LBM 3 THT

July 14, 2019 | Author: Dwiky Puspita | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download LBM 3 THT...

Description

1. Anatom Anatomi, i, fisiolo fisiologi, gi, histol histologi ogi hidung hidung? ?

Fisiologi hidung Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air ( air conditioning), conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2. Mengapa Mengapa penderita penderita mengalami mengalami hidung hidung tersumb tersumbat at makin lama makin makin berat?

 TAMBAHKAN GAMBAR TENTANG REAKSI ALERGI! CONTOH GAMBAR POLIP!

Edema mukosa di daerah meatus medius  stroma akan terisi oleh cairan interseluler  mukosa yang sembab menjadi polipoid  Mukosa yang sembab makin membesar  turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai



polip

3. Mengapa Mengapa penderita penderita sering mengeluh mengeluh rhinore, rhinore, bersin-ber bersin-bersin, sin, hidung hidung gatal gatal sejak remaja? 4. Mengapa Mengapa hidung hidung tersumbat tersumbat,, gatal-gatal gatal-gatal,, bersin bersin pd pagi pagi hari juga juga dikeluhkan istrinya?

Komplikasi rhinitis simpleks, Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah: a. Polip hidung hidung yang yang memiliki memiliki tanda patognomon patognomonis: is: inspisited mucous glands, glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.

b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006). Universitas Sumatera Utara rhinitis alergika sampai terjadi sinusitis????

5. Apa hubungan keluhan dengan riwayat hipertensi dan epistaksis?

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. 1. penyebab local : - Idopatik (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja. - Trauma ; epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengorek hidung, bersin, mengeluarkan ingus dengan kuat, atau sebagai akibat trauma yang hebat seperti terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas. - Iritasi ; epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia, udara panas pada mukosa hidung. - Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering. - Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk.

- Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun kronis serta vestibulitis. - Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal maupun nasofaring. - Iatrogenic, akibat pembedahan atau pemakaian semprot hidung steroid jangka lama. 2. penyebab sistemik : - Penyakit kardiovaskular, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti yang dijumpai pada arteriosclerosis, nefritis kronis, sirosis hepatic, sifilis dan diabetes mellitus. Epistaksis juga dapat terjadi akibat peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronchitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung. Epistaksis juga dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat anti koagulan (aspirin, walfarin, dll). - Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid. - Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause. - Kelainan congenital, biasanya yang sering menimbulkan epistaksis adalah hereditary haemorrhagic teleangiectasis atau penyakit Osler-Weber-Rendu. Patofisiologi  Terdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anterior dan posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak) yang merupakan anastomosis cabang arteri ethmoidakis anterior, arteri sfeno-palatina, arteri palatine ascendens dan arteri labialis superior. Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan. Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia, akibatnya dapat timbul iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu pemberian infuse dan tranfusi darah harus cepat dilakukan.

Cari perbedaan dan penatalaksanaan epistaksis anterior dan posterior!!

6. Mengapa penderita sering minum obat yg beli di apotik, keluhan tetap muncul?

Penatalaksanaan sinusitis akut? •

Terapi Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotika selama 10-14 hari, meskipun gejala klinik telah hilang. Antibiotika yang diberikan ialah golongan penisilin. Diberikan juga obat dekongestan lokal

 berupa tetes hidung, untuk memperlancar drenase sinus. Boleh diberikan analgetika untuk menghilangkan rasa nyeri. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali  bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial; atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekr et tertahan oleh sumbatan.

Fisiologi transport mukosilia? Macam- macam sinusitis (semua)!

2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel dari sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap nasofaring. Sinus paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir yang dibentuk di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis. Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila kemudian masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior dan sinus sfenoid masuk ke meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk melalui duktus nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang penting ialah bagian depan-tengah meatus medius yang sempit, yang disebut kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena hampir semua lubang saluran dari sinus paranasal terdapat di sana (Broek, 2010). Pada saat lahir, sinus paranasal belum terbentuk, kecuali beberapa sel etmoid. Kemudian baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua sinus paranasal terbentuk secara lengkap. Kadang-kadang, salah satu dari sinus frontal tidak terbentuk. Bagian belakang nasofaring berbatasan dengan fossa sfeno-palatina (Broek, 2010). Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai dari pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada sejak saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 1518 tahun (Soetjipto, 2010). Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Anatomi Sinus Paranasal (Patel, 2007)

2.2. Bagian-bagian Sinus Paranasal 2.2.1. Sinus Maksila Sinus maksila merupakan sinus pertama yang muncul (7-10 minggu masa janin). Sinus maksila adalah sinus paranasal yang terbesar dan bervolume 6-8 ml saat lahir (Soetjipto, 2010). Proses terbentuknya sinus maksila berasal dari ekspansi infundibulum etmoid ke dalam maksila hingga membuat suatu massa. Proses ekspansi tersebut menghasilkan suatu rongga kecil pada saat lahir yang berukuran 7 x 4 x 4 mm. Pertumbuhan dan perkembangannya terus berlanjut pada masa anak-anak kira-kira 2 mm secara vertikal dan 3 mm anteroposterior. Proses perkembangan tersebut mulai menurun pada usia 7 tahun, diikuti fase pertumbuhan kedua berikutnya. Pada usia 12 tahun, pneumatisasi mencapai bagian lateral, yaitu di bawah bagian lateral dinding orbita pada sisipan prosesus zigomatikus, secara inferior ke bagian dasar hidung dan setelah pertumbuhan gigi (dentisi) kedua di bawah dasar hidung. Setelah proses dentisi, sinus hanya akan membesar secara perlahan-lahan dan mencapai ukuran maksimum pada usia 17 hingga 18 tahun. Ukuran standar volume sinus maksila pada orang dewasa adalah Universitas Sumatera Utara

sekitar 15 cm2 dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid. Dasar piramid dibentuk oleh dinding medial sinus maksilaris dengan sisi apeks piramid ke arah resesus zigomatikus (Stammberger, 2008). Menurut Damayanti Soetjipto dan Endang Mangunkusumo (2010), yang perlu diperhatikan dari segi anatomi sinus maksila berdasarkan segi klinis adalah bahwa dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan terkadang gigi taring (C) dan gigi moral M3. Selanjutnya sinusitis maksilaris juga dapat menimbulkan komplikasi orbita. Selain itu, letak ostium sinus maksila yang lebih tinggi dari dasar sinus menyebabkan drenase hanya tergantung dari gerak silia. Drenase yang harus melalui infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis  jika di daerah tersebut mengalami inflamasi.

2.2.2. Sinus Etmoid Selama 9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul di bagian dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan ini dipisahkan dari satu dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih dari seminggu kemudian, lipatan-lipatan tersebut berfusi menjadi 3-4 puncak dengan sebuah bagian anterior 'ascending' dan sebuah bagian posterior 'descending' (ramus asendens dan ramus desendens). Semua struktur permanen etmoid berkembang dari puncak tersebut (Stammberger, 2008). Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Pada bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat resesus frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu area penyempitan disebut infundibulum yang merupakan tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan di resesus frontal mengakibatkan sinusitis frontal. Sementara jika peradangan terjadi di infundibulum mengakibatkan sinusitis maksila (Soetjipto, 2010). Universitas Sumatera Utara

Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi 5 sekat tulang atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang paling anterior ke posterior : prosesus uncinatus, bula etmoidalis (sel etmoid yang terbesar), dasar atau lamela basalis dan konka superior (Walsh, 2008). Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Soetjipto, 2010).

2.2.3. Sinus Sfenoid Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior (Stankiewicz, 2010). Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml (Soetjipto, 2010). Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan (Stammberger, 2008). Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soetjipto, 2010). 2.2.4. Sinus Frontal Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin tidak ada sama sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah septum intersinus (Walsh, 2006). Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian yang paling Universitas Sumatera Utara

anterior dan segmen superior dari kompleks etmoid anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit dibedakan dari sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat. Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jel as pada gambaran CT-scan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan variasi (Stammberger, 2008). Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x 2 cm (dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus be rlekuk-lekuk (Soetjipto, 2010). 7. Mengapa dokter mendiagnosis polip? Karena polip bisa terjadi akibat peradangan kronis pada mukosa hidung yang berturbulensi, terutama didaerah sempit terutama didaerah osteomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru.juga terjadi penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Cara mendiagnosis : Anamnesis : keluhan utama hidung tersumbat, rinore mulai jernih sampai purulen, disertai bersin-bersin, nyeri kepala, bila ada infeksi disertai post nasal drip dan rinore purulen. Pemeriksaan fisik : menyebakan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada rinoskopi anterior tampak masa yang pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakan. Stadium polip mackay dan lund (1997) : stadium 1 polip terbatas di meatus medius; stadium 2 keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung; stadium 3 polip yang massif. Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

8. Mengapa pasien mengeluarkan ingus kental bewarna kuning mengalir ke tenggorokan dan disertai demam? Berubahnya warna secret pada hidung diakibatkan respon dari reaksi hipersensitivitas ini terus berlanjut sehingga mengakibatkan penambahan  jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil , basofil di mukosa hidung serta peningkatan sitokin pada mukosa hidung. Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

9. Mengapa pasien mengeluhkan kurang bisa membau? http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31193/4/Chapter%20II.pdf  Macam – macam sensai bau : - Camphoraceous - Musky - Harum bunga – bungaan ( floral ) - Pepperminty - Sangat samar ( ethereal ) - Bau yang tajam ( pungent ) - Busuk ( putrid ) Sensasi bau Menyebar ke dalam lapisan mukus Berikatan dengan protein reseptor di membran silia Aktivasi protein G Aktivasi adenilat siklase Adenosin triphospat intrasel



cAMP

Membuka kanal ion natrium Natrium masuk ke dalam sel Depolarisasi Mengeluarkan impuls ke nervus olfaktorius Masuk ke bulbus olfaktorius melalui lamina cribrosa os ethmoidal Di dalam bulbus mengadakan sinaps dengan sel mitral ( sinaps disebut dengan glomerulus )

 Traktus olfaktorius Stria olafaktorius medial dan lateral Pusat olfaktorius Sumber lain

10.Apakah hubungan umur dengan keluhan pasien? 11.Apakah ada hubungan pekerjaanya dengan keluhan pasien? Setelah penderita bekerja di mebel dimungkinkan menghirup allergen spesifik yang menyebabkan suatu reaksi alergi tipe cepat maupun lambat hasil dari reaksi hipersensitivitas ini mengakibatkan keluarnya mediator inflamasi seperti histamine yang akan merangsang reseptor pada ujung saraf vidianus(nervus pada mukosa hidung) sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terbentuk rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

12.pemeriksaan yg dilakukan untuk menegakkan diagnosis?

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF