Makalah Angiofibroma Nasofaring Juvenile

July 25, 2017 | Author: Indah Prasetya Putri | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Koas THT - Pembimbing dr,Harianto,Sp.THT-KL...

Description

Makalah

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENIL

Oleh INDAH PRASETYA PUTRI 0808151325

Penguji

Dr.Harianto,Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN TELIGA HIDUNG TENGGOROKKAN KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU 2013

1.

Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung, diatas tepi palatum molle dengan diameter anterior-posterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung serta telinga tengah melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah.1 Batas-batas nasofaring Dinding depan (anterior) dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga dengan koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Dinding atas (superior) dan belakang (posterior) sedikit menonjol, dinding atas dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput, dinding belakang dibentuk oleh fasia faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama (tulang atlas) dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas dinding posterior dan atap nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat meluas sampai ke muara tuba eustachius. Pada bagian tengah kelenjar ini yang tepatnya di bagian atas muskulus konstriktor superior terdapat lekukan berbentuk kantong kecil yang disebut bursa faring. Kantong ini sering membentuk kista dan meradang dan dikenal dengan bursitis dari Thornwaldt. Pada usia 2 tahun adenoid sering mengalami hipertrofi dan hiperplasia, pertumbuhan ini menjadi lebih cepat pada usia 3-5 tahun dan sering menyebabkan sumbatan pernafasan melalui hidung dan tuba eustachius. Setelah usia 5 tahun besarnya relatif menetap dan akan mengalami involusi setelah masa pubertas, akan tetapi jaringan limfoid masih tetap ada. Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang disebut dengan istmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior

yang dimulai dari basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis,dan kanalis hypoglosus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.1

Gambar 1. Anatomi nasofaring (dikutip dari Netter)

2.

Definisi Angiofibroma Nasofaring Angiofibroma nasofaring merupakan salah satu tumor jinak pembuluh darah di

nasofaring yang secara histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas karena dapat mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya.2 Adapun jaringan disekitarnya yang dapat didesktruksi seperti sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak. Tumor ini sangat mudah berdarah dan pendarahannya sulit untuk dihentikan.2

3.

Epidemiologi Angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering terdapat pada nasofaring, tetapi

jumlahnya kurang dari 0.05% dari tumor kepala dan leher. Tumor ini biasanya paling banyak

terjadi pada laki-laki decade ke-2 antara umur 7-19 tahun. Tumor ini jarang pada usia lebih dari 25 tahun.2

4.

Etiologi Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan. Teori –

teori ini secara besar mengklasifikasikannya menjadi dua, yaitu berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal. Pada teori berdasarkan jaringan asal tumbuh diduga bahwa tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional di daerah oksipitalis os sfenoidalis.3 5.

Patogenesis Tumor awalnya tumbuh di bawah mukosa ditepi sebelah posterior dan lateral koana

diatap nasofaring. Tumor yang kaya akan aliran darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringeal asenden atau arteri maksilaris interna. Tumor akan tumbuh besar dan meluas kearah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum yang ke sisi kontralateral dan dapat memipihkan konka. Perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila tumor meluas terus, tumor akan masuk ke fossa intra temporal dan masuk ke intra kranial melalui fossa infra temporalis dan pterigomaksila. Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada wajah yaitu “muka kodok”. Selanjutnya tumor kemudian akan meluas dan masuk ke fossa serebri media.

Gambar 2.Perjalanan penyebaran angiofibroma nasofaring

6.

Manifestasi Klinis a. Gejala Gejala hidung tersumbat merupakan gejala awal yang paling sering ditemukan pada angiofibroma nasofaring juvenile. Adanya obstruksi hidung ini akan dapat memudahkan terjadinya penimbunan sekret sehingga akan timbul rinorea yang bersifat kronis dan diikuti dengan gangguan penciuman baik berupa hiposmia sampai dengan anosmia. Pada perluasan tumor ke tuba eustachius akan tampak gejala–gejala pada telinga seperti penurunan pendengaran sampai dengan sakit pada telinga. Perkembangan perluasan tumor lebih lanjut yang telah mengenai tuba eustachius akhirnya dapat juga menimbulkan gejala – gejala pada mata dan saraf. Epistaksis yang massif dan berulang merupakan tanda – tanda nasofaring paling dini yang mengindikasikan penyakit ini. Mata menonjol (proptosis), pembengkakan pada wajah, pembengkakan pada langit–langit mulut dan trismus merupakan tanda – tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal.

Tuli konduktif dan otalgia diakibatkan karna

obstruksi tuba eustachius. Perluasan ke rongga kranial dapat dikoreksi dengan adanya penglihatan dobel (diplopia) yang dikeluhkan oleh pasien karena tumor telah mulai menekan kiasma optik. Sakit kepala yang berat dapat menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial. b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dengan menggunakan rinoskopi anterior dapat dilakukan untuk mengkoreksi tumor dari luar. Pada pemeriksaan ini akan dapat melihat massa tumor, warna yang bervariasi mulai dari abu-abu hingga sampai merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lender bewarna keunguan dan yang meluas keluar nasofaring bewarna pitih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya lebih kebiruan. Hal ini dikarenakan komponen fibroma yang terkandung didalamnya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.

c. Pemeriksaan Penunjang Angiofibroma merupakan tumor yang mudah berdarah sehingga sebagai pemeriksaan penunjang diagnosisnya dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT Scan serta pemeriksaan arteriografi. Pada pemeriksaan CT Scan akan terlihat gambaran klasik yang disebut dengan “Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fisura pterigo-palatina melebar.2 Pada pemeriksaan ateriografi arteri karotis eksterna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang a.maksila interna homolateral. Arteri maksilaris interna akan terdorong kedepan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring kearah fossa pterigimaksila. Selain itu, masa tumor akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai maksimum setalah 3-6 detik zat kontras disuntikkan. Pemeriksaan patologik anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan kontraindikasi. Hal ini dikarenakan tindakan ini dapat menyebabkan perdarahan yang masif. Pada kasus ini diperlukan pemeriksaan Hb untuk mengoreksi anemia yang kronis.2

Gambar 3. Gambaran Holman Miller CT Scan 7.

Diagnosis Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Untuk menentukan derajat atau stadium tumor umumnya digunakan klasifikasi Session dan Fisch. Hal ini penting guna untuk menentukan jenis penatalaksanaan seperti apa yang akan diberikan pada pasien.4

8.

Diagnosis banding Diagnosis banding angiofibroma nasofaring juvenil yaitu polip hidung, polip antrokoanal,

teratoma, ensefalokel, kista dermoid, inverted papiloma, rhabdomiosarkoma dan karsinoma sel skuamosa.

9.

Stadium Klasifikasi menurut Session sebagai berikut :2 

Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voult



Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult dengan meluas sedikitnya satu sinus paranasal



Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila



Stadium IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang orbita



Stadium IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke intrakranial



Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intra kranial dengan atau tanpa meluas ke sinus kavernosus

Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut : 

Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendestruksi tulang



Stadium II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang



Stadium III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dengan atau region paraselar



Stadium IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, region kiasma optik dan fossa pituitari

Klasifikasi menurut Chandler sebagai berikut : 

Stadium I : Tumor di nasofaring



Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung atau sinus sphenoid



Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus eitmoid, fossa pterigomaksila, fossa infratemporalis, orbita dan atau pipi



10.

Stadium IV: Tumor meluas ke rongga intrakranial

Penatalaksanaan Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal, radioterapi. Operasi

harus dilakukan dengan hati – hati mengingat komplikasi perdarahan yang hebat akan terjadi.Terapi hormonal yang biasa diberikan yaitu dietilstilbestrol yang dosisnya 5 mg peroral yang makan 6 minggu.6 Embolisasi

pada pembuluh

darah tumor

mengakibatkan terjadiny atrombosis

intravaskuler, sehingga suplai darah ke tumor berkurang dan mempermudah pengangkatan tumor. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat melalui arteri karotis eksterna lalu ke arteri maksilaris interna.2,7 Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain embolisasi untuk mengurangi perdarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anastesi dengan teknik hipoestesi. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasanya seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila diduga tumor telah meluas ke ruang intrakranial.2 Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan telah mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diberikan terapi hormonal dengan preparat testosterone reseptor bloker (flutamid) 6 minggu sebelum operasi meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi.2,8 11.Prognosis Pembedahan untuk tumor yang masih berada diekstra kranial memberikan hasil yang lebih optimal dibandingkan untuk tumor yang telah berada diintra kranial. Angka kesembuhannya turun 30%. Resiko rekurensi untuk angiofibroma untuk semua kasus ±20

DAFTAR PUSTAKA

1. Grooves j.Gray RF. Nasopharynx in : A Synopsis of Otolaringology. Fourth edition. England:John Wright and Sons Ltd.1985:249 2. Roezin A, Dharmabakti US. Angiofibroma Nasofaring Belia.Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Hidung Telinga Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi Ke-5 Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2003:151-2 3.

Mashari, Wiyanto BH, Subroto DS. Angiofibroma nasofaring dengan perluasan intra kranial. Dalam: Soepardjo H, Soenarso BS, Suprihati, dkk, ed. Kumpulan naskah ilmiah Kongres Nasional XII Perhati. Semarang 2001: 1033 – 37

4. Chew CT.Nasopharynx.In:Scott-Browns Otolaryngology, Fifth Edition.London:Butterworth International Edition.1987;330-4 5. Radkowski D, McGill T, Healy GB, et al. Angiofibroma. Arch Otolaryngol Head Neck Surg1996; 122(2):122-129 6. Montag AG, Tretiakova M, Richardson M. Steroid hormone receptor expression in nasopharyngeal angiofibromas. Consistent expression of estrogen receptor beta. Am J Clin Pathol2006; 125(6):832-837 7. Moulin G, Chagnaud C, Gras R, et al. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma: comparison of blood loss during removal in embolized group versus nonembolized group. Cardiovasc Intervent Radiol1995; 18(3):158-161 8. Reddy KA, Mendenhall WM, Amdur RJ, et al. Long-term results of radiation therapy for juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Am J Otolaryngol2001; 22(3):172-175 9. Becker W,Naumann HH,Pfalt CR.Ear Nose and Throat Disease. Second Revised Edition.New York:Thieme Medical Publisher Inc.1994;385-6

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF