Laporan Tutorial Skenario a Blok 8 Hasil Revisi
August 13, 2018 | Author: Hello hello | Category: N/A
Short Description
e...
Description
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO A BLOK 8 Organisme Patogen Tutor: dr. Ziske Maritska, M. Si. Med
Disusun Oleh: Kelompok 6
Melros Trinita Tampubolon 04011181621023 04011181621023 Utami Nurul Fajriyah Fajri yah 04011181621031 Nopiah Syari 04011181621042 04011181621042 Nurunnisa Arsyad 04011181621052 04011181621052 Nyimas Feby Ainun Namiroh 040112816210 04011281621081 81 Dzakiyah 04011281621131 04011281621131 Fahira Anindita 04011281621132 04011281621132 M. Khoirudin 04011281621139 04011281621139 Afiyah Nabilah 04011281621150 04011281621150 Tania Ayu Marcelina 04011281621225 04011281621225
PENDIDIKAN DOKTER UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA ANGKATAN 2016
1
Kata Pengantar
Puji syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan tutorial ini dengan baik dan tepat waktu. Terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Ziske Maritska, M. Si. Med selaku dosen yang telah membimbing dan mengawasi proses tutorial yang telah penulis lakukan. Terima kasih pun tak lupa penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penulisan dan penyusunan laporan ini. Penulis berharap laporan ini dapat memuaskan rasa keingintahuan dari pembaca dengan laporan ini. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa, maka dari itu penulis memohon maaf apabila ada kesalahan yang terdapat dalam laporan ini. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis demi kebaikan sesama.
Palembang, 16 Agustus 2017
Tim Penulis
2
Kata Pengantar
Puji syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan tutorial ini dengan baik dan tepat waktu. Terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Ziske Maritska, M. Si. Med selaku dosen yang telah membimbing dan mengawasi proses tutorial yang telah penulis lakukan. Terima kasih pun tak lupa penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penulisan dan penyusunan laporan ini. Penulis berharap laporan ini dapat memuaskan rasa keingintahuan dari pembaca dengan laporan ini. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa, maka dari itu penulis memohon maaf apabila ada kesalahan yang terdapat dalam laporan ini. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis demi kebaikan sesama.
Palembang, 16 Agustus 2017
Tim Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................... Pengantar............................................................................. ............................................... .......................... .... 2 Daftar Isi........................................... Isi................................................................. ............................................ ............................................ ......................... ... 3 Petugas Kelompok............................................. Kelompok................................................................... .............................................. .............................. ...... 4 Skenario................................................................................................................. 4 Klarifikasi Istilah................................................ Istilah...................................................................... ............................................ ............................. ....... 5 Identifikasi Masalah......................... Masalah............................................... .............................................. .............................................. ........................ 5 Analisis Masalah........................................................ Masalah................................................................................ ............................................ .................... 6 Keterkaitan antar Masalah............................ Masalah.................................................. ............................................. ................................... ............ 10 Learning Issue ............................................... ..................................................................... ............................................... ..................................10 .........10 Sintesis............................................. Sintesis......................... .......................................... ............................................. ............................................. .........................11 ...11 Kerangka Konsep....................................... Konsep............................................................. ............................................... ......................................36 .............36 Kesimpulan....................................... Kesimpulan.............................................................. ............................................. ............................................ ........................37 ..37 Daftar Pustaka............................................. Pustaka................................................................... .............................................. .....................................37 .............37
3
I.
Petugas Kelompok -
Tutor
: dr. Ziske Maritska, M. Si. Med
-
Moderator
: Nopiah Syari
-
Sekretaris
1
-
Sekretaris 2
: Fahira Anindita
: Utami Nurul Fajriyah
II. Skenario
Seorang anak laki-laki A usia 9 tahun dibawa orang tuanya ke puskesmas dengan nyeri perut di daerah sekitar pusar, nyeri bersifat hilang timbul dan tidak menjalar ketempat lain. Selain nyeri anak A juga mengeluh muntahmuntah dan konstipasi selama 4 hari ini. Menurut orang tuanya dari muntahan anak A keluar organisme berbentuk silindris sepanjang 10-15 cm. Anak A berasal dari masyarakat sosial ekonomi rendah, ayah dan ibu seorang petani, sehari-hari sekeluarga terbiasa makan sayuran mentah (lalapan) tanpa dicuci. Hygienitas kurang baik terlihat dari kuku tangan dan kaki yang tidak terawat dan kotor, anak A juga sering main ditanah tanpa memakai alas kaki. Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan muka terlihat pucat, BB:15 kg, tampak kurang gizi, perut membuncit, tensi 100/60, RR 28x/menit, Temperatur 37,5ºC, Nadi 120x/menit. Pemeriksaan fisik khusus: Kepala, leher dan dada : dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen: Perut cembung tegang, bising usus menurun. Pemeriksaan laboratorium: Darah: Hb 10,5 mm/Hg; Leukosit 11.000; Diff count: 0/8/4/50/22/4
4
Urin : dalam batas normal Tinja: Pada pemeriksaan dengan teknik langsung lugol dan iodin ditemukan telur berbentuk ovale, dengan 3 lapisan dinding berisi sel. Juga ditemukan telur berbentuk tong berdinding 2 lapis dengan tutup mukoid plug dikedua kutubnya. Pada pemeriksaan dengan Teknik kato katz dihitung juga jumlah telur per gram didapat intensitas infeksi berat untuk telur berdinding 3 lapis dan intensitas infeksi ringan untuk telur berdinding 2 lapis.
III.
Klarifikasi Istilah No
Istilah
Makna
1
Nyeri Perut
Rasa sakit yang dirasakan disekitar regio umbilikal
2
Konstipasi
Adalah kesulitan buang air besar dengan konsistensi feses yang padat dengan frekuensi buang air besar lebih atau sama dengan 3 hari sekali
3
Hygienitas
Adalah suatu usaha untuk pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut berada
4
Kurang Gizi
Adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan aktivitas berpikir dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan
5
Perut Membuncit
Adalah distensi/pembesaran abdomen
6
Bising Usus
Suara yang dihasilkan oleh gerak peristaltik usus
7
Diff Count
Adalah perhitungan jenis leukosit yang ada dalam darah berdasarkan persentase tiap jenis leukosit dari seluruh jumlah leukosit
8
Teknik
Tehnik untuk mendeteksi adanya protozoa usus dan
Pemeriksaan Lugol
cacing ova dan larvae dengan kandungan kristal iodin
Dan Iodin
dan potasium iodine
5
9
Tutup Mukoid Plug
Mukus yang membentuk sumbatan pada kutub telur cacing
10
Teknik Katokatz
Adalah suatu pemeriksaan sediaan tinja ditutup dan diratakan dibawah cellophane tape yang telah direndam dalam larutan malactite green
IV.
Identifikasi Masalah No
Masalah
Konsen
1
Seorang anak laki-laki A usia 9 tahun dibawa orangtuanya ke
***
puskesmas dengan nyeri perut di daerah sekitar pusar, nyeri bersifat hilang timbul dan tidak menjalar ketempat lain. 2
Selain nyeri anak A juga mengeluh muntah-muntah dan
****
konstipasi selama 4 hari ini menurut orang tuanya dari muntahan anak A keluar organisme berbentuk silindris sepanjang 10-15 cm. 3
Sehari-hari sekeluarga terbiasa makan sayuran mentah (lalapan)
*
tanpa dicuci. Hygienitas kurang baik terlihat dari kuku tangan dan kaki yang tidak terawat dan kotor, anak A juga sering main ditanah tanpa memakai alas kaki. 4
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan muka terlihat pucat,
**
BB:15 kg, tampak kurang gizi, perut membuncit, tensi 100/60, RR 28x/menit, Temperatur 37,5º C, Nadi 120x/menit. Pemeriksaan fisik khusus: Kepala, leher dan dada : dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen: Perut cembung tegang, bising usus menurun. Pemeriksaan laboratorium: Darah: Hb 10,5 mm/Hg ; Leukosit 11.000; Diff count: 0/8/4/50/22/4 5
Tinja: Pada pemeriksaan dengan teknik langsung lugol dan
**
iodin ditemukan telur berbentuk ovale, dengan 3 lapisan dinding
6
berisi sel. Juga ditemukan telur berbentuk tong berdinding 2 lapis dengan tutup mukoid plug dikedua kutubnya. 6
Pada pemeriksaan dengan teknik kato katz dihitung juga
**
jumlah telur per gram didapat intensitas infeksi berat untuk telur berdinding 3 lapis dan intensitas infeksi ringan untuk telur berdinding 2 lapis.
V.
Analisis Masalah
1. Seorang anak laki-laki A usia 9 tahun dibawa orangtuanya ke puskesmas dengan nyeri perut di daerah sekitar pusar, nyeri bersifat hilang timbul dan tidak menjalar ketempat lain. a)
Bagaimana topografi regio abdomen?
a. Hypocondrium dekstra ▪ hepar ▪ vesica fellea b. Epigastrium ▪ gaster ▪ hepar ▪ colon transversum ▪ pankreas c. Hypocondrium sinistra ▪ gaster 7
▪ hepar ▪ colon transversum ▪ limfa d. Lumbaris dextra ▪ colon ascenden ▪ hepar ▪ usus halus e. Umbilicalis ▪ usus halus ▪ pankreas ▪ colon transversum f. Lumbalis sinistra ▪ usus halus ▪ colon descendens g. Inguinalis dekstra ▪ caecum ▪ appendix vermiformis h. Hypogastrium ▪ usus halus ▪ vesica urinaria i. Inguinalis sinistra ▪ usus halus ▪ colon descedens ▪ colon sigmoideum b) Bagaimana mekanisme nyeri perut? Obstruksi lumen usus --> mukus terbendung --> tekanan intralumen meningkat -->aliran darah menurun (iskemik jaringan) --> ulserasi mukosa menurun --> mediator nyeri--> impuls ke sistem saraf pusat --> nyeri epigastrium
8
c)
Mengapa nyeri bersifat hilang timbul? Adanya sedikit cacing dewasa di usus halus tidak menghasilkan gejala, tapi bisa meningkatkan nyeri pada abdominal yang samar-samar atau intermiten colic, terutama pada anak-anak. Penyakit yang berat bisa menyebabkan malnutrisi. Penyebaran cacing dewasa bisa dihambat oleh lumen apendik atau cairan empedu dan mengalami pervorasi pada dinding usus. Komplikasi ascaraiasis bisa terjadi seperti obstruksi usus, dan apendiksitis (Susanto, 2008). -
Nyeri kolik Kolik merupakan nyeri visceral akibat spasme otot polos organ berongga dan biasanya disebabkan oleh hambatan pasase organ tersebut (obstruksi usus, batu ureter,
batu
empedu,
peningkatan
tekanan
intralumen).Nyeri ini timbul karena hipoksia yang dialami oleh jaringan dinding saluran.Karena kontraksi ini berjeda, kolik
dirasakan
hilang
timbul.Fase
awal
gangguan
pendarahan dinding usus juga berupa nyeri kolik. Yang khas adalah trias kolik yang terdiri atas serangan nyeri perut yang kumatan disertai mual atau muntah dan gerak paksa (Sjamsuhidajat dkk, 2010). Karena itulah jadi nyerinya hilang timbul, jadi saat ususnya berkontraksi itulah terasa nyeri, dan saat relaksasi nyerinya hilang
d)
Mengapa nyeri tidak menjalar ketempat lain? Karena saraf pada usus tidak bersinaps ke area lain sehingga nyerinya tidak menjalar ketempat lain.
e)
Apa hubungan usia dengan kondisi pasien tersebut? Anak usia 9 tahun sistem imunnya belum begitu kuat untuk melawan parasit. Keaktifan di masa ini juga
9
memengaruhi semisal bermain di tanah tanpa alas kaki, dan lain-lain. Faktor: 1. Anak-anak belum mempunyai kesadaran mengenai kesehatan dan kebersihan dirinya. Kebiasaan hidup bersih belum terbentuk secara sempurna dan mengakar pada rutinitasnya 2. Anak-anak belum mengerti konsekuensi apabila tidak menjalani hidup sehat dan bersih. Maka dari itu mereka belum merasa memiliki tanggungjawab akan kesehatannya 3. Rasa ingin tahu anak yang tinggi membuatnya tertarik untuk mencoba hal-hal baru dengan berbagai
cara.
Bisa
dengan
memegangnya,
menciumnya, bahkan dimakannya. 4. Anak-anak belum bisa membedakan mana makanan yang bersih dan yang tidak layak dimakan. Diperparah dengan kebiasaan jajan di luar rumah dengan higienitas rendah. 2. Selain nyeri anak A juga mengeluh muntah-muntah dan konstipasi selama 4 hari ini menurut orangtuanya dari muntahan anak A keluar organisme berbentuk silindris sepanjang 10-15 cm. a) Apa faktor penyebab muntah dan konstipasi pada anak tersebut? Pada skenario ini penyebab anak mengalami gejala tersebut karena dalam tubuh si anak sudah terinvasi oleh cacing yang di sebabkan oleh tidak menggunakan alas sepatu ketika keluar rumah, memakan lalapan mentah yang tidak
dicuci
terlebih
dahulu.
serta
tidak
menjaga
kebersihan di lingkungannya.
10
b) Bagaimana mekanisme muntah? Jika kolonisasi cacing Ascaris lumbricoides telah banyak, maka dapat terjadi distensi pada usus
direspon oleh
mekanoreseptor yang menghantarkan sinyal muntah ke vomiting center di medulla oblongata. Vomiting center akan menstimulasi otot diafragma untuk berkontraksi, relaksasi otot sfingter esofagus. Hal ini membuat refleks emesis dan cacing dapat keluar melalui mulut atau hidung. c) Bagaimana mekanisme konstipasi? Begitu makanan masuk ke dalam kolon, kolon akan menyerap air dan membentuk bahan buangan sisa makanan, atau feces. Kontraksi otot kolon akan mendorong feces ini ke arah rektum. Begitu mencapai rektum, feces akan berbentuk padat karena sebagian besar airnya telah diserap. Feces yang keras dan kering pada konstipasi terjadi akibat kolon menyerap terlalu banyak air. Hal ini terjadi karena kontraksi otot kolon terlalu perlahan-lahan, sehingga menyebabkan feces bergerak ke arah kolon terlalu lama. Konstipasi dapat terjadi karena beberapa sebab. Sebab primer meliputi faktor intrinsik fungsi kolon atau rektal. Sebab sekunder terkait dengan penyakit organik, penyakit sistemik atau karena pengobatan. Pada kasus ini konstipasi dapat disebabkan karena terjadinya obstruksi oleh cacing Ascaris lumbricoides dan juga Trichuris trichiura tinggal di kolon. Obsrtuksi ini dapat menghambat peristaltik usus sehingga pergerakan makanan menuju ke kolon terelalu lama sedangkan penyerapan air terus terjadi, hal ini menyebabkan feses menjadi keras dan kering.
11
d) Apakah ada hubungan muntah dengan organisme tersebut? Apabila kita identifikasi organisme berdasarkan ciri-ciri organisme tersebut, maka didapatkan bahwa organisme tersebut termasuk ke dalam golongan nematoda yaitu Ascaris Lumbricoides. Berdasarkan daur hidupnya, A. Lumbricoides akan masuk ke lambung, apabila jumlahnya sudah sangat banyak di lambung maka saat si pasien muntah kemungkinan untuk cacing ini ikut keluar saat muntah sangat besar. e) Bagaimana bersama
mekanisme muntah?
keluarnya
Keluarnya
organisme organisme
tersebut Ascaris
lumbricoides dalam bentuk dewasa saat muntah (ectopic ascariasis) disebabkan karena obstruksi usus halus (ileus) oleh cacing-cacing tersebut. Saat terjadi obstruksi yang akut pada usus halus menyebabkan aktivitas gerak peristaltik pada usus halus menurun yang ditandai dengan berkurangnya bising usus. Berkurangnya gerak peristaltik dapat berdampak juga pada konstipasi. Adanya obstruksi pada intestinum dapat mencetuskan impuls untuk muntah ke medula oblongata melalui nervus vagus dan simpatis yang menyebabkan otot abdomen dan diafragma berkontraksi untuk mencetuskan gerakan refluks menyebabkan distensi lambung. Lalu lambung mendorong diafragma ke arah cavum thorax menyebabkan tekanan intratorakal
meningkat
sehingga
memaksa
sfingter
esofagus membuka, glotis menutup, dan palatum mole menyekat nasofaring
menyebabkan isi usus yang berisi
cacing A. Lumbricoides keluar bersamaan dengan isi lambung.
12
f) Apakah jenis organisme tersebut pada kasus? Ascaris lumbricoides g) Apa hubungan muntah dengan konstipasi? Konstipasi menyebabkan obstruksi dan distensi. Cacing-cacing dewasa yang yang berada didalam usus besar,
usus
halus
yang
sudah
menumpuk
disana
menyebabkan perutnya membuncit lalu cacing mencari tempat yang kosong dan sampailah dia ke gaster terjadilah refleks mekanoreseptor mengirimkan sinyal melalui nervus vagus ke vomiting center →stimulasi muntah. h) Bagaimana
morfologi
organisme
yang
keluar
dari
muntahan anak A? Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 2235 cm. Stadium dewasa hidup dirongga usus halus. Seekor cacing betina dapat bertelur sebayak 100.000-200.000 butir perhari, dimana terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi bentuknya oval melebar, mempunyai lapisan yang tebaldan berbenjol-benjol, dan umumnya berwarna coklat keemasan, ukuran panjangnyadapat mencapai 75 μm dan lebarnya 50 μm. Telur terdiri atas 3 lapisan dinding yaitu albuminoid, hyalin, dan lipoid. Telur yang belum dibuahi umumnyalebih oval dan ukuran panjangnya
dapat
mencapai
90
μm,
lapisan
yang
berbenjol-benjoldapat terlihat jelas dan kadang-kadang tidak dapat dilihat. Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yangmempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25-300 C. Pada kondisi ini telur tumbuhmenjadi bentuk yang infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu.
13
i) Bagaimana daur hidup organisme yang keluar dari muntahan anak A? Daur Hidup Ascaris lumbricoides
14
Keterangan siklus hidup cacing gelang: (sumber pionas.pom.go.id) 1. cacing dewasa hidup di dinding usus halus. Cacing betina dapat menghasilkan sekitar 200.000 telur per hari, yang keluar melalui feses. 2. Telur yang tidak dibuahi dapat tertelan namun tidak menyebabkan infeksi. 3. Telur yang dibuahi akan berembrionasi dan menjadi infektif
setelah
18
hari
hingga
beberapa
minggu,
tergantung kondisi lingkungan (optimum: lembap, hangat, tanah yang teduh). 4. Telur tertelan. 5. Larva menetas. 6. Larva menuju ke paru-paru. 7. Larva masuk ke saluran pencernaan melalui sputum yang tertelan 3. Sehari-hari sekeluarga terbiasa makan sayuran mentah (lalapan) tanpa dicuci. Hygienitas kurang baik terlihat dari kuku tangan dan kaki yang tidak terawat dan kotor, Anak A juga sering main ditanah tanpa memakai alas kaki. a) Apakah dampak sering makan sayuran mentah tanpa dicuci? Pada sayuran mentah yang belum dicuci, terdapat berbagai
macam
organisme
maupun
telurnya
yang
mungkin berada pada sayuran tersebut. Jika dimakan, telurnya akan masuk dan menginvasi ke dalam tubuh dapat menyebabkan kolonisasi, infeksi, obstruksi, dan lain-lain. Dalam sayuran mentah dapat ditemukan telur Fasciola hepatica pada salada, telur Ascaris lumbricoides, telur Trichuris trichiura, telur Hookworm (Leonardo, 2015). b) Apa saja organisme yang kemungkinan dapat hidup dalam sayuran mentah tersebut?
15
Karena sayuran berasal dari tanah, jadi kemungkinan organisme yang dapat menempel pada sayuran adalah nematoda golongan STH (Soil Transmitted Helminths) yang dapat ditularkan melalui tanah. Adapun nematoda yang termasuk ke dalam golongan STH yaiut: -
Ascaris lumbricoides
-
Trichuris trichiura
-
Hookworms (Necator americanus & Ancylostoma duodenale)
-
Strongyloides stercoralis
-
Tricostongylus spp
c) Apakah hubungan kuku tangan dan kaki yang tidak terawat dan kotor serta sering main ditanah tanpa alas kaki dengan kasus? Kita tahu bahwa banyak sekali organisme pembawa penyakit yang hidup di tanah termasuk telur cacing, apabila seseorang tidak menjaga kebersihan diri serta sering main di tanah tanpa alas kaki, maka besar sekali kemungkinan untuk telur-telur cacing tersebut masuk ke dalam tubuh yang apabila telur itu berkembang nantinya akan menimbulkan infeksi dan penyakit pada tubuh. d) Apa saja organisme yang kemungkinan dapat menginvasi jika tidak menggunakan alas kaki?
Necator americanus
Ancylostoma duodenale
Kedua parasit ini diberi nama cacing tambang (hook worm).
Hospes
parasit
ini
adalah
manusia
yang
menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis. Cackng dewasa hidup di rongga usus halus dengan mulut yang besar melekat pada mukosa dinding usus. Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah larva rabditiform. Dalam waktu
16
3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat hidup 7-8 hari di tanah.
Strongyloides stercoralis
Hospes parasit ini adalah manusia; menyebabkan strongiooidiasis. Cacing dewasa betina berbentuk filiform hidup sebagai parasit di vilus duodenumdan yeyunum. Parasit ini berkembang biak secara partenogenesis. Telur bentuk parsitik diletakkan di mukosa usus dan menetas menjadi larva rabditiform yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Parasit ini memiliki 3 macam daur hidup, yaitu siklus langsung dimana larva rabditiform berubah menjadi filariform sebagai bentuk infektif. Saat larva filariform menembus kulit manusia, larva tersebut tumbuh dan masuk aliran darah vena, lalu masuk ke jantung kanan sampai ke paru dan tumbuh dewasa, lalu timbul refleks batuk, lalu parasit tertelan sampai ke usus halus dan menjadi dewasa; siklus tak langsung dimana larva rabditiform di tanah yang kondusif berubah menjadi cacing tanah dan e) Bagaimana cara mengedukasi keluarga anak A pada kasus tersebut?
Cuci tangan sebelum makan. Budayakan kebiasaan dan perilaku pada diri sendiri, anak dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum makan. Kebiasaan akan terpupuk dengan baik apabila orangtua meneladani. Dengan mencuci tangan makan akan mengeliminir masuknya telur cacing ke mulut sebagai jalan masuk pertama ke tempat berkembang biak cacing di perut kita.
Selalu memakai alas kaki jika menginjak tanah. Jenis cacing ada macamnya. Cara masuknya pun beragam
17
macam, salah satunya adalah cacing tambang (Necatoramericanus ataupun Ankylostomaduodenale). Kedua jenis cacing ini masuk melalui larva cacing yang menembus kulit di kaki, yang kemudian sampai ke usus melalui saluran getah bening. Kejadian ini sering disebut sebagai Cutaneus Larva Migran. Setelah larva cacing sampai ke usus, larva ini tumbuh dewasa dan terus berkembang biak dan menghisap darah manusia. Oleh sebab akan anemia.
Gunting dan bersihkan kuku secara teratur. Kadang telur cacing terselip di antara kuku.
Peduli dengan lingkungan, maka akan dapat memanfaatkan hasil yang baik. Jika air yang digunakan terkontaminasi dengan tinja manusia, bukan tidak mungkin telur cacing bertahan pada kelopak-kelopak tanaman yang ditanam dan terbawa hingga ke meja makan.
Cuci sayur dengan baik sebelum diolah. Cucilah s ayur di bawah air yang mengalir. Agar kotoran yang melekat akan terbawa air yang mengalir, di samping itu nilai gizi sayuran tidak hilang jika dicuci di bawah air yang mengalir.
Hati-hati makan makanan mentah atau setengah matang, terutama di daerah yang sanitasinya buruk. Perlu dicermati juga, makanan mentah tidak selamanya buruk. Yang harus diperhatikan adalah kebersihan bahan makanan agar makanan dapat kita makan sesegar mungkin sehingga enzim yang terkandung dalam makanan dapat kita rasakan manfaatnya.
18
4. Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan muka terlihat pucat, BB:15 kg, tampak kurang gizi, perut membuncit, tensi 100/60, RR 28x/menit, Temperatur 37,5ºC, Nadi 120x/menit. Pemeriksaan fisik khusus: Kepala, leher dan dada : dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen:Perut cembung tegang, bising usus menurun. Pemeriksaan laboratorium: Darah: Hb 10,5 mm/Hg; Leukosit 11.000; Diff count: 0/8/4/50/22/4 a) Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik umum? Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan muka terlihat pucat, BB:15 kg, tampak kurang gizi, perut membuncit, tensi 100/60, RR 28x/menit, Temperatur 37,5ºC, Nadi 120x/menit.
Muka terlihat pucat karena suatu organisme ( trichuris trichiura) Pada infeksi yang berat, terutama pada anak, dapat ditemukan gejala diare dan disertai dengan adanya bercak-bercak darah pada tinja. Hal ini diakibatkan oleh perekatan cacing pada usus menyebabkan usus iritasi dan radang serta terjadi perdarahan. Selain itu, cacing ini juga menghisap darah, sehingga dapat ditemukan keluhan kurang darah atau anemia. Gejalanya berupa letih, lemah, lesu, tidak bersemangat, dan mudah pusing. Penderita didiagnosis terkena cacing ini apabila ditemukan cacing pada pemeriksaan tinja.
Tampak kurang gizi karena suatu organisme (Ascaris Lumbricoides) Pada infeksi yang berat, dapat terjadi gangguan penyerapan nutrisi sehingga penderita tampak
19
kurus dengan perut yang membuncit karena nutrisi diambil oleh cacing.
Nadi Bayi
: 120-130 x/mnt
Anak
: 80-90 x/mnt
Dewasa
: 70-80 x/mnt
Lansia
: 60-70 x/mnt
Catatan : Takikardia (Nadi di atas normal) : Lebih dari 100 x/mnt Bradikardia (Nadi dibawah normal) : Kurang dari 60x/mnt
Tekanan Darah Bayi
: 70-90/50 mmHg
Anak
: 80-100/60 mmHg
Remaja
: 90-110/66 mmHg
Dewasa muda
: 110-125/60-70 mmHg
Dewasa tua
: 130-150/80-90 mmHg
Catatan :
Hipotensi
: Kurang dari 90/60 mmHg
Normal
: 90-120/60-80 mmHg
Pre Hipertensi
: 120-140/80-90 mmHg
Hipertensi Stadium 1
: 140-160/90-100 mmHg
Hipertensi Stadium 2
: Lebih dari 160/100 mmHg
Temperatur Normal
: 36,6oC – 37,2 oC
Sub Febris
: 37 oC – 38 oC
Febris
: 38 oC – 40 oC
Hiperpireksis
: 40 oC – 42 oC
Hipotermi
: Kurang dari 36 oC
Hipertermi
: Lebih dari 40 oC
20
Catatan : Oral
: 0,2 oC – 0,5 oC lebih rendah dari suhu
rektal Axilla
: 0,5 oC lebih rendah dari suhu oral
Laju Pernapasan Bayi
: 30-40 x/mnt
Anak
: 20-30 x/mnt
Dewasa
: 16-20 x/mnt
Lansia
: 14-16 x/mnt
b) Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik khusus ? Perut kembung tegang: tidak normal karena disebabkan oleh konstipasi (sembelit) Bising usus menurun: tidak normal karena biasanya ter jadi pada orang yang sakit. Bising usus normal terjadi secepat 12x/menit atau paling lambat 3x/menit.
c) Bagaimana
interpretasi
dari
hasil
pemeriksaan
laboratorium? - Hb 10,5 mm/Hg (normal anak Hb 10-16 mmHg) = Anemia - Leukosit
11.000=
meningkat
karena
adanya
inflamasi hipersensitivitas dan reaksi parasit oleh cacing-cacing tersebut (Ridley, 2012) - Diff
count
0/8/4/50/22/4
basofil/eosinofil/neutrofil
(urutan
batang/neutrofil
segmen/limfosit/monosit. Normal: 0,4-1 / 1-3 / 0-5 / 50-65 / 25-35 / 4-6) - Basofil
turun:
karena
adanya
reaksi
alergi
(hipersensitivitas). Basofil berperan dalam reaksi
21
alergi jangka panjang seperti asma, alergi kulit, dll. - Eosinofil meningkat: karena adanya reaksi alergi (hipersensitivitas) dan infeksi parasit - Neutrofil batang normal - Neutrofil segmen normal - Limfosit normal - Monosit normal 5. Tinja: Pada pemeriksaan dengan teknik langsung lugol dan iodin ditemukan telur berbentuk ovale, dengan 3 lapisan dinding berisi sel. Juga ditemukan telur berbentuk tong berdinding 2 lapis dengan tutup mukoid plug dikedua kutubnya. a) Bagaimana gambar dari pemeriksaan dengan teknik lugol dan iodin?
b) apa jenis telur yang didapat dari hasil pemeriksaan anak A?
22
Didapatkan telur Ascaris lumbricoides berbentuk ovale dengan 3 lapisan dinding (albuminoid, hyalin, lipoid),
telur Ascaris lumbricoides Didapatkan telur Trichuris trichiura berbentuk seperti tong, terdapat mucoid plug (polar plug) di kedua kutub dengan 2 lapisan dinding (outer shell dan inner shell).
telur Trichuris trichiura c) Bagaimana morfologi telur yang didapat pada pemeriksaan anak A? 1. Ascaris lumbricoides
Terdiri dari 3 lapis, yaitu lapisan albuminoid, hyalin, dan lipoid.
Telur yg fertil berbentuk oval, tebal, diselubungi "mammillated coat”,
biasanya terwarnai coklat
keemasan. Berukuran panjang 75 µm dan lebar 50 µm.
Telur infertil biasanya lebih oval, berukuran panjang
hingga
90
µm
dan
mempunyai
"mammillated coat".
23
Biasanya kedua jenis telur ini di temukan pada feces yang sama,ketiadaan telur fertil manandakan bahwa hanya cacing betina yang ada di dalam usus.
2. Trichuris trichiura
Telur berbentuk seperti tempayan atau tong dengan semacam penonjolan yang jernih (mucoid plug) pada kedua kutub.
Kulit
telur
bagian
luar
berwarna
kekuning-
kuningan dan bagian dalamnya jernih.
Telur yang dibuahi dikeluarkan bersama feces.
Telur matang berisi larva dan merupan bentuk yang infektif.
Telur berukuran panjang 50-55 µm dan lebar 22-24 µm.
d) Bagaimana morfologi dan daur hidup dari organisme tersebut?
Ascaris Lumbricoides
Morfologi. Cacing dewasa. Cacing nematoda ini adalah cacing berukuran besar, berwarna putih kecoklatan
atau kuning pucat.
Cacing
jantan
berukuran panjang antara 10-31cm, sedangkan cacing betina panjang badannya antara 22-35 cm. Kutikula yang halus bergaris-garis tipis menutupi seluruh permukaan badan cacing. . Ascaris lumbricoides mempunyai
mulut
dengan tiga buah bibir, yang
terletak sebuah di bagian dorsal dan dua bibir lainnya terletak subventral. Selain ukurannya lebih kecil daripada cacing betina, cacing jantan mempunyai ujung posterior yang runcing, dengan ekor melengkung kearah ventral. Di bagian posterior ini terdapat 2 buah spikulum yang
24
ukuran panjangnya sekitar 2 mm, sedangkan di bagian ujung posterior cacing terdapat juga banyak papil papil yang berukuran kecil. Bentuk tubuh cacing betina membulat (conical) dengan ukuran badan yang lebih besar dan lebih panjang dari pada cacing jantan dan bagian ekor yang lurus, tidak melengkung.
Telur .Ascaris lumbricoides mempunyai dua jenis telur, yaitu telur yang sudah dibuahi (fertilized eggs) dan telur yang belum dibuahi (unfertilized eggs). Fertilized eggs berbentuk lonjong, berukuran 45-70 mikron x3550 mikron, mempunyai kulit telur yang tak berwarna. Kulit telur bagian luar tertutup oleh lapisan albumin yang permukaannya bergerigi (mamillation), dan berwarna coklat karena menyerap zat warna empedu. Sedangkan di bagian dalam kulit telur terdapat selubung vitelin yang tipis, tetapi kuat sehingga telur cacing Ascaris dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah. Fertilized eggs mengandung sel telur (ovum) yang tidak bersegmen,
sedangkan di kedua kutub telur
terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk bulan sabit. Unfertilized egg (telur yang tak dibuahi) dapat ditemukan jika
di dalam usus penderita hanya
terdapat cacing betina saja. Telur yang tak dibuahi ini bentuknya lebih lonjong dan lebih panjang dari ukuran fertilized eggs dengan ukuran sekitar 80x 55 mikron; telur ini
tidak mempunyai rongga udara di kedua
kutubnya.
25
Daur hidup. Keluar bersama tinja penderita, telur cacing yang telah dibuahi jka jatuh di tanah yang lembab
dan
suhu yang optimal telur akan
berkembang menjadi telur infektif, yang mengandung larva cacing. Pada manusia infeksi terjadi dengan masuknya
telur
cacing
yang infektif
bersama
makanan atau minuman yang tercemar tanah yang mengandung
tinja
penderita ascariasis.Di dalam
usus halus bagian atas dinding telur akan kemudian larva
pecah
keluar, menembus dinding usus
halus dan memasuki vena porta hati. Dengan aliran darah vena, larva beredar menuju jantung, paru-paru, lalu
menembus
dinding kapiler masuk ke dalam
alveoli. Masa migrasi larva ini berlangsung sekitar 15 hari lamanya. Sesudah itu larva cacing merambat ke bronki, trakea dan laring, untuk selanjutnya masuk
ke
faring,
usofagus, lalu turun ke lambung dan akhirnya sampai ke usus halus. Selanjutnya larva berganti kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Migrasi larva cacing dalam darah yang mencapai organ paru tersebut disebut “lung migration”.Dua bulan sejak masuknya telur infektif melalui mulut, cacing betina mulai mampu bertelur. Seekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa mampu bertelur dengan jumlah produksi telurnya dapat mencapai 200.000 butir per hari.
Trichuris Trichiura
Anatomi dan morfologi. Bentuk tubuh cacing dewasa sangat khas, mirip cambuk, dengan tiga per lima panjang tubuh bagian anterior berbentuk langsing
26
seperti tali cambuk, sedangkan dua per lima bagian tubuh posterior lebih tebal mirip pegangan cambuk. Panjang cacing jantan sekitar 4 cm sedangkan panjang cacing betina sekitar 5 cm. Ekor cacing jantan melengkung
ke
arah
ventral,
mempunyai
satu
spikulumretraktil yang berselubung. Badan bagian kaudal cacing betina membulat, tumpul berbentuk seperti seperti koma. Bentuk telurTrichuris trichiura khas bentuknya, mirip biji melonyang berwarna coklat, berukuran sekitar 50x25 mikron dan mempunyai dua kutub jernih yang menonjol.
Daur hidup. Telur cacing ini mengalami pematangan dan menjadi infektif di tanah dalam waktu 3-4 minggu lamanyaJika manusia tertelan telur cacing yang infektif, maka di dalam usus halus dinding telur pecah dan larva ke luar menuju sekum lalu berkembang menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing telah menjadi dewasa dan cacing betina sudah mulai mampu bertelur. Trichuris trichiura dewasa dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia. e) Apa dampak apabila organisme tersebut hidup dan menetap didalam tubuh manusia?
Ascaris lumbricoides
Apabila telur infektif dalam jumlah besar tertelan, larvanya dapat menyebabkan reaksi jaringan yang intensif dalam paru paru dengan tanda sesak nafas seperti asma, demam, batuk, ronki (sindrom Loeffler). Cacing dewasa biasanya hidup dalam rongga usus kecil, terutama di bagian atas dan tengah. Walaupun begitu,
27
seringkali cacing meninggalkan usus dan bermigrasi ke organ-organ lain dan dapat menimbulkan kematian. Sering dilaporkan terjadi invasi ke duktus biliaris dan umbai
cacing.
Dapat
menimbulkan
keluhan
seperti
serangan batu empedu dengan keluhan rasa sakit yang hebat dan kolik di daerah epigastrium apabila cacing bermigrasi ke dalam duktus biliaris. Pada kasus migrasi dari Ascaris lumbricoides ke dalam duktus biliaris, seringkali cacing keluar masuk melalui ampula Vateri/sfingter Oddi. Banyak terjadi kasus nekrosis pankreas akut atau pankreatitis kronik oleh karena migrasi cacing ke dalam duktus pankreatikus. Cacing kadang-kadang bermigrasi dari tempat hidupnya di usus kecil bagian atas atau tengah dan dapat ditemukan di saluran empedu. Beberapa diantaranya akan mati setelah invasi ke parenkim hati dan menyebabkan atrofi hati secara lokal atau menyeluruh. Secara histologis parenkim hati memperlihatkan sirosis hati yang kolangioloitik, tetapi jarang memperlihatkan abses hati. Apabila cacing masuk dan meninggalkan duktus biliatis, peradangan dapat terjadi di dalam duktus biliaris dan duktus pankreatikus, dan menyebabkan pankreatitis kronik. Pankreatitis kronik juga terjadi apabila telur askaris di dalam duktus pankreatikus membentuk tuberkel. Secara mikroskopis terlihat pelebaran duktus pankreatikus dan proliferasi pembesaran
dari
jaringan
pankreas
penyambung,
karena
juga
hiperplasia
terjadi jaringan
interstisial. Kadang-kadang cacing ini menyebabkan gejala saraf yang hebat disebut meningitis askarid, mulainya penyakit
28
mendadak ditandai dengan gejala toksik yaitu panas yang tinggi dan gejala rangsangan meninggal, terjadi terutama pada anak-anak.
Trichuris trichiura
Infeksi ringan biasanya tanpa gejala tapi pada infeksi yang berat, dapat menyebabkan peradangan kataral dari usus, diare yang menahun, disentri, prolapsus recti, anemia, dan adakalanya tumor yang meradang di sekum. Gejala pada usus dan otot yang disebabkan oleh cacing dewasa dan larva merupakan gejala utama. Larva sering masuk ke otak dan menyebabkan gangguan psikomotor yang berat. f) Bagaimana prosedur melakukan teknik lugol dan iodin? Pengecatan langsung (Direct wet mount) Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi yang berat. Tetapi untuk infeksi yang ringan sulit untuk ditemukan telur-telurnya. 1) Alat dan bahan a.Gelas obyek b.Gelas penutup 20 mm x 20 mm c.Lidi d.Pensil untuk label e.LarutanNacl 0,9% (garam faali) f.Larutanlugol iodin g.Mikroskop 2) Prosedur pemeriksaan
29
1) Teteskan 1 tetes larutan garam faali di bagian tengah dari separo bagian kiri kaca obyek; dan 1 tetes larutan lugol iodin di bagian tengah separoh yang kanan. 2) Ambil sedikit spesimen tinja menggunakan lidi. a)Bila tinja berbentuk padat ambil dari bagian dalam dan bagian permukaan. b) Bila tinja berbentuk cair, ambil dari bagian permukaan cairan atau permukaan berlendir. 3) Campur spesimen tinja dengan larutan garam faali pada kaca obyek seblah kiri. 4) Ambil spesimen dan campur dengan larutan iodin pada kaca obyek seblah kanan. 5) Tutup masing-masing spesimen dan kaca penutup (sedapat mungkin hindari timbulnya gelembung udara) 6) Periksa sediaan di bawah mikroskop a) Untuk sediaan dengan larutan garam faali gunakan lensa obyek 10 kali dan 40 kali, di mulai dari seblah pojok kiri atas. b) Untuk sediaan dengan larutan iodin, gunakan lensa obyek 40 kali. c) Pada pemeriksaan telur yang tidak berwarna, untuk meningkatkan pengurangan
kontras jumlah
dapat sinar
di
dengan
lakukan mengatur
dengan celah
kondensor atau merendahkan letak kondensor. 7) Untuk meyakinkan tidak ada lapang pandang yang terlewati, letakkan kaca obyek pada tepi lapangan pandang dan gerakkan kaca obyek melintasi microscapestage, periksa kaca obyek sampai tepi andangan yang lain
30
6. Pada pemeriksaan dengan Teknik kato katz dihitung juga jumlah telur per gram didapat intensitas infeksi berat untuk telur berdinding 3 lapis dan intensitas infeksi ringan untuk telur berdinding 2 lapis. a) Bagaimana prosedur melakukan teknik kato katz? Bahan dan Peralatan
a).
Aquadest
b).
Glycerin
c).
Malachite green (hijau malasit)
d).
Gelas obyek
e).
Cellophane tape (selofan), ukuran lebar 2,5 cm.
f).
Karton ukuran tebal 2 mm dan dilubangi dengan
perforator g).
Kawat saring atau kawat kasa (wire screen).
h).
Pot plastik ukuran 10 – 15 cc atau kantong plastik
obat. i).
Lidi atau tusuk gigi
j).
Kertas minyak
k).
Kertas saring atau tissue
l).
Spidol tahan air
m).
Tutup botol dari karet
n).
Gunting logam
o).
Baskom plastik kecil
p).
Sabun dan deterjen
q).
Handuk kecil
r).
Sarung tangan karet
s).
Formalin 5 – 10 %
t).
Mikroskop
u).
Formulir
v).
Ember
w).
Counter (alat penghitung)
31
Cara Pembagian dan Pengumpulan Tinja : a) Jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot / kantong plastik sekitar 100 mg (sebesar kelereng atau ibu jari tangan).
b) Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama, sebab jika tidak telur cacing akan rusak atau menetas menjadi larva. Jika tidak memungkinkan tinja harus diberi formalin 5-10% sampai terendam.
Metode Pemeriksaan Kato-Katz
a)
Cara Membuat Larutan Kato
Yang dimaksud dengan Larutan Kato adalah cairan yang dipakai untuk merendam/memulas selofan (cellophane tape) dalam pemeriksaan tinja terhadap telur cacing menurut modifikasi teknik Kato dan Kato-Katz.
(1)
Untuk membuat Larutan Kato diperlukan campuran
dengan perbandingan: Aquadest 100 bagian, Glycerin 100 bagian dan Larutan malachite green 3% sebanyak 1 bagian.
(2)
Timbang malachite
green sebanyak
3
gram,
masukkan ke dalam botol/beker glass dan tambahkan aquadest 100 cc sedikit demi sedikit lalu aduk/kocok sehingga homogen, maka akan diperoleh larutan malchite green 3%.
(3)
Masukkan 100 cc aquadest ke dalam Waskom plastik
kecil, lalu tambahkan 100 cc glycerinsedikit demi sedikit 32
dan tambahkan 1 cc larutan malachite green 3%, lalu aduk sampai homogen. Maka akan didapatkan Larutan Kato 201 cc.
b)
Cara
merendam
/
memulas
selofan
(cellophane tape)
(1)
Buatlah bingkai kayu segi empat sesuai dengan
ukuran baskom plastik kecil. Contoh: Misal bingkai untuk foto
(2)
Libatkan / lilitkan selofan pada bingkai tersebut.
(3)
Rendamlah selama + 18 jam dalam Larutan Kato.
(4)
Pada waktu akan dipakai, guntinglah selofan yang
sudah direndam sepanjang 3 cm.
c)
Cara
Pemeriksaan
Kualitatif
(modifikasi
teknik Kato)
Hasil pemeriksaan tinja kualitatif berupa positif atau negatif cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis cacing atau per jenis cacing.
(1) (a)
Cara Membuat Preparat
Pakailah
sarung
tangan
untuk
mengurangi
kemungkinan infeksi berbagai penyakit.
(b)
Tulislah Nomor Kode pada gelas objek dengan spidol
sesuai dengan yang tertulis di pot tinja.
(c)
Ambillah tinja yang sudah dengan lidi sebesar
kacang hijau, dan letakkan di atas gelas obyek.
33
(d)
Tutup dengan selofan yang sudah direndam dalam
larutan Kato, dan ratakan tinja di bawah selofan dengan tutup botol karet atau gelas obyek.
(e)
Biarkan sediaan selama 20-30 menit.
(f)
Periksa dengan pembesaran lemah 100 x (obyektif 10
x dan okuler 10x), bila diperlukan dapat dibesarkan 400 x (obyektif 40 x dan okuler 10 x).
(g)
Hasil pemeriksaan tinja berupa positif atau negatif
tiap jenis telur cacing. (2)
Cara Menghitung Prevalensi
(a)
Prevalensi Seluruh Cacing =
Jumlah specimen positif telur minimal 1 jenis cacing x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
(b)
Prevalensi Cacing Gelang
Jumlah specimen positif telur cacing gelang x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
(c)
Prevalensi Cacing Cambuk
Jumlah specimen positif telur cacing cambuk x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
(d)
Prevalensi Cacing Tambang
Jumlah specimen positif telur cacing tambang x 100%
34
Jumlah specimen yang diperiksa
d)
Cara Pemeriksaan Kuantitatif
Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui jumlah telur per gram tinja (EPG) pada setiap jenis cacing.
(1)
(a)
(b)
Cara Membuat Preparat
Saringlah tinja menggunakan kawat saring.
Letakkan
karton
yang
berlubang
di
atas slide kemudian masukkan tinja yang sudah di saring pada lubang tersebut. (c)
Ambillah karton berlubang tersebut dan tutuplah
tinja dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan Kato. (d)
Ratakan dengan tutup botol karet hingga merata.
Diamkan kurang lebih sediaan selama 20 – 30 menit. (e)
Periksa di bawah mikroskop dan hitung jumlah telur
yang ada pada sediaan tersebut.
(2)
Cara Menghitung Telur
Hasil pemeriksaan tinja secara kuantitatif merupakan intensitas infeksi, yaitu jumlah telur per gram tinja (Egg Per Gram/EPG) tiap jenis cacing.
(a)
Intensitas Cacing Gelang = Jumlah telur cacing
gelang x 1000/R
35
Jumlah specimen positif telur Cacing Gelang
(b)
Intensitas Cacing Cambuk = Jumlah telur cacing
cambuk x 1000/R Jumlah specimen positif telur Cacing Cambuk
(c)
Intensitas Cacing Tambang = Jumlah telur cacing
tambang x 1000/R Jumlah specimen positif telur Cacing Tambang
Ket : R = berat tinja sesuai ukuran lubang karton (mg).
Untuk program cacingan adalah 40 mg
b) Apa makna intensitas infeksi berat untuk telur berdinding 3 lapis dan intensitas infeksi ringan untuk telur berdinding 2 lapis? - Infeksi berat untuk telur dinding 3 lapis (cacing ascaris) karena pada pemeriksaan kato katz didapatkan telur lebih dari 50,000 -Infeksi ringan untuk telur dinding 2 lapis ( trichuris trihiura) karena didapatkan telur kira-kira 1 sampai 999. c) Bagaimana tatalaksana yang dilakukan terhadap anak A?
Penangaan Penanganan penyakit kecacingan harus disertai dengan tindakan pencegahan penyebaran infeksi terutama di lingkungan keluarga. Jika salah seorang anggota keluarga dicurigai terinfeksi cacing, maka disarankan dilakukan terapi non obat berikut:
Mencuci
sprei,
handuk,
dan
pakaian
dalam
(terpisah dari seluruh anggota keluarga) dengan air
36
hangat, jangan diaduk karena dapat menyebarkan telur cacing ke udara.
Pastikan ruangan mendapat cahaya matahari yang cukup, karena telur cacing dapat rusak oleh cahaya matahari.
Pastikan anggota keluarga yang dicurigai terinfeksi cacing melakukan mandi pagi, membersihkan bagian rektum pada saat mandi, dan tidak mandi dalam bath tub.
Gunakan disinfektan pada toilet duduk selama masa pengobatan.
Bersihkan dengan penyedot debu (vacuum cleaner) atau pel dengan air (jangan gunakan sapu) daerah sekitar tempat tidur dan seluruh kamar tidur.
Bersihkan kuku dengan menyikat hingga bersih dan gunting kuku secara rutin. Cuci tangan secara berkala terutama sebelum makan dan setelah ke kamar mandi.
Pengobatan penyakit kecacingan dapat berbeda-beda tergantung jenis cacing yang menyebabkan penyakit. Infeksi cacing pita memerlukan terapi dengan golongan obat keras yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Berikut adalah beberapa bahan aktif obat yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit kecacingan. Bahan aktif ini bisa terdapat dalam berbagai merek dagang. MEBENDAZOL
Mebendazol digunakan untuk mengobati infeksi cacing kremi, cacing tambang ,cacing gelang, dan cacing cambuk. Obat ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan anak di
37
bawah usia 2 tahun. Namun pada kehamilan di bawah 3 bulan, mebendazol tidak menimbulkan efek buruk. Aturan pakai
Untuk infeksi cacing kremi, dosis sebesar 100 mg dosis tunggal untuk dewasa dan anak di atas 2 tahun. Jika terjadi infeksi kembali, ulangi dosis yang sama 2 minggu kemudian. PIRANTEL PAMOAT
Pirantel pamoat, atau nama lainnya yaitu pirantel embonat, digunakan untuk mengobati infeksi cacing kremi, cacing gelan, cacing tambang, cacig cambuk. Adanya anggota keluarga yang terinfeksi juga merupakan pertanda infeksi pada anggota keluarga yang lain. Untuk itu dianjurkan pemberian pirantel pamoat pada seluruh anggota keluarga untuk memusnahkan telur dan cacing serta mencegah infeksi berulang. Penggunaan pada wanita hamil dan anak di bawah 2 tahun harus berhati-hati. Beberapa efek samping yang mungkin terjadi setelah penggunaan pirantel pamoat antara lain hilang nafsu makan, kejang perut, mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, rasa mengantuk, sukar tidur, dan merah-merah pada kulit Untuk infeksi cacing cambuk: Dosis 10 mg/Kg BB diminum sebagai dosis tunggal. Berdasarkan berat badan menjadi sebagai berikut: Dosis 1000 mg untuk dewasa dengan berat badan di atas 75 kg, Dosis 750 mg untuk anak di atas 12 tahun dengan berat badan 41-75 kg, Dosis 500 mg untuk anak 6-12 tahun dengan berat badan
38
22-41 kg, Dosis 250 mg untuk anak 2-6 tahun dengan berat badan 12-22 kg, Dosis 125 mg untuk anak 6 bulan – 2 tahun berat badan di bawah 12 kg. Selain penanganan melalui obat, operasi terbuka untuk mengeluarkan cacing Ascaris lumbricoides juga diperlukan untuk mengatasi obstruksi usus halus. d) Bagaimana cara pencegahannya? - Mencuci tangan sebelum makan - Gunakan selalu alas kaki ketika berpergian - Mencuci tangan sebelum makan - Cuci sayur-mayur & buah-buahan mentah dengan air mengalir - Menutup makanan agar terhindar dari lalat - Hindari jajan makanan sembarangan - Anjurkan anggota keluarga dan minumlah obat cacing minimal setiap 4 bulan sekali - Pilihlah obat cacing yang dapat membunuh semua jenis cacing terutama cacing cambuk. - Mandi setiap hari minimal 2 kali sehari. - Mencuci tangan yang bersih menggunakan sabun terutama setelah buang air besar. - Hindari kebiasaan menggigit-gigit kuku. VI.
Keterkaitan Antar Masalah
Main di tanah (tangan kotor)
39
VII.
Learning Issue No
1
Learning Issue
Nematoda STH
What I
What I Don’t
What I Have
How I
Know
Know
To Prove
Learn
Pengertian
Daur hidup
Gejala klinis
Jurnal, Text
40
dan jenisnya
dan diagnosa
Bookdan Internet
2
Muntah dan
Pengertian
Mekanisme
Dampak
Jurnal, Text
Konstipasi
Bookdan Internet
3
Pemeriksaan
Jenisnya
Alat dan
Cara
Jurnal, Text
Bahan
melakukannya
Bookdan Internet
4
Tatalaksana
Obat yang
Dosis
Cara kerja obat
digunakan
Jurnal, Text Bookdan Internet
VIII. Sintesis 1. Nematoda STH
A. ASCARIS LUMBRICOIDES Salah
satu
penyebab
infeksi
cacing
usus
adalah
Ascaris
lumbricoides atau yang lebih dikenal dengan nama cacing gelang dan yang
penularannya
dengan
perantara
tanah
(Soil
Transmitted
Helmints). Infeksi yang disebabkan oleh cacing ini disebut Askariasis. 1) Epidemiologi Infeksi ascariasis pada umumnya terjadi di negara beriklim tropis dan ditemukan paling banyak pada lingkungan dengan sanitasi dan higienitas yang buruk. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan kontaminasi tanah oleh tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci, dan di tempat pembuangan sampah. Di Indonesia prevalensinya cukup tinggi terutama pada anak golongan umur 5-9 tahun dengan frekuensi 6090%. 2) Morfologi
41
Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm. Stadium dewasa hidup dirongga usus halus. Seekor cacing betina dapat bertelur sebayak 100.000-200.000 butir perhari, dimana terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi bentuknya oval melebar, mempunyai lapisan yang tebaldan berbenjol-benjol, dan umumnya berwarna coklat keemasan, ukuran panjangnyadapat mencapai 75 μm dan lebarnya 50 μm. Telur terdiri atas 3 lapisan dinding yaitu albuminoi d, hyalin, dan lipoid. Telur yang belum dibuahi umumnyalebih oval dan ukuran panjangnya dapat mencapai 90 μm, lapisan yang berbenjol-benjoldapat terlihat ter lihat jelas dan kadang-kadang tidak dapat dilihat. Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yangmempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25-300 C. Pada
42
kondisi ini telur tumbuhmenjadi bentuk yang infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu. 3) Daur Hidup Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 (tiga) minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan kejantung, kemudian mengikuti aliran darah k e paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk ronggas alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsanganpada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalamesophagus, lalu menuju usus halus. Di usus halus berubah manjadi cacing dewasa.Sejak telur matang tertelan
sampai
cacing
dewasa
bertelur
diperlukan
waktu
kuranglebih 2 (dua) bulan.
4) Patologi dan Gejala Klinis Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya
43
terjadi saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat. Pada kasus ini sering terjadi kekeliruan diagnosis karena mirip dengan gambaran TBC, namun infiltrat ini menghilang dalam waktu 3 (tiga) minggu, setelah diberikan obat cacing pada penderita. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Tantular, K (1980) yang dikutip oleh Moersintowarti (1990) mengemukakanbahwa 20 ekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa dalam usus manusia mampumengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gr dan 0,7 gr protein setiap hari. Dari haltersebut dapat di perkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacingdalam
jumlah
yang
cukup
banyak
sehingga
dapat
menimbulkan keadaan kurang gizi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi malabsorbsisehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacingini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). 5) Diagnosa Cara menegakkan diagnosa penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja. Parasites Load Ascaris lumbricoides untuk infeksiringan adalah 1-4.999 Telur per Gram Tinja (EPG), untuk infeksisedang adalah 5.000-49.999 EPG, dan untuk infeksi berat adalah ≥50.000 EPG. 6) Pencegahan -
Menghindari bermain di tanah yang terkontaminasi oleh feces melalui tangan saat sedang makan.
-
Mencuci tangan sebelum memegang makanan
44
-
Mengingatkan anak bahwa mencuci tanagn itu penting untuk mencegah terjainya infeksi.
-
Mencuci, mengupas, atau memasak makanan sayuran dan buahan mentah sebelum dimakan, terutama yang telah diberi pupuk kotoran.
-
Menggunakan alas kaki saat berjalan atau bermain di tanah.
B. TRICHURIS TRICHIURA Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi dengan cacing ini juga cacing tambang dan hanya sedikit di bawah askariasis. Cacing jantan panjangnya 30 sampai 45 mm, bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor melingkar, cacing betina panjangnya 35 sampai 50 mm, bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor lurus berujung tumpul. Telur T. trichiura berukuran lebih kurang 50 kali 22 mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung menonjol, berdinding tebal dan berisi ovum kemudian berkembang menjadi larva setelah 10 sampai 14 hari.
45
Kelembaban tanah dan kelembaban udara juga dapat mempengaruhi perkembangan dan kelangsungan hidup dari telur dan larva. Kelembaban yang lebih tinggi dapat mempercepat perkembangan telur dan pada kelembaban yang rendah sebagian telur T. trichiuratidak akan membentuk embrio. Penyebaran T. trichiura melalui transmisi faeco-oral. Telur yang dibuahi akan menjadi infektif di tanah selama 10 sampai 14 hari. Tertelannya telur yang dibuahi akan menyebabkan terjadinya infeksi. Kemudian di duodenum larva akan menetas, menembus dan berkembang di mukosa usus halus dan menjadi dewasa di sekum. Siklus ini berlangsung selama lebih kurang 3 bulan; cacing dewasa akan hidup selama 1 sampai 5 tahun dan cacing betina dewasa akan menghasilkan 20 000 telur setiap harinya. Cacing dewasa jarang ditemukan di dalam tinja karena melekat pada dinding usus besar (Garcia & Bruckner, 1996). Bagian kepala cacing ini terbenam dalam mukosa dinding usus sedangkan ujung posteriornya lebih tebal dan terletak bebas di lumen usus besar (Eisenberg, 1983; Faust & Russel, 1965; Garcia & Bruckner, 1996; Hunter et al., 1976; Schmidt et al., 2005).
1. Epidemiologi Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang penting dalam proses transmisi, iklim tropis Indonesia sangat menguntungkan terhadap perkembangan T. trichiura. Indonesia mempunyai empat area ekologi utama terhadap transmisi T. trichiura yaitu dataran tinggi, dataran rendah, kering, dan hujan. Data dari berbagai survei di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi T. trichiura merupakan masalah di semua daerah di Indonesia dengan prevalensi 35% sampai 75%. Infeksi T. trichiura didasari dengan sanitasi yang inadekuat dan populasi yang padat, umumnya ini dijumpai di daerah kumuh dengan tingkat sosioekonomi yang rendah. Perbedaan prevalensi
T.
trichiura di
daerah
perkotaan
dan
pedesaan
46
menggambarkan perbedaan sanitasi atau densitas populasi, tingkat pendidikan, serta perbedaan sosioekonomi yang juga berperan penting. Anak usia sekolah mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap infeksi T. trichiura. Berdasarkan data epidemiologi, anak dengan tempat tinggal dan sanitasi yang buruk dan higienitas yang rendah mempunyai risiko terinfeksi yang lebih tinggi. Pendidikan higienitas yang rendah juga mendukung tingginya infeksi tersebut. Tumpukan sampah dan penyediaan makanan jajanan di lingkungan sekolah juga menjelaskan tingginya prevalensi.
2. Morfologi
Gambar 129. Bagan cacing Trichuris tri chiura
(a)cacing betina (b) cacing jantan (c) telur a. anus e. esofagus h. kepala i. usus o. ovarium p. penutup s. spikulum t. testis u. uterus v. vulva Bentuk seperti cambuk berwarna merah muda. Bagian anteriortubuh adalah langsing panjangnya 3/5 dari panjang seluruh tubuhberisi esophagus yang sempit dan bagian posterior tebal gemukdengan
47
panjang 2/5 panjang seluruh tubuh berisi usus dan seperangkatalat reproduksi. Cacing jantan berukuran 300-45 mm denganbagian ekor kaudal melingkar dan satu spikulum. Cacing betinaberukuran 35-50 mm dan ujung posteriornya lurus berujung tumpul. Telur berukuran 50-54 mikron x 32mikron bentuk seperti tempayan dengan penonjolan yang jernih padakedua kutub, berdinding tebal dan berisi larva. Kulit telur telur bagianluar berwarna kekuningan dan bagian dalamnya jernih.
3. Daur Hidup Cacing dewasa hidup di usus besar. Di rongga usus ini cacingjantan dan betina kopulasi sehingga cacing betina bertelur kemudiantelur keluar bersama tinja. Cacing betina bisa menghasilkan telurantara 3000-10.000 butir setiap hari. Telur ini berisi sel telur dalamtinja segar/berisi larva dalam tinja 3-6 minggu untuk menjadi telurmatang. Telur ini berkembang baik pada tanah liat kelembaban yang sesuai pada suhu optimum 30◦C, Cara infeksinya langsung bila secara kebetulan hospes menelantelur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke usus halus. Di dalam usus dapat menetap selama 3-10 hari. Setelah dewasa cacing turun ke usus bagiandistal dan masuk ke daerah kolon terutama sekum. Cacing ini tidak punya siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampaicacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari.
48
4. Gejala Klinis Bagaimana mekanisme pasti bagaimana T. trichiura menimbulkan kelainan pada manusia belum diketahui, tetapi paling tidak ada dua proses yang berperan yaitu trauma oleh cacing dan efek toksik. Trauma (kerusakan) pada dinding usus terjadi oleh karena cacing ini membenamkan bagian kepalanya pada dinding usus. Cacing ini biasanya menetap di daerah sekum. Pada infeksi yang ringan, kerusakan dinding mukosa usus hanya sedikit tetapi dengan masuknya bagian kepala cacing dewasa ke mukosa usus dan menghisap darah, terjadi
iritasi
dan
peradangan
mukosa
usus,
sehingga
dapat
menimbulkan anemia, dan mudah terinfeksi bakteri atau parasit lain seperti Entamoeba histolytica dan Eschericia coli. Infeksi cacing ini memperlihatkan adanya respons imunitas humoral yang ditunjukkan dengan adanya reaksi anafilaksis lokal, akan tetapi peran imunitas seluler tidak terlihat. Gejala ringan dan sedang adalah anak menjadi gugup, susah tidur, nafsu makan menurun, pada infeksi berat bisa dijumpai nyeri perut, disentri sampai prolapsus rekti. Infeksi STH diketahui dapat menyebabkan malnutrisi dan anemia defisiensi besi. Penelitian di Zanzibar menunjukkan hubungan antara infeksi cacing dengan pertumbuhan yaitu didapati peningkatan berat badan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak
49
terinfeksi. Kurangnya nutrisi dan infeksi parasit umum mempunyai ritme yang berhubungan dengan usia. Kekurangan nutrisi biasanya lebih berat pada anak yang lebih kecil, dan suplementasi makanan lebih berhasil pada anak usia kurang dari 2 tahun.
5. Diagnosis Infeksi T. trichiura ditegakkan dengan menjumpai telur dalam feses
ataupun
cacing
dewasa
pada
feses.
Pemeriksaan
yang
direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel feses dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur intensitas infeksi secara tidak langsung dengan menunjukkan jumlah telur per gram feses. Infeksi dapat tidak terdeteksi jika menggunakan metode diagnosis yang kurang sensitif, seperti hapusan tipis tinja direk, dan jika konsentrasi telur di feses terlalu rendah. Pada suatu studi di Bangladesh, terdapat 8% infeksi T. trichiura yang tidak terdeteksi ketika
didiagnosis
menggunakan
metode
sedimentasi
eter
dibandingkan dengan diagnosis dengan memberikan obat antihelmintik yang efektif.
6. Penatalaksanaan WHO memberikan empat daftar anthelmintik yang esensial dan aman dalam penanganan dan kontrol STH, yaitu albendazole, mebendazole, levamisole, dan pyrantel pamoate. Jika diberikan secara reguler pada komunitas yang terinfeksi, obat-obat ini efektif dalam mengontrol morbiditas yang berhubungan dengan infeksi cacing yang endemik. Berdasarkan meta analisis dari sembilan uji plasebo-kontrol, pemberian albendazole dalam penanganan infeksi T. trichiura didapati angka penurunan telur sebesar 0% sampai 89,7%.5
7. Pencegahan
50
Cara pencegahan penyakit trichuriasis tidak beda jauh dengan pencegahan penyakit ascariasis caranya seperti berikut : 1. Individu
Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan
Mencuci sayuran yang di makan mentah
Memasak sayuran di dalam air mendidih 2. lingkungan
Menggunakan jamban ketika buang air besar
Tidak menyiram jalanan dengan air got
Dalam membeli makanan, kita harus memastikan bahwa penjual makanan memperhatikan aspek kebersihan dalam mengolah makanan
2. Muntah dan Konstipasi A. Muntah
Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui. Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf – saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf – saraf ini menerima input dari :
Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema
Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena penyakit telinga tengah)
Nervus
vagus
(yang
membawa
sinyal
dari
traktus
gastrointestinal)
Sistem
spinoreticular
(yang
mencetuskan
mual
yang
berhubungan dengan cedera fisik)
51
Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)
Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus.
Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.
Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap stimulus kimia.
Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan s entral dapat merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI
tract,
mediastinum,
ginjal,
peritoneum
dan
genital
dapat
merangsang pusat muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ. Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman. Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna dan saluran kemih. Sistem vestibular dapat dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah. Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor
52
muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks muntah.
B. Konstipasi
Konstipasi adalah kesulitan buang air besar dengan konsistensi feses yang padat dengan frekuensi buang air besar lebih atau sama dengan 3 hari sekali. Konstipasi memiliki persepsi gejala yang berbeda-beda pada setiap anak tergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja. Pada anak normal yang hanya buang air besar setiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak tanpa kesulitan bukan disebut konstipasi. Namun, buang air besar setiap 3 hari dengan a yang keras dan sulit keluar, sebaiknya dianggap konstipasi. Menurut World Gastroenterology Organization (WGO) konstipasi adalah defekasi
keras
(52%),
tinja
seperti
pil/
butir
obat
(44%),
ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang (33%) (Devanarayana dkk., 2010). Menurut North American Society of Gastroenterology and Nutrition, konstipasi adalah kesulitan atau lamanya defekasi, timbul selama 2 minggu atau lebih, dan menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien (Van den Berg dkk., 2007), sedangkan menurut Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology menjelaskan definisi konstipasi sebagai defekasi yang terganggu selama 8 minggu dengan mengikuti minimal 2 gejala sebagai berikut: defekasi kurang dari 3 kali per minggu, inkontinensia frekuensi tinja lebih besar dari satu kali per minggu, masa tinja yang keras, masa tinja teraba diabdomen, perilaku menahan defekasi, nyeri saat defekasi (Drossman dan Dumitrascu, 2006; Voskuijl dkk., 2004). 1) Epidemiologi Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak. Penelitian Loening-Baucke (2007) didapatkan prevalensi
53
konstipasi pada anak usia 4-17 tahun adalah 22,6%, sedangkan prevalensi konstipasi pada anak usia di bawah 4 tahun hanya sebesar 16%. Penelitian Rasquin dkk. (2006) didapatkan bahwa 16% anak usia 9-11 tahun menderita konstipasi. Sebanyak 90-97% kasus konstipasi yang terjadi pada anak merupakan suatu konstipasi fungsional (Van Den Berg dkk., 2006) dan kejadiannya sama antara laki-laki dan perempuan (Loening-Baucke, 2004). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Borowitz dkk. (2003), konstipasi lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki dengan perbandingan 2:1. Penelitian di Indonesia pernah dilakukan pada anak sekolah taman kanak-kanak di wilayah Senen, Jakarta. Prevalensi konstipasi didapatkan sebesar 4,4% (Firmansyah, 2007). 2) Etiologi Penyebab tersering konstipasi pada anak yaitu fungsional, fisura ani, infeksi virus dengan ileus, diet dan obat. Konstipasi pada anak 95% akibat konstipasi fungsional. Konstipasi fungsional pada umumnya terkait dengan perubahan kebiasan diet, kurangnya makanan mengandung serat, kurangnya asupan cairan, psikologis, takut atau malu ke toilet (Van Dijk dkk., 2010; Uguralp dkk., 2003; Ritterband dkk., 2003; Devanarayana dan Rajindrajith 2011). 3) Patofisiologi Frekuensi defekasi pada anak-anak bervariasi menurut umur. Pada anak umur 0-3 bulan dengan mengkonsumsi ASI frekuensi defekasi 3 kali/hari, anak umur 0-3 bulan dengan mengkonsumsi susu formula frekuensi defekasi 2 kali/hari, dan anak umur ≥ 1 tahun frekuensi normal defekasi yaitu 1 kali/hari. (Iacono dkk., 2005). Proses defekasi normal memerlukan keadaan anatomi dan inervasi normal dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani (Gambar 2.1). Rektum adalah organ sensitif yang mengawali proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum akan merangsang sistam saraf intrinsik rektum dan menyebabkan relaksasi sfingter
54
ani interna, yang dirasakan sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter anal eksterna kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui anus. Relaksasi sfingter tidak cukup kuat, maka sfingter ani eksterna dibantu otot puborektal akan berkontraksi secara refleks dan refleks sfingter interna akan menghilang, sehingga keinginan defekasi juga menghilang (Van Der Plas dkk., 2000; Degen dkk., 2005; Bu LN dkk., 2007). Gejala dan tanda klinis konstipasi pada anak dimulai dari rasa nyeri saat defekasi, anak akan mulai menahan tinja agar tidak dikeluarkan untuk menghindari rasa tidak nyaman yang berasal dari defekasi dan terus menahan defekasi maka keinginan defekasi akan berangsur hilang oleh karena kerusakan sensorik di kolon dan rektum sehingga akan terjadi penumpukan tinja (Degen dkk., 2005). Proses defekasi yang tidak lancar akan menyebabkan feses menumpuk hingga menjadi lebih banyak dari biasanya dan dapat menyebabkan feses mengeras yang kemudian dapatberakibat pada spasme sfingter ani. Feses yang terkumpul di rektum dalam waktu lebih dari satu bulan menyebabkan dilatasi rektum yang mengakibatkan kurangnya aktivitas peristaltik yang mendorong feses keluar sehingga menyebabkan retensi feses yang semakin banyak. Peningkatan volume feses pada rektum menyebabkan kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah terjadi (Van Der Plas dkk., 2000). Gejala klinis konstipasi adalah frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per minggu, nyeri saat defekasi, tinja keras, sering mengejan pada saat defekasi, perasaan kurang puas setelah defekasi. (Uguralp dkk., 2003; Rajindrajith dkk., 2010)Keluhanlain yang biasa timbul adalah nyeri perut, kembung, perdarahan rektum (tinja yang keluar keras dan kehitaman). Keluhan tersebut makin bertambah berat, bahkan sampai timbulnya gejala obstruksi intestinal (Van der Plas dkk., 2010). Berikut beberapa gejala dan
55
tanda yang timbul pada anak dengan konstipasi yaitu berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
4) Diagnosis Diagnosis konstipasi sesuai dengan kriteria Rome III adalah sebagai berikut:
Frekuensi defekasi dua kali atau kurang dalam seminggu tanpa pemberian laksatif,
Terdapat minimal satu kali episode soiling/enkopresis dalam seminggu,
Riwayat retensi tinja yang berlebihan,
Riwayat nyeri atau susah defekasi,
Riwayat pengeluaran feses yang besar sampai dapat menyumbat toilet,
Teraba masa fekal yang besar di rektum.
Diagnosis ditegakkan bila terdapat minimal dua dari enam gejala selama dua bulan. Soiling didefinisikan sebagai pengeluaran feses secara tidak disadari dalam jumlah sedikit sehingga sering mengotori
pakaian
dalam.
Enkopresis
diartikan
sebagai
56
pengeluaran feses dalam jumlah besar secara tidak disadari (Van Der Plas dkk., 2000).
3. Pemeriksaan A. Teknik langsung lugol dan iodine
Alat dan Bahan • Umum – Meja kerja – Tempat sampah biohazard – Tempat sampah biasa – Sabun cuci tangan – Wastafel – Sarung tangan – Marker • Apusan tinja dan pewarnaan sediaan langsung
– Sampel tinja – Objek gelas dan kaca penutup – Larutan saline solution & larutan Lugol's iodine (1% solution) – Kayu aplikator • Pengawetan tinja
– Dua buah pot dengan volume 20 ml yang mempunyai tutup yang rapat – Kayu aplikator – Marker – Formalin (Formaldehyde)10%
57
– Pengawet Poly Vinil (PV) – Selotip • Identifikasi parasit pada apusan tinja dengan mikroskop
– Mikroskop – Apusan tinja pada objek gelas
Kegiatan A. Persiapan pasien dan cara mengambil sampel
Cara kerja: 1. Menjelaskan tujuan pemeriksaan, meminta persetujuan dan hak untuk menolak serta menjamin kerahasiaan data pasien. 2. Memperlihatkan sikap empati dan profesionalisme pada pasien 3. Meminta contoh tinja dari pasien dengan memberikan pot ukuran diameter 3 cm dan tinggi 4 cm yang sudah dilabel denganidentitas pasien diseratai dengan sendoknya 4. Menerangkan kepada pasien bahwa tinja yang diambil: - Harus dalam keadaan segar - Tidak terkontaminasi oleh air kencing atau bahan lain - Tiba di tempat pemeriksaan 1-2 jam setelah dikeluarkan B. Membuat pewarnaan sediaan langsung
1. Dengan spidol tulis identitas pasien pada objek gelas 2. Pasang sarung tangan 3. Letakkalah objek glass tersebut mendatar di atas meja
58
4. Teteskan 1 tetes saline solution pada kaca tengah kiri dan 1 tetes larutan lugol iodine pada tengah kanan dari objek gelas 5.
Ambil
sedikit
faeces
(bagian
yang
berlendir)
dengan
menggunakan kayu aplikator, letakkan pada tetesan larutan saline, campurkan sampai rata Catatan : •Feses tidak boleh tercampur dengan air kloset (karena dapat mengandung organisme bentuk bebas yang menyerupai parasit manusia) atau urin (karena urin dapat menghancurkan organisme – organisme yang bergerak). Bila memungkinkan, dianjurkan pada pasien agar pada saat buang air besar, feses langsung ditampung dalam wadah. • Feses keras: ambil bagian yang terletak diluar dan didalam specimen. • Feses bercampur atau darah : ambil didaerah yang berlendir atau berdarah •Feses encer: ambil dibagian mana saja. 6. Tutup kedua tetesan itu masing masing dengan kaca penutup 7. Isaplah dengan kertas isap cairan yang berlebih dan terdapat diluar kaca penutup 8. Lepaskan sarung tangan dan buang ke tempat sampah biologis 9. Cucilah tangan dengan sabun antiseptik C. Pengawetan spesimen tinja
Prosedur : 1. Pasang sarung tangan 2. Label kedua pot dengan identitas pasien
59
3. Beri tanda “F” pada bagian atas pot untuk pot yang tinjanya akan diawetkan dengan formalin dan beri tanda “PV” untuk pot yang tinjanya akan diawetkan dengan Poly Vinil 4. Isi pot "F" dengan formalin 10% sampai pertengahan pot dan pot “PV‟ dengan pengawet PV sampai pertengahan pot. 5. Dengan kayu aplikator ambil tinja kira kira sebanyak 1 sendok teh, masukkan kemasing masing pot yang sudah diisi dengan pengawet. Perbandingan antara pengawet dan tinja adalah kira kira 1:1. Aduk sehingga tinja dan pengawetnya ter campur dengan baik. 6. Tutup pot dengan rapat, gunakan selotip untuk mencegah kebocoran pada mulut pot 7. Tuliskan pengantar dari specimen ini meliputi: - Nama, umur, dan jenis kelamin pasien - Keluhan utama - Tanggal pengiriman 8. Lepaskan sarung tangan buang ke tempat sampah biologis 9. Cuci tangan dengan sabun antiseptik D. Identifikasi parasit dengan mikroskop
• Letakkan objek gelas pada meja obyektif dibawah mikroskop • Turunkan kondensor dan aturlah cahaya melalui diafragma. • Lihatlah obyek dengan menggunakan lensa obyektif 10 kali, putarlah makrometer sampai obyek terlihat.. • Tajamkan fokus dengan memutarmikrometer perlahan-lahan • Tingkatkan pembesaran sampai 45 kali jika dibutuhkan • Lakukanlah pemeriksaan sistematis dengan metode sigzag. • Lakukanlah identifikasi parasit:
60
– Telur dan larva cacing – Protozoa: bentuk trophozoites dan kista dari amuba dan flagellate Telur dan larva cacing pada larutan saline dan lugol iodine
– Telur dan larva cacing dapat diidentifikasi dengan mudah dalam larutan saline. – Mereka tampak tidak berwarna dan mudah dilihat dengan pembesaran 10x Protozoa pada larutan saline
• Bentuk trophozoites and kista dari amuba dan flagellate mungkin bisa terlihat • Kista akan tampak bulat atau oval dengan dinding yang jelas • Trofozoit akan tampak bulat atau oval dengan dinding irreguler. • Pada faeces segar (faeces yang tidak lebih dari 2 jam setelah dikeluarkan), pergerakan trofozoit dapat terlihat terutama pada flagella. • Mula-mula lihat objek dengan pembesaran 10x, untuk melihat lebih jelas bagian- bagian dari parasit seperti nucleus, chromatoid bodies, sucking discs, spiral grooves, atau filaments dari parasit, tingkatkan pembesaran secara bertahap. Protozoa pada Lugol Iodine • Sitoplasma dari trofozoit atau kista akan tampak kuning atau coklat muda
dan nucleus akan tampak coklat tua. • Pada kista Entamoeba peripheral chromatin dan posisi karyosome dapat terlihat (jika tidak terlihat, bukan Entamoeba). Peripheral chromatin akan tampak kuning muda. Kadang kadang pada kista muda yang masih mengandung glikogen, glikogen akan tampak coklat tua.
61
• Kista flagella dan filamennya juga terlihat jelas dengan pewarnaan lugol iodine. Interpretasi • Laporkan semua jenis parasit yang ditemukan •Sediaan dinyatakan negatif jika tidak ditemukan parasit dalam 100 lapangan pandang dan sampel tinja diperiksa sebanyak 3x berturut turut dalam hari pemeriksaan yang berbeda B. Teknik Kato Katz
Teknik Kato sering pula disebut dengan teknik sediaan tebal, karena teknik ini dibuat tidak menggunakan kaca penutup. Teknik ini hanya dapat diaplikasikan untuk specimen feses yang memiliki konsistensi minimal lembek hingga agak keras. Apabila specimen berupa feses cair, teknik kato tidak tepat dijadikan pilihan. Kelebihan teknik kato adalah dapat melakukan penghitungan jumlah telur cacing dari specimen feses yang diperiksa sehingga dapat diketahui derajat infeksi penderita. Prinsip pemeriksaan ini adalah feses direndem pada larutan malachite green, dikeringkan dengan kertas saring dan didiamkan selama 20 – 30 menit pada incubator dengan suhu 40°C untuk mendapatkan telur cacing dan larva. Metode kato katz
WHO merekomendasikan dua jenis pemeriksaan yang dapat mendeteksi adanya telur cacing dalam tinja yaitu Direct Thin Smear ( pemeriksaan langsung apus tipis ) dan Cellophan Thick Smear ( pemeriksaan apus tebal menggunakan selofan ) atau yang lebih dikenal dengan metode Kato Katz. Metode ini diyakini sangat berguna dan efisien untuk mendiagnosa adanya kasus infeksi cacing usus. Metode ini relatife mudah dilakukan tetapi menuntut ketelitian karena pembuatan sediaan apus tebal dari tinja ini sangat dipengaruhi oleh kelembapan dan suhu setempat. Prinsip dari metode ini sama dengan metode
direct slidedengan
penambahan pemberian cellophane tape yang sudah direndam dengan malachite green sebagai latar. Metode Kato Katz menggunakan gliserin sebagai salah satu
62
reagennya, oleh karena itu sediaan harus segera mungkin diperiksa dengan mikroskop setelah pembuatan sediaan apus tebal dengan cellophane tape. Kelebihan metode Kato Katz sangat sensitive, memiliki variansi minimal antara sampel, sederhana dilakukan dan sesuai untuk studi lapangan. Metode Kato Katz kemudian diadopsi oleh WHO untuk melakukan diagnosis kuantitatif dan kualitatif
dari
A.lumbricoides,
infeksi
intestinal
T.trichiura,
yang
A.deodenale,
disebabkan
oleh
N.americanus
cacing dan
seperti
S.mansoni.
Kelemahan dari metode ini yaitu tidak mampu mendeteksi larva dan kista protozoa. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi metode Kato Katz antara lain volume feses, lama waktu inkubasi, suhu dan kelembapan. Volume feses merupakan kuantitatif intensitas telur cacing yang diperoleh pada pemeriksaan berdasarkan volume feses, apabila volume feses berlebihan maka akan mempengaruhi hasil pemeriksaan. Lama waktu inkubasi berpengaruh pada sediaan baca, semakin lama waktu inkubasi akan diperoleh sediaan baca yang baik akan tetapi apabila melewati batas maka telur cacingnya akan hilang. Suhu yang digunakan pada pemeriksaan telur cacing pada metode Kato Katz menggunakan suhu kamar. Metode Kato Katz relative mudah dilakukan, tetapi menuntut ketelitian karena pembuatan sediaan apus tebal dari tinja ini sangat dipengaruhi oleh kelembapan. Bahan dan Peralatan
a).
Aquadest
b).
Glycerin
c).
Malachite green (hijau malasit)
d).
Gelas obyek
e).
Cellophane tape (selofan), ukuran lebar 2,5 cm.
f).
Karton ukuran tebal 2 mm dan dilubangi dengan perforator
g).
Kawat saring atau kawat kasa (wire screen).
h).
Pot plastik ukuran 10 – 15 cc atau kantong plastik obat.
i).
Lidi atau tusuk gigi
63
j).
Kertas minyak
k).
Kertas saring atau tissue
l).
Spidol tahan air
m).
Tutup botol dari karet
n).
Gunting logam
o).
Baskom plastik kecil
p).
Sabun dan deterjen
q).
Handuk kecil
r).
Sarung tangan karet
s).
Formalin 5 – 10 %
t).
Mikroskop
u).
Formulir
v).
Ember
w).
Counter (alat penghitung)
Cara Pembagian dan Pengumpulan Tinja : a) Jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot / kantong plastik sekitar 100 mg (sebesar kelereng atau ibu jari tangan). b) Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama, sebab jika tidak telur cacing akan rusak atau menetas menjadi larva. Jika tidak memungkinkan tinja harus diberi formalin 5-10% sampai terendam.
Metode Pemeriksaan Kato-Katz
Cara Membuat Larutan Kato
Yang dimaksud dengan Larutan Kato adalah cairan yang dipakai untuk merendam/memulas selofan (cellophane tape) dalam pemeriksaan tinja terhadap telur cacing menurut modifikasi teknik Kato dan Kato-Katz. (1)Untuk membuat Larutan Kato diperlukan campuran dengan perbandingan: Aquadest 100 bagian, Glycerin 100 bagian dan Larutan malachite green 3% sebanyak 1 bagian. 64
(2)Timbang malachite green sebanyak 3 gram, masukkan ke dalam botol/ beker glass dan tambahkan aquadest 100 cc sedikit demi sedikit lalu aduk/kocok sehingga homogen, maka akan diperoleh larutan malchite green 3%.
(3)Masukkan 100 cc aquadest ke dalam Waskom plastik kecil, lalu tambahkan 100 cc glycerinsedikit demi sedikit dan tambahkan 1 cc larutan malachite green 3%, lalu aduk sampai homogen. Maka akan didapatkan Larutan Kato 201 cc.
Cara merendam / memulas selofan ( cellophane tape)
(1)Buatlah bingkai kayu segi empat sesuai dengan ukuran baskom plastik kecil. Contoh: Misal bingkai untuk foto
(2)Libatkan / lilitkan selofan pada bingkai tersebut.
(3)Rendamlah selama + 18 jam dalam Larutan Kato.
(4)Pada waktu akan dipakai, guntinglah selofan yang sudah direndam sepanjang 3 cm.
Cara Pemeriksaan Kualitatif (modifikasi teknik Kato)
Hasil pemeriksaan tinja kualitatif berupa positif atau negatif cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis cacing atau per jenis cacing.
Cara Membuat Preparat
(a)Pakailah sarung tangan untuk mengurangi kemungkinan infeksi berbagai penyakit.
(b)Tulislah Nomor Kode pada gelas objek dengan spidol sesuai dengan yang tertulis di pot tinja.
65
(c)Ambillah tinja yang sudah dengan lidi sebesar kacang hijau, dan letakkan di atas gelas obyek.
(d)Tutup dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan Kato, dan ratakan tinja di bawah selofan dengan tutup botol karet atau gelas obyek.
(e)Biarkan sediaan selama 20-30 menit. (f)Periksa dengan pembesaran lemah 100 x (obyektif 10 x dan okuler 10x), bila diperlukan dapat dibesarkan 400 x (obyektif 40 x dan okuler 10 x).
(g)Hasil pemeriksaan tinja berupa positif atau negatif tiap jenis telur cacing.
(2)
Cara Menghitung Prevalensi
(a)Prevalensi Seluruh Cacing =
Jumlah specimen positif telur minimal 1 jenis cacing x 100% Jumlah specimen yang diperiksa (b)Prevalensi Cacing Gelang
Jumlah specimen positif telur cacing gelang x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
(c)Prevalensi Cacing Cambuk
Jumlah specimen positif telur cacing cambuk x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
(d)Prevalensi Cacing Tambang
Jumlah specimen positif telur cacing tambang x 100%
66
Jumlah specimen yang diperiksa
d) Cara Pemeriksaan Kuantitatif
Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui jumlah telur per gram tinja (EPG) pada setiap jenis cacing.
Cara Membuat Preparat
(a)Saringlah tinja menggunakan kawat saring.
(b)Letakkan karton yang berlubang di atas slide kemudian masukkan tinja yang sudah di saring pada lubang tersebut. (c)Ambillah karton berlubang tersebut dan tutuplah tinja dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan Kato.
(d)Ratakan dengan tutup botol karet hingga merata. Diamkan kurang lebih sediaan selama 20 – 30 menit.
(e)Periksa di bawah mikroskop dan hitung jumlah telur yang ada pada sediaan tersebut.
(2)Cara Menghitung Telur
Hasil pemeriksaan tinja secara kuantitatif merupakan intensitas infeksi, yaitu jumlah telur per gram tinja (Egg Per Gram/EPG) tiap jenis cacing.
(a)Intensitas Cacing Gelang = Jumlah telur cacing gelang x 1000/R Jumlah specimen positif telur Cacing Gelang (b)Intensitas Cacing Cambuk = Jumlah telur cacing cambuk x 1000/R Jumlah specimen positif telur Cacing Cambuk
67
(c)Intensitas Cacing Tambang = Jumlah telur cacing tambang x 1000/R Jumlah specimen positif telur Cacing Tambang
Ket : R = berat tinja sesuai ukuran lubang karton (mg). Untuk program cacingan adalah 40 mg.
68
Keterangan: A. Ascaris (perbesaran 40x10) B. Trichuris (perbesaran 40x10) Contoh Pemeriksaan Lainnya : Pemeriksaan Kulititatif :
1. Metode Natif ( Direct slide) Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya.
69
2.
Metode Apung ( Flotation method ) Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan ini
hanya
berhasil
Dibothriosephalus, telur
untuk yang
telur-telur berpori-pori
Nematoda, dari
Schistostoma,
familiTaenidae,
telur-
telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil.
3. Metode Harada Mori Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma
Duodenale,
Necator
Americanus,
Srongyloides
Stercolaris danTrichostronngilus yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknik ini memungkinkan telur cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan didalam air yang terdapat pada ujung kantong plastik.
4. Metode Selotip Metode ini digunakan untuk mengetahui adanya telur cacing Enterobius vermicularis pada anak yang berumur 1 – 10 tahun.
5. Metode konsentrasi
Dengan adanya gaya sentrifugal, dapat memisahkan antara suspensi dan supernatannya sehingga telur cacing dapat diendapkan. Metode ini praktis dan sederhana untuk pemeriksaan telur pada tinja dengan cara sebagai berikut :
1) Sekitar 1 gram tinja dimasukkan ke dalam tabung reaksi, beri akuadest, aduk sampai homogen, kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit.
70
2) Larutan dibuang, sedimennya diambil dengan pipet pasteur, diletakkan di atas kaca objek kemudian ditutup dengan cover glass dan lihat di bawah mikroskop.
Pemeriksaan Kuantitatif :
a. Metode stoll Metode ini sangat baik digunakan untuk infeksi berat dan sedang. b. Modifikasi stoll menurut nazir c. Modifikasi Metode McMaster Metode McMaster merupakan metode kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui jumlah telur cacing parasitik pada sampel tinja. Sebanyak 4 gram tinja dilarutkan ke dalam 56 ml larutan pengapung gula garam dengan
konsentrasi
99.5%
(Sumanto
dan
Hamidy
1994).
Selanjutnya
dihomogenkan dan disaring menggunakan saringan teh. Suspensi yang sudah homogen kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan pipet, kemudian didiamkan selama 5 menit. Penghitungan telur dilakukan secara mikroskopik dengan perbesaran 10×10. Jumlah telur dalam tiap gram tinja (TTGT) dihitung menggunakan rumus, sebagai berikut:
71
Keterangan: n : jumlah telur cacing dalam kamar hitung Vt : volume sampel total Vk : volume kamar hitung Bf : berat tinja 4. Tatalaksana Penanganan penyakit kecacingan harus disertai dengan tindakan pencegahan penyebaran infeksi terutama di lingkungan keluarga. Jika salah seorang anggota keluarga dicurigai terinfeksi cacing, maka disarankan dilakukan terapi non obat berikut:
Mencuci sprei, handuk, dan pakaian dalam (terpisah dari seluruh anggota keluarga) dengan air hangat, jangan diaduk karena dapat menyebarkan telur cacing ke udara.
Pastikan ruangan mendapat cahaya matahari yang cukup, karena telur cacing dapat rusak oleh cahaya matahari.
Pastikan anggota keluarga yang dicurigai terinfeksi cacing melakukan mandi pagi, membersihkan bagian rektum pada saat mandi, dan tidak mandi dalam bath tub.
Gunakan disinfektan pada toilet duduk selama masa pengobatan.
Bersihkan dengan penyedot debu (vacuum cleaner ) atau pel dengan air (jangan gunakan sapu) daerah sekitar tempat tidur dan seluruh kamar tidur.
Bersihkan kuku dengan menyikat hingga bersih dan gunting kuku secara rutin. Cuci tangan secara berkala terutama sebelum makan dan setelah ke kamar mandi.
72
Pengobatan penyakit kecacingan dapat berbeda-beda tergantung jenis cacing yang menyebabkan penyakit. Infeksi cacing pita memerlukan terapi dengan golongan obat keras yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Berikut adalah beberapa bahan aktif obat yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit kecacingan. Bahan aktif ini bisa terdapat dalam berbagai mer ek dagang. MEBENDAZOL
Mebendazol digunakan untuk mengobati infeksi cacing kremi, cacing tambang, cacing gelang, dan cacing cambuk. Obat ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan anak di bawah usia 2 tahun. Namun pada kehamilan di bawah 3 bulan, mebendazol tidak menimbulkan efek buruk. Dalam penggunaan mebendazol sangat jarang terjadi efek yang tidak diinginkan, namun pernah dilaporkan beberapa efek yang tidak diinginkan yaitu sakit perut, diare, kejang pada bayi, dan ruam. Aturan
pakai
Untuk infeksi cacing kremi, dosis sebesar 100 mg dosis tunggal untuk dewasa dan anak di atas 2 tahun. Jika terjadi infeksi kembali, ulangi dosis yang sama 2 minggu kemudian.
PIRANTEL PAMOAT
Pirantel pamoat, atau nama lainnya yaitu pirantel embonat, digunakan untuk mengobati infeksi cacing kremi, cacing gelang, cacing tambang, cacing cambuk. Adanya anggota keluarga yang terinfeksi juga merupakan pertanda infeksi pada anggota keluarga yang lain. Untuk itu dianjurkan pemberian pirantel pamoat pada seluruh anggota keluarga untuk memusnahkan telur dan cacing serta mencegah infeksi berulang. Penggunaan pada wanita hamil dan anak di bawah 2 tahun harus berhati-hati.
73
Beberapa efek samping yang mungkin terjadi setelah penggunaan pirantel pamoat antara lain hilang nafsu makan, kejang perut, mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, rasa mengantuk, sukar tidur, dan merah-merah pada kulit. Untuk infeksi cacing cambuk: Dosis 10 mg/kgbb diminum sebagai dosis tunggal. Berdasarkan berat badan menjadi sebagai berikut: Dosis 1000 mg untuk dewasa dengan berat badan di atas 75 kg, Dosis 750 mg untuk anak diatas 12 tahun dengan berat badan 41-75 kg, Dosis 500 mg untuk anak 6-12 tahun dengan berat badan 22-41 kg, Dosis 250 mg untuk anak 2-6 tahun dengan berat badan 12-22 kg, Dosis 125 mg untuk anak 6 bulan – 2 tahun berat badan di bawah 12 kg. Albendazol bekerja dengan cara berikatan dengan β tubulin parasit sehingga menghambat polimarisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing dewasa. Akibatnya, persediaan glikogen cacing menurun, pembentukan ATP berkurang, dan cacing mati. Obat ini juga dapat merusak telur cacing. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat pengambilan glukosa oleh cacing secara ireversibel, sehingga terjadi deplesi glikogen pada cacing. Mebendazol menyebabkan sterilitas pada telur cacing. Pirantel palmoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dengan keadaan spastis (Syarif dan Elysabeth, 2009).
74
IX.
Kerangka Konsep
75
X.
Kesimpulan
76
View more...
Comments