love in Sunset (Novel)

March 22, 2017 | Author: Luqman Taufiq | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download love in Sunset (Novel)...

Description

Love in sunset

Luqman Taufiq 1

KEPADA MEREKALAH AKU UCAPKAN TERIMA KASIH

Selepas dari semua yang telah beliau hendaki, tak luput rasanya diriku berterima kasih pada-Nya. Terima kasih Tuhan. Yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada diriku. Membiarkanku tetap hidup dan bernafas sehat hingga saat ini. Terima kasih atas kesempatan yang engkau berikan, dalam menyelesaikan novel ke duaku ini.

Terima kasih kepada ke dua orang tuaku (Luhmiharso dan Kasiatun), para pembaca, teman-temanku, orang terdekatku, guru-guruku. Terima kasih banyak. Aku sangat menyayangi kalian semua, hingga sampai sekarang.

2

DAFTAR ISI

Kepada Merekalah Aku Ucapkan Terima Kasih ...........................................

2

Daftar Isi.........................................................................................................

3

Prolog .............................................................................................................

5

Selamat Pagi ...................................................................................................

7

Samuel Mengenalkan Sahabatnya..................................................................

17

Pertemuan Kedua Yang Tak Disengaja .........................................................

22

Fiki Mengajakku Mencari Novel ...................................................................

29

Potongan-Potongan Masa Lalu Yang Menggangguku ..................................

36

Pertemuan Itu Membuatku Jatuh Cinta ..........................................................

48

Secepat Itu Jatuh Cinta, Secepat Itu Aku Terluka..........................................

55

Aku Menunggu Cinta Yang Tak Pasti ...........................................................

57

Aku Yakin Dengan Perasaanku Dan Aku Akan Menunggunya ....................

60

Harapanku Terwujud, Dia Telah Kembali .....................................................

62

Aku Mengajaknya Kerumahku ......................................................................

72

3

Hari Yang Indah Untuk Cinta Yang Telah Bersemi ......................................

88

Secepat Itu, Fiki Melamarku ..........................................................................

109

Dua Kejutan Yang Tak Pernah Terlupakan ..................................................

118

Menikahi Fika, Adalah Pilihanku ..................................................................

126

Hari Lamaranku Dengan Fiki ........................................................................

128

Fika Adalah Adik Kandung Fiki ....................................................................

138

Potongan Masa Lalu Itu .................................................................................

142

Hari Ini Aku Resmi Mengubur Harapan Itu Hidup-Hidup ............................

147

Aku Mengutuk Diriku, Mengutuk Harapanku ...............................................

151

Fika Jatuh Sakit ..............................................................................................

158

Kuatkan Dirimu Fika......................................................................................

162

Bertahanlah Fika ............................................................................................

166

Selamat Jalan Fika..........................................................................................

175

Epilog .............................................................................................................

179

Tentang Penulis ..............................................................................................

183

4

prolog

Rembulan malam yang menampakkan dirinya begitu anggun. Dengan cahaya sinar yang

mempesona dikeheningan malam. Angin yang berhebus

lembut menegaskan suatu roman yang sangat indah. Semilir angin itu melukiskan suatu malam yang sepi abadi. Disertai rintik-rintik gerimis keci yang semakin membuat malam ini begitu dingin menggigil. Ya memang dipertengahan bulan ini telah terjadi pergantian musim yang begitu drastis. Terkadang panas dan terkadang turun hujan tak menentu. Halilintarpun menggelegar memecahkan keheningan malam. Terlihat gelap di sudut-sudut rumah. Tanpa penerangan, dan seisi rumah saat itu memamngvtelah tertidur dan mematikan semua lampunya. Hanya seberkas cahaya rembulan yang menyusup di balik tirai jendela kamar seorang gadis. Fika Anggraini terlihat duduk dan menopang dagunya dengan kedua tangan. Ia menatap kearah luar cendela. Menatap indahnya rembulan yang menggantung

di langit biru yang sedang mendung. Ia hembuskan nafas

panjangnya. Fikirannya begitu kosong. Hanya terdengar suara tik..tik..tik sebuah jam beker, dan gemericik hujan yang tiada hentinya. Begitu gelap saat itu. Ia

5

memang sengaja tak menghidupkan lampu kamarnya. Ia merasa sangat kelelahan dengan rutinitas hari ini. Pekerjaannya yang begitu banyak telah menguras tenaganya. Fika menatap jam beker, sudah menunjukkan pukul 01.15. Entah mengapa ia tak bisa memejamkan mata. Padahal sebenarnya tenaganya yang telah terkuras lebih memudahkan ia untuk cepat tertidur. Tiba-tiba ia merasakan pening di kepalanya. Rasa pening itu lama kelamaan menjadi rasa sakit yang tak bisa ia tahan. Dadanya sesak bahkan sulit sekali untuk bernafas. Fikirannya begitu kacau. Bayangan itu datang lagi. Telinganya tiba-tiba mendengung. Terdengar suara klakson kereta yang sangat keras di telinganya. Terlihat pula begitu jelas lalu lalang orang yang berlarian dan menjerit di fikirannya. Pekikkan suara sirine kebakaran, tangisan beberapa orang dan teriakan, serasa semua suara tersebut memenuhi telinganya dan fikirannya. Arrggghhhh.... ia menjambak-jambak rambutnya. Ia tak bisa menahan rasa sakit kepala yang begitu hebat. Serasa diotaknya ada sebuah bom yang siap meledak saat itu juga. Bayangan dan suara-suara itu datang lagi, dan selalu muncul di fikirannya. Entah dari mana datangnya suara dan bayangan itu. Setiap malam, setiap waktu, selalu ia dihantui oleh suara dan bayangan itu. Padahal jarak antara rumahnya dan stasiun kereta sejauh tiga ratus meter dan tak pernah terdengar suara kereta sedekat itu. Tapi anehnya suara itu begitu jelas dan selalu menghantui jiwanya setiap saat. Fika merasa sangat terganggu akan semua itu. Keadaan kembali normal. Sampai akhirnya Fika tertidur dalam bayang-bayang yang menakutkan.

6

Selamat pagi

Mentari pagi telah bersinar dengan terangnya. Hujan tadi malam membuat pagi begitu segar. Ya...cuaca hari ini sangatlah cerah. Terlihat awan putih yang menggantung indah diatas langit. Burung-burungpun tak ketinggalan meramaikan pagi yang cerah ini. Fika bangun dan membuka jendela kamarnya. Ia hirup udara luar dalam-dalam hingga memenuhi rongga perutnya. Kemudian ia hembuskan secara perlahan-lahan. “Segar..” Fika tersenyum. Minggu pagi yang indah. Fika merapikan kamarnya yang terlihat sedikit berantakan. Ia melihat jam dinding, jam menunjukkan pukul 08.30. Fika tertegun sebentar, sepertinya ada yang ia fikirkan. Fika menggaruk-garuk kepala dan mencoba untuk mengingat-ingat. Jam delapan pagi, apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus ia kerjakan di hari liburnya? Dengan siapa ia akan pergi hari ini? Ia teringat sesuatu, merangkai potongan-potongan dalam ingatanya. “Samuel”.” Jam sembilan”,“Kafe”,”Dekat tempat kerjanya.” Ia mulai merangkai kata-kata yang ada di fikiranya. Hari ini Fika ada janji dengan Samuel di kafe dekat tempat kerjanya jam sembilan. “Astaga, aku lupa kalau hari ini aku ada janji dengannya.

7

Ia kembali menatap jam diding pukul 08.35. Mati aku sekarang!” Fika bergegas menuju kamar mandi untuk mandi secepat kilat. Mengejar waktu agar segera bisa menepati janjinya. Setelah ia keluar kamar mandi, ia melihat jam dinding kembali. Pukul 08.50. Kurang sepuluh menit lagi. Ini memang sudah pasti telat. Gara-gara tidur larut malam, sekarang ia bangun kesiangan. Tak hiraukan akan hal itu. Ia kenakan baju

seadanya

tanpa

pilih-pilih.

Pukul

08.55 Fika bergegas

meninggalkan rumah. *** Di sebuah kafe, terlihat banyak orang yang berlalu lalang disana. Terlihat sesosok pria yang sedang duduk sendiri. Ia terus memandangi jam tangannya. Pukul 09.55. Terlihat ia sedang menunggu seseorang. “Sudah hampir satu jam, apakah dia akan kesini?” Pria itu menunggu dengan was-was. Ia menyesap teh hangat yang telah terhidang, untuk menenangkan dirinya. “Ahh.. enak sekali teh ini?” Puji pria dengan teh yang telah ia pesan. Ia kembali menatap ponselya. Ia mencoba menanyakan keberadaan temannya melalui pesan singkat. Mulai mengetik SMS. “Huh.. aku harap tak terjadi apa-apa dengannya.” Ia hembuskan nafas dalam-dalam dan menaruh ponselnya diatas meja. Dari arah kejauhan ada seorang gadis yang sedang membuka pintu kafe. Terlihat sedang mencari- cari seseorang. Memandangi sekeliling orang-orang yang ada di dalam kafe. Melihat ada seorang pria yang duduk di pojok sendiri, ia melambaikan tangan dan menghapiri pria tersebut.

8

“Maafkan aku Samuel, aku terlambat.” Ucap Fika yang merasa bersalah terhadap Samuel. Samuel hanya diam dan menatap wajah Fika, dengan mengkerutkan keningnya. “Kamu marah ya Sam sama aku?” Fika menundukkan kepala dan menekuk wajahnya didepan Samuel. Samuel tetap terdiam dan menghembuskan nafas dalam-dalam, kemudian ia memperlihatkan wajah muramnya. “Sudah satu jam aku menunggumu Fik. Aku kira kamu lupa akan pertemuan kita kali ini.” Wajah samuel datar menatap Fika. Kata Samuel yang sedikit kecewa dengan Fika yang telat datang. Fika hanya terdiam dan tetap berdiri didepan Samuel. Ia merasa sangat bersalah telah membuat Samuel menunggu terlalu lama. “Maafkan aku.” Fika menundukkan wajahnya. Dirinya masih diliputi perasaan bersalah. Fika tak berani menatap wajah Samuel. Ia ketuk- ketukkan jemarinya perlahan di atas meja. “Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Tak apa-apa kan dengan dirimu Fik?” Samuel tertawa getir melihat tingkah laku Fika yang ketakutan dengannya. “Maafkan aku Sam. Aku bangun kesiangan sehingga aku tak bisa datang tepat waktu.” Fika masih ketakutan jikalau Sam memarahinya. Ia masih membenamkan wajahnya ke bawah. “Sudahlah Fika.” Senyum Samuel menyeringai. “Ahh kamu ini kayak baru mengenalku saja. Kita ini sudah kenal lama bukan? Tak sepantasnya kamu takut 9

denganku. Yang terpenting kamu sudah memenuhi janjimu denganku, aku sudah sangat senang kawan. Hahaha..” Sam tertawa melihat tingkah Fika yang ketakutan seperti itu. “Ayolah, jangan terlalu sungkan. Ini tadi sebagian dari aktingku. Penasaran saja dengan raut wajahmu jika ketakutan seperti apa?” Fika tersenyum kecut. “Ohh.. jadi kamu tuh tadi ngerajain aku ya Sam. Dasar cowok resek.” Fika gantian yang memarahi Sam sambil memperlihatkan kekesalan wajahnya. “Sudah deh jangan marah. Aku saja tak marah menunggumu hampir satu jam. Masak kamu baru aku kerjain sedikit sudah mau makan aku hidup-hidup.” Sindir Sam saat itu. “Aku kira kamu marah beneran denganku Sam. Memang sih aku salah telah datang terlambat? Makanya itu aku merasa bersalah dengan kamu Sam? Fika langsung mengambil teh Samuel dan meminumnya.”Cleguk..clegukk.” “Hey, teh siapa itu yang kamu minum?” Teriak Samuel yang menyadari teh yang ia pesan telah di rebut oleh Fika. Fika tertawa. “Haus Sam. Tak apa ya aku habisin?” Fika tetap meneruskan meminum teh Samuel sampai tetes terakhir. “Hmmm.. enak Sam?” Fika mengusap bibirnya yang basah oleh air teh. “Enak ya enak. Tapi gak punyaku juga kali yang di minum. Kamu kan masih bisa pesan.” Gerutu Samuel yang melihat Fika dengan sengaja menghabiskan tehnya. Cepat- cepat Samuel memalingkan muka karena kecewa.

10

“Kelamaan Sam. Keburu aku mati kehausan.” Sela Fika “Ahh.. kamu itu tetap saja tak berubah dari dulu. Gadis resek.” Samuel Tersenyum melihat tingkah laku sahabatnya saat itu. “Eh bagaimana keadaanmu setelah selesai keluar dari rumah sakit minggu lalu?” Tanya Samuel kepada Fika. Sebelumnya Fika pernah dirawat di Rumah Sakit. Ia tiba-tiba pingsan tanpa tau sebabnya. Dokterpun belum mengetahui penyakit apa yang kini Fika derita. “Sudah membaik. Akupun sudah mulai kerja seperti biasa. Eh dikantor, aku tak pernah bertemu dengan Bella pacarmu. Kemana dia?” Tanya Fika kepada Samuel. Samuel tak langsung menjawab pertanyaan Fika. Ia terlihat murung. Sesekali ia hembuskan nafas panjangnya. Kata-kata mulai muncul di mulut samuel. “Bella sudah keluar dari kantor selama kamu dirawat dirumah sakit. Ia akan pindah dari kota ini, dan akan melangsungkan pernikahan.” “Oh ya, kenapa kamu tak memberitahuku sebelumnya? Kalian berdua mau menikah. Sungguh ini suatu kejutan hebat. Selamat ya.” Fika mengulurkan tangannya untuk mengucap selamat kepada Sam. Namun Samuel tak membalas uluran tangannya. Samuel masih terduduk dan memperlihatkan wajahnya yang murung. Samuel tak bernafsu dengan ucapan itu. Ia tersenyum getir. “Tak perlu Fika!!” Kata Sam dengan nada rendah. Fika menurunkan tangannya dan terlihat bingung.

11

“Loh kenapa Sam, ini berita baik antara kalian berdua. Kenapa kamu bersedih sobat?” Fika menanyakan sikap Sam yang terlihat begitu aneh. Kenapa Samuel menceritakan kabar Bella mau menikah dengan perasaan yang buruk. Sebenarnya ia harus senang karena mereka berdua akan menikah. “Bukan dengan diriku. Tapi dengan orang lain.” Suara Samuel terdengar serak. Samuel menundukkan wajahnya. Sepertinya ia sangat kecewa. “Ohh.. maafkan aku. Aku tidak mengetahuinya.” Fika merasa bersalah. Ia tak mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. “Ada apa dengan hubungan kalian Sam?” Fika menatap Samuel dengan dingin. “Aku putus dengan Bella.” Sam menghela nafas dalam-dalam. Fika menyipitkan matanya dan memandangi Samuel dalam-dalam “Bukannya hubunganmu dengan Bella baru berjalan tiga bulan? Kenapa secepat itu?” “Ya aku tau. Tapi mungkin aku bukan pilihan tepat dari orang tuanya. Bella di jodohkan orang tuanya dengan laki-laki. Yang aku dengar seperti itu.” terlihat Samuel begitu sedih menceritakan hubungannya dengan Bella. “Oh.. seperti kisah “Siti Nurbaya” saja. Tabahkan dirimu sobat. Aku turut prihatin dengan dirimu sekarang.” Fika mencoba menenangkan perasaan sedih Samuel.

12

Tiba-tiba ponsel Sam berdering memecah keheningan. Sam cepat-cepat mengambil ponselnya di meja dan mulai mengetik SMS. Sam terlihat senyumsenyum sendiri saat itu, bahkan tertawa. Begitu aneh, yang tadinya ia muram sekarang berubah menjadi ceria. Ia meletakkan ponselnya dan masih melihatkan senyumannya yang tak jelas. “Kamu kenapa Sam? Kamu sehat bukan?” Tanya Fika yang merasa aneh melihat perubahan sikap Samuel yang begitu drastis. “Ah.. tak apa kawan. Oh ya sampai dimana pembicaraan tadi?” “Dari perjodohan Bella Sam.” Sahut Fika. Tiba-tiba Sam kembali menunjukkan wajahnya yang muram. Suasana kembali mendung “Aneh!!!” Fika menyipitkan mata memandang Samuel. “Kenapa aneh?” Samuel masih tak mengerti dengan perkataan Fika. “Memang benar-benar aneh dengan dirimu Sam.” “Ada apa dengan diriku Fik?” Samuel tak mengerti. “Kamu tuh kayak musim pancaroba. Sebentar-sebentar panas, sebentarsebentar hujan.” Sahut Fika “Musim pancaroba? Maksudnya?” “Tadi kamu bercerita tentang Bella kamu terlihat sangat sedih. Akupun turut prihatin dengan keadaanmu. Setelah kamu menerima SMS, wajahmu berubah drastis menjadi ceria. Seperti orang yang menang undian lotre. Terus aku

13

menanyakan lagi tentang hubunganmu dengan Bella, kamu berubah lagi menjadi muram. Benar-benar aneh bukan?” “Itulah bedanya Cintya dengan Bella.” Senyum Samuel menyeringai. “Loh siapa lagi itu Cintya?” Tanya Fika, yang sepertinya tak pernah mendengar nama itu. “Cintya adalah pacar baruku sekarang. Nih kalau mau lihat fotonya.” Samuel memperlihatkan Foto Cintya di ponselya. Terlihat seorang cewek berkulit putih, dan manis sedang berfoto dengan Samuel. “Hmmmm...” Gumam Fika. Ia masih bingung dengan sikap Samuel yang begitu gampang jatuh cinta terhadap wanita. “Terus bedanya apa antara Cintya dengan Bella?” Tanya Fika penasaran. “Cintya itu kisah bahagiaku dan Bella adalah kisah kesedihanku.” “Bukannya dulu kamu bilang Bella adalah kisah bahagiamu, dan Wanda adalah kisah kesedihanmu?” Celetuk Fika “Itu empat bulan yang lalu. Semua telah berganti topik sobat. Hahaha..” Samuel tertawa lebar. Dan Fika hanya terdiam melihat sifat sahabatnya yang membingungkan. “Kamu memang belum sadar juga Sam. Kamu masih seperti dulu. Cowok Play boy.” Fika menyipitkan matanya dan mengacungkan jari telunjuknya kearah Samuel

14

“Hehehehe.. yah inilah diriku. Mati satu tumbuh seribu. Hahahha..” Samuel tertawa terbahak-bahak. “Wah kalau Bella tiba-tiba mati terus kamu pacaran sama seribu cewek, bisa kiamat mendadak ini bumi. Hahahah....” Fika ikut tertawa. Mereka berdua tertawa lepas saat itu. Ponsel Sam berdering kembali. Ia secepat kilat mengambil ponselnya dan mengangkat telfon. “Hallo.., iya... dengan Samuel, ini dengan siapa..., Hai sob sudah lama tak pernah

melihatmu,

bagaimana

kabarmu..,

akupun

baik-baik

pula..apa..,

benarkah... kapan... oh sudah sampai sini.. aku ada di sebuah kafe, jika kau mau kesinilah... sama Fika teman baikku. Di jalan anggrek, kafenya di pojok jalan.. ia aku tunggu ya sekarang.. sama-sama...” Sam menutup ponselnya. Dan kembali menaruh ponselnya diatas meja. Ia kembali menatap Fika. “Sam.. siapa??” Fika bertanya siapa yang telah menelfon Samuel. “Temenku Fika?” Samuel tersenyum kerah Fika. “Bukan cewek lain, Bella mungkin? Wanda atau Cintya?” “Bukan Fika, ini sahabat lamaku namanya Fiki? Fiki itu temanku dari SMA dulu. Dia bekerja di Jakarta. Dan sekarang ia akan datang ke Surabaya untuk menemuiku. “Sekarang??”

15

“Iya sekarang, maaf ya Fika. Dia aku suruh datang di kafe ini. Aku harap kamu tak keberatan dengan rencanaku. Aku bisa mengenalkannya ke kamu. Dia anaknya asyik kok. Aku yakin kamu bakalan suka dengannya.” Jelas Samuel. Sepertinya Fika tak begitu suka dengan kedatangan sahabat Sam. Ia tak ingin jika pertemuannya dengan Samuel terganggu dengan orang lain. Fika tak begitu menyukai dengan orang baru. Tapi Fika tak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan Samuel. Dan sepertinya Samuel begitu yakin bahwa ia akan menyukai sahabatnya. Dengan kata-kata “aku yakin kamu bakalan suka dengannya.” Padahal Samuel juga tahu bahwa ia tak gampang bergaul dengan orang. Terlebih dengan orang asing. “Kenapa Samuel Begitu yakin aku akan menyukainya?” Fikiran Fika mengulang-ulang kalimat terakhir Samuel. “Baiklah, aku akan menerima kedatangan sahabatmu.” Seru Fika.

16

Samuel mengenalkan sahabatnya

Tak beberapa lama ada seorang pria bertubuh tinggi, tampan dan berkulit putih membuka pintu kafe. Ia terlihat sedang mencari seseorang. Ia pandangi seluruh kafe. Setelah mengetahui orang tersebut, Samuel melambaikan tangan dan memanggilnya “Hai.. kemari.” Seru Samuel. Pria tersebut menuju meja samuel dan berdiri dihadapannya. “Samuel..?” Sapa pria tersebut. “Fiki Ramadan..? Samuel bangkit dari tempat duduknya dan berdiri. Mereka berjabat tangan dan berpelukan. “Sudah lama sekali aku tak pernah mendengar kabarmu sobat. Bagaimana keadaanmu sekarang?” Sambil menepuknepuk bahu Fiki dan terlihat begitu gembira. “Baik sob. Maafkan aku jika aku tak pernah menghubungimu setelah acara wisuda kelulusan.”

17

“Ayo silahkan duduk?” Samuel manerik kursi dan mempersilahkan Fiki untuk duduk. “Perkenalkan ini temanku, Fika Anggraini, Fika ini kenalkan teman yang aku ceritakan tadi, Fiki Ramadan.” “Fika..” Fika mengulurkan tangannya. “Fiki..., senang berkenalan dengan anda?” Fiki membalas jabat tangan Fika. Ia tersenyum kearah Fika. “Fiki dan Fika. Eh sepertinya nama kalian kembar ya. Kayak saudara kembar saja. Hahaha..?” Samuel tertawa lebar saat itu. Fiki dan Fikapun juga tertawa melihat celotehan Sam. “Sebelumnya kamu kerja dimana Fik?” tanya Samuel. Fika menyela pertanyaan Samuel “Sebentar, maksud kamu itu bertanya kepada siapa? Fiki, atau diriku.” Fika agak bingung dengan panggilan Samuel, ia bertanya kepada siapa? Fika, atau Fiki. Mengingat nama mereka berdua hampir sama. Cuma beda huruf belakangnya saja. “Maaf saya ulangi lagi pertanyaannya. Ehemm..” Samuel berdehem. “Sebelumnya kamu kerja dimana FIKI? “Samuel mengulangi kalimat tanyanya. Tapi kali ini ia perjelas. Pertanyaannya menuju pada sahabat lamanya. Pertanyaannya untuk Fiki. Setelah menyadari pertanyaannya ditujukan kepadanya, Fiki langsung menjawab. “Ohh. lulus kuliah aku merantau di Jakarta. Aku bergerak di bidang

18

Event Organiser. Ya sudah lama juga sih aku bergelut di bidang itu. Aku membantu usaha pamanku.” “Aku sudah mendengar itu dari teman-temanmu. Tapi aku tak tahu kalau kamu merantau ke Jakarta Aku kira kamu sudah di boyong dengan ayahmu ke Singapura.” Senyum Samuel menyeringai. Ia sangat senang sekali bisa bertemu dengan sahabat lamanya. “Ohh.. tidak Sam. Aku begitu mencintai indonesia. Dan aku dari dulu tak tertarik untuk kerja di Singapura. Aku lebih suka makanan indonesia.” “Yang jelas kamu juga lebih suka cewek indonesia bukan. Hahaha.” Sam kembali tertawa, begitu pula dengan Fiki. “Eh.. sepertinya Fika juga pernah cerita punya saudara di Singapura. Benar bukan?” tanya Samuel kepada Fika. “Iya ibuku pernah cerita. Kalau aku juga punya saudara di sana. Tapi aku tak mengenal dia. Soalnya aku tak pernah bertemu dengannya.” Fika teringat bahwa suatu hari ibunya pernah bercerita kalau ada keluarganya yang tinggal di Singapura. Fika hanya meng iyakan perkataan ibunya. Fika tak tahu persis siapa keluarganya itu. “Ohh.. mungkin aku bisa mengajakmu ke Singapura untuk mencari saudaramu disana?” Sahut Fiki dengan penuh semangat. “Hey.. Aku saja tak pernah tahu wajahnya seperti apa? Alamatnya dimana? Bagaimana kalau acara mencari saudaraku diganti dengan acara jalanjalan. Itu mungkin lebih asyik?” Kata Fika sambil tersenyum kearah Fiki.

19

“Enakan di kamu Fika. Baru kenal Fiki saja sudah mau minta diajak jalanjalan. Aku saja yang sudah kenal lama tak pernah diajak jalan-jalan kesana?” Protes Samuel saat itu. “Ya itu keunggulanku dari kamu Sam. Hahaha?” Fika tertawa lebar. “Boleh-boleh. Nanti kita sekalian jalan-jalan kesana ya? Lihat karapan sapi?” Sahut Fiki. Fika menyipitkan matanya dan menatap Fiki. Ia memikirkan kalimat terakhir Fiki melihat karapan sapi. Fika mulai sadar “Eh.. bukannya karapan sapi itu ada di Madura ya? Masak ada karapan sapi di Singapura. Kamu mau ajak aku kemana? Ke Singapura atau ke Madura?” Fika bingung sambil garuk-garuk kepala. “Ya jalan-jalannya ke Madura saja lah. Lihat karapan sapi. Hahahaa..” Fiki kembali tertawa lepas melihat tingkah laku Fika saat itu. “Ahh.. dasar kamu. Semua cowok itu sukanya ngerjain aku. Samuel, dan sekarang kamu, cowok yang baru ku kenal. Dasar cowok-cowok nakal.” Gerutu Fika saat itu. Samuel dan Fiki kembali tertawa. Fika mengerutkan wajahnya kesal. “Hehehe.. senang bertemu denganmu Fika. Kamu itu sangat cerewet menurutku.” Fiki tersenyum kepada Fika. “Aku cerewet. Dari mana? Sepertinya anda salah orang deh?” Sanggah Fika yang tak mau ia di bilang crewet.

20

“Betul Fiki, Temanku yang satu ini memang sangat cerewet. Yah maklum lah sesuai dengan profesinya.” Sahut Samuel. “Memang profesimu apa Fika?” Tanya Fiki penasaran. “Dia seorang penyiar radio. Tepatya radio satwa. Hahaha..” Cepat-cepat Samuel menyela pertanyaan Fiki sebelum Fika menjawabnya. “Really. It’s interesting job? Hahaha..” Sahut Fiki dengan terus tertawa. “Tidak-tidak. Enak saja Sam kamu bilang aku penyiar radio satwa. Aku itu penyiar radio rusak. Hahahha.. puas kamu Sam?” Fiki memicingkan matanya ke arah Samuel dan kembali tertawa. “Hahahahha... lucu-lucu.” Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak. Terlihat sangat akrab diantara mereka bertiga. Fika teringat dengan kata-kata samuel. "aku yakin kamu bakalan suka dengannya.” Mengapa Samuel begitu yakin aku menyukai orang yang baru aku kenal? Ternyata anggapan Samuel benar. Ia menyukai teman samuel tersebut. Fika merasa sangat akrab dengan Fiki. Ia begitu mudah bergaul. Semua tak seperti bayangannya. Ia menganggap orang yang baru dikenal tak pernah menyenangkan. Ternyata anggapannya itu salah. “Setidaknya aku mempunyai teman baru yang asyik diajak bicara selain Samuel.” Gumam Fika dalam hati. Fika terseyum menatap Fiki.

21

Pertemuan kedua yang tak di sengaja

Setelah pertemuan tempo hari di kafe itu, Fika tak pernah bertemu lagi dengan Samuel. Walaupun mereka berdua satu tempat kerja, namun pembagian sift siaran yang tak pernah sama membuat mereka jarang sekali bertemu, bahkan sama sekali tak pernah bertemu. Sore selepas pulang kerja, terlihat Fika sedang menunggu kereta yang akan membawanya pulang. Ia berdiri di depan jadwal keberangkatan kereta dan mencocokkan dengan jam tangannya. Pukul 16.15 dan jadwal kereta berangkat pukul 16.00. “Sial.. keretanya sudah berangkat lima menit yang lalu. Huft.. mau tak mau aku harus menunggu satu jam lagi.” Gerutu Fika. Ia balikkan badan dan duduk di lobby tunggu kereta. Fika duduk dengan memeluk tas rangselnya yang terlihat begitu besar. “Berat banget ini tas.” Merasa keberatan Fika menaruh tas rangselnya di bawah. Fika mengambil buku novel di tasnya dan ia mulain membaca dengan asyik.

22

Dari arah samping. Terlihat seorang pria yang sedang berjalan agak cepat dengan membaca sebuah buku. Sepertinya ia tak melihat kedepan. Ia asyik dengan buku bacaanya. Ia pun terus berjalan. “Gubraakkkk...glodaakk...@#*!!!!! Pria itu jatuh terjungkal setelah menabrak tas rangsel besar miliknya. Pria itu meringis kesakitan, tubuhnya terjerembab di lantai, Pria itu berusaha untuk bangkit dan berdiri. Fika kaget ketika ada seseorang yang terjatuh setelah menyandung tas besarnya. “Uppss.. sorry. Aku tak melihat tasmu.” Pria itu membenarkan posisi tas Fika yang telah ia tabrak ke posisi semula. “Fiii.. aduh siapa ya, aku lupa. Fika, eh maksudku Fiki. Ya benar, Fiki temannya Samuel yang tempo hari kita pernah bertemu.” Sahut Fika serasa mengenali wajah orang yang telah menabrak tas rangselnya. Dan memang benar, Pria itu adalah Fiki Ramadan, teman Samuel. Mereka tak pernah menyangka jika akan bertemu kembali. Mereka berdua saling melempar senyum dan berjabat tangan. “Ohh.. Fika, senang bertemu lagi denganmu. Ngomong-ngomong apa yang kamu lakukan disini?” Tanya Fiki yang begitu senang bertemu dengan Fika saat itu. “Aku sedang menunggu kereta. Aku habis pulang kerja. Apesnya aku ketinggalan kereta dan harus menunggu satu jam lagi dari sekarang.” Terlihat Fika

23

menekuk wajahnya, ia kecewa akan keretanya yang sudah berangkat lima belas menit yang lalu. “Kalau kamu Fiki, kamu ada perlu apa di stasiun ini?” Tanya Fika. “Aku baru saja pulang dari Jakarta setelah mengurusi kepindahan kerjaku. Besok adalah hari pertamaku bekerja di Surabaya.” Fiki tersenyum. “Ohh.. kamu pindah ke Surabaya. Jadi Welcome to Surabaya, Fiki.” Fika membalas senyuman Fiki. Ehh.. bagaimana kalau aku mengajakmu makan dulu di warung itu. Selagi kamu juga sedang menunggu kereta satu jam lagi. Aku traktir deh, sebagai permintaan maafku yang telah menabrak tas rangselmu.” Fiki mengajak Fika untuk makan di warung pojok stasiun sambil menunggu kedatangan kereta satu jam lagi. Setelah sampai di warung tersebut, Fiki mengambil daftar menu yang di tawarkan. “Sepertinya makan ini enak.” Fiki menunjuk satu menu “Rawon Setan.” Fiki tertawa setelah membaca menu itu. Ia menyodorkan daftar menu ke arah Fika. “Bagaimana menurutmu, kamu mau makan apa?” “Terserah kamu deh Fiki.” Fika menyerahkan keputusan memilih menu makan siangnya kepada Fiki. Fiki mengerutkan keningnya, ia bingung memilih menu apa yang cocok buat Fika. “Oke deh. Kalau terserah aku. Kalau salah menu jangan menyesal ya?” Pak pesan Rawon setan dua porsi Level 5 minumnya es degan.” Fiki memanggil

24

pelayan warung. Pelayan warung datang dan mencatat pesanan Fiki kemudian kembali lagi ke dalam. Sejenak Fika mengerutkan keningnya. “Rawon setan level 5” Fika berfikir sejenak mengingat menu yang di pesan Fiki adalah Rawon setan level 5. Ia tak menyangka bahwa Fiki akan memesankan menu itu. Memang sudah menjadi konsekuensinya, menyeraahkan keputusan memilih makanan kepada Fiki. Mau tak mau ia harus menerimanya. Ia mengingat lagi Level 5. Ia sadar bahwa level 5 adalah level tingakatan pedas, satu mangkuk rawon dengan lima cabai yang begitu pedas yang akan ia santap. “Waaaa... aku tak suka pedas.” Fika ingin sekali menjerit dalam hatinya. Ia mencoba menenangkan diri. “Tenang Fika, tak akan terjadi apa-apa denganmu. All is well“ Fika menghembuskan nafas panjang. Tak apalah. Lagian stok obat diareku masih sangat banyak dirumah.” Fika mencoba menenangkan dirinya. “Kamu tak apa-apa?” Tanya Fiki yang bingung melihat wajah Fika mendadak panik. Secepatnya Fika tersenyum kearah Fiki. “Aku tak apa-apa, aku sangat suka dengan menu pilihanmu “Rawon setan level 5”. Sepertinya itu menarik, Hehehehe..” Fika memaksakan senyumannya yang getir. Padahal ia akan menduga bahwa nantinya ia akan terkena diare berkepanjangan. Tak beberapa lama seorang pelayan membawakan dua porsi menu “Rawom Setan level 5 yang masih panas dan dua gelas es degan.” Fika hanya memandang makanan tersebut. Ia menelan ludahnya dan berfikir apa yang akan

25

terjadi setelah makan menu tersebut. “Baiklah. Aku makan.” Gumamnya dalam hati. “Selamat makan.” Fika menyendok rawon dan memasukkan ke dalam mulutnya. Fiki terus memandangi Fika, ia tersenyum melihat wajah Fika yang mendadak memerah akibat kepedasan. “Woww.. pedas. Huh huh.” Fika mulai berkeringat. Ia tak mempedulikan rasa pedas. Yang ia tahu perutnya sudah keroncongan dari tadi. Fika terus melahap makanannya. Fiki hanya tersenyum melihat tingkah laku Fika. “Mau tambah makanan lagi?” Tanya Fiki. “Hehehe.. ah sudahlah Fiki. Ini sudah cukup menurutku.” Sahut Fika dengan nada agak malu-malu, sambil tetap mengunyah makanannya. “Tak apa.. mumpung ada yang mentraktirmu sekarang.” “Bungkus ya.. hehehe..” “Oh. Mau bungkus. Ya sudah aku pesankan.” “Ehh tak usah.. aku bercanda Fiki. Ini saja belum habis.” “Ya siapa tahu orang tuamu tidak masak di rumah. Jadi lumayan kan buat makan tengah malan nanti.” “Makan tengah malam? Emangnya aku kuntilanak? Hahaha... kamu bisa aja Fiki.” Fika tertawa dan masih sambil mengunyah makanan. Sesekali mulutnya meniup- niup karena kepedesan. Bahkan bibirnya sudah me merah.

26

“Ya memang kamu kuntilanak. Yang kamu makan sekarang, itu makanannya kuntilanak. ”Rawon Setan.” Sindir Fiki yag dari tadi tersenyum melihat tingkah laku Fika yang kepedesan. “Ehh.. iya juga ya.. tapi enak banget ya rawonnya.” Sambil mengusap keringatnya akibat kepedasan. “Ya enak lah. Kamu sedang kelaparan dan sedang ku traktir pula. Benar kan?” “Siipp.. benar-benar. Hahaha.” Fika tertawa sambil masih mengunyah makanan. Mereka terlihat sangat akrab saat itu. Mereka saling bertukar cerita satu sama lain. Setelah mereka makan, Fiki menuju kasir dan membayar menu makanan yang dipesan. Fika berdiri di samping Fiki dan tersenyum-senyum, melihat Fiki yang mau mentraktirnya kali ini. Setelah itu, mereka berdua kembali ke lobby tunggu kereta. “Makasih ya Fiki atas traktirannya.” Fika terlihat senang dengan kebaikan Fiki yang mau mentraktirnya makan. “Oke deh tak apalah. Aku tahu dirimu selepas kerja pasti sedang kelaparan hebat. Apalagi mengingat pekerjaanmu kan sebagai penyiar radio satwa. Hahahah.. Fiki tertawa puas mengejek Fika, dan Fikapun terlihat cemberut dengan ejekan Fiki saat itu. Terlihat sebuah kereta nampak datang dari kejauhan. Juga terdengar klakson kereta yang meramaikan suasana di dalam stasiun.

27

“Ya sudah deh. Tuh keretamu sudah tiba. Cepat kamu naik, jangan sampai kamu terlambat lagi nanti.” Fiki tersenyum kearah Fika, ia mengacak-acak rambut Fika. Fika membiarkan rambutnya diacak-acak Fiki, ia terus memandangi dan tersenyum. “Fiki begitu tampan.” Gumam Fika dalam hati. “Hati-hati dijalan ya.” Ucap Fiki. Fika menaiki kereta dan melambaikan tangannya ke arah Fiki. Kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun.

28

Fiki mengajakku mencari novel

Tanpa ada kata, bila tak ada niatan untuk berucap. Keindahan itu tak akan selalu nyata dipelupuk mata. Jikalau semua telah tergambar jelas difikiran. Jiwa akan selalu bertanya dalam hati yang selalu mengisi. Pertemuan pertama akan menjadi suatu yang indah. Dan pertemuan ke dua akan menjadi hal yang paling mengesankan. Jika hati sudah menancap pada satu tujuan. Tak ada sesuatupun yang dapat menghalanginya. Entah apa yang terjadi pada rasa ini. Yang jelas pertemuan itu membuat hati ini serasa nyaman. Senyaman hembusan angin malam yang selalu kutunggu kesegarannya. Sejak pertemuan saat itu, antara Fiki dan Fika terlihat sangat akrab. Tak jarang mereka saling berkomunikasi. Entah melalui pesan singkat, ataupun saling telfon-menelfon. Ponsel Fika bedering. “Hallo..” “Hallo selamat pagi.” Seru suara Fiki di sebrang telfon. “Selamat pagi Fiki, ada perlu apa?” “Apakah hari ini kamu libur Fika?” Tanya Fiki

29

“Iya...” Jawab Fika singkat “Apakah hari ini kamu tidak ada acara?” “Tidak...” “Apakah hari ini kamu akan berkumpul dengan keluargamu, ataukah mau jalan-jalan bersama teman-temanmu?” Tanya Fiki lagi. “Sepertinya tidak ada rencana” “Apakah kamu sekarang sibuk?” “Tidak.” Jawab Fika singkat “Apakah kamu sekarang sedang sakit dan tak bisa keluar rumah?” “Tidak. Aku sehat-sehat saja?” Fika mulai sebal dengan pertanyaanpertanyaan Fiki. “Apakah kamu...?” “Stop. Langsung saja, Fiki mau apa?” Fika menyela pertanyaan Fiki yang dari tadi selalu berputar-putar. Suasana hening sejenak. “Aku mau pergi ke sebuah toko buku. Tapi aku tak tahu mau ke toko buku mana? Maklum aku sudah lupa jalan di Surabaya. Apakah kamu orang yang hafal jalan?” “Sepertinya aku cukup tahu jalan?” Fika berkata bangga.

30

“Bagus. Bisakah kamu mengantarku ke sebuah toko buku? Ada beberapa buku yang ingin aku baca. Eh maksudku ada beberapa buku yang mau aku beli?” “Boleh, ide yang bagus. Memang kamu mau beli buku apa?” Tanya Fika yang selalu ingin tahu. “Aku mau beli beberapa novel. Aku ingin beli novel yang berjudul “Penantian di Ujung Jalan, sherlock holmes, 5 cm, Twilight.” dan masih banyak lagi.” “Kamu suka novel ya Fiki?” Tanya Fika. “Iya aku sangat suka dengan novel. Dan beberapa film. Aku sangat menikmati semua itu. Bagaimana denganmu Fika?” “Akupun juga begitu. Aku juga sangat menggemari novel sepertimu. Dan sepertinya novel yang kamu sebutkan itu, aku juga sedang mencarinya. Aku sedang mencari novel “Penantian di Ujung Jalan dan Twiight” , bagaimana kalau kita nanti bagi tugas? “Tugas seperti apa Fika? “Aku nanti yang beli novel yang aku cari. Dan kamu nanti yang beli sherlock holmes dan 5 cm. Nanti kita bisa tukeran novel. Yah itung-itung irit biaya juga kan?” Usul Fika yang sangat pintar masalah irit-mengirit biaya. “Ya. Itu ide yang sangat bagus Fika.” Seru Fiki dalam telfon. “Oke.. kita bertemu dimana?”

31

“Kita bertemu di stasiun kemarin lusa. Jam 9 tepat. Jangan sampai telat oke.” “Oke deh. Sampai bertemu di stasiun ya Fiki?” “Ingat jangan sampai telat ya Fika?” “Siaappp.... laksanakan perintah.” “Sampai bertemu kembali. Bye-bye?” “Bye...” Fiki menutup telfonya dan bersiap-siap untuk pergi ketempat yang sudah mereka janjikan. *** Di stasiun kereta, sudah terlihat Fiki yang sedang duduk di lobi tunggu kereta. Fiki melihat jam yang tergantung besar di stasiun menunjukkan pukul 09.05. “Untung aku tidak terlambat.” Gumam Fiki dalam hati. Ia memandangi setiap kereta yang baru berhenti. Dari arah kejauhan terlihat seorang wanita yang berparas sangat cantik. Wanita itu berjalan dan mendekati Fiki. “Hai Fiki. Aku harap kamu tak terlalu lama menungguku disini.” Sapa Fika. Ia melirik jam menunjukkan pukul 09.07. “Tak begitu terlambat.” Fika tersenyum. “Ohh.. tidak Fika. Baru saja aku menyandarkan diri di kursi ini untuk menunggumu. Ya sekitar dua menit yang lalu.”

32

“Ohh. Aku kira, aku akan terlambat dan tak bisa menjalankan perintahmu untuk datang jam sembilan tepat, di tempat ini. ya memang telat tujuh menit sih.” “Pengecualian jika aku juga terlambat. Hahhaa.. lagian ini juga baru telat tujuh menit menit. Eh bay the way kita mau ke toko buku mana?” Tanya Fiki yang masih bingung mau ke toko buku mana. “Pokoknya. Nanti setelah stasiun ini kita naik bus umum.” Fika mulai menjelaskan rutenya. Fiki hanya diam dengan seksama dan melihat Fika yang serius menjelaskan. “Turun di Rumah Sakit Islam Surabaya. Setelah itu kita jalan kaki sebentar sejauh dua ratus meter menuju Royal Plaza Surabaya. Jalan terus, baru setelah perempatan kita belok kanan. Nah setelah masuk Royal Plaza kita menuju lantai empat pake eskalator, belok kiri terus ada ATM.....” Fika terus menjelaskan rutenya kepada Fiki secara terperinci. Fiki hanya terlihat garuk-garuk kepala, ia merasa kebingungan dengan rute yang ditunjukkan Fika. “Terus setelah ada ATM kemana?” Tanya Fiki menyela pembicaraan Fika. “Setelah sampai ATM tungguin aku dulu. Aku mau ambil uang di mesin ATM buat beli buku.” Fika tertawa menyeringai. “Ohh. Begitu?” Fiki bingung sambil garuk-garuk kepala. Fika melanjutkan penjelasannya lagi. “Setelah dari ATM jalan lurus. Nah di pojok ada toko buku besar. Disitu nanti kita nyari buku.” Jelas Fika. “Jadi bingung. Ya sudah lah. Aku ngikut kamu saja. Lagian yang tahu jalan kota ini kan cuma kamu? Jadi kamu saja yang jadi petunjuk jalannya.”

33

“Ok deh. Ayo kita lets go!!.” Mereka berdua meninggalkan stasiun dan menuju toko buku yang akan dituju. Setelah menaiki sebuah bus kota. Seperti rute yang telah diceritakan oleh Fika. Mereka berhenti di Rumah Sakit Islam Surabaya. Mereka berjalan sejauh dua ratus meter menuju Royal Plaza Surabaya. Jalan terus dan setelah perempatan mereka belok kanan. Masuk ke Royal Plaza dan naik eskalator menuju lantai empat. Belok kiri dan tak lupa setelah menemui mesin ATM, Fika masuk kedalam dan mengambil uang. Fiki menunggu Fika keluar dari ATM. “Sudah selesai bobol ATM?” Tanya Fiki menyindir. “Sudah.” Fika tersenyum. Mereka melanjutkan perjalanannya, mereka jalan terus menuju ke pojok dan masuk di sebuah toko buku yang telah ditentukan. (Memang sedikit ribet. Hehehhe..) Sesampainya di sebuah toko buku. Terlihat mereka berdua sangat sibuk memilih buku. Sibuk memilah satu demi satu buku-buku yang ada di rak. Fiki menuju ke sebuah rak buku novel. Ia terlihat sangat serius dengan pekerjaannya. “Ini dia.” Fiki berseru. Ia mengambil buku novel “5 cm dan sherlock holmes” seri terbaru. Membolak balik buku itu dan membaca sinopsis sampul belakang. “Bagus nih buku, eh kamu sudah dapet buku apa?” Tanya Fiki kepada Fika. “Novel Twilight dan Penantian di Ujung jalan sudah di tanganku.” Jawab Fika.

34

“Bagus!! ”Fiki tersenyum kearah Fika sambil mengacungkan jempolnya. Fiki menuju ke sebuah rak buku fiksi. Ia tertarik dengan sabuah buku yang bersampul rapi dan lucu. Fiki mengambil buku yang berada di rak paling atas. Saat ia akan mengambil sepertinya buku itu agak tertahan. Ada seseorang yang juga akan mengambilnya. Sedikit adegan tarik menarik terjadi, namun Fiki mengalah untuk melepaskan buku itu. “Fika!!” Fiki kaget ternyata yang menarik buku yang akan diambil adalah Fika. Fika juga ingin mengambil buku itu. Mereka saling tertawa dengan tingkahnya masing-masing. “Kamu menginginkan buku ini ya Fiki?” Tanya Fika. “Kalau mau, cepat ambil dari tanganku dan langkahi dulu mayatku. Hahahhahaa!” Fika tertawa lebar layaknya sebuah suara nenek sihir. “Oke.. tunggu aku. Aku akan mengejarmu dan mendapatkan buku itu!” Seru Fiki sambil mengejar Fika yang lari membawa buku itu menuju ke kasir.

35

Potongan-potongan masa lalu yang menggangguku

Setelah mendapatkan novel yang telah di rencakan sebelumnya, mereka berdua memutuskan untuk mampir di “foodcourt” sekedar untuk mengisi perutnya yang kosong dari tadi sudah meronta-ronta. Setelah beberapa jam tenaganya terkuras habis didalam toko buku. “Mau makan apa?” Tanya Fiki menawarkan. “Rawon setan!” Usul Fika. “Uupss.. benar-benar kuntilanak orang ini.” Fiki tertawa. “Hahaha.. tak apalah biarin.” Fika melihat menu yang di tawarkan, namun sayang daftar nama menu “Rawon Setan” tak ada di daftar menu. Fika menekuk wajahnya kecewa. “Yang ada cuma “Bebek Mercon dan Mie Akhirat.” Seru Fika sambil menunjuk menu makanan. “Gimana? Tak ada “Rawon setan” disini, kamu mau pilih apa?” Tanya Fiki.

36

“Terserah kamu aja deh. Yang penting makan. Hehehe.” lagi-lagi Fika menyerahkan keputusan memilih menu makanan kepada Fiki. “Ya sudah aku yang pesankan. Mbak...” Fiki memanggil pelayan. ”Saya pesan “Mie akhirat level lima, minumnya es oyen.” Pelayanpun mencatat apa yang di pesan Fiki. “Eh.. satu lagi mbak.. Fiki kembali memanggil pelayan. “Apa lagi mas? Tanya pelayan tersebut. “Gak pake lama ya? Hehehhee...” Fiki tertawa. “Kamu itu Fiki, dasar.” Fika tersenyum getir. “Dasar kenapa?” Tanya Fiki bingung. “Cowok resek, kayak Samuel.” “Hahaha.. ya pastilah, kan kita satu paket, satu angkatan dengan dia.” Fiki mulai membela diri. “Oh.. ya acara apa sih yang kamu siarin di tempatmu itu? aku ingin mendengar ceritamu.” “Ohh.. itu, aku menyiarkan acara remaja.” “Remaja satwa kah?” “Mulai deh anak ini?” Gerutu Fika yang mulai manyun. “Hahhaa.. ya sudahlah sekarang kamu cerita deh, biar aku tak menganggapmu bekerja sebagai penyiar radio satwa.”

37

“Oke.. ehem,, hem..” Fika mulai mengeluarkan suara khas penyiar radio. “Hai selamat pagi pemirsa, masih tetap stay on di radio remaja, di saluran 99.9 fm. Bagaimana kabar kalian pemirsa? Semoga kalian semuanya baik-baik saja, ya mungkin ada yang agak pilek atau meler ingusnya karena kemarin sore kehujanan. Hahaha. Kali ini saya akan menyiarkan acara yang akan ditunggu-tunggu...” Fika diam. Suasana mendadak hening. “Kok tak dilanjutkan, acara apa?” Fiki penasaran. Fika mulai berbicara lagi. “Yups.. kali ini saya akan menyiarkan acara yang kalian tunggu-tunggu, inilah dia “Remawa” Remaja Satwa. Saya akan menyiarkan bagaimana keadaan satwa yang ada di kebun binatang Surabaya. hahahhaa.” Fika tertawa terbahak-bahak, begitupun dengan Fiki. “Sumpah lucu banget Fika. Aku rasa kamu tak cocok jadi penyiar radio, kamu lebih cocok menjadi seorang komedian, atau ikut Stand up comedy.” Fiki masih tak bisa menahan ketawanya. “Ya itu yang harus dipunyai oleh seorang penyiar, biar acara yang dibawakan tak pernah garing.” Jelas Fika. Tak beberapa lama makanan yang mereka pesan sudah datang. “Selamat makan!” Mereka berdua mulai menyantap makanannya. “Fika?” Panggil Fiki. “Iya, kenapa Fiki?”

38

“Bolehkah aku mengantarmu pulang nanti? Sebagai tanda terima kasih mau menemaniku mencari buku dan jalan-jalan, aku senang sekali bisa jalan denganmu. You are interesting woman, smart women and...” “And crazy women ya? Hahaha..” sahut Fika “Rigth..” Fiki ikut tertawa. “Mau

mengantarku

kerumah?

enggak..emmm” Fika berfikir sejenak.

Emmm..

Gimana

ya..

boleh..

”Boleh deh. Hehehhee...” Fika

memperbolehkan Fiki untuk mengantar dirinya pulang. Setelah selesai makan. Mereka berdua meninggalkan Royal plaza. Mereka naik bus kota yang akan mengantarnya ke stasiun. Setelah itu, perjalanan di lanjut dengan menggunakan kereta. Akses kereta itulah yang sering Fika gunakan sehari-harinya. Setelah naik kereta, mereka turun dan melanjutkan perjalannnya dengan berjalan kaki. Berjalan melewati tanah lapang yang sangat luas. Terlihat beberapa anak sedang asyik bermain layangan di dekat stasiun kereta. Tak jauh dari stasiun kereta, terdapat sebuah taman yang sangat indah. Fika mengajak Fiki untuk mampir sebentar ke taman. Setelah berada di dalam taman itu, mereka duduk di sebuah kursi panjang yang ada di samping pohon mahoni besar. Fika tersenyum saat itu. melihat keceriawan anak-anak yang berada di taman. Bunga-bunga yang bermekaran membuat taman itu semakin indah. Bunga mawar, melati, anggrek, dahlia. Bermacam-macam jenis dan warna.

39

“Kenapa kamu tersenyum Fika?” Tanya Fiki. “Ahh.. tidak. Aku sering sekali pergi ke taman ini dan duduk di kursi ini. sekedar melihat anak-anak yang sedang bermain, melihat matahari senja, melihat kakek nenek yang sedang jalan-jalan sore, ataupun sepasang muda-mudi yang sedang kencan. Aku senang dengan bunga-bunga yang ada disini. Begitu indah dan terlihat sangat segar. Hampir setiap hari aku selalu menyempatkan diri, ya setelah pulang kerja.” Fika tersenyum melihat sekeliling taman “Begitu nyaman.” Fiki menghela nafasnya lega. “Memang taman ini sangat indah menurutku. Akupun juga menyukainya. Kapan kamu pertama kali mengunjungi taman ini?” “Aku tak ingat kapan, yang aku tau itu sudah sangat lama. Mungkin sudah belasan tahun yang lalu. Sekitar aku umur empat tahun. Orang tuaku selalu mengajak aku ke sini. Sekedar aku hanya main-main, dan mereka dengan senang hati menungguku. Ya, aku sering sekali main disini. Dengan teman-temanku, dengan Samuel, hehehe.. dia begitu lucu waktu kecil. Selalu aku membuatnya menangis. Entah aku merebut mainannya bahkan aku mencubitnya. Walaupun dia cowok. Dia gak pernah berani melawanku, padahal dulu aku sangat nakal. Hahaha...” Fika menceritakan masa kecilnya terhdap Fiki. Menceritakan Samuel dan semuanya yang berhubungan dengan cerita taman itu. “Hehehe.. pasti kalian berdua sangat lucu ya, dulu.” Tiba-tiba fikiran Fika mulai kalut. Dadanya mulai sesak. Potonganpotongan kejadian itu datang lagi. Suara itu kembali datang. Suara kereta yang 40

sangat keras. Dengan klakson yang memekik telinganya. Bayangan, lalu lalang orang silih berganti, dengan teriakan sungguh mengerikan. Juga terdengar sirine mobil pemadam kebakaran. Tubuh Fika bergetar, mendadak berkeringat dingin. Ia merasakan sakit yang teramat di kepalanya. Ia tak henti-hentinya menjambak rambutnya untuk menahan rasa sakit dikepala. Ia sangat tersiksa dengan bayangan-bayangan itu. Ia pun mengerang kesakitan. Fiki sangat bingung melihat keadaan Fika yang tiba-tiba seperti itu. “Fika, kamu kenapa? Kamu sakit? Apa yang terjadi dengan dirimu? Tenangkan dirimu Fika, tenangkan dirimu.” Fiki sangat khawatir melihat keadaan Fika. Ia mencoba menenangakan Fika. Fika tak menjawab. Ia masih sangat merasakan kesakitan. “Fika, kamu kenapa? Ada apa dengan dirimu? Fika... Fikka..” Fiki mendekap tubuh Fika. “Fika tenangkan dirimu.” Fika tak merespon dengan panggilan Fiki. Ia terlihat sangat menderita. Ia terus menjambak-jambak rambutnya sendiri. Sepertinya dia merasakan sakit kepala yang begitu hebat. Tak berlangsung lama, keadaannya mulai membaik, kepalanya yang tibatiba sakit sekarang sudah tak sakit lagi, nafasnya yang tadinya terasa sesak, kini sudah mulai teratur. Dan suara itu, suara klakson kereta dan bunyi sirine mobil pemadam kebakaran, sudah tak terdengar lagi di telinganya. Fika berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. “Huuuuuuuhhhh...” ia hembuskan nafasnya dalamdalam. “Fika.. kamu kenapa?” Tanya Fiki yang masih khawatir dengan Fika.

41

“Aku tak apa-apa Fiki.” Fika tersenyum. Ia mencoba menenangkan dirinya. “Sebentar.. ya Fika.” Fiki mencoba mencari air mineral untuk Fika. Tak beberapa lama Fiki datang membawa sebotol air mineral. “Fika, ini minumlah... biar kamu bisa tenang.” Fiki menyerahkan sebotol air mineral, dan Fika meminumnya. “Sudah Fiki, makasih banyak ya.” “Iya Fika, bagaimana keadaanmu sekarang? Apa yang kamu rasakan?” Tanya Fiki. “Sudah membaik Fiki, entahlah mengapa aku sering sekali mengalami hal seperti ini. Terlebih akhir-akhir ini, setiap sore, setiap malam, bayangan itu selalu datang. Entah apa maksud dari semua itu.” Fika menyeka air matanya. Tak terasa ia menangis saat itu. “Apa yang kamu rasakan Fika?” Fiki mengusap air matanya dan mendekap tubuh Fika. “Tenangkan dirimu.” Fika menangis di dekapan Fiki Fika melepaskan dekapan Fiki. Ia mengambil tissue di dalam tas dan kembali menyeka air matanya. Fika mulai menceritakan. “Aku merasakan kepalaku sangat pusing, bahkan rasa sakitnya tak bisa tertahankan. Akupun sulit sekali untuk bernafas. Pandanganku memburam, setelah itu muncul dalam fikiranku bunyi-bunyian yang membuatku bingung.”

42

“Bunyi seperti apa?” Tanya Fiki penasaran. “Seperti suara kereta dengan klaksonnya yang begitu keras di telinga, lalu lalang orang dan jeritan-jeritan yang sangat menakutkan. Tiba-tiba aku mendengar suara sirine yang sangat keras, dan membuat gendang telingaku serasa mau pecah. Itu yang aku rasakan selama ini Fiki.” Fika mencoba menguatkan dirinya, dari potongan-potongan kejadian yang belum ia mengerti. “Apakah kamu pernah periksa ke dokter?” Tanya Fiki. “Aku sudah pernah memeriksakan ke dokter bahkan Psikiater, mereka tak menemukan penyakit apa yang aku derita. Kata mereka aku pernah mengalami suatu trauma hebat dulunya. Masalah kejiwaan. Tapi entahlah, mereka tak mengetahuinya. Setiap aku mengingat-ingat apa yang pernah aku alami, serasa kepala ini semakin pusing dan bayangan-bayangan itu semakin jelas. Bahkan aku sampai pernah dibawa kerumah sakit, karena tak sadarkan diri.” Jelas Fika. “Sudahlah Fika. Tenangkan dirimu. Yang terpenting sekarang kamu sudah membaik. Ya sudah ayo aku antar pulang.” Fiki mengajak Fika untuk cepat-cepat pulang, ia tak tega melihat keadaan Fika seperti itu. “Nah disini aku tinggal dan dibesarkan.” Fika menunjuk sebuah rumah yang berwarna hijau, dan di depannya banyak sekali tanaman, membuat keadaan rumah terlihat sangat asri. “Oh.. ini rumahmu ya? Tak jauh juga dari stasiun kereta.” sahut Fiki dengan berdecak kagum melihat ke asrian rumah Fika.

43

“Mari masuk!” Fika mengajak Fiki untuk masuk kerumahnya. Tiba-tiba ponsel Fiki berbunyi. “Fika permisi sebentar, aku mau mengangkat telfon.” Fiki minta ijin kepada Fika. “Iya silahkan Fiki.” Fika tersenyum. “Hallo.. iya ada apa... kamu dimana.. ya sudah secepatnya aku menuju kesana.” Fiki memasukkan kembali ponselnya kedalam saku celana. “Emmm.. Fika..?” Panggil Fiki. “Iya Fiki?” “Maaf aku tak bisa mampir ke rumahmu sekarang, soalnya saudaraku ada masalah dengan mobilnya. Mobilnya mogok dijalan. Aku harus cepat-cepat menolongnya. Mungkin aku bisa lain kali menerima tawaranmu untuk berkunjung.” Fiki merasa bersalah, tak bisa menerima ajakan Fika untuk mampir kerumahnya. “Ohh... tak apa Fiki. Next time kamu bisa kok datang kerumahku. Nanti aku akan kenalin kamu ke orang tuaku. Dan kucing kesayanganku, si putih. Hehehe..” Fika tersenyum kearah Fiki. “Iya Fika maaf ya.” Fiki membalas senyuman Fika. “Iya Fiki tak apa?” “Ya sudah, aku pamit dulu.”

44

“Iya Fiki makasih banyak ya.” “Ee... Fika?” Panggil Fiki lagi. “Iya Fiki.” “Aku... emmm..Ee... hehehhee... Sudahlah, aku pamit, sampai jumpa.” Fiki terlihat bingung mau ngomong apa. “Sampai jumpa Fiki, hati-hati di jalan.” Fikipun undur diri. *** “Sudah selesai, mesin sudah aku perbaiki semuanya.” Fiki terlihat begitu lelah setelah memperbaiki mobil Brian sepupunya. Ia mengelap tangannya yang kotor dengan lap berwarna hujau. Kemudian ia masuk kedalam mobil. Dan merebahkan tubuhnya di kursi mobil. “Tuh sudah bener mobilmu. Coba nyalakan mesinnya.” Fiki menyuruh Brian untuk menyalakan mesin mobilnya. “Terima kasih banyak Bang, sudah mau menolongku.” Ucap Brian yang merasa senang mesin mobilnya sudah bisa hidup kembali. “Terus. Maksud kedatanganmu ke Surabaya dalam rangka apa?” Tanya Fiki. “Aku mau menjemputmu sekarang Bang.”

45

“Menjemputku!!” Fiki mendadak kaget mendengar kata-kata Brian. Fiki menelan ludah. “Ada apa kamu menjemputku?” Mendadak suasana menjadi serius. Brian menghembuskan nafas panjangnya. Sepertinya ada masalah besar yang harus ia ceritakan. “Ayah masuk rumah sakit Bang, ia memintaku untuk menjemputmu. Ayah ingin kamu membantu menyelesaikan pekerjaanya.” Brian tertunduk lesu menceritakan keadaan ayahnya. “Paman sakit, sakit apa dia?” Fiki mendadak tegang, sepertinya memang ada hal buruk yang telah terjadi. “Stroke Ayah kumat. Ia sekarang di rawat di rumah sakit. Kedatanganku kali ini untuk menjemputmu Bang, memintamu untuk mengurusi Event Organiser ayah sementara. Ayah tidak mau kalau acara Konser Artis akbar itu nantinya dibatalkan karena penyakitnya sekarang. ”Brian terlihat lesu memikirkan keadaan ayahnya yang sedang sakit. Brian hanya berharap, Fiki mau membantunya. Brian belum paham betul masalah bisnis ayahnya. Ia masih duduk di bangku SMA. Brian menatap kedepan dengan kosong. Fikiranya khawatir dengan keadaan ayahnya. Fiki menghela nafas panjang. “Baiklah aku akan ikut denganmu, aku akan kembali ke jakarta.” Fiki akhirnya menyerah, dan memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Tapi sepertinya ia merasa akan kehilangan sesuatu. Ia akan meninggalkan kenangan indah yang baru ia rasakan di Surabaya. “Bagaimana dengan kepindahannya ke 46

Surabaya. Bagaimana dengan Fika. “Haaahh.. Fika, kenapa harus nama itu muncul di fikiranku. Sudahlah, yang terpenting aku akan membantu pamanku. Aku akan menyelesaikan tugasku, mensukseskan acara pamanku. Konser Artis Akbar yang telah lama paman idam-idamkan.” Gumam Fiki dalam hati. “Terima kasih banyak Bang. Aku sangat berhutang budi kepadamu.” Brian tersenyum kearah Fiki. Ia mulai menyalakan mesin dan mengemudikan mobilnya. Mereka berdua menuju ke Jakarta.

47

Pertemuan-pertemuan itu membuatku jatuh cinta

Pertemuan itu, ya.. siapa sangka jika pertemuan demi pertemuan telah terjadi. Hati yang selalu bertemu dan bertatap muka. Dan tak bisa dipungkiri, hati ini telah terpikat oleh sesosok pria yang sekarang menjadi teman baru Fika. Teman yang di perkenalkan oleh sahabatku Samuel. Dan tak bisa dibohongi. Fika terpikat oleh Pria yang sangat peduli denganya. Entah apa yang telah melandanya, seakan fikiran ini hanya tertuju padanya, Fiki. Ya.. orang tersebut baru saja ia mengenalnya. Fika masih tak beranjak dari tempat duduknya, ia menatap jam dinding di pojok ruang kerja. “Pukul 16.15” Ia teringat akan sesuatu, ketika ia telat naik kereta dan tak sengaja bertemu dengan Fiki. “Hemm.., kenapa fikiran ini selalu memikirkan Fiki? Aku tak tahu akan perasaanku, yang aku tahu aku begitu menyukai cara dia berbicara, aku begitu suka dengan senyumannya. Dan yang paling aku suka adalah perhatiannya. Apakah aku memang benar –benar suuu...” Fika

memukul-mukul

kepalanya

dengan

sebatang

pensil.

“Ah..

tidak,

tidak,tidak,tidak. Aku tak boleh terlalu cepat jatuh cinta dengan seorang pria.

48

Apalagi Fiki yang baru beberapa minggu aku mengenalnya. Tapi mengapa aku selalu memikirkannya? Mengapa aku tak bisa melupakan wajahnya?” Huuhh..” Fika menghela nafas panjangnya. Fika menatap kalender. Pandangannya tertuju pada tanggal 8 Desember. Ia teringat, pada tanggal 8 Desember itulah Samuel memperkenalkan Fiki kepadanya. Ya awal mula ia merasa risih dengan kedatangan teman samuel yang tidak begitu ia kenal. Tapi kenapa Samuel begitu yakin bahwa dirinya akan menyukai teman lamanya. “aku yakin kamu bakalan suka dengannya.” Ya aku teringat dengan kata-kata Samuel waktu itu, kenapa Samuel begitu yakin aku menyukainya? Padahal aku...” huhhhh..” Fika kembali menghembuskan nafas panjangnya. “ Memang aku sangat menyukainya.” Fika terseyum kegirangan.

***

Hari ini selepas dari jadwal siaran, Fika memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Ia ingin sekali merilekskan pikirannya di salah satu kafe dekat tempat ia bekerja. Fika duduk seorang diri di salah satu meja pojok kafe. Tak begitu ramai suasana kafe saat itu. Terlihat ia sedang menikmati secangkir teh dan memainkan ponselnya. Tak beberapa lama dari arah kejauhan terlihat seseorang memanggilnya.

49

“Fika. Ngapain kamu disitu?” Samuel menghampiri Fika. Ia menarik kursi dan duduk disamping Fika “Ohh.. Samuel. kamu dari mana saja, sudah satu minggu aku tak pernah melihatmu.” Fika menatap samuel dan tersenyum. Ia sangat kengen dengan Samuel. Sudah beberapa hari ia tak pernah bertemu dengannya. “Maafkan aku Fik. Satu minggu ini aku ditugaskan oleh bosmu ke Jakarta.” Jelas samuel. “Ke Jakarta? Ada acara apa?” Tanya Fika penasaran. “Liburan.” Samuel tertawa dengan perasaan bangga. “Jahat..” Fika menggerutu iri. “Kenapa?” Tanya Samuel. “Jahat kamu gak ngajak aku.” Fika terlihat manyun. Ia iri dengan Samuel yang mendapatkan hadiah dari bossnya jalan-jalan. “Hahahhaa... kamu itu, baru aku tinggal satu minggu aja sudah kangen.” Sindir Samuel. “Bukan kangen, tapi aku ngiri sama kamu, kamu diajak liburan, tapi aku tidak.” Gerutu Fika yang sepertinya tak rela melihat Samuel liburan. “Ahh.. kamu ini Fik. kayak tak pernah kenal pak Handoyo bossmu itu.” “Memang kenapa Sam?” tanya Fika.

50

“Kamu percaya kalau aku liburan ke Jakarta?” Tanya Samuel. “Enggak!” “Lah makanya itu, sudah tau bossmu itu gak akan pernah ngajak karyawannya buat berlibur. Pak Handoyo itu kan terkenal pelit dan perhitungan.” “Hehehhee.. iya juga, lah terus kamu ke Jakarta ada pekerjaan apa?” Tanya Fika penasaran. “Aku itu di suruh bosmu buat ngawasin bisnis barunya.” “Bisnis apa?” “Bisnis bakpia goreng. Hahhhaaa..” “Emang ada kah bakpia goreng?” Tanya Fika. “Ya gak adalah. Kamu itu aku bohongin percaya saja. Begini, aku disuruh buat ngawasin radionya yang ada di Jakarta, ada renovasi. Jadi aku aku ditugasin kesana.” Jelas Samuel. “Ngawasin atau jadi kuli bangunan di sana?” Fika tertawa menyindir. “Awalnya disuruh ngawasin.Tapiakhirnya sih boss nyuruh aku bantubantu. Jadi kuli deh disana. Huuuhh..” Gerutu Samuel. “Hahahahaa... rasain tuh, emang enak di akalin boss. Aku sih gak mau Sam jadi kuli. Hehehhee..” Fika menertawai Samuel.

51

“Resek.. kamu Fik, ngerti gitu aku gak bakalan cerita ke kamu.” Gerutu Samuel lagi. “Siapa suruh kamu pamer ke aku kalau rekreasi. Yah ujung-ujungnya jadi kuli bangunan tuh di sana. Ini ceritanya naik pangkat atau turun pangkat ya? Hehehhee..” Fika masih meledek Samuel. “Ahh.. yang penting bagiku tugas di luar kota.” Tiba-tiba posel Samuel berbunyi. “Hallo.. Fiki, ada apa... oh... aku sudah kembali dari Jakarta. Kenapa.. loh kamu sekarang ke Jakarta. Ada apa kamu kembali ke sana? Kan katanya kamu pindah ke Surabaya....., oh begitu... tabahkan hatimu ya Fiki, tetap semangat......, aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu... sampai jumpa. Da..” Pembicaraan telfon berakhir. “Ada apa?” Tanya Fika. “Fiki menelfon.” jelas Samuel “Fiki, dia kenapa?” Terlihat wajah Fika yang cemas mendengar pembicaraan Samuel dengan Fiki barusan. “Dia balik ke Jakarta.” “Loh... katanya pindah tugas ke Surabaya, kenapa kok tidak jadi?” Wajah ceria Fika mendadak berubah menjadi mendung yang siap menumpahkan air hujan.

52

“Ada masalah dengan kantor pusatnya. Jadi ia disuruh kembali ke Jakarta untuk menyelesaikanya.” Jelas Samuel. Fika menggigit bibirnya perlahan. Ia syok mendengar kabar tersebut. air matanya hampir saja jatuh. Tapi ia menahannya. “Sampai kapan Sam?” Fika menahan tangis. “Aku tak tahu Fika, yang jelas ia tadi berpamitan denganku.” “Ohhh...” Tak terasa Fika berlinang air mata mendengar kabar tersebut. “Fika...?” Tanya Samuel. “Iya..” Cepat-cepat Fika menyeka air matanya yang telah terjatuh. “Fiki juga menitipkan salam buat kamu.” “Sudahlah.. aku pulang Sam. Maaf..” Tiba-tiba Fika meninggalkan Samuel begitu saja. Perasaannya begitu kacau. Kabar kalau Fiki kembali ke Jakarta membuat hatinya hancur berkeping-keping. Perasaan cinta yang begitu cerah mendadak mendung. Dan sekarang air matapun jatuh tetes demi tetes. “Fika... Fika...” Samuel berteriak terus memanggil Fika. Tapi tak sedikitpun Fika mempedulikan panggilannya. Ia terus melangkahkan kakinya meninggalakan kafe itu. *** Di jakarta..

53

Fiki menelfon samuel. “Hallo Samuel.. sekarang aku ada di jakarta.. ada masalah penting yang membuatku kembali ke Jakarta.” Dari kejauhan ada seseorang yang mengamati Fiki yang sedang menelfon. Gerak-geriknya begitu mencurigakan. “Aku akan menjelaskan nanti.. Salam buat Fika.” Ucap Fiki. Tiba-tiba orang yang mencurigakan itu berlari menuju ke Fiki. Ia menabrak Fiki hingga Fiki terpental jatuh. “Maaf mas.. maaf, aku tak sengaja.” Pria misterius itu meminta maaf dan terburu-buru meninggalkan Fiki. “Sial.. sudah nabrak tak mau tanggung jawab pula. Padahal aku ingin sekali ngomong dengan Fika. Mau menjelaskan semuanya ke Fika tentang kepergianku sementara ini. Ehh.. ngomong ngomong ponselku dimana?” Fiki merogoh saku untuk mencari ponselnya. “Ponselku mana? Ponselku. Atau janganjangan. HEEYY MALIIIIINNG... JAMBREETTT..” Fiki berteriak kencang dan berusaha untuk mengejarnya. Namun sayang ia tak bisa mengejar jambret yang telah membawa ponselnya itu.

54

Secepat itu jatuh cinta , secepat itu aku terluka

Malam ini begitu sunyi. Terlihat Fika duduk di kursi taman favoritnya seorang diri. Ia melihat kearah langit-langit taman, dimana langit yang sangat cerah dihiasi oleh bulan dan bintang. Terlihat begitu indah. Namun sayang keadaan yang indah itu tak seperti hatinya. Ia masih menangis sejak tadi sore. Ia tak bisa menghentikan air matanya yang terus menerus jatuh. Yang terdengar hanyalah isak tangisnya dan suara serangga malam di taman itu. “Mengapa dengan diriku. Mengapa aku begitu lemah sekarang. Hanya karena suatu rasa yang tak penting. Arrrggghhh.. persetan dengan jatuh cinta. Kenapa aku harus merasakan sakit hati sebelum aku merasakan cinta. Cinta telah membuat orang bahagia. Tapi cinta telah membuat banyak orang sakit hati. Kenapa aku, begitu cepat jatuh cinta dengan seorang pria yang baru saja aku mengenalnya. Pria yang jelas-jelas belum terlalu mengenalnya. Aku begitu cepat merasakan jatuh cinta. Tapi sebelum bunga itu mekar dan berkembang. Bunga itu telah hilang. Kenapa dia tak menelfonku, atau sekedar berpamitan? Kenapa harus lewat Samuel? Setidaknya dia bisa berpamitan denganku. Biar hati ini tak terlalu

55

sakit. Atau aku telfon saja orang itu.” Fika mengambil ponselnya dalam tas dan mengetik nama Fiki. “Ahh.. buat apa aku menelfon dia, dia yang pergi, kenapa tak dia saja yang punya inisiatif buat menelfonku. Tapi... hiks.. hiks. Aku tersiksa dengan perasaan ini. ibu.... hiks.. hiks..” Fika kembali menangis saat itu. air matanya terus berlinang. ***

Sesampainya dirumah ia mencari ibunya “Ibu.... hiks.. hiks..” Fika memeluk ibunya dan menangis. “Kamu kenapa nak kok menangis?” “Dia ninggalin aku bu...” Fika terus menangis. “Dia siapa? Pacarmu?” Tanya ibu Fika. “Bukan bu. Dia..” “Dia siapa?” Tanya ibunya yang masih bingung terhadap Fika. “Sudahlah bu..” Fika mennghapus air matanya. “Ya sudah.. sekarang kamu istirahat gih, tenangin dirimu.” “Iya bu.. selamat malam.” “Selamat malam anakku sayang” Fika menuju kamar dan menutup pintu kamarnya. 56

Aku menunggu cinta yang tak pasti

Cinta yang telah tumbuh tak bisa dengan mudah untuk dicabut. Meskipun tumbuhnya cinta tak membuat kita berbesar hati. Semakin kita mencoba untuk membuang jauh-jauh, semakin kuat fikiran itu melekat. Hari ini adalah hari dimana Fika merasakan patah hati, meskipun ia belum sempat untuk menyatakan cintanya kepada Fiki, tapi dengan kepergian Fiki membuat Fika tak punya harapan lagi atas cintanya. Seperti hari-hari biasa, Fika disibukkan dengan jadwal siarannya di Radio. Kejadian kemarin masih menyisakan kesedihan yang mendalam baginya. “Fika.. kamu sakit ya?” Tanya Dewi kepada Fika. “Iya.. aku agak gak enak badan Wi.” “Ada masalah apa denganmu? tumben sekali kamu terlihat murung hari ini. Dan aku rasa hari ini, aku tak melihat Fika yang selalu ceria dan jutek. Tapi walaupun kemarin kamu sakit, kamu tak semurung hari ini. Ada apa sebenarnya Fika?” Dewi menayakan keadaan Fika yang tiba-tiba berubah tak bersemangat seperti hari-hari biasa. “Aku tak apa Dewi?”

57

“Cerita saja ke aku Fika, siapa tau aku bisa menjadi teman curhatmu. Oh ya.. katanya kemarin kamu sedang jatuh cinta dengan seorang pria, bagaimana ceritanya? Ayo kamu masih punya hutang cerita ke aku.” Dewi membujuk Fika agar mau bercerita kepadanya. “Sudahlah wi, aku gak jadi jatuh cinta.” Fika cemberut. “Loh.. kok gak jadi, secepat itu kamu merubah perasaanmu?” “Dia telah pergi wi, dia pergi sebelum aku sempat menyatakan cintaku, hiks.. hiks..” Fika kembali meneteskan air matanya. “Sudah-sudah. Cup..cup.. cupp, anak cantik, gak usah nangis ya?” Dewi mencoba untuk menenangkan Fika dan menyeka air matanya. “Aku jatuh cinta ke dia, entah mengapa fikiranku penuh dengan namanya. Tapi apa, dia secepat itu meninggalkanku. Bahkan sebelum aku menyatakan perasaanku.” Fika memeluk Dewi dan menangis tersedu-sedu. “Sudahlah Fika, kalau memang dia jodohmu, nanti dia akan kembali lagi ke kamu. You must move on! Kayak cowok hanya dia aja. Kamu itu cantik, cewek baik Fika, pastinya kamu akan mendapatkan cowok yang baik pula.” Dewi mencoba menenangkan Fika. “Tapi aku harus bagaimana Wi? Apa aku harus memendam cinta ini dalam-dalam? Ataukah aku harus menunggunya dalam ketidak pastian?”

58

“Berdoalah kepada Tuhan Fika, tenangkanlah dirimu. Tuhan akan memilihkan jalan yang terbaik untuk umatnya. Jika kamu yakin itu adalah cinta sejatimu, maka ia akan kembali kepadamu. Percayalah Fika.” “Dewi, makasih ya sahabatku. Aku merasa sedikit lega bisa bercerita denganmu, aku yakin dengan diriku sekarang, jika memang Fiki jodohku. Dia akan kembali buatku. Aku akan selalu menantinya, menanti cintaku dengan sabar dan tulus. Aku harap Fiki juga mempunyai perasaan yang sama seperti diriku sekarang. Aku begitu menyukainya.” Fika mulai tersenyum. Dan dalam hatinya ia sangat yakin bahwa suatu saat nanti Fiki akan kembali, dan akan merajut cinta dengannya. Menjadi kekasihnya seperti yang Fika idam-idamkan saat ini.

59

Aku yakin dengan perasaanku dan Aku akan menunggunya

Seperti hari-hari biasa, selepas ia selesai pulang dari kantor, Fika menyempatkan diri untuk pergi ke taman favorit yang selalu ia kunjungi. Fika duduk di kursi dekat pohon mahoni. Matanya memandangi keadaan seluruh taman. Ia melihat beberapa anak yang sangat gembira bermain kejar-kejaran, muda-mudi yang sedang berpacaran, bahkan seorang anak yang sedang digendong oleh ayahnya mengitari taman. Setidaknya dengan datang ke taman ini, sedikit ia bisa melupakan masalahnya. “Fiki.. aku yakin dalam hatiku, kamu akan kembali, aku yakin bahwa kamu akan menemuiku di taman ini. Ya.. ditaman ini kita pernah bertemu, ditaman ini kau begitu perhatian padaku, dan ditaman inilah aku mulai jatuh cinta denganmu. Aku berharap bahwa cintaku tak salah. Aku yakin akan perasaanku. Aku berharap, kamu juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Semenjak kepergianmu, aku layaknya bunga yang telah layu, bahkan hampir mati. Tapi ingat, aku tak akan mati. Karena aku mempunyai harapan besar. Aku mempunyai cinta, dan aku berharap kamulah cintaku. Aku juga sangat berharap,kamu punya

60

perasaan yang sama denganku. Perasan cinta seperti diriku sekarang. Aku akan selalu menunggumu ditempat ini.” Gumam Fika dalam hati. Ia begitu yakin, Fiki akan kembali lagi. Setiap sore, setiap hari, Fika menyempatkan dirinya untuk pergi ke taman itu. Ia sangat yakin dengan perasaannya, ia yakin jikalau ia akan dipertemukan lagi dengan cintanya di tempat itu. Ditempat cinta itu mulai tumbuh. Cinta begitu indah. Seperti bunga-bunga yang ada di taman ini. Merekah dengan sempurna. Hempasan angin sore yang begitu menggetarkan jiwa. Sunset yang begitu gagah nampah di cakrawala langit. Sinarnya begitu mempesona menghiasi langit-langit ditaman ini. Sunset adalah waktu dimana terjadi pergantian senja menjadi sore. Empat puluh tujuh menit sunset muncul dengan sangat indah di cakrawala langit, empat puluh tujuh menit setelah itu, sore akan berganti menjadi malam. Senja yang indah akan berganti menjadi malam yang gelap dan menakutkan. Seperti adanya sebuah pertemuan dan akhirnya datanglah perpisahan. Tak ada yang tahu setelah itu. tak ada yang tahu apakah malam itu akan begitu indah, ataukah berubah menjadi malam yang menakutkan. Dan tak ada yang tahu, apa yang akan terjadi setelah perpisahaan ini. Perpisahan adalah senja yang berganti menjadi malam.

61

HARAPANKU TERWUJUD, DIA TELAH KEMBALI

Aku sudah tak tahu lagi, sudah berapa lama aku menunggumu disini, huuuhh.” Fika menghembuskan nafasnya dalam dalam. Ia masih terbuai dalam lamunannya. “Setiap setiap sore, setiap senja aku selalu datang di tempat ini hanya untuk menunggumu. Aku tak tahu dengan diriku sendiri. Aku begitu yakin dengan perasaanku, aku begitu yakin dengan rasa cintaku. Tapi dalam kenyataannya, aku tak meyakini diriku. Sampai sekarang, entah sudah seberapa puluh kali, aku datang ke taman ini hanya untuk menunggumu. Bodohnya, sampai sekarang aku tak kunjung juga mendapat kabar darimu. Pernah aku berusaha untuk menghubungimu, namun sial nomermu di kontakku sudah tak ada. Mungkin karena kemarin aku tak sengaja menghapusnya karena banyak nomor-nomor tak dikenal masuk di ponselku. Kebodohan keduaku, kenapa aku tak menghubungi Samuel untuk menanyakan kabar dan keberadaanmu. Aku merasa malu jika harus jujur pada Samuel akan perasaanku yang suka dengan Fiki. Aku selalu berharap jika kamu baik-baik saja disana Fiki. Aku begitu menghawatirkan keadaanmu. Aku ingin bertemu denganmu, dan sekarang aku rindu denganmu Fiki. Aku

62

teringat disaat kita pertama bertemu. Awalnya aku tak begitu menyukaimu, karena aku menganggap semua orang asing itu menyebalkan. Ternyata anggapanku itu salah. Awal pertama bertemu denganmu, aku langsung akrab denganmu. Entah apa yang membuatku menjadi seperti itu. Kamu bukan seperti orang asing menurutku. Aku seperti pernah bertemu denganmu sebelumnya, tapi kapan? Aku rasa itu hanya perasaanku saja. Kedua kalinya tanpa sengaja aku bertemu denganmu di stasiun kereta. Hehehhee... saat itu kamu mentraktirku, kamu tau gak kalau aku sebenarnya tak suka dengan makanan Rawon, apa lagi jika makanan tersebut sangatlah pedas. Dan begitu kamu memesankan untukku. Tak sepatah katapun aku menolaknya, aku kaget sebenarnya ketika kamu memesan Rawon Setan level lima. Sumpah, baru kali ini aku makan sepedas itu. Tapi waktu itu aku tak keberatan dengan menu makanan pilihanmu. Aku begitu lahap bahkan agak menahan raut mukaku yang kepedesan. Dan sampai rumah aku terkena diare. Hahhahaa.. untung saja aku punya beberapa obat diare dan obat sakit perut. Aku sangat mengingat kejadian itu. Dan pertemuan ketiga saat kamu memaksaku untuk menemanimu jalan-jalan. Walaupun aku tak merasa kamu paksa, dan aku tak keberatan untuk mengantarmu waktu itu. Ternyata kamu mempunyai kesamaan denganku, kamu suka membaca novel sama sepertiku. Dan sangat jarang sekali jika ada seorang cowok yang begitu menggilai novel sepertimu. Aku seperti mendapatkan seorang teman yang sealiran denganku. Aku bisa dengan mudah bertukar cerita padamu tentang beberapa novel yang pernah aku baca. Dan kamu mengerti akan apa yang aku bicarakan. Mungkin karena novelmu yang terlampau banyak dan kamupun sudah membaca semuanya, membuatmu tak

63

banyak berfikir untuk menjawab pertanyaanku. Itu salah satu alasan mengapa aku begitu nyaman saat bersama denganmu. Begitu enak mengobrol denganmu. Dan kamu adalah seorang cowok yang sangat pintar menaruh perhatian dengan seorang cewek. Ditaman ini kamu menunjukkan perhatianmu padaku. Disaat aku merasakan sakit, kamu begitu khawatir dengan keadaanku. Itulah yang membuat aku luluh denganmu. Sayangnya hari itulah terakhir aku bertemu denganmu. Semenjak hari itu aku tak pernah mendapatkan kabar darimu. Aku rindu kamu Fiki. Aku kangen kamu. “Gumam Fika dalam hati. Seperti hari-hari kemarin, Fika masih menunggu kehadiran Fiki di taman itu. Ia sangat berharap jika hari ini ia akan bertemu dengannya. walaupun sebenarnya bertemu dengan Fiki, tak semudah yang dibayangkan. Kepergian Fiki sudah masuk pada bulan ke tiga. Ia tak menyangka jika begitu cepat Fiki meninggalkannya, tanpa kabar dan tanpa pesan. Namun Fika tak putus asa. Ia selalu berharap dan berdoa agar dipertemukan kembali dengan Fiki di taman itu. Terlihat langit-langit yang begitu gelap. Mendung telah menutupi senja sore itu. Begitu gelap. Padahal jam masih menunjukkan pukul 16.30. Fika tak beranjak dari tempat duduknya. Ia masih asyik menunggu dan melamun akan kehadiran Fiki. Gerimispun mulai turun. Tetes demi tetes air hujan mulai membasahi tubuhnya. Fika tak langsung memilih untuk cepat-cepat berteduh dari hujan, ia tetap saja tak beranjak dari tempatnya. Kali ini hujan turun dengan begitu deras. Tapi tak sedikitpun membuatnya ingin beranjak hanya untuk sekedar berteduh.

64

“Fiki...” Fika kembali menangis, bersamaan dengan turunnya air hujan. “Lihatlah sekarang diriku bak seperti orang gila. Aku gila akan perasaanku. Aku gila akan cintaku. Aku sangat menanti kehadiranmu saat ini. Biarlah saat ini hujan mengguyur diriku. Setidaknya dengan hujan ini tak membuatku terlihat menangis, Serta bisa menutupi kesedihanku. Biarkan air mataku ini bercampur dengan air hujan. Setiap hari, setiap aku mengingatmu, serasa air mata ini tak bisa lagi aku membendungnya. Aku kangen kamu Fiki. Aku begitu merindukanmu. Aku ingin bertemu denganmu lagi. Sampai kapan aku harus seperti ini? Aku tersiksa dengan diriku yang sekarang. Tapi aku tak pernah lelah untuk menunggumu.” Dari arah kejauhan terlihat Niko menghampiri Fika dengan sebuah payung. Niko adalah salah satu cowok yang berusaha untuk mendekati Fika saat ini. “Fika sampai kapan kamu harus sepeti ini, ayo kita pulang. Hujan ini sudah terlampau deras. Aku tak mau kamu sakit nantinya.” Teriak Niko. “Aku tak mau pulang Niko, aku mau disini saja. Kamu pulang sana. Biarkan aku disini.” tolak Fika yang tak mau diajak untuk pulang. “Kamu boleh keras kepala. Tapi kamu juga harus peduli dengan dirimu sendiri. Kamu masih menunggu Fiki?” Tanya Niko. Fika hanya mengangguk. “Ahh.. sampai kapan kamu harus keras kepala? Ayo kita pulang! Fiki mungkin sudah tak peduli denganmu, namamu mungkin sudah ia lupakan dalam ingatannya. Ayo pulang!” Niko tetap memaksa Fika untuk pulang bersama. Hujan turun dengan begitu lebatnya. Bak seperti air laut yang ditumpahkan ke bumi. 65

“Fiki tak mungkin melupakanku, aku yakin itu Niko. sekarang tinggalkan aku sendiri. Aku tak membutuhkanmu. Percuma kamu memaksaku, karena aku tak akan ikut pulang bersamamu.” Fika tak menerima tawaran Niko untuk pulang bersamanya. “Baiklah kalau begitu. Aku akan meninggalkanmu sekarang, tunggulah pangeran impianmun itu. Sampai kapanpun dia tak akan menjemputmu disini!!” Niko meninggalkan Fika ditaman sendirian. Niko kecewa tidak bisa mengajak Fika untuk pulang. Hujan yang turun begitu deras. Halilintar dan kilatpun silih berganti menyambar. Tubuh Fika sudah sangat basah kuyup. Bahkan bibirnya kini mulai membiru. Fika kedinginan dan tubuhnya menggigil kaku. Kepalanyapun mulai pusing. Dan akhirnya Fika jatuh pingsan tak sadarkan diri. Nampak dari kejauhan ada seorang pria yang melihat Fika jatuh dari kursi taman ditengah hujan deras. Ia berlari menghampiri Fika, ia menggendong Fika dan membawanya ke pos taman untuk berteduh dari derasnya air hujan yang turun. Saat itu Fika masih tak sadarkan diri. Pria itu merebahkan tubuh Fika dan menyelimutinya dengan jaket yang tebal. Pria itu tersenyum melihat wajah Fika. Ia berusaha membersihkan wajah serta tangan Fika dari tanah akibat, terjatuh saat pingsan tadi. Pria itu mengambil sapu tangan untuk mengelap wajah Fika yang sudah membiru akibat kedinginan.

66

Hujan masih sangat lebat. Pria itu masih menemani Fika sembari menunggu hujan reda. Fika mulai sadar. Ia mulai membuka matanya perlahanlahan. “Fika....” Panggil Pria tersebut. Sepertinya Pria itu mengenali Fika. Fika masih tak mempedulikan panggilan itu. Kepalanya masih terasa sangat berat. Penglihatanyapun masih kabur. “Fika, sadarlah.” Fika mulai membaik. Penglihatannya samar-samar sudah mulai terlihat jelas.

Ia

melihat

sesosok

Pria

duduk

disampingnya

yang

mencoba

membangunkanya. Setelah ia bisa melihat dengan jelas. Serasa air mata ini tak bisa di tahan. Begitu deras mengalir seperti derasnya hujan sekarang. “Fika...” Panggil Pria itu lagi. Fika terus saja menangis memandang pria itu. Ia tak percaya dengan apa yang dilihat. Tak henti-hentinya ia menangis. “Fi..Fiki...apakah itu kamu?” “Fika ini aku Fiki. Kenapa kamu pingsan? Ada apa denganmu?” Ternyata Pria yang menolong Fika adalah Fiki. Orang yang selama ini ia nantikan kehadirannya. Fika masih saja menangis saat itu. “Fiki...” Fika terus menangis dan tak bisa membendung tangisannya, melihat orang yang selama ini ia nantikan ada disampingnya. “Fiki...” Panggil Fika.

67

“Ia Fika. Ada apa?” Jawab Fiki. “Bolehkah aku memelukmu, sebentar saja.” “Boleh Fika.” Fiki memeluk Fika. Tangan-tangan Fika yang mungil melingkari tubuh Fiki saat itu. Fikipun memeluk Fika dengan lembut. Fika kembali menangis dalam pelukan Fiki. “Aku kangen kamu Fiki.” Sambil memeluk Fiki, ia masih terus menanis. “Aku juga kangen kamu Fika. Maafkan aku jika kemarin aku meninggalkanmu tanpa pamit.” “Biarkan aku merasakan pelukanmu untuk saat ini. Bahkan aku menginginkan waktu berhenti berputar. Aku menginginkan momen seperti ini. Aku kangen dengan kehadiranmu. Aku kangen dengan dirimu Fiki.” “Peluk diriku sesuka hatimu, jika memang pelukan ini bisa mengobati hatimu akibat kebodohanku. Maafkan aku Fika, aku tak bisa memaafkan diriku sendiri. Meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini.” Fiki terus memeluk Fika dengan kasih. “Iya Fiki. Terima kasih atas pelukannya.” Fika melepaskan pelukan Fiki dan tersenyum kepadanya. “Fiki...?” “Iya Fika?” “Kamu jahat.”

68

“Aku tahu... Maafkan aku.” “Kamu jahat Fiki.” “Maafkan aku Fika, aku tak bermaksud meninggalkanmu seperti ini.” “Kenapa kamu tidak menghubungiku.” “Ponselku kecopetan Fika, selepas aku menelfon Samuel malam itu dan aku tak mempunyai nomermu ataupun nomer Samuel. Semua nomer ada di ponselku.” “Terus kenapa kamu memutuskan untuk balik ke jakarta?” Tanya Fika. “Pamanku kritis. Aku harus cepat-cepat menemuinya. Pamanku juga menyuruhku untuk sementara waktu mengurus perusahaannya. Mengingat kondisi beliau yang tidak memungkinkan memantau perusahaan.” “Terus!” “Terus aku dengan senang hati membantu pamanku menyelesaikan proyek-proyeknya.” “Dan sekarang?” “Aku sudah menyelesaikan semua pekerjaanku. Keadaan pamanku juga sudah mulai membaik. Sehingga aku kembali lagi ke Surabaya untuk mengurusi pekerjaanku disini.” “Oohhh..”

69

“Maafkan aku Fika, aku tau kamu pasti marah denganku saat ini.” “Iya aku marah..” “Aku tau....” Sela Fiki. “Tau dari mana?” “Tuh kamu jutek denganku sekarang.” Jawab Fiki. “Ohh..” “Fika..” “Iya...” “Aku selalu merindukanmu.” Fiki sambil membelai rambut Fika yang basah dengan air hujan. “Aku selalu ingat kamu Fika, setiap malam, bahkan setiap hari, kamu selalu ada di fikiranku.” Fika hanya diam dan mendengarkan perkataan Fiki. Suasana begitu hening. Yang terdengar hanyalah suara gemericik hujan. “Fika aku kangen kamu, selalu ingin mengingatmu, aku tak tahu dengan perasaanku sekarang. Perasan ini sungguh menyiksaku setiap harinya. Aku mencintaimu Fika.” Fiki mengungkapkan perasaannya kepada Fika. Fika tak bisa berkata apa-apa. Serasa ini semua hanya sebuah mimpi. Apa yang Fika impikan semua terasa nyata. Dan ini memang terjadi. Tak terasa air mata Fika keluar lagi, ia sangat senang hari ini. Orang yang selalu ia nanti kehadirannya telah kembali. Bahkan sekarang ia mengungkapkan perasaan cinta kepadanya.

70

“Fiki..” “Iya...” “Bolehkah sekali lagi aku memelukmu?” Pinta Fika. “Boleh..” Fiki mengulurkan kedua tangannya melingkari tubuh Fika. mereka berdua saling berpelukan. “Aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu. Ini seperti mimpi. Tahu nggak setiap sore, setiap senja aku selalu menunggumu di taman ini. Aku seperti orang gila yang tak mempunyai tujuan hidup. Aku layaknya seorang yang tak pernah bangun dari mimpinya. Dan sekarang aku tak tau. Apakah aku masih bermimpi, ataukah aku sudah bangun dari pingsanku dan sekarang memelukmu. Aku menunggumu selama tiga bulan di taman ini. Aku percaya kamu akan menemuiku disini. Dan akhirnya kepercayaanku itu terwujud. Kamu datang menemuiku, dan aku sangat senang hari ini. Hari dimana cintaku telah kembali. Bunga yang selama tiga bulan telah layu kini mulai mekar dan mulai berkembang. Terima kasih Fiki, aku begitu mencitaimu, dan sangat mencintaimu.”

71

Aku mengajaknya kerumahku

Tiba-tiba ponsel Fika berdering. “Hallo.. iya ibu ada apa... aku baik-baik saja ibu...aku tak apa-apa.. aku pulang nanti saja ibu, aku seneng banget hari ini. hehehe.. nanti aku ceritakan... iya bu aku memang sangat terlihat senang... iya bu aku jaga diri baik-baik..... aku juga sayang ibu.. da ibu...” Fika menutup telfonnya. “Siapa Fika, ibumu ya? “Iya itu ibuku, ibuku yang paling aku sayang didunia ini. hehhee..” Fika tersenyum kearah Fiki. “Hanya ibumu?” “Iya aku sayang dengan Ibu dan ayahku.” “Hanya mereka?” Tanya Fiki. “Tapi sekarang ada seseorang lagi yang aku sayang, untuk hari ini dan selamanya.” “Siapa itu?”

72

“Namanya itu F.I.K.I. hehehehhe...” jawab Fika sambil mengayunayunkan kakinya dan tersenyum kearah Fiki. “Fika..” Panggil Fiki. “Iya Fiki?” “Aku juga sangat menyayangimu. Setelah ini dan seterusnya, kamu harus janji. Kamu harus kembali menjadi Fika yang ceria seperti dahulu, entah kamu sakit atau apapun yang terjadi. Aku selalu ingin melihat senyumanmu. Aku tidak mau melihat kamu yang selalu murung dan keras kepala seperti tadi. Aku selalu mengkhawatirkanmu sayang.” Pinta Fiki sambil membelai rambut Fika. “Iya Fiki, aku seperti itu juga karena kamu. Kamu ninggalin aku begitu saja. Aku tak mau kamu ninggalin aku untuk kedua kalinya. Aku ingin ini yang terakhir buat aku. Iya Fikiku sayang. Aku berjanji. Untuk hari ini, dan detik ini, aku akan menjadi Fika yang selalu ceria, Fika yang tak keras kepala seperti dulu, dan yang pasti, aku akan menjadi Fika yang selalu mencintaimu.” “Terima kasih Fika. Janji ya?” Fiki mengulurkan jari kelingking kearah Fika. “Janji.” Fika mengulurkan jari kelingking dan melingkarkannya satu sama lain sebagai simbol perjanjian mereka berdua. “Ehh.. hujan sudah reda.” Fika melihat ke luar pos taman dan melihat keadaan diluar.

73

“Benarkah?” Senyum Fiki menyeringai. “Iya...Sudah terang hujannya, eh liat itu dilangit. Ada pelangi bagus banget.” Kata Fika sambil menunjuk kearah langit. Begitu indah pelangi saat itu, “mejikuhibiniu” adalah singkatan untuk ketujuh warna yang menghiasi pelangi yang indah itu. “Ayo keluar dan jalan-jalan bersama mengitari taman.” Fika mengajak Fiki untuk keluar dan mengitari taman, sambil menikmati indahnya pelangi saat itu. *** “Fiki, kenapa pelangi itu begitu indah?” Tanya Fika. Mereka berdua mengayunkan langkahnya mengitari taman sambil memandang pelangi yang begitu indah yang menggantung dilangit. Fiki menghentikan langkahnya dan memandang ke langit. “Banyak warna yang membuat dirinya begitu anggun.” Fiki tersenyum kearah Fika. Fikapun membalas senyuman Fiki. “Bukan itu jawabannya.” Sahut Fika. “Terus apa sayang?” “Pelangi itu indah karena sebelum pelangi itu muncul pasti ada hujan deras terlebih dahulu, bahkan disertai halilintar dan kilat seperti tadi. Dan setelah semua itu terlewati ia mulai menampakkan diri. Pelangi adalah simbol keindahan

74

langit. Seperti filososfi sebuah hidup, kadang hidup selalu banyak permasalahan, harapan yang tak kunjung datang, bahkan penyesalan. Tapi jika semuanya telah terlewati, akan menjadi indah pada akhirnya. Seperti penantianku terhadap cintamu sekarang. “Fika tersenyum kearah Fiki. “Sebelumnya aku sangat tersiksa dengan perasanku, aku menganggap diriku adalah orang yang tak beruntung. Belum sempat merasakan cinta, tapi terlebih dahulu sakit hati. Tapi didalam hati kecilku, aku peraya akan kekuatan cinta. Aku rela dengan sabar menantimu kembali. Padahal sebenarnya aku ragu akan kehadiranmu. Dan akhirnya hati kecilku menang, ia menuntunku dalam sebuah kesabaran. Kini kesabaranku telah membuahkan hasil. Kamu sudah kembali padaku. Pelangi itu kini telah muncul, setidaknya keindahannya telah tersimpan dihatiku.” Jelas Fika. Fiki terenyuh dengan perkataan Fika. Ia begitu senang sekali, ia telah dipertemukan dengan orang yang begitu tulus mencintainya. Begitu sabar menanti cintanya. “Fika...” Fiki memandang Fika dan menggenggam tangannya. “Maafkan aku.” Fika membalas senyuman Fiki “Sebelum kamu minta maaf aku sudah terlebih dahulu memaafkanmu. Yang terpenting, pelangi itu sudah kembali dan tersimpan dihatiku. Aku sudah melupakan itu semua. Yang ku ingat hanya satu, yaitu dirimu sekarang, dan cintamu seutuhnya.” “Aku berjanji Fika. Didalam hati kecilku, aku akan selalu menjaga cinta sucimu, seperti kamu yang begitu sabar menanti kehadiranku. Aku sangat mencintaimu. Terima kasih kamu begitu tulus mencintaiku.” Fiki tersenyum ke

75

arah Fika “Tapi aku harap cintamu tak akan seperti pelangi.” Sahut Fiki. Fika menoleh ke arah Fiki. Ia begitu kaget mendengar perkataan Fiki. “Kenapa?” Tanya Fika penasaran. “Aku tak mau jika cintamu seperti pelangi yang hanya sesaat ada di langit, yang aku inginkan cintamu seperti matahari yang tak pernah lelah untuk menyinari. Bahkan sampai kiamat nantinya.” Jelas Fiki. “Ah.. kamu so sweet sayang.” Fika tersenyum mendengar kata-kata romantis dari Fiki. “Lihat senja itu, begitu indah bukan?” Fiki menunjuk kearah langit, dan terlihat senja yang indah diufuk barat. Sinarnya memancar dengan anggun, Semilir angin sore membuat jiwa ini semakin tenang. Bersama tiupan cinta yang sekarang berkembang. Mereka berdua terbuai oleh keindahan senja sore. Mereka terus memandang matahari yang kian lama kian tenggelam. Dan sore itupun kini berganti menjadi malam. *** “Fika.. Pulang yuk? Sudah malam, aku tak mau ibu dan ayahmu menghawatirkanmu nantinya.” Ajak Fiki untuk pulang. Fika menatap jam tangannya menunjukan pukul 19.30. Malam ini begitu indah. Selepas hujan yang turun begitu lebat, langitlangit menunjukkan formasi bintang yang sangat anggun. Langit biru yang terang membuat malam ini begitu indah dan mempesona.

76

“Tapi aku takut pulang Fiki?” celetuk Fika dengan nada yang manja. “Halaah.. alasan saja, biasanya juga kamu sendirian pulangnya. “Iya-iya aku anterin kamu sampai rumah. Dasar anak bandel.” Fiki mencubit hidung mungil Fika. Fika hanya tersenyum dengan cubitan Fiki. “hehehe.. tau aja kamu sayang?” Fika senyum-senyum kearah Fiki. Dan akhirnya Fiki mengantarnya pulang kerumah. *** Sesampainya dirumah. “Assalamualaikum.” Fika mengetuk pintu rumahnya. Tak beberapa lama terdengar suara ibu Fika dari dalam. “Waalaikumsalam.” Ibu Fika membukakan pintu. “Ibu....” Fika langsung memeluk ibunya saat itu. “Loh. Kenapa Fika?” Ibu Fika bingung, melihat Fika tiba-tiba memeluknya. “Aku seneng Bu, hari ini. Oh ya aku kenalkan. Ini Fiki bu.” “Fiki...” Fiki mengulurkan tangannya dan mencium tangan Ibu Fika. “Kamu temennya Fika ya?” Tanya ibu Fika. “Bukan bu, coba tebak dia siapa?” Fika menyuruh ibunya mengira-ngira. “Siapa loh Fika?” 77

“Fiki itu pacar baru Fika bu. Hehehee..” terlihat wajah Fika yang berseriseri bahagia. Ia sangat senang bisa mengenalkan Fiki kepada ibunya. “Oalah.. nak Fiki ini pacar barunya Fika toh? Pantesan dari tadi dia terlihat sangat senang sekali, beda dengan hari-hari sebelumnya. Ia terlihat cuek dan jutek kepada semua orang. Syukur deh dapat pacar. Apalagi kalau cepet-cepet dapet menantu ganteng.” Celetuk ibu Fika. Fika hanya tersenyum getir mndengar perkataan ibunya. “Husst.. ibu itu, malu tahu sama Fiki.” Fika menyela pembicaraan Ibunya. Fiki hanya tersenyum mendengarkan perkataan ibu Fika. “Ayo mari silahkan masuk nak Fiki, Fika ambilkan handuk nak, baju nak Fiki basah kuyup. Ayo kamu juga cepetan ganti baju. Nak Fiki silahkan duduk dulu.” Suruh ibu Fika. ”Ia Bu, terima kasih.” Fiki duduk di kursi sofa ruang tamu sambil sesekali memandangi foto-foto Fika dan kedua orang tuanya yang menempel di dinding. “Begitu cantik.” Gumam Fiki setelah melihat foto-foto Fika yang terpajang. “Fika jangan lupa bawakan baju buat nak Fiki ya, baju bapakmu kelihatannya pas dengan nak Fiki. Terus setelah itu kamu buatkan teh hangat ya?” Suruh Ibunya kepada Fika. “Iya ibuku cerewet, beres deh.” Tak beberapa lama Fika membawakan handuk dan satu baju ganti untuk Fiki.

78

“Fiki kamu bisa ganti di kamar ayahku.” Fika menyerahkan pakaian ayahnya untuk Fiki. “Ayo aku antar kamu ke kamarnya.” Ia mengajak Fiki menuju kamar ayahnya. Setelah beberapa menit Fiki keluar dengan mengenakan baju ayah Fika yang agak kebesaran. “Hahahaha.. kamu lucu kalau pakai baju itu. Tak apalah yang penting kamu gak masuk angin nanti.” Fika tertawa setelah melihat baju yang dipakai Fiki ternyata agak kedodoran. “Ini sudah sangat pas menurutku, terimakasih ya.” Fiki tersenyum kearah Fika. Fiki melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Sementara Fika menyibukkan dirinya di dapur untuk membuatkan teh hangat. “Bagaimana nak Fiki, apa baju ayahnya Fika pas dengan nak Fiki?” Tanya Ibu Fika, sembari tertawa kecil melihat baju yang dikenakan Fiki agak kebesaran. “Alhamdulillah agak pas Bu, yang penting tidak masuk angin. Terima kasih banyak ya Bu.” Fiki berterima kasih kepada Ibu Fika yang sangat baik kepadanya. Sambutan kedatangan Fiki sangatlah hangat. Ia serasa mempunyai ibu kandung sendiri. Mengingat Ibu kandungnya telah meninggal saat ia masih kecil. “Iya nak Fiki, tak usah sungkan dengan Ibu, anggap Ibu seperti orang tuamu sendiri. Sering-seringlah main kesini ya nak Fiki”

79

“Iya bu. Saya akan sering-sering main kesini. Saya senang berada disini.” Fiki tersenyum kerah Ibu Fika. Ia sangat senang mendapatkan kasih sayang dari orang tua Fika yang begitu hangat. “Fika... tehnya sudah jadi apa belum?” Panggil Ibu Fika. “Iya ibu. Ini sudah jadi?” Sahut Fika dari dalam dapur. Tak beberapa lama Fika keluar dengan membawa nampan yang diatasnya terdapat ceret dan beberapa buah gelas.”Fiki ayo ikut aku, ayo minum teh di teras rumah saja. Kelihatannya suasananya mendukung.” Fika mengajak Fiki menuju ke teras rumah. Fika meletakkan nampannya di sebuah meja, dan mereka berdua duduk di kursi rotan. Sambil memandang langit yang nampak biru dan indah. Melihat dengan jelas kemilau bintang dengan formasi yang begitu anggun. “Heheheheheee...” Fiki tertawa sendiri. “Kamu kenapa Fik? kamu sehat kan?” Tanya Fika yang agak kaget melihat Fiki tertawa sendiri. “Apa obat gilamu sudah habis?” Fika tersenyum menyindir. “Enggak Fika, aku begitu senang hari ini.” Jelas Fiki. “Senang karena jadian dengan aku bukan?” Senyum Fika melebar. “Iya itu juga salah satunya. Yang paling aku senang adalah aku bisa bertemu dengan keluargamu, bertemu dengan ibumu yang sangat baik denganku.” Jelas Fiki sambil menyesap teh hangatnya.

80

“Tapi keluargamu juga baik seperti keluargaku bukan?” Tanya Fika. “Ayahku sangat baik, tapi kalau Ibuku…….” “Memangnya kenapa dengan Ibumu Fiki?” Tanya Fika yang penasaran dengan kata-kata Fiki yang terhenti. “Ibuku sudah lama meninggal, sejak aku masih berusia empat tahun. Dia meninggal akibat kecelakaan kereta.” Fiki meneteskan air matanya ketika menceritakan ibunya. “Dan aku begitu senang bisa bertemu denga ibumu. Aku seperti mendapatkan kasih sayang seorang Ibu yang tak pernah aku dapatkan dari dulu, setelah kepergian beliau” Fika menundukkan wajahnya. “Aku turut prihatin dengan ceritamu Fiki?” Fika menurunkan nada bicaranya. Ia terlihat simpati mendengar cerita Fiki. “Ibuku meninggal bersama dengan adik kandungku, mereka kecelakaan saat menaiki kereta yang akan membawanya menuju Surabaya.” Sahut Fiki. “Tenanglah Fiki, mungkin Ibumu sekarang tersenyum di surga, ia sangat senang melihat anaknya sudah tumbuh menjadi pria yang baik. Aku yakin itu, beliau pasti bangga denganmu Fiki.” Fika tersenyum kearah Fiki dan menghapus air mata Fiki yang menetes di pipinya. “Ayolah Fiki, tersenyum. Lihatlah sekarang, kamu masih punya ayahmu, masih punya aku dan masih punya keluargaku.” Fika berusaha menenangkan Fiki saat itu. Melihat tingkah Fika seperti itu, Fiki mulai tersenyum.

81

Terdengar suara kereta melintas. “Fika, rumahmu dekat dengan rel kereta ya?” Tanya Fiki yang mendengar suara kereta sedang melintas. “Iya Fiki. Jarak antara rumahku ke stasiun tak jauh dari sini. Mungkin hanya berjarak tiga ratus meter. Makanya itu aku sering berpergian menggunakan kereta. Yang pasti kereta lebih murah dari pada alat transportasi lainnya. Itulah alasan aku. Hehehe...” “Dasar kamu perhitungan.” Ledek Fiki. “Biarin, kan hemat itu pangkal kaya. Wek..!” Fika menjulurkan lidah ke arah Fiki. “Yang aku tau hemat itu pangkal pelit. Weekk...!” Fiki juga membalas juluran lidah kepada Fika. “Hahahahaa... kamu bisa aja Fiki.” Mereka berdua tertawa bersama-sama. Tiba-tiba terlihat ayah Fika yang baru pulang dari bekerja. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” “Ehh.. ada tamu ya?” Tanya ayah Fika. “Iya Ayah, ini kenalin pacar baru Fika. Namanya Fiki.” Fika memperkenalkan Fiki kepada ayahnya.

82

“Fiki..” Fiki memperkenalkan diri dan berjabat tangan dengan ayah Fika. “Saya ayahnya Fika, ya sudah saya masuk dulu. Saya gak mau mengganggu kencan pertama kalian. Saya juga pernah muda. Lebih-lebih jika suasana sangat mendukung seperti ini, tuh liat langit sangat cerah. Disertai formasi bintang-bintang yang begtu indah. Bulanpun tak kalah gagahnya memperlihatkan pesonanya. Ya.. ini memang waktu yang pas untuk pasangan yang sedang menjalin cinta. Aku tak mau menjadi pihak ketiga. Lebih baik aku masuk dulu. Silahkan dilanjutkan. Hahahhaa.” Mereka bertiga tertawa bersama. Dan akhirnya ayah Fika memutuskan untuk masuk kedalam rumah. Ia tak mau mengganggu momen spesial anaknya saat itu. “Lucu juga ya ayahmu, pintar betul dia membuat kata-kata indah.” Fiki memuji kepintaran ayah Fika. “Ya tak heran juga, ayahku itu dulu waktu mudanya seorang penulis dan penyair. Jadi tak kaget bila ia mempunyai kosakata banyak akan cinta. Itulah yang membuat ibuku terpesona dengannya. Akhirnya mereka jadian, terus mereka menikah deh. Itulah yang aku dengar dari mereka. Hahahhaa..” jelas Fika, mereka berdua tertawa lepas. “Ohh.. berarti kepandaianmu merangkai kata-kata yang tadi ditaman itu dan membuat aku terenyuh, adalah warisan dari ayahmu?” “Bisa dibilang begitu. Hehehe..” jawab Fika.

83

“Tapi benar juga sih apa yang ayahmu katakan. Malam ini begitu indah. Langit begitu cerah, bahkan bintang-bintang yang jumlahnya ribuanpun ikut menghiasi malam ini. Rembulan dengan anggunnya ikut menjadi penerang yang agung. Semilir angin ini telah membawa jiwa kedalam suatu keabadian. Keabadian cinta yang kini aku rasakan. Hari ini seperti hari terindah yang pernah aku alami. Langit bumi, pelangi, bintang, bahkan rembulanpun menjadi saksi. Mereka akan selalu menghiasi bumi dan langit. Aku juga akan berusaha seperti mereka. Menjadi penerang, menjadi penghias dalam kehidupan cinta kita. Aku akan berusaha menjadi imam yang baik. Dan semoga aku akan menjadi suamimu kelak. Yang ada hanya aku, kamu dan cinta kita.” “Ahh.. so sweet. Bagus sekali puisimu.” Fika memuji Puisi Fiki. “Terima kasih sayang.” “Ternyata tak hanya ayahku yang pandai menggombali wanita, sekarang pacarku sendiri ternyata pandai menggombal juga. Hahahaha..” “Aku dulu pernah menjadi penyair, dan pernah mendapatkan piala penghargaan karena aku memenangkan juara satu lomba cipta puisi.” Jelas Fiki yang memamerkan prestasinya kepada Fika. “Oh ya.. wah selamat ya sayang. Ternyata kamu hebat juga. Kapan kamu memenangkan lomba itu?”

84

“Aku memenangkan lomba saat aku masih kelas empat Sekolah Dasar. Aku menang lomba tingkat Kecamatan. Ya senang sekali aku dapat hadiah yang tak terkira.” “Hebaattt.. hadiah apa?” “Dua buah buku tulis dan satu pensil 2B.” “Hahahhaaa... hadiah yang sangat mahal ya sayang waktu itu. hahaha..” terlihat mereka berdua tertawa lepas saat itu. “Aku teringat akan kawan lamaku?” Fiki kembali bercerita. “Apa? Aku ingin mendengar ceritamu.” Fika tersenyum. Tak sabar mendengar cerita dari Fiki. “Waktu aku kuliah, aku berteman dengan orang yang mempunyai nama mirip denganku.” Fiki membenarkan posisi duduk dan menatap langit-langit. Selagi ia menyusun kata-kata untuk bercerita. “Nama mirip denganmu, maksudnya?” Fika sangat penasaran dengan ceita Fiki. “Ia bernama “Fiki Irwan bagaskara” dan namaku “Fiki Ramadan.” Mirip bukan.” Senyum Fiki menyeringai. “Terus?” Fika tak sabar mendengar cerita dari Fiki. “Fiki adalah orang yang sangat mencintai pacarnya, ia relakan dirinya untuk pacarnya. Bahkan ia relakan nyawanya. Menyumbangkan ginjalnya untuk

85

kesembuhan pacarnya. Padahal ia sendiri tahu, jika keselamatan menjadi taruhannya.” Fiki menghela nafas panjangnya. Ia kembali mencoba merangkai kata untuk bercerita kepada Fika. “Terus bagaimana kabar temanmu itu?” tanya Fika yang semakin penasaran dengan cerita Fiki. “Dia meninggal.” Jawab Fiki. “Ohh..” Fika terlihat sedih dengan cerita Fiki. Fika tersenyum ke arah Fiki. “Sayang, kamu tak harus berkorban seperti temanmu yang hebat itu. Aku suka dengan Fikiku ini.” Fika menggenggam tangan Fiki dan tersenyum manis. “Tak perlu kamu korbankan dirimu. Yang terpenting kamu selalu menjaga cintaku. itu saja sudah cukup menurutku.” Fiki menatap Fika dengan perasaan haru. Ia sangat senang Tuhan telah mempertemukannya dengan Fika. Orang yang begitu mencintainya. “Ia Fika, aku akan berjanji untuk selalu menjaga cintamu.” Gumam Fiki dalam hati. Fiki membalas senyuman Fika. Hari ini adalah hari yang paling spesial untuk mereka berdua. Mulai menjalin cinta, dan merajut sebuah harapan. Harapan untuk saling bersama, saling setia dan saling menjaga. Cinta adalah suatu kesucian yang tiada tara. Cinta adalah kasih sayang tulus dari dua insan yang saling mengasihi. Dan selamanya cinta akan sangat diperlukan oleh semua manusia didunia ini. Tanpa adanya cinta, pastinya akan banyak sekali pertentangan dan peperangan dimana-mana. Tanpa

86

adanya cinta, tak akan ada bayi yang dilahirkan didunia ini. Sampai sekarang cinta akan menjadi suatu yang agung. Dan dihari inilah cinta mreka telah dipertemukan.

87

Hari yang indah untuk cinta yang telah bersemi

Pagi ini cahaya matahari menyusup dari tirai jendela, awan yang begitu indah menggantung diatas bumi. Langit-langit yang begitu cerah disertai hembusan angin semilir, membuat jiwa ini semakin tenang. Kicauan burung menambah pagi semakin damai. Ditambah dengan aroma semangat cinta yang baru dipupuk tadi malam. Ya, pagi ini adalah pagi terindah untuk mengawali semua aktifitas. Mengingat semalam mimpi itu telah terwujud menjadi sebuah kenyataan. Mimpi akan datangnya cinta dan sebuah harapan. Terdengar bunyi SMS di ponsel Fika. Fika membaca pesan dari Fiki. “Dear my love. Selamat pagi cintaku. Pagi ini terlihat begitu cerah. Secerah hatiku, dan hubungan kita. Lihatlah ke langit. Awan begitu indah, bahkan aku melihat awan membentuk wajahmu. Apakah itu hanya hayalanku belaka? Jaga kesehatanmu! Selamat beraktifitas.” Satu pesan dari Fiki. Fika hanya senyam-senyum setelah membaca SMS dari Fiki. Cepat-cepat ia menuju ke jendela dan melihat awan yang menggantung di langit.

88

“Mana ada awan yang membentuk wajahku. Gak ada tuh!” Fika kembali ke tempat tidur dan membalas SMS Fiki. “Pagi juga cinta, aku sudah melihat langit-langit pagi ini, dan aku tak menjumpai awan yang menyerupai diriku. Aku rasa kamu sekarang lagi sakit. Tepatnya sakit akibat cinta. Aku akan selalu menjaga kesehatanku. Dan aku akan sekuat tenaga menjaga cinta kita.” Fika memencet tombol send, dan SMS terkirim ke nomornya Fiki. Pagi ini begitu indah, pagi dengan sejuta cinta dari orang terkasih. Satu pesan dari Fiki membuatnya sangat bersemangat untuk menjalani aktifitas hari ini. Terlihat senyuman indah di bibir Fika. *** “Hai, selamat pagi buat para pendengar, bertemu lagi dengan saya Fika di acara Salam Pagi.” Seperti biasa Fika mengisi acara On Air di radio. “Di hari yang cerah ini, Fika harap semua pendengar diberi kesehatan yang berlimpah, sehingga dapat menjalankan aktifitas dengan lancar. Oh ya.. sore kemarin terlihat cuaca sangat buruk sekali bukan? Hujan deras telah mengguyur kota Surabaya. Tetapi setelah hujan reda, terlihat pelangi yang sangat indah menggantung di langit. Apakah dari sahabat pendengar ada yang sempat melihat pelangi? Hahaha.. pada kesempatan kali ini, saya akan membuka sesi curhat kawula muda. Tema yang diambil adalah? “Peristiwa apa yang terjadi setelah hujan deras kemarin?” seperti contoh, hari kemarin setelah hujan deras, aku disibukkan dengan mengepel lantai rumah, membersihkan selokan dan lain-lain, 89

atau hari kemarin setelah hujan deras, aku disuruh untuk datang ke rumah sang pacar untuk membetulkan atap genting yang bocor. Hahaha.. semua bisa terjadi di hari kemarin. Silahkan dibuka untuk semua sahabat pendengar menceritakan pengalamannya. Untuk via telfon bisa menghubungi (031)897030. Saya tunggu curhatan anda sekarang juga.” Tak beberapa lama telfon berbunyi. “Hallo.. Salam Pagi?” “Hallo salam pagi juga?” “Dengan siapa dimana?” “Dengan Erni di jalan Diponegoro.” “Ia silahkan ceritanya mbak Erni!” “Hari kemarin setelah hujan deras aku melakukan berbagai hal, seperti mengepel lantai, menguras bak mandi dan membereskan tanaman yang berantakan akibat terkena angin kencang, tapi dibalik itu semua aku sangat senang kemarin.” “Senang kenapa mbak Erni?” Tanya Fika kepada Sahabat pendengar. “Aku melakukan aktifitas itu tak seorang diri. Suamiku tercinta ikut membantuku. Kami melakukan aktifitas itu berdua. Kami saling membantu dan begitu romantis. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan, saya membuatkan secangkir kopi untuk suami tercinta. Setelah kopi saya hidangkan, saya memasak nasi goreng kesukaannya, dengan dua telur ceplok mata sapi dengan irisan

90

bawang goreng diatasnya. Setelah matang, kami berdua makan di meja makan keluarga. Waktu mencicipi makanan yang baru saya masak, saya agak deg-degan. Apakah yang akan terlontar dari mulutnya? Setelah mencicipi makanan yang selesai saya buat? Ternyata dia memuji masakan saya. Alhamdulillah hari itu saya menjadi istri yang baik bagi suami saya. Saya begitu sangat mencintainya.” “Wah.. wahh.. so sweet mbak Erni ceritanya.” “Hehhee.. terima kasih.” “Oh ya anda mau titip salam kah kali ini?” “Saya titip salam kepada suami saya tercinta, selamat bekerja ya sayang di Kalimantan. Aku sangat mencintaimu, dan akan selalu menunggumu di sini. Peristiwa tadi malam adalah peristiwa terakhir, sebelum ia berpamitan untuk pergi ke Kalimantan.” “Semoga suami anda mendengarkan curhatan mbak disini. Ada lagi mbak yang perlu disampaikan?” Tanya Fika kepada sahabat pendengar. “Sudah cukup terima kasih banyak ya mbak Fika.” “Sama-sama mbak Erni.” Setelah itu telfon terputus. “Itulah tadi curhatan dari sahabat pendengar yang sangat bagus. Cerita yang bagus untuk mengawali sesi curhatan kali ini. Dia begitu mencintai suaminya, dan ia telah menjadi istri yang baik bagi suaminya. Oke ditunggu satu penelfon lagi untuk acara ini. hallo?” “Hallo.. Salam Pagi?”

91

“Salam Pagi, dengan siapa dimana?” “Dengan Vino di Jalan Pahlawan.” “Ia Vino silahkan bercerita.” “Sore itu aku melihat awan begitu mendung. Langit-langit begitu gelap. Kulihat beberapa kilatan-kilatan dilangit membuat diri ini takut berlama-lama untuk keluar dari rumah. Waktu itu aku baru pulang dari jakarta. Setibanya dari stasiun aku tak langsung pulang, aku teringat suatu tempat dimana aku menemukan cinta yang pernah aku tinggalkan disana. Aku menuju tempat itu.” Fika mendengarkan curhatan sahabat pendengar dengan seksama, entah mengapa cerita dari Vino membuat jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. “Tak jauh dari stasiun untuk menuju ke tempat itu, sekitar seratus kilo meter. “Vino kembali meneruskan ceritanya. "Aku jalan kaki. Ku lihat lagit begitu gelap. Hujan mulai turun dengan derasnya. Aku tak mempedulikan itu. Aku lebih mementingkan fikiran yang selalu mengusikku setiap harinya. Aku melangkahkan kaki menuju tempat itu. Hujan

deras telah membuatku sangat basah kuyup.

Bahkan seperti diriku telah tercebur kedalam lautan. Aku melihat seorang gadis di tempat itu. Gadis itu duduk disebuah kursi seorang diri.” Jantung Fika semakin berdegup kencang dengan cerita Vino, kejadian tersebut seperti apa yang Fika alami sore kemarin. “Tiba-tiba terlihat seorang cowok yang membawakan payung untuknya. Tapi kenapa ia menolak ajakan cowok untuk meninggalakan tempat itu? Hujan deras sempat mengaburkan penglihatanku, bahkan aku tak mendengar percakapan 92

mereka.

Aku

melihatnya

dari

jauh.

Tak

beberapa

lama,

cowok

itu

meninggalkannya sendirian di taman, dan si cewek tetap saja tak mau beranjak dari tempat duduknya. Ia memilih untuk kehujanan. Aku sangat iba melihatnya. Tak selang beberapa lama aku melihat cewek itu terjatuh dari kursi taman. Aku tak melihat seorangpun ada di sekitar sana. Aku berlari cepat saat itu, beruasaha menolong cewek yang telah terjatuh pingsan. Aku membawanya ke pos taman untuk berteduh. Aku tersenyum saat melihat wajahnya. Cewek yang aku tolong adalah cewek yang selama ini selalu mengganggu fikiranku, dan aku senang, aku bisa menemuinya di taman itu. Instingku benar, membawaku ke tempat itu. Aku membersihkan tanah yang menempel ditangan dan wajahnya, saat ia terjatuh tadi. Aku membelai rambutnya yang basah. Aku sangat kangen dia saat itu. Dia belum juga sadarkan diri. Aku berikan jaket tebal yang aku simpan di tas rangsel untuk menyelimutinya, agar ia tidak kedinginan.Tak beberapa lama cewek itu sadarkan diri. Aku begitu senang. Ternyata dia menungguku sekian lama di tempat itu. Aku begitu menyesal telah meninggalkannya, tanpa memberi kabar apapun. Sekarang aku telah menemukan cintaku ditaman itu. Kami berdua saling berpelukan, saling melepas rindu. Aku utarakan isi hatiku ke dia. Dan akhrinya dia menerima cintaku.” Cerita dari Vino. Tak terasa Fika meneteskan air matanya. Ia teringat akan kejadian sore itu, “hujan deras,” di taman itu dan “bertemu dengan Fiki.” Cerita itu sama seperti apa yang dialaminya sore kemarin. Apakah sahabat pendengar yang telah menelfon itu adalah Fiki? Ternyata benar. Fiki yang menelfon. Fika tak menyangka jika Fiki ikut menceritakan kejadian sore itu di acaranya. Fika tak bisa berkata apa-apa waktu itu itu.

93

“Mbak Fika?” panggil Vino didalam telfon. “Iya mas Vino. Maaf saya sangat menikmati alur cerita mas Vino. Cerita mas Vino sangat romantis, bahkan aku saja menangis mendengarnya. Mungkin anda mau nitip salam kali ini?” Tanya Fika terhadap sahabat pendengar. “Ohh iya. Aku nitip salam kepada orang yang sekarang sangat aku cintai, “Selamat pagi cintaku. Pagi ini terlihat begitu cerah. Secerah hatiku, dan hubungan kita. Lihatlah ke langit. Awan begitu indah, bahkan aku melihat awan membentuk wajahmu. Apakah itu hanya hayalanku belaka? Jaga kesehatanmu, selamat beraktifitas.” Salam dari sahabat pendengar. Fika teringat akan pesan yang dikirim Fiki pagi tadi. Pesan itu sama seperti salam yang di sampaikan sahabat pendengar yang bernama Vino. Dan tak salah lagi, Vino adalah Fiki pacarnya yang saat ini ikut On Air dalam siarannya. “Hemmm.. awas saja ya Fiki kalau ketemu aku, bakalan aku cakar-cakar mukamu.” Gumam Fika dalam hati. “Ohh.. so sweet mas Vino, terima kasih banyak, telah mau berbagi cerita di acara ini. Sukses selalu.” Telfon terputus. “Demikian tadi acara curhat sahabat pendengar kali ini. Acara akan kami lanjutkan setelah pemutaran satu single lagu romantis dari “Ada band” dengan lagunya surga cinta. Tetap stay di radio kesayangan anda.” *** Setelah

beberapa

jam

Fika

On

Air,

akhirnya

pekerjaan

yang

melelahkanpun usai. Fika bersiap-siap untuk pulang. Tak lupa ia ber make-up, sekedar menyapukan bedak tipis di pipinya. Dan menulis indah dengan lipstik di 94

bibir mungilnya. Setelah dirasa cukup cantik, ia memasukkan alat make-upnya kedalam tas. Fika mengambil ponselnya. Satu pesan masuk dari Fiki. “Selamat sore cinta, aku harap kamu tak keberatan untuk makan bersamaku kali ini. Aku tahu kamu sedang kelaparan. Jadi aku harap kamu tak menolak dengan ajakanku.” Satu pesan dari Fiki. Fika tersenyum didepan layar ponselnya. “Tahu saja kalau aku sedang kelaparan. Okey...” Fika berfikir sejenak. “Hemm.. awas saja kalau bertemu denganku, siapa suruh kamu ngerjain aku.” Gumam Fika dalam hati. Ia masih dendam dengan Fiki yang menyamar menjadi Vino saat On Air tadi. Fika memencet tombol nama My Love dan mulai menelfonnya “Hallo.. Aku menerima ajakanmu. Ketemuan dimana?” Sahut Fika dalam telfon. “Dihatimu... Nanti aku kabari lagi. Bye-bye. Sahut Fiki, kemudian telfonpun terputus. Fika memasukkan ponselnya di dalam tas dan bersiap untuk pulang. Fika melangkahkan kaki keluar dari tempat kerjanya. Ia buka pintu dan melihat sekeliling jalan, ia melihat Fiki sudah berdiri di sebrang jalan untuk menunggunya. Terlihat Fiki melambaikan tangan kearah Fika. Fika membalas lambaian tangannya dan dengan cepat ia mengayunkan langkahnya menuju sebrang jalan. “Awas saja nanti” Gumam Fika dalam hati. “Fiki.. Sudah lama ya?” Tanya Fika. “Ahh.. tak lama juga, baru sampai kok ditempat ini.”

95

“Puas kamu ngerjain aku hari ini, berpura-pura menjadi Vino, dan menceritakan semua kejadian yang kita alami kemarin sore. Puas kamu hampir membuatku menangis Fiki?” Fika berbicara dengan nada yang sangat tinggi. Ia meluapkan kekesalannya kepada Fiki. Fiki hanya tersenyum tipis. “Dan akhirnya menangis, bukan? Fiki tertawa menyindir. “Hehehhee.. awalnya aku tak mempunyai fikiran untuk On Air di acaramu saat itu. Kebetulan waktu itu aku mendengar siaranmu, aku tertarik dengan acara itu. Yah itung-itung aku berkirim salam untuk dirimu. Hehehehe..” Fiki terlihat membela diri dan tersenyum kecut. Fika tersenyum mendengar pembelaan dari Fiki. “Ahh.. kamu sayang, membuatku bisu diacaraku sendiri. Tapi terimakasih ya sayang. Berkat kamu menelfon tadi, rating penyiaran ikut naik. Banyak orang yang menyukai ceritamu.” “Tuh kan, itu semua juga buat kebaikanmu. Gara-gara aku, ratingmu naik kan?” Fiki terus saja memuji dirinya. “Ia sayang, sudah deh jangan memuji diri berlebihan. Eh.. Mau kemana kita kali ini? Bye the way ini hari kencan pertama kita ya?” Seru Fika yang terlihat senang. “Emmm.. kan kemarin kita sudah kencan pertama, yang ini yang kedua lah?” Jawab Fiki dengan senyum yang melebar.

96

“Terserahlah. Yang penting perutku sudah keroncongan, sudah pada maen mercing band ini lambung. Ayo cari tempat makan!” Fika mengajak Fiki untuk makan. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk mengawali kencannya dengan mengisi perut terlebih dahulu. Fiki mengajak Fika ke restauran bergaya eropa klasik. Terlihat restauran dengan gedung yang sangat megah dan artistik. Di depan restauran tergantung beberapa lukisan-lukisan eropa yang sangat indah. Mereka berdua duduk dikursi bernomor 14. Fika melihat sekeliling restauran. Terlihat begitu ramai. Suasana begitu romantis. Dengan dua lilin yang ada dimeja dan asbak yang berbentuk hati yang sangat indah menghiasai meja makan yang mereka duduki. Tak beberapa lama terlihat pelayan laki-laki datang membawa nampan dan menyerahkan setumpuk menu yang disajikan restauran itu. Telinga ini masih mendengarkan alunan live music yang dibawakan group band restauran itu. “Silahkan tuan menunya.” Pelayan itu menyerahkan setumpuk menu kepada Fiki. “Terima kasih.” Fiki tersenyum kearah pelayan. Fiki mulai memilih menu yang ditawarkan. Fika juga sibuk memutuskan sendiri menu pilihannya. tak seperti biasa, ia menentukan sendiri menunya kali ini. Fika terlihat bingung dan akhirnya menyerah. “Kamu saja sayang, yang memilih menuku.” Dan seperti biasa, ia menyerahkan sepenuhnya menu pilihannya kepada Fiki. Fiki hanya tersenyum.

97

Fiki memberitahu menu yang akan mereka pesan. Pelayanpun mencatat menu yang Fiki pesan. “Oke. Selamat menikmati suasana di restauran ini. Selamat bersenangsenang.” Pelayan laki-laki itu meninggalkan meja Fika dan Fiki. Terdengar alunan musik yang menggema. Begitu indah dan merdu. Live music itu membawakan lagu “Reason” yang dijadikan sountrack film korea Autumn in my heart, mereka memainkannya not-not yang indah. Fika kembali melihat sekeliling ruangan di restauran itu. Melihat beberapa perabot antik dan klasik. Beberapa lukisan yang indah juga nampak menghiasi diding yang terbuat dari kayu jati. “Terlihat artistik dan menawan.” Gumam Fika dalam hati. Fika kembali mendengarkan alunan musik, sungguh enak didengar. Not-not yang keluar dari piano itu telah menggetarkan hati seisi raungan. “Fika..” Panggil Fiki yang tersenyum ke arahnya. Senyum Fika merekah. “Iya sayang.” Fika menatap Fiki. Ia terlihat senang dengan suasana restauran ini. “Bagaimana menurutmu dengan restauran ini?” Fiki takut jika Fika tak menyukai restauran pilihannya. “Aku begitu menyukainya.” Fika tersenyum indah. Fiki hembuskan nafas leganya. “Syukurlah kamu menyukainya.” Fiki tersenyum senang. “Fika bagaimana kalau orang yang kamu cintai menyatakan cintanya didepan banyak orang dan

98

menyanyikan sebuah lagu di panggung itu?” Fiki menunjuk ke arah grup band yang sedang memainkan Live Music. Fika memandang panggung itu dan tersenyum. “Dan aku tak akan pernah lupakan itu.” “Baiklah..” Fiki merapikan baju dan kerahnya. Ia beranjak berdiri. “Tunggu sebentar.” Fiki menuju ke atas panggung dan membisik ke salah satu pemain band. Hanya terlihat anggukan dari salah satu pemain band. “Apa yang akan dilakukan Fiki? Jangan-jangan.. ahhh..” Fika tersenyum malu melihat Fiki yang akan siap-siap tampil di atas panggung. Anggukan dari salah satu pemain band menandakan ia setuju apa yang yang Fiki utarakan. Seluruh personil band turun dari panggung. Tinggal terlihat Fiki yang ada di atas panggung. Ia menuju piano. Ia duduk tepat di depannya piano klasik yang begitu indah. Fiki meletakkan tangannya di atas tuts-tuts piaono. Fiki mulai memainkan dengan nada yang terdengar pelan dan lembut, kemudian iya menambah power supaya banyak orang mendengar permainannya. Jemarinya memainkan dengan penuh irama. Sangat piawai Fiki merangkai not-not yang indah untuk didengarkan. Fika hanya bisa berdecak kagum melihat penampilan dari pacarnya. Serasa ia ingin sekali menangis haru. Begitu romantis saat itu. Nada-nada permainan Fiki telah membius semua yang pengunjung restauran. Semua mata tertuju padanya. Begitupun Fika, ia ingin sekali menangis. Melihat pacarnya yang begitu romantis didepan panggung.

99

Permainan piano Fiki dihentikan. Tepuk tangan begitu riyuh didengar, menandakan semua pengunjung suka dengan penampilannya. Fikapun juga antusias ikut tepuk tangan. Ia kerahkan seluruh tenaganya supaya tepuk tangannya didengar oleh Fiki. Dari atas panggung Fiki menatap Fika dan tersenyum. Fiki mengambil microphone. Ia benarkan posisi stand mic. “Ehemm..” Fiki mulai bersuara. “Terima kasih.” Ucap Fiki diatas panggung. Pengunjung kembali bertepuk tangan sebagai simbol kepuasan. Fiki kembali membenarkan posisi stand mic. Fiki kembali bersuara dalam microphonnya “Sebuah lagu akan saya nyanyikan untuk seseorang yang sangat aku sayangi.” Fiki menatap Fika yang duduk sedang memperhatikannya diatas panggung. “Orang yang aku cintai lebih dari apapun. Dia ada di sana.” Fiki menunjuk kearah Fika. Semua pengunjung menoleh kearah Fika. Fika dengan malu-malu menundukkan wajahnya. Pengunjung kembali bertepuk tangan dan bersiul. Suasana restauran sangat meriah. Wajah Fika memerah. Ia sangat malu ketika semua pengunjung tertuju padanya. Tepuk tangan pengunjung seperti air es yang tiba disiram ke seluruh tubuhnya. “Nyeesss....” Fika tak menyangka jika apa yang Fiki ucapkan barusan adalah suatu kebenaran. Fiki memang akan mengungkapkan perasaan cintanya di atas panggung itu. serasa tubuh Fika membeku. Wajahnya memerah malu. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Ia tersipu malu. Suara piano itu terdengar lagu. Nada-nada yang begitu indah.

100

Fiki kembali memainkan jemarinya di atas tuts-tuts piano. Intro lagu yang sangat indah. Ia membawakan lagu “Pelangi di matamu” dari Jamrud. Tepuk tangan yang riuh kembali terdengar. Tiga puluh menit kita disini, tanpa suara Dan aku resah harus menunggu lama, kata darimu. Mungkin butuh kursus merangkai kata, untuk bicara Dan aku benci harus jujur padamu tentang semua ini. Fika kembali menatap panggung, ia tersenyum. Memang benar-benar Fiki telah membuat hati Fika menjadi mencair saat ini. Sungguh sangat romantis. Jam dindingpun tertawa, karna ku hanya diam, dan membisu. Ingin ku maki diriku sendiri, yang tak berkutik didepanmu Pengunjung begitu menikmati lagu yang dibawakan Fiki. Begitu indah dan enak sekali didengar. Ada yang lain disenyummu Yang membuat lidahku, gugup tak bergerak Ada pelangi, di bola matamu Yang memaksa diri tuk bilang Aku sayang padamu...

101

Aku sayang padamu... Fika tersipu malu, hatinya telah mencair saat itu. Penampilan Fiki dipanggung telah memukau banyak orang, termasuk dirinya. Aku sayang padamu... Fiki menyelesaikan lagu itu dengan sangat apik. “Special for my girl friend, Fika.” Ucap Fiki di atas panggung. Semua mata pengunjung mengarah pada tempat duduk Fika, disertai tepuk tangan yang sangat meriah. Fika hanya bisa menundukkan kepala dan malu. Hatinya sudah mencair, seperti air es. Fiki menghentikan permainanya dan kembali di meja Fika. Tepuk tangan tak henti-hentinya terdengar memeriahkan seisi restauran. “Bagaimana sayangku?” Fiki tersenyum ke arah Fika. “Aku tak bisa berkata apa. Aku gugup.” Komentar Fika yang masih merasa malu. “Nah loh.. yang tampil kan aku, kenapa kamu yang gugup.” Tawa Fiki menyindir. Fika hanya tersenyum getir dengan wajah yang masih memerah malu. “Aku senang dengan penampilanmu. Terima kasih sayang, kamu membuat diriku mencair.” Fika tersenyum ke arah Fiki, yang masih memperlihatkan wajah yang malu-malu. “Aku sayang kamu Fiki. Begitu sangat menyayangimu.” Fika meremat erat tangan Fiki.

102

“Aku juga begitu mencintaimu Fika.” Fiki tersenyum dan mengecup tangan Fika. Tak beberapa lama, pelayan laki-laki datang membawa menu yang Fiki pesan. Ia meletakkan makanan beserta minuman di atas meja. “Makanan yang begitu menggoda, sepertinya enak.” Gumam Fika dalam hati setelah melihat makanan yang telah terhidang di atas meja. Pelayan laki-laki itu tersenyum ke arah Fika dan Fiki. “Pasangan yang serasi.” Pelayan laki-laki itu menepuk bahu Fiki. “Permainanmu piano sangat mengagumkan anak muda. Begitu romantis.” Ucap pelayan itu sembari tersenyum manis ke arah Fiki. Senyuman seorang laki-laki sekitar berumur lima puluh enam tahun, yang sangat mengagumi permainan piano Fiki diatas panggung tadi. “Beruntunglah kamu nona, kamu mempunyai pacar seperti dia.” Ucap pelayan itu kepada Fika. Pelayan laki-laki itu terus memuji. Fika hanya tersenyum malu dengan pujian-pujian itu. “Terima kasih.” Fiki membalas senyuman pelayan laki-laki itu. Pelayan itu meninggalkan meja mereka berdua. Makanan yang lezat sudah terhidang di atas meja. Begitu banyak yang Fiki pesan. Dari makanan dessert sampai makanan inti. Mata Fika mengerjap-ngerjap. Ia bingung mulai dari mana ia makan. Semuanya begitu enak, dan menurutnya asing baginya. “Sayang ini nama makanannya apa?” Fika menunjuk ke dessert yang terlihat enak. 103

“Oh ini namanya “Baklava” adalah makanan khas Balkan, Turkey.” Fiki mengambil roti dessert dan menjelaskan setiap detail makanan tersebut. “Baklava adalah kue yang sangat manis dengan kenari atau pistacio cingcang dengan sirup gula atau madu sebagai bahan utama.” “Ohh.. terus kalau ini apa sayang.” Fika menunjuk satu makanan yang begitu menggoda selera. Terlihat beberapa daging sapi, wortel serta potongan roti. “Kalau ini namanya “Beef Bourguignon.” Fiki kembali menjelaskan dengan detail makanan tersebut. “Jika indonesia punya “Rendang” makan Perancis punya makanan “Beef Bourguignon.” Kelebihan dari makanan ini adalah daging sapinya yang mempunyai tekstur yang sangat lembut, karena dimasak dengan anggur merah dan membutuhkan waktu yang sangat lama.” Kali ini Fika berdecak kagum. Rasa penasarannya kembali muncul. “Ini apa sayang, ini, ini dan ini.” Fika menanyakan semua makanan yang terhidang di meja saat itu. Fiki hanya tersenyum, Fika memang mempunyai rasa ingin tau yang cukup tinggi. “Nicoise sallad, Foie gras, coq auvin. Semua makanan ini adalah makanan Eropa, sayang.” Fiki tersenyum. Ia mengambil Beef Bourguignon. Dan menaruh diatas piring Fika. “Cobalah, pasti kamu suka.” Fika tersenyum. Ia mengambil garpu, mengiris tipis daging sapi itu dan memasukkannya ke dalam mulut mungilnya. “Hhhmmm... Nyummy.. enak sayang. Aku tak pernah makan daging selembut ini.” Fika sangat suka makanan ala Eropa tersebut. Mulutnya terlihat mengunyah perlahan. Ia begitu sangat menikmati. “Syukur kalau kamu juga menyukainya.” Fiki mengambil Nicoise sallad. “Selamat makan.” Mereka berdua makan dengan begitu lahap. Dessert dan makanan inti, semua disantap dalam waktu sekejap. Makanan di restauran ala Eropa yang mereka kunjungi memang terkenal enak dan romantis. Banyak orang yang 104

mengunjungi restauran itu. restauran ala Eropa buka setiap harinya mulai jam 08.00 sampai tengah malam. Begitu mempesona restauran itu. gaya klasik dan artistik, Live Music yang menemani selagi menyantap hidangan. Juga makanan yang semuanya enak. Itulah mengapa banyak orang yang selalu memadati mejameja di restauran itu. Fiki sebelumnya sudah memesan satu meja untuk mereka tempati. Kalau saja ia tak memesan hari sebelumnya, pasti tak akan dapat tempat untuk makan di restauran yang hebat itu. “Enak sekali sayang.” Fika tertawa kecil, bahkan ia bersendawa pelan. Fiki tertawa melihat sendawa Fika. “Sayang, kamu begitu tahu soal makanan Eropa ini.” “Pamanku mempunyai restauran Eropa, dan aku sering mengunjunginya. Jadi secara tak langsung aku menghafalnya. Terkadang aku juga ikut membantu paman menyiapkan makanan-makanan itu kepada para pengunjung disana.” “Ikut memasak juga kah?” Tanya Fika sambil mengelap bibirnya menggunakan tissue. “Ya.. benar sekali. Terkadang aku juga menjadi koki. Memasak makan ini. iseng-iseng

aku

belajar

masak

juga.

Hahhaha..”

Fiki

tertawa

renyah

menyombongkan dirinya yang bisa masak makanan Eropa. “Hebat kamu sayang. Sekali-kali kamu harus masakin aku makanan Eropa se enak makanan di restauran ini ya? Fika menghardik Fiki supaya mau memasakkan makanan Eropa nanti. Fiki hanya tersenyum. “Oke sayang. Siap dengan tantangan memasakmu.” Fiki mengambil tissue dan mengelap mulut Fika yang clemotan dengan es krim. Fika tersenyum dengan perhatian Fiki. Begitu romantis. Fika tertawa kecil. “Aku begitu mencintaimu Fiki.” Gumam Fika dalam hati. “Kemana lagi kita?” Tanya Fiki.

105

“Ke taman yuk, lihat Sunset.”Ajak Fika. Ia mengajak Fiki untuk pergi ke taman. Dan akhirnya kencan mereka dilanjut ke taman yang sering Fika kunjungi. Sesampainya ditaman. Terlihat begitu ramai saat itu, seperti hari-hari yang lain, taman ini tak pernah sepi pengunjung, mungkin karena pesonanya yang begitu anggun. Bunga-bunga yang sangat indah menghiasi seisi taman. Hembusan anginpun membuat jiwa ini semakin tenang. Bahkan suasana senja yang begitu indah. Matahari terbenam adalah peristiwa yang sangat ditunggu-tunggu oleh para pengunjung. Mereka bisa melihat keindahan sunset dengan jelas di tempat ini. “Sayang, lihat.. sebentar lagi matahari yang perkasa itu akan terbenam. Keindahannya, cahaya yang ada disekelilingnya, sungguh begitu anggun. Senja yang penuh dengan rasa cinta dan kehangatan. Aku ingin cinta kita seperti matahari itu. Yang akan terus bersinar hingga Tuhanlah yang nanti akan memisahkan cinta kita.” Fika menujuk kearah matahari yang akan terbenam. Fiki tersenyum kearah Fika, ia kembali memandang sunset yang begitu indah. “Lihatlah kearah matahari itu, begitu mempesona. Sebentar lagi, matahari itu akan menuju peristirahatannya. Senja ini akan menjadi malam yang begitu gelap. “Fiki menghela nafas panjangnya. Menyusun kata-kata indah yang akan di ucapkan kepada Fika. “Jangan takut akan malam, jika nantinya malammu akan menjadi indah. Janganlah takut akan perpisahan, jikalau nantinya ada perjumpaan setelah itu.”Fiki tersenyum dan menggenggam erat tangan Fika. Fika membalas senyumannya. Tak kuasa Fika meneteskan air matanya, Fika tak bisa berkata apa-

106

apa saat itu, ia memeluk Fiki dan Fiki membalas pelukan Fika dengan penuh kasih sayang. “Fiki, aku tak mau kehilangan kamu lagi untuk yang ke dua kalinya. Aku tak mau secepat itu senja menjadi malam. Aku belum siap untuk itu. Aku masih butuh kamu, cintamu dan kasih sayangmu. Aku masih rapuh akan semuanya. Aku belum sekuat matahari. Maka aku mohon kamu jangan meninggalkanku lagi. Tetaplah disini bersamaku, merajut cinta dan kasih sayang. Hanya ada aku, kamu dan cinta kita.” Ungkap Fika dengan terus memeluk Fiki dengan tulus. “Aku berjanji dengan diriku, aku tak akan meninggalkanmu sendiri, aku akan selalu bersamamu. Karena diriku sudah menjadi satu denganmu. Tepatnya disini.” Fiki menunjuk hati Fika. “Terima kasih Fiki. I Love You.” “I Love you to.” Balas Fiki. Dan akhirnya mereka mengakhiri kencannya kali ini. Fiki mengantarkan Fika untuk pulang kerumahnya. Keindahan cinta memang begitu mempesona, seperti keindahan senja yang akan berganti dengan malam. Matahari dengan gagahnya akan menuju peristirahatannya. Empat puluh tujuh menit sunset yang mengesankan. Empat puluh tujuh menit, matahari sempura menuju peristirahatannya. Bulan dan bintanglah yang akan menggantikan tugasnya, menjadikan langit begitu indah saat malam. Ribuan bintang yang bersinar menambah malam-malam ini begitu romantis. Bulanpun dengan sinarnya yang cerah telah membius hati dan perasaan

107

menjadi damai. Cinta akan selalu terpancar keindahannya. Tak ada cinta, tak kan ada lagi keindahan dan kedamaian.

108

Secepat itu, fiki melamarku

Sore itu, setelah Fika pulang dari bekerja. Seperti biasa ia meneyempatkan diri untuk pergi ke Taman. Ia duduk seorang diri. Terlihat Fiki tak bersamanya. Ia duduk di kursi taman yang dekat dengan pohon mahoni besar. Ia menatap kearah langit dengan tatapan yang kososng. Tiba-tiba bayangan itu muncul kembali, terlihat begitu jelas difikirannya kereta yang melaju cepat, terdengar pula klakson kereta yang berbunyi sangat kencang. Kepalanya mulai pusing dan tak tertahankan. Nafasnya kian tersengalsengal dan pandangannya mulai kabur. Fika terus menjambak-jambak rambutnya untuk menahan rasa sakit dikepalanya. Tak ada yang tau keadaan Fika saat ini. Fika masih merasakan sakit yang begitu hebat dikepalanya. Arrggg... ia menggerang kesakitan. Terlihat lalu lalang orang difikirannya, terdengar jeritan orang-orang bahkan suara sirine mobil pemadam kebakaran membuat telinganya mau pecah. Seperti ada bom yang akan meledak. Fika terus menjambak-jambak rambutnya, dan mengerang kesakitan. Dan tak lama bayangan itupun hilang difikirannya. Nafasnya pun mulai kembali normal. Bahkan penglihatannya sudah tidak kabur. Fika mengambil air mineral di tasnya, ia meneguk air itu untuk menenangkan jiwanya. Ia terlihat meneteskan air mata, ia selalu dihantui oleh fikiran itu. Entah dari mana bayangan-bayangan tersebut. Semakin ia mencoba

109

mengingat-ingat, bayangan itu semakin kuat. Fika sangat tersiksa dengan semua itu. Ia terus menangis. Ia masih bingung, apa yang sebenarnya terjadi padanya. Padahal, pernah ia pergi ke psikiater maupun dokter untuk menanyakan penyakitnya. Tak ada satupun dari mereka yang tau penyakit penyakit apa yang Fika derita. Mereka hanya mengatakan bahwa Fika hanya trauma pada suatu kejadian. Tapi kejadian apa? Kapan? Dan dimana? Pertanyaan itu sering muncul difikirannya. Hingga akhirnya ia biarkan bayangan itu muncul dan menyiksa dirinya. Fika masih memandang langit-langit sore saat itu. Begitu indah ia pandang. Sesekali ia mengusap air matanya akibat tangisannya tadi. Tiba-tiba dari belakang ada seseorang yang menutup mata Fika dengan tangannya. “Siapa sih ini?” Fika penasaran dengan orang yang menutupi matanya. Orang tersebut tak menjawab pertanyaan Fika. Ia terus menutupi mata Fika dengan tangannya. “Ohh.. aku tau siapa orang ini. orang yang paling jahil dikehidupanku. Siapa lagi kalau bukan. FIIIIKIIIII.......” Fika berteriak keras. “Wow.. wow.. gak usah berteriak begitu neng.” Fiki kaget dengan teriakan Fika. “Hampir saja jantungku copot dengerin teriakanmu.” Fiki

mengelus

dadanya yang kaget akibat teriakan Fika. Setelah itu Fiki duduk disamping Fika. “Sayang maaf ya aku telat. Banyak sekali pekerjaan yang aku selesaikan di hari ini.”

110

“Tak apa-apa sayang. Aku nyaman kok ditempat ini. Baru nungguin kamu satu jam aja kok. Aku pernah menunggumu disini tiga bulan lamanya. Hahaha..” Balas Fika menyindir. “Iya-iya sayang, gak bisa berkutik deh kalau begitu. Eh.. sayang, kamu habis nangis ya? Kok aku menutup matamu terasa basah?” Tanya Fiki yang merasa Fika baru saja menangis. “Tak apa sayang, aku baru saja membaca novel yang aku beli kemarin. Ceritanya sungguh mengharukan.” Fika menutupi apa yang baru ia alami. Tentang bayangan itu. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, ia menunjukkan novel itu kepada Fiki. Ia tak mau jika apa yang ia alami akan membebani Fiki juga. “Ohh.. aku kira, kamu lagi ada masalah makanya kamu menangis. Sayang, kalau ada masalah, ada sesuatu yang perlu diceritakan, kamu boleh kok curhat semuanya ke aku. Fiki tersenyum kearah Fika. Ia membelai rambut Fika dengan lembut. Fikapun membalas senyumannya dan menyandarkan kepalanya di pundak Fiki. “Iya sayang, makasih banyak kamu sudah sangat perhatian denganku. Aku sangat mencintaimu.” Fika tersenyum lembut saat itu. Ia senang bahwa Fiki sangat mengkhawatirkan dirinya. Kekawatiran dirinya menunjukkan bahwa ada rasa cinta yang besar di dalamnya. “Aku juga sangat mencintaimu sayang, ada yang perlu aku tunjukkan ke kamu. Ikutlah denganku sekarang.” Fiki mengajak Fika untuk ikut dengannya.

111

“Apa sayang.” Fika penasaran. “Ayolah nanti kamu akan mengetahui sendiri.” Fiki mengajak Fika untuk mengikutinya. Ada sesuatu yang akan ia tunjukkan. Fiki terus menggandeng tangan Fika untuk menju kesuatu tempat. Mereka menuju ke bagian taman paling belakang. Hanya terlihat rumput-rumput dan padang ilalang disekitarnya. Bahkan tak ada pengunjung yang menjangkau tempat itu. terlihat dua buah kursi, satu meja bundar di bawah pohon mahoni besar, dan terdapat danau yang tak jauh dari situ. Sepertinya Fiki telah mempersiapkan semuanya, karena sebelumnya tak ada kursi ataupun meja ditempat itu. “Sayang aku minta kamu menutup mata.” Fiki memberikan kain kepada Fika untuk menutup matanya. “Buat apa sayang?” Fika penasaran. “Kamu akan tahu nanti, tenang saja aku tak akan berbuat macam-macam denganmu.” Akhirnya Fika mau untuk ditutup matanya. Fiki membantunya untuk memasangkan kain yang akan menutupi mata Fika. Setelah itu tangan Fika ia gandeng dan membawanya ketempat kursi dan meja tersebut. Fiki mendudukkan Fika yang masih tertutup matanya. Fiki ikut duduk didepannya. “Sayang, kamu boleh membuka penutup matamu sekarang.” Fiki sudah memperbolehkan Fika untuk membuka penutup matanya. Fikapun membuka penutup matanya. “Sayang... iituu...” Fika sungguh tak percaya.

112

“Iya sayang ini semua aku persembahkan untukmu.” Fiki menunjuk kearah danau. Terlihat begitu indah panorama disana. Matahari bersiap untuk menepi dari cakrawala. cahayanya dipantulkan oleh air danau dan menyebar kemana-mana. Cahayanya yang berwarna orange membuat serasa jiwa ini begitu tenang, seperti rasa dahaga yang terbayar oleh tegukan air segar. Hembusan angin yang lembut sekaan membuat hati ini merinding. Keindahan itu sungguh terpancar indah di sore itu. “Sayang, lihatlah pesona itu, itulah yang ingin aku tunjukan kepadamu saat ini, senja akan berganti menjadi malam, dan malampun akan indah untukku dan untukmu.” Fiki terus memandang Fika dengan seulas senyuman yang tak putus-putus ia berikan. Fika tak bisa berkata-kata, air matanya berlinang saat melihat semua itu, keindahan itu bak seperti obat bius yang telah membius jiwanya. Ia melihat keindahan senja yang begitu mempesona. Sesekali ia menghela nafas panjangnya sambil tersenyum indah kearah Fiki. “Terima kasih sayang, kamu sudah menunjukkan ini kepadaku, aku sangat menyukainya. Tak pernah aku melihat keindahan itu disini. Aku merasa terenyuh melihatnya. Betapa megah alam raya ini, betapa indah suasana kali ini. Senja ini akan selalu mengingatkanku pada dirimu yang telah membawaku kesini. Aku akan selalu mengingatnya, mengingat cintaku disini.” Fika meletakkan kedua tangannya didadanya. “Dihati ini sayangku.” Fika memberikan senyumannya tak henti henti, ia mengagumi keindahan senja itu.

113

“Fika, ada yang mau aku ungkapkan sekarang.” Sepertinya Fiki akan mengatakan sesuatu yang sangat penting. Ia hembuskan nafasnya panjang. Sesekali ia harus menelan ludahnya untuk mengatasi kegugupannya. Fika juga agak kaget mendengarnya, ia penasaran apa yang akan dikatakan oleh Fiki. Mendadak tubuhnya panas dingin. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Fika memandang dengan seksama kearah Fiki. Ia menunggu satu kata terucap pada bibirnya. “Apa sayang?” Fika terlihat agak gusar oleh semua itu. Ia terus memandangi Fiki. Entah mengapa iya begitu deg-degan saat ini. Benar-benar beberapa kata itu telah membuatnya penasaran dan tak karuan. Ia menanti Fiki mengucapkan seseuatu dari bibirnya. Fiki terlihat sibuk mencari sesuatu. Ia merogoh saku bagian belakang celananya. Ia agak kesulitan mengeluarkannya. Fiki berusaha tetap tenang di hadapan Fika. Ia melempar senyum kearah Fika, seolah-olah semuanya baik-baik saja. Setelah ia mendapatkan sesuatu itu. Ia mengeluarkannya dan menunjukkan kearah Fika. Sebuah kotak kecil berwarna merah tua. Fiki memperlihatkan kotak itu kepada Fika. “Aku begitu mencintaimu Fika, maukah kamu menikah denganku?” Fiki membuka kotak itu. Terlihat didalamnya terdapat satu cincin berlianS yang sangat indah. Tak terasa Fika berlinang air mata menyaksikan itu semua. Fiki telah melamarnya. Fika tak henti-hentinya menangis. Rasa bahagianya tak bisa ia bendung. Orang yang sangat ia cintai akan menikahinya. Ia sangat terharu. Fika

114

memegang pipinya dengan satu tangan. Apakah ini sebuah mimpi? Ia bertanya pada hatinya. Linangan air mata terus membasahi pipnya. “Maukah kamu menikah denganku?” Tegas Fiki lagi dengan tetap memperlihatkan cincin indah itu dihadapannya. “Are you marry me?” Fiki tersenyum kearah Fika. Tapi tetap saja Fika tak berkata apa-apa. Tak tau harus bagaimana ia mengungkapkan perasaan bahagianya. Ia hanya menangis dan sesekali menunjukkan senyumannya. “Fika...” Panggil Fiki dengan senyuman yang indah kearahnya “Iya sayang, aku bersedia menikah denganmu.” Rasanya air mata Fika sudah semuanya tumpah. Suaranya terisak-isak saat ini. Tak tahu apa yang harus ia katakan. Fika langsung memeluk Fiki dengan tangisan yang semakin keras. Fiki membalas pelukan Fika dengan lembut dan hangat. “Fika, aku sangat berharap kamu nantinya bisa menjadi istriku, aku menginginkanmu untuk selamanya. Menjadi pendamping hidupku. Menyiapkan makanan dan sarapan untukku, menyambut kedatanganku setelah selesai bekerja. Menemani anak-anak kita mengerjakan PR. Membawa anak kita keluar rumah untuk melihat bulan dan bintang yang indah. Itu semua yang harus kamu lakukan jika nanti kamu menikah denganku. Aku begitu mencintaimu, dan aku ingin mencintaimu seumur hidupku. Menikahlah denganku, dan aku akan berusaha menjadi suami yang akan menjadi imam terbaikmu. Dan aku sangat yakin, kamu akan menjadi istri terbaikku dan ibu yang baik untuk anak-anak kita nanti.” Fiki terus memeluk Fika. Sesekali Fiki membelai rambutnya dengan lembut. Fika

115

masih tak bisa berkata-kata. Ia hanya terisak-isak dalam tangisannya. Tak tau ia harus berkata apa, perkataan Fiki, lamaran Fiki telah membiusnya saat ini. Bahkan sesekali ia memegang pipinya dengan satu tangan dan menanyakan, apakah ini hanya sebuah mimpi? Ia masih tak percaya akan semua ini. Air matanya sudah sering ia hapus dengan tangannya, tapi air mata itu tak henti-hentinya keluar. Dan tak ada habis-habisnya. Air mata bahagia. Fiki melepaskan pelukannya. Kedua tangannya memegang pundak Fika. Ia melihat wajah Fika yang basah dengan air mata, ia terlihat terisak-isak dan mengatur nafasnya. Sesekali ia menghembuskan nafas panjangnya. Fiki menatap wajahnya cantik yang menangis itu, ia tersenyum kearah Fika. “Fika jangan menangis.” Fiki memegang pipi Fika dan menghapus air matanya. Fika terus menangis. Serasa ia tak punya kekuatan untuk menghentikan tangisannya. “Fika sudahlah, ini hanya sebuah lamaran biasa.” Fiki mencoba menenangkan Fika. Ia mengambil cincin yang ada di dalam kotak merah tua itu dengan jemarinya. Ia lihat sebentar, Fiki meraih tangan kiri Fika. Ia memegang jari-jari indah Fika, tepatnya ia memilih untuk memegangi jari manisnya. Ia pasangkan cincin yang indah itu di tangan Fika. “Aku sangat mencintamu, untuk saat ini dan selamanya.” Ucap Fiki setelah melingkarkan cincin itu di jari manis Fika. Fika tak bisa berkata apa-apa. Tangisannya semakin deras, kedua tangannya menutupi mulutnya. Serasa ia tak bisa membendung perasaan bahagianya saat itu. Fikapun memeluk Fiki untuk yang kedua kalinya. Fiki membalas pelukan itu dengan penuh kasih sayang.

116

Senja itu telah menjadi saksi antara cinta mereka berdua, bahkan keindahan itu telah menghiasi cinta mereka. Mataharipun dengan gagahnya undur diri, dan menuju peristirahatannya. Empat puluh tujuh menit yang mengesankan. Dan senja itu telah berubah menjadi malam yang indah.

117

Dua kejutan yang tak pernah terlupakan

Fika menuju kearah kamar madi untuk mebersihkan wajahnya. Ia melihat wajahnya di kaca. Ia terlihat tak karuan, kusam, bahkan linangan air mata itu mengering dan menimbulkan suatu bekas putih-putih dipipinya. Ia tertawa melihat wajahnya dikaca. Begitu jelek saat ini, dengan matanya yang bengkak akibat lelah menangis dan masih terlihat memerah. Fika mulai membasuh mukanya dengan air. Ia usapkan facial soap ke wajahnya dan mulai membersihkan mukanya. Ia bilas wajahnya dengan air lagi untuk menghilangkan facial soap yang ada diwajahnya. Ia raih handuk yang tak jauh dari kaca itu. Ia tempelkan wajahnya ke handuk itu dan mulai mengusap-usapkan. Ia pandangi wajahnya lagi di kaca itu. “Nah ini sudah agak lumayan.” Ia tersenyum kearah kaca. Melihat wajahnya yang sudah bersih seperti semula. Setidaknya Fiki telah mengantarkannya untuk pulang kerumah. Fiki tahu bahwa Fika harus beristirahat saat ini. Ia tahu kondisinya, yang tak henti-hentinya menangis saat itu.

118

Fika

menuju

kamarnya,

ia

sandarkan

kepalanya

pada

kasur

kesayangannya. Ia hembuskan nafas panjang itu. Ia terus memegang pipinya dengan satu tangan, apakah ini mimpi? “Benar, ini bukan mimpi, Fiki telah melamarku, yeeee..” Fika berdiri dan jingkrak-jingkrak dikamarnya. Tak beberapa lama ponselnya berdering. Satu pesan dari Fiki. “Fika, ayo cepat tidur, aku tahu kamu perlu istirahat sekarang.” Dalam hati Fika bertanya, kenapa ia harus disuruh cepat tidur? Ia memandang jam dinding yang menempel di tembok kamarnya. Masih pukul 19.30, kenapa harus menyuruhku untuk tidur secepat itu? Fika melanjutkan membaca pesan dari kekasihnya. “Ayo tak usah menggerutu seperti itu, sekarang kamu ambil selimutmu dan tidur secepatnya. Have nice dream my love, bye-bye..” Fika hanya mengangkat kedua alisnya. Ia terlihat tersenyum picik setelah membaca pesan darinya, apa maksud dari semua ini? mengapa aku disuruh tidur lebih cepat dari biasanya? Padahal setiap malam ia pasti disuruh untuk menemaninya begadang, sekedar untuk menemaninya melihat acara bola. Ia kembali merik jam dinding itu. “Masih pukul 19.32. Ah sudahlah lagian aku juga sudah sangat capek hari ini. Tangisanku dari tadi telah menghabiskan semua tenagaku untuk hari ini. Memang benar juga saran Fiki untuk menyuruhku tidur cepat-cepat. Setidaknya aku bisa bangun lebih pagi dan lebih segar untuk hari esok. Ia meletakkan ponselnya ke meja. Dan merebahkan dirinya ke atas kasur yang empuk. Tak beberapa lama Fika terlelap tidur.

119

*** Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel yang berdering keras. Fika masih enggan untuk membuka matanya. Ia biarkan ponselnya berdering. Dering ponsel itu terdengar lagi, bahkan sudah berkali-kali berdering. Fika masih memejamkan matanya. Matanya enggan untuk membuka, apalagi untuk meraih ponsel itu dan mengangkat telfon. “Ah.. siapa sih malam-malam menelfonku.” Gerutu Fika yang masih memejamkan matanya. Ponsel itu berdering lagi, entah sudah berapa kali ponsel itu berdering. Fika agak terganggu dengan suara posel tersebut. Ia kumpulkan tenaganya mencoba membuka matanya lebar-lebar dan berniat untuk mematikan ponselnya. Setelah dirasa ia bisa membuka matanya, ia menuju ke arah posel yang diletakkannya dimeja. Ia raih ponsel itu. Ia melihat layar ponselnya, dua puluh panggilan masuk dari Fiki. Tak lama ia melihat layar ponsel tersebut, ponsel itu berdering lagi. Kali ini Fika mengangkat telfon itu. “Hallo..” “Hallo sayang?” Ternyata Fiki yang menelfon. “Ada apa Fiki?” “Tak ada apa-apa, aku mau menanyakan tentang kabarmu.” Sahut Fiki. “Hanya itu, huuuhhh..” Fika menghembuskan nafas panjangnya. Ia kecewa Fiki menelfon hanya untuk menanyakan kabarnya saat ini. “Aku baikbaik saja sayangku?” jawab Fika dengan ketus.

120

“Hehehee.. syukurlah kamu baik-baik saja sekarang. Temui aku di depan rumahmu sekarang.” “Apa?” Fika terbelalak matanya. Ia menelan ludahnya serasa tak mengerti ucapan Fiki. “Iya temui aku sekarang di depan rumahmu.” Fiki memerintahkan Fika untuk menemuinya di depan rumahnya. “Iya, iya tunggu.” Serasa Fika tak percaya. Ia tak pedulikan pertanyaannya. Cepat cepat ia berlari menuju pintu depan untuk melihat keberadaan Fiki, apakah sudah berada di depan rumah ataukah belum. Ia menyalakan semua lampu di bagian teras dan ruang tamu. Ia membuka pintu. Ia melihat sekeliling luar rumahnya. Ia tak melihat Fiki didepan rumahnya, bahkan tak satupun orang dia lihat sedang melewati jalan rumahnya. “Huuhh.. sudah kuduga. Ia pasti ngerjain aku.” Fika menutup pintunya kembali. Setelah ia menutup pintunya, tiba-tiba lampu ruang tamu mati. Tak tau siapa yang mencoba mematikannya. Ataukah sedang terjadi konsleting atau pemadaman bergilir? Dari kejauhan terdengar suara goresan korek api, “srreeekk.. jesss.” Tiba-tiba ada seseorang yang menghidupkan lilin di ruang tengah. “Ahh mungkin ibu atau ayah mencoba menyalakan lilin karena lampu telah mati. Ia terus mengamati cahaya lilin tersebut. Semakin lama-cahaya itu semakin mendekatinya. Dan tak begitu jelas siapa yang membawa lilin itu menuju kearah Fika. Setelah beberapa meter dari arah Fika orang tersebut berhenti, Fika masih

121

tak melihat siapa yang membawa lilin tersebut, apakah ibunya? ataukah ayahnya? Mengapa tak bersuara? Tiba-tiba lampu menyala. “Surpraiissssee... selamat ulang tahun.” Kali ini Fika bisa melihat dengan jelas siapa yang telah membawa lilin tersebut. Terlihat Fiki membawa kue ulang tahun dan diatasnya terdapat lilin bernomor 21. “Selamat ulang tahun Fika.” Terlihat pula ibu dan ayah Fika muncul dari belakang Fiki dan memberikan selamat kepada anaknya. Fika tak bisa berkata apa-apa. Kali ini ia menangis lagi melihat kejutan dari Fiki. Tangannya menutupi mulutnya. Serasa tak percaya. Ia mengingat-ingat dalam memori otaknya. Hari ini tepat jam 00.15, tanggal 6 mei 2013, ia teringat di tanggal ini ia berulang tahun. Kenapa secepat ini? bahkan ia sempat lupa dengan hari ulang tahunnya. Ia masih tak percaya, Fika masih berdiri dan tanpa suara. Fiki mendekati Fika. “Selamat ulang tahun kekasihku. Happy birthday.” Fiki tersenyum kearah Fika sambil menyodorkan kue ulang tahunnya. Fika teringat kenapa hari ini ia disuruh untuk tidur lebih awal oleh Fiki. Mungkin ini semua taktik Fiki agar bisa mempersiapkan kejutan di hari ulang tahunnya. Ia menelfon tengah malam dan menyuruhku untuk menemuinya di depan rumah. Dan ternyata... ia mengakui kecerdikan Fiki saat ini. Bahkan hari ini Fika disuguhkan oleh dua buah kejutan. Yang pertama di tepi danau itu Fiki melamarnya, dan yang kedua ia menemuiku dirumah dan memberi ucapan ulang tahun.

122

“Selamat ulang tahun Fika, kenapa melamun.” Fiki mengagetkan lamunan Fika saat itu. Fika tersenyum kearah Fiki. Juga kearah Ayah dan Ibu Fika. Fika hanya tertawa kecil melihat semua itu. Fiki menyanyikan sebuah lagu selamat ulang tahun, dari band jamrud. Hari ini, hari yang kau tunggu Bertambah satu tahun, usiamu, bahagialah kamu Yang ku beri, bukan jam dan cincin Bukan seikat bunga, atau puisi, juga kalung hati Maaf bukannya pelit, atau tak mau bermodal dikit Yang ingin aku beri padamu, doa setulus hati

Semoga tuhan melindungi kamu, Agar tercapai semua angan dan cita-citamu Mudah mudahan diberi umur panjang Sehat selama-lamanya “selamat ulang tahun” Terlihat pula ayah dan ibu Fika antusias dengan bertepuk tangan mengiringi Fiki menyanyi.

123

Happy birthday to you.. Happy birthday to you.. Happy birthday happy birthday.. Happy birthday to you. Ibu dan ayah Fika juga ikut menyanyi saat itu, membuat kejutan itu semakin meriah. Tiup lilinya, tutup lilinya, tiup lilinya sekarang juga Sekarang juga Sekarang juga.. Fika bersiap-siap untuk meniup lilin ulang tahunnya. “Stop... sebelum kamu meniup lilin itu. Alangkah baiknya kamu mengajukan permohonan dan harapanmu di hari ulang tahunmu ini.” sahut Fiki. “Emmm.. baiklah..” Fika memejamkan matanya dan menggenggam kedua tangan didepan dadanya. Fika mulai mengajukan permohonnya didalam hati. “Sudah selesai..” Fika meniup lilin ulang tahunnya. “Horeee... hahhahaa...” Kemeriahan terjadi saat itu. Fiki dan kedua orang tua Fika tertawa, Fikapun juga ikut tertawa seperti mereka. “Kalau boleh aku tau, apa permohonanmu tadi?” Fiki menanyakan apa yang diucapkan dalam hati Fika sebelum meniup lilin.

124

“Ohh.. rahasia. Hahahhaa..” Fika tertawa terbahak-bahak. Seraya ia tak mau menceritakan permohonan apa yang diucapkan tadi. Semuapun ikut tertawa juga saat itu.

125

Menikahi fika adalah pilihan terbaiku

“Fika, aku sudah menceritakan semuanya kepada kedua orang tuamu, saat kamu masih tidur tadi.” Terlihat Fiki dan Fika duduk di teras rumah sambil memandangi langit yang terdapat bulan dan bintang. Hanya terdapat Fika dan Fiki saat itu. “Apa maksudmu? Cerita tentang apa?” Fika kaget dengan perkataan Fiki. Ia masih bingung, Fiki menceritakan tentang apa kepada kedua orang tuanya. “Aku telah bercerita kalau aku tadi melamarmu.” Fiki berusaha menjelaskan kepada Fika. Suasanapun mendadak serius. “Ohh.. baguslah. Maaf aku belum sempat memberi tahu mereka soal itu. Bagaimana tanggapan mereka?” Pandangan Fika mengarah pada Fiki. Terlihat ia mengkerutkan keningnya, seraya cemas apa yang akan Fiki sampaikan kepadanya. “Menurut mereka, mereka senang aku telah melamarmu. Dan mereka memperbolehkanu untuk menikah denganmu.” Fiki tersenyum kearah Fika. Fika bernafas lega saat itu. kedua orang tuanya telah menyetujui lamaran Fiki.

126

“Terus..

apa

rencanamu

selanjutnya?” Tanya

Fika

yang

masih

menginginkan Fiki melanjutkan ceritanya. “Aku juga sudah menelfon Ayahku yang ada di Singapura.” Fiki terlihat serius menceritakannya. Terlihat sesekali ia hembuskan nafas panjangnya dan berfikir sejenak, dan tersenyum kearah Fika. “Apa yang ayahmu katakan Fiki?” Fika merasa sangat penasaran dengan sikap Fiki yang mendadak seperti itu. “Ayahku bilang..... ia akan secepatnya datang ke Surabaya, melamarmu untukku.” Fiki tersenyum lebar kearah Fika. Serasa beban hidup telah terlepas. Ia kembali menghembuskan nafas panjangnya. “Teruss...” “Dia akan ke Surabaya lusa.” Jelas Fiki. “Secepat itu?” “Kenapa? Bukannya lebih cepat lebih baik.” Fiki menatap Fika dengan serius. “Hehehee.. aku senang mendengarnya. Aku akan menjadi istrimu nanti.” Fika tersenyum tak henti-henti kearah Fiki. Ia sangat senang akhirnya impiannya untuk menikah dengan Fiki sudah didepan mata. Harapannya hanya tinggal menghitung hari.

127

Hari lamaranku dengan fiki

Hari ini adalah hari dimana impian dan harapan antara dua insan akan terwujud. Hari ini adalah gerbang rencana untuk sebuah pernikahan akan disusun. Semua tergambar indah saat itu. Ayah Fiki yang berada di Singapura akan datang ke Surabaya untuk melamarkan anak kesayangannya. Tepat jam 06.00 WIB, pesawat ayah Fiki telah mendarat di Bandara Juanda Surabaya. Keinginannya untuk melihat Fiki akan menikah dengan orang yang dicintainya sudah didepan mata. Semua harapan Ayah Fiki hanyalah kepada anak satu-satunya, yaitu Fiki. Ia terlihat sangat senang hari ini. Sesekali dalam perjalanannya ia tersenyum sendiri. Membayangkan

anak

kesayangannya

akan

secepatnya

melangsungkan

pernikahan. Dan tak lama lagi iya akan menjadi seorang kakek, yang mempunyai beberapa cucu yang sangat lucu. Fikiran ayah Fiki saat ini melayang-layang jauh. Betapa bahagianya dia nantinya. Bahkan ia akan berjanji untuk selalu menyempatkan waktu untuk cucunya. Mengingat ia sekarang hidup sendiri sejak kematian Ibu Fiki dua puluh dua tahun yang lalu. Bayangan tentang kecelakaan yang telah menewaskan Istri dan anak perempuannya masih terbayang dalam ingatanya. Tapi Ayah Fiki tak mempedulikan semua itu. yang ia fikirkan sekarang adalah Fiki akan menikah. Hanya itu, seulas senyum selalu tergambar pada ayah Fiki saat ini.

128

Terlihat lalu lalang orang yang ada di bandara saat itu. Terlihat pula kerumunan orang yang sedang mengurus tiket penerbangan, atau bahkan hanya melihat jadwal penerbangan selanjutnya. Pria yang mempunyai perawakan tinggi besar, menggunakan jas berdasi dengan warna rambut agak memutih sedang menggeret kopernya. Lima menit yang lalu ia baru mendarat dari pesawatnya. Ia melihat sekeliling bandara, ia mencari orang yang akan menjemputnya. Sesekali tawaran sopir taksi tak ia hiraukan. Ia sedang menunggu seseorang saat itu. Dari arah kejauhan terlihat seorang anak muda melambaikan tangan kearahnya. Ia membalas dengan lambaian tangan juga. Terlihat anak muda itu sedang menuju kemari. “Ayah.. sudah lamakah?” Tanya Fiki kepada ayahnya yang baru saja turun dari pesawat. Fiki melihat penampilan ayahnya saat itu. Tak beberapa lama Fiki memeluk ayahnya. “Ayah, aku merindukanmu, bagaimana keadaanmu ayah?” Fiki menanyakan kabar ayahnya. “Aku baik-baik saja anakku. Ayah baru saja turun dari pesawat sekitar lima menit yang lalu. Bagaimana kabarmu?” Ayah Fiki melempar senyuman itu kepada anaknya. Ia sangat senang melihat anaknya sekarang sudah tumbuh menjadi dewasa. Dengan perawakan yang begitu tampan, ia teringat saat masih muda. Bahkan menurutnya wajah Fiki tak jauh beda dengan waktu mudanya dulu. Ia tersenyum dan menepuk-nepuk bahu Fiki. “Fiki kamu sudah sangat dewasa sekarang. Aku rasa sudah saatnya kamu menjadi ayah, seperti ayahmu sekarang

129

yang sudah berhasil membesarkanmu.” Fiki hanya tersenyum dengan ucapan ayahnya. “Oh ya.. mana calon istrimu Fiki.” Kelihatannya ia sedang mencari-cari seseorang. “Dia dirumah Ayah, Fika sedang mempersiapkan diri saat ini.” Ulasan senyum tergambar di wajah Fiki saat itu. Ia sangat senang ayahnya mau datang ke Surabaya, melamarkan Fika untuknya. “Hahaha.. aku kira kamu mengajaknya untuk menjemputku. Ya sudah ayo segera kita melamarnya untukmu. Aku sudah tak sabar melihatmu menikah dengan perempuan pilihanmu. Aku juga sudah tak sabar ingin bermain dengan cucu-cucuku nanti.” “Emmm.. baiklah ayah.” Fiki membawakan koper Ayahnya. Mereka berdua menuju ke lobi Bandara. Dan menaiki taksi untuk menuju ke rumah Fika. *** Terlihat Fika sibuk dengan pakaiannya. Ia harus benar-benar terlihat cantik dihadapan calon mertuanya. Sesekali ia memandang wajahnya di depan cermin, dan mengoleskan bedak ke pipinya. Sungguh paras Fika sangat cantik kali ini. Balutan busana kebaya berwarna coklat dengan corak batik khas jawa, namun sangat elegan dan modis. Membuatnya terlihat lebih anggun. Rambut yang di ikat kemudian disanggul, dengan make up yang terlihat oriental tanpa terlihat fulgar. Bibirnya yang tipis dan berwarna merah matang dengan sentuhan lipstik yang

130

terang membuatnya semakin menawan. Sesekali ia tersenyum ke arah cermin hanya untuk mengagumi kecantikannya sendiri. “Kamu memang terlihat sangat cantik anakku.” Terlihat Ibu Fika yang memuji kecantikan anaknya saat ini. Ia melihat kearah kaca dan meletakkan kedua tangannya ke pundak Fika. Ia tersenyum melihat Fika sudah tumbuh menjadi wanita dewasa. Bahkan sebentar lagi ia akan menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya nanti. Ulasan senyum itu terpancar pada wajah Ibu Fika. Ia sangat senang di hari ini akan merencanakan pernikahan anaknya. “Ohh.. ibu, terima kasih atas pujiannya.” Fika menoleh kearah Ibunya dan terseyum lebar. “Kalau Ibu tak cantik, aku juga tak akan secantik ini.” Fika terus menebar senyumannya ke arah ibunya, sambil mengangkat alis-alisnya. “Fika, pakailah liontin ini. Mungkin liontin ini bisa membuat dirimu semakin cantik dihadapan calon mertuamu.” Ibu Fika menyerahkan sebuah liontin yang sangat indah kepada Fika. Fika menerimanya dengan senang hati. Ibu Fika membantunya untuk memakaikan liontin itu. Dan benar, Fika terlihat sangat cantik dari sebelumnya. Liontin itu sangat cocok dengan Fika. Ia terlihat sangat anggun dan menawan. Di tambah dengan balutan busana dan make-up yang cocok dengan dirinya sat ini. Memang wajah Fika dari awal sudah cantik. Walaupun diapa-apain tetap cantik. Ibu Fika masih memberikan senyumannya kepada Fika tiada henti. Dari luar rumah, terlihat sebuah taksi berwarna biru berhenti tepat di depan rumah Fika. Terlihat Fiki turun dari taksi dan membantu sesorang untuk

131

membukakan pintunya. Setelah pintu taksi terbuka, terlihat seorang Pria dengan postur yang gagah, mengenakan jas dan dasi yang sangat rapi, terlihat rambutrambutnya sudah memutih. Kelihatan pria itu sudah sangat mapan. “Ayah..

silahkan

turun.”

Fiki

membukakan

pintu

taksi

dan

mempersilahkan ayahnya untuk turun. Rasa hormat memang dimiliki oleh Fiki sejak kecil. Dari kecil ayahnya selalu mengajarkannya untuk memiliki sopan santun terhadap orang tua. Tak heran jika anaknya sekarang sangat menghormatinya. Pria itu turun dari taksi. “Terima kasih anakku.”

Melempar senyum

kearah Fiki. “Silahkan masuk ayah. Ini rumah calon menantumu.” Fiki menuju rumah Fika. Setelah sampai didepan pintu, Fiki mengetuk pintu dan memberikan salam. “Assalamualaikum..” Fiki mengetuk pintu. “Assalamualaikum.” Salam Fiki. Dari jarak kejauhan terdengar suara yang menjawab salam Fiki. “Waalaikumsalam..” tak beberapa lama pintu yang terkunci itu terbuka. Terlihat Ayah Fika yang membukakan pintu itu. Ayah Fika menjabat tangan Fiki serta Ayahnya. “Ayo mari silahkan masuk.” Ayah Fika menyuruh mereka untuk masuk.

132

“Ayo silahkan duduk pak.” Suruh ayah Fika saat itu. Akhirnya Fiki dan ayahnya duduk dikursi sofa ruang tamu. Ayah Fiki memandang Ayah Fika. Ia melempar senyum kearahnya. Ayah Fika membalas senyumannya. Dari arah dalam tiba-tiba ibu Fika menuju ke ruang tamu. “Ehh.. ayahnya Fiki sudah datang ya? Bagaimana perjalananya? Perkenalkan saya ibunya Fika.” Ibu Fika memperkenalkan dirinya. Terlihat ayah Fiki berdiri dan menjabat tangan Ibu Fika saat itu. “Alhamdulillah lancar bu, Benar saya adalah ayahnya Fiki. Dan maksud kedatangan saya kali ini, yaitu melamarkan Fika untuk Fiki anak saya.” Ayah Fiki tersenyum kearah ibu Fika. Dan ibu Fika membalas senyuman itu dan tertawa kecil. “Ahh saya sudah tau semuanya. Jangan khawatir kalau kami berdua tidak menerima tawaran anda untuk menikahkan anak-anak kita. Hahahhaa.” Orang tua Fika dan Fiki tertawa. Tergambar jelas raut wajah mereka yang bahagia saat itu. “Ayo pak, mari silahkan masuk kedalam, ada jamuan sederhana disini.” Ibu Fika menyuruh Ayah Fiki untuk menuju ruang makan. “Wah.. wah.. wahh.. jadi saya disini merepotkan kalian ceritanya. Hehehe..” Terlihat Ayah Fiki senyam-senyum sambil garuk-garuk kepala mendengar tawaran Ibu Fika. “Sudahlah saya tak bisa menolak tawaran anda.” Mereka semua akhirnya menuju ke ruang makan. Setelah itu mereka duduk di kursi masing-masing. Ibu Fika terlihat sangat repot saat itu. Ia terlihat membagikan beberapa piring. Setelah semua yang ada di meja makan

133

mendapatkan piring, ibu Fika melihat kearah meja makan sambil tersenyum. “Yah inilah seadanya yang bisa kami berikan pak.” Ibu Fika merendah saat itu. Tibatiba Fika datang sambil membawakan gelas-gelas dan ceret yang berisi sirup strawberry. Parasnya begitu anggun saat itu, ia berjalan menggunakan busana kebaya berwarna coklat. Senyumannya menghiasi setiap langkahnya menuju meja makan. Fiki tak bisa memalingkan pandangannya, ia melihat orang yang sangat ia cintai begitu cantik. Begitu juga dengan ayah Fiki. Ia melihati Fika dengan seksama, ia berdehem saat itu. Ayah Fiki juga sangat mengagumi kecantikan Fika. “Fika, ayo nak bawakan sirup itu kemeja ini.” suruh Ibu Fika. Fika membawakan sirup itu dan meletakkan beberapa gelas ke meja makan beserta ceret yang telah berisi sirup strawberry. Kemudian Fika duduk di kursi makan. Sambil tersenyum kearah Fiki dan ayahnya. “Ini Fika ya?” Tanya Ayah Fiki saat itu. “Iya pak, saya Fika.” Fika tersenyum malu kearah ayah Fiki. “Hahahah.. pintar juga kamu Fiki memilih calon istri secantik Fika.” Ayah Fiki menyenggol bahu anaknya dan sambil tersenyum kearah Fika. Fiki hanya tersenyum melihat ayahnya saat itu. Ia senang ternyata ayahnya juga menyukai Fika. “Maka dari itu ayah, aku ingin cepat-cepat menikahi dia, sebelum keduluan orang lain. Hahahaha...” Fiki membela diri. semua orang yang berada di meja makan tertawa mendengar perkataan Fiki.

134

“Ayo makan dulu. Silahkan..” Ibu Fika mempersilahkan untuk makan. Fika membantu memberikan nasi kepada Ayah Fiki. “Cukup pak?” Fika memberikan nasi yang ia sendok menggunakan centong ke piring Ayah Fiki. “Cukup nak,” Balas ayah Fiki yang merasa nasi yang ada di piring nya telah terisi penuh. “Cukup..” Fika memberikan nasi ke piring Fiki. “Cukup Fika, terimakasih.” Fiki tersenyum kearah Fika yang telah selesai memberikan nasi ke piringnya. Semuanya makan saat itu, Fiki dan ayahnya sangat menikmati jamuan makanan yang dihidangkan saat itu. Fika ikut tersenyum melihat ternyata semua orang menyukai masakannya. “Ehh.. ngomong-ngomong siapa yang memasak se enak ini?” Tanya Ayah Fiki. Kelihatannya ia sangat menyukai makanan yang dihidangkan dimeja makan itu. “Fika yang memasak semuanya pak?” sahut Ibu Fika dengan tersenyum kearah Ayah Fiki. “Aku sudah mengira calon menantuku yang memasak.” Seru ayah Fiki. Ia kedua kalinya menyenggol bahun anaknya. “Tuh istrimu pintar masak. Awas saja kalu sering-sering makan di luar rumah. Hahahha.” Fiki hanya tersenyum mendengar ucapan ayahnya. Dan ayah Fiki tetap tak memalingkan pandangannya

135

kearah Fika. Ia sangat tertarik dengan kecantikan menantunya. Terlebih dengan liontin yang Fika pakai sekarang. Setelah semua selesai makan, Fika membereskan semuanya dan menaruh piring-piring tersebut ke dapur. Setelah itu ia cuci tangannya dan bergegas untuk menuju ke ruang tamu. “Duduk

sini

nak.”

Ibu

Fika

menyuruh

anaknya

untuk

duduk

disampingnya. Terlihat saat itu semua orang telah menunggunya. Ayah Fiki yang terlihat duduk di sofa disebelah Fiki. Fika tersenyum kearah Ayah Fika. “Jadi, kapan kita langsungkan pernikahan anak-anak kita?” Ayah Fiki mulai angkat bicara. Mendadak semuanya menjadi serius. Begitupun dengan Fika saat ini. Bahkan ia sampai mengerutkan dahinya dan menghela nafas dalamdalam. “Aku mengusulkan untuk secepatnya.” Sahut ayah Fiki. Ia menginginkan untuk pernikahan Fiki dan Fika untuk segera dilangsungkan. “Aku terserah dengan usulan bapak. Masalah perlengkapan pernikahan nanti keluarga kami yang mengurusi.” Ayah Fikapun akhirnya angkat bicara menanggapi usulan Ayah Fiki. Ayah Fiki tetap tak berpaling dari pandangannya ke arah Fika. Ia sangat mengagumi paras calon menantunya. Sesekali ia lempar senyum kearah Fika. Fika memang begitu cantik dengan liontin yang sekarang ia kenakan. Pandangan ayah Fiki tertuju pada liontin itu. Begitu manis dan anggun dirinya saat itu.

136

“Kamu begitu cantik dan anggun nak sekarang.” Kata ayah Fiki yang mengagumi kecantikan Fika sat itu. “Terima kasih pak atas pujiannya.” Fika hanya bisa tersenyum malu mendengar pujian calon mertuanya. Mata Ayah Fiki tak bisa berpaling dari liontin itu. Mendadak ia mengerutkan keningnya. Sepertinya ia pernah melihat liontin itu sebelumnya. Ia mulai mengingat-ingat semua yang ada diotaknya. Sambil menyipitkan mata ia mulai berfikir. Sesekali ia menghela nafas. “Nak.. bolehkah saya melihat liontin itu? Aku begitu tertarik dengan liontin yang kamu kenakan.” Ayah Fiki ingin sekali melihat liontin itu lebih dekat. Supaya ingatan yang ada di kepalanya dapat kembali. Fika melepas liontin itu dan menyerahkannya kepada ayah Fiki. “Ini pak.” Fika menyerahkan liontin itu kepada ayah Fiki. Ayah Fiki menerimanya dengan senyuman lebar kearah Fika. Ia mulai melihat liontin yang indah itu. Liontin yang berwarna merah, begitu mewah dan mempesona. Ayah Fiki tersenyum kearah Fika. Ia tetap memandangi liontin. setelah itu ia membuka liontin yang indah.

137

Fika adalah adik kandung fiki

Tiba-tiba keringat dingin mulai mengucur di tubuh Ayah Fiki. Serasa dada ini begitu sesak. Bahkan untuk mernafas saja sangat sulit. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia melihat foto yang ada diliontin itu. Ayah Fiki tersenyum dan mendadak meneteskan air matanya. Ia menangis memandang foto itu. Ia tak kuasa menahan tangisannya. Semua orang yang melihat ayah Fiki merasa kaget melihatnya seperti itu. Tiba-tiba pria itu menangis tanpa sebab. Ayah Fiki tetap memandangi foto yang ada di liontin itu. Tangisanya tak bisa ia hentikan. Serasa ia tak bisa mempercayai semua itu. “Liana...” Terlontar nama itu di bibir ayah Fiki. Ayah Fiki masih menangis sambil memandang foto diliontin itu. Fiki bingung dan kaget, kenapa nama ibunya disebut ayahnya? Fikipun mulai bertanya-tanya. Ada hubungan apa dengan ibu? “Liana...” Ayah Fiki masih memandangi liontin itu. Ia tak kuasa menghentikan tangisannya. Ternyata foto yang ada di liontin itu adalah foto istrinya, ibu Fiki.

138

“Ayah ada apa? Kenapa dengan dirimu saat ini?” Tanya Fiki yang penasaran melihat ayahnya yang mendadak menangis. “Ada apa dengan liontin itu?” Tanya Fiki penasaran. Ayah Fiki tak bisa berkata. Ia mencoba untuk mengumpulkan tenaganya. Ia menghapus air mata yang keluar saat itu. “Fika, dari mana kamu mendapatkan liontin itu?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Ayah Fiki. Ia memberanikan diri untuk menanyakan akan perihal liontin itu. Ia sangat bingung, kenapa liontin itu sama mirip dengan liontin yang istrinya pakai? Kenapa sampai Fika bisa memakainya sekarang? Fika tak bisa berkata apa-apa. Fikirannya bingung dengan pertanyaan Ayah Fiki. “Aku baru memakainya tadi pak. Ibu yang memberikanku.” Jawab Fika. “Liana.. apa yang terjadi saat ini. sungguh ini tak mungkin.” Ayah Fiki masih saja menangis. Padahal ia berusaha untuk menghentikan deraian air matanya. Serasa ia tak bisa menutupi semuanya. “Fika anakku, anak kandungku?” mendadak suasana menjadi tegang. Ayah Fiki memanggil Fika anaknya. Semua yang ada di ruang tamu tak mengerti dengan ucapan ayah Fiki. Begitu mencengangkan. Apa maksud dari semua ini? apa maksud dengan ucapan ayah Fiki? Semua bingung saat itu.

139

Wajah Fiki mendadak sangat serius. Ia memandang kearah ayahnya. Ia mengkerutkan keningnya. Ia tak mengerti dengan ucapan ayahnya yang baru terlontarkan. “Fika, kamu adalah anakku. Anak kandungku.” Ayah Fiki tak bisa membendung kesedihannya saat ini. Ia terus menangis dan memandang kearah Fika. Liontin ini, foto ini, memang benar-benar foto istrinya. Terdapat Foto perempuan yang sangat cantik di liontin itu. Ayah Fiki masih memandangi foto itu dengan isakan tangis. Benar, ini foto istrinya. Foto orang yang paling ia sayangi. Yang telah lama meninggal akibat kecelakaan kereta itu. didalam liontin itu juga terdapat sebuah nama “Fika”. Fika adalah nama yang ia berikan saat seorang anak perempuannya lahir. Ia teringat dua puluh dua tahun yang lalu, sebelum kecelakaan itu terjadi, istrinya mengenakan liontin itu. “Ayah, apa maksud perkataanmu itu, mengapa ayah tiba-tiba menyebut nama ibu, kenapa dengan ibu? Kenapa tiba-tiba memanggil Fika seperti itu? apa yang telah terjadi? Setelah ayah melihat liontin itu, kanapa ayah mendadak menangis? Ada apa dengan semuanya ayah? Aku harap ayah menceritakan semuanya.” Fiki merasa tak bisa mengendalikan rasa penasarannya saat itu. Ia memberanikan diri untuk menanyakan kepada ayahnya. Ayah Fika masih tak bisa menghentikan tangisannya, tapi ia berusaha mengumpulkan seluruh tenaganya. “Ini liontin ibumu Fiki, ia kenakan sebelum ia pergi meninggalkan ayahmu selama-lamanya.”

140

Fika terlihat tak bisa berkata apa-apa. Ia bingung akan perkataan ayah Fiki saat itu. Kalimat itu serasa sulit untuk memahaminya. Mendadak ibu Fika ikut menangis. Ia menangis tak henti-henti. Ada apa dengan semua ini? pertanyaan itu muncul di fikiran Fika saat itu. Ada apa dengan semua orang hari ini? Begitu aneh. Suasanapun agak membingungkan. Yang semula suasana sangat menggembirakan, mendadak berubah. Ibu Fika masih menangis. Ia melihati Fika yang masih kebingungan tentang apa yang telah terjadi. Tatapan ibu Fika menegaskan ada sesuatu yang telah disembunyikan. Ibu Fika membelai rambut anaknya dan terus menangis. Ia berusaha untuk menghentikan tangisannya. “Ada yang perlu aku utarakan disini.” Ibu Fika mulai angkat bicara. Ia memandang kearah Ayah Fiki yang tak henti-hentinya menangis. Ibu Fika mengimpulkan sekuat tenaganya untuk menceritakan semuanya.

141

Potongan masa lalu itu

“Dua puluh dua tahun yang lalu, seperti biasa. Aku masih menjajakan makanan kecilku di stasiun dekat sini. Waktu itu suasana masih terlihat biasabiasa. Lalu lalang kereta datang dan pergi sesuai dengan keberangkatannya. Terlihat dari arah kejauhan terdapat kereta yang melaju dengan kencangnya. Aku sempat berfikir, kenapa kereta itu tak mengurangi kecepatannya, padahal sebentar lagi kereta itu akan menuju stasiun dan berhenti. Mataku masih melihat laju kereta yang sangat cepat. Kereta itu kian lama kian mendekati stasiun. Ada apa dengan kereta itu? apa yang sedang terjadi dengan kereta itu. Semakin lama kereta itu melaju semakin cepat. Bunyi dari klakson kereta itu begitu keras. Sepertinya menandakan ada sesuatu yang telah terjadi. Tak henti-hentinya masinis itu membunyikan klakson kereta itu. ya.. terdengar sangat jelas walaupun masih terlihat jauh. Kereta itu terus mendekat, dan memang benar. Ada masalah dengan kereta itu. Alarmpun mulai terdengar. Semua orang panik saat itu. kereta itu hampir sampai di stasiun dengan kecepatan tinggi. Ia terus melaju dan akhirnya kereta itu menabrak stasiun. Kereta itu terbalik.” Ibu Fika menghela nafas panjangnya.

142

“Semua orang menjerit saat itu. Akupun ikut panik. Aku berusaha membereskan daganganku. Aku melihat banyak jeritan dan lalu lalang orangorang. Kereta itu telah terguling dan terbakar. Sungguh sangat terlihat kacau. Peristiwa itu adalah kecelakaan dahsyat yang pernah saya lihat didepan mata. Kereta api itu terbakar hebat. Mobil pemadam kebakaran, tak henti-hentinya membunyikan sirine dan mencoba memadamkan api tersebut. Aku masih tertegun ditempat itu.” Ibu Fika berhenti bercerita. Ia kembali menghela nafas dalamdalam. Ia ambil tissue yang ada dimeja untuk mengusap air matanya. Kemudia ia kembali bercerita. “Aku melihat begitu jelas lalu lalang orang saat itu. jeritan orang petugas kereta api yang membawa beberapa mayat dari korban kecelakaan kereta. Aku memberanikan diri untuk mendekati kereta tersebut. Sungguh ini adalah kejadian yang sangat mengerikan. Aku melihat mayat-mayat bergelimpangan di stasiun kereta. Aku juga melihat beberapa pemadam kebakaran dan aparat kepolisisan mencoba menyelamatkan korban. Aku melihat seorang Ibu dengan menggendong anak bayinya keluar dari kereta dengan bantuan petugas kereta. Petugas kereta membopong ibu itu menuju pinggir kereta. Setelah itu petugas kembali menyelamatkan korban yang masih didalam. Aku melihat wanita itu sudah terluka parah. Bajunya sudah sobek-sobek. Bahkan badannya memar semua. Dengan darah yang ada di kepalanya. Aku merasa bahwa kepalanya terbentur sesuatu yang sangat keras. Aku memberanikan diri untuk meuju ke arah ibu itu. Ia terlihat menangis. Aku sangat iba saat itu. sepertinya ibu itu sudah tak bisa apa-apa lagi, dan anak perempuannya masih dalam gendongannya. Begitu lucu anak

143

perempuan itu, bahkan ia terlihat pulas tidurnya. Tanpa tangisan dan rengekan sedikitpun. Aku melihat ibu itu terus saja menangis. Sepertinya ia melihat akan kehadiranku. Ia menangkat tangannya dan sepertinya menyuruhku untuk mendekat. Aku memberanikan diri untuk mendekati koraban kecelakaan itu. Tak terasa air mata ini tak henti-hentinya menangis melihat keadaan ibu tersebut. Ia sangat terluka parah. Darah dikepalanya tak henti-hentinya keluar dengan menggendong anak perempuannya yang sangat cantik dan lucu.” “Ag.....rhhhh..” Sepertinya ia memanggilku. Akupun mendekatinya. Aku iba melihat bayi perempuan itu. Aku cepat-cepat menggendongnya. Kemudian aku mendengar suara terbata-bata itu lagi. “Jjja...gaaa..lahh.. aaanan.. aaaku.” itulah kata-kata yang aku dengar saat itu. “jagalah anakku.” Akupun mengangguk dan terus menangis sambil menggendong bayi lucu itu. Terlihat ibu itu berusaha untuk melepaskan liontinnya. Dan menggenggam liontin itu dengan tangan yang penuh dengan darah. “Ttee..riimaaal....aahhh.” Ibu itu terlihat menyerahkan liontin itu kepadaku. Akupun menerima liontin itu. Aku melihatnya saat itu, begitu indah. Liontin yang berwarna merah dan anggun telah aku pegang. Aku membuka liontin itu. Aku melihat terdapat foto ibu itu yang sangat cantik. Aku melihat ada satu nama didalam foto tersebut. “Fika.” Aku fikir ibu itu bernama Fika. Aku mendengar lagi ucapan ibu itu dengan terbata-bata.

144

“Ffiikkka...aannaakku..jaaa..gaalah Diia.” Perempuan itu menghembuskan nafas terakhirnya, ia menutup matanya dan terlihat senyuman ada di wajahnya yang penuh dengan darah. “Aku menangis tak henti henti saat itu. melihat Ibu itu sudah tak bernyawa. Kemudian aku melihat bayi yang ada di tanganku, ia begitu lucu. Ternyata bayi itu bernama Fika. Aku tersenyum kearahnya. Aku memebelai kepalanya. Ia terlihat sangat lucu. Bayi itu masih pulas dalam tidurnya. Tak hentihenti aku berlinang air mata saat itu.” Ibu Fika telah menceritakan semuanya. Air matanya terus saja mengalir dan membasahi pipinya. Sudah berapa tissue telah ia gunakan. “Ibuu..” terlihat Fika menangis saat itu. Ia memeluk ibunya. Serasa ia tak percaya akan apa yang telah terjadi. Fiki juga tak percaya tentang apa yang telah terjadi saat ini, wanita yang sangat ia cintai, wanita yang akan ia nikahi, adalah adik kandungnya sendiri. Ia tak bisa membendung kesedihannya. Serasa dunia ini berhenti berputar, jantung nya berdegup lebih kencang. Keringat dinginpun keluar dari tubuhnya. “Fika.. anakku.” Panggil Ayah Fiki. “Maafkan aku Fika, tak seharusnya aku menyembunyikan ini dari kamu.” Terlihat ibu Fika menyesali kejadian ini. Tak seharusnya ia terlambat untuk menyembunyikan semua itu. Semua telah terlambat, cinta telah tumbuh diantara mereka. Tapi ternyata hubungan ini tak boleh diteruskan. Hubungan saudara kandung tak bisa diteruskan sampai ke jenjang pernikahan. Seketika Fika melepas 145

pelukan ibunya. Ia berdiri, pandangannya kosong, tak tau apa yang harus dilakukan. Tangisan itu tak bisa serta merta mewakili kesedihannya yang teramat dalam. Tiba-tiba ia meninggalkan rumah dengan perasaan gamang. Setidaknya ia bisa menenangkan dirinya sebentar. Itu yang ada difikirannya sekarang. “Fika.., Fika....” Panggil ibu Fika yang melihat Fika meninggalkan rumah. Fika tak mempedulikan teriakan ibunya. Hatinya terlalu hancur, bahkan hancur berkeping-keping. Tak tahu siapa yang harus disalahkan, ia tak bisa menyalahkan kedua orang tuanya karena tak menceritakan dari awal. Ia juga tak bisa menyalahkan Fiki yang tiba-tiba menanam cintanya, dan ternyata cinta itu tak memperbolehkan untuk diteruskan. Fika terus melangkahkan kakinya keluar rumah, tak tahu kemana tujuannya sekarang. Itulah keputusan terbaiknya, menenangkan dirinya sendiri.

146

Hari ini aku resmi mengubur harapan itu hidup-hidup

Di taman itu, Fika duduk seorang diri. Ia masih tak bisa mengehentikan air matanya sekarang. Masalahnya terlalu berat. Ternyata bayangan-banyangan yang selama ini menghantuinya, bayangan kereta dan semuanya yang mengerikan. Ada hubungan dengan masa lalunya. Isak tangis belum juga berhenti. Serasa hidup ini begitu berat. Harus menerima apa yang telah terjadi. Cinta ini sudah terlanjur tumbuh. Cinta ini sulit untuk dihilangkan. Orang yang paling ia sayangi adalah kakak kandungnya, bahkan ia sendiri tak tahu harus bagaimana. Cinta antara Fiki dan Fika memang tak boleh diteruskan, apalagi sampai dibawa ke pelaminan. Mereka adalah saudara kandung. Mereka berdua adalah adik-kakak. Mereka tak boleh menikah. Tubuhnya serasa lemas, setelah kejadian tersebut. Serasa tak berdaya. Fika tak tau harus bagaimana. Untuk mengumpulkan tenaga-tenagapun ia rasa susah. Fikirannya begitu kacau. Bahkan ia merasa pening dikepala. Rasa pening itu kian terasa hebat, menjadi rasa sakit dikepala yang tak tertahankan. Dadanya sulit

147

sekali bernafas, berkali-kali ia mencoba untuk mengambil nafas dalam-dalam. Serasa ada yang menututpi jalan nafasnya. Ia bahkan terengah-engah saat itu. Lebih tepatnya bayangan itu kembali lagi. Kereta itu terlihat begitu jelas melaju, ia merasa berada dalam kereta yang melaju dengan cepat, seketika itu juga terdengar beberapa kali bunyi klakson kereta yang sangat keras, bahkan sangat memekakkan telinga. Suasana panik terlihat, banyak orang-orang yang lalu lalang sedang menyelamatkan diri. Terasa hawa sangat panas, api itu menjalar kemanamana. Terlihat suara sirine pemadam kebakaran yang berulang-ulang. Jeritan orang-orang minta tolong dan semua kekacauan itu, ia juga melihat mayat-mayat bergelimpangan disekitarnya. Semua terlihat jelas di fikirannya. Fika hanya bisa menangis dan menahan rasa sakit kepalanya. Tangisan itu membuat dadanya semakin sesak. Seketika itu bayangan mulai hilang. Sakit kepalanya bahkan telah mereda, dan nafasnya sudah kembali lega. Fika hanya pasrah dengan datangnya bayangan-bayangan itu. Ia masih terduduk lesu di kursi taman itu. “Fika...” terlihat Fiki menghampiri Fika yang duduk di taman. Fiki melihat Fika masih menangis dan bahkan tak mempedulikan kedatangan Fiki. “Fika, kamu tak kenapa-kenapa kan?” Tanya Fiki yang khawatir dengan keadaan Fika. Setelah Fika memilih untuk meninggalkan rumah, Fiki berusaha untuk mengejarnya. Walaupun ia sangat terpukul dengan peristiwa itu, ia tak bisa meninggalkan Fika seorang diri, otak warasnya masih sangat berfungsi, ia masih sangat mengkhawatirkan keadaan Fika. Terlebih ia mengetahui, Fika adalah adik

148

kandungnya sendiri. Dan ia harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk menikah dengan Fika. Fika masih tak mempedulikan kehadiran Fiki. Ia masih terus menangis saat itu. Ia begitu terpukul dengan kejadian ini. “Fika.. aku tahu kamu pasti terpukul dengan kejadian ini.” Fiki membelai rambut Fika. “Aku juga sangat terpukul, orang yang akan aku nikahi adalah adik kandungku sendiri. Aku begitu mencintaimu Fika, bahkan sampai saat ini. Tak kurang satupun bagian rasa sayangku kepadamu. Aku masih seperti dulu, ku masih menjadi Fiki yang sangat mencintaimu Fika.” Fiki memeluk pundak Fika, dan Fika menyandarkan kepalanya ke pundak Fiki. Fika masih tak bisa berkata apa-apa. Ia masih terus menangis. Didekapan pundak Fiki, ia teteskan air matanya. “Fika, berhentilah menangis. Aku disini bukan untuk tangisanmu, aku disini adalah bahagiamu. Tersenyumlah sayang. Aku begitu mencintaimu, dan sekarang aku begitu mengkhawatirkanmu.” Fiki menahan kesedihannya, setidaknya ia bisa menutupi kesedihannya dihadapan Fika. “Aku juga mencintaimu Fiki.” Sahut Fika. Suaranya terdengar serak, bahkan hampir tak terdengar. Fikapun memeluk Fiki. Fiki juga memeluknya dengan kasih. Tak kuasa Fiki menahan air matanya, tak kuasa ia menutupi kesedihannya, akhirnya pria itu menangis juga dalam pelukan Fika. Ia tak bisa membayangkan bila cintanya yang telah menggebu-gebu akhirnya akan hilang.

149

Cinta yang terlarang dan tak bisa diteruskan. Mereka berdua menangis dalam pelukan.

150

Aku mengutuk diriku, mengutuk harapanku

Sore itu langitpun terlihat sangat indah, hembusan angin yang semilir membuat jiwa ini semakin tentram. Matahari tak begitu panas menyengat, karena sudah condong ke arah barat. Terlihat pula di sekitar taman beberapa burung gereja yang sedang berkejaran. Terlihat Fika dan Fiki masih duduk di tempat itu, mereka saling diam satu sama lain. Fika terlihat menyandar kepalanya ke pundak Fiki. Tak ada percakapan saat itu. Mereka hanya melihat kedepan, mungkin tatapan keduanya sama-sama kosong. Mereka tak tahu apa yang harus diperbuat, cerita itu, kenyataan itu, serasa semuanya itu tak mungkin. Tapi apa daya, ia tak bisa menghindari kenyataan yang telah ada. “Fiki...” Satu kata akhirnya terlontar dari mulut Fika. Ia menghela nafas dalam-dalam. Tatapannya masih kosong. Bahkan suaranya masih serak akibat tangisannya tadi yang tak henti-henti. “Iya Fika..” Jawab Fiki. Sama halnya dengan Fiki. Ia masih sangat syok dengan apa yang telah terjadi. Pandangannya juga kosong, sesekali ia hembuskan nafasnya, serasa ada masalah besar yang harus dipikulnya.

151

“Maukah kamu mengajakku jalan-jalan hari ini, setidaknya aku bisa menenangkan diriku saat ini.” Fika mengajak jalan-jalan Fiki. Ia jenuh dengan semua ini. Setidaknya dengan berjalan-jalan, ia bisa sejenak melupakan masalahnya. “Sekali ini saja, jadilah orang yang terakhir aku sayang.” Fika tersenyum getir. “Baiklah... Aku juga sedikit bosan berada disini.” Fiki bangun dari tempat duduknya. Iya meraih tangan Fika, dan Fikapun ikut berdiri. Fiki dan Fika akan jalan-jalan, sekedar untuk menenangkan dirinya saat ini. “Bawalah aku ketempat yang menurutmu bisa membuatku senang. Sehingga aku bisa mengurangi sedikit rasa sedihku.” Pinta Fika kepada Fiki. “Baiklah.” Fiki mengajak Fika untuk meninggalkan taman itu. Ia menuju ke pinggir jalan untuk menyetop sebuah taksi. Mereka berdua menaiki taksi. Fiki mengajak Fika untuk mengunjungi Taman Bermain. Setidaknya banyak wahana permainan yang ditawarkan disana. Dia berharap tempat itulah yang bisa mengusir rasa kesedihannya saat ini. Empat puluh lima menit taksi itu membawa mereka menuju Taman Bermain. Tak ada percakapan antara keduanya didalam taksi itu. mereka berdua sama-sama diam. Menatap ke luar, melihat sekililing jalan raya dengan tatapan kosong. Taksi itu sampai di Taman Bermain. Terlihat begitu ramai saat itu. Fiki melihat jam tangannya, pukul 15.00. terik matahari masih terasa panas. Namun tak menyurutkan antusias dari

152

pengunjung Taman Bermain itu. Dari nampak kejauhan terlihat beberapa permainan, roller coster, biang lala, jet coster, badut, penjual pop corn semua memenuhi tempat wahana itu. Fiki membeli dua karcis untuk masuk di Taman Bermain itu. ia menggandeng tangan Fika. Fika menoleh dan tersenyum datar. Fiki menyerahkan tiket itu ke petugas. Petugas mempersilahkan masuk. Mereka berdua melihat sekeliling taman. Sangat ramai sekali, pengunjung begitu antusias memadati tempat ini. Terlihat ada badut yang mendekati mereka berdua. Badut dengan wajah micky mouse terlihat lucu. Terlihat sedang melambailambai ke arah Fika dan mengajaknya bersalaman. Fika tertawa. Fiki senang akhirnya gadis cantiknya mulai tertawa. Sedikit rasa sakitnya mulai memudar. Fiki menggandeng fika menuju wahana permainan. Yaitu Roller coster. Permainan yang membutuhkan adrenalin yang tinggi. Permainan yang setinggi 11 meter membuat bulu kuduk pengunjung berkidik sebelum menaikinya. “Naik yuk..” Fiki mengajak Fika untuk naik ke wahana roller coaster. Fika hanya menggelengkan kepalanya, pertanda ia tak menyukai permainan itu. “Ayolah sayang, sekali ini saja, luapkan emosimu di atas sana.” Fiki membujuk. Akhirnya Fika menyerah dengan bujukan Fiki. Fika memutuskan untuk naik di wahana tersebut. Ia menuju petugas roller coaster. Dan bersiap untuk mengantri dengan pengunjung-pengunjung yang lain. Setelah pintu stasiun dibukakan. Fika dan Fiki memilih tempat duduk. Petugas memasangkan sabuk pengaman dengan benar. Memastikan sabuk tersebut sudah terkunci dengan baik. 153

Kereta mulai berjalan lambat. Jantung kini terasa berdebar kencang. Kereta menyusuri rel-rel dan meliuk liuk dan naik ke atas. Sangat tinggi, sampaisampai seluruh Taman Bermain bisa terlihat dari atas kereta roller coaster. Setelah sampai cukup atas, kira-kira berapa puluh kaki dari tanah, kereta itu turun dengan cepat. Serasa kereta itu dijatuhkan begitu saja dari atas. Pengunjungpun semua berteriak. Begitupun dengan Fika. Ada belokan, kereta itu belok menukik. Seperti tubuh ini dibanting-banting oleh permainan tersebut. Kembali keatas, dan dijatuhkan kembali dengan cepat. Fika begitu keras berteriak. Begitupun juga dengan Fiki. Kembali berbelok dengan cepat, kembali turun dan naik keatas. Dihempaskan lagi kebawah. Kereta meliuk-liuk mengikuti relnya. Dua puluh menit telah berlalu kereta berhenti di stasiun pemberhentian. Seorang petugas membuka sabuk pengaman. Mereka berdua bersiap meninggalkan wahana roller coaster itu. “Kemana lagi kita?” Fiki bertanya kepada Fika. Ia masih bingung tujuan wahana yang akan dituju selanjutnya. “Kesana saja yuk..” Fika menunjuk satu tempat, yaitu wahana Rumah Boneka. Fika tersenyum ringan, sambil sesekali ia mengusap keringat di dahinya. “Oke deh siap laksanakan.” Fiki menggandeng tangan Fika. Mereka berdua memasuki wahana Rumah Boneka. Setelah membeli tiket masuk, tak beberapa lama kereta yang akan ditumpangi untuk mengitari sekeliling wahanapun tiba. Petugas mempersilahkan Fika dan Fiki untuk menaiki kereta. Kereta berbentuk Unta yang mereka naiki

154

berjalan dengan lambat.. Kereta itu menyisiri rel-rel yang mengantarnya menuju pos-pos wahana. Kereta itu menuju kehidupan dongeng. Terlihat beberapa boneka yang mirip seperti abu nawas, dan aladin, bahkan beberapa tokoh-tokong dongeng disuguhkan. Fika tertawa saat melihat boneka aladin muncul dengan perut yang sangat besar. Kereta menuju kehidupan kartun. Banyak tokoh tokoh kartun yang di tampilkan disana. Ada Micky mouse, winnie the poh, bahkan telletubies. Tak henti-hentinya Fika tertawa melihat boneka-boneka lucu itu bergerak dengan sendirinya. Akhirnya wajah ceria gadis cantik itu kembali menyeruak. Fiki tersenyum, ia mengecup kening Fika, tanpa Fika menyadarinya. Fiki sangat senang melihat Fika kembali lagi tertawa, setelah kejadian siang tadi. padahal

sebelumnya

ia telah mengutuk-ngutuk

akan nasibnya sendiri.

Menganggap kehidupan sudah tak adil lagi. Namun di wahana ini Fika bisa tertawa kembali. “Aku sangat senang melihatmu tertawa kembali, Fika” Gumam Fiki dalam hati. Dua puluh menit telah berlalu. Keretapun kembali menuju stasiun pemberhentian. Mereka berdua meninggalkan Rumah Boneka itu. Fiki mengajak Fika untuk membeli kembang gula. Fika tak mengelak ajakan Fiki sedikitpun. Mereka berdua rela mengantri bersama dengan anak-anak. Fikapun terlihat sering tertawa menatap wajah Fiki. Perjalanan mereka lanjutkan untuk menaiki wahana Biang lala. Wahana yang berbentuk seperti sangkar burung itu akan membawa mereka berputar naik ke angkasa. Tingginya entah berapa puluh kaki. Sangat tinggi. Bahkan seperti melihat seluruh kota diatas Biang Lala tersebut. Begitu nampak kecil-kecil dari

155

atas. Jalan,rumah-rumah, bahkan gedung0gedung pencakar langit terlihat kecil jika dilihat dari atas Biang Lala. Fiki menatap jam tanganya. Sudah pukul 17.15. Matahari sore sudah menuju kearah barat. Mungkin beberapa detik lagi akan melihat keindahan Sunset diatas wahana Biang lala. ”Fiki..” Fika memanggil. Hampir dari tadi Fika tak pernah memanggil Fiki. Ia hanya diam dan sesekali tertawa terbahak-bahak. Fika memendam perasaan yang begitu sakit, sejak Ibu Fika menceritakan kejadian dua puluh tahun silam. “Iya Fika.” Fiki tersenyum. Fika menyandarkan kepalanya di pundak Fiki. Ia menghela nafas panjangnya. “Aku lelah Fiki. Aku lelah dari tadi menangis.” Fika mencurahkan isi hati yang ia rasakan. Fiki hanya tersenyum dan mencium kening Fika dengan lembut. “Aku tahu sayang, semua terasa tak adil buat kita. Aku berharap dengan kejadian ini. Kita tak sedikitpun saling membenci. Saling membuang perasaan cinta kita. Walaupun cinta kita sekarang harus diubah dengan makna yang berbeda. Fika kembali menangis. “Aku sayang kamu Fiki, aku begitu mencintaimu. Tapi apa, semua terasa tak adil bagiku. Aku harus melepaskanmu. Aku bukan seperti matahari yang kuat seperti bayanganmu. Aku tak mau berpisah denganmu Fiki.” Isak tangis Fika, membuat Fiki tak terasa juga ikut meneteskan air mata.

156

Matahari sudah condong ke barat. Sunset benar-benar telah terlihat. Cahayanya begitu mempesona. Berwarna orange di seluruh cakrawala. Begitu nampak jelas di atas wahana Biang Lala. Burungpun membentuk formasi terbang diatas langit. Mereka akan menuju tempat peristirahatannya. “Sayang, aku juga begitu mencintaimu, hingga saat ini dan sampai kapanpun. Aku tak akan meninggalkanmu. Aku akan selalu bersamamu. Walaupun dengan kondisi dan cara pandang yang berbeda.” Fiki tersenyum dan menggenggam tangan Fika. “Percayalah, aku tak akan meninggalkanmu.” Fika tersenyum mendengar kalimat Fiki. Sebuah harapan baru. Cinta akan selalu terjaga walaupun dalam kondisi yang berbeda. Tepat empat puluh lima menit senja telah berganti menjadi malam. Matahari dengan gagahnya meninggalkan cakrawala yang begitu indah. Fiki mengantarkan Fika pulang kerumahnya. Dirumah Fika masih ada ayah Fiki, mungkin dia akan menginap dirumah orang tua angkat Fika. Fiki tak menerima ajakan orang tua angkat Fika untuk menginap dirumahnya. Setidaknya dengan dia pulang di apartemennya, ia bisa menenangkan dirinya sendiri, dan bisa memberi Fika kesempatan untuk menenangkan dirinya juga. Ia tak mau dengan kehadirannya, membuat Fika merasa terbebani nantinya.

157

Fika jatuh sakit

Jam tangannya sudah menunjukkan pukul satu dini hari, namun mengapa mata ini sangat sulit untuk dipejamkan. Fiki berdiri di depan kaca toliet apartemennya. Ia melihat keadaannya saat itu. Matanya begitu merah dan wajahnya pun tak karuan. Sepertinya masalah ini membuatnya sangat acakacakan. Satu jam, dua jam, ia masih bergelut dengan masalahnya. Ia berusaha untuk menenangkan dirinya dan fikirannya. Namun apa daya, ia tak bisa menyelesaikan secepat ini. Melupakan semua kejadian itu, dan menerima kejadian ini dengan apa adanya. Merubah orang yang paling ia cintai dan sayangi menjadi seorang adik kandungnya. Itu semua bukan perkara yang mudah. Butuh proses untuk mengubah semua itu. Ia masih bergelut dalam fikiran dan egonya. Sesekali ia hembuskan nafas panjang. Ia kembali menatap matanya di kaca itu “Apa yang harus saya lakukan, bahkan aku tak tau harus bagaimana.” Itulah fikiran yang selalu menghantui dirinya sekarang. *** Fika masih menatap keluar jendela rumahnya, ia membiarkan kamarnya dalam keadaan gelap gulita. Hanya sinar rembulan yang mencoba menerangi dengan menyusup masuk dari balik tirai jendela. Fika anggraini masih terjaga

158

dalam lamunannya malam ini. ia biarkan dirinya hanyut dalam buaian malam. Ia melihat di langit terdapat sebuah bulan yang sangat indah. Disertai kilauan bintang-bintang yang menghiasi keindahan sang malam. Semilir angin malam juga terasa sangat dingin. Sepertinya Fika belum sempat menghentikan tangisannya saat ini. Malam ini begitu sunyi, hanya terdengar suara serangga malam, dan tangisan Fika yang lirih tiada henti. Serasa memecahkan keheningan malam itu. Fikirannya benar-benar kalut. Ia tak tau harus bagaimana mengakhirinya. Terasa berat di fikirannya. Sepertinya ada sebuah bom yang siap meledak. Iapun ingin menjerit keras-keras, sekedar melampiaskan kesedihan dan kekesalan pada dirinya sendiri. Isak tangisnya tak juga berhenti. Seketika itu fikirannya mulai kacau, bayangan itu muncul lagi, begitu hebat dan begitu nyata. Kepalanya mendadak pusing dan tak bisa ia menahan sakitnya. Ia terus saja menjambakjambak rambutnya. Ia tak kuasa menahan kesakitan itu. Nafasnya mulai terengahengah. Ia mulai sesak nafas. Satu tangan menjambak-jambak kepalanya, dan satu tangan memegang dadanya yang sesak. Matanya mulai berkunang-kunang. Penglihatannya mulai buram. Rasa sakit dikepalanya membuat ia tak bisa bertahan. Penglihatannya yang buram sekarang mendadak menjadi gelap. Gelap dan tak terlihat apa-apa. Fika jatuh dan tak sadarkan diri. Sirine ambulans malam benar-benar telah membuat telinga ini menjerit. Pagi-pagi buta seperti ini, tepatnya masih jam setengah dua dini hari. Suara sirine itu bahkan seperti alarm untuk membangunkan orang-orang tidur. Serasa

159

menyebalkan. Kenapa harus sepagi ini sirine itu berbunyi? Serasa mata ini masih sulit untuk bagun. Terlihat ambulans berhenti di depan rumah Fika. Beberapa lelaki yang berpakaian serba putih sangat tergesa-gesa. Ia buka pintu mobil dan menarik bangsal untuk diseretnya keluar. Dua orang dengan sigap masuk ke rumah Fika. Tak beberapa lama lelaki dengan pakaian serba putih itu membawa Fika dalam keadaan tak sadarkan diri. Terlihat kedua orang tua angkat Fika dan ayah Fiki mengikuti dari belakang. Mereka semua terlihat menangis, daun raut kesedihan sangat tergambar jelas. Lelaki serba putih itu memasukkan bangsal itu kedalam mobil, dan kemudian menutup pintu mobil. Kedua orang tua angkat Fika dan Ayah Fiki juga ikut masuk kedalamnya. Sirine mobil ambulans tersebut kembali dibunyikan, kali ini telinga benar-benar muak dengan suara itu. Memekikkan telinga. Akhirnya mobil ambulans itu meninggalkan rumah Fika, dan suara sirine itu sudah tak terdengar lagi. Semuanya kembali hening. *** Kring....kring...., suara telefon rumah itu mengagetkan lamunan Fiki, Fiki beranjak dari depan cermin. “Siapa malam-malam begini yang menelfon tak tau diri?” Gerutu Fiki saat mendengar bunyi telfon apartemennya itu. Fiki menuju datangnya sumber bunyi tersebut. Ia menghela nafas dalam-dalam. Fiki mulai mengangkat ganggang telfon. Fiki mengerutkan keningnya, dan berusaha menangkap suara yang ada di dalam telfon.

160

“Hallo.........., ia dengan Fiki....., Ayah, kenapa ayah?...... Astaga, itu tak mungkin...., Fika.........!!!” Fiki melepaskan telfonnya, dan telfon rumah itu jatuh ke lantai. Serasa ia sudah menjadi lumpuh fikiran, kabar yang ada di telefon telah membuat dirinya mati tak berdaya. Ia masih tak sadarkan diri dari fikirannya itu, seperti kosong, namun tak kosong, ada kekhawatiran besar saat itu. Fiki masih belum beranjak, dengan telfon yang jatuh di lantai. Sepertinya didalam telfon masih ada suara orang memanggil. Pandangannya kosong. Ia menatap lurus, tapi tak tahu apa yang ia lihat. Ia sadar dalam fikirannya. Cepat-cepat ia bergegas meninggalkan apartemennya. Ia menuju kerumah sakit untuk melihat keadaan Fika.

161

Kuatkan dirimu fika

Fika masih tak sadarkan diri, beberapa perawat telah mendorong bangsal itu melewati koridor rumah sakit dengan berlari kecil. Di susul kedua orang tua Fika dan Ayah Fiki dibelakangnya. Mereka bertiga terlihat menangis di depan ruang Unit Gawat Darurat. Setelah masuk ruangan yang di depan pintunya terdapat tulisan “Emergency.” Kedua perawat tersebut membawa masuk Fika, dan menutup pintu ruangan itu. Salah satu perawat melarang ketiga orang tersebut masuk dan menyuruh agar tetap menunggu diluar, selagi ada penanganan lebih lanjut dari tim dokter. Terlihat ibu Fika yang terus menangis tiada henti melihat anak angkatnya saat ini sedang kritis. Dari kejauhan terlihat Fiki berlari sangat cepat. Ia menyusuri koridorkoridor rumah sakit, ya memang keadaan saat itu masih sangat sepi. Waktu masih menunjukkan jam setengah tiga. Hanya terlihat satu atau dua perawat yang melakukan visite malam terhadap pasien. Ia terus menyusuri koridor rumah sakit dalam keadaan gontai. Dari arah kejauhan ia melihat ayah dan kedua orang tua angkat Fika yang sedang duduk termenung di depan sebuah ruangan. Terlihat pula ibu angkat Fika yang tak henti-hentinya menangis saat itu. Fiki menuju kesana.

162

“Ayah.. bagaimana keadaan Fika saat ini?” Tanya Fiki dengan cemas kepada ayahnya. Ia tak tau bagaimana dengan dirinya sendiri. Mendengar kabar Fika yang tiba-tiba jatuh pingsan dan sekarang masuk di ruang UGD membuat dirinya mati rasa. Kacau balau hari ini fikirannya. Bahkan hampir membuat dirinya gila. Ayah Fiki menyuruhnya untuk menenangkan diri dan duduk di kursi panjang itu. Fiki belum bisa tenang, Ia masih sibuk dengan pertanyaannya. “Bu.. bagaimana keadaan Fika saat ini? Dia baik-baik saja bukan? Dia tak apa-apa kan bu?” Fiki melontarkan pertanyaan demi pertanyaan. Namun ibu angkat Fika tak menjawab pertanyaan Fiki. Ia tak kuasa untuk menjawabnya. Air matanya terus mengalir. Dan tak henti-hentinya ia menangis. Fiki kesal dengan dirinya saat itu, tak ada yang mempedulikan pertanyaannya. Ia mencoba menenangkan dirinya saat itu. Ia memilih untuk duduk dikursi panjang. Ia tampak tak karuan, ia menangis tapi tak sedikitpun air matanya keluar. Mungkin karena ia terlalu sering untuk meneteskan air matanya. Terlihat wajahnya yang kusam dan sedih. Ia menjambak rambutnya, dan keringat dingin mengucur dibadannya. Ia memandangi terus pintu UGD. Ia berharap dibalik pintu tersebut tak terjadi apa-apa. “Fika.. aku tau kamu kuat, bertahanlah sayang.” Kata Fiki dalam hati. Ayampun berkokok, bertanda malam ini akan menjadi pagi, terdengar pula bunyi berisik dibeberapa ruangan. Ya mungkin aktifitas pagi sudah dimulai, beberapa perawat dan petugas rumah sakit mulai mempersiapkan dirinya. Fiki masih memandangi pintu itu. Tak ada yang keluar dari pintu yang bertuliskan

163

“Emergency”. Sesekali Fiki berdiri dan menghela nafasnya dalam-dalam untuk menenagkan diri. Matanya begiru merah, hari ini ia tak tidur sama sekali, kepalanya sangat pening, tapi ia tak pedulikan rasa pening itu. Fiki kembali duduk sambil menopang kepalanya dengan kedua tangan yang menutupi mulutnya. Pandangannya tak lepas dari pintu tersebut. Sudah hampir tiga jam ia menunggu, tak satupun keluar dari balik pintu itu. Tiba-tiba ada seseorang yang mencoba membuka pintu itu dari dalam. Terlihat gagang pintu yang tertarik kebawah. Sontak membuat semua orang yang menunggu Fika berdiri semua. Kemudian terdengar decitan pintu yang akan terbuka. Dan akhirnya satu dokter keluar dari balik pintu tersebut. Mereka bertiga menyerbu dokter dan menanyakan perihal keadaan Fika saat itu. Dokter tak banyak memberikan komentar. Ia berkata Fika akan baik-baik saja nantinya, ada sesuatu yang disembunyikan dokter itu. Namun ia rasa belum saatnya untuk mengatakan semuanya. Dokter itu meninggalkan UGD. Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi, namun semua yang menunggui Fika tak diperbolehkan untuk masuk, jam besuk belum dibuka. Dan Fika masih perlu mendapatkan perawatan yang intensif. Terlihat Fiki masih gelisah dengan fikirannya. Bahkan wajahnya kini benar-benar kusut. Matanya begitu berat untuk melihat. Fiki berdiri dan meninggalkan ruang UGD. Ia menuju toilet, sekedar untuk mencuci wajahnya yang terlihat sangat mengantuk. Ia sapukan air ke wajahnya. Begitu segar ia rasakan, iapun berkumur untuk membersihkan bagian dalam mulutnya. Setelah dirasa cukup, ia kembali ke ruang UGD untuk menunggui Fika.

164

Setelah jam menunjukkan pukul setengah delapan, ada seorang suster yang keluar dari balik pintu UGD, ia memperbolehkan masuk dan melihat keadaan Fika. Fiki dan Orang tuanya masuk kamar UGD. Tercium bau obat suntik dan alkohol saat itu. Fiki tak mempedulikan apa-apa, fikirannya hanya tertuju pada bangsal yang terletak di pojok ruangan. Bangsal tersebut diatasnya telah terbaring seorang perempuan cantik, dengan pakaian kebaya yang belum ia copot dari kemarin. Fiki dan ketiga orang Tua Fika menuju bangsal tersebut. Ia melihat Fika sedang tak sadarkan diri. Tangannya tergantung selang yang terhubung oleh infus. Mulutnya juga tertutup oleg selang yang menghubungkan ke tabung oksigen. Fiki menangis histeris saat melihat keadaan Fika seperti itu. Ia tak tega bila orang yang paling ia cintai menderita seperti ini. tetapi tetap. Ia membelai rambut Fika dengan tangisannya. Ia cium kening Fika dengan lembut. Ia berharap Fika tak terjadi apaapa. Dan ia berharap bahwa Fika akan cepat sadar dan bisa kembali sehat seperti semula.

165

Bertahanlah fika

Sudah satu minggu Fika dirawat di rumah sakit. Walaupu Fika sudah sadarkan diri, namun keadaanya kian hari kian memburuk. Menurut dokter, Fika mengidap suatu penyakit yang sangat menakutkan. Penyakit yang telah merenggut nyawa ratusan orang di dunia. Fika terkena penyakit kanker otak stadium akhir. Keluarga Fika sangat menyayangkan keadaan ini. Mengapa mereka semua tak mengetahuinya dari awal? Setidaknya mereka dapat dengan berusaha keras menyembuhkan Fika. Mungkin sakit kepala begitu hebat yang dirasakan Fika, adalah gejala timbulnya kanker otaknya. Fikapun tak mengetahui semua ini. Ia fikir semua hanya sebuah trauma biasa. Waktu itu ia juga pernah menanyakan penyakitnya kepada dokter, bahkan psikiater. Namun dugaan mereka salah, bukan sebuah trauma yang dialami Fika. Melainkan kanker otak yang telah menjalar di dirinya. Dan menurut dokter, umur Fika sudah tak lama lagi. Bahkan bisa dibilang tinggal hitungan hari. Pagi ini seperti biasa, ke tiga orang tua Fika dan Fiki sendiri, masih berada di dalam ruang ICU, terlihat Fika yang membuka matanya. Ia melihat sekeliling. Ia tersenyum kearah Fiki dan ketiga orang tuanya.

166

“Ayahh.. ibu...” Panggil Fika saat itu. Cepat-cepat mereka berdiri disamping Fika. “Ia nak.. ada apa? Bagaimana keadaanmu nak?” Sahut Ibu angkat Fika dengan membelai rambut anaknya. “Masih sedikit pusing bu ini kepala.. aduh sakit.” Fika merasakan sakit dikepalanya. Tak kuasa mereka semua menahan kesedihannya, melihat Fika merintih kesakitan. Terlebih Fiki saat itu. Ia tak kuasa melihat orang yang paling ia sayangi menderita. “Ayah panggilkan dokter ya nak?” Ayah kandung Fika keluar dari kamar ICU dan memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Fika saat itu. Tak beberapa lama ayah Fika kembali, dan di ikuti seorang dokter laki-laki yang mengalungkan stetoskop di lehernya. “Fika.. buka ya mulutmu.” Dokter menyuruh Fika untuk membuka mulutnya. Dokter mulai menyalakan senter dan melihat keadaan rongga dalam mulut Fika. “Ayo sekarang kamu buka matamu lebar-lebar.” Fika menuruti semua perkataan dokter. Dokter kembali menyalakan senternya, ia menyoroti bola mata Fika. “Dokter aku sudah sehatkan? Aku sudah sembuh kan?” Fika menanyakan keadaanya kepada dokter itu. Dokter hanya tersenyum mendengar pertanyaan Fika. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan dokter itu. Mengingat pasiennya, hidupnya sudah tak lama lagi.

167

“Iya Fika. Kamu sudah berangsur membaik.” Dokter mencoba menghibur Fika dengan senyumannya. Semua yang hadir disana tak kuasa untuk menahan kesedihannya melihat Fika seperti itu. “Tuh.. dengar kan kata dokter bu.. aku sudah sembuh sekarang.” Fika tersenyum ke arah ibunya. Ibunya tak kuasa menahan tangisannya saat itu. Sambil mengangguk Ibu Fika terus menangis tanpa henti. “Ayah.. aku sudah sehat. Ayah ayo main-main. Aku kangen main-main dengan ayah. Mungkin aku sudah lupa masa-masa itu.” Ayah Fiki tersenyum kearah anak kandungnya. Ia tak bisa berkata apa-apa saat itu. “Kakak...” Fika memanggil Fiki. “Iya Fika, ada perlu apa? Ada yang bisa kakak bantu?” Fiki berdiri di samping ranjang Fika. Ia membelai rambut Fika dengan lembut. Kemudian Fiki memegang erat tangan Fika. Fiki menahan kesedihannya melihat Fika. “Kakak aku mau jalan-jalan bersama kakak sekarang, aku ingin pergi ke taman itu bersama kakak. Aku ingin mendengar suara merdu kakak seperti di restauran dulu.” Fika mengajak Fiki untuk menemaninya jalan-jalan. “Fika.. kamu masih sakit, nanti saja kalau kamu sudah sembuh akan kakak ajak jalan-jalan sepuasmu.” Fiki merasa tak bisa menuruti permintaan Fika. Ia masih sangat mengkhawatirkan keadaan Fika.

168

“Kakak.. aku sudah sembuh loh. Aku mau kakak menemaniku sekarang.” Fika terlihat kesal melihat Fiki tak mau menemaninya jalan-jalan. Fiki hanya bisa meneteskan air matanya. Ayahnya membisikkan sesuatu ke telinga Fiki. Begitu lirih bahkan tak bisa terdengar jelas. “Baiklah Fika.. Kakak akan mengajak kamu untuk pergi ketaman dan restauran itu. Tapi kamu harus janji, setelah kakak ajak jalan-jalan, kamu harus sembuh seperti sedia kala.” Fiki menyanggupi permintaan Fika setelah ayahnya membisikkan sesuatu ke telinganya. “Siapp.. kakak. Setelah jalan-jalan, aku akan sehat seperti sedia kala.” Fika terlihat senang Fiki mau menuruti keinginannya saat itu. Ia mengangkat tangannya dan hormat kearah Fiki. “Siap komandan.” Ia tersenyum kearah Fiki. Fiki hanya bisa menahan kesedihannya. Melihat orang yang paling ia kasihi hidupnya sudah tak lama lagi. Fiki mengambil kursi roda, Fika turun dari ranjangnya dengan bantuan ayah dan ibunya. Fika sudah duduk di kursi roda itu. Terlihat senyuman indah di wajah Fika. Seperti tidak ada apa-apa dengannya. Semuanya serasa baik-baik saja. Fiki mulai mendorong kursi roda itu meninggalkan ruang ICU. Serasa ke tiga orang tuanya ingin menjerit keras-keras melihat Fika meninggalkan ruang ICU bersama Fiki.

169

Fiki terus mendorong kursi roda Fika, menyusuri koridor-koridor rumah sakit. “Kakak.. aku senang bisa jalan-jalan sama kamu.” Sahut Fika, ia merasa sangat senang hari ini. “Iya Fika.. hari ini kakak akan mengajakmu jalan-jalan kemana saja, sesukamu?” Fiki terus mendorong kursi roda itu. Ia ayunkan langkah kakinya untuk meninggalkan rumah sakit. Kemudian ia menyetop taksi dan masuk menaiki taksi tersebut bersama Fika. Taksi itu berhenti di restauran bernuansa Eropa yang pernah mereka kunjungi dulu. Dibantu oleh sopir taksi, Fika turun dari mobil dan kembali menaiki kursi rodanya. Fiki membayar taksi dan mengucapkan terima kasih telah membantunya menurunkan Fika saat itu. Fiki mendorong kursi roda Fika masuk ke restauran Eropa yang begitu artistik. Terlihat tak jauh berbeda dengan kunjungan terakhirnya dulu. Hanya ada beberapa ornamen dan lukisan yang diganti dengan yang baru. Setelah pelayan restauran membukakan pintu, terdengar Live Music yang begitu indah. Alunan suara membuat siapa yang berkunjung akan mencair hatinya. lagu yang dibawakan kali ini adalah instrumen You Rise me Up. Begitu enak didengar. Fiki menuju meja Resepsionis untuk menanyakan ada meja yang kosong atau tidak. Mengingat meja disitu selalu habis dipesan pengunjung. Memang keberuntungan ada di pihak mereka. Ada satu meja kosong yang bisa mereka pesan saat itu. Fiki mendorong ke meja 14.

170

Fiki menggendong Fika untuk duduk di kursi. Fika tersenyum ke arah Fiki. Ia senang sekali Fiki selalu perhatian denganya. Tak pernah sedikitpun Fiki mengeluh tentang Fika. Ia begitu sabar menyayangi Fika, hingga detik ini. Saat Fiki membungkuk untuk meletakkan Fika dikursinya, Fika membelai rambut Fiki. Fika menangis saat itu. “Kenapa kamu menangis Fika?” Tanya Fiki yang kaget melihat Fika yang tiba-tiba menangis. “Kakak, aku begitu mencintaimu. Sampai detik ini.” Fika terseyum dengan air matanya yang menetes mengenai tangan Fiki. Fiki membalas senyuman Fika dengan getir. Fiki menahan kesedihannya saat itu. Ia tak mau kelihatan lemah di mata Fika. Ia ingin menjadi kakak yang tegar dan tak cengeng. “Aku juga mencintaimu Fika.” Ucap Fiki. Tak lama kemudian pelayan laki-laki itu datang. Ia membawa setumpuk menu, dan menyerahkan kepada Fiki. Tak beberapa lama Fiki menyebutkan menu yang akan ia pesan. Pelayan itu mencatat dan setelah itu meninggalkan meja Fika dan Fiki. “Kakak menyanyilah didepanku seperti dulu.” Pinta Fiki untuk segera menuruti keinginannya. Fiki tersenyum kearah Fika. Fiki beranjak dari kursinya dan kembali bernegosiasi kepada salah satu personil band yang ada di atas panggung. Tanpa banyak basa-basi mereka turun. Fiki mengambil alih acara Live Music di restauran tersebut. Baru saja ia duduk di depan piano klasik itu, banyak pengunjung yang bertepuk tangan. Sepertinya para pengunjung tak melupakan permainan indahnya waktu itu. 171

Fiki memainkan intro lagu dengan begtu indah. Tangan-tangannya menekan tuts piaono dengan gemulai. Rangkaian nada indah keluar dari piano klasik. Fiki membawakan lagu kesukaan Fika “Pelangi Di matamu” seperti yang Fiki nyanyikan waktu itu. Tiga puluh menit kita disini, tanpa suara Dan aku resah harus menunggu lama, kata darimu. Mungkin butuh kursus merangkai kata, untuk bicara Dan aku benci harus jujur padamu tentang semua ini. Fiki memainkan lagu itu begitu indah. Suaranya begitu merdu. Fiki menatap kearah meja Fika. Fika begitu senang saat itu. Fiki teringat akan bayangbayang masa lalu. Saat mereka mengunjungi restauran ini. Fika banyak bertanya soal menu-menu makanan Eropa. Fiki menjawab semua pertanyaan Fika. Dan akhirnya Fiki memutuskan untuk menyanyikan lagu ini di atas panggung. Fika sangat senang . Bahkan dengan wajah yang malu-malu karena pujian dari beberapa orang. Namun saat ini Fiki teringat, bahwa mungkin lagu yang ia nyanyikan sekarang adalah lagu terakhirnya untuk Fika. Serasa Fiki tak bisa menahan kesedihannya. Ia ingin sekali menangis. Orang yang sangat ia sayangi harus berpisah dengannya. Bahkan untuk selama-lamanya. Jam dindingpun tertawa, karna ku hanya diam, dan membisu. Ingin ku maki diriku sendiri, yang tak berkutik didepanmu

172

Fiki tak bisa menahan kesedihannya. Tak terasa air matanya menetes di tuts-tuts piano. Namun ia berusaha untuk mengendalikan suara dan permainannya. Ia kembali menatap Fika. Ia begitu cantik saat ini. Fiki tak ingin berpisah dengan Fika. Fiki ingin sekali melihat senyuman Fika. Bahkan ia tak rela jika hari ini adalah hari terakhirnya bersama dengannya. Melihat senyuman yang terpancar di wajah Fika. Ada yang lain disenyummu Yang membuat lidahku, gugup tak bergerak Ada pelangi, di bola matamu Yang memaksa diri tuk bilang Aku sayang padamu... Aku sayang padamu... Sempurna. Fiki menagis tersedu-sedu diatas panggung. Ia tak bisa meneruskan bait-bait terakhir lagu. Suaranya sudah terlalu serak. Namun ia berusaha untuk konsentrasi dengan permainannya. Nada-nadanya piano telah ia susun dengan indah, bahkan masih sangat indah untuk didengar. Fiki berhasil mengakhiri lagunya. Tepuk tangan yang meriah terdengar begitu riuh. Semua pengunjung menyukai lagu dan permainan Fiki. Ia kembali menatap Fika. Dan Fika begitu antusias untuk bertepuk tangan.

173

Fiki turun dari atas panggung dan menuju kursi Fika. Fika menyambutnya dengan gembira. Senyuman indah terpancar di wajah Fika. “Terima kasih kakak atas lagunya. Aku suka sekali dengan suara dan permainan kakak.” Fika tersenyum. Fiki membalas seyuman Fika dan meyeka air matanya. “Kakak, mengapa menagis?” Fika mengusap pipi Fiki yang penuh dengan air mata. Tak kuasa Fiki menahan kesedihannya. Ia memeluk tubuh Fika dengan erat. Ia menagis dengan sepuasnya. Tak pedulikan orang-orang yang ada direstauran. Ia terus saja menagis, tak mau Fika pergi secepat itu. Fika melingkarkan tangan mungilnya di pinggang Fiki. “Kakak, jangan menagis. Aku baik-baik saja kok.” Fika menepuk-nepuk pundak Fiki yang masih memeluk Fika dengan erat. Fiki melepaskan pelukannya. Ia mengusap air matanya. Fiki tersenyum ke arah Fika. “Jadi, sekarang kita kemana lagi sayang.” Fiki menggenggam tangan Fika. Fika membalas dengan senyuman yang indah. “Ke taman biasanya, kakak.” Fika mengajak Fiki untuk pergi ke taman. Tempat dimana Fika sering mengunjunginya. Bahkan Fika pernah menunggu Fiki selama 3 bulan dalam ketidak pastian. Fika kangen dengan keadaan Sunset di taman itu.

174

Selamat jalan Fika

Fiki mendorong kursi roda Fika masuk kedalam taman. Tak banyak orang yang ada di taman tersebut. Seperti biasa, taman itu begitu indah dengan bunga yang beraneka ragam, hembusan angin yang semilir membuat hati ini terasa sejuk. Fika tersnyum kearah Fiki. “Kakak...” panggil Fika. “Iya Fika..” “Terima kasih banyak ya, sudah mau menemani aku ke sini. Aku kangen jalan-jalan dengan kakak. Fika kangen bisa berdua-duaan sama kakak.” Sahut Fika. Fiki masih mendorong Fika mengitari taman itu. Ia tak bisa menahan kesedihannya saat ini. Fiki tak bisa berkata apa-apa saat itu. “Kakak tahu gak, kita pernah bertemu disini. Disinilah aku pertama suka dengan kakak. Heheheh.. aku masih ingat saat kakak menghawatirkan diriku yang sakit, kakak meberiku sebotol air mineral untuk menenagkan diriku. Dan alhasil perhatianmu telah meluluhkanku. Aku jatuh cinta kepada kakak.” Fika tersenyum menceritakan kejadian waktu dulu. Fiki masih tak bersuara saat itu, ia masih mendorong kursi roda Fika mengitari taman.

175

“Kakak.. inget gak aku pernah menanti kehadiran kakak disini, ya selama tiga bulan aku selalu menanti kehadiranmu disini, hehehe.. aku seperti orang gila kakak saat itu. Waktu itu hujan sangat deras, dan aku pingsan. Kakak menolongku saat itu. Aku seneng kakak bisa kembali lagi menemuiku. Dan yang paling membuatku senang, kakak mengungkapkan perasaan cintanya. Kakak menembak aku. Heheheh.. aku senang sekali waktu itu.” Fika terlihat senang menceritakan semuanya kepada Fiki. Sesekali tangan Fika memegang kepalanya yang terasa sakit. Fiki masih tak bisa berkata apa-apa. Ia meneteskan air matanya mendengar cerita-cerita Fika. “Kakak.. bawa aku ke danau itu. Aku ingin melihat matahari tenggelam seperti dulu.” Fika mengajak Fiki untuk menuju pinggir danau. Fiki mendorong kursi roda Fika menuju ke pinggir danau. Ia menyusuri jalan menuju ke tempat itu. Tak beberapa lama mereka berdua sampai di tepi danau. Memang benar, saat itu matahari sudah condong ke arah barat, dan sinarnya sudah memantul di air danau. Sunset telah mennjukkan keindahanya. Mereka berdiri di pinggir danau dekat pohon mahoni yang besar. “Kakak.. indah ya matahari itu.” Fika menatap keindahan matahari senja dicakrawala, dan tersenyum ke arah Fiki. “Ia sayang.. matahari itu sangat indah. Matahari itu seperti kamu, sinar cintanya tak akan pernah hilang. Kakak harap kamu bisa kuat seperti matahari. Kakak harap kamu bisa sembuh seperti sedia kala. Dan bisa sering jalan-jalan dengan kakak.” Fiki tersenyum kearah Fika. Fika membalas senyuman itu dengan

176

indah. Kemudian Fika mencoba untuk berdiri, Fiki dengan sigap membantunya untuk berdiri. Ia menuju ke arah pohon mahoni besar. Ia mengeluarkan pisau kecil yang ia kantongi. Ia mulai menggambar sesuatu dipohon mahoni besar itu. “Sudah selesai, indah bukan?” Fika tersenyum dengan hasil gambaranya di pohon. Ia menggambar sebuah hati, dan di dalamnya terapat tulisan nama. “Fika Love Fiki.” “Kakak.. bagus ya gambaranku, aku harap cinta kita sekokoh pohon mahoni ini yang selalu menjaga tulisan nama kita, Dan aku harap tulisan ini akan selalu menjadi kisah kenangan cinta kita nanti. ” Fika tersenyum sambil membawa pisau kecil itu. Fiki tak bisa berkata apa-apa. Serasa air matanya ingin membanjiri tempat itu, setelah melihat tulisan Fika dipohon. Fiki terus memandangi Fika yang terlihat begitu ceria. Fiki tak bisa menahan kesedihannya saat itu. “Kakak.. jangan menangis. Tersenyumlah kakak, gambaranku indah bukan?” Fika melempar senyum kearah Fiki. Fiki mengangguk dan memaksakan senyumannya kepada Fika. “Kakak aku ingin kakak menggendongku sekarang. aku ingin berkeliling danau ini. Mau kan kakak menggendongku?” Fika meminta Fiki untuk menggendongnya saat itu. Fiki hanya menagangguk kepalanya. Kemudian Fika naik kepunggung Fiki, dan Fiki menggendongnya. Fiki menggendong Fika mengitari tepi danau. Selama Fika digendong, ia selalu bercerita dan meyakinkan Fiki kalau dirinya tak apa-apa. Fiki hanya bisa mendengarkan Fika bercerita. Ia tak bisa berkata apa-apa saat itu.

177

“Kakak, aku ingat di saat Samuel berkata bahwa aku akan menyukaimu di caffe itu. Padahal aku tak begitu akrab dengan orang-orang asing yang baru aku kenal. Tapi keyakinan Samuel memang benar. Aku begitu menyukaimu saat pertama bertemu.” Fika tertawa ringan sambil memeluk erat di gendongan Fiki. “Kakak berhenti.” Fika menyuruh Fiki untuk berhenti. Fiki mengehentikan langkahnya. “Lihatlah kakak, matahari itu akan tenggelam. Cakrawalanya sungguh indah. Aku suka sunset, aku suka suasananya. Matahari tenggelam itu begitu indah kakak.” Fika menunjuk kearah sunset yang terlihat berada diseberang danau. Begitu indah dan mempesona. Cahaya orange telah membuat hati ini terasa sejuk. Disertai semilir angin sore yang membuat fikiran menjadi tenang. Fiki hanya tersenyum getir saat itu, dan terus menggendong Fika. “Aku sangat mencintaimu kakak, hari ini dan seterusnya.” Fika menghembuskan nafas terakhirnya. Itulah kata-kata terakhir sebelum ia menghembuskan nafasnya. Fiki meneteskan air mata tak henti-hentinya. Ia tak menyangka orang yang paling ia kasihi telah tiada.

178

EPILOG

Cinta ini telah pergi, cita ini telah tiada untuk selama-lamanya. Keindahan sunset itu sungguh mempesona. Cahayanya, cakrawalanya, bahkan hembusan anginnya. Keindahan sunset bisa membius fikiran siapapun untuk menjadi tenang dan damai. Cinta mereka berdua seperti sunset. Indah bahkan tak bisa terlukiskan oleh apapun. Matahari itu telah menuju peristirahatannya. Matahari itu telah menyelesaikan tugas sucinya. Mencintai setulus hati. Mencintai sampai mati. “Selamat jalan Fika. Cintamu akan selalu terkenang, cintamu adalah matahari penerang yang tak akan penah padam di hati ini. Aku akan selalu menjaga cinta sucimu itu. Sampai nanti, bahkan sampai mati. I Love you Fika, Good bye...” ~ Fiki ~ ***

179

Pagi tadi, di rumah sakit “Kakak.. aku sudah sembuh loh. Aku mau kakak menemaniku sekarang.” Fika terlihat kesal melihat Fiki tak mau menemaninya jalan-jalan. Fiki hanya bisa meneteskan air matanya. Ayahnya membisikkan sesuatu ke telinga Fiki. Begitu lirih bahkan tak bisa terdengar jelas. “Baiklah Fika.. Kakak akan mengajakmu untuk pergi ketaman dan restauran itu. Tapi kamu harus janji, setelah kakak ajak jalan-jalan, kamu harus sembuh seperti sedia kala.” Fiki menyanggupi permintaan Fika setelah ayahnya membisikkan sesuatu ke telinganya. “Siapp.. kakak. Setelah jalan-jalan, aku akan sehat seperti sedia kala.” Fika terlihat senang Fiki mau menuruti keinginannya saat itu. Ia mengangkat tangannya dan hormat kearah Fiki. “Siap komandan.” Ia tersenyum kearah Fiki. Fiki hanya bisa menahan kesedihannya. Melihat orang yang paling ia kasihi hidupnya sudah tak lama lagi. “Aku tahu kamu begitu mencintainya, aku juga sangat mencintainya Fiki. Sudah lama aku merindukannya, sejak 20 tahun yang lalu. Antarkan dia menuju kebahagiaanya sekarang. Ayah tahu mungkin hari ini adalah hari terakhirnya bersama kita. Namun Ayah ingin sekali Fika bisa tersenyum kembali, setelah kejadian itu. Setidaknya ia bahagia sebelum ia pergi” ~Bisik Ayahnya kepada Fiki~

180

6 Mei 2013 Happy birthday to you.. Happy birthday to you.. Happy birthday happy birthday.. Happy birthday to you. Ibu dan ayah Fika juga ikut menyanyi saat itu, membuat kejutan itu semakin meriah. Tiup lilinya, tutup lilinya, tiup lilinya sekarang juga Sekarang juga Sekarang juga.. Fika bersiap-siap untuk meniup lilin ulang tahunnya. “Stop... sebelum kamu meniup lilin itu. alangkah baiknya kamu mengajukan permohonan dan harapanmu di hari ulang tahunmu ini.”sahut Fiki. “Emmm.. baiklah..” Fika memejamkan matanya dan menggenggam kedua tangan didepan dadanya. Fika mulai mengajukan permohonnya didalam hati. “Sudah selesai..” Fika meniup lilin ulang tahunnya. “Horeee... hahhahaa...” Kemeriahan terjadi saat itu. Fiki dan kedua orang tua Fika tertawa, Fikapun juga ikut tertawa seperti mereka.

181

Tuhan aku begitu menyayangi mereka, aku begitu mencintai Fiki. Jagalah Fiki selalu untukku. Sayangilah dia. Seperti aku sekarang yang begitu menyayanginya. I Love You Fiki.

~ permohonan Fika saat ulang tahun ~

THE END

182

TENTANG PENULIS LUQMAN TAUFIQ HIDAYAH lahir di Gresik pada tanggal 8 Desember 1992. Ia dibesarkan di kota Bojonegoro dan setelah lulus SMK Farmasi Bojonegoro, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Untuk menghubungi penulis dapat melalui email: [email protected]. Atau akun facebook Luqman Taufiq. Anda bisa mengunjungi blog: Fikistory.blogspot.com. Kami mengharapkan kritik dan saran anda, untuk kesempurnaan tulisan kami mendatang. Terima kasih..:)

183

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF