Locus Dan Tempus Delicti

October 27, 2018 | Author: Muhammad Abdi Haryono | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Locus Dan Tempus Delicti...

Description

MATERI KE 1 :

Locus dan tempus delicti (tempat dan waktu terjadinya tindak pidana)

Locus delicti

Manfaat diketahuinya locus delicti adalah 1. untuk mengetahui berwewenang atau tidaknya suatu pengadilan mengadili suatu perkara(kompetensi relative) 2. untuk mengetahui dapat tidaknya suatu hokum pidana diberlakukan terhadap suatu perkara. 3. sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan

ajaran locus delicti ada empat ajaran untuk menentukan tempat terjadinya peristiwa pidana atau locus delicti atau tempat kejadian perkara (tkp)

1. de leer van de lichamelijke daad

ajaran yang didasarkan kepada perbuatan secara fisik. Itulah sebabnya ajaran ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana/locus delicti, adalah tempat dimana perbuatan tersebut dilakukan.

2. de leer van het instrument

ajaran yang didsarkan kepada berfungsinya suatu alat yang digunakan dalam perbuatan pidana. Jadi ajaran ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai temapt terjadinya tindak pidana adalah temapt dimana alat yang digunakan dalam melakukaan tindak pidana bereaksi.

3. de leer van het gevolg

ajaran ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut ajaran ini bahwa yang dianggap sebagai locus delicti adalah tempat dimana akibat daripada tindak pidana tersebut timbul.

4. de leer van de meervoudige pleets

menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana yaitu tempat2 dimana perbuatan tersebut secara fisik terjadi tempat dimana alat yang digunakan bereaksi, dan tempat dimana akibat dari tindak pidana tersebut timbul. Contoh kasus Kasus 1 Terjadi perkelahian antara A dan B di terminal rawamangun. B terkapar karena luka2 ditikam A. oleh keluarganya, B dilarikan ke rumah sakit persahabatan. Karena terlalu parah akhirnya pihak  rumah sakit mengirim B ke rumah sakit ci[to. Kurang lebih 2 jam dirawat B meninggal. Karena luka yang dideritanya. Pertanyaan yang timbul atas kejadian ini, pengadilan mana yang berwewenang mengadilinya? Jawab 1. Menurut ajaran de leer vn delichamelijke daad, bahwa secara fisik perbuatan atau tindak  pidana ( perkelahian antara A dan B ) terjadi dan berlangsung di terminal rawamangun. Oleh karena itu yang berwewenang mengadili kasus ini adalah pengadilan negeri Jakarta timur.( karena rawamangun berada di wilayah Jakarta timur). 2. menurut ajaran de leer van het instrument, bahwa alat yang digunakan A (benda tajam) dalam perkelahianya dengan B bereaksi/berfungsi/ bekerja di tempat perkelahian (tempat bus rawamangun) dengan demikian maka yang berwewenang mengadili kasus ini adalah pengadilan negeri Jakarta timur 3. menurut ajaran de leer van het gevolg, bahwa akibat dari perkelahian tersebut adalah tewasnya B di rscm. Dengan demikian pengadilan yang berwewenang mengadili kasus ini adalah pengadilan negeri Jakarta pusat. Karena timbulnya akibat matinya B terjadi di rscm yang letaknya di wilayah Jakarta pusat. 4. sedangkan menurut ajaran de leer van de meervoudige plaats, bahwa karena secara fisik  tindak pidana tersebut terjadi di terminal rawamangun demikian pula alat yang digunakan dalam perkelahian tersebut bekerja / berfungsi di tempat perkelahian (terminal bus rawamangun) maka atas dasar itu pengailan negeri Jakarta timur yang berwewenang mengadilinya. Atau dapat juga kasus oini diadili di pengadilan Jakarta pusat, karena akibat yang timbul yakni matinya B terjadi di rscm Jakarta pusat.

Kasus 2 T berniat membunuh s warga Negara jepang. Untuk melaksanakan niatnya,secara diam diam T menaroh bom di kapal terbang yang akan ditumpang Sdari bandara sukarno hatta menuju

bandara narita jepang.. persis pesawat tersebut berada di wilayah udara singpura bom yang dipasang T meledak. Hanya sebagian kecil penumpang pesawat termasuk S yagn masih hidup.meskipun dalam kondisi kritis. Oleh keluarganya S dibawa ke Tokyo jepang. Akan tetapi baru saja mobil ambulance yang membawa S dari bandara narita tiba di pintu gerbang rumah sakit di Tokyo S menghembuskan nafas terakhirnya. Pertanyaanya, hokum pidana manakah yang dapat diberlakukandan pengadilan mana yang berwewenang mengadili perkara ini? Jawab 1. menurut ajaran deleer van delichamelijke daad bahwa perbuatan secara fisik yakni menaroh bom dilakukan oleh T di pesawat yang sedang parker di bandara sukarno hatta. Dimana pesawat tersebutlah yang akan digunakan S ke jepang. Dengan demikian, maka hokum pidana yang diberlakukan untuk mengadili perkara ini adalah hokum pidana Indonesia. Demikian pula pengadilan yang berwewenang mengadili perkara ini. Adalah pengadilan negeri tanggerang. Hal tersebut karena bandara sukarno hatta berada di wilayah tanggerang. 2. menurut ajaran de leer van het instrument, bahwa alat yang digunakan T untuk  memmembunuh S adalah bom , dan bom tersebut meledak/ bereaksi/bekerja ketika pesawat sedang berada di wilayah udara singapura . itu berarti hokum pidana singapura dapat di berlakukan untuk mengadili kasus ini. Dan sudah tentu pengadilan singapura  juga berwewenang menyidangkan perkara ini. 3. menurut ajaran de leer van het gevolg bahwa akibat dari perbuatan T terhadap S adalah meninggalnya di Tokyo sehingga demikian hokum pidana jepang dapat dipakai untuk  mengadili perkara ini dan sekaligus pengadian di Tokyo dapat menyidangkan kasus ini. 4. sedangkan menurut ajaran de leer van de meer voudige plaats, bahwa hokum pidana dan pengadilan :

a. Indonesia atas dasar perbuatan T secara fisik dilakukan di bandara sukarno hatta atau b. Jepang atas dasar akibat yang terjadi yaitu matinya S di jepang atau c. Singapura atas dasar bom bereaksi meledak di wilayah udara ingapura.

Ajaran tempus delicti Manfaat diketahuinya tempus delicti 1. usia pelaku (pasal 47KUHP) dan usia korban untuk delik susila(pasal 287 ayat 2 dan pasal 290 dan 291) 2. keadaan jiwa pelaku ( pasal 44 KUHP) 3. daluarsa dalam penuntutan dan menjalani pidana ( pasal 78-85 KUHP) 4. asas legalitas pasal 1 ayat 1 KUHP)

5. perubahan suatu undang-undang pidanapasal 1 ayat 2 KUHP) 6. sebagai syarat mutl;aksahnya surat dakwaan.

Contoh kasus Seperti biasanya setiap kali merayakan ultahnya A mengundang seluruh sanak familinya ke Jakarta, termasuk B ( pamanya) yang tinggal di Surabaya. Perayaan ultah A yang ke 18 bini diselenggarakan tanggal 5 januari sesuai tanggal kelahiranya. Tanggal 3 januari B beserta anak  istrinya tiba di Jakarta dari Surabaya. Namun di luar dugaan pada malam tanggal 4 januari terjadi pertengkaran sengit antara A dan B yang berpangkal pada pembagian ahli waris, sehingga kepala B berdarah terkena lemparan asbak rokok yang dilakukan oleh A. oleh karena keadaan sudah runyam maka malam itu juga B dengan kepala yang masih berdarah membawa anak istriya langsung pulang ke Surabaya. Sementara pesta ultah di malam itu tetap dilanjutkan. Esok  harinya tanggal 5 januari, kereta api yang ditumpang B tiba di Surabaya. Dan langsung berobat ke rumah sakit. Dan oleh dokter yang memeriksanya memerintahkan untuk di rawat. 3 hari terbaring di rumah sakit yakni tanggal 9 januari, B menghenbuskan nafas terakhirnya.laporan medis yang sikeluarkan oleh dokter yang merawatnya menunjukkan, bahawa B meninggal karena terjadi keretakan di tengkorak bagian kiri depan akibat benturan benda keras. Pertanyaanya : dapatkah A di hokum atas perbuatanya terhadap B? Jawaban 1. menurut ajaran de leer van delichamelijke daad, bahwa perbuatan / pertengkaran secara fisik yakni pelemparan asbak rokok ke kepala B hingga luka dan berdarah dan menyebabkan B mati, dilakukan (terjadi) di tangal 4 januari. Dimana tanggal tersebut, A masih berusia 17 tahun( dibawah 18 tahun) vide UU no.3/1997. oleh karena itu berdasarkan ajaran ini hakim dapat memutuskan 1 diantara 3 kemungkinan yaitu: a. mengembalikan A kepada orang tuanya untuk dididik dan dibina atau b. diserahkan kepada pemerintah (tanpa dipidana) dan memasukkan ke rumah pendidikan negara guna dididik hingga perilakunya berubah dan sanpai usia 18 tahun c. menjatuhkan pidana orang dewasa tetapi dikurang 1/3.

2. menurut ajaran de leer van het instrument bhawa bekerjanya/ bereaksinya asbak rokok  sebagai alat yang melukai kepala B da;am pertengkaranya dengan A , terjadi tanggal 4  januari dimana tanggal tersebut A masih berusia 17b tahun(=dibawah 18 tahun) . dengan demikian terhadap A majelis hakim dapa menjatuhkan salah satu diantara 3 kemungkinan seperti pada ajaran no.1 diatas 3. menurut ajaran de leer van het gevolg, bahwa akibat dari pertengkaran tersebut B meninggal tanggal 9 januari. Dimana pada tanggal ersebut A sudah berusia 18 tahun dengan demikian A sudah dapat dijatuhi hukuman orang dewasa 4. menurut ajaran de leer van de meer voudige tijds, bahwa semua waktu yang berkaitan dengan peristiwa matinya B yaitu

a. tanggal 4 januari, pertengkaran/pelemparan asbak ke kepala B b. tanggal 4 januari bekerjanya asbak( melukai) sebagai alat yang digunakan c. tanggal 9 januari matinya B sebagai akibat perbuatan A di tanggal 4 januari. Semua ini merupakan waktu-waktu terjadinya peristiwa pidana terhadap diri B oleh karena itu ada 2 kemungkinan keputusan hakim yakni: a. membebaskan A karena dianggap belum berumur 18 tahun b. meghukum A dengan sanksi hokum yang sebenarnya(sanksi orang dewasa)

*sumber kuliah Bpk Hamdan SH. MH

2.MATERI KE 2

Path: Top » Skripsi » Syariah » 2010

TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH Undergraduate Theses from JTPTIAIN / 2011-10-31 14:29:25 Oleh : MALIK KHABIBURROHMAN (052211180), Fakultas Syariah IAIN Walisongo Dibuat : 2010-06-28, dengan 1 file Keyword : Teori Locus Delicti, Perspektif 

Dalam hukum pidana dikenal beberapa asas yang menjadi dasar bagi pembentukan serta penerapan hukum. Asas-asas ini merupakan asas yang telah diakui oleh hukum Internasional sebagai dasar bagi suatu negara untuk menerapkan hukum yang berlaku di negra tersebut. Akan tetapi dalam penerapannya, asas-asas ini dapat saling bertautan dalam masalah kejahatan yang melibatkan dua atau lebih negara.

Islam sendiri meskipun pada dataran ideal ajaran-ajarannya bersifat universal, akan tetapi pada dataran praktis lebih bersifat regional. Berdasarkan hal ini hukum-hukum Islam mengenai pidana khususnya hanya dapat diterapkan dalam wilayah-wilayah kekuasaan dar as-salam.

Dalam penerapan hukum, suatu negara dapat menerapkan hukum terhadap kejhatan yang terjadi di wilayahnya berdasarkan asas teritorial yang menitik beratkan tempat (locus delicti) sebagai

dasar pemberlakuan hukum. Setiap orang (warga negara maupun warga negara Asing) yang mengancam keamanan negara maupun warganya di luar batas-batas wilayah negara berlaku ketentuan pidana berdasarkan asas personalitas (pasif). Adapun dalam hukum pidana Islam ketentuan mengenai batas-batas berlakunya ketentuan pidana salah satunya dapat dilihat dalam teori imam madzhab Hanafi menekankan aspek tempat (locus delicti) sebagai dasar pemberlakuan hukum pidana Islam. Teori Imam Abu Hanifah tidak jauh berbeda dengan hukum pidana Indonesia artinya sama-sama menekankan pada unsur tempat (wilayah teritorial), akan tetapi hukum pidana Indonesia lebih lengkap dalam menerapkan pidana yang lebih dikenal sebagai asas hukum yaitu; asas teritorial, asas personal aktif, personal pasif dan asas universal. Dapat kita ketahui dalam KUHP pasal 2-9.

Dalam hukum Internasional setiap negara dianggap memiliki wewenang untuk melaksanakan ketentuan hukum terhadap setiap kejahatan yang terjadi di wilayah negara tersebut. Adapun pemberlakuan hukum terhadap warga negara yang berad di luar wilayah negara tersebut sebagai kewajiban sekaligus tanggung jawab sebagai warga negara.

Asas-asas yang menjadi dasar diberlakukannya ketentuan pidana menurut tempat (locu delicti); asas teritorial, asas nasionalitas aktif dan pasif dan asas universal maupun teori Imam Abu Hanifah, dalam penerapannya memilki persamaan dan perbedaan serta titik taut yang dapat dipertemukan. Dalam hal penerapan hukum tehadap kejahatan yang berlaku di wilayah negara (dar as-salam dan dar al-harb), setiap negara memiliki wewenang untuk menerapkan hukum pidana terhadap setiap kejahatan yang terjadi di batas-batas wilayah negara tersebut tanpa melihat kewarganegaraan pelaku. Dalam hukum Internasional hal ini dapt dibenarkan dikarenakan negara yang menjadi tempat dilakukannya suatu kejahatan dianggap sebagai negara yang paling memiliki wewenang untuk menerapkan hukum pidana nasionalnya. Dengan demikian hukum pidana negara yang menjadi tempat (locus delicti) dilakukannya kejahatan berlaku bagi seorang warga dar as-salam yang melakukan kejahatan di wilayah dar al-harb atau seorang warga dar al-harb yang melakukan kejahatan di wilayah dar as-salam. Deskripsi Alternatif :  Dalam hukum pidana dikenal beberapa asas yang menjadi dasar bagi pembentukan serta  penerapan hukum. Asas-asas ini merupakan asas yang telah diakui oleh hukum Internasional sebagai dasar bagi suatu negara untuk menerapkan hukum yang berlaku di negra tersebut. Akan tetapi dalam penerapannya, asas-asas ini dapat saling bertautan dalam masalah kejahatan yang melibatkan dua atau lebih negara.

 Islam sendiri meskipun pada dataran ideal ajaran-ajarannya bersifat universal, akan tetapi  pada dataran praktis lebih bersifat regional. Berdasarkan hal ini hukum-hukum Islam mengenai  pidana khususnya hanya dapat diterapkan dalam wilayah-wilayah kekuasaan dar as-salam.

 Dalam penerapan hukum, suatu negara dapat menerapkan hukum terhadap kejhatan yang terjadi di wilayahnya berdasarkan asas teritorial yang menitik beratkan tempat (locus delicti) sebagai dasar pemberlakuan hukum. Setiap orang (warga negara maupun warga negara Asing)  yang mengancam keamanan negara maupun warganya di luar batas-batas wilayah negara berlaku ketentuan pidana berdasarkan asas personalitas (pasif). Adapun dalam hukum pidana  Islam ketentuan mengenai batas-batas berlakunya ketentuan pidana salah satunya dapat dilihat  dalam teori imam madzhab Hanafi menekankan aspek tempat (locus delicti) sebagai dasar   pemberlakuan hukum pidana Islam. Teori Imam Abu Hanifah tidak jauh berbeda dengan hukum  pidana Indonesia artinya sama-sama menekankan pada unsur tempat (wilayah teritorial), akan tetapi hukum pidana Indonesia lebih lengkap dalam menerapkan pidana yang lebih dikenal sebagai asas hukum yaitu; asas teritorial, asas personal aktif, personal pasif dan asas universal.  Dapat kita ketahui dalam KUHP pasal 2-9.

 Dalam hukum Internasional setiap negara dianggap memiliki wewenang untuk melaksanakan ketentuan hukum terhadap setiap kejahatan yang terjadi di wilayah negara tersebut. Adapun  pemberlakuan hukum terhadap warga negara yang berad di luar wilayah negara tersebut  sebagai kewajiban sekaligus tanggung jawab sebagai warga negara.

 Asas-asas yang menjadi dasar diberlakukannya ketentuan pidana menurut tempat (locu delicti); asas teritorial, asas nasionalitas aktif dan pasif dan asas universal maupun teori Imam Abu  Hanifah, dalam penerapannya memilki persamaan dan perbedaan serta titik taut yang dapat  dipertemukan. Dalam hal penerapan hukum tehadap kejahatan yang berlaku di wilayah negara (dar as-salam dan dar al-harb), setiap negara memiliki wewenang untuk menerapkan hukum  pidana terhadap setiap kejahatan yang terjadi di batas-batas wilayah negara tersebut tanpa melihat kewarganegaraan pelaku. Dalam hukum Internasional hal ini dapt dibenarkan dikarenakan negara yang menjadi tempat dilakukannya suatu kejahatan dianggap sebagai negara yang paling memiliki wewenang untuk menerapkan hukum pidana nasionalnya. Dengan demikian hukum pidana negara yang menjadi tempat (locus delicti) dilakukannya kejahatan berlaku bagi seorang warga dar as-salam yang melakukan kejahatan di wilayah dar al-harb atau seorang warga dar al-harb yang melakukan kejahatan di wilayah dar as-salam. 3.MATERI KE 3

Tempat terTTjadinya peristiwa pidana antara lain :;; 1.berhubungan dengan berlakunya hokum pidana 2.behubungan dengan competentie relatif 

 Manfaat diketahuinya locus delicti adalah : 1. Menentukan berlakunya undang-undang pidana Nasional dalam hal konkret. 2. untuk mengetahui berwewenang atau tidaknya suatu pengadilan mengadili suatu perkara (kompetensi relative) 3. untuk mengetahui dapat tidaknya suatu hukum pidana diberlakukan terhadap suatu perkara.

4. sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan. Jika kita memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini maka kita belum menemukan undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai cara menentukan tempat terjadinya suatu peristiwa pidana (Locus Delicti), dengan demikian sulit bagi kita untuk  menentukan hukum pidana mana yang berlaku terhadap orang yang melakukan tindak pidana ditempat diluar asal negaranya, untuk memecakan permasalahan tersebut. Untuk menetapkan Locus Delicti tidak diatur dalam KUHP, melainkan diserahkan kepada ilmu dan praktek peradilan. Menurut Satochid Kartanegara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ada 4 azas dalam memperlakukan KUHP, diantaranya azas territorial atau azas wilayah dapat dilihat dalam Pasal 2,3 KUHP. Menurut azas ini bahwa berlakunya undang-undang hukum pidana suatu negara didasarkan pada tempat dimana perbuatan itu dilakukan,tempat tersebut harus terletak dalam wilayah dimana hukum pidana tersebut berlaku. Contoh kasus : Kasus pembunuhan berencana dengan pemberatan yang diduga dilakukan oleh pilot pesawat  Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto terhadap penumpang pesawatnya yang juga aktivis HAM, Munir Said Thalib dengan cara diracun saat berada didalam pesawat Garuda   Indonesia yang tengah terbang menuju Amsterdam, Belanda dan saat itu telah memasuki wilayah Negara Belanda.   Maka untuk tersangka kasus pembunuhan Munir ini memakai asas hukum dan peradilan  Indonesia karena tempat yang dianggap sebagai tempat terjadinya suatu perkara tindak pidana  pembunuhan tsb berada didalam pesawat Garuda Indonesia. Berdasarkan pada pasal 3 KUHPidana yang mengatakan : ”Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar Wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”. Dalam membicarakan tempat atau locus delicti suatu perbuatan pidana azas wilayah dapat membantu memecahkannya, dimana apabila terjadi suatu peristiwa pidana didalam suatu negara dapat diperlakukan hukum pidana ditempat dimana kejadian tersebut atau tempat terjadinya peristiwa pidana. Agar dapat menyelesaikan persoalan tentang Locus Delicti itu maka oleh Ilmu Hukum pidana bersama dengan Yurisprudensi Hukum Pidana telah dibuat 3 macam teori, yaitu :

A. TEORI ALAT ( DELEER VAN HET INSTRUMEN ) Yaitu Suatu tempat yang dianggap tempat terjadinya peristiwa pidana adalah tempat dimana alat bekerja atau tempat dimana alat yang dipergunakan untuk menyelesaikannya suatu tindak pidana tsb, dengan kata lain tempat dimana ada “uitwaking” (alat yang dipergunakan). Ajaran ini dikenal dengan ajaran “Teori Alat”.

Contoh kasus: Terjadi perkelahian antara A dan B di pinggir di pinggir jalan raya, Lampung. B terkapar  karena luka-luka ditikam A. oleh warga, B dilarikan ke Puskesmas setempat. Karena terlalu

  parah akhirnya pihak Puskesmas mengirim B ke RSUD dr.Moehammad Hoesin Palembang. Kurang lebih 2 jam dirawat B meninggal. Karena luka yang dideritanya. alat berupa senjata tajam yang digunakan A dalam perkelahiannya dengan B bereaksi /  berfungsi / bekerja di tempat perkelahian yaitu di pinggir jalan raya, Lampung, dengan demikian maka yang berwewenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Negeri Lampung, karena temnpat terjadinya perkelahian yang berujung penusukan itu masuk dalam wilayah hukum kotamadya Lampung.

B. TEORI AKIBAT (DELEER VAN HET DEMEER VOUDIGE PLAT ) Yaitu Suatu tempat yang dianggap tempat terjadinya peristiwa pidana adalah tempat dimana kejadian menimbulkan akibat “ajaran ini dikenal dengan ajaran teori akibat”. Contoh kasus : Seorang Warga Negara Malaysia yang berdomisili di Kuala Lumpur, Malaysia melakukan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP) berkedok undian berhadiah terhadap korban WNI    yang berada di Indonesia, karena terbuai akan bujuk rayu serta iming-iming mendapat hadiah besar korban memenuhi permintaan si penipu untuk mentransfer sejumlah uang, akibat kejadian tsb korban mengalami kerugian jutaan Rupiah.  Menurut ajaran Deleer van het demeer voudige Peradilan Indonesia yang berwenang mengadili kasus ini karena akibat yang ditimbulkan atas kejadian tindak pidana penipuan tsb berada di Wilayah Negara Indonesia.

C. TEORI PERBUATAN MATERIIL ( DELEER VAN DELICHAMELYKE DAAD) Yaitu suatu tempat yang dimana dianggap tempat dilakukannya kejahatan adalah tempat dimana perbuatan itu dilakukan (tempat kejadian). Contoh : Seorang teroris bernama A berniat membunuh B seorang warga Negara Jepang. Untuk  melaksanakan niatnya, secara diam-diam A memasang bom di pesawat terbang yang akan ditumpang A dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Narita, Jepang. saat pesawat  tersebut berada di wilayah udara Singapura bom yang dipasang B meledak. Hanya sebagian kecil penumpang pesawat termasuk B yang masih hidup, meskipun dalam kondisi kritis. Oleh keluarganya B dibawa ke Tokyo Jepang, Akan tetapi sesampai di depan rumah sakit Tokyo,  Jepang B menghembuskan nafas terakhirnya akibat pendarahan yang cukup parah. menurut ajaran deleer van delichamelijke daad bahwa perbuatan secara fisik yakni memasang bom dilakukan oleh A di pesawat yang sedang parkir di Bandara Soekarno-Hatta,dimana  pesawat tersebutlah yang akan digunakan B ke Jepang. Dengan demikian, maka hukum pidana  yang diberlakukan untuk mengadili perkara ini adalah Hukum Pidana Indonesia. Demikian pula   pengadilan yang berwewenang mengadili perkara ini. Adalah Pengadilan Negeri Tanggerang, karena Bandara Soekarno-Hatta berada di wilayah Tanggerang.  A.2 Competentie Relatief (Tempat Wilayah) Competentie Relatief adalah wilayah hukum suatu Pengadilan Negara untuk mengadilan suatu perkara pidana, dengan kata lain pengadilan negara mana yang berwenang mengadili suatu peristiwa pidana.

Dalam undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak secara experessisverbis mengenai tempus dan locus delicti, tetapi menentukan competentie relative pengadilan negeri. Contoh dalam pasal 84 ayat (1) dan (2). Suatu ketentuan baru yang diatur dalam pasal 85 KUHAP ialah dalam hal keadaan daerah tidak  mengizinkan suatu Pengadilan Negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri ybs, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan Pengadilan Negeri lain daripada yang tsb pada pasal 84 untuk mengadili perkara tsb. Dalam penjelasan pasal 85 itu dikemukakan bahwa aygn dimaksud dengan “keadaan daerah yang tidak mengizinkan” ialah antara lain tidak amannya daerah atau adanya bencana alam, dsb. Ketentuan yang baru pula terdapat pada pasal 86 KUHAP yang menyatakan bahwa KUHP menganut asas personalitas aktif dan asas personalitas pasif, yang membuka kemungkinan apabila seseorang melakukan tindak pidana diluar negeri yang dapat diadili menurut hukum di Republik Indonesia, dengan maksud perkara pidana tsb dapat dengan mudah dan lancer maka ditunjuk Pengadian Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.

DAFTAR PUSTAKA Rohman Hasyim, S.H, M.H, Diktat Hukum Pidana, Palembang, 2006 Soeharto RM, S.H, Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika , Jakarta, 1993 Bambang Waluyo, S.H, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, 1991

4.MATERI KE 4 :

tindak pidana 1. A. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Didalam KUHP dikenal istilah strafbaar feit. Kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang dalam merumuskan undangundang mempergunakan istilah peristiwa pidana, atau perbuatan pidana, atau tindak pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut. Perkataan “feit” itu sendiri didalam bahasa Beland a berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akankita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. Vos terlebih dahulu mengemukakan arti delict sebagai “ Tatbestandmassigheit” dan delik  sebagai “Wesenschau”. Makna “tatbestandmassigheit” merupakan kelakuan yang mencocoki lukisan ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka disitu telah ada delik. Sedangkan makna “Wesenschau” merupakan kelakuan yang mencocoki ketentuan

yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka baru merupakan delik apabila kelakuan itu “dem Wesen nach” yaitu menurut sifatnya cocok dengan makna dari ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan. Seperti misalnya kejahatan penadahan disitu tidak mungkin dimaksudkan seseorang yang telah membeli barangnya sendiri dari orang lain yang berhasil mencuri barang tersebut, karena hakikat penadahan mempunyai makna yang tidak untuk mengancam pidana seseorang yang membeli barangnya sendiri meskipun nampaknya kelakuannya telah mencocoki rumusan undang-undang. Delik menurut pengertian sebagai “Wesenschau” telah diikuti oleh para ahli hukum pidana dan yurisprudensi Nederland dalam hubungannya dengan ajaran sifat melawan hukum yang material. Pengertian dari istilah “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. (Vos 1950: 25). Menurut Pompe pengertian strafbaar feit dibedakan : 1. Definisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. 2. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum (Pompe 1959: 39). Sejalan denga definisi yang membedakan antara pengertian menurut teori dan menurut hukum positif itu, juga dapat dikemukakan pandangan dari J.E. Jonkers yang telah memberikan definisi strafbaar feitmenjadi dua pengertian : 1. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang; 2. Definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. (Jonkers 1946: 83). Didalam mencari elemen yang terdapat di dalam strafbaar feit oleh vos telah ditunjuk pendapat dari Simons yang menyatakan suatu strafbaar feit adalah perbuatan yang melawan hukum dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari  pengertian ini dapat dikatakan suatu strafbaar feit mempun yai elemen “wederrechtelijkheid” dan “schuld”. (Vos 1950: 29). Semakin menjadi jelas bahwa pengertian strafbaar feit mempunyai dua arti yaitu menunjukan kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, dan menunjuk kepada perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 1. B. Unsur-unsur Tindak Pidana

Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula yang dapat kita jumpai adalah disebutkannya sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Sungguh pun demikian setiap tindak pidana yang terdapat didalam KUHP itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan. Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1. kesengajaan atau ketidaksengajaan ( dolus atau culpa ); 2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau  poging seperti yang dimaksud di dalam pasal 53 ayat 1 KUHP; 3. macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatankejahatan pencurian, penipuan, pemerasaan,pemalsuan dan lain-lain; 4. meremcanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP; 5. perasaan takut atau vress seperti antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah : 1. sifat melanggar hukum atau wederrechtlijkheid ; 2. kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atrau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut p asal 398 KUHP; 3. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Perlu kita ingat bahwa unsur wederrechtlijkheid itu selalu harus dianggap sebagai di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan. 1. C. Jenis-jenis Tindak Pidana 1. Tindak pidana formil yaitu sebuah tindak pidana yang unsur, sanksi dan perbuatannya sudah diatur dalam undang-undang sehingga yang dilarangnya itu adalah perbuatannya. Contohnya yaitu pencurian.

2. Tindak pidana materiil yaitu tindak pidana yang dilarangnya itu adalah akibatnya. Contohnya pembunuhan. 3. Tindak pidana dolus (sengaja) yaitu tindak pidana yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja. Contohnya pembunuhan berencana. 4. Tindak pidana aduan yaitu tindak pidana yang baru dapat diproses jika ada pengaduan. Contohnya perzinahan, penghinaan dll. 5. Tindak pidana culpa yaitu tindak pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja tetapi menimbulkan kematian. Contohnya pasal 359 KUHP tentang luka. 6. Tindak pidana politik yaitu delik yang dilakukan karena adanya unsur politik. Biasanya ditunjukan kepada keamanan negara baik secara langsung maupun tidak  langsung. Contohnya pemberontakan akan menggulingkan pemerintahan yang sah. 1. D. Waktu dan Tempat Tindak Pidana Pengertian tentang terjadinya tindak pidana menurut tempat dan waktu ini adalah sangat penting oleh karena pasal 143 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah mensyaratkan bahwa penuntut umum harus juga mencantumkan tentang tempat dan waktu dari tindak pidana yang telah dituduhkan itu di dalam surat dakwaannya dengan menentukan suatu akibat hukum berupa batalnya surat dakwaan tersebut apabila tentang tempat dan waktu dari tindak pidana itu telah dicantumkannya di dalam surat dakwaan yang bersangkutan. Menurut Profesor van BEMMELEN, yang harus dipandang sebagai waktu dan tempat dilakukannya sesuatu tindak pidana itu pada dasarnya adalah waktu dan tempat dimana seorang pelaku telah melakukan perbuatannya secara material. Pada dasarnya locus dan tempus delicti berpedoman menurut kelakuan yang secara material terjadi, akan tetapi ada kalanya terjadi keadaan yang menyertai utnuk diperluas dengan “alat/instrument” dan atau “akibat/gevolgen”, sehingga dapat disimpulkan hanya diakui tiga ajaran yaitu : 1. “de leer van de lichamelijke daad”, yaitu mendasarkan dimana perbuatan terjadi yang dilakukan oleh seseorang; 1. “de leer van het instrument”, yaitu mendasarkan dimana alat yang dipakai untuk  melakukan perbuatan; 2. “de leer van het gevolg”, yang mendasarkan atas mana akibat yang langsung menimbulkan kejadian (het onmiddelijke gevolg) dan di mana akibat itu ditentukan atau telah selesai oleh delik (het constitutief) (Is Cassutto 1927: 29). Kegunaan teori penentuan locus delicti dan tempus delicti adalah untuk memecahkan persoalan tentang berlakunya peraturan hukum pidana untuk kewenangan instansi untuk menuntut dan mengadili. Locus delicti mempunyai arti penting bagi berlakunya KUHP berhubung dengan pasal 2-8, dan kekuasaan instansi kejaksaan untuk menuntut maupun pengadilan yang mengadili.

Tempus delicti mempunyai arti penting bag ilex temporis delicti maupun hukum transitoir, dan mengenai keadaan jiwa atau umur dari terdakwa, serta berlakunya tenggang daluwarsa. 1. E. Teknik dan Cara Merumuskan Tindak Pidana Bertalian dengan cara penuangan rumusan perbuatan pidana dan pertanggungan jawab (kesalahan) di dalam sesuatu pasal undasng-undang hukum pidana yang ada sekarang ini masih terdaspat kesimpangsiuran, di sebabkan pola cara berpikir hukum pidana yang lama. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum, dan pertanggungan jawab pidana (kesalahan) me4nunjuk kepada orang yang melanggar dengan dapat dijatuhi pidana sebagaimana diancamkan. Oleh karena itu, penuanganpenuangannya di dalam sesuatu perumusan pasal sedapat-dapatnya di sesuaikan atau konsisten dengan konstruksi pemikiran bahwa yang dilarang oleh aturan hukum adalah perbuatannya, dan yang diancam dengan pidana adalah orangnya yang melanggar larangan. Dengan demikian seharusnya di dalam perundang-undangan hukum pidana di kemudian hari akan terwujud satu kesatuan cara merumuskan pola pemikiran hukum pidana, susun bahasa dan istilah yang telah memenuhi perkembangan baru. Beberapa contoh perumusan pasal di dalam perundang-undangan hukum pidana yang telah memenuhi syarat dan yang tidak memenuhi syarat seperti susunan berikut ini : 1. Perumusan pasal-pasal yang susunannya memenuhi syarat : pasal 336 1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, barang siapa mengancam dengan kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan dengan tenaga bersama; dengan suatu kejahatan yang menimbulkan bahaya umum bagi keamanan orang atau barang; dengan memperkosa atau perbuatan yang melanggar kehormatan kesusilaan; dengan sesuatu kejahatan terhadap nyawa; dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran. 2)

Dan seterusnya 1. Perumusan pasal-pasal yang susunannya tidak memenuhi syarat :

pasal 134 Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah ( x 15 ). Pasal 297 Perdagangan wanita dengan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Pasal 351

1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (x 15 ); 2)

Dan seterusnya dari dalam KUHP

5.MATERI KE 5

Selasa, 15 January 2008 Locus dan Tempus Delicti Tidak Perlu Disebutkan Akurat dalam Dakwaan KUHAP hanya mengatur bahwa suatu dakwaan harus menyebutkan waktu dan tempat tindak  pidana. Tapi tidak menjelaskan bagaimana penyebutan unsur tersebut. Mon Dibaca: 1499 Tanggapan: 1 

Share:

  

Setiap dakwaan harus memuat unsur waktu dan tempat dilakukan tindak pidana ( locus dan tempus delicti ). Seringkali unsur tersebut tidak disebutkan secara tepat dan pasti dalam suatu dakwaan. Hal ini sering memicu keberatan dari para terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Salah satunya adalah Marudin Saur Marulitua Simanihuruk, Mantan Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan Depnakertrans dan Direktur Pengawasan Tenaga Kerja Suseno Tjipto Mantoro. Kedua terdakwa diduga telah melakukan korupsi dalam proyek pemeriksaan penggunaan tenaga kerja asing. Dalam eksepsi Suseno dinyatakan jaksa tidak dapat menyebutkan waktu berupa tanggal, bulan dan tahun kejadian tindak pidana. Begitu pula dengan tempat dilakukannya tindak pidana. Dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam KUHAP, kata penasihat hukum terdakwa Suseno, Syamsul Huda pekan lalu. Dalam dakwaan   jaksa Mochamad Rum, Muhibudin, Riyono, Siswanto dan Andi Suharlis, waktu tindak pidana hanya disebutkan 'pada hari dan tanggal yang tidak dapat diingat lagi antara bulan November 2004 sampai dengan bulan Juni 2005 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2004 sampai dengan tahun 2005'. Begitupula dengan locus delicti. Tidak disebutkan secara pasti. ...bertempat di Kantor Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan pada Depnakertrans Gedung A Jl Jenderal Gatot Subroto atau setidak-tidaknya ditempat-tempat lain yang berdasarkan Pasal 54 ayat (2) UU KPK No. 30/2002 masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tipikor... begitulah bungi dakwaan jaksa.

Jaksa bersikukuh bahwa penyebutan waktu dan tempat tindak pidana tersebut telah sesuai dengan Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Sebab waktu dan tempat tersebut tidak mungkin disebutkan secara akurat. Jika penerapan locus dan tempus harus tepat dan akurat penegakan hukum melalui criminal justice system akan lumpuh total, tegas jaksa Rum, saat membacakan tanggapan eksepsi di Pengadilan Tipikor, Selasa (15/1). Surat Edaran Jaksa Agung No. 004/J.A/11/1993 menentukan suatu dakwaan telah memenuhi syarat materiil jika memberikan gambaran secara bulat dan utuh tentang dimana dan bilamana tindak pidana dilakukan. Selain itu surat yang terbit pada tanggal 16 November 1993 menyebut dakwaan harus memuat tindak pidana yang didakwakan, pelaku, cara tindak pidana, akibat dan ketentuan tindak pidana yang diterapkan Menurut jaksa, penyebutan secara akurat tidak mungkin dilakukan. Tingkat kesulitannya bersifat imposibilitas, tambah Rum. Jika misalnya tanggal kejadian disebutkan secara akurat, dan kemudian ternyata meleset, maka jaksa tidak bisa membuktikan dakwaan. Akibatnya semua prilaku kriminal tidak bisa dituntut pertangungjawaban hukum atas kejahatan yang mereka lakukan, sambung jaksa Siswanto.

Menghindari lolosnya pelaku pidana dari jeratan hukum, menyitir pendapat M. Yahya Harahap, jaksa berpendapat bahwa pencantuman locus dan tempus delicti bisa disebutkan secara alternatif. Bukan limitatif, tandas Siswanto. Di depan persidangan pimpinan hakim Martini Mardja, jaksa meminta agar majelis hakim menolak alasan eksepsi tersebut. Alasan tersebut tidak berdasar, tegas Siswanto. Karena itu, jaksa meminta agar majelis menyatakan dakwaan sah untuk menjadi dasar pemeriksaan pokok perkara. Tidak Mengatur KUHAP sendiri tidak mengatur bagaimana penyebutan locus dan tempus delicti dalam suatu dakwaan. Begitulah kata pakar hukum acara pidana, Chairul Huda, saat dibungi melalui telepon selularnya, Selasa (15/1). Secara materiil KUHAP hanya menyebut dalam dakwaan menyebutkan waktu dan tempat, jelasnya.

Penyebutan itu penting untuk menakar kadar daluarsa suatu perkara. Jangan sampai lewat waktu, kata Chairul. Unsur tempus menentukan kewenangan negara untuk melakukan penuntutan. Sedang unsur locus menentukan menentukan kompetensi pengadilan untuk mengadili. Senada dengan jaksa, Dosen Universitas Muhamadiyah Jakarta juga menyatakan penyebutan unsur waktu dan tempat tidak perlu disebutkan secara akurat. Karena kemungkinan tindak pidana sudah lampau. Sepanjang tempus masih dapat ditentukan berarti masih mungkin dilakukan penuntutan, berarti tidak daluarsa, terangnya. Jika jaksa tidak bisa menyebutkan hari dan jam suatu kejahatan, cukup disebutkan bulan dan tahun saja. Teknis penyusunan dakwaan tersebut tidak melanggar ketentuan KUHAP, tandas pria bergelar Doktor ini. Hanya Emosi Dalam bagian lain eksepsinya, jaksa juga menangapi eksepsi Manihuruk terkait dengan penjelasan latar belakang dilakukan proyek invetigatif audit dan dampak positif atas proyek tersebut. Usai pembacaan dakwaan dua pekan lalu, Manihuruk menyatakan justru dirinya sedang membantu untuk memberantas korupsi lewat proyek invetigasi tersebut. Bahkan ia

mengaku berhasil mengungkap ratusan rekening liar di Depnakertrans sejumlah Rp 169,232 miliar. Menanggapi dalih tersebut, jaksa berpendapat bahwa hal itu hanyalah ungkapan perasaan emosional Manihuruk. Tidak termasuk materi keberatan, kata Rum. Menurut jaksa, ungkapan itu tidak memiliki relevansi dengan perkara. Sudah sepatutnya alasan ini dinyatakan ditolak, tegas Rum. Silang pendapat antara jaksa dan terdakwa ini akan diluruskan oleh majelis hakim dalam putusan sela. Ketua majelis hakim Martini menjadwalkan pembacaan putusan sela pada persidangan pekan depan, Selasa (22/1).

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF