Mahasiswa Dulu, Kini Dan Esok

July 25, 2017 | Author: Peter Kasenda | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Pendapat dominan selama ini memandang bahwa mahasiswa merupakan kelompok strategis yang berperan penting dalam perubahan...

Description

Peter Kasenda

Mahasiswa: Dulu , Kini dan Esok

Hanya Satu Kata ... LAWAN (Widji Thukul)

Pendapat dominan selama ini memandang bahwa mahasiswa merupakan kelompok strategis yang berperan penting dalam perubahan sosial-politik . Bahkan sudah menjadi truisme bahwa gerakan protes mahasiswa , terutama di Dunia Ketiga , memainkan peranan sangat aktif dan berposisi sentral dalam percaturan politik . Tak ada satu pun penguasa di negeri-negeri – yang dianggap berkembang ini – yang bisa mengabaikan posisi sosial dan pentingnya representasi politik serta dampak aspirasi dari golongan muda berpendidikan tinggi ini . Para ilmuwan sosial pun sibuk mengkaji dan meneliti fungsi mereka dalam sistem sosial-politik , terutama setelah menaiknya gelombang aksi protes mahasiswa di akhir dekade 1960-an hingga awal 1970-an , baik di negeri-negeri maju maupun terbelakang , termasuk di Indonesia .( Anwar , 1981 Kajian tentang gerakan mahasiswa bukanlah suatu disiplin akademis , dan bahkan belum menjadi keahlian khusus yang diakui , tetapi kepustakaan tentang bidang ini banyak sekali dan cukup bervariasi untuk dipandang sebagai bidang studi . Kepustakaan tentang gerakansebagian besar merupakan artefak gerakan mahasiswa yang meluas di seluruh dunia dalam tahun-tahun 1960-an . Suatu bibliografi yang diterbitkan pada tahun 1970 dan yang belum termasuk kepustakaan di Amerika Serikat , mencatat 1.800 buku dan artikel dengan topik gerakan mahasiswa . Kepustakaan ini terus berkembang cepat pada awal 1970-an pada saat para cendikiawan memusatkan perhatian aktivitas gerakan pada periode tersebut . Publikasi tentang gerakan mahasiswa secara mendadak berhenti pada pertengahan tahun 1970-an ketika aktivitas mahasiswa gerakan mahasiswa itu sendiri berhenti . Sementara itu , hanya beberapa kepustakaan yang meliput berbagai negara dan wilayah , dan sejumlah besar mengkaji Amerika Serikat serta lebih sedikit daripadanya mengkaji Eropa Barat . Sebuah daftar kepustakaan yang diterbitkan pada tahun 1973 memuat 9000 item hanya khusus tentang Amerika Serikat saja , dan kira-kira setengah diantaranya merupakan kajian langsung terhadap gerakan mahasiswa . Bagian-bagian dunia yang lain , terutama Dunia Ketiga , hanya memperoleh sedikit perhatian saja meskipun gerakan-gerakan mahasiswa di negara-negara ini efektif sekali , dalam pengertian pengaruhnya terhadap perubahan sosial atau politik . Tampak jelas bahwa penelitian dan analisis tentang gerakan mahasiswa lebih dirangsang oleh krisis tahun 1960-an dibanding minat akademis yang instrinsik terhadap topik itu sendiri . Karena, ketika krisis itu telah lewat , segera saja tumpukan karya tentang hal tersebut berhenti . Untuk suatu batas waktu tertentu , sejumlah besar dana dari 1 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda universitas, lembaga-lembaga pemerintah , dan yayasan-yayasan disediakan bagi penelitian tentang mahasiswa dan terutama pada aspek-aspek politik dari kehidupan mahasiswa , dana-dana ini merangsang banyak sekali penelitian dan penulisan Sejumlah survey berskala besar di berbagai negara dijalankan sebagai bagian dari upaya penelitian ini . Selain tersedianya dana-dana penelitian , perhatian dari media massa , penerbit , dan jurnal-jurnal ilmiah cukup tinggi selama akhir 1960-an . Minat ini merangsang para cendikiawan dan orang-orang lain untuk menulis gerakan mahasiswa dan mengembangkan pembaca tulisan-tulisan mereka di segala lapisan . Sejumlah besar buku mengenai gerakan mahasiswa diterbitkan dalam periode ini , dan banyak diantaranya saling tumpang tindih satu sama lain . Kejadian-kejadian dramatis seperti Revolusi Mahasiswa Berkeley tahun 1964 . “ peristiwa “ Perancis tahun 1968 , kisah SDS Amerika, dan pembunuhan di Kent State University, semuanya memperoleh perhatian di dalam sejumlah buku , dan bahkan satu dua film. Tidak mengherankan bahwa perhatian media terhadap topik tersebut tidak berumur panjang , dan sekarang ini sangat sulit sekali menyelenggarakan diskusi tentang gerakan mahasiswa . Dana-dana penelitian juga sudah tidak ada lagi . Para penulis yang menaruh minat terhadap gerakan mahasiswa dan menyumbang bagi penerbitan kepustakaan pada 1960-an , terdiri dari berbagai ragam . Sejumlah wartawan dan “cendikiawan “ menulis mengenai gerakan mahasiswa dengan derajat persepsi yang berbeda-beda . Buku James Michener (1971 )_ mengenai peristiwa Kent State merupakan best-seller dan menaikkan minat umum terhadap topik tersebut . para intelektual Perancis seperti Raymond Aron (1969) juga menulis tentang gerakan mahasiswa . Para aktivitas mahasiswa itu sendiri menyumbang beberapa terbitan yang sangat berguna di dalam kepustakaan mengenai masalah ini dan hal ini menumbuhkan suasana hangat bagi diskusi . Mungkin buku seperti itu yang paling terkenal ialah tulisan Cohn-Bendit (1968 , Obsolete Communism , yang tidak hanya berpengaruh di Eropa , tetapi juga di Amerika Serikat dan Dunia Ketiga . Judul-judul seperti The Strawberry Statement (1968) dan The Whole World is Watching ( 1970) mencirikan jenis kepustakaan ini. Barangkali kelompok terbesar yang menulis tentang gerakan mahasiswa adalah ilmuwan sosial dari berbagai disiplin ilmu yang menaruh perhatian serta metodelogi bidang mereka masing-masing untuk meneliti dan menulis . Para ahli sosiologi dan ilmuwan politik terutama yang aktif dalam meneliti dan menulis gerakan mahasiswa. Sulit untuk melakukan generalisasi mengenai sifat kepustakaan gerakan mahasiswa . Banyak analisis yang dilakukan tidak menyukai gerakan dan kegiatan kemahasiswaan , terutama kalau para mahasiswa tersebut mengeritik pendidikan tinggi . Tulisan Lewis Feuer , Conflict of Generations (1969) , merupakan contoh khas dari analisis kegiatan kemahasiswaan dari perspektif yang kritis. Hanya sedikit saja dari kalangan ilmuwan sosial yang menulis tentang kegiatan kemahasiswaan menelaah organisasi kemahasiswaannya itu sendiri . Kebanyakan mengkaji sikap , motivasi , atau ideologi . Banyak sekali tulisan tahun 1960-an yang hanya mempunyai relevansi sedikit saja karena hanya berkaitan dengan peristiwa –peristiwa khusus dan ditulis dari perspektif krisis sesaat . 2 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda

Tidak adanya perspektif teoritik yang secara luas bisa diterima mengenai kegiatan kemahasiswaan , muncul akibat dari melimpah ruahnya jumlah tulisan tentang mahasiswa dalam tahun 1960-an . Banyak penulis yang merasa bahwa perbedaanperbedaan nasional , tradisi akademik , dan gerakan-gerakan mahasiswa begitu berbeda sehingga tidak mungkin melakukan generalisasi yang memadai . Para penulis seperti Feuer (1969) atau Miles ( 1971) , yang membuat generalisasi yang sangat umum , dikritik sebagai tidak berhasil memperhitungkan sejumlah pengalaman nasional yang memadai . Meskipun banyak sekali data tersedia yang menyangkut kegiatan kemahasiswaan di berbagai tatanan nasional dan berbagai periode historis yang berbeda-beda , sekarang ini tidak tersedia formulasi teoritik yang diterima secara luas oleh cendikiawan dalam bidang tersebut . Pendekatan metodelogis yang berbeda serta kesukaan ideologis yang berbeda pula membuat semakin sulit munculnya landasan teoritik ini telah menghambat penelitian lebih lanjut, karena masing-masing cendikiwan atau penulis harus mengembangkan suatu kerangka acuan sendiri atau mulai dengan tanpa memakai kerangka acuan yang jelas . bagi buku-buku serta artikel-artikel dan ketika cukup tersedia dana untuk itu , kembali kepada topik-topik penelitian yang lebih mapan dalam bidang mereka masing-masing . Sekalipun banyak diabaikan dalam kepustakaan , perbedaan-perbedaan yang tajam antara pengalaman para aktivis mahasiswa di negara-negara industri dan Dunia Ketiga mungkin merupakan variabel analistik kunci dalam kajian tentang kegiatan kemahasiswaan . Sesungguhnya , jika suatu kerangka teoritik mau dikembangkan maka kerangka tersebut sekurangnya harus dibagi kedalam dua ketegori analitik , karena pengalaman-pengalaman keduanya sangat berbeda . Kita bisa melihat banyak kemiripan di kalangan negara-negara industri Eropa Barat dan Amerika Utara . Gerakan-gerakan tahun 1960-an berkembang dalam waktu yang hampir bersamaan , sebagai respon terhadap rangsangan yang sama , dan gerakan-gerakan tersebut menurun pada periode yang hampir sama (dengan beberapa variasi ) . Ada keserupaan dalam tradisi akademik , peran dan fungsi universitas dan sebagainya . Kepustakaan dalam bidang ini kesannya menjadi penting , karena periode aktif produktivitasnya yang pendek dan tidak bisa , dan dalam keragamannya . Kepustakaan tersebut , yang jumlahnya anjok sampai sedikit sekali , menyajikan sejumlah pengetahuan faktual yang signifikan namun masih kekurangan teori . Para ilmuwan sosial yang menulis mengenai kegiatan kemahasiswaan , ketika tersedia pasar yang jelas bagi buku-buku serta artikel-artikel dan ketika cukup tersedia dana untuk itu , kembali kepada topik-topik penelitian yang lebih mapan dalam bidang mereka masing-masing . Sekalipun banyak diabaikan dalam kepustakaan , perbedaan-perbedaan yang tajam antara pengalaman para aktivis mahasiswa di negara-negara industri dan Dunia Ketiga mungkin merupakan variabel analitik kunci dalam kajian tentang kegiatan kemahasiswaan . Sesungguhnyalah , jika suatu kerangka teoritik mau dikembangkan maka kerangka tersebut sekurangnya harus dibagi ke dalam dua kategori analitik , karena pengalamanpengalaman keduanya sangat berbeda . Kita bisa melihat banyak kemiripan di kalangan negara-negara industri Eropa Barat dan Amerika Utara . Gerakan-gerakan tahun 1960-an berkembang dalam waktu yang hampir bersamaan , sebagai respon terhadap rangsangan 3 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda yang sama , dan gerakan-gerakan tersebut menurun pada periode yang hampir sama (dengan beberapa variasi ) . Ada keserupaan dalam tradisi akademik , peran dan fungsi universitas dan sebagainya . Kegiatan mahasiswa di Dunia Ketiga lebih sulit dibuat kategorinya . Namun jelas bahwa kendatipun mahasiswa di negara industri tidak pernah mampu menggulingkan suatu pemerintahan ( meskipun di Jepang dan Perancis dalam tahun 1960-an mereka hampir saja melakukan hal itu ) , di sejumlah negara Dunia Ketiga mahasiswa merupakan penyebab huru-hara politik secara langsung . Dengan kata lain , dari waktu ke waktu para mahasiswa Dunia Ketiga efektif dalam merangsang perubahan sosial dan , dalam beberapa peristiwa seperti halnya reformasi Cordoba tahun 1918 di Amerika Latin , dalam merangsang perubahan besar di universitas . Selanjutnya , para mahasiswa di Dunia Ketiga merupakan bagian dari persamaan politik yang konsisten , penting , dan bahkan absah . Dalam berbagai kasus , mahasiswa adalah “ cabang keempat “ dari pemerintahan dan kampus menduduki posisi kunci dalam sistem politik . Dengan kedudukan sosial dan politik mereka yang penting , maka mengherankan bahwa gerakan mahasiswa di Dunia Ketiga hanya sedikit sekali dianalisis oleh para cendikiawan . Sebagaimana yang dinyatakan oleh Daniel Levy , kondisis-kondisi politik dalam negeri di suatu negara Dunia Ketiga bisa mengubah lingkup dan dampak keterlibatan politik mahasiswa . Misalnya , kediktaktoran militer yang sekarang ini ada di Amerika Latin sebagian besar mencegah para mahasiswa untuk memainkan peran politik aktif dengan cara aktif menekan gerakan mahasiswa. Namun demikian , kegiatan kemahasiswaan di Dunia Ketiga tetap merupakan suatu faktor penting , dan ada sejumlah sebab yang bisa dikemukakan di sini . Mahasiswa di Universitas di Dunia Ketiga membentuk suatu elit yang baru mulai , dan di banyak negara membangun perasaan bahwa mereka mempunyai akses bagi pendidikan pasca –SMTA dan kesempatan mereka untuk mendapatkan akses bagi posisi-posisi kekuasaan dan kewenangan yang jauh lebih baik dibandingkan orang biasa.. Perbedaan-perbedaan antara mereka yang memiliki latar belakang pendidikan pasca SMTA dan mereka yang tidak memiliki latar belakang seperti ini sangat penting artinya di Dunia Ketiga .Relatif sedikit negara di Dunia Ketiga yang secara efektif menjalankan sistem politik yang demokratis . Akibat keadaan ini , dan meluasnya persoalan buta huruf serta buruknya komunikasi , mahasiswa sering dianggap sebagai orang-orang yang bisa menyuarakan populasi yang lebih luas. Sedikit banyak mereka memiliki kewenangan yang melampui sejumlah mereka yang kecil, dan mereka yang memegang kekuasaan sering memperlakukan demontrasi dan ketidakpuasan mahasiswa secara serius karena alasan ini . Dalam berbagai kasus , demontrasi mahasiswa yang nampaknya kecil ternyata efektif dalam memobilisasikan gerakan sosial yang lebih besar secara cepat atau mengakibatkan dampak yang mengejutkan bagi penguasa . Sedikit banyak mahasiswa di Dunia Ketiga bertindak sebagai “hati nurani “ masyarakat mereka . Faktor-faktor ini merupakan penjelasan parsial atas efektifitas relatif gerakan-gerakan aktivitas mahasiswa di Dunia Ketiga dalam dua puluh tahun terakhir ini. Namun semua gerakan kemahasiswaan di Dunia Ketiga tidak efektif , dan sering dikenakan represi yang efektif dalam menghancurkan gerakan-gerakan tersebut . Memang , kekerasan yang dilakukan terhadap para mahasiswa serta kematian akibat kekerasan tersebut lebih 4 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda banyak terjadi di Dunia Ketiga dibanding negara-negara industri . Korea Selatan dan Muangthai merupakan contoh-contoh terakhir tentang represi besar-besaran atas mahasiswa. ( Altbach , 1988 : 3 – 10 ) Arkeologi Gerakan Mahasiswa Pada bulan Januari 1901 Ratu Wilhelmina mengumumkan di depan Parlemen program Pemerintah Belanda yang baru saja terpilih . Pemerintah mengikuti bahwa sementara di masa lalu banyak perusahaan dan orang-orang Belanda telah memperoleh keuntungan yang berlimpah-limpah dari Hindia Belanda , penduduk di tanah jajahan itu sendiri semakin miskin . Tujuan utama pemerintah jajahan di masa mendatang ialah memperbaiki kesejahteraan rakyat . Ratu Wilhelmina menambahkan bahwa bangsa Belanda : telah berhutang budi : kepada rakyat Hindia Belanda . Dengan bernaung di bawah apa yang kemudian dikenal sebagai politik etis , pemerintah Hindia Belanda perlahan-lahan memperluas kesempatan bagi anak-anak Indonesia dari golongan atas untuk mengikuti Sekolah-sekolah berbahasa Belanda tingkat dasar dan menengah . Sampai akhir Perang Dunia I kebijaksanaan yang baru dalam pendididikan tersebut menghasilkan beberapa lulusan yang jumlahnya semakin meningkat ( Ingelson ,1983 : 1 ) Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sekolah kedokteran tingkat menengah pada tahun 1902 dengan nama School Tot Opdeling van Inlandsche Arsten ( STOVIA ), yang merupakan kelanjutan dari Sekolah Dokter Djawa ( 1851 ) . .Pada tahun 1914 STOVIA ditingkatkan lagi karena calon-calonnya haruis diambil dari lulusan MULO . Pada tahun itu pula di Surabaya didirikan sekolah sejenis dengan nama Nederlands Indiische Artsen School ( NIAS). Baru pada tahun 1927 pemerintah mendirikan Sekolah Tinggi Kedokteran ( Genneskudige Hoogeschool ) atau GH yang mengambil lulusan AMS dan HBS . Untuk tenaga-tenaga kejaksaan dan pengadilan , pada tahun 1909 didirikan Rechts School.Pada tahun 1924 , ketika lulusan Sekolah Menengah sudah banyak , didirikan Sekolah Hukum Tingkat Tinggi dengan nama Rechts Hoogeschool . .Pendidikan per tukangan sudah dicoba dari masa ke masa sejak abab ke-19 . Sebagian besar sekolahsekolah itu tidak berlangsung lama, Dalam awal abad ke-20 dicoba lagi dan kali ini lebih berhasil . Sebuah sekolah teknik tingkat tinggi baru didirikan pada tahun 1920 , dan inipun oleh golongan swasta . Pada tahun 1924 sekolah yang bernama Technische Hoogeschool ( TH ) itu diambil alih oleh pemerintah . . Perlu disebutkan di sini bahwa sekolah-sekolah tinggi kehakiman , teknik dan kedokteran tidak didirikan khusus untuk orang Indonesia seperti sekolah-sekolah kejuruan dasar dan menengah . Pada mulanya malah golongan Belanda dan Cinalah yang lebih menonjol . Ini disebabkan karena sekolah lanjutan atas bagi pendudukan kepulauan Indonesia belum banyak . Calon-calon dari kalangan orang-orang Indonesia makin banyak memasuki sekolah-sekolah tinggi setelah orang-orang Indonesia diperkenankan memasuki sekolahsekolah menengah atas yang khusus didirikan untuk golongan-golongan Belanda . ( Leiressa , 1985 : 27 – 29 ) 5 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda

Kemajuan nasional negeri-negeri Asia lainnya juga telah berperanan di dalam membangkitkan hasrat maju di kalangan terpelajar Jawa . Kaum terpelajar ini sadar , bahwa persatuan sangat penting bukan sekedar untuk menjamin keberhasilan mereka sendiri , tetapi juga meningkatkan kondisi kehidupan rakyat mereka sendiri . Kesadaran ini , demikian juga kelambanan untuk bersatu, terdapat dan terdengar paling di kuat di kalangan orang Jawa . Inspirasi dan bimbingan yang luar biasa diperoleh dari kampanye menyala-nyala yang boleh dikatakan dilakukan seorang diri oleh dokter Wahidin , seorang lulusan STOVIA . Tema perjuangan Wahidin adalah , bahwa perjuangan untuk tetap tegaknya budaya dan bangsa merupakan kepentingan vital bagi orang Jawa . Cita-citanya semula terbatas mendirikan organisasi beasiswa agar bisa membantu siswa-siswa yang miskin namun pandai . Para siswa di STOVIA menggunakan usaha ini untuk sekaligus juga mendirikan sebuah organisasi yang bersifat umum bagi penduduk pribumi . Perjuangan untuk persatuan nasional itu dilancarkan pada sebuah rapat tanggal 20 Mei 1908 ; mereka membangun sebuah basis dan dari basis inilah siswa-siswa itu menghubungi orang-orang dari kalangan priyayi inilah siswa –siswa itu menghubungi orang-orang dari kalangan priyayi atasan yang maju , dan juga siswa-siswea dari sekolah-sekolah lain di seluruh Jawa . ( Nagazumi , 1989 : 251 – 253 ) Pada waktu didirikan , rapat yang diselenggarakan pada tanggal 20 Mei 1908 di STOVIA , ternyata dihadiri tidak saja oleh mahasiswa sekolah kedokteran Jawa itu , melainkan juga dari sekolah pertanian dan kehewanan Bogor m sekolah pegawai negeri pribumi atau pamong praja Magelang dan Probolinggo , sekolah-sekolah guru Bandung , Yigyakarta dan Probolinggo dan siswa-siswa dari Surabaya . Ini menunjukkan kemampuan yang sudah dimiliki oleh para mahasiswa untuk menghimpun orang-orang segenerasi pada waktu itu .yang sungguh-sungguh merupakan gejala baru di Indonesia pada awal abad 20. Ia patut dicatat karena awal sejarah kedasaran nasional ternyata adalah awal sejarah pergerakan mahasiswa dan golongan terpelajar juga . Para mahasiswa STOVIA agaknya berperan memimpin , mengingat prestise tertinggi yang dimiliki oleh mahasiswa kedokteran . Peranan mahasiswa ini ternyata menjadi tradisi karena ternyata kemudian banyak mahasiswa kedokteran yang terlibat dalam pergerakan dan bahkan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa . Tidak berlebihan rasanya untuk dikatakan bahwa berdirinya Budi Utomo ini merupakan kebangkitan kaum muda Indonesia di awal abad ke 20 . Kebangkitan ini ini, sekalipun terbatas di kalangan suku Jawa dan sangat kuat dilatar-belakangi oleh budaya Jawa , tapi kemudian diakui sebagai awal kebangkitan nasional walaupun oleh majalah Jong Indie pada waktu itu hanya disebut sebagai “ Kebangkitan Jawa .” Peranan mahasiswa dan pelajar memang menonjol , tidak saja dalam proses pembentukannya melainkan juga pada awal perkembangan organisasi Budi Utomo tersebut , setidak-tidaknya hingga kongresnya yang pertama di Yogyakarta tanggal 3 – 5 Oktober 1908 . Peranan Sutomo, Suraji, Saleh, Suwarno dan Gunawan begitu menonjolnya dan mampu mengangkat isu kebangkitan di pers nasional Hindia Belanda 6 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda pada waktu itu , sehingga menenggelamkan peranan Wahidin sendiri . Tak dapat diingkari , bahwa gagasan yang menyebabkan berdirinya BU berasal dari Wahidin , seorang dokter senior yang disebut oleh kalangan muda sebagai “dokter tua “ itu . Sesudah berdiri sebagai organisasi umum, dibentuk pula BU Cabang Yogyakarta yang ketianya adalah dokter Wahidin yang kemudian terpilih sebagai ketua kongres BU yang pertama itu . Kongres itulah yang merupakan titik-balik haluan BU kearah cita-cita Wahidin yang asli . Sebenarnya bahwa pada waktu mendirikan Budi Utomo , para siswa STOVIA di sekitar Sutomo itu adalah anak-anak muda yang berumur antara 20 – 22 tahun . Mereka boleh dikatakan belum berpengalaman , baik dalam berorganisasi maupun dalam mengeluarkan pendapat BU itulah yang memberikan mereka forum untuk melatih dan mengembangkan diri . Dalam situasi seperti itu mereka menoleh kepada para pemimpin yang lebih senior .Ada dua orang tokoh yang berdiri melatarbelakangi terbentuknya Budi Utomo . Pertama adalah dokter Wahidin sendiri . Kedua adalah seorang tokoh intelektual terkemuka yang kurang disebut namanya dalam hubungannya dengan terbentuknya Budi Utomo yakni seorang Indo-Eropa bernama Eduard Douwes Dekker yang kelak berubah namanya menjadi Danudirdja Setiabudi . Keduanya sangat mempengaruhi pemikiran para mahasiswa dan pelajar pada waktu itu . Pada mulanya , kalangan muda itu lebih terkesan oleh pandangan Wahidin . Tapi kemudian beberapa diantaranya cenderung mengikuti Dekker . Kaum pelajar dan mahasiswa itu , sebelum bertemu langsung dengan Wahidin , telah lebih dahulu mendengar gagasannya yang mempropagandakan usaha pemberian beasiswa kepada anak-anak pribumi yang pandai . Ia berpendapat bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa . Atas dasar itu ia menghimbau para priyayi dan golongan atas pamong praja pribumi agar mendukung gagasan ini . Gagasan lainnya adalah penyebaran ilmu pengetahuan dan informasi mengenai perkembangan dunia luar guna menambah pengetahuan umum masyarakat . Di samping itu ia juga mencita-citakan untuk melestarikan dan mengembangkan seni-budaya Jawa yang luhur . Sikap dan langkah yang diambil oleh para mahasiswa dipengaruhi oleh lingkungan tertentiu . Bagi para mahasiswa , langkah pembentukan Budi Utomo itu adalah suatu keputusan politik tersendiri karena mereka harus dapat menilai situasi dan menimbang segala pengaruh yang mereka peroleh dalam menghadapi situasi . Sebelum bertemu dengan Wahidin , para mahasiswa sudah berkenalan terlebih dahulu dengan Douwes Dekker yang rumahnya dapat dicapai dengan berjalan saja dari STOVIA . Rumah Dekker adalah tempat persinggahan karena disitu tersedia perpustakaan dan ruang baca bagi para peminat . Dekker , mempunyai pandangan lain . Ia bercita-cita mendirikan partai-politik yang terbuka bagi kaum pribumi dan Indo-Belanda untuk memperjuangkan Indonesia yang merdeka . Cita-citanya itu dan memikirannya yang progresif , tercermin dalam artikel-srtikel dan berita-berita yang dimuat dalam Koran Bataviaasch Niewsblad ( BN) dimana ia menjadi redakturnya . Agaknya , para mahasiswa pada waktu itu menghadapi pilihan , apakah mengikuti haluan Wahidin atau Dekker . Wahidin masih berfikir dalam pagar . Ia tidak menentang 7 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda pemerintahan kolonial Belanda , bahkan ingin menciptakan harmoni dengannya . Sementara itu Dekker yang nota-bene keturunan Indo-Belanda itu , justru menentang pemerintahan Belanda di Indonesia . Baginya pemerintah Belanda bukanlah pemerintahannya . Ia menginginkan kolonialisme lenyap dari bumi Indonesia . Dengan sikapnya ia berusaha mempengaruhi masyarakat . Korannya itu sudah tentu mendapat perhatian dari para mahasiswa dan pemuda . Ada dua Koran yang diminati oleh kalangan muda , yaitu Bataviaasch Niewsblad diatas dan De Lokomotief yang terbit di Semarang ( di bawah pimpinan JE Stokvis dan Anton Lievegud ) Tapi agaknya Sutomo lebih cenderung kepada Wahidin . Demikian pula teman-teman lainnya walaupun beberapa diantaranya seperti Tjipto Mangunkusumo , Suwardi Surjaningrat dan Suwarno merasa lebih dekat dan bersahabat dengan Douwes Dekker . Yang jelas , berdirilah Budi Utomo . Dan dalam pendiriannya itu , ternyata Douwes Dekker ikut juga membantu para mahasiswa . Jadi Wahidin yang memberi inspirasi , sedangkan yang membantu membentuknya adalah Douwes Dekker . Ia membantu bukan karena tertarik pada cita-cita Wahidin , melainkan karena hubungan dekatnya dengan para mahasiswa . Nama organisasi Budi Utomo itu berasal dari kalangan mahasiswa sendiri . Ada yang mengatakan bahwa istilah Budi Utomo itu berasal dari kata-kata Sutomo sendiri kepada Wahidin yang memuji pikiran Wahidin dengan kata-kata ; “ Punika Satunggaling pedamelan sae sarta nelakaken budi utamo “ yang artinya ,” Itu adalah adalah suatu perbuatan yang baik dan menunjukkan budi yang utama . Tapi ada yang mengatakan bahwa istilah itu adalah usul kawannya , Suraji . Pilihan atas nama itu mencerminkan alam pikiran para mahasiswa pada waktu itu . Mereka tidak berpikir mengenai politik , melainkan partai , melainkan sebuah perkumpulan masyarakat . ( Rahardjo , 1990 : xii – xxi ) Anak-anak muda Indonesia yang belajar di negeri Belanda setelah Perang Dunia I semakin banyak jumlahnya dibandingkan sebelumnya .Banyak di antara mereka itu memiliki lebih banyak kesadaran politik daripada angkatan sebelumnya. Ketika masih berada di Indonesia mereka itu itu telah memegang pimpinan dalam organisasi-organisasi pemuda dan telah dengan penuh semangat ikut serta dalam pergerakan kebangsaan . Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa setelah berada di negeri Belanda , mereka ingin terus terlibat dalam politik pergerakan Indonesia dan bergabung dengan organisasi mahasiswa Indonesia, yaitu Indische Vereeninging , untuk menyalurkan keinginan tersebut . Organisasi ini didirikan pada tahun 1908 ; semula merupakan suatu pusat kegiatan sosial dan kebudayaan di mana para mahasiswa Indonesia dapat melewatkan waktu senggangnya dan paling bertukar berita dan tanah air . Pada tahun 1920-an peran sosial dan kebudayaan memang tetap, tetapi berkat pengaruh generasi baru itu maka kedua peran tersebut tidak lagi menjadi fungsi yang utama . Sejak bulan Februari 1925 mereka telah mengembangkan organisasi tersebut sebagai sebuah organisasi yang mengutamakan masalah-masalah politik .Sebagai bagian daripada identitas nasional yang baru, mereka memakai nama Perhimpunan Indonesia dan memberi nama baru Indonesia Merdeka kepada majalah mereka. 8 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Mereka yang menjadi anggota PI merupakan sekelompok kecil yang terjalin erat dan hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh mahasiswa Indonesia yang ada di negeri Belanda. Tahun 1926 , misalnya pada saat memuncaknya aktivis politik PI, jumlah seluruh anggota PI hanya 38 orang . Namun demikian , pengalaman hidup dan belajar ditengah-tengah masyarakat Belanda telah memberikan suatu akibat yang mendalam . Mereka yang lama tinggal di sana memperoleh pengalaman yang semakin luas , dan mengalami suatu dampak tambahan sebagai akibat perpindahan mereka dari suatu masyarakat kolonial yang restriktif dan paternalistis ke dalam masyarakat yang lebih terbuka di mana mereka untuk pertama kalinya dianggap sederajat dengan bangsa Eropa baik di depan hukum maupun dalam masyarakat . Sebagian dari mereka itu berasal dari desa atau kota kecil dan yang pada waktu belajar di Bandung atau Batavia tercerabut dari kebudayaan desa karena tertelan oleh kehidupan kota dan hiruk pikuk dunia Barat yang baru saja mengalami guncangan mental perang dunia , kini, mempunyai kesempatan di Eropa , untuk untuk mengatasi krisis identitas pribadi . Usaha penemuan kembali identitas pribadi ini pada tingkat kelompok berjalan sejajar dengan usaha pencarian identitas sebagai bangsa Indonesia . Keduanya tersalur kedalam aktivitas gerakan kebangsaan . Kebanyakan mahasiswa tersebut sewaktu tiba di negeri Belanda, berumur sekitar 20 tahun , di mana kesepian dan keterasingan budaya merupakan masalah utama yang harus mereka atasi . Untuk mengatasi masalah ini mereka saling membina persaudaraan dan saling membantu dan sedikit sekali bergaul dengan mahasiswa Belanda . Para mahasiswa yang membawa serta istri dan anak-anaknya sering mengundang mahasiswa-mahasiswa bujangan untuk makan bersama demi persahabatan . Karena bersama-sama terlempar ke dalam suatu lingkungan asing , meningkatkan kebanggaan bersama terhadap tanah airnya sendiri . Perbedaan kedaerahan , kesukuan dan kekhasaan masing-masing mereka yang semula dibesar-besarkan unutk keuntungan orang Eropa kini ditempatkan dalam perspektif baru . ( Ingelson , 1983 : 1 – 3 ) Sumbangan PI yang terbesar adalah usahanya mengembangkan ideologi sekulernya yang menjadi dasar dari satu arus utama gerakan kebangsaan setelah tahun 1927 . Mungkin tidak satu pun ideologi yang benar-benar orsinal . Unsur-unsurnya dapat ditelusuri kembali dalam organisasi politik dan nonpolitik yang telah mendahuluinya bertahuntahun sebelumnya . Tetapi , yang belum pernah dikerjakan oleh organisasi sebelumnya PI menyatukan unsur-unsur itu ke dalam organisasi yang secara keseluruhan berpadu . Inilah organisasi Indonesia pertama yang namanya menggunakan kata“Indonesia “. Seandainya dianggap tidak menghasilkan sesuatu yang lain lagi sekalipun , namun tekanan yang diberikan PI pada bangsa Indonesia dan usahanya mengembangkan jati diri nasional , yang bukan bersifat kedaerahan , tetap mempunyai arti penting yang abadi . Anggotanya sering kali tiba di negeri Belanda tanpa mendapat bayangan yang jelas tentang politik , tetapi hampir semuanya pulang ke tanah air dengan dikaruniai jati diri nasional dan berketetapan hati untuk menciptakan bangsa yang merdeka dan bersatu . PI tidak hanya mengembangkan ideologi . Anggota-anggotanya jadi terpikat oleh ide dan semangat nasionalisme baru tersebut , dan ketika pulang ke tanah air mereka tetap aktif di bidang politik . PNI hampir seluruhnya adalah ciptaan PI , demikian pula organisasi 9 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda penerusnya , Partindo dan PNI Baru . Ketiga partai ini bersama-sama mendominasi gerakan kebangsaan setelah tahun 1927 . ( Ingelson , 1993 : 102 – 103 ) Sejak tahun 1926 mulai terlihat kecenderungan kearah penyatuan organisasi-organisasi angkatan muda yang telah ada . Kalau menjelang dekade kedua tahun 1900-an sifat organisasi angkatan muda diwarnai sifat kedaerahan dan keagamaan , setelah periode tersebut mulai diwarnai oleh keterlibatan mereka dalam masalah politik nasional . Salah satu sebabnya adalah makin menebalnya perasaan kebangsaan yang merasuki sebagian besar tokoh-tokoh angkatan muda Indonesia . Dua organisasi pemuda yang baru muncul dan langsung memasuki gelagang politik adalah Perhimpunan Pejalar-Pejalar Indonesia dan Jong Indonesia . Kedua organisasi ini seperti terlihat kelak akan sangat banyak berperan dalam mencetuskan Sumpah Pemuda di tahun 1928 . PPPI berpendapat bahwa persatuan Indonesia adalah senjata yang kuat dalam perjuangan melawan kaum penjajah Belanda . Untuk itu menurut PPPI perasaan kedaerahan harus dihilangkan karena perasaan kedaerahan harus dihilangkan karena perasaan semacam itu memperlemah persatuan . Caranya , menurut PPPI , adalah dengan menfusikan semua organisasi pemuda . Sikap PPPI yang berusaha keras untuk mencapai persatuan itu berarti memasuki gelagang politik . Sebaliknya PPPI selalu tidak lupa mendorong anggotanya untuk rajin belajar . Demikianlah semboyan “ berjuang sambil belajar “ menjadi tekad angkatan muda Indonesia . Tujuan Jong Indonesia ialah memperluas dan memperkuat ide kesatuan nasional Indonesia . Untuk maksud tersebut Jong Indonesia mendirikan organisasi kepanduan , mengadakan kerjasama dengan organisasi-organisasi angkatan muda lainnya , memajukan olahraga , menerbitkan majalah dan penerbitan lainnya , serta mentelenggara kan rapat-rapat . Walaupun nama organisasi memakai bahasa Belanda namun mereka memakai bahasa Melayu ( bahasa Indonesia ) sebagai bahasa pengantar . Cita-cita Indonesia Merdeka barulah dapat menjadi milik bersama bagi organisasi kaum pergerakan setelah melalui liku-liku yang sulit dan panjang . Proses berubahnya perasaan kedaerahan menjadi persamaan nasional tidak diciptakan dalam waktu sekejap .Proses itu telah melalui masa yang panjang . Proses berubahnya perasaan kedaerahan menjadi persamaan nasional tidak diciptakan dalam waktu sekejap . Tekanan yang diberikan pemerintah kolonial mempercepat cita-cita Indonesia Merdeka itu . Tekanan ini semakin keras dirasakan setelah meletusnya pemberontakan komunis di tahun 1926/1927 . Pemerintah Hindia Belanda , di samping memenjarakan dan membuang mereka yang dianggap terlibat , juga makin mencurigai setiap usaha kaum pergerakan sebagai hasutan pada rakyat untuk merongrong pemerintah . Akibatnya untuk beberapa kaum pergerakan berada dalam situasi khawatir dan was-was karena pemerintah bisa saja menghubungkan kegiatan mereka sebagai gerakan komunis . Situasi seperti itu juga dialami sejumlah tokoh angkatan muda , baik di dalam maupun di luar negeri . 10 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Pukulan pertama diberikan kepada Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda Tanggal 23 September 1927 empat mahasiswa anggota PI ditangkap dan dituduh menghasut massa terhadap pemerintah , Penangkapan itu dihubungkan juga dengan kegiatan PI dalam Liga Penentang Tindasan Penjajahan dan Pengejar Kemerdekaan Kebangsaan yang mengadakan kongres di Brussel dari 10 – 15 Februari 1927 . Kongres ini , selain menyokong gerakan kebangsaan Indonesia , juga menuntut kepada pemerintah kolonial Belanda untuk memberikan kemerdekaan bekerja kepada kaum pergerakan Indonesia , dan menghentikan pemulangan . Karena kongres diadakan sesudah pemberontakan komunis , maka pemerintah menghubungkan kuputusan kongres Liga itu dengan usaha komunis . Dalam Indonesia , orang-orang yang dicurigai terlibat dengan pemberontakan ditangkap dan sebagian diasingkan ke Digul di Irian Jaya . Pada tanggal 16 Desember 1927 Pemerintah Hindia Belanda menangkap Dr. Tjipto Mangunkusumo dengan alasan yang sama , yakni dituduh menghasut rakyat . Dr. Tjipto Mangunkusumo kemudian diasingkan ke pulau Banda . Situasi umum kaum pergerakan banyak membantu dan mendorong organisasi angkatan muda untuk saling mendekati menentukan pilihan fusi atau federasi . Bantuan dan dorongan itu terlihat dengan terbentuknya Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI ) pada tanggal 17 Desember 1927 . Dengan terbentuknya PPPKI maka terlihat inter-aksi kearah persatuan antara organisasi orang dewasa dengan angkatan muda . Suasana ini terus menjadi matang beberapa bulan kemudian , dan dalam suasana seperti itulah para angkatan muda memasuki Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928 , yang kemudian menelorkan Sumpah Pemuda . Sumpah Pemuda tidak hanya merumuskan aspirasi yang hidup di kalangan pemuda tetapi, juga sekaligus menciptakan kearah angkatan muda . Bahkan sampai saat ini Sumpah Pemuda tetap bermakna dalam kehidupan bangsa . Hal ini membuktikan bahwa perumusan Sumpah Pemuda bukan hanya diperuntukan untuk kebutuhan seketika . Sumpah Pemuda adalah tekad abadi yang mengikat setiap insan Indonesia akan fitrahnya yang terikat dalam kesatuan bangsa yang utuh . ( Martha , 1985 : 111 – 124 ) Salah satu sebab mengapa angkatan muda 1908 dan 1928 dapat berperan dan berpengaruh demikian besar dalam masyarakat Indonesia , sehingga tindakan mereka masing-masing disebut awal dari Kebangkitan Nasional dan cikal bakal eksistensi bangsa Indonesia itu sendiri , adalah struktur pendidikan . Struktur pendidikan dan alam pendidikan Barat dalam kedudukan yang istimewa .Bayangkan , dalam suatu masyarakat yang sebagian besar hidup dalam alam agraris-religius /spiritual , buta huruf dan terisolasi , di mana koran belum tersebar , film belum ada dan hubungan-hubungan dengan kota masih sedikit , muncul sejumlah orang Indonesia , yang belajar untuk menyerap ide-ide baru . Angkatan muda ini adalah orang Indonesia yang pertama mendapat pendidikan Barat , yang pertama kali berhubungan dengan dunia dan menjelaskannya secara lain daripada yang lazim dilihat .

11 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Mereka berwibawa sebab mereka mendapat ilmu Barat , ilmu penguasa kolonial. Sebenarnya , para angkatan muda itu , karena kedudukannya yang istimewa dalam masyarakat , juga tidak mengenal masa muda . Mereka dengan segera didorong masuk ke dalam golongan intelgensia yang berpikir untuk masyarakatnya . Menurut umur , mereka memang pemuda, tetapi fungsinya bukanlah demikian . Angkatan 1908 dan 1928 adalah contoh klasik , bagaimana segolongan cendikiawan muda dapat mendinamisasikan kehidupan politik . Ide-ide golongan ini diterima oleh dunia dewasa , diperlunak dan dan menurut beberapa orang dijinakkan kearah konservatisme . Ini jelas terjadi dengan ide-ide Angkatan 1908 pada Kongres Budi Utomo pada tahun berikutnya yang dipimpin oleh para bupati dan priyayi tinggi lainnya . Namun , gerakan kearah “ kebangkitan “ tetap berjalan . Demikian juga yang terjadi dengan Angkatan 1928 . Kekuatan tersendiri tidak pernah timbul dari tindakan cendikiawan muda ini , tetapi ide-ide mereka diserap ke dunia politik dewasa . Tanggapan politisi tua terhadap ide-ide muda ini dimungkinkan karena sebenarnya kedua-duanya merupakan oposisi terhadap pemerintah kolonial dan memang dunia dewasa sudah berpikiran kearah demikian juga . Mengenai angkatan muda sebelum 1945 ini .harus dicatat bahwa mereka menunaikan tugasnya sebagai intelgensia dengan sangat baik . Baik mereka yang belajar kedokteran , teknik, ilmu hukum atau ekonomi tidak menyempitkan diri dalam bidang-bidang mereka , akan tetapi bacaan dan pendalaman pengetahuan mereka yang luas menyebabkan sadar akan issue –issue besar zaman mereka seperti kolonialisme, imperialisme , hubungan internasional dan lain-lain . Generasi itu memang istimewa : berani menentang kolonialisme , menyodorkan suatu keadaan lain dari yang ada , yakni suatu Indonesia merdeka . Dalam hal itu , sampai kini belum ada yang menyamainya .( Onghokham , 1983 : 136 – 137 ) Kalau golongan pemuda pelajar sebelum 1945 dimasukkan kedalam kategori cendikiawan karena pendidikan mereka , maka para pemuda pada tahun 1945 dijadikan pejuang .Peranan pokok angkatan muda pada permulaan revolusi nasional Indonesia pada tahun 1945 adalah kenyataan politik yang paling menonjol pada zaman itu Bagi Belanda yang sedang berusaha datang kembali dari Inggris sekutu mereka , dan juga bagi masyarakat –masyarakat Indo dan Tionghoa , kata pemuda , yang dulu “ biasa saja “ dengan cepat memperoleh pancar cahaya yang menakutkan dan kejam . Di pihak Indonesia , terdapat suatu kepustakaan yang berisi pemujaan , yang memperlihatkan kesadaran yang menggembirakan akan kebangkitan pemuda yang tiba-tiba sebagai kekuatan revolusioner pada saat-saat yang gawat itu . Peneliti-peneliti tentang perkembangan nasionalisme di Indonesia juga telah memberikan tekanan pada corak yang relatif baru dari perwujudan ini dalam suatu masyarakat yang nilai-nilai penghormatannya untuk, dan kepatuhan kepada , orang tua secara tradisional adalah yang tertinggi . Telah menjadi kebiasaan untuk menghubungkan kebangkitan angkatan muda itu terutama dengan usaha-usaha yang dibuat oleh pejabat-pejabat pendudukan Jepang yang mengerahkan pemuda . Jawa di belakang perjuangan melawan Sekutu yang semakin maju kearah Nusantara . Tak usah diragukan bahwa dengan propaganda yang intensif 12 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda dan pembentukan sejumlah besar organisasi pemuda , apakah militer penuh , para militer,politik , atau bahkan olahraga , Jepang benar-benar membantu mempertajam kesadaran diri yang kuat di kalangan pemuda yang mereka kerahkan itu . Namun , janganlah dianggap bahwa politik Jepang itu akan memperoleh hasil yang bermanfaat seperti itu jika sebelumnya tak ada segi-segi tertentu dari kehidupan Jawa yang sangat berakar . Sebenarnya pemuda itu adalah suatu golongan penting dari masyarakat Jawa tradisional , yang mendapat suatu corak dan arti tersendiri dari kebudayaan Jawa Dalam suatu pengertian . “ pemuda “ ditentukan oleh masyarakat sebagai tahap tersendiri dalam garis busur kehidupan antara masa kanak-kanak dan dewasa . Tetapi dalam pengertian yang lain maka arti pemuda melebihi busur kehidupan itu, dan dengan corak Kebudayaannya yang otonom ia membedakan dirinya dari masyarakat tradisional melalui penentangan yang sistematis . Hanya dengan membayangkan golongan pemuda itu sebagai bagian dari busur kehidupan dan sebagai sarana kebudayaan untuk melampui busur itu , maka orang dapat mengerti peranan pemuda Jawa dalam zaman revolusi itu . ( Anderson , 1988 : 21 – 22 ) . Dalam berbagai cara yang berbeda , pesantren dan asrama telah menawarkan cara hidup yang berdisiplin dan rela mengorbankan kepentingan sendiri dalam upaya mencapai tujuan tujuan yang luhur . Dari lembaga-lembaga ini gerakan pemuda ini banyak memperoleh gaya khas dan simbolismenya . Tetapi gaya dan simbolisme dalam diri mereka itu tidak cukup untuk menyalurkan air pasang pemuda itu menjadi suatu kekuatan revolusioner politik yang terpadu . Orang dapat menganggap gerakan pemuda itu sebagai mesin mobil yang dijalankan dengan kecepatan setinggi-tingginya , tetapi tanpa seorang sopirpun yang bisa memasang pernellingnya . Pemuda itu tidak menemukan sopir mereka . Selama waktu yang singkat , di berbagai tempat yang berbeda , badan perjuangan dan militer sebagaian mengisi fungsi ini . Partai-partai politik , karena sebagian besar terdiri dari anggota-anggota golongan atas politik , tidak pernah dapat melakukan hal itu . Tetapi tentara dan badan perjuangan itu sendiri tidak cukup ; dan dengan kegagalan untuk menempa mereka ke dalam suatu struktur nasional yang terpadu , gerakan pemuda itu ditakdirkan untuk kecewa terus . Dengan demikian Revolusi itu tidak pernah menjadi lebih dari pada siatu “revolusi nasiona; “ , ia berakhir dalam tahun 1949 , ketika Belanda menyerahkan kedaulatan sah atas hampir seluruh kepulauan itu ke dalam tangan Indonesia , dan Soekarno pindah ke dalam sebuah istana tempat para gubernur jendral telah begitu lama bertahta . Potensipotensi Revolusi itu hanya sepintas dapat dilihat dalam revolusi-revolusi sosial yang berlangsung dengan singkat dan terpencil di daerah-daerah , dan dalam ingatan dari beberapa orang yang telah mengalaminya .( Anderson , 1988 : 446 ) Angkatan 1966 Dari mana dan sejak kapan terbentuk identitas sosial mahasiswa sebagai kekuatan politik? Persepsi dan konsepsi tentang peran sosial ini terbentuk dan menguat sejalan 13 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda dengan tegaknya hegemoni Negara Orde Baru . Sejak aksi-aksi unjuk rasa yang diorganisasikan oleh KAMI ( terutama di pusatnya , Jakarta , sepanjang bulan-bulan akhir 1965 dan awal 1966 ) untuk meretaskan jalan bagi pemberontakan PKI , kejatuhan Soekarno dan kenaikan Jendral Soeharto ke puncak pemerintahan itu ; seakan-akan meledak semacam praktek diskursif tentang arti gerakan mahasiswa dan peranan mereka dalam perubahan politik . Tak usah heran , karena situasi umum di dunia pada saat itu tengah dimeriahkan gelombang protes yang dipelopori dan digalang dari dalam kampus. Walaupun kita tidak boleh membayangkan bahwa teknologi informasi dan komunikasi saat itu sudah sedemikian canggih seperti sekarang , namun kita tidak boleh meremehkan gema yang meluas dari gerakan-gerakan protes mahasiswa di luar negeri dalam membentuk pendapat umum dunia , dan kemudian peranan mereka sebagai faktor kunci dalam perubahan atau bahkan suksesi kekuasaan . Selain faktor pengaruh gaung internasional , yang unik dalam pembentukan identitas sosial mahasiswa di masyarakat Dunia Ketiga adalah pandangan historis-demografis tentang posisi politik mereka . Dalam arti ini, mahasiswa dipandang sebagai bagian dari politik kaum muda yang dipertentangkan dengan establishment yang diduduki orang tua (dewasa ) . Namun , berbeda dengan konsepsi youth culture yang ada di Barat , pandangan tentang pemuda di Indonesia juga bermakna politik serta memiliki kaitan masa lampau yang khas . Sumber legitimasi perannya pertama didapat dari Kebangkitan Nasional 1908 lalu Sumpah Pemuda 1928 , dimana pemuda dipandang sebagai pelopor dan pemersatu bangsa dan kemudian pada masa Perang Kemerdekaan dalam sebuah revolusi yang dilakukan oleh pemuda . Pada tiga titik penting dalam pembentukan nasionalisme Indonesia itulah mahasiswa lalu menemukan makna politiknya dalam kisah sukses aksi-aksi Tritura yang kemudian disebut sebagai “ Angkatan 1966 “ ; bukan sekedar sebagai pemuda tetapi juga sebagai mahasiswa . Yang unik dibandingkan dengan pra-1966 di mana agen perubahan sosial adalah pemuda, maka setelah tahun 1966 , dalam arti demografis yang sangat umum , peran tersebut dipegang oleh mahasiswa . Karena itu , acuan untuk mengindentifikasikan peran mahasiswa dalam sejarah politik Indonesia kemudian juga ikut dipilah-pilah menurut pembagian angkatan : “08,”28,”45 dan “66 Tetapi pembedaan nama angkatan demi angkatan , pada akhirnya bukan hanya menunjukkan masa , masyarakat yang melahirkannya , dan alam pikiran yang mereka bawa . . Pembedaan nama telah pula menjadi penunjuk perbedaan “jejak sejarah “ yang dibuat , dan dijadikan :lawan “ dalam perjuangan . Angkatan 1908, 1928 dan 1945 , yang lahir pada masa kolonial , yang menempatkan dirinya pada medan yang berseberangan dengan penjajah . Hasrat politiknya , mereka jejakan secara nyata dan dengan makna yang mendasar ,baik pemikir an nasionalisme , yang harus direbut untuk sebuah bangsa . Generasi sesudah mereka sama sekali tidak dalam kedudukan seperti itu. Angkatan 66 dan setiap gerakan anak muda yang muncul setelah itu tidak lagi berhadapan dengan“orang lain “. Gerakan anak muda dalam masa merdeka , bermuka-muka dengan sistem yang dibuah oleh generasi orangtuanya . .

14 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Tentu saja kemunculan mahasiswa sebagai presentasi politik angkatan muda berkesesuaian dengan kenyataan sosiologis dalam periode 50-an dan 60-an di mana terjadi perluasan pendidikan tinggi dan proses politisasi masyarakat serta mobilisasi massa yang menjangkau hingga ke kampus-kampus. Yang artinya , meluasnya golongan terpelajar dan terdidik dengan kemungkinan munculnya tuntutan baru , seperti mobilitas sosial , kesejahteraan hidup , serta pengintegrasian kembali kedalam kapitalisme internasional . Tetapi arti penting pembentukan Orde Baru di tingkat negara ialah terjadinya aliansi segitiga antara perwira Angkatan Darat , teknokrat , dan mahasiswa . Ketiganya merupakan bagian dari lapisan elite intelgensia yang bakal menyerap, melopori dan menyebarkan gagasan modernisasi . Dengan kata lain, disamping militer dan teknokrat , mahasiswa juga dipercaya sebagai agen modernisasi atau pembangunan . Tetapi aliansi segitiga itu pecah ketika terjadi disintegrasi dalam KAMI , dan mulai muncul persoalan bagaimana mendefinisikan peran mahasiswa selanjutnya dalam sistem politik dan bagaimana seharusnya tugas dan masa depan para eksponen angkatan 1966 . Akhirnya, setelah isu back to campus muncul di akhir 60-an , mahasiswa tampaknya menentukan peranannya yang cocok sebagai calon “intelektuial “ atau “ intelgensia .”( Rajab ,1991 : 68 – 49 ) Pandangan tersebut sebetulnya bertolak dari suatu diskursus yang menggunakan konsep“moral” . Mahasiswa bukan kelompok politik yang berusaha mendapat kekuasaan, melainkan suatu kekuatan moral (moral force ) yang secara aktif ingin ikut berperan dalam mencapai cita-cita negara . Tugas mahasiswa ,dalam konsep ini melakukan kritik terhadap keadaan sosial yang kacau . Dalam pandangan ini peran mahasiswa dimiripkan dengan peran resi dalam konsepsi kuasa dalam budaya feudal-kolonial Jawa, ( Budiman , 1976 ) Jika resi hidup di lereng-lereng gunung terpencil sebagai tempat pertapaannya , maka mahasiswa berada di kampus-kampus universitas . Mahasiswa dan kaum terpelajar harus turun dari universitas jika terjadi ketidakberesan atau kekacauan di masyarakat , tentu saja dengan tugas melancarkan kritik sosial terhadap penguasa ( Radjab, 1991 : 68 – 69 ) Dengan penuh kenangan dan heroisme perjuangan kembali ke kampus membawa mitos kemenangan , mengabdikan perjuangan mereka dalam berbagai monumen , seperti Angkatan 66 dan sebagainya . Ini penting tidak hanya untuk kalim sejarah , tetapi yang lebih penting adalah sebagai modal dan sarana untuk klaim representasi politik di kemudian hari . Angkatan 66 dimunculkan sebagai mitos dan dijadikan rujukan sejarah bagi gerakan mahasiswa yang berhasil memperjuangkan idealismenya . Yang terpenting tidak hanya klaim sejarah sebagai sejarah , tetapi yang lebih penting lagi , sejarah sebagai modal untuk menuntut representasi politik di kemudian hari . Selama Orde Baru berkuasa, angkatan itu mendapatkan fasilitas dan peran yang cukup memadai sebab sejarah Orde Baru sangat berhimpitan dengan sejarah gerakan mahasiswa Anmgkatan 66, sehingga keduanya saling membutuhkan . ( DZ, 1999 : 37 ) Sebagian besar mitologi ini memang dibentuk dan ditentukan oleh negara , melalui pewarisan cerita kepahlawanan dari Gerakan Mahasiswa di tahun 1966 dan dibumbui 15 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda dengan gagasan peranan sosial mahasiswa di sebuah negeri yang sedang membangun . Kendati mitologi tentang peranan ini terus merasuk ke kepala sang mahasiswa , diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya , yang kemudian melahirkan berbagai pertunjukan-pertunjukan baru dan tidak harus sesuai dengan “skenario 66 “ – namun inti mitos-mitos tersebut terus lestari hingga saat ini . Walaupun demikian , dan refleksi para bekas aktivis mahasiswa terhadap peristiwa 1966 sudah muncul upaya sadar untuk melepaskan diri dari mitor-mitos tentang peranan sosial-politik yang membebani mereka . Salah satu upaya demitologisasi yang paling awal , misalnya , coba meluruskan persoalan yang selalu membelenggu dan menjadi dilemma bagi etos gerakan protes mahasiswa , yakni antara pilihan gerakan politik atau moral. Dengan membongkar apa yang sebenarnya terjadi pada bulan –bulan bersejarah di tahun 1966 , seorang eksponen gerakan mahasiswa 1966 mengemukakan bahwa sesungguhnya peranan mahasiswa dalam penggulingan Sukarno dan meretaskan jalan bagi Orde Baru , sangatlah kecil. Bahkan dia mengatakan bahwa mahasiswa pada saat itu sebenarnya tak lebih hanyalah alat legitimasi yang digunakan oleh “lawan-lawan “ Soekarno dan musuh-musuh kom unisme untuk melanjutkan perpindahan kekuasaan ke tangan Soerharto . Karena itu sangatlah tidak berdasar dan sama sekali tidak relevan untuk mengatakan bahwa gerakan mahasiswa bebas dari penunggangan kepentingan politik tertentu . Per definisi, gerakan mahasiswa merupakan sebuah kekuatan politik , entah atas nama dirinya atau atas nama rakyat . Karena itu tidak ligis untuk melihat gerakan mahasiswa sebagai sebagai kekuatan yang bebas politik . Lebih jauh lagi dia menyimpulkan bahwa tuduhan ditunggangi sesungguhnya merupakan strategi ganda yang khas digunakan oleh penguasa manapun untuk mendapat legitimasi atau sebaliknya untuk men”delegitimasi “ gerakan perlawnan . Legitimasi diperlukan karena dalam batas0batas yang ditoleransi penguasa, kritik dan protes mahasiswa jutsru diperlukan oleh penmguasa untuk menunjukkan masih hadirnya “kelompok penekan “. Dengan demikian , mengesankan adanya “demokrasi “ dan mungkin saja : opsisi . api jika kritik dan protes mahasiswa dipandang mengganggu tata tertib serta tatanan yang ada dan delegitimasi tidak ampuh meredam protes , maka represi dan koersi tak segan-segan digunakan . Strategi permenen “permen “ dan “pentungan “ inilah yang digunakan negara untuk tetap mempertahankan tatanan yang ada. Dalam versi lain, upaya demitologi juga coba dilakukan oleh seorang mantan aktivis mahasiuswa 1966 . Upaya ini dilakukan supaya kacama menjadi proporsial memandang peranan mahasiswa, tanpa melebih-lebihkan dan juga tanpa isyarat apologetic jika ternyata mahasiswa tidak memainkan peranan seperti yang diharapkan oleh identitas sosialnya sendiri. Dipertanyakann anggapan yang melihat bahwa angkatan 66 telah memainkan pperanan besar , bahkan peranan yang menentukan dalam Skenario 1966 . Pertama , dipertanyakan sampai seberapa jauh sebenarnya kesadaran “sejarajh” dari para demontran tersebut akan hadir nya momentuym perubahan . Menurutnya , kesadaran mereka sebenarnya baru sampai pada seruan Tritura , sama sekali tidak menciptakan platform kehidupan politik nasional yang baru .Karena diusulkan pihak dari taraf ornament semata-mata . Kedua , untuk mewujudkan paradigma ini penggaris atas dasar umur, status kemahasiswaan , danm : kekuatan moral dan kontrol.” Tidaklah memadai . 16 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Artinya , dalam suatu rekayasa besar perubahan politik sangatlah berlebihan meletakkan mahasiswa dalam peran yang menentukan . ( Radjab , 1991 : 73 – 74 ) Pecahnya Bulan Madu Mahasiswa – Militer Mulai dasawarsa 1970-an dominasi ABRI dalam bidang sosial politik semakin kuat , hampir tidak ada wilayah yang tidak dijamah oleh kekuatan militer ,Setelah itu gerakan mahasiswa sepenuhnya terserap dalam kekuasaan yang dibangun oleh militer di bwah pimpinan Jendral Soeharto yang diberi nama orde baru dengan Golongan Karya sebagai mesin politik untuk mobilisasi massa. Terbuai oleh program pembangunan dan pembaruan politik yang dicanangkan oleh Orde Baru tidak ada lain lagi bagi gerakan mahasiswa 1966 selain mengikutinya dengan penuh bangga dan penuh harapan . Di dalam parlemen militer telah melakukan redressing , mencopot anggota parlemen yang dianggap berbau orde Soekarno dan mengganti orang-orang yang sejalan dengan politik rezim .Soeharto Disitulah awal dari penyimpangan gerakan demokrasi yang sebenarnya dicita-citakan gerakan mahasiswa pada saat itu , tetapi ironisnya para eksponen aktivis mahasiswa tidak terdengar protes . Pada rezim yang dibangun militer di bawah kepemimpinan Jendral Soeharto ini Angkatan 66, sebagaimana Angkatan 45 , memiliki klaim historis dan moral untuk memperoleh kekuasaan , demikian juga kalangan aktivis mahasiswa akhirnya memperoleh konsesi politik dari rezim yang berkuasa atas jasa mereka membantu militer untuk menggulingkan kekuasaan sipil yang dipimpin oleh Soekarno . Sebagai aparat dari rezim yang berkuasa yang bercita-cita melakukan modernisasi politik , dan kehidupan politik secara menyeluruh bersama militer . Kelompok Angkatan 66 itu juga menjadi pembela yang gigih terhadap rezim orde baru yang didirikan bersama militer , bersama itu juga ia sama sekali tidak membawa pembaruan terhadap rezim yang dibelanya , justru bersama rezim yang berkuasa ini melakukan retradisionalisasi politik dengan dalih untuk mengeliminir bahaya komunisme . Pertama dilakukan dengan pembongkaran partaipartai politik , kedua dengan membungkamkan pers, ketiga melakukan penguasaan pada lembaga legislatif Tampilnya Jendral Nasution sebagai ketua MPRS tahun 1966 , bukan suatu yang kebetulan melainkan bagian dari stategi militer untuk memuluskan ambisi politiknya untuk memperoleh kekuasaan . Secara ekstrem Parakitri menilai bahwa sejak awal Angkatan 66 memang tidak memiliki kekuatan moral yang bisa diharapkan , karena itu setelah mereka masuk kekuasaan tidak bisa berbuat lain kecuali menyesuaikan dengan logika kekuasaan militer , lelap disana , bahkan lebih dari itu menjadi pendukung yang fanatik walaupun perilaku rezim itu sangat represif terhadap gerakan kritis dan kelompok pro demokrasi . Namun demikian sebenarnya ada beberapa orang yang sadar akan penyimpangan gerakan 66 tersebut , sehingga orang yang selama ini terlihat pada partai yang berkuasa , Golkar seperti Adnan Buyung Nasution dan Rahman Tolleng , keluar dari aliansi dengan rezim orde bariu , dan mulai aktif melakukan kritik-kritik yang mendasar dan tajam , walaupun akhirnya mereka disingkirkan .( DZ, 1999 : 40 – 41 ) 17 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Kehampaan Angkatan 66 akan ide pembaruan yang mendasar yang ditawarkan bagi kehidupan masyarakat yang mereka perjuangkan , bagi generasi sesudah itu sangat disadari . Strategi perjuangan anak-anak muda satu dasawarsa sesudahnya pun diperhitungkan dengan mempelajari kelemahan serta kekurangan aksi 1966 . Permainan politik yang dipandang membuat mahasiswa tidak lagi murni hendak dihindari , dan gerakan yang dipilih berpijak pada dasar moral . Itu berarti mahasiswa bergerak dengan gaya resi, suci dan murni . Pandangan seperti ini , mulai terasa dalam gerakan pada hari-hari pertama ketika mahasiswa sudah merasa “sendirian “ dalam usaha yang bernama menegakkan keadilan dan kebenaran itu . Identitas diri harus ditentukan , dan pemikiran kembali ke kampus yang sudah beredar sejak 1969 , serta semakin santer dalam tahun 1971 , menandahkan bahwa moral sebagai dasar berpijak sudah dipilih . Pada saat itu pula harapan lebih banyak digantungkan pada organisasi mahasiswa universitas . Ada kesan bahwa terdapat pendewasaan pandangan dari kalangan angkatan muda waktu itu . Tapi tidak pula dapat diingkari , bahwa pandangan seperti itu masih digerakan oleh orang yang dalam aksi 1966 turut berperan . . Sebelum memasuki dasawarsa 1970-an mereka memperdengarkan kritik serta koreksi terhadap orde yang baru beridiri, orde yang mereka retaskan jalan dengan mengalahkan Soekarno serta PKI . Suara-suara itu mengingatkan patner lama akan penyimpangan –penyimpangan yang ia lakukan . Aksi yang berlangsung jauh lebih kecil, banyak pula yang hanya dilakukan beberapa eksponen saja , sangat temporer dan setempat . Organisasi intra universiter dan ekstra universitas tidak pernah lagi bergabung menjadi satu di dalamnya . Pemborosan, korupsi, penyelewengan , masalah demokrasi dan sandiwara politik dijadikan tema gerakan . Ia terjadi di Jakarta . Bandung , Yogyakarta, Surabaya dan Ujungpandang , Di dalamnya terdapat keseragaman –kritis terhadap suasana – namun kepercayaan terhjadap rezim tetap ada . Hanya saja, dukungan yang diberikan kelompok kekuatan yang berada di luar mereka tidak pernah terdengar lagi . Karena itu getaran -getaran yang diperlihatkannya bukanlah seperti getaran aksi 1966 yang ditopang oleh unsur ABRI . Tahun 1969 , harga bensin naik dan lahirlah “ Gerakan Mahasiswa Mengugat “ . Korupsi, penyakit lama yang baru mulai dibersihkan Operasi Tertib secara kecil-kecilan sejak 1967 , sudah menggelisahkan Komite Anti Korupsi ( KAK) pada tahun 1970 . Sebelum memasuki pemilihan umum 1971 , terdapat kegelisahan dan pernyataan untuk tidak percaya pada 9 partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat . Ia adalah kelanjutan pemikiran pertumbuhan struktur politik yang dimulai sejak akhir 1960an . Proyek Miniatur Indonesia Indah dengan biaya raksaksa , juga mengandung proses angkatan muda. Tetapi , April 1874 , Taman Mini Indonesia Indah . proyek swasta yang berhasil menghimpun dana dalam negeri sebanyak 2,5 juta dollar AS di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri . selesai dibangun dan diresmikan . Sama dengan KAK , sederetan nama gerakan yang melancarkan kritik untuk ide mendirikan TMII berlalu begitu saja . Nasib yang sama juga dialami oleh rangkaian gerakan yang memprotes keteledoran strategi pengandaan beras sesudah kemarau panjang 1972 . Ia lewat dari ingatan orang begitu Kepala Badan Urusan Logistik ( Bulog ) Ahmad Tirtosudiro berangkat ke Bonn , Jerman Barat , untuk menduduki kursi dutabesar dan digantikan oleh 18 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Bustanil Arifin . Baru tahun 1973 terlihat perubahan yang nyata dalam suara protes mahasiswa. Pemikiran untuk memeriksa kembali strategi pembangunan mulai terdengar dari kampus. Tapi ide ini sebetulnya berasal dari kalangan ekonom yang membuat kritik terhadap pembangunan yang terlalu berorientasi pada GNP , dan mempersoalkan faktor-faktor non-ekonomi dalam pembangunan . Koreksi yang dilancarkan sepanjang 1973 semakin keras ketika Ketua InterGovernmental Group on Indonesia (IGGI ) , J.P. Pronk , berkunjung ke Jakarta . Pernyataan kegelisahan disampaikan sejak Pronk mendarat di Kemayoran . Dia disambut dengan karangan bunga, poster dan surat pernyataan ketidakpuasaan terhadap kebijaksanaan pembangunan . Di sini , kalkulasi politik mulai masuk kembali . Dalam masa ini , selain mempersoalkan strategi pembangunan , tema perjuangan yang bersifat kecil juga diperlihatkan . Beberapa peroalan yang dijadikan inti proses adalah masalah Asisten Pribadi Presiden , kekayaan pejabat , persoalan Pertamina , dan korupsi lainnya . Masalah hukum , keadilan dan hak asasi manusia juga masuk didalamnya . Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang juga mengundang kehebohan . tidak lagi diributkan sebelum tahun 1973 berakhir.. Dengan peranan organisasi mahasiswa intra unicersitas secara penuh , dalam masa ini terlihat kesatuan semangat di dalam tubuh mahasiswa . Gejolaknya tidak begitu cepat . Walaupun sudah bersifat federatif - seperti yang diperbuat Angkatan 66 dengan membentuk KAMI – tidak didirikan , masa akhir 1973 dan awal 1974 adalah saat di mana mahasiswa memperlihatkan suara bulat . Tanggal 13 Januari 1974 , 85 orang delegasi 35 dewan mahasiswa (dari poerguruan tinggi di Jakarta , Bandung , Bogor, Yogyakarta , Denpasar , Banjarmasin , Medan , Aceh , Padang , Semarang , Ujungpandang , dan Purwokerto ) diterima berdialog hampir dua jam oleh Presiden Soeharto di Bina Graha . Hasil pertemuan ini dipandang tidak memuaskan oleh mahasiswa. Puncak gejolak terjadi ketika Perdana Menteri Jepang , Kakuei Tanaka, datang ke Jakarta dalam rangkaian kunjungnya ke Asia Tenggara. Sekaligus pula ia hampir menjadi titik kematian gerakan kaum muda Indonesia . Tanggal 15 Januari 1974 , ketika Tanaka dan rombongan berunding dengan Presiden Soeharto dan beberapa menteri Kabinet Pembangunan II di Istana , mahasiswa berpawai dari kampus UI , Salemba, ke kampus Trisakti , Jl. Kyai Tapa , Jakarta Barat . Di luar route pawai ini, pada saat itu pula berbagai penjuru Jakarta terjadi aksi massa yang merusak gedung serta membakar mobil buatan Jepang . Keadaan menjadi lain . Gerakan mahasiswa yang untuk hari-hari sebelumnya memperoleh nama keramat , karena huru-hara yang melanda Jakarta ini memperoleh sebutan “malapetaka :. Peristiwa pembakaran mobil dan aksi pengerusakan oleh massa 15 Januari 1974 kemudian dipopulerkan dengan akronim “Malari “ ( Malapetaka 15 Januari ) 19 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Tanaka meninggalkan Jakarta setelah diterbangkan ke Halim Perdanakusuma dengan helikopter dari atas Bina Graha , 16 Januari 1974 . Setelah itu perkembangan cenderung jadi tenang . Halaman suratkabar pun sepi dari anak muda yang berkeluh-kesah . Rusak dan terbakarnya beberapa gedung di Jakarta , serta bangunannya kendaran –kendaraan buatan Jepang , disusul oleh serentetan penahanan dan interogasi – yang tidak hanya dilakukan terhadap mahasiswa , tetapi juga terhadap ilmuwan, cendikiawan dan anggota DPR – menghentikan semuanya . Beberapa suratkabar dan majalah diberangus . Lembaga Asisten Pribadi Presiden bubar , terjadi pergeseran jabatan dalam lingkungan pemerintahan , dan Menteri P dan K Sjarif Thajeb , pemberi inspirasi mendiirikan KAMI tahun 1965 , mengeluarkan Surat Keputusan 028/1974 yang tidak disenangi mahasiswa. Akhirnya vonis pengadilan dijatuhkan terhadap mereka yang dituduh terlibat dalam Peristiwa 15 Januari 1974 . Sebagian lagi dilepas tanpa diproses perkaranya. Tak seorang pun dapat menjawab apa sebetulnya yang terjadi tanggal 15 Januari 1974 .Tetapi ada yang menduga bahwa peristiwa ini sudah dirancang sebelumnya untuk memukul mundur mahasiswa, yang akan dijadikan “dosa keturunan “ gerakan protes angkatan muda . ( Mangiang , 1981 : 100 – 102 ) Terlepas dari semua distorsi mengenai gerakan kisah gerakan mahasiswa 1974 itu , bagaimana pun harus diakui bahwa perjuangan mereka telah menjadi sebuah episode bersejarah dalam kisah gerakan mahasiswa di Indonesia . Gerakan mahasiswa 1974 telah mencoba melakukan respon terhadap tantangan zamannya . Betapapun dari latar belakang yang memicu peristiwa yang diwarnai malapetaka saat itu , namun jika dihubungkan dengan praktek kekuasaan Orde Baru yang mereka protes , di balik itu ada pemikiran kritis yang menandakan subtansi idealisme yang mendorong mahasiswa untuk mengisi kekosongan yang justru mungkin telah dianggap remeh oleh kekuatan politik lainnya . Hal ini mengingat kondisi Indonesia sejak rezim Orde Baru tampil berkuasa mulai tahun 1966 hingga tahun 1974 , telah berlangsung praktek kekuasaan yang justru mengabaikan nasib rakyat banyak , pemerataan , keadilan dan demokrasi , namun kekuatan politik yang ada seolah menutup mata . Perbedaan antara gerakan mahasiswa 1974 dengan 1966 , adalah jika dalam peristiwa 1966 organisasi ekstra universitas ( KAMI ) memainkan peranan yang amat menentukan , maka dalam peristiwa 1974 , gerakan mahasiswa semata mengandalkan basis organisasi intra ( Dewan Mahasiswa ) . Ini menunjukkan adanya indepedensi yang sangat tinggi dari gerakan mahasiswa , yang terkait dengan berkembangnya kultur demokratisasi yang mereka praktekkan termasuk melalui sosialisasi pemilihan dewan-dewan mahasiswa . Di lain pihak , hal ini mungkin tidak terlepas pula dari pemikiran yang berkembang pada generasi 1974 yang menilai keberadaan eksistensial dan aktivitas protes mereka semata sebagai bentuk kekuatan moral , sedangkan generasi 1966 dalam konteks yang berbeda dilihat merupakan representasi wujud gerakan mahasiswa sebagai kekuatan politik . Dengan kata lain , mahasiswa 1974 ingin menjadikan potret gerakan mereka berwajah netral, yakni sebagai gerakan yang terpusat dari kampus dengan motif moral dan intelektual yang murni , dan tidak memiliki ikatan organisatoris sama sekali apalagi interes politik dengan kelompok tertentu atau kekuatan sosial politik di luar komunitas mereka . Sesuatu yang jelas membedakan dengan gerakan mahasiswa 1974 dengan 1966 , 20 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda adalah karena gerakan mahasiswa 1966 memiliki linking politis yang jelas dengan kekuatan-kekuatan atau organisasi –organisasi luar kampus seperti misalnya militer dan KAMI par exelence ( Magenda , 1977 : 13 – 14 ) Menyusul peristiwa Malari , sebagai reaksi terhadap gerakan mahasiswa 1974 , pemerintah pun memberlakukan SK No. 028/U/1974 yang pada intinya berisi petunjukpetunjuk pemerintah dalam rangka pembinaan kehidupan kampus perguruan tinggi . Kebijakan ini pada hakekatnya merupakan sebuah usaha sistimatis yang hendak dilakukan pemerintah dalam usasha pembatasan aktivitas politik mahasiswa . Melalui SK ini ditegaskan antara lain mengenai apa yang disebut sebagai kegiatan bersifat politis di mana hal itu , - menurut penguasa – harus dilaksanakan dengan bimbingan dan atas tanggung jawab pimpinan perguruan tinggi dan berdasarkan penganalisaan secara ilmiah. Selain itu , ditegaskan bahwa otonomi perhuruan tinggi dan kebebasan ilmiah dilaksanmakan dengan mengingat segi hak dan tanggung jawab yang melekat pada tiap kebebasan , sedangkan kebebasan dalam penerapannya adalah kongkrit , situasional dan terikat pada ruang dan waktu . ( Juoro , 1981 : 52 – 68 ) Menuju depolitisasi kampus Pada periode ini , gerakan mahasiswa sebetulnya bermain politik lebih terang-terangan jika dibandingkan dengan gerakan yang yang terjadi akhir 1973 dan awal 1974 . Ia hampir sama berterus-terang dengan yang dilakukan oleh Angkatan 66 ketika menghadapi Soekarno dahulu . Tetapi ia berbeda satu dengan yang lain . Angkatan 66 mendapat dukungan jelas dari kalangan militer , sedangkan anak-anak muda yang memprotes kekuasaan tahun 1977 , tidak punya pendukung nyata . Partai politik yang baru saja menyaksikan kemenangan Golkar secara mutlak untuk kedua kalinya dalam pemilihan umum 1977 tidak pernah membuat pernyataan jelas tentang ini . Garis keras yang dibuat kekuasaan dalam mengahadapi gerakan protes di luar parlemen ini, menumbuhkan beberapa hal lain yang harus dirasakan kalangan di luar kampus . Beberapa suratkabar terkemuka di Jakarta ditutup selama dua minggu , dengan alasan pemberitaan yang mereka sajikan dapat menghasut dan membangkitkan gejala yang membahayakan negara .. Dari pihak pemerintah sendiri ada usaha mengirim tujuh menteri bidang ekonomi ke kampus-kampus untuk berdialog dengan mahasiswa mengenai pelaksanaan pembangunan . Cara ini terbaca seperti” ingin menjinakkan kampus lewat teknokrat “ sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang tahun 1978 . Tetapi usaha ini gagal di tiga kampus, Universitas Indonesia ( Jakarta ) , Insitut Teknologi Bandung ( Bandung), dan Universitas Gadjah Mada ( Yogyakarta ) . Mereka ditolak mahasiswa . Ketika itu banyak golongan menengah yang anti-politik khawatir akan berlanjutnya gelombang protes menjadi huru-hara seperti waktu-waktu yang lalu . Dari kalangan mahasiswa sendiri ada keinginan agar kekuatan politik di luar mereka memanfaatkan suasana yan telah mereka ciptakan . Mereka tetap menamakan gerakan tersebut sebagai gerakan moral yang menjadi perhitungan politik praktis . Tetapi 21 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda seandainya dari gerakan itu lahir perubahan , mereka tetap tetap tidak tahu , bagaimana bentuk perubahan tersebut . Dalam hal ini , untuk urusan menciptakan perubahan , aksi dalam tahun 1977 ini hampir sama dengan aksi 1966 . Siapa yang akan tampil sebagai pemenang setelah gelombang protes berlangsung tetap diserahkan pada konstelasi politik di luar lingkungan kampus . Dari mahasiswa sendiri tidak pernah ada harapan terhadap partai politik . Di balik ini semua, kecenderungan perjuangan yang bersifat kerakyatan , lebih mengeras dibandingkan dengan aksi tahun 1966 . Bebarapa persoalan yang ragamnya lebih banyak dibandingkan dengan masa akhir orde lama, di bawa ke permukaan . Namun , ada keengganan untuk menimbulkan kesan bahwa perjuangan yang mereka lancarkan adalah aksi yang mencoba membakar semangat massa untuk jadi anarkis . Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia , misalnya , mencetak T-shirt dengan tulisan join us for a clean government yang tidak dapat dimengerti oleh kalangan luas , kelompok rakyat banyak yang kepentingannya mereka suarakan . Salah satu alasan pencantuman istilah asing yang jangkauan seruannya sangat terbatas itu, adalah mahasiswa memang hanya menghimbau kalangan elite yang dengan kekuatan politiknya mampu melahirkan perubahan . Membakar semangat massa bisa dituduh melaksanakan cara-cara komunis , yang pada saatnya nati dapat memukul perjuangan mahasiswa sendiri . Kejadian di awal tahun 1974 telah mengajarkan suatu gaya aksi untuk anak-anak muda yang resah menjelang masa pemilihan Presiden tahun 1978 .itu . Ketidakpercayaan pada partai politik yang terdengar dari kelompok ini , sejalan dengan tiadanya harapan terhadap wakil-wakil rakyat di lembaga legsilatif . Tetapi harapan yang pudar dan kepercayaan yang merosot itu dinyatakan sebagai akibat sistem yang diciptakan oleh pemegang kekuasaan . Dan ABRI sebagai pemegang dominasi kekuasaan tidak pula dipandang sebagai “lawan “ yang berada di depan . Hal ini terlihat pada suara–suara protes sepanjang 1977 itu, terutama sekitar bulan November , yang antara lain menyatakan : “ Kembalikan ABRI kepada Rakyat “. Aksi sepanjang 1977 dan 1978 tampaknya melihat ABRI dalam dua muka : yang dikendalikan oleh kekuasaan yang ten gah berjalan ; dan ABRI yang sadar akan makna perjuangan yang mereka lancarkan . Harapan yang terakhir ini tidak pernah menjadi kenyataan . Kelompok yang mungkin dan mampu menfaatkan suasana yang diciptakan oleh angkatan muda , pada akhirnya tak pernah muncul . Yang terjadi hanyalah pergerakan beberapa jabatan pemerintahan di kalangan atas . Tebak-menebak yang dibuat orang , yang sebetulnya sudah ada sejak 1971 , tentang :main mata “ yang dilakukan mahasiswa dengan kekuatan politik lain di luarnya makin susah untuk diraba . Adanya konflik intern dalam tubuh kekuasaan sendiri , sudah menjadi isu sejak tahun 1970-an dimasuki . Herbert Feith melihat konflik tersebut terjadi di kalangan militer sendiri , yang dibaginya menjadi tiga kelompok : konservatif ( yang diberi kepercayaan banyak dalam pemerintahan sekarang ) ; pembakang ( yang mengalami pergeseran dalam kedudukannya ) ; dan kelompok tengah ( yang memperoleh kepercayaan dalam pemerintah sekarang , tetapi terbuka pula untuk perubahan di pusat kekuasaan ) . Dari dahulu hingga sekarang , orang hanya menduga-duga tentang harapan-harapan aksi protes anak muda terhadap perbedaan pandangan di kalangan perwira-perwira tinggi itu . 22 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda

Ketika gelombang protes muncul di dalam tahun 1977 sampai pertengahan 1978 , penangkapan dan pengadilan mahasiswa kembali terjadi seperti yang juga dialami sesudah 1974 . Di luar mahasiswa , beberapa tokoh masyarakat , seniman dan ilmuwan , juga ditahan . Aksi-aksi dalam periode ini, mulai menyatakan secara terang-terangan akan ketidak-setujuan pada pencalonan kembali Jendral Soeharto sebagai Presiden untuk masa jabatan 1978 – 1983 . Herbert Feith menyebutkan bahwa gerakan mahasiswa 1977 memperoleh simpati terbuka dari kalangan perwira tinggi , gerakan 1977 tidak mendapat dukungan ataupun simpati yang terbuka sama sekali ( Mangiang , 1981 : 103 – 105 ) . Gerakan 1978 berkembang dari kritis dan protes mahasisewa yang mulai dirasakan menjelang pemilihan umum 1977 . Sejumlah mahasiswa Bandung membentuk “ Gerakan Anti Kebodohan “ ( GAK) dan sempat berdialog dengan beberapa Menteri . Setelah pemilu berlalu banyak pengaduan kesulitan-kesulitan masyarakat dari desa kepada mahasiswa . Situasi panggung yang terus memanas ini berkaitan dengan akan dilangsungkan sidang umum untuk mengakat presiden . Aparat negara melihat perkembangan ini dengan mengirim tujuh menteri bidang ekonomi ke kampus-kampus untuk berdialog dengan mahasiswa tentang jalannya pembangunan . Usaha ini gagal di tiga kampus , yaitu ITB , UI dan UGM , karena kehadiran kehadiran para pejabat ditolak mahasiswa . Dengan tegas mahasiswa menamakan gerakannya sebagai gerakan moral yang menjauhi perhitungan politik praktis . Mereka melihat ABRI telah dijauhi dari rakyat , sehingga perlu menghimbau “ kembalikan ABRI kepada Rakyat .” Mereka juga menunjukkan kemandulan partai-partai politik , yang memupus harapan mereka terhadap“wakil-wakil rakyat “ di lembaga legislatif . Bahkan kemudian mereka sempat mengambil lembaga DPR dengan membentuk DPR “tandingan “. Mereka mempersoalkan pucuk pimpinan negara dan menggugat keabsahannya . Tapi karena masih memakai gerakan moral, mereka muncul dan menemukan diri sebagai : pelopor yang terkucil “ . Kekuatan mereka terbatas pada mahasiswa dan pelajar . Mereka dibekuk justru dianggap “ merongrong kewibawaan pemerintah .” Di sini timbul sifat dilemmatis dan ambivalen . Dilemmatis karena di satu sisi ia menyatakan diri sebagai gerakan moral yang bebas kepentingan politik, sementara di sisi lain tuntutannya mengandung bobot politis yang besar , berikut aksi massa yang dikerahkannya . Ambivalen karena ragu-ragu memilih antara moral atau politik . Meskipun “ Gerakan 15 Januari 1974 “ dan “ Gerakan 1978 “ tidak membawa sukses dari apa yang jadi tuntutannya, namun sukses atau tidaknya dalam hal ini tidaklah penting, yang penting justru pengisahan kembali peranan mahasiswa dalam kedua gerakan ini, yang masih menunjukkan adanya penciptaan kenang-kenangan tentang lakonnya sebagai “ kelompok intelektual pembaruan “ dan penyandang “ kontrol sosial “ Gema “ panggilan untuk berperan “ tetap muncul ke permukaan dengan menaikkan“idealisme “ yang dulu pernah disuarakan mahasiswa , bahkan diselipkan dengan kisah baru untuk berperan dalam pembangunan .Dalam kondisi depolitisasi yang terus mengental, mahasiswa tetap dipanggil buat berperan dan setelah itu menjadi kenangan dalam berbagai cerita sehingga “peran sosial “ yang dipersepsi mahasiswa tetap hadir dalam dalam diskursus-diskursus politik . Jadi , singkatnya, yang terjadi adalah 23 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda pertarungan pada tingkat gagasan antara peranan yang dikehendaki oleh negara dengan peranan yang dipersepsi mahasiswa secara berlebihan serta dijustifikasi sehingga berubah menjadi legenda , yakni bahwa mahasiswa adalah agents of social change , kekuatan moral dan oposisi satu-satunya , walaupun demikian , di tingkat gagasan pun pertarungan tersebut tidak pernah “dimenangkan “ oleh mahasiswa . Bahkan sebagian besar gagasan yang membentuk persepsi tanpa peran sosial mahasiswa justru harus datang dari negara . ( Radjab , 1991 :72 – 73 ) Setelah SK 028/1974 yang tidak disukai mahasiswa, sejak 1978 diterapkan konsep Normalisasi Kampus . Mahasiswa kehilangan lembaga intra universitas yang berperan banyak dalam membawa siara protes sejak memasuki dasawarasa 1970-an , yakni dewan mahasiswa . Dewan Mahasiswa ini, sejak ide kembali kempus dilaksanakan , lebih banyak menggantikan peran organisasi ekstra mahasiswa , yang dalam masa belakangan ini berhimpun dalam Kelompok Cipayung ( HMI, PMKRI,GMKI, PMII, GMNI ) . Di samping kursi Menteri P dan K yang menjadi alat penentu untuk memenangkan kehidupan kampus, kedudukan seorang rektor perguruan tinggi pun menjadi amat penting. Setelah pengerahan pasukan bersenjata , panser , dan helikopter untuk menenangkan kampus pada awal 1974 dan 1978 , pemegang kekuasaan tampaknya lebih banyak menyerahkan tindakan pengamanan terhadap anak-anak muda yang resah ini pada Departemen P dan K serta lembaga pimpinan universitas . Dalam menolak NKK , para mahasiswa antara lain menyatakan : kembalikan kampus kepada kami “. Tetapi bagi pemerintah sendiri , kampus adalah milik pemerintah . Paling tidak, demikianlah pandangan Menteri Muda Urusan Pemuda , Dr Abdul Gafur , yang disampaikannya di depan para mahasiswa Nusa Tenggara Barat di Mataram, Lombok , akhir Januari 1979. Karena itu , kata bekas tokoh kesatuan aksi mahasiswa 1966 itu , selain menentukan kebijaksanaan atas kampus , pemerintah pun berhak mengamankannya bila terdapat petunjuk yang kurang serasi dengan jalan pembangunan nasional sekarang . Kebebasan mimbar dan kampus rupanya tak ada lagi . Satu tahun sebelum Gafur berkata begitu , Panglima Kopkamtip , Laksamana Sudomo menyatakan kepada wartawan bahwa kebebasan kampus itu tak ada karena tidak ada daerah yang kebal hukum di Indonesia selain kedutaan asing . Protes berganti protes terhadap NKK mewarnai hidup beberapa kampus di beberapa kota. Di sini para mahasiswa , tidak pernah tergabung dalam kelompok besar . Kadang-kadang bahkan hanya terdiri dari delegasi yang kurang dari sepuluh orang , datang ke DPR atau pun ke Departemen P dan K . Dari kalangan anggoita DPR sendiri ada dukungan terhadap mahasiswa . Dukungan itu antara lain dinyatakan dengan mengatakan bahwa konsep NKK tidak konsitusional . Oleh karena itu pula , 17 November 1979 , 25 anggota lembaga perwakilan itu – 21 dari Fraksi Persatuan Pembangunan dari 4 dari Fraksi Demokrasi Indonesia - menyampaikan usul interpelasi tentang NKK dan BKK itu . Namun usul dari 25 wakil takyat itu tak bersambut . Lewat suatu voting yang sering dikatakan bukan:” cara Indonesia “ yang suka akan musyawarah dan mufakat “ itu – ia kemudian dinyatakan ditolak dalam sidang 24 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda paripurna DPR 11 Februari 1980 . Penolakan memperoleh 279 suara yang berasal dari 220 anggota Fraksi Karya Pembangunan dan 59 dari Fraksi ABRI . Dari kedua fraksi ini tak satu anggota pun yang setuju dan juga tak seorang pun yang abstain . Pesertujuan hanya diberikan oleh 83 anggota Fraksi Persatuan Pembangunan dan 18 dari Fraksi Demokrasi Indonesia . Akhirnya , lewat sebuah persetujuan legislatif , yang tak pernah mengundang harapan gerakan mahasiswa selama ini , sebuah alat yang dapat dipakai buat mematikan aksi protes , menjadi syah adanya . Pencipta seni menghidupkan aksi protes anak muda satu setengah dasawarsa yang lalu kini melahirkan seni mematikan gerakan ini . Dan mahasiswa pun terperangkap dalam kehebohan tentang lembaganya yang hilang itu . ( Mangiang , 1981 :105 – 106 ) Perlawanan Mencari Arah Baru Akibat kehancuran lembaga-lembaga dan organisasi kemahasiswaa dan represi yang mengeras dari birokrasi universitas , tak ada pilihan lain bagi mahasiswa kecuali merenungkan kembali peranan dan kedudukan mereka serta melakukan otokritik terhadap gerakan mahasiswa sebelum-sebelumnya . Aktivis politik dan protes tidak mampu lagi dilakukan , karena resiko terlampau besar yang harus ditanggung , yakni dipecat dari universitas atau kehilangan status istimewanya sebagai mahasiswa . Karena itu kita saksikan , aktivitas mahasiswa dalam periode awal 80-an lebih terkonsentrasi pada kegiatan dikusi dan “kontemplasi “. Artinya , walaupun organisasi BKK berhasil dihambat mahasiswa pada kampus-kampus utama di Jawa , tetapi sebagian tujuan dari konsep NKK berhasil diterapkan , yaitu meletakkan mahasiswa bukan sebagai : agen politik praktis “ tetapi sebagai “ man of analysis “. Roh tadi kemudian ditangkap dan dijadikan semangat zaman yang membentuk subyektivitas mahasiswa dan dibenturkan dalam kondisi obyektif sosial ekonomi yang sudah berubah . Hasil dari benturan ini adalah hadirnya kesadaran subyektif yang baru tentang konsepsi “ kerakyatan : , yakni di satu sisi mahasiswa menerima realitas dirinya sebagai bagian dari gerakan sosial yang lebih besar dan di sisi lain menolak realitas kekuatan negara . Maka perumusan cita-cita sosial mahasiswa adalah “ membangun kekuatan rakyat .” Dalam konteksnya saat itu perumusan identitas sosial tersebut kelihatannya merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk menemukan sintesa antara “ demitologisasi terhadap gerakan moral termasuk kritisme terhadap peranan mahasiswa menjadi resi : dan “ panggilan untuk berperan yang masih tersisa dari mitologi gerakan 1966 “. Di satu pihak , permusan kesadaran subyektif tersebut juga bisa dilihat sebagai upaya untuk mencari peran mahasiswa yang lebih strategis serta struktural , dan di lain pihak upaya itu sekaligus dapat mengatasi dilemma atau ambivalensi naïf yang selama ini menguasai kesadaran mahasiswa , yakni sikap mendua antara gerakan moral yang bebas politik dan gerakan politik yang memihak . Walaupun penuh dengan slogan yang meledak-ledak , perumusan tersebut tampaknya menemukan ssluran praktisnya ke dalam organisasi nonpemerintahan , yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan lembaga swadaya atau pengembangan swadaya masyarakat .( LSM/LSPM )

25 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Dengan muatan yang sama tapi dalam versi yang luas , upaya mahasiswa untuk keluar dari mitos gerakan –gerakan mahasiswa sebelumnya dan menemukan peranannya sendiri yang lebih strategis sesuai dengan tuntutan zaman diharuskan oleh seorang mantan aktivis mahasiswa 70-an dalam sebuah restrospeksi yang menarik , kurang lebih sebulan sebelum mencuat kembali demontrasi mahasiswa di akhir 80-an . Tolok ukur lama berupa peran mahasiswa yang tercermin dalam gerakan mahasiswa tahun 1966, 1974 , dan 1978 tampaknya seperti suatu beban sejarah . Dalam menimbang-nimbang bagaimana menuntaskan hal ini , perlu dirumuskan cita-cita tentang demokrasi dan keadilan sosial . Dari sini barangkali beban kesejarahan bisa dihilangkan dan demitologisasi angkatan sekaligus terjadi . Sekarang angkatan muda belum terlambat menolak kekalahan dan juga belum telat mengukur keberhasilan sebagai unsur yang menegakkan demokrasi dan keadilan sosial . Dan ironinya, kunci keberhasilan peran angkatan muda justru terjadi kalau mereka mampu meniadakan “ mitos kesinambungan “ yang menggelamkan mereka dalam immobilitas dan sikap curiga terhadap semua peran dui luar mereka . Tentu saja dengan mendudukan mahasiswa atau angkatan muda sebagai agent of democracy , maka lakon yang harus dimainkan oleh mahasiswa menjadi lebih“politis “ dan struktural sifatnya dibandingkan lakon-lakon sebelumnya yang berwatak kultural . Dengan retorika “ demi rakyat “, demi demokrasi : dan dibarengi dengan pengalaman belajar bersama LSM/LSPM , maka ruang gerak di pinggiran panggung , yang relatif lebih leluasa untuk berimprovisasi , kini tidak lagi berada dalam kampus tetapi telah ber geser ke luar kampus . Pengertian ini agak meleset dari dugaan semula , bahwa sebagai akibat penghancuran organisasi intra kampus dan akibat kontrol birokrasi universitas yang sangat ketat , aktivitas politik mahasiswa akan kembali ke organisasi ekstra universitas . Kenyataannya tidak demikian . Di samping kelompok-kelompok kecil indenpenden yang dibentuk di luar maupun di dalam kampus untuk untuk tujuan diskusi maupun studi, mahasiswa mulai bersentuhan dengan organisasi sosial kemasyarakatan ( non-partai , non-ekstra ) yang langsung berhubungan dengan kelompok yang diklaim akan diperjuangkan oleh mereka . Karena itu tak mengherankan jika beberapa tahun kemudian , subyektivitas yang diteriakan itu bertemu dengan pesoalan kongkret yang dihadapi kelompok masyarakat tertentu , yakni para petani yang kehilangan tanahnya , pedagang kaki lima yang tergusur , dan beberapa kalangan menengah dan menengah bawah kota yang terkena penggusuran tanah . Mahasiswa akhir 80-an menemukan penampilan atau perannya yang khas lewat komite-komite sebagai juru bicara “rakyat” dalam memperjuangkan hak-hak “ rakyat “ dalam bentuk aksi dan advokat terhadap para “korban pembangunan “ tersebut . Pertunjukan pun , kembali berulang, dengan kisah yang sedikit berbeda tapi dengan plot dan lakon yang sama ; parodi dan tragedi ; diskusi , demonstrasi , ditangkapi , interogasi , dihakimi , masuk bui . Namun , berbeda dengan kisah 1974 atau 1978 , para pemeran tokoh mahasiswa dalam melodrama ini menempuh akhir yang terpengal tragis .; tidak dapat menyelesaikan lakonnya sebagai mahasiswa . Panggung pun sempit dan sesak bagi sebuah pertunjukan kecil di bawah bayang-bayang mitos agung tentang “ mahasiswa sebagai pejuang rakyat . “ Cahaya lampu jutaan watt terang benderang menyoroti 26 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda panggung menampakkan hegemoninya , dan rakyat menonton di luar panggung . Lalu lakon apa lagi yang akan ditampilkan ? ( Radjab , 1991 : 75 – 77 ) Pada akhir 1980-an , perubahan perspektif terhadap paradigma (mitos ) gerakan moral mulai tampak di kalangan aktivis yang berkiprah di luar kampus . Pilihan untuk tema kerakyatan sekaligus merupakan kritik dan penolakan terhadap kecenderungan elitis dan ekslusif , yang dipandang inheren dengan Angkatan “66 . Kebutuhan untuk melakukan aksi dengan KMK , buruh sebagai elemen –elemen rakyat yang termarjinalisasi oleh model pembangunan rejim OB , sangat dirasakan okeh aktivis pada akhir 1980-an dan awal 1990-an . Mereka menolak segala bentuk turunan produk OB, dengan memfokuskan pada kegagalan OB menjalankan ideologis pembangunaisme . Gerakan moral berintikan kemurnian mahasiswa , tulus , non partisan . Di sisi lain , hal itu berarti menjauhkan mahasiswa dari rakyat . OB juga melakukan reduksi terhadap makna politik sehingga berkonotasi negatif dan kotor . Ajang mahasiswa demikian umumnya seruan pejabat di masa OB , bukanlah di bidang “politik praktis .” Sebagai konsekuensi dari pilihan “bersama rakyat “ , maka sebagian aktivis mahasiswa periode akhir 1980-an mulai berhadapan dengan watak OB yang totaliter dalam bentuk penangkapan , pengadilan , tuduhan subversif . Tuduhan-tuduhan menunggangi , mengotori , mendalangi gerakan mahasiswa adalah wacana OB yang senantiasa digunakan untuk menjauhkan mahasiswa dari politik praktis . Jadi dapat dikatakan bahwa pemahaman aktivis era 1980-an dan 1990-an adalah counter vision terhadap ideologi gerakan moral OB yang dipertahankan lewat pembunuhan Dewan Mahasiswa, melalui NKK/BKK , dan SMPT . Berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya , selama periode ini atktivis mahasiswa tidak bergabung dalam lembaga atau organ formal . Pola ini merupakan implikasi kebijakan NKK/BKK yang telah membekukan organisasi mahasiswa dan melarang segala hal bentuk kegiatan politik di dalam kampus, sehingga mahasiswa kemudian mencari alternatif baru . Pada periode ini mahasiswa mengorganisir aksi-aksi dalam jumlah mahasiswa yang besar dan tidak mewakili satu organ tertentu , melainkan direkatkan oleh isu yang mereka sepakati untuk diangkat .misalnya kasus tanah , aksiaksi menentang SDSB , serta isu-isu yang mengusung tema solidaritas , terhadap korban represifitas rezim . Dalam bahasan sebelumnya mengenai kemunculan kelompok-kelompok gerakan yang lebih radikal menjelang akhir 1980-an , beberapa komite masih mempertahankan keberadaannya untuk beberapa lama dan masih terlibat dalam pengorganisasian aksi-aksi selanjutnya . Meraka akan membubarkan diri setelah satu isu , untuk kemudian bergabung lagi dengan isu lain , Kelompok-kelompok yang muncul bersifat organisasi “front” . Belum ada organ yang mempunyai manajemen serta keketatan infrastruktur pada periode 1980-an . Tetapi di sisi lain , ini juga menimbulkan kritik tersendiri di antara para aktivisnya . Kebanyakan mereka mengeritik ketiadaan koordinasi serta kurangnya persatuan dalam gerakan mahasiswa .

27 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Watak gerakan mahasiswa 1980an yang menonjol adalah rendahnya kesadaran akan kebutuhan untuk memperkuat dan membangun jaringan serta bersatu dalam aksi . Kebutuhan itu kemudian secara perlahan-lahan mulai mengemuka pada era 1990-an . Menjelang akhir 1980-an dan memasuki awal 1990-an , terdapat kecenderungan baru dalam format organ gerakan mahasiswa , yaitu pembentukan organisasi yang lebih rapi dan tidak terbatas pada satu wilayah saja. Kecenderungan untuk melakukan aliansi atau koalisi di akhir 1980 dan awal 1990. Di beberapa kota besar , terutama Yogyakarta , Bandung dan Jakarta , muncul organisasi yang lebih stabil dan tidak hanya dibentuk berdasarkan pada satu isu . Aktivis mahasiswa mulai melakukan evaluasi mengenai perlunya memikirkan alternative membangun kekuatan gerakan melalui format alinasi . Didasari oleh pemahaman pada konteks perjuangan untuk menegakkan demokrasi yang sudah menemukan momentum , tetapi perlu mempertimbangkan untuk membangun aliansi kekuatan dengan pilar demokrasi lainnya , misalnya LSM,m ormas-ormas Islam, kelompok Petisi 50 , Forum Demokrasi , dan lain-lain . Target yang hendak dicapai dengan melakukan aliansi adalah bertambahnya kemampuan untuk melakukan tawar-menawar antara masyarakat dengan pemerintah . Bagi aktivis gerakan , serangkaian aksi yang dilakukan pada periode akhir 1980-an dan awal 1990-an tidak hanya sebatas untuk test case , tapi sekaligus untuk mencari wacana baru mengenai gerakan itu sendiri . Aktivis pasca periode kelompok diskusi menganggap arena politik 1990-an merupakan tempat pergulatan langsung dan riil dari pelaksanaan kata-kata ( busa-busa dari meja diskusi ) . Isu-isu populis ( advokasi persoalan tanah , kesenjangan sosial ekonomi ) sampai struktural ( tuntutan terhadap Soeharto di ujung 1993 ) menandai lembaran perjalanan gerakan prodemokrasi dalam kurun waktu ini . Kegamangan yang seringkali muncul di kalangan mahasiswa untuk mulai bergerak , terjawab dengan bertambahnya jam terbang mereka . Pluralitas gerakan yang sporadis dibekali dengan muatan teoritik untuk membantu pemahaman terhadap konteks politik , ekonomi , dan hukum rezim OB nenandakan perubahan itu sendiri , meskipun perbedaanperbedaan yang ada tidak dinaifkan begitu saja . Sektor-sektor strategis sebagai sasaran yang digarap oleh aktivis gerakan 1990-an tidak terlepas dari konteks politik yang melingkupinya . Gerakan Mahasiswa 1990-an merupakan elemen yang memang tidak bisa dilepaskan dari konstelasi perubahan politik Indonesia . Tema-tema populis itu dimanifestasikan dalam keinginan untuk berkolaborasi dengan rakyat , lebih sekedar mengadvokasi permasalahan mereka , dengan lebih dahulu memahami teks berupa permasalahan rakyat dan counter discourse dengan negara yang tsgnan . Kesadaran mahasiswa untuk bergabung dengan elemen yang tertindas tidak semata-mata terjadi begitu saja , apalagi sejarah gerakan mahasiswa terlanjur dipenuhi oleh manipulasi dan rekayasa rejim untuk menyumbat aspirasi mereka . Disamping segala atribut yang dilekatkan pada mahasiswa ( agent of change , change of mission , dan lain-lain ) mahasiswa memang komunitas yang memiliki nilai lebih , dalam arti kemampuan analisa yang dipunyainya . Mahasiswa harus menjadi katalisator , fasilitator , dan masuk ke dalam kelompok-kelompok buruh, tani, kemudian 28 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda menyebarkan benih sehingga akhirnya mereka membentuk kelompok-kelompok sendiri . Setelah terbentuk kelompok-kelompok tersebut,peran mahasiswa beralih bukan lagi men jadi hero , karena telah bergabung dengan rakyat . Di sisi lain , posisi mahasiswa yang strategis tersebut menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh Gerakan Mahasiswa dalam konstelasi politik OB . Aktivis gerakan yang cukup lama berkutat dengan hitamputihnya gerakan berpendapat bahwa diperlukan suatu landasan yang kuat untuk memulai apa yang disebut kesadaran kolektif Gerakan Mahasiswa 1990-an mampu menjadi awal bagi tumbuhnya gerakan kerakyatan yang mampu mendesakkan tuntutan politik sampai taraf tertentu . Menguatnya dominasi sektor negara disadarai memperlemahkan jangan-jangan secara efektif, sehingga dikenal massa mengambang yang tidak lain merupakan kamufalse dan partisipasi rakyat yang hanya berupa mobilisasi mereka . Sekelompok mahasiswa kritis pada pertengahan 1990an mencoba membedah fenomena ini melalui diskusi dengan dengan tema utama “ Prakarsa Masyarakat dan Demokratisasi “. Edisi tersebut mefrefleksikan kegelisahan pesertanya yang notabene aktivis gerakan mahasiswa , untuk mencari bentuk alternatif kelompok-kelompok strategis di dalam masyarakat , atau political group di luar partai politik yang mampu mengakumulasi , menyalurkan dan jika mungkin mewujudkan aspirasii rakyat . Ada kesinambungan secara tematis , demokratisasi dan keadilan sosial – antara gerakan mahasiswa era 1990-an dengan 1980-an . Mengingat kebutuhan-kebutuhan yang tidak tertampung lagi diperlukan formula baru , strategi , untuk menjamin kelangsungan intesitas dan stamina gerakan , dan degradasi dan kemandekan . Kesadaran bahwa basis massa gerakan mahasiswa adalah mahasiswa itu sendiri menimbulkan pemikiran untuk tidak meninggalkan kampus agar gerakan mahasiswa tidak terisolir di lingkungannya sendiri . Jadi , tugas gerakan mahasiswa malah semakin berat , karena selain melakukan penyadaran di tingkat rakyat ia juga harus melakukan penyadaran di tingkat kampus . Di luar kampus , karena scope gerakan yang mulai meluas sejak akhir 1980-an , kerjasama dengan kelompok-kelompok lain yang berpotensi untuk membuat perubahan mulai diintensifkan , terutama dengan wadah-wadah komunikasi antar kota . Networking yang dilakukan aktivis pada era 1990-an merupakan cermin pluralistis ideologi sekaligus menemukan format gerakan itu sendiri Yogyakarta merupakan komunitas gerakan yang sangat kaya akan keragaman enggan dengan beragam ideologi . Semisal yang terjadi pada organ Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta ( FKMY ) dimana perpecahan yang mengakibatkan polarisasi dalam dua kubu DMPY (192 )) dan SMY ( 1993 ) tidak menjadikan gerakan macet , melainkan malah mendinamisir majunya gerakan itu sendiri Perpecahan juga mendorong berkembangnya kommunitas gerakan di beberapa kota . Dari perspektif pertumbuhan gerakan , kenapa terjadi perpecahan adalah hal yang sangat umum . Daripada menyesesali perpecahan . lebih baik menanta ulang konsep dasar gerakan sehingga efektifitasnya tercapai . Gerakan Mahasiswa 1990-an diawali dengan kesadaran baru bahwa mahasiswa bukan merupakan independent factor . Dalam percaturan politik , tidak ada satu faktor yang secara mandiri mencapai hasil . Politik berintikan rumusan pertarungan antar kelompok 29 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda yang menghasilkan konfigurasi kekuasaan , yang menghasilkan kebijakan distribusi yang ditujukan pada masyarakat berupa distribusi kesejahteraan , kekayaaan , dan sebagainya . Rentetan aksi media massa sepanjang akhir 1980-an dan awal 1990-an menunjukkan kenaikkan yang luar biasa oleh mahasiswa maupun unjuk rasa buruh . Dengan demikiam , pada tataran ini, gerakan mahasiswa di tengah perdebatan wacana maupun teknis sudah menmcapai konfigurasi tertentu Kesadaran untuk mensosialisasikan bahwa perlawanan merupakan milik semua elemen rakyat yang tertindas sudah mendapat tempat , meskipun masih diperlukan kesabaran . Kembali ke persoalan jaringan yang dibangun oleh aktivis gerakan era 1990-an , meskipun terdapat pro dan kontra di antara para aktivis untuk mempersatukan elemen gerakan dalam satu wadah , namun masing-masing pihak menyadari bahwa apa yang dihadapi (negara ) telah memberlakukan suatu sistem yang secara halus dan efektif telah mengikat mulai dari unsur terkecil hingga terbesar dalam maasyarakat . Melibatkan diri dalam kerja-kerja berbasis kerakyatan dengan pendekatan yang berbeda otomatis harus dilakukan . Selain itu , konteks geografis pun mendukung untuk melakukan kerja-kerja politik lintas sektoral , sebagaimana FKMY , Bakor , BKMB , FKMS merupakan suatu model . Percobaan untuk mengorganisir diri dalam bentuk kordinasi sektoral tersebut kemudian meningkat dengan membentuk jaringan antar kota semacam pada 1993 yaitu FAMI , bahkan SMID (1994 ) yang mempunyai perspektif nasional . Perkembangan komite-komite aksi ini , demikian umumnya aktivis gerakan mahasiswa menamakan komunitasnya , mengalami pertumbuhan yang luar biasa antara akhir 1980an dan awal 1990-an . Komite-komite aksi tersebut diberi nama sesuai dengan isu politik yang diangkat . Hal ini pun menjadikan gerakan mahasiswa 1990-an mempunyai karakteristik lain , yaitu bentuk kerjasama yang dilakukan merupakan alinasi dengan kelompok-kelompok marjinal seperti buruh , petani , kaum miskin kota dan lain-lain . Bagi aktivis yang setuju dengan aliansi dengan kelompok-kelompok marjinal , hal itu merupakan refleksi dan re-evaluasi terahadap gerakan mahasiswa 1980-an , yang dianggap masih elitis , tidak bersentuhan dengan kelompok-kelomppok rakyat . Mahasiswa tidak sekedar mengakomodasi buruh , tetapi juga mencoba untuk terlibat dalam problem yang dihadapi dengan persoalan pabrik , UMR , cuti hamil , dengan cara live in atau tinggal bersama mereka . Pluralisasi gerekan sementara itu tetap merupakan fenomena yang umum ditemui , meskipun untuk isu-isu tertentu terjadi koalisi . Konsep yang lebih praksis daripada gerakan mahasiswa era 1990-an pun lebih baik dialami oleh pendahulunya . Sedangkan periode sebelumnya pokoknya ide-ide yang transformatif , seringkali sulit untuk dikembangkan di tingkat konsep . Perdebatan mengenai tepat tidaknya suatu konsep diterapkan dalam konteks gerakan , dan kemana arah gerakan hendak menuju dapat dijumpai dalam diskusi yang membahas persoalan format baru gerakan mahasiswa . Permusunan acuan dan sasaran gerakan harus dibangun dengan jelas , agar tercipta kesinambungan yang konseptual . Dari upaya untuk merumuskan acuan dan sasaran tersebut maka demontrasi harus diletakkan sebagai alternatif terakhir , dengan tujuan mengefektifkan gerakan itu sendiri . 30 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda

Platform gerakan mahasiswa periode 1990-an dapat dilepaskan dari kondisi obyektif wacana yang berlangsung di masyarakat itu sendiri . Apakah ia menuju suatu bentuk gerakan kultural, yang memilih untuk melakukan aksi-aksi pemberdayaan politik ataukah sekaligus dengan melakukan pendidikan politik . Ada yang menempatkan dirinya sebagai elemen yang jelas-jelas menemukan nasib serupa dengan apa yang dialami oleh rakyat , tertindas , atau menempatkan diri sebagai elemen yang berhutang pada rakyat karena menempuh pendidikan tinggi dengan fasilitas yang harus dibiayai oleh pajak rakyat ; sehingga sebagai elemen rakyat hutang tersebut harus dibayar . George Aditjondro sempat menyoroti kelemahan gerakan mahasiswa dalam suatu forum diskusi , dalam konteks gerakan mahasiswa 1980-an , mengapa mahasiswa menjadikan masyarakat korban pembangunan sebagai obyek dan bukan sebagai subyek yang samasama ikut memperjuangkan nasibnya dengan mahasiswa. Pergeseran peran mahasiswa dan rakyat ini menjadi penting sebab mahasiswa sendiri faktanya adalah bagian dari pelaku pendidikan politik untuk rakyat . Di sisi lain , karena kekuatan riil mahasiswa hanya mahasiswa hanya sebagain kecil dibandingkan dengan kekuatan rakyat , maka perubahan yang paling efektif adalah yang dilakukan oleh rakyat sendiri . Tugas mahasiswa adalah menumbuhkan kesadaran mereka, kesadaran berpikir bahwa sebenarnya : kita ditindas . Relevan dengan kerangka pemikiran yang disodorkan oleh forum diskusi dalam edisi khusus majalah Hayamwuruk tersebut , menarik untuk menyimak pendapat aktivis KMPD yang menolak keharusan mahasiswa untuk beraliansi dengan rakyat , disebabkan oleh redefinisi yang dilakukannya terhadap gerakan rakyat dalam peta politik OB menghasilkan kesimpulan bahwa gerakan rakyat dalam peta politik PB menghasilkan kesimpulan bahwa gerakan rakyat bukanlah gerakan yang kuat untuk perubahan struktur di Indonesia . Represifitas OB terhadap apapun wujud aliansi dengan berbekal pengalaman historis agaknya membuat alternatif untuk melakukan aliansi dengan militer atau elite politik lainnya menjadi penting . Perdebatan soal harus melakukan aliansi dengan siapa memang tidak terlepas dari platform gerakan mahasiswa . Kegamangan aktivis mahasiswa untuk terjun ke sektor rakyat yang dicoba dijawab dengan kasus yang dibawakan aktivis buruh sekaligus aktivis mahasiswa , bahwa buruh di pabrik tekstil Batamtex awalnya tidak berani bergerak bahkan untuk melapor ke LBH . Setelah didampingi mahasiswa harus berani . Ini terjadi pada awal 1990-an , dan aktivis menyebutnya sebagai awal dari gerakan kultur yang ditransformasikan kepada mereka . Parameter keberhasilan pendekatan kultural yang dilakukan mahadsiswa. Jelasnya , bisa dilihat jika buruh Pabrik Batamtex kemudian turun ke jalan lagi tanpa harus disertai mahasiswa. Pemahaman terhadap tranformasi penyadaran politik nasional sebagai alternatif baru yang sebaiknya ditempuh aktivis gerakan untuk membangun aliansi dengan rakyat di tingkat pkrasis juga mengalami benturan-benturan . Hal ini dijelaskan oleh aktivis gerakan mahasiswa pada pertengahan 1990-an , yang baru saja mengalami perlakuan 31 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda represif aparat terhadap komunitas gerakannya , bahwa gerakan mahasiswa 1990-an tidak perlu lagi set back ke periode 1980-ann , sebab terlalu banyak menghabiskan energi . Apa yang bisa disepakati dari generasi terdahulu adalah gerakan mahasiswa itiu gerakan perubahan , gerakan bersama rakyat , sehingga ytang dibutuhkan adalah paradigma transformasi yang akan mensosialisasikan kesadaran politik mahasiswa ke dalam segmen masyarakat secara luas . Dalam paradigma baru ini, buruh , tani kaum miskin kota , bukan lagi kekuasaan tunggal , melainkan secara pasti semua lapisan masyarakat harus diorganisir sebagai kekuatan pengubah .( Gayatri , 199 : 1103 – 113 ) Ketika pro-demokrasi ingin dibungkam Kerusuhan 27 Juli 1996 digunakan oleh rejim Orde Baru untuk pembersihan gerakan oposisi yang pro-demokrasi di Indonesia . Perburuan besar-besaran ini ditujukan untuk mematikan seluruh elemen kelompok-kelompok yang terus menerus menyatakan kritik dan melawan rejim OB secara terbuka . Dengan memberikan stigma “ neo-PKI “ , menguatkan kembali mitos “ bahaya merah :, rejim OB bermaksud melumpuhkan kekuat an-kekuatan yang potensial untuk merongrong rejim staus quo . Partai Rakyat Demokratik (PRD ) dan organisasi massa affiliasi politiknya – Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi ( SMID ), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) , Jaringan Kerja Kesenian Rakyat ( Jakker ) , dan Serikat Tani Nasional (STN) – adalah target utama . Selain tuduhan komunis pada kelompok ini , PRD dituduh sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 – yang kemudian tidak pernah terbukti di pengadilan . Tuduhan-tuduhan itu sudah menjadi lemah ketika Komnas HAM mengumumkan tiga unsur penyebab kerusuhan 27 Juli 1996 , yakni : pertama , unsur yang bertikai ( kelompok Soerjadi dan Megawati ); kedua , unsur pemerintah dan aparat keamanan ; dan ketiga ; unsur masyarakat .Perburuan , penangkapan dan “pembersihan “ dilakukan terutama di Jakarta , di Yogyakarta , Semarang , Solo dan Surabaya . Menurut laporan Human Rights Watch sebanyak 75 orang ditangkap dan diinterogasi . Sebagian besar dilepaskan kembali kecuali 13 aktivis pimpinan dan kader PRD yang kemudian dihadapkan ke pengadilan rekayasa OB . Pada bulan April 1997 , vonis sudah dijatuhkan untuk ke 13 aktivis yang berkisar antara 1,5 hingga 13 tahun mendekam dalam penjara sebagai ganjaran atas pikiran kiri, sikap kritis , dan tindakan mereka . Para aktivis dari berbagai kelompok gerakan mahasiswa semacam DMPY ( Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta ) , Kelompok Studi Rode ( Yogyakarta ) , PIJAR ( Jakarta ) , Aliansi Rakyat Sumatra untuk Demokrasi ( Medan ) yang semuanya bukan aktivis PRD , juga mendapat tekanan dalam bentuk intimidasi , penjemputan , interogasi. Beberapa di antaranya mengaku dipaksa mengaku sebagai anggota PRD . Interogasi dan intimidasi politik dilakukan pula terhadap sejumlah tokoh politik Megawati Soekarnoputri dan pemimpin PDI lainnya , serta tokoh-tokoh lain seperti paranormal Permadi SH , Sri Bintang Pamungkas ( Partai Uni Demokrasi Indonesia ) , Muchtar Pakpakhan ( Serikat Buruh Sejahtera Indonesia ) , Ridwan Saidi ( Ketua Majelis Amanat Rakyat Indonesia ) dan lain-lain . 32 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Tindakan respresif, stigma komunisme dan wacana anti gerakan demokrasi oleh rejim OB dan organisasi korporatis yang mendukungnya memberikan pukulan telak bagi kalangan pro-demokrasi pada umumnya . Majalah Detektif dan Romantika , Edisi 2 Agustus 1997 melaporkan bahwa pada bulan –bulan pertama setelah insiden itu sebagian besar aktivis nersembunyi atau setidaknya menghindar dari penampakan umum . Apalagi ketika perburuan terhadap Budiman Sudjatmiko , dkk , masih berlangsung . Akibatnya kegiatan LSM kritis umunya terhenti . Markas mereka itutup . Demontrasi-demontrasi yang beberapa tahun belakangan ini marak kini hampir tidak ada . Yang masih melakukannya hanya buruh beberapa pabrik yang menuntut kenaikan upah . Apakah manuver rejim OB pasca 27 Juli itu berhasil mematikan gerakan mahasiswa prodemokrasi ? Sebenarnya para aktivius tak sekedar “tiarap” , mereka juga melakukan“konsolidasi “ PRD sendiri tidak mati . Aktivis PRD yang tidak terungkap tetap menjalankan organisasi di bawah tanah . Di tingkat pusat organisasi PRD tetap mengaktifkan KPP ( Komite Pimpinan Pusat ) untuk menjalankan operasional sehariharrti partai . Di tingkat daerah , diaktifkan Komite Pimpinan Kota . Kepemimpinan Budiman dan Garda masih diakui Andi Arief , Ketua Umum SMID , menegaskan , “ kami siap dipimpin Budiman dari dalam penjara .” Meskipun KPP PRD sudah berusaha mempertahankan kegiatan operasional organisasi dan para kader PRD di daerah-daerah sudah mengusahakan terbentuknya komite-momite baru . PRD belum bisa pulih sebelum 27 Juli 1996 . Banyak simpul-simpul massa nonmahasiswa seperti buruh dan kaum miskin kota, yang berantakan . Kader-kadernya sulit dilacak untuk sementara waktu . Namun dari upaya-upaya itu terlihat bahwa disiplin , kemampuan survival politik PRD terbukti tinggi , setidaknya di kalangan kader mahasiswa . Prinsip unity of command dan unity of action tetap bisa dijalankan secara konsisten . Penumpasan barisan pro-demokrasi , khususnya elemen mahasiswa yang sebagian dimotori oleh PRD , oleh rejim Soeharto hanya efektif untuk menyebarkan ketakutan dalam jangka waktu yang pendek . Selama semester kedua 1966 , masih muncul sedikitnya 36 aksi demontrasi di 11 kota – tidak termasuk demontrasi yang direkayasa oleh rejim untuk menyudutkan PRD . Sebagian besar terjadi di Jakarta, Bandung , dan Yogyakarta . Di Semarang aksi solidaritas dan menentang pemberitaan sepihak oleh pers mengenai peristiwa 27 Juli 1996 dilakukan oleh AMS ( Aliansi Mahasiswa Semarang ) pada 2 Agustus 1996 - hanya 6 hari setelah peristiwa “ Sabtu Kelabu “ . Beberapa aksi yang menyangkut isu 27 Juli 1996 dan isu politik sensitif lainnya mendapatkan represi yang keras , baik yang langsung dilakukan oleh aparat keamanan maupun oleh premanpreman binaan OB . Kelompok gerakan mahasiswa di luar garis politik PRD yang juga militan , kritis dan memiliki jaringan nasional ( terutama jaringan Jawa dan Bali yang pada akhir 1998 menjadi FPPI ) masih terus aktif pula dalam kerja-kerja politik dan konsolidasi , meskipun aksi demonya banyak berkurang sejak peristiwa 27 Juli 1996 . Kelompok ini terutama yang berbasis di Yogyakarta – terus berhubungan satu sama lain , membuat 33 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda pendidikan politik bagi aktivis barunya, melakukan kajian-kajian atau situasi nasional mutkhir , dan sesekali memanfaatkan momentum untuk melakukan aksi-kasi demontrasi . Aksi-aksi ini diperlukan oleh kelompok-kelompok gerakan untuk political exercise dan tetap menjaga solidaritas kelompok serta menjaga agar api lilin pergerakan tetap menyala dan siap membesar ketika momentum yang diperlukan sudah datang . Memasuki 1997 , frekuensi demontrasi di berbagai kota ternyata semakin meingkat . Tercatat setidaknya terjadi 154 demontrasi mahasiswa . Demonstrasi terbanyak dan terbesar dalam kurun waktu itu terjadi di Yogyakarta 67 kali demonmtrasi . Di Jakarta hanya terjadi 19 kali . Isu terbanyak yang diangkat oleh para mahasiswa adalah isu politik nasional sebanyak 48 kali dan isu-insu internal kampus 30 kali . Isu politik nasional yang mengemuka pada tahun itu adalah penolakan mahadsiswa terhadap Pemilihan Umum 1977 . Untuk isu keadilan sosial (31) kali yang menonjol adalah solidaritas untuk korban kelaparan di Irian Jaya, dan untuk isu hak asasi manusias (26 kali ) adalah [enegakkan hak asasi manusia dan anti kekerasan . Aktivis mahasiswa Yogyakarta tampak menonjol dalam mengangkat isu-isu sensitive yang strategis dan berskala nasional . Tampaknya kota-kota lain sesekali muncul dan kelihatan masih menahan diri akibat trauma 27 Juli 1996 Tahun 1997 ditutup dengan aksi peringatan HAM semesta 10 Desember secara serentak stidaknya di 7 kota : Jakarta , Yogyakarta , Bandung , Purwokerto , Solo , Seamarang , dan Surabaya . Tema anti kekerasan militer terhadap rakyat menjadi isu focus, sedangkan Komite yang merupakan mantel PRD , selain mengangkat isu HAM , tetap konsisten mencantumkan tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI dan paket 5 UU politik . Hingga akhir 1997 kelompok mahasiswa yang bergerak hanya berkisar pada kelompok-kelompok aktivis mahasiswa di kota-kota “tradisional “ Munculnya FKSMIB dalam isu “goltus “ dan FAMU ( Forum Aktivis Mahasiswa Uninsba ) dalam mengangkat isu HAM belum bisa menunjukkan adanya kemajuan yang berarti dalam perluasan arena dan pelaku gerakan . Gerakan Mahasiswa masih menjalani proses yang melingkar karena belum ada suatu momentum ekonomi maupun politik yang menyuburkan upaya :intensifikasi “ dan “ ekstenfikasi “ perlawanan :. Memasuki tahun baru 1998 , aksi-aksi demo milai marak lagi –tercatat 31 aksi selama Januari – di Solo , Jakarta . Bandarlampung , Bandung , dan Yogyakarta , dengan membawa tiga isu penting : penolakan pencalonan kembali Soeharto (16 kasus ) , turunkan harga ( 7 kasus ) , dan Megawati for President ( 3 kasus ) , cabut paket 5 UU politik dan dwifungsi ABRI masing-masing 2 kasus . . Pada bulan ini aksi yang dimotori oleh komite mahasiswa hanya ada 7 kelompok . Selebihnya aksi-aksi dimotori oleh LSMLSM , ormas mahasiswa ( kelompok Cipayung ) ,, kelompok professional , serikat buruh (SBSI) , keluarga Fatmawati , pendukung Megawati dan lain-lain . Selain isu tolak Soeharto , kelompok aktivis mahasiswa GAOB ( Gerakan Anti Orde Baru ) di Lampung dan di Solo masih konsisten menyoal dwifungsi ABRI dan paket 5 UU politik , selain menuntut turunnya harga-harga , Di Jakarta demo ratusan mahasiswa IKIP Negeri Jakarta di kampus pada 19 Januari 1998 juga menolak Soeharto . Kelompok kampus lainnya , mahasiswa IPB misalnya, sibuk dengan isu lokal di kotanya . Demo dan 34 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda pernyataan anti Soeharto juga diangkat oleh kelompok non-mahasiswa . Kelompok Cipayung ( munus HMI Dipo ) . HMI MPO , dan aliansi LSM . Dari kalangan ilmuwan dan Pegawai Negeri Sipil , 19 peneliti LIPI membuat pernyataan politik menolak Soeharto . Isu anti Soeharto pada awal 1998 ini sudah mengemuka namun belum merata secara nasional . Aksi menolak Soeharto belum melibatkan masa yang besar . Aksi di Solo memang mampu mengerahkan masasa dua ribuan namun isnya lokal dan lokasinya bukan di Jakarta sehingga tidak mendapatkan liuputan secara nasional dan tidak menimbulkan efek politik yang signifikan . Kelompok pelaku anti Soeharto pun masih berasal dari kelompok yang memang dikenal secara politis kritis , seperti kelompok LSM , Cipayung (min HMI ) , dan MPO HMI sehingga dianggap “biasa “ . Sementara itu pihak media massa pun masih berhati-hati dalam menganngkat “ RI satu “ ini di –blow up dan belum meluas ( Widjojo , 1999 : 143 – 155 ) Keruntuhan Orde Baru Keresahan masyarakat atas melangitnya harga-harga sembilan bahan kebutuhan pokok ( sembako ) dan ancaman putus kuliah serta masa depan yang suram di kalangan mayoritas mahasiswa, menjadi faktor pengerak tersendiri bagi kalangan kampus – mahasiswa dan civitas academica untuk menyatakan keprhatinannya . Aksi mimbar bebas dan keprihatinan di kampus menyeruhkan tuntutan penurunan harga-harga barang , terutama sembako , diikuti oleh tuntutan yang berkaitan dengan krisis ekonomi lainnya yakni agar penimbnan barang ditindak , agar masalah penggangguran yang semakin luas ditangani , dan tuntutan agar kebijakan ekonomi lebih berpihak pada kepentingan mayoritas .rakyat . Peran kelompok mahasiswa bersama dengan civitas academica ditandai oleh aksi mimbar bebas yang terjadi di kampus UI Salemba Jakarta pada 25 Februari 1998. Mahasiswa UI bergabung dengan Ikatan Alumni UI (ILUNI UI ) yang dipimpin oleh Irjen Kehutanan Mayjen (Purn) Hardiadi Darmawan , didukung oleh mantan Rektor UI Prof Dr Mahar Mardjono , guru besar UI termasuk Prof. Dr.Selp Soemardjan dan Prof Dr. Emil Salim , membuat aksi keprihatinan menuntut pemerintah mengatasi berbagai krisis yang sedang melanda bangsa Indonesia . Mimbar kampus ini ditutup dengan tindakan simbolis mahasiswa UI menutup tulisan “ kampus perjuangan Orde Bari “ yang terpampang pada balibo besar yang dipajang di depan kampus UI . “ Salemba Datang di Kampus Perjuangan Orde Baru .” Peristiwa ini secara simbolis menandai mahasiswa dan civitas academika UI yang mengurangi dukungnya terhadap rejim OB . Gejala baru yang menarik adalah meluasnya keterlibatan kalangan civitas academica atau pun birokrat kampus dalam aksi-aksi mahasiswa . Peristiwa mimbar bebas UI tersebut menandai suatu era baru hubungan politik antara mahasiswa dan civitas academica . Keterlibatan warga kampus dalam aksi-aksi demo mahasiswa tidak pernah terjadi dalam kurun waktu sebelumnya . Dukungan para pimpinan perguruan tinggi yang besar misalnya dari Rektor Unibraw , Unair , UI dan Purek III Unhas terhadap aksi mahasiswa 35 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda bahkan diungkapkan secara terbuka . Keterlibatan para alumni , staf pengajar , dan guru besar UI dalam mimbar mahasiswa mengakhiri suatu ketegangan mahasiswa –birokrat kampus yang selama OB memang selalu dipertahankan . Para birokrat kampus pada jaman OB lebih bersikap sebagai aparat respresif perpanjangan tangan rejim . Pimpinan kampus di era OB , terutama pimpinan perguruan –perguruan tinggi negeri , lebih berperan sebagai pelayan kepentingan rejim OB dalam menjaga kontrol dan kelanggengan kebijakan depolitasasi mahasiswa . Tidak sedikit aktivis mahasiswa , melalui para pimpinan kampus, mendapatkan sanksi akademis atas keterlibatannya dalam aksi politik menentang OB . Pada tingkat yang ekstrem , pimpinan kampus tidak segan-segan memecat mahasiswa yang dinilai terlalu “politik “ . Jangankan hadir dalam aksi unjuk rasa mahasiswa , memberikan ijin untuk penggunaan sarana kampus pun tidak akan dilakukan . Hanya satu dua rektor di negeri ini yang dulu toleran terhadap perilaku kritis mahasiswa terhadap rejim OB . Model aliansi mahasiswa dan civitas academica ini menular ke berbagai kampus terkemuka di Indonesia . Pada 3 Maret 1998 mahasiswa dan civitas academica Universitas Udayana , Denpasar , melibatkan lima ratusan massa mahasiswa , menyelenggarakan mimbar mambas keprihantinan dan aksi anti kekerasan . Setelah itu berturut-turut aksi mimbar bebas mahasiswa civitas academica muncul di kampuskampus seperti pada 5 Maret 1998 di Unair Surabaya , pada 6 Maret 1998 di Universitas Yarsi Jakarta, pada 7 Maret 1998 Universitas Padjajaran Bandung dan pada 9 Maret 1998 di Universitas Pasundan , pada 9 Maret 1998 di Undip Semarang , di UNS Solo , pada 10 Maret 1998 di Unila Lampung dan di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan pada 11 Maret 1998 di UGM . Aksi unjuk rasa di beberapa kampus , misalnya di Unibraw ( 11 Maret 1998 ) dan di Universitas Pancasila ( 17 Maret 1998 ) , bahkan dipimpin oleh rektornya sendiri . Pada kurun Maret 1998 terdapat setidaknya 15 aksi yang terjadi di 10 kota melibatkan dosen , guru besar , dan pejabat dekanat serta pejabat rektorat . Terdapat kesan umum , baik yang muncul di media massa maupun di kalangan aktivis “ resmi “ , bahwa tampilnya mahasiswa dan civitas academica UI berpengaruh besar hingga menulari mahasiswa dan civitas academica perguruan tinggi lain untuk ikut ambil bagian dalam aksi keprihatinan krisis ekonomi dan politik serta menuntut reformasi . Data lapangan memang menunjukkan bahwa kemunculan aksi mahasiswa dan civitas academica UI pada akhir Februari , diikuti dengan aksi dengan pola serupa di kampus – kampus lain . Di sini terlihat bahwa mitos “angkatan 66 “ yang diantaranya menempatkan UI sebagai pelopor masih dianut oleh terutama kalangan kampus dan media massa . Terdapat pameo yang sering diucapkan ,” kalau UI bergerak berarti negara dalam keadaan genting .” Cara pandang mitis ini pula yang menjelaskan mengapa gejala baru demo mahasiswa di kalangan kampus inilah yang dilihat oleh Forum Keadilan sebagai tanda kebangkitan gerakan mahasiswa setelah lelap “tertidur “ selama 20 tahun . Forum mengatakan bahwa ,” Unjuk rasa terakhir yang masih teringiang dalam catatan sejarah dilakukan oleh para mahasiswa pada 1978 .” Jadi oleh Forum Keadilan munculnya kelompok studi mahasiswa , pers mahasiswa alternatif , lalu kelompok “ parlemen jalanan “ di era 80-an dan disusul oleh bangkitnya 36 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda mahasiswa dalam gerakan politik yang lebih solid dan terorganisir serta jelas dalam ideologi dan program-program politiknya yang termanifestasi dalam SMID dan PRD dianggap “ nukan “ atau “ belum “ merupakan gerakan mahasiswa . Padahal format gerakan mahasiswa baik dalam struktur komite , isu-isu politik , pola aksi , sloganslogan perlawanan yang muncul selama 1998 , adalah hasil dari proses penjang sejak 1980-an hingga akhir 1990-an . Kemunculan aktivis-aktivis handal dalam APR ( Surabaya ), Forkot ( Jakarta ) , Famred ( Jakarta ) , SMPR ( Solo ) , PPY dan KPRP ( Yogyakarta ) , FAMPR ( Purwokertyo ) , atau KMPPRI ( Lampung ) adalah hasil dilaktika dari gerakan mahasiswa sebelumnya . Format dan isi perlawanan aktivis mahasiswa terhadap rejim OB sejak 1989 pada era FKMY ( Yogya karta ) , BKMJ ( Jakarta ) , atau FKMS ( Surabaya ) hingga PPY , FIMB , KPMB , dan PRD-lah menjadi subtansi gerakan mahasiswa yang muncul pada 1998 . Tampak di sini Forum masih mendefinisikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral .( Widjojo, 1999 : 159 – 162 ) Di saat Sidang Umum MPR 1998 , terjadi aksi demo mahasiswa diwarnai oleh sikap dan teriakan-teriakan yang menolak pidato pertanggungjawaban Soeharto di ITS sejak 6 Maret , di Jakarta pada 9 Maret yang diadakan di kampus masing-masing : UI Depok , ISTN , Univ. Atmajaya , UKI , Universitas Gunadarma , Univ. Jayaabaya, IISIP , Unas dan Universitas Islam Jakarta . Alasan penolakannya dikarenakan Presiden Soeharto di dalam pidato pertanggung jawabannya di MPR tidak menyinggung apa yang menjadi penyebab krisis moneter dan bagimana upaya –upaya kongkrit untuk mengatasinya . Setelah usai Sidang Umum , bermunculan isu dengan tidak kredibelnya kabinet Pembangunan VII karena dinilai sarat dengan nepotiosme dan koncoisme . Penunjukkan menteri-menttri yang diikenal sebagai orang-orang dekat dengan Siti Hardiyanti Rukmana ( Tutut ) seperti R . Hartono , Subiyakto Cakrawerdaya , dan sebagainya makin menunjukkan ketidakprofesionalan kabinet ini . Apalagi kehadiran Bob Hasan dan Tiutut sendiri termasuk di dalamnya . Ketidakprofesionalan kabinet ini makin terlihat dari tindakan-tindakan dan pernyataan yang dikemukakan seperti : Proyek Nasi Bungkus ( Tutut ) , “ Monopoli iti boleh saja “ ( Bob Hasan ) , “ Kita reformasi sejak 1945 “ ( Hartono ) . Hal yang paling menyakitkan mahasiswa adalah ditunjuknya mantan rektor ITB Wiranto Arismunandar – yang dikenal bertangan besi dalam menghadapi gerakan mahasiswa ITB dulu sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan . Ada kejenuhan mahasiswa dalam aksi dalam kampus . Keinginan untuk berdemontrasi di luar kampus sudah tentu memicu bentrokan dengan aparat keamanan . Ini terjadi di banyak kampus yang diawali di Universitas Sebelas Maret Solo pada tanggal 3 Maret yang mengakibatkan 25 orang mahasiswa luka parah . Di kalangan orang Jawa ada yang percaya bila sesuatu kekerasan dimulai di Solo , diramalkan akan terjadi tragedi yang dahsyat “. Kemudian diikuti antara lain di ITB, di Semarang , Denpasar , IAIN Bandung , IKIP Jakarta , Unisma Malang , Universitas Brawijaya , Institut Teknologi Medan dan Universitas Sahid , Jakarta . Sementara di kampus-kampus di luar Jawa seperti di Ujung Pandang kegiatan demontrasi dan long march di Jakarta yang diikuti sekitar 10.000 massa yang terdiri dari mahasiswa , pelajar dan warga masyarakat yang diawali dari kampus ISRN , diikuti oleh mahasiswa APP , IISIP , UPN Veteran , Univ Pancasila melintasi stasiun Lenteng Agung hingga melewati kampus IISIP. Aksi-aksi ini pada 37 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda gilirannya menimbulkan hal yang lebih jauh yaitu mengenai pelanggaran HAM dan sikap represif ABRI terhadap gerakan mahasiswa seperti dalam peristiwa Solo dan Lampung Berdarah . Salah satu demontrasi mahasiswa terbesar terjadi di kampus Universitas Sumatra Utara (USU) Medan yang menyebabkan diliburkannya kampus dari kegiatan akademik sejak 29 April hingga 7 Mei 1998 . Aksi ini sempat disebut sebagai aksi yang paling bringas yang melibatkan aksi saling melempar batu antara mahasiswa dan aparat , penembakan gas air mata , pembakaran 2 motor aparat keamanan dan sebagainya . Meninggalnya Moses Gatotkaca mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tanggal 8 Mei 1998 semakin meningkatkan militansi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi khususnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah . Isu-isu yang muncul adalah mengenai dialog yang diprakarsai oleh ABRI dan peristiwa penculikan para aktivis . Sebagian besar mahasiswa dari perguruan tinggi yang telah mapan seperti UGM ,UI,IKIP Bandung , IAIN dan Unpad tidak hadir pada dialog antara mahasiswa dengan ABRI pada tanggal 18 April di PRJ Kemayoran Jakarta . Pengalaman sebelumnya memperlihatkan bahwa dialog dengan ABRI tidak akan menylesaikan masalah seperti telah terjadi di Bengkulu yang ditandai dengan aksi walk out para mahasiswa . Beberapa alasan penting kepa mahasiswa menolak : pertama , ABRI selama ini adalah alat dari kekuasaan Orde Baru sementara sebagian besar mahasiswa di Indonesia telah menolak dan menganggap bahwa Orde Baru telah kehilangan kredibilitasnya untuk memimpin negara . Jika mereka melakukan dialog berarti mereka masih mengakui adanya Orde Baru . Sehingga dialog yang mereka inginkan hanya dengan pemimpin Orde Baru ( Soeharto ) untuk disuruh ,mengundurkan diri . Alasan kedua lebih moderat yakni ABRI adalah instrumen negara di mana selama ini selalu tunduk dan patuh kepada atasannya – presiden Soeharto selaku panglima tertinggi ABRI .Mahasiswa berkeyakinan bahwa ABRI tidak akan mungkin dapat menindak lanjuti keinginan masyakat yang disuarakan oleh mahasiswa jika hasil dari dialog tersebut akan menyinggung perasaan majikannya . Kesimpulannya mereka menganggap dialog itu tidak akan obyektif . Sehingga tidak ada gunanya berbicara dengan pembantu . Sementara mahasiswa yang melakukan dialog seperti HMI , memandang dialog dengan ABRI melalui kacamata yang berbaik sangka dan beranggapan bahwa dialog merupakan salah satu bentuk dari demokrasi . HMI mencoba dialog sendiri dengan ABRI yang diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII ) pada 21 April 1998 . Acara dibuka oleh Wakil Presiden Habibie dan diwarnai pula oleh aksi walk out . Karena pemerintah yang diwaliki saat ini oleh Mendagri R Hartono mengecewakan para mahasiswa . Mendekati insiden Trisakti 12 Mei 1998 mahasiswa melontarkan isu lebih jauh kagi yaitu pembubaran Kabinet karena dianggap tidak dapat menyelesaikan Krisis Moneter serta menuntut dilakukannya . Sidang Istimewa MPR . Hal ini dkarenakan pemerintah ke

38 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda lihatannya belum serius untuk menangani krisis yang berkepanjangan ini. Tindakan represif yang dilakukan pemerintah malah hanya memperburuk situasi dan memperteguh perlawanan . Peristiwa Insiden Trisakti tangga; 12 Mei 1998 di mana aparat pemerintah menembak mati 4 mahasiswa yang sedang berada di halaman kampus . Peristiwa ini membangkitkan kesadaran dariu semua tipe mahasiswa . Peristiwa ini diyakini sebagai katalisator gerakan mahasiswa . Keberagaman isu penting yang diteriakkan selama ini mengkristal ke satu arah yaitu pada figure Presiden Soeharto . Tema utama adalah tuntutan agar Soeharto turun dari jabatan presiden disertai meminta pertanggungjawabannya mengenai bencana yang menimpa bangsa Indonesia dalam Sidang Umum Istimewa MPR , dan pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota MPR , kemudian meminta MPR untuk membentuk pemerintahan transisi .( Adnan , 1999: 143 – 149 ) Dalam menjawab tututan reformasi , pada 16 Mei , pimpinan DPR bertemu Presiden Soeharto . Dan dinyatakan mengenai rencana Soeharto me-reshuflle kabinet sebagai jawaban atas aspirasi mahasiswa , dan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat . Soeharto berencana membentuk kabinet yang bersih dari penyakit KKN ( Korupsi , Kolusi dan Nepotisme ). Mahasiswa menolak rencana tersebut . Tidak puas dengan rencana presiden tersebut , pada 18 Mei , mahasiswa dari berbagai penjuru mengerahkan kekuatan menduduki gedung DPR/MPR . Sementara gelombang mahasiswa kian membesar , sebagian dari wakil mereka melakukan dialog dengan fraksi-fraksi di DPR . Dalam dialog itu , pimpinan mahasiswa menyampaikan tuntutan segera dilakukan Sidang Istimewa MPR dan pencabutan mandat MPR kepada Presiden Soeharto . Kesimpulan dialog ini dievaluasi dan kemudian menjadi pegangan pimpinan DPR . Pimpinan DPR memutuskan untuk mengambil sikap tegak. Maka , di bawah tekanan yang kian tumpah ruah di gedung lembaga perwakilan tersebut , akhirnya pada 18 Mei itu, keluarlah pernyataan pimpinan DPR yang meminta Soeharto secara arif mengundurkan diri . Pernyataan pimpinan DPR/MPR disampaikan oleh Ketuanya, Harmoko , disamping wakil-wakil ketuanya yaitu Syarwan Hamid (F-ABRI ) , Ismail Hasan Metarum (F-PP ), Fatimah Achmad (F-PDI) dan Abdul Gafur ( F-KP) . Empat setengah jam kemudian terhadap pernyataan pimpinan DPR di atas , di tengah suasana yang mencekam ,melalui konferensi pers justru Panglima ABRI Jendral Wiranto mengeluarkan tanggapan yang bernada kontra-produktif . Wiranto mengemuakan sikap ABRI antara lain bahwa pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri , merupakan sikap dan pendapat individual , meskipun disampaikan secara kolektif . Sesuai dengan konsitusi, menurut ABRI , pendapat pimpinan DPR tidak memiliki ketetapan hukum karena seharusnya terlebih dahulu mendapat dukungan seluruh anggota dewan melalui Sidang Paripurna DPR .

39 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda ABRI justru berpendapat , menurut Wiranto , tugas dan keawajiban mendesak pemerintah yang menjadi tanggung jawab mendesak Presiden adalah reshuffle kabinet , melaksanakan reformasi secara menyeluruh , dan mengenai krisis . Ini penting dilakukan, agar bangsa Indonesia segera dapat keluar dari krisis ini . Agar reformasi yang dilakukan dapat berjalan dengan baik , ABRI, karena itu menyarankan agar dibentuk Dewan Reformasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan masyarakat , terutama kampus dan tokoh-tokoh kritis . Dewan ini akan berdampingan dengan DPR dan bekerja sama secara internal . Kesimpulannya , ABRI menolak tuntutan pengunduran diri Presiden Soeharto . Pernyatan Panglima ABRI Jendral Wiranto itu, dikeluarkan , setelah ia mengikuti rapat bersama sejumlah menteri lainnya dengan Presiden Soeharto . Berdasarkan pernyataan Panglima ABRI tersebut , bukan saja menunjukkan posisi ABRI telah berbenturan dengan sikap DPR sebagai wakil rakyat , tetapi khususnya juga mengisyaratkan adanya perbedaan sikap antara Panglima ABRI dengan pimpinan Fraksi ABRI sendiri di DPR . Seruan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu , merupakan jawaban atas aspirasi mahasiswa dan kelompok –kelompok masyarakat , Dan , salah satu unsur pimpinan DPR , Fraksi ABRI , adalah komponen yang juga ikut dalam pencapaian kata sepakat tersebut . Syarwan Hamid , Ketua Fraksi ABRI sekaligus Wakil Ketua MPR yang mewakili suara ABRI saat itu , mengungkapkan bahwa keputusan pimpinan DPR itu dicapai tanpa konsultasi yang dilakukannya dengan Panglima ABRI . Dan Panglima ABRI pun memang membantah bahwa hal itu merupakan hasil konsultasi dengannya . Syarwan bahkan dengan jelas mengatakan bahwa keputusan itu memang bukan merupakan sikap ABRI , tetapi sikap pribadi dan tanggung jawab dirinya sebagai Wakil Ketua DPR . Gambaran diatas menunjukkan bahwa posisi ABRI sebagai sebuah insitusi yang diharapkan berdiri pada posisi yang tegas bersama mahasiswa , dan memihak rakyat , tidak berperan besar dalam mendesak pengunduran diri Presiden Soeharto . Bahkan ABRI dengan jelas mengungkapkan pendiriannya bahwa ABRI tidak sependapat jika reformasi harus dibaca atau diartikan pimpinan nasional harus turun .Dengan sikap ABRI yang sebegitu rupa ini mungkin juga disebabkan kartena ABRI menghindari konflik terbuka dengan Presiden yang sekaligus . Panglima Tertinggi ABRI . Disamping itu , ABRI kemungkinan menganggap bahwa keputusan pimpinan MPR/DPR ini merupakan tindakan yang inkonsitusional sebagaimana tersirat pada anggapan bahwa suara pimpinan DPR merupakan keputusan individual . Namun demikian , dampak dari sikap ABRI yang kontra-produktif terhadap seruan pimpinan DPR agar Presiden mengundurkan diri , dilihat di sisi lai itulah yang mendorong mahasiswa mengerahkan kekuatan ke gedung DPR . Ribuan mahasiswa kemudian membanjiri gedung lembaga perwakilan itu dengan isu utama terus mendesak Sidang Istimewa MPR dan pengunduran diri di Presiden Soeharto . Dan anehnya , dalam proses pendudukan mahasiswa tersebut , ABRI malahan melonggarkan barisan penjagaannya sehingga massa mahasiswa dengan leluasa menambah pengerahan kontingen mereka ke gedung MPR/DPR . Mahasiswa terus berdatangan dengan bus-bus carteran maupun resmi dari universitas masing-masing . 40 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda

Dengan mengusung isu yang sama beserta sasaran tembak wakil rakyat guna memaksa Soeharto mundur dari jabatannya , mahasiswa memutuskan untuk tetap bertahan dan terus menambah jumlah massa mereka, dalam peristiwa pendudukan atas gedung MPR/DPR tersebut . Di areal gedung lembaga gedung tertinggi negara itu , puluhan ribu mahasiswa yang telah berkumpul berteriak dengan suara yang sama menyuarakan tuntutan agar MPR segera menggelar Sidang Istimewa . Mahasiswa mengajukan tuntutan SI MPR , untuk menyeret Soeharto mempertanggung jawabkan kekuasannya , kemudian diturunkan secara konsitusional . Itulah tekad mahasiswa. Menurut sebuah versi pendapat , tampaknya ABRI menyadari mengenai dampak dari pendudukan mahasiswa terhadap gedung DPR/MPR. Artinya ABRI memahami bahwa dengan pendudukan mahasiswa itu , jika mahasiswa berhasil memaksa penggelaran SI MPR , maka hal itu merupakan perubahan secara konsitusional . ABRI pada titik ini juga seakan memahami bahwa reformasi politik , yang salah satu syarat utamanya Soeharto harus turun , sudah tidak terelakkan lagi . Gerakan mahasiswa pun tidak dapat dibendung; namun m disebabkan ABRI tidak mungkin mengambl langkah menempatkan diri dalam posisi yang berhadapan secara terbuka dengan Soeharto , maka :dukungan : tidak langsung yang dapat diberikan hanya sebatas “ memberikan jalan “ bagi perjuangan mahasiswa menuju koridor prosedural konsitusi , yakni mekanisme DPR/MPR . Dampak dari penyataan Menhankam/Pangab Wiranto rupanya mempercepat proses kejatuhan Soeharto Sikap ABRI itu ,oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah manuver politik untuk memancing mahasiswa agar membanjiri areal gedung wakil rakyat di Senayan . Dari sisi lain juga haris digarisbawahi bahwa proses pendudukan gedung DPR/MPR merupakan agenda mahasiswa yang memang sudah direncanakan jauh-jauh hari , setidaknya sebagai manuver untuk melakukan tekanan . Namun , bagaimana metode gerakan yang diperlukan sebagai follow up secara strtaegis dan taktis , tak sampai menuju kearah jangkauan pencapaian kompromi di antara kelompok –kelompok mahasiswa . Prinsipnya, mereka disatukan oleh satu isu yang sama . Hingga momentum itu menjadi terbuka , setelah dipicu pernyataan Menhankam.Pangab Jendral Wiranto yang kontra produktif terhadap himbauan pimpinan DPR tadi . Pendudukan gedung DPR/MPR adalah jalan yang dipilih sebagai solusi terbaik yang harus ditempuh mahasiswa , terutama karena aksi jalanan tidak memungkinkan akibat memperhitungkan bentrok dengan aparat keamanan , dan kekhawatiran aksi demo di jalan raya itu dapat juga berdampak anarkis dan kerusuhan yang justru merupakan perjuangan mahasiswa sendiri . Di mata mahasiswa , DPR adalah kunci untuk menuju pencapaian tuntutan reformasi , khususnya untuk meruntuhkan Soeharto dari kekuasaan . Situasi massa mahasiswa yang terus membanjiri areal gedung DPR/MPR , mengakibatkan pimpinan DPR akhirnya dipaksa untuk mengambil sikap yang lebih tegas terhadap tuntutan reformasi . Setelah mengeluarkan himbauan agar presiden mengundurkan diri di hari sebelumnya , selnajutnya pada 24 Mei , pimpinan DPR atas kesepakatan hasil dialog dengan delegasi mahasiswa yang memadati Senayan – mengeluarkan ancaman pamungkas . Pimpinan DPR menyatakan akan segera menggelar 41 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Sidang Istimewa MPR jika presiden Soeharto tidak mengundurkan diri . Pernyataan ancaman tersebut disampaikan pimpinan DPR . Melalui pernyataan ancaman itu , Harmoko sekaligus mengumumkan pada deadline bahwa kalau sampai waktu batas hari Jum’at , 22 Mei , dua hari kemudian sesudah pernyataan ancaman tersebut dikeluarkan , Presiden Soeharto tidak mengundurkan diri , maka pimpinan DPR/MPR akan melakukan rapat dengan seluruh fraksi yang dijadwalkan pada hari Senin, 25 Mei untuk membahas agenda pelaksanaan Sidang Istimewa MPR . Untuk itu , pimpinan DPR hari itu juga , mengirimkan surat peringatan tersebut kepada presiden ( Culla , 1999 : 179 – 186 ) Sementara itu , Soeharto masih mencoba mencari jalan untuk mempertahankan kekuasannya . Pada hari yang sama dengan keluarnya ancaman pimpinan DPR , Soeharto mengundang ulama dan tokoh masyarakat , yakni Ketua Umum PBNU Abdurrachman Wahid, Emha Ainum Nadjib , Nurcholis Madjid , Ketua MUI Ali Ya”fie , Malik Fadjar , Yusril Ihza Mahendra , KH Cholil Baidowi , Sumarsono , Achmad Bagja dan Ma’ruf Amin di Credential Room . Soeharto berjanji akan mengadakan pemilu secepatnya , mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII sekaligus mengganti namanya menjadi Kabinet Reformasi , serta membentuk Komite Reformasi . Menjawab tuntutan agar ia segera mengundurkan diri , Soeharto menyatakan bahwa di tengah kesulitan akibat krisis , tindakan mengundurkan diri baginya merupakan sikap “ tinggal gelanggang colong playu “ ( lari dari tanggung jawab ) . Gagasan tentang Kabinet Reformasi dan Komite Reformasi Soeharto akhirnya gagal karena sebagian besar orang atau tokoh yang ditunjukkanya tidak bersedia . Sekjen ICMI Adi Sasono , Rektor IPB Soleh Salahudin , Rektor UGM Ichlasul Amal , Megawati Soekarnoputri, Adnan Buyung Nasution dan Ali Sadikin adalah beberapa tokoh yang ditawari oleh Soeharto untuk duduk di Kabinet Reformasi dan Komite Reformasi . Para tokoh ini menyadari benar bahwa pemerintahan Soeharto sudah benar-benar kehilangan legitimasi dari rakyat dan tidak mungkin lagi dipertahankan . Oleh karena itu tawaran yang semasa kejayaan Soeharto diimpikan oleh para tokoh , pakar maupun politisi , kini menjadi posisi yang menakutkan . Pada 20 Mei 1998 pukul 14.30 WIB 14 menteri Kabinet Pembangunan VII Bidang Ekuin- minus Mohammad Hasan dan Fuad Bawazier – mengadakan pertemuan di Gedung Bappenas yang menghasilkan kesepakatan untuk menolak duduk dalam Komite Reformasi ataupun Kabinet Reformasi . Kesepakatan tersebut dituangkan dalam surat dan diberikan kepada Soeharto melalui Ajudan Presiden Kolonel Sumardjono . Soeharto menerima surat itu pukul 20.00 WIB merasa benar-benar terpukul dan merasa ditinggalkan sendirian oleh kroni-kroninya dalam situasi yang sangat sulit ini . Menurut inteprestasi Kompas, alinea pertama surat ini secara implisit juga meminta Soeharto mundur dari jabatannya . Padahal di antara 14 orang ini ada orang-orang yang dianggap pernah “ diselamatkan “ . Sebelum menerima surat dari 14 menteri , datang pula dua mantan Wapres Sudharmono dan Try Sutrisno yang selama ini dikenal sangat kompak dan loyal pada Soeharto . Meraka pun menyarankan pengunduran diri . Ketua Umum 42 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda PBNU Abdurrachman Wahid pun mendesak Siti Hardiyanto Rukmana agar meyakinkan bapaknya untuk mengundurkan diri . Soeharto semakin yakin bahwa ia hanya punya satu pilihan yakni melepaskan jabatan dan kekuasannya yang direbut dan dipertahankannya selama 32 tahun . Gelombang raksasa gerakan mahasiswa yang didukung oleh berbagai elemen masyarakat tidak lagi menghendakinya . Sementara itu elit-elit politik dan birokrasi yang selama ini loyal dan melindungi dan dilindungi oleh kekuasannya berbalik arah dan mendorongnya untuk lengser . Pukul 23.00 WIB , ketika Soeharto memerintahkan ajudannya utnuk memanggil penasehat Presiden Yusril Ihza Mahendra dan Pangab Jendral TNI Wiranto , sang penguasa RI selama 32 tahun itu sudah berbulat hati untuk mengundurkan diri . Pada 21 Mei 1998 , pukul 09.00 WIB , di Istana Merdeka Soeharto mengumumkan pengunduran dirinmya. ‘ Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden TI , terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998 “ Saat-saat bersejarah ini disiarkan ssecara langsung oleh seluruh stasiun televisi baik milik pemerintah maupun swasta . Pidato pendek itu serta merta disambut dengan suka cita oleh masyarakat . Massa mahasiswa yang sudah tiga hari menduduki Gedung DPR/MPR RI melonjak kegiarangan . Ekspresi itu ditunjukkan dengan bernyanyi , menceburkan diri ke dalam kolam , dan berbagai kecerian lainnya . Di berbagai kota pengunduran diri disambut dengan aksi syukur bahwa era baru akan mewarnai kehidupan politik di Indonesia . ( Widjojo , 1999 : 174 – 176 ) Penutup Jauh sebelum gerakan reformasi dimulai , kesangsian terhadap sejarah Orde Baru yang dibangun tahun 1966 itu mulai timbul , sehingga banyak disoroti , timbul banyak kecurigaan , karena banyak sisi-sisi gelap dan berbagai peristiwa janggal yang mengganggu ketenangan akal sehat masyarakat . Tetapi munculnya interprestasi lain sejarah politik tahun 1960-an khususnya peristiwa Gerakan 30 September 1065 , di .luar sejarah resmi versi rezim Orde Baru yang sedang berkuasa saat ini cenderung dilarang , karena dianggap memutar balikkan fakta , menyesatkan dan memojokan pemerintah . Eksistensi Orde Baru yang sedang berkuasa memang dibangun di atas puing sejarah 1965 , mengungkit sejarah dasawarsa itu berarti mengungkit keberadaan Orde Baru , sehingga selalu dianggap subversi . Di sini tidak hanya pemerintah dan militer yang punya klaim tetapi gerakan mahasiswa Angkatan 1966 itu punya klaim besar atas sejarah itu , dengan dalih menyelematkan republik dari cengkraman PKI. Interprestasi sejarah resmi , sejarah yang diciptakan rezim ,. Mulai banyak diragukan dengan munculnya informasi tandingan dari orang yang selama ini diam , baru setelah zaman reformasi mulai berani bicara sebagai saksi dari peristiwa tersebut . Data, kesaksian dan informasi baru tersebut memaksa kita untuk mengkaji ulang interprestasi , bahkan asumsi kita tentang sejarah Indonesia tahun 1960-an dengan penuh kehati-hatian . Termasuk saat menulis tentang gerakan mahasiswa dasawrasa 1966 , agar kita tidak terjebak dan terlibat pemalsuan atau penggelapan sejarah sebagaimana yang dilakukan 43 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Orde Baru , maupun apologi yang berlebihan dari kalangan yang menjadi victim politik Orde Baru , yang bermunculan sejak menjelang keruntuhan rezim itu hingga saat ini , baik dipublikasikan melalui media massa atau buku-buku . Tetapi penulisan sejarah mesti berpijak pada asumsi agar memiliki perspektif atau sudut pandang yang jelas agar bisa dikoreksi , dikritik , dan diorevisi , karena itu harus menentukan pilihan sudut pandang mana yang akan dipakai . Orang memang tidak bisa lagi menerima sejarah Orde Baru versi resmi sebagaimana yang telah ditulis oleh rezim yang berkuasa , yang bersifat tunggal linier , bahwa pelaku G-30-S adalah PKI sendirian, dan ini dianggap sudah selesai , kemudian dipropagandakan agar diterima secara umum diajarakan di sekolah sebagai sejarah yang benar . Bila diperhatikan berbagai data dan informasi yang muncul belakangan , pendapat tersebut menjadi tidak meyakinkan , sebab kenyatannya sangat kompleks , tidak lagi terlalu jelas siapa yang menjebak siapa yang terjebak , siapa yang mengkudeta siapa, tidak jelas , sehingga perlu klarifikasi baru . Bagaimana Soekarno dituduh terlibat dalam penggulingan dirinya sendiri . Bagaimana Soeharto sebagai penguasa militer yang strategis tidak masuk dalam daftar jendral yang harus dilubangbuayakan , belum lagi soal Kontroversi Supersemar , yang sampai sekarang sejarahnya juga sudah lama diragukan dengan munculnya informasi baru yang semakin menunjukkan bahwa peristiwa itu merupakan kudeta terselubung . Pandangan itu juga memaksa seseorang untuk membongkar asumsinya tentang gerakan mahasiswa 1966 yang kemudian dimitoskan sebagai Angkatan 66 yang dianggap heroik dan idealis itu ke dalam analisis sejarah baru yang barangkali tidak hanya memusatkan perhatian pada gerakan itu sendiri , tetapi pada kekuatan politik diluarnya , apakah itu Soekarno , partai-partai politik atau militer , sebab di tengah pertarungan kekuasaan di antara kekuatan-kekuatan politik tersebut gerakan mahasiswa Angkatan 1966 mengambil bagian , sehingga peran-peran mereka tidak llagi spontan dan murni , sebaliknya secara sadar atau tidak telah menjadi alat salah satunya . Dalam titik ini demitologisasi Angkatan 66 sebagaimana yang dilakukan oleh Parakitri T Simbolon dan Marsillam Simandjuntak memang tidak bisa dihindarkan . Apalagi bila dilihat perilaku angaklatan tersebut di panggung politik belakangan ini, niat baik dan kepahlawanan yang mereka klaim itu perlu dikaji kembali . ( DZ, 1999 : 17 – 19 ) Tetapi secara umum angkatan 66 memang menjadi pendukung rezim Orde Baru hingga rezim tersebut runtuh karena keropos akibat dirongrong oleh korupsi yang dilakukan secara sistimatis oleh para aparat rezim tersebut . Angkatan 66 mengklaim telah berjasa menyelamatkan negara dari bahaua komunisme tersebut , kemudian berperan sebagai pemegang kebenaran sejarah , ini bisa dilihat semua sejarah yang tidak sejalan dengan sejarah resmi yang ditulis oleh rezim militer Orde Baru akan dihadapi oleh eksponen angkatan tersebut , setiap pemuda atau mahasiswa yang mencoba bersimpati atau sekedar toleran terhadap rezim Soeharno atau para korban politik rezim Soekarno dianggap tidak mengerti sejarah , tidak memiliki kewaspadaan , dan mengganggap mereka itu telah termakan oleh hasutan dan fitnah sisa sisa komunis . . Karena itu isu indoktrinasi Pancasila model penataran P4 digunakan rezim dengan didukung eksponen Angkatan 66 , sebagai sarana yang ampuh untuk membendung kesalahpahaman sejarah di kalangan generasi muda . 44 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Walaupun asumsi sejarah telah berbalik namun hingga sat ini angkatan tersebut masih mengkalim prevelise di bidang politik dan masih merasa bahwa peran mereka besar dalam menyelamatkan negara ini , dan mereka sama sekali merasa tidak ikut bertanggung jawab atas merosotnya kesadaran politik bangsa ini akibat tekanan rezim yang mereka ciptakan yang akhirnya membuahkan korupsi dan penyelewengan konsitusi yang menghancurkan negeri ini . Baru belakangan kelompok ini menunjukkan sikapnya yang reformis dan tidak lagi membawa penyelewengan konsitusi yang menghancurkan negeri ini . Baru belakangan kelompok ini menunjukkan sikapnya yang reformis dan tidak lagi membawa slogan-slogan baru . akan mahasiswa Angkatan 66 memang monumental dalam hal m,obilisasi massa , tetapi kemurnian gerakan mereka telah masuk ke dalam setting politik yang dibangun oleh militer . Kalau dalam logika ada dalil ponens , barang siapa mengetahui presmis maka akan mengetahui konsekwensinya , maka dalam kehidupan politik dalil itu berbunyi karena militer yang menciptakan sebab , maka militerlah yang telah menguasai akibatnya , militer memperoleh kekuasaan , sementara mahasiswa hanya diberi jatah dan itupun tidak mereka gunakan untuk pembaruan sistem kehidupan , mereka hanya mengikuti kehendak militer yang lebih berkuasa. ( DZ , 1999 : 41 – 42 ) Dalam tahun 1974 , gerakan mahasiswa telah menciptakan kondisi kritis sebagai warning bagi rezim , meskipun hal itu dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengkambing-hitamkan kemurnian gerakan mereka. Gerakan mahasiswa tahun 1974 yang merupakan bagian sejarah mahasiswa untuk menggugat kekuasaan yang mapan itu, yang lebih dikenal kemudian sebagai peristiwa Malari , merupakan reaksi protes terhadap kebijakan pembangunan Orde Baru . Gerakan 1978 yang muncul sesudahnya , bukan lagi semata mengugat kebijakan pembangunan Orde Baru yang menyengsarakan dan menidas rakyat yang lemah . Namun , lebih dari itu , untuk pertama kali mahasiswa mengangkat isu yang diarahkan kepada pucuk pimpinan nasional . Salah satu yang membedakan mahasiswa 1978 dengan 1974 adalah bahwa isu yang dianggap gerakan mahasiswa 1978 secara berani menolak Soe harto kembali sebagai prresiden . Gerakan mahasiswa 1978 mulai menyentuh soal yang serupa dengan yang pernah dilakukan oleh pendahuklunya , generasi mahasiswa 1966 . Generasi mahasiswa 1966 secara nyata berhasil meruntuhkan kekuasaan Orde Lama dengan bantuan militer . Tetapi gerakan mahasiswa 1978 belum cukup mendapat dukungan dari kawan-kawan se angkatannya sehingga mereka tidak berdaya berhadapan dengan tekanan politik rezim Soeharto yang mendapat dukungan dari militer . Mereka tidak berhasil mengu;lang kisah sukses generasi 1966. Meskipun demikian dengan gerakan mahasiswa 1966, 1974 , 1978 , sejarah Indonesia membuktikan bahwa mahasiswa selalu hadir sebagai kekuatan moral untuk memenuhi panggilan nurani masyarakatnya , kapan situasi jamannya membutuhkan segera aks mereka dalam skala massif . Bahkan rezim Orde Bari pun , karena pengalaman gerakan mahasiswa yang pernah mengguncangkan itu , lalu mencoba untuk menahan gelombang yang mungkin dilancarkan mahasiswa kembali dengan upaya pemasungan yang 45 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda dilakukannya melalui konsep NKK/BKK , mungkin tidak memperkirakan bahwa gelombang itu juga sulit dibendung pada sautu saat . Dan . akhirnya tibalah masanya Orde Baru menghadapi terpaan gerakan mahasiswa yang tidak terbendung itu . Sebagaimana yang dialami Soekarno di tahiun 1966 , rezim Soeharto harus menyerah pada nasib sejarah yang dikondisikan oleh mahasiswa . Tahun 1998 , mahasiswa bangkit bagai arus air yang semakin deras dan akhirnya menjebol tembok kekuasaan yang selama 32 tahun berdiri kokoh , meruntuhkan kepongahan kekuasan rezim Soeharto . Lebih dari kiprah sejarah pendahulu mereka, generasi 1966 , 1974 . dan 1978 , generasi mahasiswa 1998 dalam skala menyeluruh , nasional, suara dan aksi mereka bagia siaran radio yang bertemu dalam satu gelombang yang memancarkan dirinya, bergerak meruntuhkan kekuasaan Soeharto . Tidak hanya di Jawa , di daerah Jakarta, Bandung , Yogyakarta , dan Surabaya , hampir di seluruh daerah di Indonesia bergerak . Isu yang diangkat generasi mahasiswa 1988 pun merupakan sebuah paradigma gerakan yang secara principal sesuai dengan jamannya , dan hal itu sekaligus membedakan mereka dengan geran mahasiswa sebelumnya . Mereka menuntut reformasi yang menyeluruh di segala bidang ekonomi , politik , dan hukum . Tatanan rezim Orde Baru harus segera ditinggalkan , dan diganti dengan sistem yang lebih demokratis , berkeadilan sosial , dan menghargai harkat kemanusian, kebebasan , serta kemandirian di dalam masyarakat ( Culla,1999 : 236 – 237 ) Banyak sejarawan percaya l”histoire se repete . Dibawah paradigma ini, kronologi disusun sebagai siklus , yang berputar secara periodik . Namum ,.banyak pula sarjana yang tak percaya siklus ini . Mereka lebih percaya , bahwa rentetan peristiwa sejarah menurut garis linier , yang tak pernah berulang . Apapun kerangka kronologi yang digunakan untuk melihat gerakan mahasiswa pasca turunnya Soeharto , terdapat polapola kesinambungan dan keterputusan yang bisa membenarkan kedua mazhab berpikir tersebut . Pola kesinambungan , misalnya , muncul dalam karakteristik gerakan mahasiswa serupa yang didapati pada pasca –segera Soeharto dan pasca –segera Sidang Umum MPR November 1998 . Pola kesinambungan juga tampak dari regenerasi kepemimpinan kolektif , yang merupakan pewarisan langsung dari generasi “ pemimpin “ yang bergerak pada masa menjelang keruntuhan Soeharto , kepada generasi berikutnya yang mengalami periode aktivitas puncak pada seputar SU-MPR 1998 dan bahkan setelahnya , ketika berlangsung liberalisasi politik . Dalam periode pasca-segera kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 , gerakan mahasiswa mengalami disorientasi . Sebagian mahasiswa langsung menolak “penyerahan “ jabatan kepresidenan dari Soeharto ke Habibie . Sebagian lagi menerima penyerahan tersebut secara bersyarat dan memberi waktu pada bagi Habibie untuk menjalankan proses reformasi . Sebagian lagi langsung mendukung naiknya Habibie ke kursi kepresidenan . Konvergensi ketiga sikap ini justru membuat mahasiswa “kagok “ dan berakibat pada redanya gerakan mahasiswa secara keseluruhan . Mahasiswa disoriented , mengalami disorientasi . Pemerintahan “baru “ yang legitimasinya dipertanyakan terus 46 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda dan menjadi bahan perdebatan , segera mencuri gagasan reformasi . Kabinet dinamakan Kabinet Reformasi , sekalipun sebagian besar kursinya masih diduduki oleh menterimenteri lama yang bertugas pada masa kabinet sebelumnya di bawah Soeharto , dan watak rejimnya pun masih sama. . Sebagian agenda reformasi mahasiswa juga diambilalih oleh pemerintahan Habibie , sejauh agenda tersebut tidak membahayakan kelangsungan rezim – isu “adili Soeharto “, misalnya, adalah “agenda” yang dapat membahayakan rejim . Di dalam proses ini , manipulasi simbol agama (Islam ) yang dilekatkan pada rezim Habibie secara langsung ikut mempengaruhi meredanya gerakan mahasiswa pasca Mei 1998 . Situasi gerakan mahasiswa dengan periode pasca jatuhnya Soeharto muncul kembali pasca SU-MPR bulan November 1998 . Jatuhnya tujuh korban mahasiswa – dari semuanya 15 orang - meninggal akibat tembakan aparat keamanan daripada persitiwa Semanggi hanya memunculkan eskalasi cepat sesaat setelahnya . Namun , berbagai peristiwa politik nasional terutama pernyataan kontra-produktif Deklarasi Ciganjur dan tuduhan maker oleh pemerintah terhadap sejumlah tokoh Barisan Nasional , dengan cepat menggelamkan gerakan mahasiswa . Jika pada aras elite kedua peristiwa tersebut meredam , atau setidaknya mengurangi ruang gerakan gerakan mahasiswa , maka pada aras massa munculnya Pam Swakarsa telah memaksa gerakan mahasiswa untuk menghadi isu-isu horizontal . Forum Kota di Jakarta , yang menjadi ujung tombak demontrasi berskala besar , dituduh komunis , sehingga menyurutkan aktivitas mereka . Sifat ketegangan dan konflik bergeser , bahkan berubah , dari vertikal menjadi horizontal, dari resistensi masyarakat terhadap negara serta sebaliknya , represi negara atas masyarakat – menjadi konflik antar komponen masyarakat . Kisah akhir konflik horixontal dalam periode ini tampak jelas , yaitu kesalahan “pembacaan “ situasi oleh penguasa , terutama aparat keamanan . Pam Swakarsa dilawan justru oleh masyarakat sendiri , yang berusaha melindungi ,mahasiswa aktivis gerakan mahasiswa. Perkembangan situasi politik nasional sejak awal tahun 1999 juga mengalihkan gerakan mahasiswa dari teater utama mereka di jalanan . Berbagai faktor nermain dalam pergeseran ini. Pertama , kerangka hukum baru ditetapkan bagi penangan unjuk rasa melalui UU No. 9 /1998 . Undang-undang ini mempersempit ruang gerak gerakan mahasiswa dan memberikan legitimasi hukum bagi aparat keamanan untuk dapat bertindak keras dan lebih represif , dengan menghindari isu-isu pelanggaran HAM , dibandingkan peluang mereka untuk besikap serupa pada situasi pasca-segera SU-MPR 1998 . Sementara itu , tidak adanya penyelesaian hukum bagi para pelanggar HAM bagi peraku-pelaku penembakan mahasiswa di kampus Universitas Trisakti 12 Mei 1998 dan dalam Tragedi Semanggi Nobember 1998 memberi “pelajaran “ kepada aparat , nahewa mereka tetap bisa melepaskan diri dari jerat hukum jika melakukan tindakan represif serupa. Kasus bentrokan berdarah demontrasi di Jl. Diponogoro , Jakarta Pusat , secara gamblang menunjukkan efektivitas represi tersebut . Kedua, liberalisasi pers telah membuka koridor baru bagi penyaluran kepentingan publik, sehingga gerakan mahasiswa –terutama melalui “teater jalanan “ mereka – tidak akan lagi menjadi satu-satunya sarana penyaluran aspirasi masyarakat . Tumbuhnya pers bebas – hingga dihentikannya pemberian ijin oleh Departemen Penerangan RI pada bulan Juni 47 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda 1999 , sudah dikeluarkan lebih dari 1700 SIUPP bagi penerbitan lama maupun baru – menjadi wacana alternatif bagi penyampaian pendapat secara efektif , selain “ teater jalanan “ atau bentuk-bentuk lain gerakan mahasiswa seperti pers bawah tanah ( pers alternative ) . Penerbitan media alternatif gerakan mahasiswa seperti X-pose , yang sebelumnya sangat efektif sebagai media gerakan mahasiswa , tidak lagi menarik publik politik, termasuk kalangan mahasiswa sendiri . Meraka kini bisa menemukan dan menemukan public discourse secara hampir tidak terbatas di berbagai media massa baru . Sebagian kalangan gerakan mahasiswa bahkan ikut di dalam ruang kesempatan baru ini dengan menerbitkan sendiri media mereka , yang umumnya dilakukan dengan menerapkan konsep penertbitan “jalan tengah “ yang berusaha memadukan prinsipprinsip gerakan dengan komersial . Ketiga, intensitas dan skala besar gerakan mahasiswa sebelumnya , khususnya pada seputar Tragedi Semanggi dan SU-MPR 1998 akhirnya mengantarkan gerakan mahasiswa pada semacam titik jenuh . Suatu situasi yang bagi penganut paradigma siklus sejarah akan memberi pembenaran bagi terulangnya situasi pasca lengsernya Soeharto ; di sini hadir pola kontinuitas siklikal . Kondisi semacam titik jenuh ini juga diperparah oleh berlarutnya krisis ekonomi , yang mengakibatkan banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam bertahan hidup dan kuliah . Ribuan mahasiswa terancam drop-out di UGM misalnya lebih dari 2500 mahasiswa terancam DO karena tidak mampu membayar uang kuliah . Salah satunya karena tekanan ekonomi keluarga , banyak“generasi pertama “ para pemimpin demontran “angkatan 98 “ yang kembali ke bangku kuliah untuk menyelesaikan studi mereka yang telah terbengkalai sejak awal 1998 . Bahkan banyak di antara generasi pemimpin pertama mereka telah mengambil peran di belakang saat terjadinya Tragedi Semanggi November 1998 . Sekalipun terdapat kesadaran penuh bahwa lulus dari perguruan tinggi dalam maasa krisis ekonomi yang belum terlibat ujung penyelesaiannya berarti memasuki rimba lapangan kerja yang semakin menyempit , mereka justru terdesak oleh tekanan ekonomi untuk menyelesaikan studi secepatnya . Lapisan baru pemimpin gerakan mahasiswa – di berbagai perguruan tinmggi lapisan pemimpin ini bahkan sudah sampai generasi ketiga dan keempat – dengan “kikuk “ menerima tongkat estafet kepemimpinan gerakan mahaiswa dari para senioren mereka . Di lapangan , simpul-simpul gerakan mahasiswa di berbagai kampus tidak jarang mengalami perubahan tongkat estafet kepemimpinan setelah setiap 2 – 3 bulan . Tentu saja , koordinator lapangan ( korlap ) dan pegang simpul dari generasi lama yang masih bertahan di kampus koneksitas lainnya terpaksa harus menyesuikan diri langgam lama dengan pemain-pemain yang relatif baru tersebut . Kondisi demikian terutama ditemui pada format gerakan mahasiswa yang memiliki struktur longgar , seperti Forum . Keempat , lebih terbukanya koridor politik melalui liberalisasi pembentukan partai-partai politik dan agenda pemilihan umum beserta rentetan persitiwa dalam agenda resmi pemerintah setelah pemilu , tidak hanya sekedar menggeser , melainkan mengalihkan , perhatian publikasi , sebelumnya gerakan mahasiswa ke format aktivitas politik “resmi“. Segera setelah partai politik bebas dibentuk , tumbuh sekitar 159 parpol baru . Publik pun antusias menyambut , sekalipun akhirnya hanya 48 parpol yang diperbolehkan ikut pemilu . Sebagian kalangan mahasiswa , sebagai bagian yang tak terpisahkan dari 48 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda masyarakat , ikut tersedot ke dalam euphoria politik formal ini . Sebagian lagi, yang jumlahnya semakin mengecil , tetap meneruskan agenda gerakan mahasiswa “lama” , yaitu menuntut pembentukan pemerintahan transisional – di Jakarta , suara yang paling jelas diungkapkan melalui tnututan pembentukan Komite Rakyat Indonesia , atau KRI , oleh Forum Kota – dan penyelenggaran pemilu yang demokratis . Namun , harus diakui bahwa di dalam seluruh perkembangan baru kepolitikan nasional yang secara langsung menyurutkan gerakan mahasiswa ini, sebagain besar mahasiswa masih bersikap menunggu . Fragmentasi isu dan peristiwa dalam kepolitakan “resmi “ , ditambah berbagai persoalan yang menerpa jaringan oragan-organ gerakan mahasiswa telah menyebabkan rapuhnya pertalian antar elemen gerakan mahasiswa. Muncul dan tumbuh organ-organ dan elemen baru dalam jumlah yang hampir-hampir tak terdeteksi . Sebagian aktivis gerakan mahasiswa memisahkan diri dari induk organ atau elemen asal mereka karena perbedaan prinsipal , tetap sebagian besar lagi mengalami proses demikian hanya karena perbedaan yang sama sekali tidak signifikan . Dalam beberapa kasus perpecahan organ dan elemen hanya karena sebab yang sangat sepele , seperti pertentangan unsur pimpinan. Sifat kepeminmpinan kolektif yang diterapkan membawa konsekuensi tingginya indepedensi setiap unsur pimpinan, yang umumnya sendiri dari simpul-simpul kampus .. Tidak seluruh frahmentasi itu bersifat negative . Sebagian organ atau lemen baru , yang merupakan sempalan suatu :”forum “ tetap membangun hubungan dengan elemen induknya . Pola perpecahan Forum Kota (Forkot ) menjadi Famred kadangkala secara disasadari “dirujuk : sebagai pola hubungan yang ideal antar organ baru dan elemen induk , jika terjadi “perpisahan “ . Sebagian kelompok yang memisahkan diri ini mampu menarik aktivis dalam jumlah banyak , dan mereka meneruskan atau mengembangkan ide-ide dasar yang dianut elemen asal. bagian lain , yang dalam jumlah kelompok jauh lebih banyak namun di dalam jumlah “pengikut “ per kelompok umumnya kurang siginifikan , lebih suka untuk mengangkat tema-tema dan ide-ide yang lebih sempit dan spesifik .( Sulistyo , 1999 : 377 – 386 )

49 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Bibliografi Adnan , Ricardi S dan Arvan Paradiansyah . “ Gerakan Mahasiswa Untuk Reformasi ,” dalam Selo Soemadarjan (Ed) 1999. Kisah Perjuangan Reformasi . Jakarta : Sinar Harapan , hlm. 133 – 196 . Anderson , Ben. 1988 . Revolusi Pemuda . Pendudukan Jepang dan Perlawnan di Jawa 1944 – 1946 . Jakarta : Sinar Harapan . Anwar , Yozar .1981 Angkatan 66 . Sebuah Catatan Harian Mahasiswa .Jakarta : Siunar Harapan . Anwar, Yozar . 1981 .Pergolakan Mahasiswa Abab Ke-20. Kisah Perjuangan AnakAnak Muda Pemberang . Jakarta : Sinar Harapan Altbatch,PhilipG (Ed) 1988 Politik dan Mahasiswa .Perspektif dan Kecenderungan Masa Kini . Jakarta : PT Gramedia Budiman , Arief . “ Peranan Mahasiswa sebagai Intelgensia,” Prisma, No. 11 , Tahun V. November 1976 . hlm. 55 – 65 . Culla, Adi Suryadi .1999 Patah Tumbang Hilang Berganti Sketsa Pergolakan Mahasiswa Dalam Politik dan Sejarah Indonesia ( 1908 – 1998 ) Jakarta :RajaGrafindo Persada Dhakidae , Daniel, “ Generasi, Karakter dan Perubahan Sosial-Politik .” Prisma, No. 2 , Tahun IX , Februari 1980, hlm. 3 – 14 . DZ,Abdul Mun”im ,” Gerakan Mahasiswa 1966 di Tengah Pertarungan Politik Elite ,” dalam Muridan S Widjojo 1999. Penakluk Rezim Orde Baru Gerakan Mahasiswa “ 98 . Jakarta : Sinar Harapan .hlm . 17 – 44 . Gayatri , Irene H.” Arah Baru Perlawanan : Gerakan Mahasiswa ,” dalam Muridan S Widjojo . 1999 . Penakluk Rezim Orde Baru . Gerakan Mahasiswa “98 . Jakarta Sinar Harapan . Ingelson, John. 1988 . Jalan Ke Pengasingan . Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927 – 1934 . Jakartta : LP3ES . Ingelson , John . 1993. Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan . Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti . JA, Denny .1984 Mahasiswa Dalam Sorotan . Jakarta : Kelompok Studi Proklamasi. 50 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda

JA , Denny . 1990 . Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an . Jakarta ; Miswar . Leirissa, R.Z 1985. Terwujudnya Susuatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900 . – 1950 . Jakarta : Akademika Pressindo . Magenda , Burhan D :” Gerakan Mahasiswa dan Hubungan dengan Sistem Politik : Suatu Tinjauan ,” Prisma, No. 12 , Tahun VI . Desember 1977 , hlm. 3 – 14 . Martha, Ahmaddani G . 1985 . Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Indonesia . Jakarta . Kurnia Esa . Mangiang , Masmimar ,” Mahasiswa , Ilusi tentang Sebuah Kekuatan ,” Prisma No 12. Tahun X ,Desember 1981, hlm. 96 – 107 . Nagazumi, Akira .1989 . Bangkitnya Nasionalisme Indonesia . Budi Utomo 1908 -1918 Jakarta : Pustaka Utama Grafiti . Onghoham .1983 . Rakyat dan Negara . Jakarta : Sinar Harapan Pabotinggi ,Mochtar .“Strategi Kultur dan Generasi Muda,” Prisma, No 12 . Tahun 1977 Tahun VI , Desember 1977 , hlm. 57 – 69 . Radjab . Suryadi A . , “ Panggung Panggung Mitolpgi dalam Hegemoni Negara . Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru,” Prisma, No. 10 Tahun XX , Oktober 1991 .hlm. 67 – 79 . Sanit , Arbi 1989 Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa . Refleksi dan Gagasan Atlernatif Jakarta : Lingkaran Studi Indonesia . Simbolon , Parakitri Tahi . “ Di Balik Mitos Angkatan 66 ,” Prisma No. 12 , Tahun VI , Desember 1977 , hlm. 48 – 56 . Sjahrir ,” Dilemma Pembangunan dan Kebebasan Mahasiswa : Mahasiswa di Masa Klimaterik ,” Prisma No. 2 , Tahun VII , Maret 1978 , hlm. 31 – 38 . Sjahrir . “ Pilihan Angkatan Muda : Menunda atau Mernolak Kekalahan .” Prisma , Nomor 6, Tahun XVI , Juni 1987 , hlm. 3 – 10 . Sulistyo . Hermawan.” Gerakan Mahasiswa Di Persimpangan Jalan ,” dalam Muridan S Widjojo . 1999 . Penakluk Rezim Orde Baru . Gerakan Mahasiswa “ 98 .Jakarta Sinar Harapan . Wibisono, Christianto .1970 .Aksi-aksi Tritura . Kisah Sebuah Partership . 10 Januari – Maret 1966 . Jakarta : Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Departemen - Keamanan 51 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

Peter Kasenda Widjojo ,Muridan S et al .1999 . Penakluk Rezim Orde Baru . Gerakan Mahasiswa “98 . Jakarta : Sinar Harapan . Makalah revisi ini pernah dipresentasikan pada Latihan Dasar Kepemimpinan FISIP Universitas Bung Karno di Graha Pemuda Cibodas , 26 Oktober 2000 .

52 Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF