk keadaan hipotiroid 5. Teori Simpul EDC dan Parameter Simpul 1,2,3, dan 4

Model kejadian penyakit akibat Endocrine Disrupting Chemicals (EDC)

Manajemen penyakit E ndocrine

Disrupting

Sumber Agen Penyakit Pestisida dan Goitrogenik (Sianida)

Sakit GAKY 

Media Transmisi 

Air



Pangan

    

Laki-laki Perempuan Dewasa Anak-anak Ibu hamil Perilaku Suka konsumsi singkong rebus

Institusi Lintas sektor/politik, Perbukitan Kapur, dan Iklim

9

(Gondok, Kreatin, Abortus, BBLR)

sehat

Dari kasus perbukitan kapur di kabupaten pancawarga, fenomena kejadian  penyakit gondok, kretin, abortus dan BBLR di sebabkan adanya Endocrine Disrupting Chemicals  (EDC). Status kesehatan masyarakat merupakan resultan atau hasil hubungan

interaktif antara berbagai komponen lingkungan, seperti udara, air,

makanan, vector / binatang penular penyakit, tanah, serta manusia itu sendiri yang mengandung berbagai penyebab sakit, seperti golongan biologis, kimia dan golongan fisik. Terdapat 5 simpul indikator penyelidikan epidemiologi kesehatan lingkungan adalah sebagai berikut: 1) Simpul pertama (A) adalah studi komponen lingkungan pada sumbernya atau meng-emisikan agen penyakit (emission inventory). Fungsinya untuk menentukan sejauh mana potensi bahaya komponen lingkungan yang mungkin ditimbulkannya. Pada simpul ini sumber penyakit ialah pestisida dan sianida bersifat goitrogenik yang menyebabkan penyakit EDC. Parameter dari simpul ini berupa pengukuran komponen penyebab sakit yaitu seberapa banyak penggunaan pestisida oleh warga dan kandungan sianida dalam singkong. 2) Simpul kedua (B) adalah komponen pada “ambient” atau lingkungan pada kasus yang menjadi media transmisi ialah melalui air dan pangan (singkong). Parameter dari simpul ini berupa pengukuran komponen media transmisi penyebab sakit yaitu seberapa banyak kandungan pestisida pada makanan dan sumber air di wilayah perbukitan kapur kabupaten pancawarga serta seberapa banyak dan sering mengonsumsi singkong oleh warga sekitar. 3) Simpul ketiga (C) adalah parameter yang dapat menunjukkn “tingkat pemajanan” (level exposure) yaitu jenis kelamin, umur, dan perilaku. Pada simpul ini terjadi  pada laki-laki dan perempuan, usia anak-anak, dewasa, dan ibu hamil, serta  perilaku suka mengonsumsi singkong rebus. Parameter simpul ini melalui  pemeriksaan darah dengan melihat kadar dari hormon T3, T4 dan TSH di dalam tubuh. 4) Simpul keempat (D) studi gejala bila komponen lingkungan telah menimbulkan dampak. Tahap ini di tandai dengan pengukuran gejala sakit baik klinis maupun subklinis. Penyakit yang timbul antara lain GAKY yaitu gondok pada orang dewasa, kreatinisme pada anak-anak, abortus dan BBLR pada ibu hamil. 10

Parameter simpul ini yaitu jumlah penderita EDC pada warga di perbukitan kapur kabupaten pancawarga. 6. Program Pencegahan Kejadian Hipotiroid SATUAN ACARA PENYULUHAN

Pokok bahasan

: Hipotiroid

Sub Pokok

: Pencegahan Hipotiroid

Hari / tanggal

: Minggu, 2 Desember 2017

Waktu

: 30 menit

Tempat

: Balai Desa Kabupaten Pancawarga

Sasaran

: Masyarakat Kabupaten Pancawarga

Penyuluh

: Dwi sulis, Indah Febriani, Meilania Regina, Nadia Listiani, Nafi Ruhmita, Shifa Nur Annisa, Siska Amalia Rachmah

a) Analisa Situasi

Setelah dilakukan observasi ditemukan keluarga yang menderita pembesaran kelenjar gondok serta ditemukan pula beberapa anak-anak dengan kretin (pertumbuhan tidak normal). Lalu, setelah dilakukan wawancara mendalam dan bincang-bincang dengan masyarakat kabupaten Pancawarga diketahui terdapat beberapa warga yang setiap kali memiliki anak langsung keguguran/abortus, ada juga beberapa bayi yang hidup namun memiliki berat badan rendah (BBLR), selain itu hampir semua warga mengkonsumsi singkong rebus dan menggunakan sumber mata air yang sama yang berada di sekitar  bukit. b) Tujuan

1. Tujuan Instruksional Umum (TIU) Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan pada masyarakat Kabupaten Pancawarga diharapkan dapat memahami penyakit hipotiroid 2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK) Setelah dilakukan pendidikan kesehatan diharapkan masyarakat dapat:

11

a. Menjelaskan kembali pengertian hipotiroid  b. Menyebutkan penyebab hipotiroid c. Menjelaskan kembali tanda dan gejala hipotiroid d. Menyebutkan upaya pencegahan hipotiroid

c) Metode

1. Ceramah 2. Tanya jawab

d) Media

1. Leaflet 2. Lembar balik e) Kegiatan Pendidikan Kesehatan No Kegiatan

Penyuluh

1

-

Mengucapkan salam

-

Menjawab salam

-

Memperkenalkan diri

-

Masyarakat

Pembukaan (5 menit)

Masyarakat/audiens

mendengarkan dan menerima -

Menjelaskan

tujuan

Memperhatikan dengan baik

 penkes

2

Inti

1. Menjelaskan

pengertian

Hipotiroid (15 menit)

2. Menjelaskan

penyebab

Hipotiroid 3. Menjelaskan tanda dan gejala Hipotiroid 4. Menjelaskan

upaya

 pencegahan Hipotiroid 12

Mendengarkan

-

Mereview

/

mengulang

kembali materi yang telah diberikan 3

Penutup

Penutup

Masyarakat

dapat

menjawab

dan

 pertanyaan

mengucapkan salam

yang

diajukan -

(10 menit)

memperhatikan dan menjawab salam

e) Rencana Evaluasi

1) Evaluasi Struktural a. Masyarakat hadir di tempat penyuluhan.  b. Penyelenggaraan penyuluhan di Balai Desa Kabupaten Pancawarga. c. Pengorganisasisan penyelenggaraan penyuluhan dilakukan sebelumnya. 2) Evaluasi Proses a. Masyarakat Kabupaten Pancawarga antusias terhadap materi penyuluhan  b. Tidak ada masyarakat yang meninggalkan tempat penyuluhan sebelum  berakhirnya acara c. Masyarakat Kabupaten Pancawarga dapat menjawab pertanyaan dengan benar 3) Evaluasi Struktural Metode Evaluasi

: Diskusi dan Tanya Jawab

Jenis Pertanyaan

: Lisan

Jumlah soal

:4

Masyarakat dapat menjawab 2 dari 4 pertanyaan sebagai berikut : a. Jelaskan pengertian dari hipotiroid!  b. Sebutkan penyebab hipotiroid! 13

c. Jelaskan apa saja tanda dan gejala hipotiroid! d. Jelaskan upaya pencegahan hipotiroid!

f) Materi 1) Pengertian Hipotiroid

Hipotiroid merupakan sekumpulan gejala akibat berkurangnya atau berhentinya  produksi hormone tiroid yang ditandai oleh adanya metabolism tubuh yang lambat karena menurunnya konsumsi oksigen oleh jaringan serta tidak mampu menjaga fungsi tubuh secara normal. 2) Penyebab Hipotiroid

Hipotiroid terjadi karena penyebab primer yaitu gangguan pada kelenjar tiroid,  penyebab sekunder yaitu kelainan pada kelenjar hipofisis maupun penyebab tersier yaitu kelainan pada hypothalamus. Selain penyebab diatas, terdapat pula faktor-faktor yang dapat mencetuskan penyakit ini antara lain: a. Umur, usia diatas 60 tahun semakin beresiko terjadinya hipotiroid.  b. Jenis kelamin, perempuan lebih beresiko terjadinya gangguan tiroid. c. Genetik, genetik dianggap merupakan faktor pencetus utama. d. Cacat kongenital tiroid (kreatinisme), bayi premature yang terpapar antiseptic iodium dapat menimbulkan hipotiroidisme. e. Merokok, merokok dapat menyebabkan kekurangan oksigen di otak dan nikotin dalam rokok dapat memacu peningkatan reaksi inflamasi. f. Stress, berkorelasi dengan antibody terhaap antibody TSH reseptor. g. Riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan autoimun, merupakan faktor resiko hipotiroidisme tiroidtis autoimun. Penyakit ini disebabkan karena malfungsi dari sistem imun. Pada keadaan normal sistem imun terjadi untuk melindungi tubuh dari benda asing/mikroorganisme yang mengancam tubuh, namun paa penyakit ini justru merusak sel-sel dan jaringan tiroid sehingga  produksi hormone tidak mencukupi kebutuhan tubuh. h. Obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit tiroid, seperti amiodaron, lithium karbonat, dll. i.

Post terapi radioiodine, tiroidektomi 14

 j.

Operasi pada kelenjar tiroid.

k. Asupan iodium yang kurang saat dalam masa kehamilan maupun setelah masa kelahiran. l.

Lingkungan, yaitu kadar iodium dalam air kurang

3) Tanda dan Gejala Hipotiroid

Gejala-gejala hipotiroid seringkali tidak terlihat jelas. Mereka tidak spesifik dan seringkali dihubungkan pada penuaan. Pasien-pasien dengan hipotiroid ringan mungkin tidak mempunyai tanda-tanda atau gejala-gejala. Gejala-gejala umumnya menjadi lebih nyata ketika kondisinya memburuk dan mayoritas dari keluhankeluhan ini berhubungan dengan suatu perlambatan metabolisme tubuh. Gejala-gejala umum tersebut sebagai berikut: a. Kelelahan  b. Depresi c. Kemampuan berbicara menurun d. Kelambanan/perlambatan daya pikir (intelektua menurun, gangguan ingatan,  proses psikis pelan) e.  Ngantuk yang berlebihan f. Sakit kepala g. Gangguan penglihatan h. Rambut kering dan kasar i.

Sembelit

 j.

Berat badan naik/gemuk

k. Tidak tahan dingin l.

Produksi keringat berkurang

m. Kulit kering n. Kram otot o. Konsentrasi menurun  p. Gangguan pertumbuhan q. Pada janin atau bayi, kekurangan hormon tiroid dapat menimbulkan cacat fisik, cacat mental, kelainan saraf dan munculnya kretin. Yaitu kondisi retardasi mental disertai dengan bisu, tuli, cara berdiri dan berjalan yang khas, serta  pertumbuhan yang terhambat.

15

4) Upaya Pencegahan Hipotiroid

a. Hindari jenis makanan tertentu yang dianggap sebagai zat goitrogenik. Bila tidak dapat dihindari, maka kurangi kadar sianida pada sumber makanan yang mengandung zat goitrogenik dengan pengolahan makanan yang tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara direndam dalam waktu tertentu, direbus, ditumis, atau difermentasi.  b. Konsumsi makanan yang kaya iodium seperti susu, rumput laut, daging sapi, makanan yang bersumber dari laut, dan lain-lain c. Menggunakan garam beriodium d. Mengkonsumsi suplemen yang mengandung multivitamin mineral terutama iodium, seng, niasin, dan selenium dalam jumlah yang cukup e. Bagi para petani, dianjurkan mengganti penggunaan pupuk urea dan insektisida  buatan dengan pupuk dan insektisida alami. f. Jika terdapat tanda-tanda yang mirip dengan hipotiroid, segera laporkan ke  penyedia layanan kesehatan terdekat.

7. Bahan Kimia Penyebab Hipotiroid dan Pencegahannya

GAKI adalah sekumpulan gejala klinis yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan (defisiensi) unsur iodium secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama (WHO, 2001). Penanggulangan masalah GAKI secara nasional sudah dilalcukan sejak tahun 1975. Departemen Kesehatan melaporkan penurunan endemisitas GAKI secara drastis melalui program penggunaan garam KIO3 di atas 30  ppm. Selain rendahnya kandungan Iodium dalam makanan, kekurangan Iodium dapat pula disebabkan oleh adanya zat yang menghambat produksi atau penggunaan hormon tiroid. Zat semacam ini disebut zat goitrogenik.  Jenis Zat Goitrogenik : a) Goitrogenik Alami b) Goitrogenik Non AlamI

 Mekanisme Kerja Goitrogenik Alami 16

a)  Kelompok Tiosianat b)  Kelompok Tiourea

1. Sianida

Istilah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI), diperkenalkan sejak tahun l97Aan untuk menggantikan istilah Gondok Endemik (GE), dan digunakan untuk mencakup semua akibat kekurangan iodium terhadap pertumbuhan dan  perkembangan

yang

dapat

dicegah

dengan

pemulihan

kekurangan

iodium

(Djokomoeljanto, 2002). GAKI adalah sekumpulan gejala klinis yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan (defisiensi) unsur iodium secara terus menerus dalam  jangka waktu yang cukup lama (WHO, 2001). Penanggulangan masalah GAKI se cara nasional sudah dilalcukan sejak tahun 1975. Departemen Kesehatan melaporkan  penurunan endemisitas GAKI secara drastis melalui program penggunaan garam KIO3 di atas 30 ppm. Melalui program tersebut total goiter prevalence (TGR) menurun dan 27 menjadi 9,8. Penyakit gondok tersebut dapat dicegah, salah satu cara pencegahannya adalah dengan peningkatan konsumsi garam beriodium. Garam beriodium yang digunakan harus memenuhi Standar Nasional yakni mengandung iodium sebesar 3080 ppm. Dianjurkan setiap orang mengkonsumsi garam beriodium sekitar 6 g atau I sendok teh setiap hari. Kebutuhan ini dapat terpenuhi dari makanan sehari-hari yang diolah dengan menggunakan garam sebagai penambah rasa dalam hidangan. Kadar iodium dalam bahan makanan bervariasi dan dipengaruhi oleh l etak geografis, musim, dan cara memasaknya. Bahan makanan laut mengandung kadar iodium lebih banyak. Kadar iodium berbagai bahan makanan misalnya ikan tawil (basah) 30 pg/kg bahan, ikan tawar ftering) 116 pg/kg, ikan laut (basah) 812 pg/kg, ikan laut (kering) 3.715  pg/kg, cumi-cumi (basah) 798 pg/kg, cumi-cumi (kering) 3.866 pg/kg, daging Oasah) 50 pg/kg, susu 47 pg/kg, telur 93 pg/kg, sayur 29 pg/kg, cereal 47 pg/kg, (Harsono, 1994) Kadar iodium pada pengelolaan makanan akan berkurang tergantung cara memasaknya. Ikan yang digoreng kadar iodiumnya berkurang 25 yo, bila di bakar  berkurang 25 % dan bila di rcbus (tanpa ditutupi) akan berkurang hingga 56 Sebaliknya iodium bisa disenyawakan dengan berbagai zat misalnya dengan NaCl  pada iodisasi garam dapur, dilarutkan dalam air dalam senyawa Kl, ataupun dilarutkan dalam minyak (lipiodol) (Harsono, 1994). 17

Selain rendahnya kandungan Iodium dalam makanan, kekurangan Iodium dapat pula disebabkan oleh adanya zat yang menghambat produksi atau penggunaan hormon tiroid. Zat semacam ini disebut zat goitrogenik. Pengaruh zat goitogenik akan menjadi nyata jika terjadi kekurangan iodium (Kartono, 2004). Berdasarkan sumbernya goitrogenik terdiri dari goitrogenik alami dan goitrogenik non alami. Goitrogenik alami seperti pada singkong, rebung, kol, ubi jalar, buncis besar, kacangkacangan, bawang merah dan bawang putih. Sedangkan yang non alami seperti bahan  polutan akibat kelebihan pupuk urea, pestisida dan bakteri coli (Thaha 2002). Berdasarkan mekanisme kerjanya zat goitrogenik alami dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu 1) kelompok tiosianat atau senyawa mirip tiosianat yang bekerja menghambat

mekanisme transport aktif iodium ke dalam kelenjar tiroid dan 2) kelompok tiourea yang bekerja menghambat proses organifikasi iodium dan

 penggabungan iodotirosin dalam pembentukan hormon tiroid aktif. Bahan makanan yang kaya sumber tiosianat antara lain ubi kayu, hasil olah ubi kayu, lobak, kol, rebung, ubi jalar dan buncis besar. Bahan makanan yang mengandung tiourea contohnya sorgum, kacang-kacangan, kacang tanah, bawang merah dan bawang putih. Bahan makanan goitrogen yang populer dan banyak dikonsumsi di banyak negara berkembang adalah singkong. 2001 Kadar sianida dalam singkong bervariasi sekitar 70 mg- 400 mg/kg. Bila kadar sianida singkong sekitar 400 mg/kg, singkong itu disebut singkong pahit, sedang bila 70 mg/kg disebut singkong manis. Menurut FAO/WHO batas aman sianida adalah 10 mg/kg  beratkering

(Murdiana).

Kadar

sianida

dalam

bahan

makanan

dapat

diturunkan/dikurangi melalui pemasakan. Sebagai contoh pengolahan pada jenis sayuran dengan cara direbus dan ditumis dapat menurunkan kadar sianida hingga  berkisar 50 %. Umbi-umbian yang telah direbus berkisar sianidanya tinggal 2 - 38 % (Murdiana dan Sukati, 2001; Tabel 2). Selain dimasak penurunan kadar sianida juga  bisa dilakukan dengan fermentasi dan perendaman. Bahan makanan lain yang mengandung goitrogenik adalah kol, kedelai mentah (Setiadi, 1980). Salah satu jenis goitrogenik ini adalah golongan tiosianat (SCID Goitrogenik tiosianat berasal dari prekusor tiosianat yaitu sianogenik glikosida sianohidrin dan asam sianida (sianida bebas). Perubahan sianida menjadi tiosianat terjadi ketika bahan makanan goitrogen dicerna dengan bantuan enzim glikosidase serta enzim sulfur transferase. Tiosianat merupakan hasil detoksifikasi sianida 18

makanan di dalam tubuh yang diekskresikan dalam urin. Murdiana et al., (2001) melakukan penelitian untuk mengurangi kadar goitrogenik jenis tiosianat di daerah gondok endemik yaitu Pundong Yogyakarta dan Srumbung Magelang. Rata-rata kadar sianida bahan makanan mentah bekisar 2 - 18 mg/100 g bahan mentah. Setelah dilakukan pengolahan pada jenis sayuran dengan cara rebus dan tumis kadar sianida masih berkisar 50 %. Sedangkan pada umbi-umbian setelah direbus berkisar 2 - 38 mg/100 g dan bila ditumis masih berkisar 40 - 70 %. Selain cara di atas penurunan kadar sianida juga bisa dilakukan dengan fermentasi dan perendaman. 2. Pestisida

Pestisida merupakan bahan kimia yang tergolong sebagai endocrine disrupting chemicals (EDCs), yaitu senyawa kimia di lingkungan yang mengganggu sintesis, sekresi, transport, metabolisme, aksi pengikatan, dan eliminasi dari hormon-hormon dalam tubuh yang berfungsi menjaga keseimbangan (homeostasis), reproduksi, dan  proses tumbuh-kembang (Diamanti et al., 2009). Sementara Crofton, memberikan sebutan thyroid disrupting chemicals (TDCs), untuk bahan-bahan kimia di lingkungan yang mengganggu struktur atau fungsi kelenjar tiroid, mengganggu system pengaturan enzim yang berhubungan dengan keseimbangan hormontiroid, dan mengubah sirkulasi serta kadar hormontiroid di  jaringan (Crofton, 2008). Salah satu hormon yang berisiko mengalami dampak negatif akibat pajanan pestisida adalah hormon tiroid. Hormon tiroid, yang terdiri dari tiroksin (T4) dan triyodotironin (T3), berfungsi untuk mempertahankan tingkat metabolisme di berbagai jaringan agar tetap optimal, dan sangat diperlukan dalam  proses pertumbuhan badan, perkembangan otak (kecerdasan), perkembangan sistem saraf, dan perkembangan sistem jaringan gigi serta tulang (Stone and Walace, 2003;  National Research Council of The National Academies, 2005). Hipotiroidisme adalah suatu keadaan di mana kelenjar tiroid tidak dapat memproduksi hormon (T4 dan T3) cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Stone and Walace, 2003; Wiersinga, 2004; Djokomoeljanto, 2007a). Asupan yodium yang kurang merupakan penyebab utama terjadinya hipotiroidisme di daerah-daerah tertentu, terutama di daerah dataran tinggi. Rendahnya kandungan yodium dalam air, tanah, dan produk-produk pertanian menyebabkan asupan yodium kurang, sehingga kelenjar tiroid kekurangan bahan baku untuk sintesis hormon tiroid. Kadar hormon tiroid yang rendah akan meningkatkan produksi Thyroid Stimulating Hormone (TSH), suatu hormon yang akan memacu peningkatan sintesis hormon tiroid dan merangsang 19

 pembesaran kelenjar tiroid (gondok, goiter), sehingga keadaan ini sering disebut sebagai gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) (Djokomoeljanto, 2007b). Kondisi hipotiroid, bila terjadi pada wanita, akan mengakibatkan terjadinya infer tilitas, abortus spontan, gangguan tumbuh-kembang janin, placental abruption dan bayi lahir sebelum waktunya (Hetzel, 2000; Dunn, 2003; Akhter and Hassan, 2009). Meningkatnya insidens dan prevalensi anak dengan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau autisme dua dekade terakhir, kemungkinan juga disebabkan oleh meningkatnya kasus hipotiroidisme ringan pada ibu hamil yang salah satunya diduga akibat pajanan bahan toksik di lingkungan (Roman, 2007). Sementara, bila terjadi pada anak, hipotiroidisme dapat menyebabkan gangguan tumbuh-kembang antara lain ditandai dengan panjang/tinggi badan yang kurang dan gangguan kecerdasan (Desai, 2011). Banyaknya kasus kretin, orang dengan tinggi badan sangat  pendek dan kecerdasan yang rendah, di daerah endemik gondok/GAKY, merupakan  bukti, pentingnya hormon tiroid dalam proses tumbuh-kembang manusia. Gondok atau goiter merupakan salah satu tanda dari hipotiroidisme, meskipun tidak semua kasus gondok disebabkan hipotiroidisme. Analisis lebih lanjut menyimpulkan bahwa, dengan memperhitungkan  beberapa faktor lain, seperti tingkat asupan yodium, umur, status gizi dan fungsi hati, WUS yang terpajan pestisida mempunyai risiko 3,3 kali untuk menderita hipotiroidisme dibanding WUS yang tidak terpajan pestisida (OR=3,3 dan 95% CI=1,3- 8,8) (Suhartono et al., 2012). Meskipun kasus hipotiroidisme yang ditemukan masih dalam kategori ‘ringan’ (sub-klinis, belum ada tanda dan gejala klinis), namun dampak jangka panjangnya harus diwaspadai, terutama bila terjadi pada ibu hamil. Hipotiroidisme pada ibu hamil, baik klinis maupun sub-klinis, berdampak terhadap  pertumbuhan dan perkembangan janin yang dikandungnya. Sampai umur kehamilan 20 minggu, pertumbuhan otak dan organ lain dari janin sangat tergantung kepada hormon tiroid ibu, karena sampai umur tersebut janin belum dapat memproduksi hormon tiroid sendiri (Pop and Vulsma, 1999). Penelitian di Belanda membuktikan  bahwa anak-anak yang dilahirkan oleh ibu dengan kadar hormon tiroid di awal kehamilan normal ‘rendah’ mempunyai rerata skor tumbuh-kembang yang lebih rendah dibanding anak-anak yang dilahirkan oleh ibu dengan kadar hormon tiroid normal ‘tinggi’ (Pop et al., 2003). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kondisi hormon tiroid yang optimal pada ibu hamil, khususnya di trimester pertama, sangat diperlukan untuk menjamin kualitas anak yang dilahirkan, karena dalam kondisi kadar 20

hormon yang normal saja, antara yang normal ‘rendah’ dan normal ‘tinggi’ terbukti  berbeda kualitas tumbuh-kembangnya. Pestisida dapat mengganggu proses sintesis dan metabolisme hormon tiroid melalui beberapa mekanisme, yaitu pertama, mengganggu reseptor TSH (TSH-r) di kelenjar tiroid, sehingga TSH yang akan memacu sintesis hormon tiroid tidak dapat masuk ke dalam kelenjar, dan berdampak pada terhambatnya sintesis hormon tiroid (Boas et al., 2006); kedua, pestisida menghambat kerja enzim deyodinase tipe satu (D1), yang berfungsi mengkatalis perubahan T4 menjadi T3 (bentuk aktif hormon dalam tubuh) (Wade et al., Suhartono : Dampak Pestisida Terhadap Kesehatan 19 (2002); ketiga, karena kemiripan struktur kimia dari pestisida dengan hormon tiroid, hal ini menyebabkan terjadinya persaingan dalam pengikatan oleh reseptor hormon tiroid (TH-r) di sel target (Boas et al., 2006); dan keempat, pestisida diduga memacu kerja dari enzim D3, yang berfungsi merubah T4 menjadi rT3 (bentuk inaktif hormon tiroid), sehingga tubuh kekurangan bentuk aktif hormon tiroid (T3) (Boas et al., 2006; Bianco et al., 2002). Pada

tahun

2012,

Badan

Penelitian

dan

Pengembangan

Kesehatan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Badan Litbang Kemenkes) bekerjasama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro (FKM Undip), melakukan penelitian di kawasan pertanian Kota Batu, Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi hipotiroidisme pada anak balita di dua desa dengan intensitas penggunaan pestisida ‘tinggi’ (daerah pajanan), yakni Desa Giripurno dan Sumber Brantas, mencapai 36,4% dan di dua desa kontrol (pembanding, daerah non pajanan, penggunaan pestisida rendah), yaitu Desa Dadaprejo dan Oro-oro Ombo,  prevalensinya hanya 13,6%. Hasil penelitian membuktikan bahwa anak yang tinggal di daerah pajanan mempunyai risiko 2,1 kali untuk menderita hipotiroidisme dibanding anak di daerah non-pajanan (Tabel 1). Demikian pula dengan angka kejadian stunting, prevalensinya lebih besar di daerah ‘pajanan pestisida’ dibanding daerah ‘non- pajanan’, yakni 33,3% dibanding 17,5%. Hasil pemeriksaan residu  pestisida di lingkungan mendapatkan 17 dari 20 (85,0%) sampel air positif mengandung residu acephate dan pethoxamide dan semua sampel tanah (100,0%) mengandung residu acephate dan 2,4-dichlorophenoxyacetic (2,4-D) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, tampak bahwa ada  potensi bahaya kesehatan akibat pajanan pestisida dosis rendah dalam waktu panjang, 21

khususnya pada masyarakat yang bertempat-tinggal di kawasan pertanian. WUS atau anak-anak yang tinggal di kawasan pertanian, mungkin tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan pertanian yang berisiko kontak dengan pestisida, seperti menyampur dan menyemprotkan pestisida. Namun, kontak melalui residu yang ada di lingkungan, seperti hasil panen, air maupun tanah menempatkan mereka sebagai populasi yang  berisiko mengalami berbagai gangguan kesehatan akibat pajanan pestisida. Tidak bisa dipungkiri, bahwa untuk menunjang ekonomi keluarga, banyak WUS maupun anak yang ikut terlibat dalam kegiatan pertanian, meskipun sebatas pada kegiatan menyiangi rumput/tanaman pengganggu, memanen, atau menata dan mengikat hasil  panen (‘mbrodoli’), namun kegiatan-kegiatan tersebut tetap berisiko terjadinya  pajanan, antara lain karena masih adanya residu pestisida pada hasil panen. Sebagai  bahan kimia yang tergolong sebagai EDCs, penggunaan pestisida yang berlebihan, sangat mengancam kesehatan dan kualitas sumberdaya manusia kita di masa mendatang. Tingginya kasus gondok/goiter dan hipotirodisme pada anak dan WUS di daerah pertanian mencerminkan adanya ancaman tersebut.

3. Pencegahan hipotiroid

Belum banyak dilakukan penelitian tentang penurunan kadar sianogenik pada  beberapa bahan makanan selain singkong. Demikian juga dengan penelitian tentang  pemanfaatan kearifan lokal untuk mereduksi kadar sianogenik pada bahan makanan masih sedikit sekali. Berikut ini beberapa penelitian yang serupa dengan penelitian ini, yaitu : 1. Cardoso et al. (2005) melakukan penelitian dengan judul Processing of cassava roots to remove cyanogens. Diperoleh hasil bahwa heap fermentation dan  penjemuran di bawah sinar matahari yang biasa dilakukan di Afrika Timur dan Utara tidak cukup menurunkan kadar sianida pada singkong. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan ini adalah bahan makanan tidak hanya terbatas pada singkong dan cara  pengolahan bersumber pada kearifan lokal masyarakat Jember, dan dimungkinkan tidak hanya terbatas pada cara fermentasi dan penjemuran. Selain itu, penelitian yang dilakukan ini juga dilanjutkan dengan clinical trial untuk melihat pengaruh cara  pengolahan yang bersumber pada kearifan lokal terhadap penurunan kadar tiosianat urin. 2. Nambisan, (2011) melakukan penelitian dengan judul Strategies for elimination of cyanogens from cassava for reducing toxicity and improving food safety. Didapatkan hasil bahwa proses pengolahan tradisional berupa perebusan, penjemuran,  pemanggangan, penggorengan dan pemanasan menghasilkan penurunan sianida 22

sebesar 25%-98%. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan ini adalah bahan makanan tidak hanya terbatas pada singkong, cara pengolahan bersumber pada kearifan lokal masyarakat Jember dan tidak hanya terbatas pada cara perebusan,  penjemuran, pemanggangan, digoreng dan pemanasan. Selain itu, penelitian yang dilakukan ini juga dilanjutkan dengan clinical trial untuk melihat pengaruh cara  pengolahan yang bersumber pada kearifan lokal terhadap penurunan kadar tiosianat urin. 3. Burns et al. (2012) melakukan penelitian dengan judul Total cyanide content of cassava food products in Australia, mendapatkan hasil bahwa kripik singkong dan singkong yang dibekukan mengandung sianida > 10 ppm, pengolahan berupa  perebusan, pemanggangan dan penggorengan pada singkong yang dibekukan hanya akan menurunkan 10-75% sianida, tidak bisa di bawah level yang dianjurkan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan ini adalah bahan makanan tidak hanya terbatas pada singkong dan cara pengolahannya bersumber pada kearifan lokal masyarakat Jember. Selain itu, penelitian yang dilakukan ini juga dilanjutkan dengan clinical trial untuk melihat pengaruh cara pengolahan yang bersumber pada kearifan lokal terhadap penurunan kadar tiosianat urin. 4. Hotz dan Gibson, (2007) melakukan  penelitian dengan judul “Traditional foodprocessing and preparation practices to enhance the bioavaibility of micronutrients in plants based diet  . Hasilnya ”

menunjukkan bahwa cara tradisional berupa fermentasi, germination dan soaking dapat menurunkan fitat. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan ini adalah zat yang akan direduksi dan cara pengolahan tradisionalnya hanya berupa fermentasi, germination dan soaking.

23

BAB III Kesimpulan EDC ( Endocrine Disrupting Chemicals  ) adalah bahan kimia eksogen (non-alami), atau campuran bahan kimia, yang dapat mengganggu aspek tindakan hormon apapun ( The  Endocrine Society  (endocrine.org). Endocrine Disrupting Chemicals ini bisa dengan mudah kita temukan di sekitar lingkungan kita dapat ditemukan pada produk sehari-hari - termasuk  botol plastik, kaleng makanan logam, deterjen, fla me retardants, makanan, mainan, kosmetik, dan pestisida. EDC ini dapat mempengaruhi sistem hormonal manusia sehingga dapat menimbulkan  beberapa masalah gangguan kesehatan, seperti gangguan kesehatan reproduksi pria dan wanita, hipotiroidisme, mempengaruhi perkembangan saraf pada anak, obesitas, Diabetes Mellitus tipe 2, dan gangguan metabolisme lainnya. Pada kasus perbukitan kapur di kabupaten pancawarga, fenomena kejadian penyakit gondok, kretin, abortus dan BBLR di sebabkan adanya  Endocrine Disrupting Chemicals (EDC). Status kesehatan masyarakat merupakan resultan atau hasil hubungan interaktif antara  berbagai komponen lingkungan, seperti udara, air, makanan, vector / binatang penular  penyakit, tanah, serta manusia itu sendiri yang mengandung berbagai penyebab sakit, seperti golongan biologis, kimia dan golongan fisik. Untuk mengatasi masalah kesehatan di Kabupaten Pancawarga terkait dengan hipotiroidisme maka perlu dibuat suatu program pencegahan untuk Hipotiroidisme itu sendiri, yaitu yang ke 1, hindari jenis makanan tertentu yang dianggap sebagai zat goitrogenik. Bila tidak dapat dihindari, maka kurangi kadar sianida pada sumber makanan yang mengandung zat goitrogenik dengan pengolahan makanan yang tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara direndam dalam waktu tertentu, direbus, ditumis, atau difermentasi. Yang ke 2, Konsumsi makanan yang kaya iodium seperti susu, rumput laut, daging sapi, makanan yang bersumber dari laut, dan lain-lain. Yang 3, Menggunakan garam beriodium untuk memasak. Yang ke 4, mengkonsumsi suplemen yang mengandung multivitamin mineral terutama iodium, seng, niasin, dan selenium dalam jumlah yang cukup. Yang ke lima, bagi para petani, dianjurkan mengganti penggunaan pupuk urea dan insektisida buatan dengan pupuk dan insektisida

24

alami. Dan yang terakhir, Jika terdapat tanda-tanda yang mirip dengan hipotiroid, segera laporkan ke penyedia layanan kesehatan terdekat.

25

DAFTAR PUSTAKA

Ihsan N, Nurcahyani YD. 2015. Hubungan Defisiensi Selenium Dengan Thyroid Stimulating Homone (TSH), Triiodotyronin (T3), dan Free Thyroxine (fT4) Pada Anak Sekolah Dasar Di Daerah Endemik GAKI. Jurnal MGMI Vol. 6, No.2, Juni 2015: 123-132. Satoto. 2002. Selenium dan Kurang Iodium. Jurnal GAKY Indonesia Vol. 1, No. 1, April 20012. Diaskespada:https://www.scribd.com/uploaddocument?archive_doc=169605498&escape=fals e&metadata=%7B%22context%22%3A%22archive_view_restricted%22%2C%22page%22% 3A%22read%22%2C%22action%22%3A%22missing_page_signup%22%2C%22logged_in% 22%3Atrue%2C%22platform%22%3A%22web%22%7D

https://www.niehs.nih.gov/health/topics/agents/endocrine/index.cfm

WHO.2014. Identification of risks from exposure to ENDOCRINE-DISRUPTING CHEMICALS at the country level. Denmark acess http://www.euro.who.int/en/publications/abstracts/identification-of-risks-from-exposure-toendocrine-disrupting-chemicals-at-the-country-level http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/19883/Chapter%20II.pdf?sequence=4&isAllo wed=y http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-tiroid.pdf 

http://www.who.int/ceh/risks/cehemerging2/en/ https://www.endocrine.org/topics/edc/what-edcs-are

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF