Makalah Biografi Imam Syafi'i 1
April 6, 2017 | Author: Khoirunisa Oktafiani | Category: N/A
Short Description
Download Makalah Biografi Imam Syafi'i 1...
Description
IMAM SYAFI’I
2014
Pendidikan Agama Islam
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena saya dapat menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Agama Islam tentang Biografi Imam Syafi‟I yang saya ambil dari berbagai sumber. Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan dan pengetahuan saya selaku penulis dan pembaca. Akhirnya saya menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati saya menerima kritik dan saran agar penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih dan semoga karya tulis ini bermanfaat bagi para pembaca. Jakarta, 22 febuari 2014 Khoirunisa Oktafiani Penulis
DAFTAR ISI Halaman judul Kata pengantar …………………………………..……………………..... Daftar Isi…………………………………………………...………….…. BAB I PENDAHULUAN………………………………..…..……….……….
1.1 Latar Belakang………………………………………………..……… 1.2 Rumusan Masalah ………………………………………...……...….. 1. Bagaimana Kelahiran Imam Syafi‟i? 2. Bagaimana Pertumbuhan Imam Syafi‟i? 3. Siapakah Nasab & garis keturunan nya Syafi‟i? 4. Dimana sajakah Masa belajar Imam Syafi‟i? 5. Bagaimana Kecerdasan Imam Syafi‟i? 6. Bagaimana Keteguhan Imam Syafi‟i dalam membela Sunnah? 7. Bagaimana Kedudukan Imam Syafi‟i di mata pembesar umat? 8. Bagaimana Prinsip Aqidah Imam Syafi‟i? 9. Bagaimana Prinsip Fikih Imam Syafi‟i? 10. Bagaimana Pola pemikiran, faktor-faktor yang mempengaruhi dan metode istidlal, Imam Syafi‟i dalam menetapkan hukum Islam?
11. Bagaimana Sikap Imam Syafi‟i terhadap Ahlul Bid‟ah? 12. Apa sajakah Kata-kata hikmah Imam Syafi‟i? 13. Bagaimana Pujian ulama kepada Imam Syafi‟i? 14. Siapa sajakah Guru-guru Imam Syafi‟i? 15. Siapa sajakah Murid-murid Imam Syafi‟i? 16. Bagaimana menelusuri Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi‟i rahimahullahu? 17. Apa sajakah Karya tulis Imam Syafi‟i? 18. Bagaimana Wafat nya Imam Syafi‟i?
BAB II PEMBAHASAN………………………………….……………........... …
2.1 Kelahiran Imam Syafi‟i………………………………………………………… 2.2 Pertumbuhan Imam Syafi‟i…………………………………………………….. 2.3 Nasab & garis keturunan nya Syafi‟i…………………………………………… 2.4 Masa belajar Imam Syafi‟i……………………………………………………… 2.5 Kecerdasan Imam Syafi‟i………………………………………………………. 2.6 Keteguhan Imam Syafi‟i dalam membela Sunnah……………………………… 2.7 Kedudukan Imam Syafi‟i di mata pembesar umat……………………………… 2.8 Prinsip Aqidah Imam Syafi‟i…………………………………………………… 2.9 Prinsip Fikih Imam Syafi‟i……………………………………………………… 2.10
Pola pemikiran, faktor-faktor yang mempengaruhi dan metode istidlal, Imam Syafi‟i
dalam menetapkan hukum Islam…………………………………………..…….
2.11
Sikap Imam Syafi‟i terhadap Ahlul Bid‟ah………………………………....
2.12
Kata-kata hikmah Imam Syafi‟i……………………………………………..
2.13
Pujian ulama kepada Imam Syafi‟i…………………………………………..
2.14
Guru-guru Imam Syafi‟i....................................................................................
2.15
Murid-murid Imam Syafi‟i……………………………………………………
2.16
Menelusuri Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi‟i rahimahullahu
2.17
Karya tulis Imam Syafi‟i…………………………………………………..
2.18
Wafat nya Imam Syafi‟i……………………………………………………..
BAB III PENUTUP …………….…………………………….…………..……….
3.1 Kesimpulan………………………………...……………………………… 3.2 Saran………………………………………………………………............. DAFTAR PUSTAKA…….…………………………………………………………. LAMPIRAN…………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ulama adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di tengah umat bagai pelita dalam kegelapan. Titah dan bimbingannya laksana embun penyejuk dalam kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu hidup dalam sanubari umat. Dengan segala hikmah dan kasih saying-Nya, Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang Maha Hakim lagi Maha Rahim tak membiarkan umat Islam dalam setiap generasinya lengang dari para ulama. Diawalai dari para sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam manusia terbaik umat ini, kemudian dlanjukan oleh para ulama seelah mereka, dari generasi ke generasi. Orang-orang pilihan pewaris para nabi yang selalu siaga membela agama Allah Subhanahu wa Ta‟ala dari pemutarbalikan pengertian agama yang dillakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat dengan kedok agama, dan penakwilan menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang jahil. Di antara para ulama tersebut adalah Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i rahimahullahu. Seorang ulama besar umat ini yang berilmu tinggi berakidah lurus, berbudi pekerti luhur, lagi bernasab mulia. Dalam islam kita juga mengenal empat imam madzhab besar, yang tokoh-tokohnya terdiri dari Imam Syafi‟i, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Pandangan-pandangan dari empat ke empat madzhab lebih dikenal kaitannya dalam studi ilmu fiqih, yang mana mereka mempunyai perbedaan pendapat dalam menganalisa tentang kedudukan dan penerapan hukum islam. Namun disini pemakalah hanya akan membahas sedikit mengenai Imam Syafi‟i.
1.2 Rumusan masalah 1. Bagaimana Kelahiran Imam Syafi‟i? 2. Bagaimana Pertumbuhan Imam Syafi‟i?
3. Siapakah Nasab & garis keturunan nya Syafi‟i? 4. Dimana sajakah Masa belajar Imam Syafi‟i? 5. Bagaimana Kecerdasan Imam Syafi‟i? 6. Bagaimana Keteguhan Imam Syafi‟i dalam membela Sunnah? 7. Bagaimana Kedudukan Imam Syafi‟i di mata pembesar umat? 8. Bagaimana Prinsip Aqidah Imam Syafi‟i? 9. Bagaimana Prinsip Fikih Imam Syafi‟i?
10. Bagaimana Pola pemikiran, faktor-faktor yang mempengaruhi dan metode istidlal, Imam Syafi‟i dalam menetapkan hukum Islam?
11. Bagaimana Sikap Imam Syafi‟i terhadap Ahlul Bid‟ah? 12. Apa sajakah Kata-kata hikmah Imam Syafi‟i? 13. Bagaimana Pujian ulama kepada Imam Syafi‟i? 14. Siapa sajakah Guru-guru Imam Syafi‟i? 15. Siapa sajakah Murid-murid Imam Syafi‟i? 16. Bagaimana menelusuri Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam AsySyafi‟i rahimahullahu?
17. Apa sajakah Karya tulis Imam Syafi‟i? 18. Bagaimana Wafat nya Imam Syafi‟i?
BAB II PEMBAHASAN Riwayat singkat kehidupan Imam Syafi‟i Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‟i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani „Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani „Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan „Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang „Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‟i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
2.1 Kelahiran Imam Syafi’i Ia lahir di Gaza palestina Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah[3].
2.2 Pertumbuhan Imam Syafi’i Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset. Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya‟ir sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun
mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin.
2.3 Nasab & Keturunan Imam Syafi’i Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi‟ bin As-Sa‟ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka‟ab bin Lu‟ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma‟ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf. Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa‟, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa‟ib, ayahnya Syafi‟. Kepada Syafi‟ bin As-Sa‟ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Nama Al-Imam Asy-Syafi‟i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi‟ bin As-Saib (Asy-Syafi‟i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela hadits NabiShallallahu „alaihi wa sallam). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah garis keturunan beliau berikut ini: Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi‟ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka‟b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma‟d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi‟i karya AlImam Al-Baihaqi rahimahullahu, 1/76, 472, Siyar A‟lamin Nubala‟karya Al-Imam AdzDzahabi rahimahullahu, 10/5-6, dan Tahdzibul Asma‟ wal Lughatkarya Al-Imam AnNawawi rahimahullahu, 1/44)
2.4 Masa belajar Imam Syafi’i Masa belajar Setelah ayah Imam Syafi‟i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi‟i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma‟i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi‟i adalah imam bahasa Arab.
Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi‟i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya‟irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama‟ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi‟, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa‟id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama‟ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha‟ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi‟i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi‟ dan lain-lain. Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha‟ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.”
Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha‟ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur‟an, lebih dari kitab AlMuwattha‟ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha‟ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.” Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama‟ yang ada di AlMadinah, seperti Ibrahim bin Sa‟ad, Isma‟il bin Ja‟far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz AdDarawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Di Yaman
Imam Syafi‟i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama‟ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma‟il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid. Dan selama beliau di Iraq, dapatlah menambah dan meluaskan ilmu pengetahuan fiqh ahli Iraq; pun beliau dapat pula menambah pengetauan tentang cara-cara Qadhy (hakim) memeriksa perkara dan memutuskan urusan, cara-cara memberi fatwa dan menjatuhkan hokum dan sebagainya yang dilakukan oleh para Qadht dan Mufty disana (kepala agama yang bertanggung jawab tentang masalah-masalah agama), yang selamanya belum pernah beliau ketahui selama di Hijaz.[5]Beliau juga mendirikan madzhab Qadim / Qaul Qadim.[6]
Di Mesir
Imam Syafi‟i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi‟i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi‟i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
2.5 Kecerdasan Imam Syafi’i Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya: 1. Kemampuannya menghafal Al-Qur‟an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun. 2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta‟ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun. 3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i. 4. Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun. Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi`i: “Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa.”
2.6 Keteguhan Imam Syafi’i dalam membela Sunnah Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits. Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‟i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi „i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‟i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
2.7 Kedudukan Imam Syafi’i di mata pembesar umat Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi‟i yang demikian panjang dalam menuntut ilmu benarbenar membuahkan keilmuan yang tinggi, prinsip keyakinan (manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang baik, dan budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan beliau demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di bidang tafsir, qiraat Al-Qur‟an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab. Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi saksi terbaik atas itu semua. Berikut ini contoh dari sekian banyak penghormatan pembesar umat terhadap Al-Imam Asy-Syafi‟i yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut: Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib karya Asqalani rahimahullahudisebutkan bahwa:
Al-Hafizh
Ibnu
Hajar
Al-
Al-Imam Abu Zur‟ah Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang AsySyafi‟i keliru dalam meriwayatkannya.” Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi‟i belum pernah keliru dalam meriwayatkan suatu hadits.” Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullahu berkata kepada putranya: “Tulislah semua yang keluar dari Asy-Syafi‟i dan jangan kau biarkan satu huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.” Al-Imam Yahya bin Ma‟in rahimahullahu berkata tentang Asy-Syafi‟i: “Tsiqah (terpercaya).” Al-Imam Yahya bin Sa‟id Al-Qaththan rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham tentang urusan agama daripada Asy-Syafi‟i.” Al-Imam An-Nasa‟i rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi‟i di sisi kami adalah seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.” Al-Imam Mush‟ab bin Abdullah Az-Zubairi rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari Asy-Syafi‟i dalam hal sejarah.” Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir rahimahullahu terhadap kitab Ar-Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi‟i (hal. 6) disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi‟i (atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta‟ala, pen.), niscaya kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.” Beliau juga berkata: “Asy-Syafi‟i adalah seorang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam.” Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi‟i karya Al-Imam Dawud bin Ali AzhZhahirirahimahullahu disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: „Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi‟i. Aku pun
selalu bertanya kepadanya tentang sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir Al-Qur‟an bahwa Asy-Syafi‟i adalah orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur‟an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara khusus) kepadanya‟.” Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan itu.” Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi‟i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu (2/42-44 dan 48) disebutkan bahwa: Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu‟afiri rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi‟i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.” Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma‟i rahimahullahu berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i.” Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi rahimahullahu berkata: “Adalah AsySyafi‟i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar bahasa Arab.” Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Perkataan Asy-Syafi‟i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.” Al-Mubarrid rahimahullahu berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta‟ala merahmati AsySyafi‟i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur‟an.”
2.8 Prinsip Aqidah Imam Syafi’i Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama‟ah, beliau jauh dari pemahaman Asy‟ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta‟ala. Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur‟an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu „alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur‟an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat
Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman, “Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Dalam masalah Al-Qur‟an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur‟an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur‟an adalah makhluk maka dia telah kafir.”
2.9 Prinsip Fikih Imam Syafi’i Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.” Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a‟laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.” Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu „alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”
2.10 Pola pemikiran, faktor-faktor yang mempengaruhi dan metode istidlal, Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum Islam i) Pola Pemikiran dan Faktor Imam Syafi‟i termasuk salah seorang imam madzhab yang masuk kedalam jajaran “Ahli Al Sunnah wal Jama‟ah”, yang didalam bidang “furu‟iyyah” ada dua kelompok yaitu : “Ahl alHadits” dan “Ahl al-Ra‟yu” dan beliay sendiri termasuk “Ahl al-Hadits”. Imam Syafi‟I termasuk imam madzhab yang mendapat julukan “Rihalah fi Thalab al-„Ilm” yang pernah meninggalkan Mekkah pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik dank e Irak menuntut ilmu ke Muhammad Ibn al-Hassan (seorang murid Imam Abu Hanifah). Karena kedua guru inilah, beliau termasuk kelompok Ahl al-Hadits, tetapi dalam bidang fiqih banyak terpengaruh oleh kelompok “Ahl al-Ra‟yu” dengan melihat metode penerapan hokum yang beliau pakai. Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan
menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.”Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits. Orang yang menerima apa yang datang dari Rasulullah berarti ia telah menerima apa yang datang dari Allah, karena Dia telah mewajibkan kita untuk mentaatinya”. Beliau berdalil dengan sejumlah ayat di antaranya firman Allah,” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”, (QS. 4:59). Bantahan Imam Syafi‟i kepada orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah. 1. Allah telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah Rasulullah dan menyuruh kita mematuhi perintah dan menjauhi larangannya. 2. Tidak ada cara lain bagi kita untuk mentaati perintah Allah tersebut kecuali dengan mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah dengan lapang dada dan bersih hati dari keinginan untuk menolaknya, serta pasrah pada perintah dan hukum-hukumnya. 3. Seorang muslim membutuhkan sunnah Rasulullah untuk menjelaskan globalitas isi AlQur‟an. Pandangan Imam Asy-Syafi‟i tentang hadits Ahad Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi semua atau sebagian syarat –syarat hadits mutawattir. Yaitu diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan logika mereka tidak mungkin berdusta, dan diriwayatkan dari orang banyak dan menyandarkan hadit kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera. ii) Sumber hukum dan Metode Imam Syafi‟i dalam berhujjah Oleh karena itu Imam Syafi'i tidak sekedar mendasarkan sunnah pada al Qur'an, tetapi juga berupaya meletakkan asumsi dasar bahwa sunnah adalah bagian organik dalam struktur al Qur'an ditinjau dari pengertian semantiknya. Karena al Qur'an dan Sunnah menjadi struktur organik semantik, maka syafi'I pun dapat membangun ijma' atas dasar struktur tersebut hingga menjadi teks tasyri' yang memperleh signifikasinya dari pengertian teks yang tersusun dari al
Qur'an dan sunnah. Sumber ke empat dalam fiqih Imam Syafi'i adalah qiyas yang juga diambil dari teks yang tersusun dari ke tiga dasar sebelumnya. Para ulama' setelah Syafi'i menyebutkan al Kitab sebagai sumber hukum Islam pertama dan sunnah sebagai sumber kedua setelah al kitab, begitu juga sebelum Imam Syafi'i, seperti Imam Abu Hanifah yang menyetujui bahwa dalam pengambilan hukum pertama harus dari al kitab, kemudian kalau tidak diperoleh, baru mengambil dari sunnah. Sama halnya juga dengan Mu'az bin Jabal ketika ditanya oleh nabi: "Dengan apa kamu memutuskan sesuatu?", kemudian jawabnya: "Saya memutuskan sesuatu dengan Kitab Allah. Jika tidak didapati di dalamnya maka dengan sunnah rosulullah, dan jika tidak didapatkan lagi maka saya berijtihad dengan akal. Syafi'i meletakkan sunnah sejajar dengan al Qur'an dalam hal sebagai hujjah karena sunnah juga berasal dari wahyu. Syafi'i tidak menyamakan al Qur'an dan sunnah dalam segala aspek, menurutnya perbedaannya paling tidak bahwa al Qur'an mutawatir dan merupakan ibadah bagi yang membacanya sedangkan kebanyakan sunnah tidak mutawatir juga membacanya tidak dinilai pahala. Kedua, al Qur'an adalah kalam Allah, sedangkan sunnah adalah perkataan nabi SAW. Syafi'i juga menjelaskan bahwa sunnah tidak semartabat dengan al Qur'an dalam masalah aqidah.
Al Qur'an Syafi'i tidak memberikan batasan definitif bagi al Qur'an, berdasarkan berbagai
uraiannya, para pengikutnyalah yang memberikan definisi terhadap al Qur'an. Misalnya definisi yang diungkapkan Taj Al Din Al Subki, bahwa al Qur'an adalah lafadz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai mu'jizat dan membacanya merupakan ibadah. Menurut Syafi'i al Qur'an itu maknan dan lafdzon. Seluruh al Qur'an terdiri atas bahasa Arab, tidak satu katapun di dalamnya yang bukan bahasa Arab. Maka sejalan dengan itu ia mengatakan bahwa setiap umat Islam diharuskan mempelajari bahasa Arab sedapat mungkin (Mabalagahu juhduh) sehingga ia dapat mengucapkan syahadat, membaca al Qur'an, dan mengucapkan dzikir. Tuntutan itu merupakan fardhu „ain yang berlaku secara umum, sedangkan penguasaan bahasa Arab secara mendalam diwajibkan secara terbatas (fardhu kifayah) atas para ulama'. Syafi'i menekankan pentingnya penguasaan bahasa Arab karena tidak mungkin bisa memahami kandungan al Qur'an tanpa penguasaan terhadap bahasa Arab.
Sunnah Meskipun Syafi'i tidak mengemukakan rumusan dalam bentuk definisi dan batasan
sunnah, dapat diketahui dengan jelas sunnah menurut Syafi'i yaitu perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada nabi SAW. Secara umum, batasan seperti ini diterima oleh para ulama' yang datang kemudian. Seorang pembaca kitab-kitab Imam Syafi'i hampir dapat memastikan bahwa penegakkan sunnah sebagai sumber hukum merupakan obsesi agenda pemikirannya, bahkan yang paling asasi. Karena itu kita tidak boleh lupa dengan signifikasi historis dari pemberian gelar nashir al Sunnah (pembela tradisi) kepadanya. Syafi'i menegaskan bahwa sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti samahalnya dengan al Qur'an. Untuk mendukungnya dia mengajukan beberapa dalil, baik dalil naqli maupun dalil aqli. Sejalan dengan pandangan tentang kokohnya kedudukan sunnah, Syafi'i menegaskan bila telah ada hadits yang shohih (tsabit) dari Rosulullah SAW, maka dalil dalil berupa perkataan orang lain tidak diperlukan lagi. Jadi bila seseorang telah menemukan hadits shohih, ia tidak lagi mempunyai pilihan kecuali menerima dan dan mengikutinya. Syafi'i mengatakan "Tidak benar, kalau sesuatu (dalam hal ini dunnah) suatu saat dianggap sebagai hujjah tetapi pada kali lainnya tidak". Tentang hubungan antara sunnah dengan al Qur'an, Syafi'i mengemukakan bahwa fungsi sunnah sebagai berikut[13]: a) Sebagai penguat dalil dalil dalam al Qur'an b) Sebagai penjelas dari ayat ayat al Qur'an yang masih global (mujmal) c) Sebagai tambahan; artinya mengatur hukum yang belum diatur dalam al Qur'an Bahwa sunnah tidak dapat menaskh al-Kitab. Fungsi sunnah terhadap al-Kitab hanyalah mengikuti apa yang diturunkan sebagai naskh,danmenafsirkan apa yang diturunkan secara global (mujmal)… Dan firman Allah “tidak ada sepatutnya bagiku untuk mengantinya dari diriku sendiri” (Yunus : 15) merupakan penjelasan dari apa yang telah dikemukakan, bahwa al-kitab hanya bias dinaskhkan oleh al-Kitab . Allah mengawaliturunnya kewajiban, maka Dialah yang menghilangkan apa yang Ia kehendaki. Hal itu tidak selayaknya dilakukan oleh siapapun diantara makhlukNya.[14] Syarat syarat penerimaan sunnah Syafi'i membagi hadits menjadi dua, yaitu kabar al-ammah (hadits mutawatir) dan kabar khashah (hadits ahad). Ia memandang hadits mutawatir itu pasti, sehingga hadits tersebut mutlak
harus diterima sebagai dalil. Akan tetapi hadits ahad hanya wajib diamalkan apabila hadits tersebut shohih. Pada pokoknya, persyaratan yang ditetapkan oleh Syafi'i agar suatu hadits dapat diamalkan sama dengan yang dikemukakan oleh para ahli hadits dan ahli ushul fiqh pada masa kemudian, yakni menyangkut tsiqoh (adalah dan dhobith) yang harus terpenuhi pada setiap perawi dan kesinambungan sanad yang diriwayatkannya serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits tersebut.
Ijma' "Ijma' adalah hujjah atas segala sesuatu karena ijma' itu tidak mungkin salah" (Syafi'i).
Syafi'i menyepakati bahwa ijma' merupakan hujjah agama (hujjatd din). Ijma' menurut Syafi'i adalah kesepakatan para ulama' pada suatu masa tentang hukum syara'. Kedudukan ijma' sebagai hujjah adalah setelah al Qur'an dan sunnah. Sehingga ijma' diakhirkan dari pada al Qur'an dan sunnah. Oleh karena itu, ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah bukan merupakan hujjah dan dalam kenyataannya tidak mungkin ada ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan kepada semua Mujtahid diwaktu terjadinya. Para Mjtahid itu sepakat memutuskan/menentukan hukumnya[15]. Ijma' umat terbagi menjadi dua: a. Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. b. Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap menyetujui. Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut ijma' yang sebenarnya. Selain ijma' umat tersebut masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu: -Ijma' sahabat -Ijma' Khalifah yang empat -Ijma' Abu Bakar dan Umar -Ijma' ulama Madinah -Ijma' ulama Kufah dan Basrah -Ijma' itrah (golongan Syiah)
Sandaran Ijma‟ Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran, sebab ijma' bukan merupakan
dalil yang berdiri sendiri. Sandaran tersebut dapat berupa dalil qath'i yaitu Qur'an dan Hadits mutawatir, juga dapat berupa dalil zhanni yaitu Hadits ahad dan qiyas[16].Rumusan Syafi'i berbeda dengan rumusan Imam Malik yang menganggap kesepakatan penduduk Madinah sebagai ijma' dan rumusan madzhab Zahiri yang membatasinya hanya pada kesepakatan para sahabat. Ijma' yang mula-mula mendapat i'tibar dari Imam Syafi'i ialah ijma sahabat dan ia menerima ijma' sebagai hujjah di tempat tak ada nash. Kemudian yang perlu di ingatkan bahwa Imam Syafi'i tidak menerima ijma' sukuti. Sedangkan menurut Dr. Muh Zuhri[17] yang dimaksud ijma menurut Imam Syafi‟ri adalah kesepakatan seluruh ulama dalam kurun waktu yang sama, disana tidak boleh ada seorang pun menyatakan perselisihan pendapatnya dalam
kasus
yang dicarikan
kesepakatannya. Teori ijma‟ Imam Syafi‟i tentunya sulit diwujudkan kalau hendak dikatakan tidak mungkin. Namun tampaknya ide ijma‟ sebagai sumber hokum ini merupakan upaya antisipasif agar masyarakat islam tetap terpelihara dalam persatuan. Ulama fiqih termasuk Imam Syafi‟I melihat pertikaian politik dalam pemerintahan Islam yang melibatkan semua masyarakat islam sudah sampai pada titik yang membahayakan. Perpecahan ummat yang disebabkan perbedaan inilah yang dirasa membahayakan persatuan. Lembaga ijma‟ dimaksudkan untuk menyatukan pandangan di kalangan para ulama. Dengan kesatuan ulama maka akan terwujudlah persatuan ummat islam.
Qiyas Imam Syafi'i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar qiyas. Para fuqaha
sebelumnya membahas tentang ar-Ra'yu tanpa menentukan batas-batasnya dan dasar-dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma Ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih. Imam Syafi'i membuat kaedah kaedah yang harus dipegangi dalam menentukan mana ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih. Ia membuat kriteria bagi istinbath-istinbath yang salah. Ia menentukan batas-batas qiyas, martabat-martabatnya, dan kekutan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. Juga diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna pada qiyas. Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbath yang lain yang dipandang, kecuali qiyas. Dengan demikian Imam Syafi'i adalah orang pertama dalam menerangkan hakekat qiyas. Imam Syafi'i sendiri tidak membuat ta'rif qiyas. Akan
tetapi penjelasan penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian dan syarat-syarat menjelaskan hakekat qiyas, yang kemudian dibuat ta'rifnya oleh ulama' ushul. Biarpun ulama' ushul berbeda pendapat dalam merumuskan definisi qias, namun secara implisit mereka mempunyai kesepakatan terhadap rukun rukun qiyas. Hal ini karena definisi yang berbeda tersebut tetap menekankan pada empat unsur pembentuk qiyas, yaitu kasus yang ditetapkan oleh nash (ashl), kasus yang baru akan ditentukan hukumnya (far'u), sebab hkum ('illat), dan hukum yang telah ditentukan oleh nash (hukm ashl). Ulama' ushul kemudian memberikan syarat syarat terhadap masing masing unsur qiyas tersebut.
Pembagian Qiyas Qiyas dilihat dari kekuatan 'illat yang terdapat pada far dan ashl menurut al-Syafi'i
dibagi menjadi tiga bentuk yaitu: 1. Qiyas yang iillat hukum cabangnya (far') lebih kuat daripada iillat pada hukum ashl. Qiyas ini, oleh ulama ushul figh Syafi'iyah disebut sebagai qiyas awlawi. Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan "ah". Keharaman pada perbuatan memukul lebih kuat daripada kaharaman ucapan "ah", karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada ucapan "ah". 2. Qiyas yang illat pada far' sama keadaan dan kekuatan dengan 'illat yang pada ashl. Qiyas seperti ini, disebut oleh ulama ushul Syafi'iyyah dengan al-qiyas al-musawi. Misalnya mengqiyaskan membakar harta anak yatim kapada memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haram. Artinya membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim dan hukumnya sama-sama haram. 3. Qiyas yang illat hukum cabangnya (far') lebih lemah dibamdingkan dengan illat hukum ashl. Qiyas seperti ini, disebut dengan qiyas al-adna, seperti mengqiyaskan apel dengan gandum dalam berlakunya riba fadhl, mengandung illat yang sama, yaitu sama-sama makanan. Memperlakukan riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena illat lebih kuat.
QOUL-QODIM DAN QOUL-JADID, SERTA KEDUDUKANNYA DALAM MADZHAB. Qaul Qodim dan Qoul jaded merupakan produk hokum yang bernuansa social-politik dan social-kultur adalah dua fatwa Imam Syafi‟i yang dilakukan di dua daerah yang berbeda sosio-kultur dan sosio-politiknya yaitu :
Qaul Qadim : dimana situasi bagdad saat itu merupakan daerah yang sangat sederhana dan boleh dikatakan sangat terbelakang disbanding dengan daerah lain.
Qaul Jaded : dimana daerah Mesir saat itu merupakan daerah Metropolis yang mengharuskan untuk berinteraksi dengan memodifikasi terhadap putusan-putusan atau fatwa-fatwa yang sudah pernah diputuskan, sehingga prinsip Maslahah menjadi pertimbangan yang sangat penting dalam setiap mengambil keputusan, sebab keputusan yang diambil dalam wujud qaul jadid merupakan pertimbangan terhadap qaul qadim. Secara umum bisa di katakan bahwa yang dianggap pendapat Madzhab adalah „QoulJadid‟ seperti yang di katakan Imam Syafi‟i : “tidak dibenarkan menganggap Qoul Qodim sebagai pendapat madzhab” , dan ini sesuai dengan Qoidah Usuliyah : Jika seorang mujtahid berpendapat, kemudian setelah itu dia berpendapat lain, maka yang kedua dianggap Ruju‟/ralat bagi yang pertama. Tetapi Ulama Syafi‟iyah merinci lebih jelas lagi : 1. Qoul-Jadid yang harus di pakai, sedang Qoul-Qodim harus ditinggalkan, kecuali beberapa masalah yang berkisar antara 14 sampai dengan 30 masalah. 2. Qoul-Jadid tidak bisa dianggap pendapat madzhab kecuali dengan jelas Imam Syafi‟i mengatakan bahwa dia sudah meralat Qoul-Qodim. Sedang bilamana tidak ada penjelasan dari Imam Syafi‟i, maka dianggap ada 2 pendapat dalam madzhab. 3. Qoul Jadid secara mutlak dianggap sebagai pendapat madzhab. Dan pendapat ketiga inilah yang lebih medekati kebenaran, mengingat ulama Syafi‟iyyah setelah meneliti dengan seksama, menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang tersebut dalam qoul-qodim ternyata semuanya tersebut dalam qoul-jadid , kalaupun ada ulama Syafi‟iyyah yang memakai dan berfatwa dengan qoul qodim, pada hakikatnya beliau berijtihad dan ternyata sesuai dengan qoul qodim, seperti yang disampaikan Imam Nawawi( 676 H). Sedangkan pendapat yang kedua, ditolak oleh mayoritas ulama, sebagaimana dikatakan Abu Ishaq Al-Syiroozi ( 476 H) dan Imam Nawawi : “Pendapat ini jelas salah, sebab antara Qoul Qodim dan Qoul Jadid seperti dua nash yang bertentangan, apabila tidak mungkin dipadukan, maka yang terakhir yang harus dipakai sedang yang pertama di buang. Sementara itu ada yang membandingkan dengan madzhab Hanafi, yang bertentangan dengan madzhab Hanafi adalah dianggap sebagai pendapat madzhab bukan yang sejalan, sebab tidak mungkin Imam Syafi‟i berbeda pendapat kecuali ada dalil yang lebih kuat, dan
itu adalah pilihan Syech Abu Hamid Al-Ashfarooiniy ; tapi menurut Al-Qoffal Al-Syasyi ( 365 H ) justru sebaliknya.
2.11 Sikap Imam Syafi’i terhadap Ahlul Bid’ah Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid‟ah.” Beliau bicara tentang Ahlil Bid‟ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin „Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin „Ulayyah sesat.” Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”
2.12 Kata-kata hikmah Imam Syafi’i “Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”. Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.” Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a‟laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.” Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu „alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.” Banyak sekali perkataan-perkataan beliau yang ditulis oleh beliau ataupun oleh ulama-ulama yang lain, di antaranya ialah: “Ilmu itu tidaklah indah kecuali dengan tiga perkara, yaitu: takwa kepada Allah, sesuai dengan sunnah, dan rasa takut.” [Manaqib Syafi‟i, oleh al-Baihaqi] “Apabila kalian menjumpai dalam kitabku hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, maka berpendapatlah kalian dengan sunnah Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, dan tinggalkan apa yang aku katakan.” (Dalam riwayat yang lain, “Maka ikutilah sunnah tersebut, dan janganlah kalian hiraukan pendapat seorang pun.”) [Al-Majmu‟ oleh an-Nawawi]
“Setiap permasalahan yang berkenaan dengannya ada hadits shahih dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam menurut para ahli periwayatan (hadits), dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku menarik kembali perkataanku, baik ketika aku masih hidup maupun setelah aku mati.” [I‟lamu al-Muwaqqi‟in oleh Ibnu al-Qayyim] Beliau berkata dalam bait syairnya:
Hakikat seorang yang faqih (paham agama) itu dengan perbuatannya Bukan dengan ucapan dan kata-katanya Seorang pemimpin adalah diukur dengan akhlaknya Bukan dengan kaum dan jumlah masanya Demikian pula orang yang kaya itu kaya dengan keadaan jiwanya Bukan kaya dengan kekuasaan dan hartanya [Diwan al-Imam asy-Syafi‟i hal. 97] Pesan Imam Syafi‟i “Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”
2.13 Pujian ulama kepada Imam Syafi’i Benarlah sabda Rasulullah shalallahu „alaihi wassalam, “Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami‟ 6097). Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam AsySyafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orangorang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula. Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara‟, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.” Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah).”
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.” Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu „alaihi wassalam, dan paling sedikit kesalahannya.” Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.” Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah AsSarkhasi tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang paling faqih di antara mereka.”
2.14 Guru-guru Imam Syafi’i
Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:
1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah 2. Muhammad bin Syafi‟ paman beliau sendiri 3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i 4. Sufyan bin Uyainah 5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.
Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:
1. Malik bin Anas 2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany 3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja‟far dan Ibrahim bin Sa‟ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya
Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;
1.Mutharrif bin Mazin 2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.
Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:
1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak. 2.Ismail bin Ulayah. 3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.
2.15 Murid-murid Imam Syafi’i Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah: 1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin. 2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za‟farani 3. Ishaq bin Rahawaih, 4. Harmalah bin Yahya 5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi 6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.
2.16 Menelusuri Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi‟i sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini: a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Al-Imam Asy-Syafi‟i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, serta berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm (terkhusus pada Kitab Jima‟ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini: “Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah RasulullahShallallahu „alaihi wa sallam tersebut dan tinggalkan perkataanku.”
“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi‟i, 1/472 dan 473) Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi‟i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata: “Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i rahimahullahu serta dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari Manhaj Al-Imam Asy-Syafi‟i fi Itsbatil Akidah, 1/127) b. Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Menurut Al-Imam Asy-Syafi‟i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah (hal. 369-471), Al-Imam Asy-Syafi‟i menjelaskan secara panjang lebar bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam).[3] c. Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Al-Imam Asy- Syafi‟i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya. Sangat mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma‟ wash shifat. Bahkan kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut ini: “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru.[4] Siapa pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang disifati oleh diriNya sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya.[5] Aku memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”[6] Al-Imam Asy-Syafi‟i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar
(syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam), seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta‟ala, dan sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi‟i Fi Itsbatil Akidah, 2/517) Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi‟i dalam hal tauhid asma‟ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallamdan para sahabatnya radhiyallahu „anhum serta menyelisihi prinsip kelompok Asy‟ariyyah ataupun Maturidiyyah.[7] Yaitu menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta‟ala sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur‟an dan dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan AllahSubhanahu wa Ta‟ala tanpa meniadakan (ta‟thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura: 11) Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta‟ala(takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan Allah Subhanahu wa Ta‟ala dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip yang senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi‟i kepada murid-muridnya. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Telah diriwayatkan dari Ar-Rabi‟ dan yang lainnya, dari para pembesar murid-murid Asy-Syafi‟i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta‟ala tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya, tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif), tanpa diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan (ta‟thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah Subhanahu wa Ta‟ala dan Rasul-Nya Shallallahu „alaihi wa sallam (tahrif).” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10/265) d. Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi‟i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat (keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip ahlul bid‟ah, dari kalangan Khawarij, Mu‟tazilah, maupun Murji‟ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta‟ala berkehendak untuk diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika Allah Subhanahu wa Ta‟alaberkehendak untuk diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi‟i fi Itsbatil Akidah, 2/516) e. Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Al-Imam Asy-Syafi‟i rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya
sendiri. Amal perbuatan mereka adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari Allah „Azza wa jalla. Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi‟i, 1/415) Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta‟ala (ru‟yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi‟i mengatakan: “Demi Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta‟ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.” (Manaqib Asy-Syafi‟i, 1/419) f. Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Al-Imam Asy-Syafi‟i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini: “Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dalam Al-Qur‟an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir melalui lisan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam. Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta‟ala merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam kepada kita. Mereka pula para saksi atas turunnya wahyu kepada RasulullahShallallahu „alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam terkait dengan halhal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara‟, ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu a‟lam.” (Manaqib Asy-Syafi‟i, 1/442) Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi‟ah Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallamsebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana penuturan Yunus bin Abdul A‟la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-Syafi‟i -jika menyebut Syi‟ah Rafidhah- seraya mengatakan: „Mereka adalah sejelek-jelek kelompok‟.” (Manaqib Asy-Syafi‟i, 1/468) g. Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap kelompok-kelompok sesat Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi‟i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlul bid‟ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi‟i, 1/469) Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu berkata: “Aku bertanya kepada Asy-Syafi‟i, „Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah Syi‟ah Rafidhah?‟ Maka beliau menjawab: „Jangan shalat di belakang seorang yang berakidah Syi‟ah Rafidhah, seorang yang
berakidah Qadariyyah, dan seorang yang berakidah Murjiah‟.” (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi‟i fi Itsbatil Akidah, 1/480) Al-Imam Asy-Syafi‟i rahimahullahu berkata: “Tidaklah seorang sufi bisa menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat karakter: pemalas, suka makan, suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang lain.” (Manaqib Asy-Syafi‟i, 2/207)
2.17 Karya Tulis Imam Syafi’i Kami hanya mengambil tiga karya Imam Syafi‟I yang paling termashyhur saja, diantaranya adalah : 1. Kitab Ar Risalah Salah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi‟i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi‟i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di „leher‟ Syafi‟i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa‟adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi‟i memiliki sifat amanah (dipercaya), „adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara‟, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,” Dalam kitab ini disusun oleh beliau secara sistematis, dimana didalamnya membahas tentang beberapa ketentuan yang nada di dalam dua nash, baik itu terdapat dalam Al Qur;an dan al-Hadits, masalah-masalah yang berkaitan dengan adanya Nasikh-Mansukh, syaratsyarat penerimaan sanad dari para perowi tunggal, masalah-masalah yang berkaitan dengan Ijma‟, Ijtihad, Istihsan dan al-Qiyas.[9] Kitab ini diriwayatkan oleh Ar-Rabi‟ bin Sulaiman Al-Murady[10]. 2. Kitab Al Umm Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi‟i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi‟ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi‟i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”[11] pembahasan dalam kitab ini, terdiri dari masalah-masalah yang berkaitan „Ibadah, Muamalah, masalah pidana da Munakahat. Bahkan dalam kitab ini dijelaskan tentang adanya bantahan Muhammad bin Hasan al-Syaibaniy terhadap aliran Madinah dalam bentuk perselisihan pandangan antara Imam Abu Hanifah dengan Abi Laits. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kitab al-Umm ini, merupakan hasil dari penggabungan beberapa kitab dalam berbagai pandangan Mujtahid.[12]
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”. "Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.” Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.” Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a‟laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.” Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu „alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.” 3. Kitab „‟Ikhtilaf Malik Wa Syafi‟I” Yaitu kitab yang membahas masalah terjadinya ikhtilaf antara Ali dan Ibu Mas‟ud dan antara Imam Syafi‟I dengan Abu Hanifah.
4. Mazhab Syafi'i Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi‟i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi‟i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),” Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid‟ah.” Beliau bicara tentang Ahlil Bid‟ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin „Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin „Ulayyah sesat.” Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.” Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama‟ah, beliau jauh dari pemahaman Asy‟ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta‟ala. Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur‟an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu „alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena AlQur‟an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka
dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman, Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima‟ul Ilmi. Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah: 1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin. 2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za‟farani 3. Ishaq bin Rahawaih, 4. Harmalah bin Yahya 5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi 6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali. 5. Al-Hujjah Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za‟farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi‟i. Dalam masalah Al-Qur‟an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur‟an adalah Qalamullah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur‟an adalah makhluk maka dia telah kafir.”
2.18 Wafatnya Imam Syafi’i Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya‟ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas. Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‟i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Sumber hukum yang dipegangi Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah Al Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Urutan tersebut bersifat hierarki, artinya sumber hukum yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Imam Syafi'i pernah menetap di Baghdad, Iraq. Dan Selama tinggal di sana, ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang mana disebut sebagai Qaul Qadim. Karena adanya pergolakan serta munculnya aliran Mu‟tazilah yang ketika itu telah berhasil mempengaruhi Kekhalifahan. Akhirnya Imam Syafi‟i pindah ke Mesir, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan masalah sebelumnya (ketika tinggal di Baghdad). Imam Syafi‟I kemudian mengeluarkan ijtihadijtihad baru, yang dinamakan sebagai Qaul Jadid. Daerah/negara yang Menganut Mazhab mayoritas Syafi‟I : Libia, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Palestina, Yordania, Libanon, Siriya, Irak, Hijaz, Pakistan, India Jaziraa, dll. Berdasarkan uraian singkat dalam makalah ini, maka penulis menyimpulkan bahwa Imam Syafi‟i bernama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi'i, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya Abdul Manaf. Imam Syafi'i lahir pada bulan Rajab pada tahun 150 H. di Gaza. Tahun kelahiran beliau tepat dengan tahun wafatnya imam Hanafi. Beliau berguru fikih pada beberapa ulama di Jazirah Arab, baik di Baghdad, Mesir, Kufah, dan Madinah. Beliau banyak melahirkan murid-murid yang secara langsung menyebarkan mazhab Syafi‟i di dunia ini seperti ar-Rabi' Ibn Sulaiman al-Marawi, 'Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim, Yunus Ibn Abdul a'la as-Sadafi, Ahmad Ibn Sibti, Yahyah Ibn Wazir al-Misri, Harmalah Ibn Yahya Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal, Hasan Ibn 'Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan Ibn Ibrahim Ibn Muhammad as-Sahab az-Za'farani, Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya al-Muzani al-Misri atau dikenal dengan nama al-Muzani, dan Abu Ya'qub Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti. Secara singkat, metode Istinbāţ Hukum Imam Syafi‟i antara lain: 1. Nash (Alquran dan sunnah);
2. Ijmak; 3. Pendapat para sahabat yang bersepakat; 4. Pendapat para sahabat yang berselisih; 5. Menggunakan Qiyas dan Takhyir apabila terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf). Berdasarkan uraian contoh-contoh produk istinbath imam Syafi‟i, maka beliau dapat dikategorikan sebagai ulama yang fundamentalis, sebab imam syafi‟i selain sebagai ulama masa permulaan pertumbuhan dari ilmu Ushul Fiqh dan Fikih, fatwa-fatwa beliau dapat dikatakan sangat keras. Namun begitu, bukan berarti pendapat-pendapat imam Syafi‟i terlalu kaku. Sebaliknya, pendapat imam Syafi‟i sangat fleksibel seperti yang dicontohkan beliau dalam Kaul Qadim dan Kaul Jadid. Dalam pembahasan diatas maka dapat disimpulkan tentang riwayat hidup Imam Syafi‟i, guru-guru beliau, karya-karya beliau, murid-murid beliau, cara ijtihad, dan juga disertai dengan pendapat-pendapatnya mengenai qaul qadim dan qaul jadid. Yang menjadi sorotan terbesar bagi Imam Syafi‟i adalah qaul qadim dan qaul jadidnya. Qaul qadim adalah pendapat-pendapat imam Syafi‟i ketika masih berada di Irak yang menggunakan ra‟yu. Sedangkan qaul jadid adalah pendapat-pendapat Imam Syafi‟i ketika sudah hijrah ke Mesir yaitu merevisi qaul qadimnya yang semula menggunakan ra‟yu, kemudian digganti dengan pendapat-pendapat yang di dasarkan pada hadits.
3.2 Saran Saran nya yaitu supaya umat Islam sering membaca tentang tokoh Islam khusus nya (Remaja Islam). Agar mengetahui perjuangan para tokoh-tokoh Islam dalam Islam. Agar lebih mantap dengan Islam dan lebih mendekatkan diri kepada ALLAH SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Oktafiani,Khoirunisa. 2014. Makalah Biografi Imam Syafi‟i. Jakarta
http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html pada 22 febuari 2014
diakses
http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Asy-Syafi%27i diakses pada 22 febuari 2014
http://muslim.or.id/biografi/imam-syafii-sang-pembela-sunnah-dan-hadits-nabi.html
diakses pada 22 febuari 2014
http://atsarussalaf.wordpress.com/2011/03/19/mengenal-lebih-dekat-al-imammuhammad-bin-idris-asy-syafi%E2%80%99i/ diakses pada 22 febuari 2014
http://kaahil.wordpress.com/2011/05/05/lengkap-biografi-imam-syafii-penulis-kitab-alumm-%E2%80%9Cjika-apa-yang-aku-katakan-menyelisihi-hadits-yang-shahih-dari-nabishallallahu-%E2%80%98alaihi-wa-sallam-maka-hadits-nabi-shallallahu/ diakses pada 22
febuari 2014
rmasbaitmakmur.blogspot.com diakses pada 22 febuari 2014
mt-alkahfi.blogspot.com diakses pada 22 febuari 2014
himpunan-tentara-muhammad-saw.blogspot.com diakses pada 22 febuari 2014
idrislagaligo1234.wordpress.com diakses pada 22 febuari 2014
mujahidsufi.blogspot.com diakses pada 22 febuari 2014
LAMPIRAN
View more...
Comments