Lapsus Anak SNA
November 8, 2017 | Author: Anonymous OpBDwIf | Category: N/A
Short Description
lapsus anak...
Description
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
LAPORAN KASUS SEPTEMBER 2016
SINDROM NEFRITIK AKUT
Oleh : NURUL EKAWATY AZIS 10542 0316 11
Pembimbing : Dr. SYAMSUL NUR, Sp. A
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2016
1
BAB I PENDAHULUAN
Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan suatu kumpulan gejala klinik berupa proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oligouria, dan hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara akut.1 Istilah SNA sering digunakan bergantian dengan Glomerulonefritis Akut (GNA). GNA ini adalah suatu istilah yang sifatnya lebih umum dan lebih menggambarkan proses histopatologi berupa proliferasi dan inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik. Jadi, SNA merupakan istilah yang bersifat klinik dan GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik.1 Berbagai penyakit atau keadaan yang digolongkan ke dalam SNA antara lain: 1 •
Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
•
Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria: -
Glomerulonefritis fokal Nefritis heriditer (sindrom Alport) Nefropati Ig-A Ig-G (Maladie de Berger) Benign recurrent hematuria
•
Glomerulonefritis progresif cepat
•
Penyakit-penyakit sistemik: -
Purpura Henoch-Schoenlein (HSP) Lupus erythematosus sistemik (SLE) Endokarditis bakterial subakut (SBE)
Salah satu bentuk glomerulonefritis akut (GNA) yang banyak dijumpai pada anak adalah glomerulonephritis akut pasca streptokokus (GNAPS). GNAPS dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 6–7 tahun. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5 – 15 tahun dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio ♂ : ♀ = 1, 34 : 1. 1 Angka kejadian GNAPS sukar ditentukan mengingat bentuk asimtomatik lebih banyak dijumpai daripada bentuk simtomatik. Di negara maju, insiden GNAPS berkurang akibat sanitasi yang lebih baik, pengobatan dini penyakit infeksi, sedangkan di negara sedang berkembang insiden GNAPS masih banyak dijumpai. Di Indonesia & Kashmir, GNAPS lebih banyak ditemukan pada golongan sosial ekonomi rendah, masing – masing 68,9% & 66,9%.1 BAB II 2
LAPORAN KASUS 1. IDENTITAS PASIEN Nama
: Restu Langit
Umur
: 5 tahun
Tanggal lahir
: 15 Agustus 2011
Jenis Kelamin
: Laki-laki
No. RM
: 447509
Alamat
: Maccini Kondo
Agama
: Islam
MRS
: 5 September 2016
2. ANAMNESIS Seorang anak laki-laki berumur 5 tahun, masuk rumah sakit (MRS) Syekh Yusuf pada tanggal 5 September 2016, dengan keluhan bengkak pada kelopak mata, wajah, perut terutama pada pagi hari saat bangun tidur sejak ± 4 hari yang lalu. Selain itu pasien juga mengeluh sempat demam sebelumnya kemudian minum obat dari Puskesmas. Sehari setelah demam pasien mengeluh batuk (+), flu dan sakit perut. Sesak (-), muntah (-). Buang air besar (BAB) pasien biasa. Buang air kecil berwarna coklat seperti teh. Nafsu makan dan minum baik. 3. PEMERIKSAAN FISIS 1. Status Present K.U BB TB
: sakit sedang/gizi baik /sadar : 18 kg : 99 cm
2. Tanda Vital Suhu Nadi Pernapasan TD
: 36.9° C : 104 kali : 28 kali : 110/60 mmHg
3. Status Generalis
3
Anemia (-) Telinga : otore (-) Cyanosis (-) Mata : edema palpebra Tonus : Normal Hidung : Rhinore (-) Ikterus (-) Bibir : kering (-) Turgor : Baik Lidah : kotor (-) Busung (-) Sel. Mulut : stomatitis (-) Kepala : Kesan Normal Leher : Kaku kuduk (-) Muka : Moon Face Kulit : Scar BCG (+) Rambut : hitam halus, tidak mudah di Tenggorok : hiperemis (-) Tonsil : T1/T1 hiperemis (-) cabut Ubun ubun besar: menutup (+) Thorax Inspeksi : Simetris kiri dan kanan Retraksi dinding dada (-) Perkusi: Sonor kiri dan kanan Auskultasi Bunyi Pernapasan : vesikuler Bunyi tambahan: Rh -/- Whz -/-
Abdomen Inspeksi : Cembung, ikut gerak napas Massa tumor (-) Palpasi : Limpa : tidak teraba Hati : tidak teraba Nyeri tekan (-) Perkusi : Tympani (+) Auskultasi Peristaltik kesan normal
Jantung Inspeksi: Simetris kanan=kiri Palpasi : Ictus cordis tidak teraba Perkusi : Batas kiri : linea midclavicularis sinistra Batas kanan : line parasternalis dextra Batas atas ICS III sinistra Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II irregular Bising jantung (-) Alat kelamin : Dalam batas normal Anggota gerak : Edema pretibial Tasbeh (-) Col. Vertebralis : scoliosis (-) Gibbus (-) KPR : +/+ kesan normal APR : +/+ kesan normal
4. DIAGNOSIS Diagnosa kerja: Sindroma Nefritik Akut (SNA)
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG 4
Pemeriksaan Laboratorium a. Darah Rutin
RBC HGB HCT PLT WBC
18/08/2015 3.82 x 106/mm3 10.2 g/dL 30 % 359 x 103/mm3 17.3 x 103/mm3
b. Urine lengkap LEU : 1+ NIT : Negative URO : Normal PROT : 2+ PH :5 BLO : 3+ SG : 1,025 KET : Negatif BIL : Negatif GLU : Negatif
c. Ureum, Kreatinin, Kolesterol total, Albumin Ureum : 21 mg/dl Kreatinin : 0,5 mg/dl Albumin : 4,2 gr/dl Kolesterol Total : 139 mg/dl Trigliserida : 169 mg/dl
FOLLOW UP Tanggal 05/09/2016
Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter S : Pasien masuk rumah sakit dengan IVFD RL 500 cc/24 jam keluhan bengkak pada kelopak mata Cefotaxim 800 mg / 12 dan wajah dan perut sejak ± 4 hari 5
yang lalu. Awalnya bengkak pada jam wajah lalu perut. Selain itu pasien juga Periksa DR, Ureum, mengeluh sakit perut, batuk sekali-kali kolesterol total, albumin, dan flu, demam (-). kreatinin. Riwayat batuk dan pilek ± 2 minggu lalu. Selera makan= baik Selera minum= baik BAB= biasa BAK= kurang, berwarna coklat seperti teh
06/09/2016
07/09/2016
O: TD= 110/60 mmHg; N=100x/mnt; P= 28x/mnt; S=36,9oC Paru = Bp: vesikuler Bt: Rh-/-, Wh -/Cv = BJ I/II murni regular, bising (-) Abd = peristaltik (+), Ascites (+) Met = udem palpebra (+), moon face S : deman (-), Bengkak pada wajah (+), sakit perut (+), batuk sesekali, flu (-) Selera makan: baik, Selera minum : baik. BAB: 2 hari ini belum BAK: kurang, berwarna coklat seperti teh pekat O : TD= 120/80 mmHg; N=102x/mnt; P=28x/mnt; S=36,5oC Paru = Bp: vesikuler Bt: Rh-/-, Wh -/Cv = BJ I/II murni regular, bising (-) Abd = peristaltik (+), Ascites (+) Met = udem palpebra (+), moon face S: Bengkak pada wajah (+), demam-, batuk(-), flu(-), sakit perut(+) Selera makan: baik, Selera minum: baik BAB: Biasa BAK: masih berwarna coklat seperti teh pekat. ±700cc O : TD= 120/90 mmHg; N=88x/mnt; P=27x/mnt; S=37oC Paru = Bp: vesikuler Bt: Rh-/-, Wh -/Cv = BJ I/II murni regular, bising (-) Abd = peristaltik (+), Ascites (+) 6
IVFD 500 cc/24 jam Cefotaxim 800mg/12 jam/IV B com 2x1 tab Vit.Z 2x1 tab Tirah baring Anjuran: Tampung urin/24jam
IVFD 500 cc/ 24 jam Cefotaxim 800mg/12 jam/ IV B com 2x1 tab Vit.Z 2x1 tab Tirah baring Anjuran: Tampung urin/24jam
08/09/2016
Met = udem palpebra (+), moon face S : Bengkak pada wajah (-), demam(-), batuk (-), muntah (+) Selera makan: makan Selera minum: baik BAB: baik BAK: masih berwarna coklat seperti teh pekat. ±750cc
Stop injeksi Cefadroxil 2x250 mg B com 2x1 tab Vit.Z 2x1 tab Boleh Pulang Kontrol di poli anak 1 minggu kemudian.
O: TD= 110/80 mmHg; N=80x/mnt; P=20 x/mnt; S=36,3oC Paru = Bp: vesikuler Bt: Rh-/-, Wh -/Cv = BJ I/II murni regular, bising (-) Abd = peristaltik (+), Ascites (-) Met = udem palpebra(-), moon face (-)
RESUME: Seorang anak laki-laki berumur 5 tahun, masuk rumah sakit (MRS) RSUD Syekh Yusuf pada tanggal 05 September 2016, dengan keluhan bengkak pada kelopak mata, wajah dan perut sejak ± 4 hari yang lalu. Sebelumnya pasien mengeluh demam mendapatkan obat 7
dari Puskesmas. Setelah itu pasien mengeluh batuk berdahak dan pilek. Buang air besar (BAB) pasien biasa. Buang air kecil berwarna coklat seperti teh. Nafsu makan dan minum baik. Dari pemeriksaan fisis didapatkan gambaran umum : SS/GB/Sadar. Tanda vital: TD = 110/60 mmHg, nadi: 104x/menit, pernapasan: 28x/menit, suhu: 36.90C. Pada pemeriksaan kepala ditemukan bengkak pada wajah, edema palpebra. Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan kesan perut ascites dan peristaltik (+) kesan normal. Pada pemeriksaan extremitas tidak ditemukan edema. Dari hasil pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah rutin didapatkan RBC : 3.82 x 106/mm3 . HGB : 10.2 g/dL, HCT : 30.4 %, PLT: 359.000, WBC: 17.3 x 103/mm3 . Pada pemeriksaan Urine Lengkap didapatkan LEU: positif 1, NIT : Negative, URO : normal, PRO: positif 2, PH: 5.0, BLD: 3+, SG: 1,025, KET : Negative, BIL : Negative, GLU: Negative.
BAB III PEMBAHASAN
A. DEFINISI 8
Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan suatu kumpulan gejala klinik berupa proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oligouria, dan hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara akut.1. SNA merupakan salah satu manifestasi klinis Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS), dimana terjadi suatu proses inflamasi pada tubulus dan glomerulus ginjal yang terjadi setelah adanya suatu infeksi streptokokus pada seseorang.2 B. EPIDEMIOLOGI Sindrom nefritik akut pasca infeksi streptokokus dengan gejala klinis yang jelas termasuk penyakit dengan insiden yang tidak terlalu tinggi, sekitar 1 : 10.000. Sindrom nefritik akut pasca infeksi streptokokus tanpa gejala insidennya mencapai jumlah 4 - 5 kali lebih banyak.3 Diperkiraan kejadian penyakit ini di seluruh dunia adalah sekitar 472.000 kasusu/tahun dengan 404.000 dilaporkan terjadi pada anak-anak, dan 456.000 kasus ditemukan di negara-negara berkembang.3 GNAPS dapat muncul secara sporadik maupun epidemik terutama menyerang anakanak atau dewasa muda pada usia sekitar 4 -12 tahun dengan puncak usia 5 -6 tahun. Lebih sering pada laki-laki dari pada wanita dengan rasio 2:1.5 Di Indonesia, penelitian multisenter selama 12 bulan pada tahun 1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan, terbanyak di Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak usia 6-8 tahun (40,6%).4 C. ETIOLOGI Etiologi dari SNA sangat banyak antara lain 1) Faktor Infeksi: GNAPS, Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain misal endokarditis bakterialis subakut. 2) Penyakit multisistemik antara lain : Lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch Schnolein, vaskulitis, 3) Penyakit Ginjal Primer : Nefropati IgA, nefritis herediter (Sindrom Alport).2 Pada anak GNAPS paling sering disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus group A tipe nefritogenik. Tipe antigen protein M berkaitan erat dengan tipe nefritogenik. Serotipe streptokokus beta hemolitik yang paling sering dihubungkan dengan glomerulonefritis akut (GNA) yang didahului faringitis adalah tipe 12, tetapi kadang9
kadang juga tipe 1,4 ,6 dan 25. Tipe 49 paling sering dijumpai pada glomerulonefritis yang didahului infeksi kulit/pioderma, walaupun jalur 53,55,56,57 dan 58 dapat berimplikasi. Protein streptokokus jalur nefritogenik yang merupakan antigen antara lain endostreptosin, antigen presorbing (PA-Ag), nephritic strain-associated protein (NSAP) yang dikenal sebagai streptokinase dan nephritic plasmin binding protein (NPBP).4 GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang pada usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma.1 Penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar 31,6%.1 D. PATOGENESIS Mekanisme dari pathogenesis terjadinya jejas glomerulus pada GNAPS sampai sekarang belum diketahui, meskipun telah diduga terdapat sejumlah faktor host dan faktor kuman streptokokus yang berhubungan dalam terjadinya GNAPS.3,5 Faktor host Penderita yang terserang infeksi kuman streptokokus grup A strain nefritogenik, hanya 10-15% yang berkembang menjadi GNAPS, mengapa hal ini demikian masih belum dapat diterangkan, tetapi diduga beberapa faktor ikut berperan.3 GNAPS menyerang semua kelompok umur dimana kelompok umur 5-15 tahun (di Indonesia antara umur 2.5 – 15 tahun, dengan puncak umur 8.4 tahun) merupakan kelompok umur tersering dan paling jarang pada bayi. Anak laki-laki menderita 2 kali lebih sering dibandingkan anak wanita. Rasio anak laki-laki dibanding anak wanita adalah 76.4%:58.2% atau 1.3:1. GNAPS lebih sering dijumpai di daerah tropis dan biasanya menyerang anak-anak dari golongan ekonomi rendah. Di Indonesia 68.9% berasal dari keluaga sosial ekonomi rendah dan 82% dari keluarga berpendidikan rendah. Keadaan lingkungan yang padat, higiene sanitasi yang jelek, malnutrisi, anemia, dan infestasi parasit, merupakan faktor risiko untuk GNAPS, meskipun kadang-kadang outbreaks juga terjadi dinegara maju. Faktor genetik juga berperan, misalnya alleles HLA-DRW4, HLA-DPA1 dan HLA-DPB1 paling sering terserang GNAPS. Faktor kuman streptokokus
10
Proses GNAPS dimulai ketika kuman streptokokus sebagai antigen masuk kedalam tubuh penderita, yang rentan, kemudian tubuh memberikan respon dengan membentuk antibodi. Bagian mana dari kuman streptokokus yang bersifat antigen masih belum diketahui. Beberapa penelitian pada model binatang dan penderita GNAPS menduga yang bersifat antigenik adalah: M protein, endostreptosin, cationic protein, Exo-toxin B, nephritis plasmin-binding protein dan streptokinase. Kemungkinan besar lebih dari satu antigen yang terlibat dalam proses ini, barangkali pada stadium jejas ginjal yang berbeda dimungkinkan akibat antigen M protein dan streptokinase. Protein M adalah suatu alphahelical coiled-coil dimer yang terlihat sebagai rambut-rambut pada permukaan kuman. Protein M menentukan apakah strain kuman tersebut bersifat rematogenik atau nefritogenik. Strain nefritogenik dibagi menjadi serotype yang berkaitan dengan faringitis (M 1, 4, 12, 25) dan serotipe infeksi kulit (M 2, 42, 49, 56, 57, 60). Streptokinase adalah protein yang disekresikan oleh kuman streptokokus, terlibat dalam penyebaran kuman dalam jaringan karena mempunyai kemampuan memecah plasminogen menjadi plasmin. Streptokinase merupakan prasarat terjadinya nefritis pada GNAPS. Saat ini penelitian lebih menitikberatkan terhadap protein M yang terdapat pada streptokokus sebagai tipe nefritogenik yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus. Selain itu penelitianpenelitian terakhir menemukan adanya dua fraksi antigen, yaitu nephritis associated plasmin receptor (NAPlr) yang diidentifikasi sebagal glyceraldehide 3-phosphate dehydrogenase (GAPDH) dan streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB) sebagai fraksi yang menyebabkan infeksi nefritogenik. NAPlr dan SPEB didapatkan pada biopsi ginjal dini dan menyebabkan terjadinya respon antibodi di glomerulus. Penelitian terbaru pada pasien GNAPS memperlihatkan deposit SPEB di glomerulus lebih sering terjadi daripada deposit NAPlr. Mekanisme terjadinya jejas renal pada GNAPS GNAPS adalah suatu penyakit imunologik akibat reaksi antigen-antibodi yang terjadi dalam sirkulasi atau in situ dalam glomerulus. Mekanisme terjadinya inflamasi yang mengakibatkan terjadinya jejas renal didahului oleh proses sebagai berikut: 1. Terbentuknya plasmin sebagai akibat pemecahan plasminogen oleh streptokinase yang akan menaktivasi reaksi kaskade komplemen. 2. Terperangkapnya kompleks Ag-Ab yang sudah terbentuk sebelumnya kedalam glomerulus. 11
3. Antibodi antistreptokokus yang telah terbentuk sebelumnya berikatan dengan molekul tiruan (molecul mimicry) dari protein renal yang menyerupai Ag Streptokokus (jaringan glomerulus yang normal yang bersifat autoantigen). Proses terjadinya jejas renal pada GNAPS diterangkan pada gambar dibawah ini:
Gambar 1. Mekanisme imunopatogenik GNAPS5 Sistem imun humoral dan kaskade komplemen akan aktif bekerja apabila terdapat deposit subepitel C3 dan IgG dalam membran basal glomerulus. Kadar C3 dan C5 yang rendah dan kadar komplemen jalur klasik (C1q, C2 dan C4) yang normal menunjukkan bahwa aktivasi komplemen melalui jalur alternatif. Deposisi IgG terjadi pada fase berikutnya yang diduga oleh karena Ab bebas berikatan dengan komponen kapiler glomerulus, membran basal atau terhadap Ag Streptokokus yang terperangkap dalam glomerulus. Aktivasi C3 glomerulus memicu aktivasi monosit dan netrofil. Infiltrat inflamasi tersebut secara histologik terlihat sebagai glomerulonefritis eksudatif. Produksi sitokin oleh sel inflamasi memperparah jejas glomerulus. Hiperselularitas mesangium dipacu oleh proliferasi sel glomerulus akibat induksi oleh mitogen lokal. Mekanisme cell-mediated turut terlibat dalam pembentukan GNAPS. Infiltrasi glomerulus oleh sel limfosit dan makrofag, telah lama diketahui berperan dalam menyebabkan GNAPS. Intercellular leukocyte adhesion molecules seperti ICAM-I dan LFA terdapat dalam jumlah yang banyak di glomerulus dan tubulointersisial dan 12
berhubungan dengan intensitas infiltrasi dan inflamasi. Hipotesis lain yang sering disebut adalah adanya neuraminidase yang dihasilkan oleh Streptokokus, mengubah IgG menjadi autoantigenic sehingga terbentuk autoantibodi terhadap IgG itu sendiri. Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik pada mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponen komplomen seperti C3, C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Hasil penelitian-penelitian pada binatang dan penderita GNAPS menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab, diantaranya sebagai berikut: 1. Terperangkapnya kompleks antigen-antibodi dalam glomerulus yang kemudian akan merusaknya. 2. Proses auto-imun kuman Streptokokus yang bersifat nefritogenik dalam tubuh menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus. 3. Streptokokus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana basalis glomerulus. Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang dideposit. Bila deposit pada mesangium respon mungkin minimal, atau dapat terjadi perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapat meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis, serta menghambat fungsi filtrasi glomerulus. Jika kompleks terutama terletak di subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus deposit komplek imun di subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur-angsur menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis glomerulus. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Komplekskompleks kecil cenderung menembus membran basalis kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler di bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke dalam mesangium. 13
E. MANIFESTASI KLINIS Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik. GNAPS simtomatik1,6 1. Periode laten : Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 12 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus
dipikirkan
kemungkinan
penyakit
lain,
seperti
eksaserbasi
dari
glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schöenlein atau Benign recurrent haematuria. 2. Edema : Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik. Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan. Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula. 14
3. Hematuria Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS, sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%, sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%. Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik. 4. Hipertensi : Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Albar mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang- kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi berkisar 450%. 5. Oliguria Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria
15
yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek. 6. Gejala Kardiovaskular : Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia. a. Edema paru Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama dan
kadang-kadang
bersifat
fatal.
Gambaran
klinik
ini
menyerupai
bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,585,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologik toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi pleura. Tingginya kelainan radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus. Kanan (LDK). Suatu penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan efusi pleura 81,6%, sedangkan Srinagar da Pondy Cherry mendapatkan masing-masing 0,3% dan 52%. Bentuk yang tersering adalah bendungan paru. Kardiomegali disertai dengan efusi pleura sering disebut nephritic lung. Kelainan ini bisa berdiri sendiri atau bersama-sama. Pada pengamatan 48 penderita GNAPS yang dirawat di departemen Anak RSU. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Pelamonia di Makassar sejak April 1979 sampai Nopember 1983 didapatkan 56,4% kongesti paru, 48,7% edema paru dan 43,6% efusi pleura. Kelainan radiologik paru yang ditemukan 16
pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari bronkopnemonia, pnemonia, atau peradangan pleura, oleh karena adanya ronki basah dan edema paru. Menurut beberapa penulis, perbaikan radiologik paru pada GNAPS biasanya lebih cepat terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari, sedangkan pada bronkopnemonia atau pneumonia diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu. Atas dasar inilah kelainan radiologik paru dapat membantu menegakkan diagnosis GNAPS walaupun tidak patognomonik. Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti paru yang disebabkan oleh hipervolemia akibat absorpsi Na dan air. 7. Gejala-gejala lain Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama. F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Urin : - Proteinuria : Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++, jarang terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2 gram/m2 LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya proteinuria bervariasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah gejala klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria disebut proteinuria menetap yang menunjukkan kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang memerlukan biopsi ginjal untuk membuktikannya. -
Hematuria mikroskopik : Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada, karena itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan torak eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini menunjukkan adanya suatu peradangan glomerulus (glomerulitis). 17
Meskipun demikian bentuk torak eritrosit ini dapat pula dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut . Darah - Reaksi Serologis Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap produkproduk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin O (ASO), antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer ASO merupakan reaksi serologis yang paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS. Sedangkan kombinasi titer ASO, AD Nase-B dan AH ase yang meninggi, hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu ke-3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran pernapasan oleh streptokokus. Titer ASO bisa normal atau tidak meningkat akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini titer ASO. Sebaliknya titer ASO jarang meningkat setelah piodermi. Hal ini diduga karena adanya jaringan lemak subkutan yang menghalangi pembentukan antibodi terhadap streptokokus sehingga infeksi streptokokus melalui kulit hanya sekitar 50% kasus menyebabkan titer ASO meningkat. Di pihak lain, titer AD Nase jelas meningkat setelah infeksi melalui kulit. -
Aktivitas komplemen : Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Beberapa penulis melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya gejalagejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus. - Laju endap darah : 18
LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi walaupun gejala klinik sudah menghilang. G. DIAGNOSIS Kriteria Klinik:6
1.
a. Onsetnya akut. (kurang dari 7 hari). b. Edema. Paling sering muncul di Palpebra pada saat bangun pagi, disusul tungkai, abdomen, dan genitalia. c. Hematuri. Hematuri makroskopik berupa urin coklat kemerah-merahan seperti teh tua / air cucian daging biasanya muncul pada minggu pertama. Hematuri makroskopik muncul pada 30 – 50 % kasus, sedangkan hematuri mikroskopik ditemui pada hampir semua kasus. d. Hipertensi. Muncul pada 50-90% kasus, umumnya hipertensi ringan dan timbul dalam minggu pertama. Adakalanya terjadi hipertensi ensefalopati (5-10% kasus). e. Oligouri. Terdapat pada 5-10% kasus. Dikatakan oligouri bila produksi urin kurang dari atau sama dengan 1 cc/kgBB/jam. Umumnya terjadi pada minggu pertama dan menghilang bersama dengan diuresis pada akhir minggu pertama. 2.
Laboratorium6 a. Sedimen Urin
Eritrosit (+) sampai (++++).
Torak eritrosit (+) pada 60 – 85% kasus
b. Darah
3. 1.
Titer ASO meningkat pada 80 – 95% kasus.
Kadar C3 (B1C globulin) turun pada 80 – 90% kasus.
Pemeriksaan Penunjang6 Laboratorium
19
a. Darah
LED dan hematokrit diperiksa pada saat masuk rumah sakit dan diulangi tiap minggu
Eiwit spektrum (albumin, globulin) dan kolesterol diperiksa waktu masuk rumah sakit dan diulangi bila perlu
Kadar ureum, kreatinin, klirens kreatinin diperiksa waktu masuk rumah sakit.
b. Urin. Proteinuri diperiksa tiap hari
Kualitatif (-) sampai (++), jarang yang sampai (+++)
Kuantitatif kurang dari atau sama dengan 2 gram/m2/24 jam
Volume ditampung 24 jam setiap hari
c. Bakteriologi. Pada Throat swab atau skin swab dapat ditemukan streptokokkus pada 10-15% kasus d. Pencitraan. Foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan. Pemeriksaan foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan berupa kardiomegali, edema paru, kongesti paru, dan efusi pleura (nephritic lung). Foto thorax diperiksa waktu masuk rumah sakit dan diulang 7 hari kemudian bila ada kelainan. H. PENATALAKSANAAN6 Prinsip penatalaksaaannya adalah untuk mengurangi inflamasi pada ginjal dan mengontrol tekanan darah. Pengobatannya termasuk penggunaan antibiotik ataupun terapi lainnya. 1.
Tirah baring
20
Terutama pada minggu pertama penyakit untuk mencegah komplikasi. Sesudah fase akut istirahat tidak dibatasi lagi tetapi tidak boleh kegiatan berlebihan. Penderita dipulangkan bila keadaan umumnya baik, biasanya setelah 10-14 hari perawatan. 2. Diet a. Protein: 1-2 gram/kg BB/ hari untuk kadar Ureum normal, dan 0,5-1 gram/kg BB/hari untuk Ureum lebih dari atau sama dengan 40 mg% b. Garam: 1-2 gram perhari untuk edema ringan, dan tanpa garam bila anasarka. c. Kalori: 100 kalori/kgBB/hari. d.
Intake cairan diperhitungkan bila oligouri atau anuri, yaitu: Intake cairan = jumlah urin + insensible loss (20-25cc/kgBB/hari + jumlah kebutuhan cairan setiap kenaikan suhu dari normal [10cc/kgBB/hari]).
3. Medikamentosa 1. Antibiotik Penisilin
Prokain
(PP)
50.000-100.000
SI/KgBB/hari
atau
ampisilin/amoxicillin dosis 100mg/kgBB/hari atau eritromisin oral 30-50 mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari untuk eradikasi kuman. Pemberian antibiotik bila ada tonsilitis, piodermi atau tanda-tanda infeksi lainnya. 2. Anti Hipertensi e. Hipertensi Ringan: Istirahat dan pembatasan cairan. Tekanan darah akan normal dalam 1 minggu setelah diuresis. f. Hipertensi sedang dan berat diberikan kaptopril 0,5-3mg/kgBB/hari dan furosemide 1-2mg/kgBB/hari per oral. 4. Tindakan Khusus a. Edema Paru Akut: Bila disertai batuk, sesak napas, sianosis, dan pemeriksaan fisis paru menunjukkan ronkhi basah. Tindakan yang dilakukan adalah:11
Stop Intake peroral.
IVFD dextrose 5%-10% sesuai kebutuhan per 24 jam
Pemberian oksigen 2-5 L/menit
Furosemide 2 mg/kgBB (IV) dan dinaikkan secara bertahap sampai maksimal 10 mg/kgBB/hari.
21
Bolus NB 2-4 mEq/kgBB/hari bila ada tanda asidosis metabolik
b. Hipertensi Ensefalopati: Hipertensi dengan tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau diastolik ≥ 120 mmHg, atau selain itu tetapi disertai gejala serebral berupa sakit kepala, muntah, gangguan pengelihatan, kesadaran menurun, dan kejang. Tindakan yang dilakukan adalah:
Stop Intake peroral.
IVFD dextrose 5%-10% sesuai kebutuhan per 24 jam
Nifedipin sublingual 0,25mg/kgBB diulangi 30-60 menit bila perlu. Atau klonidin 0,002mg/kgBB/kali (IV), dinaikkan dengan interval 2 sampai 3 jam, maksimal 0,05mg/kgBB/hari.
Furosemide 2 mg/kgBB (IV) dan dinaikkan secara bertahap sampai maksimal 10 mg/kgBB/hari.
Bila tekanan darah telah turun, yaitu diastol kurang dari 100mmHg, dilanjutkan dengan kaptopril 0,5-3mg/kgBB/hari + furosemide 12mg/kgBB/hari.
Kejang diatasi dengan antikonvulsan.
I. KOMPLIKASI Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari, terjadi sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia. Walau oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan. Hipertensi ensefalopati, didapatkan gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang menurun.5
22
J. PROGNOSIS Penyembuhan sempurna muncul pada lebih dari 95% anak-anak dengan sindrom nefritik akut. Tetapi 5% di antaranya mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat pembentukan kresen pada epitel glomerulus. Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal (ureum, kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian besar pasien. Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya perubahan histologis penyakit ginjal yang secara cepat terjadi pada orang dewasa. Selama komplemen C3 belum pulih dan hematuria mikroskopis belum menghilang, pasien hendaknya diikuti secara seksama oleh karena masih ada kemungkinan terjadinya pembentukan glomerulosklerosis kresentik ekstra-kapiler dan gagal ginjal kronik.5,7
23
DAFTAR PUSTAKA 1. Syarifuddin Rauf,Husein Albar, Jusli Anras. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus.
Konsensus IDAI. Edisi 1. 2012. Jakarta. Hal: 1-7
2. Rena Renny A, Suwitra, Ketut. Seorang Penderita Sindrom Nefritik Akut Pasca Infeksi Streptokokus. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. Hal: 201-7 3. Bhima
R.
2001 Acute
Poststreptococcal
Glomerulonephritis. Available
at
http://emedicine.medscape.com/article/980685-overview#a0104, 4. Lambanbatu S., 2003. Glomerulonefritis Akut Pasca Infeksi Streptococcus pada Anak. Hal: 58-63. Available at http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/5-2-4.pdf, 5. Rachmadi, Dedi. Diagnosis dan Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. UNPAD-RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. Simposium Nasional II IDAI cabang Lampung, 24-25 April 2010 Bandar Lampung 6. Sindroma Nefritik. Standar Pelayanan Medik Anak. 2009. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal: 195-8 7. Maureen H. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. Available from: http://www.lifesteps.com/gm/atoz/ency/acute_poststreptococcal_glomerulonephritis.js p,
24
View more...
Comments