Limfadenitis TB
August 26, 2017 | Author: Xeph T 汤天耀 | Category: N/A
Short Description
Download Limfadenitis TB...
Description
RESPONSI PENYAKIT TROPIK DAN INFEKSI
LIMFADENITIS TB
Oleh: Desi Rahmaniar
(0710713013)
Thong Tienyao
(0710714048)
Gamal
(0710713014)
Pembimbing: Dr. Didi Candradikusuma, SpPD
LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit terparah pada manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih merupakan penyebab kematian tersering. penyakit
tuberkulosis
ini
akan
WHO
memprediksikan
insidensi
terus meningkat, dimana akan terdapat 12
juta kasus baru dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun. Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru disebabkan oleh epidemi HIV, dimana tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang yang menderita AIDS (Ioachim, 2009). Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan insidensi TB tertinggi
di
dunia
sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-0,55 juta) (WHO, 2010). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menempatkan TB sebagai penyebab kematian penyakit
terbesar
ketiga
setelah
penyakit
kardiovaskular dan
saluran pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam
kelompok penyakit infeksi (Depkes, 2007). Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun TB pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain
pada
paru-paru.
Berdasarkan
epidemiologi
TB
ekstrapulmoner
merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis
TB merupakan
ekstrapulmoner).
bentuk
Sedangkan
terbanyak
pada
pasien
(35%
dari
semua
TB
dengan HIV-positif
TB
ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma, 2004). Limfadenitis lebih
sering
terjadi
pada
wanita
daripada
pria
TB
dengan perbandingan
1,2:1 (Dandapat, 1990). Berdasarkan penelitian terhadap data demografik 60 pasien limfadenitis TB didapat 41 orang wanita dan 19 orang pria dengan rentang umur 40,9 ± 16,9 (13 – 88) (Geldmacher, 2002).
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar
limfe
atau
getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis
(Ioachim, 2009). Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula (Dorland, 1998). Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang
biasanya paling sering terjadi (Kumar, 2004). Istilah scrofula
diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah tumor skrofula pada sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini juga sudah dikenal sejak zaman raja-raja Eropa pada zaman pertengahan dengan nama “King’s evil”, dimana dipercaya bahwa sentuhan tangan raja dapat menyembuhkannya (McClay, 2008). Infeksi M.tuberculosis pada kulit disebabkan
oleh perluasan langsung
tuberkulosis ke kulit dari struktur
terpajan
dasar
atau
melalui
kontak
dengan tuberkulosis disebut dengan scrofuloderma (Dorland, 1998).
2.2 Epidemiologi Limfadenitis tuberkulosis perifer merangkum ~ 10% dari kasus-kasus tuberkulosis
di
Amerika
Serikat.
Karakteristik
epidemiologi
termasuk
perbandingan 1.4:1 untuk perempuan kepada laki-laki , memuncak pada rentang usia 30-40 tahun, dan dominan untuk pendatang asing, terutama Asia Timur. (Fontanilla et al. , 2011). Tinjauan literatur menunjukkan limfadenopati servikal menjadi predileksi paling sering untuk limfadenitis TB diikuti oleh limfadenopati aksilaris dan limfadenopati sangat jarang di lokasi inguinal. Insiden kelompok leher terlibat dalam 74% - 90% kasus, kelompok aksilaris dalam 14%-20% kasus dan kelompok inguinal dalam 4-8% kasus. (Bezabih et al., 2002)( Seth et al., 1995). Satu studi di India yang dilakukan di Orissa menunjukkan bahwa keterlibatan nodus limfa inguinal adalah lebih umum daripada limfadenopati. aksilaris
3
(Danpadat, 1990) Keterlibatan kelompok nodus limfa inguinal ini juga sering di kelompok etnis Igbos di Nigeria. (Onuigbo, 1975) 2.3 Etiologi Infeksi Mikrobakterium tuberculosis sp.
2.4 Patofisiologi Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan
TB
ekstrapulmoner.
TB
pulmoner
dapat
diklasifikasikan
menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis,
sedangkan
TB
post-primer (sekunder) disebut juga adult-type
tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010).
Basil
tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai
TB
ekstrapulmoner.
Menurut
Raviglione
(2010),
organ
ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah
bening,
pleura,
saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan
perikardium. TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap
basil tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru
dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup
dan
bermultiplikasi dalam
makrofag sehingga basil TB akan dapat
menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Demikian itu, patogenesis Lifadenitis tuberkulosis inguinalis terisolasi dapat dijelaskan oleh reaktivasi lokal infeksi dormant, akibat dari penyebaran limfogen Mycobacterium dari fokus paru subklinis. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional hilus , dimana penyebaran
basil
sepanjang
saluran
TB
tersebut limfe
akan
(limfangitis)
menimbulkan dan
reaksi
kelenjar
inflamasi
limfe
di
regional
(limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4 minggu setelah
infeksi
akan
terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler
ini akan
membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus
4
Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan
jaringan
keju
(kaseosa).
Sama
seperti
pada TB
primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009). menginfeksi
kelenjar
limfe
tanpa
terlebih
Basil
TB
juga
dapat
dahulu sebelum menginfeksi
paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher (Datta, 2004). Peningkatan ukuran nodus mungkin disebabkan oleh berikut: 1.Multiplication sel dalam node, termasuk limfosit, plasma sel, monosit, atau histiosit 2.Infiltrasi sel-sel dari luar nodus, misalnya sel ganas atau neutrofil.3.Drainase sumber infeksi oleh kelenjar getah bening.
2.5 Gejala Klinis Limfadenitis TB ekstremitas bawah ini sering di kelenjar getah bening inguinalis lateralis dan femoralis.Ukuran nodus membesar dan harus berhati-hati karena yang tercatat meningkat tajam dalam ukuran dapat menunjukkan potensi untuk keganasan. Bentuk nodus limfa biasanya satu,namun beberapa kelenjar bisa berkonfluensi. Konsistensi mungkin termasuk kusut, fluksus, tegas, kenyal, atau keras. Dalam tahap awal, nodus dalam tuberkulosis adalahg dengan berbatas tegas, mobil, tidak lembut, dan tegas. Jika infeksi tetap tidak diobati, nodus melunakkan, menjadi fluksus, dan melekat pada kulit yang mungkin menjadi eritematus. Pada nodus-nodus multiple,perlunakan tidak serentak. Jika
5
terjadi abses, abses lanjut menjadi fistel multipel berubah menjadi ulkus- ulkus khas : bentuk tidak teratur, sekitar livide,dinding bergaung, jaringan granulasi tertutup pus seropurulen, krusta kuning- sikatriks memanjang, tidak teratur. Fiksasi kelenjar getah bening pada kulit dan jaringan lunak dapat berarti keganasan. Kulit atasnya mungkin eritematus dalam etiologi infeksi. Sinus drainase dapat berkembang pada pasien dengan adenopati tuberkulosis. Gejala seperti penyakit saluran pernafasan atas, sakit tenggorokan, otalgia, coryza, konjungtivitis, dan impetigo sering ditemukan ditambah dengan demam, iritabilitas dan anoreksia. Limfadenitis bisa terjadi tanpa radang akut.
2.6 Pemeriksaan Penunjang Diagnosis definitif adalah dengan kultur atau amplifikasi nucleic amplifikasi Mycobacterium tuberculosis; demonstrasi basil tahan asam
dan
peradangan granulomatosa dapat membantu. Biopsi eksisional memiliki kepekaan tertinggi pada 80%, tetapi aspirasi jarum kurang invasif dan mungkin berguna, terutama pada hos dengan immunitas rendag dan pengaturan sumber daya terbatas. (Fontanilla JM, Barnes A, von Reyn CF, 2011) Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukakan termasuk: 1. Pemeriksaan Laboratorium
Peningkatan
laju
endap
darah
(LED)
dan
mungkin
disertai
leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk uji tapis. Newanda
(2009)
melaporkan
144
anak
dengan
spondilitis
tuberkulosis didapatkan 33% anak dengan laju endap darah yang normal.
Uji Mantoux positif
Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan abses.
Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
Pemeriksaan dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80 % , tetapi pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada populasi dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit mendeteksi kasus tuberkulosis aktif.
6
Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) masih terus dikembangkan. Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada fragmen DNA, amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang dapat diidentifikasi dengan gel. Pada pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10 basil permililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil permililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapkan pemeriksaan bakteriologik adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system BATEC (Becton Dickinson Diagnostic Instrument System). Dengan system ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari.Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena system ini memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya (Newanda, 2009).
2. Bakteriologis Kultur kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi diagnosis klinis dan radiologis secara mikrobakteriologis. Masalah terletak pada bagaimana mendapatkan spesimen dengan jumlah basil yang adekuat. Pemeriksaan mikroskopis dengan pulasan Ziehl-Nielsen membutuhkan 104 basil per mililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 103 basil per mililiter
spesimen.
Kesulitan
lain
dalam
menerapakan
pemeriksaan
bakteriologis adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya. Saat ini mulai dipergunakan sistem BACTEC (Becton Dickinson Diagnostic Intrument System). Dengan sistem ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari. Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena sistem ini memakai zat radioaktif. Untuk itu dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya (Newanda, 2009).
7
2.7 Terapi Terapi antimycobacteria oral (OAT) tetap menjadi dasar dari perawatan, tetapi respon lebih lambat dibandingkan dengan dalam tuberculosis paru; sakit terus-menerus dan pembengkakan itu sering, dan reaksi paradox meningkat dapat terjadi di 20% dari pasien. Peran steroid kontroversial. Pada awal perjalanan penyakit biopsy eksisional layak diberi pertimbangan bagi kedua-dua diagnosis optimal dan manajemen untuk tanggapan yang lambat terhadap terapi OAT. (Fontanilla JM, Barnes A, von Reyn CF, 2011)
2.7.1 Oral Antimycobacteria Therapy Mengenai pengobatan, pada prinsipnya sama dengan pengobatan pada Tuberkulosis paru. Saat ini direkomendasikan pengobatan dengan menggunakan obat paru lini pertama (selain injeksi streptomycin) dengan kombinasi 4 obat selama 2 bln dan dilanjutkan INH, Rifampicin selama 4 bln. Atau dapat diberikan dengan kombinasi 3 jenis obat dan dilanjutkan dengan INH dan Rifampicin selama 7 bulan. Mengenai suntikan streptomycin untuk limfadenits maka saat ini tidak direkomendasikan oleh WHO. Hal ini juga dibuktikan oleh BTS (British Thoracic Society) yang melakukan clinical trial menggunakan suntikan streptomycin dan hasilnya memperlihatkan tidak jauh lebih baik dibanding kombinasi HRZE (INH, Rifampicin, Pyrazinamid dan Etambutol).
8
BAB 3 LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama
: Tn. SA
Umur
: 33 tahun
Jenis kelamin
: Pria
Pekerjaan
: Pekerja pabrik kayu
Pendidikan
: SMU
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Alamat
: Ds.Kanigoro RT 9/1 Kec. Pangelaran Malang
No. Register
: 1215xxx
Tgl. Pemeriksaan
: 27 Mei 2012
Ringkasan anamnesis: Tn. SA/33yo/W.23i Keluhan utama: Seluruh tubuh lemah Pasien dating dengan keluhan lemas seluruh badan dengan pembesaran perut, perut membesar sejak ± 3 bulan yang lalu. Pasien mengeluh BAB berwarna kehitaman sejak ± 2 minggu terakhir, konsistensi lunak, 2-3 kali per hari dalam volume dalam sedikit. Pasien mengeluh mual, muntah dan dalam satu hari bisa 5 kali, berisi cairan, tidak ada darah, nafsu makan menurun. Berat badan pasien dikatakan menurun sejak awal sakit( dari 50kg menjadi 35 kg). Namun pasien tidak mengeluh demam atau batuk. Berat badan pasien menurun drastic dalam 3 bulan terakhir, sekitar 15kg (50 35kg). Sebelumnya, pasien dirawat di ruang 27 selama ± 1 bulan ( keluar RS dgn pulang paksa tanggal 16/05/2012). Pasien pulang dengan diagnose TB kelenjar diberi 4 macam obat, tetapi pasien tidak minum untuk 2 hari. Pasien mengaku ada pembesaran di leher dan inguinal sejak 10 tahun yang lalu, tanpa nyeri tidak beserta batuk lama.
9
Pemeriksaan fisik: Kondisi umum:kurus, tampak sakit sedang ; GCS 456 TD : 100/50 mmHg
N:90pbm
LP:24tpm
Kepala
: an (-), ict (-)
Leher
: JVP R+0cm H2O, 30derajat
Thoraks
:
Cor
: Ictus tidak terlihat dan teraba di ICS VI 1cm MCL S LHM ~ ictus, pinggang jantung + RHM ~ sternal line dextra S1 S2 single tanpa murmur
Pulmo : Symmetric; Stem fremitus D=S vv
Rh --
Wh--
vv
--
--
vv
--
--
Abdomen : bulat, soefl, BU + normal Liver span 8 cm Lien : troube space timpani Shifting dullness(+) Ekstremitas : akral hangat, edema
---
Diagnosa banding Lympadenitis tuberkulosis inguinalis Lymphogranuloma venereum
10
Pemeriksaan laborat (27/5/2012) Leukocyte
: 22.600/mm3
Hb
: 11.7g/dl
MCV
: 64.5fL
MCH
: 22.10pg
Hematocrite
: 21.9%
Thrombocyte
: 252.000
RBS
: 576 -- 179
SGOT
: 79 U/L
SGPT
: 75 U/L
Albumin
: 3.30g/dl
Ureum
: 51.3mg/dl
Creatinine
: 0.62mg/dl
Natrium
: 133
Kalium
: 3.43
Chloride
: 98
CKMB
: 20
Trop I
: negative
PPT
:17.8(11.4)
APTT
:44.8(27.2)
UL: glucose 2+
11
Diagnosa Lymphadenitis tuberkulosis inguinalis Terapi IVFD NS:D5 = 2:1 Diet TKTP 1900kkal/hari Inj. Ceftriaxone
2x1gr
Inj. Ranitidine
2x 50mg
Inj. Metochlopramide 3x10mg PO
As. Folat
1x III
Paracetamol 3x500mg B6B12
3xI
OAT lanjut (RHZE/ 450/300/500/500) Attapulgit 2 tab/diare (max 8 tab /hari)
Rencana Monitoring Produksi urin, subjektif dan tanda-tanda vital
12
DAFTAR PUSTAKA
Bagian Farmakologi FK UGM. 2008. Farmakoterapi Antiinfeksi/Antibiotika. Petunjuk Kuliah Diskusi Untuk Kalangan Sendiri. Bezabih M, Mariam DW, Selassie SG. Fine needle aspiration cytology of suspected tuberculous lymphadenitis. Cytopathology 2002; 13 (5) : 284-90. Dandapat MC, Mishra BM, Dash SP, Kar PK. Peripheral lymph node tuberculosis: a review of 80 cases. Br J Surg 1990; 77 (8) : 911-2. Fontanilla JM, Barnes A, von Reyn CF, Current diagnosis and management of peripheral tuberculous lymphadenitis. Clin Infect Dis. 2011;53(6):555. Koch, AL. 2003. Bacterial Wall as Target for Attack: Past, Present, and Future Research. Clinical Microbiology Reviews. Clin Microbiol Rev. 2003 October; 16(4): 673–687 Madigan M; Martinko J (editors). (2005). Brock Biology of Microorganisms (11th ed.). Prentice Hall. Madoff,
LC.
2008.
Introduction to Infectious Diseases:
Host–Pathogen
Interactions. Harrison’s Internal of Medicine. Ney York: BooksOvid Miller, N. 2008. Antibiotic Guideline. New York Newanda, JM. 2009. Spondilitis tuberkulosa. (Online), (http://newandajm.wordpress.com/2009/09/03/spondilitis-tuberkulosa/. Onuigbo
WI.
Tuberculous
peripheral lymphadenitis in the Igbos of
Nigeria. Br J Su Rehm, SJ., 2011. Guidelines for Antimicrobial Usage 2011-2012. Cleveland Clinic Seth V, Kabra SK, Jain Y, Semwal OP, Mukhopadhyaya S, Jensen RL tubercular lymphadenitis: clinical manifestations. Indian J Pediatr 1995; 62 (5) : 565. Todar, K. 2008. Online Textbook of Bacteriology.
13
14
View more...
Comments