lapsus MH
July 27, 2017 | Author: Riri Kumala | Category: N/A
Short Description
Download lapsus MH...
Description
MORBUS HANSEN Laporan Kasus Riri Kumala Sari Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UNRAM/RSUP NTB
PENDAHULUAN Morbus Hansen / kusta termasuk penyakit tertua yang telah dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi.3 Kusta merupakan penyakit granulomatosa kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang sering didapatkan pada anak dan dewasa muda yang menyerang saraf tepi (primer), kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali system saraf pusat.1,5 Saat ini Indonesia masih merupakan salah satu negara penyumbang penyakit kusta terbesar di dunia. Pada tahun 2006, WHO mencatat penderita baru di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbanyak setelah India dan Brazil, yaitu sebanyak 19.695 orang. Sampai sekarang, penyakit kusta masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang cukup besar. Dari peta berikut ini terlihat bahwa Indonesia masih banyak menyimpan kantong-kantong kusta yang kebanyakan berada pada kawasan timur Indonesia.1
Gambar 1. Lokasi distribusi penyakit kusta di Indonesia Gejala klinis pasien kusta sesuai dengan organ tubuh yang diserang. Gejalanya dibagi menjadi gejala kelainan saraf tepi dan gejala pada kulit dan organ lain. Salah satu gejala kusta adalah pembesaran saraf tepi terutama yang
1
dekat dengan permukaan kulit antara lain : n.ulnaris, n.aurikularis agnus, n.peroneus komunis, n.tibialis posterior dan beberapa saraf lain. Gejala kelainan kulit dapat berupa hipopigmentasi ataupun eritematous dengan adanya gangguan sensasi. Gejala lain yang dapat timbul yaitu : facies leonina (gejala infiltrasi yang difus di muka), penebalan cuping telinga, madarosis (penipisan alis mata bagian lateral), dan anestesi simetris pada kedua tangan – kaki (gloves & stocking anesthesia).4 Pemeriksaan fisik yang penting dilakukan pada pasien kusta adalah pemeriksaan kulit dan pemeriksaan saraf tepi. Pada pemeriksaan kulit ditemukan adanya gangguan sensibilitas terhadap suhu, nyeri dan rasa raba pada lesi yang dicurigai. Pemeriksaan saraf tepi dilakukan pada saraf yang berjalan di dekat permukaan kulit. Pada pemeriksaan saraf harus dibandingkan kiri dan kanan dalam hal size (besar), shape (bentuk), texture (serat) dan tenderness (lunaknya).4 Berikut ini merupakan tablel pembagian kusta menurut WHO pada tahun 19813 Tabel 1. Pembagian kusta menurut WHO 1981 1
2
Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB) 1-5 lesi >5 lesi Hipopigmentasi/ Distribusi eritema lebih simetris Distribusi tidak Hilangnya simetris sensasi kurang jelas Hilangnya sensasi yang jelas Kerusakan saraf Hanya satu cabang Banyak (menyebabkan saraf cabang saraf hilangnya sensasi/ kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena Lesi kulit (macula datar, papul yang meninggi, nodus)
Berikut ini dilaporkan satu kasus Morbus Hansen. Pembahasan menekankan pada penegakan diagnosis pasien kusta.
2
KASUS Wanita usia 61 tahun alamat Perum Mataram datang ke Poli Kulit RSUP Mataram karena wajah, pergelangan tangan dan punggung kaki bengkak. Keluhan dirasakan sejak seminggu yang lalu. Pasien merasa tebal dan mati rasa pada daerah yang bengkak. Pada saat awal lesi timbul terasa gatal. Lesi muncul pertama di wajah, lalu muncul di tangan serta di punggung kaki. Pasien pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Pasien menyangkal ketika ditanya tentang riwayat pengobatan kusta sebelumnya. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes mellitus. Pada keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal yang serupa. Sebelum ke poli kulit RSUP pasien pernah berobat ke dokter dan diberikan methylprednisolone, salep dan captopril. Pada pemeriksaan ditemukan makula eritematosa sebanyak 6 dengan lesi tidak simetris meliputi di pipi kiri, lengan atas kiri, siku kiri, pergelangan tangan kiri, lutut kanan dan punggung kaki kiri. Pada pemeriksaan sensibilitas suhu panas dan dingin pasien tidak dapat membedakan keduanya. Pada pemeriksaan sentuhan dengan kapas yang dipilin didapatkan hasil pasien masih dapat merasakan sensasi pada bagian lesi. Pada alis terdapat madarosis. Tidak terdapat pembesaran pada saraf tepi dan terjadi penurunan kekuatan dari otot palpebral ocular sinistra (pasien tidak dapat menutup mata kiri dengan sempurna). Berdasarkan kasus diatas, diagnosa yang paling mungkin adalah Morbus Hansen / kusta. Namun, terdapat beberapa diagnosis banding yaitu angioedema, erysipelas, tinea corporis dan psoriasis. Perbedaan diagnosis banding ini akan dibahas pada pembahasan. Pada kusta juga dikenal istilah reaksi kusta yaitu episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi imunologis tubuh melawan bakteri yang sudah mati.2,4 Reaksi kusta dibagi menjadi 2 tipe yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan reaksi tipe 2 (Eritema Nodosum LeprosumENL).2 Reaksi tipe 1 merupakan respon hipersensitivitas tipe IV (Coombs & Gel) yang dapat terjadi pada semua tipe MH, sering terjadi pada tipe borderline. Pada
3
reaksi ini terjadi peningkatan aktivitas Cell Mediated Immunity (CMI) melawan basil kuman yang mati. Sering terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan pasien. Lesi kulit berupa eritematosa, pembengkakan, tenderness pada kulit dengan gangguan sensorik / motorik. Reaksi ini juga didahului dengan gejala konstitusional.2 Reaksi tipe 2 terjadi pada MH tipe MB. Selama pengobatan MH, basil kuman terbunuh dan antigen dilepas. Antigen ini bergabung dengan antibody yang ada pada jaringan dan darah menghasilkan kompleks antigen-antibodi yang mengaktivasi system komplemen yang akan mengakibatkan reaksi tipe III (Coombs & Gel). Kompleks imun terdeposit dalam berbagai jaringan mengakibatkan inflamasi. Organ vital yang dapat terlibat meliputi mata, testis, ginjal, liver, saraf, endocardium dan sendi. 2 Hampir semua kasus deformitas dan disabilitas yang terjadi disebabkan oleh reaksi kusta, meskipun keterlambatan diagnosis dan terapi juga meningkatkan risiko untuk terjadinya kerusakan saraf. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien makan perlu dilakukan diagnosis dini kusta, pemberian terapi yang cepat dan tepat serta mengenali gejala dan tanda reaksi. Berikut ini merupakan klasifikasi tingkat kecacatan pada pasien kusta. 3 Tabel 2. Klasifikasi kecacatan pada kusta3 Cacat pada tangan dan kaki Tingkat 0
Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 1
Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 2
Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata Tingkat 0
Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan penglihatan
4
Tingkat 1
Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter)
Tingkat 2
Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60, tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter)
Kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi, absorpsi, mutilasi, kontraktur, sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea, iridosiklitis dan lagoftalmus.
Pada pasien ini kecurigaan mengarah bahwa pasien mengalami reaksi tipe 1 yaitu reaksi reversal berdasarkan dari effloresensi kulit yang ditemukan yaitu makula eritematosa, pembengkakan dan gangguan saraf. Pada pasien ini terdapat lagoftalmos dengan klasifikasi derajad kecacatan tingkat 1. Pada pasien ini kemudian dilakukan pemeriksaan BTA pada kerokan lesi kulit dan cuping telinga untuk lebih mendukung diagnosa lepra. Hasil pemeriksaan didapatkan hasil BTA negatif.
Gambar 2. Lesi pergelangan tangan
Gambar 3. Lesi pergelangan kaki
5
Gambar 4. Lesi pada wajah, terdapat madarosis Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien kami diagnosa dengan Morbus Hansen tipe MB dengan reaksi tipe 1 dan cacat tingkat 1. Pengobatan pada kusta didasarkan pada 2 hal yaitu pengobatan terhadap infeksi dan pengobatan terhadap reaksi kusta yang dialami. Untuk pengobatan reaksi diberikan rifampisin, dapson dan clofazimine, sedangkan untuk pengobatan reaksi diberikan prednisolone. PEMBAHASAN Pada kasus ini, diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan tebal dan mati rasa pada daerah wajah, pergelangan tangan dan punggung kaki. Pasien kami curigai kusta karena kusta terutama menyerang saraf tepi yang mengakibatkan terjadinya keluhan tebal dan mati rasa pada daerah yang diinervasi pada saraf yang diserang kuman. Berikut ini merupakan pathogenesis terjadinya kerusakan saraf pada pasien kusta.
6
Gambar 5. Patogenesis kusta Berhubung terdapat gejala keterlibatan saraf maka diagnosa kerja sementara kami adalah Morbus Hansen dengan beberapa diagnosis banding yaitu angioedema, erysipelas, tinea corporis dan psoriasis. Angioedema adalah salah satu reaksi alergi yang bersifat sistemik. Terjadi pembengkakan pada saluran nafas, tidak hanya di wajah. Lesi biasanya gatal dan sangat nyeri, sedangkan pada kusta lesi biasanya disertai dengan anesthesia / hipoestesia. Selain angioedema, effloresensi erysipelas juga mirip dengan reaksi kusta yaitu berupa eritema lokal berbatas jelas, tepi meninggi dan teraba hangat, hanya saja pada erysipelas lesi terasa sangat nyeri sedangkan pada kusta lesi anestesi / hipoestesia.3,4,5 Tinea korporis yang disebabkan oleh Epidermophyton floccosum atau T. rubrum memiliki gejala objektif yang hampir serupa dengan reaksi reversal yaitu makula hiperpigmentasi dengan tepi yang lebih aktif. Pada tepi lesi tinea korporis dijumpai papula-papula eritematous atau vesikel. Pada perjalanan penyakit yang kronik dapat dijumpai likenafikasi. Sedangkan gejala subjektif pada tinea korporis ialah keluhan gatal. Tinea korporis lebih sering bermanifestasi pada daerah wajah, anggota gerak atas dan bawah, dada dan punggung. Pemeriksaan laboratorium
7
yang dapat dilakukan adalah kerokan kulit dengan KOH 10% dijumpai hifa panjang bersepta dan spora di luar hifa. 3,4,5 Psoriasis yang penyebabnya masih tidak diketahui, sifat effloresensinya mirip denngan reaksi reversal yaitu makula eritematosa yang besarnya bervariasi dari miliar sampai numular yang menyebar secara sentrifugal. Makula ini berbatas tegas, ditutupi oleh skuama kasar berwarna putih mengkilat. Jika skuama digores dengan benda tajam menunjukkan tanda tetesan lilin. Pada psoriasis terdapat 2 fenomena Koebner dan Auspitz. Predileksi penyakit ini biasa pada siku, lutut, kulit kepala, telapak kaki dan lengan punggung, tungkai atas dan bawah serta kuku. 3,4,5 Reaksi reversal harus dibedakan dengan timbulnya relaps dari perjalanan penyakit kusta, tinea corporis dan psoriasis. Pada reaksi reversal biasanya muncul selama pengobatan atau dalam jangka waktu 6 bulan setelah penghentian pengobatan. Timbul gejala mendadak, dapat disertai demam. Lesi berupa lesi lama dimana lesi tersebut menjadi eritema pada pinggirnya dan sebagian lesi eritema dan infiltrat, jarang muncul lesi baru. Pada fase penyembuhan terjadi deskuamasi. Pengobatan dengan steroid sangat efektif. Pada reaksi ini terjadi keterlibatan banyak saraf dapat disertai dengan nyeri tekan dan gangguan motorik. 3,4,5
Relaps biasanya muncul setelah pengobatan dihentikan, umumnya setelah 1 tahun. Gejala timbul perlahan-lahan, tidak pernah disertai demam. Muncul lesi baru. Pada penyembuha relaps tidak terjadi deskuamasi. Pengobatan steroid tidak jelas efeknya. Pada relaps biasanya hanya terlibat 1 saraf dan gangguan motorik muncul perlahan-lahan. 3,4,5 Keluhan utama pasien adalah wajah, pergelangan tangan dan punggung kaki bengkak. Keluhan dirasakan sejak seminggu yang lalu. Hal ini merupakan proses akut dari penyakit yang kronis karena sebelumnya pasien sudah terdapat bercak pada kulit, hanya saja seminggu yang lalu pasien mengeluh tebal dan mati rasa pada daerah yang bengkak. Fase akut ini kemungkinan adalah suatu reaksi dari kusta. Reaksi kusta yang menimbulkan manifestasi seperti pada kasus ini
8
adalah reaksi tipe 1. Dengan adanya kecurigaan yang lebih mengarah ke kusta maka dilakukan pemeriksaan fisik yang lebih mengarah ke pemeriksaan kusta yaitu pemeriksaan dermatologis, saraf tepi, sensasi panas dan dingin serta sensasi raba. 3,4,5 Pemeriksaan fisik selanjutnya dilakukan untuk lebih meyakinkan diagnosis kerja kusta dan menyingkirkan diagnosis banding diatas. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan dermatologi, saraf tepi, sensasi raba serta sensasi suhu panas dan dingin. Pada pemeriksaan dermatologis didapatkan makula eritematosa sebanyak 6 lesi dengan susnan yang tidak simetris meliputi di pipi kiri, lengan atas kiri, siku kiri, pergelangan tangan kiri, lutut kanan dan punggung kaki kiri. Dari susunannya didapatkan gambaran lesi yang tidak simetris antara kiri dan kanan, yang dapat lebih mengarah ke MH tipe PB. Namun perlu diperhatikan jumlah dari lesi adalah 6 buah lesi yang lebih mengarah ke kusta tipe PB. Pada pemeriksaan sensibilitas suhu panas dan dingin pasien tidak dapat membedakan keduanya. Hal ini mendukung diagnosis kusta dan kemungkinan adanya kerusakan saraf tepi. Pada pemeriksaan sentuhan dengan kapas yang dipilin didapatkan hasil pasien masih dapat merasakan sensasi pada bagian lesi. Pada alis terdapat madarosis yang merupakan salah satu tanda dari kusta. Pada pasien tidak tampak pembesaran pada saraf tepi dan terdapat penurunan kekuatan dari otot palpebral ocular sinistra (pasien tidak dapat menutup mata kiri dengan sempurna). Adanya gangguan dari otot palpebral ocular sinistra menunjukkan pasien telah mengalami kecacatan derajad 1. Pemeriksaan penunjang BTA kerokan lesi dan cuping telinga kemudian dilakukan untuk menunjang diagnosis. Dari pemeriksaan didapatkan hasil BTA negatif. Hasil negatif ini tidak menyingkirkan diagnosis kusta karena pada beberapa tipe kusta memang tidak menunjukkan positif BTA dari pemeriksaan. Diagnosis pasti kusta memerlukan satu dari dua kriteria berikut yaitu : adanya gangguan saraf perifer atau hasil pemeriksaan kerokan jaringan menunjukkan BTA (+). Sampai saat ini belum ada tes yang dapat membuktikan pasien tidak mengalami kusta.4 Pada pasien ini, terdapat 1 dari 2 kriteria diagnosis pasti kusta
9
yaitu adanya gangguan sensibilitas suhu dan lagoftalmos yang menunjukkan gangguan saraf perifer, maka pasien didiagnosis kusta, meskipun pada pemeriksaan kerokan telinga didapatkan hasil negatif. Pada pasien ini ditemukan jumlah total 6 lesi di seluruh tubuh, jadi meskipun pasien BTA (-), diagnosis pasien adalah MH tipe MB. Karena pada lesi dirasakan panas dan lesi berwarna kemerahan yang mengindikasikan terjadinya reaksi kusta, maka diagnosis akhir pasien ini adalah MH tipe MB dengan reaksi tipe I (reaksi reversal) dan cacat derajad 1.4 Terdapat 2 tujuan terapi pada pasien ini yaitu untuk membunuh kuman lepra (terapi untuk infeksi) dan terapi untuk reaksi yang dialami pasien. Pada pasien ini terapi infeksi akan diberikan pengobatan MH multibasilar dan dirujuk ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan pengobatan kusta, sedangkan pengobatan reaksi kusta diberikan di poli kulit. Pada terapi infeksi pasien ini diberikan 3 regimen obat, yaitu rifampin, dapsone dan clofazimine. Pertimbangan pemberian ketiga obat ini adalah rifampin yang bersifat bakterisidal diharapkan akan membunuh semua bakteri M. leprae termasuk bakteri yang resisten terhadap dapsone, dapsone (bakteriostatik) akan secara berkala akan membunuh bakteri M. leprae, termasuk yang resisten terhadap rifampin, clofazimine (bakterisidal lemah, dominan bakteriostatik), ditambahkan untuk mengurangi risiko resistensi dapsone primer. Pengobatan infeksi pada pasien ini mengikuti rekomendasi dari WHO dan regimen pengobatannya terlihat pada gambar 6.2
Gambar 6. Paket regimen obat kusta
10
Dosis awal dari pengobatan meliputi pemberian rifampisin, clofazimine dan dapson seperti yang terlihat pada gambar 4 diberikan sekali dalam satu bulan pada hari pertama dalam bulan tersebut langsung di depan petugas medis (pengawasan langsung), kemudian dosis harian dapson dan clofazimine diminum selama 27 hari berikutnya. 12 siklus pengobatan ini harus diselesaikan dalam ≤ 9 bulan. Berikut ini adalah dosis regimen obat kusta rekomendasi WHO : 2 Tabel 3. Rekomendasi terapi untuk lepra
Pada pasien ini terjadi reaksi tipe I maka diberikan terapi untuk reaksi tersebut, yaitu dengan memberikan prednisolone peroral dimulai dengan dosis 1 mg/kg/hari single dose pada pagi hari setelah sarapan. Setelah reaksi dapat dikontrol, prednisolone kemudian di tapering hingga dosis 20 mg/ hari, kemudian tappering selanjutnya hingga 5mg/ hari.2 RINGKASAN Telah dilaporkan satu kasus Morbus Hansen tipe MB dengan reaksi tipe 1 derajad kecacatan tingkat 1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien dirujuk ke puskesmas untuk mendapat pengobatan kusta. Pasien juga mendapat pengobatan untuk reaksi reversal yang dialaminya. Pasien diberikan prednisolone untuk terapi reaksi kusta yang dialaminya.
11
Daftar Pustaka 1. DepKes RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2006. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta. 2. Directorate General of Health Services Ministry of Health & Family Welfare. 2009. Training Manual for Medical Officers. Nirman Bhawan : New Delhi. 3. Djuanda, Adi et al, 2008. Ilmu Penyakit kulit dan kelamin Edisi Kelima Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 4. Rosita, Cita et al, 2004. Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 5. Wolff, Klaus., et al. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine 7th Edition. McGraw-Hill Companies : USA
12
View more...
Comments