Lp Kontusio New

March 4, 2018 | Author: Pramudipta WN | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

irma...

Description

LAPORAN PENDAHULUAN CONTOSIO CEREBRI

A. Konsep penyakit 1. Pengertian Contusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi (Smeltzer and Bare, 2006). Kontusio serebri (cerebral contussion) adalah luka memar pada otak. Memar yang disebabkan oleh trauma dapat membuat jaringan menjadi rusak dan bengkak dan pembuluh darah dalam jaringan pecah, menyebabkan darah mengalir ke dalam jaringan disebut hematoma (kamus besar bahasa Indonesia) Memar otak atau kontusio

serebri (contusio

cerebri,

cerebral

contusion) adalah perdarahan di dalam jaringan otak yang tidak disertai oleh robekan jaringan yang terlihat, meskipun sejumlah neuron mengalami kerusakan atau terputus. Memar otak disebabkan oleh akselerasi kepala tibatiba yang menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang merusak, yang membuat pingsan sementara (kamus besar bahasa Indonesia). Secara definisi Contusio Cerebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak mengganggu jaringan (Corwin, 2000). Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus (Harsono, 2010)

2. Etiologi Penyebab contusio cerebri atau memar otak adalah adanya akselerasi kepala tiba-tiba yang menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang merusak akibat dari kecelakaan, jatuh atau trauma akibat persalinan.

Kontusio dapat pula terjadi akibat adanya gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis, sehingga terdapat vasoparalisis.

3. Manifestasi klinis Timbulnya

lesi

kontusio

di

daerah-daerah

dampak

(“coup”)

“countrecoup” dan “intermediated”, menimbulkan gejala defisit neurologik, yang bisa berupa refleks babinski yang positif dan kelumpuhan. Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri dengan penurunan kesadaran berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau tidak dijumpai defisit neurologik. Pada kontusio serebri yang berlangsung lebih dari enam jam penurunan kesadarannya biasanya selalu dijumpai defisit neurologis yang jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di dalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan subaraknoid atau kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak jarang berat dan dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial. Tekanan

intrakranial

yang

meninggi

menimbulkan

gangguan

mikrosirkulasi otak dengan akibat menghebatnya edema. Dengan demikian timbullah lingkaran setan yang akan berakhir dengan kematian bila tidak dapat diputus. Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon pernapasan biasa atau bersifat Cheyne Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik. Mungkin terjadi rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku. Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat, tidak teratur, pernapasan hiperventilasi, motorik

menunjukkan rigiditas deserebrasi dengan keempat ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi. Pada lesi pons bagian bawah bila nuklei vestibularis terganggu bilateral, gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang. Pernapasan tidak teratur. Bila oblongata terganggu, pernapasan melambat tak teratur, tersengal-sengal menjelang kematian (Harsono, 2010). Gejala lain yang sering muncul pada contusion serebri menurut Smeltzer and Bare (2006) yaitu : a. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri b. Kehilangan gerakan c. Denyut nadi lemah d. Pernapasan dangkal e. Kulit dingin dan pucat f. Sering defekasi dan berkemih tanpa disadari g. Pasien dapat diusahakan untuk bangun/sadar tetapi segera kembali kedalam keadaan tidak sadarkan diri h. Tekanan darah dan suhu abnormal Umumnya, individu yang mengalami cedera luas mengalami fungsi motorik abnormal, gerakan mata abnormal, dan peningkatan TIK mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya pasien mengalami pemulihan kesadaran komplet dan mungkin melewati tahap peka rangsang serebral. dalam tahap peka rangsang serebral, pasien sadar tetapi sebaliknya mudah terganggu oleh suatu bentuk stimulasi, suara, cahaya, dan bunyibunyian dan menjadi hiperaktif sewaktu. Berangsur-angsur denyut nadi, pernapasan, suhu dan fungsi tubuh lain kembali normal. Walaupun pemulihan sering terlihat lambat. sakt kepala dan sisa vertigo dan gangguan fungsi mental atau kejang sering terjadi sebagai akibat kerusakan serebral yang tidak dapat diperbaiki (Smeltzer and Bare, 2006).

Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif ikut terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernapasan bisa terjadi. Menurut Corwin (2000) manifestasi yang muncul pada pasien dengan contusion cerebri adalah defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau sensorik otak., secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis akibat kerusakan jaringan otak. Pada pemerikasaan CT Scan didapatkan daerah hiperdens di jaringan otak.

4. Pathofisologi Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusio ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup, dan intermediate menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan.

Setelah

kesadaran

pulih

kembali,

penderita

biasanya

menunjukkan organic brain syndrome. Lesi akselerasi-deselerasi, gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang lain, tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otot yang densitas yang lebih rendah, maka terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala akan bergerak lebih dulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, pada dasar tengkorak

terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa hematom subdural, hematom intra serebral, hematom intravertikal, kontra coup kontusio. Selain itu gaya akselerasi dan deselarasi akan menyebabkan gaya tarik atau robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa komosio serebri, diffuse axonal injuri. Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi

pembuluh

darah

cerebral

terganggu,

sehingga

terjadi

vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul (Corwin, 2010)

5. Pathway (terlampir)

6. Pemeriksaan diagnostik Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan ialah foto rontgen polos, bila perlu scan tomografik, EEG dan pungsi lumbal.

7. Penatalaksaan medik Penatalaksaan umum a) Observasi GCS dan tanda vital (TD, nadi, suhu, RR dann saturasi O2) b) Head Up 30 ° c) Oksigen lembab 4-6 lpm d) IVFD NaCl 0.9 % (30-40 cc/Kg BB/ Perhari e) Antibiotik f) Analgesik g) Antagonis H2 reseptor h) Manitol, antikonvulsan (K/P)

i) Pasang NGT dan Folley cateter Terapi konservatif untuk penatalaksanaan peningkatan TIK : a) Head Up 30° b) Hiperventilasi ringan 15-30 menit c) Manitol 20% dosis 0.2 – 2 gr/ Kg BB/kali pemberian tiap 4-6 jam

Tindakan yang diambil pada kontusio berat ditujukan untuk mencegah meningginya tekanan intrakranial. a. Usahakan jalan napas yang lapang dengan : 1) Membersihkan hidung dan mulut dari darah dan muntahan 2) Melonggarkan pakaian yang ketat 3) Menghisap lendir dari mulut, tenggorok dan hidung 4) Untuk amannya gigi palsu perlu dikeluarkan 5) Bila perlu pasang pipa endotrakea atau lakukan trakeotomi 6) O2 diberikan bila tidak ada hiperventilasi b. Hentikan perdarahan c. Bila ada fraktur pasang bidai untuk fiksasi d. Letakkan pasien dalam posisi miring hingga bila muntah dapat bebas keluar dan tidak mengganggu jalan napas. e. Berikan profilaksis antibiotika bila ada luka-luka yang berat. f. Bila ada syok, infus dipasang untuk memberikan cairan yang sesuai. Bila tidak ada syok, pemasangan infus tidak perlu dilakukan dengan segera dan dapat menunggu hingga keesokan harinya. Pada hari pertama pemberian infus berikan 1,5 liter cairan perhari, dimana 0,5 liternya adalah NaCl 0,9%. Bila digunakan glukosa pakailah yang 10% untuk mencegah edema otak dan kemungkinan timbulnya edema pulmonum. Setelah hari keempat jumlah cairan perlu ditambah hingga 2,5 liter

per 24 jam. Bila bising

usus sudah terdengar, baik diberi makanan cair per sonde. Mula-mula dimasukkan glukosa 10% 100 cm3 tiap 2 jam untuk menambah kekurangan cairan yang telah masuk dengan infus. Pada hari berikutnya

diberi susu dan pada hari berikutnya lagi, makanan cair lengkap 2-3 kali perhari, 2000 kalori, kemudian infus dicabut. g. Pada keadaan edema otak yang hebat diberikan manitol 20% dalam infus sebanyak 250 cm3 dalam waktu 30 menit yang dapat diulang tiap 12-24 jam. h. Furosemid intramuskuler 20 mg/24 jam, selain meningkatkan diuresis berkhasiat mengurangi pembentukan cairan otak. i. Untuk menghambat pembentukan edema serebri diberikan deksametason dalam rangkaian pengobatan sebagai berikut : a)

Hari I : 10 mg intravena diikuti 5 mg tiap 4 jam

b) Hari II : 5 mg intravena tiap 6 jam c)

Hari III : 5 mg intravena tiap 8 jam

d) Hari IV-V : 5 mg intramuskular tiap 12 jam e)

Hari IV : 5 mg intramuskular

j. Pemantauan keadaan penderita selain keadaan umumnya perlu diperiksa secara teratur

PCO2 dan PO2 darah. Keadaan yang normal adalah

PCO2 sekitar 42 mmHg dan PO2 di atas 70 mmHg. k. Pada pasien yang koma (Skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini: a) Elevasi kepala 30° b) Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermitten c) Pasang kateter Folley

B. Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat 1. Pengkajian Emergency dan Kritis a. Primer Survey 1) Circulation Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi (tekanan darah meningkat atau menurun). Tekanan pada pusat

vasomotor

akan

meningkatkan

transmisi

rangsangan

parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia). Selain itu pengkajian lain yang perlu dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, mata. 2) Airway Napas berbunyi stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. Adanya sekret pada tracheo brokhiolus. 3) Breathing Terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. 4) Disability Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri. Tingkat Kesadaran secara kualitatif : a) Composmentis : Reaksi segera dengan orientasi sempurna, sadar akan sekeliling, orientasi baik terhadap orang tempat dan waktu. b) Apatis : Terlihat mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh tidak acuh terhadap lingkungannya. c) Confusi : Klien tampak bingung, respon psikologis agak lambat.

d) Samnolen : Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup kuat, bila rangsangan hilang, klien tidur lagi. e) Sopor : Keadaan tidak sadar menyerupai koma, respon terhadap nyeri masih ada, biasanya inkontinensia urine, belum ada gerakan motorik sempurna. f) Koma : Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan rangsangan. Tingkat kesadaran menurut kuantitas dengan GCS: a) Mata (eye) -

Selalu menutup mata dengan rangsangan nyeri

1

-

Membuka mata dengan rangsangan nyeri

2

-

Membuka mata dengan perintah

3

-

Membuka mata spontan

4

b) Motorik (M) -

Tidak berespon dengan rangsangan nyeri

1

-

Eksistensi dengan rangsangan nyeri

2

-

Fleksi lengan atas dengan rangsangan nyeri

3

-

Fleksi siku dengan rangsangan nyeri

4

-

Dapat bereaksi dengan rangsangan nyeri

5

-

Bergerak sesuai perintah

6

c) Verbal (V) -

Tidak ada suara

1

-

Merintih/mengerang

2

-

Dapat diajak bicara tapi tidak mengerti

3

-

bicara atau jawaban kacau

4

-

Dapat berbicara, orientasi baik

5

5) Exposure : lokasi luka, perdarahan terbuka/hematoma pada bagian tubuh lainnya. Suhu, peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.

b. Secondary Survey 1) Riwayat Kesehatan Sekarang Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab nyeri/cedera: Apakah peluru kecepatan tinggi? Objek yang membentur kepala ? Jatuh ? Darimana arah dan kekuatan pukulan? posisi jatuh? adakah alergi terhadap obat? 2) Riwayat Penyakit Dahulu Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/ tidak. Apakah ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan pernapasan. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik atau gangguan neurologis sebelumnya. Jika pernah kecelakaan bagimana penyembuhannya serta bagaimana asupan nutrisi. 3) Riwayat Keluarga Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia, penyakit sistemis seperti DM, hipertensi, penyakti degeneratif lainnya. 4) Pengkajian Head To Toe a) Pemeriksaan kepala dan leher Adanya

pembengkakan

pada

kepala,

perdarahan,

teraba

lunak/keras, adanya benjolan, luka/lesi, nyeri tekan b) Mata Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata. c) Hidung : Adanya napas cuping hidung d) Mulut

:

Adanya

secret

(hipersekresi),

Gangguan

nervus

hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan. e) Telinga : Terjadi penurunan daya pendengaran, adanya perdarahan pada telinga (othoroe)

f) Genetalia Pada contusio cerebri sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin dan ketidakmampuan menahan miksi. g) Pencernaan Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi. Hal ini menjadi dasar dalam pemberian makanan. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia. h) Muskuloskeletal Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan hemiparese atau paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi

dan

dapat

pula

terjadi

spastisitas

atau

ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot juga terjadi rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku. i) Aspek Neurologis : -

Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral.

-

Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis : memperlihatkan gejala berupa penurunan gejala penglihatan.

-

Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan penurunan

lapang

pandang,

refleks

cahaya

,menurun,

perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor. -

Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya anestesi daerah dahi.

-

Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior lidah.

-

Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan tubuh.

-

Nervus IX (Glosofaringeus), Nervus X (Vagus), dan Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan yang terjadi, biasanya yang berisiko peningkatan tekanan intrakranial.

-

Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.

c. Tertiery Survey Pada pemerikasaan CT Scan didapatkan daerah hiperdens di jaringan otak.

2. Diagnosa Keperawatan Emergency dan Kritis 1) Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan edena cerebral 2) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan produksi secret dan penurunan kemampuan batuk 3) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan 4) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hiperventilasi

3. Tujuan dan Rencana Tindakan keperawatan Emergency dan Kritis 1) Diagnosa 1: Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan edena cerebral Tujuan : Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam diharapakan perfusi jaringan otak adekuat dengan kriteria hasil : -

GCS : E4 V5 M6

-

TD stabil antara 90/60 s/d 180/110 mmHg

-

HR 60-100x/mnt

-

RR 16-20x/mnt

-

meningkatnya tingkat kesadaran, kognitif, motorik dan sensorik

-

Tidak ada nyeri kepala dan pusing

-

Tidak ada tanda peningkatan TIK

Intervensi : a. Monitor Status Neurologi : -

Kaji tingkat kesadaran, GCS, pupil, sensorik dan motorik

-

Monitor status orientasi terhadap waktu, tempat, orang dan situasi

-

Monitor tanda peningkatan tekanan intrakranial : muntah proyektil, nyeri kepala, penurunan kesadaran, pandangan kabur/papil edema.

-

Edukasi keluarga perlunya monitoring status neurologis secara continue

b. Tingkatkan Perfusi Cerebral : -

Atur posisi kepala elevasi 15-30 °

-

Pertahankan tirah baring selama 48-72 jam

-

Cegah valsava maneuver

-

Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan

-

Manajemen lingkungan

-

Edukasi keluarga tentang pencegahan resiko jatuh

c. Monitor tanda vital -

Monitor tanda vital sesuai kebutuhan (1-2 jam sekali)

-

Identifikasi perubahan tanda vital

-

laporkan perubahan tanda vital

d. Kolaborasi -

Pemberian Obat-obatan : cairan intravena NaCl 0.9 % atau cairan isotonic RL, Manitol 20% untuk mengurangi edema cerebri, Diuretik (furosemid/lasix) untuk meningkatkan diuresis berkhasiat mengurangi pembentukan cairan otak, Dexametason untuk menghambat

pembentukan

edema

serebri,

analgetik

dan

antikonvulsan serta antipiretik bila klien demam. -

Konsultasi dengan tim gizi atau dokter dalam pemberian nutrisi sesuai kebutuhan

2) Diagnosa 2 : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi secret dan menurunnya kemampuan batuk. Tujuan : Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam diharapakan bersihan jalan napas kembali efektif dengan kriteria hasil : -

Tidak sesak napas

-

Suara napas bronkovesikuler

-

RR dalam batas normal (16-20x/mnt)

-

Dahak dapat keluar

-

Batuk efektif

Intervensi a) Manajemen jalan napas -

Kaji kepatenan jalan napas dengan melihat pengembangan dada, merasakan hembusan napas dan dengarkan adanya suara napas tambahan (gurgling, snoring, stridor)

-

Monitor status hemodinamik dan status oksigenasi

-

Kaji perlunya dilakukan suction

-

Lakukan pengisapan/suction dengan prinsip 3A (aseptic, asionotik, atraumatik)

-

Auskultasi bunyi napas sebelum dan sesudah dilakuknnya suction

-

Bersihakan secret dengan menganjurkan batuk efektif atau pengisapan

-

Alih baring sesuai indikasi

-

Ajarkan cara mengeluarkan sputum dengan batuk efektif

-

Edukasi pentingnya dilakukan suction

-

Jelaskan pada pasien dan keluarga tujuan dari tindakan dan pengobatan serta alat bantu yang digunakan (missal ventilator, oksigen, pengisapan)

b) Kolaborasi -

Berikan nabulasi ultrasonic sesuai indikasi

-

Laporkan perubahan sehubungan dengan pengkajian data (misal bunyi napas, sputum, efek dari pengobatan)

-

Lakukan pemeriksaan laboratorium sputum

3) Diagnosa 3 : Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan Tujuan : Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam diharapakan pola napas kembali efektif dengan kriteria hasil : -

Ekspansi paru optimal dan simetris kanan kiri

-

Tidak ada sesak napas

-

RR dalam batas normal (16-20x/mnt)

-

Irama teratur

Intervensi : -

Kaji frekwensi napas, irama, kedalaman dan kecepatan pernapasan

-

Observasi adanya pola napas abnormal seperti bradipnea, takipnea dan hiperventilasi

-

Monitor hasil rongent

-

Catat pergerakan dada dan penggunaan otot bantu pernapasan

-

Auskultasi suara napas dan catat adanya suara napas tambahn

-

Berikan pasien posisi semi fowler/fowler

-

Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang indikasi pemberian oksigen dan tujuannya

-

Kolaborasi : Pemberian terapi oksigen sesuai indikasi dan obat bronkodilator

-

Monitor aliran oksigen, keefektifan terapi oksigen, dan monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigen.

4) Diagnosa 4 : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hiperventilasi Tujuan : Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam diharapakan pertukaran gas adekuat dengan kriteria hasil : -

Tidak sianosis

-

Kesadaran komposmentis

-

Hasil AGD dalam batas normal

-

RR normal (16-20x/mnt)

-

Tidak ada nyeri kepala, pusing maupun malaise

Intervensi a) Manajemen asam basa -

Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan pernapasan

-

Pertahankan kepatenan jalan napas dan terapi IV

-

Monitor status hemodinamik (Tanda vital dan saturasi O2 secara continue) dan tingkat kesadaran

-

Monitor gambaran seri AGD dan elektroklit

-

Observasi warna kulit, membran mukosa, kuku dan adanya dispnea

-

Auskultasi bunyi napas abnormal, suara napas tambahan dan adanya sianosis perifer

-

Catat adanya cianosis perifer

-

Berikan posisi yang nyaman untuk memaksimalkan potensial ventilasi

-

Berikan posisi semi fowler atau posisi yang mengurangi dispnea

-

Jelaskan pada pasien dan keluarga tujuan dari tindakan dan pengobatan serta alat bantu yang digunakan (missal ventilator, oksigen, pengisapan)

b) Kolaborasi -

Berikan oksigen yang dilembabkan sesuai indikasi

-

Berikan bronkodilator sesuai dengan keperluan

-

Pasang ventilasi mekanik bila diperlukan

-

Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan akan pemeriksaan gas darah srteri dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan sesuai dengan adanya perubahan kondisi pasien

-

Laporkan perubahan sehubungan dengan pengkajian data (misal bunyi napas, pola napas, analisa gas darah arteri, sputum, efek dari pengobatan)

Daftar Pustaka

Corwin. (2010). Hand Book Of Pathofisiologi. EGC : Jakarta

Doenges,M.E & Geissler, A.C., (2006). Rencana Asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M. EGC: Jakarta

Harsono. (2010). Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta

Herdman, T. Heater. (2012). NANDA International Diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 2012-2014. EGC : Jakarta.

http://kamuskesehatan.com/arti/kontusio-serebri/di unduh tgl 23 Oktober 2013.

Mansjoer, A. (2002). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FK-UI : Jakarta

Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000

Smeltzer, S. C & Bare, G. B. (2006) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddart, Edisi 8. Vol 3 EGC, Jakarta.

Wilkinson, Judith, 2007, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. EGC : Jakarta.

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KLIEN DENGAN CONTUSIO CEREBRI

Disusun Oleh : RIDA NURHAYANTI (070112b026)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS STIKES NGUDI WALUYO UNGARAN 2013

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF