Makalah Al-AhwaL

October 15, 2017 | Author: Kamaludin | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Makalah mata kuliah akidah akhlak dengan judul al-ahwal...

Description

Dosen Pengampu

Tugas Terstruktur

Syarifuddin M.Ag

Akidah Akhlak

AL-AHWAL

Disusun oleh : Kelompok 9 1. Kamaludin 2. Muhammad Afdhal Fadhilah Farid

Kelas : Teknik Informatika 4G

Jurusan Teknik Informatika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau 2017

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan hidayah-Nya, serta petunjuk yang telah diberikan-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Akidah Akhlak yang berjudul “Al-Ahwal”. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi junjungan kita, Muhammad SAW., beserta keluarga, sahabat, dan umat setia beliau hingga hari akhir kelak. Adapun tujuan penulis menyusun makalah ini adalah untuk melengkapi tugas mata kuliah Akidah Akhlak dan sebagai bahan diskusi pada mata kuliah tersebut. Merujuk pada sebuah karangan kontemporer ini, makalah yang disusun berdasarkan konsep, serta pengembangan materi ini bersumber dari beberapa buku dan informasi komunikasi. Selain itu, makalah ini dilengkapi dengan nukilan opini-opini oleh para pakar terkait tema serta fakta-fakta tentang Al-Ahwal itu sendiri yang akan memperkuat keabsahan dari makalah ini. Apapun isi dan penjelasan serta pengembangan konsep dari makalah ini saya sajikan untuk kita semua agar dapat mengetahui apa dan bagaimana Al-Ahwal. Namun, jika terdapat kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini saya mohon maaf dan sangat mengharapkan saran serta kritiknya demi perbaikan makalah selanjutnya. Pekanbaru, 25 Maret 2017

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 1

BAB II. JUDUL 2.1 Pengertian Al-Ahwal.................................................................... 2 2.2 Macam-macam Al-Ahwal............................................................ 2.3 Tujuan Al-Ahwal.................................................................................

BAB III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan..................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memberikan wawasan dasar bagi semua al-salik (seorang yang menempuh penghayatan jalan Allah) yang berusaha menghampiri alq Haqq sebagai Dzat Yang Maha suci dapat terbimbing dengan baik seperti ketika menghampirinya melalui media shalat, puasa, dan haji. Al-Haqq sebagai Dzat Yang Maha suci tidak bisa dihampiri melainkan oleh orang-orang yang suci badan, temat, kondisi batin, dan lain sebagainya. Berkaitan dengan hal tersebut muncul konsep-konsep maqamat dan al-ahwal. Pada umumnya maqamat dan al-ahwal dinyatakan dalam terminologi yang sepenuhnya dikutip dari al-qur’an.

B. Rumusan Masalah 1. Pengertian Al-Ahwal? 2. Macam-macam Al-Ahwal 3. Tujuan Al-Ahwal

BAB II Al-Ahwal A. Pengertian Al-Ahwal Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Hal ini merupakan anugerah dan rahmat dari Allah SWT. Al-Sarraj, sebagai sufi yang hidup lebih dahulu dari para sufi di atas, memandang bahwa ahwal adalah “Apa-apa yang bersemayam di dalam kalbu dengan sebab zikir yang tulus”. Ada yang mengatakan bahwa hal adalah zikir yang lirih (khafiy), sebagaimana Hadis Nabi yang menyatakan bahwa sebaik-baik zikir adalah yang lirih (khayr al-dzikir al-khafy). Menurut alSaraj, al-Junaid juga melihat bahwa hal bertempat di dalam kalbu dan tidak kekal. Dalam pandangan al-Sarraj, hal tidak diperoleh melalui ibadah, riyadhah, dan mujahadah sebagaimana maqamat, melainkan anugerah Allah Kendatipun kondisi atau sikap mental itu semata anugerah Allah, hukan karena latihan dan perjuangan, namun bagi setiap orang yang ingin meningkatkan intensitas jiwanya haruslah berusaha menjadikan dirinya orang yang berhak menerima anugerah Allah tersebut‘ yaitu dengan meningkatkan amal perbuatannya. baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitasnya. Jika dirunut sejarahnya, konsep tentang maqmat dan ahwal 'sesungguhnya telah ada pada masa awal-awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang dua kensep penting dalam tasawuf ini adalah Ali ibn Abi Thalib: ketika ia ditanya tentang iman, ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat pondasi: kesabaran (shabr), keyakinan (yaqin), keadilan ('adl) dan perjuangan (jihad). Senada dengan pandangan ini, tokoh pertama yang juga membahas tentang ahwal adalah Zunnun al-Mishri (w. 796 M 861 M), sementara Sari al-Saqati (w. 253 H/867 M) merupakan sufi pertama yang menyusun maqamat dan menjelaskan tentang ahwal.

B. Macam-Macam Al-Ahwal Setelah mengkaji dan membahas. Selanjutnya terdapat beberapa macam-macam ahwal. Beberapa di antaranya dapat diuraikan sebagai berikut; 1. Khauf Khauf menurut ahli sufi berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena khawatir kurangnya pengabdian. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Oleh karena adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan laku perbuatannya tidak

menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Bisa jadi perasaan khauf ini timbul karena takut kepada siksa Allah. Juga bisa timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah begitu mendalam, sehingga ia merasa khawatir kalau-kalau Allah melupakannya. Allah berfirman didalam surah As-sajadah ayat ;

..........



  .........  Artinya ; ..........dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap........, Dalam hubungan ini Imam al-Gazali berbicara tentang macam-macam khauf. Beliau membagi khauf kepada dua macam, yaitu: (1) khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya, dan (2) khauf kepada siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf seperti inilah yang mendorong orang untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah. Dalam ketakutan, seorang sufi melakukan berbagai ketaatan karena khawatir amalnya tidak diterima tuhannya.

Allah berfirman didalam Surat AL-Mu’minun ayat 57-61;

















    







 

 

     













 







  Artinya ; (57). Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, (58) dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, (59). dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), (60). dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (60). mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya Dalam pandangan Al-Sarraj, Khauf (takut) senantiasa bergandengan dengan Mahabbah (cinta). Keduanya tidak bisa dipisahkan dan masih dalam bingkai qurb (kedekatan). Qurb membutuhkan dua kondisi. Pertama, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa takutnya. Kedua, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa cintanya. Hal itu terjadi karena Allah memberikan kepada hati sebuah kepercayaan.

2. Raja' Raja' berarti suatu sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia dan rahmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya yang saleh, kerena ia yakin bahwa Allah Maha Pengasih, Penyayang, dan Maha Pengampun. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampun, merasa lapang dada, penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah. Perasaan optimis ini akan memberi gairah bagi sufi untuk terwujudnya apa yang diidam-idamkan. Dalam konteks ini Ibn Qudamah al-Muqaddasi mengatakan bahwa yang dikatakan dengan raja' ialah rasa lapang dada karena menantikan yang diharapkan, yaitu hal yang mungkin terjadi. Tetapi jika yang diharapkan itu mustahil terjadi, maka yang demikian dinamakan tamanni (ilusi). Dan beliau juga mengatakan “ dan sesuatu yang terlintas di dalam hati yang merupakan harapan pada masa yang akan datang dinamakan raja', dan yang merupakan sesuatu yang ditakuti dinamakan khauf”.

Demikianlah arti raja', yang mendorong seorang Muslim untuk selalu berbuat baik dan beramal saleh demi mengharap karunia dan rahmat Allah. Allah SWT. Berfirman didalam surah QS AlBaqarah ayat 218;







   









 





   Artinya; Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

3. Syauq Syauq adalah kerinduan, karena setiap orang yang cinta kepada sesuatu tentu ia merindukannya. Secara psikologi, rindu tidak akan tumbuh, melainkan terhadap sesuatu yang sudah diketahui. Terhadap sesuatu yang belum diketahui tidak mungkin lahir rasa rindu. Kesempurnaan rasa rindu itu adalah dengan ru’yah (melihat) dan liqa’ (bertemu) yang dirindukan, dan yang demikian akan dapat pada hari akhir nanti. Dengan demikian, syauq adalah rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta sejati. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang yang bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, dan hasrat yang selalu bergelora. Setiap denyut jantung, detak kalbu dan desah nafas, ingatannya hanya kepada Allah, Inilah syauq. Perasaan inilah yang menjadi motor pendorong orang sufi untuk selalu ada sedekat mungkin dengan Allah, yang menjadi sumber segala kenikmatan dan keindahan yang didambakan.

4. Uns

Dalam tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman. Perasaan “Uns merupakan kondisi kejiwaan, di mana seseorang merasakan kedekatan dengan Allah SWT (pencerahan dalam kebenaran). Seseorang yang pada kondisi 'Uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, serta suka cinta yang meluap-luap. Kondisi kejiwaan seorang sufi ketika merasakan kedekatan dengan Allah yang mana hati dan perasaan diliputi oleh cinta dan lain-lain. Menurut Abu Sa'id Al-Kharraj ‘Uns adalah perbincangan roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yang sangat dekat. Zunnun memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap kekasihnya. Salah seorang pemuka thabi'in menulis surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ”Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata dan putuskan hubungan selain dengan-Nya”. Menurut AlSarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan benarbenar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah. Pengertian lain, ‘Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik sentrum yaitu Allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut Al-‘Uns. Situasi ‘uns ini mirip dengan a-lfana sebab kata Dzu al-nun seseorang yang memperoleh keadaan' uns kiranya ia dilemparkan ke neraka, tentu tidak akan merasakan panasnya neraka itu. Dan Al-Junaid juga mengatakan apabila seseorang telah sampai kepada kondisi 'Uns, andai kata tubuhnya ditusuk dengan pedang, ia tidak akan merasakannya. Walaupun situasi atau keadaan ‘uns itu mirip dan sudah hampir sama dengan fana, namun orang sufi tidak menyebutnya fana, tetapi al-mahn, yaitu sekadar pemusatan seluruh ekspresi secara utuh kepada satu arah. Dalam pandangan kaum sufi, sifat 'Uns (intim) adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat 'Uns, “Ada orang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada juga yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu berteman di mana pun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah”. Ungkapan di atas melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan Allah SWTnya. Sikap keintiman tersebut banyak dialami oleh kaum sufi.

Orang-orang yang intim (yang merasakan 'uns) itu terbagi atas tiga tingkatan. 1. Mereka yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa. 2. Ketika sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apa pun selain-Nya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang menyibukkannya. 3. Hilangnya pandangan tentang 'Uns karena ada rasa segan, kedekatan, dan keagungan bersama 'Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat ‘Uns itu sendiri. 5. Mahabah Mahabah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan asal pengambilan katanya. Mahabah berasal dari kata hibbah, yang berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan, sebagarmana benih menjadi sumber tanaman. Dalam perspektif tasawuf, mahabah bisa di telusuri maknanya menurut pandangan para sufi. Menurut al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Yakni hati cenderung kepada Allah SWT dan apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta, menurut pemuka sufi lain, adalah mengabdikan diri kepada yang dicintainya. Ali al-Kattani juga memandang cinta sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa-apa yang datang dari yang dikasihinya.

Allah berfirman didalam surah Al-Baqarah ayat 165 ;

     





 



 

      







    









  Artinya; dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

6. Yaqin Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung, itulah yang disebut dengan Al-Yaqin. Yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya.

Selanjutnya, menurut sebagian orang sufi, yaqin adalah suatu pengetahuan yang diletakkan ke dalam hati seseorang. Jadi berdasarkan pendapat ini bahwa keyakinan itu adalah pengetahuan yang didapat tanpa melalui usaha, tapi hanya semata limpahan karunia Allah. Sebaliknya, Abu Bakar Thahir mengatakan: “Yaqin adalah ilmu yang memiliki kepastian tanpa ada keraguan.” Berdasarkan pengertian ini maka yaqin adalah pengetahuan yang didapat dengan perantaraan usaha. Sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf itu bagi orang mubtadi didapatnya dengan perantaraan belajar. Namun bagi orang muntani, ilmu itu hanya didapat melalui limpahan karunia Allah SWT. Keyakinan menurut Al-Sarraj merupakan hal yang tinggi. Ia adalah pondasi dan sekaligus bagian akhir serta pangkalan terakhir dari seluruh ahwal. Dengan kata lain seluruh ahwal terletak

pada keyakinan yang tampak (Zahir) Puncak dari keyakinan ini diisyaratkan Allah dalam firmanNya.

C. Tujuan Al-Ahwal Kajian tentang al-maqamat dan al-ahwal dalam sufisme bukanlah bukanlah kajian baru, melainkan merupakan kajian klasik dalam pemikiran Islam yang lebih spesifik dalam hal spiritualitas. Seorang sufi apabila mencapai suatu maqam, ia akan merasakan kenikmatan atas kedekatannya dengan yang mahakuasa. Ia bahkan merasakan nikmatnya bertemu dalam berkontemplasi dan berkhalawat dengan tuhannya. Seorang sufi yang berkontemplasi merasakan bahwa itu adalah usaha gigih seorang salik dalam menemui Tuhannya. Bagi seorang sufi, al-maqamat dan al-ahwal merupakan usaha ber-taqarrub kepada Maha Pencipta. Dari al-maqammat dan al-ahwal inilah, lahir pancaran sinar dan pencerahan hati seorang sufi menjadi seorang insan yang selalu ber-ta’abbud kepada Allah. Usaha-usaha inilah yang menjadikan seorang sufi mencapai tazkiyyah an-nafs.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Meski para sufi berbeda pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas, perlu dipertegas di sini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan pergi.

DAFTAR PUSTAKA HAG, Tamami. 2011. Psikologi Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Tamrin, Dahlan. 2010. Tasawuf Irfani. Malang: UIN-Maliki Press.

Ni`am, Syamsum. 2014. Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta:. Ar-Ruzz Media.

Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. 2013. Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada

LAMPIRAN a. Lampiran 1

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF