laringotrakeobronkitis akut

November 12, 2017 | Author: Jefrizal Mat Zain | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

tht...

Description

BAGIAN ILMU THT-KL

REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

DESEMBER 2013

UNIVERSITAS HASANUDDIN

LARINGOTRAKEOBRONKITIS AKUT

DISUSUN OLEH : Jefrizal bin Mat Zain

C11109833

Nurul Fitrawati Ridwan

C11109333

PEMBIMBING: Dr. Handayani Sriwardani

BAGIAN ILMU THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

0

I.

PENDAHULUAN

Sindrom croup adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak, batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres pernapasan. Penyakit ini sering terjadi pada anak. “Croup” berasal dari bahasa Anglo-Saxon yang berarti “tangisan keras”. Penyakit ini pertama kali dikenal pada tahun 1928. (1,2) Sindrom croup ini terjadi sekitar 15% dari anak-anak, dan biasanya terpapar antara usia 6 bulan sampai 3 tahun. Dalam kasus yang jarang, mungkin terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan dan yang tertua sekitar usia 15 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan yang menderita penyakit ini dengan rasio 3:2, dan ada peningkatan prevalensi di musim gugur dan musim dingin.(1) Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika terjadi sampai ke bronkus digunakan istilah laringotrakeobronkitis. (1,2) Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus yang menyerang saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan obstruksi saluran respiratori. Obstruksi yang terjadi dapat bersifat ringan hingga berat. (1,2,3) Pada kebanyakan kasus, penyakit ini tergolong dalam penyakit ringan dan bisa sembuh sendiri. Bagaimanapun penyakit ini memberi dampak yang besar terhadap pelayanan kesehatan. Biasanya penyakit ini menyebabkan obstruksi saluran pernafasan yang berat, dan jumlah kasus rawat inap yang dilaporkan sekitar 1.3 % sampai 2.6 %. (2) Penatalaksaan sindrom croup telah mengalami banyak perubahan pada decade terakhir ini karena meningkatnya kesadaran terhadap keuntungan pengguanaan steroid. (2)

2

II.

DEFINISI Simdrom croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu kelompok

penyakit heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas. (2,4) Pada sindrom croup ini terdapat suatu kondisi pernafasan yang biasanya dipicu oleh infeksi virus akut saluran napas bagian atas. Infeksi menyebabkan pembengkakan di dalam tenggorokan, yang mengganggu pernapasan normal. Selain itu juga terjadi suatu pembengkakan di sekitar pita suara, pada umumnya terjadi pada bayi dan anak-anak dengan berbagai penyebab. Infeksi juga bias terjadi pada parenkim paru.(2,4) Infeksi virus akut adalah penyebab tersering terjadinya sindrom croup, tetapi dapat juga disebabkan oleh bakteri dan agen atipikal. Secara umum laringotrakeitis akut dan spasmodic croup disebabkan oleh virus, tetapi bakteri dan virus menyebabkan penyakit ini menyebar ke traktus respiratori bagian bawah seperti laringotrakeabronkitis dan laringotrakeabronkopneumonitis. Trakeitis bakteri disebut juga croup bakteri, yang disebabkan oleh infeksi bakteri seperti Staphilococcou aureus, Hemophilus influenza, dan Corynobacterium diphteriae. (2)

III.

KLASIFIKASI Terminologi untuk sindrom croup berubah setiap waktu . tetapi

klasifikasinya tidak begitu jelas. Sebagai contoh, “laringotrakeobronkitis” sering digunakan untuk mengambarkan spasmodic croup atau laringotrakeitis. Secara umum kasus sindrom croup adalah spasmodic croup dan laringotrakeobronkitis. (tabel 1). (5)

3

Tabel 1: klasifikasi,definisi, dan gambaran klinis sindrom croup (2,5) Karakteristik Definisi

Laringotrakeobronkitis

Spasmodic Croup

Inflamasi pada laring,

Kejadian stridor inspirasi

trakea, dan bronkus

tiba-tiba pada waktu malam, tanpa inflamasi

Usia

3 bulan – 3 tahun

3 bulan – 3 tahun

Gejala prodromal

Biasanya coryza

Coryza minimal

Secara tiba-tiba, sering

Biasanya progresif dalam

pada waktu malam,

jangka waktu 12 jam

awalnya muncul gejala

sampai 7 hari

Onset

seperti flu ringan, tetapi bangun dengan batuk menggongong dan stridor Simptom

Gejala

Suara serak dan batuk

Suara serak dan batuk

menggongong, tanpa

menggongong, tanpa

disfagi, stridor inspirasi

disfagi, stridor inspirasi

berat

yang minimal sedang

Demam, biasanya 37.8-

Tanpa demam, tanpa

40.5 : biasanya dengan

faringitis, epiglottis normal

faringitis minimal, epiglottis normal Lama sakit Temuan radiologi

2-7 hari

2-4 jam

Penyempitan subglotis

Penyempitan subglotis

pada posterior-anterior,

pada sudut posterior-

densitas jaringan trakea

anterior

irregular pada sudut lateral Predisposisi asma

Tidak ada

Ada

4

Selain klasifikasi secara umum, juga terdapat klasifikasi berdasarkan derajat keparahan batuk atau derajat kegawatan, dikelompokkan menjadi 4 kategori : (5,6) 1.

Ringan: Ditandai dengan kadang-kadang batuk menggonggong, stridor tidak dapat terdengar saat pasien istirahat/tidak beraktivitas atau tidak ada kegiatan dan terdapat retraksi dada ringan.

2.

Moderat/Sedang: Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, Stridor lebih bisa terdengar ketika pasien beristirahat atau tidak aktivitas, retraksi dinding dada yang sedikit terlihat, tetapi tanpa gangguan pernapasan yaitu gawat napas (repiratory distress).

3.

Berat: Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, inspirasi stridor lebih bisa terdengar saat aktivitas pasien atau kurang istirahat, akan tetapi, lebih terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang-kadang disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, juga terdapat gangguan pernapasan.

4.

Gagal napas mengancam: Batuk kadang-kadang tidak jelas, stridor positif (kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), terdapat sedikit gangguan kesadaran (letargi), dan kelesuan.

IV.

EPIDEMIOLOGI Sindrom Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun, dengan

puncaknya pada usia 6 bulan sampai 3 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat terjadi pada anak berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun. (1) Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan musim gugur. (1) Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran pernapasan atas. Hampir 15% pasien sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama. (1)

5

V.

ETIOLOGI Sindrom croup ini dianggap terjadi karena infeksi virus. Nama lain

menggunakan istilah yang lebih luas, untuk menyertakan laringotrakeitis akut, batuk tidak teratur, difteri laring, trakeitis bakteri , laringotrakeo-bronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonitis. Dari macam-macam penyakit tersebut terdapat kondisi yang melibatkan infeksi virus dan umumnya lebih ringan sehubungan dengan simptomatologi, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh infeksi bakteri dan biasanya dengan tingkat keparahan lebih besar. Selain dapat disebabkan virus dan bakteri, sindrom croup juga bisa dikarenakan infeksi jamur yaitu berupa Candida albican. (2)

a) Viral Viral croup / laringotrakeitis akut yang disebabkan oleh Human Parainfluenza Virus terutama tipe 1 (HPIV–1), HPIV-2, HPIV-3, dan HPIV-4 terdapat pada sekitar 75% kasus. Etiologi virus lainnya adalah Influenza A dan B, virus campak , Adenovirus dan Virus pernapasan / Respiratory Syncytial Virus (RSV). Batuk hebat disebabkan oleh kelompok virus yang sama seperti laringotrakeitis akut, tetapi tidak memiliki tanda-tanda infeksi biasa (seperti demam, sakit tenggorokan, dan meningkatkan jumlah sel darah putih). Perawatan, dan respon terhadap pengobatan, juga serupa. (1,2,7)

b) Bakteri Bakteri yang dapat menyebabkan batuk dapat dibagi menjadi beberapa antara lain, difteri laring, trakeitis bakteri, laryngotrakeobronkitis, dan laryngotrakeobronkopneumonitis. Difteri laring disebabkan Corynebacterium diphtheriae

sementara

trakeitis

bakteri,

laryngotrakeobronkitis,

dan

laryngotrakeobronkopneumonitis biasanya karena infeksi virus primer dengan pertumbuhan bakteri sekunder. Sebagian besar bakteri yang umum terlibat adalah Staphylococcus aureus , Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae , Hemophilus influenzae , dan Catarrhalis moraxella.(2)

6

VI.

PATOFISIOLOGI Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena inokulasi

langsung dari sekresi yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi besar terjadi partikel masuk melalui mata atau hidung. infeksi virus di laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis biasanya dimulai dari nasofaring atau orofaring yang turun ke laring dan trakea setelah masa inkubasi 28 hari. Peradangan difus yang menyebabkan eritema dan edema pada dinding mukosa dari saluran pernapasan serta menganggu mobilitas pita suara. Laring adalah bagian tersempit saluran pernafasan atas yang membuatnya sangat mudah untuk terjadinya obstruksi. Penyempitan saluran udara ini menyebabkan bunyi stridor inspirasi dapat didengar, dan pita suara yang edema menyebabkan suara serak. (2) Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan mengakibatkan perbaikan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1 mm akan menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-anak dan 75% pada bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan menyebabkan gangguan mobilitas pita suara. Edema pada daerah subglotis juga dapat menyebabkan gejala sesak napas. (2,5) Selama perlangsungan penyakit, lumen pada trakea menjadi semakin tersumbat dengan eksudat fibrin dan pseudomembran. Pada pemeriksaan histologi pada laring dan trakea menunjukkan adanya edema, dengan infiltrat sel histiosit, limfosit, plasma, dan leukosit polimorfonuklear. (2,5) Penyebaran penyakit dari trakea ke bronkus dan alveoli sehingga menyebabkan

laringotrakeobronkitis

dan

laringotrakeobronkopneumonitis.

Bagaimanapun, obstruksi yang progresif pada tahap ini akan menyebabkan infeksi bakteri sekunder. (2) Pergerakan dinding dada dan juga dinding abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan juga terjadi henti napas. (2)

7

Pada spasmodic croup, gambaran histologi dari jaringan subglotis menunjukkan edema non inflamasi. Ini menunjukkan tidak ada infeksi viral secara langsung pada epitel trakeal, dan obstruksi

yang terjadi disebabkan karena

terjadinya edema non inflamasi pada sub mukosa di trakea subglottic. Walaupun dikatakan

terdapat

hubungan

dengan

virus

yang

sama

menyebabkan

laringotrakeitis, tetapi penyebab terjadi edema secara tiba-tiba masih belum diketahui. Dikatakan penyebab terjadinya spasmodic croup adalah karena reaksi alergi pada antigen virus. (2)

VII.

MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis di awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan

stridor inspirasi. Bila terjadi obstruksi, stridor menjadi semakin berat, tetapi dalam kondisi yang sudah parah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi gejala obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak dan batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas yang makin berat, ditandai dengan takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks dapat ditemukan retraksi supraklavikular, suprasternal, interkostal, epigastrial. (1,2,5) Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi yang berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses penyembuhan terjadi setelah 7-14 hari. (2)

VIII.

DIAGNOSIS Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan derajat stres pernapasan yang diderita. (1,4)

8

Pemeriksaan langsung pada laring pasien croup tidak terlalu diperlukan. Akan

tetapi,

bila

diduga

terdapat

epiglotitis

(serangan

akut,

gawat

napas/respiratory distress, disfagia, drooling), maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan. (1) Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan beratnya sindrom croup adalah Skor Westley. Hal ini terutama digunakan untuk tujuan penelitian, jarang digunakan dalam praktek klinis. Ini adalah jumlah poin yang dipaparkan untuk lima faktor: tingkat kesadaran, cyanosis, stridor, masuknya udara, dan retraksi. Hal-hal yang diberikan untuk setiap faktor terdaftar dalam tabel, dan skor akhir berkisar dari 0 sampai 17 (tabel 2). (1,4,7) 

Skor ≤ 2 diklasifikasikan sebagai croup ringan.



Skor 3-5 diklasifikasikan sebagai croup moderat.



Skor > 6 diklasifikasikan sebagai croup berat.

85% dari anak-anak yang datang ke bagian darurat dengan penyakit ringan, batuk parah sangat jarang (20.000/mm3 yang didominasi PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis. (2) Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna untuk menegakkan diagnosis sindrom croup ini yaitu bisa dengan pemeriksaan radiologis dan CTScan. (8) Pada foto polos leher menunjukkan tanda klasik yaitu steeple sign, dengan penyempitan kolum udara pada daerah subglotis yang terlihat pada foto posterioranterior (AP). Pada hipofaring terlihat gambaran overdistended pada foto lateral. Temuan ini didapatkan pada 50% kasus croup, banyak anak-anak dengan sindrom croup ditemukan hasil radiografi yang normal. (2)

Gambar 1 (a) dan (b): Gambaran normal foto anterior-posterior

Gambar 2 (a) dan (b) Gambaran Sindrom croup foto anterior-posterior

10

Oleh karena laringotrakeitis adalah penyakit saluran pernapasa bagian atas, pertukaran udara di alveolus biasanya normal dan hipoksia serta saturasi oksigen yang rendah tidak dapat terdeteksi sehingga kondisi pasien memberat. Kebanyakan anak-anak dengan laringotrakeitis atau spasmodic croup mempunyai temuan normal pada pulse oximetry. Observasi yang bertahap dan pemeriksaan fisik

yang

sering

masih

menjadi

metode

untuk

memonitoring

akut

laringotrakheitis yang paling akurat. Pulse oxymetry lebih bermanfaat pada pasien laringotrakheobronkitis atau laringotrakheobronkopneumonitis yang melibatkan saluran pernapasan bagian bawah. (2)

X.

DIAGNOSIS BANDING a) Epiglotitis b) Trakeitis Bakteri c) Inhaled foreign body d) Angioedema e) Difteri f) Abses Peritonsilar (4.7)

XI.

PENATALAKSANAAN Tatalaksana utama bagi pasien sindrom croup adalah mengatasi obstruksi

jalan napas. Sebagian besar pasien sindrom croup tidak perlu dirawat di rumah sakit melainkan cukup dirawat dirumah. Pasien dirawat di rumah sakit apabila dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut: anak berusia di bawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas, hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak ada respons terhadap terapi. (9,10,11,12) Terapi inhalasi Sejak abad ke-19, terapi uap telah digunakan untuk mengatasi obstruksi jalan napas pada sindrom croup. Pemakaian uap dingin lebih baik daripada uap

11

panas, karena kulit akan melepuh akibat paparan uap panas. Uap dingin akan melembabkan saluran respiratori, akan inflamasi, mengencerkan lendir pada saluran respiratori, sekaligus memberikan efek yang nyaman dan menenangkan bagi anak. (1,2,10) Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang praktis pada sindrom croup, kelembaban yang ditimbulkan oleh terapi uap dapat pula memperberat keadaan bronkospasme yang disertai dengan asma, seperti laringotrakeobronkitis atau pneumonia. Saat ini beberapa pusat kesehatan tidak merekomendasikan penggunaan terapi uap. (1,2,10) Berdasarkan tiga penelitian yang menggunakan air dingin tersaturasi (coldwater fog) tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaannya untuk mengobati croup menguntungkan. Gina dkk.melakukan penelitian RCT dengan memberikan terapi oksigen lembab (humidified oxygen) pada pasien croup derajat sedang di UGD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan perbaikan klinis antara kelompok yang diberi terapi oksigen lembab dan yang tidak diberikan. (1,2,10)

Epinefrin Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi kadang-kadang

membutuhkan

farmakoterapi.

Nebulisasi

epinefrin

telah

digunakan untuk mengatasi sindrom croup selama hampir 30 tahun, dan pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan trakeostomi hampir tidak diperlukan. (1,2) Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan sindrom croup sedang-berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor yang tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin. (1,2,11) Nebulisasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vascular epitel bronkus dan trakea, memperbaiki edema mukosa laring, dan meningkatkan laju udara pernapasan. Pada penelitian dengan metode double blind, efek terapi

12

nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan bertahan selama dua jam.Epinefrin yang dapat digunakan antara lain adalah sebagai berikut: (2,10,11) 1.

Racemic epinephrine (campuran 1:1 isomer d dan l epinefrin), dengan dosis 0,5 ml larutan racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan dalam 3 ml salin normal. Larutan tersebut diberikan melalui nebulizer selama 20 menit.

2.

L-epinephrine 1:1000 sebanyak 5 ml; diberikan melalui nebulizer. Efek terapi terjadi dalam dua jam

Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar, dan mempunyai sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi dan hipertensi. Nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan pada pasien dengan takikardi dan kelainan jantung seperti Tetralogy Fallot.

Kortikosteroid Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme anti radang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien laringotrakeitis ringan-sedang yang diobati dengan steroid oral atau parenteral dibandingkan dengan plasebo. (2,11)

Deksametason Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/antimuskular sebanyak satu kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak 23 jam setelah pengobatan. Tidak ada penelitian yang menyokong keuntungan penambahan dosis. Keuntungan pemakaian kortikosteroid adalah sebagai berikut: 

Mengurangi rata-rata tindakan intubasi



Mengurangi rata-rata lama rawat inap



Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit.

Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau prednisolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Berdasarkan dua penelitian meta-analisis tentang pemakaian kortikosteroid sistemik, dengan pemberian kortikosteroid 6 dan 12 jam, tetapi tidak sampai 24 jam, disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik. (2,11)

13

Intubasi endotrakeal Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat, yang tidak responsive terapi lain. Intubasi endotrakeal rnerupakan terapi alternative selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan napas. Indikasi melakukan intubasi endotrakeal adalah adanya hiperkarbia dan ancaman gagal napas.Selain itu, intubasi juga diperlukan bila terdapat peningkatan stridor, peningkatan frekuensi napas, peningkatan frekuensi nadi, retraksi dinding dada, sianosis, letargi, atau penurunan kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan untuk jangka waktu yang singkat, yaitu hingga edema laring hilang/teratasi (2,11)

Kombinasi Oksigen-Helium Kombinasi oksigen dan helium (Heliox) digunakan oleh beberapa sentra untuk mengatasi sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak beracun, serta mempunyai densitas dan viskositas yang rendah. Hal ini sangat membantu mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu dengan meningkatkan aliran gas dan mengurangi kerja otot-otot respiratorius. Bila helium dikombinasikan dengan oksigen, maka oksigenasi darah akan meningkat.(2,11) Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien sindrom croup beratakan merasa nyaman dan kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan intubasi. Efek klinis pemberian kombinasi oksigen-helium hampir sama dengan pemberian nebulisasi epinefrin. (2)

Antibiotik Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom croup, kecuali pasien dengan laringotrakeobronkitis atau laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi bakteri. Pasien diberikan terapi empiris sambil menunggu hasil kultur. Terapi awal dapat menggunakan sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3. Pemberian sedative dan dekongestan oral tidak dianjurkan pada pasien sindrom croup. (2) Dibawah ini merupakan Algoritma penatalaksanaan sindrom Croup, sebagai berikut: (10)

14

CROUP Diagnosis banding  Aspirasi benda asing  Abnormalitas kongenital  Epiglotitis

Obstruksi jalan napas yang mengancam jiwa  Sianosis  Penurunan kesadaran

TIDAK

 O2 100% dengan sungkup muka dan nebulisasi adrenalin (5ml) 1:1000  Intubasi anak sesegera mungkin oleh seorang yang berpengalaman  Hubungi pusat rujukan pelayanan kesehatan anak

YA

Croup derajat ringan  Batuk menggonggong  Tanpa retraksi dada  Tanpa sianosis

Croup derajat sedang  Stridor saat istirahat  Terdapat retraksi dinding dada minimal  Mampu berinteraksi

 Edukasi orang tua  Pertimbangkan kortikosteroid dosis tunggal (oral)  Periksa kemampuan orang tua dan kemampuan dalam menyediakan transport

Kortikosteroid deksametason 0,15-0,30 mg/kg atau Prednison 1-2 mg/kg (oral) atau nebulisasi Budesonide 2 mg jika kortikosteroid oral tidak berpengaruh

DIPULANGKAN

OBSERVASI > 4 JAM

Croup derajatberat  Stridor menetap saat istirahat  Trakeal tug dan retraksi dinding dada terlihat jelas  Apatis dan gelisah  Pulsus paradoksus  Minimal handling  O2 4 lpm dan nebulisasi adrenalin dan kortikosteroid sistemik (dosis sama dengan croup derajat sedang)  Intubasi RAWAT RS

Membaik  Dipulangkan bila tidak ada stridor saat istirahat  Edukasi orang tua pasien  Rawat/observasi di IGD  Ulangi pemberian kortikosteroid oral/12 jam  Edukasi ortu pasien  Sediakan penjelasan tertulis untuk dokter umum yang akan follow up

Perbaikan

Sebagian

Tidakmembaik  Evaluasiulang  Rawat  Hubungikonsulen  Evaluasi diagnosis  Nebulisasi adrenalin (dosissama) dan kortikosteroid sistemik (dosissama)  Persiapkan pelayanan untuk 15 tindakan darurat  Pertimbangkan intubasi  Evaluasi diagnosis

XII.

KOMPLIKASI Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media,

dehidrasi, dan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat (7).

XIII.

PROGNOSIS Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang

baik.(7)

16

DAFTAR PUSTAKA

1.

Leung K. C. Alexander, Kellner James D, Johnson David W. Viral Croup : A. Current Perspective. Journal of Pediatric Health Care. 2004;297-300

2.

Malhotra Amisha, Krilov Leonard R. Viral Croup. American Academy of Pediatrics. 2013;1-6

3.

Marx Arthur. Torok Thomas J, Holman Robert C, et al. Pediatric Hospitalizations for Croup (Laringotracheobronchitis): Biennial Increases Associated with Human Parainfluenza Virus 1 Epidemics. The Journal of Infectious Disease. 2013; 1423-427

4.

Bhatt JM. Croup (Laryngotracheobronchitis). Nottingham University Hospitalls. 2012; 1-5

5.

Cherry D. James. Croup. The New England Journal of Medicine. 2008; 384390

6.

Rajapaksa Shabna, Starr Mike. Croup: Assesment and Management. Australian Family Physician. MJA 2010; 280-282

7.

KavanaghSean. Croup. Emis. 2012; 1-6

8.

Defendi Germaine L. Croup Workup. Emedicine.medscape. 2013; 1-5

9.

Defendi

Germaine

L.

Croup

Treatment

&

Management.

Emedicine.medscape. 2013; 1-5 10. Infants and Children : Acute Management of Croup.2nd ed. 2019 11. Croup. Buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. DEPKES dan IDAI. 2009; 104-105

17

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF