Gambar Sampul Uji alat Rekayasa Instrumentasi Geofisika di sumur Ngrayong 06, Cepu
ISSN: 0125 - 9644
Volume 44, No. 3, Desember 2010 LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS (LPL) adalah media untuk mempromosikan kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang minyak dan gas bumi yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Pemimpin Redaksi
: Dra. Yanni Kussuryani, M.Si. (Kimia)
Wakil Pemimpin Redaksi
: Agus Salim, S.H., M.H. (Hukum Ekonomi)
Redaktur Pelaksana
: Drs. Heribertus Joko Kristadi, M.Si. (Geofisika)
Mitra Bestari
: 1. 2. 3. 4. 5.
Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar (Teknik Perminyakan) Prof. Dr. Wahjudi Wisaksono (Energi dan Lingkungan) Prof. Dr. R.P. Koesoemadinata (Teknik Geologi) Ir. E. Jasjfi, M.Sc, APU. (Teknik Kimia) Dr. Ir. M. Kholil, M.Kom. (Manajemen Lingkungan)
Dewan Redaksi
: 1. 2. 3. 4.
Dr. Ir. Noegroho Hadi Hs., APU. (Teknik Kimia) Prof. (R). Dr. Maizar Rahman (Teknik Kimia) Prof. (R). Dr. Suprajitno Munadi (Geofisika) Prof. (R). Dr. E. Suhardono (Kimia Industri)
Redaksi
: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ir. Bambang Wicaksono T.M., M.Sc. (Geologi Perminyakan) Dr. Ir. Ego Syahrial, M.Sc. (Teknik Perminyakan) Prof. (R). M. Udiharto (Biologi) Drs. Mardono, MM. (Teknik Kimia) Dr. Ir. Usman, M.Eng. (Teknik Perminyakan) Abdul Haris, S.Si., M.Si. (Lingkungan dan Kimia) Ir. Yusep K Caryana, M.Sc. (Manajemen dan Teknik Gas)
Sekretaris
: 1. Ngadimun 2. Rasikin
Penerbit
: Bidang Afiliasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Pencetak
: Grafika LEMIGAS
Alamat Redaksi Sub Bidang Informasi dan Publikasi, Bidang Afiliasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230. Tromol Pos : 6022/ KBYB-Jakarta 12120, INDONESIA, STT : No. 119/SK/DITJEN PPG/STT/1976, Telepon : 7394422 - ext. 1222, 1223, 1274, Faks : 62 - 21 - 7246150, E-mail:
[email protected] Majalah Lembaran Publikasi Lemigas (LPL) diterbitkan sejak tahun 1970, 3 kali setahun. Redaksi menerima Naskah Ilmiah tentang hasil-hasil Penelitian, yang erat hubungannya dengan Penelitian Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Publikasi LEMIGAS diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. Penanggung Jawab : Dra. Yanni Kussuryani, M.Si., Redaktur : Agus Salim, S.H., M.H.
i
ISSN: 0125 - 9644
Volume 44, No. 3, Desember 2010 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI LEMBAR SARI DAN ABSTRACT
i iii
POTENSI PERAN KAWASAN JAWA TIMUR/TENGAH DALAM PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI NASIONAL: SEBUAH KAJIAN ATAS KINERJA, PELUANG, TANTANGAN, DAN PROYEKSINYA Oleh: Bambang Widarsono
215 - 226
STUDI PENYEBAB SCALE DI LAPANGAN-LAPANGAN MINYAK SUMATRA Oleh: Akhdan W. Setiaprihadi, Supriyadi dan Dwi Sartati
227 - 245
PENGEMBANGAN SIMULASI DISTRIBUSI REKAHAN PADA RESERVOIR REKAH ALAMI BERDASARKAN DATA PRODUKSI Oleh: Arie Haans dan Usman
246 - 252
PEMECAHAN GELOMBANG-S AKUSTIK SEBAGAI INDIKASI ORIENTASI UMUM REKAHAN PADA RESERVOIR METANA BATUBARA Oleh: Bambang Widarsono
253 - 262
PENGEMBANGAN DAN APLIKASI SIMULATOR RESERVOIR UNTUK SIMULASI PERKOLASI GAS PADA RESERVOIR BERTENAGA DORONG GAS TERLARUT Oleh: Usman
263 - 272
EFEK PAH DALAM MINYAK SOLAR TERHADAP KINERJA DAN EMISI GAS BUANG MESIN DIESEL INJEKSI LANGSUNG Oleh: Djainuddin Semar
273 - 284
ANALISIS KANDUNGAN PARTIKEL PENGOTOR PADA MINYAK LUMAS KENDARAAN oleh: Milda Fibria dan Rona Malam Karina
285 - 290
KAJIAN KELAYAKAN GAS BUMI UNTUK PABRIK PUPUK SKALA KECIL oleh: Paramita Widiastuti dan Aziz Masykur Lubad
291 - 298
KOMPATIBILITAS CAMPURAN MINYAK LUMAS DASAR JENIS MINERAL DENGAN MINYAK NABATI SEBAGAI MINYAK LUMAS DASAR PELUMAS MESIN KENDARAAN BERMOTOR oleh: Rona Malam Karina dan Catur Yuliani R
299 - 306
PROGRAM NASIONAL BIOFUEL DAN REALITASNYA DI INDONESIA oleh: Aziz Masykur Lubad dan Paramita Widiastuti
ii
307 - 318
Terbit : Desember 2010
ISSN : 0125 - 9644
Kata Kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembaran Abstrak ini boleh disalin tanpa izin dan biaya. Bambang Widarsono (Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”) Potensi Peran Kawasan Jawa Timur/Tengah dalam Produksi Minyak dan Gas Bumi Nasional: Sebuah Kajian Atas Kinerja, Peluang, Tantangan, dan Proyeksinya LPL Vol. 44 No. 3, Desember 2010 hal. 215 - 226 SARI Jawa Timur dan Jawa Tengah (bagian timur) adalah salah satu dari beberapa wilayah di Indonesia dengan sejarah eksploitasi yang cukup panjang. Sejak awal dieksploitasi pada awal-awal dasawarsa 1890an kawasan ini memiliki nilai keekonomian yang cukup strategis. Setelah sekian lama nilai strategisnya tertutupi oleh kegiatan eksplorasi dan produksi di wilayah-wilayah lain di Indonesia, dekade 1980-an menandai mulai bangkitnya industri minyak dan gas bumi di Jawa Timur/Tengah dengan penemuan akumulasi gas di kawasan Pagerungan. Penemuan ini kemudian diikuti dengan penemuan-penemuan lain dalam tiga dasawarsa terakhir ini. Tulisan ini menyajikan analisis atas berbagai aspek potensi Jawa Timur/Tengah sebagai kawasan produsen minyak dan gas bumi yaitu sejarah produksi, sejarah perkembangan cadangan, distribusi cadangan, kinerja produksi individual lapangan, komposisi produksi secara keseluruhan, proyeksi produksi, dan tantangantantangan yang harus diatasi. Hasil kajian atas seluruh data dan informasi menunjukkan bahwa kawasan ini dapat meningkatkan kontribusinya terhadap produksi nasional dari masing-masing 5,7% dan 4% untuk minyak dan gas pada saat ini menjadi sekitar 25% pada tahun 2014 untuk minyak dan sekitar 12% pada tahun 2012 untuk gas. Untuk itu ada beberapa kendala semi-teknis dan non-teknis yang harus diatasi yang sampai saat ini belum dapat sepenuhnya diatasi. Beberapa kesimpulan yang penting termasuk masih tingginya potensi produksi kawasan, perlunya
mengakselerasi kegiatan eksplorasi untuk menggantikan cadangan yang telah atau akan segera diproduksikan, dan perlu dicermatinya pengelolaan eksploitasi gas yang lebih dari separuh cadangannya adalah gas dari tipe associated dan sebagian besar berada pada lokasi-lokasi di lepas pantai. Kata kunci: Jawa Timur/Tengah, potensi produksi, kinerja produksi, tantangan dan kendala, proyeksi produksi, peningkatan kontribusi pada produksi nasional ABSTRACT East and Central Java provinces are ones of Indonesian territories that have undergone very long history of petroleum production. As early as 1890’s the region had played a strategic economics role. After the region’s eclipse among other regions’ production contributions the decade of 1980s had marked the region’s significance with the discovery of Pagerungan productive region. This discovery was followed with other significant gas discoveries in the last recent three decades. This article presents an analysis on the region’s various potential aspects including production history, development of reserves, reserves distribution, production performance of individual field, production composition in general, production forecast, and challenges that have to be dealt with. Overall analysis has shown that this region can lift its contribution to national production from 5.7% and 4% for oil and gas, respectively, to 25% in 2014 for oil and around 12% in 2012 for gas. In order to achieve these goals there are several semi-technical and non-technical constraints that have not been solved so far. Some important conclusions include the high potential still shown by the region, the need to accelerate exploration to replace existing reserves, and the need to pay attention on gas production management, which re-
iii
serves are of associated type and most of them are located in offshore locations. Author Key words: East/Central Java, potential production, production performance, challenges and constraints, production projection, improvement on contribution to national production
Akhdan W Setiaprihadi1), Supriyadi2) dan Dwi Sartati Dewayanti3) (Peneliti Pertama1), Perekayasa Muda2), Pengkaji Teknologi3) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”) Studi Penyebab Scale di Lapangan-lapangan Minyak Sumatra LPL Vol. 44 No. 3, Desember 2010 hal. 227 - 245 SARI Scale merupakan problem yang banyak dijumpai sebagai salah satu penyebab beberapa masalah dalam produksi migas di Indonesia karena dapat menyebabkan: kerusakan formasi, penyumbatan pada tubing, lubang sumur atau lubang perforasi, dan penyumbatan pada pipa salur. Untuk itu dilakukan kajian penyebab terjadinya scale, teknik pencegahan dan penanganan scale pada lapangan migas yang mempunyai tendensi terbentuknya scale di kawasan P. Sumatra dengan menggunakan metodologi sebagai berikut: Survei dan pengambilan percontoh, Analisis kimia, Analisis Tendensi dan Evaluasi pemakaian scale inhibitor dan penanganan scale yang sudah terbentuk. Pendekatan dari studi meliputi pengumpulan data, sampling, pengujian laboratorium, dan tinjauan referensi. Sampling dilakukan di daerah Sumatra Selatan, termasuk pengambilan percontoh dari inhibitor yang digunakan. Analisis kimia dilakukan untuk memprediksi terjadinya scale. Uji laboratorium dilakukan untuk menguji efektivitas penggunaan scale inhibitor. Studi literatur dilakukan untuk mengumpulkan metode penanganan dalam mengatasi scale. Studi ini diharapkan untuk membantu perusahaan operator minyak dan gas di daerah Sumatra dan Pemerintah Indonesia dalam menangani masalah scale dengan memilih scale inhibitor yang efektif dan sesuai dengan karakteristik scale di Sumatra.
iv
ABSTRACT Scale is one of production problem encounter in Indonesia, resulting in formation damage, wellbore, tubing and perforation blockage, and flowline plugging. To overcome the problem, a study has been conducted to analyze the cause of scale formation, scale prevention, and remedial. The approach of the study includes data collection, sampling, laboratory testing, and references review. Sampling was conducted in South Sumatra Region, including inhibitor collection. Chemical analyses were conducted to predict scaling tendencies and laboratory test was conducted to evaluate the effectiveness of the scale inhibitor. Literature study was conducted to collect the remedial method for scale remedial. This study is expected to help oil and gas operator in Sumatra region to overcome the scale problem, and assist the Government of Indonesia to choose the effective scale inhibitor that suitable with the characteristics of the scale in Sumatra. Author Key words: Scale; Lapangan minyak Sumatera; Analisa Air; Tendensi; Scale Inhibitor.
Arie Haans1) dan Usman2) (Calon Peneliti1), Peneliti Muda2) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”) Pengembangan Simulasi Distribusi Rekahan pada Reservoir Rekah Alami Berdasarkan Data Produksi LPL Vol. 44 No. 3, Desember 2010 hal. 246 - 252 SARI Reservoir rekah alami umumnya dicirikan oleh karakteristik double-porosity di mana primary porosity merepresentasikan porositas matriks dan secondary porosity merepresentasikan porositas rekahan. Pada double-porosity model diasumsikan terdapat dua region dengan porositas dan permeabilitas yang berbeda dalam suatu formasi. Warren dan Root memperkenalkan dua karakteristik parameter yang mengontrol perilaku suatu sistem double-porosity. Kedua parameter tersebut adalah interporosity flow
coeficient (λ) menggambarkan kemampuan fluida mengalir dari primary porosity ke secondary porosity dan storativity (ω) menggambarkan rasio kapasitas simpan secondary prosity terhadap total pori. Kedua karakteristik rekahan tersebut selama ini diperoleh dari data tes sumuran. Pada makalah ini penulis mengembangkan suatu metode penentuan karakteristik rekahan berdasarkan data produksi dengan menggunakan metode central difference dan trapezoid-second derivative. Metode geostatistik digunakan dalam menyebarkan krakteristik rekahan tersebut. Data produksi yang digunakan adalah data laju alir dan atau data water cut. Reservoir rekah alami ditandai dengan laju produksi periode awal yang tinggi, kemudian turun secara cepat dengan slope data yang curam. Periode penurunan ini merepresentasikan kontribusi parameter λ. Hasil yang diperoleh dari metode ini perlu dikorelasikan dengan hasil dari uji sumur. Kata Kunci : reservoir rekah, lambda, omega, double-porosity, geostatistik, distribusi rekahan.
this methode should be correlated with the results derived from well test. Author Keywords : geostatistic, carbonate reservoir, fracture distribution, dual porosity
Bambang Widarsono (Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”) Pemecahan Gelombang-S Akustik Sebagai Indikasi Orientasi Umum Rekahan pada Reservoir Gas Metana Batubara LPL Vol. 44 No. 3, Desember 2010 hal. 253 - 262 SARI
Rekahan muka (face cleat) pada batubara memainkan peran yang sangat penting dalam produksi gas metana batubara (GMB). Informasi atas orientasi dari rekahan-rekahan tersebut memiliki arti yang sangat penting dalam penempatan sumur produksi dan ABSTRACT perekahan hidraulik dalam rangka pemaksimalan Naturally fractured reservoirs are typically produksi GMB. Pemecahan gelombang-S akustik characterized by a double-porosity behavior in (PGSA) diketahui sebagai fenomena yang terjadi pada which a primary porosity that represents the ma- saat gelombang-S menemui seperangkat rekahan trix and a secondary porosity that represents the dalam bentuk terpecahnya gelombang tersebut fracture system. The double-porosity model as- menjadi dua gelombang-S yang berpropagasi dengan sumes two porous regions of distinctly different kecepatan yang berbeda. Penjajagan atas perangkat porosities and permeabilities within the formation. uji akustik laboratorium yang digunakan dalam studi Warrant and Root indicated that the two charac- ini ternyata memungkinkan untuk diamatinya teristic parameters control the behavior of double- fenomena ini. Dengan menggunakan tiga percontoh porosity systems. There are interporosity flow co- batubara yang diambil dari sebuah sumur produksi efficient (λ) which describes the ability of the fluid berhasil ditentukan orientasi dari rekahan-rekahan to flow from the matrix into the fracture and the muka pada interior dari percontoh-percontoh tersebut. storativity (ω) which describes the storativity of Hasil-hasil lain yang diperoleh dari studi ini adalah the fracture as a ratio to the total reservoir. kesimpulan berupa bukti nyata terjadinya fenomena Both characteristic parameters are usually PGSA pada batubara, kurang baiknya signal derived from the well test data. In this paper, the gelombang-S pada batubara sehingga membutuhkan authors developed a method to describe the frac- kecermatan dalam analisis, dan bergunanya metode ture characteristic based on production data us- ini untuk batubara yang memiliki rekahan halus dan ing the central difference method and the trap- tidak terdeteksi secara visual. Kelebihan yang dimiliki ezoid-second derivatives. Geostatistic method ap- metode ini dapat melengkapi metode-metode yang plied to distribute the obtained fracture charac- sudah ada bagi pendeskripsian reservoir GMB. teristic. The flow rate data and or the water cut Kata kunci: gas metan batubara, rekahan muka data were used. Naturally fractured reservoir char(face cleat) batubara, orientasi, pemecahan acterized by initial high production, then declines gelombang-S akustik, uji laboratorium, optimasi very quickly. This decline period suggests the conproduksi. tribution of λ parameter. The results obtained by
v
ABSTRACT Face cleats in coal play a very important role in coal bed methane (CBM) production. Information over the cleats’ orientation is regarded as very useful for supporting effectve well emplacement and success of the well’s subsequent hydraulic fracuring implementation. Shear wave (S-wave) splitting is known as a phenomenon occurs when a single S-wave is split into two Swaves travelling at different velocities when it encounters a set of oriented cracks. Investigation over a set of laboratory acoustic equipment has proved that this S-wave splitting phenomenon indeed occurs and it can be used to determine crack orientation of a tested sample. Tests over three deep coal samples taken from a vertical production well have clearly resulted in orientation of the face cleats in the samples’ interior. Other results from the study are proof of the occurrence of S-wave splitting in coal, low quality S-wave signals due to energy attenuation that requires careful observation and analysis, and evidence of the usefulness of this technique for coals having very fine and virtually invisible cracks. The advantages shown by this technique make it useful as a supporting source of information to the existing/traditional coal bed methane reservoir description tools. Author Keywords: coal bed methane, face cleats, orientation, acoustic S-wave splitting, laboratory test, production optimization
Usman (Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”) Pengembangan dan Aplikasi Simulator Reservoir untuk Simulasi Perkolasi Gas pada Reservoir Bertenaga Dorong Gas Terlarut LPL Vol. 44 No. 3, Desember 2010 hal. 263 - 272 SARI Pada tahap awal deplesi reservoir akan terjadi penurunan tekanan di bagian bawah kolom minyak secara progresf hingga lebih rendah dari tekanan titik didih. Jika produksi terus berlanjut akan menghasilkan evolusi gas terlarut sepanjang kolom minyak. Gas ini kemudian menerobos menuju bagian atas reservoir karena perbedaan densitas minyak dan gas. Fenomena ini dikenal sebagai perkolasi gas. Dengan viskositas gas yang rendah, laju alir perkolasi gas ini ke kolom atas akan menjadi sangat besar. Perkolasi gas pada finite difference simulasi reservoir bertenaga dorong gas terlarut dengan sejumlah grid arah vertikal dapat menyebabkan hasil perhitungan numerik saturasi gas negatif diakhir time step. Hal ini disebabkan karena gas yang keluar dari grid tersebut lebih besar dari akumulasi gas yang ada dalam grid. Dalam penelitian ini telah dikembangkan simulator reservoir untuk simulasi perkolasi gas pada reservoir bertenaga dorong gas terlarut. Validasi simulator yang dikembangkan dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi reservoir homogen dua fasa minyak dan gas pada sistem tiga dimensi. Stabilitas numerik simulator yang dikembangkan telah diuji dengan melakukan beberapa simulasi untuk investigasi pengaruh laju aliran produksi minyak terhadap perbandingan produksi gas dan minyak. Kata kunci: simulator reservoir, finite difference, perkolasi gas, tenaga dorong gas terlarut ABSTRACT During the early stage of reservoir depletion, pressure falls below bubble point in progressively lower regions of the oil column. Continuing production results in evolution of dissolved gas throughout the oil column. This gas then percolates upwards toward the top of the reservoir due to the difference in oil and gas densities. Since the gas viscosity is low, the upward flow rate of gas is often high enough. The gas percolation problem in
vi
finite difference simulation of solution gas drive reservoirs with a number of grids in the vertical direction results numerically calculated negative gas saturation at the end of the time step. This is caused by the fact that more gas may flow out of the grid than actually accumulated in that grid. A reservoir simulator for gas percolation problem occurs in simulation of solution gas drive reservoirs was developed in this research. The developed simulator is validated by comparing the simulation results of three-dimensional, two-phase oil and gas flows in homogeneous reservoir. Numerical stability of developed simulator was tested through simulation runs to investigate the effect of oil production rate on the gas oil ratio Author Key words: reservoir simulator, finite difference, gas percolation, solution gas drive
Djainuddin Semar (Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”) Efek PAH dalam Minyak Solar terhadap Kinerja dan Emisi Gas Buang Mesin Diesel Injeksi Langsung LPL Vol. 44 No. 3, Desember 2010 hal. 273 - 284
ABSTRACT Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) in Indonesia diesel fuels 48 CN (Solar48) should be restricted due to its influencies to the engine performance and emission of nitrogen oxide and opacity. According to specification of diesel fuels in Japan (JIS K 2204), India (SIAM) and Europe (EURO), maximum PAH content is 11% volume. The study was conducted by using three kinds of diesel fuels such as MS-0, MS-1 and MS-2 with each has a different PAH content. Those three samples is tested for their physicall- chemical characteristics on multicylinder test bench. Effect of several volume varieties of PAH content in diesel fuel againts physical chemical test result and engine performance test result will be discussed in this paper. Author Keyword: PAH content, diesel fuel, performance.
Milda Fibria 1), Rona Malam Karina 2) (Peneliti Pertama1), Peneliti Madya2) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”) Analisis Kandungan Partikel Pengotor pada Minyak Lumas Kendaraan LPL Vol. 44 No. 3, Desember 2010 hal. 285 - 290 SARI Kandungan hidrokarbon poliaromatik (PAH) S A R I dalam minyak Solar 48 Indonsia harus dibatasi, karena Dalam penelitian ini dilakukan pengujian terhadap PAH bersifat karsinogen dan berpengaruh terhadap minyak lumas kendaraan yang beredar di pasaran kinerja mesin dan kadar emisi gas buang (nitrogen untuk melihat tingkat kebersihan minyak lumas di Inoksida dan opasitas). Spesifikasi bahan bakar diesel donesia. Pengujian karakteristik fisika–kimia pelumas Jepang (JIS K 2204), India (SIAM), Eropa (EURO) dilakukan dengan menggunakan alat uji Contaminamasing-masing menetapkan batasan kandungan PAH tion Control System (CCS2) dengan mengacu pada spesifikasi ISO 4406. Hasilnya adalah bahwa dari maksimum 11 % volume. Penelitian dilaksanakan mengunakan tiga formula beberapa sampel pelumas yang diuji terdapat pelumas minyak solar masing-masing diberi kode MS-0, MS-1, dengan kandungan pertikel kontaminasi berukuran MS-2 dan komposisi kandungan PAH setiap percontoh 4μm sampai dengan 37μm dengan jumlah yang melebihi batas maksimum spesifikasi. Kandungan diatur bervariasi. partikel dalam jumlah berlebih dapat menyebabkan Pengaruh beberapa variasi kandungan PAH dalam berkurangnya kinerja mesin kendaraan. Oleh sebab minyak solar terhadap sifat-sifat fisika kimia dan kinerja itu diharapkan indusri pelumas harus lebih mesin akan diuraikan dalam makalah ini. memperhatikan aspek kebersihan pelumasnya. Kata kunci: Kandungan PAH, mesin diesel, kinerja Kata kunci : pelumas, kontaminasi, partikel, kebersihan. vii
ABSTRACT In this research, several new brands of lubrication oil have been tested to obtain a figure about the cleanliness of lubricant oils in Indonesia. The test was conducted by examining the physicallchemical characteristics of the oils using CCS2 instrument with ISO 4406 as the reference. The result of this research showed that in 100 ml lubricant oil, contaminants with the size between 4 μm and 37 μm are found and their number exceeds 100,000 particles above the maximum limit. This shows that the lubricant oil industry in Indonesia has not pay adequate attention to the cleanliness of its products. Therefore, necessary governmental policy regarding the standards related to this issue must be established. Auhthor Keywords: lube oil, contaminations, particle, cleanliness.
Paramita Widiastuti1) dan Aziz Masykur Lubad1) (Peneliti Pertama 1) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”) Kajian Kelayakan Gas Suar Bakar untuk Pabrik Pupuk Skala Kecil LPL Vol. 44 No. 3, Desember 2010 hal. 291 - 298 SARI Volume gas suar bakar di Indonesia masih cukup besar, yakni sekitar 310,7 MMSCFD atau sekitar 3,9% dari total utilisasi gas Indonesia (status 2008). Gas suar bakar merupakan gas buangan dari hasil operasi normal kilang, petrokimia, dan fasilitas operasi lainnya yang disalurkan untuk dibakar. Pembakaran gas sisa ini merupakan pemborosan energi dan meningkatkan CO2 di atmosfer. Pemanfaatan gas suar bakar ini seringkali terkendala oleh volume gas yang relatif kecil dan menyebar serta jauh dari infrastruktur pipa transmisi atau distribusi. Dengan adanya kendala-kendala tersebut maka opsi-opsi lain untuk pemanfaatan gas suar bakar masih sangat diperlukan. Gas suar bakar dan gas dari lapangan marjinal dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pabrik pupuk.
viii
Pada kajian ini dilakukan kajian kelayakan gas bumi skala kecil untuk pabrik pupuk skala kecil. Metodologi dari studi ini antara lain adalah survei lapangan dan evaluasi data, studi literatur, pemilihan teknologi, rancangan diagram alir proses dan perhitungan keekonomian. Rancangan kapasitas untuk pabrik pupuk dapat dibagi menjadi skala kecil, medium atau besar. Pada kajian ini, pabrik pupuk didesain sebagai pabrik pupuk skala kecil dengan kapasitas gas umpan sebesar 3,58,5 MMSCFD. Pembuatan pupuk urea dapat dibagi menjadi unit amonia dan unit urea. Simulasi proses pabrik pupuk skala kecil ini dibuat dengan pendekatan pada sistem pembuatan amonia dan urea secara konvensional. Berdasarkan hasil simulasi untuk kapasitas gas 5 MMSCFD, unit amonia memproduksi 223 ton amonia/hari dan unit urea menghasilkan 380 ton urea/ hari. Perhitungan keekonomian dilakukan pada empat skenario gas umpan antara 3,5-8,5 MMSCFD dan harga urea 380 US$/ton. Asumsi yang digunakan adalah debt-equity ratio 30% discount rate 11% dengan daya beli gas umpan sebesar US$1-US$3/ MMBTU. Pengembangan pabrik pupuk skala kecil cukup layak dikembangkan pada skenario tertentu, yakni skenario dengan laju alir gas di atas 6,5 MMSCFD, memberikan nilai IRR masih di atas nilai bunga bank yakni 11% dan nilai NPV dari pembangunan ini positif. Kata Kunci: pabrik pupuk, skala kecil ABSTRACT The volume of flare gas in Indonesia is still quite large, that is 310.7 MMSCFD or about 3.9% from the Indonesian total gas utilization. Flare gas is waste gas resulted from normal operation in refineries, petrochemical plant, and others operating facilities that is flown to the flare system. Gas flaring is wasting energy and increasing CO2 to the atmosphere. Flare gas utilization is obstacled by the gas volume which is relatively small and its location are spread and far from the transmission pipe infrastructure or distribution. One of the options to use flare gas is still needed. Flare gas and gas from marginal fields would be as raw material for fertilizer plant.
The objective of this study is to review small scale natural gas utilization for small scale fertilizer plant. The methodology of this study is field survey and data evaluation, literature study, technology review, review of ammonia and urea process, process simulation, and pra-feasibility study which include the economic calculation. In this study, small scale fertilizer plant is designed with 5 MMSCFD feed gas. The process to make urea fertilizer can be divided into ammonia and urea units. Based on simulation result using conventional process design, the fertilizer plant in this study produces 223 ton/day ammonia and 380 ton/day urea. Economic calculation has been carried out to develop four scenario of 3.5-8.5MMSCFD feed gas capacity with assumption of gas umpan willingness to pay around US$ 1 to US$ 3/MMBTU. The development of small scale fertilizer plant is feasible in the scenario above 6.5 MMSCFD feed gas capacity resulting in IRR above bank interest of 11% and positive NPV. Author Key words: fertilizer plant, small scale
sintetik dan minyak lumas dasar mineral diharapkan dapat meningkatkan kualitas minyak lumas dasar, di mana karakteristik minyak lumas dasar mineral telah diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan dengan cara mencampur minyak lumas dasar sintetik dan minyak lumas dasar mineral dengan minyak nabati agar kualitas minyak lumas dasar campuran dapat meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompatibilitas melalui uji karakteristik fisika-kimia dan uji semi unjuk kerja dari campuran minyak nabati hasil sintesis dan minyak lumas dasar mineral. Penelitian ini menggunakan tiga macam minyak lumas dasar, yaitu dua minyak lumas dasar mineral jenis high viscosity index dan satu minyak lumas dasar sintetik. Pecampuran dilakukan berdasarkan perbandingan % (w/w) minyak nabati hasil sintesis terhadap minyak mineral. Konsentrasi minyak nabati hasil sintesis yang dibuat pada percobaan ini, yaitu 0%, 4%, 8%, 12%, serta 15%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampuran minyak nabati hasil sintesis ke dalam base oil jenis mineral dapat memperbaiki 3 karakteristik base oil mineral tersebut , yaitu total acid number (TAN) , indeks viskositas, dan ketahanan terhadap keausan. Namun dilihat dari kelarutan, kedua campuran antara minyak nabati dan minyak mineral tidak dapat larut dengan baik karena perbedaan kepolarannya. Oleh karena itu, untuk menghasilkan kompatibilitas yang sempurna sehingga perlu ditambahkan aditif emusifier. Kata kunci : kompatibilitas, minyak nabati, tersintesa, minyak lumas dasar, minyak lumas kendaraan
Rona Malam Karina1), Catur Yuliani R.2) (Peneliti Muda1), Peneliti Pertama2) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”) Kompatibilitas Campuran Minyak Lumas Dasar Jenis Mineral dengan Minyak Nabati sebagai Minyak Lumas Dasar Pelumas Mesin Kendaraan Bermotor ABSTRACT LPL Vol. 44 No. 3, Desember 2010 hal. 299 - 306 Lube oil plays a very important role in autoSARI motive industries. The demand of lube oil is inMinyak lumas sangat berperan dalam dunia industri creasing in consumption rate and technical speciautomotif. Saat ini kebutuhan akan minyak lumas fication along with the improvement number of meningkat dalam tingkat konsumsi maupun persyaratan lube oil user and engine requirement. Castor oil teknis seiring dengan meningkatnya jumlah pemakai derived from Ricinus communis is an alternative minyak lumas dan persyaratan yang dibutuhkan oleh to replace mineral base oil because of its lubrimesin kendaraan bermotor. Minyak jarak yang cant characteristics and biodegradability. An imdiperoleh dari Ricinus communis telah lama digunakan provement on quality of mineral base oils is exsebagai bahan pengganti minyak lumas dasar mineral pected if it is mixed with synthesized castor oil, karena minyak jarak memiliki karakteristik (termasuk which has been recognized having better charbiodegradasi) sangat baik dibanding minyak lumas dasar acteristics than mineral base oil. Hence, a relain. Pencampuran minyak jarak dengan minyak lumas search was conducted to mixed synthesized cas-
ix
tor and mineral base oil at improving quality of lubricant base oil. This research was aimed at recognizing the compatibility by physicochemical characteristics, and semi-performance characteristics of synthesized castor and mineral base oil mixture. Three kinds of mineral base oils used in this research, those were two types of High Viscosity Index mineral base oil and a type of synthetic mineral base oil. The mixture were in % (w/w) synthesized castor oil in mineral base. There were 5 combinations of percentage in this study i.e. 0%, 4%, 8%, 12% and 15%. The results showed that synthesized castor oil increment in mineral base oil improved 3 characteristics of mineral base oil i.e., total acid number(TAN), viscosity index and wear prevention characteristics, however mixing step showed that synthesized castor oil could not be completely mixed with mineral base oil because of their difference in polarity. Therefore, in order to get the perfect compatibility, emulsifier additive which can resist separation, need to be added to the mixture. Author Keywords : compatibility, synthesized castor oil, base oil, engine oil. Aziz Masykur Lubad1) dan Paramita Widiastuti1) (Peneliti Pertama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”) Program Nasional Biofuel dan Realitasnya di Indonesia LPL Vol. 44 No. 3, Desember 2010 hal. 307 - 318 SARI Hingga saat ini, Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar berbasis fosil sebagai sumber energi. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sisa cadangan minyak mentah Indonesia hanya sekitar 9 miliar barrel. Jika dengan laju produksi rata-rata 500 juta barrel per tahun dan tidak ditemukan sumber minyak baru, cadangan tersebut akan habis dalam waktu 18 tahun. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dan memenuhi persyaratan lingkungan global, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan
x
pengembangan bahan bakar alternatif ramah lingkungan yaitu biofuel atau bahan bakar nabati (BBN). Pemilihan BBN sebagai bahan bakar alternatif berbasis pada ketersediaan bahan baku. Melalui Kebijakan Energi Nasional, komposisi BBN dalam Energy Mix Nasional ditargetkan mencapai 5% pada tahun 2025 sedangkan melalui Roadmap pengembangan BBN, komposisi BBN dan bahan bakar fosil ditargetkan mencapai 15 persen berbanding 85 persen antara tahun 2009-2010. Untuk mencapai target tersebut, kebutuhan nasional untuk BBN sedikitnya 18 miliar liter per tahun. Akan tetapi keterbatasan bahan baku menjadi kendala utama karena harus berbagi dengan berbagai industri lain. Kata Kunci: Energi, Bahan Bakar Nabati, Kebijakan, Roadmap, Kendala ABSTRACT Until today, Indonesia still highly depends on fossil fuel as energy source. Based on data from Energy and Mineral Resources Ministry, Indonesia remaining oil reserve is only 9 billion barrel. If new oil reserve is not discovered and the average production rate is 500 million barrel/year, then the remaining reserve will end in 18 years. Therefore, The government has produced a policy of environmental friendly alternative fuel development to reduce the dependency toward oil and fulfill requirement of global environment. The choice of biofuel as alternative fuel is based on raw material supply. Biofuel composition in National Energy Mix is targeted to reach 25% in year 2025 through Kebijakan Energi Nasional (KEN) or National Energy Policy. Whereas, biofuel composition is targeted 15% compared to fossil fuel target which is 85% between year 2009-2010, through Biofuel Development Roadmap. On the contrary, supply limitation become main obstacle because it has to share with other industries. Author Key words: Energy, Biofuel, Policy, Roadmap, Obstacle
POTENSI PERAN KAWASAN JAWA TIMUR/TENGAH BAMBANG WIDARSONO
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 215 - 226
Potensi Peran Kawasan Jawa Timur/Tengah dalam Produksi Minyak dan Gas Bumi Nasional: Sebuah Kajian Atas Kinerja, Peluang, Tantangan, dan Proyeksinya Oleh: Bambang Widarsono Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150 Teregistrasi I Tanggal 15 Juli 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal 11 Agustus 2010 Disetujui terbit tanggal: 31 Desember 2010
SARI Jawa Timur dan Jawa Tengah (bagian timur) adalah salah satu dari beberapa wilayah di Indonesia dengan sejarah eksploitasi yang cukup panjang. Sejak awal dieksploitasi pada awalawal dasawarsa 1890-an kawasan ini memiliki nilai keekonomian yang cukup strategis. Setelah sekian lama nilai strategisnya tertutupi oleh kegiatan eksplorasi dan produksi di wilayah-wilayah lain di Indonesia, dekade 1980-an menandai mulai bangkitnya industri minyak dan gas bumi di Jawa Timur/Tengah dengan penemuan akumulasi gas di kawasan Pagerungan. Penemuan ini kemudian diikuti dengan penemuan-penemuan lain dalam tiga dasawarsa terakhir ini. Tulisan ini menyajikan analisis atas berbagai aspek potensi Jawa Timur/Tengah sebagai kawasan produsen minyak dan gas bumi yaitu sejarah produksi, sejarah perkembangan cadangan, distribusi cadangan, kinerja produksi individual lapangan, komposisi produksi secara keseluruhan, proyeksi produksi, dan tantangan-tantangan yang harus diatasi. Hasil kajian atas seluruh data dan informasi menunjukkan bahwa kawasan ini dapat meningkatkan kontribusinya terhadap produksi nasional dari masing-masing 5,7% dan 4% untuk minyak dan gas pada saat ini menjadi sekitar 25% pada tahun 2014 untuk minyak dan sekitar 12% pada tahun 2012 untuk gas. Untuk itu ada beberapa kendala semi-teknis dan non-teknis yang harus diatasi yang sampai saat ini belum dapat sepenuhnya diatasi. Beberapa kesimpulan yang penting termasuk masih tingginya potensi produksi kawasan, perlunya mengakselerasi kegiatan eksplorasi untuk menggantikan cadangan yang telah atau akan segera diproduksikan, dan perlu dicermatinya pengelolaan eksploitasi gas yang lebih dari separuh cadangannya adalah gas dari tipe associated dan sebagian besar berada pada lokasi-lokasi di lepas pantai. Kata kunci: Jawa Timur/Tengah, potensi produksi, kinerja produksi, tantangan dan kendala, proyeksi produksi, peningkatan kontribusi pada produksi nasional ABSTRACT East and Central Java provinces are ones of Indonesian territories that have undergone very long history of petroleum production. As early as 1890’s the region had played a strategic economics role. After the region’s eclipse among other regions’ production contributions the decade of 1980s had marked the region’s significance with the discovery of Pagerungan productive region. This discovery was followed with other significant gas discoveries in the last recent three decades. This article presents an analysis on the region’s various potential aspects including production history, development of reserves, reserves distribution, production performance of individual field, production composition in general, production forecast, and challenges that have to be dealt with. Overall analysis has 215
POTENSI PERAN KAWASAN JAWA TIMUR/TENGAH BAMBANG WIDARSONO
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 215 - 226
shown that this region can lift its contribution to national production from 5.7% and 4% for oil and gas, respectively, to 25% in 2014 for oil and around 12% in 2012 for gas. In order to achieve these goals there are several semi-technical and non-technical constraints that have not been solved so far. Some important conclusions include the high potential still shown by the region, the need to accelerate exploration to replace existing reserves, and the need to pay attention on gas production management, which reserves are of associated type and most of them are located in offshore locations. Key words: East/Central Java, potential production, production performance, challenges and constraints, production projection, improvement on contribution to national production I. PENDAHULUAN Dekade pertama pada abad ke 21 ini menyaksikan turunnya produksi minyak (+ kondensat) secara hiperbolik (laju penurunan 8 – 12% per tahun), dari rata-rata sekitar 1.540 ribu BOPD (barrels oil per day) pada tahun 1999 menjadi rata-rata sekitar 952 ribu BOPD pada tahun 2009 (Gambar 1). Berbeda dengan cukup kontras, produksi gas bumi menunjukkan kecenderungan untuk lebih stabil dan dapat mempertahankan laju produksi yang dibutuhkan pada tingkat rata-rata per tahun sekitar 7.800 MMSCFD (million standard cubic-feet per day) (Gambar 2) (Widarsono, 2007; KESDM, 2010). Penurunan produksi minyak secara nasional ini berbarengan dengan menurunnya produksi pada lapangan-lapangan besar seperti Minas, Widuri, dan Arjuna yang memang telah mencapai tahap mature dalam sejarah produksinya. Sesuai dengan penurunan produksi minyak yang dapat dinilai sebagai secara hiperbolik tersebut, periode 2-3 tahun terakhir ini ditandai dengan melandainya penurunan sehingga hanya sekitar 3% per tahun. Situasi yang membaik ini ditambah dengan tingkat produksi yang cenderung naik pada bulan-bulan pertama tahun 2010 (produksi minyak dan kondensat rata-rata sepanjang kuartal pertama 2010 adalah 957 ribu BOPD dan mencapai 970 ribu BOPD pada Mei 2010) (BPMIGAS, 2010) tidak lepas dari peran Jawa Timur sebagai daerah yang pada beberapa tahun terakhir ini menunjukkan potensi produksi yang semakin baik.
Gambar 1 Produksi minyak bumi dan kondensat nasional periode 1998-2009 (sumber data: KESDM, 2010)
II. SEJARAH SINGKAT PRODUKSI CEKUNGAN SEDIMEN JAWA TIMUR Lapangan-lapangan produktif di Jawa Timur – dan bagian timur propinsi Jawa Tengah – secara keseluruhan terletak pada cekungan-cekungan sedimen Jawa Timur Utara (JTU) dan Jawa Timur Utara Offshore (JTUO). Gambar 3 memperlihatkan
216
Gambar 2 Produksi gas bumi nasional periode 1998-2009 (sumber data: KESDM, 2010)
POTENSI PERAN KAWASAN JAWA TIMUR/TENGAH BAMBANG WIDARSONO
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 215 - 226
Gambar 3 Lokasi dan cakupan cekungan sedimen Jawa Timur (area gelap)
cakupan secara aproksimasi dari kedua cekungan Jawa Timur tersebut. Eksploitasi minyak bumi sudah dimulai pada akhir abad 19 di kawasan Blora-CepuBojonegoro dan lapangan-lapangan tua di kawasan tersebut seperti Ledok, Wonocolo, Kawengan, dan Nglobo masih tetap berproduksi sampai sekarang. Sejarah eksploitasi tersebut dimulai dengan pengeboran sumur pertama di Ledok oleh De Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM), yang di kemudian hari berubah menjadi De Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), di Ledok pada tahun 1893. Gambar 4 menunjukkan semburan minyak pada sumur tersebut setelah pemasangan kepala sumur. Dekade-dekade selanjutnya ditandai dengan pengembangan lapangan-lapangan di kawasan itu hingga mencapai tingkat eksploitasi bernilai ekonomi cukup tinggi sepanjang era-era penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan, dan Indonesia merdeka. Dekade 1980-an dan 1990-an adalah dimulainya suatu era baru yang ditandai dengan adanya penemuan-penemuan di cekungan JTU/JTUO lepas pantai utara, timur (kawasan Pagerungan), dan selatan pulau Madura yang kemudian berkontribusi terhadap pasokan gas kebutuhan industri dan pembangkitan listrik Jawa Timur. Pertengahan 1990-an merupakan saat mulai berproduksinya lapangan-lapangan KE di blok Madura Barat, sedangkan akhir dekade 1990an dan awal dekade pertama pada abad ke-21 menjadi
Gambar 4 Sumur minyak pertama di Ledok yang dibor pada tahun 1893 oleh DPM (sumber: \\www.pemkabblora.go.id)
saksi penemuan-penemuan yang relatif besar, antara lain lapangan Mudi, Sukowati, dan Banyu Urip. Mudi sudah mulai produksi pada 1998, Sukowati pada 2007, dan Banyu Urip secara terbatas pada 2009. Gambar 5 menyajikan situasi terakhir (2010) eksploitasi minyak 217
POTENSI PERAN KAWASAN JAWA TIMUR/TENGAH BAMBANG WIDARSONO
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 215 - 226
Gambar 5 Jawa Timur dan gambaran situasi terakhir (2010) eksploitasi minyak dan gas bumi
dan gas (migas) di Jawa Timur, serta lapanganlapangan utama yang dapat berkontribusi pada peningkatan produksi. III. SEJARAH PRODUKSI MINYAK BUMI Secara keseluruhan sejarah produksi minyak Jawa Timur/Tengah sejak dekade 1990-an berkisar pada angka rata-rata 20.000 BOPD per tahun sampai adanya kenaikan yang cukup berarti dengan mulai berproduksinya lapangan Sukowati dan Banyu Urip sehingga pada tahun 2009 produksi rata-rata tercatat 59.260 BOPD (estimasi berdasarkan laporan produksi per perusahaan operator, sumber: BPMIGAS, 2009) (Gambar 6). Secara keseluruhan gambaran komposisi produksi lapangan-lapangan di Jawa Timur/Tengah dapat dilihat pada Gambar 7. Dengan jelas terlihat kecilnya kontribusi dari lapangan-lapangan ‘lama’ di kawasan Blora-Cepu-Bojonegoro di samping kontribusi menyolok dari lapangan-lapangan baru Mudi, KE, Sukowati, dan Poleng. Lapangan-lapangan yang termasuk dalam ‘lain-lain’ adalah lapangan yang secara produksi dan cadangan tidak dapat dikatakan besar. Sebagai contoh adalah lapangan-lapangan Gondang, Camar, dan Tanggulangin. 218
Gambar 6 Produksi minyak bumi dan kondensat Jawa Timur/Tengah periode 1999-2009 (sumber data: KESDM, 2010)
Ketahanan produksi pada tingkat tersebut di atas, atau jika hendak ditingkatkan, tentu tergantung pada kelestarian (sustainability) dari cadangan minyak sebagai pendukungnya. Gambar 8 menyajikan profil cadangan agregat (cadangan= 0.9 * P1 + 0.5 * P2 + 0.1 * P3 , di mana P1, P2, dan P3 masing-masing adalah cadangan ‘terbukti’, ‘mungkin’, dan ‘harapan’) minyak dan kondensat untuk periode 1999-2009. Sampai tahun 2004 cadangan bervariasi naik dan
POTENSI PERAN KAWASAN JAWA TIMUR/TENGAH BAMBANG WIDARSONO
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 215 - 226
Gambar 7 Komposisi produksi minyak bumi dan kondensat Jawa Timur/Tengah periode 1999-2009 (sumber data: KESDM, 2010)
turun – karena penemuan baru, produksi, dan perubahan status – pada angka sekitar 200 MMSTB (million stock tank barrel) hingga naik secara berarti pada 2005 dengan masuknya Banyu Urip hingga mencapai sekitar 530 MMSTB pada tahun 2009. Penambahan cadangan Banyu Urip ini mengubah komposisi lokasi cadangan menjadi 75,2% di darat (onshore) dan 24,8% di lepas pantai (offshore) (Gambar 9), dan dengan mulai berproduksinya Banyu Urip secara terbatas pada 2009 maka komposisi cadangan menjadi 89,4% berasal dari lapangan yang telah berproduksi dan 10,6% dari yang belum berproduksi (Gambar 10). Kedua gambaran komposisi cadangan ini menunjukkan perlunya usaha eksplorasi yang lebih intensif untuk menggantikan cadangan yang berasal dari lapangan yang telah berproduksi.
Gambar 8 Perkembangan cadangan (agregat) minyak bumi dan kondensat Jawa Timur / Tengah periode 1999-2009 (sumber data: KESDM, 2010)
IV. SEJARAH PRODUKSI GAS BUMI Di sektor produksi gas bumi, sejarah produksi pada periode 1999-2009 (Gambar 11) memperlihatkan penurunan secara menerus akibat menurunnya pasokan dari kawasan Pagerungan sampai kemudian terangkat dengan meningkatnya produksi secara berarti dari lapangan Poleng dan mulainya on stream
gas dari lapangan-lapangan Ujung Pangkah dan Maleo. Secara kontribusi, produksi gas di Jawa Timur/ tengah pada periode 1999-2009 didominasi oleh produksi dari kawasan Pagerungan sampai kemudian menurun sampai saat ini pada tingkat sekitar 25 MMSCFD saja (Gambar 12). Secara menerus tetapi tidak begitu besar penurunan ini digantikan oleh gas 219
POTENSI PERAN KAWASAN JAWA TIMUR/TENGAH BAMBANG WIDARSONO
dari Poleng dan struktur-struktur KE, di samping produksi dari lapangan Wunut yang menurun dengan cepat akibat tingkat kompleksitas reservoirnya yang tinggi. Seperti telah disebutkan di atas, produksi dari Ujung Pangkah dan Maleo mulai meningkat pada 2007 meskipun dibayangi oleh terjadinya early water production di lapangan Ujung Pangkah. Cadangan agregat gas bumi cenderung konstan dan sedikit menurun pada tiga tahun terakhir dari periode tersebut (Gambar 13). Tetapi berkebalikan dengan gambaran cadangan minyak bumi, cadangan gas bumi sebagian besar terletak di lepas pantai (89,3%) (Gambar 14) dan terdiri secara berimbang atas gas associated (51,1%) dan gas non-associated (48,9%) (Gambar 15). Berbeda juga dengan halnya cadangan minyak, cadangan gas bumi agregat sebagian besar masih berstatus non-produksi (52,5%) (Gambar 16) sehingga dengan secara hati-hati dapat dianggap bahwa produksi gas lebih bersifat sustainable dibanding minyak bumi meskipun memang tercatat senantiasa adanya kecenderungan kekurangan pasokan sampai saat ini.
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 215 - 226
Gambar 9 Komposisi lokasi cadangan (agregat) minyak dan kondensat Jawa Timur/Tengah (31 Des 2009) (sumber data: KESDM, 2010)
V. ANALISIS DAN PROYEKSI Produksi minyak dan gas bumi (migas) Jawa Timur/Tengah secara teorietis sebenarnya masih dapat ditingkatkan. Hal ini karena memang masih banyaknya lapangan-lapangan yang belum dapat atau terhalang untuk dapat berproduksi secara optimum. Beberapa contoh adalah: - Lapangan Banyu Urip yang secara teknis dapat ditingkatkan kapasitas produksinya pada 2011 hingga mencapai 40.000 BOPD sebelum mencapai puncaknya pada 165.000 BOPD 4-5 tahun setelah produksi awal jika semua berjalan lancar. Saat ini kapasitas maksimum produksi dalam skenario early production facility (EPF) adalah 25.000 BOPD meskipun saat ini diproduksikan tidak lebih dari 20.000 BOPD. Peningkatan kapasitas secara bertahap ini sebenarnya masih dalam pertimbangan karena opsi langsung menuju full field development (FFD) kemungkinan besar akan diadopsi sehingga skenario EPF akan ditinggalkan. - Lapangan Sukowati yang dipercaya bahwa pada dasarnya masih dapat ditingkatkan produksi minyak dan gas associated-nya. Rencana untuk meningkatan kombinasi produksi lapangan Mudi dan Sukowati hingga mencapai 58.000 BOPD, 220
Gambar 10 Komposisi cadangan (agregat) minyak dan kondensat Jawa Timur/Tengah (31 Des 2009) sehubungan dengan status produksi dan nonproduksi (sumber data: KESDM, 2010)
Gambar 11 Produksi gas bumi Jawa Timur/Tengah periode 1999-2009
POTENSI PERAN KAWASAN JAWA TIMUR/TENGAH BAMBANG WIDARSONO
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 215 - 226
Gambar 12 Komposisi produksi gas bumi Jawa Timur/Tengah periode 1999-2009. (sumber data: KESDM, 2010)
Gambar 13 Perkembangan cadangan (agregat) gas bumi Jawa Timur/Tengah periode 1999-2009. (sumber data: KESDM, 2010)
-
dari tingkat produksi 37.000 BOPD saat ini, kemungkinan besar akan diimplementasikan menjelang akhir tahun 2010. Struktur-struktur di KE, blok West Madura, yang dapat ditingkatkan produksinya dari sekitar 21.000 BOPD (dengan Poleng menjadi sekitar 28.000 BOPD) menjadi 24.000 BOPD (kuota APBN 2010 adalah 11.900 BOPD) jika rencana
Gambar 14 Komposisi lokasi cadangan (agregat) gas bumi Jawa Timur/Tengah (31 Des 2009). (sumber data: KESDM, 2010)
pengembangan lapangan yang sudah ada diimplementasikan. Peningkatan produksi dapat diperoleh pada akhir 2010 dan memuncak pada 2011. Produksi gas struktur-struktur KE ditambah Poleng saat ini berkisar pada 200 MMSCFD. Potensi ini ditambah dengan kemungkinan ditemukannya cadangan-cadangan baru mengingat tingkat keberhasilan eksplorasi di 221
POTENSI PERAN KAWASAN JAWA TIMUR/TENGAH BAMBANG WIDARSONO
-
-
-
-
-
222
kawasan ini yang mencapai di atas 60%. Sampai saat ini diperkirakan kawasan tersebut mengandung sumber daya sebesar 1,12 miliar barel minyak dan 4,8 TSCF (trillion standard cubic-feet) gas (KESDM, 2010). Lapangan Ujung Pangkah (blok Pangkah), di mana produksi dapat ditingkatkan dari saat ini 4200 BOPD menjadi 10.000 BOPD (tahun 2011) pada saat wellhead platform (WHP) B dan fasilitas pemrosesan lapangan tambahan dipasang pertengahan 2011. Dengan demikian kendala batasan pemrosesan air produksi 10.000 BWPD dapat diatasi. Pengembangan lanjut dengan instalasi WHP-West untuk menangani struktur Ujung Pangkah bagian barat dan juga pengembangan lapangan Sidayu yang terletak beberapa kilometer saja di utara struktur utama Ujung Pangkah akan dapat paling tidak menjaga tingkat produksi. Lapangan-lapangan minyak lain berukuran lebih kecil yang belum diproduksikan seperti Sepanjang (sekitar 2000 BOPD), Pagerungan Utara offshore (5000 BOPD), SW Mudi (sekitar 5000 BOPD), dan Lengowangi (500 – 1000 BOPD) dapat membantu dalam meningkatkan atau paling sedikit mengurangi laju penurunan produksi Jawa Timur/Tengah. Prospek lapangan-lapangan gas blok Kangean (Terang, Sirasun, dan Batur, TSB) dengan kapasitas produksi 300 MMSCFD masih menunggu pengadaan floating processing unit (FPU). Lapangan Wortel (blok Sampang) dengan kapasitas produksi 47 MMSCFD akan direncanakan untuk melaksanakan first gas pada akhir 2011. Demikian juga dengan struktur BD yang masih menunggu keputusan perpanjangan kontrak KKSnya. Lapangan tersebut memiliki kapasitas produksi sekitar 200 MMSCFD gas dan dapat segera diproduksikan pada tahun 2011 atau 2012. Prospek serupa adalah cadangan gas lapangan Jambaran di kawasan Cepu (blok Cepu) yang diperkirakan cukup besar tapi masih menunggu kajian lebih jauh. Pemanfaatan gas dari Sukowati sebesar 30-40 MMSCFD yang selama ini dibakar karena tidak adanya kepastian konsumen (offtaker). Lapangan Jeruk di SW Madura dengan minyaknya yang bertitik tuang tinggi dan kandungan residu tinggi yang karena tingkat
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 215 - 226
Gambar 15 Komposisi cadangan (agregat) gas bumi Jawa Timur/Tengah (31 Des 2009) dari segi jenisnya. (sumber data: KESDM, 2010)
Gambar 16 Komposisi cadangan (agregat) gas bumi Jawa Timur/Tengah (31 Des 2009) sehubungan dengan status produksi dan non-produksi. (sumber data: KESDM, 2010)
kerumitannya yang tinggi untuk dikembangkan masih menunggu kajian keekonomian yang lebih baik. - Lapangan baru seperti lapangan Lengo di lepas pantai Tuban yang baru memiliki satu sumur discovery dengan hasil uji 12 MMSCFD. Dengan mengasumsi bahwa: 1) Semua potensi dan prospek yang dikemukakan di atas mendapatkan penyelesaian yang baik, 2) Banyu Urip mengikuti skenario EPF bertahap dan tidak langsung menuju full field development (FFD), 3) tidak ada gangguan yang bersifat non-teknis, dan 4) laju penurunan produksi per tahun sebesar 5% maka produksi pada 2011 dapat mencapai 70.000-80.000 BOPD. Jika penurunan laju produksi 10% per tahun dipakai maka
POTENSI PERAN KAWASAN JAWA TIMUR/TENGAH BAMBANG WIDARSONO
diperkirakan profil kemampuan produksi minyak akan meningkat secara berarti dalam 3-4 tahun ke depan. Gambar 17 memperlihatkan estimasi profil peningkatan produksi minyak pada periode 20032014. Menurut estimasi tersebut tingkat produksi setinggi 260.000 BOPD dapat diperoleh pada tahun 2014. Untuk gas bumi, proyeksi produksi gas juga akan meningkat seiring dengan meningkatnya produksi minyak dengan associated gas ikutannya dan adanya beberapa penemuan cadangan gas non-associated seperti di lapangan-lapangan Terang-Sirasun-Batur, BD, dan Wortel. Meskipun demikian peningkatannya tidak akan setajam seperti halnya minyak karena minyak Banyu Urip, yang merupakan komponen utama peningkatan produksi minyak, adalah minyak berat yang tidak banyak mengandung gas. Meskipun peningkatan produksi gas dalam tahun-tahun mendatang akan dimotori oleh gas non-associated tetapi meningkatnya produksi minyak dari beberapa lapangan dengan minyak yang relatif ringan seperti Ujung Pangkah dan Mudi/Sukowati juga berarti meningkatnya komponen gas associated yang terproduksi. Dengan mengambil asumsi: 1) 10% laju penurunan produksi per tahun, 2) lapangan-lapangan dengan gas associated dan non-associated dianggap sebagai satu ‘paket’ gas associated, 3) rasio gas/ minyak produksi yang konstan setelah 2010 (angka rasio diwakili angka 2009), 4) produksi dari lapangan baru tapi berukuran kecil (mis.: SW Mudi, Sepanjang, N. Pagerungan) diabaikan maka prakiraan produksi gas hingga 2014 dapat dibuat (Gambar 18). Terlihat bahwa puncak produksi tercapai pada tingkat sekitar 950 MMSCFD pada tahun 2012. VI. TANTANGAN DAN KENDALA Seperti yang dikemukakan sebelumnya, prakiraan profil produksi minyak dan gas seperti yang disajikan pada Gambar 17 dan 18 dapat terealisasi jika semua keadaan dan persyaratan yang dibutuhkan dapat dipenuhi. Sangat disadari bahwa, seperti halnya yang terjadi pada wilayah-wilayah lain di Indonesia, pemenuhan keadaan yang kondusif bagi pencapaian tingkat produksi setinggi itu adalah sangat tidak mudah. Berbagai aspek kendala yang sampai saat ini masih seluruhnya atau sebagian belum teratasi adalah, antara lain: 1. Pembebasan tanah yang tertunda, sebagai contoh adalah pengadaan lahan untuk baik skenario EPF
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 215 - 226
maupun FFD lapangan Banyu Urip masih belum sepenuhnya terselesaikan. Prosedur internal pembelanjaan dari operator lapangan tersebut diduga ikut memperumit masalah. Kesulitan pembebasan tanah juga dialami bagi lokasi-lokasi pemboran di SW Mudi dan Pad-C lapangan Sukowati. 2. Terbatasnya fasilitas transportasi pipa minyak menuju titik pemasaran, terjadi pada sistem pemipaan Banyu Urip-Mudi station-Palang-FSO (floating storage and offloading) di lepas pantai Tuban. Kapasitas yang ada sangat terbatas dan hanya dapat memfasilitasi transportasi sebesar 60.000 BOPD saja. Dengan rencana peningkatan produksi Mudi/Sukowati menjadi 58.000 BOPD maka rencana peningkatan produksi Banyu Urip dalam skenario EPF (kapasitas maksimum 25.000 BOPD tapi berproduksi pada tingkat 22.000 BOPD saja pada 2010) tidak akan dapat terlaksana. Pipa ukuran 12" Banyu Urip-Mudi dan pipa Palang-FSO ukuran 16" yang sekarang ada tidak akan bisa mendukung tingkat produksi tersebut. Masalah ini diperumit dengan adanya opsi blending minyak kental Banyu Urip dengan minyak Mudi/Sukowati yang lebih ringan dalam bentuk Mudi-mix demi kemudahan transportasi dan tingginya harga jual. 3. Kurangnya offtaker bagi minyak produksi dan produk bawaannya, sebagai contoh adalah disebabkan terbatasnya sistem transportasi pipa dari Banyu Urip maka dibutuhkan offtaker alternatif. Operasi kilang mini swasta setempat dengan konsumsi hanya 6000 BOPD dinilai sangat kurang. Contoh lain adalah tidak menentunya kepastian konsumen untuk gas asssociated dari lapangan Sukowati, sehingga untuk mencegah pembakaran (flare) gas yang terlalu besar maka produksi minyak terpaksa ditahan pada 37.000 BOPD saja. 4. Ketidakpastian perpanjangan kontrak yang menghalangi investasi bagi pengembangan, dengan contoh adalah dengan tidak diperpanjangnya kontrak KKS blok West Madura (struktur KE) maka rencana peningkatan produksi dari sekitar 21.000 BOPD ke 24.000 BOPD menjadi terancam batal. Keputusan belum diambil mengenai perpanjangan atau pengambilalihan oleh perusahaan minyak nasional. Hal yang sama juga 223
POTENSI PERAN KAWASAN JAWA TIMUR/TENGAH BAMBANG WIDARSONO
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 215 - 226
Gambar 17 Komposisi produksi minyak Jawa Timur/Tengah, sejarah dan proyeksi produksi 2003-2014
Gambar 18 Komposisi produksi gas bumi Jawa Timur/Tengah, sejarah dan proyeksi produksi 2003-2014
224
POTENSI PERAN KAWASAN JAWA TIMUR/TENGAH BAMBANG WIDARSONO
dialami oleh perpanjangan KKS untuk operatorship dari struktur BD di SW Madura. 5. Operasi produksi yang belum sesuai dengan baku mutu lingkungan, sesuai dengan diberlakukannya UU no. 32 th 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, beberapa operasi dapat terancam berhenti. Sebagai contoh adalah operasi flare gas associated dari lapangan Sukowati sebesar sekitar 30 MMSCFD yang selain tidak memenuhi ambang kebisingan suara juga menyebabkan emisi CO2 yang memang juga dikandung oleh gas tersebut. Contoh lain adalah usaha dilution bagi air buangan dari Ujung Pangkah dengan tujuan agar kandungan minyak menjadi di bawah ambang 50 ppm belum diberi lampu hijau oleh KLH. Hal-hal ini berdampak pada tertahannya pencapaian untuk produksi minyak maksimum. 6. Pelaksanaan asas cabotage (telah diberlakukan sejak 2005) yang berpotensi menunda operasi pemboran dan lifting, dengan contoh tertundanya pengadaan FSO dan floating processing unit (FPU) untuk produksi dari lapangan-lapangan Maleo, Oyong, Pagerungan Utara offshore (PUO), dan Terang-Sirasun serta kemungkinan tertundanya pemboran beberapa sumur karena keharusan kepemilikan dalam negeri bagi kapal pemboran, dan 7. Persoalan sosial dan administratif yang dapat mengurangi jaminan kelancaran operasi. Sebagai contoh adalah potensi tertundanya produksi dari blok-blok West Madura dan Pangkah karena keharusan dilakukannya pemindahan sistem pemipaan ke Gresik oleh otoritas perhubungan laut. Persoalan sosial dengan para nelayan di lepas pantai Jawa Timur dan Madura juga dilaporkan dapat mengganggu operasi. Dengan tidak dapat diatasinya kendala-kendala seperti yang terungkap di atas maka pencapaian seperti yang disajikan pada Gambar 17 dan 18 akan menjadi sulit direalisasikan. VII. DISKUSI LANJUT Kendala-kendala di atas sudah selayaknya diberi perhatian penuh oleh pemerintah agar program peningkatan produksi migas yang dicanangkan pemerintah dapat berhasil, mengingat bahwa potensi produksi migas Jawa Timur/Tengah masih cukup tinggi. Sebagai gambaran rasio produksi-cadangan terbukti per tahun (2009) minyak dan gas Jawa Timur/
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 215 - 226
Tengah adalah 0,051 dan 0,037, masih lebih rendah dibanding dengan angka-angka serupa untuk skala nasional yang masing-masing 0,087 dan 0,099. Masih besarnya potensi produsksi yang tersembunyi ini, di samping keberadaan akumulasi migas yang belum ditemukan, membutuhkan perhatian yang serius dari semua pihak yang berkepentingan untuk mewujudkannya. Proyeksi produksi seperti yang disajikan pada Gambar 17 dan 18 dapat dikatakan sebagai proyeksi yang bersifat kasar dan aproksimasi saja, terutama gas dengan asumsi-asumsinya yang secara keteknikan memang dapat dianggap sebagai suatu gross simplification, tetapi kedua proyeksi tersebut dapat memberikan gambaran mengenai apa yang bisa dicapai oleh Jawa Timur/Tengah di masa yang akan datang. Jika diasumsikan produksi minyak nasional mengalami laju penurunan 3% per tahun maka pada 2014 Jawa Timur/Tengah akan memiliki kontribusi sebesar sekitar 25% dari produksi minyak nasional yang pada saat itu diperkirakan bisa mencapai sekitar 1 juta BOPD. Demikian juga dengan tingkat produksi gas yang mencapai 950 MMSCFD pada tahun 2012, atau merupakan sekitar 12% dari produksi nasional (diperkirakan 8000 MMSCFD pada 2012), yang diharapkan dapat membantu sekali dalam memenuhi kebutuhan pasokan gas untuk Jawa Timur. Realisasi yang akan terjadi sangat boleh jadi akan berbeda dengan kedua proyeksi tersebut tetapi perbedaannya tidak akan terlalu mencolok jika memang kendalakendala yang ada tersebut dapat diatasi. VIII. KESIMPULAN Dari analisis dan pembahasan yang dilakukan atas data-data dan informasi yang diperoleh bagi penulisan makalah ini, beberapa kesimpulan utama telah dapat ditarik: 1. Potensi produksi minyak dan gas bumi Jawa Timur/Tengah masih cukup tinggi. Hal ini diindikasikan dari rasio produksi-cadangan terbukti (P1) Jawa Timur/Tengah pada tahun 2009 yang masing-masing 0,051 dan 0,037 (5,1% dan 3,7%) untuk minyak dan gas, lebih rendah dibanding rasio untuk skala nasional yaitu 0,087 dan 0,099 (8,7% dan 9,9%). 2. Kontribusi lapangan-lapangan Pagerungan, KE, Mudi, dan Sukowati sangat berarti. Penemuan dan pemroduksian lapangan-lapangan tersebut menandai hadirnya era baru dalam sejarah 225
POTENSI PERAN KAWASAN JAWA TIMUR/TENGAH BAMBANG WIDARSONO
3.
4.
5.
6.
7.
226
eksploitasi minyak dan gas bumi Jawa Timur/ Tengah yang telah mencapai lebih dari satu abad. Pada saat ini kontribusi produksi Jawa Timur/ Tengah terhadap produksi nasional masih rendah yaitu masing-masing 5,7% dan 4% untuk minyak dan gas. Kontribusi ini dapat ditingkatkan menjadi masing-masing sekitar 25% untuk minyak pada tahun 2014 dan 12% untuk gas pada tahun 2012, jika semua kendala yang ada dapat diatasi. Tingkat keamanan dan prospek produksi gas sebenarnya masih lebih baik dibanding minyak. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya cadangan yang berasal dari lapangan yang belum berproduksi. Meskipun demikian kenyataan bahwa komposisi cukup tinggi bagi cadangan offshore (89,3%) dan gas associated (51,1%) membuat manajemen dan keekonomian eksploitasinya menjadi tidak mudah. Penyelesaian masalah-masalah non-teknis harus cepat diselesaikan agar target produksi 2014 dapat tercapai. Hal ini agar tidak memperberat masalahmasalah keteknisan (mis.: sumur mengalami produksi air prematur, penurunan laju produksi yang cepat, minyak berat dan kental, dan kandungan CO2 yang tinggi) yang banyak juga dialami lapangan-lapangan di Jawa Timur/Tengah. Usaha eksplorasi dan penemuan cadangan baru harus diakselerasi. Hal ini diindikasikan dari relatif sedikitnya cadangan yang berasal dari lapangan yang belum berproduksi terutama untuk minyak (10,6%). Hal ini menunjukkan angka reserves replacement Jawa Timur/Tengah harus ditingkatkan. Asumsi penurunan laju produksi per lapangan sekitar 10% per tahun dapat dianggap sebagai sangat pesimis dibanding laju penurunan secara nasional yang sebesar 3% (periode 2005– sekarang, tanpa produksi dari lapangan baru secara cukup berarti). Secara implisit hal ini
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 215 - 226
menunjukkan bahwa situasi produksi mulai tahun 2012 dan selanjutnya dapat lebih baik keadaannya dibanding yang diperkirakan dalam studi ini. Untuk mencapainya tentulah dibutuhkan usaha-usaha operasional teknis yang baik dan sesuai, di samping perlunya pengawasan yang cermat tetapi progresif dari pihak otoritas/pemerintah. 8. Potensi produksi cekungan-cekungan sedimen Jawa Timur (JTU dan JTUO) masih sangat tinggi. Hal ini terlihat dari cukup tingginya tingkat penemuan cadangan (di beberapa kawasan bahkan mencapai di atas 60%) dan masih luasnya daerah yang belum dieksplorasi.
IX. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak-pihak di LEMIGAS, BPMIGAS, Ditjen Migas, dan Tim Pengawas Peningkatan Produksi Migas (TP3M) KESDM, tidak dapat saya sebutkan satu persatu di sini karena banyaknya, yang telah sedikit banyak membantu dalam memberikan berbagai informasi yang sangat berharga sehingga gambaran kira-kira mengenai potensi produksi Jawa Timur/ Tengah dapat terwujud melalui studi dan tulisan ini. KEPUSTAKAAN 1. Widarsono, B. (2007). Indonesia’s Natural Gas: Reserves, Production, and Challenges. LEMIGAS Scientific Contributions to Petroleum Science and Technology, Vol. 30, No.1, May, pp: 24 – 34. 2. KESDM, (2010). Evaluasi Cadangan Minyak dan Gas Bumi Indonesia, status 1 Jan 2009. Kementerian Energi dan Sumber Daya mineral, Laporan tidak dipublikasikan. 3. BPMIGAS (2010). Laporan Produksi Bulanan. Laporan tidak dipublikasikan. 4. BPMIGAS (2009). Laporan Produksi Bulanan. Laporan tidak dipublikasikan.
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
Studi Penyebab Scale di Lapangan-lapangan Minyak Sumatra Oleh: Akhdan W Setiaprihadi1), Supriyadi2) dan Dwi Sartati Dewayanti3) Peneliti Pertama1), Perekaya Muda2), Pengkaji Teknologi3), pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 61-21-7246150 Teregistrasi I Tanggal 05 Maret 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal 30 September 2010 Disetujui terbit tanggal: 31 Desember 2010
SARI Scale merupakan problem yang banyak dijumpai sebagai salah satu penyebab beberapa masalah dalam produksi migas di Indonesia karena dapat menyebabkan: kerusakan formasi, penyumbatan pada tubing, lubang sumur atau lubang perforasi, dan penyumbatan pada pipa salur. Untuk itu dilakukan kajian penyebab terjadinya scale, teknik pencegahan dan penanganan scale pada lapangan migas yang mempunyai tendensi terbentuknya scale di kawasan P. Sumatra dengan menggunakan metodologi sebagai berikut: Survei dan pengambilan percontoh, Analisis kimia, Analisis Tendensi dan Evaluasi pemakaian scale inhibitor dan penanganan scale yang sudah terbentuk. Pendekatan dari studi meliputi pengumpulan data, sampling, pengujian laboratorium, dan tinjauan referensi. Sampling dilakukan di daerah Sumatra Selatan, termasuk pengambilan percontoh dari inhibitor yang digunakan. Analisis kimia dilakukan untuk memprediksi terjadinya scale. Uji laboratorium dilakukan untuk menguji efektivitas penggunaan scale inhibitor. Studi literatur dilakukan untuk mengumpulkan metode penanganan dalam mengatasi scale. Studi ini diharapkan untuk membantu perusahaan operator minyak dan gas di daerah Sumatra dan Pemerintah Indonesia dalam menangani masalah scale dengan memilih scale inhibitor yang efektif dan sesuai dengan karakteristik scale di Sumatra. ABSTRACT Scale is one of production problem encounter in Indonesia, resulting in formation damage, wellbore, tubing and perforation blockage, and flowline plugging. To overcome the problem, a study has been conducted to analyze the cause of scale formation, scale prevention, and remedial. The approach of the study includes data collection, sampling, laboratory testing, and references review. Sampling was conducted in South Sumatra Region, including inhibitor collection. Chemical analyses were conducted to predict scaling tendencies and laboratory test was conducted to evaluate the effectiveness of the scale inhibitor. Literature study was conducted to collect the remedial method for scale remedial. This study is expected to help oil and gas operator in Sumatra region to overcome the scale problem, and assist the Government of Indonesia to choose the effective scale inhibitor that suitable with the characteristics of the scale in Sumatra. Key words: Scale; Lapangan minyak Sumatera; Analisa Air; Tendensi; Scale Inhibitor. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Scale merupakan salah satu penyebab masalah dalam produksi migas di Indonesia karena dapat menyebabkan:
-
Kerusakan formasi (formation damage) Penyumbatan pada pipa sembur (tubing), lobang sumur, dan atau lobang perforasi Penyumbatan pada pipa salur (flowline)
227
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
B. Identifikasi Masalah Problem scale merupakan salah satu problem produksi yang sering ditemukan di lapangan minyak di Indonesia. Problem ini dapat diatasi dengan baik bila penyebabnya diketahui.
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
solubility of Strontium Sulfate.”:SPE Journal, April, 1983, p 292-300 untuk SrSO4 and BaSO 4 - Evaluasi pemakaian scale inhibitor dan penanganan scale yang sudah terbentuk.
C. Ruang Lingkup
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Lingkup pekerjaan yang dilakukan adalah: 1. Inventarisasi data dan pengambilan percontoh. Inventarisasi data dan pengambilan percontoh dilakukan pada lapangan-lapangan migas di Sumatra meliputi: Sumatra Utara, Riau, Jambi dan Sumatra Selatan. 2. Analisis kimia dan tendensi scale. Analisis kimia dan tendensi scale dilakukan terhadap percontoh dari lapangan-lapangan migas dan pengumpulan data sekunder yang telah dianalisis perusahaan minyak yang bersangkutan. 3. Evaluasi parameter tendensi scale. Evaluasi parameter tendensi scale dilakukan untuk menentukan pencegahan dan penanganan masalah scale, termasuk pemilihan bahan-bahan kimia yang dapat menghambat terbentuknya scale. 4. Menyusun laporan hasil penelitian
Maksud dan tujuan penelitian ini adalah: - Meneliti penyebab terjadinya scale di lapanganlapangan yang ada di kawasan Pulau Sumatra. - Meneliti teknik pencegahan dan penanganan scale bagi lapangan-lapangan yang mempunyai tendensi terbentuknya scale. Manfaat dari proyek: - Manfaat langsung adalah mendapatkan solusi bagi masalah scale sehingga tidak menghambat produksi migas di Sumatra dan menentukan scale inhibitor yang aman untuk lingkungan dan sesuai dengan lapangan migas yang ada di Pulau Sumatra - Manfaat tidak langsung adalah kenaikan produksi migas di Indonesia
D. Pendekatan Masalah Metodologi penelitian dilakukan sebagai berikut: - Survei dan pengembilan percontoh air terproduksi. Survei dilakukan untuk menumpulkan data komposisi kimia dan pengambilan percontoh air terproduksi atau scale yang ada di lapangan-lapangan migas di Pulau Sumatra. - Analisis kimia. Analisis kimia dilakukan untuk menentukan kandungan mineral/ion terlarut pada percontoh atau pada endapan scale yang sudah diambil pada waktu survei. Analisa diusahakan akan dilakukan onsite sehingga mengurangi pengaruh lingkungan pada percontoh yang diambil. - Analisis Tendensi. Evaluasi tendensi pembentukan scale difokuskan pada scale jenis CaCO 3, CaSO 4, BaSO 4, dan SrSO 4. Metode untuk memprediksi terbentuknya scale adalah: - Langelier dan Stiff and Davis untuk CaCO3 - Skillman, McDonald and Stiff untuk CaSO4 - Jaques, D. F., and Bourland, B. I.,”A Study of
228
II. DASAR TEORI Prediksi pembentukan scale dapat dilakukan dengan menggunakan perhitungan solubilitas dari suatu jenis scale. Walaupun ini bukan satu-satunya cara tetapi dalam praktek telah digunakan secara luas dengan cara sederhana. Dalam laporan ini akan digunakan metode solubilitas sebagai dasar acuan dalam memprediksi terbentuknya scale di lapangan minyak yang ada di Sumatra. Cara ini disebut dengan “scaling tendensi” (kecenderungan pembentukan scale). Walaupun metode ini menggunakan penyederhanaan pada rumus-rumusnya untuk mengatasi kompleksitas dari solubilitas ion-ion di dalam air, tetapi dapat digunakan sebagai acuan untuk penanganan pembentukan scale di lapangan minyak. A. Dasar Perhitungan Bila garam dapur (NaCl) dilarutkan kedalam air maka kristal garam (padat) akan berubah menjadi ion Na+ dan Cl-. Apabila garam ditambahkan terus maka akan atau tercapai suatu keadaan jenuh di mana larutan tidak bisa lagi menerima tambahan garam untuk dilarutkan sebagai ion dan terjadi keseimbangan antara ion sebagai larutan dan ion sebagai bentuk padat dalam bangunan kristal garam dapur (halite), yang dapat digambarkan sebagai berikut.
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
di mana: pH = pH aktual air pHs = pH pada kondisi saturasi kemudian pHs dirumuskan sebagai berikut: pH s ( pK 2 ' pKs ' ) pCa pAlk
(7)
di mana: pK2’ dan pKs’ = konstanta empiris
pCa log pAlk log
1 mol Ca / liter
(8)
1 Alkalinitas total ekivalen / liter
Total alkalinita s CO 3 HCO 3
(9)
(10)
Gambar 2.1. Hubungan antara indeks saturasi (SI) dengan rasio saturasi (SR)
Konstanta empirik pada rumus di atas tergantung pada kekuatan ionik (ionic strength) 0-0.02 (0-800 ppm) dan suhu 32-194oF (0-90oC). Selanjutnya Stiff dan Davis mengembangkan perhitungan SI Langelier untuk diaplikasikan ke air asin yang biasanya terdapat pada lapangan minyak. Rumus dasar untuk lapangan minyak masih sama dengan persamaan Langelier yaitu SI = pH – pHs, hanya rumus untuk pHs yang berbeda yaitu: pH s K pCa pAlk
(11) di mana: K = konstanta fungsi salinitas, komposisi, dan suhu air terproduksi. Harga K dapat dicari dengan grafik pada Gambar 2.2. Untuk mencari harga K diperlukan harga kekuatan ionik. pCa dan pAlk sama dengan pengertian pada rumus Langelier. Kekuatan ionik dapat dicari dengan rumus: 1 2 (C1Z12 C2 Z 2 2 C3 Z 3 2 ........ CnZn 2 )
(12)
di mana: μ = Kekuatan ionik (ionic strength) C = Konsentrasi ion dalam mol/liter Z = Valensi ion Selain data kekuatan ionik, harga K dipengaruhi suhu seperti pada grafik pada Gambar 2.2. Tiap-tiap kurva memperlihatkan harga K pada suhu 32o sampai 212o F (0o sampai 100o C). Harga pCa dan pAlk dapat dicari dengan rumus di atas atau grafik pada Gambar 2.3. Untuk 230
Gambar 2.2. Grafik untuk mencari K (Stiff and Davis)
mendapatkan harga pCa diperlukan data konsentrasi Ca++ dan untuk mendapatkan harga pAlk diperlukan data konsentrasi CO3= dan HCO3− dalam mg/liter. Jadi untuk mendapatkan SI diperlukan data: 1. pH 2. Konsentrasi CO3= dan HCO3− dalam mg/liter 3. Suhu dan 4. Analisis kimia air terproduksi secara komplit. Setelah didapatkan harga SI dapat diprediksi kecenderungan terbentuknya scale CaCO3 dengan cara:
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
1. Bila SI negatif, air formasi tidak jenuh CaCO3 dan kelihatannya tidak akan terbentuk scale. 2. Bila SI positif, air formasi jenuh CaCO3 dan air mempunyai tendensi membentuk scale. 3. Bila SI nol, air formasi berada pada titik jenuh CaCO 3. Berdasarkan pengalaman yang didapatkan pada sumur-sumur di lapangan TEXACO, Valone dan Skillern mengembangkan rumus utnuk mengantisipasi problem scale CaCO3. Rumus ini berguna untuk meramalkan derajat kehebatan problem scale. Rumus ini didasarkan juga pada formula yang dikemukakan oleh Stiff dan Davis dan formulanya adalah: PTB 17500
G X
2
4 (10 K pH )
12
(13)
di mana: PTB = derajat kehebatan problem scale G = Ca++ + HCO3- dalam mol/L X = Ca++ - HCO3- dalam mol/L Prediksi derajat kehebatan problem dapat dilakukan dengan menggunakan ukuran di bawah ini: Nilai PTB Pemerian 0 > PTB < 0 Tidak terbentuk scale 0 < PTB < 100 Problem scale kecil 100 < PTB < 250 Problem scale sedang PTB > 250 Problem scale hebat
Gambar 2.3. Grafik untuk mencari pCa dan pAlk (Stiff and Davis)
C. Prediksi Scale Sulfat Scale sulfat yang sering ditemukan di lapangan migas terdiri dari CaSO4, BaSO4, dan SrSO4. 1. Prediksi terjadinya scale CaSO4 Kalkulasi solubilitas kalsium sulfat (calcium sulfate) yang sering disebut dilakukan menggunakan metode Skillman, NcDonald and Stiff (Patton, 1981), yang digunakan secara luas untuk air asin pada suhu air di lapangan minyak sampai pada temperatur 80ºC. Metode ini disusun berdasarkan pengukuran solubilitas termodinamika dan dirumuskan sebagai berikut, S 1000
X
2
4 K SP
0 .5
X
(14)
di mana: S = solubilitas gipsum (meq/liter) KSP = konstanta fungsi dari komposisi air dan suhu, disebut sebagai konstanta produk solubilitas (solubility product constant). Nilai K SP
Gambar 2.4. Calcium Sulfate Solubility Product Constant
231
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
diperoleh menggunakan grafik yang menghubungkan KSP dengan kekuatan ionik (ionic strength) seperti pada penentuan SI untuk CaCO 3 . Nilai K sebagai fungsi kekuatan ionik diperlihatkan oleh Gambar 2.4. X = Konsentrasi ion umum yang berlebih, mol/liter, selisih antara konsentrasi kalsium dan konsentrasi sulfat. Solubilitas gipsum yang dihitung (meq/liter) kemudian diperbandingkan dengan konsentrasi yang sesungguhnya dari ion-ion Ca++ and SO4= yang terlarut dalam air yang dievaluasi dinyatakan dalam meq/liter. Apabila nilai S lebih kecil dari salah satu konsentrasi ion Ca++ atau SO4=, maka pengendapan gipsum akan terjadi. Apabila S lebih besar dari konsentrasi Ca++ atau SO4=, berarti air tersebut tidak jenuh oleh mineral gipsum dan pengendapan tidak terjadi. Catatan: Dalam membandingkan S, konsentrasi ion Ca++ dan SO 4 =, semuanya harus dinyatakan dalam satuan yang sama yaitu milliequivalents per liter (meq/liter).
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
4. Excess Common Ions (ECI) atau ion umum berlebih akan menurunkan solubilitas barium dan strontium sulfat sedangkan adanya kalsium dan magnesium dalam air formasi yang mengandung NaCl sebagai ion utama tidak akan menurunkan solubilitas strontium dan barium sulfat. Untuk menentukan kelarutan BaSO4 dan SrSO4, dapat digunakan Gambar 2.5. sebagai alat untuk memprediksi pengendapan BaSO4 scaling sedangkan untuk pengendapan SrSO4 dapat digunakan Gambar 2.6. Yang perlu diperhatikan dalam memprediksi scale adalah menghitung ion sulfat yang terikat sebagai
2. Prediksi terjadinya scale SrSO4 dan BaSO4 scaling. BaSO4 (barium sulfat) adalah garam yang paling sulit terlarut dibanding garam-garam penyebab scale yang lain (CaCO3, CaSO4, and SrSO4). Adanya strontium sebagai penyebab scale di ladang minyak dan gas bumi terutama disebabkan adanya BaSO4 (Jaques, D.F., and Bourland, B.I., 1983. A Study of solubility of Strontium Sulfate. SPE Journal, p 292300). Strontium sulfat jauh lebih mudah larut dibandingkan dengan barium sulfat. Faktor-faktor yang meningkatkan solubilitas BaSO4 and SrSO4 adalah: 1. Kandungan garam dapur. Peningkatan kandungan NaCl sampai setinggi 100.000 ppm akan meningkatkan solubilitas dari 2,3 mg/L sampai 3,0 mg/L pada suhu stabil 25oC (Patton 1986). 2. Suhu. suhu 95oC akan meningkatkan solubilitas dari 2,3 mg/L (pada 25oC) menjadi 3,9 mg/L 3. Tekanan. Tekanan meningkatkan solubilitas BaSO4 dengan mekanisme yang mirip dengan mekanisme peningkatan solubilitas CaSO4.
232
Gambar 2.5. Solubilitas BaSO4 dalam larutan NaCl (Patton, 1986, halaman 59)
Gambar 2.6. Solubilitas SrSO4 dalam larutan NaCl pada suhu 25oF (Patton, 1986, hlm. 59)
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
Resume data yang didapatkan dari hasil survei ditabulasikan pada Tabel 3.1. B . Pengambilan Percontoh Pengumpulan percontoh dilakukan dengan persiapan yang seksama dan prosedur yang dikemukakan oleh Patton 1986. Patton mengemukakan prosedur pengambilan percontoh meliputi: 1. Pemilihan bejana untuk menampung dan membawa percontoh ke laboratorium. 2. Volume percontoh 3. Prosedur pengambilan percontoh 1. Pemilihan bejana Wadah percontoh harus dipilih dari plastik yang dilengkapi tutup kedap udara sehingga mengurangi kemungkinan kontaminasi percontoh oleh udara. Bejana plastik harus dibersihkan dengan baik sebelum digunakan untuk menampung atau menyimpan percontoh air, lebih disukai bejana plastik yang baru untuk menghindari kontaminasi dari sisa air atau endapan pada bejana apabila menggunakan bejana bekas. Secara luas tersedia botol plastik ukuran 500 cc atau satu liter (dalam pengambilan percontoh untuk kajian ini digunakan jerigen plastik baru ukuran 5 liter). Untuk menguji kekedapan udara botol atau jerigen plastik tersebut dapat dilakukan cara pengujian dengan memencet bejana tersebut setelah terisi oleh cairan, bila tutupnya copot atau keluar air dari tutupnya, maka bejana tidak dapat digunakan. Bejana yang sudah dipilih dan dipersiapkan untuk sumur tertentu diberi label sesuai dengan asal dari sumur tersebut (nama sumur/lapangan serta tanggal pengambilan percontoh). Pemberian label harus dilakukan pada botol dan bukan pada tutup karena tutup secara tidak sengaja bisa tertukar dengan bejana yang lain. Bila akan dikirim atau dikapalkan perlu ditempatkan dalam kotak kayu atau karton yang kuat. Bila diperlukan pengujian kandungan minyak pada air terproduksi, harus digunakan bejana gelas untuk menampung atau menyimpan percontoh karena minyak atau kandungan organik lain akan menempel pada dinding bejana plastik atau terabsorbsi oleh dinding plastik. Tutup botol sebaiknya dibuat dari plastik kedap udara yang dilengkapi plastic liner. Dalam pengiriman diperlukan kehati-hatian dan pengepakan yang memadai agar botol tidak pecah di jalan. 234
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
Yang sangat perlu untuk diperhatikan adalah tidak boleh menggunakan bejana dan tutup logam untuk menampung dan menyimpan percontoh karena air terproduksi akan mengkorosi dinding atau tutup sehingga air akan terkontaminasi oleh karat tersebut. 2. Volume percontoh Tidak terdapat panduan yang pasti mengenai volume air yang diambil, volume percontoh disesuaikan dengan kebutuhan untuk analisis kimia yang akan dilakukan. Volume percontoh sebaiknya tidak terlalu pas dengan kebutuhan untuk menghindari kejadian yang tidak terduga sehingga perlu diambil percontoh cadangan terutama bila pengujian akan dilakukan jauh dari lokasi sumur. Pada kajian ini diperlukan 2 liter untuk pengujian analisis kimia dan 10 liter untuk pengujian scale inhibitor. Dengan perhitungan diperlukan percontoh cadangan sebanyak 100 % maka percontoh yang diambil dari suatu sumur adalah 24 liter. 1 sampai 2 liter digunakan untuk pengujian kandungan kimiawi in situ sedangkan 3 sampai 4 liter di-preserve dengan cara diasamkan sampai pH 2–4 untuk kemudian dibawa ke Jakarta untuk pengujian kation. Sedangkan kurang lebih 20 liter percontoh yang masih belum dipreserve dikirim ke Jakarta untuk pengujian scale inhibitor. 3. Prosedur pengambilan percontoh Prosedur pengambilan percontoh untuk pengujian air terproduksi secara rutin dilakukan sebagai berikut: - Bila tersedia keran untuk pengambilan percontoh di kepala sumur maka sambunglah dengan selang plastik di mulut keran, untuk mengalirkan air teproduksi kedalam botol. - Untuk menghindari kontaminasi dari endapan atau kerak yang terakumulasi di keran atau dasar pipa maka keran harus dikuras (flush) dulu dengan cara mengalirkan air terproduksi dan memperhatikan warna air yang terkumpul. Apabila warna air masih berubah maka air tersebut masih mengandung kontaminan, sedangkan bila warna air sudah stabil maka air yang keluar sudah dapat dikumpulkan dan ditampung. - Bila air dari kepala sumur diperkirakan sudah bersih dari kontaminan, bilas bejana plastik dengan air terformasi sampai tiga kali kemudian baru ditampung dengan cara memasukkan ujung pipa plastik ke dasar bejana sampai air meluap keluar
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
sampai 10 kali volume bejana. Kemudian secara perlahan selang air dikeluarkan dari bejana dan cepat-cepat ditutup untuk meminimalkan kontaminasi oksigen dari udara dan lepasnya gas terlarut. -
Segera dilakukan pemberian label pada bejana plastik, dengan persyaratan label harus dengan kuat melekat pada botol dan tulisan harus tidak luntur bila terkena air. Beberapa saran dalam pengambilan percontoh: - Sebaiknya percontoh diambil dari kepala sumur bukan dari tangki atau water treater. -
Bila percontoh diambil dari tangki, percontoh sebaiknya diambil dari tiga tempat berbeda yaitu atas, tengah dan bawah tangki. Diperlukan alat pengambilan percontoh yang disebut “thief”.
-
Percontoh sebaiknya dilakukan pada sumur yang berproduksi normal meskipun kadang-kadang percontoh gampang diambil pada sumur mati karena percontoh yang diambil dari sumur mati hasilnya diragukan. Selain itu harus diperhatikan bahwa laju produksi normal dan tidak terjadi sesuatu yang tidak biasa terjadi di hulu dari titik pengambilan percontoh.
-
Apabila waktu tersedia sebaiknya dilakukan pengambilan percontoh secara berkali-kali dalam setahun karena air terproduksi dapat berubah dari waktu ke waktu. Pada kajian ini pengambilan percontoh dilakukan pada kepala sumur dan dari sumur-sumur Beringin– 08 (BRG–08), Gunung Kemala–65 dan 80 (GK–65 dan GK–80). Pemilihan lapangan ini untuk diambil percontoh air terproduksi didasarkan pada kenyataan sumur-sumur ini mempunyai kecenderungan scale yang sangat tinggi berdasarkan informasi dari karyawan PERTAMINA Region Sumatra. C. Pengumpulan Scale Inhibitor Selain pengambilan percontoh air terproduksi juga dilakukan pengambilan percontoh inhibitor untuk diuji efektivitasnya dalam penanganan problem scale di lapangan. Dengan bantuan dari PERTAMINA Region Sumatra didapatkan satu jenis inhibitor yang biasa dipakai di lapangan-lapangan PERTAMINA Region Sumatra. Untuk melengkapi diusahakan beberapa inhibitor lain dari vendor-vendor yang berada di Jakarta, dan hanya berhasil mendapatkan dua jenis
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
inhibitor yang kemudian disebut sebagai inhibitor A dan C (inhibitor dari PERTAMINA disebut dengan inhibitor B). Agar penelitian dapat dilakukan sesuai dengan pemakaian di lapangan maka diperlukan informasi mengenai dosis pemakaiannya. Berdasarkan informasi, dosis pemakaian inhibitor dar PERTAMINA adalah 10 Liter/hari untuk produksi air 800 BWPD. IV. ANALISIS KIMIA DAN TENDENSI SCALE Analisis kimia hanya dilakukan pada percontoh yang diambil dari lapangan Beringin dan Gunung Kemala yaitu dari sumur-sumur BRG – 08, GK – 65, dan GK – 80. Sedangkan analisis tendensi dilakukan selain pada percontoh yang diambil dari lapangan Gunung Kemala dan Beringin, juga dilakukan pada seluruh data analisis kimia yang didapatkan di seluruh Pulau Sumatra. Pengujian kimiawi diusahakan untuk dapat dilakukan di lapangan yaitu di Laboratorium Produksi PERTAMINA Region Sumatra. Apabila tidak memungkinkan pengujian di lapangan, pengujian dilakukan di Laboratorium Material Pemboran di PPPTMGB “LEMIGAS” Jakarta. Untuk mencegah berubahnya konsentrasi kation, percontoh yang akan digunakan untuk pengujian kandungan kation diawetkan dengan cara diberi asam sehingga pH nya berubah menjadi 2–4, dengan cara ini diharapkan kation-kation tetap berada dalam larutan dan tidak terjadi kontaminasi. Pengujian kandungan kation dan anion dilakukan dengan metode yang berbeda-beda dan dapat dirangkum pada Tabel 4.1. di bawah ini: Hasil analisis kimia pada ketiga percontoh yang diambil dari lapangan-lapangan migas yang ada di Prabumulih ditampilkan pada Tabel 4.2. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa air terproduksi hanya mengandung sedikit ion Ba++ sehingga kemungkinan besar tidak mengendapkan scale BaSO4. Dari analisis kimia yang ditampilkan pada tabel tersebut, dilakukan analisis tendensi terbentuknya scale dengan menggunakan metode yang telah diuraikan pada Bab II. Rangkuman hasil analisi tendensi scale ditampilkan pada Tabel 4.3. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa semua air terproduksi tidak bertendensi membentuk scale CaSO 4 , BaSO 4 , serta SrSO 4 , tetapi semua 235
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
Tabel 4.1. Metode Pengujian Konsentrasi Ion pada Percontoh No. 1 2 3
Konsentrasi ion yang diuji
Metode
=
CO3
HCO3 Cl
-
=
Keterangan
Titrasi
Di lapangan
Titrasi
Di lapangan
Titrasi
Di lapangan
4
SO4
HACH Spectrophotometer
HACH Spectrophotometer
5
++
Titrasi
Di lapangan
++
Titrasi
Di lapangan
++
6 7 8
Ca
Mg
HACH Spectrophotometer
Di lapangan
++
ICP (Intra Couple Plasma)
Di ”LEMIGAS”
+++
HACH Spectrophotometer
Di lapangan
HACH Digital pHmeter
Di lapangan
Ba Sr
9
Fe
10
pH
Tabel 4.2. Hasil Analisis Kimia Percontoh dari Lapangan Beringin dan Gunung Kemala Tanggal Lapangan
Sumur
Lapisan
Na+ (mg/l)
Interv al (m) Contoh
Analisis
Ca++ M g ++ CO3= HCO3- SO4= (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l)
BRG - 08
BRN - 08
D2F1
2266 - 2272
31-Jul-09
11-Ag ust-09
5,622.2 1,043.9
75.5
-
1,220.0
GK - 65
GK - 65
L2
1866 - 1868
30-Jul-09
11-Ag ust-09
5,704.2
521.1
64.3
-
2,818.2
GK - 80
GK - 80
L23, Gk25 1875 - 2504
30-Jul-09
11-Ag ust-09
5,800.6
922.7
93.7
-
1,417.6
CL (mg/l)
12.0 11,000.0
Ba++ Sr++ Fe+++ (mg/l) (mg/l) (mg/l)
pH
0.1
22.6
4.8
7.5
1,500.0
0.1
5.7
0.1
7.8
2.0 11,000.0
0.1
5.7
0.1 7.21
156.0
Keterangan
Tabel 4.3. Rangkuman Analisis Tendensi Scale Percontoh dari Lapangan Beringin dan Gunung Kemala Tan g g al L ap an g an
Su mu r
L ap isan
Scale C aC O 3
In terval (m)
K eterangan
C o n to h
An alisis
SI
Ten d en si
Beringin
BR G - 08
D 2, F 1
2266.0 - 2272.0
31-J ul-09
11-Agus t-09
1.295
Ya
Gunung Kem ala
GK - 65
L2
1866.0 - 1868.0
30-J ul-09
11-Agus t-09
1.774
Ya
Gunung Kem ala
GK - 80
L23, Gk 25
1875.0 - 2504.0
30-J ul-09
11-Agus t-09
0.905
Ya
Pengam bilan perc ontoh dilak uk an di Kepala Sum ur (W ell H ead). Sem ua tidak m enunjuk k an tendens i s c ale
menunjukkan tendensi mengendapkan scale CaCO3. Hal ini memang sesuai dengan perkiraan karena tujuan pengambilan percontoh difokuskan pada sumur yang bertendensi membentuk scale. 236
C aSo 4, BaSO 4 danSr SO 4
V. EVALUASI PENYEBAB SCALE DAN PENANGANANNYA Seluruh data telah dievalusi tendensi pembentukan scale-nya untuk mendapatkan kesimpulan mengenai
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
penyebab scale di P. Sumatra. Analisis dilakukan untuk suhu 30oC yang mendekati suhu lapangan di Pulau Sumatra. Pada bab ini akan dibahas evaluasi penyebab scale untuk Provinsi Sumatra Selatan, Jambi, Riau, dan Nangroe Aceh Darrusalam, kemudian upaya pencegahan dengan menguji scale inhibitor yang biasa digunakan di lapangan, serta penanganannya. A. Evaluasi Scale Sumatra Selatan Data yang berhasil dikumpulkan dari Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 2510 data yang mewakili 567 sumur di 46 lapangan. Lapangan tersebut dioperasikan oleh 7 operator yaitu: CONOCO PHILLIPS, ELNUSA TRISTAN, LEKOM MARAS, MEDCO S.-SS, PERTAMINA, RETCO P/WESTERN, dan PERTAMINA UBEP LIMAU. Dari hasil evaluasi tidak terdapat indikasi tendensi pembentukan scale untuk mineral CaSO4, BaSO4, dan SrSO4. Khusus untuk SrSO4 tidak terdapat data ion Sr++ di dalam kandungan air terproduksi di Sumatra Selatan, sedangkan data ion Ba++ hanya pada air terproduksi di lapangan Rambutan dan evaluasi scale menunjukkan tidak bertendensi untuk membentuk endapan. Indikasi scale yang ada hanya dari mineral CaCO 3. Evaluasi lebih lanjut menunjukkan bahwa dari 567 sumur, 145 sumur menunjukkan tidak bertendensi membentuk scale sedangkan 422 sumur bertendensi membentuk scale. Tidak seluruh sumur dalam suatu lapangan menunjukkan tendensi yang sama untuk membentuk atau tidak membentuk scale. Dari 46 lapangan yang ada di lampiran tersebut terdapat 4 lapangan yang semua sumurnya cenderung tidak membentuk scale, 4 lapangan yang sebagian besar sumurnya cenderung tidak membentuk scale, 4 lapangan yang peluangnya 50% untuk membentuk scale, 15 lapangan yang sebagian besar sumurnya cenderung membentuk scale, dan terdapat 19 lapangan yang semua sumurnya cenderung tidak membentuk scale. Tanpa memperhitungkan lapisan-lapisan yang diproduksi bersama telah dievaluasi lapisan-lapisan yang air formasinya cenderung membentuk scale dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 5.1. B . Evaluasi Scale Jambi Data yang berhasil dikumpulkan dari Provinsi Jambi sebanyak 294 data yang mewakili 83 sumur di 20 lapangan. Lapangan tersebut dioperasikan oleh 7
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
operator yaitu: AMERADA HESS, CONOCO PHILLIPS, ELNUSA TRISTAN, KSO-G.E.O MINERGY, MEDCO S.-SS, PEARL OIL, dan PERTAMINA. Sesuai dengan metode yang telah diuraikan di Bab II dan telah dilakukan di Bab IV telah dilakukan evaluasi tendensi scale dari air terproduksi di Jambi. Tidak terdapat indikasi tendensi pembentukan scale untuk mineral CaSO4, BaSO4, dan SrSO4. Khusus untuk SrSO4 tidak terdapat data ion Sr++ didalam kandungan air terproduksi di Jambi, sedangkan data ion Ba++ hanya pada air terproduksi di lapangan Mengopeh dan evalusi scale menunjukkan tidak bertendensi untuk membentuk endapan. Data menunjukkan bahwa dari 294 data terdapat 263 data yang menunjukkan indikasi membentuk scale dan hanya 31 data yang menunjukkan tidak terdapat indikasi membentuk scale. Evaluasi lebih lanjut menunjukkan bahwa dari 96 sumur yang terdaftar, 20 sumur menunjukkan tidak bertendensi membentuk scale sedangkan 76 sumur bertendensi membentuk scale. Tidak seluruh sumur dalam suatu lapangan menunjukkan tendensi yang sama untuk membentuk atau tidak membentuk scale. Dari 20 lapangan yang ada di lampiran tersebut terdapat 2 lapangan yang semua sumurnya cenderung tidak membentuk scale, 4 lapangan yang peluangnya 50% untuk membentuk scale, 5 lapangan yang sebagian besar sumurnya cenderung membentuk scale, dan terdapat 9 lapangan yang semua sumurnya cenderung tidak membentuk scale. Tanpa memperhitungkan lapisan-lapisan yang diproduksi bersama telah dievaluasi lapisan-lapisan yang air formasinya cenderung membentuk scale dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 5.2. C. Evaluasi Scale Riau Data yang berhasil dikumpulkan dari Provinsi Riau sebanyak 294 data yang mewakili 83 sumur di 20 lapangan. Lapangan tersebut dioperasikan oleh 4 operator yaitu: CONOCO PHILLIPS, CHEVRON PACIFIC INDONESIA, Pertalahan A.N., dan SIAK. Tidak terdapat indikasi tendensi pembentukan scale untuk mineral CaSO4, BaSO 4, dan SrSO 4. Khusus untuk SrSO4 dan BaSO4 tidak terdapat data ion Sr++ di dalam kandungan air terproduksi di Riau dan evalusi scale menunjukkan tidak bertendensi untuk membentuk endapan. 237
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
Tabel 5.1. Rangkuman evaluasi tendensi scale CaCO3 di Sumatra Selatan Param eter Tendensi terbentuk scale Data
Sum ur
Lapangan
Lapisan
470
145
4
10
Sebagian bes ar tidak bertendens i terbentuk s cale
4
3
Kem ungkinan m em bentuk Scale 50%
4
5
Sebagian bes ar bertendens i terbentuk s cale
15
20
19
30
Tidak bertendens i terbentuk scale
Bertendens i terbentuk scale
2070
422
Tabel 5.2. Rangkuman evaluasi tendensi scale CaCO3 di Jambi. Param eter
Tendensi terbentuk scale Data
Sum ur
Lapangan
Lapisan
31
20
2
1
Kem ungkinan m em bentuk Scale 50%
4
3
Sebagian bes ar bertendens i terbentuk s cale
5
2
9
25
Tidak bertendens i terbentuk scale
Bertendens i terbentuk scale
Data menunjukkan bahwa dari 53 data terdapat 40 data yang menunjukkan indikasi membentuk scale dan hanya 13 data yang menunjukkan tidak terdapat indikasi membentuk scale. Evaluasi lebih lanjut menunjukkan bahwa dari 20 sumur yang terdaftar, 6 sumur menunjukkan tidak bertendensi membentuk scale sedangkan 14 sumur bertendensi membentuk scale. Dari 12 lapangan yang ada terdapat 1 lapangan yang semua sumurnya cenderung tidak membentuk scale, 1 lapangan yang peluangnya 50% untuk membentuk scale, 3 lapangan yang sebagian besar sumurnya cenderung membentuk scales, dan terdapat 7 lapangan yang semua sumurnya cenderung tidak membentuk scale. Tanpa memperhitungkan lapisan-lapisan yang diproduksi bersama telah dievaluasi lapisan-lapisan yang air formasinya cenderung membentuk scale dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 5.3.
238
263
96
D. Evaluasi Scale Nanggroe Aceh Darussalam Data yang berhasil dikumpulkan dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebanyak 3 data yang mewakili 2 sumur (satu data diambil di pipa produksi) di 3 lapangan. Lapangan tersebut dioperasikan oleh 3 operator yaitu: PERTAMINA, Exxon Mobil, dan MEDCO. Tidak terdapat indikasi tendensi pembentukan scale untuk mineral CaSO4, BaSO4, dan SrSO4. Khusus untuk SrSO4 dan BaSO4 tidak terdapat data ion Sr ++ di dalam kandungan air terproduksi di Nanggroe Aceh Darussalam dan evalusi scale menunjukkan tidak bertendensi untuk membentuk endapan. E. Pengujian Scale Inhibitor Telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa telah dikumpulkan 3 percontoh scale inhibitor dari 2 Perusahaan penyedia material tersebut dan satu dari PERTAMINA. Untuk selanjutnya scale inhibitor
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
Tabel 5.3. Rangkuman evaluasi tendensi dscale CaCO3 di Riau Param eter
Tendensi terbentuk scale Tidak bertendens i terbentuk s cale
Data
Sum ur
Lapangan
13
6
2
Kem ungkinan m em bentuk Scale 50%
1
Sebagian bes ar bertendens i terbentuk Scale
3
Bertendens i terbentuk s cale
dari PERTAMINA dinamai B sedangkan yang dari Vendor dinamai A dan C. Sebagai media untuk pengujian digunakan air percontoh dari Lapangan Beringin karena berdasarkan hasil evaluasi yang diuraikan pada Bab IV menunjukkan tendensi scale yang paling besar. Urut-urutan pengujian dilakukan sebagai berikut (Gambar 5.1.): Pemisahan percontoh air BRG–8. Air percontoh dari Lapangan Beringin yaitu yang diambil dari Sumur BRG–8, dimasukkan dalam suatu corong gelas yang besar yang mempunyai keran di bawahnya, dan dibiarkan beberapa saat. Minyak akan terpisah dan berada di atas air terproduksi. Apabila telah terjadi pemisahan yang sempurna air yang berada di bagian bawah ditampung dengan cara membuka keran. Air yang sudah dipisahkan dari minyak ini kemudian kita sebut sebagai media. Penyaringan media. Penyaringan dilakukan terhadap media dengan menggunakan kertas filter ukuran 0,45 dan alat pemvakum untuk mempercepat proses penyaringan. Dengan penyaringan ini diharapkan semua padatan yang berada dalam cairan dapat dihilangkan sehingga hanya tersisa cairan dan padatan terlarut saja. Pemberian Inhibitor. Media yang telah disaring kemudian ditakar dengan gelas ukur sebanyak 400 ml, ditetesi dengan inhibitor, kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang terbuat dari besi anti karat yang disebut dengan aging cell (4 tabung masing-masing 400 ml). Satu tabung tidak ditetesi dengan inhibitor yang kemudian disebut blank, tabung kedua ditetesi dengan ½ tetes inhibitor (dilakukan dengan cara membubuhkan 1 tetes inhibitor kedalam 800 ml media, kemudian membaginya menjadi 2), tabung ketiga dengan 1 ½ tetes (dilakukan dengan menambahkan
40
14
8
Lapisan
1
4
sisa 400 ml dari tabung kedua dan menambahkan dengan satu tetes), dan tabung keempat dengan menambahkan 3 tetes inhibitor. Untuk satu inhibitor dilakukan tiga kali pengujian. Pemeraman (aging). Keempat tabung tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 100 o C, selama 24 jam. Dengan pemeraman diharapkan terjadi pengendapan CaCO3 karena material ini akan mempunyai indeks kelarutan yang makin rendah bila suhu semakin tinggi. Penimbangan filter bersih. Sesaat setelah tabung dikeluarkan dilakukan penimbangan filter yang akan digunakan untuk menyaring air yang telah diperam di dalam tabung. Masing-masing filter ditandai dan dicatat beratnya (pada wadah filter yang bersangkutan). Penimbangan dilakukan dengan akurasi empat digit di belakang koma (satuan mg). Diperlukan 8 filter untuk menyaring air di dalam 4 tabung yang diperam. Penyaringan hasil aging. Penyaringan dilakukan terhadap media dengan menggunakan kertas filter ukuran 0,45 yang telah ditimbang beratnya (dua filter) dan alat pem vakum untuk mempercepat proses penyaringan. Dengan penyaringan ini diharapkan semua endapan yang berada dalam cairan dapat tertinggal di filter, sehingga hanya tersisa cairan dan padatan terlarut saja. Pengeringan filter. Kedelapan filter tersebut kemudian dimasukkan kedalam oven dengan suhu 90oC, selama 6 jam. Dengan pemeraman diharapkan terjadi pengendapan CaCO3 karena material ini akan mempunyai indeks kelarutan yang makin rendah bila suhu semakin tinggi. Penimbangan filter dengan endapan. Sesaat setelah filter yang digunakan untuk menyaring selesai dikeringkan dan dikeluarkan, selanjutnya dilakukan 239
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
penimbangan filter yang telah digunakan untuk menyaring air yang telah diperam di dalam oven. Penimbangan dilakukan dengan akurasi empat digit di belakang koma (satuan mg). Masing-masing air tabung menggunakan dua filter. Selisih berat antara filter sebelum dan sesudah digunakan, merupakan berat endapan. 1. Dasar-dasar perhitungan Untuk menjaga akurasi diperlukan beberapa perhitungan menyangkut kebutuhan atau dosis inhibitor di lapangan, konversi dari tetes ke ppm, serta konsentrasi inhibitor dalam tabung. Dosis di lapangan ditentukan dengan dasar informasi dari PERTAMINA bahwa dibutuhkan inhibitor 10 L/hari untuk sumur yang memproduksi 800 BWPD (barel air per hari). Perhitungannya adalah sebagai berikut: Dosis
Kebutuhan Inhibitor ( dalam L / hari ) * 10 Pr oduksi air ( dalam L / hari )
6
(15)
10 *10 6 78 ,62 ppm 800 *159
Dari perhitungan di atas didapatkan dosis yang digunakan di lapangan adalah 78,62 ppm. Konversi dari tetes ke ml dilakukan dengan percobaan pada suatu pipet ukuran 1 ml yang akan digunakan untuk membubuhkan inhibitor kedalam tabung (pipet ini seterusnya akan digunakan untuk membubuhkan inhibitor ke dalam tabung). Percobaan menunjukkan bahwa diperlukan penetesan sampai 19 kali untuk mengosongkan 1 ml inhibitor. Dari hasil percobaan tersebut berarti 1 tetes inhibitor setara dengan 1/19 ml. Perhitungan untuk konsentrasi inhibitor dilakukan dengan rumus: C inh
T * C F * 10 6 V tabung
Gambar 5.2. Hasil pengujian Inhibitor A
(16)
di mana: C inh = Konsentrasi dalam ppm T = T jumlah tetes dalam tetes CF = Faktor konversi, dalam hal ini 1/19 ml/tetes V tabung = Volume air dalam tabung dalam ml
240
Gambar 5.1. Urut-urutan pengujian scale inhibitor
Gambar 5.3. Hasil pengujian Inhibitor B
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
Tabel 5.4. Hasil pengujian percontoh Blank
Penimbangan (Gram)
Konsentrasi Tetes
PPM
Awal
Akhir
Endapan (mg)
Filter Bawah
Filter Atas
Endapan
Awal
Akhir
Endapan
0.00
0.00
0.078750
0.088710
0.009960
0.078600
0.080500
0.001900
118.600
0.00
0.00
0.076540
0.088330
0.011790
0.077650
0.080110
0.002460
142.500
0.00
0.00
0.079050
0.104060
0.025010
0.076430
0.079030
0.00
0.00
250.100
Rata-Rata
170.400
Tabel 5.5. Hasil pengujian Inhibitor A
Penimbangan (Gram)
Konsentrasi Tetes
PPM
Awal
Akhir
Endapan (mg)
Filter Bawah
Filter Atas
Endapan
Awal
Akhir
0.5
66
0.078920 0.083550
0.004630
0.077010
0.077380
0.000370
5.000000
0.5
66
0.078920 0.083550
0.004630
0.077010
0.077380
0.000370
5.000000
0.5
66
0.077150 0.088250
0.011100
0.077290
0.080970
0.003880
14.780000
0.5
66
1.5
197
0.077620 0.081460
0.003840
0.077300
0.078810
0.001510
5.3500000
1.5
197
0.076900 0.083840
0.006940
0.070400
0.079740
0.009340
16.280000
1.5
197
0.076720 0.082810
0.006090
0.077400
0.077670
0.000270
6.360000
1.5
197
3
395
0.077880 0.085290
0.007410
0.076630
0.080300
0.001670
9.080000
3
395
0.078350 0.084930
0.006580
0.077700
0.078390
0.000690
7.270000
3
395
0.076850 0.097050
0.020200
0.075690
0.076520
0.000830
21.030000
3
395
0.076770 0.090460
0.013690
0.079600
0.078630
0.00970
12.720000
3
395
Rata-Rata
8.2600
Rata-Rata
Rata-Rata
Contoh perhitungan untuk ½ tetes dalam 400 ml air didalam tabung adalah:
C inh 1 2 *1 19 *106 / 400 65 .789 ppm 2. Hasil pengujian inhibitor Dengan dasar perhitungan di atas dan pengujian yang telah dilakukan, hasilnya dapat dirangkum pada
9.3300
136.733
Tabel 5.4. sampai 5.7. dan Gambar 5.2. sampai 5.3., sedangkan rangkuman secara keseluruhan ditampilkan pada Tabel 5.8. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua scale inhibitor menunjukkan kinerja yang relatif sama pada dosis yang disarankan (75-100 ppm). Pada porsi ini semua inhibitor menunjukkan kinerja optimum. Penambahan scale inhibitor tidak menunjukkan perbaikan kinerja, malahan menurunkan kinerja pada 241
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
Tabel 5.6. Hasil pengujian Inhibitor B
Penimbangan (Gram)
Konsentrasi Tetes
PPM
Awal
Akhir
Endapan (mg)
Filter Bawah
Filter Atas
Endapan
Awal
Akhir
0.5
0.074980
0.080720
0.005740
0.074480
0.074970
0.000490
0.5
0.076040
0.083700
0.007660
0.075700
0.078130
0.002430 10.090000
0.5
0.074330
0.075170
0.000840
0.075660
0.087620
0.011960 12.800000
0.5
Rata-Rata
66
6.230000
9.7067
1.5
0.074040
0.074820
0.000780
0.074970
0.084550
0.009580 10.360000
1.5
0.075030
0.082100
0.007070
0.073940
0.074920
0.000980
1.5
0.079880
0.093090
0.013210
0.079370
0.080680
0.001310 14.520000
1.5
Rata-Rata
197
8.050000
10.9767
3
0.075360
0.078950
0.003590
0.074660
0.076380
0.001720
5.310000
3
0.079550
0.084660
0.005110
0.078600
0.080050
0.001450
6.560000
3
0.079390
0.096260
0.016870
0.076320
0.075530
0.000790 16.080000
3
Rata-Rata
395
9.3167
Tabel 5.7. Hasil pengujian Inhibitor C
Penimbangan (Gram)
Konsentrasi Tetes
242
PPM
Awal
Akhir
Endapan (mg)
Filter Bawah
Filter Atas
Endapan
Awal
Akhir
0.5
66
0.074270
0.082360
0.008090
0.075080
0.076670
0.001590
9.6800
0.5
66
0.079060
0.086390
0.007330
0.079580
0.081730
0.002150
9.4800
0.5
66
0.076675
0.084365
0.007720
0.077340
0.079210
0.001880
9.6000
0.5
66
1.5
197
0.075920
0.101650
0.025730
0.076910
0.078070
0.001160
26.8900
1.5
197
0.083970
0.100100
0.016130
0.079860
0.082140
0.002280
18.4100
1.5
197
0.079955
0.100885
0.020940
0.078395
0.080115
0.001730
22.6700
1.5
197
3
395
0.075350
0.125610
0.050260
0.076320
0.078100
0.001780
52.040000
3
395
0.078840
0.119090
0.040250
0.076160
0.075850
0.000310
39.940000
3
395
0.077105
0.122360
0.045255
0.076250
0.076985
0.000735
45.990000
3
395
Rata-Rata
9.5867
Rata-Rata
Rata-Rata
22.6567
45.9900
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
Tabel 5.8. Hasil pengujian Inhibitor
Sca le Inhibitor
Ra ta -Ra ta Jum la h Enda pa n (m g) Bla nk 0,5 Te te s 1,5 Te te s 3,0 Te te s (0 ppm ) (66 ppm ) (197 ppm ) (395 ppm )
Inhibitor A
17.040
8.260
9.330
13.673
Inhibitor B
17.040
9.707
10.977
9.317
Inhibitor C
17.040
9.587
22.657
45.990
Ke te ra nga n
Pengujian masing-masing inhibitor dilakukan menggunakan 3 tabung stainless steel dengan volume 400cc, kemudian tiap tabungnya ditetesi inhibitor 0,5 tetes, 1,5 tetes dan 3 tetes. Setiap percobaan dilakukan 3 kali (diulang dua kali). Hasilnya dirataratakan. Selain itu dilakukan tiga kali pengujian dengan tabung 400cc tanpa ditetesi inhibitor dan hasilnya dirataratakan untuk mendapatkan Blank .
inhibitor A dan C, sehingga disarankan untuk selalu menginjeksikan inhibitor sesuai dengan dosis yang disarankan. Dari ketiga inhibitor tersebut Inhibitor B menunjukkan kinerja yang paling bagus di antara ketiganya. F. Pencegahan dan penanggulangan scale Pencegahan yang perlu dilakukan adalah menggunakan inhibitor yang diutamakan untuk mencegah terjadinya scale CaCO3. Sesuai dengan hasil uji inhibitor disarankan untuk: - Menggunakan inhibitor sejak sumur diproduksi. Scale inhibitor harus diinjeksikan di dekat zona perforasi sehingga didapat pencegahan sejak dini untuk menghindari endapan scale di bawah permukaan. - Inhibitor yang digunakan lebih diutamakan scale untuk menghambat pengendapan CaCO3 dengan seleksi yang ketat menggunakan uji laboratorium. Hal ini untuk menghindari terbentuknya scale karena penambahan inhibitor yang berlebihan. - Menggunakan inhibitor dengan dosis sesuai dengan kajian laboratorium Mengingat bahwa penyebab scale yang terutama adalah CaCO3 maka penanggulangan scale yang sudah terbentuk adalah dengan menggunakan HCl dengan metode yang disarankan yaitu metode yang dikemukakan oleh Patton. Pembersihan dapat dilakukan juga dengan chelating agent seperti EDTA,
Gambar 5.4. Hasil pengujian Inhibitor C
akan tetapi tidak akan dibahas di sini karena harganya yang sangat mahal sehingga tidak ekonomis untuk dipakai di lapangan migas. Saran untuk membersihkan pipa yang tersumbat oleh scale adalah: - Membersihkan endapan hidrokarbon yang melapisi scale yang terbentuk dengan pelarut hidrokarbon, sebelum scale dilarutkan dengan asam - Menggunakan HCl dengan dosis yang sesuai dengan ketebalan scale dengan menambahkan corrosion inhibitor untuk melindungi pipa. Rumus yang digunakan adalah 318 galon 15% HCL untuk setiap ft3 scale di dalam pipa. Apabila telah dilakukan pembersihan terhadap 243
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
endapan hidrokarbon yang melapisi endapan scale maka urut-urutan pemebrsihan pipa adalah: 1. Memperkirakan volume scale di dalam pipa. Gunakan grafik pada Gambar 5.5. untuk memperkirakan volume scale dengan memperhatikan ketebalan scale didalam pipa. Grafik di bagian untuk scale dengan ketebalan 1/64 sampai ¼ inci, sedangkan di bagian bawah untuk ketebalan ½ sampai 1 inci. Contoh pemakaian: Bila diameter pipa yang dipakai adalah 14" sedangkan panjangnya 200 ft dan perkiraan ketebalan scale ½ inci. Berapa volume scale yang ada didalam pipa? - Lihat Gambar 5.5. bagian bawah. Terlihat ada garis tebal vertikal terputus-putus yang berimpit dengan diameter pipa 14". - Garis ini memotong grafik ketebalan ½" di A. - Dari A dapat ditarik garis lurus mendatar yang yang memotong sumbu vertikal di B yang mendekati angka 0,15 ft3/linear feet. - Volume scale di dalam pipa adalah 200 * 0,15 = 30 ft3 2. Memperkirakan kebutuhan HCl Untuk memperkirakan kebutuhan HCL bagi dapat digunakan rumus di bawah ini (berlaku untuk HCl 15 %) CaCo3 95 for Fe2O3 use 318 gal 15% HCl cu ft of scale FeS 180
(17)
Rumus di atas dapat dipakai untuk endapan CaCO3, Fe2CO3 dan FeS. Cara membacanya adalah sebagai berikut: - Untuk CaCO3 dibutuhkan 15% HCl sebanyak 95 gal/ft3 scale (angka yang paling atas). - Untuk Fe2CO3 dibutuhkan 15% HCl sebanyak 318 gal/ft3 scale (angka yang di tengah). - Untuk FeS dibutuhkan 15% HCl sebanyak 180 gal/ft3 scale (angka yang paling bawah). Dari hasil di atas dapat dicari kebutuhan 15% HCl untuk 30 ft3 scale CaCO3 yaitu 60 ft3 * 95 gal/ft3 sama dengan 2850 galon.
244
Gambar 5.5 Grafik untuk memperkirakan volume scale di dalam pipa dengan dasar perkiraan ketebalan scale di dalam pipa
3. Perkiraan Lama Reaksi Reaksi larutan HCl untuk CaCO3 seharusnya berjalan dengan cepat. Patton (1986) mengemukakan untuk scale yang basah air (tidak terlapisi oleh minyak) scale setebal 1/8" dalam pipa ¼" X 1" diperlukan hanya kurang dari 5 menit untuk menyelesaikan reaksi. Apabila scale basah minyak (terlapisi minyak) reaksi bisa berlangsung sampai lebih lama darai 50 menit. VI. KESIMPULAN 1. Penyebab utama endapan scale di Sumatra adalah CaCO3. Semua lapangan tidak menunjukkan adanya indikasi endapan scale CaSO 4 dan BaSO 4. 2. Semua scale inhibitor menunjukkan kinerja yang relatif sama pada dosis yang disarankan (78 ppm).
STUDI PENYEBAB SCALE
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AKHDAN W SETIAPRIHADI, SUPRIYADI DAN DWI SARTATI DEWAYANTI
3. Scale inhibitor A menunjukkan kinerja yang paling baik akan tetapi penambahan scale inhibitor mengabibatkan penurunan efektivitas inhibitor. Penambahan scale inhibitor tidak menunjukkan perbaikan kinerja, malahan menurunkan kinerja pada inhibitor A dan C, sehingga disarankan untuk selalu menginjeksikan inhibitor sesuai dengan dosis yang disarankan. Inhibitor B menunjukkan kinerja yang paling bagus di antara ketiganya. 4. Pencegahan pembentukan scale: - Menggunakan inhibitor sejak sumur diproduksi. Scale inhibitor harus diinjeksikan di dekat zona perforasi sehingga didapat pencegahan sejak dini untuk menghindari endapan scale di bawah permukaan. - Inhibitor yang digunakan lebih diutamakan scale untuk menghambat pengendapan CaCO 3 dengan seleksi yang ketat menggunakan uji laboratorium. Hal ini untuk menghindari terbentuknya scale karena penambahan inhibitor yang berlebihan. - Menggunakan inhibitor dengan dosis sesuai dengan kajian laboratorium. 5. Penanggulangan scale yang sudah terbentuk - Membersihkan endapan hidrokarbon yang melapisi scale yang terbentuk dengan pelarut
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 227 - 245
hidrokarbon, sebelum scale dilarutkan dengan asam. - Menggunakan HCl dengan dosis yang sesuai dengan ketebalan scale dengan menambahkan corrosion inhibitor untuk melindungi pipa. Rumus yang digunakan adalah 95 galon 15% HCL untuk setiap ft3 scale di dalam pipa. KEPUSTAKAAN 1. Jaques, D.F., and Bourland, B.I. 1983. A Study of solubility of Strontium Sulfate. SPE Journal, p 292-300. 2. Jones, L.W. 1988. Corrosion and Water Technology for Petroleum Producers. OGGI Pub, p117-127. 3. Patton, DR. Charles C. 1989. Applied Water Technology. Oklahoma. Campbell Petroleum Series. 4. Petroleum Extention Services. 1968. Crude Oil Tanks, Construction, Strapping, Gauging, and Maintenance. Austin. The University of Texas, Division of Extension in Cooperation with Texas Educational Agency.
245
PENGEMBANGAN SIMULASI DISTRIBUSI REKAHAN ARIE HAANS DAN USMAN
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 246 - 252
Pengembangan Simulasi Distribusi Rekahan pada Reservoir Rekah Alami Berdasarkan Data Produksi Oleh: Arie Haans1) dan Usman2) Calon Peneliti1), Peneliti Muda2) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile: 62-21-7246150 Teregistrasi I Tanggal 19 April 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal 29 November 2010 Disetujui terbit tanggal: 31 Desember 2010
SARI Reservoir rekah alami umumnya dicirikan oleh karakteristik double-porosity di mana primary porosity merepresentasikan porositas matriks dan secondary porosity merepresentasikan porositas rekahan. Pada double-porosity model diasumsikan terdapat dua region dengan porositas dan permeabilitas yang berbeda dalam suatu formasi. Warren dan Root memperkenalkan dua karakteristik parameter yang mengontrol perilaku suatu sistem double-porosity. Kedua parameter tersebut adalah interporosity flow coeficient (λ) menggambarkan kemampuan fluida mengalir dari primary porosity ke secondary porosity dan storativity (ω) menggambarkan rasio kapasitas simpan secondary prosity terhadap total pori. Kedua karakteristik rekahan tersebut selama ini diperoleh dari data tes sumuran. Pada makalah ini penulis mengembangkan suatu metode penentuan karakteristik rekahan berdasarkan data produksi dengan menggunakan metode central difference dan trapezoid-second derivative. Metode geostatistik digunakan dalam menyebarkan krakteristik rekahan tersebut. Data produksi yang digunakan adalah data laju alir dan atau data water cut. Reservoir rekah alami ditandai dengan laju produksi periode awal yang tinggi, kemudian turun secara cepat dengan slope data yang curam. Periode penurunan ini merepresentasikan kontribusi parameter λ. Hasil yang diperoleh dari metode ini perlu dikorelasikan dengan hasil dari uji sumur. Kata Kunci : reservoir rekah, lambda, omega, double-porosity, geostatistik, distribusi rekahan. ABSTRACT Naturally fractured reservoirs are typically characterized by a double-porosity behavior in which a primary porosity that represents the matrix and a secondary porosity that represents the fracture system. The double-porosity model assumes two porous regions of distinctly different porosities and permeabilities within the formation. Warrant and Root indicated that the two characteristic parameters control the behavior of double-porosity systems. There are interporosity flow coefficient (λ) which describes the ability of the fluid to flow from the matrix into the fracture and the storativity (ω) which describes the storativity of the fracture as a ratio to the total reservoir. Both characteristic parameters are usually derived from the well test data. In this paper, the authors developed a method to describe the fracture characteristic based on production data using the central difference method and the trapezoid-second derivatives. Geostatistic method applied to distribute the obtained fracture characteristic. The flow rate data and or the water cut data were used. Naturally fractured reservoir characterized by initial high production, then declines very quickly. This decline period suggests the contribution of λ parameter. The results obtained by this methode should be correlated with the results derived from well test. Keywords : geostatistic, carbonate reservoir, fracture distribution, dual porosity 246
PENGEMBANGAN SIMULASI DISTRIBUSI REKAHAN
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
ARIE HAANS DAN USMAN
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 246 - 252
C. Sifat-sifat di Sekitar Titik Asal 1. Kuadratis. Variabel regional benar-benar kontinu dan diferensiabel. Dapat juga berhubungan dengan adanya sebuah drift. 2. Linier. Variabel regional kontinu tetapi tidak diferensiabel dan kurang regular seperti yang di atas 3. Diskontinu di titik asal. h tidak menuju nol walaupun h menuju nol, variabel sangat irregular untuk jarak pendek. 4. Datar. Betul-betul murni acak atau white noise. Variabel-variabel regional tidak berkorelasi untuk semua nilai h. Model ini juga yang diadopsi untuk analisis trend surface. Variogram pada hampir semua variabel memiliki diskontinuitas pada titik awalnya yang disebut nugget effect. D. Anisotropi Anisotropi geometris dapat berbentuk: - Variogram ke semua arah dengan nilai sill yang sama, walaupun rangenya berbeda. - Variogram linier pada arah yang berlainan,, tetapi memiliki slope yang berbeda. Range atau slope ini dapat digambarkan sebagai fungsi dari arah dengan, antara lain, memanfaatkan bentuk geometris elips (2-D). Kalau digunakan bentuk geometri ellips, maka dengan memanfaatkan formula transformasi koordinat sederhana dapat diperoleh bentuk geometri lingkaran yang sekaligus mengeliminir sifat anisotropi geometris ini. Transformasi sederhana dapat dijelaskan bila dipilih sumbu utama elips berhimpit dengan sumbu X koordinat (absis). Jika persamaan variogram pada arah 1 adalah maka keseluruhan variogram setelah dikoreksi sifat anisotropi-nya menjadi
( h) 1
h
2 1
k 2 h12
range 1 dengan k range 2
slope 1 atau k slope 2
Arah vertikal juga memainkan peranan penting dalam menentukan variogram karena ada perlapisan (strata) secara vertikal. Biasanya, digunakan pemilahan variogram menjadi komponen horizontal dan komponen vertikalnya: Komponen isotropi
248
0
h
2 1
h22 h32 ,Komponen vertical
( h3 ) , maka
Komponen keseluruhannya menjadi
.
E. Drift Pada umumnya, secara teoritis diperlihatkan bahwa variogram untuk variabel-variabel yang intrinsik dan stasioner meningkat lebih lambat dibandingkan sebuah fungsi kuadratiknya untuk jarak yang besar. (h) h2
0 untuk h
Dalam prakteknya, seringkali terjadi bahwa variogram meningkat lebih cepat daripada h2, yang menunjukkan adanya sebuah drift atau pergeseran. Variogram eksperimental memberikan sebuah estimasi raw variogram , dan tidak mengestimasi variogram sebenarnya (underlying). Kedua jenis variogram ini akan berhimpit hanya jika peningkatannya memiliki sebuah nilai menengah sama dengan nol (zero mean). Jika tidak maka akibatnya E ( Z ( x h) Z ( x)) 2 Var ( Z ( x h) Z ( x)) ( E ( Z ( x h) Z ( x )) 2
Raw variogram = variogram sebenarnya + (bias)2 F. Struktur terkurung (nested structure) Struktur terkurung dibentuk dari sebuah struktur range pendek dan sebuah struktur range yang lebih panjang. Struktur ini mengindikasikan adanya prosesproses yang bekerja pada skala yang berlainan. G. Efek Proporsional Efek proporsional muncul apabila nilai (terutama nilai sill) sebanding dengan kuadrat gradasi nilai menengah lokal, yang biasanya muncul dalam data yang terdistribusi secara lognormal. Nilai variogram untuk zona yang berbeda memiliki bentuk sama, tetapi nilai sill berbeda satu sama lain. Nilai sill menjadi sebanding dengan nilai menengah lokal, sementara model variogram sebenarnya (underlying) dapat diperoleh dengan membagi setiap variogram lokal dengan kuadrat nilai menengah lokal dan merataratakannya sebelum disesuaikan (fitted) dengan sebuah model variogram. H. Efek lubang dan periodisitas - Dari nol ke tak hingga ada berbagai sifat variogram, mulai dari struktur terkurung, efek lubang (hole effect), atau periodisitas.
PENGEMBANGAN SIMULASI DISTRIBUSI REKAHAN ARIE HAANS DAN USMAN
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 246 - 252
- hole effect muncul pada kondisi dimana suatu saat variogram eksperimental meningkat di atas nilai sill kemudian jatuh. Efek ini berhubungan dengan adanya lubang pada kovariansi. Secara alamiah, efek lubang disebabkan oleh fluktuasi variogram atau fluktuasi statistik akibat dari kurangnya pasangan titik yang dipakai untuk menghitung variogram eksperimental tersebut. Lapisan-lapisan yang terlipat dapat menghasilkan suatu periodisitas dalam variogram. Namun, periodisitas dalam variogram seringkali berupa suatu artefak akibat aktivitas manusia daripada muncul secara alamiah. III. DATA DAN HASIL ANALISIS Perangkat lunak yang dikembangkan dari penelitian ini, yaitu Derivative Analyzer dan Geostatistik 2D menggunakan bahasa pemrograman MATLAB versi 6.0. Perangkat lunak Derivative Analyzer (Gambar 1) digunakan dalam penentuan besarnya rekahan dengan menggunakan data laju alir. Dalam penentuan nilai rekahan masing-masing sumur digunakan nilai slope dari data laju alir yang merepresentasikan nilai rekahan pada sumur tersebut. Sementara perangkat lunak Geostatistik 2D (Gambar 2) digunakan dalam penyebaran rekahan yang diperoleh dari Derivative Analyzer. Lapangan migas yang digunakan dalam studi ini dibagi menjadi lima blok yang dibatasi oleh fault. Lapangan migas ini bisa dianggap sebagai lapangan marginal dengan jumlah sumur 313.. Blok I memiliki 91 sumur, Blok II memiliki memiliki 25 sumur, Blok III memiliki 82 sumur, Blok IV memiliki 36 sumur dan Blok V memiliki 56 sumur. Rekahan dapat diidentifikasi dari hasil uji FMI Grid sumur pada blok I-V dapat dilihat pada Gambar 3 – 7. Data laju alir sumur (contoh pada sumur X-6) sebagai input Derivative Analyzer ditampilkan pada Gambar 8. Dari data di atas ditentukan slope dengan menggunakan metode central difference seperti terlihat pada Gambar 9. Nilai dari slope ini merepresentasikan sebagai nilai rekahan sumur tersebut. Dengan cara yang sama dilakukan perhitungan slope dari data laju alir pada semua sumur yang terdapat pada lapangan ini.
Gambar 1 Tampilan Perangkat Lunak Derivative Analyzer
Gambar 2 Tampilan Perangkat Lunak Geostatistik 2D
Hasil run perangkat lunak Derivative Analyzer menjadi input untuk perangkat lunak Geostatistik 2D seperti terlihat pada Tabel 1 yang merupakan contoh untuk Blok III. Dari data input produksi yang mengindikasikan besaran rekahan, kemudian dilakukan variogram menggunakan metode Gaussian, Spherical, Exponential. Metode Gaussian pada penyebaran Blok III ditampilkan pada Gambar 10. Dari variogram menggunakan metode Gaussian, selanjutnya dilakukan kriging untuk penyebaran rekahan yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar 11. Besarnya rekahan ditunjukkan oleh perbedaan warna. Hasil penyebaran rekahan dari masing-masing
249
PENGEMBANGAN SIMULASI DISTRIBUSI REKAHAN ARIE HAANS DAN USMAN
Gambar 3 Grid Sumur Blok I
Gambar 5 Grid Sumur Blok III
Gambar 7 Grid Sumur Blok V
250
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 246 - 252
Gambar 4 Grid Sumur Blok II
Gambar 6 Grid Sumur Blok IV
Gambar 8 Data Laju Alir Sumur X-6
PENGEMBANGAN SIMULASI DISTRIBUSI REKAHAN
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
ARIE HAANS DAN USMAN
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 246 - 252
Tabel 1 Data Input BLOK III
Gambar 9 Slope Laju Alir Sumur X-6
Gambar 10 Blok III-Gausian Variogram
Gambar 11 Penyebaran Rekahan dengan Metode Gaussian Blok III
W ell
X (grid w ell)
Y (grid w ell)
Fracture
X-7
122.71
48.69
1.00
X-9
105.14
127.06
0.75
X-12
53.14
76.69
0.17
X-14
164.43
64.75
0.52
X-18
121.86
189.00
0.18
X-27
88.71
103.31
0.72
X-30
143.86
128.88
0.39
X-31
147.71
103.13
0.59
X-37
153.71
79.94
0.33
X-39
98.71
64.25
0.21
X-41
73.71
55.75
0.39
X-43
98.14
149.81
0.53
X-45
140.71
151.63
0.47
X-51
96.14
173.25
0.13
X-53
55.71
120.56
0.27
X-54
150.29
23.06
0.63
X-58
52.71
95.56
0.92
X-61
93.71
1.88
0.33
X-63
152.00
0.00
0.22
X-64
153.14
50.44
0.10
X-73
120.29
33.63
0.32
X-81
72.00
38.88
0.32
X-82
125.14
111.75
0.44
X-83
114.29
16.25
0.19
X-89
117.86
137.56
0.13
X-99
95.14
34.00
0.18
X-100
83.29
13.19
0.12
X-101
148.14
36.81
0.21
X-102
89.43
117.19
0.23
X-108
76.14
91.63
0.51
X-117
126.71
166.94
0.27
X-129
84.43
136.50
0.09
X-130
96.00
47.13
0.05
X-161
60.86
29.13
0.05
X-164
71.86
110.06
0.05
X-182
153.86
142.69
0.05
X-186
176.86
54.88
0.04
X-187
164.29
11.50
0.04
X-188
170.57
42.19
0.04
X-211
180.57
75.13
0.04
X-212
154.29
116.31
0.06
X-213
183.57
87.00
0.04
X-238
14.86
64.19
0.06
Gambar 12 Penyebaran Rekahan dengan Metode Gaussian Blok I
251
PENGEMBANGAN SIMULASI DISTRIBUSI REKAHAN ARIE HAANS DAN USMAN
Gambar 13 Penyebaran Rekahan dengan Metode Gaussian Blok II
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 246 - 252
Gambar 14 Penyebaran Rekahan dengan Metode Gaussian Blok IV
hubungan antara slope laju produksi dengan parameter λ dan ω. KEPUSTAKAAN
Gambar 15 Penyebaran Rekahan dengan Metode Gaussian Blok V
blok dapat dilihat pada Gambar 11-15. Nilai rekahan yang besar ditunjukkan pada warna merah dan kuning. IV. KESIMPULAN 1. Data produksi dapat digunakan untuk menentukan karakteristik rekahan pada reservoar rekah alami. 2. Dua perangkat lunak yaitu Derivative Analyzer dan Geostatistik 2D telah dikembangkan untuk menentukan karakteristik rekahan dari data produksi dan untuk menyebarkan rekahan antar sumur. 3. Direkomendasikan sebaiknya diteliti lebih lanjut
252
1. Ahmed, T. and McKinney, P.D., 2005, Advanced Reservoir Engineering, Gulf Professional Publishing in an imprint of Elsevier, The United State of America. 2. Away, Gunaidi Abdia, 2008, The Shortcut of Matlab Programming, Informatika, Jakarta. 3. David, Michael, 1987, Handbook of Applied Advanced Geostatistical Ore Reserve Estimation, Elsevier Scientific Pub. Co, New York. 4. Deutsch, Clayton V. and Journel, Andre G, 1998, GSLIB Geostatistical Software Library and User’s Guide, Oxford University Press, New York. 5. Hanselman, Duane, and Littlefield, Bruce, 2000, Mastering Matlab 6, Prentice Hall, United States. 6. Kitandis, P.K., 1997 Introduction to Geostatistics, Press Syndicate of the University of Cambridge, United Kingdom. 7. Ozkaya, S.I. and Richard, P.D., 2006, “Fractured Reservoir Characterization Using Dynamic Data in a Carbonate Field, Oman”, SPE Reservoir Evaluation & Engineering, Volume 9, Number 3, June 2006, 227-238. 8. Van Golf-Racht, T.D., 1982, Fundamentals of Fractured Reservoir Engineering, Elsevier Scientific Publishing Company, AE Amsterdam, The Netherlands.
PEMECAHAN GELOMBANG-S AKUSTIK BAMBANG WIDARSONO
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, NOVEMBER 2010: 253 - 262
Pemecahan Gelombang-S Akustik Sebagai Indikasi Orientasi Umum Rekahan pada Reservoir Gas Metana Batubara Oleh: Bambang Widarsono Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150 Teregistrasi I Tanggal 01 Desember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal 13 Desember 2010 Disetujui terbit tanggal: 31 Desember 2010
SARI Rekahan muka (face cleat) pada batubara memainkan peran yang sangat penting dalam produksi gas metana batubara (GMB). Informasi atas orientasi dari rekahan-rekahan tersebut memiliki arti yang sangat penting dalam penempatan sumur produksi dan perekahan hidraulik dalam rangka pemaksimalan produksi GMB. Pemecahan gelombang-S akustik (PGSA) diketahui sebagai fenomena yang terjadi pada saat gelombang-S menemui seperangkat rekahan dalam bentuk terpecahnya gelombang tersebut menjadi dua gelombang-S yang berpropagasi dengan kecepatan yang berbeda. Penjajagan atas perangkat uji akustik laboratorium yang digunakan dalam studi ini ternyata memungkinkan untuk diamatinya fenomena ini. Dengan menggunakan tiga percontoh batubara yang diambil dari sebuah sumur produksi berhasil ditentukan orientasi dari rekahan-rekahan muka pada interior dari percontoh-percontoh tersebut. Hasil-hasil lain yang diperoleh dari studi ini adalah kesimpulan berupa bukti nyata terjadinya fenomena PGSA pada batubara, kurang baiknya signal gelombang-S pada batubara sehingga membutuhkan kecermatan dalam analisis, dan bergunanya metode ini untuk batubara yang memiliki rekahan halus dan tidak terdeteksi secara visual. Kelebihan yang dimiliki metode ini dapat melengkapi metode-metode yang sudah ada bagi pendeskripsian reservoir GMB. Kata kunci: gas metan batubara, rekahan muka (face cleat) batubara, orientasi, pemecahan gelombang-S akustik, uji laboratorium, optimasi produksi ABSTRACT Face cleats in coal play a very important role in coal bed methane (CBM) production. Information over the cleats’ orientation is regarded as very useful for supporting effectve well emplacement and success of the well’s subsequent hydraulic fracuring implementation. Shear wave (S-wave) splitting is known as a phenomenon occurs when a single Swave is split into two S-waves travelling at different velocities when it encounters a set of oriented cracks. Investigation over a set of laboratory acoustic equipment has proved that this S-wave splitting phenomenon indeed occurs and it can be used to determine crack orientation of a tested sample. Tests over three deep coal samples taken from a vertical production well have clearly resulted in orientation of the face cleats in the samples’ interior. Other results from the study are proof of the occurrence of S-wave splitting in coal, low quality S-wave signals due to energy attenuation that requires careful observation and analysis, and evidence of the usefulness of this technique for coals having very fine and virtually invisible cracks. The advantages shown by this technique make it useful as a supporting source of information to the existing/traditional coal bed methane reservoir description tools. Keywords: coal bed methane, face cleats, orientation, acoustic S-wave splitting, laboratory test, production optimization 253
PEMECAHAN GELOMBANG-S AKUSTIK BAMBANG WIDARSONO
I. PENDAHULUAN Sebagaimana telah diketahui proses eksploitasi gas metana batubara (GMB) – coal bed methane (CBM) – bekerja di bawah mekanisme yang berbeda dengan proses eksploitasi reservoir gas konvensional. Seperti yang dirangkum dalam Widarsono (2010), paling sedikit ada empat mekanisme yang mempengaruhi mekanisme penyimpanan dan pengaliran GMB yaitu struktur fisik, mekanisme adsorpsi/desorpsi, mekanisme alir difusi di dalam padatan batubara, dan mekanisme aliran – baik satufase maupun dua-fase – di dalam rekahan batubara (cleat). Berkaitan dengan mekanisme aliran, berbagai sumber seperti Saghafi (2001) dan Karimi (2005), mengemukakan bahwa batubara pada umumnya memiliki porositas sampai tingkat tertentu tetapi hanya memiliki permeabilitas matriks yang sangat rendah. Untuk megalirkan GMB ke sumur produksi – setelah terbebaskan dari matriks melalui proses desorpsi – diperlukan permeabilitas sekunder yaitu rekahan batubara. Rekahan batubara terbentuk sebagai hasil dehidrasi dan penekanan tektonik yang mengiringi proses maturasi dari batubara. Peran yang dimainkan oleh permeabilitas rekahan batubara ini dalam mengalirkan GMB menuju sumur sangat besar mempertinggi peluang sukses dalam produksi. Seperti dinyatakan oleh Stewart dan Barro (1982), penempatan sumur yang tepat akan memaksimalkan kemungkinan untuk menghubungkan sebanyak mungkin rekahan yang ada, sehingga informasi mengenai orientasi umum dan jumlah dari rekahanrekahan tersebut menjadi sangat penting. Ada beberapa cara yang secara potensial dapat dipakai untuk mendeskripsi reservoir GMB berkenaan dengan informasi tersebut di atas. Salah satunya adalah dengan menggunakan data dari survei pencitraan sumur (wellbore imaging) yang menghasilkan tinjauan visual langsung atas kondisi rekahan pada dinding sumur. Teknik ini akan sangat berguna sekali jika rekahan-rekahan yang tertembus oleh sumur berukuran cukup besar sehingga dapat terlihat secara visual. Keadaan yang berlainan akan menimbulkan masalah jika rekahan-rekahan yang ada berukuran halus, bahkan hingga selebar hanya beberapa puluh mikron saja, seperti sering diamati pada jenis-jenis batubara tertentu. Dalam keadaan ini rekahan-rekahan tersebut akan sulit dibedakan secara visual dari matriks maseral batubara. Untuk 254
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, NOVEMBER 2010: 253 - 262
mengatasi hal ini maka tulisan ini menyajikan suatu teknik alternatif yaitu ‘pemecahan gelombang-S akustik’ (PGSA) yang semula dirintis oleh Yale dan Sprunt (1989) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Widarsono (1996). Teknik PGSA pada mulanya adalah suatu fitur khusus dari analisis gelombang seismik (baik buatan maupun alami) untuk mengamati orientasi dari patahan dan rekahan-rekahan besar yang ada di bawah permukaan. Selanjutnya fenomena ini diterapkan pada skala laboratorium untuk mengamati rekahan-rekahan halus pada skala percontoh batuan. Sebuah studi telah dilakukan untuk penerapannya pada batubara yang kemudian hasilnya disajikan dalam tulisan ini. Teknik alternatif ini diharapkan dapat memberikan solusi untuk batubara yang memiliki rekahan halus pada khususnya dan pengayaan dalam mendukung teknikteknik deskripsi lain secara umum. II. PEMECAHAN GELOMBANG-S Konsep pemecahan gelombang-S (gelombang sekunder) akustik (acoustic S-wave splitting) sebagai teknik deskripsi batuan formasi pada mulanya banyak berhubungan dengan bidang keilmuan seismologi gempa bumi. Indikasi awal atas pemecahan gelombang-S – fenomena di mana gelombang-S tersebut terpecah menjadi dua gelombang-S yang menjalar dengan kecepatan berbeda – diperoleh oleh Crampin dkk., (1980) dengan menggunakan survei seismik tiga-komponen (threecomponent seismic survey) pada saat terjadinya beberapa gempa bumi lokal. Penemuan ini membuka area baru di seismologi meskipun potensinya telah dikemukakan oleh beberapa peneliti jauh sebelumnya (mis.: Raitt dkk., 1969). Pada awalnya tidak diketahui apa yang menyebabkan terjadinya fenomena di atas, tetapi Crampin dan Booth (1985) belakangan mengamati kemiripan antara pola gelombang-S dari suatu survei serupa dengan seismogram sintetik yang dihitung dengan asumsi adanya rekahan-rekahan vertikal. Dari kemiripan tersebut kemudian mereka berkesimpulan bahwa penyebab utama dari fenomena pemecahan gelombang-S di kerak bumi adalah kehadiran rekahan-rekahan akibat proses tektonik. Secara eksperimental, kesimpulan ini diperkuat oleh King dan Xu (1989) yang mengamati fenomena serupa pada uji propagasi gelombang-S ultrasonik pada percontoh batuan yang diketahui memiliki rekahan-rekahan halus.
PEMECAHAN GELOMBANG-S AKUSTIK
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
BAMBANG WIDARSONO
VOL. 44. NO. 3, NOVEMBER 2010: 253 - 262
A. Gelombang-S Jika sebuah ketukan acak mengenai sebuah media padat tak terbatas maka akan timbul kombinasi dari dua jenis deformasi yang diwujudkan dalam bentuk dua jenis gelombang tubuh (body waves), gelombang primer (gelombang-P) dan gelombang sekunder atau shear (gelombang-S). Jika pada gelombang-P deformasi terjadi searah dengan propagasi gelombang tersebut, maka pada gelombangS deformasi terjadi tegak lurus terhadap arah propagasi sehingga secara fisik gelombang-S bergerak dengan cara menyobek (shearing motion) yang cenderung memperlambat laju propagasi gelombang tersebut. Kecepatan propagasi gelombang-S selalu lebih rendah dibanding kecepatan propagasi gelombang-P. Secara matematis, untuk gelombang-S murni dan sederhana, jika propagasi dianggap sebagai bergerak pada arah-x dan deformasi terjadi pada arah-y dan z maka sebuah partikel pada media yang mengalami penjalaran gelombang-S tersebut akan bergerak mengikuti 2 y t 2
2y x 2
dan
2 z 2 z t 2 x 2
(1)
dengan , t, η, dan ρ masing-masing adalah deformasi, waktu, modulus shear/kekakuan medium,
dan rapat massa medium. Lihat Fjaer dkk. (1992) misalnya untuk pembahasan lebih mendalam. B. Pemecahan gelombang-S Disebabkan pergerakannya yang bersifat menyobek, gelombang-S akan terpolarisasi menjadi dua gelombang yang masing-masing deformasinya tegak lurus satu sama lain jika menemui sebuah sumber anisotropi (mis.: rekahan). Pada sebuah medium anisotropik di mana modulus kekakuan (η) pada arah-y dan arah-z berbeda maka kecepatan penjalaran dari kedua gelombang-S tersebut menjadi berbeda (Persamaan 1). Fenomena ini dikenal sebagai S-wave splitting atau pemecahan gelombang-S. Besar kecilnya pemecahan atau split antara kedua gelombang direpresentasikan oleh perbedaan waktu transit (transit time, ΔtS) di antara kedua gelombang. Untuk sebuah medium yang memiliki sumber anisotropi berupa satu set rekahan yang sama dalam orientasi maka gelombang-S akan terpecah menjadi dua gelombang yang terpolarisasi secara ortogonal, satu dengan deformasi terpolarisasi paralel dengan bidang rekahan dan yang satunya – berkecepatan penjalaran lebih rendah – dengan polarisasi tegak lurus terhadap bidang rekahan (Gambar 1). Berbagai teori berusaha menjelaskan mengenai variasi kecepatan gelombang-S (Vs) akibat hadirnya rekahan pada sebuah medium. Salah satunya adalah dari Garbin
Gambar 1 Dua gelombang-S hasil pemecahan dalam suatu medium yang memiliki rekahan-rekahan berorientasi (dari Yale and Sprunt, 1989)
255
PEMECAHAN GELOMBANG-S AKUSTIK BAMBANG WIDARSONO
serupa yang berhasil atas beberapa percontoh batupasir dan batu lanau, pengukuran atas percontohpercontoh batubara gagal untuk mencapai hasil yang diharapkan. Kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh adanya rekahan-rehan muka yang menutupi hadirnya stress-relief cracks atau rekahan-rekahan halus yang timbul akibat terjadinya relaksasi stres bawah permukaan pada saat percontoh tersebut diangkat dari bawah permukaan. Hal ini menyebabkan rekahan-rekahan halus tersebut tidak dapat dideteksi dengan menggunakan metode PGSA. Meskipun demikian, seperti yang kemudian menjadi nyata bahwa data tersebut ternyata masih tetap berguna sehubungan dengan penjajagan metode PGSA untuk menentukan orientasi rekahan-rekahan muka yang dilakukan dalam studi ini. Tiga spesimen batubara bitumen tersebut diperoleh dari kedalaman berbeda (2555–2573 m bpl) pada sebuah sumur produksi yang berlokasi di bagian selatan Laut Utara pada sektor Inggris. Inti batuan (core samples) berjenis oriented yaitu inti batuan yang memiliki penandaan untuk mengetahui arah mata angin, dengan arah Utara sebagai acuan. Percontoh diambil dari inti batuan (core sample) pada arah vertikal (Gambar 4). Percontoh batubara berwarna hitam, padat tapi relatif rapuh, dan kurang menunjukkan hadirnya sistem rekahan. Pada keadaan percontoh seperti inilah teknik PGSA ini diterapkan. C. Pengujian Pada setiap pengujian PGSA (0o diambil pada arah sumbu-x) percontoh silinder ditaruh di antara kedua transduser dengan aplikasi tekanan aksial sebesar 2,5 MPa agar diperoleh kopling akustik yang baik antara transduser dan percontoh. Dengan sumbu-x diambil sebagai arah propagasi maka sumbu-y diambil sebagai arah dari polarisasinya. Rotasi diambil setiap 15º, dari 0o sampai dengan 180º, relatif terhadap sumbu-x. Pada setiap langkah rotasi, waktu transit (transit time, ΔtS) dari signal akustik diambil dari pengamatan di osiloskop. Kecepatan gelombang-S (Vs) kemudian dihitung dengan menggunakan data waktu transit tersebut dan dimensi dari percontoh. Contoh hasil pengamatan atas variasi waktu transit terhadap sudut rotasi percontoh diperlihatkan oleh Gambar 5.
258
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, NOVEMBER 2010: 253 - 262
Gambar 4 Pengambilan percontoh dari inti batuan (core samples). Sumur dimana inti batuan batubara diambil adalah sumur vertikal sehingga percontoh-percontoh yang diambil mewakili arah vertikal dari formasi batubara
IV. ANALISIS DATA A. Kualitas signal Dari Gambar 5, secara umum terlihat terjadinya atenuasi signal yang cukup kuat terlihat dari lemahnya amplitudo signal yang dimonitor pada osiloskop. Hal ini menyebabkan timbulnya kesulitan untuk menentukan first break – atau saat kedatangan paling awal dari signal pada transduser penerima – sehingga puncak dari amplitudo gelombang yang pertama (first peak) kemudian dipakai sebagai acuan. Hal ini memang berdampak bahwa waktu transit dan kecepatan gelombang-S yang diperoleh bukanlah harga yang sebenarnya karena harga yang sebenarnya haruslah ditentukan pada titik kedatangan awal signal (first break). Pada aplikasi-aplikasi yang membutuhkan akurasi data kecepatan gelombang, misalnya bagi penentuan properti elastik batuan, hal ini tentu menjadi masalah karena kecepatan gelombang yang salah akan menghasilkan properti elastik yang salah juga tetapi untuk penerapan konsep PGSA hal ini tidak menjadi masalah. Dalam penerapan konsep PGSA bagi penentuan arah rekahan batubara yang diperlukan hanyalah variasi dari kecepatan gelombang dan bukan harga absolutnya, sehingga dengan demikian penerapan konsep ini atas batubara seharusnya tidak akan menjadi masalah, kecuali dalam kasus-kasus khusus di mana atenuasi gelombang yang terjadi sangat parah.
PEMECAHAN GELOMBANG-S AKUSTIK BAMBANG WIDARSONO
percontoh menunjukkan kisaran pemecahan antara 2% dan 2,5%. Mengingat angka-angka tersebut masih di atas toleransi kesalahan 0,5% yang dimiliki, maka dapat disimpulkan bahwa memang telah diperoleh kontras kecepatan yang diperlukan dan bukanlah variasi kecepatan yang diakibatkan oleh keterbatasan-keterbatasan pengukuran. Pemecahan gelombang-S sebesar 2% - 2,5% sebenarnya tidaklah begitu besar. Yale dan Sprunt (1989) melaporkan pemecahan sebesar 5% dari eksperimen mereka dan Widarsono (1996) bahkan mendapatkan pemecahan sampai setinggi 13,5% dari seperangkat percontoh batupasir yang diuji. Rendahnya harga pemecahan gelombang-S pada percontoh-percontoh batubara ini paling tidak mengindikasikan bahwa kerapatan rekahan muka yang ada tidaklah begitu tinggi. Hal ini diperkuat dengan deskripsi visual atas percontoh yang mengindikasikan batubara yang padat dan tidak berekah-rekah secara jelas. Perhitungan dengan menggunakan Persamaan 2 menghasilkan kerapatan rekahan (
)kurang dari 0,07 (kerapatan moderat
umumnya diindikasikan oleh
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, NOVEMBER 2010: 253 - 262
0,1). Meskipun
N). Dengan kesimpulan ini maka telah dapat ditunjukkan bahwa metode PGSA dapat berfungsi dengan baik untuk menentukan orientasi rekahan muka pada batubara.. V. DISKUSI LANJUT Orientasi umum yang diperoleh dan disajikan pada Gambar 7 ditentukan atas dasar penggunaan data yang diperoleh dari tiga percontoh batubara yang diuji. Pengujian dengan menggunakan lebih banyak percontoh akan memberikan kumpulan data (cluster) yang tentunya akan memberikan orientasi yang berbeda tetapi lebih representatif untuk batubara yang diuji. Seperti pada umumnya pengukuran pada skala percontoh inti batuan, informasi yang diperoleh terpengaruh oleh heterogenitas yang seringkali masih hadir bahkan pada skala lebih besar dibanding skala percontoh-percontoh tersebut. Dengan demikian maka usaha optimisasi jumlah percontoh versus waktu dan pembiayaan perlu dilakukan untuk mendapatkan jumlah percontoh yang cukup mewakili. Hasil yang diperoleh dan diplot pada Gambar 7 dapat dipastikan mewakili kondisi interior dari percontoh. Dengan kata lain, karena pengukuran
demikian, rendahnya harga yang diperoleh menunjukkan bahwa teknik PGSA dapat bekerja untuk batubara yang padat dan memiliki rekahanrekahan halus. C. Orientasi rekahan muka Seperti yang diperlihatkan oleh Persamaan 2, orientasi dari rekahan-rekahan muka (face cleats) – sebagai rekahan utama – terjadi pada arah di mana kecepatan gelombang-S mencapai yang terendah (slow S-wave). Hal ini disebabkan bahwa pada arah ini polarisasi dari gelombang-S berada pada arah tegak lurus terhadap bidang rekahan utama (Gambar 1). Dari ketiga percontoh batubara yang dipakai dalam pengujian diperoleh orientasi perangkat rekahan muka pada 352o (percontoh #1), 0o (percontoh #2), dan 340o (percontoh #3) relatif terhadap acuan sumbu-x (arah Utara). Gambar 7 memperlihatkan plot dari orientasi ketiga percontoh pada stereonet. Plot pada Gambar 7 memperlihatkan keacakan yang lazim dijumpai pada pengukuran properti atas percontoh inti batuan. Meskipun demikian, berdasarkan data dari ketiga percontoh orientasi umum pada poros Barat laut – Tenggara telah dapat diidentifikasi, dengan sudut azimut 350o N (atau 170o 260
Gambar 7 Hasil plot orientasi rekahan muka (face cleats) dari ketiga percontoh batubara yang diuji. Orientasi umum adalah pada orientasi sekitas 3500 relatif terhadap acuan sumbu-x (arah Utara)
PEMECAHAN GELOMBANG-S AKUSTIK BAMBANG WIDARSONO
PGSA dapat ‘membaca’ bagian dalam dari percontoh maka pengukuran tidak tergantung pada tampakan visual saja. Hal ini dapat dipastikan karena gelombang-S – seperti juga halnya gelombang-P – adalah jenis gelombang akustik yang dikategorikan sebagai gelombang tubuh (body waves). Gelombanggelombang tubuh selalu berpropagasi pada interior dari suatu tubuh medium dan berkecepatan lebih tinggi dibanding gelombang-gelombang ’permukaan’ atau ’antar-muka’ (surface/interfacial waves) seperti gelombang Stoneley dan Raleigh. Hal ini merupakan keuntungan dan kelebihan metode PGSA dibanding pengamatan langsung/visual. Pengukuran yang dilakukan dalam studi ini dilakukan pada percontoh-percontoh yang dibor secara vertikal pada inti batuan yang diambil dari sebuah sumur vertikal (Gambar 4). Dengan demikian orientasi yang diperoleh mewakili rekahan-rekahan muka yang memiliki bidang vertikal atau sub-vertikal. Kenyataannya, setelah melalui proses maturasi yang melibatkan proses-proses tektonik dan penimbunan (burrial) rekahan-rekahan muka yang ada bisa saja tidak dalam posisi yang vertikal. Bahkan, setelah mengalami proses perlipatan akibat kompresi tektonik rekahan tersebut maka bidang rekahan-rekahan tersebut bisa justru lebih mendekati bidang horizontal. Dengan demikian diusulkan untuk melakukan pengukuran tidak hanya atas percontoh vertikal tapi juga atas percontoh yang mewakili arah horizontal. Dengan demikian gambaran secara keseluruhan atas orientasi umum rekahan-rekahan muka dapat diperoleh. Dari persiapan percontoh yang dilakukan selama studi, permasalahan yang cukup menyulitkan adalah sifat getas (brittle) batubara. Hal ini sering menyebabkan rontoknya percontoh pada saat pemboran percontoh (plugging) dan pemrosesan setelahnya. Ini menyebabkan rendahnya tingkat sukses preparasi percontoh batubara. Ada hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini. Salah satunya adalah – praktek yang umum bagi penanganan percontoh batupasir tidak kompak – dengan membekukan inti batuan yang tersaturasi air dan kemudian pemboran percontoh dilakukan dengan memakai nitrogen cair. Metode ini terbukti baik dan percontoh yang diperoleh umumnya bagus. Meskipun demikian, hal yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan timbulnya rekahan-rekahan baru akibat proses pembekuan, pemboran dengan nitrogen cair,
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, NOVEMBER 2010: 253 - 262
dan proses defrosting yang dilakukan sebelum pengukuran/uji. Jika hal ini terjadi maka akan menyebabkan hilangnya orisinalitas dari percontoh. Studi khusus diperlukan untuk menyelidiki hal ini. VI. KESIMPULAN Studi atas potensi metode pemecahan gelombangS akustik (PGSA) bagi penentuan orientasi rekahanrekahan muka (face cleats) pada batubara menghasilkan beberapa kesimpulan utama: 1. Metode PGSA terbukti dapat mendeteksi orientasi dari rekahan-rekahan yang mendominasi sistem rekahan batubara, yaitu rekahan muka. Kemampuan gelombang-S untuk menginvestigasi bagian interior dari percontoh merupakan nilai tambah dibanding dengan metode visual/langsung yang hanya mengacu pada kenampakan rekahan pada permukaan batuan. 2. Orientasi dari rekahan belakang (butt cleats) terbukti tidak dapat dideteksi. Hal ini disebabkan ukuran dan kerapatan rekahan-rekahan muka lebih tinggi dibanding rekahan-rekahan belakang. Terjadinya pemecahan gelombang-S akibat rekahan belakang jelas tertutup oleh fenomena serupa yang terjadi akibat hadirnya rekahan muka. 3. Acak dari orientasi rekahan yang diperoleh dari ketiga percontoh menyulitkan untuk menarik orientasi secara umum. Hal yang disebabkan oleh heterogenitas batuan ini diharapkan dapat diatasi dengan jumlah percontoh yang lebih besar secara optimum. 4. Metode PGSA terbukti dapat bekerja mendeteksi rekahan-rekahan halus yang ada pada interior percontoh. Untuk batubara yang memiliki ukuran rekahan yang lebih besar diperkirakan besar pemecahan gelombang-S (S-wave splitting) yang terjadi akan lebih besar sehingga lebih mudah ditentukan orientasinya. 5. Signal gelombang-S pada pengukuran batubara umumnya berkualitas kurang baik karena adanya atenuasi energi yang besar akibat friksi rekahan dan sifat ketidakelastikan batubara pada skala kecil. Kecermatan dan konsistensi yang tinggi dalam pemilihan titik acuan dalam signal gelombang diperlukan untuk mendapatkan variasi gelombang-S yang sahih. 6. Permasalahan sifat batubara yang getas (brittle) menyulitkan dalam preparasi percontoh. Perlu dicari dan diteliti metode yang tepat untuk dapat 261
PEMECAHAN GELOMBANG-S AKUSTIK BAMBANG WIDARSONO
menghasilkan percontoh yang baik dan mudah dipakai dalam pengujian. KEPUSTAKAAN 1. Berkowitz, N. (1994). An Introduction to Coal Technology. 2nd edition, Academic Press, Inc., p: 398. 2. Crampin, S. and Booth, D.C. (1985). Shear-wave Polarization Near the Anatolian Fault-II, Interpretatio in Terms of Crack-induced Anisotropy. Geophys. J.R. Astr. Soc., 83, pp: 75 – 92. 3. Crampin, S., Evans, R., Ucer, B., Doyle, M., Davis, J.P., Yegorkina, G.V. and Miller, A. (1980). Observation of Dilatancy-induced Polarization Anomalies and Earthquake Prediction. Nature, 286: pp: 874 – 877. 4. Fjaer, E., Holt, R.M., Raaen, A.M. and Risnes, R. (1992). Petroleum Related Rock Mechanics. Elsevier Science Publishers BV., Amsterdam, p: 338. 5. Garbin, H.D. and Knopoff, L. (1975). Elastic Moduli of A Medium With Liquid-filled Cracks. Q. Appl. Math., 33, pp: 301 – 303. 6. Johnston, D.H., Toksoz, M.N. and Timur, A. (1979). Attenuation of Seismic Waves in Dry and Saturated Rocks: II. Mechanism. Geophysics, 44, pp: 691 – 711. 7. Karimi, K. (2005). Coal bed methane reservoir simulation studies. M.Sc Thesis, School of Petroleum Engineering – University of New South Wales, Australia, pp: 1 – 149. 8. King, M.S. and Xu, S. (1989). Shear-wave Birefringece and Directional Permeability in Fractured Rock. Rock at Great Depth, Maury & Fourmaintraux (eds), vol. 1, pp: 265 – 272.
262
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, NOVEMBER 2010: 253 - 262
9. Koenig, R.A. (1989). Hydrologic characterization of coal seams for optimal dewatering and methane drainage. Quarterly Review of Methane from Coal Seams Technology, Vo. 35, pp: 30 – 31. 10. Koenig, R.A. (1991). Directional permeability in coal. In W.J. Bambery and A.M. Depers, eds., Gas in Australian coal: Geological Society of Australia, Symposium Proceeding 2, pp: 65 – 75. 11. Raitt, R.W., Shor, G.G., Francis, T.H.G. and Morris, G.B. (1969). Anisotropy of the Pacific Upper Mantle. J. Geophys. Res., 74, pp: 3095 – 3109. 12. Saghafi, A. (2001). Coal Seam Gas Reservoir Characterization. Proceeding, Gas from Coal Symposium, Brisbane – Australia, May. 13. Stewart, W.J. and Barro, L. (1982). Coal Seam Degassification by Use of Hydraulic Fracturing in Vertical Wells: Case Histories. Proceeding, The Aus IMM Illawara Branch Symposium “Seam Gas with particular reference to the Working Seam”, May. 14. Widarsono, B. (1996). In situ stress determination using differential strain analysis and ultrasonic shear-wave splitting. Ph.D thesis, Imperial College of Science, Technology and Medicine, Univ. of London, pp: 274. 15. Widarsono B. (2010). Differential Strain Analysis: an Investigation over Its Feasibility for Determining Coal’s Cleat Orientation. Diterima untuk dipublikasikan dalam Lemigas Scientific Contribution to Petroleum Science and Technology. 16. Yale, D.P. and Sprunt, E.S. (1989). Prediction of Fracture Direction Using Shear Acoustic Anisotropy. The Log Analyst, 30: pp: 65 – 70.
PENGEMBANGAN DAN APLIKASI SIMULATOR USMAN
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 263 - 272
Pengembangan dan Aplikasi Simulator Reservoir Untuk Simulasi Perkolasi Gas pada Reservoir Bertenaga Dorong Gas Terlarut Oleh : Usman Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, 62-21-7222978, Faksimile : 62-21-7246150, 62-21-7222978 e-mail:
[email protected] Teregistrasi I Tanggal 6 Desember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal 17 Desember 2010 Disetujui terbit tanggal: 31 Desember 2010
SARI Pada tahap awal deplesi reservoir akan terjadi penurunan tekanan di bagian bawah kolom minyak secara progresf hingga lebih rendah dari tekanan titik didih. Jika produksi terus berlanjut akan menghasilkan evolusi gas terlarut sepanjang kolom minyak. Gas ini kemudian menerobos menuju bagian atas reservoir karena perbedaan densitas minyak dan gas. Fenomena ini dikenal sebagai perkolasi gas. Dengan viskositas gas yang rendah, laju alir perkolasi gas ini ke kolom atas akan menjadi sangat besar. Perkolasi gas pada finite difference simulasi reservoir bertenaga dorong gas terlarut dengan sejumlah grid arah vertikal dapat menyebabkan hasil perhitungan numerik saturasi gas negatif diakhir time step. Hal ini disebabkan karena gas yang keluar dari grid tersebut lebih besar dari akumulasi gas yang ada dalam grid. Dalam penelitian ini telah dikembangkan simulator reservoir untuk simulasi perkolasi gas pada reservoir bertenaga dorong gas terlarut. Validasi simulator yang dikembangkan dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi reservoir homogen dua fasa minyak dan gas pada sistem tiga dimensi. Stabilitas numerik simulator yang dikembangkan telah diuji dengan melakukan beberapa simulasi untuk investigasi pengaruh laju aliran produksi minyak terhadap perbandingan produksi gas dan minyak. Kata kunci: simulator reservoir, finite difference, perkolasi gas, tenaga dorong gas terlarut ABSTRACT During the early stage of reservoir depletion, pressure falls below bubble point in progressively lower regions of the oil column. Continuing production results in evolution of dissolved gas throughout the oil column. This gas then percolates upwards toward the top of the reservoir due to the difference in oil and gas densities. Since the gas viscosity is low, the upward flow rate of gas is often high enough. The gas percolation problem in finite difference simulation of solution gas drive reservoirs with a number of grids in the vertical direction results numerically calculated negative gas saturation at the end of the time step. This is caused by the fact that more gas may flow out of the grid than actually accumulated in that grid. A reservoir simulator for gas percolation problem occurs in simulation of solution gas drive reservoirs was developed in this research. The developed simulator is validated by comparing the simulation results of three-dimensional, two-phase oil and gas flows in homogeneous reservoir. Numerical stability of developed simulator was tested through simulation runs to investigate the effect of oil production rate on the gas oil ratio Key words: reservoir simulator, finite difference, gas percolation, solution gas drive
263
PENGEMBANGAN DAN APLIKASI SIMULATOR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
USMAN
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 263 - 272
dikembangkan untuk sistem dua atau tiga dimensi (2D atau 3D). Untuk sistem 3D, u x q~ ; t
x y z
(7)
Untuk menurunkan model aliran komponen minyak dan gas, diperlukan hubungan antara kondisi reservoir dan kondisi standar masing-masing komponen seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Densitas fase masing-masing komponen pada kondisi standar adalah,
gs
m gg V
s gg
m go V
s go
os
;
mo ; Vos
ws
mw Vws
Gambar 1 Kontrol volume V
(8) Pada kondisi reservoir, kita mempunyai hubungan sebagai berikut,
g o
m gg Vg
m o m go Vo
m gg Bg *Vggs
os *Vos gs *Vgos Vo
gs (9a)
Bg
os *Vos gs * Rs *Vos Vo
os gs Rs Bo
(9b)
w
mw mw ws Vw Bw *Vws Bw
(9c)
Kembali ke persamaan (7), persamaan konservasi massa untuk komponen i adalah, mˆ i q~ i mi t
Untuk komponen minyak,
(10)
mˆ o dan mo
didefinisikan sebagai berikut,
1 mˆ o os uo Bo
1 mˆ o os S o Bo
Gambar 2 Hubungan kondisi reservoir dan kondisi standar
Analog untuk komponen gas yang terdiri dari tudung gas bebas dan gas terlarut, 1 R mˆ g gs u g gs s uo Bo Bg
R 1 S g gs s So Bg Bo
(12a)
(11a)
mg gs
(11b)
Kita telah mendefinisikan massa minyak dan gas menggunakan kondisi reservoir dan standar. Selanjutnya, subtitusi persamaan (11) dan (12) kedalam persamaan (10) persamaan aliran minyak dan gas sebagai berikut,
(12b)
265
PENGEMBANGAN DAN APLIKASI SIMULATOR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
USMAN
.
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 263 - 272
1 1 uo qo So t Bo Bo
1 1 R R . u g s uo q fg Rs qo S g s S o B t Bg Bo Bo g
di mana
q~o qo os dan
(13)
(19)
(14)
Sufix i, j, k 1 2 adalah nilai ratarata antara dua grid. Permeabilitas ratarata misal arah-x dihitung secara harmonik,
. Kecepatan
ditentukan berdasarkan hukum Darcy,
ki ki 1 xi xi 1
ki 1 2 ui
kkri
i
pi iZ
(15)
Dengan mensubtitusi persamaan (15) kedalam persamaan (13) dan (14), diperoleh bentuka akhir persamaan aliran minyak dan gas sebagai berikut,
.o Po oZ qo
1 S o t Bo
. g p g g Z Rs o po oZ q fg Rs qo
(16) R 1 S g s S o Bo t Bg
(17)
TX oi 12 pi 1 TX oi 12 TX oi 12 pi TX oi 1 2 pi 1 TYoj 12 p j 1
TZ ok 12 pk 1
oj 1 2
TYoj 12 p j TYoj 12 p j 1
ok 1 2
TZ ok 12 pk TYok 12 pk 1
(18)
TZ ok 12 ok 12 Z k 1 Z k TZ ok 12 ok 12 Z k Z k 1
Transmissibilitas interblok misal untuk arah-x didefinisikan sebagai,
266
if flow i 1 to i : k rji 12 k rji 1
; j o, g
(21) Nilai rata-rata viskositas dan faktor formasi ditentukan berdasarkan tekanan rata-rata,
B
j i 1 2
pavg
Persamaan differensial (16) dan (17) akan diselesaikan dengan metode numerik. Bentuk diskretisasi untuk transmissibilitas dalam sistem grid persegi menggunakan metode finite difference adalah,
TY TZ
if flow i to i 1 : k rji 12 k rji
j pavg B j pavg
(22)
di mana :
III.DISKRITISASI PERSAMAAN
.o po o Z
(20)
Permeabilitas relatif fase ditentukan berdasarkan upstream weighting,
j
kk rg kk ro dan g dengan o Bg g Bo o
ki 1xi ki xi 1
Vbi pi Vbi 1 pi 1 Vbi Vbi 1
(23)
Bentuk diskretisasi dalam domain waktu untuk komponen akumulasi setelah dikali volume grid blok dinyatakan sebagai berikut, n 1 n S o S o Vb S o Vb t Bo t Bo Bo (24)
Bentuk diskretisasi persamaan (16) dan (17) dalam persamaan residual masing-masing fase pada setiap grid blok menjadi,
PENGEMBANGAN DAN APLIKASI SIMULATOR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
USMAN
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 263 - 272
Foijk
TY TZ
TX oi 12 Pi 1 TX oi 12 TX oi 12 Pi TX oi 12 Pi 1 TYoj 12 Pj 1
oj 1 2
TZ ok 12 Pk 1
TYoj 12 Pj TYoj 12 Pj 1
ok 1 2
TZ ok 12 Pk TZ ok 12 Pk 1
TZ ok 12 ok 12 Z k 1 Z k TZ ok 12 ok 12 Z k Z k 1 Vbijk qoijk
Fgijk
Vbijk S o t Bo
n 1
S o Bo
n
(25)
0
Rs TX oi 1 2 Pi 1 TX oi 12 TX oi 12 Pi TX oi 12 Pi 1
TZ
TYoj 12 Pj 1 TYoj 12 TYoj 12 Pj TYoj 1 2 Pj 1 TZ ok 12 Pk 1
ok 1 2
TZ ok 12 Pk TZ ok 12 Pk 1
F(X ) 0
TZ ok 1 2 ok 12 Z k 1 Z k TZ ok 12 ok 12 Z k Z k 1
TY TZ
TX gi 12 Pi 1 TX gi 12 TX gi 12 Pi TX gi 12 Pi 1 TYgj 12 Pj 1
TYgj 12 Pj TYgj 12 Pj 1
gj 1 2
TZ gk 12 Pk 1
gk 1 2
TZ gk 12 Pk TZ gk 12 Pk 1
TZ gk 12 gk 12 Z k 1 Z k TZ gk 12 gk 1 2 Z k Z k 1 Vbijk q gijk RsVbijk qoijk
n 1 n S g Vbijk S g So So 0 Rs Rs B Bo Bo t Bg g
(26) IV. TEKNIK PENYELESAIAN PERSAMAAN Persamaan (25) dan (26) dinyatakan dalam bentuk residual pada iterasi (k+1) adalah, Foijk x TX o x po ijk y TYo y po n 1
n 1 ijk
Vbijk qoijk
n 1
z TZ o z po TZ o o Z ijk
n 1
n 1 n Vbijk S o S o 0 t Bo Bo
Fgijk x TX g x p g
ijk
y TYg y p g
n 1 ijk
n 1
n 1
Vbijk Rs qoijk q gijk
n 1 ijk
ijk
z TZ o z po TZ o o Z ijk
n 1
n 1 n Vbijk S o S g S Rs S o g 0 Rs Bo Bg t Bo Bg
f x f x f ' x
(28)
Bila domain aliran didiskretisasi kedalam N-grid blok, maka persamaan (27) dan (28) merepresentasikan suatu sistem dengan
f n x 2 ..... 2
(30) Untuk harga yang kecil, komponen setelah linear dapat diabaikan sehingga f(x+ δ)=0 menyebabkan,
f ( x) f ' ( x)
(31)
Jadi, formula iterasi secara umum untuk metode ini adalah,
x k 1 x k
(29)
Metode Newton-Raphson memerlukan evaluasi F ( X ) dan F ' ( X ) pada setiap nilai X melalui proses iterasi sehingga diperoleh harga X yang menghasilkan F ( X ) 0 (Gambar 3). Metode ini dapat diaplikasikan untuk sistem multi-dimensi. Secara aljabar, metode ini diturunkan dari ekspansi Taylor series suatu fungsi di titik yang berdekatan,
(27)
z TZ g z p g TZ g g Z
Rs x TX o x po ijk y TYo y po
2N persamaan aljabar non-linear. Sistem persemaan tersebut akan diselesaikan secara numerik menggunakan metode fully implicit untuk menjamin solusi yang stabil. Dengan asumsi pertukaran massa antarfase dan tekanan kapiler diabaikan, maka variabel utama yang akan ditentukan pada setiap iterasi waktu adalah saturasi minyak dan tekanan. Sistem persamaan non-linear tersebut dilinearisasi menggunakan metode Newton-Raphson untuk pemutakhiran variabel saturasi minyak dan tekanan. Bila variabel utama pada tiap grid blok dinyatakan dengan X, maka persamaan (27) dan (28) dapat ditulis menjadi,
f (xk ) f ' ( xk )
(32)
Persamaan (29) bila dinyatakan dengan menggunakan persamaan (32) akan menghasilkan sistem persamaan matriks linear,
267
PENGEMBANGAN DAN APLIKASI SIMULATOR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
USMAN
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 263 - 272
F X k 1 k k X X F X X k
(33)
Persamaan (33) merupakan sistem 2N persamaan liniear dan dapat ditulis dalam bentuk persamaan matriks sebagai berikut,
X 1 F1 X F J 2 2 M M X n Fn
(34)
di mana J adalah matriks Jacobian, X adalah perubahan variabel utama pada setiap grid blok dari iterasi Gambar 3 Proses iterasi metode Newton-Raphson sebelumnya, dan adalah residual dari persamaan aliran minyak dan gas pada setiap grid blok. Persamaan matriks ini diselesaikan dengan gband solver. Dalam sistem 3D yang digambarkan oleh koordinat x, y, z, Jacobian matriks untuk bagian penamaan diskrit poin tampak pada Gambar 4. Matriks Jacobian pada akumulasi dan sink/source adalah, setiap diskrit poin terdiri dari submatriks 2 2 dan merepresentasikan turunan derivatif fungsi residual, F(X), terhadap saturasi minyak dan F acc oijk F acc oijk tekanan. S ov p v Accijk Matriks Jacobian A dan B adalah, F acc gijk F acc gijk S ov p v F trans oijk F trans oijk F trans oijk F trans oijk Soi 1 jk Bijk F trans gijk S oi 1 jk
pi 1 jk ; C S oi 1 jk ijk F trans gijk F trans gijk S pi 1 jk oi 1 jk
pi 1 jk F trans gijk pi 1 jk
(35a) F trans oijk S oij 1k Dijk F trans gijk S oij 1k
F trans oijk F trans oijk pij 1k ; Eijk S oij 1k F trans gijk F trans gijk S pij 1k oij 1k
F trans oijk pij 1k F trans gijk pij 1k
(35b) F trans oijk S oijk 1 Fijk F trans gijk S oijk 1
F trans oijk F trans oijk pijk 1 S oijk 1 ; Gijk F trans gijk F trans gijk S pijk 1 oijk 1
F trans oijk pijk 1 F trans gijk pijk 1
(35c) Poin A meliputi turunan derivatif persamaan reasidual untuk akumulasi dan sink/source. Jadi persamaan pada titik A dapat ditulis, A B C D E F G sin k / source accumulation (36) 268
(37) F s / s oijk S ov S/Sijk F s / s gijk S ov
F s / s oijk pov F s / s gijk pov
(38) Diagram alir simulator reservoir yang dikembangkan dalam penelitian ini ditampilkan pada Gambar 5. Algoritma ini telah dimplementasikan dalam FORTRAN 90. Berikut dibahas kemampuan simulator yang telah dikembangkan untuk simulasi perkolasi gas dalam domain 3D dan validasi terhadap komersial simulator. V. SIMULASI PERKOLASI GAS Model homogen 3D digunakan untuk validasi simulator yang dikembangkan dalam penelitian ini.
PENGEMBANGAN DAN APLIKASI SIMULATOR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
USMAN
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 263 - 272
Tabel 2 Sifat-sifat minyak dan gas sebagai fungsi tekanan
g
Bo [bbl/stb]
[cp]
Bg [bbl/stb]
[cp]
Rs [scf/stb]
14.7
1.001
1.993
0.204100
0.0101
4.900
400
1.040
1.800
0.007500
0.0116
133.333
800
1.080
1.600
0.003750
0.0132
266.666
1200
1.120
1.400
0.002500
0.0148
400.000
1400
1.140
1.300
0.002143
0.0156
466.666
1600
1.160
1.200
0.001875
0.0164
533.333
1800
1.180
1.100
0.001666
0.0172
600.000
2000
1.200
1.000
0.001500
0.0180
666.666
2200
1.190
1.050
0.001364
0.0188
666.666
2500
1.175
1.125
0.001200
0.0200
666.666
Gambar 6 Permeabilitas relatif minyak-gas
270
Tekanan [psi]
Gambar 7 Perbandingan tekanan pada grid blok sumur antara simulator yang dikembangkan dengan simulator komersial
PENGEMBANGAN DAN APLIKASI SIMULATOR USMAN
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 263 - 272
Gambar 8 Kumulatif produksi minyak dan gas pada akhir simulasi 2000 hari
Gambar 9 Berbagai skenario produksi minyak hingga akhir simulasi 2000 hari untuk uji stabilitas numerik dan evaluasi efek produksi minyak terhadap GOR
minyak sebesar 1,6 juta barel selama 2000 hari digunakan sebagai konstrain. Simulasi kedelapan skenario tersebut berlangsung dalam kondisi numerikal yang stabil. Efek produksi minyak terhadap rasio perbandingan gas dan minyak (GOR) dapat dilihat pada Gambar 10. Harga produksi GOR yang rendah digunakan sebagai ukuran skenario optimum. Seperti terlihat pada Gambar 10, skenario optimum dicapai oleh respon GOR pada Skenario 3. Untuk skenario ini, harga GOR sekitar 4600 cf/bbl, terendah dibandingkan dengan skenario yang lain. V. KESIMPULAN 1. Simulator reservoir untuk simulasi perkolasi gas pada reservoir bertenaga dorong gas terlarut telah dikembangkan dalam penelitian ini. 2. Simulator yang dikembangkan telah divalidasi dengan simulator komersial. Kedua simulator menunjukkan hasil yang selaras. 3. Simulasi berbagai skenario produksi minyak telah dilakukan dan menunjukkan bahwa simulator yang dikembangkan stabil secara numerik selama 2000 hari simulasi minyak bertenaga dorong gas terlarut. 4. Pengaruh laju produksi minyak terhadap GOR telah dievaluasi. Dari delapan skenario, terlihat
Gambar 10 Berbagai skenario produksi GOR hingga akhir simulasi 2000 hari. Skenario optimum adalah skenario 3 yang menghasilkan harga GOR terendah dibandingkan skenario yang lain.
bahwa skenario optimum dicapai oleh Skenario 3. Maksimum produksi GOR pada skenario ini adalah sekitar 4600 cf/bbb.
271
PENGEMBANGAN DAN APLIKASI SIMULATOR USMAN
KEPUSTAKAAN 1. Barrufet, M.A. and White Jr., R.J., 1994. "A Waterflood Model Based Upon Percolation Theory Concepts", Proceeding the III Latin American/ Caribbean Petroleum Engineering Conference, SPE 27018, Buenos Aires, April. 2. Coats, K.H., 1968. "A Treatment of the Gas Percolation Problem in Simulation of Three-Dimensional, Three-Phase Flow in Reservoirs", Proceeding the SPE Symposium on Numerical Simulation of Reservoir Performance, SPE 2035, Texas, April. 3. Fanchi, J.R., 2001. Principles of Applied Reservoir Simulation, Gulf Professional Publishing, USA.
272
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 263 - 272
4. McCreary, J.G., 1970. "A Simple Method for Controlling Gas Percolation in Numerical Simulation of Solution Gas Drive Reservoirs", Proceeding the Second Symposium on Numerical Simulation of Reservoir Performance, SPE 2808, Texas, February. 5. Usman, 2010. "Pengembangan Simulator Reservoir untuk Evaluasi Perolehan Minyak dengan Teknologi EOR", Lembaran Publikasi LEMIGAS, 44(2): 95-107. 6. Zhangxin, C., Guanren, H., and Yuanie, M., 2006. Computational Methods for Multiphase Flows in Porous Media, Society for Industrial and Applied Mathematics, Philadelphia.
EFEK PAH DALAM MINYAK SOLAR DJAINUDDIN SEMAR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 273 - 284
Efek PAH dalam Minyak Solar terhadap Kinerja dan Emisi Gas Buang Mesin Diesel Injeksi Langsung Oleh: Djainuddin Semar Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150 Teregistrasi I Tanggal 9 November 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal 15 Desember 2010 Disetujui terbit tanggal: 31 Desember 2010
SARI Kandungan hidrokarbon poliaromatik (PAH) dalam minyak Solar 48 Indonsia harus dibatasi, karena PAH bersifat karsinogen dan berpengaruh terhadap kinerja mesin dan kadar emisi gas buang (nitrogen oksida dan opasitas). Spesifikasi bahan bakar diesel Jepang (JIS K 2204), India (SIAM), Eropa (EURO) masing-masing menetapkan batasan kandungan PAH maksimum 11 % volume. Penelitian dilaksanakan mengunakan tiga formula minyak solar masing-masing diberi kode MS-0, MS-1, MS-2 dan komposisi kandungan PAH setiap percontoh diatur bervariasi. Pengaruh beberapa variasi kandungan PAH dalam minyak solar terhadap sifat-sifat fisika kimia dan kinerja mesin akan diuraikan dalam makalah ini. Kata kunci: Kandungan PAH, mesin diesel, kinerja ABSTRACT Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) in Indonesia diesel fuels 48 CN (Solar48) should be restricted due to its influencies to the engine performance and emission of nitrogen oxide and opacity. According to specification of diesel fuels in Japan (JIS K 2204), India (SIAM) and Europe (EURO), maximum PAH content is 11% volume. The study was conducted by using three kinds of diesel fuels such as MS-0, MS-1 and MS-2 with each has a different PAH content. Those three samples is tested for their physicallchemical characteristics on multicylinder test bench. Effect of several volume varieties of PAH content in diesel fuel againts physical chemical test result and engine performance test result will be discussed in this paper. Keyword: PAH content, diesel fuel, performance. I. PENDAHULUAN Kandungan hidrokarbon poliaromatik (polyaromatic hydrocarbon, PAH) dalam minyak solar dapat meningkatkan emisi gas buang. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO), hidrokarbon poliaromatik adalah karsinogen. PAH dapat merusak perkembangan dari janin, dan merugikan sistem reproduksi. Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati pengaruh kandungan PAH dalam minyak
solar pada mesin diesel injeksi langsung terhadap torsi, daya, konsumsi bahan bakar dan emisi gas buang. Kegiatan penelitian meliputi: tinjauan literatur, pembuatan formula minyak solar modifikasi, pengujian sifat fisika/kimia dan uji kinerja (performance) pada mesin diesel injeksi langsung. Pada saat ini pemakaian mesin diesel untuk kendaraan bermotor di Indonesia lebih banyak menggunakan mesin diesel sistem injeksi langsung (direct injection, DI). Dengan demikian penelitian 273
EFEK PAH DALAM MINYAK SOLAR DJAINUDDIN SEMAR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 273 - 284
II. TINJAUAN LITERATUR
banyak untuk menghasilkan tenaga sebesar satu daya kuda dibandingkan dengan bahan bakar yang memiliki nilai kalor yang lebih tinggi. Dengan kata lain bahan bakar yang memiliki nilai kalor yang lebih rendah konsumsi bahan bakarnya akan lebih tinggi dari pada bahan bakar yang memiliki nilai kalor yang tinggi.
A. Minyak Solar
4. Hidrokarbon Poliaromatik
Beberapa karakteristik minyak solar yang penting dan dapat berpengaruh terhadap kinerja motor diesel antara lain adalah angka setana, viskositas, nilai kalori, kandungan PAH.
Hasil penelitian efek kandungan PAH minyak solar yang diuji pada mesin diesel injeksi langsung yang dilakukan di Queenland of University tahun 2005 menyatakan bahwa emisi nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), emisi partikulat dan deposit di ruang bakar meningkat bila kandungan PAH dalam minyak solar meningkat. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO), PAH adalah karsinogen. PAH dapat merusak perkembangan janin, merugikan sistem reproduksi. Kandungan PAH dari beberapa spesifikasi bahan bakar diesel adalah sebagai berikut: - WWFC tahun 2006 kategori 2, 3 dan 4 masingmasing 5% volume, 3% volume dan 2% volume. - Eropa, EURO 2, 3 dan 4 masing-masing 11% volume. - Jepang JIS 2204: Summer No. 1, Winter No. 1 dan Nothern Part masing-masing 11% volume. - Indonesia: minyak Solar 48 dan minyak Solar 51 tidak menetapkan batasan kandungan PAH.
ini dilaksanakan dengan menggunakan mesin diesel sistem injeksi langsung. Mesin diesel injeksi langsung yang digunakan tersebut adalah mesin Isuzu 4JA1 di atas bangku uji multisilinder.
1. Angka Setana Angka setana bahan bakar diesel menunjukkan kualitas penyalaan bahan bakar tersebut. Angka setana bahan bakar yang lebih rendah dari kebutuhan mesin memerlukan suhu yang lebih tinggi untuk penyalaan. Sebaliknya angka setana yang lebih tinggi memerlukan titik penyalaan sendiri (autoignition point) yang lebih rendah atau suhu yang diperlukan untuk penyalaan bahan bakar lebih rendah, periode penundaan penyalaan lebih pendek sehingga lonjakan tekanan pembakaran rendah. Dengan demikian minyak diesel yang mempunyai angka setana yang lebih tinggi, tendensi akan terjadinya detonasi (detonation) di dalam motor akan berkurang. Untuk menghidupkan mesin (starting) pada suhu atmosfer yang rendah diperlukan bahan bakar dengan angka setana yang lebih tinggi. 2. Viskositas Bahan bakar yang digunakan pada suatu motor diesel harus mempunyai viskositas yang relatif rendah, dengan demikian ia dapat mengalir dengan mudah melalui sistem pompa dan injeksi yang memasukkan bahan bakar ke dalam silinder motor. Penyemprotan dan atomisasi bahan bakar dapat terlaksana dengan mudah pada saat diinjeksikan ke dalam silinder. Jika terlalu kental, bahan bakar tidak akan terbakar dalam waktu yang cukup singkat dan kinerja mesin akan menurun, hal ini dapat mengakibatkan konsumsi bahan bakar meningkat. 3. Nilai Kalor Kinerja motor berhubungan langsung dengan jumlah kalor yang diberikan oleh bahan bakar selama pembakaran, yaitu nilai kalor dari pembakaran bahan bakar. Untuk bahan bakar yang mempunyai nilai kalor yang lebih rendah, dibutuhkan bahan bakar yang lebih
274
B . Mesin Diesel Pembagian mesin diesel dapat dilakukan menurut jumlah dan susunan silinder, kecepatan, jumlah langkah, sistem pendingin, sistem pemasukan udara dan lain-lain. - Menurut sistem injeksi bahan bakar ke dalam silinder mesin, maka mesin diesel dapat dibagi atas dua bagian, yaitu mesin diesel injeksi tidak langsung dan mesin diesel injeksi langsung. - Menurut kecepatannya mesin diesel dapat dibagi menjadi tiga kelas, yaitu mesin diesel putaran rendah dari 500 rpm, putaran sedang untuk mesin diesel yang mempunyai putaran antara 500 - 1000 rpm dan putaran tinggi untuk mesin diesel yang mempunyai putaran 1000 rpm ke atas. - Pada akhir tahun 1980-an di Indonesia diperkenalkan kendaraan mesin diesel dengan sistem injeksi langsung (DI). Pada mesin diesel
EFEK PAH DALAM MINYAK SOLAR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
DJAINUDDIN SEMAR
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 273 - 284
injeksi langsung ini ruang bakar tidak terbagi-bagi seperti pada mesin diesel injeksi tidak langsung, ruang bakar ini berada pada ruangan antara kepala silinder, dinding silinder dan puncak piston. Sedangkan sistem injeksi langsung bahan bakar langsung diinjeksikan ke dalam ruang bakar utama, sehingga disebut injeksi langsung. Ruang bakar pada motor diesel injeksi langsung juga disebut ruang bakar terbuka. Pada motor diesel jenis ini puncak piston dibuat berongga untuk mendapatkan pusaran udara. - Pada Gambar 1a dapat dilihat tata letak ruang bakar pada suatu motor diesel injeksi langsung, pada Gambar 1b adalah panel mesin diesel pada bangku uji Multisilinder dan Gambar 1c adalah mesin diesel di atas bangku uji Multisilinder. Keuntungan pada pemakaian mesin diesel sistem injeksi langsung, yaitu: - Bentuk ruang bakar sederhana, efisiensi termis lebih tinggi dari pada sistem injeksi tak langsung dan pemakaian bahan bakar lebih hemat. - Start dapat dilakukan dengan mudah tanpa alat pemanas (glow plug) meskipun dengan perbandingan kompressi rendah sekitar 15:1. - Cocok untuk mesin-mesin yang membutuhkan tenaga yang tinggi karena kerugian panas lebih kecil dibanding mesin jenis pre-combustion chamber. III. PELAKSANAAN PENELITIAN
Gambar 1a Tata Letak Ruang Bakar Mesin Diesel Injeksi Langsung
A. Metodologi -
-
-
Analisis sifat-sifat fisika/kimia minyak solar dilaksanakan dengan menggunakan metode uji baku ASTM atau metode uji lainnya yang digunakan untuk analisis minyak bumi dan produknya. Formulasi minyak solar menghasilkan tiga jenis percontoh minyak solar, yaitu minyak solar referensi (MS-0) digunakan sebagai bahan bakar pembanding dan dua percontoh minyak solar modifikasi yaitu minyak solar uji 1 (MS-1), minyak solar uji 2 (MS-2). Pengujian kinerja terbatas setiap percontoh (MS0, MS-1, MS-2) dilakukan uji pada tiga kategori beban, yaitu: beban ½ maksimum, beban ¾ maksimum dan beban maksimum dan dilakukan pengamatan terhadap torsi, daya, konsumsi bahan bakar spesifik dan emisi gas buang.
Gambar 1b Panel Kontrol Bangku Uji Multisilinder
-
Evaluasi hasil-hasil uji fisika/ kimia dilakukan dengan cara membandingkannya dengan spesifikasi minyak Solar 48 yang ditetapkan Pemerintah, sedangkan evaluasi kinerja percontoh MS-1,MS-2 dilakukan dengan membandingkannya dengan kinerja MS-0.
275
EFEK PAH DALAM MINYAK SOLAR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
DJAINUDDIN SEMAR
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 273 - 284
B. Bahan Minyak solar yang diuji pada penelitian ini terdiri dari tiga percontoh dan identitas setiap percontoh minyak solar tersebut diuraikan pada Tabel 1. C. Pengujian kinerja Pengujian kinerja terbatas pada mesin diesel injeksi langsung dilakukan uji pada tiga kategori beban, yaitu: beban ½ maksimum, beban ¾ maksimum, beban maksimum. Bahan bakar yang diuji ada tiga percontoh yaitu MS-0, MS-1, MS-2 dan dilakukan pengamatan terhadap torsi, daya, konsumsi bahan bakar spesifik dan emisi gas buang.
Gambar 1c Bangku Uji Isuzu 4JA1
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 Hasil Formulasi minyak Solar Tipikal
A. Hasil uji sifat-sifat fisika kimia Hasil-hasil uji sifat-sifat fisika/kimia meliputi: angka setana, viskositas kinematik, berat jenis pada 15oC, kandungan sulfur, distilasi pada T90, titik nyala, titik tuang, CCR, kandungan air, korosi bilah tembaga, kandungan abu, kandungan sedimen, bilangan asam kuat, bilangan asam total, warna percontoh minyak solar uji MS-1, MS-2 dibandingkan dengan minyak solar referensi (MS-0) seperti disajikan pada Tabel 2. Hasil-hasil uji semua sifat-sifat fisika kimia percontoh minyak solar MS-0, MS-1, MS-2 pada Tabel 2 dibandingkan dengan spesifikasi minyak Solar 48 adalah memenuhi spesifikasi minyak solar yang ditetapkan Pemerintah melalui Surat Keputusan Dirjen Migas No. 3675.K/24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006. B. Hasil uji kinerja Hasil-hasil uji kinerja meliputi torsi, daya, konsumsi bahan bakar spesifik, emisi gas buang nitrogen oksida dan opasitas, diuraikan di bawah ini. 1. Torsi Hasil uji torsi pada beban ½ maksimum, percontoh 3/4 maksimum dan beban maksimum percontoh MS1, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan torsi percontoh MS-0 rata-rata masing-masing disajikan pada Tabel 3. Kecenderungan perubahan torsi pada setiap beban disajikan pada Gambar 2. - Hasil uji torsi pada beban ½ maksimum percontoh MS-1, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan torsi percontoh MS-0 rata-rata masing-masing adalah lebih tinggi 2,46% dan 5,67%. 276
Kode Percontoh
-
Identitas Percontoh
Poliaromatik (PAH), % volumen
MS-0
Minyak solar referensi
12,69
MS-1
Minyak solar uji 1
11,12
MS-2
Minyak solar uji 2
8,21
Hasil uji torsi pada beban 3/4 maksimum percontoh MS-1, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan torsi percontoh MS-0 rata-rata masingmasing adalah lebih tinggi 1,92% dan 5,75%. - Hasil uji torsi pada beban maksimum percontoh MS-1, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan torsi percontoh MS-0 rata-rata masing-masing adalah lebih tinggi 3,31% dan 6,07%. Rekapitulasi efek torsi minyak solar MS-1 ratarata, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan torsi minyak solar referensi (MS-0) pada 3 kategori beban adalah masing-masing lebih rendah 2,57% dan 5,83%. Kecenderungan perubahan torsi mesin minyak solar MS-0, MS-1 dan MS-2 terhadap putaran mesin pada beban ½ maksimum, beban ¾ maksimum dan beban maksimum disajikan pada Gambar 2. Dari Gambar 2 terlihat bahwa percontoh minyak solar MS0, MS-1, MS-2 masing-masing mencapai torsi maksimum pada putaran 2000 rpm.
EFEK PAH DALAM MINYAK SOLAR DJAINUDDIN SEMAR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 273 - 284
Tabel 3 Hasil Uji Torsi MS-2, MS-1 dan MS-0
Gambar 2 Putaran mesin Vs Torsi bahan bakar percontohh MS-1, MS-2 dan MS-0
278
EFEK PAH DALAM MINYAK SOLAR DJAINUDDIN SEMAR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 273 - 284
Tabel 4 Hasil Uji Daya MS-0, MS-1 dan MS-2
Gambar 3 Putaran mesin Vs Daya bahan bakar percontohh MS-1, MS-2 dan MS-0
279
EFEK PAH DALAM MINYAK SOLAR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
DJAINUDDIN SEMAR
3. Konsumsi bahan bakar spesifik Hasil uji konsumsi bahan bahan bakar spesifik (SFC) pada beban ½ maksimum, percontoh beban 3/4 maksimum dan beban maksimum percontoh MS1, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan konsumsi bahan bakar spesifik percontoh MS-0 rata-rata masing-masing disajikan pada Tabel 5. Kecenderungan perubahan konsumsi bahan bahan bakar spesifik pada setiap beban disajikan pada Gambar 4. - Hasil uji konsumsi bahan bahan bakar spesifik pada beban ½ maksimum percontoh MS-1, MS2 rata-rata dibandingkan dengan konsumsi bahan bahan bakar spesifik percontoh MS-0 rata-rata masing-masing adalah lebih tinggi 1,77% dan 4,68%. - Hasil uji konsumsi bahan bahan bakar spesifik pada beban 3/4 maksimum percontoh MS-1, MS2 rata-rata dibandingkan dengan konsumsi bahan bahan bakar spesifik percontoh MS-0 rata-rata masing-masing adalah lebih tinggi 2,44% dan 4,27%. - Hasil uji konsumsi bahan bahan bakar spesifik pada beban maksimum percontoh MS-1, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan konsumsi bahan bahan bakar spesifik percontoh MS-0 rata-rata masing-masing adalah lebih tinggi 2,75% dan 5,11%. Rekapitulasi efek konsumsi bahan bahan bakar spesifik minyak solar MS-1 rata-rata, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan konsumsi bahan bahan bakar spesifik minyak solar referensi (MS-0) rata-rata pada 3 kategori beban adalah masing-masing lebih rendah 2,31% dan 4,69%. 4. Emisi nitrogen oksida Hasil uji emisi nitrogen oksida (NOx) beban ½ maksimum, percontoh 3/4 maksimum dan beban maksimum percontoh MS-1, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan emisi nitrogen oksida (NOx) percontoh MS-0 rata-rata masing-masing disajikan pada Tabel 6. Kecenderungan perubahan emisi nitrogen oksida (NOx) pada setiap beban disajikan pada Gambar 5. - Hasil uji emisi nitrogen oksida (NOx) pada beban ½ maksimum percontoh MS-1, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan emisi nitrogen oksida (NOx) percontoh MS-0 rata-rata masing-masing adalah
280
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 273 - 284
lebih tinggi 4,70% dan 7,22%. - Hasil uji emisi nitrogen oksida (NOx) pada Beban 3/4 maksimum percontoh MS-1, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan konsumsi bahan bahan bakar spesifik percontoh MS-0 rata-rata masingmasing adal emisi nitrogen oksida (NOx) lebih tinggi 3,76% dan 7,17%. - Hasil uji emisi nitrogen oksida (NOx) pada beban maksimum percontoh MS-1, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan emisi nitrogen oksida (NOx) percontoh MS-0 rata-rata masing-masing adalah lebih tinggi 3,83% dan 7,96%. Rekapitulasi efek nitrogen oksida minyak solar MS-1 rata-rata, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan nitrogen oksida minyak solar referensi (MS-0) pada 3 kategori beban adalah masing-masing lebih rendah 3,99% dan 7,53%. 5. Opasitas Hasil uji opasitas terhadap putaran mesin yang menggunakan tiga percontoh minyak solar MS-0, MS1 dan MS-2 pada beban ½ maksimum, beban ¾ maksimum dan beban maksimum disajikan pada Tabel 7. Kecenderungan perubahan opasitas mesin minyak solar MS-0, MS-1 dan MS-2 terhadap putaran mesin pada beban ½ maksimum, beban ¾ maksimum dan beban maksimum disajikan pada Gambar 5. - Hasil uji opasitas pada beban ½ maksimum percontoh MS-1, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan opasitas percontoh MS-0 rata-rata masing-masing lebih rendah 1,82% dan 5,82%. - Pengaruh opasitas pada beban ¾ maksimum percontoh MS-1, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan opasitas percontoh MS-0 rata-rata masing-masing lebih rendah 3,85% dan 6,66%. - Pengaruh opasitas percontoh MS-1, MS-2 ratarata dibandingkan dengan opasitas percontoh MS0 rata-rata masing-masing lebih rendah 4,61% dan 9,72%. Rekapitulasi efek opasitas minyak solar MS-1 rata-rata, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan opasitas minyak solar referensi (MS-0) pada 3 kategori beban adalah masing-masing lebih rendah 3,42% dan 7,40%. Dari hasil-hasil uji torsi rata-rata, daya rata-rata, konsumsi bahan bakar, emisi gas buang dapat dinyatakan/diambil kesimpulan bahwa bertambah besar kandungan PAH dalam minyak solar dan
EFEK PAH DALAM MINYAK SOLAR DJAINUDDIN SEMAR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 273 - 284
Tabel 5 Hasil uji konsumsi bahan bakar spesifik (SFC) percontohh MS-2, MS-1 dan MS-0
Gambar 4 Putaran mesin Vs konsumsi bahan bakar spesifik (SFC) percontohh MS-1, MS-2 dan MS-0
281
EFEK PAH DALAM MINYAK SOLAR DJAINUDDIN SEMAR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 273 - 284
Tabel 6 Hasil Uji kadar emisi NOx percontohh MS-2, MS-1 dan MS-0
Gambar 5 Emisi bahan bakar MS-1, MS-2 dan MS-0 pada setiap putaran mesin
282
EFEK PAH DALAM MINYAK SOLAR DJAINUDDIN SEMAR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 273 - 284
Tabel 7 Hasil uji opasitas percontohh MS-0, MS-1 dan MS-2
Gambar 6 Opasitas percontohh MS-0, MS-1 dan MS-2
283
EFEK PAH DALAM MINYAK SOLAR DJAINUDDIN SEMAR
bertambah kecil nilai kalor percontoh minyak solar sehingga bertambah kecil kinerja dan bertambah tinggi konsumsi bahan bakar dan emisi gas buangnya. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Hasil Uji Sifat Fisika Kimia Peralatan uji kandungan aromatik dalam minak solar telah tersedia di PPPTMGB "LEMIGAS" oleh sebab itu maka kandungan poliaromatik hidrokarbon (PAH) dalam minyak solar perlu ditetapkan dengan memperhatikan perkembangan teknologi mesin otomotif, spesifikasi bahan bakar diesel internasional dan kemampuan kilang dalam negeri. Secara keseluruhan hasil-hasil uji sifat fisika kimia percontoh MS-0, MS-1, MS-2 masing-masing memenuhi spesifikasi minyak Solar 48 yang ditetapkan Pemerintah menurut SK Dirjen Migas No. 3675 K/ 24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006. B. Hasil Uji Kinerja Hasil-hasil pengujian kinerja percontoh minyak solar uji rata-rata MS-1 (8,21% PAH dan 22,5% volume total aromatik), MS-2 (11,12% PAH dan 28,80% volume, total aromatik) dibandingkan dengan kinerja minyak solar referensi MS-0 (12,69% PAH dan 36,33% volume total aromatik) diuraikan sebagai berikut: - Torsi lebih tinggi 2,57% dan 5,83% - Daya lebih tinggi 2,57% dan 5,83% - Konsumsi bahan bakar spesifik lebih rendah 2,31% dan 4,69% - Opasitas lebih rendah 3,42% dan 7,40% - Nitrogen Oksida (NOx) lebih rendah 3,99% dan 7,53%. C. Saran Pembatasan kandungan aromatik (PAH dan total aromatik) dalam minyak solar Indonesia disarankan mempertimbangkan kandungan aromatik dalam spesifikasi minyak solar internasional dan kemampuan kilang dalam negeri.
284
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 273 - 284
KEPUSTAKAAN 1. ACEA, Alliance, EMA, JAMA, September 2006, "World-wide Fuel Charter" 2. Fetzer, J. C., 2000, "The Chemistry and Analysis of the Large Polycyclic Aromatic Hydrocarbons". Polycyclic Aromatic Compounds (New York: Wiley) 27: 143. 3. Luch, A. (2005). The Carcinogenic Effects of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons. London: Imperial College Press. ISBN 1-86094-417-5. 4. Lin Y.C., Lee W.J. Hou H.C., 2006, " PAH emissions and energy efficiency of palm biodiesel blends fueled on diesel generater. Atmospheric Environment, 40, 3930-3940. 5. Mi HH, Lee WJ, Chen CB, Yang HH, Wu SJ, 2009 "Effect of fuel aromatic content on PAH emission from a heavy-duty diesel engine",Department of Environmental Engineering and Health, Chia-Nan College of Pharmacy and Science, Tainan, Taiwan, ROC.Chien et al., Aerosol and Air Quality Research, Vol. 9, No. 1, pp. 18-31, 2009. 6. Petroleum Association of Japan, 1999, "Petroleum Toward Harmonization with Environment", PAJ, Tokyo. 7. Robert Bosch GmbH, Stuttgart, Automotive Hand Book 3rd Edition, Jerman. 8. Shu-Mei Chien1, Yuh-Jeen Huang, Shunn-Cheng Chuang, Hsi-Hsien Yang, 2005,"Effects of Biodiesel Blending on Particulate and Polycyclic Aromatic Hydrocarbon Emissions inNano/ Ultrafine/Fine/Coarse Ranges from Diesel Engine". Department of Biomedical Engineering & Environmental Sciences, National Tsing Hua University, Hsinchu 300, Taiwan, 9. Yuan-Chung Lin & Wen-Jhy Lee & Chung-Bang Chen, 2006 " Characterization of polycyclic aromatic hydrocarbons from the diesel engine by adding light cycle oil to premium diesel fuel", Journal of the Air & Waste Management Association - June, 2006 .
ANALISA KANDUNGAN PARTIKEL PENGOTOR MILDA FIBRIA & RONA MALAM KARINA
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 285 - 290
Analisis Kandungan Partikel Pengotor pada Minyak Lumas Kendaraan Oleh: Milda Fibria1), Rona Malam Karina2) Peneliti Pertama1), Peneliti Madya2) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150 Teregistrasi I Tanggal 14 Juli 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal.30 Juli 2010 Disetujui terbit tanggal: 31 Desember 2010
SARI Dalam penelitian ini dilakukan pengujian terhadap minyak lumas kendaraan yang beredar di pasaran untuk melihat tingkat kebersihan minyak lumas di Indonesia. Pengujian karakteristik fisika/kimia pelumas dilakukan dengan menggunakan alat uji Contamination Control System (CCS2) dengan mengacu pada spesifikasi ISO 4406. Hasilnya adalah bahwa dari beberapa sampel pelumas yang diuji terdapat pelumas dengan kandungan pertikel kontaminasi berukuran 4μm sampai dengan 37μm dengan jumlah yang melebihi batas maksimum spesifikasi. Kandungan partikel dalam jumlah berlebih dapat menyebabkan berkurangnya kinerja mesin kendaraan. Oleh sebab itu diharapkan indusri pelumas harus lebih memperhatikan aspek kebersihan pelumasnya. Kata kunci : pelumas, kontaminasi, partikel, kebersihan. ABSTRACT In this research, several new brands of lubrication oil have been tested to obtain a figure about the cleanliness of lubricant oils in Indonesia. The test was conducted by examining the physicall-chemical characteristics of the oils using CCS2 instrument with ISO 4406 as the reference. The result of this research showed that in 100 ml lubricant oil, contaminants with the size between 4 μm and 37 μm are found and their number exceeds 100,000 particles above the maximum limit. This shows that the lubricant oil industry in Indonesia has not pay adequate attention to the cleanliness of its products. Therefore, necessary governmental policy regarding the standards related to this issue must be established. Keywords: lube oil, contaminations, particle, cleanliness. I. PENDAHULUAN Pertumbuhan industri khususnya industri otomotif di Indonesia semakin berkembang. Dengan perkembangan teknologi permesinan yang cukup pesat dewasa ini, banyak dirancang mesin untuk kecepatan putar maupun beban tinggi sehingga diperlukan minyak lumas yang mampu memenuhi kebutuhan mesin dengan baik sesuai fungsinya. Fungsi utama minyak lumas adalah untuk mencegah terjadinya gesekan, keausan dan kerusakan permukaan dalam suatu sistem yang terdiri atas berbagai elemen mesin, seperti gigi dan bantalan1).
Fungsi lainnya adalah untuk mencegah terjadinya korosi serta untuk mengumpulkan panas, kotoran dan partikel ausan. Minyak lumas juga bisa berfungsi untuk menghantarkan gaya ataupun energi, seperti yang terjadi pada sistem hidraulik. Fungsi minyak lumas tersebut dipenuhi oleh minyak lumas dasar2). Komponen aditif berfungsi untuk membuat minyak lumas mampu bekerja pada temperatur ekstrem yang akan memberikan aspek perlindungan tambahan pada mesin kendaraan. Saat ini perkembangan teknologi otomotif semakin maju, seperti terlihat pada Tabel 1 yang menunjukkan besarnya celah antar-permukaan (clearance) pada 285
ANALISA KANDUNGAN PARTIKEL PENGOTOR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
MILDA FIBRIA & RONA MALAM KARINA
beberapa komponen mesin. Dengan high performance serta toleransi yang sangat kecil3), sehingga kebutuhan akan minyak lumas berkualitas tinggi makin meningkat, termasuk kebersihan dari kontaminasi partikel khususnya pada sistem mesin yang bekerja dengan beban tinggi dan mengakibatkan tekanan pada bantalan (bearing) yang besar. Pada dua permukaan mesin yang bergerak berlawanan akan menimbulkan gesekan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 dibawah ini. Semakin kecil celah antar-permukaan, maka semakin besar gesekan yang terjadi, begitu juga apabila terdapat partikel di dalam celah dua permukaan mesin, maka akan mengganggu proses jalannya mesin. Kontaminasi partikel dapat berasal dari proses pembuatan minyak lumas seperti terlihat pada Gambar 2 di bawah ini yang menunjukkan alur produksi minyak lumas mulai dari sistem pemipaan supply, tangki penimbun, truk tangki, drum, aditif yang tidak larut secara sempurna, kondisi lingkungan berdebu, dll. Pada mesin yang sedang berjalan, jika ada partikel kontaminan yang lebih besar dari celah antara dua permukaan mesin, maka partikel akan melukai celah tersebut, menimbulkan serpihan logam dari permukaan mesin yang menyebabkan keausan abrasif. Jumlah partikel ausan dapat menyebabkan reaksi berantai yang menaikan jumlah total partikulat dalam pelumas4). Partikel-partikel tersebut pada operasinya akan memberi tenaga tekan pada permukaan bantalan yang lunak seperti yang tampak pada Gambar 3a dan 3b bahwa adanya partikel yang ikut bergesekan bersama dengan bekerjanya mesin akan mampu menembus permukaan bantalan dan tertanam secara permanen sampai permukaan bantalan pada suatu saat akan mencapai titik pengotoran jenuh. Hal ini akan mengganggu fungsi bantalan mesin dan dalam jangka panjang akan menjadi luka goresan pada komponen-komponen bergerak pada mesin. Dengan fungsi minyak lumas yang pada prinsipnya adalah melindungi mesin, maka kebersihan minyak lumas menjadi sangat penting. Karena jika minyak lumas yang digunakan untuk kendaraan adalah minyak lumas yang tidak bersih, maka fungsi minyak lumas yang semestinya melindungi mesin dengan harapan mesin kendaraan dapat awet, justru menyebabkan umur mesin kendaraan tidak seperti yang diharapkan. 286
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 285 - 290
Tabel 1 Clearance pada Beberapa Komponen Mesin No
Component Typical Critical
Clearance (μm)
1
Gear Pump (J1, J2)
0.5 – 5
2
Vane-cell Pump (J1
0.5 – 5
3
Piston Pump (J2)
0.5 – 1
4
Control Valve (J1)
0.5 – 25
5
Servo Valve (J1)
5–8
Sumber : Shcroeder Industrias LLC,
Contaminant Management Basic
Gambar 1 Contoh permukaan mesin yang bergerak/bekerja
Makalah ini merupakan hasil penelitian karakteristik fisika-kimia minyak lumas baru tipikal dari beberapa merek minyak lumas yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai tingkat kebersihan minyak lumas di Indonesia yang disertai data teknis dari hasil pengujiannya dan diharapkan dapat menjadi panduan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan kebersihan minyak lumas. Sehingga kalangan industri minyak lumas dapat memperbaiki kualitas kebersihan produknya khususnya pelumas otomotif.
ANALISA KANDUNGAN PARTIKEL PENGOTOR MILDA FIBRIA & RONA MALAM KARINA
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 285 - 290
Gambar 2 Alur proses produksi minyak lumas (Sumber: Laporan pelatihan LOBP)
II. METODOLOGI Pengumpulan data spesifikasi karakteristik fisika minyak lumas baru tipikal dilakukan terhadap beberapa merek minyak lumas yang ada di pasaran. Pengujian percontoh menggunakan metode uji kontaminasi partikel dengan alat uji CCS 2. Kontaminasi partikel dalam minyak lumas dispesifikasikan dengan menghitung jumlah partikel menggunakan sinar laser, memberikan informasi langsung mengenai ukuran partikel dalam mikrometer (μm) dan jumlahnya pada batasan yang telah ditentukan. Dua metode standar yang umumnya digunakan sebagai referensi untuk menghitung kontaminasi partikel metode ISO (International Organisation of Standardisation) dan NAS (National Airspace Standard) di mana perhitungannya dengan skala exponential. Akan tetapi, kedua sistem tersebut tidak identik dan tidak dapat dikonversikan dengan perhitungan matematik. Dalam penelitian ini batasan kelas kebersihan minyak lumas untuk peralatan dan komponen-komponen dalam mesin mengacu pada metode ISO 4406 seperti terlihat pada Tabel 2.
Gambar 3a keausan pada ball bearing
Gambar 3b keausan pada Friction Bearing
Gambar 3 Contoh keausan pada bearing akibat partikel kontaminasi (Sumber: Schroeder Industrias LLC, Contamination Management Basic)
Hasil pengukuran kontaminasi berdasarkan metode ISO 4406, terdiri dari tiga angka. Untuk pembacaannya, angka pertama menunjukkan kelas partikel dengan ukuran > 4 μm, angka kedua menunjukkan kelas partikel dengan ukuran > 6 μm dan angka ketiga menunjukkan kelas partikel dengan ukuran > 14 μm.
287
ANALISA KANDUNGAN PARTIKEL PENGOTOR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
MILDA FIBRIA & RONA MALAM KARINA
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 285 - 290
Tabel 4 Hasil Uji Kandungan Partikel dalam Pelumas Jumlah Partikel yang Terkandung dalam 100 ml minyak lumas Ukuran
> 4µm
> 6µm
> 10µm
> 14µm
> 21µm
> 37µm
Pelumas 1
1497900
405100
190600
159400
118800
80800
Pelumas 2
2204600
384300
42000
16100
6000
4000
Pelumas 3
1264000
222900
29100
9600
700
200
Pelumas 4
1097200
235000
42600
12900
1900
50
Pelumas 5
870200
326100
120700
86700
11000
2400
Pelumas 6
726900
340600
61000
11200
11000
3100
Pelumas 7
5776100
1324300
54700
12400
1700
400
Pelumas 8
2278300
570400
56200
19100
3400
1400
jumlah partikel yang berukuran 14μm dalam jumlah besar yang melebihi spesifikasi, karena partikel berukuran >14μm dapat lebih mudah merusak permukaan komponen mesin. Sedangkan untuk partikel berukuran >4 μm cenderung lolos dari gesekan dengan tekanan yang terjadi karena ukurannya yang lebih kecil dari clearance-nya. Akan tetapi jika jumlahnya sangat banyak sehingga melebihi spesifikasi yang ditentukan, maka akan dapat memberi tenaga tekan pada permukaan bantalan yang berakibat rusaknya permukaan mesin akibat goresan. Dengan demikian, banyaknya kontaminasi partikel dalam pelumas dapat memperpendek umur mesinnya. Industri pelumas, perlu memperhatikan kebersihan produk pelumas yang akan dijual dipasaran. Kebersihan yang diharapkan di sini yaitu memenuhi standar yang ditetapkan. IV. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan terhadap data karakteristik fisika minyak lumas dapat disimpulkan bahwa pelumas 3 dan pelumas 4 sesuai dengan spesifikasi. Sedangkan pelumas 5 dan pelumas 6 menunjukkan kelebihan jumlah partikel yang signifikan dan kelas ini adalah yang paling buruk secara kandungan partikel kontaminannya. Kondisi tersebut sangat memungkinkan timbulnya penurunan unjuk kerja mesin kendaraan yang akan merugikan.
Tabel 5 Contoh Klasifikasi Berdasarkan Jumlah Partikel Kontaminasi Terhadap Pelumas 1 menurut metode ISO 4406 Pelum as 1 dengan kelas pertikel : 21 /19 / 18 Ukuran partikel (µm ) >4
Jum lah
Kelas
1497900
21
>6
405100
19
>10
190600
>14
159400
>21
118800
> 37
80800
18
Tabel 6 Klasifikasi Jumlah Berdasarkan Metode ISO 4406 (Kelas 20/18/15) Ukuran >4 partikel (µm) Jumlah 2000000 (m aksimum)
>6
>14
Kelas
500000
32000 21/19/15
Pelum as 1
1497900
595600
349000 21/19/18
Pelum as 2
2204600
426300
26100 22/19/14
Pelum as 3
1264000
252000
10500 21/18/14
Pelum as 4
1097200
277600
15300 21/18/14
Pelum as 5
4223200 1446800
100100 23/21/17
Pelum as 6
8647000 3964500
124300 24/22/17
Pelum as 7
5776100
137900
14500 23/21/14
Pelum as 8
2278300
626600
23900 22/20/15
289
ANALISA KANDUNGAN PARTIKEL PENGOTOR MILDA FIBRIA & RONA MALAM KARINA
Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat: -
Memberikan gambaran terhadap perkembangan industri pelumas dalam hal kebersihan produk minyak lumas.
-
Memberikan masukan kepada pelaku industri minyak lumas untuk melakukan proses filterisasi produk sebaik-baiknya agar produk yang dihasikan benar-benar bersih dari kontaminasi partikel.
-
Sebagai acuan pemerintah dalam menetapkan Rancangan SNI dalam hal tingkat kebersihan pelumas.
290
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 285 - 290
KEPUSTAKAAN 1. BSN, 2006, Dukungan terhadap Pemberlakuan SNI Wajib Minyak Pelumas, Badan Standarisasi Nasional, http:// www.bsn.or.id/ diakses tanggal 14 Oktober 2008. 2. Caines, A.J. , Robert Haycock, 1996, Automotive Lubricants Reference Book, SAE Inc., USA, 706pp. 3. Schroeder Industrias LLC, Contamination Management Basic, Diakses melalui http:// www.scholar.google.com tanggal 15 Oktober 2008. 4. Ulfiati, R., 2008, Pentingnya Kebersihan Pelumas Mesin, Lembaran Publikasi Lemigas Vol. 42 No. 1/ 2008, Lemigas, Jakarta, hal: 65-70
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN GAS SUAR BAKAR PARAMITA WIDIASTUTI DAN AZIZ MASYKUR LUBAD
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 291 - 298
Kajian Kelayakan Pemanfaatan Gas Suar Bakar untuk Pabrik Pupuk Skala Kecil Oleh: Paramita Widiastuti1) dan Aziz Masykur Lubad1) Peneliti Pertama1) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150, 62-21-7398276
[email protected],
[email protected] Teregistrasi I Tanggal 21 Agustus 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal 16 Desember 2010 Disetujui terbit tanggal: 31 Desember 2010
SARI Volume gas suar bakar di Indonesia masih cukup besar, yakni sekitar 310,7 MMSCFD atau sekitar 3,9% dari total utilisasi gas Indonesia (status 2008). Gas suar bakar merupakan gas buangan dari hasil operasi normal kilang, petrokimia, dan fasilitas operasi lainnya yang disalurkan untuk dibakar. Pembakaran gas sisa ini merupakan pemborosan energi dan meningkatkan CO2 di atmosfer. Pemanfaatan gas suar bakar ini seringkali terkendala oleh volume gas yang relatif kecil dan menyebar serta jauh dari infrastruktur pipa transmisi atau distribusi. Dengan adanya kendalakendala tersebut maka opsi-opsi lain untuk pemanfaatan gas suar bakar masih sangat diperlukan. Gas suar bakar dan gas dari lapangan marjinal dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pabrik pupuk. Pada kajian ini dilakukan kajian kelayakan gas bumi skala kecil untuk pabrik pupuk skala kecil. Metodologi dari studi ini antara lain adalah survei lapangan dan evaluasi data, studi literatur, pemilihan teknologi, rancangan diagram alir proses dan perhitungan keekonomian. Rancangan kapasitas untuk pabrik pupuk dapat dibagi menjadi skala kecil, medium atau besar. Pada kajian ini, pabrik pupuk didesain sebagai pabrik pupuk skala kecil dengan kapasitas gas umpan sebesar 3,5-8,5 MMSCFD. Pembuatan pupuk urea dapat dibagi menjadi unit amonia dan unit urea. Simulasi proses pabrik pupuk skala kecil ini dibuat dengan pendekatan pada sistem pembuatan amonia dan urea secara konvensional. Berdasarkan hasil simulasi untuk kapasitas gas 5 MMSCFD, unit amonia memproduksi 223 ton amonia/hari dan unit urea menghasilkan 380 ton urea/hari. Perhitungan keekonomian dilakukan pada empat skenario gas umpan antara 3,5-8,5 MMSCFD dan harga urea 380 US$/ton. Asumsi yang digunakan adalah debt-equity ratio 30% discount rate 11% dengan daya beli gas umpan sebesar US$1-US$3/MMBTU. Pengembangan pabrik pupuk skala kecil cukup layak dikembangkan pada skenario tertentu, yakni skenario dengan laju alir gas di atas 6,5 MMSCFD, memberikan nilai IRR masih di atas nilai bunga bank yakni 11% dan nilai NPV dari pembangunan ini positif. Kata Kunci: pabrik pupuk, skala kecil ABSTRACT The volume of flare gas in Indonesia is still quite large, that is 310.7 MMSCFD or about 3.9% from the Indonesian total gas utilization. Flare gas is waste gas resulted from normal operation in refineries, petrochemical plant, and others operating facilities that is flown to the flare system. Gas flaring is wasting energy and increasing CO2 to the atmosphere.
291
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN GAS SUAR BAKAR PARAMITA WIDIASTUTI DAN AZIZ MASYKUR LUBAD
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 291 - 298
II. METODOLOGI Metodologi dari studi ini berupa survei dan evaluasi data lapangan, studi literatur, pemilihan teknologi, evaluasi diagram alir proses dan perhitungan keekonomian. Data-data yang telah dikumpulkan, dimasukkan ke dalam simulator proses untuk membuat desain pabrik ammonia dan pabrik urea berskala kecil. Model pabrik pupuk skala kecil yang diperoleh selanjutnya dipakai sebagai dasar perhitungan keekonomian. III. DISKUSI DAN HASIL PEMBAHASAN A. Pemilihan Teknologi Secara umum, pemrosesan gas untuk memproduksi pupuk urea terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah produksi ammonia dan tahap ke-dua merupakan pemrosesan urea. Proses pada pabrik amonia dapat disederhanakan pada diagram blok pada Gambar 1. Sedangkan Gambar 2 memperlihatkan diagram blok pabrik urea. Salah satu hambatan pada pengembangan pabrik pupuk skala kecil adalah ukuran dari peralatannya. Ada tiga unit peralatan yang secara tipikal berukuran besar pada pabrik pupuk, yaitu unit produksi nitrogen dan unit produksi hidrogen pada pabrik amonia, serta prilling tower pada pabrik urea. Untuk itu dikaji teknologi atau peralatan yang dapat diterapkan secara konsep untuk pabrik pupuk skala kecil. Berikut ini merupakan penjelasan dari peralatan tersebut.
Gambar 1 Diagram blok tipikal proses pembuatan ammonia
1. Unit Produksi Nitrogen Skala Kecil Pabrik pupuk memerlukan nitrogen dari udara. Unit pemisahan udara merupakan salah satu unit di pabrik pupuk di mana nitrogen diproduksi. Pressure Swing Adsorption (PSA) merupakan proses yang bekerja berdasarkan perbedaan tekanan untuk mendapatkan nitrogen sebagai produk yang diinginkan. Alat ini memisahkan dan mengumpulkan nitrogen dari udara. Alat ini merupakan peralatan dengan unit-unit yang mudah dipasang dan pengoperasian serta pemeliharaan yang lebih sederhana. Keuntungan lain adalah dapat dipasang secara skid-mounted (Gambar 3). PSA terdiri dari 2 bed yang diisi dengan Carbon Molecular Sieve (CMS). Setiap gas memiliki karakteristik adsorption rate ketika diadsorb oleh CMS. CMS memiliki permukaan area besar yang terdiri dari volume mikropori dan jalur-jalur. Oksigen
Gambar 2 Diagram blok tipikal proses pembuatan urea
memiliki adsorption rate yang lebih tinggi dari nitrogen. Ketika udara yang telah dimampatkan memasuki CMS, molekul nitrogen mampu melewati permukaan besar tersebut, dan molekul oksigen diadsorbsi ke area permukaan. Proses ini terjadi di dalam satu bed, sedangkan bed lainnya secara simultan beregenerasi dengan cara penurunan tekanan ke tekanan atmosferik. Gambar berikut memperlihatkan skema nitrogen generator untuk memproduksi nitrogen. 293
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN GAS SUAR BAKAR PARAMITA WIDIASTUTI DAN AZIZ MASYKUR LUBAD
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 291 - 298
2. Unit Produksi Hidrogen Skala Kecil Steam reformer merupakan salah satu peralatan utama untuk memproduksi hidrogen. Steam methane reformer yang digunakan pada pabrik pupuk biasanya memiliki ukuran cukup besar karena beroperasi pada temperatur tinggi. Ukuran yang besar ini merupakan hambatan untuk membuat pabrik pupuk skala kecil. Studi literatur dilakukan untuk mengkaji teknologi untuk memproduksi hidrogen skala kecil. Terdapat beberapa teknologi untuk memproduksi hidrogen skala kecil. Teknologi ini merupakan pengembangan untuk penggunaan pada sistem fuel cell, dan saat ini telah diadaptasi untuk produksi hidrogen yang berdiri sendiri. Secara konsep, teknologi ini dapat juga digunakan pada pabrik pupuk skala kecil namun belum ada pembuktian penggunaannya. a. Annular type steam methane reformers Reformer tipe ini beroperasi pada temperatur dan tekanan yang lebih rendah dari sistem konvensional dan menggunakan peralatan yang lebih ringkas. Beberapa perusahaan yang mengembangkan reformer tipe ini antara lain adalah Sanyo Electric, International Fuel Cells (IFC), Ballard Power Systems dan Osaka Gas Company. b. Plate-type steam methane reformers Inovasi lain pada desain steam reformer adalah tipe plate reformer. Desain reformer ini menggunakan beberapa plat. Untuk setiap plat, satu sisi dilapisi dengan katalis steam reformer dan disuplai dengan metana dan steam, dan pada sisi lain dari plat, metana mengalami pembakaran katalitik, menyediakan kalor untuk endothermic steam reforming (Gambar 5). Tipe ini lebih ringkas dibanding reformer konvensional yang biasanya berupa tabung panjang berisi katalis atau reformer tipe anular dengan catalyst bed. Keuntungan lain dari desain ini adalah desain terstandardisasi, pertukaran kalor yang lebih baik dan termal inersia yang lebih rendah. Perusahaan yang mengembangkan tipe ini antara lain Ztek, Velocys, ChevronTexaco with Modine, GASTEC, Osaka Gas Company. c. Membrane reactors for steam reforming Teknologi lain adalah ‘reaktor membran’, di mana seluruh tahapan steam reforming, water gas shift dan hydrogen purification dilakukan dalam satu reaktor. 294
Gambar 3 PSA Generator model skid mounted[2]
Gambar 4 Skema Generator CMS untuk produksi Nitrogen[3]
Untuk memproduksi nitrogen murni dari udara, Argonne National Laboratory bekerja sama dengan Amoco telah memelopori penggunaan teknologi membran. Dengan menyediakan oksigen dengan biaya rendah maka proses membran dapat menurunkan biaya produksi hidrogen. Perusahaan yang juga mengembangkan teknologi ini adalah Mitsubishi Heavy Industries, Membrane Reactor Technology. Praxair (berkolaborasi dengan BP, Statoil, Sasol) mengembangkan sistem skala kecil yang
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN GAS SUAR BAKAR PARAMITA WIDIASTUTI DAN AZIZ MASYKUR LUBAD
mengkombinasikan Auto Thermal Reforming (ATR) berbasis membran oksigen dengan water-gas shift reactor dengan membrane hydrogen. Praxair mengembangkan Pd-Ag membrane hydrogen yang didukung pada material keramik. d. Sorbent-enhanced reforming Tujuan sorbent-enhanced reforming adalah untuk membantu kinetika dan termodinamika serta menyederhanakan proses reformasi dengan penghilangan karbon dioksida secara kontinyu dari zona reaksi. Dalam satu tahapan, aliran hidrogen murni dapat mencapai 95% tanpa memerlukan shift reaction. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan adsorben seperti kalsium oksida. Karena adsorpsi bersifat eksotermik dan steam reforming endotermik, penggabungan reaksi ini mengurangi energi secara signifikan. Adsorben harus diregenerasikan setelah sepenuhnya dikonversi menjadi karbonat. Kelebihan dari konsep ini adalah desain yang lebih sederhana, reaksi suhu rendah (di bawah 500°C), mengurangi biaya clean-up, dan menangkap CO2. Bahan sorbent harus memenuhi persyaratan yaitu serapan CO2 tinggi, kinetika yang cepat, stabilitas pada konsentrasi uap tinggi, regenerable dan biaya rendah. Perusahaan yang mengembangkan teknologi ini adalah Air Product and Chemicals, Inc.
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 291 - 298
3. Granulator unit Urea dapat dijual dalam bentuk prill atau granul. Prilling merupakan proses di mana partikulat padat diproduksi dari molten urea. Molten urea disemprot dari bagian atas menara prill. Produksi urea dalam bentuk prill biasanya memerlukan menara prilling yang tinggi. Hal ini menjadi masalah dalam merancang pembuatan pabrik pupuk skala kecil. Oleh karena itu, metode granulasi dapat digunakan untuk memproduksi urea berbentuk granul untuk pabrik pupuk skala kecil. Walaupun belum terdapat integrasi dari peralatan yang telah dijabarkan di atas, yakni unit produksi ni-
Gambar 5 Reformer tipe Plate[4]
Gambar 6 Konsep Praxair dalam mengkombinasikan oksigen (Oxygen Transport Membrane) dan hydrogen ion transporting membranes[4]
295
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN GAS SUAR BAKAR
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
PARAMITA WIDIASTUTI DAN AZIZ MASYKUR LUBAD
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 291 - 298
Tabel 4 Ikhtisar Perhitungan Keekonomian Pabrik Pupuk Skala Kecil Harga Gas Umpan Gas Umpan 3,5 MMSCFD Total Investment NPV (Net Present Value) IRR (Internal Rate Of Return) Produksi Urea Gas Umpan 5 MMSCFD Total Investment NPV IRR Produksi Urea Gas Umpan 6,5 MMSCFD Total Investment NPV IRR Produksi Urea Gas Umpan 8,5 MMSCFD Total Investment NPV IRR Produksi Urea
1 US$/MMBTU
2 US$/MMBTU
3 US$/MMBTU
145 -32.850 5,1 270
Juta US$ Juta US$ % Ton/Hari
145 -37.621 4,2 270
Juta US$ Juta US$ % Ton/Hari
145 -42.391 3,2 270
Juta US$ Juta US$ % Ton/Hari
181,5 -19.973 8,2 380
Juta US$ Juta US$ % Ton/Hari
181,5 -26.788 7,2 380
Juta US$ Juta US$ % Ton/Hari
181,5 -33.602 5,1 380
Juta US$ Juta US$ % Ton/Hari
217 -765 10,8 500
Juta US$ Juta US$ % Ton/Hari
217 -9.624 9,8 500
Juta US$ Juta US$ % Ton/Hari
217 -18.483 8,8 500
Juta US$ Juta US$ % Ton/Hari
257 28.166 13,5 650
Juta US$ Juta US$ % Ton/Hari
257 16.531 12,5 650
Juta US$ Juta US$ % Ton/Hari
257 4.946 11,4 650
Juta US$ Juta US$ % Ton/Hari
30%, discount rate yang digunakan adalah 11% per tahun (dalam kurs US$) dan harga beli gas berkisar antara US$ 1-3/MMBTU dengan harga jual urea US$ 380/ton. Gambar berikut memperlihatkan analisa sensitivitas pada pabrik pupuk skala kecil. Pembangunan pabrik pupuk skala kecil dengan kapasitas gas umpan di atas 6,5 MMSCFD layak secara ekonomi karena memberikan IRR di atas bunga bank (11%) dengan nilai NPV positif. IV. KESIMPULAN 1. Masih tersedianya sumber gas skala kecil yaitu dari lapangan marjinal atau gas suar bakar yang belum dimanfaatkan. 2. Pabrik pupuk skala kecil merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi dan memanfaatkan lapangan marjinal atau gas suar bakar dalam sistem operasi migas. 3. Telah tersedia teknologi unit peralatan berskala kecil yang mungkin dapat diintegrasikan menjadi pabrik pupuk skala kecil. 4. Pengembangan pabrik pupuk skala kecil cukup layak pada skenario tertentu, yakni skenario
Gambar 7 Analisis Sensitivitas IRR terhadap gas umpan pabrik pupuk
dengan laju alir gas di atas 6,5 MMSCFD, karena memberikan IRR di atas nilai bunga bank (11%) dan nilai NPV positif. V. SARAN Studi lebih lanjut perlu dilakukan terutama untuk mengkaji kemungkinan integrasi unit-unit peralatan berskala kecil.
297
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN GAS SUAR BAKAR PARAMITA WIDIASTUTI DAN AZIZ MASYKUR LUBAD
KEPUSTAKAAN 1. “Fertilizer Manual”, Kluwer Academic Publisher, Norwell-USA. http://books.google.co.id 2. PSA Nitrogen gas generator. http:// w w w. s a m g a s p l a n t s . c o m / n i t r o g e n - g a s generator.html 3. Nitrogen PSA technology. http://igs-global.com/ products/prod-N-PSA-tech.html 4. On-site Hydrogen Generators from Hydrocarbons http://www.ika.rwth-aachen.de/r2h/index.php/ On-site_Hydrogen_Generators_from_ Hydrocarbons 5. Berita perdagangan dan investasi. www.bi.go.id/NR/.../BeritaPerdagangan danInvest8Sep2008.doc 6. Abram, A., Forster D. Lynn, 2005, “A Primer on Ammonia, Nitrogen Fertilizers, and Natural Gas Markets”, AEDE-RP-0053-05, Department of AED Economics The Ohio State University, OhioUSA
298
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 291 - 298
7. Budidarmo, S., 2007, “Natural Gas and Nitrogen Fertilizer Production in Indonesia-Current Situation and Prospect”, IFA Crossroads Asia-Pacific, Bali-Indonesia 8. “Filosofi Proses Pabrik Amoniak, Urea dan Utilitas”, PT. Pupuk Sriwidjaja 9. Satyro, Marco A., et al., 2000, “Modelling Urea Processes: A New Thermodynamic Model and Software Integration Paradigm”, Virtual Materials Group, Calgary-Canada 10. “Studi Pengembangan Kilang Ammonia di Blok Matindok”, 2002, PERTAMINA, Jakarta-Indonesia 11. World/US Price Comparison World Market Status. www.fertilizerworks.com/fertreport/pdf/ 2010/Profercy-101112.pdf
KOMPATIBILITAS CAMPURAN MINYAK LUMAS RONA MALAM KARINA & CATUR YULIANI R.
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 299 - 306
Kompatibilitas Campuran Minyak Lumas Dasar Jenis Mineral dengan Minyak Nabati sebagai Minyak Lumas Dasar Pelumas Mesin Kendaraan Bermotor Rona Malam Karina1), Catur Yuliani R.2) Peneliti Muda1), Peneliti Pertama2) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150 e-mail :
[email protected],
[email protected] Teregistrasi I Tanggal 26 Maret 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal 24 Agustus 2010 Disetujui terbit tanggal: 31 Desember 2010
SARI Minyak lumas sangat berperan dalam dunia industri automotif. Saat ini kebutuhan akan minyak lumas meningkat dalam tingkat konsumsi maupun persyaratan teknis seiring dengan meningkatnya jumlah pemakai minyak lumas dan persyaratan yang dibutuhkan oleh mesin kendaraan bermotor. Minyak jarak yang diperoleh dari Ricinus communis telah lama digunakan sebagai bahan pengganti minyak lumas dasar mineral karena minyak jarak memiliki karakteristik (termasuk biodegradasi) sangat baik dibanding minyak lumas dasar lain. Pencampuran minyak jarak dengan minyak lumas sintetik dan minyak lumas dasar mineral diharapkan dapat meningkatkan kualitas minyak lumas dasar, di mana karakteristik minyak lumas dasar mineral telah diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan dengan cara mencampur minyak lumas dasar sintetik dan minyak lumas dasar mineral dengan minyak nabati agar kualitas minyak lumas dasar campuran dapat meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompatibilitas melalui uji karakteristik fisika-kimia dan uji semi unjuk kerja dari campuran minyak nabati hasil sintesis dan minyak lumas dasar mineral. Penelitian ini menggunakan tiga macam minyak lumas dasar, yaitu dua minyak lumas dasar mineral jenis high viscosity index dan satu minyak lumas dasar sintetik. Pecampuran dilakukan berdasarkan perbandingan % (w/w) minyak nabati hasil sintesis terhadap minyak mineral. Konsentrasi minyak nabati hasil sintesis yang dibuat pada percobaan ini, yaitu 0%, 4%, 8%, 12%, serta 15%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampuran minyak nabati hasil sintesis ke dalam base oil jenis mineral dapat memperbaiki 3 karakteristik base oil mineral tersebut , yaitu total acid number (TAN) , indeks viskositas, dan ketahanan terhadap keausan. Namun dilihat dari kelarutan, kedua campuran antara minyak nabati dan minyak mineral tidak dapat larut dengan baik karena perbedaan kepolarannya. Oleh karena itu, untuk menghasilkan kompatibilitas yang sempurna sehingga perlu ditambahkan aditif emusifier. Kata kunci : kompatibilitas, minyak nabati, tersintesa, minyak lumas dasar, minyak lumas kendaraan ABSTRACT Lube oil plays a very important role in automotive industries. The demand of lube oil is increasing in consumption rate and technical specification along with the improvement number of lube oil user and engine requirement. Castor oil derived from Ricinus communis is an alternative to replace mineral base oil because of its lubricant characteristics and biodegradability. An improvement on quality of mineral base oils is expected if it is mixed 299
KOMPATIBILITAS CAMPURAN MINYAK LUMAS RONA MALAM KARINA & CATUR YULIANI R.
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 299 - 306
with synthesized castor oil, which has been recognized having better characteristics than mineral base oil. Hence, a research was conducted to mixed synthesized castor and mineral base oil at improving quality of lubricant base oil. This research was aimed at recognizing the compatibility by physicochemical characteristics, and semi-performance characteristics of synthesized castor and mineral base oil mixture. Three kinds of mineral base oils used in this research, those were two types of High Viscosity Index mineral base oil and a type of synthetic mineral base oil. The mixture were in % (w/w) synthesized castor oil in mineral base. There were 5 combinations of percentage in this study i.e. 0%, 4%, 8%, 12% and 15%. The results showed that synthesized castor oil increment in mineral base oil improved 3 characteristics of mineral base oil i.e., total acid number(TAN), viscosity index and wear prevention characteristics, however mixing step showed that synthesized castor oil could not be completely mixed with mineral base oil because of their difference in polarity. Therefore, in order to get the perfect compatibility, emulsifier additive which can resist separation, need to be added to the mixture. Keywords : compatibility, synthesized castor oil, base oil, engine oil. I. PENDAHULUAN Minyak lumas sangat berperan dalam dunia transportasi. Saat ini kebutuhan akan minyak lumas meningkat dalam tingkat konsumsi maupun persyaratan teknis seiring dengan meningkatnya jumlah pemakai minyak lumas dan persyaratan yang dibutuhkan oleh mesin kendaraan bermotor. Peningkatan kebutuhan ini dijawab dengan peningkatan jumlah dan kualitas minyak lumas yang dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan sebagai komponen pelumas. Bahan baku pelumas atau yang biasa disebut base stock merupakan komponen utama pelumas yang terdiri atas minyak pelumas dasar (minyak lumas dasar) dan aditif [1] . Tingginya harga aditif menyebabkan penggunaannya dalam suatu formulasi menurunkan nilai keekonomisan suatu pelumas. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pelumas yang lebih ekonomis dengan kualitas yang tinggi perlu pencampuran beberapa jenis minyak lumas dasar sebelum penambahan aditif. Minyak lumas dasar merupakan komponen terbesar pelumas yang umumnya berasal dari minyak mineral dan sintetik sedangkan aditif minyak lumas merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam pelumas dalam jumlah kecil untuk memperbaiki sifatsifat pelumas tersebut. Penambahan aditif dilakukan untuk memperbaiki karakteristik unjuk kerja pelumas, seperti indeks viskositas yang rendah, detergen dan suspensi, kestabilan oksidasi, mengurangi busa, penahan temperatur tinggi. Untuk mesin otomotif 300
yang bekerja dengan putaran dan temperatur tinggi diperlukan minyak lumas khusus dengan kualitas tinggi. Untuk aplikasi tersebut, biasanya digunakan bahan dasar minyak dari senyawa sintetik (polyolefin) atau senyawa nabati[2]. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, terdapat sejumlah bahan nabati yang memiliki potensi untuk dijadikan sebagai minyak lumas dasar, di antaranya minyak jarak (castor oil), minyak bunga matahari (sunflower oil), minyak kacang kedelai (soybean oil), rapeseed oil dan lain-lain[3] . Minyak jarak yang diperoleh dari biji tanaman jarak Ricinus communis telah lama digunakan sebagai bahan industri, terutama sebagai minyak lumas. Minyak lumas dari minyak jarak memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan minyak lumas lain, karena viskositas yang stabil pada suhu rendah dan tinggi[3]. Modifikasi untuk mendapatkan minyak lumas dasar dengan kualitas baik dapat dilakukan terhadap minyak jarak dengan beberapa tahapan perlakuan kimiawi hingga menghasilkan minyak nabati hasil sintesis dengan struktur ditunjukkan dalam Gambar 1. Hasil sintesis castor oil ini, apabila digunakan sebagai campuran minyak mineral sebagai minyak lumas dasar akan sangat menguntungkan ditinjau dari sisi pemanfaatan sumber daya terbarukan dan dari aspek lingkungan. Pencampuran hasil sintesis minyak nabati, yang telah diketahui memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak mineral, ke dalam minyak mineral diharapkan mampu meningkatkan kualitas minyak mineral sebagai minyak lumas dasar pada mesin kendaraan bermotor.
KOMPATIBILITAS CAMPURAN MINYAK LUMAS
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
RONA MALAM KARINA & CATUR YULIANI R.
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 299 - 306
oksidasi dilakukan selama 6 jam pada suhu 1650C untuk melihat ketahanan oksidasinya dengan metode JIS 2514.
Makalah ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kompatibilitas dan karakteristik fisika-kimia campuran minyak lumas dasar jenis mineral dengan minyak nabati, yang merupakan hasil sintesis minyak jarak, sebagai minyak lumas dasar untuk pelumas mesin, sehingga dapat dilihat kelayakan pemakaian minyak nabati hasil sintesis sebagai campuran base oil mineral dalam minyak lumas dasar kendaraan bermotor.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum dilakukan pencampuran, dilakukan pengujian karakteristik fisika-kimia base oil (BO) minyak nabati dan minyak mineral (M1 dan M2) yang digunakan dalam penelitian ini . Tabel 1 menunjukkan hasil pengujian tersebut.
II. METODOLOGI PENELITIAN
A. Pencampuran (Blending)
Penelitian ini dilakukan dengan pencampuran antara minyak lumas dasar jenis mineral dan minyak nabati hasil sintesa castor oil. Minyak mineral yang digunakan terdiri atas 3 jenis, yaitu 2 jenis minyak mineral High Viscosity Index dan satu jenis minyak mineral sintetik. Pencampuran dilakukan berdasarkan perbandingan % (w/w) minyak nabati hasil sintesis terhadap minyak mineral. Konsentrasi minyak nabati hasil sintesis yang dibuat pada percobaan ini, yaitu 0%, 4%, 8%, 12%, serta 15%. Kompatibilitas campuran diuji dengan cara mencampur minyak nabati dan minyak mineral dengan perbandingan konsentrasi di atas, kemudian dilakukan blending selama 15 menit dengan suhu 600C sampai 700C dan didiamkan selama 30 hari. Pengaruh pencampuran di uji dengan uji karakteristik fisika-kimia dan semi-unjuk kerja seperti: indeks viskositas, Angka asam total (TAN), titik nyala, titik tuang, uji four-ball (uji keausan) dan uji stabilitas
Tahap pencampuran menghasilkan campuran seperti terlihat dalam Gambar 2. Minyak nabati hasil sintesis yang dicampurkan ke dalam base oil jenis
Gambar 1 Struktur Minyak Nabati Hasil Sintesis
Tabel 1 Karakteristik minyak nabati dan base oil mineral No
Parameter
Test Method
Unit
Minyak Nabati
BO Sintetik
BO M1
BO M2
gr/cm3
0.9671
-
0.8775
0.8726
1
Density
D 1298
2
Pour Point
D 97
ºC
-22
-15
-9
-18
3
Flash Point, COC
D 92
ºC
216
260
238
240
D 445
cSt
110.2
7.607
7.502
10.60
14.1
46.93
53.68
91.42
129
128
101
98
0.2128
0.0516
0.4915
0.2087
Kinematic Visc 4
@ 100ºC @ 40ºC
5
Visc. Index
D 2270
6
Total Acid Number
D 664
mgKOH/g
301
KOMPATIBILITAS CAMPURAN MINYAK LUMAS RONA MALAM KARINA & CATUR YULIANI R.
mineral tidak dapat larut dengan baik. Oleh karena itu, terdapat pemisahan yang sangat signifikan antara minyak nabati hasil sintesis dan base oil jenis mineral. Pada Gambar 2(A), terlihat bahwa pencampuran minyak nabati terlihat bercampur dengan baik dalam minyak lumas dasar mineral. Namun setelah didiamkan selama 18 hari atau dipanaskan sampai dengan 650C, minyak nabati akan semakin mudah terpisah dari minyak lumas dasar mineral (Gambar 2 B). Walaupun demikian, pemisahan yang terjadi bukanlah pemisahan sempurna. Hal ini karena terlihat dari beberapa hasil uji fisika/kimia yang diperoleh. Pada uji fisika kimia, terlihat adanya pengaruh dari minyak nabati terhadap sifat fisika/kimia dari minyak lumas dasar mineral (mineral oil). Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan yang terjadi tidak bersifat sempurna, oleh karena itu terdapat bagian dari minyak nabati yang menolak mineral oil dan ada juga bagian yang berikatan atau berinteraksi dengan mineral oil. Gambar 2. menunjukkan bahwa castor oil hasil modifikasi terpisah dan berada di lapisan bawah. Hal ini disebabkan karena massa jenis castor oil hasil modifikasi lebih besar dibandingkan ketiga jenis pelarutnya (Tabel 1). Pemisahan yang terjadi setelah dilakukan pencampuran dipengaruhi oleh sifat minyak nabati hasil sintesis serta sifat base oil mineral pelarutnya. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, telah kita ketahui bahwa minyak nabati hasil sintesis memiliki beberapa gugus fungsi yang bersifat polar (Gambar 1). Gugus fungsi tersebut, yaitu gugus karboksil (COO) dan juga hidroksil (OH). Adanya sifat polar dari gugus-gugus fungsi tersebut dapat mengakibatkan minyak nabati hasil sintesis memiliki sifat yang cenderung polar. Base oil yang berasal dari hasil penyulingan minyak bumi terdiri atas rantai hidrokarbon, baik itu alifatik, aromatik, maupun naftenik. Rantai karbon yang tersusun atas karbon dan hidrogen memiliki sifat yang sangat non-polar. Sifat ini berlawanan dengan castor oil termodifikasi. Adanya perbedaan kepolaran ini akan membuat minyak nabati hasil sintesis sulit larut sempurna dengan castor oil termodifikasi. Selain memiliki sifat polar, castor oil termodifikasi juga memiliki sifat non-polar yang dipengaruhi oleh struktur rantai karbonnya. Sifat non-polar dari rantai 302
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 299 - 306
Gambar 2 Campuran Minyak Nabati Hasil Sintesa dan Base Oil Mineral
karbon inilah yang berpartisipasi pada interaksi yang terjadi saat blending antara base oil mineral dan minyak nabati hasil sintesis. Pencampuran menyebabkan molekul non-polar kedua jenis cairan ini berada dalam jarak yang cukup dekat. Adanya induksi momen dipole yang sangat lemah di antara kedua molekul non-polar tersebut menciptakan interaksi van der Waals sehingga mengakibatkan minyak nabati hasil sintesis dapat sedikit larut dalam base oil saat blending. Ikatan van der Waals ini merupakan interaksi yang lemah dan hanya dapat terjadi ketika molekul yang bereaksi berada dalam jarak yang cukup dekat[4]. Interaksi yang terjadi antara base oil dan minyak nabati hasil sintesis diilustrasikan dalam Gambar 3. Interaksi van der Waals semakin melemah ketika campuran didiamkan. Interaksi van der Waals yang lemah tersebut dan interaksi dalam molekul minyak nabati hasil sintesis sendiri menciptakan ketidakseimbangan gaya yang terjadi dalam campuran. Ketidakseimbangan ini menciptakan tegangan antarmuka kedua cairan ini menyebabkan terlihatnya pemisahan dalam campuran. Untuk menurunkan tegangan permukaan perlu adanya penambahan zat surface active ke dalam campuran[5] yang biasa disebut surfaktan, ini sangat luas penggunaannya di dalam pelumas dalam proses pelarutan berbagai bahan polar maupun non-polar dan dalam pelumasan boundary[6].
KOMPATIBILITAS CAMPURAN MINYAK LUMAS RONA MALAM KARINA & CATUR YULIANI R.
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 299 - 306
B . Analisis fisika/kimia kompatibilitas campuran minyak nabati dan mineral oil Uji karakteristik fisika/kimia campuran minyak nabati hasil sintesis dan base oil mineral dilakukan terhadap empat karakteristik utama minyak lumas kendaraan bermotor yaitu indeks viskositas, angka asam total, titik tuang, dan titik nyala pada saat campuran belum memisah atau tepat setelah blending dilakukan. Keempat karakteristik ini dipilih karena penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kompatibilitas campuran yang akan digunakan sebagai minyak lumas dasar dalam minyak lumas kendaraan bermotor. Hasil pengujian indeks viskositas (Gambar 4) menunjukkan bahwa base oil sintetik adalah jenis base oil yang paling terpengaruh oleh penambahan minyak nabati hasil sintesis. Peningkatan terjadi seiring dengan penambahan konsentrasi minyak nabati. Pada konsentrasi minyak nabati sebesar 15% indeks viskositas bahkan mencapai 156 atau mengalami peningkatan sebesar 19% bila dibandingkan dengan indeks viskositas BO sintetik. Bila dibandingkan dengan indeks viskositas minyak nabati sebelum pencampuran sebesar 129 maka indeks viskositas minyak nabati juga mengalami peningkatan dengan pencampuran sebesar 21%. Peningkatan nilai indeks viskositas ini menunjukkan peningkatan kualitas base oil dalam mempertahankan viskositas pada temperatur tinggi. Hasil pengujian angka asam total (Gambar 5) menunjukkan bahwa seluruh jenis base oil terpengaruh oleh penambahan minyak nabati hasil sintesa. Penurunan dengan tingkat yang beragam terjadi seiring dengan penambahan konsentrasi minyak nabati. Pada konsentrasi minyak nabati sebesar 15% penurunan terjadi bahkan mencapai angka asam total sebesar 0,0229 pada campuran menggunakan base oil sintetik. Bila dibandingkan dengan angka asam total minyak nabati sebelum pencampuran sebesar 0,2129 maka angka asam total minyak nabati juga mengalami penurunan dengan pencampuran. Penurunan nilai angka asam total menunjukkan peningkatan kualitas base oil dalam stabilitas terhadap oksidasi. Hasil pengujian titik tuang (Gambar 6) menunjukkan bahwa base oil sintetik adalah jenis base oil yang paling terpengaruh oleh penambahan minyak nabati hasil sintesis. Penurunan terjadi seiring dengan peambahan konsentrasi minyak nabati. Pada konsentrasi minyak nabati sebesar 15% titik tuang
Gambar 3 Interaksi Minyak Nabati dengan Base Oil Mineral
Gambar 4 Grafik hasil uji Indeks Viskositas, campuran minyak nabati dengan Base Oil MIneral
Gambar 5 Grafik hasil uji TAN, Campuran Minyak Nabati dan Base Oil Mineral
bahkan mencapai -20,5 o C atau mengalami penurunan sebesar 7oC bila dibandingkan dengan titik tuang bae oil sintetik. Penurunan nilai titik tuang ini menunjukkan peningkatan kualitas base oil mempertahankan keteraliran pada temperatur 303
KOMPATIBILITAS CAMPURAN MINYAK LUMAS RONA MALAM KARINA & CATUR YULIANI R.
rendah. Dengan demikian, maka batasan kompatibilitas ketiga, yaitu kedua komponen mampu saling memperbaiki sifat, dapat terpenuhi dalam penelitian ini apabila dilihat dari karakteristik titik tuangnya. Hasil pengujian flash point (Gambar 7) menunjukkan bahwa ketiga base oil tidak menunjukkan penurunan nilai titik nyala yang drastis, sehingga campuran ketiganya masih memenuhi syarat bila digunakan sebagai minyak lumas kendaraan bermotor. Secara keseluruhan, hasil uji karakteristik fisika/ kimia menunjukkan adanya pengaruh dari minyak nabati hasil sintesis (minyak nabati hasil sintesis) terhadap sifat fisika kimia dari base oil meskipun secara visual terjadi pemisahan antara keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan yang terjadi tidak bersifat sempurna, oleh karena itu terdapat bagian dari minyak nabati hasil sintesis yang menolak base oil dan ada juga bagian yang berikatan atau berinteraksi dengan base oil. Secara umum pencampuran minyak lumas nabati hasil sintesis dengan minyak mineral, bisa memperbaiki karakteristik fisika/kimia minyak mineral terutama dengan kenaikan nilai viskositas indeks serta penurunan nilai angka asam total dan nilai titik tuang minyak mineral. C.
Analisis semi-unjuk kerja kompatibilitas campuran minyak nabati dan minyak mineral
Analisis semi-unjuk kerja ini dilakukan dengan uji stabilitas oksidasi dan uji fourball. Pengujian stabilitas oksidasi dilakukan dengan membandingkan karakteristik fisika/kimia campuran, yaitu viskositas pada suhu 400C dan TAN, sebelum dan sesudah dilakukan uji stabilitas oksidasi. Sesuai dengan metode JIS 2514, hal ini dilakukan untuk mengetahui persen perubahan ketahanan oksidasi dari minyak nabati. Jika rasio viskositas kedua hasil tidak berbeda lebih 14% dari rata-rata, maka hasil tersebut dapat dikatakan tidak berbeda. Pada pengujian kestabilan oksidasi didapatkan nilai viskositas minyak nabati tanpa penambahan minyak mineral pada suhu 40oC sebesar 63,01 cSt. Gambar 8 menunjukkan bahwa campuran minyak nabati dan mineral mengalami penurunan nilai viskositas setelah penambahan minyak nabati sebesar 8% yang mengakibatkan rasio viskositas menjadi lebih 304
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 299 - 306
Gambar 6 Grafik Hasil Uji Titik Nyala, Campuran Minyak Nabati dengan Base Oil Mineral
Gambar 7 Grafik Hasil Uji Titik Tuang, Campuran Minyak Nabati dengan Base Oil Mineral
Gambar 8 Grafik Viskositas pada 40oC Setelah Uji Stabilitas Oksidasi
dari 14%. Hal ini menujukkan adanya perubahan sifat kestabilan terhadap oksidasi dari minyak mineral yang dipengaruhi oleh minyak nabati sehingga penambahan minyak nabati lebih dari 8% dapat
KOMPATIBILITAS CAMPURAN MINYAK LUMAS RONA MALAM KARINA & CATUR YULIANI R.
dikatakan dapat mempengaruhi kestabilan oksidasi yang dimiliki oleh ketiga jenis base oil mineral. Nilai angka asam total minyak nabati tanpa penambahan minyak mineral adalah sebesar 1,1721 mg KOH/ g. Nilai ini kemudian mempengaruhi peningkatan nilai angka asam total dari ketiga jenis base oil, bahkan dengan penambahan terkecil sebesar 4%. Penambahan konsentrasi selanjutnya tidak banyak berpengaruh terhadap nilai TAN hasil uji oksidasi, terutama pada jenis base oil sintetik. Peningkatan nilai TAN hasil oksidasi ketiga jenis base oil masih dalam batasan normal hingga konsentrasi minyak nabati sebesar 8%. Hal ini berdasarkan pada Tabel 2. Dengan demikian penambahan minyak nabati kurang dari 8% dalam campuran tidak mengurangi kestabilan oksidasi yang dimiliki oleh base oil mineral. Bahkan pada base oil sintetik penambahan minyak nabati hingga 15% masih belum mempengaruhi tingkat kestabilan oksidasinya. Pengujian four-ball wear dimaksudkan untuk melihat pengaruh minyak nabati dalam mencegah keausan. Kemampuan minyak nabati untuk mencegah keausan terutama dipengaruhi oleh bayaknya gugus polar di dalamnya yang mampu berikatan dengan logam untuk mencegah keausan. Pengaruh penambahan minyak nabati dalam mencegah keausan terlihat dari penurunan nilai scar diameter campuran dibandingkan dengan minyak mineral tanpa campuran minyak nabati. Hal ini dapat terlihat dengan penurunan scar diameter dalam uji four-ball wear seperti ditunjukkan dalam Gambar 10. Penurunan terbesar dialami campuran pada penambahan minyak nabati sebesar 4%.
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 299 - 306
Gambar 9 Grafik Angka Asam Total setelah uji stabilitas oksidasi
Gambar 10 Grafik minyak nabati dan minyak lumas dasar campuran pada uji four ball
Tabel 2 Batasan kenaikan Total Acid Number (TAN) dalam metode JIS 2514
Kenaikan TAN (mg KOH / g)
Batasan (mg KOH / g)
IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa : 1. Percampuran minyak nabati dalam minyak mineral belum sempurna, karena adanya perbedaan sifat kepolaran. 2. Terjadi peningkatan nilai karakteristik fisika kimia yaitu total acid number (TAN) dan indeks viskositas sedangkan nilai flash point dan pour point hanya mengalami peningkatan yang sangat kecil. 3. Pada pengujian kestabilan oksidasi, nilai viskositas dan nilai TAN tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh minyak nabati dalam menghambat oksidasi. Minyak nabati juga mampu memperbaiki sifat ketahanan
Lebih dari 0.05 - 1.0
0.3
Lebih dari 1.0 - 5.0
1
Lebih dari 5.0 - 20
4
terhadap keausan yang dimiliki oleh minyak mineral. 4. Minyak nabati hasil sintesis mempunyai potensi untuk digunakan dalam campuran dengn minyak mineral namun belum layak karena masih belum dapat tercampur dengan sempurna, untuk menghasilkan kompatibilitas yang sempurna perlu ditambahkan aditif emusifier sehingga layak digunakan sebagai minyak lumas kendaraan bermotor.
305
KOMPATIBILITAS CAMPURAN MINYAK LUMAS RONA MALAM KARINA & CATUR YULIANI R.
UCAPAN TERIMA KASIH Sejak penelusuran pustaka, pengumpulan data hingga penyusunan karya tulis ini, penulis telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat kami sebutkan satu-persatu. KEPUSTAKAAN 1. Caines, A.J. Robert Haycock, 1996, Automotive Lubricants Reference Book, SAE Inc., USA, 1996, 706pp. 2. Wartawan, A.L., 1998, Pelumas Otomotif dan Industri, Balai Pustaka Jakarta.
306
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 299 - 306
3. Stefanescue, Ioan I., Camelia Calomir, George Chirita, On The Future of Vegetable Lubricants Used for Industrial Trybosystem, University of Galati, Romania, 2002. 4. US Departement of Energy. 1993. Doe Fundamental Handbook of Chemistry; Departement of Energy, USA. 5. Bird, Tony. 1993. Kimi Fisik Untuk Universitas. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 6. Bireshaw, Girma. 2009. Surfactants in Lubrication : Lubricant additives : chemistry and applications, CRC Press. USA
PROGRAM NASIONAL BIOFUEL AZIZ MASYKUR LUBAD DAN PARAMITA WIDIASTUTI
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 307 - 318
Program Nasional Biofuel dan Realitasnya di Indonesia Oleh: Aziz Masykur Lubad1) dan Paramita Widiastuti1) Peneliti Pertama1) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230, Indonesia Tromol Pos : 6022/KBYB-Jakarta 12120, Telepon : 62-21-7394422, Faksimile : 62-21-7246150
[email protected],
[email protected] Teregistrasi I Tanggal 26 Juli 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal .15 Desember 2010 Disetujui terbit tanggal: 31 Desember 2010
SARI Hingga saat ini, Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar berbasis fosil sebagai sumber energi. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sisa cadangan minyak mentah Indonesia hanya sekitar 9 miliar barrel. Jika dengan laju produksi ratarata 500 juta barrel per tahun dan tidak ditemukan sumber minyak baru, cadangan tersebut akan habis dalam waktu 18 tahun. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dan memenuhi persyaratan lingkungan global, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengembangan bahan bakar alternatif ramah lingkungan yaitu biofuel atau bahan bakar nabati (BBN). Pemilihan BBN sebagai bahan bakar alternatif berbasis pada ketersediaan bahan baku. Melalui Kebijakan Energi Nasional, komposisi BBN dalam Energy Mix Nasional ditargetkan mencapai 5% pada tahun 2025 sedangkan melalui Roadmap pengembangan BBN, komposisi BBN dan bahan bakar fosil ditargetkan mencapai 15 persen berbanding 85 persen antara tahun 2009-2010. Untuk mencapai target tersebut, kebutuhan nasional untuk BBN sedikitnya 18 miliar liter per tahun. Akan tetapi keterbatasan bahan baku menjadi kendala utama karena harus berbagi dengan berbagai industri lain. Kata Kunci: Energi, Bahan Bakar Nabati, Kebijakan, Roadmap, Kendala ABSTRACT Until today, Indonesia still highly depends on fossil fuel as energy source. Based on data from Energy and Mineral Resources Ministry, Indonesia remaining oil reserve is only 9 billion barrel. If new oil reserve is not discovered and the average production rate is 500 million barrel/year, then the remaining reserve will end in 18 years. Therefore, The government has produced a policy of environmental friendly alternative fuel development to reduce the dependency toward oil and fulfill requirement of global environment. The choice of biofuel as alternative fuel is based on raw material supply. Biofuel composition in National Energy Mix is targeted to reach 25% in year 2025 through Kebijakan Energi Nasional (KEN) or National Energy Policy. Whereas, biofuel composition is targeted 15% compared to fossil fuel target which is 85% between year 2009-2010, through Biofuel Development Roadmap. On the contrary, supply limitation become main obstacle because it has to share with other industries. Key words: Energy, Biofuel, Policy, Roadmap, Obstacle I. PENDAHULUAN Biofuel atau bahan bakar nabati (BBN) adalah bahan bakar yang dapat diperbaharui (renewable) yang dapat diproduksi dari berbagai jenis tumbuhan seperti singkong, tebu, minyak sawit, jarak pagar, dan
lain-lain. BBN dapat juga diproduksi dari produk samping agroindustri atau produk hasil proses ulang dari berbagai limbah seperti minyak goreng bekas, sampah kayu, limbah pertanian dan lain-lain. Gambar 1 memperlihatkan beberapa contoh jenis tanaman 307
PROGRAM NASIONAL BIOFUEL AZIZ MASYKUR LUBAD DAN PARAMITA WIDIASTUTI
yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi BBN jenis bioetanol dan biodiesel1). BBN merupakan produk bioenergi yang memiliki potensi pengembangan yang tinggi karena berbentuk cair sehingga memudahkan dalam penanganan dan pemanfaatannya. BBN tidak mengandung minyak bumi, tetapi dapat dicampur dengan berbagai jenis produk minyak bumi untuk menghasilkan campuran bahan bakar. BBN dapat digunakan pada berbagai jenis mesin tanpa melakukan perubahan besar. Kelebihan BBN selain dapat diperbaharui juga bersifat ramah lingkungan, dapat terurai, mampu mengeliminasi efek rumah kaca, dan kontinuitas bahan bakunya terjamin. Bioenergi dapat diperoleh dengan cara yang cukup sederhana yaitu melalui budidaya tanaman penghasil biofuel dan memelihara ternak. Di Indonesia terdapat lebih dari 50 jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk bahan baku BBN. Dari beberapa bahan baku tersebut, kelapa sawit memiliki potensi paling besar untuk pengembangan BBN karena selain jumlahnya yang melimpah, teknologi pengolahannya juga sudah mapan. Industri kelapa sawit Indonesia telah tumbuh secara signifikan dalam empat puluh tahun terakhir. Berdasarkan data tahun 2006, Indonesia telah menjadi negara penghasil CPO terbesar di dunia dengan total produksi sekitar 16 juta ton sedangkan Malaysia yang selama ini berada pada posisi pertama, berada pada posisi ke-2 dengan total produksi sebesar 15,8 juta ton. Hal ini berarti 4 tahun lebih cepat dari prediksi sebelumnya, di mana Indonesia diperkirakan baru akan menjadi produsen CPO terbesar di dunia pada tahun 2010. Bersama dengan Malaysia, Indonesia menguasai hampir 90% produksi minyak sawit dunia. Gambar 2 memperlihatkan produksi CPO dunia tahun 2006. Dengan mengacu pada data produksi dan ekspor CPO Indonesia dari tahun 1964 hingga tahun 2007 3), pertumbuhan produksi CPO Indonesia telah tumbuh secara eksponensial dan dapat dirumuskan sebagai:
Y 110e
( 0.1158 X )
Keterangan: Y = Jumlah produksi CPO dalam ribuan metrik ton X = Selang waktu sejak tahun 1964 dalam tahun Produksi CPO Indonesia pada tahun 2007 sekitar 17,5 juta ton dan meningkat menjadi 18 juta ton pada tahun 2008. Cerahnya prospek komoditas minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia
308
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 307 - 318
Gambar 1 Beberapa Contoh Jenis Tanaman untuk Memproduksi Biofuel
Gambar 2 Produksi Crude Palm Oil dunia tahun 20062)
telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Selain kelapa sawit, tanaman jarak pagar juga memiliki potensi cukup besar sebagai bahan baku BBN. Jarak merupakan tanaman serbaguna dan tahan terhadap kekeringan. Jarak pagar dapat tumbuh di segala jenis tanah dan dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi arid dan semiarid sehingga dapat bertahan dari kekeringan selama 3 tahun berturutturut dengan cara menggugurkan daunnya untuk mengurangi transpirasi. Hingga saat ini, peranan BBM dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional masih menempati angka di atas 50%. Berbagai upaya telah dan akan dilakukan oleh Pemerintah untuk mengurangi porsi BBM tersebut. Kebijakan Energi Nasional 2006 (KEN 2006) yang tercantum dalam Perpres no. 5 Tahun
PROGRAM NASIONAL BIOFUEL AZIZ MASYKUR LUBAD DAN PARAMITA WIDIASTUTI
2006 menyebutkan bahwa sasaran jangka panjang pengembangan energi terbarukan adalah target bauran dari energi hidro, panas bumi, surya, nabati dan energi baru lainnya pada tahun 2025 mencapai total lebih dari 17% dari keseluruhan energi yang dipergunakan sedangkan porsi BBM dalam bauran energi tersebut ditargetkan hanya 20% saja. Target bauran diperlihatkan oleh Gambar 3. Biodiesel memiliki sifat fisik yang mirip dengan solar, namun dengan beberapa kelebihan, yaitu berupa energi terbarukan dan ramah lingkungan. Hasil penelitian membuktikan, campuran biodiesel 30 % volum terhadap solar menghasilkan kinerja mesin yang tidak jauh berbeda dengan pemakaian 100% solar dan pada komposisi ini tidak memerlukan modifikasi apapun pada mesin kendaraan. Biodiesel bisa digunakan dengan mudah karena dapat bercampur dengan segala komposisi dengan minyak solar, sehingga dapat diaplikasikan langsung untuk mesinmesin diesel yang ada hampir tanpa modifikasi. Biodiesel dapat terdegradasi dengan mudah (biodegradable), 10 kali tidak beracun dibanding minyak solar biasa, memiliki angka setana yang lebih baik dari minyak solar biasa, asap buangan biodiesel tidak hitam, tidak mengandung sulfur serta senyawa aromatik sehingga emisi pembakaran yang dihasilkan ramah lingkungan. Kelebihan lainnya tidak menambah akumulasi gas karbondioksida di atmosfer sehingga lebih jauh lagi mengurangi efek pemanasan global atau banyak disebut dengan zero CO2 emission. Biodiesel merupakan hasil pendayagunaan kekayaan sumber daya non-fosil, subtitusi (1-3%) biodiesel dalam solar akan menghemat devisa yang cukup berarti. Biodiesel merupakan bahan bakar terbarukan berbelerang rendah yang sangat berpotensi menjadi komponen pencampur pendongkrak kualitas dan kuantitas minyak solar.
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 307 - 318
campuran dengan bahan bakar diesel yang berasal dari minyak bumi. Biodiesel dapat bercampur dengan solar dan berdaya lumas lebih baik. Selain itu, biodiesel juga mempunyai kadar belerang hampir nihil. Jenis biodisel ditentukan oleh kandungan biodiesel dalam bahan bakar tersebut. Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikasi dimana gliserin dipisahkan dari minyak nabati. Proses transesterifikasi merupakan suatu proses kimiawi dari trigliserida pada minyak nabati dengan alkohol dengan menggunakan katalis untuk menghasilkan metil esters (biodiesel) dan gliserin. Bahan baku utama untuk pembuatan biodiesel dapat berupa antara lain minyak nabati, lemak hewani, lemak bekas / lemak daur ulang. Secara umum, proses dasar pembuatan biodiesel diperlihatkan dalam Gambar 4. Proses transesterifikasi yang umum untuk membuat biodiesel dari minyak nabati (biolipid) ada tiga macam yaitu :
Gambar 3 Target Bauran Energi Nasional Tahun 2025
II. TEKNOLOGI PROSES PEMBUATAN BAHAN BAKAR NABATI Jenis bahan bakar nabati yang sedang dikembangkan di Indonesia saat ini adalah biodiesel dan bioetanol. A. Biodiesel Biodiesel adalah bahan bakar motor diesel yang berupa ester alkil/alkil asam-asam lemak (biasanya ester metil) yang dibuat dari minyak nabati melalui proses transesterifikasi atau esterifikasi. Biodiesel dapat di produksi dari 100% biodiesel (B100) atau
Gambar 4 Proses dasar pembuatan biodiesel 4)
309
PROGRAM NASIONAL BIOFUEL
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AZIZ MASYKUR LUBAD DAN PARAMITA WIDIASTUTI
-
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 307 - 318
Transesterifikasi dengan katalis basa Transesterifikasi dengan katalis asam langsung Konversi minyak/lemak nabati menjadi asam lemak dilanjutkan menjadi biodiesel Teknologi proses biodiesel yang umum digunakan pada skala komersial yaitu transesterifikasi antara minyak nabati dan metanol menggunakan katalis basa NaOH atau KOH karena lebih ekonomis dan hanya memerlukan suhu dan tekanan rendah. Hasil konversi yang bisa dicapai dari proses ini adalah bisa mencapai 98%. Proses ini merupakan metode yang cukup krusial untuk memproduksi biodiesel dari minyak/ lemak nabati. Biodiesel sebagai bahan bakar motor diesel dapat digunakan dalam keadaan murni atau dicampur dengan minyak diesel dengan perbandingan tertentu. Spesifikasi biodiesel yang dihasilkan tergantung pada minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku dan kondisi operasi pabrik serta modifikasi dari peralatan yang digunakan. Sebagai substitusi dari bahan bakar minyak bumi, biodiesel memiliki beberapa keunggulan, terutama angka setana (Cetane Number) yang lebih tinggi, tingkat emisinya lebih rendah, titik nyala (Flash Point)-nya tinggi serta kemampuan pelumasannya sangat baik.
Biodiesel merupakan bahan bakar yang berwarna kekuningan yang viskositasnya tidak jauh berbeda dari minyak solar, oleh karena itu campuran bio-diesel dengan minyak solar dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar kendaraan berbahan bakar minyak solar tanpa merusak atau memodifikasi mesin. Selain itu tenaga dan unjuk kerja mesin diesel dengan bahan bakar minyak solar juga tidak berubah. Meskipun demikian spesifikasi bio-diesel yang akan dicampur atau dimanfaatkan harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, karena standar tersebut dapat memastikan bahwa bio-diesel yang dihasilkan dari reaksi pemrosesan bahan baku minyak nabati sempurna, artinya bebas gliserol, katalis, alkohol dan asam lemak bebas. Standar internasional untuk biodiesel adalah ISO 14214, ASTM D 6751, dan DIN (standar biodiesel yang digunakan di Jerman), dan saat ini di Indonesia telah disusun standar bio-diesel Spesifikasi Bio-diesel sesuai standar RSNI EB 020551 ditunjukkan pada Tabel 1. Pencampuran biodiesel dengan minyak solar biasanya diberikan system penamaan tersendiri, seperti B2, B3 atau B5 yang berarti campuran biodiesel dan minyak solar yang masing-masing mengandung 2%, 3%, dan 5% biodiesel. Sedangkan
Tabel 1 Spesifikasi Bio-diesel sesuai Standar Indonesia RSNI EB 020551145)
Properti Densitas (400C) 0
Viskositas kinematik (40 C) Cetane Number
Batas Maksimum/Minimum
kg/m3
850 - 890
ASTM D 1298
ISO 3675
2,3 - 6,0
ASTM D 445
ISO 3104
2
mm /s (cSt)
Metode
Metode Alternatif
51 min
ASTM D 613
ISO 5165
100 min
ASTM D 93
ISO 2710
18 maks
ASTM D 2500
No. 3 maks
ASTM D 130
ISO 2160
- Pada sampel original
0,05 maks
ASTM D 4530
ISO 10370
- Pada residu distilasi 10%
0,3 maks
Flash Point
0
C
Cloud Point
0
C
Copper Strip Corrosion Residu Karbon
Air dan Sedimen 90% distillation temperature Sulfated ash Sulfur Phosporous Acid value
310
Satuan
0
(3hr, 50 C)
-
%-b
% vol 0
0,05 maks
ASTM D 2709
-
C
360 maks
ASTM D 1160
-
%w
0,02 maks
ASTM D 874
ISO 3987
ppm-w (mg/kg)
100 maks
ASTM D 5453
prEN ISO 20884
ppm-w
10 maks
AOCS Ca 12-55
FBI-A05-03
mgKOH/grm
0,8 maks
AOCS Cd 3-63
FBI-A01-03
Free glycerol
%w
0,02 maks
AOCS Ca 14-56
FBI-A02-03
Total glycerol
%w
0,24 maks
AOCS Ca 14-56
FBI-A02-03
PROGRAM NASIONAL BIOFUEL AZIZ MASYKUR LUBAD DAN PARAMITA WIDIASTUTI
B20 atau B100 merupakan campuran bio-diesel dan minyak solar yang masing-masing mengandung 20% dan 100% biodiesel. Pada umumnya konsentrasi tertinggi yang sudah dioperasikan secara komersial adalah B20. walaupun biodiesel dapat dicampur dengan minyak solar pada berbagai konsentrasi tanpa merusak atau memodifikasi mesin, tetapi memerlukan penggantian paking karet pada beberapa peralatan karena spesifikasinya disesuaikan untuk bahan bakar minyak (BBM). Beberapa karakteristik dari biodiesel (B100) adalah sebagai berikut. - Kandungan sulfur kurang dari 15 ppm - Bebas aromatik - Angka cetane yang tinggi (lebih dari 50) - Lubrikasi yang tinggi (lebih dari 6000 gram BOCLE) - Bisa terdegradasi secara alami - Tidak bersifat karsinogen - Titik nyala yang tinggi (lebih dari 127 oC) - Nilai kalor 8% lebih rendah dari solar. - Pelarut yang baik (melarutkan sedimen) - Berpengaruh pada selang dan gasket karet mobil yang dibuat sebelum tahun 1993. - Diperlukan pemanasan pada tangki penyimpanan bio-diesel pada musim dingin. Biodiesel yang memenuhi standar akan bersifat sangat tidak beracun dengan tingkat toksisitas (LD50) lebih kecil dari 50 ml/kg. Jika diartikan secara lebih sederhana, biodiesel sepuluh kali lebih tidak berbahaya dibanding dengan garam meja. Dari segi lingkungan pemakaian biodiesel mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan pemakaian minyak solar, yaitu: - Pengurangan emisi CO sebesar 50%, emisi CO2 sebesar 78,45%; - Biodiesel mengandung lebih sedikit hidrokarbon aromatik: pengurangan benzofluorantena 56%, benzopirena 71%; - Tidak menghasilkan emisi sulfur (SO2); - Pengurangan emisi partikulat sebesar 65%; - Pengapian yang lebih sempurna karena angka setana yang tinggi. - Menghasilkan emisi NOx lebih kecil dibanding dengan penggunaan minyak diesel biasa disebabkan angka setana yang tinggi.
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 307 - 318
B. Bioetanol Bioetanol adalah jenis BBN yang mengandung etanol dalam tingkatan tertentu dan dapat dicampur dengan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Bahan baku untuk produksi bioetanol dapat berupa: - Bahan berpati (starch based) : ubi kayu, ubi jalar, jagung, biji sorgum, sagu, ubi jalar, ganyong, garut, umbi dahlia dan lain-lain. - Bahan bergula (sugar based) : nira & tetes tebu, nira nipah, nira sorgum manis, nira siwalan, nira aren. - Bahan berserat (cellulose based) : kayu, jerami, sekam padi, tandan kosong sawit, bagas, dan lainlain. Proses pembuatan bioetanol dari bahan baku berpati seperti ubi kayu, jagung, dan sebagainya terbagi dalam beberapa tahap, yaitu; - Proses Hidrolisis : proses konversi pati menjadi glukosa - Proses Fermentasi : proses konversi glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2 - Proses Distilasi : proses pemurnian etanol hasil fermentasi menjadi etanol dengan kadar 95 -96 % - Proses Dehidrasi : proses penghilangan air dari 96 % menjadi 99,5 %. Spesifikasi bioetanol ditetapkan oleh pemerintah melalui SNI DT 27-000102006. Dalam standar tersebut, spesifikasi bioetanol ditentukan oleh beberapa parameter antara lain density, liquidation point, carbon residue, kandungan air dan lain-lain. III. GAMBARAN UMUM PENGEMBANGAN BAHAN BAKAR NABATI NASIONAL Sebagai bangsa yang besar dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta jiwa, Indonesia menghadapi masalah energi yang cukup mendasar. Sumber energi yang tidak terbarukan (non-renewable) tingkat ketersediaannya semakin berkurang sedangkan hingga saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar berbasis fosil sebagai sumber energi. Ketergantungan ini memiliki dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan beban subsidi pemerintah yang dianggarkan untuk BBM meningkat sehingga
311
PROGRAM NASIONAL BIOFUEL
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AZIZ MASYKUR LUBAD DAN PARAMITA WIDIASTUTI
ketergantungan terhadap BBM secara bertahap harus dikurangi. Dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap BBM dan memenuhi persyaratan lingkungan global, pengembangan BBN merupakan pilihan yang strategis. Beberapa hal yang melatarbelakangi pengembangan BBN di Indonesia antara lain adalah 1) : - BBN adalah energi terbarukan. - BBN adalah komponen bauran energi sekaligus mencegah perubahan iklim global. - Pengembangan BBN memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan energi lain. - Indonesia memiliki tingkat biodiversitas yang tinggi dan lahan yang cukup - Teknologi pengembangan BBN generasi satu telah dikuasai oleh SDM lokal Potensi pengembangan BBN terutama biodiesel di Indonesia cukup besar, mengingat saat ini penggunaan minyak solar untuk transportasi mencapai sekitar 40% dari penggunaan BBM untuk transportasi. Selian itu, bahan bakunya cukup melimpah dan teknologi pembuatannya juga sudah mapan. A. Program Pengembangan Bahan Bakar Nabati Nasional Pemerintah memberikan subsidi bagi biodiesel, bio-premium, dan bio-pertamax dengan level yang sama dengan bahan bakar fosil dan membuat suatu kebijakan insentif untuk menarik investasi. Sampai saat ini, regulasi yang sudah disediakan oleh pemerintah untuk industri BBN adalah sebagai berikut: - Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijaksanaan Energi Nasional - Instruksi Presiden No. 1/2006 tentang Pengadaaan dan Penggunaan Biofuel sebagai Energi Alternatif - Dektrit Presiden No. 10/2006 tentang Pembentukan team nasional untuk Pengembangan Biofuel - Peraturan Menteri ESDM No. 051 Tahun 2006. Tentang Persyaratan dan Pedoman Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain - Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu.
312
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 307 - 318
-
Peraturan Menteri Keuangan. Nomor 117 / Pmk 06 / 2006. Tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati Dan. Revitalisasi Perkebunan. - SNI No. 04 - 7182 - 2006 untuk Biofuel - No. DT27 - 0001 - 2006 untuk Bioetanol - Keputusan Direktur Jenderal Minyak Dan Gas Bumi Nomor 13483 K/24/DJM/2006 Tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Lain yang Dipasarkan di Dalam Negeri Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional menyebutkan pengembangan biodiesel sebagai energi terbarukan akan dilaksakan selama 25 tahun, dimulai dengan persiapan pada tahun 2004 dan eksekusi sejak tahun 2005. Periode 25 tahun tersebut dibagi dalam tiga fase pengembangan biodiesel: - Fase pertama (2005-2010), pemanfaatan biodiesel minimum sebesar 2% atau sama dengan 720.000 kiloliter untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak nasional dengan produkproduk yang berasal dari minyak castor dan kelapa sawit. - Fase kedua (2011-2015), merupakan kelanjutan dari fase pertama akan tetapi telah digunakan tumbuhan lain sebagai bahan mentah. Pabrik-pabrik yang dibangun mulai berskala komersial dengan kapasitas sebesar 30.000100.000 ton per tahun. Produksi tersebut mampu memenuhi 3% dari konsumsi diesel atau ekivalen dengan 1,5 juta kiloliter. - Fase ketiga (2016-2025), teknologi yang ada diharapkan telah mencapai level high performance di mana produk yang dihasilkan memiliki angka setana yang tinggi dan casting point yang rendah. Hasil yang dicapai diharapkan dapat memenuhi 5% dari konsumsi nasional atau ekuivalen dengan 4,7 juta kiloliter. Selain itu juga terdapat Inpres Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain. Halhal ini menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam penyediaan dan pengembangan bahan bakar nabati. Selanjutnya dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 2006, tentang Percepatan Penyediaan dan Pemanfaatan BBN. Inpres ini
PROGRAM NASIONAL BIOFUEL AZIZ MASYKUR LUBAD DAN PARAMITA WIDIASTUTI
ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 10 tahun 2006, di mana salah satu tugasnya adalah menyusun Blue Print dan Road Map Pengembangan BBN. Blue Print dan Road Map disusun untuk dijadikan acuan bagi pemangku kepentingan (stakeholders) dalam rangka mewujudkan tujuan pengembangan BBN yaitu dalam jangka pendek untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran, serta dalam jangka panjang penyediaan dan pemanfaatan BBN dalam program Energy Mix Nasional. Produk BBN yang akan dikembangkan di dalam negeri adalah biodiesel, bioetanol, dan Pure Plant Oil (PPO). Berbeda dari biodiesel, PPO diproduksi dari minyak jarak pagar yang dimurnikan tanpa melalui proses esterifikasi sehingga biaya produksinya relatif lebih murah. Secara garis besar, alur kebijakan pengembangan bahan bakar nabati ditunjukkan dalam Gambar 5. Khusus untuk bioetanol, Indonesia telah mengeluarkan regulasi tata-niaga produksi dan pemanfaatan bioetanol melalui Keputusan Menteri Nomor 32 tertanggal 26 September tahun 2008 yang memungkinkan dunia usaha mengembangkan produksi bioetanol untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Di samping itu, Kementerian ESDM dan TIMNAS BIOETANOL terus menggalakkan inovasi pengembangan produksi bioetanol di Indonesia. B . Realisasi Pengembangan Bahan Bakar Nabati Nasional Industri BBN di Indonesia baru memasuki tahap awal perkembangan di mana penyiapan sumber energi terbarukan telah dilakukan pada beberapa tahun terakhir ini. 1. Industri Bioetanol Sampai dengan Juni 2008 di Indonesia terdapat 16 industri bioetanol dengan total kapasitas terpasang sekitar 192.349 kL/tahun yang statusnya terbagi menjadi tiga yaitu skala besar/komersial, skala kecil dan menengah, serta proyek penelitian. Hingga tahun 2010 ke depan, pengembangan industri bioetanol diarahkan pada skala komersial dan diproyeksikan mencapai kapasitas produksi 4.000.000 kL/tahun Gambar 6 dan Gambar 7 masing-masing memperlihatkan kapasitas terpasang bioetanol hingga Juni 2008 dan kapasitas proyeksi pada tahun 2010 1).
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 307 - 318
Gambar 5 Alur kebijakan pengembangan bahan bakar nabati1)
2. Industri Biodiesel Sampai dengan Juni 2008 di Indonesia terdapat 11 industri biodiesel dengan bahan baku seluruhnya dari CPO. Total kapasitas terpasang dari keseluruhan industri biodiesel tersebut adalah 2.029.110 kL/tahun. Hingga tahun 2010 kedepan, pengembangan industri bioetanol diproyeksikan mencapai kapasitas produksi 5.000.000 kL/tahun. Gambar 8 dan Gambar 9 masingmasing memperlihatkan kapasitas terpasang bioetanol hingga Juni 2008 dan kapasitas proyeksi pada tahun 2010 1). Selain pengolahan CPO untuk biodiesel, pengolahan jarak pagar untuk PPO/biodiesel skala kecil telah dilakukan. Gambar 10 memperlihatkan status pengolahan jarak pagar untuk PPO/biodiesel skala kecil hingga Juni 2008 1). 3. SPBU Biofuel Hingga Juni 2008, Pertamina telah mengoperasikan 279 SPBU Biofuel di Pulau Jawa dan Bali antara lain di Jakarta (202 SPBU), Malang (4 SPBU), Surabaya (26 SPBU), dan Bali (25 SPBU). Gambar 11 memperlihatkan sebaran SPBU Biofuel di Indonesia 1). 4. Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Biofuel Hingga Juni 2008, pembangkit listrik berbahan bakar biofuel telah tersebar di seluruh pelosok tanah air dengan total kapasitas 96 MW seperti diperlihatkan dalam Gambar 12 1). Saat ini sedang dilakukan 313
PROGRAM NASIONAL BIOFUEL
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AZIZ MASYKUR LUBAD DAN PARAMITA WIDIASTUTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 307 - 318
Gambar 6 Kapasitas terpasang bioetanol, status Juni 2008
Gambar 7 Rencana pengembangan bioetanol hingga 2010
314
PROGRAM NASIONAL BIOFUEL
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AZIZ MASYKUR LUBAD DAN PARAMITA WIDIASTUTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 307 - 318
Gambar 8 Kapasitas terpasang biodiesel, status Juni 2008
Gambar 9 Rencana pengembangan biodiesel hingga 2010
315
PROGRAM NASIONAL BIOFUEL
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AZIZ MASYKUR LUBAD DAN PARAMITA WIDIASTUTI
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 307 - 318
Gambar 10 Status pengolahan Jarak Pagar untuk PPO / Biodiesel skala kecil hingga Juni 2008
Gambar 11 Sebaran SPBU Biofuel milik Pertamina
316
PROGRAM NASIONAL BIOFUEL
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS
AZIZ MASYKUR LUBAD DAN PARAMITA WIDIASTUTI
penjajakan untuk pemanfaatan BBN lebih banyak oleh PLN dengan memperhitungkan nilai kalor dan ketersediaan suplai BBN. C. Kendala-Kendala Pengembangan Bahan Bakar Nabati Nasional Beberapa kendala dalam pengembangan BBN adalah kekhawatiran adanya kompetisi dengan penyediaan bahan pangan, struktur biaya produksi yang tergantung dengan skala produksi, struktur pasar yang belum terkonsolidasi, keterbatasan dalam infrastruktur baik untuk mengolah, maupun untuk mendistribusikan dan mengangkut BBN, keterbatasan cara bercocok tanam, ketersediaan air, benih dan pupuk, konservasi biodiversitas serta masih terbatasnya jejaring dalam logistik dan distribusi 6). Etanol untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar masih menjadi kendala utama. Etanol yang tersedia menjadi rebutan dengan industri lain. Etanol di Indonesia masih digunakan untuk industri alkohol atau industri lain seperti rokok dan plastik. Disisi lain, kapasitas produksi tertinggi bioetanol yang diizinkan pemerintah tidak mencukupi untuk memenuhi pasokan kebutuhan nasional dan mengurangi peluang
VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 307 - 318
pencapaian laba maksimum. Demikian pula dengan bahan baku BBN lain yaitu CPO, produksinya hingga saat ini masih lebih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku minyak goreng di dalam negeri, dibanding untuk pembuatan biodisel. Jarak pagar (Jatropha) salah satu bahan baku biodisel yang saat ini digalakkan pemerintah untuk dikembangkan secara besar-besaran bagi pemenuhan kebutuhan bahan baku biodiesel, juga masih terkendala dengan ketersediaan bibit dan keterbatasan lahan penanaman. Pengembangan dalam skala kecil di masyarakat secara ekonomis belum menunjukkan tingkat keuntungan yang signifikan jika dibandingkan dengan kegiatan agrobisnis umumnya seperti sayuran dan buah-buahan. Sehingga berpengaruh terhadap animo masyarakat dalam mengembangkan penanaman jarak pagar. Selain itu salah satu kendala pengembangan biofuel di Indonesia adalah persoalan harganya yang masih terlalu tinggi dibandingkan harga bahan bakar fosil. Padahal, pada awalnya pemanfaatan biofuel tersebut diharapkan bisa menjadi sumber energi alternatif yang murah dan ramah lingkungan untuk menggantikan keberadaan bahan bakar fosil yang
Gambar 12 Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Biofuel
317
PROGRAM NASIONAL BIOFUEL AZIZ MASYKUR LUBAD DAN PARAMITA WIDIASTUTI
harganya semakin lama semakin melonjak. Harga jual biofuel yang mahal itu juga berpengaruh pada tingkat konsumsi di dalam negeri. Sementara untuk masuk ke pasar ekspor, produk biofuel terganjal tingginya biaya masuk impor yang ditetapkan sejumlah negara tujuan yang besarnya mencapai 30 persen. IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. BBN adalah sumber energi terbarukan yang memiliki potensi pengembangan cukup besar di Indonesia karena: - Pengembangan BBN memerlukan tenaga kerja lebih banyak dibandingkan energi lain. - Indonesia memiliki tingkat biodiversitas yang tinggi dan lahan yang cukup - Teknologi pengembangan bioenergi generasi satu telah dikuasai oleh SDM lokal 2. Masih terdapat beberapa kendala pengembangan BBN di Indonesia antara lain yaitu: - Adanya kekhawatiran adanya kompetisi dengan penyediaan bahan pangan - Struktur biaya produksi yang tergantung dengan skala produksi, struktur pasar yang belum terkonsolidasi - Keterbatasan dalam infrastruktur baik untuk mengolah, maupun untuk mendistribusikan dan mengangkut BBN - Keterbatasan cara bercocok tanam, ketersediaan air, benih dan pupuk, konservasi biodiversitas serta masih terbatasnya jejaring dalam logistik dan distribusi. V. SARAN Perlu segera dilakukan kebijakan dan instrumen yang lebih luas untuk mendorong pengembangan industri BBN di Indonesia terutama terkait masih disubsidinya bahan bakar minyak untuk transportasi.
318
LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS VOL. 44. NO. 3, DESEMBER 2010: 307 - 318
KEPUSTAKAAN 1. Dr.-Ing. Evita H. Legowo, Kebijakan Dan Program Pengembangan Bahan Bakar Nabati, Workshop Sosialisasi Pengembangan Bahan Bakar Nabati, Jakarta, 21 Juli 2008. 2. h t t p : / / w w w . s k y s c r a p e r c i t y . c o m / showthread.php?t=540748&page=19 3. http://strategika.wordpress.com/2008/12/05/ pertumbuhan-sawit-indonesia/ 4. Rahayu Martini, Teknologi Proses Produksi Biodiesel, 5. M. Sidik Boedoyo, Teknologi Proses Pencampuran Biodiesel Dan Minyak Solar Di Indonesia. 6. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/index.php? option=com_content&task=view&id=484&Itemid=154 7. Biofuel Development In Indonesia, APEC 5th Biofuel Task Force Meeting Denver, Colorado, 7th-9th October 2008 8. Priyanto Unggul, The Policy Of Biofuel In Indonesia, Director of Energy Resources Development Technology of BPPT Republic of Indonesia, Mei 2009. 9. Prakoso Tirto dkk., Pengembangan Biodiesel dan Teknologi Produksinya, Institut Teknologi Bandung, Desember 2004. 10. Sulistyowati, Bioenergy:Opportunity, challenge, and way forward in Indonesia, State Ministry of Environment Republic of Indonesia. 11. Wahono Sumaryono & Agus Eko Tjahjono, Teknologi Produksi Bioetanol Dari Aneka Bahan Baku, Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi, 2008. 12. http://www.biofuels.apec.org/ 13. http://www.biofuelindonesia.com/ 14. http://bahasa.biodieselindonesia.com/indexx.php
INDEKS SUBYEK A
K
Acoustic S-wave splitting 259, 260
Kebijakan 315, 320, 326 Kendala 315, 324, 326
B
Kinerja produksi 215
Bahan bakar nabati 315, 317, 320, 321, 324, 326
Kandungan PAH 279, 290
Biofuel 315, 320, 321, 325, 326
Kontaminasi 291, 292, 293, 295, 296
Kinerja 279, 280, 282, 290 Kebersihan 291, 292, 293, 294, 295, 296
C Coal bed methane 259, 260, 268
L
Cleanliness 291
Laboratory test 259
D
M
Double-porosity 247
Mesin diesel 279, 280, 281, 282
Distribusi rekahan 248 Diesel fuel 279, 290
O Obstacle 315
E
Orientasi 259, 260, 262, 264, 266, 267
Energi 315, 316, 319, 320, 325, 326
Orientation 259, 268
Energy 315, 321, 326 P F
Policy 315, 326
Face cleats 259, 267
Pemecahan gelombang-S akustik 259, 260, 267
Fertilizer plant 297
Potensi produksi 215, 216, 224, 227
Finite difference 269
Proyeksi produksi 215, 222, 225 PAH content 279
G
Performance 279
Geostatistik 247, 248, 250, 254
Pelumas 291, 292, 294, 295, 296
Geostastic 247
Partikel 291, 292, 293, 294, 295, 296
Gas percolation 269, 278
Pabrik pupuk 297, 299, 300, 302, 303, 305 Perkolasi gas 269, 270, 274, 277
J Jawa Tengah/Timur 215, 218, 219, 220, 224, 225, 227
R Reservoar rekah 247, 248, 255
Roadmap 315
Skala kecil 297, 299, 300, 303, 305, 306
Rekahan muka 259, 262, 263, 264, 266, 267
Small scale 297
Reservoir simulator 269
Solution gas drive 269, 278
S
T
Scale 228, 229, 230,231, 232, 233, 234, 236, 237, 238, 239, 242, 244, 245, 246
Tendensi 228, 229, 234, 235, 236, 239, 242, 244, 246
Scale inhibitor 228, 229, 234, 235, 236, 239, 242, 246
Tantangan & kendala 222 Tenaga dorong gas terlarut 270, 277
INDEK PENULIS
A Adiwar, “ Crude Oil Grading sebagai Second Reference dalam Penetapan Harga Minyak Bumi Indonesia”, 44 (1) : 63 - 69 Away, Yuflinawati, lihat, Adiwar, 44 (1) : 63 - 69 Agus W., Bambang, “Modifikasi Persamaan Proximate Log ‘Standard’ sebagai Hasil Studi Lapangan CBM Rambutan - Sumatra Selatan”, 44 (2) : 129 - 143 C Caryana, Yusep K., “Penggunaan Adsorben Penyimpanan Bahan Bakar Gas untuk Pengembangan Kota Gas di Indonesia, 44 (1) : 39 - 45 Caryana, Yusep K., “ Rancangan Teknis Modul-Modul Adsorben Penyimpanan Bahan Bakar Gas”, 44 (1) : 87 - 93 D Desrina, R., “Metode Kromatografi Gas untuk Fingerprinting Tumpahan Minyak Bumi di Perairan. Perlunya Korelasi Antar-Laboratorium”, 44 (2) : 117- 128 Dewayanti, Dwi Sartati, lihat, Setiaprihadi, Akhdan W., 44 (3) : 227 - 245 E Eni, Hestuti, “ Screening Test dan Karakterisasi Surfaktan yang Efektif untuk Injeksi Kimia”, 44 (2) : 108 - 116 F Fibria, Milda, “Analisa Kandungan Partikel Pengotor pada Minyak Lumas Kendaraan”, 44 (3) : 285 - 290 G Gunawan, Edi, “ Rancang Bangun Unit Pirolisis untuk Pembuatan Bio-Oil dari Minyak Jelantah Skala Laboratorium”, 44 (1) : 78 - 86 H Hotimah, Baity, lihat, Adiwar, 44 (1) : 63 - 69 Haans, Arie, “Pengembangan Simulasi Distribusi Rekahan pada Reservoar Rekah Alami Berdasarkan Data Produksi”, 44 (3) : 246 - 252 K Kussuryani, Yani, “ Teknologi Produksi Green Diesel untuk Pembuatan Bahan Bakar Minyak Alternatif”, 44 (1) : 32 - 38 Kurniawan, Muh., lihat, Adiwar, 44 (1) : 63 - 69 Kosasih, lihat, Agus W., Bambang, 44 (2) 129 - 143 Karina, Rona Malam, lihat, Fibria, Milda, 44 (3) : 285 - 290 Karina, Rona Malam, “Kompatibilitas Campuran Minyak Lumas Dasar Jenis Mineral dengan Minyak Nabati sebagai Minyak Lumas Dasar Pelumas Mesin Kendaraan Bermotor”, 44 (3) : 299 - 306 L Lubad, Aziz Masykur, lihat, Widiastuti, Paramitha, 44 (3) : 291 - 298 Lubad, Aziz Masykur, “Program Nasional Biofuel dan Realitasnya di Indonesia”, 44 (3) : 307 - 318
M Martono, Wage, lihat, Adiwar, 44 (1) : 63 - 69 P Pasarai, Usman, “ Pengembangan Simulator Reservoir untuk Evaluasi Perolehan Minyak dengan Teknologi EOR”, 44 (2) : 95 - 107 R Riyanto, Heru, lihat, Sunarjanto, Djoko, 44 (1) : 12 - 18 Risnawati, lihat, W.Y.P, Emanuella, 44 (2) : 171 - 184 S Sunarjanto, Djoko, “Teknologi 4 Dimensi (4D) untuk Optimalisasi Penataan Ruang Kegiatan Energi Sumber Daya Mineral, 44 (1) : 12 - 18 Siregar, Ali Rimbasa, lihat, Kussuryani, Yani, 44 (1) 32 - 38 Susantoro, Tri Muji, “ Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Perancanaan Jalur Pipa”, 44 (1) : 55 - 62 Suliantara, lihat, Susantoro, Tri Muji, 44 (1) : 55 - 62 Semar, Djainuddin, “ Efek Kandungan Aromatik dalam Minyak Solar terhadap Kinerjanya pada Mesin Diesel”, 44 (1) : 70 - 77 Syahrial, Ego, lihat, Eni, Hestuti, 44 (2) : 108 - 116 Sugihardjo, lihat, Eni, Hestuti, 44 (2) : 108 - 116 Sawitri, Ken, lihat, Agus W., Bambang, 44 (2) : 129 - 143 Syahrial, Ego, lihat, Widiyanto, Gathuk, 44 (2) : 144 - 153 Semar, Djainuddin, “Kajian Spesifikasi Minyak Solar Ramah Lingkungan”, 44 (2) : 154 - 170 Saroyo, Budi, “Pengembangan Formulasi Expanding Agent Material Semen Pengeboran dengan Memanfaatkan Dolomit Alami”, 44 (2) : 185 - 197 Soeyatmo, Isa, lihat, Saroyo, Budi, 44 (2) : 185 - 197 Supriyadi, lihat, Saroyo, Budi, 44 (2) : 185 - 197 Setiaprihadi, Akhdan W., “Studi Penyebab Scale di Lapangan-Lapangan Minyak Sumatra”, 44 (3) : 227 - 245 Supriyadi, lihat, Setiaprihadi, Akhdan W., 44 (3) : 227 - 245 Semar, Djainuddin, “Efek PAH dalam Minyak Solar terhadap Kinerja dan Emisi Gas Buang Mesin Diesel Injeksi Langsung”, 44 (3) 273 - 284 T Tobing, ML Edward, “Penentuan Model Reservoir Dual Porosity Pseudo Steady State Berdasarkan Analisis Hasil Uji Sumur”, 44 (1) : 19 -31 U Ulfiati, Ratu, “Peran Laboratorium Pengendalian Mutu dalam Menjamin Kualitas Produk Pelumas”, 44 (2) : 198 - 203 Usman, lihat, Haans, Arie, 44 (3) : 246 - 252 Usman, “Pengembangan dan Aplikasi Simulator Reservoar untuk Simulasi Perkolasi Gas pada Reservoar Bertenaga Dorong Gas Terlarut”, 44 (3) : 263 - 272 W Widarsono, Bambang, “ Uji Coba Teknik Baru untuk Menentukan Paramater Pancung Porositas pada Kasus Reservoir Batugamping”, 44 (1) : 1 - 11
Wicaksono, Bambang, lihat, Sunarjanto, Djoko, 44 (1) : 12 - 18 Widiyanto, Gathuk, “Optimasi Pompa pada Dewatering Sumur CBM”, 44 (2) : 144 - 153 W.Y.P, Emanuella, “Penelitian Desain Lumpur untuk Mengatasi Terjadinya Pengendapan oleh Material Lumpur Maupun Formasi akibat Pengaruh Temperatur Tinggi dan Kontaminan Fluida Formasi”, 44 (2) : 171 - 184 Wahyudi, Panca, lihat, W.Y.P, Emanuella, 44 (2) : 171 - 184 Widarsono, Bambang, “Potensi Peran Kawasan Jawa Timur/Tengah dalam Produksi Minyak dan Gas Bumi Nasional : Sebuah Kajian atas Kinerja, Peluang, Tantangan dan Proyeksinya”, 44 (3) : 215 - 226 Widarsono, Bambang, “Pemecahan Gelombang-S Akustik sebagai Indikasi Orientasi Umum Rekahan pada Reservoir Gas Metana Batubara”, 44 (3) : 253 - 262 Widiastuti, Paramitha, “Kajian Kelayakan Pemanfaatan Gas Suar Bakar untuk Pabrik Pupuk Skala Kecil”, 44 (3) : 291 - 298 Widiastuti, Paramitha, lihat, Lubad, Aziz Masykur, 44 (3) : 307 - 318 Y Yuliarita, Emi, “ Meramu Bahan Bakar Jenis Bensin RON 91 yang Ramah Lingkungan dengan Membatasi Kandungan Senyawa Aromatik, Benzena, dan Olefin”, 44 (1) : 46 - 54 Yuliarita, Emi, “Pengaruh Pencampuran Kerosin dalam Minyak Solar 48 terhadap Perubahan Sifat-Sifat Fisika/ Kimia Utama Minyak Solar48”, 44 (2) : 204 - 213 Yuliani R., Catur, lihat, Karina, Rona Malam, 44 (3) : 299 - 306
UCAPAN TERIMA KASIH Kami sampaikan terima kasih kepada Mitra Bestari, Dewan Redaksi, Redaksi yang telah membantu Penyuntingan makalah pada Lembaran Publikasi Lemigas (LPL) Volume 44 (nomor 1, 2 dan 3) I.
Mitra Bestari 1. Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar (Teknik Perminyakan) 2. Prof. Dr. Wahjudi Wisaksono (Energi dan Lingkungan) 3. Prof. Dr. R.P. Koesoemadinata (Teknik Geologi) 4. Ir. E. Jasjfi, M.Sc, APU. (Teknik Kimia) 5. Dr. Ir. M. Kholil, M.Kom. (Manajemen Lingkungan)
II. Dewan Redaksi 1. Dr. Ir. Noegroho Hadi Hs., APU. (Teknik Kimia) 2. Prof. (R). Dr. Maizar Rahman (Teknik Kimia) 3. Prof. (R). Dr. Suprajitno Munadi (Geofisika) 4. Prof. (R). Dr. E. Suhardono (Kimia Industri) III. Redaksi 1. Ir. Bambang Wicaksono T.M., M.Sc. (Geologi Perminyakan) 2. Dr. Ir. Ego Syahrial, M.Sc. (Teknik Perminyakan) 3. Prof. (R). M. Udiharto (Biologi) 4. Drs. Mardono, MM. (Teknik Kimia) 5. Dr. Usman, M.Eng. (Teknik Perminyakan) 6. Abdul Haris, S.Si., M.Si. (Lingkungan dan Kimia) 7. Ir. Yusep K Caryana, M.Sc. (Manajemen dan Teknik Gas)
PEDOMAN PENULISAN MAJALAH LEMBARAN PUBLIKASI LEMIGAS (LPL) UMUM 1. Majalah Lembaran Publikasi Lemigas (LPL) adalah media yang khusus diperuntukan bagi karya tulis para Peneliti dan Tenaga Fungsional PPPTMGB “LEMIGAS”, memuat analisis, kajian dan tinjauan ilmiah mengenai subjek-subjek yang berkaitan dengan industri minyak dan gas bumi, terutama yang dilakukan oleh PPPTMGB “LEMIGAS”. 2. Redaksi LPL, secara selektif juga menerima tulisan-tulisan dari para ahli baik perseorangan ataupun kelompok, baik atas nama pribadi maupun instansi pemerintah/swasta namun lebih berbobot. Hal ini dimaksudkan sebagai contoh guna mendorong dan meningkatkan mutu para penulis intern LEMIGAS. STANDAR PENULISAN 1. Bahasa Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan kaidah/istilah bahasa Indonesia yang telah dibakukan berpedoman pada: a. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Lembaga Pembinaan Bangsa. b. Kamus Miyak dan Gas Bumi, terbitan PPPTMGB “LEMIGAS”. c Kamus bahasa Inggris. 2. Naskah/Artikel Judul artikel ditulis pada baris pertama (paling atas), rata kiri (left), memakai huruf besar kecil ukuran 24 points. - Nama penulis ditulis pada baris kedua di bawah judul artikel. - Abstrak/Sinopsis/Sari karangan merupakan keharusan ditulis dalam bahasa Indonesia serta bahasa Inggris dan ditetapkan pada awal artikel/tulisan. Abstrak tidak boleh lebih dari 200 kata. - Artikel disertai dengan kata kunci yang ditulis dibawah judul artikel. - Teks artikel diketik dengan komputer (MS Word), di atas kertas putih ukuran A4, dengan jarak baris 1 ½ spasi. - Sitasi (kutipan) atas pendapat para ahli, disamping dapat dengan dikutip secara verbatim, juga harus diberi nomor urut dengan hurup arab superscript untuk penjelasannya dalam catatan kaki. - Catatan kaki ditulis dalam satu halaman sesuai dangan nomor catatan kaki yang bersangkutan. Catatan kaki ditulis horizontal dengan urutan sebagai berikut: nama pengarang, tahun penerbitan, judul, halaman yang dikutip. Data Publikasi (Kota Penerbitan, Nama Penerbitan, jumlah halaman). - Pendahuluan secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan subbab. - Bahan dan Metode harus secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait. - Hasil disajikan secara jelas tanpa detil yang tidak perlu. Hasil tidak boleh disajikan sekaligus dalam tabel dan gambar. - Tabel disajikan dalam bahasa Indonesia, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan. Tabel diketik menggunakan program MS-Excel. - Gambar, grafik, potret dan lain-lain: semuanya asli, jelas memenuhi syarat untuk peroses pencetakan: serta diberi nomor urut dan judul. - Kesimpulan disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian. - Di samping naskah dan lampiran penunjang seperti gambar/grafik, kirimkan juga disket/CD nya ke redaksi atau melalui e-mail: agus
[email protected] 3 Kepustakaan Kepustakaan adalah daftar literaktur (buku atau non buku) yang dipakai oleh Penulis dalam meyusun naskah/artikel. Kepustakaan ditulis pada akhir karangan dengan urutan secara alfabetis berdasarkan nama pengarang, seperti contoh sebagai berikut; a. Buku - Satu pengarang Davis, Gordon B., 1976, Management Information System, Conceptual Foundation Structur and developnet, Me Graw Hill. - Dua Pengarang Newman W.H. dan E. Kirby Warren, 1977, The Procces of Management, Concept, Behavior, and Pratice, Pretice-Hall of India Privat Ltd., New Delhi, hlm. 213. - Lebih dari tiga pengarang Bennet J.D., Bridge D. Mcc, Cancron N. R., Djunudin A, Ghazali S. A, Jeffry D.H., Kartawa W., Keats W Rock N.M.S., dan Thompos S.J 1981, The Geology of the Langsa Quadrange, Sumatra, GRDC, Bandung. Atau disingkat Bannet J.D., dkk., 1981. The Geology of the Langsa Quadrangle, Sumatra, GRDC, Bandung. b. Non buku - Udiharto M., 1992. “Pengaruh Aktivitas Bakteri Termofil terhadap Porositas Batuan”, Diskusi Ilmia VII Hasil Penelitian Lemigas, Februari, PPTMG “LEMIGAS”, Jakarta. - Weissmann J., Dr.: 1972, ”Fuel for internal Contribution Engines and Furnace”, Report, Inhouse Research, Mei, ”LEMIGAS”, Jakarta. - Gianita Gandawijaya, 1994,”Teknologi GPS, Alat Bantu Navigasi Pesawat Terbang”, Kompas, Juli 27, Jakarta. c. Web sites : http://www.environmental law net.com. Sebutkan tanggal bulan dan tahun. WEWENANG REDAKSI a. Dewan redaksi berhak melakukan penyunpingan atas suatu artikel termasuk mengubah judul artikel. b. Naskah yang telah diperiksa dewan redaksi dan dianggap perlu perbaikan akan dikirim kembali kepada penulis untuk diperbaiki. c. Naskah yang tidak bisa dimuat akan dikembalikan kepada penulis. REDAKSI Lembaran Publikasi Lemigas menerima sumbangan naskah dari penulisan di luar Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” dengan ketentuan isinya memenuhi kriteria standar Majalah Lembaran Publikasi Lemigas.