LP Limfadenopati Colli Fix
July 11, 2019 | Author: Luthfi Andre | Category: N/A
Short Description
Download LP Limfadenopati Colli Fix...
Description
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN LIMFADENOPATI COLLI DIRUANG ANGGREK RSUD TUGUREJO SEMARANG
DISUSUN OLEH: LUTHFI ANDREYANI 12.1124
PRODI DIII AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH 2013
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN LIMFADENOPATI COLLI DIRUANG ANGGREK
A. DEFINISI Limfadenopati adalah ketidaknormalan kelenjar getah bening dalam ukuran, konsistensi, ataupun jumlahnya. Pada daerah leher (cervical), pembesaran kelenjar getah bening didefinisikan bila kelenjar membesar lebih dari diameter satu centimeter. Pembesaran kelenjar getah bening dapat dibedakan menjadi limfadenopati lokalisata dan generalisata.
B. ETIOLOGI 1. Infeksi virus Infeksi yang disebabkan oleh virus pada saluran pernapasan bagian atas seperti Rinovirus, Parainfluenza Virus, influenza Virus, Respiratory Syncytial Virus (RSV), Coronavirus, Adenovirus ataupun Retrovirus. Virus lainnya Ebstein Barr Virus (EBV), Cytomegalo Virus (CMV), Rubela, Rubeola, Varicella-Zooster Virus, Herpes Simpleks Virus, Coxsackievirus, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV ). 2. Infeksi bakteri disebabkan Streptokokus beta hemolitikus Grup A atau stafilokokus aureus. 3. Keganasan Keganasan seperti leukemia, neuroblastoma, rhabdomyo-sarkoma dan limfoma juga dapat menyebabkan limfadenopati. Diagnosis defenitif suatu limfoma membutuhkan tindakan biopsi eksisi, oleh karena itu diagnosis subtipe limfoma dengan menggunakan biopsi aspirasi jarum halus masih merupakan kontroversi. 4. Obat-obatan Obat-obatan dapat menyebabkan limfadenopati generalisata. Limfadenopati dapat timbul setelah pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya seperti allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine, cefalosporin,
emas,
sulfonamida, sulindac).
hidralazine,
penicilin,
pirimetamine,
quinidine,
5. Imunisasi Imunisasi dilaporkan juga dapat menyebabkan limfadenopati di daerah leher, seperti setelah imunisasi DPT, polio atau tifoid. 6. Penyakit sistemik lainnya Penyakit lainnya yang salah satu gejalanya adalah limfadenopati adalah penyakit Kawasaki , penyakit Kimura, penyakit Kikuchi , penyakit Kolagen, penyakit Cat scratch, penyakit Castleman, Sarcoidosis, Rhematoid arthritis dan Sisestemic lupus erithematosus (SLE).
C. TANDA DAN GEJALA o
1. Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38 C. 2. Sering keringat malam. 3. Kehilangan berat badan lebih dari 10% dalam 6 bulan. 4. Timbul benjolan di bagian leher.
D. PATOFISIOLOGI
Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem vaskular darah. Biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial kedalam saluran limfe jaringan, dan limfe yang terbentuk dibawa kesentral dalam badan dan akhirnya bergabung kembali kedarah vena. Bila daerah terkena radang, biasanya terjadi kenaikan yang menyolok pada aliran limfe dari daerah itu. Telah diketahui bahwa dalam perjalanan peradangan akut, lapisan pembatas pembuluh limfe yang terkecil agak meregang, sama seperti yang terjadi pada venula, dengan demikian memungkinkan lebih banyak bahan interstisial yang masuk kedalam pembuluh limfe. Bagaimanapun juga, selama peradangan akut tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi kandungan protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama. Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe menguntungkan karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat. Sebaliknya, agen-agen yang dapat menimbulkan cedera dapat dibawa oleh pembuluh limfe dari tempat peradangan primer ketempat yang jauh dalam tubuh. Dengan cara ini, misalnya, agen-agen yang menular dapat menyebar. Penyebaran sering dibatasi oleh penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe regional yang dilalui oleh cairan limfe yang bergerak menuju kedalam tubuh, tetapi agen atau bahan yang terbawa oleh cairan limfe mungkin masih dapat melewati kelenjar dan akhirnya mencapai aliran darah. (Price, 1995; 39 - 40).
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis dapat menghasilkan petunjuk tentang kemungkinan diagnosis ini dan evaluasi lebih lanjut secara langsung ( misalnya hitung darah lengap, biakan darah, foto rontgen, serologi, uji kulit). Jika adenopati sistemik tetap terjadi tanpa penyebab yang jelas tanpa diketahui, biopsi kelenjar limfe dianjurkan. (Harrison, 1999; 372). Biopsi sayatan: Sebagian kecil jaringan tumur mame diamdil melalui operasi dengan anestesi umum jaringan tumor itu dikeluarkan, lalu secepatnya dikirim kelaborat untuk diperriksa. Biasanya biopsi ini dilakukan untuk pemastian diagnosis setelah operasi. ( Oswari, 2000; 240 ). Anestesi umum menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk kejaringan otak dengan tekanan setempat yang tinngi. ( Oswari, 2000; 34 ). Pada awal pembiusan ukuran pupil masih biasa, reflek pupil masih kuat, pernafasan tidak teratur, nadi tidak teratur, sedangkan tekanan darah tidak berubah, seperti biasa. (Oswari, 2000; 35).
E. PATHWAYS
Penembusan lambat cairan interstitial kedalam saluran limfe jaringan
Radang
limfe
Terjadi kenaikan aliran limfe
menuju sentral dalam badan
pada daerah peradangan
bergabung kembali ke vena
perubahan dalam kemampuan pembekuan
darah pembuluh vena yang terkecil agak meregang
bila terjadi trauma banyak cairan interstitial
kandungan protein bertambah
masuk ke pembuluh limfe
Resti kekurangan menekan organ
terjadi bengkak
pernapasan
dilakukan tindakan invasif Pola nafas tidak efektif Resti infeksi
Nyeri akut
F. PENATALAKSAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN 1. PENATALAKSAAN MEDIS Pengobatan
limfadenopati
KGB
leher
didasarkan
kepada
penyebabnya. Banyak kasus dari pembesaran KGB leher sembuh dengan sendirinya dan tidak membutuhkan pengobatan apapun selain observasi. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsi KGB. Biopsi dilakukan terutama bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan. KGB yang menetap atau bertambah besar walau dengan pengobatan yang adekuat mengindikasikan diagnosis yang belum tepat. Antibiotik perlu diberikan apabila terjadi limfadenitis supuratif yang biasa disebabkan oleh Staphyilococcus. aureus dan Streptococcus pyogenes (group A). Pemberian antibiotik dalam 10-14 hari dan organisme ini akan memberikan respon
positif
dalam
72
jam.
Kegagalan
terapi
menuntut
untuk
dipertimbangkan kembali diagnosis dan penanganannya. Pembedahan mungkin diperlukan bila dijumpai adanya abses dan evaluasi dengan menggunakan USG diperlukan untuk menangani pasien ini.
2. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN Tindakan keperawatan yang bisa dilakukan adalah: a. Memonitor keadaan umum pasien, memonitor suhu tubuh pasien b. Menjaga kebersihan saat akan memegang pasien, agar tidak menjadi infeksi c. Dorong pemasukan cairan,diit tinggi protein d. Mengevaluasi nyeri secara regular e. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernafasan dan jenis pembedahan f.
Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran
G. FOKUS PENGKAJIAN PENGKAJIAN FISIK Secara umum malnutrisi atau pertumbuhan yang terhambat mengarahkan kepada penyakit kronik seperti tuberkulosis, keganasan atau gangguan system kekebalan tubuh. Karakteristik dari KGB dan daerah sekitarnya harus diperhatikan. KGB harus diukur untuk perbandingan berikutnya. Harus dicatat ada tidaknya nyeri tekan, kemerahan, hangat pada perabaan, dapat bebas digerakkan atau tidak dapat digerakkan, apakah ada fluktuasi, konsistensi apakah keras atau kenyal. 1. Ukuran: normal bila diameter 0,5 cm dan lipat paha >1,5 cm dikatakan abnormal. 2. Nyeri tekan: umumnya diakibatkan peradangan atau proses perdarahan. 3. Konsistensi: keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan, padat seperti karet mengarahkan kepada limfoma; lunak mengarahkan kepada proses infeksi; fluktuatif mengarahkan telah terjadinya abses/pernanahan. 4. Penempelan/bergerombol: beberapa KGB yang menempel dan bergerak bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis, sarkoidosis atau keganasan. Pembesaran KGB leher bagian posterior biasanya terdapat pada infeksi rubella dan mononukleosis. Supraklavikula atau KGB leher bagian belakang memiliki risiko keganasan lebih besar daripada pembesaran KGB bagian anterior. Pembesaran KGB leher yang disertai daerah lainnya juga sering disebabkan oleh infeksi virus. Keganasan, obat-obatan, penyakit kolagen umumnya dikaitkan degnan pembesaran KGB generalisata. Pada pembesaran KGB oleh infeksi virus, umumnya bilateral lunak dan dapat digerakkan. Bila ada infeksi oleh bakteri, kelenjar biasanya nyeri pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan terjadinya abses. Bila limfadenopati disebabkan keganasan tanda-tanda peradangan tidak ada, KGB keras dan tidak dapat digerakkan oleh karena terikat dengan jaringan di bawahnya. Pada infeksi oleh mikobakterium, pembesaran kelenjar berjalan bermingguminggu sampai berbulan-bulan, walaupun dapat mendadak, KGB menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah dan terbentuk jembatan-jembatan kulit di atasnya. Adanya tenggorokan yang merah, bercak-bercak putih pada tonsil, bintikbintik merah pada langit-langit mengarahkan infeksi oleh bakteri streptokokus. Adanya
selaput pada dinding tenggorok, tonsil, langit-langit yang sulit dilepas dan bila dilepas berdarah, pembengkakan pada jaringan lunak leher ( bull neck ) mengarahkan kepada infeksi
oleh
bakteri
difteri.
Faringitis,
ruam-ruam
dan
pembesaran
limpa
mengarahkan kepada infeksi Epstein Barr Virus (EBV ). Adanya radang pada selaput mata dan bercak koplik mengarahkan kepada campak. Adanya pucat, bintik-bintik perdarahan (bintik merah yang tidak hilang dengan penekanan), memar yang tidak jelas penyebabnya, dan pembesaran hati dan limpa mengarahkan kepada leukemia. Demam panjang yang tidak berespon dengan obat demam, kemerahan pada mata, peradangan pada tenggorok, strawberry tongue, perubahan pada tangan dan kaki (bengkak, kemerahan pada telapak tangan dan kaki) dan limfadenopati satu sisi (unilateral) mengarahkan kepada penyakit Kawasaki.
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien limfadenopati adalah: 1.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
2.
Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integritas.
3.
Pola nafas tidak efetif berhubungan dengan neouromuscular, ketidak seimbanganpersptual.
4.
Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran integritas pembuluh darah, perubahan dalam kemampuan pembekuan darah
I.
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif Tujuan: Mencapai penyembuhan tepat waktu,bebas drenase purulen atau eritema
dan
tidak
demam
(
doengos,
1999;
796
– 797
)
Intervensi: a. Tingkatkan cuci tangan yang baik pada setaf dan pasien. b. Gunakan aseptik atau kebersinan yang ketet sesuai indikasi untuk menguatkan atau menganti balutan dan bila menangani drain.insruksian pasien tidak untuk menyentuh atau menggaruk insisi. c. Kaji kulit atau warna insisi. Suhu dan integrits: perhatikan adanya eritema /inflamasi kehilangan penyatuan luka. d. Awasi suhu adanya menggigil e. Dorong pemasukan cairan,diit tinggi protein dengan bentuk makanan kasar. f.
Kolaborasi berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional : a. Menurunkan resiko kontaminasi silang. b. Mencegah kotaminasi dan resiko infeki luka,dimana dapat memerlukan post prostese. c. Memberikan
informasi
trenteng
status
proses
penyembuhan
dan
mewaspadakan staf terhadap dini infeksi. d. Meskipun umumnya suhu meningkatpdad fase dini pasca operasi dan/atua adanya menggigil biasanya mengindikasikan terjadinya infeksi memerlukan inetrvensi untuk mencegah komplikasi lebih serius. e. Mempertahankan keseimbangan cairan dan nutrisi untuk mendukung perfusi jaringan dan memberikan nutrisi yang perlu untuk regenerasi selular dan penyembuhan jaringan. f.
Mungkin berguna secara profilaktik untuk mencegah infeksi.
2. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integritas otot. Tujuan:
mengatakan
bahwa
rasa
sakit
telah
terkontrol
/
hilang.
( doengos, 1999; 915 – 917 ) Intervensi : a. Evaluasi rasa sakit secara regular (mis, setiap 2 jam x 12 ), catat karakteristik, lokasi dan intensitas ( skala 0-10 ). b. Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin selain dari prosedur operasi. c. Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan, sesui kebutuhan. d. Lakukan reposisi sesui petunjuk, misalnya semi - fowler; miring. e. Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya latihan napas dalam, bimbingan imajinasi, visualisasi. f.
Berikan perwatan oral reguler.
Rasional: a. Sediakan informasi mengenai kebutuhan / efektifitas intervensi. Catatan: sakit kepala frontal dan / atau oksipital mungkin berekembang dalam 24-72 jam yang mengikuti anestesi spinal, mengharuskan posisi terlentang, peningkatan pemasukan cairan, dan pemberitahuan ahli anestesi. b. Ketidaknyamanan mungkin disebabkan / diperburuk dengan penekanan pada kateter indwelling yang tidak tetap, selang NG, jalur parenteral ( sakit
kandung kemih, akumulasi cairan dan gas gaster, dan infiltrasi cairan IV/ medikasi. c. Pahami penyebab ketidaknyamanan ( misalnya sakit otot dari pemberian suksinilkolin dapat bertahan sampai 48 jam pasca operasi, sakit kepala sinus yang disosialisasikan dengan nitrus oksida dan sakit tenggorok dan sediakan jaminan
emosional.
Catatan:
peristasia
bagian-bagian
tubuh
dapat
menyebabkan cedera saraf. Gejala – gejala mungkin bertahan sampai berjam-jam atau bahkan berbulan – bulan dan membutuhkan wevaluasi tambahan. d. Mungkin mengurangi rasa sakit dan meningkatkan sirkulasi. Posisi semi – Fowler dapat mengurangi tegangan otot abdominal dan oto punggung artritis, sedangkan miring mengurangi tekanan dorsal e. Lepaskan tegangan emosional dan otot; tingkatkan perasaan kontrol yang mungkin dapat meningkatkan kemam puan koping f.
Mengurangi
ketidaknyamanan
yang
di hubungkan
dangan membaran
mukosa yang kering pada zat – zat anestesi, restriksi oral. 3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan neouromuskular, ketidak imbangan persptual. Tujuan: Menetapkan pola nafas normal / efektif dan bebas dari sianosis dan tanda – tanda hipoksai lain. ( doengos, 1999; 911 – 912 ) Intervensi: a. Pertahankan
jalan
udara
pasien
dengan
memiringkan
kepala,
hipereksentensi rahang, aliran udara feringeal oral. b. Obserefasi dan kedalamam pernafasan, pemakaian otot – otot bantu pernafasan, perluasan rongga dada, retraksi atau pernafasan cuping hidung, warna kulit dan aliran udara c. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernafasan dan jenis pembedahan. d. Observasi pengembalian fungsi otot terutama otot pernafas e. Lakukan penghisapan lendir jika perlu. f.
Kaloborasi: berikan tambahan oksigen sesui kebutuhan. Rasional: a. Mencegah obstruksi jalan nafas b. Dilakukan untuk memastikan efektivitas pernafasan sehingga upaya memperbaikinya dapat segera dilakukan
c. Elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendoromg ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma. d. Setelah pemberian obat – obat relaksasi otot selama masa intra operatif pengembalian fungsi otot pertama kali terjadi pada difragma, otot – otot interkostal, dan laring yang akan diikuti dengan relaksasi dengan relaksasi kelompok otot – otot utma seperti leher, bahu, dan otot – otot abdominal, selanjutnya diikuti oleh otot – otot berukuran sedang seperti lidah, paring, otot – otot ekstensi dan fleksi dan diakhiri oleh mata, mulut, wajah dan jari – jari tangan. Obstruksi jalan nafas dapat terjadi karena danya darah atau mukus dalam tenggorok atau trakea. e. Dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan pengambilan oksigen yang akan diikat oleh Hb yang mengantikan tempat gas anestesi dan mendorng pengeluaran gas tersebut melalui zat – zat inhalasi.
4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran integritas pembuluh darah, perubahan dalam kemampuan pembekuan darah. Tujuan:
Mendemonstrasikan
keseimbangan
cairan
yang
adekuat,
sebagaimana ditunjukkan dengan tanda – tanda vital yang stabil, palpasi denyut nadi dengan kualitas yang baik, turgor kulit normal, membran mukosa lembab, dan pengeluaran urine yang sesui. ( doengos, 1999; 913 –915) Intervensi: a. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran ( termasuk pengeluaran gastrointestinal ). b. Kaji pengeluaran urinarus, terutama untuk tipe prosedur operasi yang dilakukan. c. Berikan bantuan pengukuran berkemih sesuai kebutuhan. Misalnya privasi, posisi duduk, air yang mengalir dalam bak, mengalirkan air hamgat diatas perineum. d. Catat munculnya mual/muntah, riwayat pasien mabuk perjalanan. e. Periksa pembalut, alat drein pada intrval reguler. Kaji luka untuk terjadinya pembengkakan.
f.
Kalaborasi: Berikan cairan pariental, pruduksi darah dean / atau plasma ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperlukan. Rasional: a. Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/ kebutuhan pemggantian dan pilihan – pilihan yang mempengaruhi intervensi. b. Mungkin akan terjadi penurunan ataupun penghilangan setelah prosedur pada sistem genitourinarius dan / atau struktur yang berdekatan. c. Meningkatkan relaksasi otot perineal dan memudahkan upaya pengosongan. d. Wanita, pasien dengan obesitas, dan mereka yang memiliki kecenderungan mabuk perjalanan penyakit memiliki resiko mual/ muntah yang lebih tinggi pada masa pasca operasi. Selain itu, semakin lama durasi anestesi, semakin resiko untuk mual, catatan: Mual yang terjadi selama 12 –24 jam pasca operasi umumnya dibangunkan dengan anestesi( termasuk anestesi regional ),. Mual yang bertahan lebih dari 3 hari pasca operasi mungkin dihubungkan dengan pilihan narkotik untuk mengontrol rasa sakit atau tr erap oabt
– abatan lainnya. e. Perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada hipovolemia / hemoragi. Pembengkakan lokal mungkin mengindikasikan formasi hematoma/ perdarahan. f.
Gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu penggantian
volume
sirkulasi
yang
potensial
komplikasi, misalnya ketidak seimbangan.
bagi
penurunan
DAFTAR PUSTAKA
Lokananta, Irene, 2013, www.scribd.com/doc/144560115/ Limfadenopati -Colli , 20 oktober 2013, 06.45 WIB Repository USU, repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16862/4/Chapter%20II.pdf , 20 oktober 2013, 06.30 WIB
View more...
Comments