Latar Belakang Dan Kronologi Lepasnya Timor Timur
August 14, 2017 | Author: Kevin Wijaya | Category: N/A
Short Description
Download Latar Belakang Dan Kronologi Lepasnya Timor Timur...
Description
Makalah Sejarah
Lepasnya Timor-Timor dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kelompok: • Andy M. • Clarence E. • G. Gary • Kevin Wijaya • Ricky Tan • Stefanus M.H.
Daftar Isi
1. Latar Belakang
2
2. Isi
6
2.1. Kronologis
6
2.2. Kebijakan pemerintah dalam upaya mengatasi
13
2.3. Argumentasi kelompok
14
3. Daftar Pustaka
15
2
BAB I LATAR BELAKANG
Posisi
Timor
Timur
yang
terselip
di
sela
kebulatan
wilayah
Indonesia memang menjadikannya seperti kerikil dalam sepatu. Membuatnya serba canggung. Dalam
masa
perang
dingin,
Amerika
Serikat
sering
menggembosi kekuatan komunisme di seluruh penjuru dunia. Mereka khawatir Timor Portugis (nama Timor Timur pada masa lampau) menjadi salah satu basis komunisme di Asia Tenggara sebagai perpanjangan poros Pyongyang - Ho Chi Minh
City
yang gagal
dieliminasi
melalui
perang
Korea
dan
perang
Vietnam. Sangat wajar jika Indonesia dibuat sedikit paranoid sehingga mau dijadikan bumper oleh Amerika Serikat. Apalagi Indonesia senantiasa dibayangbayangi kisah
G-30-S yang menempatkan komunisme sebagai bahaya laten.
Dengan dukungan terselubung Amerika Serikat, Indonesia akhirnya berhasil menjadikan Timor Timur sebagai propinsi ke-27. Australia bahkan termasuk negara yang mendukung lobby Indonesia di PBB. Australia tidak menentang Indonesia karena Australia pun berkepentingan atas keberadaan Timor Timur yang berada di pintu Utaranya. Kisah Timor Timur ternyata tidak berjalan semulus dugaan dan rencana. Setidak-tidaknya ada 3 macam keinginan yang mulanya menjadi sebab perang saudara di Timor Timur setelah Portugal angkat kaki dari bumi Loro Sae, yakni:
1.
Setuju
bergabung
dengan
Indonesia
(yang
bukannya
tanpa
reserve, melainkan ada kesepakatan-kesepakatan khusus).
2.
Tetap menjadi bagian Portugal sebagai koloni seperti halnya
Macao.
3.
Merdeka sebagai negara baru yang berdiri sendiri.
Masing-masing keinginan tersebut terkristalisasi dalam kekuatan partaipartai politik seperti Apodeti, UDT, KOTA, Trabalhista, dan Fretilin berikut fraksifraksi
bersenjatanya. Setelah
Timor
Timur
bergabung
dengan
Indonesia,
kekuatan yang tidak menginginkan bergabung dengan Indonesia terus melakukan aksi yang memperlihatkan
bahwa mereka
masih
eksis. Dalam pandangan
mereka, yang terjadi bukanlah integrasi melainkan INTERVENSI (seperti Uni
3
Sovyet terhadap Afghanistan pada masa itu). Upaya mereka didukung oleh lobby politik di tingkat dunia. Berbeda dengan penanganan kasus front separatis Moro (MNLF) di Philipina dimana Indonesia sukses dalam perannya sebagai penengah dan pendamai
sehingga
Moro
mendapat
otonomi
khusus,
Indonesia
justru
menerapkan tangan besi terhadap gerakan separatis di Timor Timur. Prinsip Kaisar
Nero
yang
berusaha
meredakan
keresahan
rakyat
Romawi
dengan "memberi roti dan hiburan gladiator" hendak diterapkan di Timor Timur. Pembangunan fisik digalakkan dimana-mana termasuk berusaha merebut hati umat Katholik dengan membangun patung Yesus terbesar ke-2 di dunia setelah Brasil. Dilain pihak, kekerasan terus berlangsung secara terselubung. Jika
pada
awalnya
lebih banyak
rakyat
Timor
Timur
yang setuju
berintegrasi dengan Indonesia dengan harapan berakhirnya kekerasan berdarah perang saudara, pada perkembangan selanjutnya justru kekuatan anti-integrasi kian bertambah. Hal ini dapat dilihat dari usia generasi muda Falintil yang lebih muda usianya dibanding masa integrasi itu sendiri. Kecewa dan dendam. Itulah jawabannya.
Bisa jadi, mereka bahkan pendukung integrasi. Mereka berbalik
akibat kebiadaban militer yang paranoid terhadap ulah gerilyawan Fretilin sehingga tidak pandang bulu membabat warga sipil Timor Timur yang tidak bersalah. Banyak anak yang mendendam
pada
pihak militer karena
anggota
keluarga mereka dianiaya, diperkosa, diculik, dibunuh. Akibatnya, banyak anak muda yang bergabung dengan pihak anti-integrasi bukan karena kesamaan ideologi,
melainkan dendam
pada
militer.
Bukanya
mengurangi
pembangkang, justru semakin bertambah deretan orang yang antipati.
jumlah Upaya
memberi keleluasaan unjuk rasa dalam koridor demokrasi yang dicoba diterapkan oleh Sintong Panjaitan (Pangdam Wirabhuana saat itu) sebenarnya sudah membuka peluang angin segar. Menurutnya, lebih baik membiarkan riak-riak kecil yang terpantau daripada memendam magma yang bisa meletus tanpa kendali. Namun upaya harmonisasi ini ditekuk habis oleh aksi di luar jalur komando yang meledakkan tragedi Santa Cruz.
4
Berikut adalah beberapa faktor pendorong yang menyebabkan munculnya ide disintegrasi Timor Timur dari wilayah NKRI yang penulis tinjau dari beberapa aspek, yaitu: •
Keadaan politik
Pada tahun 1976 merupakan tahap penyesuaian system pemerintahan yang berlaku dengan Indonesia, setelah berintegrasi disahkan oleh pemerintahan pusat di Jakarta. Kemudian di Timor-Timur di bentuk pemerintahan sementara dan sebagai pelaksana pemerintahan sementara diangkatlah putra Timor-Timur yaitu Arnaldo Dos Res Aranjo, secara yuridis formal Timor-Timur sudah sah menjadi bagian negara kesatuan Republik Indonesia dengan dikeluarkan UU VII/1976 dan peraturan no 19 tahun 1976 tentang Pemda Timor Timur yang kemudian menjadi propinsi Indonesia ke-27. Timor Timur baru saja bergabung maka pemulihan keamanan merupakan hal yang pokok terutama sisa FRETILIN yang masih menguasai 75% dari seluruh penduduk Timor-Timur. Dalam perkembangan sisa FRETILIN dapat ditumpas oleh TNI (batalyon 744 dan 745) walau tidak habis. Dikarenakan mereka berada di gunung, kemudian rakyat Timor Timur dituduh oleh TNI sebagai GPK. Maka akibatnya rakyat Timor Timur merindukan kedamaian yang menjadi korban kdua belah
pihak.
Setelah
terjadinya
insiden
Santa
Cruzdan
diberikan
nobel
perdamaian kepada pemimpin FRETILIN yaitu “Xanana Gusmao” dan Uskup Belo. Dukungan rakyat untuk merdeka semakin besar, oleh Presiden Habibi dianggap sbagai beban politik dan mahal secara ekonomi kemudian Timor Timur diberikan kebebasan untuk merdeka. •
Keadaan sosial Antara tahun 1976-1978 keadaan sosial masyarakat Timor Timur belum
menentu dan banyak diantara mereka yang hidup di kamp-kamp pengungsian. Kehidupan sehari-hari belum stabil masih terus diawasi oleh militer. Bangunan fisik peninggalan Portugis tidak banyak berarti bagi rakyat Timor Timur, masyarakatnya hidup miskin, buta huruf, maka dari itu pemerintah Indonesia membangun segala sarana hidup untuk rakyat Timor Timur. Hambatan adalah tidak memahami bahasa Tetum (TimTim) sebagai tenaga guru atau medis enggan kesana. Dikarenakan adanya konflik yang berbau ras dan agama muncul, mereka juga mengambil tanah rakyat. Akibatnya terjadi kerenggangan ekonomi
5
dan puncaknya pada insiden Santa Cruz 12 November 1991 yang mirip tragedi kemanusian dan mengundang reaksi Internasional (Kuntari, 2008: 110). •
Agama Mayoritas penduduk Timor Timur beragama katolik. Para imigran datang
ke wilayah Timor Timur dan mulai masuk dan bekerja pada instansi disana dikarenakan para imigran beragama Islam, Protestan, Hindu dan Buddha, kenyaman rakyat Timor timur terganggu. Perkembangan hingga tahun 1994 jumlah penganut agama lain terutama Islam menyamai penganut agama katolik. Selain itu umat Islam menutup hubungan mreka dengan sangat fanatik dan hidup mengelompok, hal itu menambah kemarahan masyarakat Timor Timur, yang kemudian berakibat kerusuhan SARA dan agama itu diangkat oleh Komnas Ham PBB.
6
BAB II ISI
2.1 Kronologis lepasnya Timor-Timur 1998 21 Mei Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Ia menyerahkan jabatan presiden kepada Wakil Presiden B.J. Habibie. 19 Desember Perdana Menteri Australia John Howard mengirim surat kepada Presiden Habibie, mengusulkan untuk meninjau ulang pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri atau right to self-determination bagi rakyat Timor-Timur. 1999 25 Januari Rapat Polkam membahas disposisi Presiden BJ Habibie tentang surat Howard. Dalam disposisinya, Habibie mengatakan, “Tolong dipelajar, apakah setelah 22 tahun bergabung dengan Indonesia, masyarakat Timtim masih merasa belum cukup bersatu dengan kita. Bagaimana kalau kita pisah baik-baik saja melalui Sidang Umum MPR?” 27 Januari Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan keputusan Sidang Kabinet di Bina Graha yang memakan waktu lebih dari lima jam, yaitu Indonesia akan hands-off dari Timtim jika Timtim menolak opsi I, yaitu tawaran otonomi khusus yang sangat diperluas. Sebelumnya, sidang berjalan alot. Dua menteri, Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan Menteri Sekretaris Negata Akbar Tandjung menolak keputusan tersebut. Sebaliknya, Menteri Pertahanan dan Keamanan / Panglima TNI Jendral Wiranto menerima keputusan tersebut.
7
10 Februari Kay Rala Xanana Gusmao dipindahkan dari LP Cipinang ke tahanan rumah di Salemba. 8-10 Maret Terjadi eksodus besar-besaran warga pendatang Timtim, bersama ribuan ton barang. 6 April Kekerasan di Gereja Liquica yang menyebabkan ratusan orang mengungsi. 17 April Terjadi kerusuhan massal di Dili yang antara lain menewaskan putra aktivis prokemerdekaan Manuel Viegas Carrascalao dan perusahaan kantor Harian Suara Timor Timur. 21 April Kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan menandatangani kesepakatan damai di kediaman Uskup Dili Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo SDB, antara lain disaksikan Menhankam/Pangan TNI Jenderal Wiranto, Wakil Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto, dan Uskup Baucau Mgr Basillo do Nascimento. 27 April Presiden Habibie membahas lebih dalam tentang Timtim dengan PM Australia John Howard. Habibie mengungkapkan akan melaksanakan penentuan pendapat untuk mengetahui kemauan sebenarnya rakyat Timtim; tetap berintegrasi atau memisahkan diri dari Indonesia. Awalnya, penentuan pendapat direncanakan akan dilaksanakan 8 Agustus 1999. 5 Mei Menlu Ali Alatas dan Menlu Portugal Jaime Gama, bersama Sekjen PBB Kofi Annan menandatangani kesepakatan pelaksanaan penentuan pendapat pada tanggal 8 Agustus 1999 di Timor Timur, di Markas PBB New York. Indonesia tetap bertanggung jawab pada keamanan pelaksanaan tersebut. Hal tersebut tertuang dalam dua kesepakatan: a. Kesepakatan tentang modalitas pelaksaan penentuan pendapat via jajak pendapat. b. Kesepakatan tentang Polri sebagai penanggung jawab keamananan.
8
7 Mei Sidang Umum PBB menerima dengan bulat kesepakatan 5 Mei 1999. 17 Mei Presiden Habibie mengeluarkan Kepres no.43/1999 tentang Tim Pengamanan Persetujuan RI-Portugal tentang Timtim. Kepres itu dimantapkan dengan Inpres No.5/1999 tentang Langkah Pemantapan Persetujuan RI-Portugal. 21 Mei Melalui
Mensesneg/Menkeh
Muladi,
pemerintah
Indonesia
meminta
PBB
memajukan pelaksanaan penentuan pendapat, dari rencana awal tanggal 8 Agustus menjadi tanggal 7 Agustus 1999. ”Tanggal 8 Agustus itu hari libur, hari Minggu, kita menghormati umat Katolik, jadi jajak pendapat 7 Agustus,” kata Muladi. Namun keputusan itu mengherankan Ali Alatas. ”Pemerintah belum membahas, apalagi menentukan tanggal,” katanya. 1 Juni Bendera biru PBB mulai berkibar di Timor Timur. 2 Juni Pemerintah membentuk Satgas P3TT yang didasarkan pada Inpres No.5/1999 tentang Langkah Pemantapan Persetujuan RI-Portugal. Satgas diketuai oleh Dubes Aus Tarmidzi dengan Sekretaris/Koordinator Sudjadnan Parnohadiningrat, dan Penasihat Keamanan Mayjen Zacky Anwar Makarim. 3 Juni Peresmian Misi PBB di Timor Timur (UNAMET) dengan Ketua Ian Martin, di Dili yang diwarnai kerusuhan. Tiga hari kemudian, Wakil Panglima Pejuang Intergrasi (PPI) Eurico Gutteres memprotes UNAMET. 11 Juni UNAMET resmi membuka kantor di Dili. 16-18 Juni Pertemuan kedua kelompok pro-otonomi dan pro-kemerdekaan di Jakarta. Dalam pertemuan ini, mereka sepakat menyerahkan senjata yang dimiliki kelompok senjata kedua pihak, kepada UNAMET atau pemerintah RI.
9
23 Juni Indonesia mengirimkan 4.452 anggota Polri untuk mengamankan pelaksanaan jajak pendapat di Timtim. 26 Juni Sekjen PBB Kofi Annan memutuskan menunda pelaksaan jajak pendapat di Timtim, dari tanggal 8 Agustus menjadi 21 Agustus 1999. 25-30 Juni Dialog
Dare
II
antara
kelompok
pro-otonomi
dan
pro-kemerdekaan
diselenggarakan di Hotel Sheraton, Cengkareng, Jakarta. Kedua kelompok sepakat mengembangkan dan memperdalam asas saling pengertian. Dialog antara lain dihadiri tokoh PPI Joao Tavares, Eurico Gutteres, Xanana Gusmao, Ramos Horta, Uskup Baucau Mgr.Basilio do Nascimento. 29 Juni Kantor UNAMET di Maliana diserang. 16 Juli – 8 Agustus Masa pendaftaran penentuan pendapat. Secara umum, hari pertama pendaftaran berlangsung aman, kecuali di Kecamatan Zumalai, Kovalima, terjadi kerusuhan dengan satu korban tewas dan lima luka-luka. 26 Juli Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid berkunjung ke Timtim. Selain itu, dimulai kantonisasi untuk kelompok Falintil dilakukan di Uai Mori, Viqueque. 28 Juli PBB memberi keputusan akhir pelaksaan jajak pendapat, yaitu tanggal 30 Agustus 1999. 3 Agustus Sekjen PBB memutuskan memperpanjang mandat UNAMET sampai tanggal 30 September 1999.
10
14-26 Agustus Masa kampanye dibuka dengan kampanye bersama kelompok pro-otonomi dan pro-kemerdekaan di auditorium UNAMET, Sabtu 14 Agustus 1999. Kedua pihak sepakat menciptakan kampanye damai hingga putaran terakhir. 18 Agustus Ramos Horta mengancam akan melumpuhkan sistem komputer dan memboikot pariwisata Indonesia. 25-26 Agustus Putaran terakhir kampanye untuk kedua pihak. Diwarnai dengan kerusuhan massal yang memuncak di Bekora dna Kuluhun. Mantan anggota DPRD Virgellio Martin Pinto, Tk II Viqueque, Apolinario Pio, Bernadino Gutteres, dan Marcus Nunes tewas. Dua wartawan tertembak. 27 Agustus Sekjen PBB kembali memperpanjang masa tugas UNAMET hingga 30 November 1999. 27-28 Agustus Pertemuan kedua pihak, pro-otonomi, dan pro-kemerdekaan di kantor UNAMET Dili dan di Baucau. 30 Agustus Masa pelaksanaan jajak pendapat yang berlangsung dengan relatif aman dan diikuti hampir seluruh warga Timtim. 31 Agustus Suasana
Timtim
kembali
tak
menentu,
terjadi
kerusuhan
dimana-mana.
Kelompok milisi menghadang dan mengepun sekitar 150 staf UNAMET untuk wilayah Ermera yang akan menuju Dili. Seiring dengan itu, Wakil Panglima PPI Eurico Gutteres mulai memblokade seluruh akses keluar dari Timtim, baik darat, laut, maupun udara. 1 September Terjadi eksodus besar-besaran warga Timtim. Meski berniat memblokade, Eurico Gutteres dan seluruh pasukan PPI tidak menghalang-halangi warga Timtim yang
11
akan eksodus. Koto Dili semakin mencekam. Milisi menyerang markas UNAMET di Balide. 2 September Rapat dengar pendapat antara Komisi Pemilu dengan pihak pro-otonomi tentang berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan jajak pendapat. Terjadi sweeping, wartawan mulai eksodus. Tim Kompas sempat mendapat ancaman mati, tetapi seluruhnya selamat. Kantor UNAMET Maliana terbakar, seluruh staf diungsikan ke Dili. 3 September Sekjen PBB menyampaikan hasil jajak pendapat kepada Dewan Keamanan PBB, 344.580 suara menolak otonomi (78.5%), 94.388 menerima otonomi (21%), dan 7.985 suara dinyatakan invalid. terjadi eksodus lagi di kalangan wartawan asing, nasional, maupun lokal. Muncul daftar dan rencana pembunuhan terhadap 14 tokoh elit politik Timtim. 4 September Hasil jajak pendapat secara resmi diumumkan di Dili. Sesaat kemudian, terjadi kerusuhan yang bersifat massal di Dili. Salah satu pihak tidak bisa menerima kekalahan dan langsung menghamburkan tembakan. UNIF protes keras dan menolak hasil jajak pendapat. Mereka mengutuk keras gaya dan cara kerja UNAMET yang tidak netral, memihak, bahkan manipulatif. Presiden Habibie menyatakan menerima hasil jajak pendapat. 11 September Anggota milisi Besi Merah Putih menembak mati Romo Karl Albrecht Karim Arbie SJ di Pastoran Loyola, Taibesi, Dili Timur. Menlu Ali Alatas ke New York menyampaikan pesetujuan Indonesia pada pengiriman pasukan multinasional PBB. 14 September Presiden BJ Habibie menyampaikan pidato pertanggungjwaban di depan Sidang Umum MPR, yang dilakukan pada malam hari. 15 September
12
Selaras dengan Piagam PBB pasal VII, Sekjen PBB mengadopsi resolusi pembentukan dan pengiriman pasukan multinasional ke Timtim yang kemudian disebut INTERFRET atau International Force for East Timor. 19 September Rombongan INTERFRET Mayjen Peter Cosgrove tiba di Bandara Komor, Dili. 4 Oktober ”salah lirik” antara INTERFRET dan TNI mulai terjadi. Malam itu, pasukan INTERFRET memaksa masuk kompleks ITFET menggunakan kendaraan lapis baja APC. Mereka menabrak barikade pos. Dengan alasan mengejar milisi, mereka terus bergerak hingga menerobos kawasan yang dijaga Brimob. Keesokan harinya, Mayjen Peter Cosgrove mengembalikan satuan teledor ini ke Australia. 14 Oktober Satgas P4TT kembali ke Dili. 21 Oktober Angin perdamaian mulai ditiupkan oleh Falur Rate Laec, Komandan Region III Falintil. 22 Oktober Xanana tiba di Dili. Ia tidak pernah berhenti berkampanye menyadarkan semua pihak untuk tidak memusuhi rakyat Indonesia. 23 Oktober Pertemuan pertama RI-Timor Leste di Markas INTERFRET, Dili. Dari Indonesia diwakili Komandan ITFET Brigjen JD Sitorus, Komandan Satgas Pengamana ITFET Kol Sahala Silalahi dan Perwira Penghubung militer Kapten A. Suryo. Sementara, pihak Timor Leste diwakili Kay Rala Xanana Gusmao, Taur Matan Ruak, dan Leandro Isaac. Setelah ITFET, disusul pertemuan dengan Tim Pasca Penentuan Pendapat di Timor Timur yang antara lain diwakili Ketua P4TT Dubes Taufik R. Soedarba. 24 Oktober Xanana mengeluarkan surat edaran yang berisi jaminan keselamatan bagi 200an warga negara Indonesia penghuni Masjid An-Nur.
13
25 Oktober Dewan Keamanan PBB mensahkan Misi PBB untuk pemerintahan transisi Timor Timur, United Nations Transitional Administration in East Timor, atau UNTAET. Sekjen PBB Kofi Annan menunjuk diplomat senior dari Brazil, Sergio Viera de Mello sebagai ketua UNTAET. UNTAET akan menggantikan INTERFET. 26 Oktober Presiden RI Abdurrahman Wahid menandatangani surat keputusan pembentukan UNTAET. 30 Oktober Pukul 09.00 waktu setempat, Bendera Merah Putih diturunkan dari bumi Timor Loro Sa’e dalam upacara yang sangat sederhana tanpa liputan. INTERFET melarang wartawan meliput acara tersebut, kecuali RTP Portugal. Upacara senada juga diadakan di Bandara Komoro, dipimpin Komandan Lanud Letkol PnB John Dalas SE. Pukul 13.00 waktu setempat, tim Satgas P4TT memutuskan berangkat ke Jakarta. 2.2 Usaha Pemerintah dalam Rangka Mengatasi Usaha yang sudah dilakukan pemerintah pada kasus Timor Timur di antaranya: 1. Menawarkan opsi kepada Timor Timur untuk menerima paket otonom, atau merdeka. Jika paket otonomi diterima, maka Timor Timur akan tetap menjadi wilayah Republik Indonesia. 2. Bersama PBB melaksanakan jajak pendapat untuk melakukan referendum. 3. Mengirimkan anggota polisi untuk mengamankan proses kampanye, pertemuan, dan jajak pendapat yang berlangsung di Timor Timur.
14
2.3 Argumentasi Kelompok Menurut kami, pemerintah tidak seharusnya mengambil jalur voting untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Timor Timur karena pada saat itu Timor Timur sedang dipengaruhi oleh negara lain. Indonesia pada saat itu belum menyadari bahwa di sana terdapat bahan dasar pembuat nuklir, sementara negara lain sudah lebih dulu menyadarinya. Indonesia juga terlalu percaya bahwa Timor Timur akan memilih masuk NKRI, namun Indonesia tidak mengetahui bahwa negara lain telah menawarkan sejumlah keuntungan jika keluar dari NKRI juga telah melakukan tindakan konkrit dalam membangun Timor Timur, semisal membangun patung Yesus terbesar di dunia setelah di Rio, Brasil.
15
DAFTAR PUSTAKA
Kuntari, Cordula Maria Rien, dkk. 2008. Timor Timur 1 Menit Terakhir. Jakarta: PT Mizan Publika.
Adityana, Rina, dkk.. 2011. Sejarah untuk SMA Kelas XII Program IPA. Bekasi: Penerbit Media Maxima.
http://mu-jalin.blogspot.com/2010/04/lepasnya-timor-timur.html http://missions.itu.int/~indonesi/news/cp01122menlu.htm
16
View more...
Comments